• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PEMBERIAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULAR DAN KOMPOS KULIT BUAH KAKAO PADA PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGARUH PEMBERIAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULAR DAN KOMPOS KULIT BUAH KAKAO PADA PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.)"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

PENGARUH PEMBERIAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULAR DAN KOMPOS KULIT BUAH KAKAO PADA PERTUMBUHAN BIBIT

KAKAO (Theobroma cacao L.)

Oleh

Ananda Yashinta Rahmayanti

Usaha pembibitan kakao yang dilakukan secara besar-besaran seringkali

menghadapi masalah ketersediaan air penyiraman. Selain itu, penggunaan pupuk

kimia yang semakin marak menyebabkan tanah menjadi kekurangan bahan

organik dan kurang subur. Untuk mengatasi hal tersebut, pemberian Fungi

Mikoriza Arbuskular (FMA) dan kompos kulit buah kakao dapat menjadi salah

satu solusi dalam menyediakan air yang cukup bagi bibit kakao dan juga dapat

mengembalikan kesuburan tanah.

Penelitian ini bertujuan (1) untuk mengetahui apakah aplikasi FMA dapat

meningkatkan pertumbuhan bibit kakao, (2) untuk mengetahui bentuk respon bibit

kakao terhadap pemberian dosis kompos kulit buah kakao yang semakin

meningkat, (3) Untuk mengetahui apakah respon bibit kakao terhadap kompos

kulit buah kakao ditentukan oleh aplikasi FMA, (4) untuk mengetahui dosis

optimum kompos kulit buah kakao bagi pertumbuhan bibit kakao yang

(2)

pemberian mikoriza dengan 2 taraf, yaitu m0 (tanpa FMA) dan m1 (diberi FMA).

Faktor kedua adalah perbandingan volume tanah pasir dan kompos kulit buah

kakao (KKBK) dengan 5 taraf, yaitu k0 (0% KKBK), k1 (5 % KKBK), k2 (10 %

KKBK), k3 (15% KKBK), dan k4 (20 % KKBK). Perlakuan diterapkan ke dalam

satuan percobaan menurut rancangan kelompok teracak sempurna (RKTS).

Homogenitas ragam data yang diperoleh diuji dengan Uji Bartlett, sedangkan

untuk sifat kemenambahan diuji dengan Uji Tukey. Bila kedua uji tidak nyata,

data dianalisis ragam. Pemisahan nilai tengah pada faktor pemberian FMA

dilakukan dengan menggunakan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf nyata

5%. Sedangkan untuk faktor dosis kompos kulit buah kakao dilanjutkan dengan

uji polinomial ortogonal pada taraf 5%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa FMA tidak mampu meningkatkan

pertumbuhan bibit kakao, melainkan hanya meningkatkan persen infeksi akar oleh

mikoriza saja. Dengan meningkatnya dosis kompos kulit buah kakao dalam media

tanam, makan makin menekan pertumbuhan bibit kakao. Hal ini dapat dilihat dari

peubah jumlah daun bulan ke-1, tinggi tanaman bulan ke-1, ke-2, dan ke-3,

diameter batang bulan ke-2, ke-3, dan ke-4, bobot segar tajuk, bobot segar akar,

bobot kering tajuk, dan bobot kering akar. Tidak terdapat interaksi antara

pemberian FMA dan dosis kompos kulit buah kakao pada semua peubah yang

diamati.

(3)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Masalah

Kehidupan manusia modern saat ini tidak terlepas dari berbagai jenis makanan

yang salah satunya adalah cokelat. Cokelat dihasilkan dari biji buah kakao yang

telah mengalami serangkaian proses pengolahan sehingga bentuk dan aromanya

seperti yang terdapat di pasaran. Biji buah kakao (cokelat) yang telah

difermentasi menjadi serbuk disebut cokelat bubuk. Cokelat dalam bentuk bubuk

ini banyak dipakai sebagai bahan untuk membuat berbagai macam produk

makanan dan minuman, seperti susu, selai, roti, dan lain–lain.

Kakao merupakan salah satu komoditas andalan perkebunan yang peranannya

cukup penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan

kerja, sumber pendapatan, dan devisa negara. Di samping itu, kakao juga

berperan dalam mendorong pengembangan wilayah dan pengembangan

agroindustri.

Dalam pengembangannya, budidaya kakao di Indonesia mengalami peningkatan

yang cukup pesat, baik dari segi perluasan areal maupun produksinya (Gambar 1

dan 2). Luas perkebunan kakao pada tahun 2010 telah mencapai 1.651.53 ha

(Dirjen Perkebunan, 2011a) dengan produksi mencapai 844.626 ton (Dirjen

(4)

Gambar 1. Luas areal pertanaman kakao di Indonesia pada tahun 2005-2010 (Dirjen Perkebunan, 2011a).

Gambar 2. Produksi tanaman kakao di Indonesia pada tahun 2005-2010 (Dirjen Perkebunan, 2011b).

Dari Gambar 1 dan 2 dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan luas areal dan

produksi kakao di Indonesia. Dengan semakin banyaknya produksi kakao

tersebut maka akan semakin banyak pula produksi limbah kulit buah kakao.

Banyaknya limbah kulit buah kakao yang dihasilkan, dapat menginspirasi kita

untuk lebih memanfaatkan potensi dari limbah tersebut, salah satunya adalah

sebagai bahan baku pembuatan kompos. Selain itu juga, diduga limbah kulit buah

(5)

polusi udara akibat pembakaran limbah dan meningkatkan kebutuhan lahan untuk

penimbunan. Untuk itu, perlu dilakukan penanganan yang tepat agar limbah

tersebut dapat termanfaatkan.

Kandungan hara mineral kulit buah kakao cukup tinggi, khususnya hara kalium

dan nitrogen. Dilaporkan bahwa 61% dari total nutrien buah kakao disimpan di

dalam kulit buah. Menurut Didiek dan Away (2004), kompos kulit buah kakao

mempunyai pH 5,4; N total 1,30%; C organik 33,71%; P2O5 0,186%; K2O 5,5%;

CaO 0,23%; dan MgO 0,59%.

Habitat asli tanaman kakao berupa hutan beriklim tropis dengan kondisi yang

ternaungi. Tanaman kakao sangat sensitif bila kekurangan air, sehingga media

tanamnya harus memiliki daya menyimpan air maupun drainase yang baik

(Departemen Perindustrian, 2007). Usaha pembibitan kakao yang dilakukan

secara besar-besaran seringkali menghadapi masalah ketersediaan air penyiraman,

terutama untuk daerah-daerah yang kesulitan air. Untuk mengatasi hal tersebut,

pemberian kompos kulit buah kakao dapat menjadi salah satu solusi dengan

sifatnya yang memiliki daya serap air yang tinggi sehingga akan mampu

menyediakan air yang cukup bagi bibit kakao. Selain itu, terdapat agen hayati

yang juga mampu mengatasi masalah kekeringan pada tanaman yang dapat

bersimbiosis dengan akar tanaman, yaitu fungi mikoriza.

Mikoriza berasal dari kata miches yang berarti fungi dan rhizoid yang berarti akar.

Mikoriza adalah asosiasi simbiosis mutualisme antara fungi dan sistem perakaran

tanaman tingkat tinggi (Rao, 1994). Dalam banyak asosiasi dengan mikoriza,

(6)

Sementara itu, menurut Sieverding dan Howeler (1986) yang dikutip oleh Aeni

(2005), manfaat yang diperoleh tanaman inang dengan adanya asosiasi mikoriza

yaitu meningkatkan serapan hara dari tanah ke dalam akar. Salah satu unsur hara

yang tingkat difusinya sangat lemah di dalam tanah adalah P. Dengan adanya hifa

fungi mikoriza, serapan P ke dalam akar bermikoriza dapat menjadi 3-4 kali lebih

tinggi dibandingkan dengan akar tanpa mikoriza. Dengan demikian, tingkat

serapan P meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah akar yang bersimbiosis

dengan mikoriza.

Salah satu tipe mikoriza yang paling banyak ditemukan di alam adalah fungi

mikoriza arbuskular (FMA) yang bersimbiosis dengan ± 80% spesies tanaman

yang ada, baik yang dibudidayakan maupun yang tumbuh secara alami. Infeksi

FMA dilaporkan mampu meningkatkan penyerapan nutrisi tanaman yang

mengalami stres air dan memungkinkan tanaman untuk menggunakan air lebih

efisien (Turk, Assaf, Hameed, dan Al-Tawaha, 2006).

Selain penggunaan mikoriza, perbaikan teknik budidaya juga dapat dilakukan

dengan menambah bahan organik pada media tanamnya. Saat ini petani

cenderung memilih menggunakan pupuk kimia daripada menggunakan pupuk

organik. Hal ini karena kandungan hara di dalam pupuk kimia lebih tinggi

sehingga pengaruhnya pada tanaman lebih cepat terlihat, sedangkan pupuk

organik pengaruhnya tidak terlihat dengan cepat. Akibatnya, kandungan bahan

organik tanah berkurang, kesuburan tanah menurun, hasil panen terus menurun.

