1
PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA
(Studi Putusan No.23/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Mdn.)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
OLEH:
DENI HAMDANI
110200390
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penulis ucapkan kepada ALLAH SWT, karena atas rahmat dan karuniaNya Penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Sholawat dan Salam kepada junjungan nabi kita Baginda
Muhammad S.A.W. Skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Judul skripsi ini adalah “Analisis Yuridis Tndak
Pidana Narkotika Yang dilakukan oleh Anak”. Penulisan skripsi ini, penulis menyadari terdapat
kekurangan namun dengan lapang dada Penulis menerima kritik dan saran yang bersifat konstruktif dari
semua pihak yang menaruh perhatian terhadap skripsi ini.
Demi terwujudnya penyelesain dan penyusunan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih
yang sebesar-bearnya kepada semua pihak yang telah banyak memberikan bantuan untuk memperoleh
bahan-bahan yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini. Pada kesempatan ini juga Penulis mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum, selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Syarifuddin Hasibuan, S.H., M.H., D.F.M, selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Dr. H. OK. Saidin, S.H.,M.hum selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.
5. Bapak Dr .M. Hamdan, S.H., M.H., selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
6. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum
ii
untuk memberika bimbingan, arahan dan perhatian serta memberikan masukan-masukan dalam
penulisan skripsi ini.
7. Bapak Alwan, S.H.,M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan waktu untuk
memberikan bimbngan, arahan dan perhatian serta memberikan masukan-masukan dalam
penulisan skripsi ini.
8. Bapak Malem Ginting, S.H., M.Hum., selaku Dosen Penasihat Akademik yang telah banyak
membantu dalam pengurusan perkuliahan selama menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.
9. Bapak Prof. Dr. Karsono Apt, selaku dosen yang telah banyak memotifasi penulis dalam
menempuh perkuliahan di fakultas Hukum Universitas Sumatra.
10. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
yang telah memberikan ilmu serta mendidik dan membimbing Penulis selama mengikuti
perkuliahan sampai Penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara dengan baik, serta Bapak/Ibu Staf Administrasi ( Pegawai Tata Usaha) yang telah
banyak membantu dan memberikan pelayanan terbaiknya sehingga Penulis dapat menyelesaikan
urusan-urusan administrasi dengan baik.
11. Tersayang, teristimewa, surga duniaku, kedua orang tua Penulis yaitu Ayahanda Gunawan dan
Ibunda tercinta Bariyem yang telah mendidik dan membesarkan penulis yang tidak pernah bosan
dan mengeluh untuk memberikan dukungan dan doa hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini.
12. Tersayang, kakakku Desi Leli, Lisa dan Aziza, abangku Dedi Suprapto & Dena Marianto adikku
Dewi Nurhayati yang telah membantu, memberikan dukungan dan doa agar dapat menyelesaikan
skripsi ini
13. Teman dan Adinda tercinta Muhamad Krissandy Rizki yang telah banyak membantu
melancarkan prosesnya penyelesaian skripsi ini, sehingga penulis dapat dengan lancar
iii
14. Sahabat tercinta Randa Morgan Tarigan, Arif Dermawan Purba,SH., dan Yogi Chaniago,SH.,
yang telah banyak memotivasi dan memberikan wawasan yang luas terhadap penulis selama
menjani pendidikan di fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
15. Teman-teman tercinta Yudha Aditya Kirana, Adis, Ibnu, Eliezer Sianturi, Guslihan, Imron, Aris,
Arman, Roni, Jefry, Imam, Herman, Marsel dan Teman- teman penulis stambuk 2011 dan
kawan-kawan yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang bersama-sama menyelesaikan perkuliahan
di Fakultas Hukum Universitas Sumatera, terima kasih atas dukungan serta masukannya dalam
penyelesaian skripsi ini.
16. Teman-teman Ikatan Mahasiswa Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
“IMADANA USU” Stambuk 2011 yang turut memebantu Penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
Akhir kata, Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menjadi bahan masukan
untuk kita semua.
Medan, 25 Juni 2015
Penulis,
iv
DAFTAR ISIKATA PENGANTAR………...i
DAFTAR ISI………..ii
ABSTRAK………...v
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang………...1
B. Permasalahan………...5
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan………..5
D. Keaslian Penulisan……….6
E. Tinjauan Kepustakaan………6
F. Metode Penelitian………...13
G. Sistematika Penulisan……….16
BAB II FAKTOR – FAKTOR PENYEBAB TINDAK PIDANA NARKOTIKA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK……….17
A. Teori-teori penyebab terjadinya kejahatan menurut teori kriminologi dan Deliquency Juvenile……… 17
B. Faktor-faktor penyebab tindak pidana yang narkotika yang dilakukan oleh anak…….52
C. Hasil penelitian di LP Anak tentang tindak pidana Narkotika yang dilakukan oleh Anak……….53
BAB III PENGATURAN SANKSI TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA………...55
A. Ketentuan sanksi pidana Tindak PidanaNarkotika dalam UU No. 35 tahun 2009 tentang narkotika……….55
B. Ketentuan sanksi bagi anak menurut UU No. 11Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak………61
v
No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika JO Undang-Undang No. 11 Tahun2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak……….……….95
BAB IV PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA TERHADAP ANAK YANG SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PENYALAHGUNA NARKOTIKA STUDI PUTUSAN NO.23/Pid.SusAnak/2014/PN.Mdn………101
A. Posisi Kasus………..101
B. Analisa Kasus………105
BAB V PENUTUP………... 111
A. Kesimpulan………..111
B. Saran……….112
DAFTAR PUSTAKA………113
vi
ABSTRAKLiza Erwina,SH.,M.H.
Alwan,SH,M.Hum.**
Deni Hamdani.***
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normative yaitu menggunakan berbagai data sekunder seperti peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, teori hukum, jurnal-jurnal hukum, karya tulis yang dimuat di media massa yang berkaitan dengan tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh anak dan berupa pendapat para sarjana dan disertai dengan Penelitian kasus ke LP kelas II A Anak Tanjung Gusta dan wawancara langsung dengan petugas Lapas dan para terpidana.
Penerapan sanksi pidana terhadap anak yang melakukan tindak pidana Narkotika tentulah berbeda dengan penerapan sanksi pidana terhadap orang dewasa yang melakukan tindak pidana narkotika, sehingga penting bagi hakim untuk mempertimbangkan dalam menjatuhkan putusannya terhadap Anak yang melakukan tindak pidana narkotika. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana akan sangat menentukan apakah putusannya dapat dianggap adil atau tidak dan apakah putusannya dapat dipertanggung jawabkan atau tidak, Maka, hakim harus dapat memformulasikan seluruh Undang-Undang yang terkait terhadap kasus tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh anak dengan cermat agar
putusannya dapat mencerminkan rasa keadilan bagi seluruh pihak dan dapat dipertanggung jawabkan. Skripsi ini berbicara mengenai Analisis Yuridis terhadap putusan hakim dalam penjatuhan
hukuman terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana Narkotita dalam perkembangan dewasa ini, tindak pidana Narkotika bukan saja dilakukan oleh orang dewasa, tetapi perbuatan tersebut juga dilakukan oleh anak. Tindakan tersebut merupakan suatu keadaan yang mengganggu ketertiban kehidupan masyarakat.Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak, disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain adanya dampak negatif dari perkembangan pembangunan yang cepat, lingkungan sekitar maupun faktor sosial ekonomi. Upaya pemerintah dalam menanggulangi hal tersebut yaitu dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan dalam hal anak yang melakukannya, maka dikaitkan dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang sistem Peradilan Pidana Anak.
*Pembimbing I, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. **
1
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harhat dan
martabat sebagai manusia seutuh nya yang juga sebagai tunas, potensi, dan generasi muda penerus
cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin
kelangsungan eksistensi bangsa dan Negara pada masa depan.
Berkembangnya kemajuan dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi semakin lama semakin
bertambah pesat, maka hal ini akan berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap
perkembangan tingkat kriminalitas apabila kemajuan dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut
menyimpan dalam penggunaan dan pelaksanaannya dalam kehidupan bangsa dan Negara. Salah satunya
anak adalah sebagai objek dampak negatif dari perkembangan kemajuan di bidang ilmu dan teknologi
tersebut.
Pembangunan Nasional Indonesia bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan
masyarakat Indonesia yang adil, makmur, sejahtera dan damai berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera tersebut perlu peningkatan secara
terus menerus usaha-usaha di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan termasuk kesediaan narkotika
sebai obat.1
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis
maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,
2
mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan
kedalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang.2
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ”Narkotika Golongan III” adalah Narkotika berkhasiat
pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan
serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.
Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika membagi narkotika menjadi
tiga golongan, sesuai dengan pasal 6 ayat 1:
Huruf a
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ”Narkotika Golongan I” adalah Narkotika yang hanya dapat
digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta
mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.
Huruf b
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ”Narkotika Golongan II” adalah Narkotika berkhasiat
pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan
pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.
Huruf c
3
2 Undang-undang no 35 tahun 2009 tentang narkotika pasal 1 ayat 1 3
Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika
Narkotika pada awalnya hanya digunakan sebagai alat bagi upacara-upacara ritual keagamaan
dan disamping itu juga dipergunakan untuk pengobatan. Dalam upaya peningkatan dibidang pengobatan
dan pelayanan kesehatan, narkotika cukup diperlukan ketersediaannya, namun apabila disalahgunakan
akan menimbulkan dampak yang berbahaya bagi penggunaannya karena pengguna akan mengalami
ketergantungan yang sangat merugika, sehinnga harus dilakukan pengendalian dan pengawasan yang
3
Saat ini perkembangan pengguna narkotika semakin meningkat dengan pesat dan tidak untuk
tujuan pengobatan atau tujuan pengembangn ilmu pengetahuan, melainkan dengan tujuan untuk
memperoleh keuntungan yang sangat besar, yaitu dengan melakukan perdagangan narkotika secara illegal
ke berbagai Negara.
Hal tersebut menimbulkan keprihatinan bagi masyarakat internasional, mengingat dampak yang
ditimbulkan akibat penyalahgunaan narkotika yang sangat berbahaya bagi kehidupan berbangsa dan
Negara khususnya bagi keberlangsungan pertumbuhan dan perkembangan generasi muda.4
Dalam pemberitaan dimedia massa, seringkali terdengar bagaimana orang yang menggunakan
narkotika ditemukan sudah merenggang nyawa dalam penggunaan dosis yang berlebihan/ over dosis.
Terdengar pula bagaimana seorang anak tega menghabisi nyawa orang tua nya hanya karena tidak tidak
diberi uang padahal sang orang tua mungkin tidak menyadari kalau si anak adalah pecandu narkotika.
Sungguh sebuah pengaruh luar biasa dari bahaya pengguna narkotika yang perlu untuk ditanggulangi
lebih komprehensif.5
Untuk mencegah dan memberantas penyalahguna dan peredaran gelap narkotika yang sangat
merugika dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan Negara, maka pemerintah Republik
Indonesia mengeluarkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, Undang-Undang
tersebut mengatur upaya pemberantasan terhadap tindak pidana narkotika melaui ancaman pidana denda,
pidana penjara, pidana seumur hidup, dan pidana mati.6
Pembentukan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika merupakan upaya
pemerintah untuk mengatasi masalah narkotika, namun terhadap anak yang melakukannya tindak pidana
secara teoritis dan secara yuridis penggunaan sanksi pidana bagi anak tetap dimungkinkan, walaupun
4 Prof. Dr. Koesno Adi, SH.,MS., Diversi Tindak Pidana Narkotika Anak, Semarang, Setara Pres, 2014, hal 4 5
AR. Sujono, S.H.,M.H & Bony Daniel, S.H., Komentar & Pembahasan UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Jakarta, Sinar Grafika, 2011, hal 2.
4
ditentukan persyaratan-persyaratan yang sangat ketat. Artinya, penjatuhannya harus sangat selektif dan
pelaksanaannya harus disesuaikan dengan kondisi kejiwaaan si anak.
Pengguaan sanksi pidana bagi anak tidak dapat disamakan dengan penggunaan sanksi pidana bagi
orang dewasa. Oleh karenanya juga sangat ironis dan tidak dapat dibenarkan, apabila ada anak yang
menjalani pidana bersamaan dengan orang dewasa.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, dan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak telah memberikan landasan hukum yang kuat untuk
membedakan perlakuan terhadap anak yang terlibat suatu tindak kejahatn. Landasan hukum yang kuat
tersebut dilator belakangi oleh penjelasan atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 yang menyatakan
sebagai berikut :
“ Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Dalam rangka mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas dan mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, diperlukan pembinaan secara terus menerus demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial serta perlindungan dari segala kemungkinan yang akan membahayakan mereka dan dan bangsa di masa depan. Dalam berbagai hal upaya pembinaan dan perlindungan tersebut, dihadapkan pada berbagai permasalahan dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai penyimpangan perilaku di kalangan anak, bahkan lebih dari itu terdapat anak yang melakukan perbuatan melanggar hukum, tanpa mengenal status sosial dan ekonomi. Di samping itu terdapat pula anak yang karena satu dan lain hal tidak mempunyai kesempatan memperoleh perhatian, baik secara fisik, mental maupun sosial. Karena keadaan diri yang tidak memadai tersebut, maka baik sengaja maupun tidak sengaja. sering juga anak melakukan tindakan atau berperilaku yang dapat merugikan dirinya dan atau masyarakat”. 7
7 Ibid, hal 131.
Adapaun untuk ketentuan mengenai sanksi pidana yang diterapkan menurut batasan usia anak
yang melakukan tindak pidana tersebut diatur dalam UU No. 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan
pidana anak. Dalam penelitian ini penulis akan mencoba meneliti tentang sanksi pidana yang dapat
5
Berdasarkan alasan tersebut diatas, penulis berkeinginan untuk melakukan penelitian yang
berjudul : ANALISIS YURIDIS PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA YANG DILAKUKAN OLEH
ANAK (STUDI PUTUSAN NO. 23/PID.SUS-ANAK/2014/PN.MDN).
B. PERMASALAHAN
1. Bagaiman faktor – faktor penyebab tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh anak ?
2. Bagaimanakah pengaturan sanksi terhadap anak yang melakukan tindak pidana penyalahgunaan
narkotika?
3. Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap anak sebagai pelaku penyalahgunaan narkotika
Studi putusan No.23/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Mdn ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulis
1. Tujuan
a. Untuk mengetahui faktor penyebab anak melakukan tindak narkotika.
b. Untuk mengetahui sanksi hukuman yang berkaitan dengan tindak pidana narkotika yang
dilakukan oleh anak.
c. Untuk mengetahui pertanggung jawaban pidana tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh
anak.
2. Manfaat
a. Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi bagi usaha pembaharuan hukum
pidana khususnya memberikan sumbangan pemikiran untuk pengenmbangan pertanggung
jawaban pidana penyalahgunaan narkotika golongan I bentuk bukam tanaman yang dilakukan
oleh anak dibawah umur.
b. Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan manfaat bagi
6
D. Keaslian Penulis
Berdasarkan penelusuran kepustakaan dalam lingkungan Universitas Sumatera Utara (USU),
penelitian skripsi mengenai “Analisis Yuridis Tindak Pidana Narkotika Golongan I Bentuk Bukan
Tanaman Oleh Anak Dibawah Umur” belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama.
Objek kajian dalam penelitian ini merupakan suatu permasalahan yang belum mendapatkan kajian
komprehensif dalam suatu penelitian ilmiah. Oleh karenanya, penelitian ini merupakan sesuatu yang baru
dan asli sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional, objektif dan terbuka, sehingga dapat
dipertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka terhadap masukan dan kritik yang
kontruktif terkait dengan data dan analisis dalam penelitian ini.
E. Tinjauan Kepustakaan
(A)Pengertian Tentang Tindak Pidana menurut UU No. 35 tahun 2009 Tentang Narkotika
1. Pokok-Pokok Pengertian Tindak Pidana Narkotika
Untuk mempermudah pemahaman atas pengertian tindak pidana narkotika, maka terlebih dahulu
akan dijelaskan perbedaan istilah hukuman dan pidana.
Dalam sistem hukum, bahwa hukuman atau pidana yang dijatuhkan adalah menyangkut tentang
perbuatan-perbuatan apa yang diancam pidana, haruslah terlebih dahulu telah tercantum dalam
undang-undang pidana, artinya jika tidak ada undang-undang-undang-undang yang mengatur, maka pidana tidak dapat
dijatuhkan.
