OPTIMALISASI DAN STRATEGI PEMANFAATAN
SOUTHERN BLUEFIN TUNA
DI SAMUDERA HINDIA – SELATAN INDONESIA
MUHAMMAD RAMLI
C4510220061
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Optimalisasi dan Strategi Pemanfaatan Southern Bluefin Tuna di Samudera Hindia - Selatan Indonesia adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Maret 2009
ii
MUHAMMAD RAMLI. Optimization and Strategy of Southern Bluefin Tuna Utilization in Indian Ocean – South Indonesia. Under direction of Tridoyo Kusumastanto and Fadhil Hasan.
ABSTRACT
Indian Ocean water in South Java, Bali and Nusa Tenggara Island is an important spawning ground of southern bluefin tuna (SBT) resources. As cooperating non-member, in 2005 – 2007 Indonesia had been got embargo from CCSBT’s members because of over quota that made lost of benefit from SBT’s export especially to Japan as a premier market.
Indonesia should have a strategy to solve this problem and to increase benefit from SBT. The strategy should consider level of bioeconomics to achieve optimal use. Based on Maximum Economic Yield (MEY) principle, to achieve optimal use, Indonesia should limit efforts at 636 units of vessel and maximum catch of SBT at 1.396 tones, so it could create economic rent Rp 85,74 trillion per year. By using benefit-cost analysis, it results estimated NPV Rp525,87 trillion and Internal Rate of return (IRR) amount 57,03% for a full CCSBT member strategy. This result shows that becoming a full member of CCSBT will give the highest benefit for Indonesia whenever the utilization is based on MEY principle.
As member of CCSBT, Indonesia can take a part in forum of CCSBT to negotiate the increasing of catch quota. The quota should be measured based on MEY principle that will support sustainable fisheries. Beside that Indonesia should increase export percentage of volume and regulate fishing industry of SBT by applying limited entry in order to get highest benefit.
iii
RINGKASAN
Muhammad Ramli. Optimalisasi dan Strategi Pemanfaatan Southern Bluefin Tuna di Samudera Hindia – Selatan Indonesia. Dibimbing oleh Tridoyo Kusumastanto dan Fadhil Hasan.
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) di Samudera Hindia bagian selatan yang mencakup laut selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara merupakan wilayah laut strategis karena merupakan wilayah pemijahan Southern Bluefin Tuna (Tuna Sirip Biru) yang memiliki nama ilmiah Thunnus maccoyii. Tuna Sirip Biru (SBT) adalah ikan bernilai ekonomi tinggi di pasar dan mendorong Australia, Jepang dan Selandia Baru menandatangani Convention for The Conservation of Southern Bluefin Tuna pada 10 Mei 1993 yang kemudian membentuk Commission for The Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT).
Indonesia sebagai wilayah spawning ground SBT sepanjang 2005 – 2007 masih bersatus cooperating non-member (anggota tidak tetap) dan mengalami tekanan agar mengikat diri secara penuh sebagai anggota CCSBT. Tekanan ini diikuti dengan embargo ekspor SBT yang diterapkan oleh negara anggota CCSBT sejak 1 Juli 2005. Embargo tersebut tentunya membawa kerugian pada penerimaan devisa, berkurangnya lapangan kerja dan kemunduran industri SBT Indonesia.
Untuk itu, penelitian Optimalisasi dan Strategi Pemanfaatan Southern Bluefin Tuna di Samudera Hindia – Selatan Indonesia bertujuan untuk:
1. Mengkaji alokasi optimal pemanfaatan SBT di selatan Jawa dan Bali.
2. Menyusun opsi kebijakan dalam mengoptimalkan tingkat pemanfaatan sumberdaya SBT.
3. Menganalisis langkah-langkah kebijakan Indonesia di CCSBT.
Berdasarkan penelitian pendahuluan, persoalan dalam pemanfaatan SBT di Samudera Hindia diawali dengan isu Illegal fishing. Isu tersebut dilatarbelakangi konflik kepentingan Australia dengan Jepang yang berimbas pada industri SBT negara lain seperti Indonesia. Untuk mengamankan kepentingan industri dan suplai pasar domestik SBT Jepang pasca penurunan kuota, Indonesia mengalami tekanan agar menerima prinsip-prinsip konvensi SBT melalui pelarangan ekspor SBT ke negara-negara anggota CCSBT.
Asumsi yang dibangun dalam penelitian ini adalah keanggotaan penuh (full member) merupakan opsi yang paling rasional yang harus diambil untuk menyelamatkan industri SBT nasional. Untuk itu, pembenahan industri perikanan SBT Indonesia perlu dilakukan dalam kerangka optimalisasi pemanfaatan SBT di Samudera Hindia, khususnya di laut selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara.
iv
1. Kuota Indonesia diturunkan menjadi 750 ton per tahun hingga tahun 2007; 2. Embargo ekspor ke negara-negara anggota CCSBT, khususnya Jepang.
Untuk mengoptimalkan pemanfaatan SBT oleh industri perikanan Indonesia, maka diperlukan kebijakan untuk menetapkan tingkat pemanfaatan optimal yang secara ekonomi menguntungkan dan tetap mempertahankan keberlanjutan semberdaya SBT. Kondisi tersebut dikenal dengan keseimbangan bioekonomi (bioeconomic equilibrium) yang terdiri dari tiga kondisi, yakni maksimum ekonomi yield (MEY), maksimum sustainable yield (MSY) dan open access.
Berdasarkan perhitungan diperoleh MEY memberi keuntungan secara ekonomi bagi industri SBT Indonesia dengan jumlah kapal sekitar 636 unit dan produksi sekitar 1.396 ton. Pada kondisi tersebut, biaya kegiatan penangkapan mencapai sekitar Rp112,32 milyar dan penerimaan (TR) mencapai Rp208,06 milyar. Hal ini berarti rente ekonomi yang diperoleh mencapai sekitar Rp85,73 milyar lebih. Kondisi MEY dapat dijadikan patokan dalam menetukan kuota dan regulasi jumlah kapal dalam industri perikanan SBT.
Strategi pemanfaatan SBT dapat disimpulkan dari perhitungan nilai NPV dan IRR dalam tiga status keanggotaan, yakni status non member atau observer, cooperating non member dan full member. Perbandingan ketiga kondisi tersebut menunjukkan bahwa status full member, nilai NPV dan IRR lebih tinggi dibandingkan dengan status non member dan cooperating non member. Nilai NPV dan IRR akan mengalami kenaikan seiring dengan kenaikan jumlah ekspor. Pada kapasitas ekspor 30% dari total produksi dalam status full member, nilai NPV mencapai Rp. 525,87 miliar dan IRR mencapai 57.03%.
Langkah-langkah kebijakan yang perlu diambil Indonesia dalam menegosiasikan kepentingan industri SBT adalah: pertama, menetapkan status keanggotaan penuh di CCSBT. Kedua, menentukan dan menegosiasikan jumlah kuota penangkapan SBT Indonesia di CCSBT dengan berpatokan pada MEY. Ketiga, penentuan jumlah kuota tersebut mesti dibarengi dengan pembatasan jumlah kapal yang ikut dalam di industri ini, agar rente ekonomi yang dihasilkan mencapai maksimal secara ekonomi dan keberlanjutan sumber daya SBT.
v
© Hak cipta milik IPB, Tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan bagi IPB.
vi
OPTIMALISASI DAN STRATEGI PEMANFAATAN
SOUTHERN BLUEFIN TUNA
DI SAMUDERA HINDIA -- SELATAN INDONESIA
MUHAMMAD RAMLI
Tesis
sebagai salah satu syarat unuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Departemen Ekonomi dan Manajeman
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
vii
Judul Penelitian : Optimalisasi dan Strategi Pemanfaatan Southern Bluefin Tuna di Samudera Hindia – Selatan Indonesia
Nama Mahasiswa : Muhammad Ramli Nomor Induk : C451020061
Disetujui,
1. Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS Ketua
Dr. Ir. M. Fadhil Hasan Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Ekonomi Sumber Daya Kelautan Tropika
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodipuro, M.Sc
viii
PRAKATA
Puji syukur dipanjatkan kepada Allah Yang Maha Kuasa atas berkat dan rahmat-Nya karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah southern bluefin tuna dengan judul penelitian Optimalisasi dan Strategi Pemanfaatan Southern Bluefin Tuna di Samudera Hindia – Selatan Indonesia.
Laut selatan Indonesia memiliki arti strategis dalam pemanfaatan southern bluefin tuna karena wilayah tersebut merupakan spawning ground SBT. Wilayah ini diatur dalam suatu konvensi CCSBT yang hingga kini Indonesia belum menjadi anggota penuh. Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah ditawari untuk ikut menjadi anggota penuh karena Indonesia diharapkan ikut mendorong dan mendukung upaya pelestarian dan pemanfaatan SBT.
Perubahan status keanggotaan ini, secara ekonomi penting bagi Indonesia, mengingat akan mengalami embargo atas ekspor komoditi SBT ke negara-negara anggotaan. Di sisi lain, perubahan status tersebut terkait erat dengan masalah embargo, bukan karena adanya strategi Indonesia untuk mengoptimalkan pengembangan industri perikanan SBT dan memanfaatkan potensi sumberdaya perikanan tersebut.
