• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Konsep Diri dan Kecemasan Keluarga yang Memiliki Anak Retardasi Mental di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) kota Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran Konsep Diri dan Kecemasan Keluarga yang Memiliki Anak Retardasi Mental di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) kota Medan"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

No Aktivitas penelitian Septem

1 Pengajuan judul penelitian

9 Revisi proposal penelitian

10 Uji Validitas & Reliabilitas

11 Pengumpulan data responden

12 Analisa data

13 Pengajuan sidang skripsi

14 Ujian sidang skripsi

Diketahui, Dosen pembimbing

Mahnum Lailan Nst, S.Kep, Ns, M.Kep NIP : 197501132002122001

(3)
(4)
(5)
(6)

Lampiran 5

(7)
(8)
(9)
(10)

Lampiran 9

(11)

FORMULIR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN PENELITIAN

Konsep diri dan Kecemasan Keluarga yang Memiliki Anak Retardasi Mental di YPAC kota Medan

Oleh :

Viki Afriani Siregar

Saya adalah mahasiswa Program S-1 Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara yang melakukan penelitian dengan tujuan untuk mengidentifikasi Konsep diri dan Kecemasan keluarga yang memiliki anak retardasi mental di YPAC kota Medan. Saya mengharapkan jawaban yang anda berikan sesuai dengan pendapat anda tanpa dipengaruhi

oleh orang lain. Saya akan menjamin kerahasiaan identitas dan pendapat anda. Informasi yang anda berikan akan dipergunakan untuk mengembangkan pelayanan kesehatan khususnya ilmu keperawatan dan tidak akan digunakan untuk maksud-maksud lain selain penelitian ini.

Partisipasi anda dalam penelitian ini bersifat bebas, anda bebas untuk ikut atau menolak tanpa adanya sanksi apapun. Jika anda bersedia silahkan menandatangani lembar persetujuan ini sebagai bukti kesediaan anda.

Terima kasih atas partisipasi anda dalam penelitian ini.

Medan, April 2016

Peneliti Responden

(Viki Afriani S) ( )

(12)

INSTRUMEN PENELITIAN GAMBARAN KONSEP DIRI DAN KECEMASAN KELUARGA YANG MEMILIKI ANAK RETARDASI MENTAL DI YPAC KOTA

MEDAN

Kode

A. Data Demografi Petunjuk pengisian :

Ibu/ Bapak diharapkan dapat menjawab pertanyaan yang tersedia dengan memberikan tanda checklist (√) pada tempat yang disediakan.

Usia : Tahun Pendidikan : ( ) SD

( ) SMP ( ) SMA

( ) Perguruan Tinggi

Status di keluarga : ( ) Ibu ( ) Bapak ( ) Pengasuh ( ) Lain-lain

... (Sebutkan)

Agama : ( ) Islam

( ) Kristen ( ) Hindu

(13)

Pekerjaan : ( ) PNS

( ) Pegawai Swasta ( ) Wiraswasta ( ) Bertani ( ) IRT

( ) Lain-lain...(Sebutkan)

Penghasilan keluarga : ( ) < Rp. 1.000.000 ( ) Rp. 1.000.000-2.500.000 ( ) > Rp. 2.500.000

(14)

Orang tua atau keluarga dapat memilih satu diantara 2 jawaban yang tersedia. Berilah tanda (√) pada kolom pilihan dibawah ini.

No Pernyataan Ya Tidak

1. GAMBARAN DIRI

Saya tetap senang dengan bentuk tubuh saya setelah memiliki anak retardasi mental.

2. Saya masih menyukai bentuk wajah saya.

3. Saya senang dengan penampilan saya saat ini.

4. Saya kecewa dengan gen yang dimiliki sehingga menghasilkan keturunan yang tidak normal. 5. Saya tetap bangga dengan diri

saya, walaupun memiliki anak yang tidak normal.

6. IDEAL DIRI

Saya menginginkan anak yang normal seperti yang dimiliki orang tua lainnya.

7. Saya ingin menjadi orang tua yang selalu memberikan kasih sayang dengan tulus kepada anak saya.

8. Saya selalu berusaha

memaksimalkan diridalam menjalankan fungsisebagai orang

tuadidalam keluarga.

9. Saya berharap hubungan saya dengan anak-anak tetap harmonis dan bahagia.

10. Saya ingin selalu terlihat tegar didepan anak saya dan orang lain.

11. HARGA DIRI

Meskipun saya memiliki anak retardasi mental, orang-orang disekeliling saya tidak pernah menghina saya.

12. Masyarakat di lingkungan sosial tetap mau menerima saya.

13. Sebagai orang tua, saya bangga karena memiliki anak retardasi mental.

14. Memiliki anak retardasi mental tidak menjadi penghalang dalam beraktivitas sehari-hari.

(15)

retardasi mental. 16.

PERAN

Sejak memiliki anak retardasi mental saya masih dapat melakukan pekerjaan dengan baik.

17. Meskipun saya memiliki anak retardasi mental, saya masih mampu merawat anak dengan baik.

18. Saya masih mampu memenuhi kebutuhan anakdengan maksimal. 19. Sejak memiliki anak retardasi

mental, saya masih dapat melakukan kegiatan sosial dimasyarakat.

20. Saya pesimis menjadi orang tua yang baik bagi anak saya.

21. IDENTITAS DIRI

Memiliki anak retardasi mental tetap menjadikan saya sebagai orang tua yang seutuhnya.

22. Sebagai orang tua, saya berusaha untuk membahagiakan anak saya dengan maksimal.

23. Sebagai orang tua, saya merasa gagal karena tidak bisa memiliki anak yang normal.

24. Memiliki anak retardasi mental tidak menghalangi saya untuk bergaul dengan orang-orang yang ada disekeliling saya.

25. saya optimis akan selalu menjadi orang tua yang berguna bagi anak-anak.

(16)

Pilihlah salah satu jawaban sesuai dengan kondisi yang Bapak/ Ibu alami saat ini dengan memberikan tanda (√) pada kolom yang tersedia.

(17)

17 Saya merasa menyusahkan

18 Saya merasa

kebingungan

19 Saya merasa

kuat

20 Saya merasa

sesuatu menyenangka n

(18)

Nilai Validitas Instrumen V = ∑S

[n (c-1)] S = r- lo

Lo = Angka penilaian validitas yang terendah C = Angka penilaian valiitas tertinggi

(19)

RELIABILITY

/VARIABLES=P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10 P11 P12 P13 P14 P15 P16 P17 P18 P19 P20 P21 P22 P23 P24 P25

/SCALE('ALL VARIABLES') ALL /MODEL=GUTTMAN

/SUMMARY=TOTAL.

Reliability

[DataSet0]

Warnings

ch of the following component variables has zero variance and is removed from the scale:

P1, P2, P3, P5, P7, P8, P9, P10, P12, P14, P16, P17, P18, P19, P21, P22, P25

e determinant of the covariance matrix is zero or approximately zero. Statistics based on its

inverse matrix cannot be computed and they are displayed as system missing values.

Scale: ALL VARIABLES

Listwise deletion based on all variables in the

(20)

0 5.10 2.767 .733 . .740

3 5.00 2.667 .968 . .700

4 4.90 4.544 -.346 . .873

(21)
(22)
(23)

48 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1

49 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1

50 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1

51 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1

52 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1

53 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1

54 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1

55 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1

56 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1

57 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1

58 1 1 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1

59 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1

60 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1

61 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1

Lampiran 16

(24)
(25)

43 4 4 2 2 4 2 1 4 1 4 4

44 4 4 2 2 4 2 1 4 1 4 4

45 3 3 2 2 3 2 1 3 1 3 3

46 3 3 2 2 3 2 1 3 1 3 3

47 4 4 2 2 4 2 1 4 1 4 4

48 4 4 2 2 4 2 1 4 1 4 4

49 4 4 2 2 4 2 1 4 1 4 4

50 4 4 1 1 4 1 1 4 1 4 4

51 4 4 2 2 3 2 1 4 1 4 4

52 4 4 1 1 4 1 1 4 1 3 3

53 4 4 2 2 4 1 1 4 1 4 4

54 4 4 2 2 4 1 1 4 1 3 3

55 3 3 1 1 4 1 1 4 1 4 4

56 4 4 2 2 4 2 1 4 1 4 4

57 4 4 1 1 4 1 1 4 1 3 3

58 3 3 1 1 4 2 1 4 1 4 4

59 4 4 2 2 3 1 1 3 1 3 3

60 4 3 1 1 4 1 1 3 1 3 3

61 4 4 2 2 4 2 1 4 1 2 2

(26)

HASIL PERHITUNGAN DATA DEMOGRAFI

Frequencies

[DataSet0]

Statistics

usia pendidikan tusdalamkeluarg a

agama pekerjaan penghasilan

lid 61 61 61 61 61 61

ssing 0 0 0 0 0 0

FREQUENCIES VARIABLES=USIA /ORDER=ANALYSIS.

Frequencies

[DataSet0]

Statistics USIA

lid 61

ssing 0

USIA

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

lid

-35 23 37.7 37.7 37.7

-51 33 54.1 54.1 91.8

-60 5 8.2 8.2 100.0

(27)

pendidikan

requency Percent Valid Percent Cumulative Percent

requency Percent Valid Percent Cumulative Percent

requency Percent Valid Percent Cumulative Percent

(28)

IRASWAS 13 21.3 21.3 100.0

tal 61 100.0 100.0

penghasilan

requency Percent Valid Percent Cumulative Percent

lid

000.000 7 11.5 11.5 11.5

00.000-2.500.000 30 49.2 49.2 60.7

500.000 24 39.3 39.3 100.0

tal 61 100.0 100.0

HASIL PERHITUNGAN KUESIONER KONSEP DIRI

RECODE konsep diri (0 thru 13=1) (14 thru 26=2) INTO konsep diri.

