• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektivitas Anger Management Training untuk Menurunkan Agresivitas pada Remaja Disruptive Behavior Disorders

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Efektivitas Anger Management Training untuk Menurunkan Agresivitas pada Remaja Disruptive Behavior Disorders"

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)

EFEKTIVITAS

ANGER MANAGEMENT TRAINING

UNTUK MENURUNKAN AGRESIVITAS PADA

REMAJA

DISRUPTIVE BEHAVIOR DISORDERS

TESIS

NASRIZULHAIDI 117029019

PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER PSIKOLOGI PROFESI KEKHUSUSAN KLINIS ANAK

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

EFEKTIVITAS

ANGER MANAGEMENT TRAINING

UNTUK MENURUNKAN AGRESIVITAS PADA

REMAJA

DISRUPTIVE BEHAVIOR DISORDERS

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Psikologi Profesi

NASRIZULHAIDI 117029019

PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER PSIKOLOGI PROFESI KEKHUSUSAN KLINIS ANAK

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Tesis ini diajukan oleh

Nama : NASRIZULHAIDI

NIM : 117029019

Kekhususan : Klinis Anak

Judul Tesis : Efektivitas Anger Management Training untuk Menurunkan Agresivitas pada Remaja Disruptive Behavior Disorders

Telah berhasil dipertahankan dihadapan para dewan penguji dan diterima sebagai

salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Psikologi Profesi kekhususan

Klinis Anak dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

DEWAN PENGUJI

Penguji I/ Pembimbing : Irna Minauli, M.Si, Psikolog [ ]

Penguji II : Elvi Andriani Yusuf, M.Si, Psikolog [ ]

Medan, 11 Februari 2014

Koordinator Program Pendidikan Magister Dekan Fakultas Psikologi USU Psikologi Profesi Fakultas Psikologi USU

(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sungguh-sungguh, bahwa tesis yang telah saya susun

sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Psikologi Profesi kekhususan

Klinis Anak dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, adalah hasil

karya saya sendiri.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan tesis yang saya kutip dari

hasil karya orang lain, telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan

norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ditemukan adanya kecurangan dalam tesis ini,

saya bersedia menerima sangsi dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, 11 Februari 2014

Yang menyatakan,

(5)

Jalan terbaik untuk bebas dari masalah

adalah dengan memecahkannya

(Alan Saporta)

Perubahan tidak akan datang jika kita

menunggu orang lain atau lain waktu.

Diri kitalah yang ditunggu-tunggu.

Diri kitalah perubahan yang kita cari

(Barack Hussein Obama)

بْ لْطم اضر دْ صْ م تْنأ ْ لإ

“Ya Allah, Engkaulah yang aku

maksud

(6)

Karya ini dipersembahkan khusus

untuk:

Agustina, S.Psi ~ istri tercinta yang

hebat dan selalu mendukung suami

untuk meraih cita-citanya.

Farras Shakila Nasri ~ si cerdas

yang cantik, periang, kreatif dan

komunikatif.

Azzam Mubarak Nasri ~ si cerdas

yang tampan dengan senyuman

khasnya, dermawan dan teguh

pendirian.

Nadhifa Izzati Nasri ~ si cantik

yang baik budi pekertinya, lahir

pada tanggal 07 Februari 2014 dan

turut memberikan cerita haru

menjelang sidang Tesis ayahnya

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan

rahmat serta hidayah-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan tesis ini

dengan semaksimal mungkin. Meskipun begitu penulis menyadari, kalau tesis ini

masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan

adanya masukan yang membangun, agar ke depannya penulis dapat melakukan

penelitian lebih baik lagi, yang akan bermanfaat untuk semuanya.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada

semua pihak yang telah memberikan dukungan, diantaranya:

1. Ibu Irna Minauli, M.Si, Psikolog, selaku pembimbing utama dan “dosen

idola” karena penulis mendapatkan role model dari sikap kebijaksanaan beliau yang memberikan dukungan besar untuk kelancaran proses bimbingan

dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi. Selain itu sikap ramah yang

penuh kekeluargaan, penuh empati dan selera humor beliau yang baik, sangat

membuat “kenyamanan” sehingga memberikan motivasi yang besar sekali bagi penulis untuk melakukan yang terbaik saat menyusun Tesis ini

2. Ibu Elvi Andriani Yusuf, M.Si, Psikolog, selaku penguji II dan “dosen idola” karena penulis mendapatkan role model dari sikap beliau yang begitu humble

(meski Allah telah berikan kelebihan akan nikmat kekayaan, cantik dan

pintar), selalu tampil menarik dan suka tersenyum, respect pada semua orang,

(8)

3. Istri tercinta (Tina), sang buah hati yang terkasih (Shakila, Azzam, Nadhifa),

keluarga besar semuanya (almarhum/ah orangtuaku, mertua, bukde Ida

sekeluarga, abang-kakakku), yang turut mendo’akan dan telah membantu sehingga menjadi penyemangat terkuat bagi penulis untuk menyelesaikan

perkuliahan di Magister Psikologi Profesi Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Prof. Dr. Irmawati, Psikolog, selaku Dekan di Fakultas Psikologi

Universitas Sumatera Utara.

5. Ibu Dr. Wiwik Sulistyaningsih, M.Si, Psikolog, selaku Koordinator Program

Magister Psikologi Profesi Universitas Sumatera Utara.

6. Ibu Eka Ervika M.Si, Psikolog, selaku Koordinator kekhususan Klinis Anak

dan dosen Pembimbing Akademik.

7. Seluruh staf pengajar Magister Psikologi Profesi Universitas Sumatera Utara,

yang telah memberikan ilmu dan pengalamannya (Pak Zul, Pak Eka, Pak

Fery, Bu Desvi, Bu Yosi, Bu Asih, Bu Lela, Bu Lily, Bu Dina, Bu Eti, Bu

Mutia, Bu Emi, Bu Vivi, Bang Alif, Kak Debi, Kak Rahma, Kak Rahmi, Kak

Indri, Kak Liza, Kak Juli, Kak Ridhoi, Kak Lisa, Kak Cherry, Dina Nazriani).

8. Seluruh staf administrasi Magister Psikologi Profesi Universitas Sumatera

Utara (Kak Eli, Eko, Yudi), yang telah membantu untuk keperluan

administrasi mahasiswa.

9. Kepala sekolah SMPN 1 Kutacane – Kabupaten Aceh Tenggara (Drs.M.Samin.AS, MM), semua guru dan staf sekolah, yang telah

(9)

10. Siswa-siswa yang sudah bersedia untuk terlibat dalam mengevaluasi dan

mengisi skala, serta subjek yang terpilih dalam penelitian ini.

11. Rekan-rekan seperjuangan angkatan VI Magister Psikologi Profesi

Universitas Sumatera Utara kekhususan Klinis Anak (Ayu, Wini, Nila,

Yulinda, Muti, Mayang), teman-teman dari KLD (Irfan, Tika-almh, Ira,

David), teman-teman dari PIO (Yuni, Uci, Karli, Gita, Kiki, Amel, Ivi,

Sherry, Rara, Cici), teman-teman dari Pendidikan (Ema, Kiky, Rena, Ulfa)

dan mahasiswa MP2 lainnya (Yustian prof, Ebit, Umi, Suri, Susi, Evi, Kak

Ita, Kak Reni, Indy, Wina, Mbak Ning, Ayu Aceh, Aci, Meyke, Dini).

12. Tempat-tempat yang telah memberikan kenyamanan bagi penulis (kamar kos,

perpustakaan USU, ruang diskusi MP2, psycholib, Mesjid Agung Medan,

SUN Plaza, Plaza Medan Fair) dan fasilitas jaringan internet wifi di USU

yang turut memperlancar dalam mencari bahan.

Penulis juga ingin berterima kasih pada pihak-pihak yang tidak mungkin

disebutkan satu persatu, yang sudah membantu dan memberikan dukungan selama

ini. Penulis hanya berharap semoga Allah SWT, akan membalas dengan kebaikan

yang berlipat ganda, Amin.

Medan, 11 Februari 2014

(10)

DAFTAR ISI

1.1. Latar Belakang Masalah ...

1.2. Tujuan Penelitian ...

1.3. Manfaat Penelitian ...

1.3.1. Manfaat Teoritis ...

1.3.2. Manfaat Praktis ...

LANDASAN TEORI ...

(11)

BAB III

2.1.1. Pengertian Disruptive Behavior Disorders ... 2.1.2. Faktor-faktor Penyebab Disruptive Behavior

Disorders ... 2.2. Agresivitas ...