Untuk itu, perlu dikaji langkah-langkah strategis untuk memanfaatkan status anggota penuh dalam mempengaruhi kebijakan di CCSBT. Kebijakan tersebut diharapkan dapat menguntungkan industri perikanan Indonesia, mengingat penentuan kuota Indonesia sangat rendah dibandingkan negara-negara lain seperti Korea dan Taiwan. Tentu saja hal ini menjadi ironi karena wilayah pemijahan SBT berada di ZEEI, sehingga keberlangsungan stok SBT akan tergantung pada kebijakan pengelolaan yang dilakukan oleh Indonesia.
Saran dan kritik tentunya sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan hasil-hasil penelitian ini. Terutama koreksi dan masukan dari Komisi Pembimbing; Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS dan Dr. Ir. Fadhil Hasan, serta Penguji Tamu; Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Si. Terima kasih atas kerjasama berbagai pihak yang siap membantu kelancaran penelitian ini, sehingga dapat menjadi tulisan ilmiah yang bermanfaat bagi rakyat dan negara Indonesia.
Akhir kata, penulis pengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua, istri tercinta Nisa Ardhini dan ananda Fathimah Aulia Zahra, atas dukungan dan doa yang diberikan selama ini.
Bogor, Maret 2009
ix
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sumbawa Besar pada tanggal 30 Mei 1974 dari ayah Ayubar dan ibu Mastari. Penulis merupakan putra ke-9 dari 9 bersaudara.
Tahun 1993 penulis lulus dari SMA Negeri I Sumbawa Besar dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan, Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan dan lulus menjadi Sarjana Perikanan (S.Pi) pada tahun 2000.
x
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 4
1.3. Tujuan Penelitian ... 6
1.4. Kegunaan Penelitian ... 7
II. RUANG LINGKUP STUDI ... 8
III. TINJAUAN PUSTAKA ... 12
3.1. Gambaran Umum Southern Bluefin Tuna ... 12
3.2. Potensi dan Pemanfaatan Southern Bluefin Tuna di Samudera Hindia ... 14
3.3. Perkembangan Perdagangan Southern Bluefin Tuna ... 19
3.4. Teori Ekonomi Sumberdaya Perikanan ... 22
IV. METODOLOGI PENELITIAN ... 30
4.1. Bentuk dan Metode Penelitian ... 30
4.2. Metode Pengumpulan Data ... 31
4.3. Analisis Data ... 32
4.3.1. Analisis Keseimbangan Bioekonomi ... 32
4.3.2. Analisis Dampak Ekonomi ... 33
4.4. Batasan Penelitian ... 35
4.5. Waktu dan Tempat Penelitian ... 35
V. PERKEMBANGAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA SOUTHERN BLUEFINTUNA DI SAMUDERA HINDIA ... 36
5.1. Perkembangan Industri Perikanan Southern Bluefin Tuna ... 36
5.2. Isu Illegal Fishing dan Perubahan Kuota Pemanfaatan SBT ... 38
5.3. Kebijakan Kuota dan Implikasi Embargo dalam Perdagangan SBT ... 43
xi
VI. KONDISI OPTIMAL DAN STRATEGI PEMANFAATAN
SUMBERDAYA SOUTHERN BLUEFIN TUNA ... 50
6.1. Kondisi Optimal Pemanfaatan SBT ... 50
6.2. Strategi Pemanfaatan Sumberdaya SBT ... 54
VII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 57
7.1. Kesimpulan ... 57
7.2. Saran ... 58
DAFTAR PUSTAKA ... 59
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Perubahan Kuota Penangkapan SBT di Samudera Hindia ………. 10
2. Estimasi Potensi, Produksi, dan Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Tuna Berdasarkan Jenis dan Wilayah Penangkapan Pada Tahun 1997 ….. 15 3. Produksi SBT Negara-Negara di Area Penangkapan 57 Samudera Hindia 17 4. Negara Pengimpor dan Jumlah Impor Periode 2002 -2005 ……… 21
5. Perkembangan Pengaturan Kuota Penangkapan SBT di Samudera Hindia 38 6. Selisih Produksi-Kuota dan Presentase terhadap Penangkapan Ilegal Tahun 2005 ... 42
7. Jumlah Produksi, Impor dan Harga Rata-rata Produksi SBT di Jepang 44 8. Jumlah Tangkapan Tuna (Ton) di Pelabuhan Benoa, Cilacap, Jakarta dan Pelabuhan Lain Tahun 2003-2004 ... 48
9. Catch Per-Unit Effort (CPUE) SBT Indonesia di Samudera Hindia ... 52
10. Kondisi Aktual Penangkapan SBT Indonesia ... 52
11. Tiga Kondisi Keseimbangan Bioekonomi (Bioeconomic Equilibrium) ... 53 12. Perbandingan Nilai NPV dan IRR Pemanfaatan SBT Indonesia di
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Peta Wilayah Spawing Ground dan Migrasi Tuna Sirip Biru ………... 1
2. Peta Wilayah Kewenangan Juridiksi CCSBT ………... 2
3. Peta Wilayah Kewenangan 13 RFMO Dunia ……… 5
4. Bagan Alir Ruang Lingkup Penelitian ……….. 11
5. Southern BluefinTuna ( Thunnus thynnus) ………... 12
6. Pemijahan Southern Bluefin Tuna (FAO, 2006) ………... 14
7. Peta Area 57 Samudera Hindia ……….. 16
8. Grafik Perkembangan Produksi SBT Indonesia (Ton) dan Share dengan Produksi SBT Dunia ………. 18 9. Rawai Tuna atau tuna longlines ……… 18
10. Grafik Perbandingan Produksi SBT Indonesia (Ton) Tahun 2005 dengan Negara Produsen Lainnya ………. 19 11. Grafik Kegiatan Impor SBT (kg) Jepang 2001 – 2005 ………. 20
12. Grafik Perbandingan Ekspor dan Produksi (kg) SBT Indonesia 2002 – 2005 ... 21
13. Grafik Ekspor SBT Negara-negara Eksportir Utama ke Jepang Periode 2002 – 2005 ……….. 22
14. Population Equilibrium Analysis ……….. 24
15. Kurva Sustainable Yield ……… 25
16. Open Access and MaximumEconomic Yield ……… 27
17. Grafik Fluktuasi Hasil Tangkapan SBT di Samudera Hindia ... 36
18. Grafik Perkembangan Tangkapan SBT Indonesia dan Dunia 1976 – 2005 ... 45
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Sebaran Kapal Tuna Long Line Indonesia ……… 63 2. Jumlah Tangkapan Southern Bluefin Tuna Dunia Menurut Negara (Ton) 64 3. Laporan CCSBT Tentang Informasi Skema Perdagangan SBT …………. 66 4. Harga Tuna di Pasar Jepang ……… 70 5. Estimasi Jumlah Kapal Long Line Indonesia Beroperasi di Samudera
Hindia Tahun 1973-2000 ……… 71
6. Jumlah Tangkapan Tuna di Pelabuhan Benoa Menurut Jenis Ikan Periode Januari 2003 – Desember 2005 (Ton) ………. 72 7. Hasil Perhitungan Regresi ……….. 74 8. Investasi dan Biaya Rata-rata Per Trip kapal penangkapan Tuna di
Samudera Hindia ………. 75 9. NPV dan IRR dengan Status Non Member CCSBT (dikenai sanksi
embargo) …... 78 10. NPV dan IRR dengan Status Cooperating Member CCSBT (ekspor
diperbolehkan dengan asumsi jumlah ekspor berdasarkan rata-rata) ... 82 11. NPV dan IRR dengan Status Member CCSBT (ekspor diperbolehkan
dengan asumsi jumlah ekspor 10% dari produksi) ... 85 12. NPV dan IRR dengan Status Member CCSBT (ekspor diperbolehkan
dengan asumsi jumlah ekspor 20% dari produksi) ... 89 13. NPV dan IRR dengan Status Member CCSBT (ekspor diperbolehkan
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) di Samudera Hindia bagian
selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara memiliki arti strategis bagi industri
perikanan, karena wilayah laut tersebut merupakan spawning ground (tempat
pemijahan) ikan Tuna Sirip Biru atau Southern Bluefin Tuna (SBT) yang bernama
ilmiah Thunnus maccoyii. Spawning ground SBT berada pada lintang 300LS -
500LS seperti pada Gambar 113 dan fase pemijahan tersebut berlangsung
sepanjang Agustus-Juni. Juvenile SBT selanjutnya bermigrasi ke arah selatan dan pantai timur Australia dan melewati musim dingin di laut yang lebih dalam
(Posiding Simposium Perikanan, 1997).
13
Menurut Permen No. PER.01/MEN/2009 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan, spawning
ground SBT sebagian berada dalam wilayah WPP 10 atau wilayah WPP Samudera Hindia B yang
meliputi selatan Jawa dan Nusa Tenggara.
Gambar 1. Peta Wilayah Spawing Ground dan Migrasi Tuna Sirip Biru
(UNFSA) 1995 yang saat ini tengah diratifikasi. UNFSA mengatur ketentuan
bahwa pemanfaatan dan pengelolaan tuna sebagai spesies yang bermigrasi jauh
dan melewati batas-batas laut kontinen beberapa negara, perlu diatur oleh
organisasi regional, seperti CCSBT yang mengatur masalah pengelolaan dan
pemanfaatan SBT.
