STUDI PRODUKTIVITAS PRIMER MIKROFITOBENTOS DI
PERAIRAN PULAU LANCANG, KEPULAUAN SERIBU
HEIDI RETNONINGTYAS
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini sanya menyatakan bahwa tesis “Studi Produktivitas Primer Mikrofitobentos di Perairan Pulau Lancang, Kepulauan Seribu” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013
RINGKASAN
HEIDI RETNONINGTYAS. Studi Produktivitas Primer Mikrofitobentos di Perairan Pulau Lancang, Kepulauan Seribu. Dibimbing oleh TRI PRARTONO dan RICHARDUS F. KASWADJI.
Wilayah substrat yang sangat luas di zona eufotik tidak hanya menjadi habitat bagi vegetasi makroskopis, melainkan juga organisme mikro fotosintetik, yang kelimpahan koloninya sangat mendominasi terutama di permukaan sedimen yang diduga gersang. Vegetasi ini berupa koloni mikroalga yang lebih sering disebut dengan mikrofitobentos, yang hidup menempel pada partikel substrat sehingga keberadaannya tidak kasat mata. Pada dasarnya, taksonomi organisme mikrofitobentos sama dengan fitoplankton pelagis. Persamaan lainnya adalah mencakup sifat fotosintetik yang membutuhkan sinar matahari untuk melakukan fotosintesis (Underwood and Kromkamp, 1999; Urban-Malinga and Wiktor, 2003). Organisme mikrofitobentos dapat dengan mudah tersuspensi ke dalam kolom air dan merepresentasikan lebih dari 50% total klorofil mikroalga yang terdapat di kolom air dan menjadi sumber makanan bagi deposit feederdan suspension feeder. Perbedaan antara fitoplankton pelagis dan mikrofitobentos terletak pada preferensi habitat.
Komunitas mikrofitobentos tidak hanya memiliki peranan penting dalam rantai makanan di perairan dangkal, melainkan juga berkontribusi terhadap stabilitas sedimen melalui ekskresi extracellular polymeric substances (EPS) dan mempengaruhi fluks nutrien pada batas sedimen – air melalui aktivitas fotosintetik dan aktivitas metaboliknya. Namun demikian, kajian produktivitas primer mikrofitobentos, terutama di wilayah perairan Indonesia, masih jarang dilakukan. Pengukuran produktivitas primer perairan selama ini hanya dilakukan pada permukaan atau kolom air dan tidak memperhitungkan produksi primer oleh mikroalga yang berasosiasi dengan sedimen. Penelitian mengenai produksi primer dan komunitas mikrofitobentos penting dilakukan karena mikrofitobentos memiliki peranan dalam fiksasi karbon terutama di wilayah perairan dangkal, dimana substrat dasar masih menerima cahaya matahari sehingga fotosintesis dapat berlangsung, sehingga berperan dalam suplai makanan bagi organisme bentik lainnya. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari produktivitas primer mikforitobentos dan menduga kontribusi mikrofitobentos terhadap produksi primer perairan secara keseluruhan.
Hasil analisis pigmen klorofil-a menggunakan spektrofotometri menunjukkan bahwa konsentrasi klorofil-a di permukaan sedimen sebesar 4496.08 – 8937.12 mg l-1, lebih tinggi dibandingkan di permukaan air yaitu 0.0003339 – 0.000544 mg l-1. Hasil ini sejalan dengan tingginya nilai produksi primer di permukaan sedimen yang diduga disebabkan oleh melimpahnya jumlah biomassa mikroalga bentik yang berasosiasi dengan partikel sedimen. Berdasarkan hasil pengukuran parameter fisika-kimia yang mendukung produktivitas primer perairan, intensitas cahaya diduga sebagai parameter yang berperan dalam mendukung produktivitas primer mikrofitobentos karena intensitas cahaya yang sampai ke permukaan sedimen lebih optimal bagi aktivitas fotosintetik mikrofitobentos.
Nilai produktivitas mikrofitobentos di sedimen memiliki perbedaan yang signifikan pada prakteknya tidak lantas bisa menggambarkan kondisi kesuburan perairan. Bagi ekosistem perairan dangkal seperti Pulau Lancang, diperlukan studi lanjut mengenai produktivitas primer autorof lain (mangrove, lamun) untuk mendapatkan informasi yang komprehensif. Namun demikian, produktivitas primer mikrofitobentos yang lebih tinggi dibandingkan produktivitas primer fitoplankton pelagis mengindikasikan bahwa mikrofitobentos memiliki kontribusi, sehingga di masa mendatang, komponen mikrofitobentos layak dipertimbangkan sebagai komponen penting dalam kajian produktivitas primer perairan.
SUMMARY
HEIDI RETNONINGTYAS. Study of Microphytobenthos Primary Productivity in Pulau Lancang, Kepulauan Seribu.Under direction of TRI PRARTONO and RICHARDUS F. KASWADJI.
Vast and bare substrate area in euphotic zone is not only served as habitat for macroscopic vegetation, but also photosynthetic microorganisms whose abundance is dominating the upper sediment surface. These microorganisms are composed of microalga colonies, called microphytobenthos, living attached to sediment particles. Hence, their existence is sometimes neglected. Microphytobenthos taxonomy is basically the same with pelagic phytoplankton. Another similarity is their photosynthetic characteristic which requires light as the main energy source in photosynthesis (Underwood and Kromkamp, 1999; Urban-Malinga and Wiktor, 2003). Microphytobenthos were easily resuspended to the water column and representing more than 50% of total cholorophyll concentration, then become available as food source for deposit feeder and suspension feeder. The only difference between pelagic phytoplankton and microphytobenthos is their habitat preference.
Besides playing an important role in shallow water food chain, microphytobenthos also give contribution to sediment stability, by excreting extracellular polymeric substances (EPS) and influence nutrient flux on sediment
– water boundary through their photosynthetic and metabolic activity. However, microphytobenthic community and their primary productivity, particularly in Indonesian waters, were still less studied. Measurement of primary productivity was usually performed only at the surface or water column, neglecting the primary production by sediment-associated microalgae. Research on microphytobenthic community and primary productivity is important since they perform significant role in carbon fixation, particularly in shallow water system, where sunlight intensity still penetrates and reach the sediment surface. The aim of this study is to investigate microphytobenthic primary productivity and estimate the contribution of microphytobenthos contribution towards entire aquatic primary productivity.
In this study, primary productivity estimation was based on photosynthetic process by calculating the difference of oxygen concentration before and after photosynthesis. Primary productivity of microphytobenthos in Pulau Lancang was higher compared to that in surface layer. Results from third-day experiment shown an extremely high value from microphytobenthos primary production, reached up to 29 times of surface layer primary productivity. Average of microphytobenthos primary productivity was 42.32 mg C m-3 hour-1, almost two fold higher than phytoplankton primary productivity which was 22.46 mg C m-3 hour-1.
microalgae. According to the measurement of physical and chemical parameters, light intensity was considered as the main factor supporting microphytobenthos primary productivity.
Microphytobenthos primary productivity alone cannot describe the entire aquatic productivity since there are a lot of other autotrophic components such as seagrass and mangrove that compose marine ecosystem of Pulau Lancang. However, significant contribution of microphytobenthos indicates that microphytobenthos is feasible to be considered as important component in the study of coastal primary productivity.
© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
STUDI PRODUKTIVITAS PRIMER MIKROFITOBENTOS DI
PERAIRAN PULAU LANCANG, KEPULAUAN SERIBU
HEIDI RETNONINGTYAS
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Studi Produktivitas Primer Mikrofitobentos di Perairan Pulau Lancang, Kepulauan Seribu
Nama : Heidi Retnoningtyas
NIM : C551090131
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Tri Prartono, M.Sc Ketua
Richardus Kaswadji, Ph.D. (Alm.) Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Kelautan
Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala nikmat dan karunia yang berlimpah sehingga pada akhirnya tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2012 sampai September 2012 ini adalah produktivitas primer, dengan judul Studi Produktivitas Primer Mikrofitobentos di Perairan Pulau Lancang, Kepulauan Seribu.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Tri Prartono, M.Sc. dan Bapak (Alm.) Richardus F. Kaswadji, Ph.D. selaku komisi pembimbing, serta Bapak Dr. Ir. Enan Mulyana Adiwilaga, M.Sc. yang telah banyak memberi kritik dan masukan bagi penyempurnaan tesis ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan juga penulis sampaikan kepada Ibu Anna Mariana (Lab. Produktivitas Lingkungan, MSP), Bapak Afdal Djalius dan Bapak Sumijo Hadi Riyono (Poklit Produktivitas, P2O LIPI), Bapak Prasetyo dan Mas Nurhadi (Lab. TIAB BPPT, Puspiptek Serpong), keluarga besar Bagian Oseanografi ITK khususnya rekan-rekan di Lab. Data Processing, Dr. Barbara Urban-Malinga (Centre for Ecological Research, Polish Academy of Sciences), Dr. Ign. Boedi Hendrarto (Universitas Diponegoro), serta rekan dan kolega penulis yang telah banyak membantu selama penelitian ini berlangsung, yaitu Mokhamad Fahmi Fauzi, Lumban Nauli Lumban Toruan (Universitas Nusa Cendana, Kupang), Citra Satrya Utama Dewi (Universitas Brawijaya, Malang), Syamsul Bahri Agus (IPB), Adriani Sunuddin (IPB), Nurul Najmi (IPB), Annisya Rosdiana (IPB), Yuliana Fitri Syamsuni (MST Secretariat), Safrina Dyah Hardiningtyas (SBRC IPB), Ulfah Alifia (Universitas Indonesia), serta Keluarga Pak Laloi di Pulau Lancang, Kepulauan Seribu. Ungkapan terima kasih tak lupa penulis sampaikan pada kedua orang tua dan mertua, suami, anak, serta adik-adik atas doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2013
DAFTAR ISI
Organisme Mikrofitobentik dan Karakteristik Habitatnya 5
Produktivitas Primer Mikrofitobentos 6
Pengukuran Produktivitas Primer di Permukaan Air 12
Pengukuran Produksi Primer Mikrofitobentos 13
Perbandingan Produktivitas Primer Permukaan Air dan Sedimen 13
Pengambilan Sampel dan Analisis Klorofil Air 13
Pengambilan Sampel dan Analisis Klorofil Sedimen 14
Koleksi Fitoplankton Pelagis 15
Analisis Data 15
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 16
Hasil 16
Kondisi Umum Lokasi Sampling 16
Produktivitas Primer Permukaan Air dan Sedimen 17
Kondisi Lingkungan Saat Pengamatan 18
Suhu 18
Intensitas Cahaya 18
Kandungan Nutrien 20
Konsentrasi Klorofil-a di Permukaan Air dan Sedimen 20
Kelimpahan Fitoplankton Pelagis 21
Pembahasan 22
Pengambilan Sampel Produksi Primer Mikrofitobentos 22
Produksi Primer Permukaan dan Bentik 23
Faktor Fisika-Kimia yang Mempengaruhi Produktivitas Primer 26 Pendugaan Produktivitas Primer Perairan di Pulau Lancang 30
DAFTAR TABEL
1 Pigmen pada fitoplankton bahari 10
2 Parameter dan alat ukur yang digunakan 12
3 Hasil analisis butiran sedimen 16
4 Produktivitas primer bersih permukaan air dan sedimen 17 5 Suhu permukaan air dan permukaan sedimen selama penelitian 18
6 Intensitas cahaya 19
7 Hubungan antara produktivitas primer dan intensitas cahaya 19 8 Konsentrasi nitrat dan fosfat di lokasi penelitian 20 9 Konsentrasi chl-a di permukaan air dan sedimen 20 10 Hasil pencacahan fitoplankton pelagis di lokasi studi 21
DAFTAR GAMBAR
1 Alur pikir penelitian 4
2 Peta lokasi penelitian 11
3 Komposisi kelompok fitoplankton pelagis 23
4 Produksi primer di permukaan air ( ) dan sedimen ( ); (a) hari ke-1; (b) hari ke-2; (c) hari ke-3; (d) hari ke-4; (e) rerata produktivitas
primer selama 4 kali percobaan 24
5 Hubungan antara konsentrasi klorofil-a dengan produktivitas primer di (a)
permukaan air; dan (b) sedimen 27
6 Perbandingan intensitas cahaya (a) dan suhu (b) di permukaan air (▪▪▪)
dan sedimen (▬ ) 29
7 Perbandingan konsentrasi fosfat ( ) dan nitrat ( ) di permukaan air dan
permukaan sedimen 29
DAFTAR LAMPIRAN
1 Peralatan yang digunakan selama penelitian 38
2 Data suhu dan intensitas cahaya dari perekaman HOBOlight and
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Wilayah substrat yang sangat luas di zona eufotik tidak hanya menjadi habitat bagi vegetasi makroskopis, melainkan juga organisme mikro fotosintetik, dengan kelimpahan koloni yang melimpah dan sangat mendominasi terutama di permukaan sedimen yang diduga gersang. Pemahaman kegersangan dapat dipahami karena vegetasi koloni mikroalga yang sering disebut mikrofitobentos, hidup menempel pada partikel substrat sehingga keberadaannya tidak kasat mata. Istilah mikrofitobentos merujuk pada alga eukariot uniseluler berukuran mikroskopisyang hidup di permukaan sedimen. Habitat mikrofitobentos meliputi substrat pasir dan lumpur intertidal, baji garam, hamparan vegetasi terendam, hingga sedimen subtidal (Aberle-Malzhan, 2004).
Pada dasarnya, organisme mikrofitobentos secara taksonomi sama dengan fitoplankton tapi berbeda morfologi dan preferensi habitat. Persamaan lainnya adalah mencakup sifat fotosintetik (MacIntyre et al. 1996; Underwood and Kromkamp, 1999; Urban-Malinga and Wiktor, 2003). Organisme mikrofitobentos dapat dengan mudah tersuspensi ke dalam kolom air dan merepresentasikan lebih dari 50% total klorofil mikroalga yang terdapat di kolom air (de Jonge and van Bausekom 1992; Serodio and Catarino, 2000; Perissinotto et al. 2002) dan menjadi sumber makanan bagi deposit feederdansuspension feeder (Milleret al. 1996; Wainrightet al. 2000).
Komunitas mikrofitobentos tidak hanya memiliki peranan penting dalam rantai makanan di perairan dangkal, melainkan juga berkontribusi terhadap stabilitas sedimen melalui ekskresi extracellular polymeric substances (EPS) (Paterson 1989, Stal 2003) dan mempengaruhi fluks nutrien pada batas sedimen– air melalui aktivitas fotosintetik dan aktivitas metaboliknya (Sundback and Graneli 1988; Rysgaard et al. 1995). Namun demikian, kajian produktivitas primer mikrofitobentos, terutama di wilayah perairan Indonesia, masih jarang dilakukan.
Prinsip analisis pigmen organisme mikrofitobentik adalah sama seperti pada analisis pigmen fitoplankton pelagis, yaitu menggunakan spektrofotometer, fluorometer, maupun kromatogram. Analisis pigmen menggunakan metode high-performance liquid chromatography (HPLC) saat ini semakin banyak digunakan dalam analisis pigmen karena lebih sensitif dalam mendeteksi pigmen turunan dibanding dengan metode spektrofotometri maupun fluorometri, yang dianggap menimbulkan under-estimation dalam analisis pigmen. Hal ini disebabkan oleh sifat klorofil-a yang sangat mudah terdegradasi pada saat proses diagenesis berlangsung. Namun demikian, analisis HPLC cenderung lebih mahal dibandingkan dengan kedua analisis lainnya, terutama untuk analisis yang bersifat rutin dan jumlah sampel sedikit. Pendekatan dengan metode spektrofotometri dan fluorometri masih layak digunakan apabila hasil yang diinginkan tidak untuk mengetahui konsentrasi jenis pigmen secara spesifik.
Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi produksi primer mikrofitobentos dan kontribusinya terhadap produksi primer perairan, serta menguraikan faktor-faktor yang melatarbelakangi besaran produksi primer di permukaan sedimen. Penelitian mengenai produksi primer dan komunitas mikrofitobentos penting dilakukan karena mikrofitobentos memiliki peranan dalam fiksasi karbon terutama di wilayah perairan dangkal, dimana substrat dasar masih menerima cahaya matahari sehingga fotosintesis dapat berlangsung, sehingga berperan dalam suplai makanan bagi organisme bentik lainnya . Agar hasil penelitian tidak mengalami bias, pengambilan sampel dilakukan di substrat perairan yang tidak ditumbuhi lamun maupun mangrove, sehingga nilai produksi primer dapat diasumsikan hanya berasal dari fotosintesis mikrofitobentos. Pemilihan lokasi pengambilan sampel juga dilakukan berdasarkan jarak tempuhnya dengan laboratorium untuk menjaga kondisi sampel yang harus selalu berada dalam kondisi beku hingga analisis dilakukan. Pulau Lancang dipilih mejadi lokasi studi karena letaknya yang relatif mudah dicapai dan cenderung mudah untuk menemukan substrat sedimen yang tidak ditumbuhi lamun atau mangrove. Alur pikir penelitian disajikan dalam bentuk bagan alir (Gambar 1).
Perumusan Masalah
Sistem biologi, terutama rantai makanan, di suatu perairan merupakan suatu sistem yang kompleks karena melibatkan banyak komponen. Semua komponen tersebut tersebar dari mulai permukaan hingga ke dasar perairan dan saling terkait satu sama lain. Meski penting, produktivitas primer di permukaan maupun kolom air tidak menjadi parameter tunggal yang dapat menggambarkan kondisi suatu perairan secara keseluruhan, karena di dalam sistem perairan yang kompleks tersebut penting pula diketahui ‘nasib’ ataufate dari produksi bahan organik oleh organisme fotosintetik (Kowalewska, 2005). Untuk memahaminya, diperlukan suatu pengetahuan mengenai komunitas mikrofitobentos, termasuk kontribusinya terhadap produktivitas primer perairan.