Di dalam Bab I Pasal 1 ayat (1) KUHP ada asas yang disebut “nullum delictum nulla poena sina
pravea lege poenale”, yang pada intinya menyatakan bahwa tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali
7
hukum dan pidana. Artinya adalah bahwa pidana harus berdasarkan ketentuan undang-undang,
sedangkan hukuman lebih luas pengertiannya.8
1. Prof. Sudarto, SH., menyatakan tentang pidana :
Ada banyak definisi yang dikemukakan para ahli hokum mengenai pidana, hukum, dan hukum
pidana, diantaranya :
Pidana ialah penderita yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang
memenuhi syarat-syarat tertentu itu.9
2. Sedangkan tentang hukum, Simongkir dalam bukunya Pelajaran Hukum Indonesia menyebutkan:
Merumuskan hukum sebagai peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan
tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh badan-badan resmi yang
berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan,
yaitu dengan hukuman yang tertentu.10
3. Definisi hukum pidana yaitu sebagai berikut :
a. Hukum pidana adalah hukum sanksi. Definisi ini diberikan berdasarkan ciri yang melekat
pada hukum pidana yang membedakan dengan lapangan hukum lain.
b. Hukum pidana adalah keseluruhan aturan ketentuan hukum mengenai perbuatan-perbuatan
yang dapat di hukum.
c. Hukum pidana adalah keseluruhan aturan mengenai (i) perbuatan yang dilarang yang disertai
ancaman berupa pidana bagi pelanggarnya, (ii) dalam keadaan apa terhadap pelanggarnya
dapat dijatuhi hukuman, dan (iii) bagaimana cara penerapan pidana terhadap pelakunya.11
Dari pendapat atau definisi diatas, bahwa hukum pidana dapat dilihat melalui pendekatan dua
unsur, yaitu norma dan sanksi, selain itu, bahwa antara hukum dan pidana juga mempunyai persamaan,
8 Moh. Taufik Makarao,S.H.,M.H.,Tindak Pidana Narkotika, Jakarta, Ghalia Indonesia, 2003, hal 36 9
Sudarto, Hukum Pidana, Jilid I A, 1975, hal 7 10
Simongkir, Pelajaran Hukum Indonesia, Gunung Agung, Jakarta, cet XI, 1962, halaman 6.
8
keduanya berlatar belakang tata nilai (value) seperti ketentuan yang membolehkan dan larangan berbuat
sesuatu dan seterusnya.
Dengan demikian, bahwa norma dan sanksi sama-sama merujuk kepada tata nilai, seperti norma
dalam kehidupan kelompok manusia ada ketentuan yang harus diataati dalam pergaulan yang menjamin
ketertiban hukum dalam masyarakat. Sedangkan sanksi mengandung arti suatu ancaman pidana agar
norma yang dianggap suatu nilai dapat ditaati.
Jadi pidana itu berkaitan erat dengan hukum pidana. Dan hukum pidana merupakan suatu bagian
dari tata hukum, karena sifatnya yang mengandung sanksi. Oleh karena itu, seorang yang dijatuhi pidana
ialah orang yang bersalah melanggar suatu peraturan hukum pidana atau melakukan tindak kejahatan.
Guna mencari alasan pembenaran terhadap penjatuhan sanksi pidana atau hukuman kepada
pelaku kejahatan, ada 3 (tiga) teori dalam hukum pidana., yaitu :
1. Teori Absolut/teori pembalasan
2. Teori Relatif/teori tujuan
3. Teori Gabungan
Jadi, Tindak Pidana Narkotika dapat diartikan dengan suatu pebuatan yang melanggar
ketentuan-ketentuan hukum narkotika, dalam hal ini adalah Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
dan ketentuan-ketentuan lain yang termasuk dan atau tidak bertentangan dengan undang-undang
tersebut.12
2. Pengertian Narkotika
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis
maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,
9
mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan
kedalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang.13
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis
maupun bukan sintesis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran dan hilangnya
rasa. Zat ini dapat mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan
ketergantungan. 14Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, ”Narkotika adalah
zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang
dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam
golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini” .15
Narkotika golongan I adalah narkotika yang paling berbahaya, karena daya aditifnya sangat
tinggi. Golongan ini tidak boleh digunakan untuk kepentingan apapun, kecuali untuk penelitian atau ilmu
pengetahuan. Contohnya adalah ganja, heroin, kokain, morfin, opium, dan lain-lain. Narkotika golongan
II adalah narkotika yang memiliki daya aditif kuat, tetapi bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian.
Contohnya adalah petidin, dan turunannya, benzetidin, betametadol, dan lain-lain. Sedangkan narkotika
golongan III adalah narkotika yang memiliki daya aditif ringan, tetapi bermanfaat untuk pengbatan dan
penelitian. Contohnya adalah kodein, dan turunannya.
Narkotika memiliki daya adikasi (ketagihan) yang sangat berat. Narkotika juga memiliki daya
toleran (penyesuaian) dan daya habitual (kebiasaan) yang sangat tinggi. Ketiga sifat narkotika ini yang
menyebabkan pemakai narkotika tidak dapat lepas dari cengkeramannya. Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, jenis jenis narkotika dibagi ke dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu
narkotika golongan I, golongan II, dan golongan III.
16
13 Undang-undang no 35 tahun 2009 tentang narkotika pasal 1 ayat 1. 14
Ibid 15
10
(B) Batasan Usia Anak Menurut Undang-Undang
1. Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak :
Dalam Ketentuan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana dikenal terminology Anak yang
berhadapan dengan hukum dalah Anak yang berkonflik dengan hukum, Anak yang menjadi
korban tindak pidana dan anak yang menjadi sanksi tindak pidana. Anak yang berkonflik dengan
hukum atau dalam UU SPPA dipergunakan terminology anak adalah anak yang telah berusia 12
(dua belas) tahun, tetapi belum berusia 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak
pidana.17
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan :
Dalam pasal 47 ayat (1) dan pasal 50 ayat (1) undang-undang ini menyebutkan bahwa batasan
untuk disebut anak adalah belum mencapai 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan.
3. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata :
Berdasarkan ketentuan pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maka anak adalah
mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan belum kawin.
4. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana :
KUHP tidak secara eksplisit menyebutkan tentang kategori anak, akan tetapi dapat dijumpai
dalam pasal 45 dan dan 72 yang memakai batasan umur 16 tahun dan pasal 283 yang member
batasan 17 tahun.
5. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana :
Undang-Undang ini tak secara eksplisit mengatur mengenai batas usia anak. Akan tetapi bila
dilihat dalam pasal 171 KUHAP menyebutkan bahwa batasan umur anak di siding pengadilan
yang boleh diperiksa tanpa sumpah dipergunakan batasan umur dibawah 15 (lima belas) tahun.
17
11
Selanjutnya dalam pasal 153 menyebutkan bahwa dalam hal-hal tertentu hakim dapat
menentukan anak yang belum mencapi umur 17 tahun tak diperkenankan mengahdiri sidang.
6. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia :
Dalam pasal 1 sub 5 dinyatakan bahwa anak adalah tiap manusia yang berusia dibawah 18
(delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila
hal tersebut demi kepentingannya
7. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan :
Dalam Pasal 1 angka 8 huruf a, b dan c Undang-Undang ini menyebutkan bahwa anak didik
pemasyarakatan baik anak pidana, anak Negara dan anak sipil untuk dapat dididik di Lapas Anak
adalah paling lama sampai berusia 18 (delapan belas) tahun dan untuk anak sipil guna dapat
ditempatkan di Lapas Anak maka perpanjangan penempatannyahanya boleh paling lama sampai
berumur (delapan belas) tahun.18
8. Undang-Undang Nomor 23 Tahun2002 tentang Perlindungan Anak jo Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak :
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 menentukan bahwa anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan.
9. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan :
Pada ketentuan pasal 1 angka 26 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 disebutkan bahwa Anak
adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun.
10. Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Jalan Raya dan Angkutan Jalan
Raya :
Dalam ketentuan pasal 77 ayat (1) UU Nomor 22 Tahun 2009 ditegaskan bahwa, “setiap orang
18
12
yang mengemudikan kendaraan bermotor dijalan wajib memiliki Surat Izin Mengemudi sesuai
dengan jenis kendaraan bermotor yang dikemudikannya” kemudian pasal 81 ayat (1) huruf a
ditentukan,”syarat usia untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi adalah usia 17 tahun untuk
Surat Izin Mengemudi A, Surat Izin Mengemudi B dan Surat Izin Mengemudi C.
11. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi :
Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 disebutkan Anak adalah seseorang yang
belum berumur 18 (delapan belas) tahun.
12. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang :
Ketentuan Pasal 1 angka 5 UU Nomor 21 tahun 2007 disebutkan bahwa Anak adalah seseorang
yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Pada UU ini tidak ditentukan tentang batasan minimal untuk menentukan seorang anak, tidak
seperti UU Nomor 11 Tahun 2012 yang menentukan batas minimalnya adalah 12 (dua belas)
tahun sebagaimana ketentuan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi RepublikIndonesia Nomor
1/PUU-VIII/2010 tanggal 24 Februari 2012.
13. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia :
Ketentuan Pasal 4 huruf h UU Nomor 12 Tahun 2006 menentukan bahwa, “Anak yang lahir
diluar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga Negara asing yang diakui oleh seorang ayah
warga Negara Indonesia sebagai Anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum Anak tersebut
berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin”.
14. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris :
Ketentuan Pasal 39 ayat (1) dan (2) UU Nomor 30 Tahun 2004 jo UU Nomor 2 Tahun 2014
menentukan bahwa seseorang yang dapat melakukan perbuatan hukum baik sebagai penghadap
13
15. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak :
Menurut Ketentuan Pasal 1 ayat (2) UU Nomor 4 Tahun 1979 Anak adalah seseorang yang belum
mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.
16. Kompilasi Hukum Islam :
Pasal 98 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa,”batas umur anak yang mampu
berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun
mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan”.19
Berdasarkan uraian diatas, dapat disiimpulkan bahwa menurut
perundang-undangan Negara Indonesia, anak adalah manusia yang belum mencapai usia 18 tahun
termasuk anak yang msih dalam kandungan dan belum menikah. Oleh karena itu, anak
tidak dapat diperkenakan pertanggungjawaban pidana secara penuh, karena seorang anak
masih mempunyai keterbatasan kemampuan berfikir dan berada dalam pengawasan orang
tua atau walinya.
20F. Metode Penelitian
Metode adalah cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran dari
ilmu pengetahuan yang bersangkutan.21 Sedangkan penelitian merupakan suatu kerja ilmiah yang
bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten.22 Penelitian
hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran
tertentu yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara
menganalisisnya.23
19 Dr. Lilik Mulyadi, S.H.,M.H., Wajah Sistem Peradilan Pidana Anak Indonesia, Op.Cit, hal 14 20 Dr. Marlina, S.H., M.Hum., Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Tahun 2009, hlm. 36. 21
Soerjono Soekanto., Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, (Jakarta: Indonesia Hillco, 1990), hal. 106.
22 Soerjono Soekanto dan Sri Mumadji., Penelitian Hukum Normatif Suatu Tijnjauan Singkat, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2001), hal. 1.
23 Bambang Waluyo., Penelitian Hukum dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal. 6.
Dengan demikian metode penelitian adalah upaya ilmiah untuk memahami dan
14
semaksimal mungkin untuk mengumpulkan bahan-bahan yang diperlukan atau mencari data yang
terdapat dalam praktik, metode-metode pengumpulan bahan ini anatara lain:
1.
Jenis Penelitian
Menurut Soerjono Soekanto menyatakan 2 (dua) jenis penelitian hukum adalah
a. Penelitian hukum normatif (normative legal research) yaitu penelitian atas pasal pasal
aturan hukum untuk menentukan asas-asas hukum,
mengetahuisinkronisasi vertical,
horizontal, mengetahui aspek sejarah hukum dan mengetahui perbandingan antara sistem
hukum
b.Penelitian hukum empiris (empirical legal research) yaitu penelitianhukum dilapangan
yang ingin mengetahui efektifitas
aturan hukum, ketaatan masyarakat akan hukum,
persepsi masyarakat akan hukum dan
ingin mengetahui faktor-faktor non-hukum yang
mempengaruhi pembuatan dan penerapan hukum.
24a.
Penelitian terhadap asas-asas hukum.
b.
Penelitian terhadap sistematika hukum.
c.
Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal.
d.
Penelitian perbandingan hukum.
e.
Penelitian sejarah hukum.
Soetandyo Wignyosoebroto menyebutkan, penelitian hukum normatif dengan istilah
“Penelitian Hukum Doktrinal” (Doctrinal Legal Research), sementara penelitian hukum empiris
disebutnya dengan istilah “Penelitian Hukum Non Doktrinal” (Non Doctrinal Research).
Penelitian hukum normatif meliputi 5 (lima) jenis penelitian yaitu:
25
Jenis penelitian yang digunakan adalah Penelitian hukum normative (normative legal
24
Soerjono Soekanto, 1985, Penelitian Hukum Normatif, Penerbit Rajawali, Jakarta, hlm. 40. 25
15
research) yaitu menggunakan berbagai data sekunder seperti peraturan perundang-undangan,
keputusan pengadilan, teori hukum, buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum, karya tulis yang
dimuat di media massa yang berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh anak dan
berupa pendapat para sarjana.
2.
Data dan Sumber Data
Data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari:
a.
Bahan hukum primer, yaitu KUHP,Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan anak.b.
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian atau pertemuan ilmiah lainnya, bahkan dokumen pribadi ataupendapat dari kalangan pakar hukum yang relevan dengan objek telaahan penelitian ini;26
c.
Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, majalah danjurnal ilmiah
Surat kabar dan majalah mingguan juga menjadi tambahan bahan bagi penulisan skripsi ini
sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian ini.
3.
Teknik Pengumpulan DataPengumpulan data dilakukan dengan cara studi studi kepustakaan (library research). Penelitian
kepustakaan dilakukan dengan mengumpulkan berbagai literatur yang relevan dengan permasalahan
dalam skripsi ini.
4.
Analisis DataData sekunder yang diperoleh kemudian dianalisis. Data yang dianalisis secara kualitatif akan
26
16
dikemukakan dalam bentuk uraian secara sistematis pula dengan menjelaskan hubungan antara berbagai
jenis data, selanjutnya semua data diseleksi dan diolah kemudian dinyatakan secara deskriptif sehingga
selain menggambarkan dan mengungkapkan dasar hukumnya, juga dapat memberikan solusi terhadap
permasalahan yang dimaksud.
G.Sistematika Penulisan
BAB I : Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain memuat Latar Belakang. Pokok
Permasahan, Tujuan dan Manfaat Penulis, Keaslian Penulis, Tinjauan Kepustakaan, Metode
Penelitian, Sistematika Penulisan.
BAB II : Bab ini akan membahas tentang faktor penyebab anak menyalahgunakan Narkotika, yang
isinya memuat antara lain tentang faktor penyebab terdakwa melakukan tindak pidana
penyalahgunaan Narkotika dan dampak bagi anak dalam menyalahgunakan Narkotika.
BAB III : Bab ini akan membahas tentang ketentuan pidana yang berkaitan dengan tindak
pidanaPenyalahgunaan Narkotika yang dilakukan Oleh Anak , yang isinya antara lain memuat
tentang penyalahgunaan Narkotika Golongan I Bentuk Bukan Tanaman dalam prespektif
Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009, perbuatan tindak pidana dalam prespektif pasal 55
KUHP dan sitem peladilan anak dalam prespektif Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012
BAB IV : Bab ini akan membahas tentang pertanggung jawaban pidana penyalahgunaan Narkotika oleh
anak dibawah umur dalam kasus perkara No.23/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Mdn, yang memuat
tentang deskripsi dan analisis kasus.
BAB V : Bab ini merupakan Bab terakhir, yaitu sebagai bab kesimpulan dan saran yang berisi
17
BAB II
FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA YANG
DILAKUKAN OLEH ANAK
A.Teori-teori penyebab terjadinya kejahatan Menurut teori kriminologi dan Deliquency
Juvenile
1. Menurut teori kriminologi
Kejahatan merupakan suatu istilah yang tidak asing lagi dalam kehidupan bermasyarakat. Pada
dasarnya istilah kejahatan ini diberikan kepada suatu jenisperbuatan atau tingkah laku manusia tertentu
yang dapat dinilai sebagai perbuatan jahat.
Oleh karena itu perbuatan jahat bersumber dari alam nilai, tentu penafsiran yang diberikan kepada
perbuatan atau tingkah laku tersebut sangat relative sekali.
Kerelatifannya terletak pada penilaian yang diberikan oleh masyarakat dimana perbuatan tersebut
terwujud.27
Permasalahan kejahatan bukanlah semata-mata permasalahan abad teknologi modern dewasa ini.
Meskipun manusia sudah demikian pesat maju dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan telah
dilakukan banyak penerobosan dan penemuan baru dalam pelbagai bidang ilmu dan teknologi, terutama
dalam bidang ilmu eksakta, permasalahan kejahatan masih tetap merupakan “duri dalam daging dan pasir
dalam mata”.28
27
18
Masyarakat manusia cukup banyak, berkelompok dan Bergolong-golongan serta
mempunyaivariasi kehidupan yang berbeda-beda. Variasi kehidupan masyarakat manusia tersebut terlihat
pada cirri-ciri khas kebudayaan manusia tertentu yang bertebar didalam ini.