Kondisi ini mendorong petani menggunakan pupuk kimia dengan dosis yang

(7)

tanah seperti semula adalah dengan menambahkan bahan organik berupa kompos

ke tanah pertanian dan mengurangi penggunaan pupuk kimia.

Kompos kulit buah kakao mengandung unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman

kakao. Mikoriza yang diaplikasikan juga dapat membantu dalam meningkatkan

efisiensi penggunaan pupuk. Kombinasi keduanya diharapkan dapat memberikan

hasil terbaik terhadap pertumbuhan bibit kakao, namun secara jelas belum

diketahui dosis pupuk kompos pada pengaplikasian fungi mikoriza arbuskular

yang efektif untuk mendapatkan hasil yang optimal. Penggunaan pupuk secara

berlebih ataupun kurang akan memberikan hasil yang kurang optimal dan kurang

efisien, sehingga perlu diadakannya penelitian agar diperoleh dosis optimum

kompos kulit buah kakao pada tanaman yang ber-FMA dan yang tidak ber-FMA.

Oleh karena itu, pemberian FMA pada taraf dosis kompos kulit buah kakao

diharapkan berinteraksi positif dalam meningkatkan pertumbuhan bibit kakao.

Dari latar belakang yang telah dibuat, disusunlah rumusan masalah sebagai

berikut:

1. Apakah aplikasi fungi mikoriza arbuskular dapat meningkatkan pertumbuhan

bibit kakao?

2. Bagaimana bentuk respons bibit kakao terhadap pemberian dosis kompos kulit

buah kakao yang semakin meningkat?

3. Apakah respons bibit kakao terhadap pemberian kompos kulit buah kakao

ditentukan oleh aplikasi FMA?

4. Berapakah dosis optimum kompos kulit buah kakao bagi pertumbuhan bibit

(8)

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui apakah aplikasi fungi mikoriza arbuskular dapat

meningkatkan pertumbuhan bibit kakao.

2. Untuk mengetahui bentuk respons bibit kakao terhadap pemberian dosis

kompos kulit buah kakao yang semakin meningkat.

3. Untuk mengetahui apakah respons bibit kakao terhadap kompos kulit buah

kakao ditentukan oleh aplikasi FMA.

4. Untuk mengetahui dosis optimum kompos kulit buah kakao bagi pertumbuhan

bibit kakao yang diaplikasikan dengan FMA dan yang tidak diaplikasikan

FMA.

1.3 Manfaat Penelitian

Dengan adanya penelitian ini, maka akan didapat informasi mengenai apakah

perlakuan yang diberikan ini dapat menghasilkan bibit kakao yang sesuai dengan

kriteria bibit kakao yang siap tanam dengan umur pembibitan 4 bulan.

Diharapkan dengan pengetahuan yang baru ini, efisiensi dalam penggunaan pupuk

dan dampak pemberian fungi mikoriza arbuskular dapat menjadi teknologi baru

untuk pertanian kakao ke depan.

1.4 Landasan Teori

Akar tanaman, selain berguna untuk menopang tegaknya tanaman, juga

menghasilkan eksudat yang terakumulasi di permukaan akar. Beberapa

(9)

luar akar, mengambil karbohidrat dari tanaman inangnya dan juga mengambil

hara mineral tanah, terutama fosfor, yang kemudian diberikan kepada inangnya.

Asosiasi fungi dengan akar tanaman ini disebut mikoriza.

Berdasarkan susunan anatomi infeksinya, mikoriza dibedakan menjadi dua tipe

yaitu ektomikoriza dan endomikoriza. Kebanyakan dari ektomikoriza adalah

termasuk golongan fungi Basidiomycetes. Sedangkan endomikoriza dibedakan

dalam tiga jenis, yaitu Ericaceae, Orchidaceae, dan fungi mikoriza arbuskular

(FMA). Berbeda dengan ektomikoriza, FMA tidak menyebabkan perubahan

moorfologi akar dan tidak ada hifa yang menyelubungi akar (Islami dan Utomo,

1995).

Fungi yang tergabung ke dalam endomikoriza banyak mendapat perhatian karena

penyebarannya lebih luas dan dapat berasosiasi dengan hampir 90 % spesies

tanaman tingkat tinggi, salah satunya adalah FMA (Cruz, Ishii, dan Kadoya,

2000).

Mekanisme hubungan antara FMA dengan akar tanaman dimulai dengan

perkecambahan spora di dalam tanah. Tanaman akan mengeluarkan daya tarik

berupa eksudat akar yang berfungsi sebagai makanan dan seleksi terhadap FMA.

Eksudat yang berupa gula, asam organik, dan asam amino banyak terdapat pada

jaringan apikal akar. Tahap berikutnya yaitu FMA akan masuk ke dalam akar

menembus atau melalui celah antar sel epidermis, kemudian hifa akan tersebar

baik secara interseluler maupun intraseluler di dalam jaringan korteks sepanjang

(10)

Struktur penyusun utama FMA adalah arbuskul, vesikel, hifa eksternal, dan spora.

Arbuskul adalah struktur hifa yang bercabang-cabang seperti pohon-pohon kecil

yang mirip haustorium (membentuk pola dikotom), berfungsi sebagai tempat

pertukaran nutrisi antara tanaman inang dengan fungi. Struktur ini mulai

terbentuk 2-3 hari setelah infeksi, diawali dengan penetrasi cabang hifa lateral

yang dibentuk oleh hifa ekstraseluler dan intraseluler ke dalam dinding sel inang

(Mosse, 1981 yang dikutip oleh Chairuman, 2008).

Akar bermikoriza dapat membentuk hifa eksternal yang merupakan kelanjutan

dari hifa internal. Selanjutnya, hifa internal ini membentuk struktur yang disebut

vesikel. Vesikel merupakan suatu struktur berbentuk lonjong atau bulat,

mengandung cairan lemak, yang berfungsi sebagai organ penyimpanan makanan

atau berkembang menjadi klamidospora, yang berfungsi sebagai organ reproduksi.

Pembentukan vesikel diawali dengan adanya perkembangan sitoplasma hifa yang

menjadi lebih padat dan mengandung partikel lipid dan glikogen. Sitoplasma

menjadi semakin padat melalui proses kondensasi, dan organel semakin sulit

untuk dibedakan sejalan dengan akumulasi lipid selama maturasi (Simanungkalit,

2004).

Jaringan hifa eksternal FMA yang menginfeksi akar tanaman akan memperluas

bidang serapan akar terhadap air dan unsur hara. Di samping itu, ukuran hifa

yang sangat halus pada bulu – bulu akar memungkinkan hifa dapat menyusup ke

pori – pori tanah yang paling halus, sehingga hifa mampu menyerap air pada

kondisi kadar air tanah yang sangat rendah (Kilham, 1994 yang dikutip oleh

(11)

akan membawa unsur hara seperti N, P, dan K, sehingga serapan hara oleh

tanaman akan meningkat.

Musfal (2008) dan Kabirun (2002) melaporkan bahwa tanaman yang terinfeksi

FMA mampu menyerap unsur P yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman

yang tidak terinfeksi. Tingginya serapan P oleh tanaman yang terinfeksi FMA

disebabkan oleh hifa FMA mengeluarkan enzim fosfatase, sehingga P yang terikat

di dalam tanah akan terlarut dan tersedia bagi tanaman.

Anggiarini (2005) melaporkan bahwa inokulasi FMA (Glomus sp. dan Gigaspora

sp.) mampu meningkatkan tinggi bibit, panjang akar tunggang, dan bobot kering

akar bibit kakao yang berumur 16 minggu setelah transplanting. Hasil penelitian

yang dilakukan oleh Lucia, Yahya, dan Fakuara (1998) menunjukkan bahwa

inokulasi fungi mikoriza pada tanaman kakao dapat menghasilkan pertumbuhan

tanaman yang lebih baik. Inokulasi fungi mikoriza nyata mengefisienkan

pemberian air pada pembibitan kakao. Pada peubah tinggi tanaman, jumlah daun

dan jumlah akar, inokulasi fungi mikoriza secara nyata meningkatkan efisiensi

penyiraman sebesar 200 – 400%. Inokulasi fungi ini juga mampu mempersingkat

waktu di pembibitan selama satu bulan.

Hasil penelitian Sasli (1999) menunjukkan bahwa pemberian FMA dapat

meningkatkan pertumbuhan bibit kakao yang lebih baik dibanding bibit tanpa

FMA. Ini terlihat dari tingginya nilai rata-rata untuk hampir semua peubah yang

diamati dibanding bibit yang tidak ber-FMA. Inokulasi FMA meningkatkan

bobot kering tajuk dan akar masing-masing sebesar 144,7 % dan 190 %

(12)

kakao yang mendapat perlakuan inokulasi mikoriza, yang dapat mencapai 149,2

% dari nilai kontrol untuk taraf kekeringan 70% air tersedia. Ini menunjukkan

bahwa bibit yang bermikoriza sebenarnya tidak mengalami cekaman kekeringan

oleh karena adanya hifa eksternal FMA yang masih dapat menyerap air dari

pori-pori tanah.