Berdasarkan pada kebutuhan tersebut, muncul beberapa pertanyaan yang ingin dicari solusinya melalui penelitian ini, yaitu:
dan bagaimana kontribusi produksi primer mikrofitobentos terhadap produksi primer perairan secara keseluruhan?
2. Bagaimana peranan mikrofitobentos dalam produksi primer perairan secara keseluruhan?
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk menduga kontribusi mikrofitobentos terhadap produksi primer perairan. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, yaitu:
1. Sebagai informasi dasar mengenai komunitas mikrofitobentos, khususnya di perairan Pulau Lancang, Kepulauan Seribu, dan kontribusinya dalam produktivitas primer perairan.
2. Sebagai referensi penelitian mengenai produksi primer organisme bentik di perairan, khususnya wilayah perairan dangkal.
3. Sebagai sarana pengembangan ilmu pengetahuan dan wawasan peneliti dalam mengembangkan teknik analisis pigmen yang merupakan metode alternatif studi organisme mikrofita.
Kerangka Pemikiran
Gambar 1 Alur pikir penelitian Wilayah Intertidal
Permukaan Kolom air Substrat
dasar
Fitoplankton Mikrofitobentos
Sampel air
Pengukuran Produktivitas Primer
(Metode Oksigen)
Sampel sedimen
Produksi Primer Fitoplankton dan Mikrofitobentos
Keluaran
Analisis Spektrofotometri Analisis
2. TINJAUAN PUSTAKA
Organisme Mikrofitobentik dan Karakteristik Habitatnya
Mikrofitobentos terdiri dari alga uniseluler dan sianobakter yang hidup di dasar laut, memiliki ukuran mikroskopis, dan mampu berfotosintesis (MacIntyre et al. 1996). Lalli dan Parsons (2004) menyebut organisme mikrofitobentik dengan istilah spesies epipsammic, yaitu produsen bentik yang hidup menempel pada butiran pasir atau membentuk hamparan di permukaan sedimen (substrat lumpur). Kelompok flora mikroskopis ini terdiri atas diatom pennate motile, alga hijau-biru, dan dinoflagellata. Organisme tersebut sering ditemukan dalam jumlah berlimpah. Walaupun ukurannya sangat kecil, peranannya sebagai produsen primer di perairan dangkal sangat penting.
Seperti fitoplankton pada umumnya, mikrofitobentos terdiri dari kelompokBaccilariophyceae, Chlorophyceae, Dinophyceae, dan Cyanobacteria (Aberle-Malzahn 2004), dimana spesies dari kelompok diatom lebih dominan (Blanchard et al. 2006). MacIntyre et al. (1996) mencatat beberapa penelitian sebelumnya mengenai distribusi mikrofitobentos dari kelompok diatom yang banyak ditemukan di substrat pasir dan hamparan lumpur (mudflat), sianobakter dan flagellata yang melimpah di habitat terlindung, serta dinoflagellata bentik yang menjadi organisme penting di sedimen laut tropis (Fenchel and Straarup 1971).
Kelompok mikrofitobentos memiliki heterogenitas spasial yang tinggi, yaitu suatu kelompok spesies yang memiliki jumlah individu banyak dan tersebar di suatu luasan area. Sebagian mikrofitobentos hidup menempel pada butiran pasir (epipsammon/epipsammic) atau bergerak bebas di permukaan lumpur halus (epipelon/epipelic) (Blanchardet al. 2006).
Sejumlah peneliti menyatakan bahwa kandungan klorofil-a di sedimen berlumpur cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan di substrat pasir. Cartaxanaet al. (2006) menyebutkan bahwa perbedaan karakteristik sedimen dapat menyebabkan perbedaan struktur komunitas mikroalga termasuk sianobakter. Mikrofitobentos menunjukkan bahwakomposisi pigmen dan spesies mikrofitobentos bisa bersifat site-specific, namun biomassa cenderung menunjukkan pola umum yang berkorelasi positif dengan tinggi pasang surut. Pola biomassa mikrofitobentos cenderung dikendalikan oleh paparan pasang surut, sedangkan keanekaragaman populasinya dikendalikan oleh tipe sedimen, dimana keanekaragaman yang lebih tinggi terdapat pada jenis sedimen berpasir (Jesus et al. 2009). Korelasi antara biomassa mikrofitobentos dengan pasang surut juga diamati oleh Blanchard et al. (2006), dimana terjadi peningkatan biomassa selama diurnal emersion dan penurunan biomassa selama periode immersion dan nocturnal emersion. Kromkamp and Forster (2006) menyatakan bahwa di sebagian besar estuari, biomassa mikrofitobentos menurun secara eksponensial menurut kedalaman selama periode pasang rendah (low tide).
untuk berfotosintesis dan sinar matahari menjadi faktor pembatas fotosintesis mikrofitobentos (MacIntyre et al. 1996). Keterbatasan intensitas sinar matahari menyebabkan stabilitas sedimen juga menjadi faktor penting yang mempengaruhi fotosintesis, karena kondisi sedimen yang stabil membuat mikrofitobentos lebih leluasa mendapatkan sinar matahari untuk melakukan fotosintesis (Parsons et al. 1977). Sedimen berpasir cenderung lebih stabil dalam merespon perubahan musiman dibandingkan sedimen berlumpur, dimana sedimen berlumpur lebih sering terpapar oleh disturbansi yang tidak terprediksi (Jesuset al. 2009).
Fakta lain menunjukkan bahwa komunitas mikrofitobentik yang ada pada sedimen berada pada kondisi keterbatasan nutrien (Jørgensen et al. 1979). Meski demikian, keterbatasan nutrien dapat disebabkan baik oleh akumulasi maupun tingkat-tingkat proses pada biomassa, dan bermacam faktor lain dalam sistem estuari yang mempengaruhi mikrofitobentos. Biofilm mikrofitobentos memiliki peran penting (juga sebagai pembatas) dalam pertukaran fluks nutrien antara fase air dan sedimen, serta efisiensi proses bakteri (bacterial processes). Pada sistem estuari yang miskin hara, pelepasan hara dari fase sedimen ke kolom air bisa menurun disebabkan adanya pemanfaatan nutrien oleh mikrofitobentos, dan dampaknya akan lebih nyata saat sedimen terendam dan cahaya tersedia, seperti yang terjadi di wilayah estuari mikrotidal (Underwood and Kromkamp 1999).
Produktivitas Primer Mikrofitobentos
Produktivitas primer fitoplankton pelagis dan mikroalga bentik di estuari menjadikan wilayah ini sebagai ekosistem yang paling produktif dibandingkan ekosistem lain di seluruh dunia (Kromkamp and Forster 2006). Pada wilayah pesisir tanpa vegetasi, mikrofitobentos merupakan produsen utama yang sangat penting (Moreno-Garrido et al. 2009), terutama sebagai sumber makanan bagi zoobenthos (de Jonge and van Beusekom 1992), bahkan ikut menentukan siklus pertumbuhan dan reproduksi bivalvia intertidal (Kang et al. 2006). Meskipun estimasi mengenai seberapa besar kontribusi mikrofitobentos terhadap total produksi estuari bisa berbeda-beda di setiap lokasi, secara umum dapat dikatakan bahwa aktifitas mikrofitobentik memiliki peran penting di dalam sistem estuari (Underwood and Kromkamp, 1999). Lalli and Parsons (2006) menyatakan bahwa produktivitas primer di substrat berpasir hanya sebesar 10 g C/m2/tahun, namun di area hamparan lumpur bisa mencapai 230 g C/m2/tahun, dan pada skala global, produktivitas flora bentik hanya mencapai 10% dari total produktivitas primer lautan. Menurut Barranguet et al. (1997) kontribusi mikrofitobentos mencapai lebih dari sepertiga total fiksasi karbon dalam suatu estuari. Di perairan dangkal, produksi primer oleh mikrofitobentos mencapai 50% dari total produktivitas primer (Moreno-Garrido et al. 2009), dan di beberapa habitat, produktivitas primer di permukaan sedimen lebih besar dibanding di laut terbuka yang ada di perairan tersebut. Hasil penelitian di tiga estuari di Afrika Selatan, menunjukkan bahwa rerata produksi mikrofitobentos mencapai 1 – 3 kali lebih besar dibandingkan produksi fitoplankton (Perissinottoet al. 2003).
primer dan sekunder. Meski demikian, produksi di ekosistem bentik memiliki fraksi yang lebih signifikan dibanding produksi di kolom air. Siklus tahunan mikrofitobentos sering menunjukkan puncak produktivitas saat musim semi atau musim panas, dimana produktivitas primer kotor (gross primary productivity) mikrofitobentos di sedimen berlumpur cenderung lebih tinggi dibandingkan di sedimen berpasir (MacIntyreet al. 1996).
Produktivitas primer mikrofitobentos merupakan fungsi dari biomassa, karakteristik fotosintesis, dan karakteristik sedimen (ketersediaan nutrien dan ketebalan sedimen yang dapat ditembus cahaya). Meski demikian, total produksi primer tidak semata tergantung pada produktivitas, melainkan juga terhadap waktu paparan mikrofitobentos di zona intertidal, tranparansi air (untuk kasus fotosintesis di zona terendam), dan migrasi vertikal diatom yang dipengaruhi oleh pasang surut dan sudut datang cahaya matahari (Pinckney and Zingmark 1991; Kromkamp and Forster 2006).
