EFEKTIVITAS
ANGER MANAGEMENT TRAINING
UNTUK MENURUNKAN AGRESIVITAS PADA
REMAJA
DISRUPTIVE BEHAVIOR DISORDERS
TESIS
NASRIZULHAIDI 117029019
PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER PSIKOLOGI PROFESI KEKHUSUSAN KLINIS ANAK
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
EFEKTIVITAS
ANGER MANAGEMENT TRAINING
UNTUK MENURUNKAN AGRESIVITAS PADA
REMAJA
DISRUPTIVE BEHAVIOR DISORDERS
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Psikologi Profesi
NASRIZULHAIDI 117029019
PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER PSIKOLOGI PROFESI KEKHUSUSAN KLINIS ANAK
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LEMBAR PENGESAHAN
Tesis ini diajukan oleh
Nama : NASRIZULHAIDI
NIM : 117029019
Kekhususan : Klinis Anak
Judul Tesis : Efektivitas Anger Management Training untuk Menurunkan Agresivitas pada Remaja Disruptive Behavior Disorders
Telah berhasil dipertahankan dihadapan para dewan penguji dan diterima sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Psikologi Profesi kekhususan
Klinis Anak dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.
DEWAN PENGUJI
Penguji I/ Pembimbing : Irna Minauli, M.Si, Psikolog [ ]
Penguji II : Elvi Andriani Yusuf, M.Si, Psikolog [ ]
Medan, 11 Februari 2014
Koordinator Program Pendidikan Magister Dekan Fakultas Psikologi USU Psikologi Profesi Fakultas Psikologi USU
LEMBAR PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sungguh-sungguh, bahwa tesis yang telah saya susun
sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Psikologi Profesi kekhususan
Klinis Anak dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, adalah hasil
karya saya sendiri.
Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan tesis yang saya kutip dari
hasil karya orang lain, telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan
norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.
Apabila dikemudian hari ditemukan adanya kecurangan dalam tesis ini,
saya bersedia menerima sangsi dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Medan, 11 Februari 2014
Yang menyatakan,
Jalan terbaik untuk bebas dari masalah
adalah dengan memecahkannya
(Alan Saporta)
Perubahan tidak akan datang jika kita
menunggu orang lain atau lain waktu.
Diri kitalah yang ditunggu-tunggu.
Diri kitalah perubahan yang kita cari
(Barack Hussein Obama)
بْ لْطم اضر دْ صْ م تْنأ ْ لإ
“Ya Allah, Engkaulah yang aku
maksud
Karya ini dipersembahkan khusus
untuk:
Agustina, S.Psi ~ istri tercinta yang
hebat dan selalu mendukung suami
untuk meraih cita-citanya.
Farras Shakila Nasri ~ si cerdas
yang cantik, periang, kreatif dan
komunikatif.
Azzam Mubarak Nasri ~ si cerdas
yang tampan dengan senyuman
khasnya, dermawan dan teguh
pendirian.
Nadhifa Izzati Nasri ~ si cantik
yang baik budi pekertinya, lahir
pada tanggal 07 Februari 2014 dan
turut memberikan cerita haru
menjelang sidang Tesis ayahnya
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat serta hidayah-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan tesis ini
dengan semaksimal mungkin. Meskipun begitu penulis menyadari, kalau tesis ini
masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan
adanya masukan yang membangun, agar ke depannya penulis dapat melakukan
penelitian lebih baik lagi, yang akan bermanfaat untuk semuanya.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah memberikan dukungan, diantaranya:
1. Ibu Irna Minauli, M.Si, Psikolog, selaku pembimbing utama dan “dosen
idola” karena penulis mendapatkan role model dari sikap kebijaksanaan beliau yang memberikan dukungan besar untuk kelancaran proses bimbingan
dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi. Selain itu sikap ramah yang
penuh kekeluargaan, penuh empati dan selera humor beliau yang baik, sangat
membuat “kenyamanan” sehingga memberikan motivasi yang besar sekali bagi penulis untuk melakukan yang terbaik saat menyusun Tesis ini
2. Ibu Elvi Andriani Yusuf, M.Si, Psikolog, selaku penguji II dan “dosen idola” karena penulis mendapatkan role model dari sikap beliau yang begitu humble
(meski Allah telah berikan kelebihan akan nikmat kekayaan, cantik dan
pintar), selalu tampil menarik dan suka tersenyum, respect pada semua orang,
3. Istri tercinta (Tina), sang buah hati yang terkasih (Shakila, Azzam, Nadhifa),
keluarga besar semuanya (almarhum/ah orangtuaku, mertua, bukde Ida
sekeluarga, abang-kakakku), yang turut mendo’akan dan telah membantu sehingga menjadi penyemangat terkuat bagi penulis untuk menyelesaikan
perkuliahan di Magister Psikologi Profesi Universitas Sumatera Utara.
4. Ibu Prof. Dr. Irmawati, Psikolog, selaku Dekan di Fakultas Psikologi
Universitas Sumatera Utara.
5. Ibu Dr. Wiwik Sulistyaningsih, M.Si, Psikolog, selaku Koordinator Program
Magister Psikologi Profesi Universitas Sumatera Utara.
6. Ibu Eka Ervika M.Si, Psikolog, selaku Koordinator kekhususan Klinis Anak
dan dosen Pembimbing Akademik.
7. Seluruh staf pengajar Magister Psikologi Profesi Universitas Sumatera Utara,
yang telah memberikan ilmu dan pengalamannya (Pak Zul, Pak Eka, Pak
Fery, Bu Desvi, Bu Yosi, Bu Asih, Bu Lela, Bu Lily, Bu Dina, Bu Eti, Bu
Mutia, Bu Emi, Bu Vivi, Bang Alif, Kak Debi, Kak Rahma, Kak Rahmi, Kak
Indri, Kak Liza, Kak Juli, Kak Ridhoi, Kak Lisa, Kak Cherry, Dina Nazriani).
8. Seluruh staf administrasi Magister Psikologi Profesi Universitas Sumatera
Utara (Kak Eli, Eko, Yudi), yang telah membantu untuk keperluan
administrasi mahasiswa.
9. Kepala sekolah SMPN 1 Kutacane – Kabupaten Aceh Tenggara (Drs.M.Samin.AS, MM), semua guru dan staf sekolah, yang telah
10. Siswa-siswa yang sudah bersedia untuk terlibat dalam mengevaluasi dan
mengisi skala, serta subjek yang terpilih dalam penelitian ini.
11. Rekan-rekan seperjuangan angkatan VI Magister Psikologi Profesi
Universitas Sumatera Utara kekhususan Klinis Anak (Ayu, Wini, Nila,
Yulinda, Muti, Mayang), teman-teman dari KLD (Irfan, Tika-almh, Ira,
David), teman-teman dari PIO (Yuni, Uci, Karli, Gita, Kiki, Amel, Ivi,
Sherry, Rara, Cici), teman-teman dari Pendidikan (Ema, Kiky, Rena, Ulfa)
dan mahasiswa MP2 lainnya (Yustian prof, Ebit, Umi, Suri, Susi, Evi, Kak
Ita, Kak Reni, Indy, Wina, Mbak Ning, Ayu Aceh, Aci, Meyke, Dini).
12. Tempat-tempat yang telah memberikan kenyamanan bagi penulis (kamar kos,
perpustakaan USU, ruang diskusi MP2, psycholib, Mesjid Agung Medan,
SUN Plaza, Plaza Medan Fair) dan fasilitas jaringan internet wifi di USU
yang turut memperlancar dalam mencari bahan.
Penulis juga ingin berterima kasih pada pihak-pihak yang tidak mungkin
disebutkan satu persatu, yang sudah membantu dan memberikan dukungan selama
ini. Penulis hanya berharap semoga Allah SWT, akan membalas dengan kebaikan
yang berlipat ganda, Amin.
Medan, 11 Februari 2014
DAFTAR ISI
1.1. Latar Belakang Masalah ...
1.2. Tujuan Penelitian ...
1.3. Manfaat Penelitian ...
1.3.1. Manfaat Teoritis ...
1.3.2. Manfaat Praktis ...
LANDASAN TEORI ...
BAB III
2.1.1. Pengertian Disruptive Behavior Disorders ... 2.1.2. Faktor-faktor Penyebab Disruptive Behavior
Disorders ... 2.2. Agresivitas ...
