• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam Surat Al-Maidah Ayat 8

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam Surat Al-Maidah Ayat 8"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)

Oleh:

Khatimatul Husnah 109011000266

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

i

Akhlak adalah merupakan salah satu khazanah intelektual muslim. Dan salah satu tujuan risalah Islam ialah menyempurnakan kemuliaan-kemuliaan akhlak. Akhlakul karimah, tingkah laku yang mulia atau perbuatan baik adalah cerminan dari iman yang benar dan sempurna. Untuk menciptakan iman dapat dicapai dengan memperbanyak amal saleh dan tingkah laku yang mulia. Untuk menciptakan manusia yang berakhlak mulia, Islam mengajarkan bahwa pembinaan jiwa haruslah didahulukan dari pembinaan pada aspek-aspek lain, karena dari jiwa yang baik akan lahir perbuatan-perbuatan baik yang pada gilirannya akan membuahkan kebaikan dan kebahagiaan pada seluruh kehidupan manusia, lahir dan batin.

Al-qur’an merupakan sumber utama yang dapat dijadikan pedoman oleh setiap muslim dalam mengamalkan akhlak yang mulia. Dan Nabi Muhammad dapat dijadikan tauladan dalam pembinaan akhlak yang mulia. Karena Al-Qur’an adalah akhlak Nabi Muhammad atau Nabi Muhammad adalah Al-Qur’an hidup. demikian pentingnya akhlak yang mulia dalam kehidupan manusia sehingga dalam agama Islam banyak disebutkan dalam Al-Qur’an, salah satu ayat Al -Qur’an yang mebicarakan tentang akhlak adalah Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 8.

Penelitian ini ingin mengetahui pendidikan akhlak yang terkandung dalam surat Al-Maidah ayat 8. Penelitian ini dilakukan melalui study kepustakaan

(library research), yaitu pengambilan data dari buku-buku atau karya ilmiah yang

berkaitan dengan masalah yang akan dibahas baik berupa tafsir, Al-qur’an, pendidikan dan akhlak. Adapun metode tafsir yang digunakan yaitu metode tafsir tahlili yaitu menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup didalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.

(7)

ii

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat beserta salam semoga tetap tercurahkan kepada jujungan kita yakni baginda Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya, para sahabat, dan para pengikutnya hingga akhir zaman.

Skripsi yang berjudul “ Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam Surat Al-Maidah Ayat 8” ini. Disusun untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam di Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta. Sebagai manusia biasa, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki kelemahan dan kekurangan, maka dari itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat konstruktif.

Disamping itu, penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini telah banyak menerima bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Nurlena Rifa’i, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajarannya.

2. Dr.H. Abdul Majid Khon, M.Ag selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Marhamah Saleh, Lc.MA selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Ghufron Ihsan, Drs. MA. Selaku Dosen Penasihat Akademik atas nasihat-nasihatnya yang telah diberikan kepada penulis.

5. Dra. Elo Al Bugis, MA, selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, saran dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

(8)

iii

8. Kedua Orang Tua tercinta, Ayahanda ABD. Rauf (Alm.) semoga Allah mengampuni kesalahan-kesalahan beliau dan menerima segala amal baik beliau. Amin Ya Rabbal ‘Alamin. dan Ibunda Mahwiyah yang selama ini selalu memberikan nasihat, motivasi dan semangat. Sehingga penulis termotivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Kakak-kakak dan adik-adik penulis, yang selalu mengingatkan dan memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini.

10.Teman-teman mahasiswa, khususnya kelas G angkatan 2009 atas pengalaman dan sharing yang penulis dapatkan selama kuliah di jurusan pendidikan agama Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan yang telah memberikan banyak bantuan dan motivasi kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

11.Serta kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, penulis mengucapkan banyak terima kasih.

Akhirnya penulis ucapkan banyak terima kasih atas jasa dan bantuan semua pihak, baik yang bersifat moril dan materil. Penulis doakan semoga Allah SWT. membalas semua amal baiknya dengan limpahan Rahmat, Hidayah-Nya dan Nikmat sehat dan dapat menjadi amal jariyah. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.

Jakarta, 28 Februari 2014

Khatimatul Husnah

(9)

iv

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH LEMBAR PERNYATAAN KARYA SENDIRI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 8

C. Pembatasan Masalah ... 8

D. Perumusan Masalah ... 8

E. Tujuan Penelitian ... 9

F. Manfaat Penelitian ... 9

BAB II KAJIAN TEORITIS A. Pengertian Pendidikan Akhlak ... 10

B. Sumber Pendidikan Akhlak ... 16

C. Fungsi dan Tujuan Pendidikan Akhlak ... 18

D. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Akhlak ... 27

E. Hasil Penelitian yang Relevan ... 32

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Objek dan Waktu Penelitian ... 34

B. Metode Penelitian ... 34

C. Fokus Penelitian ... 34

D. Prosedur Penelitian ... 34

(10)

v

4. Tafsir Surat Al-Maidah Ayat 8 ... 40

B. Nilai-nilai Pendidikan Akhlak yang Terdapat dalam Surat Al-Maidah Ayat 8 ... 48

1. Nilai Kejujuran ... 48

2. Nilai Keikhlasan ... 51

3. Nilai Keadilan ... 54

4. Nilai Ketakwaan ... 56

C. Aplikasi Pendidikan Akhlak dalam Surat Al-Maidah Ayat 8 ... 60

1. Aplikasi Kejujuran dalam Pendidikan ... 60

2. Aplikasi Keikhlasan dalam Pendidikan ... 64

3. Aplikasi Keadilan dalam Pendidikan ... 66

4. Aplikasi Ketakwaan dalam Pendidikan ... 68

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 70

B. Saran ... 71

(11)

1 A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur’an adalah kitab suci yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW dan yang disampaikan kepada kita secara mutawatir (resmi), serta mengandung ajaran-ajaran yang dapat membuat orang mukmin bahagia, yakni akidah, akhlak dan syari’at.1

Menurut Abdul Wahab Khallaf sebagaimana yang dikutip oleh Abuddin Nata, Al-qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada hati Rasulullah, Muhammad bin Abdullah melalui al-Ruhul Amin (Jibril as) dengan lafal-lafalnya yang berbahasa Arab dan maknanya yang benar, agar ia menjadi hujjah bagi Rasul, bahwa ia benar-benar Rasulullah, menjadi undang-undang bagi manusia, memberi petunjuk kepada mereka, dan menjadi sarana pendekatan diri dan ibadah kepada Allah dengan membacanya.2

Al-Qur’an adalah sumber utama dalam ajaran Islam dan merupakan pedoman hidup bagi setiap muslim. Al-quran bukan sekedar memuat petunjuk tentang hubungan manusia dengan Tuhannya, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya (hablum min Allah wa

hablum min an-nas), bahkan hubungan manusia dengan alam sekitarnya.