2.2.1. Pengertian Agresivitas ...

2.2.2. Faktor-faktor yang Menyebabkan Agresivitas

2.2.3. Agresivitas pada Masa Remaja ...

2.3. Anger Management Training (AMT) ... 2.3.1. Pengertian Anger Management Training ...

2.3.2. Teknik-teknik dalam Anger Management Training... 2.4. Efektivitas Anger Management Training untuk

Menurunkan Agresivitas pada Remaja Disruptive Behavior Disorders ...

(12)

BAB IV

BAB V

3.5. Metode Pengumpulan Data ...

3.5.1. Skala ...

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...

4.1. Deskripsi Subjek Penelitian ...

4.2. Hasil Kategorisasi Subjek Penelitian ...

4.3. Hasil Uji Asumsi ...

4.3.1. Uji Normalitas ...

4.3.2. Uji Homogenitas ...

4.4. Hasil Analisa Data ...

4.5. Pembahasan ...

4.5.1. Pembahasan Data Kelompok ...

4.5.2. Pembahasan Data Individual ...

4.6. Kelebihan dan Kelemahan Penelitian ...

(13)

5.1. Kesimpulan ...

5.2. Saran ...

5.2.1. Remaja Disruptive Behavior Disorders ... 5.2.2. Guru ...

5.2.3. Peneliti Selanjutnya ...

DAFTAR PUSTAKA ... 73

73

74

74

75

(14)

DAFTAR TABEL Norma Kategorisasi Skala CPRS ...

Norma Kategorisasi Skala BAQ ...

Taraf Kecerdasan Subjek dengan Alat Tes SPM ...

Rancangan Modul Anger Management Training ...

Hasil Seleksi Subjek Penelitian ...

Jadwal Pertemuan Intervensi ...

Deskripsi Umum Subjek Penelitian ...

Kategorisasi Subjek Berdasarkan Skor Skala ...

Hasil Uji Normalitas Skala BAQ ...

Hasil Uji Homogenitas Skala BAQ ...

Hasil Independent Sample t-test Skala BAQ ...

(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

Klasifikasi Perilaku Disruptive ... Kerangka Teoritis Penelitian ...

Rancangan Eksperimen ...

Perbedaan Mean Skor Agresivitas KE & KK ... Rentang Skor Mean Difference KE & KK ...

Skor Skala BAQ - KE (Pretest - Posttest) ... Skor Skala BAQ - KK (Pretest - Posttest) ...

12

29

33

54

56

62

(16)

DAFTAR LAMPIRAN Hasil Uji Reliabilitas Skala BAQ (Buss-Perry Aggression Questionnaire) ...

Data Skor Skala BAQ (Buss-Perry Aggression Questionnaire) ...

Hasil Uji Normalitas Skala BAQ –Pretest ...

Hasil Uji Homogenitas Data Subjek Penelitian ...

Hasil Independent t-test Pada Kelompok Eksperimen &

Kontrol –Pretest ... Hasil Independent t-test Pada Kelompok Eksperimen &

Kontrol –Posttest ... Hasil Uji Paired Sample t-test di Kelompok Eksperimen ... Hasil Uji Paired Sample t-test di Kelompok Kontrol ...

(17)

12.

13.

14.

15.

16.

17.

18.

Modul Anger Management Training untuk Menurunkan Agresivitas pada Remaja Disruptive Behavior Disorders ...

Skala CPRS ...

Skala BAQ ...

Slide Presentasi Modul Anger Management Training ...

Informed Consent ... Lembaran Tugas (1, 2 dan 3) pada Subjek di Kelompok

Eksperimen ...

Lembar Jawaban A2 – SPM ...

92

104

107

(18)

Abstrak

Penelitian ini bertujuan mengetahui efektivitas anger management training untuk menurunkan agresivitas pada remaja disruptive behavior disorders. Subjek penelitian dipilih melalui screening dengan skala CPRS (Conduct Problem Risk Screen) dan pengukuran agresivitas dengan skala BAQ (Buss-Perry

Aggression Questionnaire). AMT (Anger Management Training) berupa psikoedukasi, yang mempelajari tentang pemahaman dasar marah, ekspresi marah dan akibatnya, mengidentifikasi diri saat marah, mengontrol pikiran marah dan menentukan tingkat kemarahan. Selanjutnya memahami anger management

melalui film, relaksasi otot dan pernapasan, cara menyelesaikan konflik, cara mengontrol marah dan perencanaan dalam mengontrol marah. Adapun metode yang digunakan terdiri dari diskusi kasus, latihan individual, presentasi dan

modelling perilaku. Penempatan subjek dengan random assignment dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok eksperimen berjumlah 10 orang, mendapat AMT selama 3 kali pertemuan dan setiap pertemuan memerlukan waktu 120 menit. Sementara subjek di kelompok kontrol juga berjumlah 10 orang, namun tidak mendapatkan perlakuan. Pengujian hipotesis dengan teknik Independent Sample t-test dan hasilnya p = 0,000 < 0,05. Kemudian untuk melihat perbedaan tingkat agresivitas subjek di kelompok eksperimen saat pretest dan posttest

digunakan teknik Paired Sample t-test, hasilnya p = 0,000 < 0,05 dengan mean

sebesar 25,5. Hal yang sama dilakukan pada kelompok kontrol dan hasilnya p = 0,000 < 0,05 dengan mean sebesar -11,1. Dapat disimpulkan anger management

efektif untuk menurunkan agresivitas. Dalam hal ini subjek di kelompok eksperimen mengalami penurunan agresivitas setelah mendapat AMT dan subjek di kelompok kontrol mengalami peningkatan agresivitas karena tidak mendapatkan AMT. Selain itu AMT dapat pula diberikan pada individu yang memiliki kemampuan di bawah rata-rata, dengan memodifikasi program yang lebih berbentuk operasional konkrit.

(19)

Abstract

The aim of this research is to determine the effectiveness of anger management training to reduce aggression in adolescent with disruptive behavior disorders. Subjects selected through screening with CPRS scale (Conduct Problem Risk Screen) and using BAQ scale (Buss-Perry Aggression Questionnaire) to measure aggression. AMT (Anger Management Training) in this research is a form of psychoeducation, which students learned about the basic understanding of angry, anger expression and it’s consequences, self identify their feelings when angry, angry thoughts controlling and determined the level of anger. Further understanding of anger management through the movie, muscle relaxation and breathing, how to resolve conflicts, how to control anger and anger planning control. The method used consists of case discussions, individual exercises, presentation and behavior modeling. The placement of the subject done by random assignment, which are divided into two groups. The experimental group consist of 10 students, received AMT for 3 times meeting and each meeting held in 120 minutes. The number of subjects in control group is 10 students also, but do not receive treatment. Hypothesis testing was done by using technique Independent Sample t-test and the result is p = 0,000 < 0,5. To measure the differences in the level of aggressiveness of the subjects in the experimental group during pretest and posttest, used Paired Sample t-test techniques, the result is p = 0,000 < 0,05 with mean 25,5. The same thing is done in the control group and the result is p = 0,000 < 0,05 with mean -11,1. It can be concluded that anger management training can reduce aggressiveness. In this case the subjects in the experimental group experienced a decrease in aggressiveness after receiving AMT while subjects in the control group increased their aggressiveness because they didn’t get AMT. In addition AMT can be given to individual with lower level of intelligence, by modifying form of the program more concrete operational.

(20)

Abstrak

Penelitian ini bertujuan mengetahui efektivitas anger management training untuk menurunkan agresivitas pada remaja disruptive behavior disorders. Subjek penelitian dipilih melalui screening dengan skala CPRS (Conduct Problem Risk Screen) dan pengukuran agresivitas dengan skala BAQ (Buss-Perry

Aggression Questionnaire). AMT (Anger Management Training) berupa psikoedukasi, yang mempelajari tentang pemahaman dasar marah, ekspresi marah dan akibatnya, mengidentifikasi diri saat marah, mengontrol pikiran marah dan menentukan tingkat kemarahan. Selanjutnya memahami anger management

melalui film, relaksasi otot dan pernapasan, cara menyelesaikan konflik, cara mengontrol marah dan perencanaan dalam mengontrol marah. Adapun metode yang digunakan terdiri dari diskusi kasus, latihan individual, presentasi dan

modelling perilaku. Penempatan subjek dengan random assignment dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok eksperimen berjumlah 10 orang, mendapat AMT selama 3 kali pertemuan dan setiap pertemuan memerlukan waktu 120 menit. Sementara subjek di kelompok kontrol juga berjumlah 10 orang, namun tidak mendapatkan perlakuan. Pengujian hipotesis dengan teknik Independent Sample t-test dan hasilnya p = 0,000 < 0,05. Kemudian untuk melihat perbedaan tingkat agresivitas subjek di kelompok eksperimen saat pretest dan posttest

digunakan teknik Paired Sample t-test, hasilnya p = 0,000 < 0,05 dengan mean

sebesar 25,5. Hal yang sama dilakukan pada kelompok kontrol dan hasilnya p = 0,000 < 0,05 dengan mean sebesar -11,1. Dapat disimpulkan anger management

efektif untuk menurunkan agresivitas. Dalam hal ini subjek di kelompok eksperimen mengalami penurunan agresivitas setelah mendapat AMT dan subjek di kelompok kontrol mengalami peningkatan agresivitas karena tidak mendapatkan AMT. Selain itu AMT dapat pula diberikan pada individu yang memiliki kemampuan di bawah rata-rata, dengan memodifikasi program yang lebih berbentuk operasional konkrit.