Pengukuran Produktivitas Primer Mikrofitobentos
Penelitian mengenai produktivitas primer telah dilakukan dengan menggunakan berbagai teknik dan metode. Seperti pada pengukuran produktivitas yang biasa dilakukan di kolom air, produktivitas primer mikrofitobentos dapat dihitung menggunakan tiga prinsip utama; yaitu pengukuran berbasis oksigen (botol gelap-botol terang), pengikatan karbon (umumnya menggunakan radioaktif
14
C), dan pengukuran fluorosensi (Kromkamp and Forster 2006).
Pengukuran berbasis oksigen umumnya dilakukan melalui metode bell jar atau benthic chamber (Lindeboom et al. 1985; Hendrarto dan Nitisuparjo 2011), dan mikroelektroda (Revsbech et al. 1981; Krompkamp et al. 1995) serta optoda (Gludet al. 1999) untuk mendapatkan profil oksigen. Optoda mendeteksi oksigen dengan chromopohore (kumpulan atom dan elektron yang membentuk suatu bagian dari molekul organik yang menyebabkan molekul tersebut memiliki warna) khusus yang kemudian mengemisikan cahaya, dan cahaya tersebut dideteksi oleh sebuah sensor. Pendekatan mikrosensor seperti mikroelektroda oksigen dan optoda lebih akurat dalam menggambarkan dan mengkuantifikasi fotosintesis serta proses-proses yang berkaitan pada komunitas bentik. Meski demikian, ekstrapolasi spasial dan temporal dari pengukuran titik tunggal pada sedimen subtidal yang heterogen merupakan hal yang sangat rumit (Glud 2006). Metode berbasis oksigen lainnya yaitu inkubasi botol gelap-botol terang dilakukan oleh Urban-Malinga and Wiktor (2003) di permukaan sedimen untuk mengukur pertukaran oksigen selama periode fotosintesis.
tidak mudah mengukur aktivitas spesifik karbon inorganik terlarut (dissolved inorganic carbon) pada lapisan tipis tempat fotosintesis pada mikrofitobentos berlangsung. Permasalahan ini membuat teknik14C tidak cocok digunakan untuk menghitung parameter fotosintesis mikrofitobentos (Underwood and Kromkamp 1999).
Penggunaan radioaktif 14C juga diterapkan melalui teknik slurry. Slurry adalah istilah untuk cairan yang sangat tebal dan pekat seperti lumpur atau adonan semen. Pada teknik ini, irisan teratas dari sedimen coredilarutkan dengan air laut yang telah difilter. Slurry lalu diinkubasi dalam photosynthetron dengan konsentrasi bikarbonat (yang telah diberi label 14C) tertentu dan kemudian dihitung 14C yang tersisa setelah inkubasi selesai (Kromkamp and Froster 2006). Teknik ini dinilai menghasilkan besaran parameter fotosintesis yang reliable meskipun tidak dapat menggambarkan profil gradien karbon sedimen karena lapisan-lapisan pada sampel sedimen sudah tercampur (Underwood and Krompkamp 1999).
Pengukuran fotosintesis dengan metode fluorosensi saat ini semakin banyak diaplikasikan pada studi mikrofitobentos (Barranguet and Kromkamp 2000; Perkins et al. 2002; Serodio 2004). Sifat fluorometer yang non-intrusive dan relatif mudah digunakan (portable) memudahkan pengukuran klorofil terutama secarain situ. Prinsip kerja fluorometri klorofil adalah menghitung laju transport elektron fotosintetik (electron transport rate - ETR) pada organisme, namun dalam kasus biofilm mikrofitobentos, rentang waktu migrasi vertikal yang sangat pendek mempengaruhi absortivitas biomassa, dan pada akhirnya dapat mengurangi keakuratan kalkulasi.
Estimasi Biomassa Mikrofitobentos
Selain mengukur parameter fotosintesis seperti karbon dan oksigen, pengukuran produktivitas primer mikrofitobentos juga melibatkan identifikasi biomassa. Biomassa mikrofitobentos, sebagai salah satu unsur penting dalam produktivitas primer, umumnya dihitung dengan mengambil sampel sedimen menggunakansediment core kecil (Barranguet et al. 1997), cawan petri (Brito et al. 2009a), maupun alat suntik (syringe) dengan berbagai diameter (Urban-Malinga dan Wiktor 2003; Grinhamet al. 2007).
fitoplankton pada sampel air, sebagai suplemen maupun alternatif dari identifikasi mikroskop (Tester et al. 1995). Jenis-jenis pigmen yang dimiliki fitoplankton dijabarkan oleh Parsonset al. (1977) dalam Tabel 1.
Analisis pigmen umumnya dilakukan dengan tiga cara, yaitu spektrofotometri, fluorometri, dan kromatografi. Prinsip kerja ketiga metode tersebut hampir sama, yaitu menggunakan panjang gelombang tertentu untuk ‘membaca’ reflektansi pigmen alga. Dewasa ini, metode kromatografi (terutama kromatografi performa tinggi – high performance liquid chromatography) semakin banyak digunakan dalam identifikasi takson alga (Mackey et al. 1996; Brotas dan Plante-Cuny 2003) karena memiliki akurasi lebih tinggi dibanding dua metode lainnya. Produk degradasi chlorophyllide a memiliki karakteristik absorbansi dan fluorosens yang identik dengan klorofil a, sehingga sulit dibedakan oleh fluorometri (MacIntyre et al. 1996) sehingga menyebabkan over-estimasi. Over-estimasi klorofil a melalui metode spektrofotometri dan fluorometri dapat mencapai 35-40% (Riaux-Gobin et al. 1987). Pada metode HPLC, setiap unsur dalam suatu campuran dipisahkan berdasarkan waktu elusi (titik dimana sinyal muncul di layar), sedangkan luas area serta tinggi sinyal tersebut menunjukkan proporsi jumlah zat terkait, sehingga diperoleh hasil berupa data kualitatif maupun kuantitatif (Meyer 2010).
Tidak seperti metode HPLC yang melibatkan pemisahan pigmen, metode spektrofotometri memiliki kekurangan dalam mendeteksi jenis pigmen klorofil secara spesifik (klorofil a, b, c1, c2) dan pigmen turunannya (pheophytin,
Tabel 1 Pigmen pada fitoplankton bahari
3. BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian lapangan dilakukan sebanyak dua kali yaitu pada bulan Mei dan Juli 2012, yang meliputi pengukuran produksi primer secara in situ, pengukuran dan pengamatan parameter fisika perairan, pengambilan sampel klorofil, serta koleksi fitoplankton pelagis. Titik sampling terletak di perairan Pulau Lancang, Kepulauan Seribu, pada koordinat 5o56' 4"LS dan 106o35' 29" BT (Gambar 2).
Gambar 2 Peta lokasi penelitian
Analisis sampel klorofil dilakukan di Laboratorium Produktivitas Lingkungan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB. Sampel nutrien berupa nitrat dan fosfat dilakukan di Laboratorium Produktivitas, Puslit Oseanografi LIPI Ancol, sedangkan analisis butiran sedimen dilakukan di Laboratorium Lingkungan Akuakultur FPIK IPB.
Penentuan Stasiun Pengamatan
Pengambilan Data
Pengukuran Kualitas Air
Untuk mendapatkan gambaran umum perairan, dilakukan pengukuran parameter salinitas, pH, suhu, intensitas cahaya, dan fraksinasi sedimen. Sampel nutrien berupa nitrat dan fosfat diambil dari permukaan air dan permukaan sedimen untuk melihat perbedaan konsentrasi nitrat dan fosfat di kedua media. Dokumentasi peralatan yang digunakan selama penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1.
Tabel 2 Parameter dan alat ukur yang digunakan
Parameter Alat Unit
Fraksi sedimen Sekop, saringan bertingkat %
Pengukuran Produktivitas Primer di Permukaan Air
Pengukuran produktivitas primer berdasarkan prinsip perubahan konsentrasi oksigen terlarut dilakukan secara in situ dengan teknik botol terang-botol gelap. Prinsip kerja metode ini adalah mengukur perbedaan konsentrasi oksigen dalam botol sebelum dan sesudah inkubasi. Inkubasi dilakukan di permukaan air pukul 10.00 – 14.00 WIB setiap harinya selama tiga hari berturut-turut di lokasi yang sama, dan pengukuran konsentrasi oksigen terlarut dilakukan dengan menggunakan elektrodadissolved oxygen meter(DO meter).