Untuk memahami ajaran Islam secara sempurna (kaffah), maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah memahami kandungan isi Al-Qur’an dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari secara sungguh-sungguh dan konsisten.3

1

M.Yusuf Musa, Al-Qur’an dan Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h.1

2

Abuddin Nata, Al-Qur’an dan Hadits, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000), Cet. VII, h. 55

3

(12)

Al-Qur’an sangat memberi perhatian terhadap pentingnya masalah pendidikan, karena pendidikan merupakan alat atau sarana untuk memberdayakan manusia agar mereka dapat menunjukkan eksistensinya secara fungsional di muka bumi dengan melaksanakan fungsi kekhalifahannya.4 Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al -Baqarah ayat 30:



















...



“Ingatlah ketika Tuhanmu berkata kepada Malaikat: Aku akan

menciptakan khalifah di bumi...”. (QS. Al-Baqarah: 30)

Jadi segala usaha untuk membentuk watak manusia sebagai khalifah di bumi ini itulah pendidikan menurut pandangan Islam.5

Ajakan Rasulullah untuk melaksanakan pendidikan tidak saja berhenti atau semata ajakan penyebaran ilmu pengetahuan, tapi juga ajakan untuk senantiasa mencari ilmu sejauh-jauhnya. Sebagaimana hadist berikut:

“Carilah ilmu meskipun di negeri Cina”.(HR. Ibnu Ar-Rabi’)6

Menurut Muhammad Amin sebagaimana yang dikutip oleh Abuddin Nata, pendidikan (tarbiyah) mencakup berbagai dimensi: badan, akal, perasaan, kehendak, dan seluruh unsur atas kejiwaan manusia serta bakat-bakat dan kemampuannya. Pendidikan merupakan upaya untuk

mengembangkan bakat dan kemampuan individual, sehingga potensi-potensi kejiwaan itu dapat diaktualisasikan secara sempurna.

4

Abuddin Nata, Al-Qur’an dan Hadits, (Jakarta : PT Raja Grafindo persada, 2000), Cet. VII, h. 150

5

Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997),h. 47

6

Ar-Rabi’ bin Habib bin Amr Al-Azdy Al-Bashary , Jami’ Ash-Shahih Musnad

(13)

potensi itu sesungguhnya merupakan kekayaan dalam diri manusia yang amat berharga.7

Tujuan dalam proses kependidikan Islam adalah idealitas (cita-cita) yang mengandung nilai-nilai Islami yang hendak dicapai dalam proses kependidikan yang berdasarkan ajaran Islam secara bertahap.

Tujuan pendidikan Islam menurut Kongres Pendidikan Islam

se-Dunia di Islamabad tahun 1980, menunjukkan bahwa pendidikan harus merealisasikan cita-cita (idealitas) Islam yang mencakup pengembangan

kepribadian muslim yang bersifat menyeluruh secara harmonis berdasarkan potensi psikologis dan fisiologis (jasmaniah) manusia, yang mengacu kepada keimanan dan sekaligus berilmu pengetahuan secara berkeseimbangan sehingga terbentuklah manusia muslim yang paripurna yang berjiwa tawakkal (menyerahkan diri) secara total kepada Allah SWT.8 Sebagaimana firman Allah:



























“Katakanlah, sesungguhnya salatku, ibadahku dan hidup dan matiku

hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam”.(QS. Al-An’am: 162)

Rumusan di atas sesuai dengan firman Allah:







































.

“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di

antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa

derajat, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.(QS.

Al-Mujadalah: 11).

7

Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam 1, (Pamulang: Logos, 1997), h. 51

8

(14)

Abuddin Nata mengutip dari Hasan langgulung menjelaskan, bahwa tujuan-tujuan pendidikan agama harus mampu mengakomodasikan tiga fungsi utama dari agama, yaitu fungsi spiritual yang berkaitan dengan akidah dan iman, fungsi psikologis yang berkaitan dengan tingkah laku individual termasuk nilai-nilai akhlak yang mengangkat derajat manusia ke derajat yang lebih sempurna; dan fungsi sosial yang berkaitan dengan aturan-aturan yang menghubungkan manusia dengan manusia lain atau masyarakat, dimana masing-masing menyadari hak-hak dan

tanggungjawabnya untuk menyusun masyarakat yang harmonis dan seimbang.9

Al-Qur’an adalah akhlak Muhammad Rasulullah, atau Muhammad Rasulullah adalah Al-Qur’an hidup. bila kita hendak mengarahkan pendidikan kita, menumbuhkan karakter yang kuat pada anak didik, siapa lagi model yang memiliki karakter yang sempurna kecuali Muhammad Rasulullah. Itulah alasannya mengapa Al-Qur’an dipilih untuk menjadi basis dari pendidikan karakter.10

Hal ini terlihat dalam pernyataan beliau :

“Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan keutamaan

akhlak.” (HR. Al-Bazzar).11

Abuddin Nata mengutip dari Dr. M.Abdullah Dara, perbuatan-perbuatan manusia dapat dianggap sebagai akhlak apabila memenuhi dua syarat sebagai berikut: pertama, perbuatan-perbuatan itu dilakukan

9

Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam 1, (Pamulang: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 46

10

Bambang Q-Anees, Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur’an, (Bandung : Simbosa Rekatama Media, 2008), h. 6

11

Al-Bazzar Abu Bakr Ahmad Ibn Amr Al-Bashri, Musnad Al-Bazzar Juz 2,

(15)

berulangkali sehingga perbuatan-perbuatan itu menjadi kebiasaan; kedua, perbuatan-perbuatan itu dilakukan dengan kehendak sendiri bukan karena adanya tekanan-tekanan yang datang dari luar seperti ancaman dan paksaan atau sebaliknya melalui bujukan dan rayuan.12

Abuddin Nata mengutip dari pendapat al-Ghazali dalam kitabnya

Ihya Ulum al-Din, akhlak adalah : “Gambaran dari keadaan jiwa yang

mendalam yang darinya timbul perbuatan-perbuatan dengan gampang, tanpa memerlukan pertimbangan pemikiran atau renungan” Ibnu Miskawaih dalam kitabnya Tahzib al-Akhlak mengatakan, akhlak ialah : “Keadaan jiwa yang mendorong melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pemikiran dan pertimbangan-pertimbangan”. Selanjutnya menurut Dr. Ahmad Amin dalam Bukunya Al-Akhlak, akhlak adalah kehendak yang dibiasakan.13 Dari beberapa definisi diatas dapat penulis simpulkan, bahwa akhlak adalah suatu perbuatan yang timbul tanpa adanya pemikiran karena adanya dorongan dalam jiwa dan sudah menjadi kebiasaan.

Menjalankan akhlak yang mulia dan menjauhi akhlak yang buruk merupakan syarat mutlak untuk mencapai kebahagiaan, kedamaian, kenyamanan hidup umat manusia dan alam sekitarnya.14 Ilmu akhlak atau akhlak yang mulia berguna dalam mengarahkan dan mewarnai berbagai aktivitas kehidupan manusia di segala bidang. Seseorang yang memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi modern, memiliki pangkat, harta, kekuasaan dan sebagainya namun tidak disertai dengan akhlak yang mulia maka semuanya itu akan disalahgunakan yang akibatnya akan menimbulkan bencana di muka bumi.