Keanggotaan CCSBT saat ini terdiri dari member, cooperating
non-member dan observer. Pada 8 April 2008, Indonesia resmi menjadi member
CCSBT mengikuti status negara-negara yang telah yang telah menjadi member
terlebih dahulu, seperti Australia, Jepang, Selandia Baru, Republik Korea dan
Fishing Entity of Taiwan’s. Beberapa negara lainnya terdaftar sebagai
cooperating non-member yakni, Filipina, Afrika Selatan14 dan European Community15.
Status keanggotaan penuh Indonesia pada 2008 terkait dengan embargo
ekspor produk SBT Indonesia di pasar negara-negara anggota CCSBT, khusus
Jepang sebagai tujuan utama pasar ekspor. Embargo yang diterapkan pada 1 Juni
2005 disebabkan negara-negara anggota CCSBT, khususnya Australia dan
Jepang, menaruh kecurigaan bahwa Indonesia enggan ikut serta melestarikan
sumberdaya SBT. Embargo tersebut ternyata efektif menekan Indonesia agar
bersedia mengikat diri dalam Convention for The Conservation of Southern
Bluefin Tuna, karena secara geografis sebagian wilayah ZEEI merupakan
spawning ground SBT.
Embargo yang berlangsung sejak 2005 membawa dampak kerugian bagi
Indonesia, diantaranya kerugian dari penerimaan devisa, lapangan kerja dan
mengancam pengembangan industri perikanan pada umumnya. Kondisi tersebut
mendorong Indonesia perlu mengambil langkah-langkah regulasi dengan
mengikat diri dalam konvensi CCSBT. Langkah perubahan status keanggotaan
merupakan salah satu jalan untuk mengatasi tekanan embargo dan membuka
isolasi pasar ekspor.
14
Sebagian juvenile yang memijah di pantai selatan Jawa bermigrasi ke barat melintasi Afrika Selatan.
Mengikuti perubahan status keanggotaan tersebut, Indonesia perlu menata
kembali keragaan industri perikanan SBT dengan menerapkan pola pemanfaatan
SBT yang mengadopsi tujuan konvensi, yakni ikut melestarikan sumberdaya SBT
dengan tetap mempertahankan tujuan-tujuan ekonomi. Kondisi tersebut
membutuhkan suatu penelitian untuk merumuskan optimalisasi dan strategi
pemanfaatan sumberdaya Southern Bluefin Tuna di Samudera Hindia – Selatan
Indonesia, yang diarahkan untuk mencari titik keseimbangan antara kepentingan
konservasi yang menjadi concern CCSBT, dengan kepentingan ekonomi yang
menjadi tujuan pengembangan industri perikanan Indonesia. Titik keseimbangan
tersebut diharapkan dapat menjadi kerangka regulasi pemanfaatan SBT di
Indonesia.
1.2. Rumusan Masalah
Ratifikasi United Nations Conservatioan on The Law af The Sea
(UNCLOS) 1982 melalui UU No. 17 Tahun 1985 pada dasarnya membuka
peluang Indonesia untuk memanfaatkan berbagai sumberdaya ikan di laut lepas
(high sea), baik sumberdaya ikan jenis beruaya jauh (highly migratory fish stocks), sumberdaya ikan beruaya terbatas (straddling fish stock) dan share stock
atau sumberdaya ikan yang beruaya di antara batas laut negara. Pengaturan atas
pengelolaan dan pemanfaatan sumber-sumber daya ikan tersebut selanjutnya
dituangkan dalam United Nation Fisheries Stock Agreement (UNFSA) 1995. Hal
ini perlu terus ditindaklanjuti sebagai bagian dari strategi untuk menjamin
kepentingan Indonesia dalam melindungi dan memanfaatkan kekayaan
sumberdaya perikanan di laut lepas, khususnya di ZEEI.
UNFSA 1995 mengatur ketentuan bahwa pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya ikan tuna, sepenuhnya ditangani dan dikoordinasikan oleh
badan-badan pengelolaan ikan regional atau RFMO. Ada empat RFMO seperti terlihat
pada Gambar 3, yang wilayah kewenangannya bersentuhan langsung dengan
kepentingan Indonesia di ZEEI, yakni Indian Ocean Tuna Commission (IOTC),
Commission for The Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT), dan
Suatu negara akan memiliki akses untuk memanfaatkan dan mengelola
sumberdaya perikanan di wilayah yang kewenangannya diatur oleh suatu RFMO,
bila negara tersebut menjadi anggota RFMO tersebut. Terkait dengan hal ini,
penerapan sanksi embargo ekspor SBT pada 1 Juli 2005 oleh negara-negara
anggota CCSBT pada Indonesia, bertujuan untuk mendesak negara-negara
pemanfaat SBT, khususnya Indonesia, agar bersedia meningkatkan
keanggotaannya dari cooperating non-member menjadi member. Sanksi ini akan
terus diberlakukan hingga Indonesia bersedia mengikat diri dalam konvensi
CCSBT dengan menjadi anggota penuh RFMO tersebut.
Embargo atas ekspor SBT tentunya membawa dampak kerugian bagi
Indonesia, terutama kalangan pengusaha industri perikanan SBT yang beroperasi
di Samudera Hindia, khususnya di laut selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara.
Perhitungan kerugian dapat dilihat dari kuota minimal bila Indonesia menjadi
cooperating non-member CCSBT. Berdasarkan Annual Meeting 2006, pada
posisi Indonesia sebagai cooperating non-member, kuota penangkapan SBT
Indonesia yang diberikan sebesar 750 ton per tahun. Jika diasumsikan hasil
tangkap SBT berkualitas sashimi dengan pasar ekspor tujuan Jepang, maka harga
Gambar 3. Peta Wilayah Kewenangan 13 RFMO Dunia (Bird Life International, 2008)
produk SBT Indonesia berkisar pada US$50,00 per kg. Kerugian atas sanksi
embargo ekspor SBT Indonesia tiap tahun diperkirakan dapat mencapai US$37,5
juta atau setara dengan Rp345 milyar per tahunnya. Perhitungan kerugian ini
akan meningkat bila potential lost lainnya ikut dihitung, seperti lapangan kerja dan kegiatan-kegiatan ekonomi yang ikut mendukung industri penangkapan SBT.
Langkah-langkah pembenahan perlu diupayakan agar syarat-syarat
keanggotaan dapat dipenuhi, salah satunya seperti perbaikan data-data statistik
produksi SBT yang selama ini cenderung bias. Disamping
pembenahan-pembenahan seperti itu, Indonesia perlu menyusun perencanaan jangka panjang,
mengingat peningkatan status keanggotaan di CCSBT hanya berdampak jangka
pendek, yakni lepasnya sanksi embargo ekspor atas produk SBT Indonesia.
Untuk itu, peningkatan status keanggotaan ini harus diikuti pula dengan
perencanaan jangka panjang, yakni perencanaan pemanfaatan SBT yang dapat
“menjamin aktivitas penangkapan tidak akan mengurangi keefektifan
langkah-langkah pengelolaan, konservasi dan semua keputusan yang tertuang dalam
konvensi”. Artinya, keanggotaan dalam CCSBT harus mampu menjamin
keberlangsungan sumberdaya SBT sekaligus menjamin keberlangsungan industri
penangkapan SBT nasional16.
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka
tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah :
1. Mengkaji alokasi optimal pemanfaatan sumberdaya perikanan Southern
Bluefin Tuna di Samudera Hindia sepanjang laut selatan Jawa dan Bali.
2. Menyusun opsi kebijakan dalam mengoptimalkan tingkat pemanfaatan
sumberdaya perikanan Southern Bluefin Tuna di Samudera Hindia
sepanjang laut selatan Jawa dan Bali.
16 Disamping itu, keanggotaan di CCSBT akan dibebani iuran sebesar Aus$ 130 ribu atau setara
dengan Rp910 juta(Asumsi Aus$1 = Rp7.000,-), yang tentunya ditanggung oleh Indonesia dari pajak rakyat.
3. Menganalisis langkah-langkah kebijakan Indonesia pasca keanggotaan di
CCSBT dalam rangka meningkatkan kemampuan negosiasi kepentingan
sebagai negara yang menjadi wilayah pemijahan Southern Bluefin Tuna.
1.4 Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini adalah menjadi bahan referensi ilmiah bagi
penyusunan kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan Southern Bluefin Tuna
di Samudera Indonesia, khususnya di laut selatan Jawa dan Bali, dalam rangka
meningkatkan kemampuan negosiasi kepentingan industri perikanan SBT
BAB II
RUANG LINGKUP PENELITIAN
Southern Bluefin Tuna (SBT) telah menjadi isu hangat pada pertengahan Agustus 2006 yang dilatarbelakangi oleh persaingan antara Australia dengan
Jepang dalam kegiatan penangkapan SBT di Samudera Hindia. Pokok persoalan
yang menjadi isu utama perseteruan kedua negara produsen utama SBT dunia itu
adalah isu illegal fishing. Isu ini diawali dengan tuduhan kecurangan Jepang
dalam kegiatan penangkapan SBT oleh pihak Australia17.