VARIABLE LABELS konsepdiri 'konsep diri'.

EXECUTE.

FREQUENCIES VARIABLES=konsep diri

/ORDER=ANALYSIS.

Frequencies

Statistics

Konsep diri

(29)

issing

0

Konsep diri

requency Percent Valid Percent Cumulative

Percent

alid

sitif

61

100.0

100.0

100.0

HASIL PERHITUNGAN KUESIONER KECEMASAN

RECODE kecemasan (20 thru 39=1) (40 thru 59=2) (60 thru 80=3) INTO kecemasan. VARIABLE LABELS kecemasan 'kecemasan'.

EXECUTE.

FREQUENCIES VARIABLES=kecemasan /ORDER=ANALYSIS.

Frequencies

[DataSet0]

Statistics kecemasan

lid 61

ssing 0

kecemasan

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

lid

gan 22 36.1 36.1 36.1

dang 39 63.9 63.9 100.0

(30)

Lampiran 18

TAKSASI DANA

1. Persiapan Proposal dan Perbaikan Proposal

- Kertas dan tinta print Rp 100.000 - Fotocopi sumber-sumber tinjauan pustaka Rp 50.000 - Perbanyak proposal dan Penjilidan Rp 50.000 - Konsumsi saat sidang proposal Rp100.000

2. Pengumpulan Data dan Pengolahan Data

- Penggandaan Kuesioner Rp 50.000

-Transportasi Rp 50.000

- souvenir Rp 210.000

3. Persiapan Skripsi

- Kertas dan tinta print Rp 150.000

- Penggandaan skripsi dan penjilidan Rp 100.000

- CD Rp 10.000

- Konsumsi saat sidang skripsi Rp 300.000

(31)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. (2010). Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.

Arikunto, Suharsimi. (2013). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.

Jakarta: Rineka Cipta.

Asmadi. (2008). Teknik Prosedural Keperawatan Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien. Jakarta : Salemba Medika.

Benny. dkk., (2014). Penerimaan Ibu yang Memiliki Anak Retardasi Mental di SLB YPAC Padang. Jurnal Kesehatan Andalas; 3(2). Diunduh 26 Oktober

2015 dari

Choiriyyah. dkk., (2011). Persepsi Orang Tua Terhadap Pemberian Stimulasi Tumbuh Kembang Anak Retardasi Mental. Evidence based practice in nursing science: Unique, diversity, and innovution. Diunduh 20 Oktober 2015 dari Portal Garuda.com.

Depkes. (2009). Anak dengan tunagrahita perlu pendekatan khusus. Diunduh Desember 2015, depkes.go.id.

Departemen Kesehatan. (2013). Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Kemenkes RI. Departemen Kesehatan RI. (2004). Pedoman Penggolongan dan Diagnosis

Gangguan Jiwa di Indonesia III. Jakarta : Depkes RI

Direktorat Jendral Bina Kesehatan Anak. Pedoman pelayanan kesehatan anak di sekolah luar biasa bagi petugas kesehatan. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI, 2010.

Elfindri. Dkk., (2012). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Baduose Media Jakarta.

Hastuti Rahmah dan Zamralita. Penyesuaian Diri Orang Tua yang Memiliki Anak Retardasi Mental Ringan. Jurnal Ilmiah Psikologi “ARKHE” 2004; 9(2): 90-100.

Hartati. (2008). Konsep Diri dan Kecemasan Wanita Penderita Kanker Payudara Di Poli Bedah Onkologi RSUP Haji Adam Malik Medan: Skripsi

Karasavvidis., et al. (2011). Mental Retardation and Parenting Stress. International Journal Of Caring Sciences(Januari-April Vol 4 Issue 1).

(32)

Listiyaningsih. Dkk., (2009). Kepercayaan Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Tunagrahita. Jurnal Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Yogyakarta

Maulik, P. K. 2013. Epidemiology of Intelectual disability. Diunduh Oktober

2015 dar

Ndraha, F. N. 2014. Gambaran Tingkat Kecemasan Orang Tua dalam Menghadapi Perilaku Sosial Anak Retardasi Mental (YPAC) Medan.Diunduh Desember 2015 dari Repository USU.com.

Norhidayah., Wasilah., & Husein. 2013. Gambaran Kejadian Kecemasan Ibu Penderita Retardasi Mental Sindromik Di SLB-C Banjarmasin. Jurnal kedokteran (Vol. 9 No. 1).

Novitasari. dkk., (2012). Efektivitas Pelaksanaan Program Pembinaan Dan Pendidikan Anak Tunagrahita Di SLB-C YPAC Di Kota Medan. Diunduh 26 Oktober 2015 dari Portal Garuda. Com.

Nursalam. (2009). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Petik., Czeizel., Bánhidy., &Czeizel. (2012). A study of the risk of mental retardation among children of pregnant women who have attempted suicide by means of a drug overdose.J Inj Violence Res. 2012 Jan; 4(1): 10-19.

Pieter, Herri Zan., Janiwarti, Bethsaida., & Saragih, Marti. (2011). Pengantar Psikopatologi untuk Keperawatan. Jakarta: Kencana.

Pieter, Zan Herri. & Lubis, Namora Lumanggo. (2010). Pengantar Psikologi Dalam Keperawatan. Jakarta : Kencana.

Potter, P.A., & Perry, A.G. (2005). Fundamental of Nursing: Concepts, process, and pratice. Jakarta: EGC.

Potter, P.A., & Perry, A.G. (2009). Fundamental Keperawatan Buku 1 Ed 7. Alih bahasa oleh Renata Komalasari. Jakarta: Salemba Medika.

Polit, D.F., & Beck, C.T. (2012). Nursing Research: Principles and Methods (7th ed). Philadelphia: Lippincott.

Purba, Jenny Marlindawani., Wahyuni, Sri Eka., Daulay, Wardiyah., & Nasution, Mahnum Lailan. (2012). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Masalah Psikososial dan Gangguan Jiwa. Medan : USU Press.

Salbiah. (2003). Konsep Diri. Dapat diakses di 27 Oktober 2015.

(33)

Siregar, Syofian. (2013). Statistik Parametrik Untuk Penelitian Kuantitatif.

Jakarta: Bumi Aksara.

Satun, S. & Agus Citra. (2008). Panduan Praktis Asuhan Keperawatan Keluarga.

Jakarta: Salemba Medika.

Setyowati,Sri. &Muwarni, Arita. (2008). Asuhan Keperawatan Keluarga.

Jogyakarta : Mitra Cendikia.

Stuart, G. W. & Sundden Sandra J. (1987). Prinsiple and pratice of psychiatric nursing, 3 edition.

Spiers, Al. & Zain, Sidhartani. (1992). Ilmu Kesehatan Anak Untuk Perawat. Semarang: IKIP Semarang Press.

Suliswati. dkk., (2005). Konsep Dasar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.

Tarwoto & Wartonah. (2010). Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.

Tomb, David A. (2004). Buku Saku Pediatrik. Jakarta: EGC.

Triana & Andriany. (2010). Family Stress And Coping With Mentally Retarded Child In SLB C And SLB C1 Widya Bhakti Semarang. Program Studi Ilmu Keperawatan UNDIP.

Tsuraya. (2013). Kecemasan Orang Tua Yang Memiliki Anak Terlambat Bicara (Speech Delay). Skripsi

Tuegeh. dkk., (2012). PeranKeluarga Dalam Memandirikan Anak Retardasi Mental Di Yayasan Pembinaan Anak Cacat Manado. Jurnal JUIPERDO (vol 1. No 1).

(34)

BAB 3

KERANGKA PENELITIAN

3.1 Kerangka Konseptual

Pada skema kerangka konseptual dapat dilihat bahwa sampel dalam penelitian ini adalah keluarga yang memiliki anak retardasi mental dimana peneliti akan mengidentifikasi konsep diri dan kecemasan keluarga yang memiliki anak retardasi mental di YPAC kota Medan.

Skema 1 : Kerangka konseptual penelitian Konsep diri

keluarga yang memiliki anak retardasi mental :

• Gambaran diri • Ideal diri • Harga diri • Peran • Identitas diri

- Positif

- Negatif

Kecemasan keluarga yang memiliki anak retardasi

mental

- Ringan

- Sedang

(35)

3.2 Definisi Operasional Variabel penelitian Tabel 3.1 Definisi operasional variabel penelitian

No Variabel Definisi

(36)

BAB 4

METODE PENELITIAN 4.1 Desain Penelitian

Sesuai tujuan penelitian maka jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif yang bertujuan untuk memperoleh gambaran konsep diri dan kecemasan keluarga yang memiliki anak retardasi mental di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) kota Medan.

4.2 Populasi dan Sampel Penelitian a. Populasi Penelitian

Populasi merupakan keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti (Elfindri. dkk, 2012). Populasi dari penelitian ini adalah dari jumlah keseluruhan keluarga yang memiliki anak retardasi mental yang bersekolah diYayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) kota Medan pada tahun 2015. Dari hasil survey awal yang telah dilakukan pada (4 November 2015), didapat laporan tentang jumlah populasi anak retardasi mental kategori ringan maupun sedang yang bersekolah di YPAC kota Medan pada tahun 2015 SD berjumlah 67 orang, tetapi yang masih aktif ada 61 siswa SD (data dari SLB C YPAC kota Medan, 2015).

b. Sampel Penelitian

(37)

lingkungan yang baru bagi anak mereka dan juga memungkinkan untuk terlihatnya respon ataupun perilaku keluarga terhadap anak tersebut. Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan metode total sampling.