(21)

Abstract

The aim of this research is to determine the effectiveness of anger management training to reduce aggression in adolescent with disruptive behavior disorders. Subjects selected through screening with CPRS scale (Conduct Problem Risk Screen) and using BAQ scale (Buss-Perry Aggression Questionnaire) to measure aggression. AMT (Anger Management Training) in this research is a form of psychoeducation, which students learned about the basic understanding of angry, anger expression and it’s consequences, self identify their feelings when angry, angry thoughts controlling and determined the level of anger. Further understanding of anger management through the movie, muscle relaxation and breathing, how to resolve conflicts, how to control anger and anger planning control. The method used consists of case discussions, individual exercises, presentation and behavior modeling. The placement of the subject done by random assignment, which are divided into two groups. The experimental group consist of 10 students, received AMT for 3 times meeting and each meeting held in 120 minutes. The number of subjects in control group is 10 students also, but do not receive treatment. Hypothesis testing was done by using technique Independent Sample t-test and the result is p = 0,000 < 0,5. To measure the differences in the level of aggressiveness of the subjects in the experimental group during pretest and posttest, used Paired Sample t-test techniques, the result is p = 0,000 < 0,05 with mean 25,5. The same thing is done in the control group and the result is p = 0,000 < 0,05 with mean -11,1. It can be concluded that anger management training can reduce aggressiveness. In this case the subjects in the experimental group experienced a decrease in aggressiveness after receiving AMT while subjects in the control group increased their aggressiveness because they didn’t get AMT. In addition AMT can be given to individual with lower level of intelligence, by modifying form of the program more concrete operational.

(22)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Setiap orang pernah merasakan marah, karena marah itu adalah reaksi

yang normal dan alami. Seseorang juga mungkin akan marah ketika sedang

frustrasi karena kebutuhan, keinginan dan tujuannya tidak tercapai. Adakalanya

pula seseorang menjadi marah di dalam situasi yang membuatnya merasa

terancam atau dapat merugikan dirinya sendiri, hal itupun merupakan reaksi yang

wajar. Akan tetapi marah akan menjadi negatif dan tidak sehat, apabila seseorang

itu menjadi tidak sabar sehingga bersikap impulsif dan melakukan agresivitas

(Bhave & Saini, 2009; Reilly & Shopshire, 2002).

Mengekspresikan marah, bukan berarti seseorang harus menjadi

agresivitas. Justru faktanya, dengan mengekspresikan marah dapat mencegah

terjadinya agresivitas dan membuat orang lain menjadi meminta maaf (Izard

dalam Thomas, 2001). Maksudnya dengan mengekspresikan marah secara positif,

dapat membuat orang lain menjadi tersadar akan kesalahannya dan dapat

membantu seseorang pula agar bisa bertahan dalam mengatasi permasalahannya

di berbagai situasi (Averil & Novaco dalam Bhave & Saini, 2009). Dalam hal ini

antara marah dan agresivitas, jelas berbeda. Dimana marah merupakan emosi,

sedangkan agresivitas adalah perilaku yang dapat menyebabkan kerugian bagi

(23)

Para ahli mendefinisisikan marah cukup beragam, karena tidak semuanya

terfokus ke arah yang negatif. Menurut McCarthy, Barnes, & Alpert (dalam Blake

& Hamrin, 2007), marah merupakan emosi negatif yang merusak terkait dengan

penderitaan, permasalahan, mengamuk dan kebencian. Kemudian Cox, Stabb,

Brucker, & Novaco (dalam Lench, 2004) berpendapat, marah ialah cara

penanganan yang tidak tepat dengan keadaan menegangkan, menimbulkan konflik

yang lebih besar dan membuat seseorang menjadi tidak nyaman. Bhave & Saini

(2009) mengatakan, marah yaitu emosi yang disebabkan dari sumber internal dan

eksternal, serta sebagai reaksi yang wajar untuk keberlangsungan hidup.

Sementara Dunbar (2004) menDefinisisikan marah adalah emosi perasaan tidak

menyenangkan, yang dapat berubah dari kejengkelan ringan hingga mengamuk.

Semua orang pernah mengalami marah, namun setiap orang akan menjadi

penentu bagi dirinya sendiri dalam mengekspresikan marahnya. Cara seseorang

dalam mengekspresikan marahnya bisa digolongkan menjadi tiga: (1) agresivitas

ke orang lain (directed toward others) yaitu ekspresi marah yang merusak dengan cara negatif sehingga mengakibatkan timbulnya agresivitas secara fisik dan lisan,

seperti berteriak, menjerit, memukul, menghancurkan barang, melempar buku

atau kursi; (2) mengarah ke dalam diri (directed inward) atau ditekan (supressed), akibatnya juga dapat merusak pada diri seseorang, karena dapat meningkatkan

risiko tekanan darah tinggi, depresi, bunuh diri, penyakit pernapasan, membuat

seseorang menjadi lebih banyak merokok, minum alkohol, gagal di sekolah dan

sebagainya; (3) mengontrol dengan baik (well controlled) yaitu dengan

(24)

3

Mengekspresikan marah secara positif atau terkontrol merupakan emosi

yang menyehatkan dan menjadi tujuan setiap orang. Sebenarnya marah

merupakan tanda atau alarm yang akan mengalir ke otak, bahwa ada sesuatu yang salah, sehingga akan memberikan energi pada tubuh berupa adrenalin untuk

memperbaiki situasi yang terjadi. Saat keadaan marah terjadi, seseorang dapat

memilih tiga cara primitif yang mendasar sekali untuk dilakukan yaitu: (1) dengan

mempersiapkan segala sesuatu yang nantinya dapat mengancam; (2) langsung

berjuang menghadapinya; dan (3) mencoba lari untuk menghindarinya (Bhave &

Saini, 2009; Provenzana, 2004).

Permasalahan marah menjadi salah satu risiko terbesar yang dialami

remaja khususnya laki-laki, karena emosi mereka masih kurang stabil. Dimana

keadaan remaja mudah sekali terpancing marah, memiliki konflik dalam

pertemanan dan melakukan agresivitas. Jika dibandingkan antara anak-anak atau

orang dewasa, masa remaja cenderung lebih emosional, (Marcus, 2007). Dalam

hal ini erat kaitannya dengan keadaan remaja, yang merupakan masa transisi dari

masa kanak-kanak menuju dewasa. Meskipun begitu pada masa remaja, juga

mengalami perkembangan dalam berfikir kritis (Keating dalam Santrock, 2010).

Tidak dipungkiri jika dibandingkan dengan anak-anak, remaja lebih mampu

menciptakan beragam pilihan, menelaah situasi dari berbagai sudut pandang,

memperkirakan konsekuensi dari sebuah keputusan dan mempertimbangkan

kredibilitas dari suatu sumber. Namun pada masa remaja sering pula dikaitkan

dengan label juvenile delinquent (kenakalan remaja), karena perilaku remaja yang

(25)

Fakta yang terjadi di lapangan, mengenai kasus tawuran antar pelajar di

Indonesia cukup memprihatinkan, karena setiap tahunnya terus mengalami

peningkatan. Komisi nasional perlindungan anak (Komnas PA) melaporkan

tentang tawuran pelajar pada tahun 2011 tercatat 128 kasus dan sepanjang tahun

2012 menjadi 147 kasus hingga memakan korban jiwa sebanyak 82 orang

(Kuwado, 2012). Kasus kenakalan pelajar yang muncul juga beragam, mulai dari

melawan, berbohong, bolos, mengganggu, berkelahi, memalak (memeras) dan

mencuri uang atau barang temannya. Tindakan pelajar tersebut sering diberi label

sebagai anak nakal dan tingkah laku kenakalan itu dapat istilahkan dengan

perilaku disruptive (Mukhtar & Hadjam, 2006).