Menurut Australia, keengganan pihak Jepang untuk memasang paper trail
pada hasil tangkapan SBT dan memasang sistem pemantau indepeden pada kapal
perikanannya telah menghasilkan tangkapan illegal sekitar 12.000 - 20.000 ton
selama 20 tahun terakhir. Nilai tangkapan yang diperoleh Jepang atas kegiatan
yang dituduh illegal itu, mencapai 2 milliar dolar Australia atau setara US$1,53
miliar dalam kurung waktu yang sama. Angka ini mungkin lebih besar lagi karena
Australia menduga bahwa ribuan hingga puluhan ribu ton ikan tidak melewati
sistem pelelangan yang berlaku di Jepang, melainkan SBT langsung dijual pada
perusahaan pengumpul (retailer).
Tuduhan Australia ditanggapi Jepang dengan mendorong pembahasan isu
tersebut dilakukan dalam pertemuan CCSBT bulan Oktober 2006. Menurut data
CCSBT, kuota tangkapan Jepang untuk tahun 2006 sebesar 6.065 ton dan di sisi
lain Jepang pun telah mengakui bahwa pada periode 2006 jumlah tangkapan
negara tersebut melebihi kuota18 sebesar 25%. Laporan tersebut merupakan upaya
Jepang untuk menampik tuduhan pihak Australia yang secara tidak langsung
menuding bahwa kegiatan industri penangkapan SBT negara tersebut sebagai
penyebab utama penurunan stok SBT dunia. Apalagi kemudian, menurut Suadi
(2007), Deputi Direktur Far Seas Fisheries Division, Fisheries Agency, seperti
dikutip the Age mengklaim bahwa perikanan purse seine Australia telah
17
menangkap juvenil SBT dalam jumlah besar dan secara hipokrit menjualnya ke
pasar Jepang. Hal ini memunculkan praduga bahwa isu yang dilontarkan pihak
Australia dilakukan dalam rangka blow up kepentingan para nelayan Australia dan
kelompok lingkungan hidup. Industri perikanan SBT Australia sendiri
memperoleh kuota 5.000 ton per tahun, sehingga meraup sedikitnya 40 juta dolar
Australia per tahun. Tentunya keuntungan tersebut bukanlah keuntungan yang
sedikit buat nelayan dan industri perikanan Australia secara umum.
Isu illegal fishing menjadi pokok persoalan dalam pengelolaan dan penangkapan SBT di Samudera Hindia karena beberapa sebab, yakni:
1. SBT adalah spesies yang telah dikategorikan sebagai jenis yang terancam
(punah) oleh komisi konservasi dunia atau International Union for
Conservation of Natural Resources (IUCN; Red List of Threatened Species).
2. Kegiatan perburuan SBT tetap terus dilakukan mengingat spesies ikan ini
termasuk ikan yang bernilai ekonomi yang sangat tinggi.
3. Pihak-pihak yang menjadi aktor utama dalam isu ini adalah Australia dan
Jepang yang dikenal sebagai produsen dan konsumen terbesar jenis ikan
ini.
Gambaran konflik kepentingan antara Australia dan Jepang dalam
memperebutkan sumberdaya SBT di Samudera Hindia, tidak mustahil akan
berimbas pada negara-negara produsen SBT lainnya. Hal ini dapat dilihat dari
perubahan kuota penangkapan SBT pada periode 2003-2006 dengan periode
2007-2009. Akibat tuduhan praktek penangkapan ilegal, Jepang mengalami
penurunan kuota penangkapan SBT dari 6.065 ton menjadi 3.000 ton.
Negara-negara lain seperti Filipina, Afrika Selatan dan Indonesia juga mengalami
penurunan kuota seperti pada Tabel 1. Perubahan kuota tersebut tidak lepas dari
perebutan kepentingan antar negara pelaku utama penangkapan, karena setiap
negara berupaya untuk mempertahankan dan memperbesar kuota yang
Tabel 1. Perubahan Kuota Penangkapan SBT di Samudera Hindia
No Negara Kuota
2003-2006 2007-2009
1 Jepang 6,065 3,000
2 Australia 5,265 5,265
3 Taiwan 1,140 1,140
4 Korea Selatan 1,140 1,140
5 Selandia Baru 420 420
6 Filipina 50 45
7 Afrika Selatan 45 45
8 EC - 10
9 Indonesia 800 750
Sumber : CCSBT, 2007
Indonesia dengan status cooperating non-member saat itu, tentu tidak
dapat berbuat banyak untuk mempengaruhi kebijakan kuota CCSBT. Apalagi
kemudian negara-negara anggota CCSBT mengancam untuk memberikan sanksi
embargo pada ekspor SBT Indonesia yang dapat menghentikan ekspor ndonesia
secara total. Untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan yang akan terjadi di
masa depan, Indonesia perlu mempersiapkan diri menghadapi imbas berulangnya
persaingan negara-negara pelaku utama di CCSBT. Ada dua hal yang akan
menjadi reaksi Indonesia atas kasus konflik pemanfaatan SBT di Samudera
Hindia :
1. Meningkatkan bargaining position Indonesia agar memiliki kekuatan
dalam mempengaruhi keputusan-keputusan di CCSBT, sehingga Indonesia
perlu meningkatkan status keanggotaanya di lembaga tersebut;
2. Menerima keputusan apa pun yang dihasilkan CCSBT, yang berarti
Indonesia tidak perlu ikut terlibat dalam menentukan keputusan-keputusan
penting pengelolaan SBT, sehingga peningkatan status keanggotaan bukan
merupakan prioritas.
Berdasarkan pilihan tersebut, perlu disusun pendugaan sementara bahwa
meningkatkan bargaining position menjadi member CCSBT merupakan pilihan
terbaik, bila Indonesia ingin meningkatkan kemampuan industri SBT nasional.
Asumsi-asumsi yang melatarbelakangi pendugaan tersebut adalah :
1. Menjadi member membuka kembali peluang ekspor SBT ke pasar
2. Keanggotaan penuh akan mengikat Indonesia pada aturan-aturan konvensi
CCSBT untuk menjaga keberlanjutan sumberdaya SBT dan
keberlangsungan industrinya, sehingga mendorong Indonesia menciptakan
regulasi yang mampu menjaga keseimbangan antara kepentingan
konservasi di satu sisi dengan kepentingan ekonomi di sisi lainnya;
3. Keseimbangan antara kebutuhan konservasi dan kepentingan ekonomi
merupakan titik optimal dalam pengelolaan dan pemanfaatan SBT, dan
diharapkan dapat menjadi titik tolak regulasi, sehingga Indonesia memiliki
ukuran yang jelas atas jumlah kapal yang beroperasi dan hasil tangkap
yang diperbolehkan sebagai dasar penentuan kuota bagi Indonesia.
Ruang lingkup penelitian Optimalisasi dan Strategi Pemanfaatan Southern
Bluefin Tuna (SBT) di Samudera Hindia –Selatan Indonesia dapat digambarkan dalam bentuk bagan alir ruang lingkup penelitian pada Gambar 4.
Potensi
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Gambaran Umum Southern Bluefin Tuna
Southern Bleufin Tuna (SBT) atau tuna sirip biru adalah ikan yang memiliki habitat di perairan laut lepas dan sekitar pesisir, tetapi selalu
menghindari muara-muara sungai yang berkadar garam rendah, serta bermigrasi
disekitar laut Pasifik dan wilayah perairan air hangat laut Mediteranian. SBT
termasuk ikan buas karena memangsa ikan kecil, cumi-cumi, dan udang. Nama
lain SBT adalah red tuna Mediteranian, masuk dalam golongan famili
Scombridae, bergenus Thunnus, dengan nama ilmiah Thunnus thynnus (DKP, 2007). Selain spesies tersebut, beberapa spesies lain yang berasal dari famili
Scombridae adalah longfin tuna (Thunnus alalunga) dan yellowfin tuna (Thunnus albacares).
Literatur yang dikeluarkan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan
(DKP) pada 2007 diuraikan bahwa; nama red tuna berasal dari karakteristik warna
daging, sedangkan nama bluefin tuna dberi karena sirip belakangnya nampak
berwarna biru. Ciri fisik biologi SBT seperti pada Gambar 5, ditandai dengan
badan memanjang seperti torpedo dan berpenampang bulat serta tergolong tuna
besar. Tapisan insang pada busur insang pertama 19-26 dengan kepala dan mata
besar. Sirip punggung pertama berjari-jari 12-13, dan 14 jari-jari lemah pada sirip
punggung kedua, diikuti 9 jari-jari sirip tambahan. Sirip dubur berjari-jari lemah
14, diikuti 18 jari-jari sirip tambahan. Terdapat 2 lidah/cuping diantara sirip
perutnya. Sisik kecil menutupi badannya, sisik pada korselet agak besar, tetapi
tidak selalu nyata. Satu lunas kaut pada batang ekor, diapit oleh dua lunas kecil
pada ujung belakangnya.