4.3 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di Yayasan Pembina Anak Cacat (YPAC) kota Medan. Adapun yayasan ini dipilih peneliti karena yayasan ini termasuk SLB yang memiliki pelayanan rehabilitas yang cukup memadai sehingga banyak anak berkebutuhan khusus termasuk retardasi mental yang dididik di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) kota Medan serta lokasi YPAC tersebut dekat dengan tempat tinggal peneliti, sehingga diperkirakan lokasi ini memiliki jumlah sampel yang cukup untuk bisa dilakukan penelitian. Serta disamping itu juga pertimbangan efisiensi biaya penelitian dan waktu dimana lokasi penelitian ini dilakukan dekat dengan tempat tinggal peneliti sehingga memungkinkan untuk melakukan penelitian. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2015 sampai Mei 2016 dan pengumpulan data dilakukan pada bulan April 2016.

4.4 Pertimbangan Etik

(38)

nama dan hanya peneliti yang mempunyai akses terhadap informasi tersebut (Nursalam, 2009).

4.5 Instrumen Penelitian

Instrumen yang akan digunakan dalam penelitian ini dibuat dalam bentuk kuesioner yang bertujuan untuk memperoleh informasi dari responden. Kuesioner terdiri dari 3 bagian yaitu data demografi yang berisi identitas keluarga yang memiliki anak retardasi mental, konsep diri yang dimodifikasi oleh peneliti dari penelitian Hartati (2008), serta kuesioner kecemasan diadopsi dari Spielberger (1983).

a. Kuesioner Data Demografi

Kuesioner data demografi responden meliputi usia, pendidikan, status di keluarga, agama, pekerjaan dan penghasilan keluarga. Data demografi responden tidak akan dianalisis hanya untuk mengetahui karakteristik responden.

b. Kuesioner Konsep Diri

(39)

jawabannya (ya) diberi nilai 1dan jika (tidak) diberi nilai 0, sebaliknya jika jawabannya (ya) diberi nilai 0 dan jika jawabannya (tidak) diberi nilai 1. Nilai tertinggi yang diperoleh adalah 25 dan terendah adalah 0.

c. Kuesioner Kecemasan

Kuesioner kecemasan merupakan kuesioner yang berisikan bagaimana gambaran kecemasan keluarga yang memiliki anak retardasi mental. Kuesioner ini terdiri dari 20 pernyataan yang diadopsi dari Spielberger (1983) , yang meliputi sembilan pernyataan positif adalah nomor 1, 2, 5, 8, 10, 11, 15, 16, 19 dan 20 dengan jawaban : “Sama sekali tidak” diberi nilai 1, “kadang-kadang” diberi nilai 2, “Cukup sering” diberi nilai 3, dan “Sangat sering” diberi nilai 4 ; serta sebelas penyataan negatif dengan nomor 3, 4, 6, 7, 9, 12, 13, 14, 17 dan 18. Kategori kecemasan (ansietas): cemas ringan= 20-39, cemas sedang= 40- 59, dan cemas berat= 60-80.

4.6 Metode Pengumpulan Data

Data penelitian diambil di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) kota Medan pada bulan Maret. Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan cara yang pertama peneliti mengajukan permohonan izin pelaksanaan penelitian pada institusi pendidikan (Program Studi S1 ilmu keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara). Setelah itu mengurus dan mendapatkan ethical Clearence dari Fakultas Keperawatan USU, agar peneliti dapat mengirimkan permohonan izin pengambilan data yang diperoleh dari fakultas ke tempat penelitian (YPAC kota Medan).Setelah mendapat persetujuan dari YPAC kota Medan, peneliti melaksanakan pengumpulan data penelitian. Peneliti dapat langsung menjelaskan pada calon responden tentang tujuan, manfaat dan proses pengisian kuesioner.Calon responden yang bersedia diminta untuk menandatangani Informed Consent

(40)

kesempatan untuk bertanya pada peneliti bila ada pertanyaan yang tidak difahami.Selanjutnya data yang diperoleh dikumpulkan untuk dianalisa.

4.7 Validitas Instrumen

Validitas merupakan suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrumen. Suatu instrumen yang valid atau sahih mempunyai validitas tinggi sebaliknya, instrumen yang kurang valid berarti memiliki validitas yang rendah. Sebuah instrumen dikatakan valid juga apabila mampu mengukur apa yang diinginkan dan dapat mengungkapkan data dari variabel yang diteliti secara tepat (Nursalam, 2009). Validitas atau kesahihan menunjukkan sejauh mana suatu alat ukur mampu mengukur apa yang ingin diukur (a valid measure if it succesfully measure the phenomenon) (Siregar, 2013).

Instrumen kecemasan tidak dilakukan uji validitas oleh peneliti dikarenakan mengadopsi dari Spielberger (1983). Sementara untuk instrumen konsep diri dalam penelitian ini berbentuk kuesioner yang dimodifikasi oleh peneliti dari penelitian Hartati (2008), oleh karena itu perlu dilakukan uji validitas. Uji validitas akan dilakukan dengan uji content validity (validitas isi) oleh seorang dosen ahli keperawatan jiwa, dalam hal ini uji validitas dilakukan oleh ibu Jenny Marlindawani Purba, S.Kp, MNS, PhD selaku orang yang ahli mengenai keperawatan jiwa Program Studi Ilmu Keperawatan USU.

4.8 Uji Reliabilitas

(41)

dipercaya juga (Arikunto, 2013). Uji Reliabilitas dilakukan dengan menggunakan KR-20 untuk kuesioner konsep diri danCronbach Alphauntuk kuesioner kecemasan dalam program komputerisasi. Uji reliabilitas akan dilakukan pada 30 orang responden di SDLB Al Azhar Medan sesuai kriteria. Suatu instrumen dikatakan reliabel bila koefisiennya 0,70 atau lebih (Polit & Beck, 2012) dan digunakan pada kuesioner kecemasan. Untuk KR-20 r > 0,7 dikatakan reliable (Siregar, 2013) digunakan pada kuesioner konsep diri.

4.9 Rencana Analisa Data

Setelah semua data terkumpul, maka peneliti melakukan analisa data melalui beberapa tahap, dimulai dengan (editing) untuk memeriksa kelengkapan data, kemudian memberi kode (Coding)

untuk memudahkan melakukan tabulasi, selanjutnya memasukkan (entry) secara komputerisasi dan dilakukan pengolahan data.

(42)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini diuraikan hasil penelitian dan pembahasan tentang konsep diri dan kecemasan keluarga yang memiliki anak retardasi mental di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) kota Medan. Penelitian ini telah dilaksanakan mulai tanggal 2 Mei sampai dengan 24 Mei 2016 dengan jumlah responden sebanyak 61 keluarga atau orang tua yang memiliki anak retardasi mental.

5.1 Hasil Penelitian

Hasil penelitian disajikan meliputi karakteristik responden, konsep diri keluarga yang memiliki anak retardasi mental, dan kecemasan keluarga yang memiliki anak retardasi mental. 5.1.1 Karakteristik Responden

(43)

Table 5.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Keluarga yang Memiliki Anak Retardasi Mental di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) kota Medan tahun 2016 (N= 61).

Karakteristik f %

5.1.2 Konsep Diri Keluarga yang Memiliki Anak Retardasi Mental

(44)

responden tersebut memiliki konsep diri positif, yaitu 61 orang responden (100,0%). Konsep diri negatif tidak dimiliki oleh orang tua atau keluarga yang ada di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) kota Medan. Hasil penelitian tersebut dapat dilihat pada table 5.2.

Table 5.2 Distribusi frekuensi konsep diri keluarga yang memiliki anak retardasi mental di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) kota Medan tahun 2016 (N= 61).

NO Konsep Diri Keluarga keluarga yang memiliki

anak retardasi mental

f %

1. Positif 61 100,0

2. Negatif 0 0,0

Konsep diri keluarga yang memiliki anak retardasi mental yang terdiri dari beberapa komponen yakni gambaran diri, ideal diri, harga diri, peran dan identitas diri dapat dijabarkan sebagai berikut :

a. Gambaran diri

(45)

b. Ideal diri

Hasil penelitian diketahui bahwa dari keseluruhan responden (100%), 61 responden (100%) memiliki ideal diri yang realitas. Analisa data yang menunjukkan ideal diri orang tua atau keluarga yang memiliki anak retardasi mental yang realitas didukung oleh ungkapan responden yang menyatakan bahwa (100%) ingin menjadi orang tua yang selalu memberikan kasih sayang dengan tulus kepada anaknya (n= 61), (100%) selalu berusaha memaksimalkan diri dalam menjalankan fungsi sebagai orang tua (n= 61), (100%) berahap hubungan dengan anaknya tetap harmonis dan bahagia (n= 61), (100%) ingin selalu terlihat tegar di depan anaknya (n= 61), dan (98,3%) masih menginginkan anak yang normal seperti dimiliki orang lain (n= 60).

c. Harga diri

Hasil penelitian diketahui bahwa dari keseluruhan responden (100%), 61 responden (100%) memiliki harga diri yang tinggi, hal ini didukung oleh data yang menunjukkan bahwa (98,3%) mengungkapkan selama memiliki anak retardasi mental, orang-orang disekeliling tidak pernah menghina mereka (n= 60), (100%) bahwa masyarakat di lingkungan sosial tetap menerima mereka (n= 61), (90,1%) menyatakan bahwa mereka bangga memiliki anak retardasi mental (n= 55), (98,3%) mengatakan anak retardasi mental tidak menjadi penghalang dalam beraktivitas sehari-hari (n= 60), (95,0%) tidak malu memiliki anak retardasi mental (n= 58). Data tersebut dapat dilihat pada table 5.3.

d. Peran

(46)

masih dapat melakukan kegiatan sosial dimasyarakat (n=61), (93,4%) tidak pesimis menjadi orang tua yang baik buat anaknya (n=57). Data tersebut dapat dilihat pada table 5.3.

e. Identitas diri

Hasil penelitian diketahui bahwa dari keseluruhan responden (100%), 61 responden (100%) memiliki kejelasan identitas hal ini dapat dilihat pada table 5.3. Analisa data yang menunjukkan kejelasan identitas didukung oleh (100%) mengatakan bahwa memiliki anak retardasi mental tetap menjadikan mereka orang tua seutuhnya (n=61), (100%) mengungkapkan bahwa mereka berusaha untuk membahagiakan anaknya dengan maksimal (n=61), (95,0%) bahwa mereka merasa tidak gagal karena tidak bisa memiliki anak yang normal (n=58), (98,3%) mengatakan bahwa memiliki anak retardasi mental tidak menghalangi mereka untuk bergaul dengan orang-orang yang ada disekelilingnya (n=60), (100%) mengatakan optimis akan selalu menjadi orang tua yang berguna bagi anak-anak mereka (n=61).