2.2.1. Pengertian Agresivitas ...
2.2.2. Faktor-faktor yang Menyebabkan Agresivitas
2.2.3. Agresivitas pada Masa Remaja ...
2.3. Anger Management Training (AMT) ... 2.3.1. Pengertian Anger Management Training ...
2.3.2. Teknik-teknik dalam Anger Management Training... 2.4. Efektivitas Anger Management Training untuk
Menurunkan Agresivitas pada Remaja Disruptive Behavior Disorders ...
BAB IV
BAB V
3.5. Metode Pengumpulan Data ...
3.5.1. Skala ...
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...
4.1. Deskripsi Subjek Penelitian ...
4.2. Hasil Kategorisasi Subjek Penelitian ...
4.3. Hasil Uji Asumsi ...
4.3.1. Uji Normalitas ...
4.3.2. Uji Homogenitas ...
4.4. Hasil Analisa Data ...
4.5. Pembahasan ...
4.5.1. Pembahasan Data Kelompok ...
4.5.2. Pembahasan Data Individual ...
4.6. Kelebihan dan Kelemahan Penelitian ...
5.1. Kesimpulan ...
5.2. Saran ...
5.2.1. Remaja Disruptive Behavior Disorders ... 5.2.2. Guru ...
5.2.3. Peneliti Selanjutnya ...
DAFTAR PUSTAKA ... 73
73
74
74
75
DAFTAR TABEL Norma Kategorisasi Skala CPRS ...
Norma Kategorisasi Skala BAQ ...
Taraf Kecerdasan Subjek dengan Alat Tes SPM ...
Rancangan Modul Anger Management Training ...
Hasil Seleksi Subjek Penelitian ...
Jadwal Pertemuan Intervensi ...
Deskripsi Umum Subjek Penelitian ...
Kategorisasi Subjek Berdasarkan Skor Skala ...
Hasil Uji Normalitas Skala BAQ ...
Hasil Uji Homogenitas Skala BAQ ...
Hasil Independent Sample t-test Skala BAQ ...
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Klasifikasi Perilaku Disruptive ... Kerangka Teoritis Penelitian ...
Rancangan Eksperimen ...
Perbedaan Mean Skor Agresivitas KE & KK ... Rentang Skor Mean Difference KE & KK ...
Skor Skala BAQ - KE (Pretest - Posttest) ... Skor Skala BAQ - KK (Pretest - Posttest) ...
12
29
33
54
56
62
DAFTAR LAMPIRAN Hasil Uji Reliabilitas Skala BAQ (Buss-Perry Aggression Questionnaire) ...
Data Skor Skala BAQ (Buss-Perry Aggression Questionnaire) ...
Hasil Uji Normalitas Skala BAQ –Pretest ...
Hasil Uji Homogenitas Data Subjek Penelitian ...
Hasil Independent t-test Pada Kelompok Eksperimen &
Kontrol –Pretest ... Hasil Independent t-test Pada Kelompok Eksperimen &
Kontrol –Posttest ... Hasil Uji Paired Sample t-test di Kelompok Eksperimen ... Hasil Uji Paired Sample t-test di Kelompok Kontrol ...
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
Modul Anger Management Training untuk Menurunkan Agresivitas pada Remaja Disruptive Behavior Disorders ...
Skala CPRS ...
Skala BAQ ...
Slide Presentasi Modul Anger Management Training ...
Informed Consent ... Lembaran Tugas (1, 2 dan 3) pada Subjek di Kelompok
Eksperimen ...
Lembar Jawaban A2 – SPM ...
92
104
107
Abstrak
Penelitian ini bertujuan mengetahui efektivitas anger management training untuk menurunkan agresivitas pada remaja disruptive behavior disorders. Subjek penelitian dipilih melalui screening dengan skala CPRS (Conduct Problem Risk Screen) dan pengukuran agresivitas dengan skala BAQ (Buss-Perry
Aggression Questionnaire). AMT (Anger Management Training) berupa psikoedukasi, yang mempelajari tentang pemahaman dasar marah, ekspresi marah dan akibatnya, mengidentifikasi diri saat marah, mengontrol pikiran marah dan menentukan tingkat kemarahan. Selanjutnya memahami anger management
melalui film, relaksasi otot dan pernapasan, cara menyelesaikan konflik, cara mengontrol marah dan perencanaan dalam mengontrol marah. Adapun metode yang digunakan terdiri dari diskusi kasus, latihan individual, presentasi dan
modelling perilaku. Penempatan subjek dengan random assignment dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok eksperimen berjumlah 10 orang, mendapat AMT selama 3 kali pertemuan dan setiap pertemuan memerlukan waktu 120 menit. Sementara subjek di kelompok kontrol juga berjumlah 10 orang, namun tidak mendapatkan perlakuan. Pengujian hipotesis dengan teknik Independent Sample t-test dan hasilnya p = 0,000 < 0,05. Kemudian untuk melihat perbedaan tingkat agresivitas subjek di kelompok eksperimen saat pretest dan posttest
digunakan teknik Paired Sample t-test, hasilnya p = 0,000 < 0,05 dengan mean
sebesar 25,5. Hal yang sama dilakukan pada kelompok kontrol dan hasilnya p = 0,000 < 0,05 dengan mean sebesar -11,1. Dapat disimpulkan anger management
efektif untuk menurunkan agresivitas. Dalam hal ini subjek di kelompok eksperimen mengalami penurunan agresivitas setelah mendapat AMT dan subjek di kelompok kontrol mengalami peningkatan agresivitas karena tidak mendapatkan AMT. Selain itu AMT dapat pula diberikan pada individu yang memiliki kemampuan di bawah rata-rata, dengan memodifikasi program yang lebih berbentuk operasional konkrit.
Abstract
The aim of this research is to determine the effectiveness of anger management training to reduce aggression in adolescent with disruptive behavior disorders. Subjects selected through screening with CPRS scale (Conduct Problem Risk Screen) and using BAQ scale (Buss-Perry Aggression Questionnaire) to measure aggression. AMT (Anger Management Training) in this research is a form of psychoeducation, which students learned about the basic understanding of angry, anger expression and it’s consequences, self identify their feelings when angry, angry thoughts controlling and determined the level of anger. Further understanding of anger management through the movie, muscle relaxation and breathing, how to resolve conflicts, how to control anger and anger planning control. The method used consists of case discussions, individual exercises, presentation and behavior modeling. The placement of the subject done by random assignment, which are divided into two groups. The experimental group consist of 10 students, received AMT for 3 times meeting and each meeting held in 120 minutes. The number of subjects in control group is 10 students also, but do not receive treatment. Hypothesis testing was done by using technique Independent Sample t-test and the result is p = 0,000 < 0,5. To measure the differences in the level of aggressiveness of the subjects in the experimental group during pretest and posttest, used Paired Sample t-test techniques, the result is p = 0,000 < 0,05 with mean 25,5. The same thing is done in the control group and the result is p = 0,000 < 0,05 with mean -11,1. It can be concluded that anger management training can reduce aggressiveness. In this case the subjects in the experimental group experienced a decrease in aggressiveness after receiving AMT while subjects in the control group increased their aggressiveness because they didn’t get AMT. In addition AMT can be given to individual with lower level of intelligence, by modifying form of the program more concrete operational.
Abstrak
Penelitian ini bertujuan mengetahui efektivitas anger management training untuk menurunkan agresivitas pada remaja disruptive behavior disorders. Subjek penelitian dipilih melalui screening dengan skala CPRS (Conduct Problem Risk Screen) dan pengukuran agresivitas dengan skala BAQ (Buss-Perry
Aggression Questionnaire). AMT (Anger Management Training) berupa psikoedukasi, yang mempelajari tentang pemahaman dasar marah, ekspresi marah dan akibatnya, mengidentifikasi diri saat marah, mengontrol pikiran marah dan menentukan tingkat kemarahan. Selanjutnya memahami anger management
melalui film, relaksasi otot dan pernapasan, cara menyelesaikan konflik, cara mengontrol marah dan perencanaan dalam mengontrol marah. Adapun metode yang digunakan terdiri dari diskusi kasus, latihan individual, presentasi dan
modelling perilaku. Penempatan subjek dengan random assignment dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok eksperimen berjumlah 10 orang, mendapat AMT selama 3 kali pertemuan dan setiap pertemuan memerlukan waktu 120 menit. Sementara subjek di kelompok kontrol juga berjumlah 10 orang, namun tidak mendapatkan perlakuan. Pengujian hipotesis dengan teknik Independent Sample t-test dan hasilnya p = 0,000 < 0,05. Kemudian untuk melihat perbedaan tingkat agresivitas subjek di kelompok eksperimen saat pretest dan posttest
digunakan teknik Paired Sample t-test, hasilnya p = 0,000 < 0,05 dengan mean
sebesar 25,5. Hal yang sama dilakukan pada kelompok kontrol dan hasilnya p = 0,000 < 0,05 dengan mean sebesar -11,1. Dapat disimpulkan anger management
efektif untuk menurunkan agresivitas. Dalam hal ini subjek di kelompok eksperimen mengalami penurunan agresivitas setelah mendapat AMT dan subjek di kelompok kontrol mengalami peningkatan agresivitas karena tidak mendapatkan AMT. Selain itu AMT dapat pula diberikan pada individu yang memiliki kemampuan di bawah rata-rata, dengan memodifikasi program yang lebih berbentuk operasional konkrit.