Menurut Dirjen Perkebunan (2011a), produksi kakao Indonesia pada tahun 2010

sebesar 844.626 ton. Apabila dilihat dari banyaknya produksi ini maka terdapat

produk lain berupa limbah kulit buah kakao yang berpotensi mencemari

lingkungan, akan tetapi hal ini dapat diatasi dengan penanganan dan teknologi

yang tepat untuk memanfaatkan limbah tersebut. Kandungan hara kompos yang

dibuat dari kulit buah kakao adalah 1,81 % N, 26,61 % C-organik, 0,31% P2O5,

6,08% K2O, 1,22% CaO, 1,37 % MgO, dan 44,85 cmol/kg KTK (Goenadi, 1997).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sudirja, Solihin, dan Rosniawaty

(2005), pemberian kompos kulit buah kakao dengan kascing tidak berpengaruh

pada pH tanah, C-organik, dan KTK tanah. Namun, secara mandiri, kompos

bioaktif kulit buah kakao memberikan pengaruh nyata terhadap perbaikan pH dan

C-organik tanah. Pemberian kompos bioaktif kulit buah kakao 2,51 kg per

polybag memberikan pH tanah dan C-organik tertinggi masing-masing sebesar

6,9613 dan 4,844%, atau meningkat 50,80% dan 159% jika dibandingkan dengan

kontrol.

Pemberian bahan organik berkelanjutan selain dapat memperbaiki sifat kimia

tanah melalui perbaikan pH, juga sifat biologis tanah yaitu FMA. Harinikumar,

(13)

meningkatkan keragaman spora FMA, dan meningkatkan daya tahan dan daya

tumbuh spora fungi di dalam tanah.

Jayanegara (2011) melaporkan bahwa terdapat interaksi dalam perlakuan

pemberian FMA 10 gram/ polybag dan dosis pupuk kompos 2,5 ton/ha terhadap

pertumbuhan dan hasil tanaman sorgum (Shorgum bicolor [L.] Moench). Hal itu

dibuktikan dengan meningkatnya jumlah daun dan bobot biji per tanaman pada

tanaman berumur 6 minggu setelah transplanting.

Kombinasi media tanam campuran subsoil dengan kompos dan FMA

menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap jumlah daun bibit kelapa sawit. Hal

tersebut menunjukkan bahwa bahan organik dan kandungan hara terutama N dari

kompos telah bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan jumlah daun. Selain itu

juga, kombinasi media tanam campuran subsoil dengan kompos (TKS atau

kompos UNPAD) dan FMA meningkatkan bobot basah dan bobot kering bibit.

Secara umum, pemberian kompos dan FMA pada subsoil dapat meningkatkan

bobot basah dan bobot kering bibit dibandingkan dengan yang menggunakan

subsoil saja. Hal tersebut tejadi karena penambahan kompos baik kompos TKS

maupun kompos UNPAD mengakibatkan peningkatan kesuburan fisik dan

biologis tanah (Suherman, Nuraini, dan Rosniawaty, 2006).

Hasil penelitian Muslim (2009) menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi antara

kompos Tandan Kosong Kelapa Sawit dengan mikoriza berpengaruh nyata

terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah cabang, bobot basah akar, bobot

basah tajuk, bobot kering akar, bobot kering tajuk, bobot biji per tanaman dan

(14)

1.5 Kerangka Pemikiran

Berdasarkan landasan teori yang telah dikemukakan, berikut ini disusun kerangka

pemikiran untuk memberikan penjelasan teoretis terhadap perumusan masalah.

Mikoriza adalah fungi tanah yang bersimbiosis secara mutualisme dengan akar

tanaman. Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) diberikan pada akar bibit tanaman

kakao, maka spora FMA akan berkecambah di dalam tanah. Akar tanaman akan

mengeluarkan eksudat berupa gula, asam organik, dan asam amino, yang

berfungsi sebagai makanan spora dan seleksi terhadap FMA. Selanjutnya, proses

infeksi dimulai dengan hifa yang keluar dari spora yang berkecambah membentuk

apresorium, yaitu struktur yang berupa penebalan massa hifa yang kemudian

menyempit dan berbentuk seperti tanduk. Apresorium ini membantu hifa

menembus ruang sel epidermis melalui permukaan akar atau rambut-rambut akar

secara mekanis dan enzimatis. Hifa yang telah masuk ke dalam akar melalui

ruang sel epidermis, kemudian berkembang dan menyebar di dalam dan di antara

sel-sel korteks. Hifa ini akan bercabang-cabang seperti pohon-pohon kecil yang

disebut arbuskul. Arbuskul berfungsi sebagai tempat pertukaran nutrisi antara

tanaman inang dengan fungi. Kemudian, sitoplasma hifa berkembang menjadi

lebih padat, multinukleat, dan mengandung partikel lipid dan glikogen yang

diakibatkan oleh adanya proses kondensasi, sehingga terbentuklah vesikel yang

berkembang secara interseluler. Selanjutnya jaringan hifa ini terus berkembang

secara eksternal menyebabkan tanaman memiliki jangkauan akar yang jauh lebih

(15)

Maka, setelah bersimbiosis dengan FMA, bibit tanaman kakao mampu tumbuh

dengan lebih baik sebagai akibat dari perluasan hifa eksternal FMA yang

memungkinkannya bisa menyusup ke pori-pori tanah yang paling kecil (mikro)

dalam menyerap air dan unsur hara yang dibutuhkan oleh bibit kakao. Hifa

eksternal pada mikoriza dapat menyerap unsur fosfat dari dalam tanah dan segera

diubah menjadi senyawa polifosfat. Senyawa polifosfat kemudian masuk ke

dalam hifa dan dipecah menjadi fosfat organik yang dapat diserap oleh sel

tanaman.

Efisiensi penyerapan unsur hara yang didapat dari kompos kulit buah kakao

meningkat dengan penggunaan mikoriza. Dengan adanya kombinasi antara

penggunaan kompos kulit buah kakao dan mikoriza, maka tanaman akan mudah

mendapatkan unsur P, yang diperlukan oleh tanaman dalam jumlah yang relatif

banyak. Selain itu, dengan adanya infeksi FMA, akar tanaman akan mengalami

perubahan fisiologi yang memungkinkannya untuk menahan patogen akar. Hal

itu disebabkan oleh kemampuan FMA dalam memproduksi antibiotik yang dapat

menghadang patogen akar.

Bahan organik memiliki peran penting dalam menentukan kemampuan tanah

untuk mendukung pertumbuhan tanaman, sehingga jika kadar bahan organik tanah

menurun, kemampuan tanah dalam mendukung produktivitas tanaman juga

menurun. Kompos adalah pupuk organik yang berasal dari bahan organik yang

telah mengalami dekomposisi. Ketika kompos diberikan sebagai campuran media

tanam bibit tanaman kakao, maka media tanam akan menjadi lebih baik dari segi

(16)

Secara fisik, kompos berpengaruh pada struktur dan tekstur tanah yang

menjadikannya ringan untuk diolah dan mudah ditembus akar sehingga akar

tanaman dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Hal ini menyebabkan akar

menjadi mampu menjangkau daerah yang lebih luas dalam menyerap nutrisi dan

hara sehingga pertumbuhan tanaman juga menjadi baik. Selain itu juga, kompos

mampu meningkatkan daya menahan air (water holding capacity) sehingga

kemampuan tanah untuk menyediakan air menjadi lebih banyak. Hal ini dapat

menjadi tabungan air bagi tanaman pada masa kekeringan oleh penguapan

ataupun karena diserap oleh akar tanaman.

Secara kimia, kompos dapat memperbaiki pH tanah, meningkatkan kandungan

C-organik, dan memiliki KTK (Kapasitas Tukar Kation) yang tinggi karena bahan

organik mempunyai daya jerap kation yang lebih besar daripada koloid liat dan

dapat melepaskan P dari P terfiksasi menjadi P-tersedia bagi tanaman. Selain itu,

kompos juga mampu menyediakan unsur hara yang dibutuhkan tanaman,

walaupun relatif sedikit. Kompos yang digunakan di sini adalah kompos kulit

buah kakao (KKBK) yang mengandung unsur hara N, C, P, K, Ca, dan Mg,

sehingga kompos ini dapat membantu menyediakan hara tanaman, walaupun

relatif kecil.

Dengan berbagai kandungan dan sifat dari kompos kulit buah kakao tersebut,

maka bibit tanaman kakao akan memiliki pertumbuhan yang jauh lebih baik

dibandingkan dengan bibit kakao yang ditanam dengan media tanam tanpa

(17)

1.6 Hipotesis

Dari kerangka pemikiran yang telah dipaparkan, maka dapat dibuat hipotesis

sebagai berikut:

1. Pemberian fungi mikoriza arbuskular akan meningkatkan pertumbuhan bibit

kakao.