Bluefin tuna merupakan salah satu bonefish terbesar yang ada, karena dapat memiliki ukuran mencapai panjang tiga meter dengan beratnya mencapai
hampir 700 kg. Didukung dengan bentuk fisik ikan yang berbentuk torpedo atau
kerucut dan ramping, serta struktur otot yang kuat, ikan ini memiliki kemampuan
luar biasa dalam bermigrasi antar samudera. Umumnya SBT dapat ditandai
dengan warna biru kehijauan pada bagian atas dan putih perak pada bagian bawah.
Terdapat totol-totol warna putih pada bagian perutnya; kekuningan pada ujung
sirip punggung sirip kedua dan dubur, serta jari-jari sirip tambahan.
Bluefin tuna -- pada fase tertentu -- merupakan ikan yang suka hidup dalam kawanan kecil bersama-sama dengan binatang lain yang seukuran. Pada
periode reproduksi sekitar bulan April-Mei, kawanan menjadi lebih banyak dan
secara kompak mengambil keuntungan dari arus yang mengalir untuk bermigrasi.
Fase reproduksi dimulai ketika SBT mencapai wilayah sekitar laut selatan Jawa,
Bali dan Nusa Tenggara selama musim panas bulan Juli dan Agustus. Kawanan
mulai berputar-putar membentuk pusaran air yang pada gilirannya meletakkan
gametes (produk seksual) di tengah-tengah pusaran, seperti pada Gambar 6. Didorong oleh gaya sentripetal yang dihasilkan dari gerakan perputaran tersebut,
maka terjadi pertemuan dan peleburan gamet. SBT betina meletakkan puluhan
juta telur; berbentuk bulat dan berukuran sekitar 1 mm serta dilengkapi dengan
tetesan berminyak agar telur tetap mengapung.
Tabel 2. Estimasi Potensi, Produksi, dan Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Tuna Berdasarkan Jenis dan Wilayah Penangkapan Pada Tahun 1997
No. Wilayah
Sumber: Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia, 1998 (DJPT – DKP 2006).
Wilayah laut di selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara pada Tabel 2
ternyata memiliki arti strategis dalam perikanan tuna dunia. Arti strategis itu
terkait dengan habitat beruaya atau memijah SBT yang berlangsung di wilayah
laut tersebut. Kondisi ini membawa konsekuensi-konsekuensi dalam pengelolaan
sumberdaya ikan SBT, yakni Indonesia dituntut agar dapat ikut serta dalam
konvensi CCSBT dengan menjadi anggota penuh organisasi pengelolaan
sumberdaya ikan regional.
Keanggotaan Indonesia dalam CCSBT penting artinya, khususnya bagi
negara pelaku utama penangkapan SBT. Sebagai negara yang memiliki wilayah
laut tempat beruaya SBT, kebijakan-kebijakan Indonesia dalam pengelolaan dan
pemanfaatan SBT dapat berdampak langsung pada kelangsungan sumberdaya dan
kegiatan industri perikanan tuna SBT dunia. Indonesia diharapkan dapat terikat
dengan konvensi CCSBT, sehingga setiap regulasi perikanan tangkap yang
dikeluarkan oleh otoritas perikanan Indonesia, khususnya pengelolaan dan
pemanfaatan SBT di Samudera Hindia, diharapkan tetap berada pada koridor
untuk mendukung tujuan utama konvensi CCSBT. Tujuan tersebut adalah
“menjamin aktivitas penangkapan tidak akan mengurangi keefektifan
langkah-langkah pengelolaan, konservasi dan semua keputusan yang tertuang dalam
konvensi”. Salah satu keputusan konvensi yang terpenting adalah pengaturan
Jepang dan Australia adalah negara anggota CCSBT yang memiliki kuota
penangkapan SBT terbesar dan menurut data FAO dan CCSBT tahun 2005,
jumlah tangkapan kedua dunia mendominasi jumlah tangkapan SBT dunia dan
telah berlangsung sejak tahun 1952. Indonesia sebagai negara tempat beruaya
SBT, kegiatan industri penangkapan SBT mulai tercatat dalam data CCSBT pada
tahun 1976. Wilayah kegiatan penangkapan industri SBT Indonesia, menurut
laporan FAO dan CCSBT sekitar Area 57 di Samudera Hindia seperti pada
Gambar 7. Area 57 dikategorikan sebagai daerah beruaya SBT dan kegiatan
penangkapan Indonesia pada area tersebut menggunakan alat tangkap tuna long
line dengan sebaran kapal tuna long line dapat dilihat pada Lampiran 1.
Berdasarkan data FAO dan CCSBT, negara-negara yang turut menangkap
SBT di Area 57 adalah Australia, Indonesia, Jepang, Korea Selatan, Filipina dan
Taiwan dengan komposisi produksi dan alat tangkap seperti pada Tabel 3.
Tabel 3. Produksi SBT Negara-Negara di Area Penangkapan 57 Samudera Hindia
Negara Alat
tangkap
Produksi (Ton)
2000 2001 2002 2003 2004
Australia Longline 125 86 28 35 228
Purse seine 5.132 4.767 4.683 5.792 4.834
Sub Total Australia 5.257 4.853 4.711 5.827 5.062
Indonesia Longline 1.203 1.632 1.691 564 677 Japan Longline 6.000 6.674 6.192 5.762 5.846 Korea, Republic of Longline 1.135 845 746 254 131
New Zealand
Longline 379 358 450 389 391
Other gears 0 0 0 0 1
Troll line 1 0 1 0 1
Sub Total New Zealand 380 358 451 389 393
Philippines Longline 17 43 82 68 80
Taiwan Longline 1.448 1.580 1.137 1.128 1.298
Sumber : Diolah dari data FAO dan CCSBT (2006)
Sepanjang sejarah keterlibatan Indonesia dalam industri penangkapan SBT
dari 1976-2004, produksi SBT Indonesia cenderung berfluktuasi seperti terlihat
pada Gambar 8. Jumlah produksi tertinggi pada tahun 1997 yang mencapai
13,74% dari total produksi CCSBT dunia. Pasca 1997, tingkat produksi SBT
Indonesia mengalami penurunan dan tidak pernah mendekati angka 1997.
Pada tahun 2005 jumlah hasil tangkap cenderung membaik, yakni
mencapai 11,46% dari total hasil tangkap dunia. Kenaikkan produksi 2005
penting artinya bagi industri SBT Indonesia, namun kenaikkan tersebut ternyata
melampaui kuota yang ditetapkan oleh CCSBT. Seiring dengan kenaikan
produksi ini pada tahun 2005, Indonesia mendapat sanksi embargo ekspor
komoditi SBT ke negara-negara anggota CCSBT. Sanksi tersebut merupakan
konsekuensi pelanggaran kuota dan keengganan Indonesia menjadi anggota penuh
Gambar 10. Grafik Perbandingan Produksi SBT (Ton) Indonesia Tahun 2005 dengan Negara Produsen Lain (diolah dari CCSBT, 2006)
Cara kerja alat ini secara umum adalah pancing diturunkan ke perairan,
lalu mesin kapal dimatikan. sehingga kapal dan alat tangkap akan hanyut
mengikuti arah arus (drifting). Drifting berlangsung selama kurang lebih empat jam dan selanjutnya mata pancing diangkat kembali ke atas kapal. Untuk
mendukung kefektifan alat ini, umpan longline harus bersifat atraktif, misalnya
sisik ikan mengkilat, tahan di dalam air, dan tulang punggung kuat. Umpan dalam
pengoperasian alat tangkap ini berfungsi sebagai alat pemikat ikan yang umumnya
ikan pelagis kecil, seperti lemuru (Sardinella sp.), kembung (Rastrelliger sp.), dan bandeng (Chanos chanos).
3.3 Perkembangan Perdagangan Southern Bluefin Tuna
Jepang merupakan negara produsen sekaligus importir Southern Bluefin
Tuna (SBT) terbesar dunia. Jumlah produksi SBT Jepang mencapai sekitar 7.327
ton pada tahun 2005 atau sekitar 47% produksi SBT dunia. Negara kedua yang
memiliki produksi terbesar adalah Australia dengan jumlah produksi mencapai
sekitar 5.244 ton pada tahun 2005. Indonesia pada tahun yang sama berada pada
urutan ketiga produsen tuna dengan jumlah produksi mencapai 1.799 ton atau
12% produk SBT dunia, seperti terlihat pada Gambar 10.
Australia 33,41%
Japan 46,68% New
Zealand 1,68% Korea*
0,24% Taiwan
6,00% Philippines
0,34% Indonesia 11,46% South
Africa 0,15%
Misc. 0,00% Other
Gambar 11. Grafik Kegiatan Impor SBT (kg) Jepang 2001 - 2005 (diolah dari data CCSBT, 2006)
Disisi lain, Jepang merupakan negara pengimpor SBT terbesar dunia
seperti pada Gambar 11 dengan jumlah pada 2005 mencapai sekitar 10.320 ton.
Impor tersebut bersumber dari ekspor beberapa negara, khususnya Australia dan
Indonesia yang merupakan pengekspor terbesar SBT ke Jepang. Hal ini
menunjukkan bahwa kebutuhan Jepang untuk komoditi CCSBT sangat tinggi,
sehingga kebutuhan tersebut tidak hanya dipenuhi melalui produksi industri
perikanan SBT Jepang saja, tetapi juga dipenuhi melalui kegiatan impor SBT dari
negara lain. Hingga saat ini, Jepang merupakan pangsa pasar SBT terbesar dunia.