Produktivitas primer bersih dari nilai oksigen terlarut dikonversi ke dalam satuan mg C m-3 jam-1melalui persamaan (1) dan (2) yang merupakan modifikasi dari APHA (2005):
NPP=( ) . ……… (1)
GPP=( ) . ……… (2)
dimana:
NPP = Produktivitas primer bersih (mg C m-3jam-1) GPP = Produktivitas primer kotor (mg C m-3jam-1)
O2BT = Oksigen pada botol terang (BT) akhir setelah inkubasi (mg/l) O2BA = Oksigen pada botol terang awal (BA) (mg/l)
t = Waktu inkubasi (jam) 1000 = Konversi liter menjadi m3
0.375 = Koefisien konversi oksigen menjadi karbon (12/32)
Nilai GPP digunakan dalam penghitungan rasio produksi:biomassa (P/B ratio) untuk mendapatkan indeks asimilasi fotosintesis. Pada indeks ini, pertumbuhan fitoplankton digambarkan melalui jumlah karbon (dalam satuan mg) yang diproduksi oleh setiap mg klorofil-a setiap jam.
Pengukuran Produksi Primer Mikrofitobentos
Produksi primer mikrofitobentos diukur dengan pendekatan metode botol terang-gelap seperti yang umum digunakan pada media air. Melalui metode ini, lapisan teratas sedimen tempat hidup mikrofitobentos diinkubasi dengan ditambahkan air laut setempat yang sebelumnya telah disaring, dan mengukur perubahan oksigen yang terjadi pada air tersebut setelah diinkubasi selama empat jam (Urban-Malinga dan Wiktor 2003).
Sedimen sebanyak 10 cm3diambil dengansyringe yang telah dilubangi dan dituang kedalam botol Winkler bervolume 125 cm3(botol gelap dan botol terang), kemudian diisi sampai penuh dengan air laut setempat yang telah disaring dengan kertas saring Durapore 0.2 µm, dengan asumsi tidak ada lagi mikroorganisme yang tertinggal. Perlakuan botol gelap dilakukan dengan cara membungkus botol dengan alumunium foil dan plastikpolybag.
Prinsip kerja yang dilakukan serupa dengan pengukuran produksi primer air, yaitu mengukur perbedaan oksigen sebelum dan sesudah diinkubasi selama 4 jam. Namun pada pengukuran produksi primer sedimen, sampel diinkubasi di sedimen dengan cara “ditanam” kira-kira 3 cm dari permukaan sedimen. Setelah 4 jam, konsentrasi oksigen diukur dengan DO meter, dan produksi karbon dihitung dengan menggunakan persamaan (1) seperti produktivitas primer air.
Perbandingan Produktivitas Primer Permukaan Air dan Sedimen
Perbandingan antara produktivitas primer permukaan air dan sedimen dilakukan dengan cara menghitung nilai produktivitas primer pada transek 1 meter x 1 meter. Ketebalan kolom air adalah 80 cm sedangkan ketebalan permukaan sedimen adalah 2 mm, dengan asumsi bahwa intensitas cahaya bagi fotosintesis mikrofitobentos optimum pada ketebalan tersebut. Nilai akhir produktivitas primer setiap komponen akan dikonversi kedalam satuan mg C m-2jam-1.
Pengambilan Sampel dan Analisis Klorofil Air
disimpan dalam freezer bersuhu -20oC dan dibungkus dengan aluminium foil. Setelah 24 jam, ekstrak lalu disentrifugase selama 30 menit. Selanjutnya klorofil ekstrakdiukur dengan spektrofotometer pada lima panjang gelombang yaitu 630 nm, 647 nm, 664 nm, dan 750 nm. Estimasi klorofil-a dengan metode spektrofotometri menggunakan persamaan trikromatik (2) yang mengacu pada Jeffrey dan Humphrey (Arar, 1997), yaitu:
CE,a= 11.85 (Abs 664) - 1.54 (Abs 647) - 0.08 (Abs 630)…………. (3)
dimana:
CE,a= konsentrasi (mg/L) chl-a di dalam ekstraksi
Abs 664 =absorbansi sampel pada panjang gelombang 664 nm Abs 647 =absorbansi sampel pada panjang gelombang 647 nm Abs 630 =absorbansi sampel pada panjang gelombang 630 nm
Untuk menghitung konsentrasi pigmen dalam keseluruhan sampel air, digunakan persamaan berikut:
=
, ( )( ) ……… (4)
dimana:
Cs= konsentrasi (mg/l) pigmen dalam keseluruhan sampel air
CE,a= konsentrasi (mg/l) pigmen dalam ekstrak yang diukur pada kuvet Le= volume ekstrak (l)
DF=dilution factor(jika ada)
Ls= volume air sampel yang disaring (l), dan Lc= panjang jalur optik kuvet (1 cm)
Pengambilan Sampel dan Analisis Klorofil Sedimen
Lapisan teratas dari permukaan sedimen diambil sebanyak 10 cm3 menggunakansyringe yang dipotong bagian ujungnya, kemudian dimasukkan ke dalam plastik dan dibungkus alumunium foil agar terlindung dari cahaya. Sampel segera disimpan dalam keadaan beku dan dibawa ke laboratorium menggunakan coolboxdalam kondisi terlindung dari cahaya dan suhu tinggi.
Koleksi Fitoplankton Pelagis
Koleksi sampel fitoplankton dilakukan dengan menyaring air sebanyak 100 liter menggunakan jaring fitoplankton yang memiliki mata jaring berukuran 40 µm. Sampel fitoplankton kemudian disimpan di dalam botol sampel, diberi pengawet lugol, dan dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi menggunakan mikroskop.
Analisis Data
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Kondisi Umum Lokasi Sampling
Pulau Lancang merupakan salah satu pulau yang terdapat di bagian tengah gugus Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Pulau Lancang terdiri dari dua bagian yaitu Pulau Lancang Besar (05° 55' 41'' - LS 106˚ 35’ 07’’ BT) seluas 15,13 Ha yang dihuni penduduk, dan Pulau Lancang Kecil (05° 56' 14'' LS - 106˚ 35’ 40’’ BT) yang tidak berpenghuni. Salah satu ekosistem mangrove di Kepulauan Seribu terdapat di Pulau Lancang Kecil yang memiliki luasan total 11,03 Ha. Perairan Pulau Lancang merupakan area budidaya kerapu (Epinephelus sp) dan baronang (Siganus sp), serta cumi-cumi (Sepia sp). Berdasarkan keterangan warga setempat, Pulau Lancang pernah menjadi sentra pembibitan rumput laut di Kepulauan Seribu, namun akibat pencemaran air yang semakin parah, kualitas air di Pulau Lancang tidak lagi memenuhi kriteria untuk budidaya rumput laut. Hal ini tampak jelas dari timbunan sampah yang terdampar di pinggir pantai dan warna air yang keruh. Ekosistem terumbu karang pun sangat jarang dijumpai di perairan Pulau Lancang.
Pengambilan sampel dilakukan di perairan sekitar Pulau Lancang Kecil, karena wilayah tersebut memiliki substrat pasir dan jarang terdapat hamparan lamun. Kedalaman lokasi sampling kurang dari satu meter, sehingga cahaya matahari masih dapat berpenetrasi dengan baik sampai ke dasar perairan. Secara visual, substrat dasar berwarna kehijauan dan bisa dilihat dengan sangat jelas dari permukaan air. Pengukuran pH dan salinitas perairan dilakukan pada setiap awal dan akhir eksperimen, dan diperoleh nilai pH pada kisaran 7.86 –8.26 sementara salinitas berkisar antara 29-30 ‰.
Karakteristik substrat di lokasi penelitian menunjukkan bahwa susunan sedimen didominasi oleh pasir (Tabel 3). Substrat pasir merupakan salah satu indikator kejernihan perairan dikarenakan pasir memiliki massa jenis yang lebih besar dibandingkan lumpur atau lempung, sehingga turbulensi massa air tidak mudah menyebabkan resuspensi pada pasir jika dibandingkan dengan lumpur atau lempung. Selain itu, jenis sedimen juga dapat menggambarkan konsentrasi oksigen dan ketersediaan materi organik. Pada substrat berbutir kasar (pasir), konsentrasi oksigen lebih tinggi dibanding substrat halus (lumpur dan lempung) karena pada substrat pasir lebih banyak terdapat pori-pori yang mempermudah terjadinya difusi oksigen. Sebaliknya, ketersediaan bahan organik pada substrat halus lebih tinggi dibanding substrat lumpur dan lempung karena materi organik lebih mudah terperangkap oleh partikel sedimen dibandingkan oleh partikel pasir.
Tabel 3 Hasil analisis butiran sedimen
Tekstur (%) Pasir Debu Liat
99.17 0.68 0.15
Kandungan air 30.75%
Berat basah 50.92 gram
Produktivitas Primer Permukaan Air dan Sedimen
Berdasarkan hasil pengukuran dari dua kali kunjungan lapang, diperoleh nilai produktivitas primer bersih (NPP/net primary productivity) di permukaan air dan sedimen yang disajikan pada Tabel 4. Pada beberapa kali ulangan, hasil pengukuran produksi primer bersih di permukaan air menunjukkan nilai negatif, yang berarti bahwa pemanfaatan oksigen untuk respirasi lebih tinggi dibanding produksi oksigen dari fotosintesis, dan nilai nol, yang berarti bahwa tingkat produksi sama dengan respirasi. Nilai produksi primer bersih maksimum di permukaan air adalah 46,88 mg C m-3jam-1(produksi negatif) dan minimum 0 mg C m-3 jam-1.Sementara itu, pada semua ulangan pengukuran yang dilakukan di permukaan sedimen, produksi primer bersih menunjukkan nilai positif yang berkisar antara 15,62 –85,94 mg C m-3 jam-1. Nilai yang ditampilkan pada Tabel 4 adalah berdasarkan perubahan oksigen yang terjadi dalam setiap botol sampel.