2. Pemberian kompos kulit buah kakao akan meningkatkan pertumbuhan bibit

kakao sampai dosis tertentu, setelah itu peningkatannya akan menurun.

3. Respons bibit kakao terhadap aplikasi FMA ditentukan oleh dosis kompos kulit

(18)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Botani Tanaman Kakao

Tanaman kakao yang ditanam di perkebunan pada umumnya adalah kakao jenis

Forastero (bulk cocoa atau kakao lindak), Criolo (fine cocoa atau kakao mulia),

dan hibrida (hasil persilangan antara jenis Forastero dan Criolo). Pada

perkebunan-perkebunan besar biasanya kakao yang dibudidayakan adalah jenis

mulia (Siregar, Riyadi, dan Nuraeni, 2004).

Adapun sistematika tanaman kakao menurut klasifikasi botanis adalah sebagai

berikut

Divisio : Spermathophyta

Kelas : Angiospermae

Sub kelas : Dicotyledoneae

Ordo : Malvales

Famili : Sterculiaceae

Genus : Theobroma

Spesies : Theobroma cacao L.

Kakao merupakan tanaman tahunan yang mulai berbuah pada umur 3 – 4 tahun

setelah tanam. Apabila pengelolaan tanaman kakao dilakukan secara tepat, masa

(19)

dibudidayakan di Indonesia terdiri atas kakao mulia dan kakao lindak. Kakao

mulia merupakan jenis Criollo yang mempunyai cita rasa enak, tetapi daya

hasilnya relatif rendah dan peka terhadap serangan hama dan penyakit. Kakao

lindak merupakan jenis Forastero yang mempunyai daya hasil tinggi, relatif tahan

hama dan penyakit, namun mempunyai cita rasa kurang enak (Rahardjo, 1999

yang dikutip oleh Aeni, 2005).

2.2 Syarat Tumbuh Tanaman Kakao

Sejumlah faktor iklim dan tanah menjadi kendala bagi pertumbuhan dan produksi

tanaman kakao. Lingkungan alami tanaman kakao adalah hutan tropis. Dengan

demikian curah hujan, temperatur, dan sinar matahari menjadi bagian dari faktor

iklim yang menentukan. Demikian juga faktor fisik dan kimia tanah yang erat

kaitannya dengan daya tembus (penetrasi) dan kemampuan akar menyerap hara

(Siregar dkk., 2004). Tanaman kakao tumbuh baik pada daerah-daerah yang

berada pada 10 0LU hingga 10 0LS. Suhu tahunan yang ideal berkisar antara 30 –

32 0C untuk suhu maksimal dan 18 – 21 0C untuk suhu minimal, memerlukan

naungan, dan kelembaban nisbi antara 50 – 60% (Bahri, 1996).

Menurut Siregar dkk. (2004), areal penanaman kakao yang ideal adalah

daerah-daerah bercurah hujan 1.100 – 3.000 mm per tahun. Di samping kondisi fisik dan

kimia tanah, curah hujan yang melebihi 4.500 mm per tahun tampaknya berkaitan

erat dengan serangan penyakit busuk buah (black pods). Daerah yang curah

hujannya lebih rendah dari 1.200 mm per tahun masih dapat ditanami kakao,

(20)

Cahaya matahari yang terlalu banyak menyoroti tanaman kakao akan

mengakibatkan lilit batang kecil, daun sempit, dan tanaman relatif pendek.

Tanaman kakao dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang memiliki kemasaman

(pH) 6 – 7,5, tidak lebih tinggi dari 8 serta tidak lebih rendah dari 4, paling tidak

pada kedalaman 1 m.

2.3 Pembibitan Kakao

Biji kakao sebelum dikecambahkan harus dibebaskan dari daging buah (pulp)

yang melekat. Biji dikecambahkan/disemai di media pasir setebal 20 cm. Biji

disemai tegak dengan bakal radikula berada pada bagian bawah. Kedalaman

penyemaian adalah 1/3 bagian biji lebih tinggi dari media pasir dengan jarak 3 cm

x 5 cm, kemudian dilakukan penyiraman 2 kali sehari untuk menjaga

kelembabannya (Siregar dkk., 2004).

Setelah berumur 14 hari, bibit dipindahkan ke dalam polybag yang telah disiapkan

lubang tanamnya terlebih dahulu. Pemeliharan bibit meliputi penyiraman,

pemupukan, dan pengendalian hama dan penyakit. Penyiraman dilakukan dua

kali sehari, tergantung keadaan cuaca. Pupuk urea dan SP-36 1 g/bibit, dan KCl

0,8 g/bibit diberikan saat bibit berumur satu minggu setelah transplanting.

Selanjutnya pemupukan dengan urea diberikan 1 g/bibit setiap dua minggu sampai

bibit berusia empat bulan. Pengendalian hama dan penyakit disesuaikan dengan

(21)

2.4 Media Pembibitan

Tanaman kakao menghendaki tanah yang gembur, dapat menyimpan air, drainase

dan aerasinya baik. Bahan organik merupakan salah satu bahan pemantap agregat

sekaligus memperbaiki aerasi dan drainase tanah. Bahan organik berfungsi

memperbaiki struktur tanah, meningkatkan daya serap tanah terhadap air, sebagai

sumber hara bagi tanaman, dan meningkatkan kondisi kehidupan mikroorganisme

dalam tanah (Lingga dan Marsono, 2004). Namun demikian, tanaman kakao

dapat tumbuh pada tanah yang memiliki kisaran pH 4 – 8. Tekstur tanah yang

baik untuk tanaman kakao adalah tanah liat berpasir dan lempung liat berpasir

dengan komposisi 30 – 40% fraksi liat, 50% pasir, dan 10 – 20% debu (Siregar

dkk., 2004).

Tempat pembibitan kakao harus dekat sumber air, mudah diawasi, tempatnya

datar, terlindung dari angin kencang dan sinar matahari langsung, dan tidak

terganggu oleh hama (Susanto, 1994).

2.5 Aktivator EM4

Larutan EM4 (effective microorganisms 4) ditemukan pertama kali oleh Prof. Dr.

Teruo Higa dari Universitas Ryukyus, Jepang. Larutan EM4 ini berisi

mikroorganisme fermentasi. Penerapannya di Indonesia banyak dibantu oleh Ir.

Gede Ngurah Wididana, M.Sc (Indriani, 2011).

Jumlah mikroorganisme fermentasi di dalam EM4 sangat banyak, sekitar 80

genus. Mikroorganisme tersebut dipilih yang dapat bekerja secara efektif dalam

(22)

golongan utama yang terkandung di dalam EM4, yaitu bakteri fotosintetik,

Lactobacillus sp., Streptomyces sp., ragi (yeast), dan Actinomycetes.

Selain berfungsi dalam proses fermentasi dan dekomposisi bahan organik, EM4

juga mempunyai manfaat lain, yaitu memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi

tanah, menyediakan unsur hara yang dibutuhkan tanaman, dan juga menyehatkan

tanaman, meningkatkan produksi tanaman, serta menjaga kestabilan produksi.

Kompos yang dihasilkan melalui fermentasi dengan pemberian EM4 dinamakan

bokashi. Kata “bokashi” diambil dari Bahasa Jepang yang berarti bahan organik

yang terfermentasi. Sementara itu, banyak orang Indonesia yang menyebut kata

“bokashi” merupakan kependekan dari bahan organik kaya sumber kehidupan

(Indriani, 2011).

2.6 Kompos Kulit Buah Kakao

Kompos merupakan hasil dekomposisisi dari bahan organik seperti tanaman,

hewan, atau limbah organik lainnya. Kompos yang digunakan sebagai pupuk

disebut pula pupuk organik karena penyusunnya terdiri dari bahan-bahan organik

(Indriani, 2011).

Spillane (1995) mengemukakan bahwa kulit buah kakao dapat dimanfaatkan

sebagai sumber unsur hara tanaman dalam bentuk kompos, pakan ternak, produksi

biogas dan sumber pektin. Sebagai bahan organik, kulit buah kakao mempunyai

hara dan senyawa yang sangat potensial sebagai medium tumbuh tanaman. Kadar

air untuk kakao lindak sekitar 86 %, dan kadar bahan organiknya sekitar 55,7%

(23)

2.7 Fungi Mikoriza Arbuskular

Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) merupakan asosiasi antara fungi tertentu

dengan akar tanaman dengan membentuk jalinan interaksi yang kompleks.

Mikoriza berasal dari karta miko (mykes= fungi) dan rhiza yang berarti akar.

Mikoriza dikenal dengan fungi tanah karena habitatnya berada di dalam tanah dan

berada di area perakaran tanaman (rizosfer). Selain disebut sebagai fungi tanah

juga biasa dikatakan sebagai fungi akar. Keistimewaan fungi ini adalah

kemampuannya dalam membantu tanaman untuk menyerap unsur hara terutama

unsur hara fosfat (P) (Syib’li, 2008).