Perilaku disruptive disebut juga dengan perilaku yang tidak pantas atau

inapproriate behaviors (Matthys & Lochman, 2010). Dalam kehidupan

sehari-hari, perilaku disruptive sering dijumpai dari masa kanak-kanak hingga remaja. Seseorang yang berperilaku disruptive dapat terjadi hanya sementara, karena hal

tersebut dipengaruhi oleh watak dan faktor lingkungan. Bahkan bisa juga menetap

dan berkembang, menjadi oppositional defiant disorder (ODD) atau conduct disorder (CD). Gejala yang tampak pada remaja yang disruptive, biasanya mereka

dengan sengaja melanggar peraturan seperti mencuri, merusak barang-barang,

atau menyerang (American Academy of Pediatrics, 2010). Jika mengacu pada

DSM-IV-TR, diagnosa untuk perilaku ODD dan CD dapat dilihat dalam

kelompok disruptive behavior disorders, yang terpisah dengan attention deficit/hyperactivity disorder (AD/HD). Sebagai gambaran, perilaku ODD tidak

(26)

5

Dikarenakan remaja yang berperilaku disruptive tidak hanya akan membahayakan bagi dirinya sendiri, tetapi juga terhadap orang lain. Maka untuk

mengatasi permasalahan tersebut, penanganan dan pencegahan terhadap remaja

disruptive sangat perlu dilakukan. Salah satu intervensi psikososial yang sangat

disarankan yaitu dengan mengontrol marah (American Academy of Pediatrics,

2010), atau disebut juga dengan anger management karena merupakan cara terbaik dalam mengekspresikan marah secara positif (Bhave & Saini, 2009).

Anger management bertujuan untuk menghindari konsekuensi negatif, akibat dari ekspresi marah yang tidak sesuai. Secara ekstrim, marah memungkinkan sekali

dapat mengarah pada kekerasan atau agresivitas secara fisik. Akibatnya yang

terjadi setelah itu, seseorang bisa saja akan ditangkap atau dipenjara, mengalami

luka fisik, membalas dendam, kehilangan orang yang disayang, merasa bersalah,

menjadi malu atau menyesal (Reilly & Shopshire, 2002).

Penelitian tentang marah sudah banyak dilakukan dan para ahli sepakat

bahwa marah akan menjadi masalah bila frekuensi, kekuatan dan lamanya marah

begitu tinggi atau dikelola tidak efektif. Intervensi psikoedukasi seperti anger management training (AMT) bukanlah terapi, melainkan dapat menghasilkan

potensi untuk perubahan perilaku dengan meningkatkan pengetahuan,

menyediakan perspektif baru, memberikan klien kesempatan untuk belajar, serta

berlatih dengan cara khusus dan strategis (Anderson, et al. dalam Thomas, 2001).

AMT merupakan program yang bertujuan untuk mencegah risiko

kekerasan yang dialami oleh remaja, khususnya mengenai agresivitas (Marcus

(27)

menyebutkan, AMT itu meliputi: (1) menyediakan informasi kognitif dan

komponen perilaku tentang marah; (2) mengajarkan teknik kognitif dan perilaku

untuk mengelola marah; dan (3) memfasilitasi penerapan keterampilan baru.

Keterampilan baru yang diajarkan contohnya: relaksasi, berperilaku asertif,

antisipasi, instruksi diri, evaluasi diri, role play dan pemecahan masalah. Dalam hal pelaksanaan AMT menurut Feindler & Engel (2011), bisa dilakukan secara

individual dan kelompok. Meskipun yang diberikan terhadap kedua bentuk itu

pada prinsipnya sama, tetapi memiliki keuntungan yang berbeda (contohnya, jika

diberikan secara individual maka penanganannya menjadi lebih mendalam,

sedangkan jika kelompok akan memberikan kesempatan adanya contoh dari

anggota kelompok dan penguat orang lain dari perilaku prososial). Namun pada

umumnya AMT dilakukan secara kelompok, karena marah itu adalah emosi

interpersonal (Anderson, et al. dalam Thomas, 2001).

Perintis anger management menurut Beck (dalam Dunbar, 2004) adalah

Ellis, dimana marah terjadi akibat dari persepsi seseorang yang dikelola oleh

pikiran dan dikeluarkan dengan ekspresi marah yang tidak sehat. Pendekatannya

didesain untuk membantu klien agar menyadari, bahwa pikiran dan perasaan itu

memiliki keterkaitan satu sama lainnya. Dalam hal ini emosi seseorang

dipengaruhi oleh persepsinya terhadap suatu kejadian dan itu merupakan asumsi

dari cognitive behavioral therapy (CBT). Kemudian Dobson (2010) menyebutkan bahwa, rational emotive behavior therapy (REBT) yang ditemukan oleh Albert Ellis pada tahun 1955, menjadi petunjuk yang dicontoh oleh pendekatan cognitive

(28)

7

program dasar pencetus sebuah pendekatan holistik untuk menangani seseorang

yang tidak sehat dalam mengelola marahnya.

Dari beberapa laporan penelitian disebutkan bahwa, anger management

memberikan hasil positif terhadap remaja yang nakal, mahasiswa, pengemudi

dengan kemarahan yang tinggi, wanita Afrika-Amerika, agen lalu lintas kota New

York, individu yang learning disabilities, veteran perang yang post traumatic stress disorder, pasien jantung dan wanita yang di penjara (Thomas, 2001). Selain

itu Benson (dalam Fletcher & Poindexter, 1996) mendesain AMT, pada seseorang

yang mengalami mental retardation tergolong mild hingga moderate.

Hasil penelitian dari Siddiqah (2010) tentang anger management program, memberikan sumbangan sebesar 6% untuk mengurangi perilaku agresif remaja.

Kemudian penelitian dari Kellner & Bry (1999) mengenai AMT yang dilakukan

secara kelompok pada 7 orang remaja di sekolah yang mengalami gangguan

emosional, juga menunjukkan pengaruh positif terhadap penurunan agresif fisik

dan menyarankan untuk penelitian berikutnya akan lebih baik jika adanya

pendekatan yang memberikan insight pada remaja dengan diagnosa lebih khusus. Jelas terlihat bahwa intervensi AMT memiliki pengaruh positif dan dapat

mengurangi agresivitas. Oleh karena itu peneliti merasa tertarik ingin melihat

efektivitas anger management training untuk menurunkan agresivitas pada remaja

disruptive behavior disorders. Apalagi sepengetahuan peneliti mengenai penelitian anger management di Indonesia hanya ada beberapa saja dan belum ditujukan untuk diagnosa khusus. Bahkan di kampus Universitas Sumatera Utara

(29)

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah anger

management training efektif untuk menurunkan agresivitas pada remaja

disruptive behavior disorders. Adapun tujuan khususnya adalah untuk melakukan

perubahan berpikir pada area kognitif dan perilaku subjek, supaya

mengekspresikan marahnya secara positif atau terkontrol.

1.3. Manfaat Penelitian 1.3.1. Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah menambah referensi bagi

Psikologi Klinis, khususnya Psikologi Klinis Anak. Penelitian ini diharapkan akan

menambah wawasan mengenai efektivitas penerapan anger management training

untuk menurunkan agresivitas pada remaja disruptive behavior disorders.

1.3.2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi

yang bermanfaat bagi semua orang untuk mengekspresikan marahnya secara

positif atau terkontrol. Selain itu modul anger management training yang telah disusun dalam penelitian ini, juga dapat dimanfaatkan nantinya oleh pihak-pihak

(30)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Disruptive Behavior Disorders (DBD) 2.1.1. Pengertian Disruptive Behavior Disorders

Disruptive behavior disebut juga dengan perilaku yang tidak pantas atau

inapproriate behaviors. Jika perilaku tersebut sering muncul, tidak hanya hubungan seorang anak dengan sesama temannya saja yang terganggu, melainkan

dengan orang dewasa ikut terganggu pula (Matthys & Lochman, 2010).

Sedangkan Schroeder & Gordon (2002) menyatakan, disruptive behavior adalah bentuk perilaku yang negatif seperti mengamuk, merengek atau menangis yang

berlebihan, menuntut perhatian, tidak patuh, melawan, melakukan agresivitas

yang dapat membahayakan diri sendiri atau orang lain, mencuri, berbohong,

merusak barang dan kenakalan (delinquency).

Mengacu pada DSM-IV-TR (diagnostic and statistical manual of mental disorders–fourth edition–text revision), disruptive behavior disorders merupakan

bentuk dari perilaku antisosial, yang terbagi menjadi dua kriteria yaitu conduct disorder (CD) dan oppositional defiant disorder (ODD). Dimana ODD dan CD,

terpisah dengan attention deficit/hyperactivity disorder (AD/HD). Singkatnya, perilaku ODD tidak begitu parah dibandingkan CD, yang melakukan agresivitas

pada orang atau hewan, merusak barang, mencuri atau menipu (Loeber, et al.

