SKRIPSI
Oleh :
Kasdi Guntur
NPM: 20120720210
FAKULTAS AGAMA ISLAM
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (TARBIYAH)
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
i SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam (S. Pd. I) strata Satu pada Progam Studi Pendidikan Agama Islam (Tarbiyah)
Fakultas Agama Islam
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Oleh :
Kasdi Guntur
NPM: 20120720210
FAKULTAS AGAMA ISLAM
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (TARBIYAH)
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
ii Nama Mahasiswa : Kasdi Guntur
NPM : 20120720210
Program Studi : Pendidikan Agama Islam (PAI)
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini merupakan hasil karya saya sendiri
dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu
Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya dalam skripsi ini tidak
terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain,
kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar
pustaka.
Yogyakarta, 30 Mei 2016
Yang membuat pernyataan
Kasdi Guntur NPM. 20120720210
iii
Dari Jabir bin Samurah radiyallahu 'anhu; Rasulullah
sallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
اًقُلُخ ْمُهُ نَسْحَأ ،اًم ََْسِإ ِساَنلا َنَسْحَأ َنِإ
Sesungguhnya orang yang paling baik keislamannya
adalah yang paling baik akhlaknya.
iv
Ayah, Ibu, Abang & Keluarga, Paman & Keluarga.
Almamater Tercinta
Jurusan Pendidikan Agama Islam
v
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ... iv
HALAMAN MOTTO ... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... ix
ABSTRAK ... xii
TRANSLITERASI ... xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5
D. Sistematika Pembahasan ... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI ... 8
A. Tinjauan Pustaka ... 8
B. Kerangka Teori ... 11
BAB III METODE PENELITIAN ... 47
A. Jenis dan Pendekatan Penelitian ... 47
B. Data dan Sumber Data ... 47
vi
B. Pengalaman Karier dan Karya Haedar Nashir ... 50
C. Gambaran Umum Buku Ibrah Kehidupan ... 55
1. Latar Belakang Penulisan Buku Ibrah Kehidupan ... 55
2. Sekilas Tentang Buku Ibrah Kehidupan ... 57
3. Kelebihan dan kekurangan buku Ibrah Kehidupan ... 60
D. Konsep Nilai Pendidikan Akhlak yang Terkandung dalam Buku Ibrah Kehidupan ... 60
1. Khauf ... 62
2. Sabar ... 64
3. Takwa ... 71
4. Bertamu dan Menerima Tamu ... 76
5. Tawadhu’ ... 79
6. Ikhlas ... 82
7. Jujur ... 83
8. Hubungan Pemimpin dan yang Dipimpin ... 85
9. Mengikuti dan Mentaati Rasul ... 87
10.Amanah ... 88
11.Muraqabah ... 89
12.Istiqamah ... 91
vii
A. KESIMPULAN ... 105
B. SARAN ... 109
C. KATA PENUTUP ... 111
DAFTAR PUSTAKA ... 112
yang berhubungan dengan penelitian kepustakaan sehingga bisa diambil manfaatnya dan dijadikan teladan bagi umat islam khususnya para pendidik dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan akhlak kepada peserta didiknya.
Penelitian ini adalah tergolong penelitian kepustakaan (library research)
yang mengkaji buku Ibrah Kehidupan Karya Haedar nashir dengan menggunakan analisis data yaitu analisis isi (content analysis). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif analitis karena penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yaitu penelitian yang menghasilkan informasi berupa catatan dan data deskriptif yang terdapat di dalam teks yang diteliti.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa setidaknya terdapat tiga belas pendidikan akhlak yang ditemukan. Ke tiga belas akhlak yang dimaksud adalah
Khauf, Sabar, Taqwa, dan Menjamu Tamu atau Bertamu dan Menerima Tamu,
tawadhu’, ikhlas, jujur, hubungan pemimpin dan yang dipimpin, mengikuti dan mentaati Rasul, amanah, muraqabah, istiqamah, dan pemaaf. Jadi nilai pendidikan akhlak yang ditemukan tersebut jika dibagi ke dalam pembagian macam-macam akhlak yang ada dapat ditarik kesimpulan sebagaimana berikut;
pertama, akhlak terhadap Allah Swt. dalam hal ini yang termasuk kedalamnya
adalah Takwa, khauf, ikhlas, dan muraqabah. Kedua, akhlak pribadi. Nilai akhlak yang dimaksudkan adalah amanah, sabar, istiqamah, tawadhu’, jujur, dan pemaaf.
Ketiga, akhlak bermasyarakat. Nilai akhlak yang termasuk adalah Akhlak
Bertamu dan Menerima Tamu. Keempat akhlak bernegara. Nilai akhlak yang dimaksudkan adalah hubungan pemimpin dan yang dipimpin. Kelima akhlak terhadap Rasulullah. Nilai akhlak yang dimaksud adalah mengikuti dan mentaati Rasul. Dan relevansi dari kandungan akhlak dalam buku Ibrah Kehidupan dengan Pendidikan Agama Islam adalah keterkaitan antara Iman, Taqwa, dan akhlak. Sebab Pendidikan Agama Islam adalah pendidikan yang sangat mengharuskan peserta didiknya untuk menjadi insan kamil atau pribadi muslim yang sejalan dengan spirit keIslaman penuh paripurna kapanpun dan dimanapun.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Akhlak merupakan sesuatu yang tidak pernah habis-habisnya untuk
dibicarakan. Sejak dari ketika seseorang mulai mengenal agamanya maka
disitulah dia juga sudah mempelajari apa-apa saja yang termasuk kedalam
akhlak yang terdapat di dalam agamanya. Bahkan di dalam agama Islam
sendiri hal ini merupakan salah satu sebab diutusnya seorang rasul sebagai
penutup para rasul yang sudah-sudah sehingga menjadi penyempurna
risalah terdahulu. Hal ini juga sesuai dengan sejarah yang ada bahwa
Muhammad Saw. ketika berdakwah juga beliau lebih berusaha sekuat
tenaga demi tercapainya atau tegaknya nilai-nilai akhlak di muka bumi ini.
Era globalisasi yang sangat berkembang saat ini dimana gerak laju
ilmu pengetahuan begitu pesat sebuah realita yang tidak bisa untuk
diabaikan adalah terjadinya sebuah dekadensi moral oleh imbas negatif
keterbukaan yang meluas terhadap akulturasi yang ada pada masyarakat.
Sehingga peran dari sebuah pendidikan sangat diperlukan. Begitu pula
halnya pendidikan. Tilaar menyatakan dewasa ini dunia kependidikan
mengalami empat krisis pokok, yaitu krisis kualitas, relevansi atau
Iqbal menyatakan diantara persoalan penting yang dihadapi oleh
pendidikan Islam selama ini adalah fakta adanya kiblat pendidikan Islam
yang belum jelas. Pendidikan Islam masih belum menemukan format dan
bentuknya yang khas sesuai dengan ajaran Islam. Pendidikan dengan
pendekatan akhlak keberadaanya menjadi sangat urgen mengingat
fakta-fakta yang terjadi dilapangan. (Maula, 2014 : 230) Oleh karenanya
berbagai krisis multidimensional dalam segala aspek kehidupan di
tengah-tengah kehidupan masyarakatpun tidak dapat dihindari. Kemiskinan,
kebodohan, kedzaliman, penindasan, ketidakadilan, kemerosotan moral,
peningkatan tindak kriminal dan berbagai penyakit sosial lainnya yang
telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat.
(Yusanto et al., 2014: 1) Hal tersebut tidak lain dan tidak bukan karena
masalah pendidikan yang sampai saat ini belum bisa dikatakan pada level
keberhasilan sempurna. Sebab masalah pendidikan adalah masalah hidup
dan kehidupan manusia. Proses pendidikan berada dan berkembang
bersama proses perkembagan hidup dan kehidupan manusia, bahkan
keduanya adalah proses yang satu. (Daradjat et al.,1984: 11)
Mencapai kehidupan yang harmonis di dalamnya terdapat
langkah-langkah atau upaya-upaya yang harus diperjuangkan. Dalam hal ini
manusia selaku makhluk ciptaan Tuhan diberikan kepadanya sebuah
kemampuan dalam memilih dua jalan. jalan kebaikan kah yang dipilh atau
sebaliknya sebuah jalan yang akan menghantarkan pelakunya kedalam
kebaikan ini menjadi menarik sekaligus menjadi tantangan bagi manusia
dalam hidupnya sebagai upaya memperjuangkan akhlak mulia dan terpuji.
sebuah realita yang sering menjadi penghambat dari tercapainya
kehidupan harmonis yang keberadaanya tidak bisa dilupakan adalah sangat
majemuknya kehidupan manusia baik dari segi etnis, kultur, bahasa, ras,
maupun pola pikir dan tindakan. Kemajemukan ini dapat menjadi pemicu
timbulnya suatu konflik. Oleh sebab itu konflik dapat dihindari jika akhlak
yang ada bisa ditegakkan.