Mikoriza merupakan suatu bentuk hubungan simbiosis mutualistik antar fungi

dengan akar tanaman. Baik fungi maupun tanaman sama-sama memperoleh

keuntungan dari asosiasi ini. Manfaat asosiasi ini antara lain berupa pengambilan

unsur hara dan adaptasi tanaman yang lebih baik. Di sisi lain, fungi pun dapat

memenuhi keperluan hidupnya (karbohidrat dan keperluan tumbuh lainnya) dari

tanaman inang (Anas, 1997).

Fungi FMA membentuk organ-organ khusus dan mempunyai perakaran yang

spesifik. Organ khusus tersebut adalah arbuskul (arbuscule), vesikel (vesicle) dan

spora.

1. Vesikel

Vesikel merupakan struktur fungi yang berasal dari pembengkakan hifa

internal secara terminal dan interkalar, kebanyakan berbentuk bulat telur, dan

berisi banyak senyawa lemak sehingga merupakan organ penyimpanan

(24)

alat untuk mempertahankan kehidupan fungi. Tipe FMA vesikel memiliki

fungsi yang paling menonjol dari tipe fungi mikoriza lainnya. Hal ini

dimungkinkan karena kemampuannya dalam berasosiasi dengan hampir 90 %

jenis tanaman, sehingga dapat digunakan secara luas untuk meningkatkan

produktivitas tanaman.

2. Arbuskul

Fungi ini di dalam sel akar membentuk struktur khusus yang disebut

arbuskular. Arbuskular merupakan hifa bercabang halus yang dibentuk oleh

percabangan dikotomi yang berulang-ulang sehingga menyerupai pohon di

dalam sel inang (Pattimahu, 2004).

3. Spora

Spora terbentuk pada ujung hifa eksternal. Spora ini dapat dibentuk secara

tunggal, berkelompok atau di dalam sporokarp, tergantung pada jenis funginya.

Perkecambahan spora sangat sensitif tergantung dari kandungan logam berat di

dalam tanah dan juga kandungan Al. Kandungan Mn juga mempengaruhi

pertumbuhan miselium. Spora dapat hidup di dalam tanah beberapa bulan

sampai beberapa tahun. Namun, FMA memerlukan tanaman inang untuk

perkembangannya. Spora dapat disimpan dalam waktu yang lama sebelum

(25)

2.8 Peranan FMA terhadap Pertumbuhan Tanaman

1. Peningkatan penyerapan unsur hara

Tanaman yang bermikoriza umumnya tumbuh lebih baik dari tanaman tanpa

mikoriza. Penyebab utama adalah mikoriza secara efektif dapat meningkatkan

penyerapan unsur hara baik unsur hara makro maupun mikro. Selain daripada

itu, akar yang bermikoriza dapat menyerap unsur hara dalam bentuk terikat dan

yang tidak tersedia bagi tanaman. Selain daripada membentuk hifa internal,

mikoriza juga membentuk hifa eksternal. Pada hifa eksternal akan terbentuk

spora, yang merupakan bagian penting bagi mikoriza yang berada di luar akar.

Fungsi utama dari hifa ini adalah untuk menyerap fosfor dari dalam tanah.

Fosfor yang telah diserap oleh hifa eksternal, akan segera dirubah manjadi

senyawa polifosfat. Senyawa polifosfat ini kemudian dipindahkan ke dalam

hifa internal dan arbuskul. Di dalam arbuskul, senyawa polifosfat dipecah

menjadi fosfat organik yang kemudian dilepaskan ke sel tanaman inang.

Dengan adanya hifa eksternal ini, penyerapan hara terutama fosfor menjadi

besar dibandingkan dengan tanaman yang tidak terinfeksi oleh mikoriza. Hifa

eksternal akar juga menghasilkan enzim fosfatase yang mampu melepaskan P

dari ikatan-ikatan spesifik, sehingga unsur P dapat tersedia bagi tanaman

(Anas, 1997).

2. Peningkatan ketahanan terhadap kekeringan

Tanaman yang bermikoriza lebih tahan terhadap kekeringan dari pada yang

tidak bermikoriza. Rusaknya jaringan korteks akibat kekeringan dan matinya

(26)

periode kekurangan air (water stress), akar yang bermikoriza akan cepat

kembali normal. Hal ini disebabkan karena hifa fungi mampu menyerap air

yang ada pada pori-pori tanah saat akar tanaman tidak mampu lagi menyerap

air. Penyebaran hifa yang sangat luas di dalam tanah menyebabkan jumlah air

yang diambil meningkat (Anas, 1997).

3. Produksi Hormon

Telah banyak penelitian yang menunjukkan bahwa fungi mikoriza dapat

(27)

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari Bulan Desember 2011 sampai dengan September

2012 di rumah kaca dan Laboratorium Produksi Perkebunan Fakultas Pertanian,

Universitas Lampung.

3.2 Bahan dan Alat

Alat-alat yang digunakan adalah autoclave, bak semai, cangkul, ember, gunting,

pisau, timbangan, plastik meteran, gelas ukur, kotak pengomposan, tongkat kayu,

gembor, sarung tangan, oven, nampan, mikroskop majemuk, preparat, cawan

petri, oven, ayakan tanah, dan alat tulis.

Bahan-bahan yang digunakan adalah tanah; pasir; polybag dengan ukuran 12 x 19

cm (posisi terisi); kulit buah kakao; inokulum FMA (campuran spesies Glomus

sp., Gigaspora sp., dan Entrophospora sp.); HCl 1%; KOH 10%; Trypan Blue

0,5%; EM4; gula merah; dan air.

3.3 Metode Penelitian

Untuk menjawab pertanyaan dalam perumusan masalah dan menguji hipotesis,

(28)

mikoriza dengan 2 taraf, yaitu m0 (tanpa mikoriza) dan m1 (campuran FMA jenis

Glomus sp., Gigaspora sp., dan Entrophospora sp.). Faktor kedua adalah

perbandingan volume tanah pasir (1 : 1) dan kompos kulit buah kakao dengan 5

taraf, yaitu k0 (0% KKBK), k1 (5 % KKBK), k2 (10 % KKBK), k3 (15% KKBK),

dan k4 (20 % KKBK).

Perlakuan diterapkan ke dalam satuan percobaan menurut rancangan kelompok

teracak sempurna (RKTS) dengan empat ulangan dan setiap satuan percobaan

terdiri atas dua polybag yang masing-masing berisi satu bibit kakao (Gambar 3).

Homogenitas ragam data yang diperoleh diuji dengan Uji Bartlett, sedangkan

untuk sifat kemenambahan data diuji dengan Uji Tukey. Bila kedua uji tidak

nyata, data dianalisis ragam. Pemisahan nilai tengah pada faktor pemberian FMA

dilakukan dengan menggunakan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf nyata

5%. Sedangkan untuk faktor dosis kompos kulit buah kakao dilanjutkan dengan

(29)

U

S

Kelompok 1 Kelompok 4 Kelompok 3 Kelompok 2

Gambar 3. Tata letak satuan percobaan pada meja Rumah Kaca Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

1. Pembuatan kompos kulit buah kakao

Limbah kakao dipotong – potong hingga homogen berukuran lebih kurang 2-5

cm2. Selanjutnya, limbah kakao sebanyak 300 kg disiram dengan 80 ml EM4

yang telah dilarutkan dengan gula merah 300 gram dalam 20 liter air.

Kemudian adonan tersebut ditutup dengan plastik (Gambar 4). Adonan

disimpan di ruang terbuka, tetapi tidak boleh terkena sinar matahari. Kompos

(30)

telah matang setelah 2 bulan dengan kandungan N – total 0,61%, P – total

2,96%, C – organik 10,03, pH 7,22, dan C/N rasio 16,61.

Gambar 4. Proses pembuatan kompos kulit buah kakao. (A) kulit kakao utuh, (B) pencacahan kulit kakao menggunakan mesin pencacah, (C) hasil cacahan, (D) proses awal pengomposan dalam kotak dan disiram dengan larutan EM4.

2. Persiapan bak penyemaian

Media tanam yang digunakan dalam bak penyemaian adalah pasir. Sebelum

digunakan, pasir tersebut perlu disterilkan terlebih dahulu dengan

menggunakan autoklaf. Sterilisasi dilakukan untuk mengendalikan fungi

mikoriza arbuskular yang terdapat di dalam media pasir. Kemudian pasir

dimasukkan ke dalam bak penyemaian.

A B

(31)

3. Penyemaian benih

Sebelum benih disemai, dibuat terlebih dahulu lubang semai dengan

menggunakan jari tangan. Lalu benih kakao disemai di bak semai yang telah

disiapkan sebelumnya (Gambar 5). Setelah itu, benih ditutup kembali dengan

pasir yang ditaburkan di atasnya secara tipis. Penyiraman dilakukan 2 kali

sehari dengan menggunakan hand sprayer. Benih berada di persemaian selama

14 hari setelah semai.

Gambar 5. Proses penyemaian benih kakao pada bak semai dengan media pasir.