Abstract
The aim of this research is to determine the effectiveness of anger management training to reduce aggression in adolescent with disruptive behavior disorders. Subjects selected through screening with CPRS scale (Conduct Problem Risk Screen) and using BAQ scale (Buss-Perry Aggression Questionnaire) to measure aggression. AMT (Anger Management Training) in this research is a form of psychoeducation, which students learned about the basic understanding of angry, anger expression and it’s consequences, self identify their feelings when angry, angry thoughts controlling and determined the level of anger. Further understanding of anger management through the movie, muscle relaxation and breathing, how to resolve conflicts, how to control anger and anger planning control. The method used consists of case discussions, individual exercises, presentation and behavior modeling. The placement of the subject done by random assignment, which are divided into two groups. The experimental group consist of 10 students, received AMT for 3 times meeting and each meeting held in 120 minutes. The number of subjects in control group is 10 students also, but do not receive treatment. Hypothesis testing was done by using technique Independent Sample t-test and the result is p = 0,000 < 0,5. To measure the differences in the level of aggressiveness of the subjects in the experimental group during pretest and posttest, used Paired Sample t-test techniques, the result is p = 0,000 < 0,05 with mean 25,5. The same thing is done in the control group and the result is p = 0,000 < 0,05 with mean -11,1. It can be concluded that anger management training can reduce aggressiveness. In this case the subjects in the experimental group experienced a decrease in aggressiveness after receiving AMT while subjects in the control group increased their aggressiveness because they didn’t get AMT. In addition AMT can be given to individual with lower level of intelligence, by modifying form of the program more concrete operational.
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Setiap orang pernah merasakan marah, karena marah itu adalah reaksi
yang normal dan alami. Seseorang juga mungkin akan marah ketika sedang
frustrasi karena kebutuhan, keinginan dan tujuannya tidak tercapai. Adakalanya
pula seseorang menjadi marah di dalam situasi yang membuatnya merasa
terancam atau dapat merugikan dirinya sendiri, hal itupun merupakan reaksi yang
wajar. Akan tetapi marah akan menjadi negatif dan tidak sehat, apabila seseorang
itu menjadi tidak sabar sehingga bersikap impulsif dan melakukan agresivitas
(Bhave & Saini, 2009; Reilly & Shopshire, 2002).
Mengekspresikan marah, bukan berarti seseorang harus menjadi
agresivitas. Justru faktanya, dengan mengekspresikan marah dapat mencegah
terjadinya agresivitas dan membuat orang lain menjadi meminta maaf (Izard
dalam Thomas, 2001). Maksudnya dengan mengekspresikan marah secara positif,
dapat membuat orang lain menjadi tersadar akan kesalahannya dan dapat
membantu seseorang pula agar bisa bertahan dalam mengatasi permasalahannya
di berbagai situasi (Averil & Novaco dalam Bhave & Saini, 2009). Dalam hal ini
antara marah dan agresivitas, jelas berbeda. Dimana marah merupakan emosi,
sedangkan agresivitas adalah perilaku yang dapat menyebabkan kerugian bagi
Para ahli mendefinisisikan marah cukup beragam, karena tidak semuanya
terfokus ke arah yang negatif. Menurut McCarthy, Barnes, & Alpert (dalam Blake
& Hamrin, 2007), marah merupakan emosi negatif yang merusak terkait dengan
penderitaan, permasalahan, mengamuk dan kebencian. Kemudian Cox, Stabb,
Brucker, & Novaco (dalam Lench, 2004) berpendapat, marah ialah cara
penanganan yang tidak tepat dengan keadaan menegangkan, menimbulkan konflik
yang lebih besar dan membuat seseorang menjadi tidak nyaman. Bhave & Saini
(2009) mengatakan, marah yaitu emosi yang disebabkan dari sumber internal dan
eksternal, serta sebagai reaksi yang wajar untuk keberlangsungan hidup.
Sementara Dunbar (2004) menDefinisisikan marah adalah emosi perasaan tidak
menyenangkan, yang dapat berubah dari kejengkelan ringan hingga mengamuk.
Semua orang pernah mengalami marah, namun setiap orang akan menjadi
penentu bagi dirinya sendiri dalam mengekspresikan marahnya. Cara seseorang
dalam mengekspresikan marahnya bisa digolongkan menjadi tiga: (1) agresivitas
ke orang lain (directed toward others) yaitu ekspresi marah yang merusak dengan cara negatif sehingga mengakibatkan timbulnya agresivitas secara fisik dan lisan,
seperti berteriak, menjerit, memukul, menghancurkan barang, melempar buku
atau kursi; (2) mengarah ke dalam diri (directed inward) atau ditekan (supressed), akibatnya juga dapat merusak pada diri seseorang, karena dapat meningkatkan
risiko tekanan darah tinggi, depresi, bunuh diri, penyakit pernapasan, membuat
seseorang menjadi lebih banyak merokok, minum alkohol, gagal di sekolah dan
sebagainya; (3) mengontrol dengan baik (well controlled) yaitu dengan
3
Mengekspresikan marah secara positif atau terkontrol merupakan emosi
yang menyehatkan dan menjadi tujuan setiap orang. Sebenarnya marah
merupakan tanda atau alarm yang akan mengalir ke otak, bahwa ada sesuatu yang salah, sehingga akan memberikan energi pada tubuh berupa adrenalin untuk
memperbaiki situasi yang terjadi. Saat keadaan marah terjadi, seseorang dapat
memilih tiga cara primitif yang mendasar sekali untuk dilakukan yaitu: (1) dengan
mempersiapkan segala sesuatu yang nantinya dapat mengancam; (2) langsung
berjuang menghadapinya; dan (3) mencoba lari untuk menghindarinya (Bhave &
Saini, 2009; Provenzana, 2004).
Permasalahan marah menjadi salah satu risiko terbesar yang dialami
remaja khususnya laki-laki, karena emosi mereka masih kurang stabil. Dimana
keadaan remaja mudah sekali terpancing marah, memiliki konflik dalam
pertemanan dan melakukan agresivitas. Jika dibandingkan antara anak-anak atau
orang dewasa, masa remaja cenderung lebih emosional, (Marcus, 2007). Dalam
hal ini erat kaitannya dengan keadaan remaja, yang merupakan masa transisi dari
masa kanak-kanak menuju dewasa. Meskipun begitu pada masa remaja, juga
mengalami perkembangan dalam berfikir kritis (Keating dalam Santrock, 2010).
Tidak dipungkiri jika dibandingkan dengan anak-anak, remaja lebih mampu
menciptakan beragam pilihan, menelaah situasi dari berbagai sudut pandang,
memperkirakan konsekuensi dari sebuah keputusan dan mempertimbangkan
kredibilitas dari suatu sumber. Namun pada masa remaja sering pula dikaitkan
dengan label juvenile delinquent (kenakalan remaja), karena perilaku remaja yang
Fakta yang terjadi di lapangan, mengenai kasus tawuran antar pelajar di
Indonesia cukup memprihatinkan, karena setiap tahunnya terus mengalami
peningkatan. Komisi nasional perlindungan anak (Komnas PA) melaporkan
tentang tawuran pelajar pada tahun 2011 tercatat 128 kasus dan sepanjang tahun
2012 menjadi 147 kasus hingga memakan korban jiwa sebanyak 82 orang
(Kuwado, 2012). Kasus kenakalan pelajar yang muncul juga beragam, mulai dari
melawan, berbohong, bolos, mengganggu, berkelahi, memalak (memeras) dan
mencuri uang atau barang temannya. Tindakan pelajar tersebut sering diberi label
sebagai anak nakal dan tingkah laku kenakalan itu dapat istilahkan dengan
perilaku disruptive (Mukhtar & Hadjam, 2006).