(31)

Bentuk perilaku ODD menunjukkan sikap yang tidak pantas diusianya

yang terjadi berulang-ulang, seperti keras kepala, bermusuhan dan melawan.

Sementara perilaku CD, bentuk agresivitasnya sudah lebih parah yang terjadi

berulang-ulang dan menetap, serta perilaku antisosialnya sudah membuat luka

atau melanggar hak-hak orang lain, baik secara fisik, perkataan kasar, mencuri,

atau melakukan kerusakan (Mash & Wolfe, 2005). Perbedaan yang mendasar

antara ODD dengan CD bukan hanya dari tingkat keparahannya saja, melainkan

juga dari perkembangan dan hirarki yang menghubungkan diantara keduanya,

bahwa gejala ODD sering muncul sebelum berkembang menjadi CD yaitu

sebelum masa pubertas pada anak laki-laki (Sutker & Adams, 2002). Ketika

bentuk perilaku individu ada pada kedua kriteria untuk ODD dan CD, dalam hal

ini dalam menentukan diagnosanya akan menjadi CD (American Psychiatric

Association, 2000).

Berdasarkan Mash & Wolfe (2005); Schroeder & Gordon (2002); Matthys

& Lochman (2010); American Psychiatric Association (2000), kriteria diagnostik

untuk perilaku ODD yang tertera di DSM adalah: merupakan bentuk perilaku

yang negativistik, bermusuhan dan melawan setidaknya terjadi pada 6 bulan

terakhir, kemudian gejala yang muncul bisa 4 atau lebih seperti:

1) sering mengamuk.

2) sering membantah dengan orang dewasa.

3) sering melawan atau menolak untuk menuruti permintaan atau aturan dari

orang dewasa.

(32)

11

5) sering menyalahkan orang lain atas kesalahan atau perilaku tidak pantas yang

sudah dilakukannya.

6) sering tersinggung atau mudah terganggu dengan orang lain.

7) sering marah dan membenci.

8) sering iri hati atau membalas dendam.

Adapun acuan kriteria diagnostik untuk perilaku CD seperti yang tertera di

DSM yaitu: pola perilaku yang melanggar hak-hak dasar orang lain atau tidak

sesuai dengan norma sosial untuk seusianya, yang terjadi berulang-ulang dan

menetap, ditunjukkan dengan 3 gejala atau lebih pada 12 bulan yang lalu,

setidaknya 1 gejala di 6 bulan terakhir diantaranya:

1) sering menggangu, mengancam, atau mengintimidasi orang lain.

2) sering memulai perkelahian fisik.

3) menggunakan senjata yang menyebabkan luka fisik serius seperti: dengan

tongkat pemukul, batu bata, pecahan botol, pisau dan pistol.

4) melakukan kekejaman fisik pada orang lain.

5) melakukan kekejaman fisik pada hewan.

6) mencuri yang berhadapan dengan korbannya seperti: merampok, mengambil

dompet, pemerasan dan menyamun.

7) memaksa seseorang melakukan aktivitas seksual.

8) membakar sesuatu yang menimbulkan kerusakan serius dengan tujuan

mencari perhatian.

9) sengaja menghancurkan barang milik orang lain selain membakar.

(33)

11) sering berbohong untuk mendapatkan barang atau meminta pertolongan atau

menghindari kewajiban seperti menipu orang lain.

12) mencuri sesuatu yang tidak berharga tanpa menghadapi korbannya seperti

mencuri di toko tetapi tanpa merusak atau menyelusup dan pemalsuan.

13) sering keluar rumah pada malam hari meskipun orang tua melarang, berawal

sebelum usia 13 tahun.

14) melarikan diri dari rumah selama semalam setidaknya dua kali saat tinggal

dengan orang tua atau di rumah sebagai pengganti orang tua, atau sekali tanpa

pulang dalam waktu yang panjang.

15) sering bolos dari sekolah, berawal sebelum usia 13 tahun.

Kemudian Frick et al. (dalam Schroeder & Gordon, 2002), membuat klasifikasi mengenai disruptive behavior menjadi dua dimensi yaitu: (1)

covert-overt dan (2) destructive-nondestructive. Supaya memudahkan untuk memahami hal tersebut, dapat dilihat pada gambar 1 berikut ini:

Gambar 1. Klasifikasi Perilaku Disruptive

Destructive

Penyalahgunaan obat Tidak patuh Melarikan diri Berdebat

Bergadang Mengganggu orang lain Keras kepala

Menentang orang dewasa Mudah tersinggung

Marah

(34)

13

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa disruptive behavior disorders adalah bentuk perilaku negatif atau antisosial, dimana tindakan yang

dilakukan sudah tidak sesuai dengan norma sosial, yang terjadi secara

berulang-ulang dan menetap, akibatnya tidak hanya merugikan pada diri individu itu sendiri

namun juga pada orang lain. Bahkan perilaku individu tersebut sudah melanggar

hak-hak dasar orang lain dan sudah tidak pantas lagi untuk usianya.

2.1.2. Faktor-faktor Penyebab Disruptive Behavior Disorders

Penyebab disruptive behavior disorders cukup beragam, akan tetapi

Schroder & Gordon (2002) membaginya menjadi tiga faktor yaitu:

1) Faktor genetik atau biologis

Penyebab disruptive behavior disorders dari faktor genetik menjadi dasar

karakteristik seseorang atau predisposisi. Berdasarkan hasil penelitian terkini

jika dilihat dari perbedaan jenis kelamin, dinyatakan bahwa anak laki-laki

lebih disruptive dibandingkan anak perempuan. Aspek temperamen juga mengakibatkan perilaku disruptive diantaranya: regulasi emosi, reaktifitas yang intens (khususnya frustrasi), emosi negatif dan gampang marah,

kemampuan dalam mengontrol diri, serta pendekatan yang tinggi atau lemah

untuk menghindar (dapat memunculkan perilaku berisiko). Plomin (dalam

Schroder & Gordon, 2002) menyimpulkan bahwa, komponen genetik cukup

besar pengaruhnya pada orang dewasa yang memiliki perilaku antisosial dan

kriminalitas. Namun Rutter et al. & Schmitz et al. (dalam Schroder &

(35)

ditemukan dalam kasus-kasus perilaku antisosial yang berlanjut sampai

dewasa, sedangkan kasus-kasus yang mengalami penurunan perilaku

antisosial pada usia tertentu lebih cenderung didasarkan oleh lingkungan.

2) Faktor keluarga

Penyebab disruptive behavior disorders pada faktor keluarga, yaitu terkait degan disfungsi orang tua dalam mengasuh. Dalam hal ini ada beberapa hal

yang mempengaruhinya yaitu: perlakuan orangtua (gaya pendisiplinan,

kehangatan vs permusuhan, pengawasan terhadap anak), psikopatologi

orangtua (seperti ibu yang depresi, gangguan kepribadian, penggunaan obat

terlarang dan perilaku antisosial atau kriminal), perkawinan/orangtua yang

disfungsi (seperti perceraian atau berpisah, konflik, kekerasan pada pasangan)

dan konflik saudara kandung.

3) Faktor lingkungan

Faktor lingkungan atau keadaan di sekitar seseorang yang terkait dengan

status sosial ekonomi rendah atau kemiskinan, juga dapat menyebabkan

disruptive behavior disorders sehingga memunculkan permasalahan perilaku antisosial. Status sosial ekonomi rendah yang terkombinasi dengan stres

kronik, orangtua tunggal, isolasi sosial, kurangnya stimulasi dari lingkungan

dan keterbatasan pengetahuan, dapat mengakibatkan gejala depresi pada ibu,

yang berpengaruh terhadap perlakuan orangtua menjadi kurang baik. Selain

itu lingkungan miskin juga cukup membahayakan bagi anak, dimana mereka

sering melihat role model yang menampilkan kekerasan, penyalahgunaan

(36)

15

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa disruptive behavior disorders dapat disebabkan oleh faktor keluarga karena disfungsi orangtua dalam

mengasuh, faktor genetik atau biologis meskipun mejadi predisposisi jika kasus

perilaku antisosialnya berlanjut sampai dewasa, namun jika mengalami penurunan

pada usia tertentu cenderung disebabkan oleh faktor lingkungan yang terkait

dengan status sosial ekonomi rendah atau kemiskinan.