Ciri-ciri khas kebudayaan masyarakat manusia tertentu itu menimbulkan sikap penilaian yang
berbeda-beda terhadap setiap kebudayaan umat manusia. Demikian juga terhadap tingkah laku atau
perbuatanyang merupakan satu aspek dari kebudayaan itu.29
Kerugian masyarakat karena kejahatan adalah besar sekali. Kita berhadapan dengan suatu gejala
yang luas dan mendalam, yang bersarang sebagai penyakit dalam tubuh masyarakat, sehingga sering
membahayakan hidupnya, sedikitnya sangat merugikannya. Kejahatan yang diperbuat saban tahunnya tak
terhitung banyaknya dan jutaan penjahat dihukum. Dipandang dari sudut perekonomian, kerugian
masyarakat sangat besar.30
Sedangkan kebudayaan yang hidup dan dijunjung oleh masyarakat tersebut mempunyai nilai
yang bervariasi pula. Sebab itulah dalam rangka memberikan pengertian terhadap istilah kejahatan sangat
tergantung kepada penilaian dan jenis reaksi yang diberikan oleh masyarakat dimana terjadinya perbuatan
itu.
Perbuatan atau tingkah laku yang dinilai serta mendapat reaksi yang bersifat tidak disukai oleh
masyarakat itu, merupakan suatu tindakan yang tidak dibenarkan untuk muncul di tengah-tengah
kehidupan masyarakat.
31
Memang kejahatan adalah erat dengan tingkat kesusilaan penduduk tapi sebaliknya juga member
pengaruh jelek kepada penduduk biasa. Jika ditambah dengan kerugian dan kesusahan, yang diderita oleh
29
Chainur Arrasyid, , Suatu pemikiran tentang Psikologi Kriminal, Op. cit 1999, hal. 25 30
Prof. Mr. W.A.Bonger, pengantar tentang kriminologi, hal. 25
19
para korban kejahatan, juga ancaman terhadap masyarakat yang selalu dating dari kejahatan, maka
semuanya ini merupakan jumlah yang tak terhitung besarnya.32
Kejahatan sebagai gejala social mempunyai ciri khas yang dapat dirasakan dan diketahui
masyarakat tertentu. Masalahnya terletak pada penilaian terhadap perbuatan yang telah dilakukan yang
dihadapkan kepada kaedah-kaedah yang berlaku didalam masyarakat itu.
Perbuatan-perbuatan mienyimpang tersebut dalam kehidupan kemasyarakatan meliputi pen
yimpangan dari kaedah-kaedah yang tertulis maupun tidak tertulis yang berupa kebiasaan-kebiasaan serta
adat yang berlaku dalam masyarakat tertentu. Begitu pula apakah kaedah-kaedah itu berasal dari atas
maupun dari bawah yakni kaedah-kaedah yang muncul dari masyarakat yang telah dipatuhi.
Perbuatan- perbuatan yang menyimpang itu tidak dikehendaki, oleh karena itu tidak boleh
dibiarkan. Meskipun demikian perbuatan-perbuatan tersebut tidak dapat terlepas dari kehidupan manusia,
karena hal tersebut sudah merupakan salah satu jenis gejala social dari kehidupan manusia. Gejala social
jenis ini sering disebutkan oleh masyarakat dengan kejahatan.
33
Berdasarkan uraian dan pendapat kedua tokoh tersebut, bahwa masyarakat tidak menghendaki
adanya perbuatan tersebut, dan seandainya terjadi harus dikenakan sanksi.
Sehubungan dengan pengertian kejahatan, kami dengan tidak mengabaikan yang lain hanya
mengemukakan dua buah pengertian yang telah dikemukakan secara definitive oleh :
Paul Mudikdo Muliono, yang berbunyi : kejahatan adalah perbuatan manusia yang merupakan
pelanggaran norma, yang dirasa merugikan, menjengkelkan, sehingga tidak boleh dibiarkan.
W. A. Bonger menyatakan bahwa kejahatan adalah merupakan perbuatan yang immoral dan
a-sosial yang tidak dikehendaki oleh masyarakat dan harus dihukum oleh masyarakat.
34
32
Prof. Mr. W.A.Bonger, pengantar tentang kriminologi, Op. cit hal. 25
20
Adapun teori-teori sebab terjadinya kejahatan, W.A. Bonger, E.H. Sutherland dan Paul Moedikno
Moeliono mengemukakan didalam bukunya pengantar “tentang kriminologi” (terjemahan) W.A. Bonger
membagi aliran-aliran tentang sebab-sebab kejahatan, sebagai berikut :
a. Mashab sosiologi menyelenggarakan Statistik Kriminal.
b. Mashab antropologi-mashab Italia.
c. Mashap lingkungan – mashab Prancis
d. Mashab bio-sosiologi
e. Mashab Agama.
1. Mashab sosiologi menyelenggarakan Statistik Kriminal.
Mashab Sosiologi yang menyelenggarakan Statistik Kriminal ini muncul sekitar tahun 1830M
yakni dengan ditandainya pengertian sosiologi. Petumbuhan ini akibat perkembangan ilmu sosial disatu
pihak, juga karena diadakannya Statistik Kriminil dilain pihak.
Statistikadalah pernyataan-pernyataan kejadian yang digambarkan dengan angka-angka, juga
mendorong dengan keras majunya ilmu pengetahuan sosial.35
Dengan jalan ini, permulaan mempergunakan statistic sudah ada, tapi juga hanya sampai
demikian. Pertama dalam statistic ini tidak terdapat dasar-dasar teoritis, karena yang mempergunakannya
melakukannya umumnya hanya berdasarkan pengalaman. Kedua bahan-bahan yang dicatat belum dapat
dipercaya, karena hanya berdasarkan pemikiran saja, tidak berdasarkan perhitungan Negara pada waktu
itu belum mempergunakan statistik. Dalam kedua hal ini akan terjadi perubahan yang hebat.36
Pengguna Statistik sudah banyak dipakai oleh ahli-ahli sejak abad ke 17 M. Tetapi Ad. Quetelet
(1796-1874) seorang bangsa Belgi ilmu pasti dan Sosiologi menciptakan dasar-dasar statistic yang praktis
34
Ibid, hal. 27 35
Ibid, hal 37
21
dan menjadi organ istoris dari kongres-kongres statistic internasional. Belia adalah ahli statistik criminal
yang pertama di Prancis yang pada tahun 1826 telah mulai mengadakan statistic kriminil.
Juga A.M.Guerry (1802-1866) bangsa Prancis mempergunakan nama “Statistique”. Didalam
salah satu bukunya beliau mengumpulkan bahan-bahan mengenai kelamin dan umur berhubungan dengan
kejahatan, begitu juga adanya hubungan atau korelasi antara tempat dengan kejahatan di Prancis
diterangkan dalam statistic, misalnya di provinsi yang terkaya terdapat banyak kejahatan terhadap hak
milik. Begitu juga dibicarakannya tentang kekayaan yang tidak merata dengan kemiskinan.
Kembali kepada Ad. Quetelet beliau mempergunakan statistic kriminil sebagai alat dalam
sosiologi kriminil. Dan membuktikanuntuk pertama kalinya bahwa kejahatan adalah suatu hal yang
asalnya dari keadaan masyarakat.
Adanya unsure dinamis dalam kejahatan oleh Ad. Quetelet tidak di ingkari, bahkan diakui dengan
tegas. Memang kita akui bahwa penyelidikan yang berjalan dalam beberapa tahun saja dan dimana tidak
ada perubahan besar dilapangan social, maka terlihatlah adanya unsur yang tetap. Tetapi jika kita
bandingkan dengan beberapa Negara dalam benerapa tahun, maka ternyata adanya perubahan dalam
kejahatan, dengan tidak melupakan bahwa sebagian besar masih dalam keadaan tetap.
Antara lain tokohnya adalah L.M. Christone (1791-1848) yang mengatakan bahwa di Inggris
(1814-1848) ada hubungannya antara industry dengan pertambahan kemiskinan yang mengakibatkan
naiknya kejahatan.
A. Von Oettingen (1827-1905) yang beraliran keagamaan menyatakan bahwa dalam
waktu-waktu krisis, Pencurian dan lain-lain akan meningkat, terutama dilakukan oleh wanita dan anak-anak,
sedangkan kejahatan penyerangan akan bertambah pada keadaan makmur.37
22
2. Mashab antropologi-mashab Italia.
Mashab Anthropologi –Italia disekitar permulaan tahun 30 dan 70 abad ke 19. Antara lain
pelopor mashab ini adalah ahli pherenolog Gali dan Spurzheim walaupun pelajarannya tidak berdasarkan
ilmu pengetahuan.38 Olehnya juga diadakan penyelidikan mengenai tengkorak-tengkorak dari penjahat,
yang memeberikan kesimpulan bahwa kadang-kadang kelainan yang ditemukan tersebut mempunyai sifat
pathologis.39
Pelajut teori ini antara lain H. Lauvergne (1797-1859) disamping menguraikan
pendapatnya yang bersifat phrenology yang kemudian tidak benar, tetapi terdapat juga hasil penelitian
yang penting mengenai kewajiban dan masyarakat.40
Arti dari pada komponen-komponen pathologi berhubungan erat dengan kejahatan. Terbukti dari
penyelidikan Pinel dan esquirol bahwa sakit gila dalam beberapa hal, dapat menyebabkan kejahatan,41.