12

Abd.Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), h.42

13

Abuddin Nata, Al-Qur’an dan Hadits, (Jakarta : PT Raja Grafindo persada, 2000), Cet. VII, h. 36

14

(16)

Akhlak merupakan mutiara hidup yang dapat membedakan manusia dengan makhluk lainnya, sebab seandainya manusia tanpa akhlak, maka akan hilanglah derajat kemanusiaannya sebagai makhluk Allah yang paling mulia dan turunlah ke derajat binatang, bahkan tanpa akhlak manusia akan lebih hina, lebih jahat dan lebih buas dari binatang buas. Dan manusia yang demikian itu adalah sangat berbahaya.15

Pembentukan moral yang tinggi adalah tujuan utama dari

pendidikan Islam. Seseorang tidak akan sanggup menjalankan mission atau tugas ilmiahnya kecuali bila ia berhias dengan akhlak yang tinggi, dijiwanya bersih dari segala bentuk celaan. Dengan jalan ilmu dan amal serta kerja yang baik, rohani mereka meningkat naik mendekati Maha Pencipta yaitu Allah SWT.16

Kedudukan akhlak dalam kehidupan manusia menempati tempat yang penting, sebagai individu maupun masyarakat dan bangsa, sebab jatuh bangunnya suatu masyarakat tergantung kepada bagaimana akhlaknya. Apabila akhlaknya baik, maka sejahteralah lahir dan batinnya, apabila akhlaknya rusak, maka rusaklah lahir dan batinnya.17

Jika tujuan ilmu akhlak tercapai, maka manusia akan memiliki kebersihan batin yang selanjutnya melahirkan perbuatan terpuji. Dari perbuatan yang terpuji ini akan lahirlah keadaan masyarakat yang damai, harmonis, rukun, sejahtera lahir dan batin, yang akhirnya ia dapat beraktivitas guna mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan diakhirat.18

Namun kenyataannya pada zaman modern ini masih banyak orang yang belum mempraktikkan nilai-nilai pendidikan akhlak yang terdapat

15

Heny Narendrany Hidayati, Pengukuran Akhlakul Karimah Mahasiswa, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2009), h. 17

16 Muhammad ‘Ath

ijah Al-Abrasjy, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970).h. 24

17

Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta : Amzah, 2007), h. 1

18

(17)

dalam Al-Qur’an dan tidak menganggap penting hal tersebut. kita lihat pada pergaulan-pergaulan saat ini, tidak hanya kaum remaja, dan orang dewasa, bahkan anak-anak pun sudah terbawa oleh arus-arus budaya kebarat-baratan dan tidak menerapkan pendidikan akhlak yang terdapat dalam Al-Qur’an. Yang terpenting bagi mereka adalah mereka senang dengan apa yang mereka lakukan. Hal ini terjadi karena kurang kontrol yang ketat dari lingkungan sekitarnya, baik dari orang tua, sekolah dan masyarakat sekitar. Berangkat dari hal tersebut, perlu kiranya penulis

membahas tentang nilai-nilai pendidikan akhlak dalam Al-Qur’an, yang diharapkan mampu menjadi pedoman bagi orang tua, lembaga pendidikan dan masyarakat untuk dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Di dalam Al-qur’an banyak ayat-ayat yang membahas tentang pendidikan akhlak, diantaranya firman Allah dalam Surat Al-maidah ayat 8 .yang berbunyi:





































































“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang

selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya

Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

(18)

Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengkaji dan membahas masalah tersebut dalam sebuah karya ilmiah yang berbentuk skripsi dengan judul “Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam Surat Al-Maidah Ayat 8”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan pada latar belakang tersebut diatas, maka dapat diidentifikasi beberapa masalah :

1. Masih banyak orang yang belum mempraktikkan nilai-nilai pendidikan akhlak yang terdapat dalam Al-Qur’an, salah satunya dalam QS. Al-Maidah ayat 8.

2. Masih banyak orang tua yang kurang menyadari tentang pentingnya memberikan pembinaan akhlak pada anak.

3. Kurangnya peranan lembaga pendidikan dalam memberikan pembinaan pendidikan karakter pada siswa.

4. Kurangnya peranan lembaga masyarakat dalam membina masyarakat dengan pendidikan akhlak yang telah diajarkan dalam al-qur’an

C. Pembatasan Masalah

Dari identifikasi masalah diatas, maka penulis akan membatasi masalah sebagai berikut :

1. Nilai-nilai pendidikan akhlak yang terdapat dalam QS. Al-Maidah ayat 8

2. Aplikasi nilai-nilai pendidikan akhlak yang dibatasi dalam surat al-Maidah ayat 8

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah yang dikemukakan diatas, maka dalam penulisan skripsi ini, masalah yang dibahas dapat dirumuskan sebagai berikut:

(19)

2. Bagaimana cara mengaplikasikan nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam QS. Al-Maidah ayat 8 ?

E. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian skripsi ini adalah untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan akhlak dalam QS. Al-Maidah ayat 8 dan cara mengaplikasikan nilai-nilai pendidikan akhlak dalam QS. Al-Maidah ayat 8.

F. Manfaat Penelitian

Penulisan skripsi ini diharapkan bermanfaat sebagai berikut:

1. Menambah pengetahuan dan wawasan bagi penulis

2. Memberikan kontribusi dalam dunia pendidikan, khususnya dalam bidang pendidikan akhlak.

(20)

10 BAB II

KAJIAN TEORITIS A. Pengertian Pendidikan Akhlak

1. Pengertian Pendidikan

Secara Etimologi kata pendidikan terdiri dari kata didik yang mendapat awalan pen dan akhiran an. Pendidikan menurut Kamus Besar

Bahasa Indoensia adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang

atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya

pengajaran dan pelatihan ; proses, cara, perbuatan mendidik.1

Masih dalam pengertian kebahasaan, dijumpai pula kata tarbiyah dalam bahasa Arab. Kata ini sering digunakan oleh para ahli pendidikan Islam untuk menerjemahkan kata pendidikan dalam bahasa Indonesia. Abdurrahman al-Nahlawi, misalnya lebih cenderung menggunakan kata

tarbiyah untuk kata pendidikan. Ia lebih lanjut mengatakan bahwa kata

tarbiyah berasal dari kata, yaitu pertama dari kata raba, yarbu yang berarti

bertambah dan bertumbuh; karena pendidikan mengandung misi untuk menambah bekal pengetahuan kepada anak didik dan menumbuhkan potensi yang dimilikinya; kedua dari kata rabiya, yarba yang berarti menjadi besar, karena pendidikan juga mengandung misi untuk membesarkan jiwa dan memperluas wawasan seseorang, dan ketiga dari kata rabba yarubbu yang berarti memperbaiki, menguasai urusan, menuntun, menjaga dan memelihara sebagaimana telah dijelaskan diatas.2

Dalam konteks yang luas, pengertian pendidikan Islam yang dikandung dalam term al-tarbiyah terdiri atas empat unsur pendekatan, yaitu : (1) memelihara dan menjaga fitrah anak didik menjelang dewasa

(baligh). (2) mengembangkan seluruh potensi menuju kesempurnaan. (3)

1

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia, 2008), h. 326

2

(21)

mengarahkan seluruh fitrah menuju kesempurnaan. (4) melaksanakan pendidikan secara bertahap.3

Penggunaan term al-Tarbiyah untuk menunjuk makna pendidikan Islam dapat difahami dengan merujuk firman Allah:



































“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua Telah mendidik Aku waktu kecil" (QS. Al Israa’/17:24).