2.2. Agresivitas

2.2.1. Pengertian Agresivitas

Agresivitas adalah perilaku yang memiliki maksud untuk menyakiti

seseorang baik secara fisik atau verbal (Myers, 2010). Adapun menurut Coccaro

(2003) agresivitas sebuah perilaku yang berhubungan, dari mengamuk hingga

melakukan tindakan kejahatan, termasuk marah, permusuhan, gampang marah

dan impulsif. Kemudian Parke & Slaby (dalam Eisenberg, 2006) mengatakan,

agresivitas merupakan perilaku yang memiliki maksud dapat merugikan atau

melukai orang lain. Lebih luas Loeber (dalam Eisenberg, 2006) mendefinisikan

agresivitas akan memunculkan perilaku antisosial, yang menyebabkan kerugian

secara fisik atau mental, kerusakan barang atau hilang dan kemungkinan bisa

menjurus ke arah yang kriminal dengan melanggar hukum.

Sementara Collins Concise Dictionary (dalam Harding, 2006), agresivitas diartikan sebagai sebuah serangan, tindakan yang merugikan, aktivitas yang tidak

sopan, permusuhan atau sikap mental yang dapat merusak. Begitu pula menurut

(37)

adalah perilaku yang menimbulkan kerugian, kerusakan atau mengalahkan orang

lain. Selain itu Geen (dalam Russell, 2008) menjelaskan, agresivitas memberikan

stimulus aversif dari satu orang ke yang lainnya, dengan maksud melukai dan

berekspektasi setelah melukai membuat orang lain termotivasi untuk lolos atau

menghindari stimulus. Selanjutnya Anderson & Bushman (dalam Russell, 2008)

menyimpulkan bahwa agresivitas yaitu perilaku diarahkan pada orang lain yang

dilakukan saat itu dengan maksud untuk melukai. Sebagai tambahan pelaku

mempercayai kalau perilakunya akan melukai target dan si target menjadi

termotivasi untuk menghindari perilaku tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa agresivitas adalah

perilaku yang memiliki maksud untuk melukai dan menyakiti orang lain, baik

secara fisik atau verbal sehingga menyebabkan kerugian dan kerusakan, bahkan

dapat memunculkan perilaku antisosial. Dimana perilakunya juga memiliki tujuan

untuk mengalahkan orang lain, membuat orang yang menjadi korbannya akan

termotivasi untuk lolos dan menghindar.

2.2.2. Faktor-faktor yang Menyebabkan Agresivitas

Menurut Baron & Branscombe (2012), ada empat faktor yang

menyebabkan agresivitas diantaranya:

1) Faktor sosial (social)

Agresivitas yang disebabkan oleh faktor sosial, dipengaruhi oleh beberapa hal

yaitu: frustrasi (frustration), provokasi langsung (direct provocation) dan

(38)

17

mendapatkan, apa yang diinginkan atau seperti yang diharapkannya. Mengenai

teori agresivitas yang disebabkan oleh frustrasi, Dollard et al. (dalam Baron &

Branscombe, 2012) membaginya menjadi dua diantaranya: (a) frustrasi selalu

mengarah ke salah satu bentuk agresivitas; dan (b) agresivitas selalu berasal

dari adanya frustrasi. Namun kenyataan lain menunjukkan bahwa ketika

seseorang frustrasi, ternyata tidak selalu merespon dengan melakukan

agresivitas. Dimana respon yang terjadi bisa saja kesedihan, keputusasaan, atau

depresi. Dalam hal ini frustrasi hanya salah satu hal penting, yang dapat

menyebabkan agresivitas. Adapun provokasi langsung yang memiliki efek

paling kuat terhadap agresivitas adalah saat orang lain merendahkan seseorang

dengan ekspresi yang sombong atau menghina (Harris dalam Baron &

Branscombe, 2012). Begitu pula dengan kritik yang kasar dan tidak sopan,

terutama jika diarahkan pada diri seseorang daripada perilakunya (Baroon,

dalam Baron & Branscombe, 2012). Selain itu candaan dengan pernyataan

yang menyebutkan kekurangan dan kecacatan seseorang (Kowalski dalam

Baron & Branscombe, 2012). Sementara itu munculnya agresivitas juga bisa

disebabkan oleh kekerasan dalam media berupa film, televisi dan video games.

Beberapa hasil penelitian dengan jelas menyatakan, semakin banyak film atau

program televisi yang menampilkan kekerasan dan ditonton oleh anak-anak,

maka tingkat agresivitasnya akan semakin tinggi ketika remaja atau dewasa

sehingga memungkinkan mereka dapat ditahan karena tindak kejahatan.

2) Faktor budaya (cultural)

(39)

yaitu: “kehormatan pada budaya (cultures of honor)“, kecemburuan seksual (sexual jealousy) dan peran pada laki-laki (the male gender role). Beberapa

norma disebuah negara memperbolehkan adanya agresivitas atas nama

kehormatan. Sebagai contoh banyak tema film Barat yang lama dengan

karakter, terpaksa menembak seseorang karena kehormatannya ternodai.

Terlihat juga di film Asia, yang bercerita tentang perkelahian diantara pendekar

untuk mengetahui siapa yang lebih hebat. Begitu pula dengan kecemburuan

seksual yang terkait dengan perselingkuhan pada pasangan, memiliki proporsi

yang besar terhadap agresivitas. Dimana kecemburuan merupakan emosi yang

begitu kuat, dengan perasaan dihianati dan marah. Selain itu peran pada

laki-laki, di negara manapun akan mengaitkan kejantanan dengan pertumbuhan

yang optimal dan kematangan seksual. Dalam hal ini saat kejantanan seorang

lelaki ditantang, ia lebih memilih untuk melakukan agresivitas.

3) Faktor pribadi (personal)

Agresivitas yang disebabkan oleh faktor pribadi, dipengaruhi oleh beberapa hal

yaitu: keperibadian (personality), narsis (narcissism) dan perbedaan jenis kelamin (gender differences). Dalam hal ini jika seseorang memiliki

kepribadian seperti berikut ini: (1) sangat kompetitif; (2) selalu dalam keadaan

terburu-buru; (3) cepat sekali marah dan melakukan agresivitas. Gambaran

kepribadian tersebut cenderung menunjukkan agresivitas lebih tinggi

dibeberapa situasi dan melakukan hostile aggression yang bertujuan untuk melukai korbannya. Meskipun ada indikasi lain pula pada orang tersebut untuk

(40)

19

juga berkeinginan untuk mendapatkan sesuatu yang bernilai atau pujian dari

orang lain dengan bersikap kasar. Selain itu orang yang memiliki sifat narsis

yang tinggi, juga akan menunjukkan agresivitas yang tinggi. Hal ini diperkuat

oleh penelitian yang dilakukan Bushman et al. (dalam Baron & Branscombe,

2012), yang menyatakan bahwa bila seseorang setuju dengan pernyataan

berikut: “Jika saya mengatur dunia, maka dunia akan menjadi lebih baik” dan

“Saya lebih bisa melakukan apapun dibanding orang lain.” Reaksi yang berlebih seperti itu akan meningkatkan agresivitas saat egonya merasa

terancam, apalagi saat orang lain meragukan dirinya, yang membuat harga

dirinya menjadi terserang. Selain itu terkait perbedaan jenis kelamin,

berdasarkan penelitian dilaporkan bahwa, agresivitas laki-laki lebih tinggi

dibanding perempuan. Agresivitas yang dilakukan laki-laki akan langsung

ditujukan pada target, seperti menyerang dengan fisik, mendorong, melempar,

berteriak dan menghina (Bogard et al.; Bjorkqvist et al. dalam Baron &

Branscombe, 2012).

4) Faktor situasi (situational)

Agresivitas yang disebabkan oleh faktor situasi, dipengaruhi oleh beberapa hal

yaitu: suhu (temperature) dan alkohol (alcohol). Terkait dengan suhu, dari beberapa hasil penelitian dilaporkan bahwa ada hubungan antara agresivitas

dengan suhu yang panas (Anderson et al. dalam Baron & Branscombe, 2012).

Selanjutnya mengkonsumsi alkohol, juga dapat meningkatkan agresivitas. Hal

ini diperkuat dari beberapa eksperimen pada orang yang mengkonsumsi

(41)

tinggi dan membuatnya juga menjadi lebih mudah terprovokasi dibandingkan

dengan orang yang tidak mengkonsumsi alkohol (Bushman et al. dalam Baron

& Branscombe, 2012).

Sementara Buss-Perry (dalam Demirtas, 2012) menyimpulkan ada empat

faktor yang memunculkan agresivitas diantaranya: physical aggression

(agresivitas fisik), anger (marah), hostility (permusuhan, kebencian) dan verbal aggression (agresivitas verbal).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa agresivitas dapat

disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya agresivitas fisik, marah, permusuhan

dan agresivitas verbal. Dimana faktor-faktor tersebut dapat bersumber dari diri

pribadi seseorang, sosial, budaya suatu negara dan situasi tertentu.