Distribusi frekuensi dan persentase gambaran konsep diri keluarga yang memiliki anak retardasi mental di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) kota Medan dapat dilihat pada table 5.3.

Table 5.3 Distribusi frekuensi dan persentase gambaran konsep diri keluarga yang memiliki anak retardasi mental di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) kota Medan tahun 2016 (N=61)

(47)

Kepuasan peran

5.1.3 Kecemasan Keluarga yang Memiliki Anak Retardasi Mental

Hasil penelitian yang diperoleh bahwa responden kecemasan dari 61 orang responden keluarga yang memiliki anak retardasi mental dengan 3 kategori kecemasan yaitu ringan, sedang, berat diperoleh data bahwa sebagian besar mereka mengalami kecemasan sedang yakni sebanyak 39 responden (63,9%), dan sebagian lagi mereka menunjukkan kecemasan yang ringan yaitu sebanyak 22 responden (36,1%) serta kecemasan berat tidak dirasakan oleh keluarga (0%). Data tersebut dapat dilihat pada table 5.4 dibawah ini.

Table 5.4 Distribusi frekuensi kecemasan keluarga yang memiliki anak retardasi mental di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) kota Medan tahun 2016 (N=61).

No Kecemasan Keluarga yang Memiliki Anak Retardasi Mental

f %

1. Ringan 22 36,1

2. Sedang 39 63,9

3. Berat 0 0

(48)

merawat dan memiliki anak retardasi mental, 27 responden (44,2%) menyatakan bahwa mereka cukup percaya diri dalam merawat anak retardasi mental, 35 responden (57,3%) menyatakan cukup tenang sekali dalam menghadapi dan merawat anak retardasi mental, 29 responden (47,5%) mengungkapkan bahwa mereka kadang-kadang merasa puas dalam merawat anak mereka yang tidak normal, 25 responden (40,9%) menyatakan bahwa mereka kadang-kadang merasa kuat dalam menghadapi dan merawat anak retardasi mental, 28 responden (45,9%) mengungkapkan bahwa mereka cukup merasakan sesuatu yang menyenangkan dalam merawat dan menghadapi anak retardasi mental, 31 responden (50,8%) menyatakan sama sekali tidak tegang dalam merawat dan menghadapi anak retardasi mental, 44 responden (72,1%) menyatakan tidak sama sekali merasa tersiksa dan kacau dalam menghadapi anak retardasi mental, 34 responden (55,7%) menyatakan bahwa mereka tidak sama sekali merasa khawatir yang berlebihan akhir-akhir ini terhadap anak mereka, 56 responden (91,8%) mengungkapkan bahwa mereka sama sekali tidak merasa ketakutan dalam memiliki dan menghadapi anak retardasi mental, 37 responden (60,6%) menyatakan bahwa mereka sama sekali tidak merasa gugup dan gelisah dalam merawat anak retardasi mental, 49 responden (80,3%) menyatakan bahwa mereka sama sekali tidak merasa bimbang atau ragu-ragu dalam hal merawat dan membimbing anak retardasi mental, 58 responden (95,0%) menyatakan bahwa mereka sama sekali tidak merasa menyusahkan untuk merawat anak mereka yang tidak normal, dan 56 responden (91,8%) mengungkapkan bahwa mereka sama sekali tidak merasa kebingungan dalam merawat anak mereka.

\

Pembahasan

(49)

Hasil penelitian didapatkan bahwa mayoritas orang tua atau keluarga yang memiliki anak retardasi mental adalah berusia 36-51 tahun sebanyak 33 responden (54,1%), hal ini sejalan dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Teugeh (2012) bahwa semakin tua umur seseorang, maka pengalaman dalam mengajari dan mendidik anak mereka semakin banyak, pengalaman diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain, sehingga orang tua mampu mendidik anak mereka yang mengalami retardasi mental dengan baik.

Tingkat pendidikan responden mayoritas orang tua atau keluarga yang memiliki anak retardasi mental adalah SMA yakni 40 orang (65,6%), sedangkan responden yang berpendidikan perguruan tinggi 19 orang (31,1%) bahkan yang berpendidikan hanya di SD 2 orang (3,3%). Menurut Judha dan Cokorda (2013) semakin tinggi jenjang pendidikan seseorang, maka pengetahuan maupun informasi yang diperoleh akan semakin tinggi pula, termasuk keluarga anak retardasi mental dapat mengetahui informasi tentang kelainan yang dialami oleh anaknya dengan baik. Tingkat pendidikan orang tua juga mempengaruhi sikap dan tingkah lakunya dalam menghadapi anak-anaknya artinya orang tua yang berpendidikan akan bersikap lebih baik.

Hasil penelitian yang didapat tentang status dalam keluarga mayoritas terbanyak adalah seorang ibu yakni 51 orang (83,6%), sedangkan seorang bapak hanya 7 orang (11,5%) serta seorang nenek ada 1 orang (1,6%) dan kakak ada 2 orang (3,3%). Hal ini sejalan dengan penelitian Teugeh, Rompas, dan Ransun (2012) bahwa jenis kelamin berpengaruh dalam hal peranan, biasanya Ibu lebih berperan dalam mendidik dan mengasuh anak, selain itu ibu adalah seorang yang paling dekat atau yang paling sering berhubungan dengan anak didalam keluarga.

Konsep diri keluarga yang memiliki anak retardasi mental

(50)

banyak ibu yang memiliki anak retardasi mental tidak memperlihatkan indikasi penolakan terhadap anak, disamping itu ibu menunjukkan perhatian dan cinta yang besar terhadap anaknya karena faktor terbesar yang melatarbelakangi penerimaan ibu adalah agama, dimana orang tua yang lebih intens dalam melakukan praktek agama cenderung bersikap lebih menerima anak-anak mereka yang terhambat secara fisik. Hal ini juga didukung oleh Listiyaningsih dan Dewayani (2009) yaitu faktor lingkungan memberikan pengaruh paling besar terhadap kepercayaan diri orang tua dari anak retardasi mental, faktor lingkungan dapat diartikan sebagai lingkungan sosial, yaitu keberadaan orang-orang di sekitar orang tua anak retardasi mental, misalnya : tetangga, keluarga, dan anggota masyarakat yang lain dapat mendukung orang tua tersebut.

a. Gambaran diri

(51)

b. Ideal diri

Hasil penelitian juga didapatkan bahwa 61 responden (100%) memiliki ideal diri yang realitas. Analisa data yang menunjukkan ideal diri orang tua atau keluarga yang memiliki anak retardasi mental yang realitas didukung oleh ungkapan responden yang menyatakan bahwa 61 responden (100%) ingin menjadi orang tua yang selalu memberikan kasih sayang dengan tulus kepada anaknya, 61 responden (100%) selalu berusaha memaksimalkan diri dalam menjalankan fungsi sebagai orang tua, 61 responden (100%) berahap hubungan dengan anaknya tetap harmonis dan bahagia, 61 responden (100%) ingin selalu terlihat tegar di depan anaknya, dan 60 responden (98,3%) masih menginginkan anak yang normal seperti dimiliki orang lain. Hal ini sejalan dengan penelitian Widiyanto dan Afif (2013) ideal diri yang baik disebabkan oleh lingkungan keluarga atau masyarakat mampu menerima anak retardasi mental dan beradaptasi dengan lingkungannya. Penelitian Listiyaningsih dan Dewayani mengungkapkan bahwa orang tua yang mampu memahami situasi yang dihadapi saat ini dan kondisi anak, serta menyesuaikan ambisi atau terhadap anak memiliki kepercayaan diri dan ambisi yang wajar.

c. Harga diri

(52)

d. Peran

Hasil penelitian didapat sebanyak 61 responden (100%) masih mampu melakukan pekerjaan dengan baik walaupun mereka memiliki anak yang tidak normal, 61 responden (100%) masih mampu merawat anak dengan baik, 61 responden (100%) masih mampu memenuhi kebutuhan anak dengan maksimal, 61 responden (100%) masih dapat melakukan kegiatan sosial dimasyarakat, 57 orang (93,4%) tidak pesimis menjadi orang tua yang baik buat anaknya. Hal ini sesjalan dengan penelitian Widiyanto dan Afif (2013) peran orang tua yang baik karena adanya kebutuhan terhadap aktualisasi diri dalam menjalankan peran baik sebagai orang tua, pekerja, atau sebagai anggota masyarakat.

e. Identitas diri

(53)

Kecemasan keluarga yang memiliki anak retardasi mental

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecemasan yang dialami oleh orang tua atau keluarga yang memiliki anak retardasi mental adalah mayoritas sedang yakni sebanyak 39 responden (63,9%) kemudian diikuti dengan kecemasan ringan sebanyak 22 responden (36,1), dan kecemasan berat tidak ada 0%. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Norhidayah (2013) tentang kecemasan pada ibu penderita retardasi mental sindromik di SLB-C Banjarmasin didapat bahwa dari 68 responden yang memenuhi kriteria sebagai orang tua dari anak retardasi mental mayoritas mengalami kecemasan sebanyak 59,26% dan yang tidak mengalami kecemasan sebanyak 40,74% dan kecemasan semakin meningkat akibat dari perilaku dan emosi anak retardasi mental yang tidak terkontrol.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa 29 responden (47,5%) mengungkapkan bahwa mereka kadang-kadang merasa puas dalam merawat anak mereka yang tidak normal. Menurut Triana dan Andriany (2010) bahwa orang tua yang kadang-kadang merasa puas karena sudah memberikan bimbingan dan merawat anak sebaik mungkin, dan ada anak retardasi mental yang mudah menerapkan apa yang diajarkan orang tuanya dan ada pula yang tidak.