Perilaku disruptive disebut juga dengan perilaku yang tidak pantas atau
inapproriate behaviors (Matthys & Lochman, 2010). Dalam kehidupan
sehari-hari, perilaku disruptive sering dijumpai dari masa kanak-kanak hingga remaja. Seseorang yang berperilaku disruptive dapat terjadi hanya sementara, karena hal
tersebut dipengaruhi oleh watak dan faktor lingkungan. Bahkan bisa juga menetap
dan berkembang, menjadi oppositional defiant disorder (ODD) atau conduct disorder (CD). Gejala yang tampak pada remaja yang disruptive, biasanya mereka
dengan sengaja melanggar peraturan seperti mencuri, merusak barang-barang,
atau menyerang (American Academy of Pediatrics, 2010). Jika mengacu pada
DSM-IV-TR, diagnosa untuk perilaku ODD dan CD dapat dilihat dalam
kelompok disruptive behavior disorders, yang terpisah dengan attention deficit/hyperactivity disorder (AD/HD). Sebagai gambaran, perilaku ODD tidak
5
Dikarenakan remaja yang berperilaku disruptive tidak hanya akan membahayakan bagi dirinya sendiri, tetapi juga terhadap orang lain. Maka untuk
mengatasi permasalahan tersebut, penanganan dan pencegahan terhadap remaja
disruptive sangat perlu dilakukan. Salah satu intervensi psikososial yang sangat
disarankan yaitu dengan mengontrol marah (American Academy of Pediatrics,
2010), atau disebut juga dengan anger management karena merupakan cara terbaik dalam mengekspresikan marah secara positif (Bhave & Saini, 2009).
Anger management bertujuan untuk menghindari konsekuensi negatif, akibat dari ekspresi marah yang tidak sesuai. Secara ekstrim, marah memungkinkan sekali
dapat mengarah pada kekerasan atau agresivitas secara fisik. Akibatnya yang
terjadi setelah itu, seseorang bisa saja akan ditangkap atau dipenjara, mengalami
luka fisik, membalas dendam, kehilangan orang yang disayang, merasa bersalah,
menjadi malu atau menyesal (Reilly & Shopshire, 2002).
Penelitian tentang marah sudah banyak dilakukan dan para ahli sepakat
bahwa marah akan menjadi masalah bila frekuensi, kekuatan dan lamanya marah
begitu tinggi atau dikelola tidak efektif. Intervensi psikoedukasi seperti anger management training (AMT) bukanlah terapi, melainkan dapat menghasilkan
potensi untuk perubahan perilaku dengan meningkatkan pengetahuan,
menyediakan perspektif baru, memberikan klien kesempatan untuk belajar, serta
berlatih dengan cara khusus dan strategis (Anderson, et al. dalam Thomas, 2001).
AMT merupakan program yang bertujuan untuk mencegah risiko
kekerasan yang dialami oleh remaja, khususnya mengenai agresivitas (Marcus
menyebutkan, AMT itu meliputi: (1) menyediakan informasi kognitif dan
komponen perilaku tentang marah; (2) mengajarkan teknik kognitif dan perilaku
untuk mengelola marah; dan (3) memfasilitasi penerapan keterampilan baru.
Keterampilan baru yang diajarkan contohnya: relaksasi, berperilaku asertif,
antisipasi, instruksi diri, evaluasi diri, role play dan pemecahan masalah. Dalam hal pelaksanaan AMT menurut Feindler & Engel (2011), bisa dilakukan secara
individual dan kelompok. Meskipun yang diberikan terhadap kedua bentuk itu
pada prinsipnya sama, tetapi memiliki keuntungan yang berbeda (contohnya, jika
diberikan secara individual maka penanganannya menjadi lebih mendalam,
sedangkan jika kelompok akan memberikan kesempatan adanya contoh dari
anggota kelompok dan penguat orang lain dari perilaku prososial). Namun pada
umumnya AMT dilakukan secara kelompok, karena marah itu adalah emosi
interpersonal (Anderson, et al. dalam Thomas, 2001).
Perintis anger management menurut Beck (dalam Dunbar, 2004) adalah
Ellis, dimana marah terjadi akibat dari persepsi seseorang yang dikelola oleh
pikiran dan dikeluarkan dengan ekspresi marah yang tidak sehat. Pendekatannya
didesain untuk membantu klien agar menyadari, bahwa pikiran dan perasaan itu
memiliki keterkaitan satu sama lainnya. Dalam hal ini emosi seseorang
dipengaruhi oleh persepsinya terhadap suatu kejadian dan itu merupakan asumsi
dari cognitive behavioral therapy (CBT). Kemudian Dobson (2010) menyebutkan bahwa, rational emotive behavior therapy (REBT) yang ditemukan oleh Albert Ellis pada tahun 1955, menjadi petunjuk yang dicontoh oleh pendekatan cognitive
7
program dasar pencetus sebuah pendekatan holistik untuk menangani seseorang
yang tidak sehat dalam mengelola marahnya.
Dari beberapa laporan penelitian disebutkan bahwa, anger management
memberikan hasil positif terhadap remaja yang nakal, mahasiswa, pengemudi
dengan kemarahan yang tinggi, wanita Afrika-Amerika, agen lalu lintas kota New
York, individu yang learning disabilities, veteran perang yang post traumatic stress disorder, pasien jantung dan wanita yang di penjara (Thomas, 2001). Selain
itu Benson (dalam Fletcher & Poindexter, 1996) mendesain AMT, pada seseorang
yang mengalami mental retardation tergolong mild hingga moderate.
Hasil penelitian dari Siddiqah (2010) tentang anger management program, memberikan sumbangan sebesar 6% untuk mengurangi perilaku agresif remaja.
Kemudian penelitian dari Kellner & Bry (1999) mengenai AMT yang dilakukan
secara kelompok pada 7 orang remaja di sekolah yang mengalami gangguan
emosional, juga menunjukkan pengaruh positif terhadap penurunan agresif fisik
dan menyarankan untuk penelitian berikutnya akan lebih baik jika adanya
pendekatan yang memberikan insight pada remaja dengan diagnosa lebih khusus. Jelas terlihat bahwa intervensi AMT memiliki pengaruh positif dan dapat
mengurangi agresivitas. Oleh karena itu peneliti merasa tertarik ingin melihat
efektivitas anger management training untuk menurunkan agresivitas pada remaja
disruptive behavior disorders. Apalagi sepengetahuan peneliti mengenai penelitian anger management di Indonesia hanya ada beberapa saja dan belum ditujukan untuk diagnosa khusus. Bahkan di kampus Universitas Sumatera Utara
1.2. Tujuan Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah anger
management training efektif untuk menurunkan agresivitas pada remaja
disruptive behavior disorders. Adapun tujuan khususnya adalah untuk melakukan
perubahan berpikir pada area kognitif dan perilaku subjek, supaya
mengekspresikan marahnya secara positif atau terkontrol.
1.3. Manfaat Penelitian 1.3.1. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah menambah referensi bagi
Psikologi Klinis, khususnya Psikologi Klinis Anak. Penelitian ini diharapkan akan
menambah wawasan mengenai efektivitas penerapan anger management training
untuk menurunkan agresivitas pada remaja disruptive behavior disorders.
1.3.2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
yang bermanfaat bagi semua orang untuk mengekspresikan marahnya secara
positif atau terkontrol. Selain itu modul anger management training yang telah disusun dalam penelitian ini, juga dapat dimanfaatkan nantinya oleh pihak-pihak
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Disruptive Behavior Disorders (DBD) 2.1.1. Pengertian Disruptive Behavior Disorders
Disruptive behavior disebut juga dengan perilaku yang tidak pantas atau
inapproriate behaviors. Jika perilaku tersebut sering muncul, tidak hanya hubungan seorang anak dengan sesama temannya saja yang terganggu, melainkan
dengan orang dewasa ikut terganggu pula (Matthys & Lochman, 2010).