Dalam Al-Mu’jam al-Wasith, terdapat penjelasan sebagai berikut:

ةَّلْقعْلاو ةَّدسجْلا هاَّق ىِّن ,هاَّرو

ةَّقلخْلاو

“Mendidiknya, berarti menumbuhkan potensi jasmaniah, aqliyah (akal)

serta akhlak (budi pkertinya)”.4

Sedangkan secara terminologi, Pendidikan ialah proses membimbing manusia dari kegelapan, kebodohan, dan pencerahan pengetahuan.5 Abuddin Nata mengutip dari Ki Hajar Dewantara menjelaskan, pendidikan adalah usaha yang dilakukan dengan penuh keinsyafan yang ditujukan untuk keselamatan dan kebahagiaan manusia. Pendidikan berarti memelihara hidup tumbuh ke arah kemajuan, tidak boleh melanjutkan keadaan kemarin menurut alam kemarin. Pendidikan adalah usaha kebudayaan, berasas peradaban, yakni memajukan hidup agar mempertinggi derajat kemanusiaan.

3

Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan historis, Teoritis dan Praktis,

(Ciputat, Ciputat Press, 2005), h. 26

4

IAIN Jakarta, Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN Di Jakarta (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1983), h. 118

5

(22)

Menurut Soegarda Poerbakawatja, dalam arti umum pendidikan adalah semua perbuatan dan usaha dari generasi tua untuk mengalihkan pengalamannya, pengetahuannya, kecakapannya serta ketrampilannya kepada generasi muda sebagai usaha menyiapkannya agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik jasmaniyah maupun rohaniyah.6

Dalam undang-undang pendidikan Nasional dijelaskan:

“ pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara”.7

Beberapa ahli pendidikan di Barat sebagaimana dikutip oleh Muzayyin Arifin, memberikan arti pendidikan sebagai proses, antara lain sebagai berikut:8

a. Mortimer J. Adler mengartikan: pendidikan adalah proses dengan mana semua kemampuan manusia (bakat dan kemampuan yang

diperoleh) yang dapat dipengaruhi oleh pembiasaan, disempurnakan dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik melalui sarana yang secara artistik dibuat dan dipakai oleh siapapun untuk membantu orang lain atau dirinya sendiri mencapai tujuan yang ditetapkan, yaitu kebiasaan yang baik.

b. William Mc Gucken, S.J. seorang tokoh pendidikan Katolik berpendapat, bahwa pendidikan diartikan oleh ahli skolastik, sebagai suatu perkembangan dan kelengkapan dari kemampuan-kemampuan manusia, baik moral, intelektual, maupun jasmaniah yang diorganisasikan, dengan atau untuk kepentingan individual atau sosial

6

Soegarda Poerbakawatja, Ensiklopedi Pendidikan, (Jakarta: Gunung Agung, 1981), Cet. ke- 2, h. 257

7

Undang-undang pendidikan Nasional No.20 tahun 2003, h. 2

8

(23)

dan diarahkan kepada kegiatan-kegiatan yang bersatu dengan penciptanya sebagai tujuan akhirnya.

Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah suatu proses pendewasaan peserta didik dalam mengembangkan potensi dirinya agar potensi tersebut dapat diaktualisasikan dalam kehidupan masyarakat, agama, bangsa dan negara.

2. Pengertian Akhlak

Perkataan akhlak dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab

akhlaq, bentuk jamak kata khuluq atau al-khulq, yang secara etimologis

antara lain berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabi’at. Dalam kepustakaan , akhlak diartikan juga sikap yang melahirkan perbuatan (perilaku, tingkah laku) mungkin baik, mungkin buruk.9

Dalam bahasa Yunani pengertian khuluq ini disamakan dengan kata ethicos atau ethos, artinya adab kebiasaan, perasaan batin, kecenderungan hati untuk melakukan perbuatan. Ethicos kemudian berubah menjadi etika. Dalam kamus Al-Munjid, khuluq berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Akhlak diartikan sebagai ilmu tata krama, ilmu yang berusaha mengenal tingkah laku manusia, kemudian memberi nilai kepada perbuatan baik atau buruk sesuai dengan norma-norma dan tata susila.10 Di dalam Ensiklopedi Pendidikan dikatakan bahwa akhlak ialah budi pekerti, watak, kesusilaan (kesadaran etik dan moral) yaitu kelakuan baik yang merupakan akibat dari sikap jiwa yang benar terhadap Khaliknya dan terhadap sesama manusia.11

9

Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), h. 346

10

Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta : Amzah, 2007), h. 3

11

(24)

Dilihat dari sudut istilah (terminologi), Pengertian akhlak menurut para ahli adalah sebagai berikut:

1. Ibn Miskawaih dalam bukunya Tahdzib al-Akhlaq, beliau mendefinisikan akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa terlebih dahulu melalui pemikiran dan pertimbangan.12

2. Abdul Hamid mengatakan akhlak ialah ilmu tentang keutamaan yang harus dilakukan dengan cara mengikutinya sehingga jiwanya

terisi dengan kebaikan, dan tentang keburukan yang harus dihindarinya sehingga jiwanya kosong (bersih) dari segala bentuk keburukan.13

3. Ibrahim Anis mengatakan akhlak ialah ilmu yang objeknya membahas nilai-nilai yang berkaitan dengan perbuatan manusia, dapat disifatkan dengan baik dan buruknya.14

4. Farid Ma’ruf mendefinisikan akhlak sebagai kehendak jiwa manusia yang menimbulkan perbuatan dengan mudah karena kebiasaan, tanpa memerlukan pertimbangan pikiran terlebih dahulu.15

Dikutip oleh Asmaran, di dalam al-Mu’jam al-Wasit disebutkan definisi akhlak sebagai berikut:

12

Muhammad Alim, Pendidikan Agama Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), h. 151

13

Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta : Amzah, 2007), h. 3

14 Ibid 15

(25)

“Akhlak ialah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah macam-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan

pemikiran dan pertimbangan”.16

Imam Ghazali dalam kitab ihya-nya sebagai berikut:

“Al-Khulk ialah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan

macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa

memerlukan pemikiran dan pertimbangan”.17

Dari beberapa definisi diatas dapat penulis simpulkan, bahwa akhlak adalah suatu perbuatan yang timbul tanpa adanya pemikiran karena adanya dorongan dalam jiwa dan sudah menjadi kebiasaan.