Akhlak dapat ditegakkan salah satunya adalah dengan melalui
pendidikan. Pendidikan merupakan salah satu faktor yang sangat
dibutuhkan manusia dalam kehidupannya, termasuk pendidikan akhlak,
karena akhlak adalah suatu hal yang mendukung berkembangnya suatu
bangsa. Nilai-nilai pendidikan akhlak adalah hal sangat vital dalam
kehidupan manusia. Sebab, tanpa adanya nilai-nilai akhlak yang tinggi
hidup manusia akan merosot. Nilai akhlak dianggap dan dipandang sangat
penting karena akhlak adalah salah satu sumber kebahagiaan bagi
manusia. (Iswanto, 2011: 2)
Peserta didik dapat menerima pendidikan akhlak melalui berbagai
macam media pendidikan. Orang tua dalam lingkungan keluarga dapat
memberikan keteladanan, baik dalam kesopanan berbicara ataupun
bertingkah laku. Pendidikan akhlak juga dapat diberikan melalui
kisah-kisah atau bacaan-bacaan yang mengandung nilai-nilai sosial dan budi
Salah satu media pendidikan akhlak berupa bacaan adalah sebuah
buku. Buku memiliki pesan yang sangat sarat untuk mentransformasikan
nilai-nilai pendidikan di dalamnya, terutama pendidikan akhlak.
Berdasarkan pemaparan diatas penulis ingin mengadakan
penelitian tentang nilai-nilai pendidikan akhlak dalam buku Ibrah
Kehidupan karya Haedar Nashir. Peneliti tertarik pada buku ini karena
dalam buku ini banyak mengandung nilai-nilai pendidikan akhlak yang
dapat diambil hikmahnya.
Buku Ibrah Kehidupan adalah sebuah buku karya Haedar Nashir
yang berisi tulisan-tulisan yang mengupas isu-isu spiritual yang diramu
dari berbagai macam tema menyangkut persoalan-persoalan hidup yang
bersifat aktual dengan substansi yang berbasis nilai-nilai ihsan dan
akhlak. Sehingga menjadikan pembaca jernih kesadarannya, yakni sisi
kekayaan batin yang hidup, mendamaikan, dan mencerahkan. Buku Ibrah
Kehidupan adalah perpaduan yang seimbang antara nilai-nilai etik dan
sosiologis yang disajikan dengan naratif dan lebih esensial dengan
menggunakan pendekatan sosiologis yang bercorak penafsiran makna.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, maka fokus masalah yang akan
dijawab melalui penelitian ini adalah:
1. Apa yang melatar belakangi Haedar Nashir membuat buku
2. Apa saja nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam
buku Ibrah Kehidupan karya Haedar Nashir?
3. Bagaimana relevansi nilai-nilai pendidikan akhlak dalam buku
Ibrah Kehidupan terhadap pendidikan agama Islam saat ini?
C. Tujuan dan Manfaat penelitian 1. Tujuan penelitian
a. Untuk mengetahui faktor penyebab Haedar Nashir menulis buku
Ibrah Kehidupan
b. Untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung
dalam buku Ibrah Kehidupan karya Haedar Nashir.
c. Untuk mengetahui relevansi nilai-nilai pendidikan akhlak yang
terkandung dalam buku Ibrah Kehidupan karya Haedar Nashir
terhadap pembelajaran pendidikan agama Islam.
2. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian adalah sebagai berikut:
a. Secara teoritis
Dapat dimanfaatkan sebagai sumbangan dalam khazanah
keilmuan dan pendidikan, yang bertujuan untuk mengembangkan
kualitas pendidikan dan akhlak anak bangsa melalui nilai-nilai
pendidikan akhlak yang terkandung dalam sebuah buku.
b. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh
beberapa pihak anatara lain;
Hasil penelitian ini memberi pemahaman kepada guru dan
segenap seluruh tenaga pendidik tentang pentingnya
pendidikan akhlak serta relevansinya dengan pendidikan agama
Islam.
2. Bagi peneliti
Dapat menjadi jawaban dari masalah yang dirumuskan.
Serta dengan selesainya penelitian ini dapat menjadi motivasi
bagi peneliti untuk semakin aktif dalam menyumbangkan hasil
karya ilmiah terhadap dunia pendidikan.
3. Bagi pembaca
Hasil penelitian ini diharapkan dapat lebih memahami buku
Ibrah Kehidupan serta dapat mengambil manfaat untuk
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Pun demikian
diharapkan bagi pembaca untuk semakin lebih jeli dalam
memilih bacaan yang mengandung kualitas materi bahasan
yang baik. Khususnya kaitannya dalam hal pendidikan yang
berdasarkan akhlak. Dan dapat menggunakan penelitian ini
untuk sarana pengembangan kepribadian diri.
4. Bagi peneliti selanjutnya
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sebuah
inspirasi maupun sumber pijakan buat peneliti selanjutnya
untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam dan lebih
D. Sistematika Penulisan
Pada penelitian yang penyusun lakukan, agar alur penulisan lebih
mudah dipahami dan jelas, maka skripsi yang akan disusun memiliki
sistematika sebagai berikut:
Bab pertama, pendahuluan, yang memuat tentang latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan
pustaka, kerangka teoritik, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab kedua, memuat uraian tentang tinjauan pustaka dari temuan
yang berhasil dikumpulkan oleh penyusun dan penjabaran tentang
kerangka teori yang digunakan berikut dengan penjelasannya.
Bab ketiga, berisi uraian tentang metode penelitian. Dalam bab ini
akan dijelaskan secara rinci metode yang digunakan beserta
alasan-alasannya. Termasuk pula di dalamnya penjelasan tentang jenis penelitian,
metode pengumpulan data serta analisis data yang digunakan.
Bab keempat, memuat tentang pembahasan dan analisis terhadap
buku yang diangkat, meliputi biografi penulis buku, mulai dari riwayat
hidupnya, riwayat pendidikan, karya-karya beliau yang telah
dipublikasikan, latar belakang penulisan buku yang diteliti, dan gambaran
umum tentang tema, pesan yang disampaikan dalam buku tersebut serta
sedikit resensi dari buku “Ibrah Kehidupan” karya Haedar Nashir ini. yang
dikaitkan dengan nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung di dalam
Bab kelima memuat saran-saran dari hasil penelitian yang
ditujukan kepada para civitas akademika, baik dari kalangan pendidik,
mahasiswa, pelajar bahkan dari kalangan pemerintahan (yang bergerak
dalam bidang pendidikan), yang akan melakukan penelitian-penelitian
serupa serta ditujukan pula bagi mereka yang punya minat dalam dunia
tulis-menulis. Bagian terakhir dari bab ini adalah kata penutup (closing
speech) yang berisi rasa syukur dan terima kasih kepada semua pihak yang
membantu kelancaran penulisan skripsi ini, juga memberikan kesempatan
A. Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka dilakukan untuk mengetahui sejauh mana
otentisitas suatu karya ilmiah serta posisinya di antara karya-karya sejenis
dengan tema ataupun pendekatan yang serupa. Selanjutnya, penulis akan
memaparkan beberapa penelitian yang telah berwujud skripsi, yang sedikit
banyak berkaitan dengan penelitian yang penulis lakukan yaitu tentang
nilai-nilai pendidikan Akhlak.
Sejauh yang penulis ketahui, belum ada penelitian yang mengambil
judul, “Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam Buku Ibrah Kehidupan Karya
Haedar Nashir dan Relevansinya dengan Pendidikan Agama Islam”.
Adapun penelitian yang memiliki kemiripan dengan skripsi ini adalah:
Pertama, skripsi Iswanto (2011), Fakultas Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga yang berjudul, “Nilai-nilai
Pendidikan Akhlak dalam Novel Edensor Karya Andrea Hirata dan
Relevansinya dengan Pendidikan Agama Islam”. Penelitian ini merupakan
penelitian kualitatif, yang teknik pengumpulan datanya menggunakan
konsep penelitian kepustakaan (library research). Dalam penelitian
tersebut, nilai-nilai pendidikan yang diurai secara penjang lebar adalah
berupa akhlak kepada Allah, berdzikir, berdo’a, mentaati ajaran agama.
Akhlak terhadap diri sendiri yang meliputi sabar, ikhlas, jujur, tanggung
jawab, optimis, suka membantu, cinta ilmu, lemah kepada sesama
(menghormati tamu), mengucap salam, tolong menolong, menjalin
persahabatan. Dan terakhir akhlak kepada lingkungan, memakmurkan
masjid dan menjaga lingkungan.