Kondisi Lingkungan Saat Pengamatan
Produktivitas primer mikrofitobentos dipengaruhi oleh parameter lingkungan seperti suhu dan intensitas cahaya serta ketersediaan nutrien. Pada perairan dalam, stratifikasi dan pencampuran vertikal sangat mungkin pula mempengaruhi produksi primer mikrofitobentos (Underwood and Kromkamp 1999).
Suhu
Selama penelitian, parameter suhu diukur pada permukaan air dan permukaan sedimen masing-masing dua kali, yaitu saat awal inkubasi (pukul 10.00 WIB) dan akhir inkubasi sampel produksi primer (pukul 14.00 WIB). Suhu permukaan air yang terukur pada awal inkubasi berada pada kisaran 29.2 – 35.9
o
C, sementara suhu permukaan sedimen di awal inkubasi berkisar antara 30.4 – 30.7oC (Tabel 5). Data fluktuasi suhu selama penelitian disajikan pada Lampiran 2.
Secara umum suhu menunjukkan nilai yang normal untuk perairan tropis. Suhu optimum untuk fotosintesis secara umum bervariasi menurut lokasi (derajat lintang) dan spesies fitoplankton, namun dari beberapa studi mengenai efek suhu terhadap laju pertumbuhan fitoplankton, Eppley (1972) menemukan bahwa laju pertumbuhan maksimum alga berada pada kisaran suhu 0 – 40 oC (pada kondisi penyinaran kontinyu). Steeman-Nielsen (1960) dalam Eppley (1972) menyatakan bahwa pengaruh suhu terhadap produktivitas di laut tidaklah signifikan. Meski demikian, suhu mempengaruhi reaksi biokimia dalam sel fitoplankton yang pada akhirnya berpengaruh pula aktivitas fotosintesis (Harper 1992).
Tabel 5 Suhu permukaan air dan permukaan sedimen selama penelitian Hari ke- Suhu permukaan air (oC) Suhu permukaan sedimen (oC)
Awal Akhir Awal Akhir
matahari langsung untuk daerah tropis pada tengah hari kira-kira 1700 μ mol. photons m-2s–1(http://www.marine.csiro.au/).
Pada penelitian ini intensitas cahaya diukur pada permukaan air dan permukaan sedimen, masing-masing di awal dan akhir inkubasi sampel produksi primer. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa intensitas cahaya di permukaan sedimen berkisar antara 13-70% dari intensitas cahaya di permukaan air, dengan rerata sebesar 33%. Variasi pada nilai intensitas cahaya ditentukan oleh kondisi cuaca, khususnya keberadaan awan. Berdasarkan pengamatan secara visual, kondisi cuaca selama penelitian dapat dikatakan sangat cerah dan hanya tampak sedikit awan sehingga menyebabkan intensitas matahari yang tinggi. Ringkasan data hasil perekaman intensitas cahaya disajikan pada Tabel 6, sementara data fluktuasi intensitas cahaya selama penelitian disajikan pada Lampiran 2.
Tabel 6 Intensitas cahaya
Hari ke- I air (Lux) I sedimen (Lux)
Awal Akhir Awal Akhir
1 108702 62829 43654 44523
2 112050 122094 45468 40392
3 37315 21152 4834 5306
4 42450 27592 7604 6452
Seperti halnya suhu, intensitas cahaya optimum bagi fotosintesis dapat bervariasi menurut kelompok atau spesies alga dan lintang habitatnya (Parsons et al. 1977). Pada umumnya, eksperimen untuk mengetahui pengaruh intensitas cahaya terhadap laju fotosintesis fitoplankton dilakukan pada skala laboratorium dan menggunakan alga unikultur. Berdasarkan eksperimen yang dilakukan oleh Steeman-Nielsen and Jensen (1957) saat Ekspedisi Galathea, fotosintesis maksimum di perairan laut tropis terjadi pada kisaran intensitas cahaya antara 25000 – 30000 lux. Sebagai pembanding, beberapa penelitian mengenai korelasi antara intensitas cahaya dengan produktivitas primer di perairan Indonesia disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7 Hubungan antara produktivitas primer dan intensitas cahaya
Lokasi PP
(mg C m-3jam-1)
Intensitas* (lux)
Kedalaman* Sumber
Teluk Hurun 36.75–52.87 103067 5 m Tambaru, 2000
Teluk Hurun 31.8–95.31 87000 4 m Sunarto, 2001
Kandungan Nutrien
Data konsentrasi nutrien yang diperoleh saat penelitian kemudian dibandingkan dengan data kualitas perairan Pulau Lancang pada tahun 2006 (Setiawan 2006; hanya untuk permukaan air) dan klasifikasi status trofik perairan berdasarkan Ignatiades et al. (1992).Berdasarkan klasifikasi status trofik oleh Ignatiades et al., baik permukaan air maupun permukaan sedimen di lokasi sampling tergolong eutrofik. Hasil pengukuran konsentrasi nitrat dan fosfat di sedimen ditunjukkan pada Tabel 8.
Tabel 8 Konsentrasi nitrat dan fosfat di lokasi penelitian Parameter
Nutrien
2012 2006* Status Trofik
Perm. Sedimen Perm. Eutrofik Mesotrofik Oligotrofik Nitrat
(mg/L)
0.02 0.06 0.64 0.007 0.005 0.001
Fosfat (mg/L)
0.01 0.05 0.48 0.011 0.003 0.003
*Sumber: Setiawan 2006
Konsentrasi Klorofil-a di Permukaan Air dan Sedimen
Konsentrasi klorofil merupakan salah satu proksi untuk menduga tingkat kesuburan perairan selain konsentrasi nutrien. Lalli and Parsons (2006) menggolongkan status trofik perairan berdasarkan konsentrasi klorofil, yaitu perairan oligotrofik dengan konsentrasi klorofil (di permukaan air) kurang dari 0.05 µg l-1, perairan eutrofik dengan konsentrasi klorofil permukaan pada kisaran 1 – 10 µg l-1, dan perairan mesotrofik dengan konsentrasi klorofil diantara nilai-nilai tersebut. Mengacu pada klasifikasi oleh Lalli and Parsons, maka perairan di lokasi studi termasuk dalam status mesotrofik dengan kisaran konsentrasi 0,339-0,544 µg l-1.
Rasio P/B atau indeks asimilasi dihitung berdasarkan nilai GPP dan konsentrasi klorofil-a sebagai indikator biomassa fitoplankton dan mikrofitobentos. Mengacu pada Tabel 9, konsentrasi klorofil-a di sedimen mencapai hampir 106 kali konsentrasi klorofil-a di permukaan air, namun rasio P/B fitoplankton lebih tinggi dibandingkan dengan mikrofitobentos.
Tabel 9 Konsentrasi chl-a di permukaan air dan sedimen Hari
ke-Klorofil (mg l-1) Rasio P/B (mg C [mg Chl-a]-1jam-1) Permukaan air Sedimen Permukaan air Sedimen
1 0.000339 4496.08 53.77 0.70
2 0.000475 8937.12 35.64 1.52
3 0.000407 4674.96 99.18 1.95
Kelimpahan Fitoplankton Pelagis
Berdasarkan hasil pencacahan, komposisi fitoplankton permukaan terdiri dari tiga kelompok utama, yaitu Cyanophyceae, Bacillariophyceae, dan Dinophyceae dengan rerata kelimpahan setiap kelompok berturut-turut adalah 276023 sel/m3, 67769 sel/m3, dan 1069 sel/m3.Kelimpahan setiap kelompok fitoplankton disajikan melalui Tabel 10.
Tabel 10 Hasil pencacahan fitoplankton pelagis di lokasi studi
Kelompok Genus Kelimpahan (sel/m
3 )
1 2 3
Cyanopyhceae Trichodesmiumsp. 130326 67769 218145
Merismopediasp. 205313 0 205313
Spirulinasp. 0 1203 0
Bacillariophyceae Chaetocerossp. 4010 802 0
Fragilariasp. 3609 3208 1203
Dynophyceae Peridiniumsp. 0 2807 401
Jumlah Taksa 17 26 18
Kelompok Genus Kelimpahan (sel/m 3
)
1 2 3
Rerata 276023 67769 1069
Kelimpahan fitoplankton pelagis didominasi oleh kelompok Cyanobacteria, khususnya genus Trichodesmium sp (Gambar 3). Cyanobacteria atau sianobakter merupakan jenis alga yang memiliki hubungan kekerabatan sangat dekat dengan bakteri, khususnya bakteri fotosintetik. Trichodesmium sp. dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap produktivitas primer di perairan laut (Carpenteret al. 2004).Hasil penelitian Moore et al. (2003) dan Sediadi (2004) di Laut Banda memperlihatkan bahwaTrichodesmiumsp. dominan pada saat Musim Peralihan.