Sedangkan Schroeder & Gordon (2002) menyatakan, disruptive behavior adalah bentuk perilaku yang negatif seperti mengamuk, merengek atau menangis yang
berlebihan, menuntut perhatian, tidak patuh, melawan, melakukan agresivitas
yang dapat membahayakan diri sendiri atau orang lain, mencuri, berbohong,
merusak barang dan kenakalan (delinquency).
Mengacu pada DSM-IV-TR (diagnostic and statistical manual of mental disorders–fourth edition–text revision), disruptive behavior disorders merupakan
bentuk dari perilaku antisosial, yang terbagi menjadi dua kriteria yaitu conduct disorder (CD) dan oppositional defiant disorder (ODD). Dimana ODD dan CD,
terpisah dengan attention deficit/hyperactivity disorder (AD/HD). Singkatnya, perilaku ODD tidak begitu parah dibandingkan CD, yang melakukan agresivitas
pada orang atau hewan, merusak barang, mencuri atau menipu (Loeber, et al.
Bentuk perilaku ODD menunjukkan sikap yang tidak pantas diusianya
yang terjadi berulang-ulang, seperti keras kepala, bermusuhan dan melawan.
Sementara perilaku CD, bentuk agresivitasnya sudah lebih parah yang terjadi
berulang-ulang dan menetap, serta perilaku antisosialnya sudah membuat luka
atau melanggar hak-hak orang lain, baik secara fisik, perkataan kasar, mencuri,
atau melakukan kerusakan (Mash & Wolfe, 2005). Perbedaan yang mendasar
antara ODD dengan CD bukan hanya dari tingkat keparahannya saja, melainkan
juga dari perkembangan dan hirarki yang menghubungkan diantara keduanya,
bahwa gejala ODD sering muncul sebelum berkembang menjadi CD yaitu
sebelum masa pubertas pada anak laki-laki (Sutker & Adams, 2002). Ketika
bentuk perilaku individu ada pada kedua kriteria untuk ODD dan CD, dalam hal
ini dalam menentukan diagnosanya akan menjadi CD (American Psychiatric
Association, 2000).
Berdasarkan Mash & Wolfe (2005); Schroeder & Gordon (2002); Matthys
& Lochman (2010); American Psychiatric Association (2000), kriteria diagnostik
untuk perilaku ODD yang tertera di DSM adalah: merupakan bentuk perilaku
yang negativistik, bermusuhan dan melawan setidaknya terjadi pada 6 bulan
terakhir, kemudian gejala yang muncul bisa 4 atau lebih seperti:
1) sering mengamuk.
2) sering membantah dengan orang dewasa.
3) sering melawan atau menolak untuk menuruti permintaan atau aturan dari
orang dewasa.
11
5) sering menyalahkan orang lain atas kesalahan atau perilaku tidak pantas yang
sudah dilakukannya.
6) sering tersinggung atau mudah terganggu dengan orang lain.
7) sering marah dan membenci.
8) sering iri hati atau membalas dendam.
Adapun acuan kriteria diagnostik untuk perilaku CD seperti yang tertera di
DSM yaitu: pola perilaku yang melanggar hak-hak dasar orang lain atau tidak
sesuai dengan norma sosial untuk seusianya, yang terjadi berulang-ulang dan
menetap, ditunjukkan dengan 3 gejala atau lebih pada 12 bulan yang lalu,
setidaknya 1 gejala di 6 bulan terakhir diantaranya:
1) sering menggangu, mengancam, atau mengintimidasi orang lain.
2) sering memulai perkelahian fisik.
3) menggunakan senjata yang menyebabkan luka fisik serius seperti: dengan
tongkat pemukul, batu bata, pecahan botol, pisau dan pistol.
4) melakukan kekejaman fisik pada orang lain.
5) melakukan kekejaman fisik pada hewan.
6) mencuri yang berhadapan dengan korbannya seperti: merampok, mengambil
dompet, pemerasan dan menyamun.
7) memaksa seseorang melakukan aktivitas seksual.
8) membakar sesuatu yang menimbulkan kerusakan serius dengan tujuan
mencari perhatian.
9) sengaja menghancurkan barang milik orang lain selain membakar.
11) sering berbohong untuk mendapatkan barang atau meminta pertolongan atau
menghindari kewajiban seperti menipu orang lain.
12) mencuri sesuatu yang tidak berharga tanpa menghadapi korbannya seperti
mencuri di toko tetapi tanpa merusak atau menyelusup dan pemalsuan.
13) sering keluar rumah pada malam hari meskipun orang tua melarang, berawal
sebelum usia 13 tahun.
14) melarikan diri dari rumah selama semalam setidaknya dua kali saat tinggal
dengan orang tua atau di rumah sebagai pengganti orang tua, atau sekali tanpa
pulang dalam waktu yang panjang.
15) sering bolos dari sekolah, berawal sebelum usia 13 tahun.
Kemudian Frick et al. (dalam Schroeder & Gordon, 2002), membuat klasifikasi mengenai disruptive behavior menjadi dua dimensi yaitu: (1)
covert-overt dan (2) destructive-nondestructive. Supaya memudahkan untuk memahami hal tersebut, dapat dilihat pada gambar 1 berikut ini:
Gambar 1. Klasifikasi Perilaku Disruptive
Destructive
Penyalahgunaan obat Tidak patuh Melarikan diri Berdebat
Bergadang Mengganggu orang lain Keras kepala
Menentang orang dewasa Mudah tersinggung
Marah
13
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa disruptive behavior disorders adalah bentuk perilaku negatif atau antisosial, dimana tindakan yang
dilakukan sudah tidak sesuai dengan norma sosial, yang terjadi secara
berulang-ulang dan menetap, akibatnya tidak hanya merugikan pada diri individu itu sendiri
namun juga pada orang lain. Bahkan perilaku individu tersebut sudah melanggar
hak-hak dasar orang lain dan sudah tidak pantas lagi untuk usianya.
2.1.2. Faktor-faktor Penyebab Disruptive Behavior Disorders
Penyebab disruptive behavior disorders cukup beragam, akan tetapi
Schroder & Gordon (2002) membaginya menjadi tiga faktor yaitu:
1) Faktor genetik atau biologis
Penyebab disruptive behavior disorders dari faktor genetik menjadi dasar
karakteristik seseorang atau predisposisi. Berdasarkan hasil penelitian terkini
jika dilihat dari perbedaan jenis kelamin, dinyatakan bahwa anak laki-laki
lebih disruptive dibandingkan anak perempuan. Aspek temperamen juga mengakibatkan perilaku disruptive diantaranya: regulasi emosi, reaktifitas yang intens (khususnya frustrasi), emosi negatif dan gampang marah,
kemampuan dalam mengontrol diri, serta pendekatan yang tinggi atau lemah
untuk menghindar (dapat memunculkan perilaku berisiko). Plomin (dalam
Schroder & Gordon, 2002) menyimpulkan bahwa, komponen genetik cukup
besar pengaruhnya pada orang dewasa yang memiliki perilaku antisosial dan
kriminalitas. Namun Rutter et al. & Schmitz et al. (dalam Schroder &
ditemukan dalam kasus-kasus perilaku antisosial yang berlanjut sampai
dewasa, sedangkan kasus-kasus yang mengalami penurunan perilaku
antisosial pada usia tertentu lebih cenderung didasarkan oleh lingkungan.
2) Faktor keluarga
Penyebab disruptive behavior disorders pada faktor keluarga, yaitu terkait degan disfungsi orang tua dalam mengasuh. Dalam hal ini ada beberapa hal
yang mempengaruhinya yaitu: perlakuan orangtua (gaya pendisiplinan,
kehangatan vs permusuhan, pengawasan terhadap anak), psikopatologi
orangtua (seperti ibu yang depresi, gangguan kepribadian, penggunaan obat
terlarang dan perilaku antisosial atau kriminal), perkawinan/orangtua yang
disfungsi (seperti perceraian atau berpisah, konflik, kekerasan pada pasangan)
dan konflik saudara kandung.