Hasil penelitian juga didapat bahwa 61 responden 100% mengungkapkan bahwa mereka cukup sering merasa tenang, aman,senang, dan percaya diri akan merawat dan menghadapi anak retardasi mental. Sejalan dengan penelitian Triana dan Andriany (2010) yang menyatakan bahwa ada orang tua yang menggunakan dua jenis koping yaitu emotion focused coping , yaitu mencari dukungan sosial dari keluarga dan menggunakan pengobatan alternatif untuk anaknya, dukungan keluarga dapat meningkatkan semangat dan perasaan yang positif terhadap anak retardasi mental.

(54)

kemandirian sehingga mengalami ketergantungan dan memerlukan bantuan orang lain, masalah biaya, dan kurangnya informasi. Hasil penelitian juga menunjukka bahwa 40 responden (65,6%) adalah pendidikan SMA, orang tua cukup mendapatkan informasi dari pendidikan yang pernah didapatkan maupun informasi yang didapat dari lingkungan sehingga pengetahuan orang tua cukup baik untuk menghadapi dan merawat anak retardasi mental.

Menurut Norhidayah, Wasilah dan Husein (2013) usia merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kecemasan pada keluarga yang memiliki anak retardasi mental. Adanya tingkat usia yang berbeda dan tahapan hidup maka dapat mempengaruhi persepsi pemahaman dan penerimaan anak retardasi mental. Usia yang semakin bertambah dapat menerima adanya anak retardasi mental karena semakin bertambah usia seseorang tingkat spiritualnya semakin tinggi dan lebih banyak memiliki pengalaman dalam menghadapi anak retardasi mental. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 33 responden (54,1%) berada pada rentang usia 36-51 tahun, 23 responden (37,7) berada pada rentang usia 20-35 dan 5 responden (8,2%) berada pada rentang 52-60 tahun. Hal ini sejalan dengan penelitiam Teugeh (2012) bahwa semakin tua umur seseorang, maka pengalaman dalam mengajari dan mendidik anak mereka semakin banyak, pengalaman diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain, sehingga orang tua mampu mendidik anak mereka yang mengalami retardasi mental dengan baik.

(55)

BAB 6

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Berdasarkan hasil analisa dan pembahasan dapat diambil kesimpulan dan saran mengenai konsep diri dan kecemasan keluarga yang memiliki anak retardasi mental di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) kota Medan.

6.1 Kesimpulan

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi konsep diri dan kecemasan keluarga yang memiliki anak retardasi mental di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) kota Medan. Penelitian ini menggunakan desain deskriptif dengan jumlah sampel sebanyak 61 orang.

Hasil penelitian mayoritas responden (100%) memiliki konsep diri yang positif, dan tidak ada yang memiliki konsep diri yang negatif. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa keluarga yang memiliki anak retardasi mental memiliki gambaran diri yang postif (100%), mengalami ideal diri yang realitas (100%), mengalami harga diri yang tinggi (100%), mengalami kepuasaan peran (100%) dan memiliki kejelasan identitas (100%).

Berdasarkan hasil penelitian juga menunjukkan bahwa mayoritas responden dalam penelitian ini mengalami kecemasan sedang (63,9%), dan sebagian mengalami kecemasan ringan (36,1%) serta kecemasan berat tidak ada (0%).

6.2 Rekomendasi

6.2.1 Praktek Keperawatan

(56)

dimasyarakat dalam memberikan informasi kesehatan berupa penyuluhan, khususnya mengenai kesehatan anak retardasi mental dan memberikan motivasi kepada keluarga sehingga mereka dapat mengambil keputusan dan mau memberikan pendidikan dan terapi untuk anak retardasi mental. 6.2.2 Institusi Pendidikan Keperawatan

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi mahasiswa keperawatan tentang pentingnya meningkatkan dan mempertahankan konsep diri yang positif dan menurunkan kecemasan pada keluarga yang memiliki anak retardasi mental, serta dalam melakukan asuhan keperawatan dapat lebih optimal, komprehensif dan lebih peka terhadap psikologis orang tua atau keluarga, sehingga keluarga yang memiliki anak retardasi mental dapat menerima kondisi anaknya. 6.2.3 Penelitian Keperawatan Selanjutnya

(57)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Retardasi Mental

2.1.1 Pengertian Retardasi Mental

Keterbelakangan mental (mental retardation, MR) adalah suatu keadaan yang ditandai dengan fungsi kecerdasan yang berada di bawah rata-rata yang disertai dengan kurangnya kemampuan menyesuaikan diri (perilaku maladaptif), yang mulai tampak pada awal kelahiran. Pada mereka yang mengalami mental retardation memiliki keterbelakangan dalam kecerdasan, mengalami kesulitan belajar dan adaptasi sosial. Diperkirakan ada sekitar tiga persen dari total penduduk dunia mengalami keterbelakangan mental (Pieter, dkk, 2011).

Mark Durand (2007 dalam Pieter, Janiwarti dan Saragih, 2011) mengatakan bahwa

mental retardation adalah bentuk keterbelakangan fungsi intelektual yang secara signifikan berada di bawah rata-rata yang disertai oleh defisit fungsi adaptasi, seperti kegagalan dalam mengurus diri sendiri dan timbulnya perilaku menentang (okupasional).

Menurut DSM-IV-TR (2004) mental retardation merupakan gangguan fungsi intelektual yang secara signifikan berada di bawah rata-rata dengan skor IQ-70 ataupun kurang. Mental retardation ditandai dengan defisit atau hendaya dalam fungsi adaptif, seperti bidang komunikasi, mengurus dirinya sendiri, home living, keterampilan sosial, interpersonal, dan keterampilan akademik.

2.1.2 Ciri-ciri Klinis Retardasi Mental

Menurut DSM-IV-TR (2004) ciri-ciri klinis mental retardation:

(58)

2. Orang yang memiliki defisit atau hendaya dalam fungsi adaptif yang timbul secara bervariasi. Tanda-tanda umum dari mental retardation adalah kesulitan dalam berkomunikasi, kesulitan dalam mengurus diri sendiri atau rumah, kesulitan dalam membina relasi sosial atau personal, rendahnya kemampuan akademis, kesehatan dan keselamatan.

3. Umur onset, yakni timbulnya mental retardation pada usia 18 tahun. Batasan ini ditetapkan sebagai identifikasi gangguan pada fase-fase perkembangan berikutnya. Selanjutnya menurut DSM-IV-TR, ciri-ciri klinis mental retardation diselaraskan dengan tingkatan kemampuannya, yakni:

a. Retardasi Mental Katagori Ringan

Retardasi mental kategori ringan disebut juga dengan mental retardation kategori mild

(ringan) dengan tingkat IQ=50-70, memiliki fungsi intelegensi yang secara signifikan berada pada subaverage ke bawah. Penderitanya membutuhkan bantuan yang cukup terbatas dan tak membutuhkan bantuan total. Dia masih bisa mandiri dengan tingkat pengawasan yang minimal dan masih memiliki prestasi yang memadai. Akan tetapi mereka masih sangat tergantung pada pendidikan, pelatihan, dan dukungan masyarakat.

Anak dengan retardasi mental ringan masih dapat membaca hingga kelas empat sampai enam sekolah dasar. Meskipun dia memiliki kesulitan membaca, tetapi dia masih mampu mempelajari pendidikan dasar yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka membutuhkan pengawasan, bimbingan, dan pelatihan khusus. Penderita retardasi mental tidak memiliki kelainan fisik yang signifikan, tetapi mereka kerap kali menderita epilepsi.

b. Retardasi Mental Kategori Sedang

Retardasi mental kategori sedang disebut juga dengan mental retardation kategori

(59)

bantuan yang cukup terbatas, tidak membutuhkan bantuan total, masih mampu mandiri dengan tingkat pengawasan yang cukup minimal, masih memiliki prestasi yang memadai dan tergantung pola pendidikan, bimbingan, pelatihan, dan dukungan masyarakat.