Disamping Jepang, sepanjang 2002 – 2005 tercatat beberapa negara
pengimpor SBT, seperti Korea Selatan, Amerika Serikat, Filipina, Hongkong,
Singapura, Belgia, Cina, Italia, dan beberapa negara timur tengah. Berdasarkan
catatan ekspor-impor SBT oleh CCSBT, jumlah total volume impor negara-negara
tersebut ternyata masih di bawah jumlah impor SBT Jepang. Hal ini
menunjukkan bahwa daya serap pasar SBT Jepang sangat tinggi, sehingga
sebagian besar produksi SBT dunia dipasarkan ke Jepang. Perkembangan impor
SBT Jepang dari 2002 – 2005 seperti tampak pada Tabel 4. 7.980.269
1.399.699
9.268.959
2.436.349
7.719.495
1.189.924
9.130.375
10.241 22.662 29.591 31.695 48.051 77.450 92.301
-1.000.000 2.000.000 3.000.000 4.000.000 5.000.000 6.000.000 7.000.000 8.000.000 9.000.000 10.000.000
2002 Jul-Dec 2003 Jan-Jun 2003 Jul-Dec 2004 Jan-Jun 2004 Jul-Dec 2005 Jan-Jun 2005 Jul-Dec
Jepang
Gambar 12. Grafik Perbandingan Ekspor dan Produksi (kg) SBT Indonesia 2002 - 2005 (diolah dari data CCSBT, 2006)
Tabel 4. Negara Pengimpor dan Jumlah Impor Periode 2002 -2005
Negara
Sumber : Diolah dari data CCSBT (2007)
Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor SBT dunia disamping
Australia, Taiwan, Selandia Baru dan beberapa negara lainnya. Perkembangan
ekspor SBT Indonesia menunjukkan bahwa Jepang masih merupakan tujuan
utama ekspor SBT Indonesia. Sepanjang 2001 – 2005 jumlah ekspor tertinggi
terjadi pada tahun 2002 yang mencapai sekitar 217,21 ton SBT, seperti tampak
pada Gambar 12. Bila angka produksi atau jumlah tangkap Indonesia
dibandingkan dengan jumlah ekspornya, khususnya ekspor ke Jepang sebagai
pangsa pasar utama, maka terlihat bahwa jumlah ekspor Indonesia masih di bawah
jumlah produksinya. Kemungkinan sebagian besar produksi SBT Indonesia
masih ditujukan untuk konsumsi dalam negeri atau kegiatan tersebut tidak
Gambar 13. Grafik Ekspor SBT (kg) Negara-negara Eksportir Utama ke Jepang Periode 2002 - 2005 (diolah dari data CCSBT, 2006)
Dibandingkan dengan beberapa negara eksportir lainnya seperti Australia,
Taiwan dan Selandia baru, ekspor SBT Indonesia ke Jepang masih sangat rendah.
Gambar 13 menunjukkan, sepanjang tahun 2002 – 2005, Australia adalah negara
yang mendominasi pasar utama pengekspor SBT dengan jumlah ekspor tertinggi
mencapai 9.046 ton pada tahun 2005. Negara-negara lain yang memanfaatkan
pasar SBT Jepang seperti Taiwan dan Selandia Baru belum mampu menyaingi
kemampuan ekspor SBT Australia. Jumlah ekspor tertinggi Taiwan dan Selandia
Baru sepanjang 2002-2005 hanya mencapai 1.093 ton dan 344,6 ton yang terjadi
pada tahun 2004.
3.4 Teori Ekonomi Sumberdaya Perikanan
Pengelolaan sumberdaya perikanan pada mulanya dimulai dengan
pendekatan faktor biologi yang umum dikenal dengan pendekatan maximum
sustainable yield (MSY). Menurut Fauzi (2004) inti pendekatan ini mengasumsikan bahwa setiap spesies ikan memiliki kemampuan untuk
berproduksi yang melebihi kapasitas produksi (surplus), sehingga bila surplus
tersebut dipanen (tidak lebih atau tidak kurang), maka stok ikan akan mampu
bertahan secara berkesinambungan (sustainable).
Beberapa dekade, pendekatan MSY telah menjadi arus utama dalam
pengelolaan sumberdaya ikan di banyak negara, meski berbagai kritik
menunjukkan bahwa pendekatan MSY mengandung banyak kelemahan.
Kelemahan mendasar pendekatan MSY diantaranya tidak mempertimbangkan
aspek sosial ekonomi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Menurut Fauzi
(2004) kritik pendekatan terhadap MSY dilontarkan lebih jauh oleh Concrad dan
Clark (1987) dengan menyatakan pendekatan MSY:
1. Bersifat tidak stabil, karena perkiraan stok yang meleset dapat mengarah
pada pengurangan stok (stock depletion);
2. Konsep didasarkan pada pendekatan steady state (keseimbangan) semata,
sehingga tidak berlaku pada kondisi non-steady state;
3. Mengabaikan perhitungan nilai ekonomi terhadap stok ikan yang tidak
dipanen (imputed value);
4. Mengabaikan aspek interdepensi dari sumberdaya, dan
5. Sulit diterapkan pada kondisi perikanan yang memiliki cirri beragam jenis
(multispecies).
Penyempurnaan atas berbagai kelemahan pendekatan pengelolaan
sumberdaya perikanan telah mulai dirintis dengan mendisain pengelolaan yang
bertitiktolak pada pendekatan ekonomi. Salah satu pendekatan yang kemudian
dikembangkan adalah pendekatan bioekonomi, yakni suatu pendekatan yang lahir
dari persoalan yang paling mendasar dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber
daya perikanan. Persoalan mendasar tersebut adalah mencari titik keseimbangan
antara pemanfaatan ekonomi sumber daya ikan dengan keharusan untuk menjaga
kelestariannya. Menjembatani kedua kepentingan tersebut, yakni kepentingan
ekonomi dengan kepentingan konservasi (biologi) telah melahirkan pendekatan
bioekonomi, yakni suatu pendekatan yang diperkenalkan pertama kali oleh Scout
Gordon untuk menganalisis pengelolaan sumber daya ikan yang optimal.
Pendekatan bioekonomi diperlukan untuk menutupi kelemahan-kelemahan
konsep MSY yang diperkenalkan oleh Schaefer pada 1954. Konsep MSY
bertitiktolak pada pendekatan biologi semata, yakni tingkat panen sumber daya
ikan pada batas MSY yang akan menjamin kelestarian sumber daya tersebut.
Fauzi (2005), pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana biaya
pemanenan ikan, bagaimana pertimbangan sosial ekonomi akibat pengelolaan
sumber daya ikan serta bagaimana dengan nilai ekonomi terhadap sumber daya
yang tidak dipanen atau intrinsic value (dibiarkan di laut).
Kekurangan-kekurangan pendekatan biologi ini melahirkan konsep
bioekonomi yang menempatkan aspek sosial dan ekonomi sebagai pertimbangan
yang krusial dalam pengelolaan sumber daya ikan. Hal ini yang membedakan
antara pendekatan biologi dengan bioekonomi. Menurut Fauzi (2005) pendekatan
biologi bertujuan menciptakan pengelolaan untuk pertumbuhan biologi,
sedangkan pendekatan bioekonomi bertujuan mengelola sumber daya ikan secara
aspek ekonomi dengan kendala aspek-aspek biologi.
Pendekatan biologi dalam Konsep Schaefer menurut Anderson (1984)
beranjak pada asumsi bahwa pertumbuhan biomass ikan mengikuti fungsi
populasi. Pertumbuhan biomass tersebut dapat digambarkan melalui Kurva
Analisis Keseimbangan Populasi (Population Equilibrium Analysis) yang
ditunjukkan dengan garis x sebagai garis jumlah populasi dan garis y sebagai garis
pertumbuhan per periode, seperti pada Gambar 14.
P2
Gambar 14. Population Equilibrium Analysis (Anderson, 1984)
Gambar 14a menunjukkan bahwa pada tingkat populasi ikan sebesar P3
pertumbuhan biomass berada pada F3. Pada tingkat keseimbangan tersebut,
pertumbuhan biomass masih terus berlangsung atau mengalami pertumbuhan
positif karena faktor mortalitas secara alamiah lebih kecil dari pertumbuhannya.
Pada tingkat P* pertumbuhan telah mencapai tingkat natural equilibrium
population atau tidak adanya pertumbuhan alamiah dari biomass. Kondisi ini biasanya ditunjukkan dengan laju pertumbuhan sama dengan nol dan tingkat
populasi sesuai dengan carrying capacity.
Gambar 14b menunjukkan masukkan aktivitas manusia dalam bentuk
penangkapan (effort) terhadap biomass mengakibatkan penurunan jumlah
biomass. Pada tingkat effort sebesar E1 maka jumlah populasi biomas mengalami
penurunan menjadi P1. Diasumsikan dalam kurva tersebut, setiap penambahan 1
unit E akan menurunkan jumlah populasi P sebesar satu satuan. Hubungan antara
populasi biomass (P) dengan kegiatan penangkapan (E) menurut Anderson (1984)
pada Gambar 14 sama dengan f0. Setiap kegiatan manusia dalam penangkapan
sebesar E1 unit maka catch menjadi f0 dan populasi biomass berada pada titik P1 dan jumlah tangkapan berada pada F1.