Kedua, skripsi Muhammad Latif (2012) mahasiswa Universitas
Muhammadiyah Surakarta yang berjudul, “Nilai-nilai pendidikan akhlak
dalam novel Cinta Suci Zahrana karya Habiburrahman El-Shirazy”. Dalam
penelitian ini pengarang mengungkapkan beberapa nilai-nilai pendidikan
yang dapat diambil pertama akhlak terhadap Allah seperti beribadah
kepada Allah (shalat dan puasa), menyegerakan dalam beribadah,
mentauhidkan Allah, berdzikir dan berdo’a, bersyukur serta melakukan
sesuatu semata-mata hanya karena Allah swt, kedua akhlak terhadap
manusia seperti (a) akhlak terhadap diri sendiri, yaitu; nilai kejujuran
terhadap diri sendiri dan orang lain, dapat dipercaya, sabar dalam
menghadapi cobaan, bekerja keras guna mencapai target yang diinginkan,
disiplin waktu, memiliki jiwa yang ikhlas serta menerapkan hidup
sederhana dan tidak berlebihan; (b) Akhlak terhadap keluarga, yaitu;
membantu orang tua, menghormati hak hidup anak, selalu membiasakan
bermusyawarah dalam menyelesaikan setiap masalah, dan menjaga
silaturrahmi antar keluarga; (c) Akhlak terhadap masyarakat atau orang
bela sungkawa, saling mendo’akan sesama Muslim serta menjamu tamu.
Ketiga akhlak terhadap alam seperti menjaga kelestarian alam,
memperhatikan ekosistem dan menentukan lahan yang tepat untuk
didirikan bangunan dan penghijauan.
Ketiga, skripsi Prasojo Dwi Utomo (2013), Fakultas Agama Islam
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang berjudul “Nilai-nilai
Pendidikan Akhlak Mulia Dalam Film Serdadu Kumbang”. Penelitian ini
termasuk penelitian deskriptif kualitatif, yang secara spesifik menganalisis
dan mendeskripsikan nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung di
dalam film serdadu kumbang. Adapun pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan semiotik. Adapun teori yang digunakan
sebagai acuan adalah teori model Abrams dengan dilakukan menggunakan
metode analisi dokumen. Hasil penelitian ini adalah terdapat 6 nilai
pendidikan akhlak yang terkandung di dalam film serdadu kumbang.
Pertama nilai pendidikan akhlak kepada Allah. Kedua, nilai pendidikan
akhlak kepada Rasulullah. Ketiga, nilai pendidikan akhlak kepada
keluarga. Keempat, nilai pendidikan akhlak kepada diri sendiri. Kelima,
nilai pendidikan akhlak kepada masyarakat. Terakhir, nilai pendidikan
akhlak kepada negara.
Keempat, skripsi Restianita Wisi Nastiti (2014), Fakultas Agama
Islam Universitas Muhammadiyah yogyakarta yang berjudul. “Nilai-nilai
Pendidikan Dalam Novel Sepatu Dahlam Karya Khrisna Pabichara (Study
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan dengan menggunakan
pendekatan analisis isi. Penelitian ini menghasilkan bahwa di dalam novel
sepatu dahlan karya Khrisna Pabichara terdapat motivasi yang dapat
memberikan keteladanan untuk selalu mengejar cita-cita karena di
dalamnya sangat sarat nilai-nilai motivasi yang mengajarkan untuk tidak
pernah berhenti melanjutkan pembelajaran di dalam dunia pendidikan.
Kelima, skripsi Komarullah Azami (2014) UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang berjudul “Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak Surat Al-Mujadalah
Ayat 11-12”. Penelitian ini bersifat deskriptif analisis melalui teknik studi
kepustakaan (Library Research) yang dilakukan dengan cara
menggambarkan dan menjelaskan nilai-nilai pendidikan akhlak yang
terdapat di dalam Surah al-Mujadalah ayat 11-12. Adapun nilai-nilai
akhlak yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dari Surah
al-Mujadalah ayat 11-12 adalah melapangkan hati, menjalin hubungan
harmonis, memberikan sedekah, menghormati, dan memuliakan.
B. Kerangka Teoretik
1. Nilai Pendidikan Akhlak
a. Pengertian akhlak secara umum
Kata nilai, yang dalam bahasa inggris disebut value mempunyai
harga; kadar, mutu, sifat; sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau
berguna bagi kemanusiaan; sesuatu yang menyempurnakan manusia
Kedudukan nilai dalam setiap kebudayaan sangatlah penting, maka
pemahaman tentang sistem nilai dan orientasi nilai sangat penting
dalam konteks pemahaman perilaku suatu masyarakat dan system
pendidikan yang digunakan untuk menyampaikan sistem perilaku dan
produk budaya dijiwai oleh sistem nilai masyarakat yang
bersangkutan. Sistem nilai budaya ini merupakan rangakaian dari
konsep-konsep abstrak yang hidup dalam masyarakat, mengenai apa
yang dianggap penting dan berharga, tetapi juga mengenai apa yang
dianggap remeh dan tidak berharga dalam hidup. Sistem nilai budaya
ini menjadi pedoman dan pendorong perilaku manusia dalam hidup
yang memanifestasikan kongkritnya terlihat dalam tata kelakuan.
(Masdub, 2015: 33)
Menurut kamus bahasa Indonesia, pendidikan diartikan sebagai
“proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok
orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran
dan pelatihan”. (software KBBI v.1.0).
Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mendefinisikan
akhlak, yaitu pendekatan linguistik (kebahasaan), dan pendekatan
terminologi (peristilahan). Dilihat dari sudut bahasa (etimologi),
perkataan akhlak (bahasa arab) adalah bentuk jamak dari kata
khulk.kata akhlak atau khuluk secara kebahasaan berarti budi pekerti,
adat kebiasaan, perangai, muru’ah atau segala sesuatu yang sudah
budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Di dalam Da’iratul
Ma’arif dikatakan:
ﺒﹶ
ُﺔﱠِﺴدﺴ ْﺒ ِنﺎﺴ ِْْﺒ ُتﺴﺎ ِ ﺴ ِ ُﺨﺴ ْ ﺴْ
“Akhlak ialah sifat-sifat manusia yang terdidik”.(Asmaran, 1992: 1)
Dari pengertian diatas dipahami bahwa akhlak adalah sifat-sifat
yang dibawa manusia sejak ia lahir yang tertanam di dalam jiwanya.
Dari sifat ini dapat melahirkan sebuah perbuatan yang bernilai baik
yang disebut dengan akhlak mulia, namun bisa juga menimbulkan
suatu perbuatan buruk yang dinamakan akhlak yang tercela.
Ahmad Amin mengemukakan bahwa akhlak ialah kebiasaan
kehendak. Ini berarti bahwa kehendak itu bila dibiasakan untuk
melakukan suatu perbuatan maka kebiasaannya itu dinamakan akhlak.
Contohnya, bila kehendak itu dibiasakan memberi, maka kebiasaan itu
ialah akhlak dermawan. Begitu pula pendapatnya Soegarda
Poerbakawatja mengemukakan bahwa akhlak ialah budi pekerti,
watak, kesusilaan (kesadaran etik dan moral) yaitu kelakuan baik yang
merupakan akibat dari sikap jiwa yang benar terhadap Khaliknya dan
terhadap sesama manusia. (Asmaran, 1992: 2)
Ibrahim Anis (Asmaran, 1992: 2) mendefinisikan akhlak sebagai
berikut:
“Akhlak ialah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah beragam perbuatan, baik maupun buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan”.
Imam Ghazali (Asmaran, 1992: 2) mendefinisikan akhlak dalam
kitab Ihyanya sebagai berikut:
ًﺮْ ُﺴو ﺳﺔﺴﻮُﻬُ ِ ُلﺎﺴِِْْﺒ ُرُﺪْ ﺴﺗ ﺎﺴﻬْـﺴ ﺲﺔﺴ ِﺒﺴر ِ ْﱠـﺒ ِﰱ ﺳﺔﺴﺌْﺴ ْ ﺴ ﺲةﺴرﺎﺴِ ُﻖُُْﳋﺴﺒ
ﺳﺔﺴْؤُرﺴو ﺳﺮْﻜِ ﺴﱃِﺒ ﺳﺔﺴﺟﺎﺴﺣ ﺳْﲑﺴﻏ ْ ِ
“Al-Khulk ialah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan
macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan”.
Jadi pada hakikatnya akhlak ialah sifat yang telah meresap dalam
jiwa dan menjadi kepribadian yang dapat menimbulkan perbuatan
yang beragam secara spontan tanpa rekayasa dan tanpa memerlukan
pemikiran. Dalam hal ini kita juga harus membedakan antara “ilmu
akhlak” dan “akhlak” itu sendiri. Ilmu akhlak adalah ilmu, yang
bersifat teoritis sedangkan kalau disebut “akhlak” saja itu bersifat
praktis. Ahmad Amin (Zahruddin AR dan Hasanuddin Sinaga, 2004:
39-40) menyebutkan bahwa Ilmu akhlak juga sangat urgen karena
bukan hanya sebagai teori dan kemauan namun juga mempengaruhi
dan memberi petunjuk kepada kemauan manusia yang bisa
membentuk kehidupan dan perbaikan amal perbuatannya guna
mencapai nilai hidup yang luhur.
Jika Islam disebut sebagai sebuah sistem maka akhlak adalah salah
satu sub-sistemnya. Demikian, kalau akhlak dalam islam tidak akan
Asmaran dalam bukunya menyebutkan akhlak dalam Islam
memiliki nilai-nilai pokok. Dia menegaskan sebagaimana berikut:
1) Akhlak Rabbani
Akhlak Rabbani adalah landasan sumber ajaran akhlak itu
diambil dalam hal ini sumber yang dimaksudkan tersebut
adalah wahyu Ilahi dan Sunnah Rasul. Dalam Islam akhlak
Rabbani inilah yang mampu menghindari kekacauan nilai
moralitas dalam hidup manusia.