Anak yang memiliki retardation mental IQ=36-51 jelas sekali memiliki keterbatasan dan keterlambatan dalam belajar bicara dan keterlambatan dalam perkembangan lainnya, seperti duduk. Dengan melalui pelatihan dan dukungan masyarakat (lingkungan), penderita retardasi mental masih dapat hidup mandiri untuk taraf keterampilan dan kebutuhan tertentu.

c. Retardasi Mental Kategori Berat

Retardasi mental kategori berat disebut juga dengan mental retardation kategori

severe (berat) dengan tingkat skor IQ=20-25 dan IQ=30-45, memiliki keterampilan komunikasi formal yang sangat terbatas, sehingga tidak pernah bicara lisan dan jika adapun bicaranya hanya sebatas satu atau dua kata. Penderitanya membutuhkan bantuan khusus dan total, seperti mandi, berpakaian, dan makan. Penderitanya total membutuhkan bantuan

living home, tidak memiliki keselamatan, kesehatan apalagi keterampilan akademik. d. Retardasi Mental Kategori Sangat Berat

Retardasi mental kategori sangat berat disebut juga mental retardation kategori

(60)

Anak-anak mental retardation dalam kategori sangat berat (IQ ≤ 19) biasanya tidak dapat berjalan, berbicara, ataupun memahami orang lain. Angka harapan hidup anak-anak yang memiliki keterbelakangan mental relatif pendek dan tergantung pada faktor penyebabnya. Biasanya semakin berat mental retardation, maka semakin kecil angka harapan hidupnya.

2.1.3 Faktor-faktor Penyebab Retardasi Mental

Adapun 5 faktor penyebab retardasi mental menurut Pieter, Janiwarti, dan Saragih (2011) yaitu :

a. Trauma (Sebelum dan Sesudah Lahir)

Faktor perkembangan dan kelahiran yang dimaksudkan ialah faktor-faktor yang berkaitan dengan perkembangan selama pranatal, perinatal, dan postnatal. Faktor pranatal, yakni akibat penyakit, keracunan dari bahan-bahan kimia, obat-obatan yang tidak terkendali dalam penggunaanya, penggunaan alkohol (fetal alcohol sindrom), drugs, rokok, dan malanutrisi selama kandungan. Faktor perinata, yakni pengaruh dari kesulitan melahirkan atau kelahiran yang kurang oksigen (hipoksia). Faktor postnatal, yakni akibat infeksi atau virus, luka atau pencederaan pada otak atau cacat pada kepala.

b. Infeksi (Bawaan dan Sesudah Lahir) dan Kelainan Kromosom

Infeksi bawaan sesudah lahir yang menyebabkan mental retardation yaitu: rubela kongenitalis, meningitis, sitomegalo, ensefalitis, toksoplasmosis kongenitalis, listeriosis, dan HIV.Sementara kelainan kromosom yang menyebabkan mental retardation adalah kesalahan pada jumlah kromosom (sindrom Down), defek pada kromosom (sindrom X yang rapuh, sindrom Aangelman, sindrom Prader-Willi), translokasi, dan sindrom cri du chat.

(61)

Kelainan genetik yang menyebabkan retardasi mental adalah galaktosemia, penyakit Tay-Sachs, leukodistrofi metakromatik adrenoleukodistrof, sindrom Lesch-Nyhan, sindrom rett, dan sklerosis tuberosa. Sementara faktor-faktor metabolik yang dapat menyebabkan retardasi mentaladalah sindrom Reye, dehidrasi hipernatremik, hipotiroid kongenital, hipoglikemia, dan diabetes melitus.

d. Akibat Keracunan

Pemakaian alkohol, kokain, amfetamina, dan obat lainnya pada ibu hamil. Serta keracunan metil merkuri (timah hitam) juga dianggap memberikan konstribusi besar sebagai penyebab retardasi mental.

e. Gizi dan Lingkungan

(62)

2.1.4 Klasifikasi Tingkatan Retardasi Mental

Tabel 2.1 Klasifikasi menurut Pieter, Janiwarti, dan Saragih (2011) sebagai berikut:

TINGKAT KISARAN Ringan 52-68 Dapat membangun

kemampuan sosial

(63)

2.1.5 Bentuk-Bentuk Retardasi Mental

a. Alcohol syndrom,Yaitu mental retardation yang diakibatkan bahan kimia dan obat-obatan, seperti penylalanin. (Hellekson, dalam Pieter, Janiwarti, dan Saragih, 2011).

a. Lesch-Nyhan syndromadalah mental retardation yang diakibatkan gangguan cerebral palsy

(spastisitas, pengencangan otot). Ciri-ciri Lesch-Nyhan syndrome ditandai dengan perilaku mencederai diri sendiri, seperti menggigit-gigit jari atau bibir. Gangguan ini hanya dideritai oleh anak laki-laki, karena yang bertanggung jawab adalah gen resesif, yakni ketika gen berada di kromosom X pada laki-laki tidak memiliki gen normal untuk menyeimbangi dan karena laki-laki tidak memiliki kromosom X yang kedua.

(64)

c. Fragile X syndromemenurut Dykens (1998 dalam Pieter, Janiwarti, dan Saragih, 2011) adalah bentuk mental retardation ini akibat penyimpangan atau cacat pada kromosom X yang berkaitan dengan masalah-masalah belajar, hiperaktif, menghindar tatapan mata,

perseverative speech dan ciri-ciri fisik yang tidak lazim, seperti telinga, buah zakar, lingkaran kepala yang besar. Estimasi gangguan ini diperkirakan 1 di antara 2.000 laki-laki. d. Cultural familial retardation, yaitu bentuk mental retardation yang ringan dan disebabkan

oleh pengaruh lingkungan dan kombinasi pengaruh biologis dengan psikososial, seperti akibat penganiayaan fisik, penelantaran dan deprivasi sosial. Ciri-ciri orang yang cultur familial retardation adalah memiliki skor IQ= 50-70, memiliki keterampilan adaptif yang cukup baik, namun tidak berpotensi untuk mengembangkan keterampilannya, memiliki keterlambatan dalam perkembangan.

2.1.6 Cara Penanganan Retardasi Mental

Pieter, Janiwarti, dan Saragih (2011) cara penanganan mental retardation secara biologis untuk saat ini bukan pilihan utama. Secara umum, penanganan pada mental retardation harus paralel, yakni dengan mengajarkan berbagai keterampilan yang dibutuhkan agar mereka dapat produktif dan mandiri. Perlu kita ketahui bahwa para penderita mental retardation yang sangat mereka butuhkan ialah agar mereka dapat berpartisipasi dengan cara-cara tertentu dalam masyarakat, bersekolah bahkan memiliki harapan untuk dapat bekerja dan memperoleh kesempatan menjalin hubungan sosial yang lebih berarti. Dengan kemajuan teknologi dan pendidikan memberikan peluang yang lebih baik dan realitis dalam kehidupan bagi para penderita mental retardation.

(65)

a. Penanganan Behavioral

Penanganan gangguan mental retardation pertama kali diintroduksikan pada tahun 1960 yang menekankan pada pengajaran keterampilan melalui inovasi perilaku (behavior),

seperti dengan mengajarkan mereka keterampilan untuk mandi, berpakaian dan buang air. (Wilson, dalam Pieter, Janiwarti, dan Saragih, 2011). Keterampilan perilaku seperti ini dipecahkan menjadi bagian-bagian lebih kecil (task analysis) dan mereka diajarkan dengan memberikan pujian-pujian atau penguatan (reinforce). Keberhasilan mengajarkan keterampilan dapat diukur dari tingkat kemandirian yang dicapai dengan memanfaatkan keterampilan yang telah diajarkan.

b. Latihan Komunikasi

(66)

c. Support Employment

Bellamy (1988 dalam Pieter, Janiwarti, dan Saragih, 2011) mengatakan salah satu metode yang mengajarkan penderita mental retardation agar dapat berpartisipasi dalam dunia pekerjaan secara memuaskan dan berkompetisi. (Bellamy, Rhodes, Mank, dan Albin, 1988). Terlepas dari besarnya biaya yang terkait, maka dengan metode ini bukan hanya menempatkan penderitanya dalam satu pekerjaan yang bermakna, tetapi yang terpenting adalah membuat mereka untuk dapat menjadi orang yang produktif, mandiri, dan berguna bagi masyarakat.

2.2 Konsep Diri

2.2.1 Pengertian Konsep Diri

Konsep diri adalah semua perasaan, kepercayaan, dan nilai yang diketahui individu tentang dirinya dan memengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang lain. Konsep diri berkembang secara bertahap saat bayi mulai mengenal dan membedakan dirinya dengan orang lain (Tarwoto dan Wartonah, 2010).

Hal ini termasuk persepsi individu akan sifat dan kemampuannya, interaksi dengan orang lain dan lingkungan, nilai-nilai yang berkaitan dengan pengalaman dan objek, tujuan serta keinginannya. Pembentukan konsep diri ini sangat dipengaruhi oleh asuhan orang tua dan lingkungannya (Tarwoto & Wartonah, 2010).

Sedangkan menurut Kozier dan Snyder (2010) konsep diri merupakan citra mental individu. Konsep diri positif penting untuk kesehatan mental dan fisik individu. Individu yang memiliki konsep diri positif lebih mampu mengembangkan dan mempertahankan hubungan interpersonal, dan juga lebih mampu menerima atau beradaptasi dengan perubahan yang mungkin terjadi sepanjang hidupnya

(67)

aspek tertentu dari kepribadian dan konsep diri dapat menjadi sumber stress atau konflik. Konsep diri dan persepsi tentang kesehatan sangat berkaitan erat satu sama lain. Klien yang mempunyai keyakinan tentang kesehatan yang baik akan dapat meningkatkan konsentrasi.

2.2.2 Komponen-komponen Konsep Diri a. Gambaran Diri (Body image)

Gambaran diri adalah sikap seseorang terhadap tubuhnya secara sadar dan tidak sadar. Sikap ini mencakup persepsi dan perasaan tentang ukuran, bentuk, fungsi penampilan dan potensi tubuh saat ini dan masa lalu yang secara berkesinambungan dimodifikasi dengan pengalaman baru setiap individu (Tarwoto & Wartonah, 2010)

Menurut Potter & Perry (2009) gambaran atau citra tubuh (body image) meliputi perilaku yang berkaitan dengan tubuh, termasuk penampilan, struktur, atau fungsi fisik. Rasa terhadap citra tubuh termasuk semua yang berkaitan dengan seksualitas, feminitas dan maskulinitas, berpenampilan muda, kesehatan dan kekuatan.