4. Penanaman bibit dan aplikasi kompos dan FMA dalam polybag

Setelah bibit berumur 14 hari, bibit dipindahkan ke polybag yang telah

disiapkan. Sebelum dilakukan penanaman di polybag, dilakukan seleksi bibit

yang sehat (Gambar 6). Sebelum media dimasukkan ke dalam polybag,

terlebih dahulu dibuat adonan media tanah pasir (1 : 1) dan kompos dalam bak

besar sesuai dengan perlakuan. Pada perlakuan k0 (tanpa kompos), maka

perbandingan tanah pasir : kompos adalah 1 : 0. Pada perlakuan k1 (5 % [v/v]),

(32)

% [v/v]), maka perbandingan tanah pasir : kompos adalah 9 : 1. Pada perlakuan

k3 (15 % [v/v]), maka perbandingan tanah pasir : kompos adalah 17 : 3.

Sedangkan pada perlakuan k4 (20 % [v/v]), maka perbandingan tanah pasir :

kompos adalah 4 : 1. Kemudian media tersebutdicampur hingga merata

(homogen). Setelah itu, media yang sudah homogen dimasukkan ke dalam

polybag. Selanjutnya dibuat lubang tanam dengan ukuran panjang, lebar, dan

tinggi sekitar 10 cm. Dilanjutkan dengan pemberian mikoriza dengan dosis

500 spora per polybag. Setelah itu, bibit diambil dari bak semai dan

dipindahkan ke dalam polybag. Bibit ditanam dengan posisi tegak, kemudian

ditutup kembali dengan tanah dan agak sedikit ditekan (Gambar 7). Polybag

yang sudah ditanami disusun di rumah kaca mengikuti tata letak percobaan

seperti pada Gambar 3.

Gambar 6. Proses seleksi bibit sehat dan seragam. (A) bibit kakao yang berumur 2 minggu, (B) nampan berisi air yang akan menjadi tempat bibit yang terpilih untuk dipindah tanam, (C) bibit yang sehat dan seragam.

A B

(33)

Gambar 7. Cara inokulasi FMA pada akar bibit kakao.

5. Pemeliharaan

Pemeliharaan meliputi penyiraman, penyiangan gulma, dan pemupukan.

Penyiraman dilakukan sebanyak 2 kali sehari. Penyiangan gulma dilakukan

dengan mencabut gulma yang ada di dalam polybag, sedangkan pemupukan

dilakukan saat tanaman berumur 1 bulan dengan memberi pupuk NPK dengan

dosis 1 g/bibit dan dilakukan setiap 1 bulan sekali setelah transplanting.

3.5 Pengamatan

Untuk menguji keabsahan kerangka pemikiran dan hipotesis dilakukan

pengamatan terhadap peubah-peubah sebagai berikut:

1. Tinggi tanaman

Tinggi tanaman diukur dari pangkal batang hingga daun tertinggi dan

pelaksanaannya mulai dilakukan saat bibit berumur 4 minggu setelah

transplanting sampai akhir penelitian (bibit berumur 4 bulan) dengan periode

waktu 1 bulan antar pengukuran.

Bibit kakao umur 14 hari

Polybag ukuran 12 x 19 cm Inokulum FMA

(34)

2. Jumlah Daun

Daun yang dihitung adalah daun yang sudah membuka secara sempurna pada

setiap perlakuan dan penghitungan mulai dilakukan saat bibit berumur 4

minggu setelah transplanting sampai akhir penelitian (bibit berumur 4 bulan)

dengan periode waktu 1 bulan antar pengukuran.

3. Diameter Batang

Diameter batang diukur pada ketinggian 5 cm dari pangkal batang dengan

menggunakan jangka sorong. Pengukuran diameter batang dilakukan saat

bibit berumur 4 minggu setelah transplanting sampai akhir penelitian (bibit

berumur 4 bulan) dengan periode waktu 1 bulan antar pengukuran.

4. Tingkat Kehijauan Daun

Tingkat kehijauan daun diukur pada daun ke-3 atau ke-empat di mana daun

tersebut memiliki warna yang sudah mantap, tidak mengalami perubahan

warna lanjutan. Pengukuran tingkat kehijauan daun dilakukan saat bibit

berumur 4 BST (bulan setelah transplanting) dengan menggunakan alat

klorofilmeter (Gambar 8).

(35)

5. Bobot segar tajuk

Bobot segar tajuk diukur pada akhir penelitian yaitu saat tanaman berumur 4

bulan dengan menimbang seluruh tajuk setelah dipanen menggunakan

timbangan digital.

6. Bobot segar akar

Bobot segar akar diukur pada akhir penelitian yaitu saat tanaman berumur 4

bulan dengan menimbang seluruh akar setelah dipanen menggunakan

timbangan digital.

7. Volume Akar

Volume akar diukur secara manual dan sederhana, yaitu dengan menghitung

selisih volume air di dalam gelas ukur 500 ml sebelum dan sesudah

dimasukkan akar bibit kakao.

8. Bobot kering akar

Bobot kering akar diukur pada setiap perlakuan dengan cara mengeringkan

akar dalam oven yang bersuhu 70 0C sampai bobotnya konstan, kemudian

ditimbang. Kegiatan ini dilakukan pada saat tanaman berumur 4 bulan

dengan menggunakan timbangan digital.

9. Bobot kering tajuk

Bobot kering tajuk diukur dengan cara memasukkan batang dan daun ke

dalam oven yang bersuhu 70 0C sampai bobotnya konstan, kemudian

ditimbang. Pengukuran dilakukan pada saat tanaman berumur 4 bulan

(36)

10. Persen infeksi akar

Sampel akar sekunder diambil secara acak ± 20 helai, kemudian dicuci

sampai bersih dan dimasukkan ke dalam botol film. Botol yang telah terisi

dengan sampel akar diisi dengan larutan KOH 10% sampai seluruh akar

terpendam, kemudian dikukus dalam water bath dengan suhu ± 800C selama

± 20 menit untuk membersihkan sel dari sitoplasma. Larutan KOH 10%

kemudian dibuang dan akar dicuci bersih dengan air. Sampel akar kemudian

direndam dalam larutan HCl 1%, dikukus kembali dalam water bath dengan

suhu ± 800C selama ± 15 menit. Selanjutnya, larutan HCl dibuang dan akar

direndam dengan trypan blue 0,05% (0,5 g trypan blue + 450 ml glycerol +

500 ml akuades + 50 ml HCl 1%) selama satu hari. Akar yang sudah

diwarnai dipotong sepanjang ± 2 cm, kemudian diletakkan di atas preparat

untuk diamati di bawah mikroskop majemuk dengan perbesaran 100 kali.

Rumus yang digunakan untuk menghitung persen infeksi akar oleh FMA

adalah :

jumlah pengamatan yang positif terinfeksi FMA

% Infeksi akar = x 100%

(37)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan sebagai

berikut:

1. Pemberian Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) tidak mampu meningkatkan

pertumbuhan bibit kakao.

2. Respons bibit kakao terhadap pemberian kompos kulit buah kakao (KKBK)

bersifat linear negatif, artinya terjadi penekanan pertumbuhan bibit kakao

seiring dengan meningkatnya dosis kompos kulit buah kakao.

3. Respons bibit kakao terhadap pemberian KKBK tidak ditentukan oleh aplikasi

FMA.

4. Dosis KKBK yang menghasilkan pertumbuhan bibit kakao terbaik adalah 0 %

(v/v) baik untuk bibit yang diberi FMA maupun tanpa FMA.

5.2 Saran

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa FMA yang digunakan tidak berpengaruh

nyata terhadap pertumbuhan bibit kakao yang diduga salah satunya diakibatkan

oleh tingkat kesuburan tanah yang cukup tinggi. Oleh sebab itu, disarankan

sebelum digunakan, tanah terlebih dahulu dianalisis tingkat kesuburannya, agar

(38)

Kandungan tanin yang terdapat pada kulit kakao bersifat racun. Seperti halnya

cocopeat, sebelum diaplikasikan sebagai campuran media tanam, disarankan agar

kulit buah kakao direndam terlebih dahulu untuk menghilangkan atau

meminimalisir racunnya. Selain itu, dengan adanya senyawa tanin ini, disarankan

untuk dilakukan penelitian serupa dengan perlakuan lama perendaman kulit buah

kakao agar dapat diketahui waktu perendaman yang efektif yang mampu

(39)

PENGARUH PEMBERIAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULAR DAN KOMPOS KULIT BUAH KAKAO PADA PERTUMBUHAN BIBIT

KAKAO (Theobroma cacao L.) (Skripsi)

Oleh

Ananda Yashinta Rahmayanti

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG

(40)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Luas areal pertanaman kakao di Indonesia pada tahun 2005-2010