3) Faktor lingkungan
Faktor lingkungan atau keadaan di sekitar seseorang yang terkait dengan
status sosial ekonomi rendah atau kemiskinan, juga dapat menyebabkan
disruptive behavior disorders sehingga memunculkan permasalahan perilaku antisosial. Status sosial ekonomi rendah yang terkombinasi dengan stres
kronik, orangtua tunggal, isolasi sosial, kurangnya stimulasi dari lingkungan
dan keterbatasan pengetahuan, dapat mengakibatkan gejala depresi pada ibu,
yang berpengaruh terhadap perlakuan orangtua menjadi kurang baik. Selain
itu lingkungan miskin juga cukup membahayakan bagi anak, dimana mereka
sering melihat role model yang menampilkan kekerasan, penyalahgunaan
15
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa disruptive behavior disorders dapat disebabkan oleh faktor keluarga karena disfungsi orangtua dalam
mengasuh, faktor genetik atau biologis meskipun mejadi predisposisi jika kasus
perilaku antisosialnya berlanjut sampai dewasa, namun jika mengalami penurunan
pada usia tertentu cenderung disebabkan oleh faktor lingkungan yang terkait
dengan status sosial ekonomi rendah atau kemiskinan.
2.2. Agresivitas
2.2.1. Pengertian Agresivitas
Agresivitas adalah perilaku yang memiliki maksud untuk menyakiti
seseorang baik secara fisik atau verbal (Myers, 2010). Adapun menurut Coccaro
(2003) agresivitas sebuah perilaku yang berhubungan, dari mengamuk hingga
melakukan tindakan kejahatan, termasuk marah, permusuhan, gampang marah
dan impulsif. Kemudian Parke & Slaby (dalam Eisenberg, 2006) mengatakan,
agresivitas merupakan perilaku yang memiliki maksud dapat merugikan atau
melukai orang lain. Lebih luas Loeber (dalam Eisenberg, 2006) mendefinisikan
agresivitas akan memunculkan perilaku antisosial, yang menyebabkan kerugian
secara fisik atau mental, kerusakan barang atau hilang dan kemungkinan bisa
menjurus ke arah yang kriminal dengan melanggar hukum.
Sementara Collins Concise Dictionary (dalam Harding, 2006), agresivitas diartikan sebagai sebuah serangan, tindakan yang merugikan, aktivitas yang tidak
sopan, permusuhan atau sikap mental yang dapat merusak. Begitu pula menurut
adalah perilaku yang menimbulkan kerugian, kerusakan atau mengalahkan orang
lain. Selain itu Geen (dalam Russell, 2008) menjelaskan, agresivitas memberikan
stimulus aversif dari satu orang ke yang lainnya, dengan maksud melukai dan
berekspektasi setelah melukai membuat orang lain termotivasi untuk lolos atau
menghindari stimulus. Selanjutnya Anderson & Bushman (dalam Russell, 2008)
menyimpulkan bahwa agresivitas yaitu perilaku diarahkan pada orang lain yang
dilakukan saat itu dengan maksud untuk melukai. Sebagai tambahan pelaku
mempercayai kalau perilakunya akan melukai target dan si target menjadi
termotivasi untuk menghindari perilaku tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa agresivitas adalah
perilaku yang memiliki maksud untuk melukai dan menyakiti orang lain, baik
secara fisik atau verbal sehingga menyebabkan kerugian dan kerusakan, bahkan
dapat memunculkan perilaku antisosial. Dimana perilakunya juga memiliki tujuan
untuk mengalahkan orang lain, membuat orang yang menjadi korbannya akan
termotivasi untuk lolos dan menghindar.
2.2.2. Faktor-faktor yang Menyebabkan Agresivitas
Menurut Baron & Branscombe (2012), ada empat faktor yang
menyebabkan agresivitas diantaranya:
1) Faktor sosial (social)
Agresivitas yang disebabkan oleh faktor sosial, dipengaruhi oleh beberapa hal
yaitu: frustrasi (frustration), provokasi langsung (direct provocation) dan
17
mendapatkan, apa yang diinginkan atau seperti yang diharapkannya. Mengenai
teori agresivitas yang disebabkan oleh frustrasi, Dollard et al. (dalam Baron &
Branscombe, 2012) membaginya menjadi dua diantaranya: (a) frustrasi selalu
mengarah ke salah satu bentuk agresivitas; dan (b) agresivitas selalu berasal
dari adanya frustrasi. Namun kenyataan lain menunjukkan bahwa ketika
seseorang frustrasi, ternyata tidak selalu merespon dengan melakukan
agresivitas. Dimana respon yang terjadi bisa saja kesedihan, keputusasaan, atau
depresi. Dalam hal ini frustrasi hanya salah satu hal penting, yang dapat
menyebabkan agresivitas. Adapun provokasi langsung yang memiliki efek
paling kuat terhadap agresivitas adalah saat orang lain merendahkan seseorang
dengan ekspresi yang sombong atau menghina (Harris dalam Baron &
Branscombe, 2012). Begitu pula dengan kritik yang kasar dan tidak sopan,
terutama jika diarahkan pada diri seseorang daripada perilakunya (Baroon,
dalam Baron & Branscombe, 2012). Selain itu candaan dengan pernyataan
yang menyebutkan kekurangan dan kecacatan seseorang (Kowalski dalam
Baron & Branscombe, 2012). Sementara itu munculnya agresivitas juga bisa
disebabkan oleh kekerasan dalam media berupa film, televisi dan video games.
Beberapa hasil penelitian dengan jelas menyatakan, semakin banyak film atau
program televisi yang menampilkan kekerasan dan ditonton oleh anak-anak,
maka tingkat agresivitasnya akan semakin tinggi ketika remaja atau dewasa
sehingga memungkinkan mereka dapat ditahan karena tindak kejahatan.
2) Faktor budaya (cultural)
yaitu: “kehormatan pada budaya (cultures of honor)“, kecemburuan seksual (sexual jealousy) dan peran pada laki-laki (the male gender role). Beberapa
norma disebuah negara memperbolehkan adanya agresivitas atas nama
kehormatan. Sebagai contoh banyak tema film Barat yang lama dengan
karakter, terpaksa menembak seseorang karena kehormatannya ternodai.
Terlihat juga di film Asia, yang bercerita tentang perkelahian diantara pendekar
untuk mengetahui siapa yang lebih hebat. Begitu pula dengan kecemburuan
seksual yang terkait dengan perselingkuhan pada pasangan, memiliki proporsi
yang besar terhadap agresivitas. Dimana kecemburuan merupakan emosi yang
begitu kuat, dengan perasaan dihianati dan marah. Selain itu peran pada
laki-laki, di negara manapun akan mengaitkan kejantanan dengan pertumbuhan
yang optimal dan kematangan seksual. Dalam hal ini saat kejantanan seorang
lelaki ditantang, ia lebih memilih untuk melakukan agresivitas.
3) Faktor pribadi (personal)
Agresivitas yang disebabkan oleh faktor pribadi, dipengaruhi oleh beberapa hal
yaitu: keperibadian (personality), narsis (narcissism) dan perbedaan jenis kelamin (gender differences). Dalam hal ini jika seseorang memiliki
kepribadian seperti berikut ini: (1) sangat kompetitif; (2) selalu dalam keadaan
terburu-buru; (3) cepat sekali marah dan melakukan agresivitas. Gambaran
kepribadian tersebut cenderung menunjukkan agresivitas lebih tinggi
dibeberapa situasi dan melakukan hostile aggression yang bertujuan untuk melukai korbannya. Meskipun ada indikasi lain pula pada orang tersebut untuk
19
juga berkeinginan untuk mendapatkan sesuatu yang bernilai atau pujian dari
orang lain dengan bersikap kasar. Selain itu orang yang memiliki sifat narsis
yang tinggi, juga akan menunjukkan agresivitas yang tinggi. Hal ini diperkuat
oleh penelitian yang dilakukan Bushman et al. (dalam Baron & Branscombe,
2012), yang menyatakan bahwa bila seseorang setuju dengan pernyataan
berikut: “Jika saya mengatur dunia, maka dunia akan menjadi lebih baik” dan
“Saya lebih bisa melakukan apapun dibanding orang lain.” Reaksi yang berlebih seperti itu akan meningkatkan agresivitas saat egonya merasa
terancam, apalagi saat orang lain meragukan dirinya, yang membuat harga
dirinya menjadi terserang. Selain itu terkait perbedaan jenis kelamin,
berdasarkan penelitian dilaporkan bahwa, agresivitas laki-laki lebih tinggi
dibanding perempuan. Agresivitas yang dilakukan laki-laki akan langsung
ditujukan pada target, seperti menyerang dengan fisik, mendorong, melempar,
berteriak dan menghina (Bogard et al.; Bjorkqvist et al. dalam Baron &
Branscombe, 2012).