Kita sudah mengetahui bahwa Pinel dan Esquirol juga membuktikan bahwa sakit gila dalam beberapa hal
dapat menyebabkan kejahatan. Ilmu kedokteran pada waktu itu cenderung sekali untuk memandang
seorang penjahat sebagai penderita penyakit.42
C.G. Carus (1789-1869) yang menyatakan adanya cirri-ciri pada tengkorak orang-orang jahat
sebagai tanda-tanda yang menggambarkan bahwa jiwanya kurang sehat. P. Brosca (1824-1880)
mengatakan berdasarkan penyelidikan tentang tengkorak dari si penjahat, ternyata keadaannya yang tidak
biasa mempunyai sifat pathologis. Pinel dan Esquirol menyatakan bahwa sakit gila dapat menyebabkan
kejahatan.43
38 Ibid, hal 38
39 Edi Warman, Selayang pandang tentang kriminologi, Medan, USU PRESS, 1994, hal 30 40 Chainur Arrasyid, Suatu pemikiran tentang Psikologi Kriminal, Op.cit 1999, hal 38 41
Edi Warman, Selayang pandang tentang kriminologi, Op.cit 1994, hal 30 42
Prof. Mr. W.A.Bonger, pengantar tentang kriminologi, Op. cit hal 74
23
Sealiran dengan ajaran dari Esquirol tentang monomani, ialah pekerjaan dari J.C. Prischard
(1786-1848) seorang Inggris ahli anthropologi dan psychiatri pengarang dari “Treatise on insanity and
other disorders affecting the mind’ (1835). Diagnosa gejala penyakit ‘moral insanity’ (tidak dapat
merasakan baik-buruknya suatu perbuatan menurut moral, tanpa ada gangguan jiwa lainnya), dilakukan
pertama-tama olehnya.44
P. Lucas (1805-1885) menyatakan sifat jahat pada hakekatnya sudah dimulai dari kelahiran dan
didapat dari keturunan. Keadaan sekitarnya juga mempunyai pengaruh tetapi kadang-kadang saja. A.B.
Morel (1809-1873) mengajarkan teori degenerasi yang menerangkan bahwa manusia biasa karena
pengaruh-pengaruh keadaan-keadaan yang tidak baik dalam beberapa keturunan merosot sifatnya.
Kemerosotan sifat-sifat dapat menyebabkan kejahatan.45
H. Maudsley (1835-1818) dalam bukunya : Physiology and pathology of mind (1867) dan
terutama dalam bukunya : Crime and Insanity (1872) ; bahwa sebagian dari penjahat adalah sejenis umat
manusia yang merosot sifatnya. Ia menyatakan : Antara kejahatan dan kegilaan terdapat suatu daerah
yang netral ; pada suatu pihak, kita lihat sedikit hal kegilaan dan banyak kebusukan ; pada pihak yang
bertentangan tampak bahwa kebusukan adalah kurang dan kegilaan berkuasa.46
Yang paling terkemuka dari mashab Italia ialah seorang dokter C. Lombroso (1835-1909),
mula-mula guru besar dalam ilmu kedokteran kehakiman, kemudian juga dalam ilmu penyakit jiwa di E. Dally (1833-1887) dalam penentangannya yang sangat baik terhadap ajaran mengenai
kemauan bebas, ‘Considerations surles criminels et sur les alienes criminels au point de vue de la
responsabilite’ (1863), menunjuk kepada kesejenisan, dalam kasus-kasus tertentu daripada sakit gila dan
kejahatan.’ Le crime et la folie sont deux forms de la decheance organique-cerebromentale’ 1a.b.
44 Prof. Mr. W.A.Bonger, pengantar tentang kriminologi, Op. cit, hal 74 45
24
Turijin.47Lombroso berpendapat bahwa manusia yang pertama adalah penjahat sejak lahirnya.48
Suatu contoh : Pembunuhan anak (anak yang baru lahir ) banyak terjadi dikalangan orang yang
masih sederhana peradabannya (yang hidup masih mengembara) dan oleh mereka sendiri tidak dipandang
sebagai perbuatan jahat. Keterangan mengapa mereka berbuat demikian ialah berhubungan dengan
sulitnya penghidupan, yang memaksa mereka berbuat demikian, jika tidak berbuat demikian seluruh
kelompok akan musnah.
Namun,
pada suatu masa tertentu pandangan terhadap orang-orang buas, jahat bukanlah suatu pengecualian, tetapi
suatu aturan hukum, karena itu pula tak ada yang memandangnya sebagai kejahatan dan perbuatab
demikian disamakan saja dengan tindakan-tindakan yang sama sekali tak dapat dicela.
Lombroso membuktikan rumusan ini tanpa kritikan dan sering dicari dari sumber yang paling
buruk, bahan-bahan untuk membuktikan, bahwa orang lelaki yang peradabannya penjahat dari sejak
lahirnya (pencuri, suka memperkosa dan membunuh) dan kalau perempuan adalah pelacur.
49
Ini semua bukan karena kebengisan atau kurang cinta terhadap anaknya.
Steimetz membuktika, bahwa bangsa yang sederhana peradabannya memelihara anak-anaknya yang dapat
hidup langsung dengan segala kecintaan dan perhatian. Kejadian yang sama ialah membunuh orang yang
sudah tua atau bunuh diri dalam suku bangsa yang mengembara.50
Kesimpulan dari penyelidikan ialah : bahwa para penjahat dipandang dari sudut anthropologi,
mempunyai tanda-tanda tertentu umpamanya pencuri isi tengkoraknya kurang dari pada yang lain,
terdapat kelainan dari pada tengkoraknya. Juga dalam otaknya terdapat keganjilan yang seakan-akan
memperingatkan pada otak hewan, biarpun tidak dapat ditunjukan adanya kelainan-kelainan penjahat
yang khusus.
Berdasarkan pandangan ini, Lombroso mengadakan penyelidikan secara anthropologi mengenai
penjahat-penjahat yang terdapat dalam rumah penjara dan terutama mengenai tengkoraknya.
47 Prof. Mr. W.A.Bonger, pengantar tentang kriminologi, Op. cit hal 74-75. 48
Chainur Arrasyid, Suatu pemikiran tentang Psikologi Kriminal, Op.cit ,1999, hal 39 49
25
Roman mukanya juga lain dari pada orang biasa; tulang rahang lebar, muka menceng, tulang dahi
melekung kebelakang dan lain-lain, terdapat padanya. Juga kurang perasaannya, suka akan tatouage
(seperti halnya pada orang yang masih sederhana peradabannya).
Kesimpulan ialah : penjahat umumnya dipandang dari sudut anthropologi, merupakan suatu jenis
manusia tersendiri, seperti halnya dengan bangsa Negro yang dilahirkan sedemikian rupa tidak
mempunyai predisposisi untuk kejahatan, tetapi suatu predistinasi, dan tidak ada pengaruh lingkungan
yang dapat merobah bentuk rupa. Sifat sejak lahir ini juga dapat dikenal dari adanya stigma-stigma lahir,
jadi terdapat suatu type Nego yang dapat dikenal, demikian juga halnya dengan penjahat.51
Untuk menerangkan bagaimana caranya terjadi makhluk yang abnormal (penjahat dari kelahiran)
Lombroso memajukan hypotesa bahwa mausia yang masih rendah peradabannya sifatnya tidak susila,
jadi seorang penjahat adalah suatu kejahatan yang atavistis, artinya bahwa ia dengan sekonyong-konyong
mendapat sifat-sifat yang dekat, tetapi didalamnya kembali dari yang lebih dahulu (yang dinamakan
kemunduran dari keturunan).
Di samping itu beliau berpendapat bahwa para penjahat dipandang dari sudut anthropologi
mempunyai tanda-tanda tertentu. Juga dikatakannya bahwa penjahat pada umunya dipandang dari sudut
anthropologi merupakan suatu macam manusia tersendiri(genus homo deliquens).
52
51
Edi Warman, Selayang pandang tentang kriminologi, Op.cit ,1994, hal 32
52 Chainur Arrasyid, Suatu pemikiran tentang Psikologi Kriminal, Op.cit ,1999, hal 39-40
Jelgersma dalam bukunya : De geboren misdadiger, mengupas hyphotese tentang timbulnya
kejahatan tersebut. Sesudah melihat bahwa beberapa hasil pengamatan sesuai dengan sifat atavistis, ia
menyatakan lebih lanjut : bahwa pada umumnya pendapat Lombroso menurut pendapat Jelgersma salah.