(Dirjen Perkebunan, 2011a). ... 2

2. Produksi tanaman kakao di Indonesia pada tahun 2005-2010

(Dirjen Perkebunan, 2011b). ... 2

3. Tata letak percobaan di rumah kaca pada meja Rumah Kaca

Fakultas Pertanian Universitas Lampung. ... 27

4. Proses pembuatan kompos kulit buah kakao. (A) kulit kakao utuh, (B) pencacahan kulit kakao menggunakan mesin pencacah, (C) hasil cacahan, (D) proses awal pengomposan dalam kotak dan

disiram dengan larutan EM4. ... 28

5. Proses penyemaian benih kakao pada bak semai dengan media

pasir. ... 29

6. Proses seleksi bibit sehat dan seragam. (A) bibit kakao yang berumur 2 minggu, (B) nampan berisi air yang akan menjadi tempat bibit yang terpilih untuk dipindah tanam, (C) bibit yang

sehat dan seragam. ... 30

7. Cara inokulasi FMA pada akar bibit kakao. ... 30

8. Proses pengamatan tingkat kehijauan daun menggunakan

klorofilmeter. ... 32

9. Hubungan antara dosis kompos kulit buah kakao dan tinggi bibit

kakao umur 2 – 4 BST. ... 37

10. Hubungan antara dosis kompos kulit buah kakao dan jumlah daun

(41)

12. Hubungan antara dosis kompos kulit buah kakao dan bobot segar

tajuk bibit kakao umur 4 BST. ... 42

13. Hubungan antara dosis kompos kulit buah kakao dan bobot segar

akar bibit kakao umur 4 BST. ... 43

14. Hubungan antara dosis kompos kulit buah kakao dan volume akar

bibit kakao umur 4 BST. ... 45

15. Hubungan antara dosis kompos kulit buah kakao dan bobot kering

tajuk bibit kakao umur 4 BST. ... 46

16. Hubungan antara dosis kompos kulit buah kakao dan bobot kering

akar bibit kakao umur 4 BST. ... 47

17. Akar yang terinfeksi FMA (A) dan akar yang tidak terinfeksi

FMA (B). ... 50

18. Perbedaan tinggi bibit kakao sesuai dengan level dosis kompos kulit buah kakao dari yang 0% (v/v) (paling kanan) sampai dengan 20%

(v/v) (paling kiri). ... 52

19. Bibit tanpa kompos kulit buah kakao (A) dan bibit yang diberi

kompos kulit buah kakao dengan dosis 20% (v/v) (B). ... 53

20. Cairan cokelat yang diperkirakan mengandung tanin (bagian yang

dilingkari). ... 56

21. Buah kakao yang dijadikan sumber benih yang berasal dari Kebun

Kakao Unit Usaha Way Berulu PTPN. VII (Persero). ... 85

22. Benih Kakao Lindak Hibrida F 1 dari Kebun Kakao Unit Usaha Way Berulu PTPN. VII (Persero) yang digunakan dalam

penelitian. ... 85

(42)

25. Perbandingan bibit yang tidak diberi FMA berdasarkan dosis

kompos kulit buah kakao pada 2 BST. ... 86

26. Perbandingan bibit yang diberi FMA berdasarkan dosis kompos

kulit buah kakao pada 2 BST. ... 87

27. Perbandingan bibit yang tidak diberi FMA berdasarkan dosis

kompos kulit buah kakao pada 3 BST. ... 87

28. Perbandingan bibit yang diberi FMA berdasarkan dosis kompos

kulit buah kakao pada 3 BST. ... 87

29. Perbandingan bibit yang tidak diberi FMA berdasarkan dosis

kompos kulit buah kakao pada 4 BST. ... 88

30. Perbandingan bibit yang diberi FMA berdasarkan dosis kompos

(43)
(44)

4.1 Hasil Penelitian ... 35

4.1.1 Tinggi Tanaman ... 35

4.1.2 Jumlah daun ... 37

4.1.3 Diameter Batang ... 39

4.1.4 Tingkat Kehijauan Daun ... 40

4.1.5 Bobot Segar Tajuk ... 41

4.1.6 Bobot Segar Akar ... 42

4.1.7 Volume Akar ... 44

4.1.8 Bobot Kering Tajuk ... 45

4.1.9 Bobot Kering Akar ... 46

4.1.10 Persen Infeksi Akar ... 48

4.2 Pembahasan ... 49

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 59

5.1 Kesimpulan ... 59

5.2 Saran ... 59

PUSTAKA ACUAN ... 61

LAMPIRAN Tabel 17 – 71 ... 66

(45)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Dr. Ir. Maria Viva Rini, M.Sc.

Sekretaris : Ir. M. A. Syamsul Arif, M.Sc., Ph.D.

Penguji

Bukan Pembimbing : Prof. Dr. Ir. Sri Yusnaini, M.Si.

2. Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S. NIP. 196108261987021001

(46)

Judul Skripsi : PENGARUH PEMBERIAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULAR DAN KOMPOS KULIT BUAH KAKAO PADA PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.)

Nama Mahasiswa : Ananda Yashinta Rahmayanti

No. Pokok Mahasiswa : 0814013005

Jurusan : Agroteknologi

Fakultas : Pertanian

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Maria Viva Rini, M.Sc. Ir. M. A. Syamsul Arif, M.Sc., Ph.D. NIP. 196603041990122001 NIP. 196104191985031004

2. Ketua Jurusan Agroteknologi

(47)

PUSTAKA ACUAN

Aeni, E. N. 2005. Pengaruh inokulasi cendawan mikoriza arbuskular (CMA) dan fumigasi media terhadap pertumbuhan bibit kakao (Theobroma cacao L.). Skripsi. Universitas Lampung. Bandarlampung. 58 hlm.

Anas, I. 1997. Bioteknologi Tanah. Laboratorium Biologi Tanah. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. 54 hlm.

Anggiarini, U. 2005. Pengaruh inokulasi fungi mikoriza arbuskular dan posisi biji dalam buah terhadap pertumbuhan bibit kakao (Theobroma cacao L.). Skripsi. Universitas Lampung. Bandarlampung. 59 hlm.

Bahri, S. 1996. Bercocok Tanam Tanaman Perkebunan Tahunan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 318 hlm.

Chairuman, N. 2008. Efektivitas cendawan mikoriza arbuskula pada beberapa tingkat pemberian kompos jerami terhadap ketersediaan fosfat serta pertumbuhanddan produksi padi gogo di tanah ultisol. Tesis. Universitas Sumatera Utara. Medan. 120 hlm.

Cruz, A. F., T. Ishii, and K. Kadoya. 2000. Effect of arbuscular mycorrhizal fungi on tree growth, leaf water potential, and levels of

1-aminocyclopropane-1-carboxylic acid and ethylene in the roots of papaya under water stress conditions. Mycorrhiza J. 10 (3) : 121-123.

Departemen Perindustrian. 2007. Gambaran Sekilas Industri Kakao. Sekretariat Jenderal Departemen Perindustrian. Jakarta. 44 hlm.

Dewi, I. R. 2007. Peran, prospek, dan kendala dalam pemanfaatan endomikoriza. Makalah. Universitas Padjajaran. Bandung. 54 hlm.

Didiek, H.G dan Y. Away. 2004. Orgadek: Aktivator Pengomposan.

Pengembangan Hasil Penelitian Unit Penelitian Bioteknologi Perkebunan. Bogor. 87 hlm.

(48)

Direktorat Jenderal Perkebunan. 2011b. Produksi Kakao menurut Propinsi di Seluruh Indonesia. Directorate General of Estate Crops. 1 hlm.

Foth, D. F. 1994. Dasar – Dasar Ilmu Tanah. Erlangga. Jakarta. 372 hlm.

Goenadi. 1997. Kompos bioaktif dari kulit buah kakao. Kumpulan Makalah Pertemuan Teknis Biotek. Perkebunan Untuk Praktek. Bogor. Hlm 18 – 27.

Harinikumar, K.M, D.J. Bagyaraj, and B. Mallesha. 1990. Effect of

Intercropping and organic soil amendments on native V A mycorrhizal fungi in an oxisol. Arid Soil Res. Rehabil. 4: 193-198.

Indriani, Y. H. 2011. Membuat Kompos secara Kilat. Penebar Swadaya. Jakarta. 68 hlm.

Islami, T. dan W. H. Utomo. 1995. Hubungan Tanah, Air, dan Tanaman. IKIP Semarang Press. Semarang. 297 hlm.

Isroi. 2007. Pengomposan Limbah Kakao. Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia. Bogor. 17 hlm.

Jayanegara, C. M. 2011. Pengaruh pemberian mikoriza vesikular arbuskular (mva) dan berbagai dosis pupuk kompos terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman sorgum. Skripsi. Fakultas Pertanian UPN “Veteran”.

Yogyakarta. 112 hlm.

Kabirun, S. 2002. Tanggap padi gogo terhadap inokulasi mikoriza arbuskula dan pemupukan fosfat di entisol. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan 3 (2) : 49 – 56.

Kristijono, A. 2010. Pemanfaatan gambut sebagai media tumbuh bituman (biji tumbuh mandiri) dalam rangka mendukung kegiatan rehabilitasi lahan kritis. Laporan Akhir Program Insentif Riset Perekayasa DIKTI. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Jakarta Pusat. 87 hlm.