Salah satu tujuan risalah Islam ialah menyempurnakan kemuliaan-kemuliaan akhlak. Rasulullah berkata dalam sebuah hadis: “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia.” (HR.Malik). Akhlak mulia dalam ajaran Islam pengertiannya adalah perangai atau tingkah laku manusia yang sesuai dengan tuntutan kehendak Allah.18

Akhlak adalah merupakan salah satu khazanah intelektual muslim yang kehadirannya hingga saat ini semakin dirasakan. Secara historis dan

teologis akhlak tampil mengawal dan memandu perjalanan hidup manusia agar selamat dunia dan akhirat. Tidaklah berlebihan jika misi utama kerasulan Muhammad SAW. Adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia, dan sejarah mencatat bahwa faktor pendukung keberhasilan dakwah beliau antara lain karena dukungan akhlaknya yang prima.19

16

Asmaran, Pengantar Studi Akhlak, (jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994), Cet. ke-2, h. 5

17

Ibid

18

Muhammad Alim, Pendidikan Agama Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), h. 148

(26)

B. Sumber Pendidikan Akhlak

Dasar/sumber pokok daripada akhlak Islam adalah Alqur’an dan Al-Hadis yang merupakan sumber utama dari agama Islam itu sendiri. Dinyatakan dalam sebuah hadits Nabi:

“Dari Anas bin Malik berkata: bersabda Nabi SAW.:Telah kutinggalkan atas kamu sekalian dua perkara, yang apabila kamu berpegang kepada keduanya, maka tidak akan tersesat, yaitu Kitab Allah dan sunah

Rasul-Nya”.(HR. Ibn Malik)20

Tingkah laku Nabi Muhammad merupakan contoh suri teladan bagi umat manusia semua. Ini ditegaskan oleh Allah dalam Alqur’an:











































“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik baginya (yaitu) bagi orang yang mengharapkan rahmat Allah dan

kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (QS. Al-Ahzab

(33): 21)

Ketika Sayyidah ‘Aisyah ditanya tentang bagaimana akhlak Rasulullah SAW. ‘Aisyah menjawab:

“Akhlak Rasulullah adalah Al-Qur’an”.21

20

Malik Bin Anas, Al-Muwaththa’ Juz 8, (T.tp.: Muassisah Zaid bin Sulthan Al-Nahyan, 2004), h. 163

21

(27)

Akhlak tidak terbatas pada penyususnan hubungan antara manusia dengan manusia lainnya, tetapi melebihi itu, juga mengatur hubungan manusia dengan segala yang terdapat dalam wujud dan kehidupan ini, malah melampaui itu yaitu mengatur hubungan antara hamba dengan Tuhannya.













































“Dan Kami perintahkan kepada manusia berbuat baik kepada dua orang

ayah ibunya, ibunya yang telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ayah ibumu, hanya kepada-Kulah kembalimu” (Luqman: 14).

Firman Allah SWT :





















“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia karena sombong dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri”.(Luqman: 18).

Dalam kaitannya dengan peran orang tua untuk mendidik anak-anaknya Nabi Muhammad SAW, pernah bersabda: “Niscaya akan lebih baik bagi seorang laki-laki (orang tua) yang mengajarkan adab (budi

pekerti) kepada anak-anaknya, dibanding dengan bersadaqah satu sha’ “

(al-Hadits, diriwayatkan Jubir bin Samurah).22

22

(28)

Dari hadist di atas dapat kita ambil pelajaran, begitu pentingnya orang tua menanamkan budi pekerti kepada anak-anaknya, karena anak adalah amanat yang diberikan Allah kepada kedua orang tuanya. dan amanat itu adalah sebuah kewajiban sedangkan sahadaqah adalah sunnah. Oleh karena itu mendidik anak dengan akhlak lebih utama dibanding bersadaqah.

Jika anak itu dibiasakan kepada kebaikan dan diajarkan kepada

kebaikan, niscaya ia tumbuh pada kebaikan dan ia berbahagia didunia dan diakhirat dan bersekutulah di dalam pahalanya itu, kedua orang tuanya, setiap pendidiknya dan gurunya. Dan apabila anak kecil itu dibiasakan dengan kejelekan dan ia disia-siakan, seperti disia-siakannya binatang ternak, niscaya anak itu akan celaka dan binasa. Maka dosa itu pada pundak orang yang mengurusnya dan orang yang menjadi walinya.23

C. Fungsi dan Tujuan Pendidikan Akhlak 1. Fungsi Pendidikan Akhlak

Ilmu akhlak tidak memberi jaminan seseorang menjadi baik dan berbudi luhur. Namun mempelajari akhlak dapat membuka mata hati seseorang untuk mengetahui yang baik dan buruk, memberi pengertian apa faedah jika berbuat baik dan apa pula bahayanya jika berbuat kejahatan.

Orang yang baik akhlaknya, hatinya tenang, riang dan senang. Hidupnya bahagia dan membahagiakan. Allah berfirman dalam Surah Al-Fajr 27-30.



































23

(29)

Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya. maka kembalilah hamba-hamba-Ku, dan

masuklah ke dalam surga-Ku. (QS. Al-Fajr (89): 27-30)

Ayat tersebut merupakan penghargaan Allah terhadap manusia yang sempurna imannya. Orang yang sempurna imannya niscaya sempurna pula budi pekertinya. Orang yang tinggi budi pekertinya mampu merasakan kebahagiaan hidup. ia merasakan dirinya berguna, berharga, dan mampu menggunakan potensinya untuk membahagikan dirinya dan

untuk orang lain. Kepandaian yang dimilikinya untuk kemaslahatan umum. Allah melukiskan dalam Surah Asy-Syams:























“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan

sesungguhnya merugilah orang-orang yang mengotorinya”. (QS. Asy

-Syams (91): 9-10)

Setiap orang dalam hidupnya bercita-cita memperoleh kebahagiaan. Salah satu dari kebahagiaan adalah orang yang menyucikan dirinya, yaitu suci dari sifat dan perangai yang buruk, suci lahir dan batin. Sebaliknya jiwa yang kotor dan perangai tercela membawa kesengsaraan dunia dan akhirat.24

Demikian pentingnya akhlak mulia dalam kehidupan manusia sehingga dalam agama Islam banyak disebutkan dalam al-qur’an dan Hadis, diantaranya yaitu:





















































24
(30)

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang

Telah mereka kerjakan”. (QS. An-Nahl: 97)

“Orang mukmin yang sempurna keimanannya adalah orang yang paling

baik akhlaknya” (Hadis Riwayat Turmudzi)25

2. Tujuan Pendidikan Akhlak

Tujuan, merupakan suatu yang esensial bagi kehidupan manusia dengan adanya tujuan, semua aktivitas dan gerak manusia menjadi lebih dinamis, terarah, dan bermakna.26 Sebelum fokus pada tujuan pendidikan akhlak, perlu kiranya untuk mengetahui tujuan pendidikan Islam terlebih dahulu. Tujuan pendidikan Islam secara keseluruhan menurut Dr.Zakiyah Daradjat, yaitu kepribadian seseorang yang membuatnya menjadi insan

kamil dengan pola takwa, Insan Kamil artinya manusia utuh rohani dan

jasmani, dapat hidup dan berkembang secara wajar dan normal karena takwanya kepada Allah SWT.

Ada beberapa tujuan pendidikan Islam yang perlu kita ketahui yaitu:

1. Tujuan Umum

Nur Uhbiyati mengutip dari Al-Abrasyi (1969:71) dalam kajiannya tentang pendidikan Islam telah menyimpulkan lima tujuan umum bagi pendidikan islam, yaitu:27

25 Muhammad bin ‘Isa Abu ‘Isa At

-Turmudzi As-Sulamy, Al-Jami’ Ash-Shahih Sunan

At-Turmudzi Juz 5, (Beirut : Darul Ihya’ Turastul ‘Araby, t.t.), h. 466 26

Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran HAMKA tentang Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Predana Media Group, 2007), h. 116

27

(31)

a. Untuk mengadakan pembentukan akhlak yang mulia b. Persiapan untuk kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. c. Persiapan untuk mencari rizki dan pemeliharaan segi manfaat.

d. Menumbuhkan semangat ilmiah para pelajar dan memuaskan keingintahuan dan memungkinkan ia mengkaji ilmu demi ilmu itu sendiri.

e. Menyiapkan pelajar dari segi profesional, teknikal dan pertukangan supaya dapat menguasai profesi tertentu.