Teori atavisme umumnya tidak berlaku untuk kebanyakan tanda-tanda degenerasi, semua ini merupakan
26
Selanjutnya oleh Ottolenghi menyatakan bahwa pendapat ini tidak berlaku untuk degenerasi yang
funsional. Penyimpangan pada panca indra lainnya tidak merupakan sifat-sifat yang dapat dinamakan
atavistis malah sebaliknya mengikatkan kita pada kekuatan perobahan-perobahan yang pathologis53
a. Setiap kejahatan adalah resultante dari keadaan individu, disatu pihak dan social.
Winkler dalam hal ini lebih berhati-hati dari pada Lombroso dalam mengeluarkan pendapatnya.
Beliau tidak menyebutkan type penjahat, tetapi menyatakan berhubungan dengan bahan-bahan tersebut
diatas, maka dengan insyaf hakim akan memilih orang-orang yang dahinya sempit dan tulang dagunya
lebar.
Enrico Ferri seorang murid dari Lombroso mengadakan beberapa perbaikan demi kelanjutan dari
ajran-ajaran gurunya tersebut.
Hal ini disebabkan Ferri menyadari bahwa pelajaran-pelajaran Lombroso dalam bentuk aslinya
tidak dapat dipertahankan. Karena itu tanpa mengobah intinya, Ferri mengobah bentuknya dengan
mengatakan faktor lingkungan ada juga mempengaruhinya.
Di dalam bukunya Sosiologi Criminelle ia memberikan rumusan tentang timbulnya kejahatan :
b. Keadaan social member bentuk pada kejahatan, tetapi berasal dari bakatnya yang biologis dalam
arti sosial (organis dan psikhis).
Jadi berarti unsur individu tetap paling penting, walaupun ada faktor lain yang juga turut
mempengaruhinya.
Demikianlah pendapat-pendapat Lombroso yang senantiasa berobah-obah karena mendapat kritik
sehat dan kemudian diselamatkan oleh Ferri.54
53
Edi Warman, Selayang pandang tentang kriminologi, Op.cit, 1994, hal 33
27
3. Mashap lingkungan – mashab Prancis
Mashab lingkungan Prancis, terdiri dari mashab Prancis Khusus; mashab berdasarkan
perekonomian lingkungan; hasil aetiologi dalam sosiologi kriminil; dan keadaan sekelilingnya.
Mashab Prancis khusus adalah mashab yang dating dari diri kalangan para dokter Prancis yang
mengajuka tantangan terhadap mashab anthropologi Lombroso.
Para dokter Prancis ini menganut garis-garis yang diberikan oleh J. Lamarck, E. Geoffrey St
Hileire, L. Pasteur yang menekan pada arti lingkungan sebagai sumber dari bermacam-macam dan sebab
dari segala penyakit.
Golongan ini tidak menggabungkan pada golongan ahli sosiologi statistik yang pada dasarnya
termasuk golongan ahli teori keadaan sekeliling atau teori lingkungan dengan lingkaran pelajaran yang
mengajarkan bahwa kejahatan berasal dari kelahiran.
Mereka adalah dokter yang bukan ahli sosiologi, biarpun mereka mempunyai penglihatan yang
tajam; tentang keadaan masyarakat.55
55 Ibid, hal 41
Ketika Lombroso dengan penganutnya memajukan ajarannya tentang kejahatan yang bercorak
antropologi pada tahun 70-an dari abad ke 19, sejak permulaan dunia kedokteran, Perancis sudah
menentangnya.
Tokoh yang termuka ialah A. Lacassagne (1848-1924); sesudah menolak hypotesa atavisme, ia
merumuskan ajarannya mashab lingkungan sebagai berikut: “ Yang penting adalah keadaan social
sekeliling kita. Keadaan sekeliling kita adalah suatu pembenihan untuk kejahatan. Kuman mempunyai arti
28
Penjahat dengan cirri-ciri anthropo-metrik dan cirri-cirinya yang lain itu hanyalah mempunyai
arti yang sangat terbatas. Semua cirri-ciri inipun sebenarnya dapat kita jumpai pada orang yang tak ada
cacat celanya.
G. Trade (1843-1904) dalam bukunya: Lacriminalite compare (1886) dengan keras menentang
mashab Italia. Menurut pendapatnya kejahatan bukan suatu gejala yang anthropologis tetapi sosiologis
yang seperti kejadian-kejadian masyarakat lainnya, dikuasai oleh peniru: “Semua perbuatan penting
dalam kehidupan social dilakukan dibawah pengaruh peniruan”, demikian dinyatakan dalam bukunya:
Philosophi panele.
Harus diakui bahwa peniruan dalam masyarakat memang mempunyai pengaruh yang besar
sekali. Biarpun setiap kehidupan manusia bersifat khas, namun dapat disetujui bahwa banyak orang dalam
kebiasaan hidupnya dan pendapatnya sangat mengikuti keadaan lingkungannya, dimana mereka hidup.
Dengan jelas hal ini terlihat dari adanya kelangsungan yang tetap dari masyarakat dan
perobahan-perobahan yang lambat.56 Peranan peniruan dalam masyarakat, biarpun memang terjadi, tetapi ole Trade
sangat dilebih-lebihkan. Siapa yang menyamakan orang-orang gelandangan zaman sekarang dengan para
pemain music kelilingdalam abad pertengahan, agaknyameminta cemooh. Selanjutnya gejala peniruan
tentu sama sekali tidak menerangkan tentang sebab timbulnya hal yang ditiru.57
Ahli anthropologi kriminil Jerman A. Baer (1834-1908) juga termasuk golongan mashab
lingkungan, dengan bukunya ‘Der Verbrecher in anthropologischer Beziehung’ (1893) dan juga perlu
disebutkan P. Naecke (1851-1913), dengan bukunya ‘Verbrechen und Wahnsinn beim Weibe’ (1894).58
56
Edi Warman, Selayang pandang tentang kriminologi, Op.cit 1994, hal 37-38 57
Prof. Mr. W.A.Bonger, pengantar tentang kriminologi, Op. cit, hal 98 58 Ibid, hal 98
Mashab berdasarkan perekonomian lingkungan mulai berkembang pada penghabisan abad ke 19
29
Teoti baru dalam kemasyarakatan yang timbul pada pertengahan abad ke 19 yang pandangan
masyarakatnya berdasarkan keadaan ekonomi (historis materialisme) akan mengarah ke dalam
kriminologi. Menurut teori ini unsure-unsur ekonomi dalam masyarakat dipandang dari sudut dinamis
adalah primair dan dipandang dari sudut statis merupakan dasarnya.
Semuanya ini terdapat dalam ajaran K. Mark didalam bukunya “Zur Kritik dert Politischen
Oekonomie (1895) Pengarang pertama dari aliran ini adalah F. Turrati didalam bukunya “Ildelito e la
question sosiale” (1883) terutama mengeritik mashab Itali; dalam bagian positif ia juga nafsu ingin
memiliki yang berhubungan erat dengan sistem ekonomi pada waktu sekarang mendorong kejahatan
perekonomian.
Juga dikatakan mengenai kejahatan terhadap orang (kejahatan penyerangan) menunjukan akan
pengaruh dari keadaan materil terhadap jiwa manusia; kesengsaraan membuat jiwa menjadi tumpul,
kebodohan dan keindahan juga merupakan sebab-sebab yang mengakibatkan kejahatan yang semacam.
Begitu juga keadaan tempat tempat tinggal yang jelek merosotnya kesusilaan dan menyebabkan kejahatan
kesusilaan.
F. Turati, dalam bukunya : Il delitto e, la questione sosiale (1883) ia terutama mengeritik mashab
Italia. Dalam bagian yang positif ia menyatakan bahwa tidak hanya kekurangan keksengsaraan saja,
tetapi juga nafsu ingin memiliki, yang berhubungan erat dengan sistim ekonomi pada waktu sekarang,
mendorong kejahatan ekonomi.
Mengenai kejahatan terhadap orang (kejahatan agresif), Turati menunjukan akan pengaruh dari
keadaan materil terhadap jiwa manusia: “kesengsaraan membuat pikiran menjadi tumpul, kebodohan dan
ketidakadaban merupakan faktor yang berkuasa dalam timbulnya kejahatan. Keadaan tempat tinggal yang
buruk, merosotnya moraliteit, seksual menyebabkan kejahatan kesusilaan.