2) Akhlak manusia
Akhlak manusiawi adalah setiap ajaran yang ada dalam
islam sejalan dengan dan memenuhi tuntunan fitrah manusia.
Manusia sebagai makhluk sosial akan senantiasa selalu
merindukan kebaikan di dalam jiwanya dan hal ini hanya akan
tercapai jika manusia itu sendiri mengikuti ajaran akhlak dalam
Islam.
3) Akhlak universal
Akhlak universal adalah bahwa ajaran Islam sesuai dengan
kemanusiaan yang universal dan mencakup segala aspek hidup
manusia.
4) Akhlak keseimbangan
Akhlak keseimbangan adalah bahwa ajaran akhlak dalam Islam
adalah tengah-tengah antara yang menghayalkan manusia
dan yang menghayalkannya sebagai hewan atau seperti hewan
yang menitikberatkan pada sifat keburukannya saja.
5) Akhlak realistik
Maksud dengan akhlak realistik adalah bahwa ajaran akhlak
dalam Islam memperhatikan kenyataan manusia. Realistik
akhlak dalam Islam adalah keadaan luar biasa yang dihadapi
manusia dalam hidupnya diperhatikan. Hal ini sejalan dengan
Islam yang berstatus sebagai agama terakhir yang Allah
hadirkan sekaligus sebagai pelengkap maupun penyempurna
yang telah diwahyukan kepada Nabi Muhammad untuk
memberi pedoman hidup yang bersifat menyeluruh, lengkap,
langgeng, dan abadi untuk mencapai kebahagiaan, di dunia dan
di akhirat kelak.
b. Sumber dan ruang lingkup akhlak
Islam adalah agama yang di dalamnya terdapat
ajaran-ajaran yang bersumberkan kepada al-Quran dan as-Sunnah. Begitu
pula dengan konsep akhlak. Yang dimaksud dengan sumber di sini
adalah standar penilaian baik dan buruk atau mulia dan tercela.
Sehingga ketika berbicara tentang akhlak maka tolak ukur yang
menjadi standar penilaiainnya adalah al-Quran dan as-Sunnah.
Bukan kembali kepada apa yang menjadi ‘urf dalam masyarakat
maupun terori-teori yang kesesuaiannya hanya berlaku pada
Mansur Ali Rajab (Abdullah, 2008: 9) mengemukakan
bahwa ‘urf tidak dapat dijadikan sebagai standarisasi pengukuran
akhlak. Karena hal ini sejalan dengan apa yang ‘Aisyah jelaskan
kepada para sahabat ketika bertanya tentang bagaimana akhlak
Rasulullah Saw. dengan tegas ‘Aisyah menjelaskan bahwa akhlak
Rasulullah adalah al-Qur’an. Bagi umat Islam, al-Qur’an dan
as-Sunnah adalah alat pengukur akhlak.
Rachmat Djatnika (Ali, 1998: 346) menyebutkan bahwa:
perkataan akhlak dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab Akhlaq, bentuk jamak kata khuluq atau al-khulq, yang secara etimologis (bersangkutan dengan cabang ilmu bahasa yang menyelidiki asal-usul kata serta perubahan dalam bentuk dan makna) antara lain berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat
Kalau perkataan budi pekerti dihubungkan dengan akhlak
kedua-duanya mengandung makna yang sama. Budi pekerti
maupun akhlak mengandung makna yang ideal, tergantung
pelaksanaannya dalam tingkah laku yang kadang bisa menjadi
negatif dan positif, mungkin baik dan mungkin buruk. Yang
termasuk kedalam pengertian baik adalah segala tingkah laku,
sifat, watak, yang sifatnya benar, amanah, sabar, pemaaf, pemurah,
rendah hati dan sebagainya. Sedangkan yang termasuk kedalam
pengertian akhlak buruk adalah semua tingkah laku yang sifatnya
buruk, seperti sombong, dendam, dengki, dan khianat. Yang
menentukan suatu perbuatan itu baik dan buruk adalah nilai dan
Istilah lain yang berkembang di masyarakat yang sering
dikaitkan dengan akhlak adalah moral dan etika. Berbicara moral
sama artinya dengan berbicara tentang etika atau susila,
mempelajari kaidah-kaidah yang membimbing kelakuan manusia
sehingga baik dan lurus. Karena moral umum diukur dari sikap
manusia pelakunya dan moral hanya merupakan sebagian dari
suatu kebudayaan. (Soetriono dan Hanafie, 2007: 128) Moral
berasal dari bahasa latin mores yang berarti adat kebiasaan.
Sedangkan etika sendiri berasal dari kata latin ethic, dalam bahasa
Gerik: Ethikos is a body of moral principles or values. Ethic arti
sebenarnya adalah kebiasan. Namun, lambat laun pengertian etika
berubah, seperti sekarang. Etika adalah suatu ilmu yang
membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia.
(Rahmaniyah, 2010: 57) Moral selalu dikaitkan dengan ajaran
baik-buruk yang diterima umum atau masyarakat. Oleh karenanya
yang menjadi standar dalam penilain ini adalah adat istiadat.
Sedangkan etika adalah sebuah tatanan perilaku berdasarkan suatu
sistem tata nilai suatu masyarakat tertentu. Etika lebih banyak
dikaitkan dengan ilmu atau filsafat oleh karenanya yang menjadi
standar baik dan buruk adalah akal manusia. Jika dibandingkan
dengan moral, maka etika lebih bersifat teoritis sedangkan moral
Berdasarkan teori di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
antara akhlak, etika, dan moral memiliki perbedaan. Ditinjau dari
standar penilaianpun sudah berbeda. Standar baik atau buruk
akhlak adalah al-Quran dan as-Sunnah sedangkan standar
baik-buruk etika dan moral adalah akal dan adat masyarakat. Dengan
demikian standar nilai moral dan etika bersifat lokal dan temporal,
sedangkan standar akhlak bersifat universal dan abadi. (Hamzah,
2014: 141)
c. Pendidikan dalam Islam
Islam adalah agama yang mengajarkan pemeluknya untuk
selalu belajar dan mengembangkan diri. Sebagaimana wahyu
pertama yang diturunkan kepada Rasulullah SAW. yang berbunyi
iqra’ atau bacalah. Hal ini bermakna bahwa pendidikan adalah
langkah awal dari pengembangan manusia. Yaitu perintah
membaca, mengkaji, dan menganalisa. Konsep ini menunjukkan
bahwa langkah awal dari pengembangan diri manusia adalah
memahami dan mendalami kebenaran yang harus dilandasi dengan
iman kepada Allah SWT. (Mustakim, 2013: 130)
Malik Fajar sebagaimana dikutip Abuddin Nata dalam
Kapita Selekta Pendidikan Islam mengungkapkan bahwa
hubungan antara Islam dengan pendidikan bagaikan dua sisi dari
sekeping mata uang, yang artinya Islam dan pendidikan
ontologis, epistimologis, maupun aksiologis. (Nata [ed.], 2003:
224) sehingga wajar jika dikatakan bahwa pendidikan adalah salah
satu alat untuk memajukan peradaban, mengembangkan
masyarakat, dan membuat generasi mampu berbuat banyak dengan
kepentingan mereka. Bahkan jika suatu negara stabilitasnya
tergoncang maka yang pertama kali diperhatikan dan harus
dibenahi adalah sistem pendidikannya. (Aly dan Munzier, 2003: 1)
Hal ini tentunya tidak semata-mata menjalankan suatu
sistem pendidikan yang hanya berorientasi kepada kehidupan
keduniaan namun juga perlu memperhatikan dan menerapkan
sistem yang sesuai atau mengikuti tuntunan-tuntunan dari ajaran
Islam. Karena hanya sistem yang lahir dengan spirit Islamlah yang
paling benar dan akan berlaku untuk kehidupan selama-lamanya.
Hal di atas senada pula dengan keberadaan manusia
sebagai makhluk yang kehadirannya disertai dengan berbagai
potensi atau kemampuan. Potensi inilah yang membedakan
manusia dengan binatang disamping dari adanya persamaan antar
keduanya. Potensi yang membedakan tersebut adalah manusia
memiliki kemampuan untuk berpikir, berkreasi, beragama,
beradaptasi dengan lingkungan. Dengan adanya berbagai macam
kemampuan dasar tersebut, maka manusia dalam hidup tidak
binatang, tetapi juga berdasarkan dorongan dari berbagai potensi
yang dimilikinya. (Zuhairini, 2009: 94)
Manusia harus mendayagunakan potensi yang
dianugerahkan kepadanya secara bertanggung jawab dalam rangka
merealisasikan tujuan dan fungsi penciptaanya di alam ini. Sebab
manusia adalah makluk Tuhan yang otonom, berdiri sebagai
pribadi yang tersusun atas kesatuan harmonis jiwa-raga dan eksis
sebagai individu yang memasyarakat. (Soetriono dan Hanifie,
2007: 1) sebagai makhluk bermateri, manusia memiliki badan atau
bagian yang bersifat fisikal, berwujud materi, nyata ada, da nada
dalam kenyataan. Tetapi manusia bukanlah sekedar badan atau
jasmani, sebab jika manusia hanya jasmani belum bisa disebut
manusia. (Mursidin, 2011: 1) Para ahli pendidikan muslim
umumnya sependapat bahwa teori dan praktik kependidikan Islam
harus didasarkan pada konsepsi dasar tentang manusia.