Nur Uhbiyati mengutip dari Al-Jammali (1966: 82) menyebutkan tujuan-tujuan pendidikan yang diambilnya dari Al-Qur’an sebagai berikut:28

a. Memperkenalkan kepada manusia akan tempatnya diantara makhluk-makhluk dan akan tanggung jawab perseorangannya dalam hidup ini. b. Memperkenalkan kepada manusia akan hubungan-hubungan sosialnya

dan tanggungjawabnya dalam rangka suatu sistem sosial.

c. Memperkenalkan kepada manusia akan makhluk (alam semesta), dan mengajaknya memahami hikmah Penciptaannya dalam menciptakannya.

d. Memperkenalkan kepada manusia akan pencipta alam maya ini.

2. Tujuan Khusus

Diantara tujuan-tujuan khusus yang mungkin dimasukkan di bawah semangat agama dan akhlak adalah:29

a. Memperkenalkan kepada generasi muda akan akidah Islam, dasar-dasarnya. Asal usul ibadat dan cara-cara melaksanakannya dengan betul.

b. Menumbuhkan kesadaran yang betul pada diri pelajar terhadap agama

termasuk prinsip-prinsip dan dasar-dasar akhlak yang mulia.

28

Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), h. 50

29

(32)

c. Menanamkan keimanan kepada Allah pencipta alam, dan kepada malaikat, rasul-rasul, kitab-kitab dan hari akhirat berdasar pada paham kesadaran dan perasaan.

d. Menanamkan iman yang kuat kepada Allah pada diri mereka perasaan keagamaan, semangat keagamaan dan akhlak pada diri mereka dan menyuburkan hati mereka dengan rasa cinta, zikir, takwa, dan takut kepada Allah.

Ibnu Khaldun sebagaimana dikutip oleh Nur Uhbiyati membagi tujuan-tujuan pendidikan Islam itu kepada:30

a. Mempersiapkan seseorang dari segi keagamaan. b. Menyiapkan seseorang dari segi akhlak

c. Menyiapkan seseorang dari segi kemasyarakatan atau sosial. d. Menyiapkan seseorang dari vokalsinal atau pekerjaan

e. Menyiapkan seseorang dari segi pemikiran. f. Menyiapkan seseorang dari segi kesenian.

Jalaluddin mengutip dari pendapat Muhammad Omar Toumy al-Syaibany menjelaskan, bahwa tujuan Pendidikan Islam adalah untuk mempertinggi nilai-nilai akhlak hingga mencapai tingkat akhlak al-karimah (al-syaibany, 1979). Tujuan ini sama dan sebangun dengan tujuan yang akan dicapai oleh misi kerasulan, yaitu “membimbing manusia agar berakhlak mulia” (al-hadits). Kemudian akhlak mulia dimaksud, diharapkan tercermin dari sikap dan tingkah laku individu dalam hubungannya dengan Allah, diri sendiri, sesama manusia dan sesama makhluk Allah, serta lingkungannya.31

Samsul Nizar mengutip dari pandangan HAMKA menjelaskan, bahwa tujuan pendidikan Islam adalah mengenal dan mencari keridhaan Allah, membangun budi pekerti untuk berakhlak mulia, serta

30

Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), h. 53

31

(33)

mempersiapkan peserta didik untuk hidup secara layak dan berguna di tengah-tengah komunitas sosialnya.32Oleh karena pendidikan Islam bertujuan pokok pada pembinaan akhlak mulia, maka sistem moral islami yang ditumbuhkembangkan dalam proses kependidikan adalah norma yang berorientasi kepada nilai-nilai islami.

Sistem moral Islami itu menurut Sayyid Abul A’la Al-Madudi adalah memiliki ciri-ciri yang sempurna, berbeda dengan sistem moral

non-Islam. Ciri-ciri tersebut terletak pada tiga hal yang dapat disimpulkan sebagai berikut:33

a. Keridaan Allah merupakan tujuan hidup muslim. Dan keridaan Allah ini menjadi sumber standar moral yang tinggi dan menjadi jalan bagi evolusi moral kemanusiaan.

b. Semua lingkup kehidupan manusia senantiasa ditegakkan di atas moral islami sehingga moralitas islami berkuasa penuh atas semua urusan kehidupan manusia, sedang hawa nafsu tidak diberi kesempatan menguasai kehidupan manusia.

c. Islam menuntut manusia agar melaksanakan sistem kehidupan yang didasarkan atas norma-norma kebajikan dan jauh dari kejahatan. Ia memerintahkan perbuatan yang makruf dan menjauhi kemungkaran, bahkan manusia dituntut agar menegakkan keadilan dan menumpas kejahatan dalam segala bentuknya.

32

Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran HAMKA tentang Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Predana Media Group, 2007), h. 117

33

(34)

Sehubungan dengan Akhlak Islam, Drs. Salihun A. Nasir menyebutkan bahwa Akhlak Islam berkisar pada:34

a. Tujuan hidup setiap muslim, ialah menghambakan dirinya kepada Allah, untuk mencapai keridaan-Nya, hidup sejahtera lahir dan batin, dalam kehidupan masa kini maupun yang akan datang.

b. Dengan keyakinannya terhadap kebenaran wahyu Allah dan sunah Rasul-Nya, membawa konsekuensi logis, sebagai standart dan

pedoman utama bagi setiap moral muslim. Ia memberi sangsi terhadap moral dalam kecintaan dan kekuatannya kepada Allah tanpa perasaan adanya tekanan-tekanan dari luar.

c. Keyakinannya akan hari kemudian/pembalasan, mendorong manusia berbuat baik dan berusaha menjadi manusia sebaik mungkin, dengan segala pengabdiannya kepada Allah.

d. Islam bukan moral yang baru, yang bertentangan dengan ajaran dan jiwa Islam, berasaskan dari Al-Qur’an dan Al-Hadits, diinterpretasikan oleh para ulama mujtahid.

e. Ajaran akhlak Islam meliputi segala segi hidup dan kehidupan manusia berdasarkan asas kebaikan dan bebas dari segala kejahatan. Islam tidak hanya mengajarkan tetapi menegakkannya, dengan janji dan sangsi Ilahi yang Maha Adil.