N. Colajanni (1847-1921) dalam bukunya : Sosiologia Criminale (1887) yang menentang aliran
30
timbulnya kejahatan dengan gejala patologis-sosial seperti pelacuran yang juga berasal dari keadaan
perekonomian dan kejahatan politik.59 Beliau juga menekankan adanya hubungan antara system ekonomi
dan unsur-unsur umum dalam kejahatan, yakni hak milik mendorong untuk mementingkan diri sendiri,
dan oleh karyawan yang mendekatkan pada kejahatan. Untuk mencegah kejahatan adalah dengan suatu
sitem ekonomi yang dapat mencapai perimbangan yang tetap dan pembagian kekayaan yang
serata-ratanya.60
Beberapa hasil aetiologi daripada sosiologi kriminil, bahwa sosiologi kriminil sudah berumur
kira-kira satu abad : beberapa unsur yang turut menyebabkan terjadinya kejahatan dipelajarinya, dan
penyelidikan ini tidak dapat dipungkiri, menyebabkan kita mempunyai pandangan yang lebih dalam.
Dalam uraian kriminologi ini tidaklah mungkin menguraikan seluruh bahan-bahan yang didapatnya,
apalagi dengan mendalam. Terpaksa cukup dengan memajukan beberapa hasil yang penting saja.
Jasa dari para ahli ini ialah, bahwa mereka dalam segi tertentu, telah menyempurnakan teori
lingkungan. Oleh para pengarang Prancis kebanyakan dokter teori tersebut diterangkan dengan
samar-samar. Bagaimanapun besarnya jasa-jasa mereka dipandang dari sudut dynamis teristimewa mengenai
penyelidikan dari Lafargue, tetapi tidaklah dapat dipertahankan bahwa mereka telah membuktikan
dalil-dalilnya, paling jauh mereka hanya membuatnya dapat diterima.
61
a. Terlantarnya anak-anak
Menurut Mr. W.A. Bonger, berdasarkan hasil Aetiologi daripada Sosiologi kriminil bawha
terdapat beberapa unsur yang turut menyebabkan terjadinya kejahatan menurut penyelidikanya
dikarennakan :
Kejahatan anak-anak dan pemuda-pemuda sudah merupakan bagian yang terbesar dalam
kejahatan, lagipula kebanyakan penjahat yang sudah dewasa umumnya sudah sejak kecil mudanya
59
Edi Warman, Selayang pandang tentang kriminologi Op.cit, 1994, hal 38-39 60
31
menjadi penjahat, sudah merosot kesusilaannya sejak kecil.62
Terutama pertumbuhan perisdustrian menyebabkan adanya banyak sekali kejahatan pada
anak-anak, yang dalam keadaan luar biasa, terutama waktu perang, sering hampir-hampir merupakan
bencana.
Kejahatan anak-anak,dapat mencari
tindakan-tindakan pencegahan kejahatan, yang kemudian akan berpengaruh baik pula terhadap kejahatan
orang dewasa.
Jika kita meneliti bahan-bahan yang ada, akan terlihat denganjelas pentingnya keaadan
lingkungannya sewaktu masih muda untuk terjadinya kejahatan, yang menimbulkan pertanyaan apakah
dengan adanya keadaan lingkungan yang sangat buruk, tak dapat diakui adanya apa yang dinamakan
kejahatan lingkungan yang murni.
63
Terlantarnya anak-anak merupakan suatu unsur dalam semua kejahatan, karena itu merupakan
unsur umum.
Di Nederland, jumlah anak-anak yang belum cukup dewasa oleh pengadilan dinyatakan bersalah
menurut hukum pidana (yaitu dibawah umur 18 tahun), naik dari 2.809 kejahatan pada tahun 1939
menjadi tidak kurang 6.740 kejahatan pada tahun 1943 terutama golongan yang berumur 14-17 tahun
bertambah dengan pesat dan pada tahun 1947 jumlah ini turun lagi menjadi 4356.
64
b. Kesengsaraan
Pengaruh kesengsaraan terhadap kejahatan ekonomi sudah sudah terbukti sangat besar, yang
dinaksud dengan kesengsaraan bukan hanya ‘hampir mati karena kelaparan’. Suatu bukti mengenai hal ini
dapat juga dikemukakan. Lepas dari gelombang, yang disebabkan oleh konyunktur, gerak umum (trend)
dari kejahatan ekonomi yang paling banyak disebabkan karena kesengsaraan, yaitu pencurian biasa, yang
62
Edi Warman, Selayang pandang tentang kriminologi, Op.cit , hal 39 63
32
berkurang sejak penghabisan abad ke-19, sesuai dengan berjurangnya kemiskinan di kalangan rakyat
jelata.65
c. Nafsu Ingin Memiliki
Bahwa kesengsaraan dalam masyarakat merupakan suatu unsur yang bersifat sosiologis
mengakibatkan terjadinya kejahatan.
Kejahatan karena kesengsaraan harus dibedakan dengan kejahatan karena nafsu ingin memiliki.
Harus diakui, bahwa antara dua golongan tersebut terdapat banyak bentuk peralihan tetapi tidaklah masuk
akal, jika kita hanya berdasarkan ini lalu mengingkari dua golongan yang berlawanan itu.66
Masyarakat sekarang dengan nafsunya yang besar untuk memiliki dan ingin hidup mewah sukar
dapat memahamkan, bahwa pada waktu dulu hal yang demikian tidak terdapat. Pada waktu sekarangpun
masih dapat diketahui bahwa umpamanya dalam daerah pertanian yang agak terpencil letaknya dimana
para petani masih mempunyai tanah sendiri, jalan pikiran mereka dalam hal ini sangat berbeda.67
Rupanya nafsu ingin memiliki timbul karena adanya keinginan mencapai kemakmuran yang lebih
besar, dan terkadang untuk mendaptkannya harus dengan jalan kejahatan karena tidak dapat diperoleh
dengan jalan yang wajar (halal).
Selama masyarakat masih terbagi dalam golongan kaya dan miskin, nafsu ingin memiliki dari si
miskin dibandingkan dengan adanya kekayaan yang ditonjolkan disekrlilingnya.
Dapat dikatakan bahwa pencurian biasa banyak dilakukan karena maksud-maksud yang
berhubungan dengan faktor kesengsaraan, sedangkan kejahatan terhadap kekayaan lebih berbelit-belit
bentuknya sering disebabkan karena nafsu ingin memiliki.
68
65 Prof. Mr. W.A.Bonger, pengantar tentang kriminologi, Op. cit hal 106 66
Edi Warman, Selayang pandang tentang kriminologi, Op.cit, hal 41 67
33
d. Demoralisai Seksuil.Lingkungan pendidikan sewaktu masih muda besar sekali pengaruhnya terhadap
kelainan-kelainan seksual yang biasanya berhubungan dengan kejahatan.69
Dalam masyarakat sekarang banyak sekali anak-anak yang hidup dilingkungan yang buruk dari
segi sosial, tetapi juga terutama segi psycologis dan paedagogis. Banyak anak-anak terutama dari
golongan rendah dalam masyarakat, mengenal penghidupan kesusilaan sedemikian rupa, sehingga
menyebabkan mereka dapat memperoleh kerusakan dalam jiwanya, yang dapat bersifat hebat sekali.70
Sebagai contoh dapat dikemukakan: Pada tahun 1936 di Wina oleh F. Breunlich, Enquete yang
dilakukan meliputi 67.524 anak sampai umur 18 tahun, hanya 55 persen dari mereka yang mempunyai
tempat tidur sendiri ; makin naik umurnya makin berkurang persentasenya, tapi tidak kurang dari 12
persen masih harus tidur dalam suatu tempat tidur dengan orang tuanya. Dari golongan ini kira-kira
separuhnya sudah berumur lebih dari 5 tahun.71 Seluruhnya menempati 35.128 rumah dengan penghuni
213.188 jiwa, dari rumah-rumah tersebut, hanya 17.915 dalam keadaan baik; 9317 gelap, 6327 basah,
5240 kurang udaranya, 5666 kotor, 1712 sama sekali tidak terpelihara.72
e. Alkoholisme
Pengaruh alkoholisme terhadap kejahatan, biarpun sudah berkurang daripada dulu, sekarang
masih juga tetap besar dan banyak segi-seginya. 73
69
Ibid hal 41
70 Prof. Mr. W.A.Bonger, pengantar tentang kriminologi, Op. cit hal 109 71 Edi Warman, Selayang pandang tentang kriminologi, Op.cit, 1994, hal 42
72 F. Breunch,’Kinder ohne.Bett : so schlafen Groszadkinder’ 1936, dalam buku Prof. Mr. W.A.Bonger, pengantar
tentang kriminologi, hal 109
73
Lihat penyelidikan statistic yang teliti oleh Th.W.vd.Woude;’Alchohol en misdaad’(1935), Prof. Mr. W.A.Bonger, pengantar tentang kriminologi, hal 109
34
penyalahgunaanminuman keras mempunyai akibat tidak baik terhadap keturunan karena merusak benih
manusia, karana tidak diterima lagi oleh umum, tapi pembahasan persoalan ini pastilah belum seslesai.74
Makin lama makin diinsyafi bahwa masalah alkoholisme pada wakt