2.2.3. Agresivitas pada Masa Remaja

Masa remaja merupakan masa transisi yang terkait dengan kepribadian,

fisik, akademik dan sosial. Sebagian dari remaja mampu melewati masa transisi

ini, meskipun adapula yang kesulitan. Transisi yang nyata pertama kali terlihat

adalah, perubahan dengan keadaan sekolah. Dalam hal ini remaja mengalami

transisi dari SD ke SMP dan lanjut ke SMA. Meskipun transisi dengan keadaan

sekolah tidak secara khusus berpengaruh terhadap meningkatnya agresivitas,

tetapi dari hasil penelitian menunjukkan terjadinya penurunan dalam tugas

akademik, meningkatnya kebencian pada pengalaman di sekolah dan rendahnya

harga diri (Wigfield et al. dalam Marcus, 2007). Namun pada saat remaja awal,

(42)

21

agresivitas anak laki-laki menjadi meningkat karena hormon testosteronpun

meningkat diusia 12-14 tahun (Lee et al. dalam Marcus, 2007).

Dari beberapa ulasan penelitian menyebutkan bahwa, kesulitan yang

dialami pada masa remaja semakin meningkat dan adanya beberapa gangguan di

dalam perkembangannya. Gangguan yang dialami yaitu: (1) konflik dengan

orangtua, dimana remaja cenderung melawan dan menentang otoritas orang

dewasa sehingga konflik menjadi meningkat, biasanya terjadi pada masa remaja

awal; (2) gangguan mood, dimana emosi remaja cenderung berubah-ubah dibandingkan anak-anak atau orang dewasa sehingga frekuensi depresi mood juga

meningkat, biasanya terjadi pada masa remaja pertengahan; dan (3) perilaku yang

berisiko, dimana remaja kemungkinan menyebabkan gangguan di masyarakat dan

berperilaku yang dapat melukai dirinya sendiri atau orang-orang di sekitarnya,

biasanya terjadi pada masa remaja akhir (Arnet, dalam Marcus, 2007).

Selain itu masa remaja biasanya lebih dikenal sebagai masa yang penuh

risiko dan memungkinkan dapat memunculkan agresivitas yang tinggi. Hal ini

diperkuat dari data yang diperoleh pada remaja yang usianya 14-18 tahun, dimana

42% laki-laki dan 28% perempuan melakukan penyerangan secara fisik

(USDHHS, dalam Marcus, 2007). Bahkan kematian diusia remaja antara 15-24

tahun, yang disebabkan oleh pembunuhan menduduki urutan kedua jika

dibandingkan dengan usia perkembangan lainnya (NCHS, dalam Marcus, 2007).

Selain itu dari survey yang dilakukan tentang kejahatan, pada usia 12-19 tahun

menunjukkan hasil yang begitu tinggi karena menjadi korban kekerasan oleh

(43)

2.3. Anger Management Training (AMT) 2.3.1. Pengertian Anger Management Training

Anger management training merupakan pelatihan yang diberikan pada

seseorang dengan tujuan agar ia mampu mengekspresikan marahnya dengan cara

yang tepat sehingga membuat nyaman pada dirinya sendiri dan orang lain (Bhave

& Saini, 2009). Sementara Gentry (2007) menyimpulkan, anger management

training adalah suatu pelatihan untuk menangani permasalahan marah yang terkait

dengan pikiran, sehingga membuat seseorang berespon dengan tepat akan

perasaannya, bertanya dengan pertanyaan yang sesuai disaat marah, bagaimana

menentukan pilihan ketika sedang marah dan mengambil tindakan atas

konsekuensi perilaku yang telah membuatnya sakit hati.

Sedangkan Gulbenkoglu & Hagiliassis (2006) membuat pengertian

tentang anger management training ialah suatu pelatihan yang bukan memiliki

tujuan untuk menghilangkan marah, karena marah merupakan emosi yang normal,

melainkan dengan memberikan semangat pada seseorang agar mengelola

marahnya dengan cara yang konstruktif dan efektif. Adapun Marcus (2007)

menjelaskan, anger management training adalah pelatihan yang akan membantu seseorang mengenali isyarat dari tubuhnya disaat marah, menggunakan

pernyataan diri yang positif dan belajar teknik-teknik mengurangi stres seperti

menghitung mundur untuk mengontrol marahnya.

(44)

23

dengan mempelajari teknik-teknik yang dapat mengurangi stres sehingga ekspresi

marahnya tersalurkan secara tepat.

2.3.2. Teknik-teknik dalam Anger Management Training

Menurut Bhave & Saini (2009), ada empat belas teknik yang perlu

dipelajari dalam anger management training diantaranya: 1) Menyebutkan sebuah mantra

Dengan mengulang dan menyebutkan kata-kata yang menenangkan, efeknya

dapat membawa kedamaian pada pikiran seperti: rileks, tetap tenang, lalu

dikombinasikan dengan menarik napas yang dalam hingga dapat dirasakan

emosi yang semakin bisa dikontrol.

2) Role playing

Sebelumnya perlu sekali belajar memahami akan isyarat pada tubuh yang

dapat menimbulkan marah, seperti wajah terasa menjadi panas, tangan

menjadi dingin atau bergetar dan gagap saat berbicara. Kemudian

gunakankanlah teknik yang dapat membantu diri, untuk mencegah timbulnya

marah yang tidak terkontrol. Dalam hal ini jika merasa akan munculnya

marah dalam perdebatan yang semakin memanas, lebih baik berhentilah dan

keluarlah dari situasi itu.

3) Pergi menjauh ketika orang lain berteriak

Maksudnya pada saat sedang marah, sebaiknya pergi keluar dari situasi

tersebut dan duduklah sendiri untuk menenangkan diri.

(45)

Disaat diri sudah tenang dan sudah dapat berfikir secara rasional, setelah itu

boleh kembali ke situasi sebelumnya.

5) Keluarkanlah kemarahan sebelum bertemu orang yang membuat marah

Cara yang bisa dilakukan yaitu: (a) dengan membayangkan orang tersebut

ada duduk dihadapan dan memberikan izin untuk mengatakan apapun yang

diinginkan, karena hal ini dapat membuang rasa sakit kemarahan dan

kebencian yang dirasakan; (b) boleh pula dengan menulis surat kemarahan

dan menangis setelah membacanya sekali, karena hal ini dapat melepaskan

beban yang dirasakan sehingga bila nantinya akan bertemu orang tersebut

membuat diri dapat tetap tenang, sebab sudah mengeluarkan kemarahan pada

waktu sebelumnya; (c) boleh juga dengan melakukan beberapa olahraga fisik

seperti berlari, berenang, atau melakukan teknik relaksasi, mendengarkan

musik sebelum pergi dan bertemu dengan orang atau situasi yang dapat

menyebabkan marah.

6) Belajar untuk berdamai pada diri sendiri

Hal-hal yang bisa dilakukan yaitu: menikmati apa saja yang sudah dimiliki,

tidak perlu harus selalu bersama orang lain disetiap waktu, adakalanya perlu

sendiri karena akan memberikan waktu dalam merefleksikan apapun yang

membuat lebih menyadarkan diri dan memperbaikinya. Kemudian saat

merasakan marah, cobalah untuk membayangkan bagaimana ganas dan

jeleknya wajah yang tampak, apalagi jika sampai terlihat oleh orang yang

disayangi. Saat sudah membayangkan bagaimana reaksi yang akan terjadi

(46)

25

tenang. Pada orang yang sangat kaku dan keras, ternyata membuat mereka

akan lebih mudah marah. Oleh karena itu mereka perlu belajar untuk

melepaskan ketegangan dan perasaan marah dengan bersikap tenang dan

tertawa pada diri sendiri.

7) Lihat ke kaca pada saat marah untuk melihat wajah yang tidak menyenangkan

8) Memperbaiki pengaturan waktu

Dalam hal ini janganlah mengatur jadwal dan batas akhir pengumpulan yang

tidak realistik atau menunda-nunda untuk diri sendiri dan orang lain.

Kemudian usahakanlah untuk melakukan banyak hal pada waktu yang sedikit

dan menghindari stres karena hal itu dapat memicu marah.

9) Mencoba dengan gaya hidup yang sehat

Memakan makanan yang sehat, rutin berolahraga dan istirahat yang cukup.