Hubungan antara jumlah tangkap (F) dengan effort (E) sebagai akibat
introduksi manusia melalui penangkapan dalam pertumbuhan biomass, dijelaskan
Anderson (1984) seperti pada Gambar 15.
Maximum
Gambar 15. Kurva Sustainable Yield (Anderson, 1984)
a)
Garis total sustainable yield merupakan garis pertumbuhan populasi yang
menunjukkan daya dukung sumberdaya perikanan. Pada tingkat effort sebesar E1
pada garis tersebut, jumlah tangkap sebesar F1. Kenaikkan jumlah E dari E1 ke E2
akan menyebabkan kenaikkan jumlah F dari F1 ke F2. Kenaikkan tersebut diikuti
dengan kenaikkan sustainable yield, hingga penambahan effort yang terus
berlangsung akan mengurangi pertumbuhan jumlah populasi biomass (P).
Kondisi ini ditunjukkan dengan kenaikkan effort ke E3 dan catch ke F3
menyebabkan penurunan sustainable yield. Penurunan tersebut seperti pada
Gambar 15b, garis averagesustainable yield dan marginal sustainable yield yang
terus menurun. Titik marginal sustainable yield sama dengan nol pada Gambar
15 adalah titik maximum sustainable yield (MSY).
Konsep biologi tersebut, menurut Fauzi (2004), kemudian dikembangkan
oleh Gordon dengan menambah faktor ekonomi seperti harga dan biaya19. Faktor
tersebut ditambah dengan cara mengalikan harga dengan produksi lestari, maka
akan diperoleh kurva penerimaan (TR = ph) dan mengalikan biaya persatuan input
dengan upaya (effort), sehingga diperoleh kurva total biaya (TC=cE) yang linier terhadap upaya. Penggabungan fungsi penerimaan dan fungsi biaya tersebut akan
membentuk kurva Model Gordon-Schaefer.
Kurva Model Gordon-Schaefer menurut Anderson menunjukkan kondisi
open akses dan maksimum ekonomi yield dalam industri perikanan tangkap.
Kondisi open akses dan maksimum ekonomi yield ditunjukkan pada Gambar 16.
Keuntungan maksimum secara ekonomi (maximum economic yield) terjadi pada
titik E1, yakni ketika penerimaan total (revenue) penangkapan ikan lebih tinggi dari biaya total. Jika kondisi keuntungan maksimal ini dibiarkan tanpa regulasi
atau kendali (open access), maka mendorong bertambahnya pelaku industri
perikanan atau pelaku tersebut memperbesar kapasitas produksinya melalui
penambahan jumlah effort.
19 Asumsi yang digunakan untuk menyusun model Gordon-Schaefer (Fauzi, 2004) adalah : a. Harga per satuan output, (Rp/kg) diasumsikan konstan atau kurva permintaan diasumsikan
elastik sempurna
b. Biaya per satuan upaya (c) dianggap konstan c. Spesies sumberdaya ikan bersifat tunggal d. Struktur pasar bersifat kompetitif
Penambahan jumlah effort akan menggeser E hingga pada titik
keseimbangan open akses di E3. Keseimbangan open access akan terjadi jika
seluruh rente ekonomi terkuras habis (driven to zero), sehingga tidak ada lagi
insentif untuk entry maupun exit, dan tidak ada perubahan pada tingkat upaya.
Kondisi ini identik dengan ketidakadaan hak milik (property rights) pada
sumberdaya atau lebih tepat adalah ketidakadaan hak kepemilikan yang dikuatkan
secara hukum (enforceable).
Pergeseran E pada titik E2 akibat bertambahnya pelaku atau kapasitas
industri menghasilkan tingkat produksi yang maksimal. Titik ini disebut
maximum sustainable yield (MSY), yakni suatu kondisi yang menghasilkan tingkat produksi yang tinggi dan lestari secara sumberdaya. Meski secara
produksi sangat tinggi dan secara sumberdaya lestari, namun total cost yang
dibutuhkan untuk mengeksploitasi sumberdaya tersebut lebih besar dibandingkan
kondisi MEY. Oleh sebab itu MEY merupakan produksi maksimum secara
ekonomi dan merupakan tingkat upaya optimal secara sosial (socially optimum).
Sudut pandang ilmu ekonomi, keseimbangan open access menimbulkan
mis-allocation sumberdaya, karena kelebihan faktor produksi (tenaga kerja dan modal) yang sebenarnya dapat dialokasikan untuk kegiatan produktif ekonomi
Total Cost
Maximum Profit
ARC
MRC
E2
E1
- $
$ E1 E2 E3 E/T
$
E/T
Gambar 16. Open Access and MaximumEconomic Yield (Anderson, 1984)
a)
b)
E3
MC - ARC
lainnya. Hal ini merupakan inti dari prediksi Gondon, bahwa perikanan yang
open access akan menimbulkan kondisi economic overfishing. Disisi lain, tingkat
upaya pada titik keseimbangan terlihat lebih conservative minded (lebih
bersahabat dengan lingkungan)20 dibandingkan dengan effort (Hannesson, 1993). Untuk mengetahui dampak ekonomi terhadap kondisi MEY maka
dibutuhan analisis dampak ekonomi, yakni metodologi untuk menentukan sejauh
mana perubahan-perubahan dalam peraturan, kebijakan, ataupun adanya
penemuan teknologi yang baru, atau pengaruh perubahan pendapatan regional dan
aktivitas ekonomi lainnya, dalam perubahan tingkat pendapatan, pengeluaran dan
pekerjaan.
Langkah yang diperlukan untuk melakukan analisis dampak ekonomi
terhadap kondisi MEY adalah menentukan nilai ekonomi dari suatu aktivitas
perekonomian. Pengukuran-pengukuran yang dilakukan atas nilai ekonomi
tersebut didasarkan pada aktivitas-aktivitas ekonomi. Pengukuran ini tidak dapat
dilakukan berdasarkan nilai sosial ataupun hal-hal lain yang diangap bernilai bagi
kehidupan seseorang Teknik untuk mengukur aktivitas ekonomi atau pasar
tersebut secara umum disebut sebagai analisis dampak ekonomi.
Bila suatu kebijakan baru ditetapkan untuk suatu aktivitas ekonomi di
wilayah tertentu. analisis dapak ekonomi akan mengukur dampak penetapan
kebijakan tersebut pada rentetan dampak ekonomi. Asumsinya penetapan suatu
kebijakan akan mendorong tersedianya lapangan kerja, pembelian atas
produk-produk lokal, tersedianya layanan transportasi atau perkembangnya suatu aktivitas
perekonomian.
Disisi lain dampak yang dapat timbul dari suatu kebijakan ekonomi adalah
individu dan perusahaan akan meningkatkan daya beli mereka terhadap berbagai
produk baru yang berkembang. Hal ini berarti setiap kebijakan untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi akan menciptakan rentetan perubahan aktivitas ekonomi,
yakni perubahan tingkat pengeluaran (the new spending). Begitu pun bila suatu
kebijakan baru yang diterapkan dapat pula mendorong perubahan negatif dari
pendapatan individu atau masyarakat.
Variabel-variabel yang akan digunakan untuk mengukur dampak ekonomi
dalam perubahan regulasi penangkapan SBT di Samudera Hindia adalah
menentukan nilai Net Present Value (NPV) dan Internal Rate of Return (IRR).
Secara teori NPV menunjukkan tingkat diskonto pada tahun mendatang dan IRR
menunjukkan tingkat kemampuan pengembalian investasi kegiatan ekonomi.
Penentuan nilai NPV dan IRR didasarkan pada asumsi tiga kondisi atau
skenario yang mungkin menjadi pilihan kebijakan yang akan ditempuh Indonesia.
Ketiga skenario tersebut adalah (1) NVP dan IRR pada status observe atau
peninjau, dengan status bukan anggota; (2) NVP dan IRR pada status cooperating
non-member atau anggota tidak tetap dengan kewenangan terbatas; dan (3) NVP
dan IRR pada status member atau anggota penuh dengan kewenangan penuh.
Perhitungan NPV dan IRR pada ketiga skenario tersebut menjadi parameter untuk
menentukan status yang paling menguntungkan bagi pengembangan industri SBT
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Bentuk dan Metode Penelitian
Penelitian Optimalisasi dan Strategi Pemanfaatan Southern Bluefin Tuna
di Samudera Hindia –Selatan Indonesia diarahkan pada upaya untuk
mengungkapan suatu masalah atau keadaan sebagaimana adanya dan
mengungkapkan fakta-fakta yang ada, walaupun kadang-kadang diberikan
interprestasi atau analisis. Penelitian seperti ini dikategorikan sebagai penelitian
deskriptif, yakni penelitian yang difokuskan untuk memberikan gambaran
keadaan sebenarnya dari obyek yang diteliti (Tika, 2005).
