• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORUPSI PENGADAAN ALAT CUSTOMER INFORMATION SYSTEM DI PERUSAHAAN LISTRIK NEGARA WILAYAH LAMPUNG (Studi Putusan No. 03/PID.TPK/2011/PN.TK)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORUPSI PENGADAAN ALAT CUSTOMER INFORMATION SYSTEM DI PERUSAHAAN LISTRIK NEGARA WILAYAH LAMPUNG (Studi Putusan No. 03/PID.TPK/2011/PN.TK)"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORUPSI PENGADAAN ALATCUSTOMER INFORMATION SYSTEM

DI PERUSAHAAN LISTRIK NEGARA WILAYAH LAMPUNG

(Studi Putusan No. 03/PID.TPK/2011/PN.TK)

(Skripsi)

Oleh

YOPI PRASETYA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRAK

Korupsi pada saat ini banyak dilakukan kalangan pejabat-pejabat pemerintahan yang sangat merugikan keuangan dan perekonomian negara. Tindak pidana korupsi di Indonesia saat ini yang dilakukan para pejabat pemerintahan juga banyak dilakukan oleh pejabat daerah, seperti di PLN Wilayah Lampung. Permasalahan yang diangkat adalah : (1). Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana korupsi pengadaan alat customer information system (CIS) di PLN Wilayah Lampung dalam putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang No. 03/PID.TPK/2011/PN.TK dan (2). Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi terhadap pelaku tindak pidana korupsi pengadaan alat customer information system (CIS) di PLN Wilayah Lampung dalam putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang No. 03/PID.TPK/2011/PN.TK.

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan masalah yuridis normatif dan yuridis empiris. Sedangkan sumber data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh langsung dari hasil penelitian dilapangan yang berupa pendapat-pendapat dan cara kerja aparat penegak hukum yang menjadi responden dan data sekunder yang diperoleh berdasarkan studi kepustakaan. Setelah data-data tersebut diperoleh, maka dilakukan proses editing yang selanjutnya akan dilakukan analisis secara kualitatif.

(3)

Yopi Prasetya

serta meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama pengadaan alat customer information system (CIS) di PLN Wilayah Lampung. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana korupsi pengadaan alat customer information system (CIS) di PLN Wilayah Lampung dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 03/PID.TPK/2011/PN.TK berdasarkan Pasal 183 dan 184 KUHAP dan harus memuat hal-hal yuridis dan non yuridis. Pertimbangan hakim bersifat yuridis adalah alat bukti yang berupa keterangan saksi-saksi, keterangan ahli, barang bukti serta keterangan terdakwa, dan fakta-fakta hukum yang terungkap dipersidangan. Pertimbangan hakim yang bersifat non yuridis adalah hal yang memberatkan dan hal yang meringankan.

(4)

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORUPSI PENGADAAN ALATCUSTOMER INFORMATION SYSTEM

DI PERUSAHAAN LISTRIK NEGARA WILAYAH LAMPUNG

(Studi Putusan No. 03/PID.TPK/2011/PN.TK)

Oleh

YOPI PRASETYA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)

Judul Skripsi : ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORUPSI PENGADAAN ALATCUSTOMER INFORMATION SYSTEMDI PERUSAHAAN LISTRIK NEGARA WILAYAH LAMPUNG (Studi Putusan No. 03/PID.TPK/2011/PN.TK) Nama Mahasiswa :Yopi Prasetya

No. Pokok Mahasiswa : 0812011314

Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Eko Raharjo, S.H., M.H. Maya Shafira, S.H., M.H. NIP 19610406 198903 1 003 NIP 19770601 200501 2 002

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

(6)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua :Eko Raharjo, S.H., M.H.

...

Sekretaris/Anggota :Maya Shafira, S.H., M.H.

...

Penguji Utama :Firganefi, S.H., M.H.

...

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H. M.S. NIP 19621109 198703 1 003

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tanjung Karang 5 Juli 1989, yang merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Ayahanda Wardoyo dan Ibunda Nurhamidah.

Penulis menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-Kanak (TK) Dharma Wanita Pewa Natar, Lampung Selatan pada tahun 1995, Sekolah Dasar Negeri 1 Natar, Lampung Selatan pada tahun 2001, kemudian penulis melanjutkan studinya di Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Natar, Lampung Selatan pada tahun 2004 dan Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Natar, Lampung Selatan pada tahun 2007. Penulis diterima di Fakultas Hukum Universitas Lampung pada Tahun 2008 melalui Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).

(8)

PERSEMBAHAN

Dengan mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT, atas rahmat dan hidayahNYA, maka dengan

ketulusan dan kerendahan hati serta setiap perjuangan dan jerih payahku,

aku persembahkan karya sederhana ini kepada :

Ayah dan Bunda

Yang sangat aku sayangi, terima kasih untuk setiap pengorbanan, kesabaran, kasih sayang yang tulus serta

do a demi keberhasilanku

Adikku dan seluruh keluargaku tersayang, terima kasih atas kasih sayang, do a dan dukungannya.

Sahabat-sahabatku tercinta yang selama ini selalu menemani, memberikan dukungan dan do anya untuk

keberhasilanku, terimakasih atas persahabatan yang indah dan waktu-waktu yang kita lalui bersama.

Almamaterku tercinta, Fakultas Hukum Universitas

(9)

MOTTO

Syukurilah apa yang ada pada dirimu, karena Tuhan tau apa yang terbaik

bagi dirimu dan orang disekitarmu.

