HILIRISASI PERGURUAN TINGGI
Ilham Zulfahmi1
1Dosen Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Ar-Raniry
Peserta program magang dosen Kemenristekdikti 2015 Email: ilhamgravel@yahoo.com
Menurut UU No 12 Tahun 2012 salah satu tujuan dari dibentuknya perguruan tinggi
adalah terwujudnya pengabdian kepada masyarakat berbasis penalaran dan karya penelitian
yang bermanfaat dalam memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan
bangsa. Oleh karena itu, perguruan tinggi diamanahkan harus mampu melahirkan dan
menerapkan inovasi-inovasi baru untuk menanggulangi berbagai permasalahan yang dihadapi
oleh masyarakat. Perguruan tinggi sejatinya tidak hanya menjadi pusat ilmu dan pengetahuan
akan tetapi juga diharapkan mampu memberikan dampak yang lebih besar bagi masyarakat.
Hasil penilaian kinerja penelitian perguruan tinggi yang dirilis pada Agustus 2016
silam menunjukkan bahwa kinerja perguruan tinggi di provinsi Aceh masih tergolong rendah.
Hal ini terlihat dari tidak adanya perguruan tinggi Aceh yang menempati kluster/kelompok
mandiri. Sedangkan jumlah perguruan tinggi Aceh yang menempati kelompok utama juga
hanya satu, kelompok madya tiga pergururuan tinggi dan selebihnya hanya menempati
kelompok binaan saja.
Dilihat dari kacamata yang lebih luas, pada skala internasional tingkat inovasi
perguruan tinggi indonesia juga rendah. World Economic Forum (2015) mengungkapkan
bahwa indeks inovasi pendidikan tinggi indonesia adalah 4,0 atau peringkat 60 dunia,
sedangkan indeks inovasi Indonesia pada tahun 2016 menempati rangking 88 dari 128 negara
Masih rendahnya tingkat inovasi perguruan tinggi dirasakan cukup berdampak dan
menjadi salah satu penyebab beragam dinamika permasalahan di masyarakat. Mulai dari
tingginya angka pengangguran, rendahnya indeks kesehatan, ketergantungan bahan pokok
dari daerah lain hingga berkembangnya produk inovasi perguruan tinggi lain mengalahkan
Rendahnya inovasi dibidang kesehatan pangan misalnya, membuat sebagian pedagang
dan produsen mie aceh serta olahan ikan terpaksa menggunakan formalin (zat pengawet
makanan berbahaya) untuk mengawetkan produk dagangan mereka. Dibidang perikanan,
rendahnya inovasi terlihat dari minimnya kreasi produk olahan hasil laut, teknik penangkapan
dan pengawetan ikan yang masih minim teknologi, serta permodalan dan teknik pemasaran
yang belum adaptif dan optimal (Serambi indonesia, 14 Juni 2014).
Tingginya ketergantungan Aceh terhadap provinsi lain dalam hal pemenuhan
komoditas pangan daerah juga merupakan salah satu indikator masih rendahnya penerapan
inovasi, sebut saja salah satunya ketergantungan aceh terhadap telur ayam yang masih harus
diimpor dari medan dalam jumlah besar sehingga mengeluarkan biaya yang cukup besar pula
(Serambi Indonesia, 13 Juli 2016). Rendahnya inovasi dan kreasi ikut pula merambah sampai
ke sektor pariwisata. Aceh yang telah dideklarasikan sebagai salah satu destinasi wisata halal
dinilai masih perlu memperbaiki diri. Sungguh sangat disayangkan, sebagaimana yang
diberitakan harian Serambi Indonesia (30/3/2016) mayoritas souvenir khas aceh yang beredar
dipasararan seperti bros, gelang, pinto aceh, sampai gantungan kunci khas aceh merupakan
buatan (made in) dari negara lain seperti Cina, Korea dan Taiwan
Kendala
Ada beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab masih rendahnya inovasi
perguruan tinggi, diantanya ialah minimnya penerapan hasil riset. Riset berbiaya mahal
tersebut seringkali terhenti dipublikasi ilmiah saja tanpa ada tindak lanjut atau
pengaplikasiannya. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh menteri riset teknologi
dan pendidikan tinggi (2015) dengan menyatakan bahwa rata-rata riset yang dikembangkan
oleh dosen (terutama dosen baru) hanya sampai pada tingkatan publikasi untuk kemudian
disimpan di pustaka dengan harapan dibaca oleh mahasiswa. Bentuk seperti ini dirasa tidak
Rendahnya aplikasi dari hasil riset tersebut juga dapat disebabkan oleh kurangnya
kemitraan antara pemerintah, stakeholder & perguruan tinggi. Proses hilirisasi dibutuhkan
sebagai upaya untuk mengolah temuan riset menjadi inovasi. Oleh karena itu, kemitraan
merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dan merupakan strategi guna menghantarkan
tujuan tersebut. Hubungan kemitraan hendaknya jangan hanya diterjermahkan pada skala
industri saja, tetapi hasil riset tersebut dapat juga diterapkan untuk berbagai aspek sederhana
lainnya seperti meningkatkan produktivitas dan keamanan pangan, konservasi, maupun
pemberdayaaan ekonomi rumah tangga.