Penelitian deskriptif membutuhkan pemanfaatan ataupun menciptakan
konsep-konsep ilmiah, sekaligus berfungsi dalam mengadakan suatu spesifikasi
mengenai gejala-gejala fisik maupun sosial yang dipersoalkan. Di samping itu,
penelitian seperti ini harus mampu merumuskan dengan tepat apa yang ingin
diteliti dan teknik penelitian yang akan digunakan dalam menganalisis suatu
fenomena.
Umumnya penelitian deskriptif melibatkan suatu kasus sebagai obyek
penelitiannya sehingga penelitian seperti ini disebut studi kasus. Pengertian studi
kasus sendiri merupakan metode penelitian yang intensif, terintegrasi dan
mendalam, sehingga setipa subyek yang diteliti terdiri dari unit atau satu kesatuan
unit yang dipandang sebagai kasus. Studi kasus umumnya digunakan dalam
rangka studi eksploratif, yakni studi untuk mengembangkan suatu hipotesis dan
bukan studi dalam rangka menguji hipotesis (Tika, 2005).
Tujuan digunakannya studi kasus adalah mengembangkan pengetahuan
yang mendalam mengenai obyek yang diteliti dan berarti studi kasus bersifat
penelitian eksploratif. Tujuan dari penelitian eksploratif adalah menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang telah dirumuskan terlebih dahulu atau
mengembangkan hipotesis untuk penelitian selanjutnya. Untuk itu, penelitian ini
perlu mencari hubungan antar gejala atau fenomena dalam rangka mengetahui
Hal ini berarti penelitian ini perlu memperluas dan mempertajam
dasar-dasar empiris mengenai hubungan di antara berbagai fenomena atau gejala-gejala
yang ada, sehingga benar-benar akan menghasilkan rumusan hipotesis-hipotesis
yang berarti bagi penelitian selanjutnya. Menurut Tika (2005) sifat utama
penelitian studi kasus adalah menghasilkan gambaran yang bersifat longitudinal,
yakni hasil pengumpulan dan analisis data dalam jangka waktu tertentu, sehingga
teknik yang akan digunakan dalam penelitian studi kasus adalah observasi
langsung.
4.2 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik
observasi, yakni teknik pengumpulan data dengan melakukan pengamatan dan
pencatatan secara sistematis terhadap gejala atau fenomena yang ada pada obyek
penelitian. Agar pendekatan observasi dapat lebih akurat dan dapat
menggambarkan fenomena lebih lengkap, maka observasi yang akan digunakan
adalah observasi langsung, yaitu observasi yang dilakukan terhadap obyek
ditempat kejadian atau tempat berlangsungnya peristiwa, sehingga observer
berada bersama obyek yang ditelitinya.
Cara melakukan observasi dalam penelitian ini adalah observasi cara
sistematis atau terstruktur. Menurut Tika (2005) observasi cara sistematis adalah
observasi yang dilakukan dengan terlebih dahulu menentukan secara sistematis
unsur-unsur utama yang akan diobservasi. Unsur-unsur tersebut perlu perlu
disesuaikan dengan tujuan penelitian atau hipotesis yang telah dibuat.
Hasil observasi akan menentukan data-data yang akan dikumpulkan dan
digunakan dalam analisis data. Data-data yang akan diobservasi adalah data
primer dan data sekunder. Data primer akan diperoleh langsung dari responden
atau obyek yang diteliti, atau ada hubungan dengan yang diteliti. Sedangkan data
sekunder bersumber dari laporan atau instansi di luar diri peneliti sendiri. Data
sekunder merupakan data yang telah dikumpulkan terlebih dahulu dari instansi
atau lembaga yang berkepentingan. Dalam penelitian ini, instansi atau lembaga
yang dimaksud diantaranya seperti CCSBT, FAO, Departemen Kelautan dan
4.3 Metode Analisis Data
4.3.1 Analisis Keseimbangan Bioekonomi
Berdasarkan konsepsi yang telah dibangun oleh Gordon-Schaefer, maka
optimalisasi pemanfaatan tuna sirip biru di Laut Selatan Indonesia dapat
ditentukan melalui keseimbangan bioekonomi. Terdapat tiga titik keseimbangan
yang diturunkan dari model Gordon-Schaefer, yakni keseimbangan MEY, MSY
dan open acces.
Secara matematika, kurva Schaefer menurut Moses (1999) mengikuti
persamaan matematika sebagai berikut:
Ye = af – fb2 ... (1) dan ... (2)
Ye adalah equilibrium yield, f adalah effort, a dan b adalah konstanta yang menunjukkan slope atau kemiringan (intercept) hasil regresi antara catch per unit effort (CPUE) terhadap effort. Jika persamaan (1) diturunkan terhadap effort akan menghasilkan persamaan:
f(MSY) = ... (3)
Subtitusi persamaan (3) ke persamaan (1) akan menghasilkan persamaan yang
menunjukkan tingkat produksi MSY yakni :
EMSY = ... (4) Penyempurnaan secara ekonomi Model Schaefer dilakukan oleh Gordon
dengan memasukkan unsur ekonomi dalam model tersebut dengan cara
mendefinisikan pengelolaan sumberdaya ikan harus memberikan manfaat secara
ekonomi dalam bentuk rente ekonomi (Fauzi dan Anna, 2005). Rente tersebut
merupakan selisih antara penerimaan yang diperoleh dari ekstrasi sumberdaya
ikan dengan ongkos atau biaya yang dikeluarkan.
Jika penerimaan didefinisikan sebagai TR = pEMSY dan biaya merupakan
TC = cf(MSY), dimana p adalah harga per satuan output dan c adalah biaya per satuan input, maka rente ekonomi adalah:
Kondisi maximum economic yield (MEY) atau kondisi pengelolaan sumberdaya yang maksimum secara ekonomi dan lestari secara sumberdaya
ditentukan dengan menurunkan persamaan (5) terhadap f(MSY). Turunan tersebut
menghasilkan persamaan tingkat input optimal sebagai berikut:
... (6)
Berdasarkan persamaan-persamaan tersebut, maka optimalisasi
pemanfaatan SBT di laut selatan Jawa, untuk menentukan keseimbnagan
bioekonomi akan mengikuti tahapan sebagai berikut:
1. Mengumpulkan data jumlah kapal sebagai input dan produksi SBT
Indonesia secara time series;
2. Mengumpulkan informasi tentang biaya-biaya produksi, seperti biaya
investasi kapal, biaya melaut per trip dan biaya-biaya operasional lainnya;
3. Mengumpulkan data-data yang terkait dengan harga SBT di pasar ikan
dunia, khususnya Jepang sebagai pangsa pasar utama;
4. Menentukan CPUE melalui pembagian jumlah produksi dengan jumlah
kapal atau produksi per satuan input;
5. Meregresi CPUE sebagai variabel Y dengan produksi sebagai varibel X;
6. Hasil regresi ini akan menentukan nilai α dan β;
7. Berdasarkan nilai α dan β tersebut, maka nilai MEY dapat diperoleh
sebagai nilai optimal (keseimbangan bioekonomi) pemanfaatan SBT oleh
industri perikanan Indoensia.
4.3.2 Analisis Dampak Ekonomi
Keseimbangan bioekonomi pada MEY merupakan nilai optimal
pemanfaatan sumberdaya SBT oleh industri perikanan Indonesia. MEY akan
diasumsikan sebagai entry point regulasi penangkapan SBT Indonesia di laut
selatan. Untuk mengetahui manfaat bersih atau dampak ekonomi penerapan
regulasi tersebut, maka dilakukan analisis dengan pendekatan Net Present Value
(NPV). Definisi pendekatan NPV adalah nilai sekarang dari manfaat bersih dari
satu proyek melalui proses discounting mulai dari tahun awal.
Rumus umum yang digunakan untuk menghitung NPVadalah :
= + ... (8)
NB = – ... (9)
NPV = ∑ ... (10)
Keterangan :
Bdt = Manfaat Langsung pada periode t
Bidt = Manfaat Tidak Langsung pada periode t
Cdt = Biaya Langsung pada periode t
Cidt = Biaya Tidak Langsung pada periode t
NB = Manfaat Bersih (Net benefit)
NPV = Nilai sekarang dari manfaat bersih
r = Tingkat Diskonto
t = Waktu
Sedangkan untuk menghitung tingkat pengembalian investasi saat ini yang
menghasilkan nilai sekarang dari manfaat sama dengan nilai sekarang terhadap
biaya atau NPV = 0, digunakan Internal Rate of Return (IRR). Estimasi yang
digunakan melalui pendekatan ini adalah :
1. Bila IRR lebih besar dari tingkat diskonto yang berlaku (IRR > r), maka
proyek yang dilakukan memberikan manfaat yang lebih besar;
2. Bila IRR < r maka proyek tersebut memberikan manfaat yang lebih kecil
dibandingkan biaya.
Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut :
(
)
Secara teoritis, nilai B/C yang diperoleh lebih besar dari satu (B/C > 1),
berarti proyek yang dilakukan memberikan manfaat yang lebih besar dan layak
untuk diteruskan. Namun bila nilai rasio tersebut lebih kecil dari satu (B/C < 1),
maka proyek tersebut tidak layak untuk dilanjutkan, karena biaya yang
dikeluarkan lebih besar dari manfaat yang diterima. Rumus rasio manfaat dan