Pembicaraan akan hal ini menjadi sangat vital dalam pendidikan.
Tanpa kejelasan akan hal ini, pendidikan akan meraba. Bahkan Ali
Ashraf sebagaimana dikutip oleh Bukhari Umar menyebutkan,
pendidikan Islam tidak akan dapat dipahami secara jelas tanpa
terlebih dahulu memahami penafsiran Islam tentang
pengembangan individu seutuhnya. (Umar, 2010: 18)
2. Pendidikan agama Islam
Syalabi (1954) sebagaimana dikutip Rasyidin dan Nizar
(2005) menyatakan bahwa istilah pendidikan dalam konteks
Islam pada umumnya mengacu kepada term tarbiyah,
al-ta’dib, dan al-ta’lim. Dari ketiga term tersebut yang paling
populer digunakan dalam praktek pendidikan Islam adalah term
al-tarbiyah. Sedangkan term al-ta’dib dan al-ta’lim jarang
sekali digunakan. Padahal kedua istilah tersebut telah
digunakan sejak awal pertumbuhan pendidikan Islam.
Terkait dengan apa itu al-tarbiyah, al-ta’dib, dan al-ta’lim,
di antara para tokoh Islam sangat banyak memberikan definisi
yang saling berbeda dari ketiga term di atas. Seperti halnya
Al-Attas (Maemonah, 2015: 127) memberikan definisi pendidikan
adalah proses ta’dib, bukan tarbiyah atau ta’lim. Al-Attas
berpendapat demikian sesungguhnya sangat sederhana. Bagi
al-Attas, di dalam ta’dib juga terdapat proses tarbiyah atau ta’lim.
Terlepas dari perdebatan makna dari ketiga term di atas, secara
terminologi, para ahli pendidikan Islam telah mencoba
memformulasikan pengertian pendidikan Islam yang sangat
variatif. Adapun diantaranya adalah; al-syaibany
mengemukakan bahwa pendidikan islam adalah proses
mengubah tingkah laku individu peserta didik pada kehidupan
pribadi, masyarakat, dan alam sekitarnya. Proses tersebut
suatu aktivitas asasi dan profesi di antara sekian banyak prosesi
asasi dalam masyarakat.
Muhammad Fadhil al-Jamaly mendefinisikan pendidikan
Islam sebagai upaya mengembangkan, mendorong serta
mengajak peserta didik hidup lebih dinamis dengan
berdasarkan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia.
Dengan proses tersebut, diharapkan akan terbentuk pribadi
peserta didik yang lebih sempurna, baik yang berpotensi akal,
perasaan, maupun perbuatannya. Ahmad D. Marimba
mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan
atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap
perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju
terbentuknya kepribadiannya yang utama. Ahmad Tafsir
mendefinisikan pendidikan Islam sebagai bimbingan yang
diberikan oleh seseorang agar ia berkembang secara maksimal
sesuai dengan ajaran Islam. (al-Rasyidin dan Nizar, 2005: 31)
Lodge (Tafsir, 2011: 6) mengemukakan arti sempit dari
definisi pendidikan. Secara sempit pendidikan adalah
pendidikan sekolah; jadi pendidikan adalah pendidikan formal.
Marimba mendefinisikan pendidikan sebagai bimbingan atau
pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan
jasmani dan ruhani peserta didik menuju terbentuknya
Dari batasan di atas, penyusun menyimpulkan bahwa
pendidikan Islam adalah upaya untuk menjadikan peserta didik
agar berprilaku sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam yang
memuat segala unsur dari segala kehidupan. Sehingga dengan
berprilaku sesuai dengan ajaran-ajaran Islam peserta didik
dapat menjadi sesosok yang bisa mempertanggung jawabkan
semua yang telah dilakukannya dengan berdasarkan ajaran
Islam.
Zakiah Daradjat menyebutkan dalam bukunya “Pendidikan
Islam dalam Keluarga dan Sekolah” setidaknya ada tujuh
dimensi yang harus dimiliki atau dihadirkan bagi setiap
penggalak dunia kependidikan agar proses pelaksanaanya dapat
dengan mudah berjalan dan pembangunan manusia dapat
direalisasikan. Adapun ketujuh dimensi tersebut adalah
sebagaimana berikut:
` 1). Dimensi fisik
Dapat dikatakan bahwa dimensi fisik termasuk yang
diperhatikan di dalam Islam. Lebih jauh dimensi fisik
tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:
(a). Pendidikan raga lewat ibadah, atau lainnya agar
melalui salat dan haji, yang disamping merupakan kegiatan
spiritual, juga berisi kegiatan olahraga.
(b). Kebersihan secara umum, misalnya membersihkan
tubuh, baik keseluruhan maupun wudhu
(c). Mengaitkan dimensi tubuh dengan dimensi-dimensi
lainnya, sehingga pendidikan olahraga sekaligus merupakan
pendidikan keimanan, pikiran, pengamatan, dan akhlak.
(d). Pendidikan seks yang merupakan bagian dari kegiatan
tubuh dan tenaga vital yang timbul dari badan, sekaligus
merupakan pemantulan dari dimensi agama dan kejiwaan
terhadap tubuh.
2). Dimensi akal
3). Dimensi iman
4). Dimensi akhlak
5). Dimensi kejiwaan
6). Dimensi keindahan
b. Pengertian pendidikan agama Islam
Pendidikan Agama Islam terdiri dari dua kata yaitu
pendidikan dan Islam. Kata Islam merupakan kata kunci yang
berfungsi sebagai sifat atau pemberi ciri khas pada kata
pendidikan.
Imam Ghazali mengemukakan bahwa pendidikan Agama
Islam berusaha mencapai dua tujuan yaitu insan purna yang
bertujuan mendekatkan diri kepada Allah dan insan purna yang
berutujuan mendapatan kebahagaian dunia dan akhirat. Kedua
tujuan tersebut identik dengan tujuan hidup manusia.
(Rohmadi, 2012: 146)
c. Prinsip pendidikan agama Islam
Muhaimin (Rohmadi, 2012: 149) mengatakan bahwa
Pendidikan Agama Islam memiliki 7 prinsip. Keenam prinsip
tersebut adalah
1) Mempunyai pertautan yang sempurna dengan agama
Setiap yang berkaitan dengan
komponen-komponen Pendidikan Agama Islam seperti tujuan,
falsafah, metode dan lain-lain harus berdasarkan ajaran
agama. Hal ini dikarenakan manusia membutuhkan
bimbingan dan petunjuk yang benar yang bernilai
mutlak untuk kebahagian dunia dan akhirat.
Maksudnya Pendidikan Agama Islam harus
mencakup berbagai aspek pribadi peserta didik. Prinsip
ini dapat dipahami bahwa Islam memiliki nilai
universal dalam segala hal yang sesuai dengan
kebutuhan makhluk-Nya.
3) Keseimbangan
Maksudnya Agama Islam yang merupakan dasar
Pendidikan Agama Islam menekankan keseimbangan
antara kepentingan dunia-akhirat, mengakui
kepentingan jasmani, akal dan qalbu, dan kebutuhan
masing-masing.
Prinsip ini dapat dipahami dari konsep Islam
tentang manusia yang menyatakan bahwa manusia
tersusun atas tiga unsur yaitu jasmani (tubuh), akal
(daya berfikir) dan qalbu (daya merasa).
Manusia sebagai sasaran pendidikan tidak lantas
menjadikan islam melupakan penerapan prinsip
keseimbangan. Keseimbangan ini memiliki pengertian
yang luas antara lain keseimbangan antara jasmani,
akal, dan qalbu, keseimbangan unsur material dan
spiritual, keseimbangan antara fakta dengan ideal.
Manusia adalah makhluk yang dijadikan Allah
dengan segala keterbatasan. Sehingga ia membutuhkan
orang lain dan lingkungannya. Karenanya pendidikan
itu harus disesuaikan dengan kebutuhan alam sekitar
atau lingkungan di mana mereka hidup.
5) Keberagaman
Maksudnya Pendidikan Agama Islam mengakui
adanya perbedaan-perbedaan individual peserta didik
baik dalam bakat, minat dan
kemampuan-kemampuannya. Manusia memiliki bakat, minat dan
kemampuan masing-masing, oleh karenanya
Pendidikan Agama Islam harus diarahkan untuk selaras
kemampuan, bakat dan minatnya masing-masing.
6) Perkembangan dan perubahan selaras dengan
kemaslahatan masyarakat Islam, dengan tetap dilandasi
oleh nilai-nilai Islami.