4) Faktor situasi (situational)
Agresivitas yang disebabkan oleh faktor situasi, dipengaruhi oleh beberapa hal
yaitu: suhu (temperature) dan alkohol (alcohol). Terkait dengan suhu, dari beberapa hasil penelitian dilaporkan bahwa ada hubungan antara agresivitas
dengan suhu yang panas (Anderson et al. dalam Baron & Branscombe, 2012).
Selanjutnya mengkonsumsi alkohol, juga dapat meningkatkan agresivitas. Hal
ini diperkuat dari beberapa eksperimen pada orang yang mengkonsumsi
tinggi dan membuatnya juga menjadi lebih mudah terprovokasi dibandingkan
dengan orang yang tidak mengkonsumsi alkohol (Bushman et al. dalam Baron
& Branscombe, 2012).
Sementara Buss-Perry (dalam Demirtas, 2012) menyimpulkan ada empat
faktor yang memunculkan agresivitas diantaranya: physical aggression
(agresivitas fisik), anger (marah), hostility (permusuhan, kebencian) dan verbal aggression (agresivitas verbal).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa agresivitas dapat
disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya agresivitas fisik, marah, permusuhan
dan agresivitas verbal. Dimana faktor-faktor tersebut dapat bersumber dari diri
pribadi seseorang, sosial, budaya suatu negara dan situasi tertentu.
2.2.3. Agresivitas pada Masa Remaja
Masa remaja merupakan masa transisi yang terkait dengan kepribadian,
fisik, akademik dan sosial. Sebagian dari remaja mampu melewati masa transisi
ini, meskipun adapula yang kesulitan. Transisi yang nyata pertama kali terlihat
adalah, perubahan dengan keadaan sekolah. Dalam hal ini remaja mengalami
transisi dari SD ke SMP dan lanjut ke SMA. Meskipun transisi dengan keadaan
sekolah tidak secara khusus berpengaruh terhadap meningkatnya agresivitas,
tetapi dari hasil penelitian menunjukkan terjadinya penurunan dalam tugas
akademik, meningkatnya kebencian pada pengalaman di sekolah dan rendahnya
harga diri (Wigfield et al. dalam Marcus, 2007). Namun pada saat remaja awal,
21
agresivitas anak laki-laki menjadi meningkat karena hormon testosteronpun
meningkat diusia 12-14 tahun (Lee et al. dalam Marcus, 2007).
Dari beberapa ulasan penelitian menyebutkan bahwa, kesulitan yang
dialami pada masa remaja semakin meningkat dan adanya beberapa gangguan di
dalam perkembangannya. Gangguan yang dialami yaitu: (1) konflik dengan
orangtua, dimana remaja cenderung melawan dan menentang otoritas orang
dewasa sehingga konflik menjadi meningkat, biasanya terjadi pada masa remaja
awal; (2) gangguan mood, dimana emosi remaja cenderung berubah-ubah dibandingkan anak-anak atau orang dewasa sehingga frekuensi depresi mood juga
meningkat, biasanya terjadi pada masa remaja pertengahan; dan (3) perilaku yang
berisiko, dimana remaja kemungkinan menyebabkan gangguan di masyarakat dan
berperilaku yang dapat melukai dirinya sendiri atau orang-orang di sekitarnya,
biasanya terjadi pada masa remaja akhir (Arnet, dalam Marcus, 2007).
Selain itu masa remaja biasanya lebih dikenal sebagai masa yang penuh
risiko dan memungkinkan dapat memunculkan agresivitas yang tinggi. Hal ini
diperkuat dari data yang diperoleh pada remaja yang usianya 14-18 tahun, dimana
42% laki-laki dan 28% perempuan melakukan penyerangan secara fisik
(USDHHS, dalam Marcus, 2007). Bahkan kematian diusia remaja antara 15-24
tahun, yang disebabkan oleh pembunuhan menduduki urutan kedua jika
dibandingkan dengan usia perkembangan lainnya (NCHS, dalam Marcus, 2007).
Selain itu dari survey yang dilakukan tentang kejahatan, pada usia 12-19 tahun
menunjukkan hasil yang begitu tinggi karena menjadi korban kekerasan oleh
2.3. Anger Management Training (AMT) 2.3.1. Pengertian Anger Management Training
Anger management training merupakan pelatihan yang diberikan pada
seseorang dengan tujuan agar ia mampu mengekspresikan marahnya dengan cara
yang tepat sehingga membuat nyaman pada dirinya sendiri dan orang lain (Bhave
& Saini, 2009). Sementara Gentry (2007) menyimpulkan, anger management
training adalah suatu pelatihan untuk menangani permasalahan marah yang terkait
dengan pikiran, sehingga membuat seseorang berespon dengan tepat akan
perasaannya, bertanya dengan pertanyaan yang sesuai disaat marah, bagaimana
menentukan pilihan ketika sedang marah dan mengambil tindakan atas
konsekuensi perilaku yang telah membuatnya sakit hati.
Sedangkan Gulbenkoglu & Hagiliassis (2006) membuat pengertian
tentang anger management training ialah suatu pelatihan yang bukan memiliki
tujuan untuk menghilangkan marah, karena marah merupakan emosi yang normal,
melainkan dengan memberikan semangat pada seseorang agar mengelola
marahnya dengan cara yang konstruktif dan efektif. Adapun Marcus (2007)
menjelaskan, anger management training adalah pelatihan yang akan membantu seseorang mengenali isyarat dari tubuhnya disaat marah, menggunakan
pernyataan diri yang positif dan belajar teknik-teknik mengurangi stres seperti
menghitung mundur untuk mengontrol marahnya.
23
dengan mempelajari teknik-teknik yang dapat mengurangi stres sehingga ekspresi
marahnya tersalurkan secara tepat.
2.3.2. Teknik-teknik dalam Anger Management Training
Menurut Bhave & Saini (2009), ada empat belas teknik yang perlu
dipelajari dalam anger management training diantaranya: 1) Menyebutkan sebuah mantra
Dengan mengulang dan menyebutkan kata-kata yang menenangkan, efeknya
dapat membawa kedamaian pada pikiran seperti: rileks, tetap tenang, lalu
dikombinasikan dengan menarik napas yang dalam hingga dapat dirasakan
emosi yang semakin bisa dikontrol.
2) Role playing
Sebelumnya perlu sekali belajar memahami akan isyarat pada tubuh yang
dapat menimbulkan marah, seperti wajah terasa menjadi panas, tangan
menjadi dingin atau bergetar dan gagap saat berbicara. Kemudian
gunakankanlah teknik yang dapat membantu diri, untuk mencegah timbulnya
marah yang tidak terkontrol. Dalam hal ini jika merasa akan munculnya
marah dalam perdebatan yang semakin memanas, lebih baik berhentilah dan
keluarlah dari situasi itu.
3) Pergi menjauh ketika orang lain berteriak
Maksudnya pada saat sedang marah, sebaiknya pergi keluar dari situasi
tersebut dan duduklah sendiri untuk menenangkan diri.
Disaat diri sudah tenang dan sudah dapat berfikir secara rasional, setelah itu
boleh kembali ke situasi sebelumnya.
5) Keluarkanlah kemarahan sebelum bertemu orang yang membuat marah
Cara yang bisa dilakukan yaitu: (a) dengan membayangkan orang tersebut
ada duduk dihadapan dan memberikan izin untuk mengatakan apapun yang
diinginkan, karena hal ini dapat membuang rasa sakit kemarahan dan
kebencian yang dirasakan; (b) boleh pula dengan menulis surat kemarahan
dan menangis setelah membacanya sekali, karena hal ini dapat melepaskan
beban yang dirasakan sehingga bila nantinya akan bertemu orang tersebut
membuat diri dapat tetap tenang, sebab sudah mengeluarkan kemarahan pada
waktu sebelumnya; (c) boleh juga dengan melakukan beberapa olahraga fisik
seperti berlari, berenang, atau melakukan teknik relaksasi, mendengarkan
musik sebelum pergi dan bertemu dengan orang atau situasi yang dapat
menyebabkan marah.