Menurut Muhammad ‘Athijah Al-Abrasjy, Pendidikan budi pekerti adalah jiwa dari pendidikan Islam, dan Islam telah menyimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam. Mencapai suatu akhlak yang sempurna adalah tujuan sebenarnya dari pendidikan. Tapi ini tidak berarti bahwa kita tidak mementingkan pendidikan jasmani atau akal atau ilmu ataupun segi-segi praktis lainnya tetapi artinya ialah bahwa kita memperhatikan segi-segi pendidikan akhlak seperti juga segi-segi lainnya.35

34

Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), Cet. ke-1, h. 151

35 Muhammad ‘Athijah Al

(35)

Tujuan akhir setiap ibadah adalah pembinaan takwa. Bertakwa mengandung arti melaksanakan segala perintah agama dan meninggalkan segala larangan agama. Ini berarti menjauhi perbuatan-perbuatan jahat dan melakukan perbuatan-perbuatan baik (akhlakul karimah). Perintah Allah ditujukan kepada perbuatan-perbuatan baik dan larangan berbuat jahat

(akhlakul madzmumah). Orang bertakwa berarti orang yang berakhlak

mulia, berbuat baik dan berbudi luhur.

Shalat erat hubungannya dengan latihan akhlak baik, difirmankan Allah dalam Surah Al-Ankabut:















































“Dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah

lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Ankabut

(29): 45)

Ibadah puasa erat hubungannya dengan latihan akhlak baik untuk membentuk kepribadian seseorang. Allah berfirman:





































“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepadamu berpuasa

sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu supaya

kamu bertakwa”. (QS. Al-Baqarah (2): 183)

(36)

sekedar mencegah makan dan minum saja melainkan juga menahan diri dari ucapan-ucapan dan perbuatan yang tidak baik.36

Zakat dapat mensucikan diri bagi si pemberi zakat. Zakat disebut juga sedekah. Sedekah dapat berupa ucapan yang mengajak kebaikan, memberi senyum kepada sesama manusia, menjauhkan diri dari perbuatan buruk, menuntun orang yang lemah penglihatan ke tempat yang dituju. Semua perbuatan tersebut disebut akhlak yang baik. Demikian juga

dengan ibadah haji. Sewaktu orang mengerjakan ibadah haji, tidak boleh bertengkar, tidak boleh berbuat jahat. Dalam pergaulannya tidak boleh mengucapkan kata-kata kotor.37

Pelajaran akhlak bertujuan mengetahui perbedaan-perbedaan perangai manusia yang baik dan yang buruk agar manusia dapat memegang teguh sifat-sifat yang baik dan menjauhkan diri dari sifat-sifat yang jahat sehingga terciptalah tata tertib dalam pergaulan di masyarakat, di mana tidak ada benci-membenci. Oleh karena itu pelajaran akhlak bertujuan hendak mendudukkan manusia sebagai makhluk yang tinggi dan sempurna serta membedakannya dengan makhluk-makhluk lainnya. Akhlak bertujuan menjadikan manusia orang yang berkelakuan baik terhadap Tuhan, manusia dan lingkungannya.38

Yatimin Abdullah mengutip dari pendapat Al-Ghazali menjelaskan, bahwa ketinggian akhlak merupakan kebaikan tertinggi. Kebaikan-kebaikan dalam kehidupan semuanya bersumber pada empat macam:39

36

M.Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta: Amzah, 2007), h. 6

37

Ibid 38

Asmaran, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994), Cet. ke-2, h. 55

39

(37)

1. Kebaikan jiwa, yaitu pokok-pokok keutamaan yang sudah berulang kali disebutkan, yaitu ilmu, bijaksana, suci diri, berani, dan adil.

2. Kebaikan dan keutamaan badan. Ada empat macam, yakni sehat, kuat, tampan, dan usia panjang.

3. Kebaikan eksternal (al-kharijiah), seluruhnya ada empat macam, yaitu harta, keluarga, pangkat, dan nama baik (kehormatan).

4. Kebaikan bimbingan (taufik-hidayah), juga ada empat macam, yaitu petunjuk Allah, bimbingan Allah, pelurusan, dan penguatannya.

Jadi tujuan akhlak diharapkan untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat bagi pelakunya sesuai ajaran Al-qur’an dan hadis. Ketinggian akhlak terletak pada hati yang sejahtera (qalbun salim) dan pada ketenteraman hati (rahatul qalbi).40

D. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Akhlak

Menurut H.M. Arifin sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata, bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan akhlak pada khususnya dan pendidikan pada umunya, yaitu ada tiga aliran :41

1. Aliran Nativisme. Menurut aliran ini bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang adalah faktor pembawaan dari dalam yang bentuknya dapat berupa kecenderungan, bakat, akal, dan lain-lain.

2. Aliran empirisme. Menurut aliran ini bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang adalah faktor dari luar, yaitu lingkungan sosial, termasuk pembinaan dan pendidikan. 3. Aliran konvergensi. Menurut aliran ini pembentukan akhlak

dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu pembawaan anak, dan faktor dari luar yaitu pendidikan dan pembinaan.

40

M.Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta: Amzah, 2007), h. 6

41

(38)

Aliran yang ketiga, yaitu aliran konvergensi tampak sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini dapat dipahami dari ayat dan hadis di bawah ini:

















































“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran,

penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”. (QS. Al-Nahl, 16:78)

Ayat di atas memberi petunjuk bahwa manusia memiliki potensi untuk dididik, yaitu penglihatan, pendengaran dan hati sanubari. Potensi tersebut harus disyukuri dengan cara mengisinya dengan ajaran dan pendidikan.

Kesesuaian teori konvergensi tersebut di atas, juga sejalan dengan hadits berikut, dari Abu Hurairah Rasulullah SAW. bersabda :

“Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan (membawa) fithrah (rasa

ketuhanan dan kecenderungan kepada kebenaran), maka kedua orang tuanyalah yang membentuk anak itu menjadi Yahudi, Nasrani atau

Majusi”. (HR. Bukhari)42

Ayat dan hadis tersebut di atas selain menggambarkan adanya teori konvergensi juga menunjukkan dengan jelas bahwa pelaksana utama dalam pendidikan adalah kedua orang tua. Itulah sebabnya orang tua, khususnya ibu mendapat gelar sebagai madrasah, yakni tempat

berlangsungnya kegiatan pendidikan.43

42

Muhammad bin Isma’il Abu Abdillah Al-Bukhari Al-Ju’fy, Al-Jami’ Ash-Shahih Al-Mukhtashar Juz 6, (Beirut: Daru Ibnu Kastir, 1987), h. 465

43

(39)

M. Yatimin Abdullah menyatakan “bahwa tingkah laku, insting dan naluri, pola dasar bawaan, nafsu dan adat kebiasaan serta lingkungan merupakan aspek-aspek yang dapat mempengaruhi akhlak seseorang”.44

Menurut Prof. DR. Hamka yang dikutip oleh Asmaran As., ada beberapa hal yang mendorong manusia berbuat baik untuk bekal di akhirat nanti, yaitu :45

1. Mengharapkan pahala dan sorga, menakuti azab dan neraka. Itulah tingkatan orang awam.

2. Mengharap pujian Tuhan dan takut celaNya. Itulah martabat orang yang saleh.

3. Mengharap keredhaan Allah semata-mata. Itulah martabat nabi-nabi dan rasul-rasul, orang shiddiq dan orang-orang syuhada. Dan itulah martabat yang paling tinggi dan mulia.