Maksudnya adalah ajaran Islam mendorong
manusia untuk bersikap dinamis dan kreatif, Islam
mendorong para pemeluknya untuk membuat inisiatif
dalam hal keduniaan yang memberi manfaat kepada
masyarakat, Islam juga mengajarkan agar berupaya
mengubah dan mengarahkan keadaannya menjadi baik,
dengan perkembangan dan perubahan yang selaras
dengan kemaslahatan umum.
7) Pertautan antar mata pelajaran,
pengalaman-pengalaman, kebutuhan peserta didik, masyarakat serta
tuntutan zaman.
Maksudnya adalah Islam mendorong umatnya
untuk mempelajari Islam secara menyeluruh dan
integral tanpa adanya sikap dikotomis, maksudnya
setiap mata pelajaran hendaklah bertujuan untuk
mencari kebenaran Allah sebagai pencipta alam semesta
tanpa membedakan antara ilmu dunia dan ilmu akhirat.
Untuk mencapai target out put Pendidikan
Agama Islam, ketujuh prinsip diatas merupakan
landasan untuk merekonstruksi lulusan yang memiliki
kepribadian muslim yang integral dan mampu
menguasai ilmu mengurus diri dalam kaitannya dengan
tugasnya sebagai hamba Allah dan ilmu mengurus
sistem dalam kaitannya dengan tugasnya sebagai
khalifatullah.
d. Implementasi kurikulum pendidikan agama Islam
Muhaimin (Rohmadi, 2012: 156) menyebutkan bahwa ada
3 teori pendukung dalam pengembangan pembelajaran
kepercayaan. Kedua, teori perkembangan moral. Ketiga, teori
bimbingan Islam.
1) Teori Perkembangan Kepercayaan
Teori ini menegaskan dari kepercayaan, yang
berarti eksistensi pribadi atau keimanan sebagaimana
yang dikemukakan oleh Fowler. Bahwa dalam teori ini
kepercayaan memiliki beberapa tahapan-tahapan.
Pertama, kepercayaan awal dan elementer (usia 0-2 Tahun), tahap ini ditandai rasa cita rasa yang bersifat
preverbal terhadap kondisi-kondisi eksistensi, yaitu rasa
percaya dan setia yang elementer pada semua orang dan
lingkungan yang mengasuh sang bayi. Seperti halnya
kecenderungan anak kecil yang senantiasa tenang dan
bisa tidur apabila di dalam dekapan ibu atau
pengasuhnya. Kaitan dalam pembelajaran agama, maka
tahap ini bisa dengan mengenalkan nilai-nilai agama
serta membiasakan yang baik. Kedua, kepercayaan
intuitif-projektif (masa kanak-kanak, usia 2-6 Tahun).
Yaitu tahap penuh fantasi, imajinasi dan peniruan. Pada
tahap ini, anak didorong oleh rasa percaya diri yang
terbagi antara keinginan untuk mengekspresikan
dorongan hatinya dan ketakutan akan ancaman
dikenakan dengan simbol-simbol keagamaan
(dosa-paha, surga-neraka) hafalan do’a-do’a, ayat-ayat dan
perlu keteladanan. Ketiga, kepercayaan mitis harfiah,
(masa 6-11 Tahun) tahap ini mengambil faedah dari
cerita dan contoh yang sesuai dengan kehidupannya.
Tahap ini mulai berpikir logis dan mengatur dunianya
dengan kategori sebab-akibat. Dalam keagamaan orang
tua mengintegrasikan antara pelajaran agama di sekolah
dengan pelajaran agama di rumah, karena usia ini sudah
menghargai dan membandingkan apa yang diperoleh
dari guru dan orang-orang yang berada disekitarnya.
Keempat, kepercayaan sintesis-konvensional, (masa remaja dan seterusnya, usia 12-18), merupakan basis
bagi penemuan identitas dan pandangan hidupnya.
Dalam pendidikan keagamaan, tahap ini dikenalkan
dengan nilai-nilai dan norma agama disertai pengarahan
dengan alasan-alasan yang kuat, diharapkan adanya
pemahaman dan kesadaran tumbuh rasa tanggung jawab
sebagai konsekuensi pilihannya. Kelima, kepercayaan
individual-reflektif, (usia 18-30 Tahun), tahap ini
muncul kesadaran tentang identitas diri yang khas dan
kemampuan refleksi diri tidak seluruhnya tergantung
tugas menentukan pilihan dan menyingkirkan sekian
banyak alternatif menyangkut komitmen dalam hidup
dan kepercayaan yang terbuka bagi dirinya. Dalam
konteks keagamaan tahap ini memiliki kesanggupan
memilih dan menentukan sendiri pilihan nilai yang
ditawarkan oleh agama. Pembelajaran agama tidak lagi
doktrin benar-salah, akan tetapi memberikan
kesempatan untuk menggali dan menemukan pilihannya
berdasarkan prosedur normatif penelaahan norma, nilai,
atau agama sesuai alasan yang paling benar. Keenam, kepercayaan konjungtif (usia setengah baya, umur
35-40 Tahun), tahap ini diperjuangkan sifat terbuka
terhadap kebenaran tradisional yang sebelumnya
dianggap berlawanan dan asing terhadap kebenaran
rasional karena merupakan hasil ciptaan pribadi. Dalam
konteks keagamaan tahap ini lebih menekankan pada
simbolik dengan makna konseptual, kemampuan untuk
menyatukan dua pandangan kontradiktif, kebenaran dan
paradoks dalam pemikiran dan pengalaman. Ketujuh,
kepercayaan yang mengacu pada universalitas, (usia
pertengahan sekitar 30 Tahun), tahap ini seseorang
mampu menunjukkan komponen keimanannya yang
besar dalam sejarah Islam, perubahan kognitif, afektif,
dan psikomotorik.
2) Teori Perkembangan Moral
Teori ini dikembangkan oleh Kohlberg yang
secara normal disebut cognitive-development theory of
moralization, dengan merumuskan pada tingkatan
moral, masing-masing tahap ditandai oleh dua tahap.
Konsep Kohlberg adalah internalisasi, yakni perubahan
perkembangan dari perilaku yang dikendalikan secara
eksternal menjadi perilaku yang dikendalikan secara
internal.
Tingkat pertama: penalaran prakonvensional, pada tingkat ini anak tidak memperlihatkan internalisasi
nilai moral, penalaran moral dikendalikan oleh imbalan
(hadiah) dan hukuman eksternal. Ada dua tahap pada
tingkatan ini:
Tingkat 1 : orientasi hukum dan ketaatan.
Tingkat 2 : individualism dan tujuan.
Tingkat kedua: penalaran konvensional, di sini mempunyai 2 tahap :
Tahap 3 : Norma-norma interpersonal, tahap ini
dan kesetian pada orang lain sebagai landasan
pertimbangan-pertimbangan moral.
Tahap 4: Moralitas sistem sosial, pada tahap ini
pertimbangan moral didasarkan atas
pemahaman aturan sosial, hukum-hukum,
keadilan dan kewajiban.
Tingkat ketiga: penalaran pasca konvensional, pada tingkat ini moralitas benar-benar diinternalisasikan
dan tidak didasarkan pada standar-standar orang lain. Di
sini ada 2 tahap:
Tahap 5 : Hak-hak masyarakat versus hak-hak
individual
Tahap 6 : Prinsip-prinsip universal, prinsip ini
didasarkan pada prinsip etika universal dan penalaran
abstrak.
3) Teori Bimbingan Islam
Teori ini adalah teori yang terlahir dari
penelitian terhadap ajaran-ajaran Islam, sebagai
pendorong dalam pembelajaran sehingga peserta didik
mendapatkan muatan nilai yang bermanfaat bagi peserta
didik dan menghasilkan perubahan-perubahan positif
mengenai paradigma berfikir, cara menggunakan
cara berperilaku berdasarkan ajaran Islam. Pada teori ini
ada tiga teori bimbingan yang digunakan, yaitu:
Teori al-Hikmah, ialah perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak
dengan yang bathil. Ciri khas dari teori ini adalah
adanya pertolongan Allah Swt. adanya ilham (intuisi)
dan kasyaf (penyingkapan batin), adanya keteladanan
dan keshalehan pendidik, teknik yang digunakan adalah
teknik ilahiyah dengan menggunakan nasihat-nasehat
dan mendo’akan kepada peserta didik.
Teori Mau’idhah hasanah, teori ini dengan menggunakan mengambil pelajaran-pelajaran atau
I’tibar dari perjalanan kehidupan para nabi, auliya dan
orang-orang yang shaleh dalam memberikan motivasi
keteladanan kepada peserta didik.
Teori Mujadalah, teori ini menitikberatkan kepada peserta didik yang membutuhkan kekuatan,
keyakianan dan kemantapan dalam menghilangkan
keraguan, ketakutan, ketidak percayaan diri, dan
prasangka negatif terhadap kebenaran illahiyah yang
e. Asas pendidikan
Asas pendidikan merupakan sesuatu yang sangat
fundamental dalam suatu sistem pendidikan. Cerminan dari
dimilikinya suatu sistem pendidikan dapat dilihat dari
dipilihnya suatu sistem pendidikan tertentu sebagai pandangan
hidup yang dianutnya. Asas pendidikan akan merefleksikan
apa yang menjadi nilai dari suatu sistem pendidikan, dengan
melihat urgensi dari suatu asas pendidikan, dalam pendidikan
Agama Islam asas pendidikan identik dengan dasar Islam itu
sendiri. Muhaimin, et.al (1993) dalam Rohmadi (2012: 143).