6) Belajar untuk berdamai pada diri sendiri
Hal-hal yang bisa dilakukan yaitu: menikmati apa saja yang sudah dimiliki,
tidak perlu harus selalu bersama orang lain disetiap waktu, adakalanya perlu
sendiri karena akan memberikan waktu dalam merefleksikan apapun yang
membuat lebih menyadarkan diri dan memperbaikinya. Kemudian saat
merasakan marah, cobalah untuk membayangkan bagaimana ganas dan
jeleknya wajah yang tampak, apalagi jika sampai terlihat oleh orang yang
disayangi. Saat sudah membayangkan bagaimana reaksi yang akan terjadi
25
tenang. Pada orang yang sangat kaku dan keras, ternyata membuat mereka
akan lebih mudah marah. Oleh karena itu mereka perlu belajar untuk
melepaskan ketegangan dan perasaan marah dengan bersikap tenang dan
tertawa pada diri sendiri.
7) Lihat ke kaca pada saat marah untuk melihat wajah yang tidak menyenangkan
8) Memperbaiki pengaturan waktu
Dalam hal ini janganlah mengatur jadwal dan batas akhir pengumpulan yang
tidak realistik atau menunda-nunda untuk diri sendiri dan orang lain.
Kemudian usahakanlah untuk melakukan banyak hal pada waktu yang sedikit
dan menghindari stres karena hal itu dapat memicu marah.
9) Mencoba dengan gaya hidup yang sehat
Memakan makanan yang sehat, rutin berolahraga dan istirahat yang cukup.
10) Belajar untuk berpikir dan mengekspresikan emosi yang positif
Perlu disadari, kalau manusia memiliki kesalahan. Kemudian cobalah belajar
untuk menerima dan menyadari, kalau diri sendiri juga bisa salah dan akuilah
itu. Pada beberapa situasi marah, seseorang mampu meminta maaf dengan
setulus hati, begitu pula dengan diri sendiri yang harus bisa pula untuk
meminta maaf pada orang lain. Dimana memaafkan juga merupakan alat yang
dapat mengurangi marah, meningkatkan harga diri dan memiliki harapan
untuk ke depannya (Enright, dalam Bhave & Saini, 2009).
11) Bertindak seperti orang dewasa yang matang dan bertanggung jawab
Kemarahan banyak menghancurkan pernikahan. Daripada berkelahi, Mace et
kemudian kontrollah atau ringankanlah, lalu mintalah pada pasangan untuk
membantu dalam menguraikan apa yang sudah dilakukan keduanya dan
peduli terhadap tindakan pasangan yang sudah dilakukan pada situasi
tersebut, yang berakhir dengan kesepakatan bersama.
12) Belajar untuk meminta maaf dan memaafkan
Ada beberapa hal yang perlu dilakukan yaitu: (a) cobalah untuk melihat
situasi dari perspektif orang lain ketika merasakan marah; (b) ingatlah bahwa
setiap orang punya kesalahan dan hal itu merupakan proses bagi seseorang
untuk belajar memperbaikinya; (c) temukan sebuah role model dari seseorang
yang telah mampu menangani permasalahan terhadap keadaan yang sulit
dengan kehidupan yang tenang dan bahagia, dengan menemukan cara yang
dilakukannya untuk diterapkan pada diri sendiri; (d) ingatlah bahwa apapun
yang ada pada dirimu dapat merubah dirimu dan responmu pada orang lain,
yang memungkinkan juga dapat merubah respon orang lain pada dirimu.
Dimana marah tidak menyelesaikan terhadap situasi tertentu, justru berakibat
sakit yang akan berpengaruh pada diri sendiri; (e) saat seseorang menyakiti
atau salah dan merasa menyesal, tidak ada salahnya untuk dimaafkan.
Menurut Ohbuchi et al. dalam Bhave & Saini (2009), menerima maaf dapat
mengurangi agresivitas dan memperbaiki kesan terhadap orang yang
memaafkan. Bahkan Holmes, dalam Bhave & Saini (2009) mengatakan,
permohonan maaf yang tulus sangat efektif untuk mengurangi marah; (f)
tidak perlu berteriak dan bersuara keras, karena seseorang akan menjadi
27
komunikasi yang keliru dapat menyebabkan banyak kesalahpahaman; (h) jika
berdiskusi dengan tenang, maka memungkinkan untuk mendapatkan
pemecahan masalah karena tidak berespon marah.
13) Menghindari konflik
Sebelum mengatakan yang tidak pantas berpikirlah apakah hal itu akan
menyelesaikan masalah atau memperkeruh dan janganlah sampai mengamuk
atau berkelahi saat menyatakan kritik, kekecewaan, marah atau tidak senang.
14) Jangan marah selama diskusi atau berdebat
Mencoba mengubah marah dan irrational thought, dengan cara yang lebih
rasional dan pikiran yang tenang. Dimana pada anger management training
termasuk di dalamnya: conceptual reframing atau cognitive restructuring, mengidentifikasi stimulus penyebab dan pelatihan relaksasi yang berguna
untuk mengurangi ketegangan fisik akibat marah sehingga tidak menjadi
agresivitas. Kemudian gunakanlah pernyataan yang mengekspresikan
perasaan, daripada pernyataan yang menyalahkan orang lain. Contohnya
katakanlah: “Aku kecewa karena sudah menjaga kamarku tetap bersih tapi kau berantakin, karena aku capek membersihkannya.”Daripadamengatakan: “Kau sangat jorok atau kau selalu membuat kamarku berantakan.” Selain itu
cobalah menerima setiap orang tidak seperti dirimu, tak ubahnya dirimu tidak
akan sama seperti orang yang dijumpai. Maksudnya jika tidak memaksakan
semua orang di sekitar akan menyetujui seperti yang diinginkan, maka
seseorang tidak akan kecewa dan marah saat ada beberapa orang lain yang
2.4. Efektivitas Anger Management Training untuk Menurunkan Agresivitas pada Remaja Disrutive Behavior Disorders
Mengacu pada DSM-IV-TR, disruptive behavior disorders merupakan bentuk dari perilaku antisosial, yang terbagi menjadi dua kriteria yaitu conduct
disorder (CD) dan oppositional defiant disorder (ODD). Dalam hal ini remaja yang disruptive dengan sengaja melanggar peraturan seperti mencuri, merusak barang-barang, atau menyerang (American Academy of Pediatrics, 2010).
Perilaku disruptive merupakan bentuk ekspresi marah yang negatif dan tidak sehat, karena sudah memunculkan agresivitas (Bhave & Saini, 2009).
Dimana agresivitas merupakan perilaku yang memiliki maksud untuk menyakiti
seseorang baik secara fisik atau verbal (Myers, 2010). Akibatnya yang terjadi
setelah itu, remaja tersebut bisa saja akan ditangkap atau dipenjara, mengalami
luka fisik, membalas dendam, kehilangan orang yang disayang, merasa bersalah,
menjadi malu atau menyesal (Reilly & Shopshire, 2002).
Dikarenakan remaja yang berperilaku disruptive tidak hanya akan membahayakan bagi dirinya sendiri, tetapi juga terhadap orang lain. Maka untuk
mengatasi permasalahan tersebut, penanganan dan pencegahan terhadap remaja
disruptive sangat perlu dilakukan. Salah satu intervensi psikososial yang sangat disarankan yaitu dengan mengontrol marah (American Academy of Pediatrics,
2010), atau disebut juga dengan anger management karena merupakan cara terbaik dalam mengekspresikan marah secara positif (Bhave & Saini, 2009).
Anger management training (AMT) merupakan program yang bertujuan
29
untuk membantu mengurangi intensitas dan durasi emosi marah (Marcus, 2007).
Dalam hal ini AMT bukanlah terapi, melainkan salah satu bentuk intervensi
psikoedukasi yang manfaatnya dapat menghasilkan potensi untuk perubahan
perilaku dengan meningkatkan pengetahuan, menyediakan perspektif baru,
memberikan klien kesempatan untuk belajar (Anderson, et al. dalam Thomas,
2001), dan berlatih teknik-teknik mengontrol marah (Bhave & Saini, 2009).
Secara singkat kerangka teoritis penelitian, ada pada gambar 2 di bawah ini:
Gambar 2. Kerangka Teoritis Penelitian
2.5. Hipotesis
Hipotesis yang ditetapkan berdasarkan kerangka teoritis penelitian ini
adalah sebagai berikut:
Ho = Tidak ada penurunan agresivitas pada remaja disruptive behavior disorders
sesudah mendapatkan intervensi anger management training.
Ha = Ada penurunan agresivitas pada remaja disruptive behavior disorders
sesudah mendapatkan intervensi anger management training. Remaja disruptive behavior disorders (DBD):
oppositional defiant disorder (ODD)