Pembahasan
Pengambilan Sampel Produksi Primer Mikrofitobentos
Metode estimasi produksi primer dengan pengukuran oksigen menggunakan botol terang dan botol gelap masih relevan dan dianggap sebagai salah satu metode baku untuk pengukuran di permukaan atau kolom air. Hal ini tidak sulit dilakukan, terutama dengan bantuan DO (dissolved oxygen) meter yang mempercepat proses pengukuran oksigen. Di sisi lain, pengukuran produktivitas primer mikrofitobentos yang dilakukan dengan metode oksigen botol terang dan botol gelap justru cenderung memakan waktu (time consuming), terutama saat akan memulai proses inkubasi. Sampel sedimen yang akan diinkubasi harus diambil tepat pada saat inkubasi akan dilaksanakan agar kondisinya tidak berubah, dan harus dilakukan dengan sangat hati-hati agar hanya lapisan teratasnya saja yang terambil. Pengambilan sampel dengan syringepada praktiknya lebih mudah digunakan pada lokasi studi dengan substrat yang selalu tergenang.
Hal lain yang patut diperhatikan dalam pengukuran produktivitas primer dengan metode oksigen adalah gangguan pada sampel sedimen. Meskipun dilakukan dengan sangat hati-hati, pengambilan sampel oleh syringe dan pemindahan sampel ke botol terang/botol gelap tetap membuat sedimen terganggu. Oleh sebab itu, inkubasi dilakukan setelah memastikan kestabilan sedimen di dasar botol (Urban-Malinga (2012, komunikasi pribadi).
Gambar 3 Komposisi kelompok fitoplankton pelagis
Produksi Primer Permukaan dan Bentik
Produksi primer tidak semata-mata terkait dengan fotosintesis karena segolongan organisme seperti bakteri kemosintetik mensintesis bahan organik bukan melalui proses fotosintesis (Nybakken and Bertness 2005). Meski demikian, fotosintesis adalah proses utama dalam produksi bahan organik bagi sebagian besar organisme autotrof, sehingga studi produktivitas primer hampir selalu dikaitkan dengan fotosintesis. Pada penelitian ini, estimasi produksi primer didasarkan pada proses fotosintesis dengan cara mengetahui selisih antara jumlah oksigen sebelum fotosintesis dengan sesudah fotosintesis.
Berdasarkan nilai produksi primer yang diperoleh dari hasil penelitian di Pulau Lancang, Kepulauan Seribu, produksi primer mikrofitobentos menunjukkan kecenderungan nilai yang lebih tinggi dibandingkan produksi primer di permukaan air. Bahkan pada eksperimen di hari ketiga, nilai produksi primer bersih yang dihasilkan di sedimen mencapai 29 kali lipat dibandingkan produksi primer bersih di permukaan air. Perbandingan antara nilai produksi primer di permukaan air dengan di sedimen dapat dilihat pada Gambar 4. Nilai produksi primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah nilai produksi primer bersih karena bertujuan untuk mengetahui seberapa besar hasil fotosintesi yang diproduksi oleh fitoplankton, baik fitoplankton pelagis maupun bentik.
Pada beberapa ulangan eksperimen di permukaan air, muncul nilai produksi primer yang negatif. Hal ini terjadi karena konsentrasi oksigen setelah inkubasi lebih rendah dibandingkan sebelum inkubasi, atau dalam istilah produktivitas primer, laju respirasi lebih tinggi daripada laju produksi. Beberapa kemungkinan penyebab terjadinya produksi negatif adalah (1) jumlah organisme yang bersifat heterotrof lebih banyak dibanding organisme autotrof, dan (2) adanya laju respirasi bakteri (bacterial respiration) yang lebih tinggi dibanding laju produksi
oleh fitoplankton, seperti yang diamati oleh del Giorgioet al. (1997). Menurut del Giorgio et al., respirasi bakteri yang melebihi produksi fotosintesis umumnya terjadi pada perairan yang tidak produktif, yaitu perairan dengan produktivitas primer kurang dari 100 μ g C L-1hari-1. Jumlah organisme heterotrof yang terdapat pada sampel dengan nilai poduksi primer negatif kemungkinan lebih banyak dibanding jumlah organisme autotrof, sehingga laju pemanfaatan oksigen untuk respirasi dan metabolisme lebih tinggi dibanding laju produksi oksigen.
(a) (b)
(c) (d)
(e)
Gambar 4 Produksi primer di permukaan air ( ) dan sedimen ( ); (a) hari ke-1; (b) hari ke-2; (c) hari ke-3; (d) hari ke-4; (e) rerata produktivitas primer selama 4
Klorofil-a merupakan unsur yang dapat digunakan untuk mengestimasi biomassa fitoplankton di suatu perairan. Berdasarkan konsentrasi klorofil-a yang diperoleh dapat diasumsikan bahwa jumlah biomassa mikrofitobentos lebih besar dibanding biomassa fitoplankton pelagis. Jumlah biomassa yang lebih tinggi di sedimen kemungkinan disebabkan oleh variasi komposisi kelompok mikroalga yang berasosiasi dengan butiran sedimen. Komposisi mikrofitobentos terdiri dari fraksi epipsammic (non-motile) dan epipelic (motile), yang memiliki strategi ekologi berbeda (Barranguet et al. 1998). Fraksi epipsammic beranggotakan kelompok diatom dan dinoflagellata yang memiliki motilitas rendah dan melekat kuat pada butiran sedimen, sedangkan fraksi epipelic bersifat motil, sehingga dapat bermigrasi secara vertikal di dalam kolom sedimen. Fraksi ini memperoleh keuntungan dari kemampuan migrasi tersebut, yaitu untuk mencegah dirinya dari dampak photoinhibition, serta mendapat akses yang lebih besar terhadap nutrien di lapisan sedimen. Sementara itu, fitoplankton pelagis tidak memiliki komponen epipelic dan epipsammic karena semua fitoplankton di permukaan dan kolom air mengapung dan tidak melakukan pergerakan aktif.
Pendugaan biomassa mikrofitobentos melalui analisis pigmen banyak dilakukan karena lebih praktis dibanding metode pencacahan dengan mikroskop. Data klorofil-a mikrofitobentos pada prinsipnya dapat digunakan untuk menduga besaran kontribusi mikrofitobentos tersuspensi terhadap total biomassa fitoplankton pelagis di suatu perairan, namun dibutuhkan data pendukung lain seperti kecepatan angin efektif dan fraksi resuspensi dari total mikrofitobentos (De Jonge and von Beusekom 1992). Di sisi lain, belum ditemukan referensi mengenai pendugaan biomassa dan komposisi mikrofitobentos berdasarkan data biomassa atau komposisi fitoplankton pelagis. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa biomassa dan komposisi mikrofitobentos tidak dapat diduga menggunakan data kelimpahan fitoplankton pelagis.
Hal yang harus diperhatikan untuk memperoleh dugaan biomassa mikrofitobentos yang akurat adalah disain pengambilan sampel serta perlakuan ekstraksi. Grinham et al. (2007) merekomendasikan, pengambilan sampel sedimen setebal 2 cm dilakukan dengan corer berdiameter 19 mm untuk mereduksi degradasi klorofil-a. Sedangkan untuk mendapatkan ekstrak klorofil-a maksimum, rasio antara sampel dan volume pelarut ekstraksi sekurang-kurangnya 1:2. Buffan-Dubau and Carman (2000) merekomendasikan agar sampel sedimen dibeku-keringkan sebelum diekstrak, karena sampel dalam bentuk kering menghasilkan nilai konsentrasi pigmen yang lebih tinggi dibandingkan sampel basah (raw sediment). Proses beku-kering penting untuk dilakukan dalam analisis pigmen dengan metode high performance liquid chromatography (HPLC), terutama untuk sampel berlumpur, untuk mengindari potensi galat dari kandungan air dalam sedimen (Britoet al. 2009a).
lebih tinggi dan diiringi dengan rasio P/B yang tinggi pula. Nilai rasio P/B yang diperoleh pada penelitian ini tidak serta merta mencerminkan bahwa mikrofitobentos kurang aktif berfotosintesis, karena faktor lain seperti respirasi bakteri, baik pada permukaan air maupun sedimen tidak diperhitungkan. Drakeet al. (1998) menemukan bahwa kelimpahan bakteri pada air diantara pori-pori sedimen (sediment pore water) mencapai tiga kali lipat lebih tinggi dibandingkan di kolom air. Sejalan dengan penelitian tersebut, Hewson et al. (2007) juga menemukan kelimpahan mikroorganisme seperti virus dan bakteri di permukaan sedimen yang mencapai 10 hingga 1000 kali lebih tinggi dibandingkan dengan di kolom air diatasnya. Hal ini menjadi argumen bahwa respirasi bakteri mungkin menjadi penyebab ketidakseimbangan antara jumlah biomassa dan produksinya.