Pendidikan di dalam Islam dibangun dalam sebuah asas
atau pondasi yang menjadi tumpuan dibangunnya sebuah
pendidikan. Dalam upaya perwujudan hal ini di dalamnya
diperlukan sebuah sistem yang terprogram dan mantap. Serta
tujuan yang jelas agar arah yang dituju mudah dicapai. Ilmu
pendidikan Islam itu mempunyai asas-asas tempat ia tegak
dalam materi, interaksi, inovasi, dan cita-cita lainnya. Tak
ubahnya seperti ilmu kedokteran, teknik atau pertanian.
Masing-masing tidak dapat berdiri sendiri, tetapi merupakan
suatu arena di mana dipraktikkan sejumlah ilmu yang erat
hubungan satu sama lain dan jalin menjalin. (Nata, 2009: 25)
Sebab pula pendidikan adalah upaya yang disengaja, maka ia
dasar yang kokoh, dan arah yang jelas sebagai tujuan yang
hendak dicapai. (Hamruni, 2008: 62)
Pendidikan Islam sebagai sebuah sistem dapat dipahami
bahwa dalam pendidikan Islam terdapat gagasan,
prinsip-prinsip, dan subsistem lainnya yang saling berhubungan. Oleh
karena itu, yang perlu diketahui lebih dahulu adalah
dasar-dasar pendidikan Islam sebagai sistem. Dasar artinya tempat
berpijak atau landasan, yang merupakan titik tolak
Keberangkatan segala sesuatu. Fungsi dasar ialah memberikan
arah kepada tujuan yang akan dicapai dan sekaligus sebagai
landasan untuk beridirinya sesuatu. Setiap negara mempunyai
dasar pendidikannya sendiri. Ia merupakan pencerminan
falsafah hidup suatu bangsa. Dasar pendidikan Islam
didasarkan kepada falsafah hidup umat Islam dan tidak
didasarkan kepada falsafah hidup suatu negara, sebab sistem
pendidikan Islam tersebut dapat dilaksanakan dimana saja dan
kapan saja tanpa dibatasi ruang dan waktu. (Ramayulis, 2015:
187) Jika pendidikan Islam dikatakan sebagai sistem,
pertanyaannya apa hakikat pendidikan Islam, bagaimana
sumber dan dasar pijakannya, dan untuk apa pendidikan Islam
itu ada? (Basri, 2009: 148)
Asas ini dinamakan adalah akidah Islam. Asas ini jugalah
kurikulum pendidikan. Namun perlu diperhatikan penetapan
akidah Islam sebagai asas pendidikan Islam bukan berarti
mengharuskan segala ilmu pengetahuan bersumberkan dari
akidah Islam. Karena sebagaimana faktanya tidak semua ilmu
pengetahuan terlahir dari akidah Islam. Yang dimaksud
menjadikan akidah Islam sebagai asas adalah menjadikan
akidah Islam sebagai standar penilaian. Istilah lainnya adalah
akidah Islam difungsikan sebagai kaidah atau tolak ukur
pemikiran perbuatan. (Yusanto et al., 2014: 61) Sebab
pengetahuan yang diwahyukan merupakan yang sangat penting
dalam bidang agama. Ia berbeda dari sumber-sumber
pengetahuan lainnya oleh karena adanya anggapan akan
realitas supernatural-transenden yang menyejarah ke dalam tata
kealaman. Kebenaran yang diperoleh melalui sumber wahyu
adalah absolut dan tak tercampuri. Sedangkan penyimpangan
dari kebenaran yang diwahyukan terletak pada proses
interpretasi manusia. Ada yang beranggapan bahwa kelemahan
utama pengetahuan yang diwahyukan adalah harus diterima
atas dasar iman dan tidak bisa dibuktikan secara empiris.
(Knight, 2007: 36)
f. Tujuan pendidikan
Tujuan artinya sesuatu yang dituju, yaitu yang akan dicapai
berakhir bila tujuannya sudah tercapai. Jika itu bukan tujuan
akhir, kegiatan berikutnya akan langsung dimulai untuk
mencapai tujuan selanjutnya dan terus begitu sampai kepada
tujuan akhir. (Daradjat, 1996:71) Para ahli telah sepakat bahwa
maksud dari pendidikan dan pengajaran bukanlah memenuhi
otak anak didik dengan segala macam ilmu yang belum mereka
ketahui, tetapi maksudnya ialah mendidik akhlak dan jiwa
mereka, menanamkan rasa fadhilah (keutamaan), membiasakan
mereka dengan kesopanan yang tinggi, dan mampu menjadikan
mereka siap untuk suatu kehidupan yang suci seluruhnya
dengan ikhlas dan jujur. (al-Abrasy, 1990: 1) Oleh sebab itu
tujuan dalam pendidikan Islam adalah idealitas (cita-cita) yang
mengandung nilai-nilai Islami yang hendak dicapai dalam
proses pendidikan proses pendidikan yang berdasarkan ajaran
Islam. Sehingga darinya lahirlah manusia-manusia yang
terdidik di akhir proses tersebut. (Hamruni, 2008: 64)
Hasan Langgulung (Assegaf, 2011:73) tujuan akhir
(ultimate aim) pendidikan dalam Islam pembentukan pribadi
khalifah bagi anak didik yang memiliki fitrah, roh, di samping
badan, kemauan yang bebas, dan akal. Dengan kata lain, tugas
pendidikan adalah mengembangkan keempat aspek ini pada
Naquib al-Attas (Roqib, 2005: 27) menyatakan bahwa
pendidikan yang penting itu tujuannya diambil dari pandangan
hidup (philosofy of life). Jika pandangan hidup itu Islam, maka
tujuannya adalah membentuk manusia sempurna (Insan Kamil)
menurut Islam.
Ali Ashraf (Arifi, 2010: 38) menyebutkan bahwa
pendidikan Islam seharusnya bertujuan menimbulkan
pertumbuhan yang seimbang dari kerpribadian total manusia
melalui latihan spiritual, intelektual, rasional diri, perasaan dan
kepekaan tubuh manusia. Tujuan akhir pendidikan Islam
adalah perwujudan penyerahan mutlak kepada Allah, pada
tingkat individu, masyarakat dan kemanusiaan pada umumnya.
Muhaimin menyebutkan pada intinya tujuan pendidikan
Islam itu ada dua, yaitu: pertama, pendidikan Islam merupakan
aktivitas pendidikan yang diselenggarakan atau didirikan
dengan hasrat dan niat untuk mengejawantahkan ajaran dan
nilai-nilai Islam. Kedua, pendidikan Islam adalah sistem
pendidikan yang dikembangkan dari dan disemangati atau
dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai Islam. Sehingga dapat
dipahami pengertian pertama lebih menekankan aspek
kelembagaan dan program pendidikan Islam, dan yang kedua,
melekat pada setiap aktivitas pendidikan. (Muhaimin, 2009:
14)
Tujuan pendidikan Islam ialah kepribadian muslim, yaitu
kepribadian yang seluruh aspeknya dijiwai oleh ajaran Islam.
Orang yang berkepribadian Muslim dalam al-Quran disebut
“muttaqin”. Dengan kerangka ini, dapat dikatakan bahwa
tujuan pendidikan Islam bukan seharusnya “Bagaimana
membuat manusia sibuk mengurus dan memuliakan Tuhan saja
dan justru melupakan kepekaannya terhadap kemanusiaan,”
tetapi tujuan pendidikan Islam adalah “memuliakan Tuhan
dengan sibuk memuliakan manusia dan dunianya” serta
memuliakan dan memberdayakan manusia dengan segala
potensi yang dimilikinya. (Sanaky, 2003: 154) Karena itu
pendidikan Islam berarti juga pembentukan manusia yang
bertakwa. Ini sesuai dengan pendidikan nasional Indonesia
yang dituangkan dalam tujuan pendidikan nasional yang akan
membentuk manusia Pancasialis yang bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa. (Daradjat, 1996:72) Di samping itu
pendidikan sebagai fenomena kehidupan sosial, kultural, dan
keagamaan tidak dapat lepas dari sistem nilai. Sehingga
perumusan tujuan pendidikan Islam yang tanpa memperhatikan
Tujuan Pendidikan tidak dapat dilepaskan dari tujuan
diciptakannya manusia di muka bumi. Tujuan yang ingin
dicapai oleh Islam dalam aspek pendidikan adalah membina
manusia guna mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba
Allah dan khalifah-Nya. (Yasin, 2008: 109)
Suyanto dalam bukunya menyebutkan bahwa tujuan
pendidikan dalam Islam adalah untuk membentuk manusia
yang berkarakter, yakni berkepribadian Islam, menguasai
tsaqafah Islam dan terakhir menguasai ilmu kehidupan (sains
dan teknologi yang memadai.