Sejak lahir individu mengeksplorasi bagian tubuhnya, menerima reaksi dari tubuhnya, menerima stimulus dari orang lain, kemudian mulai memanipulasi lingkungan dan mulai sadar dirinya terpisah dari lingkungan. Gambaran diri (Body image) berhubungan erat dengan kepribadian. Cara individu memandang diri mempunyai dampak yang penting pada aspek psikologisnya, pandangan yang realistis terhadap dirinya menerima dan menyukai bagian tubuh akan memberi rasa cemas dan meningkatkan harga diri (Keliat, 1992).

b. Ideal Diri

(68)

Standart dapat berhubungan dengan tipe orang yang akan diinginkan atau sejumlah aspirasi, cita-cita, nilai-nilai yang ingin dicapai. Ideal diri akan mewujudkan cita-cita dan harapan pribadi berdasarkan norma sosial (keluarga Budaya) dan kepada siapa ingin dilakukan (Salbiah, 2003).

c. Harga Diri

Harga diri (Self-esteem) adalah perasaan individu secara keseluruhan tentang harga diri atau pernyataan emosional dari konsep diri. Hal ini merupakan dasar dari evaluasi diri karena mewakili keseluruhan pendapat tentang penghargaan atau nilai personal. Harga diri bersifat positif saat seseorang merasa mampu, berguna, dan kompeten (Potter & Perry, 2009).

Harga diri adalah penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dengan analisis, sejauh mana perilaku memenuhi ideal diri. Jika individu selalu sukses maka cenderung harga dirinya akan tinggi dan jika mengalami gagal cenderung harga dirinya menjadi rendah. Harga diri diperoleh dari sendiri dan orang lain (Tarwoto & Wartonah, 2010).

Frekuensi pencapaian tujuan akan menghasilkan harga diri yang rendah atau harga diri yang tinggi. Jika individu sering gagal, maka cenderung harga diri rendah. Harga diri diperoleh dari diri sendiri dan orang lain. Aspek utama adalah dicintai dan menerima penghargaan dari orang lain (Keliat, 1992).

Biasanya harga diri sangat rentan terganggu pada saat remaja dan usia lanjut. Dari hasil riset ditemukan bahwa masalah kesehatan fisik mengakibatkan harga diri rendah. Gangguan harga diri dapat digambarkan sebagai perasaan negatif terhadap diri sendiri termasuk hilangnya percaya diri dan harga diri. Harga diri rendah dapat terjadi secara situasional (trauma) atau kronis (negatif self evaluasi yang telah berlangsung lama). Dan dapat diekspresikan secara langsung atau tidak langsung (nyata atau tidak nyata) (Salbiah, 2003).

d. Peran

(69)

sedangkan peran yang diterima adalah peran yang terpilih atau dipilih oleh individu. Posisi dibutuhkan oleh individu sebagai aktualisasi diri (Tarwoto & Wartonah, 2010).

Menurut Stuart & Sundeen, (1998) penyesuaian individu terhadap perannya dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: (a) kejelasan perilaku yang sesuai dengan perannya serta pengetahuan yang spesifik tentang peran yang diharapkan; (b) Kosistensi respon orang yang berarti atau dekat dengan perannya; (c) Kejelasan budaya dan harapannya terhadap perilaku perannya; dan (d) Pemisahan situasi yang dapat menciptakan ketidakselarasan.

Harga diri yang tinggi merupakan hasil dari peran yang memenuhi kebutuhan dan cocok dengan ideal diri. Posisi di masyarakat dapat merupakan stresor terhadap peran karena struktur sosial yang menimbulkan kesukaran, tuntutan serta posisi yang tidak mungkin dilaksanakan (Keliat, 1992).

e. Identitas

Identitas meliputi perasaan internal akan individualitas, menyeluruh, dan konsistensi seseorang pada waktu dan situasi yang berbeda. Identitas menunjukkan batasan dan pemisahan diri yang lainnya. Menjadi “diri sendiri” atau hidup dalam kehidupan nyata merupakan dasar dari identitas yang benar (Potter & Perry, 2009).

Identitas adalah kesadaran akan diri sendiri yang bersumber dari observasi dan penilaian yang merupakan sintesa dari semua aspek konsep diri sendiri sebagai satu kesatuan yang utuh (Tarwoto & Wartonah, 2010).

Seseorang yang mempunyai perasaan identitas diri yang kuat akan yang memandang dirinya berbeda dengan orang lain. Kemandirian timbul dari perasaan berharga (aspek mandiri), kemampuan dan penyesuaian diri (Keliat, 1992).

2.2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi Konsep diri

(70)

a) Tingkat perkembangan dan kematangan yakni, perkembangan anak seperti dukungan mental, perlakuan dan pertumbuhan anak akan mempengaruhi konsep dirinya.

b) Budaya yakni, pada usia anak-anak nilai-nilai akan diadopsi dari orang tuanya, kelompoknya, dan lingkungannya. Orang tua yang bekerja seharian akan membawa anak lebih dekat pada lingkungannya. Lingkungan yang dimaksud disini adalah lingkungan fisik dan lingkungan psikososial. Lingkungan fisik adalah segala sarana yang dapat menunjang perkembangan konsep diri, sedangkan lingkungan psikososial adalah segala lingkungan yang dapat menunjang kenyamanan dan perbaikan psikologis yang dapat mempengaruhi perkembangan konsep diri.

c) Sumber eksternal dan internal yaitu, kekuatan dan perkembangan pada individu sangat berpengaruh terhadap konsep diri. Sumber internal misalnya, orang yang humoris koping individunya lebih efektif. Sumber eksternal misalnya, dukungan dari masyarakat, dan ekonomi yang kuat.

d) Pengalaman sukses dan gagal yakni, ada kecendrungan bahwa riwayat sukses akan meningkatkan konsep diri demikian juga sebaliknya.

e) Stresor dapat mempengaruhi kehidupan misalnya perkawinan, pekerjaan baru, ujian, dan ketakutan. Jika koping individu tidak adekuat maka akan menimbulkan depresi, menarik diri, dan kecemasan.

f) Usia tua, keadaan sakit, dan trauma akan mempengaruhi persepsi dirinya. 2.2.4 Kriteria Kepribadian sehat

Kriteria kepribadian yang sehat menurut Tarwoto & Wartonah, (2010) yakni:

(71)

b. Ideal dan realitas yaitu individu yang mempunyai ideal diri yang realitas dan mempunyai tujuan hidup yang dapat dicapai.

c. Konsep diri yang positif merupakan konsep diri yang menunjukkan bahwa individu akan sesuai dalam hidupnya.

d. Harga diri tinggi yakni, seseorang yang memiliki harga diri tinggi akan memandang dirinya sebagai seseorang yang berarti dan bermanfaat. Ia memandang dirinya sama dengan apa yang dia inginkan.

e. Kepuasan penampilan peran merupakan individu yang mempunyai kepribadian sehat akan dapat berhubungan dengan orang lain, secara intim dan mendapat kepuasan. Ia dapat mempercayai dan terbuka pada orang lain dan membina hubungan interdependen.

f. Identitas jelas yakni, individu merasakan keunikan dirinya yang memberi arah kehidupan dalam mencapai tujuan.

2.2.5 Karakteristik Konsep Diri Rendah

Menurut (Carpenito, 1995 dalam Taylor) yang dikutip oleh Tarwoto & Wartonah, (2010) ada beberapa karakteristik konsep diri yang rendah yaitu: menghindari sentuhan atau melihat bagian tubuh tertentu; Tidak mau berkaca, menghindari diskusi tentang topik dirinya, menolak usaha rehabilitas, melakukan usaha sendiri dengan tidak tepat, mengingkari perubahan pada dirinya, tanda dari keresahan seperti marah, keputusasaan, dan menangis, menolak berpartisipasi dalam perawatan dirinya, tingkah laku yang merusak seperti gangguan obat-obatan dan alkohol, menghindari kontak sosial; dan kurang bertanggung jawab.

2.2.6 Konsep diri keluarga yang memiliki anak retardasi mental

(72)

terhadap hasil yang dicapai dalam kehidupan dengan mempunyai anak retardasi mental (Suliswati, 2005)

Berdasarkan hasil penelitian Kuantitatif yang dilakukan oleh Widiyanto dan Afif, (2013) terhadap keluarga yang memiliki anak retardasi mental, menunjukkan bahwa subjek keluarga yang memiliki anak retardasi mental memiliki gambaran konsep diri negatif. Keluarga yang memiliki anak retardasi mental secara negatif beranggapan bahwa masyarakat sekitar menilai keluarga yang memiliki anak retardasi mental merupakan orang tua atau keluarga dengan gen yang tidak baik sehingga menghasilkan keturunan yang tidak baik (retardasi mental). Akibatnya keluarga yang memiliki anak retardasi mental akan menampilkan kesan yang negatif seperi rasa malu, dan rendah diri terhadap orang lain. Dapat juga mempengaruhi kurangnya kepercayaan diri orang tua atau keluarga karena memiliki anak retardasi mental, hal ini disebabkan adanya tuntutan dan harapan dari orang-orang yang dianggap penting seperti orang tua, saudara dan kerabat terhadap suatu kesuksesan kehidupan seseorang. Anak retardasi mental seringkali menjadi beban dan dapat membuat jenuh orang tua atau keluarganya karena tidak dapat memenuhi standar yang sesuai dengan tuntutan dan harapan keluarga.