Awam menurut istilah agama Islam adalah yang tidak baik agamanya. Maka barangsiapa yang tidak mengetahui Tauhid, halal-haram, perintah dan larangan Allah, tidak melaksanakan shalat, maka dia awam baik dia dari golongan tidak terpelajar hingga terpelajar, dari yang bukan pejabat hingga yang pejabat, sekalipun ia menjabat pimpinan paling tinggi, paling kaya, dan paling berwibawa.46 Orang awam memandang, Allah mungkin itu sekadar majikan dan mereka buruh.47 Oleh karena itu, ketika orang awam melakukan perbuatan baik, yang ada dalam hati mereka hanya karena keinginan untuk mendapatkan pahala dari Allah dan keinginan untuk masuk surga-Nya dan ketakutan mereka pada azab dan takut akan masuk dalam neraka-Nya.

44

M.Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Pespektif Al-Qur’an, (Jakarta: Amzah, 20017), h. 75

45

Ibid 46

Abu Hafshah Abdurrahman al-Buthoni, Mendakwahi Orang Awam, 2013, h. 4, (imnasution.files.wordpress.com/2013/07/mendakwahi-orang-awam.pdf)

47

A Mustofa Bisri, Puasa bagi Orang Awam, 2006,

(40)

Orang saleh adalah orang yang taat dan sungguh-sungguh dalam menjalankan perintah agama. Seorang muslim yang saleh akan memelihara perasaan takut kepada Allah. Dia selalu merasa diawasi oleh Allah SWT. oleh karena itu, ketika mereka melakukan perbuatan baik, yang mereka harapkan hanya pujian dari Allah. Mereka tidak lagi memikirkan pahala dan surga dari-Nya.

Sedangkan untuk martabat para nabi-nabi dan rasul-rasul, orang

shiddiq dan orang-orang syuhada, ia beribadah dan berbuat baik sama sekali tidak mengharapkan surga. Ia beribadah semata-mata karena cintanya kepada Allah. Ia tidak berharap mendapatkan apapun selain ridha Allah. Ia merasa bahwa sangatlah tidak pantas mengharap surga sebagai balasan dari ibadah dan kebaikan yang telah mereka lakukan. Dan yang lebih penting lagi bagi mereka adalah sampai saat ini mereka masih punya hutang yang luar biasa besar kepada Allah. Hutang yang membuat mereka merasa tidak pantas untuk mendapat pinjaman yang lain sebelum mereka berhasil melunasi hutang-hutang ini. Bahkan untuk hutang yang pertama ini pun mereka tidak yakin akan mampu membayarnya. Yang dimaksud dalam hutang pertama disini adalah hutang cinta Allah kepada mereka.48

Al-Ghazali dalam bukunya minhajul abidin ada 4 rintangan yang bisa menghalangi seseorang dalam berbuat baik atau beribadah kepada Allah. diantaranya:49

1. Dunia dan isinya, yang dimaksud dengan dunia disini yaitu semua yang tidak bermanfaat untuk akhirat.

2. Manusia, selain membimbing kita dalam beribadah, terkadang manusia menghalangi dan membawa kita kepada kejahatan dan kebinasaan. Sebab, kebanyakan dari mereka hanya mengetahui kehidupan dunia

secara lahiriyah. Untuk akhirat, mereka lalai dan tidak memikirkannya.

48

Arvan Pradiansyah, You Are Not Alone : 31 Renungan tentang Tuhan dan Kebahagiaan, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2010), Cet. ke- 3, h.141-142

49

(41)

3. Setan adalah musuh manusia yang paling nyata, ia menggoda manusia melalui batinnya untuk berbuat jahat dan menjauhi Allah swt.

4. Nafsu ada kalanya baik (muthmainnah) dan ada kalanya buruk

(amarah), akan tetapi nafsu cenderung mengarah kepada keburukan.

Manusia adalah makhluk hidup, dalam hidupnya membutuhkan sandang, pangan dan papan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, manusia membutuhkan dunia dan isinya. Dalam memenuhi kebutuhan tersebut, manusia harus hati-hati agar jiwa dan raga tidak sepenuhnya cinta dunia.

Manusia adalah makhluk sosial berarti manusia tidak bisa hidup sendiri untuk memenuhi kebutuhannya, dalam hal ini manusia membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam bersosialisasi manusia juga harus hati-hati karena manusia bisa memalingkan manusia lain dari ibadah. Dalam menjalankan kehidupan di dunia ini, baik dalam hal mencari rezeki maupun dalam hal bersosialisasi, manusia akan mengalami godaan-godaan, yaitu godaan setan. Diantaranya:

1. Setan menggoda manusia agar tidak mau mengakui keterlibatan Allah dalam urusan rizki sehingga manusia selalu merasakan kesusahan saat ia bekerja.

2. Setan memperlihatkan banyaknya kebutuhan hidup manusia agar manusia selalu merasa kekurangan.

3. Setan memperlihatkan kepada orang keburukan orang lain agar mereka tidak mau saling tolong menolong satu sama lain.

4. Setan menanam benih kebencian dalam kesadaran manusia agar satu sama lain saling bermusuhan dalam kehidupan duniawi ini.

Oleh karena itu manusia harus memerangi dan mengalahkan setan, karena setan adalah musuh nyata yang menyesatkan, darinya tidak dapat

(42)

hawa nafsu merupakan musuh dari dalam. Bukan musuh dari luar, seperti halnya setan.

Menurut Imam Ghazali cara memerangi dan mengalahkan setan adalah pertama-tama mohon perlindungan Allah dari segala tipu daya setan, sebagaimana diperintahkan Al-Qur’an. Sesungguhnya mudah bagi Allah menyelamatkan manusia dari kejahatnnya. Kemudian, jika masih merasa dapat dikalahkan oleh setan, sesungguhnya itu adalah ujian dari Allah, agar tampak kebenaran perjuangan dan kekuatan kita dalam

menjalankan perintah Allah, dan untuk membuktikan kesabaran kita.50

Menurut Imam Ghazali, dalam mengendalikan hawa nafsu harus berusaha sekuat tenaga dan berpikir keras, nafsu harus dilawan dengan takwa dan kebaikan.51 Menurut para ulama, ada tig

Referensi

Dokumen terkait

This research aims at describing the strategies for developing reading skills applied by the English teacher at the second year of Islamic School MTs

Jenis penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif, yaitu mengukur self-efficacy, motivasi belajar, dan kemandirian belajar menggunakan metode survey yang

dalam menurunkan aktivitas serum Alanin Aminotransferase (ALT) dan Aspartat Aminotransferase (AST) pada tikus jantan terinduksi karbon tetraklorida serta mengetahui

Dari latar belakang diatas, studi ini akan meneliti: Berapa besar komposisi penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah di Indonesia, berapa besar pengaruh komposisi

Kawasan hutan pelestarian alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman

Adanya variasi suhu spray dryer yang digunakan dalam proses pengeringan ekstrak buah mahkota dewa pada penelitian ini dapat berpengaruh terhadap bentuk, sifat

Berdasarkan karakteristik jenis kelamin pada tabel 4.2 hasill penelitian menunjukkan bahwa responden pendeita Tb dengan terapi OAT fase awal yang termasuk

Perangkat kaidah itulah yang disebut dengan kode etik profesi (bisa disingkat kode etik), yang dapat tertulis maupun tidak tertulis yang diterapkan secara formal