Nur Uhbiyati menyebutkan bahwa tujuan pendidikan
dengan berdasarkan kepada teori Klaus Mollenhauer
bermacam-macam. Seperti, tujuan untuk kemerdekaan,
keadilan sosial, untuk meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa, menjadi orang yang baik, menjadi anak yang
saleh, berwibawa, suci dan lain-lain.
Pendidikan untuk kemerdekaan bermakna bahwa
pendidikan ingin agar anak didik menjadi manusia yang
merdeka batinnya, merdeka pikirannya, dan merdeka
tenaganya. Sedangkan tujuan dalam keadilan sosial bermakna
bahwa pendidikan harus merata pada segala lapisan
masyarakat, sehingga diharapkan segala lini dalam lapisan
agama merupakan bagian dari tujuan lembaga-lembaga agama
yang menyelenggarakan sekolah-sekolah. Sedangkan tujuan
untuk menjadi orang baik adalah tujuan dari setiap orang tua di
Indonesia secara umum yang tidak mempunyai tujuan hidup
khusus untuk anaknya kelak sewaktu mereka telah dewasa
seperti menjadi orang saleh, dan berwibawa. (Uhbiyati, 1997:
33)
Senada dari kedua tujuan pendidikan diatas (keadilan sosial
dan kemerdekaan Indonesia) dapat diambil kesimpulan bahwa
tujuan dari pendidikan yang hendak dicapai adalah keadaan
Das Sollen dari masyarakat atau individu. Das Sollen ini
berarti aspek atau sifat ataupun kondisi masyarakat yang belum
berwujud, akan tetapi hendak diwujudkan melalui pendidikan.
Ini juga berarti bahwa sifat atau watak anak didik yang belum
terwujud tetapi tetap menjadi prioritas dari tujuan pendidik.
Oleh karena itu tujuan pendidikan bukanlah menunjuk kepada
sesuatu yang nyata, tetapi kepada sesuatu norm. Tujuan
pendidikan merupakan garis finis dalam suatu perlombaan
yang hendak dicapai oleh para pesertanya yang pada proses
pendidikan berarti pendidiknya, bukan anak didiknya.
g. Materi Pendidikan
Rahman dalam buku Sutrisno mengemukakan bahwa
materi pendidikan jika dikaitkan dengan klasifikasi ilmu
pengetahuan, dapat ditemukan dengan adanya pengetahuan
tentang alam, pengetahuan tentang sejarah (sosial), dan
pengetahuan manusia (humaniora). Akan tetapi jika materinya
disesuaikan tujuan pendidikan yang ketiga maka materinya
tentu saja terdiri dari ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu modern.
Adapaun metode pembelajarannya menggunakan
penekanan-penekanan pada cara-cara memahami dan menganalisis materi
pelajaran, bukan sekedar mengulang-ulang materi pelajaran
sampai hafal. (Sutrisno, 2008: 5)
Pendidikan agama Islam merupakan komponen yang tidak
bisa terpisahkan dari sistem pendidikan Islam dalam
mengintegrasikan nilai-nilai Islam pada berbagai disiplin ilmu.
Dalam hal ini tujuan pendidikan agama Islam adalah berintikan
kepada tiga aspek yaitu iman, ilmu, dan amal. Seluruh
rangkaian usaha pendidikan agama Islam yaitu bertujuan untuk
membentuk manusia beriman. Senada akan hal ini, ilmu
pengetahuan menjadi faktor essensial dalam pendidikan.
Hubungan ilmu pengetahuan dengan agama dewasa ini sudah
tampak benang merah yang menjembatani kesenjangan yang
kesadaran umat manusia akan terbatasnya ilmu pengetahuan
dalam memecahkan berbagai masalah umat, terutama masalah
yang berkaitan dengan moralitas. Oleh karenanya ilmu
pengetahuan dan teknologi menjadi sangat diperlukan untuk
meningkatkan kualitas manusia. Namun di sisi lain perlu
dicatat proses dari semua itu harus senantiasa menyertakan
hadirnya nilai-nilai luhur sehingga tidak menimbulkan
kerugian sendiri bagi manusia. Sebab Imtak dan Iptek memiliki
keterkaitan yang sangat erat. Tidak dapat dilepaskan dari
kehidupan seorang muslim. Imtak tanpa dibarengi dengan
Iptek manusia akan ketinggalan dan digilas oleh kemajuan
zaman. Sebaliknya Iptek tanpa Imtak juga akan berakibat fatal
dan dapat membawa kehancuran bagi manusia, karena
penggunaan Iptek menurut kehendaknya tanpa
mempertimbangkan moral agama. (Jahja, 2013: 135) Disitulah
Islam dituntut untuk menyodorkan konsep pendidikan dengan
mengintegrasikan nilai Islam dan Ilmu pengetahuan. (Isna,
2001: 68)
Sejarah mencatat, terdapat beragam sikap umat Islam
terhadap teknologi. Ada diantara mereka anti dan resisten
terhadap teknologi. Dan ada yang bersikap moderat sehingga
mereka mau dan terbuka menerima perkembangan zaman
semua tanpa filter penyaring yang menyertai sehingga terkesan
liberal dan sak penake dewe (semau nafsunya). Sehingga
muncul sebuah pertanyaan bagaimana teknologi seharusnya
disikapi terutama dalam konteks pengembangan pendidikan
Islam. (Anshori, 2010: 81)
3. Kajian umum tentang buku
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia buku adalah lembar kertas
yang berjilid, berisi tulisan atau kosong (software KBBI v.1.5.1). di
zaman yang sudah sangat modern ini buku bukan lagi menjadi barang
aneh ataupun sesuatu yang sulit untuk ditemukan. Bahkan rasanya
disetiap jengkal dari kehidupan kita selalu bersinggungan dengan yang
namanya buku terlebih pada saat ini buku tidak lagi dalam bentuknya
yang nyata bahkan dikemas dalam bentuk buku yang sifatnya dilayar
kacapun sudah banyak diciptakan. Contohnya seperti kumpulan
buku-buku elektronik atau biasa disebut dengan istilah E-book. Namun jelas
dari sekian banyaknya buku-buku yang ada tentu semuanya berbicara
A. Jenis dan Pendekatan Penelitian 1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupan penelitian kajian pustaka (library research),
yaitu penelitian yang berusaha menghimpun data dari khazanah
literatur dan menjadikan dunia teks sebagai obyek utama analisisnya.
Sedangkan sumber datanya berasal dari bahan-bahan kepustakaan
berupa buku-buku, karya ilmiah, jurnal dan lain-lain.
B. Data dan sumber Data
Data penelitian ini menggunakan data kualitatif yang dinyatakan
dalam bentuk kata atau kalimat yang sumbernya didapatkan dari segala
macam literatur (buku-buku, majalah, internet, jurnal, skripsi, dan
sebagainya) yang mendukung terkait dengan judul penulis dan
kesesuainnya.
Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian adalah
subyek dari mana data diperoleh. Apabila peneliti menggunakan
dokumentasi, maka dokumen atau catatanlah yang menjadi sumber
data, sedang isi catatan adalah obyek penelitian atau variabel penelitian
(Suharsimi Arikunto, 1993: 102). Sumber data terbagi dalam dua jenis,
yaitu data primer dan data sekunder:
Sumber data primer dalam penelitian ini buku Ibrah
Kehidupan karya Haedar Nashir. Data ini tersaji dalam bentuk
kisah-kisah, nilai-nilai filsafat kehidupan ada dalam setiap
judul di dalamnya dan wacana yang termuat dalam buku Ibrah
Kehidupan yang diterbitkan oleh Suara Muhammadiyah,
Yogyakarta cetakan pertama, januari 2013.
b. Sumber Sekunder
Sumber sekunder dalam penelitian kali ini antara lain:
1) Artikel atau tulisan yang berkaitan dengan buku Ibrah
Kehidupan, baik dari media cetak berupa jurnal, koran,
majalah, testimoni, atau dari media elektronik seperti internet
dan televisi.
2) Buku Pengantar Studi Akhlak karya Asmaran
3) Buku Konsep-Konsep Etika Religiusitas dalam Qur’an
karya Toshihiko Izutsu
4) Buku Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah karya
Zakiah Darajat.
5) Buku Kritik atas Konsep Moralitas Barat (falsafah akhlak)
karya Murtadha Muthahhari.
6) Software Maktabah Syamilah versi 3.47
7) Software Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI v.1.3),
C. Teknik dan Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode
dokumentasi. Metode dokumentasi yaitu mencari data mengenai
hal-hal atau variabel berupa transkrip, buku, surat kabar, majalah, dan
sebagainya. Data yang terkumpul dalam bentuk kalimat-kalimat atau
kisah-kisah.
D. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini, peneliti menganalisa data dengan
menggunakan analisis isi (content analysis), yang merupakan analisis
ilmiah tentang isi pesan suatu komunikasi yang ada. Temuan-temuan
berupa data-data yang berupa kalimat-kalimat, kisah-kisah ditelaah,
dipahami, kemudian disusun dalam suatu draf sehingga terbentuk hasil