Korelasi antara biomassa mikroalga dengan produktivitas primer ditunjukkan melalui grafik regresi pada Gambar 5. Regresi linier antara konsentrasi klorofil-a pada masing-masing eksperimen menunjukkan kecocokan yang tinggi dengan nilai R2> 0,80. Hubungan antara konsentrasi klorofil-a dan produktivitas primer fitoplankton pelagis memiliki nilai R2 yang lebih tinggi, mengindikasikan bahwa klorofil dari fitoplankton pelagis dapat memberikan prediksi yang lebih baik terhadap nilai produktivitas primer dibandingkan dengan klorofil-a dari mikrofitobentos. Hal ini diduga karena ekstrak klorofil-a dari permukaan air berasal dari organisme yang masih hidup, sedangkan ekstrak klorofil dari permukaan sedimen bisa berasal dari organisme yang masih hidup maupun sudah mati.
Berkaitan dengan hasil pencacahan fitoplankton pelagis yang didominasi oleh Trichodesmium sp., ada dua kemungkinan yang menyebabkan konsentrasi klorofil-a dan nilai produktivitas primer di sedimen lebih tinggi dibanding di permukaan air:
(1) jumlah individu mikrofitobentos yang mendiami permukaan sedimen lebih besar sehingga aktivitas fotosintesis juga lebih tinggi, atau
(2) jenis mikrofitobentos didominasi oleh kelompok diatom, sehingga konsentrasi klorofil-a di sedimen terdeteksi lebih tinggi dibandingkan di permukaan air. Menurut Moore et al. (2003), analisis citra satelit menunjukkan bahwa perairan yang didominasi oleh kelompok Cyanobacteria akan terlihat kurang subur (oligotrofik) dibandingkan dengan perairan yang didominasi oleh diatom, disebabkan konsentrasi klorofil pada Cyanobacteria yang lebih rendah dibanding diatom.
Faktor Fisika-Kimia yang Mempengaruhi Produktivitas Primer
(a)
(b)
Gambar 5 Hubungan antara konsentrasi klorofil-a dengan produktivitas primer di (a) permukaan air; dan (b) sedimen
Perekaman intensitas cahaya dan suhu di permukaan air dan di permukaan sedimen pada saat inkubasi bertujuan untuk mengetahui fluktuasi cahaya yang terjadi selama proses fotosintesis. Intensitas cahaya yang tinggi di awal pengukuran merupakan pengaruh dari peletakan data logger di atas kapal selama perjalanan menuju titik sampling. Data logger merekam suhu dan pancaran cahaya matahari langsung, kemudian mengalami penyesuaian secara gradual saat logger mulai dipasang dan bersentuhan dengan permukaan air. Ilustrasi perbandingan intensitas cahaya dan suhu antara permukaan air dan sedimen disajikan melalui grafik pada Gambar 6.
Varela and Penas (1985) menyatakan bahwa nilai produktivitas bulanan tidak selalu berkorelasi secara signifikan dengan total radiasi matahari yang diterima selama inkubasi. Mengacu pada beberapa penelitian produktivitas primer perairan yang dilakukan di wilayah Indonesia, terdapat korelasi yang kuat antara produktivitas primer dengan intensitas cahaya, apabila pengukuran produktivitas primer dilakukan pada kedalaman yang berbeda. Sebagian besar hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa intensitas cahaya optimum tidak terjadi di permukaan, melainkan 1 – 4 meter di bawah permukaan air. Intensitas cahaya yang kuat di permukaan tidak secara otomatis menghasilkan nilai produktivitas primer yang
tinggi, sementara di kolom air, berkurangnya intensitas cahaya menghasilkan nilai produktivitas primer yang lebih tinggi dibanding di permukaan (Gambar 6a). Hal ini didasarkan pada teori photoinhibition, dimana intensitas cahaya yang terlalu kuat justru dapat menghambat proses fotosintesis.
Apabila hal tersebut dikaitkan dengan hasil yang diperoleh pada penelitian di Pulau Lancang, kemungkinan besar produksi primer di sedimen lebih besar daripada di permukaan disebabkan oleh perbedaan intensitas cahaya matahari yang diterima. Meski demikian, besaran korelasi antara intensitas cahaya dengan nilai produksi primer pada penelitian ini tidak dapat diperoleh karena tidak adanya data produktivitas primer berdasarkan perubahan intensitas cahaya.
Selain intensitas cahaya, fotosintesis juga dapat dipengaruhi oleh suhu meski pengaruhnya tidak signifikan bagi populasi fitoplankton alami. Aruga (1965) in Parsons et al. (1977) memberikan gambaran mengenai pengaruh suhu terhadap pertumbuhan Scenedesmus sp. dalam kultur. Seperti pada intensitas cahaya, suhu juga memiliki titik optimum dalam proses fotosintesis. Pada kondisi alami,populasi fitoplankton memiliki kemampuan beradaptasi terhadap perubahan suhu (terkait dengan perubahan musim) dalam hitungan hari (Steeman-Nielsen and Jorgensen 1968 in Parsons et al. 1977). Apabila teori ini diterapkan pada kondisi iklim tropis seperti di Indonesia, dimana suhu cenderung konstan sepanjang tahun, maka dapat dikatakan bahwa fotosintesis di perairan Indonesia tidak dipengaruhi suhu. Berdasarkan grafik fluktuasi suhu (Gambar 6b), suhu di permukaan air dan sedimen cenderung tidak berfluktuasi.
(a)
(b)
Gambar 6 Perbandingan intensitas cahaya (a) dan suhu (b) di permukaan air (
…
) dan sedimen (▬ )Gambar 7 Perbandingan konsentrasi fosfat ( ) dan nitrat (
■
) di permukaan air dan permukaan sedimen10:00 10:30 11:00 11:30 12:00 12:30 13:00 13:30 14:00
Pendugaan Produktivitas Primer Perairan di Pulau Lancang
Hasil kalkulasi proporsi produksi primer yang berasal dari mikrofitobentos dan fitoplankton pelagis yang diperoleh selama penelitian sejalan dengan Nowicki and Nixon (1985); Varela and Penas (1985); dan MacIntyre and Cullen (1995), yang menyatakan bahwa mikrofitobentos memberikan kontribusi signifikan terhadap produktivitas primer di perairan dangkal (Gambar 6). Hal ini diduga erat kaitannya dengan biomassa mikrofitobentos yang lebih tinggi di permukaan sedimen dibandingkan dengan di kolom air. Tingginya nilai produksi primer mikrofitobentos mengindikasikan bahwa di permukaan substrat perairan, kelimpahan mikrofitobentos cukup signifikan untuk menyokong kehidupan di dasar perairan. Meski kelimpahan jenis mikrofitobentos tidak dapat diketahui, berdasarkan tipe sedimen yang bersubstrat pasir dapat diduga bahwa permukaan sedimen cenderung didiami oleh mikrofitobentos dari golongan epipsammic. Kelompok ini menempel erat pada partikel pasir dan memiliki motilitas yang rendah sehingga tidak bermigrasi secara vertikal pada lapisan sedimen. Implikasinya, kelimpahan alga epipsammic akan terkonsentrasi di permukaan sedimen dan tidak terganggu dengan turbulensi massa air seperti pasang surut. Sementara di permukaan air, fitoplankton tidak dapat terus menerus berada di posisi yang sama baik secara vertikal maupun horizontal. Meski perairan di lokasi studi cenderung tenang, tidak berarti bahwa sama sekali tidak terjadi perubahan gerak pada permukaan air. Hal ini kemudian menyebabkan fitoplankton lebih sulit menetap pada posisi yang sama di permukaan maupun kolom perairan, dan biomassa-nya menjadi lebih sedikit dibandingkan dengan di sedimen.
Eksperimen pengukuran produktivitas primer mikrofitobentos pada penelitian ini hanya dilakukan pada satu titik dan hanya difokuskan pada komparasi antara produktivitas primer darifitoplankton pelagis dan mikrofitobentos. Di sisi lain, Pulau Lancang juga memiliki komponen vegetasi lain seperti lamun dan mangrove yang tentunya memiliki kontribusi terhadap produktivitas primer perairan Pulau Lancang secara keseluruhan.
lanjut mengenai distribusi dan aktivitas fotosintesis mikrofitobentos pada kedalaman dasar perairan yang bervariasi.
5. SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Penelitian mengenai produktivitas primer mikrofitobentos yang dilakukan di perairan Pulau Lancang telah mengindikasikan bahwa tingkat produtivitas primer mikrofitobentos lebih tinggi dibandingkan produktivitas primer oleh fitoplankton yang bersifat pelagis. Nilai produksi primer mikrofitobentos dapat mencapai dua kali lipat produksi primer fitoplankton.
Berdasarkan hasil pengukuran parameter fisika-kimia yang mendukung produktivitas primer perairan, intensitas cahaya diduga sebagai parameter yang berperan dalam mendukung produktivitas primer mikrofitobentos.
Produktivitas primer mikrofitobentos saja tidak cukup untuk menentukan tingkat kesuburan perairan, khususnya di Pulau Lancang. Meski demikian, nilai produktivitas primer mikrofitobentos yang diperoleh pada penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai kontribusi substrat dasar terhadap produktivitas primer perairan.
Saran