2.3 Kecemasan

2.3.1 Pengertian Kecemasan

Kecemasan adalah gangguan yang disebabkan oleh konflik yang tidak disadari mengenai keyakinan, nilai, krisis situasional, maturasi, ancaman pada diri sendiri, penyakit yang dipersepsikan sebagai ancaman kehidupan atau kebutuhan untuk bertahan yang tidak terpenuhi (Pieter dan Lubis, 2010).

(73)

emosional dan penilaian individu yang subjektif yang dipengaruhi oleh alam bawah sadar dan belum diketahui secara khusus faktor penyebabnya.

Gangguan kecemasan sering juga dianggap sebagai suatu gangguan yang berkaitan dengan perasaan khawatir tidak nyata, tidak masuk akal, tidak cocok yang berlangsung terus (intens) atas prinsip yang terjadi (manifestasi) dan kenyataan yang dirasakan. Orang yang mengalami gangguan kecemasan selalu diikuti rasa ketakutan yang difuse, tidak jelas, tidak menyenangkan dan timbulnya rasa kewaspadaan yang tidak jelas (Pieter, Janiwarti, dan saragih, 2011).

2.3.2 Tanda-Tanda Umum Kecemasan

Tanda-tanda kecemasan (ansietas) adalah memiliki ketakutan yang tidak realistis, irrasional, dan tidak dapat secara intensif ditampilkan dalam cara-cara yang jelas (Sutardjo dan Wiramihardja, 2007). Keluhan atau tanda dan gejala kecemasan yang ditunjukkan atau dikemukakan oleh seseorang sangat bervariasi, tergantung dari beratnya kecemasan yang dirasakan oleh individu tersebut, salah satunya keluhan-keluhan yang dikemukakan oleh Pieter dan lubis (2010) ada 2 gejala, yaitu gejala fisik dan gejala psikologis. Gejala fisik meliputi; ketegangan motorik seperti gemetar, gugup, nyeri otot dan mudah lelah, nafas pendek atau perasaan mudah tercekik, tangan dingin dan berkeringat, mulut kering dan pusing, mual, diare atau tidak nyaman abdomen, sering berkemih, tiba-tiba panas dan menggigil, tekanan darah meningkat. Gejala psikologis meliputi ; kegelisahan yang berlebihan, waspada yang berlebihan, sulit berkonsentrasi, respon kaget berlebihan, sulit tidur, mudah tersinggung dan hipersensitif.

2.3.3 Tingkat Kecemasan

Empat tingkat kecemasan untuk mengidentifikasi dan menggambarkan efek pada tiap individu yang dikemukakan oleh Pieter, Janiwarti, dan Saragih (2011) dan Tarwoto (2010), yaitu:

a. Cemas Ringan

(74)

cemas ringan akan terdorong untuk menghasilkan kreativitas. Respon-respon fisiologis orang yang mengalami cemas ringan adalah sesekali mengalami napas pendek, naiknya tekanan darah dan nadi, muka berkerut, bibir bergetar, dan mengalami gejala pada lambung.

Respon kognitif orang yang mengalami cemas ringan adalah lapang persepsi melebar, dapat menerima rangsangan yang kompleks, konsentrasi pada masalah dan dapat menjelaskan masalah secara efektif. Adapun respon perilaku dan emosi dari orang yang mengalami cemas adalah tidak dapat duduk tenang, tremor halus pada tangan, suara kadang-kadang meninggi.

b. Cemas Sedang

Pada cemas sedang tingkat lapangan persepsi pada lingkungan menurun dan memfokuskan diri pada hal-hal penting saat itu juga dan menyampingkan hal-hal lain. Respon fisiologis dari orang yang mengalami cemas sedang adalah sering napas pendek, nadi dan tekanan darah naik, mulut kering, anoreksia, diare, konstipasi, dan gelisah.

Respon kognitif orang yang mengalami cemas sedang adalah lapangan persepsi yang menyempit, rangsangan luar sulit diterima, berfokus terhadap apa yang menjadi perhatian. Adapun respon perilaku dan emosi adalah gerakan yang tersentak-sentak, meremas tangan, sulit tidur, dan perasaan tidak aman.

c. Cemas Berat

(75)

Respon kognitif orang mengalami cemas berat adalah lapangan persepsi yang sangat sempit dan tidak mampu untuk menyelesaikan masalah. Adapun respon perilaku dan emosinya terlihat dari perasaan tidak aman, verbalisasi yang cepat, dan blocking.

2.3.4 Faktor-Faktor Penyebab Cemas

Menurut Pieter dan Lubis (2010) ada faktor yang dapat menjadi pencetus seseorang merasa cemas dapat berasal dari diri sendiri (faktor internal) maupun dari luar dirinya (faktor ekstrnal). Namun demikian pencetus cemas (ansietas) dapat dikelompokkan ke dalam dua kategorik yaitu :

1. Ancaman terhadap integritas diri, meliputi ketidakmampuan fisiologis atau gangguan dalam melakukan aktivitas sehari-hari guna pemenuhan terhadap kebutuhan dasarnya.

2. Ancaman terhadap sistem diri yaitu adanya sesuatu yang dapat mengancam terhadap identitas diri, harga diri, kehilangan status / peran diri, dan hubungan interpersonal.

Menurut Pieter, Janiwarti, dan saragih (2011) berdasarkan teori psikoanalisis cemas merupakan konflik emosional antara dua elemen kepribadian, yakni Id, Ego, dan Superego. Id mencerminkan dorongan instingtif dan impuls-impuls primitif. Ego melambangkan mediatir antara Id dan Superego. Sedangkan Superego mencerminkan hati nurani seseorang yang dikendali oleh norma-norma lingkungan, agama dan budaya. Kaitannya pada cemas adalah peringatan terhadap pertahanan ego.

Adapun pada teori interpersonal mengatakan bahwa cemas terjadi akibat ketakutan atas penolakan interpersonal dan disertai dengan trauma masa perkembangan seperti kehilangan atau perpisahan orang tua. Demikian juga dengan kehilangan harga diri, di mana biasanya orang yang mengalami hilangnya harga diri bisa berakibat timbulnya cemas berat.

(76)

cemasnya. Sumber-sumber frustrasi adalah pada usaha pemenuhan kebutuhan, kondisi fisik individu dan lingkungan.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor penyebab cemas adalah adanya perasaan takut tidak diterima dalam lingkungan tertentu, adanya pengalaman traumatis, seperti trauma perpisahan, kehilangan atau bencana alam, adanya frustrasi akibat kegagalan mencapai tujuan, adanya ancaman pada integritas diri, yakni meliputi kegagalan memenuhi kebutuhan fisiologis (kebutuhan dasar) dan adanya ancaman pada konsep diri.

2.3.5 Cara Mengatasi Cemas

Menurut Pieter, Janiwarti, dan Saragih (2011) ada 4 komponen cara mengatasi cemas antara lain yaitu:

a. Terapi Individual

Terapi individual adalah dengan mengajak klien mengeksplorasi rangsangan yang menimbulkan cemas, mengajari klien untuk menghambat respon cemas melalui penyelesaian dan analisis logis. Membantu klien memahami bagaimana pikiran, perasaan dan situasi yang dapat mencetuskan respons yang terantisipasi. Tingkatkan pengenalan pada keterbatasan diri dalam serangan cemas sehingga klien dapat memulai membentuk kontrol pada semua aspek keterbatasannya. Mendorong klien untuk mengatasi kecemasan, seperti mengatakan kamu dapat melewati segala masalahmu. Ajarkan klien tentang relaksasi untuk mengurangi segala ketegangan fisik. Mengkaji dan monitor gejala kecemasan, apakah ada keinginan untuk bunuh diri.

b. Terapi Kelompok

Gambar

Gambaran diri
Gambaran Kuesioner
Table 5.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Keluarga yang Memiliki Anak   Retardasi Mental di
Table 5.2 Distribusi frekuensi konsep diri keluarga yang memiliki anak retardasi mental di Yayasan
+3

Referensi

Dokumen terkait

HONORARIUM PANITIA PELAKSANA KEGIATAN; HONORARIUM PEGAWAI HONORER / TIDAK TETAP; BANTUAN TRANSPORT NARASUMBER DAN BANTUAN TRANSPORT PESERTA; HONORARIUM NARASUMBER; BELANJA

Rahyono (2003) menyatakan intonasi sebuah bahasa memiliki keteraturan yang telah dihayati bersama oleh para penuturnya.Penutur sebuah bahasa tidak memiliki kebebasan yang

Penelitian ini terdiri dari 9 (sembilan) putaran dengan 5 (lima) proses pada setiap putarannya sehingga menghasilkan ciphertext yang acak dengan nilai korelasi sangat lemah

Bagian tubuh yang belum ideal menurut pendapat responden di atas hampir sama dengan hasil penelitian Widianti dan Candra (2012) pada rema- ja putri di SMA Theresiana

Berdasarkan hasil analisis pada alat musik akordion, alat musik beruas dan pola tabuhan rebana yang mengiringi tari Jepin Tembung Sanggar Bougenville Kota

Gambar 8 merupakan hasil avalanche effect pada 3 plaintext berbeda yang dapat dijelaskan sebagai berikut: a) Penentuan banyaknya putaran yang diperlukan yaitu

Dalam proses enkripsi regenerasi kunci memberikan cara khusus bagaimana suatu algoritma mentransformasikan teks terang ( plaintext ) menjadi teks tersandi ( ciphertext

Gejala psikososial pada subjek hipotiroid, seperti mudah sedih, merasa tertekan, tidak bersemangat dan apatis serta lebih suka menyendiri, disebabkan oleh adanya mekanisme