Lingga, P. dan Marsono. 2004. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penebar Swadaya. Jakarta. 163 hlm.

Lucia, Y., S. Yahya, dan M. Y. Fakuara. 1998. Efisiensi pemberian air pada bibit kakao yang diinokulasi cendawan mikoriza. Buletin Agronomi 26 (1) : 1 – 8. IPB. Bogor.

Muas, I., M. J. Anwarudin, dan Y. Herizal. 2002. Pengaruh inokulasi cendawan mikoriza arbuskula terhadap pertumbuhan bibit manggis. Jurnal

(49)

Musfal. 2008. Efektifitas cendawan mikoriza arbuskula (CMA) terhadap pemberian pupuk spesifik lokasi tanaman jagung pada tanah inceptisol. Tesis. Universitas Sumatera Utara. Medan. 79 hlm.

Muslim. 2009. Efektivitas Pemberian Mikoriza dan Kompos Tandan Kosong Kelapa Sawit terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kedelai pada Waktu Tanam yang Berbeda. Skripsi. USU. Medan. 98 hlm.

Pattimahu, D.V. 2004. Restorasi lahan kritis pasca tambang sesuai kaidah ekologi. Makalah. IPB. Bogor. 18 hlm.

Pramiadi, D. dan Suyitno, A. I. 2008. Uji daya alelopati ekstrak daun kleresede (Gliricidia sp)melalui bioassay perkecambahan dengan biji sawi (Brassica sp) dan biji bayam (Amaranthus sp). Makalah. Universitas Negeri

Yogyakarta. Yogyakarta. 16 hlm.

Rahardjo, P. 2011. Menghasilkan Benih dan Bibit Kakao Unggul. Penebar Swadaya. Jakarta. 132 hlm.

Rao, N. S. S. 1994. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Eds. 2. Universitas Indonesia Press. Jakarta. 353 hlm.

Rini, M. V., A. Hashim, dan M. I. Z. Abidin. 1996. The effectiveness of two arbuscular mycorrhiza species on growth of cocoa (Theobroma cacao L.)

seedlings. Pertanika J. Trop. Agric. Sci. 19 (2/3): 197 – 204.

Sartini, M. N. Djide, dan G. Alam. 2007. Ekstraksi komponen bioaktif dari limbah kulit buah kakao dan pengaruhnya terhadap aktivitas antioksidan dan antimikroba. Jurnal Fakultas Farmasi Universitas Hasanudin. Universitas Hasanudin. Makassar. 7 hlm.

Sasli, I. 1999. Tanggap karakter morfofisiologi bibit kakao bermikoriza arbuskul terhadap cekaman kekeringan. Tesis Pascasarjana IPB. IPB. Bogor. 68 hlm.

Sasli, I. 2004. Peranan mikoriza vesikula arbuskula (MVA) dalam peningkatan resistensi tanaman terhadap cekaman kekeringan. Makalah. IPB. Bogor. 12 hlm.

Simanungkalit, R. D. M. 2004. Fungi mikoriza arbuskular di bidang pertanian.

Dalam Prosiding Workshop Mikoriza Teknik Produksi Bibit Tanaman Bermikoriza. Bogor. 13-15 Desember 2004. Hlm 13-17.

Siregar, T. H. S., S. Riyadi, dan L. Nuraeni. 2004. Budidaya, Pengolahan, dan Pemasaran Kakao. Penebar Swadaya. Jakarta. 170 hlm.

(50)

Soedarsono, S. A. dan E. Aulistyowati. 1997. Penebaran kulit buah kakao sebagai sumber bahan organik tanah dan pengaruhnya terhadap produksi kakao. Jurnal Pelita Perkebunan 13(2) : 90-99.

Spillane, J. 1995. Komoditi Kakao, Peranannya dalam Perekonomian Indonesia. Kanisius. Yogyakarta. 380 hlm.

Sudirja, R., M. A. Solihin, dan S. Rosniawaty. 2005. Pengaruh kompos kulit buah kakao dan kascing terhadap perbaikan beberapa sifak kimia fluventic eutrudepts. Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran. Bandung. 43 hlm.

Suhaelah, E. 2007. Respons tanaman nilam (pogostemon cablin benth) terhadap pemberian rootone f dan cendawan mikoriza arbuskular. Skripsi.

Universitas Lampung. Bandar Lampung. 88 hlm.

Suhardi. 1989. Mikoriza Vesikular Arbuskular (MVA). Pusat Antar Universitas (PAU) Bioteknologi UGM. Yogyakarta. 128 hlm.

Suherman, C., A. Nuraini, dan S. Rosniawaty. 2006. Pemanfaatan Cendawan Mikoriza Arbuskular (CMA) serta Media Campuran Subsoil dan Kompos pada Pembibitan Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis ). UNPAD. Bandung. 16 hlm.

Susanto, F. X. 1994. Tanaman Kakao: Budidaya dan Pengolahan Hasil. Kanisius. Yogyakarta. 183 hlm.

Syib’li. M. A. 2008. Jati mikoriza: sebuah upaya mengembalikan eksistensi

hutan dan ekonomi indonesia. http://-www.kabarindonesia.com. Diunduh tanggal 8 Maret 2011.

(51)

SANWACANA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah menberikan

karunia, rahmat, nikmat, dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan

penelitian dan menyusun skripsi ini.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Ibu Dr. Ir. Maria Viva Rini, M.Sc, dan Bapak Ir. M. A. Syamsul Arif, M.Sc., Ph.D., selaku pembimbing I dan pembimbing II atas bimbingan, nasihat,

kritik, dan perhatian yang diberikan kepada penulis selama melakukan

penelitian dan penulisan skripsi ini.

2. Ibu Prof. Dr. Ir. Sri Yusnaini, M.Si., selaku penguji bukan pembimbing atas

segala saran, masukan, dan kritikan yang membangun dalam penulisan skripsi

ini.

3. Bapak Prof. Dr. Ir. Soesiladi Esti Widodo, M.Sc., selaku Pembimbing

Akademik yang telah membimbing dan mengarahkan dengan penuh

kesabaran.

4. Bapak Dr. Ir. Kuswanta Futas Hidayat, M.P., selaku Ketua Program Studi

Agroteknologi.

5. Bapak Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S., selaku Dekan Fakultas

Pertanian Universitas Lampung.

6. Ibu, bapak, mas, mbak, dan adik penulis atas kasih sayang, pengorbanan, dan

(52)

penelitian.

8. Minarsih S.P., teman seperjuangan, atas kebersamaan, bantuan, dan motivasi

ke pada penulis.

9. Sri Hartati, S.P., Rara Ayu Sekarsari, S.P., Rizki Amelia, Dewi Puspita Sari,

Asep Suryana, S.P., Arif Aditya, S.P., Panji Setyo Arizka, S.P., dan

teman-teman yang tak bisa penulis utarakan satu persatu atas bantuan dan motivasi

yang diberikan kepada penulis.

10. Keluaga besar Agroteknologi 2008 dan Fosi FP Unila atas dukungan mereka

kepada penulis selama penelitian.

11. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini.

Penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna bagi semua pihak dan

mendapatkan ridho Allah SWT.

Bandar Lampung, 15 Februari 2013

Penulis,

Gambar

Gambar 2.  Produksi tanaman kakao di Indonesia pada tahun 2005-2010 (Dirjen Perkebunan, 2011b)
Gambar 3.  Tata letak satuan percobaan pada meja Rumah Kaca Fakultas Pertanian Universitas Lampung
Gambar 4. Proses pembuatan kompos kulit buah kakao. (A) kulit kakao utuh,
Gambar 5. Proses penyemaian benih kakao pada  bak semai dengan media pasir.
+5

Referensi

Dokumen terkait

Tidak adanya hubungan yang signifikan antara jenis pekerjaan dan durasi dengan ting- kat kecukupan gizi contoh karena sebagian be- sar contoh menghabiskan waktu di jalan sela-

Kajian ini bertujuan untuk meninjau sejauhmanakah faktor-faktor seperti sikap pensyarah, tahap kemudahan yang disediakan, kelebihan penggunaan internet dan multimedia serta

Status teknologi dari hasil penelitian ini tentunya sudah pada taraf aplikasi langsung pada dunia industri, dimana pihak pengguna dalam hal ini TNI – AL dapat

Pada saat ini perkembangan teknologi di bidang manufaktur sangat la cepat, dengan demikian permintaan pasar pun semangkin beragam akan kebutuhan produk-produk dan

Apabila para pihak telah memilih upaya penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya

Di dalam masalah Perselisihan Hubungan Industrial setiap masyarakat ingin yang terbaik dalam menuntut hak masing-masing. Sehingga apabila mekanisme penyelesaiannya berjalan

Akan tetapi indikator tersebut relevan dijadikan sebagai ukuran dasar pengelolaan hutan lestari untuk aspek produksi karena indikator tersebut merupakan