Rendahnya kecintaan masyarakat aceh terhadap produk asli daerah merupakan juag
faktor tak terbantahkan. Hal ini dapat teramati dari kultur masyarakat aceh yang cenderung
memilih barang luar yang harganya lebih murah dibandingkan dengan produk lokal yang
sedikit lebih mahal. Padahal jika dicermati produk lokal dengan harga jual yang lebih mahal
umumnya masih berskala kecil serta berada pada masa-masa awal sehingga biaya
produksinya memang cenderung tinggi.
Solusi
Menghadapai era globalisasi dan sudah menjadi bagian dari Masyarakat Ekonomi
Asean (MEA) menjadi tantangan sekaligus ancaman terhadap semua bangsa. Rendahnya
penerapan teknologi dan inovasi akan berdampak negatif dengan diserbunya pasar lokal
dengan produk dari luar sehingga berpotensi menimbulkan dampak merosotnya komoditas
lokal. Terlebih Aceh akan menjadi tuan rumah Pekan Nasional Kontak Tani Nelayan Andalan
(PENAS-KTNA) XV tahun 2017, ajang tersebut diharapkan dapat menjadi momentum bagi
pemerintah dan perguruan tinggi Aceh untuk unjuk gigi memamerkan ragam inovasinya.
Untuk meningkatkan hilirisasi hasil riset perguruan tinggi ada beberapa solusi yang
dapat dipertimbangkan, (1) Hilirisasi hasil riset dapat dimulai di lingkungan perguruan tinggi
dapat diproduksi sendiri, seperti telur, beras, bahan baku lainnya bahkan air minum kemasan.
Dengan adanya usaha seperti ini, apakah itu dalam bentuk koperasi maupun ikatan kerjasama
dengan pihak lainnya, maka hasil-hasil riset bidang pertanian dan perikanan yang telah
dilakukan kampus dapat diterapkan. Selain daripada itu, ini akan menjadi upaya percontohan
sebagai bagian untuk melepaskan ketergantungan daerah terhadap ketergantungan dari daerah
luar. Beberapa perguruan tinggi besar di Indonesia sudah mulai menerapkan model ini karena
selain dapat mengaplikasikan hasil riset, dipercaya mampu meningkatkan pemahaman
mahasiswa dan meningkatkan jiwa kewirausahaan.
(2) Upaya pemerintah dan pihak terkait lainnya untuk menjalin kemitraan dengan
perguruan tinggi juga perlu ditingkatkan. Jangan hanya karena unsur politik, pemerintah
menjadi “alergi” terhadap perguruan tinggi. Keberadaan perguruan tinggi disuatu daerah
hendaknya menjadi suatu keuntungan dan kemudahan bagi pemerintah untuk dapat
menyelesaikan berbagai persoalan daerah. Dalam hal regulasi pemerintah hendaknya mampu
menekan arus barang dari luar daerah sementara disisi yang lain menggunakan, melindungi
mengembangkan dan terus mempromosikan produk lokal daerah. Adanya sinergisitas antara
perguruan tinggi dan pemerintah maupun pihak terkaitnya diharapkan akan meningkatkan
jumlah inovasi daerah guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
(3) Sosialisasi kepada masyarakat Aceh untuk mencintai dan menggunakan produk
lokal juga merupakan bagian tak terpisahkan. Istilah “Menyo na atra droe keupu atra gop”
harus dapat ditranformasikan kedalam rasa cinta menggunakan produk-produk inovasi lokal.
Masyarakat aceh dapat bercermin kepada penduduk Jepang yang lebih memilih barang lokal
dengan harga yang lebih mahal ketimbang membeli barang luar walaupun dengan harga yang
lebih murah. Rasa saling membantu saling menghargai antar produsen dan konsumen ini
Hilirisasi dan komersialisasi hasil riset seharusnya menjadi bagian dari strategi
perguruan tinggi untuk lebih memberi dampak positif kepada masyarakat. Terlebih apabila
berbagai riset yang dilakukan dibiayai oleh negara (uang rakyat), maka seharusnya menjadi
sangat wajar apabila masyarakat menuntut agar hasil riset tersebut dapat bermanfaat bagi