10) Belajar untuk berpikir dan mengekspresikan emosi yang positif

Perlu disadari, kalau manusia memiliki kesalahan. Kemudian cobalah belajar

untuk menerima dan menyadari, kalau diri sendiri juga bisa salah dan akuilah

itu. Pada beberapa situasi marah, seseorang mampu meminta maaf dengan

setulus hati, begitu pula dengan diri sendiri yang harus bisa pula untuk

meminta maaf pada orang lain. Dimana memaafkan juga merupakan alat yang

dapat mengurangi marah, meningkatkan harga diri dan memiliki harapan

untuk ke depannya (Enright, dalam Bhave & Saini, 2009).

11) Bertindak seperti orang dewasa yang matang dan bertanggung jawab

Kemarahan banyak menghancurkan pernikahan. Daripada berkelahi, Mace et

(47)

kemudian kontrollah atau ringankanlah, lalu mintalah pada pasangan untuk

membantu dalam menguraikan apa yang sudah dilakukan keduanya dan

peduli terhadap tindakan pasangan yang sudah dilakukan pada situasi

tersebut, yang berakhir dengan kesepakatan bersama.

12) Belajar untuk meminta maaf dan memaafkan

Ada beberapa hal yang perlu dilakukan yaitu: (a) cobalah untuk melihat

situasi dari perspektif orang lain ketika merasakan marah; (b) ingatlah bahwa

setiap orang punya kesalahan dan hal itu merupakan proses bagi seseorang

untuk belajar memperbaikinya; (c) temukan sebuah role model dari seseorang

yang telah mampu menangani permasalahan terhadap keadaan yang sulit

dengan kehidupan yang tenang dan bahagia, dengan menemukan cara yang

dilakukannya untuk diterapkan pada diri sendiri; (d) ingatlah bahwa apapun

yang ada pada dirimu dapat merubah dirimu dan responmu pada orang lain,

yang memungkinkan juga dapat merubah respon orang lain pada dirimu.

Dimana marah tidak menyelesaikan terhadap situasi tertentu, justru berakibat

sakit yang akan berpengaruh pada diri sendiri; (e) saat seseorang menyakiti

atau salah dan merasa menyesal, tidak ada salahnya untuk dimaafkan.

Menurut Ohbuchi et al. dalam Bhave & Saini (2009), menerima maaf dapat

mengurangi agresivitas dan memperbaiki kesan terhadap orang yang

memaafkan. Bahkan Holmes, dalam Bhave & Saini (2009) mengatakan,

permohonan maaf yang tulus sangat efektif untuk mengurangi marah; (f)

tidak perlu berteriak dan bersuara keras, karena seseorang akan menjadi

(48)

27

komunikasi yang keliru dapat menyebabkan banyak kesalahpahaman; (h) jika

berdiskusi dengan tenang, maka memungkinkan untuk mendapatkan

pemecahan masalah karena tidak berespon marah.

13) Menghindari konflik

Sebelum mengatakan yang tidak pantas berpikirlah apakah hal itu akan

menyelesaikan masalah atau memperkeruh dan janganlah sampai mengamuk

atau berkelahi saat menyatakan kritik, kekecewaan, marah atau tidak senang.

14) Jangan marah selama diskusi atau berdebat

Mencoba mengubah marah dan irrational thought, dengan cara yang lebih

rasional dan pikiran yang tenang. Dimana pada anger management training

termasuk di dalamnya: conceptual reframing atau cognitive restructuring, mengidentifikasi stimulus penyebab dan pelatihan relaksasi yang berguna

untuk mengurangi ketegangan fisik akibat marah sehingga tidak menjadi

agresivitas. Kemudian gunakanlah pernyataan yang mengekspresikan

perasaan, daripada pernyataan yang menyalahkan orang lain. Contohnya

katakanlah: “Aku kecewa karena sudah menjaga kamarku tetap bersih tapi kau berantakin, karena aku capek membersihkannya.”Daripadamengatakan: “Kau sangat jorok atau kau selalu membuat kamarku berantakan.” Selain itu

cobalah menerima setiap orang tidak seperti dirimu, tak ubahnya dirimu tidak

akan sama seperti orang yang dijumpai. Maksudnya jika tidak memaksakan

semua orang di sekitar akan menyetujui seperti yang diinginkan, maka

seseorang tidak akan kecewa dan marah saat ada beberapa orang lain yang

(49)

2.4. Efektivitas Anger Management Training untuk Menurunkan Agresivitas pada Remaja Disrutive Behavior Disorders

Mengacu pada DSM-IV-TR, disruptive behavior disorders merupakan bentuk dari perilaku antisosial, yang terbagi menjadi dua kriteria yaitu conduct

disorder (CD) dan oppositional defiant disorder (ODD). Dalam hal ini remaja yang disruptive dengan sengaja melanggar peraturan seperti mencuri, merusak barang-barang, atau menyerang (American Academy of Pediatrics, 2010).

Perilaku disruptive merupakan bentuk ekspresi marah yang negatif dan tidak sehat, karena sudah memunculkan agresivitas (Bhave & Saini, 2009).

Dimana agresivitas merupakan perilaku yang memiliki maksud untuk menyakiti

seseorang baik secara fisik atau verbal (Myers, 2010). Akibatnya yang terjadi

setelah itu, remaja tersebut bisa saja akan ditangkap atau dipenjara, mengalami

luka fisik, membalas dendam, kehilangan orang yang disayang, merasa bersalah,

menjadi malu atau menyesal (Reilly & Shopshire, 2002).

Dikarenakan remaja yang berperilaku disruptive tidak hanya akan membahayakan bagi dirinya sendiri, tetapi juga terhadap orang lain. Maka untuk

mengatasi permasalahan tersebut, penanganan dan pencegahan terhadap remaja

disruptive sangat perlu dilakukan. Salah satu intervensi psikososial yang sangat disarankan yaitu dengan mengontrol marah (American Academy of Pediatrics,

2010), atau disebut juga dengan anger management karena merupakan cara terbaik dalam mengekspresikan marah secara positif (Bhave & Saini, 2009).

Anger management training (AMT) merupakan program yang bertujuan

(50)

29

untuk membantu mengurangi intensitas dan durasi emosi marah (Marcus, 2007).

Dalam hal ini AMT bukanlah terapi, melainkan salah satu bentuk intervensi

psikoedukasi yang manfaatnya dapat menghasilkan potensi untuk perubahan

perilaku dengan meningkatkan pengetahuan, menyediakan perspektif baru,

memberikan klien kesempatan untuk belajar (Anderson, et al. dalam Thomas,

2001), dan berlatih teknik-teknik mengontrol marah (Bhave & Saini, 2009).

Secara singkat kerangka teoritis penelitian, ada pada gambar 2 di bawah ini:

Gambar 2. Kerangka Teoritis Penelitian

2.5. Hipotesis

Hipotesis yang ditetapkan berdasarkan kerangka teoritis penelitian ini

adalah sebagai berikut:

Ho = Tidak ada penurunan agresivitas pada remaja disruptive behavior disorders

sesudah mendapatkan intervensi anger management training.

Ha = Ada penurunan agresivitas pada remaja disruptive behavior disorders

sesudah mendapatkan intervensi anger management training. Remaja disruptive behavior disorders (DBD):

oppositional defiant disorder (ODD)

Gambar

Tabel
Gambar Halaman
Gambar 1. Klasifikasi Perilaku Disruptive
Gambar 2. Kerangka Teoritis Penelitian
+4

Referensi

Dokumen terkait

Tabel bursa obligasi di The Wall Street Journal pada umumnya berisi informasi yang berkaitan dengan tanggal jatuh tempo, harga, dan tingkat bunga kupon setiap

Tujuan dari penelitian adalah membangun sebuah Sistem Informasi Penjualan Sepatu Olahraga di Mega Sport Berbasis Web yang akan digunakan pada Toko Mega Sport.. Sistem ini

(4) Rancangan Peraturan Desa tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa yang telah dibahas dan disepakati bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat

Jumlah Biji per Polong Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian macam pupuk organik dan waktu penyiangan gulma pada perameter jumlah biji per polong tidak memberikan

Demikianlah Berita Acara Pembukaan (download) File II penawaran pekerjaan Perencanaan Teknis PSD dan Penataan Kawasan Permukiman Tradisional Tanjung Enim dan Dusun Muara

terhadapnya, maka upaya terakhir yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan. upaya hukum luar biasa yaitu Peninjauan

Dari gambar 4 dapat diketahui bahwa biobriket tempurung kelapa memberikan nyala bara sampai menjadi abu terlama yaitu 147,75 menit dengan massa 900 gram Sementara lama

Bagaimana seorang reporter dan kamerawan dapat mewujudkan hubungan kerja yang baik dalam proses pencarian berita dan bagaimana mereka dapat menyelesaikan