Jadikanlah perbedaan itu sebagai suatu keindahan, karena dengan

perbedaan itu hidup akan menjadi

lebih berwarna.

masa lalu adalah sejarah, masa depan adalah impian dan masa sekarang

adalah anugrah. Jadikanlah anugrah dan sejarah untuk

(10)

SANWACANA

Alhamdulillah, Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Analisis Pertanggungjawaban Pidana Korupsi Pengadaan Alat Customer Information System Di Perusahaan Listrik Negara Wilayah Lampung (Studi No. 03/PID.TPK/2011/PN.TK)” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Lampung.

Penulis menyadari selesainya skripsi ini tidak terlepas dari partisipasi, bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Maka kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.

(11)

4. Ibu Maya Shafira, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan penulis selama penyelesaian skripsi ini.

5. Ibu Firganefi, S.H., M.H. selaku Dosen Pembahas I yang telah banyak memberikan saran, masukan dan kritik membangunnya dalam penyempurnaan skripsi ini.

6. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H. selaku Dosen Pembahas II yang telah banyak memberikan kritikan, koreksi dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini.

7. Ibu Siti Nurhasanah, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing Akademik selama penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.

8. Para Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tak bisa disebutkan satu persatu, atas bimbingan dan pengajarannya selama penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.

9. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah membantu penulis dalam proses akademis dan kemahasiswaan atas bantuannya selama penyusunan skripsi.

10. Keluargaku tersayang, Ayah dan Bunda yang selalu mendukung dan mendoakan untuk keberhasilanku, dan adikku Ade Dwi Wardani yang menjadi motivasiku dalam menyelesaikan skripsi ini, terima kasih buat semua yang telah diberikan. Dan semua saudaraku terima kasih atas semua dukungan dan doanya.

(12)

12. Sahabat-sahabatku : Darwis, Yon, Haris, Joko, Yetno, Teguh, Nanang, Muti, Tiwi, Krishna, Anak-anak Ipa 1 dan teman-temanku dimanapun berada tidak dapat disebutkan satu persatu terima kasih atas dukungan, do’a, kebersamaan serta persahabatannya.

13. Teman-teman KKN di Desa Mutar Alam, Lampung Barat : Sherly, Zikri, Chairul, Yusi, Bona, terima kasih atas kebersamaan dan kenangan indah yang tak terlupakan yang pernah dilewati bersama.

14. Teman-temanku di Fakultas Hukum Universitas Lampung angkatan 2008 : Widiya, Yuli, Messi, Putri, Fina, Anggun, Meta, Novie, Vicky, Ima, Melvin, Intan, Ira, Ani, Windy dan teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih atas motivasi dan bantuanya.

15. Almamaterku tercinta yang sudah memberi banyak wawasan dan pengalaman berharga.

Semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi agama, masyarakat, bangsa dan negara, para mahasiswa, akademisi, serta pihak-pihak lain yang membutuhkan terutama bagi penulis. Saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan perlindungan dan kebaikan bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, Mei 2012 Penulis

(13)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ABSTRAK

HALAMAN PERSETUJUAN HALAMAN PENGESAHAN RIWAYAT HIDUP

PERSEMBAHAN MOTTO

SANWACANA DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Pemasalahan dan Ruang Lingkup ... 4

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 5

D. Kerangka Teori dan Konseptual ... 6

E. Sistematika Penulisan ... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana ... 13

B. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi ... 16

C. Pengertian Tindak Pidana ... 20

(14)

E. Pengertian Tindak Pidana Korupsi ... 23

F. Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana ... 31

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah... 33

B. Sumber dan Jenis Data ... 33

C. Penentuan Populasi dan Sampel... 35

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 36

E. Analisis Data ... 37

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden ... 39

B. Gambaran Umum Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 03/PID.TPK/2011/PN.TK... 41

C. Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Korupsi Pengadaan AlatCustomer Information System(CIS) Di Perusahaan Listrik Negara Wilayah Lampung Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 03/PID.TPK/2011/PN.TK... 42

(15)

DAFTAR PUSTAKA

Chazawi, Adami. 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Rajawali Pers. Jakarta.

Hamzah, Andi. 2003.Hukum Acara Pidana Indonesia, Sapta Artha Jaya. Jakarta. ---. 2008. KUHP dan KUHAP. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta. Hartanti, Evi. 2005.Tindak Pidana Korupsi. Sinar Grafika. Jakarta.

Moeljatno. 1993.Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta. Jakarta.

Muladi dan Barda Nawawi Arif. 1998. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Alumni. Bandung.

Muladi. 1998.Lembaga Pidana Bersyarat. Alumni. Jakarta.

Prahasta, Eddy. 2004. Konsep-Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Informatika. Bandung.

Projodikoro, Wirjono. 1986. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Eresco. Jakarta.

Saleh, Roeslan. 1982. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Angkasa. Jakarta.

Sangaji, W. 1999.Tindak Pidana Korupsi, Indah. Surabaya. Simons. 1992.Pelajaran Hukum Pidana, Pioner Jaya. Bandung.

Soesilo, R. 1984. Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus. Politae. Bogor.

Soedarto. 1986.Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni. Bandung.

(16)

Soekanto, Soerjono. 1985. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali. Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1996. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Tim Penyusun Kamus. Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta.

Universitas Lampung, 2008. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Universitas Lampung. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

W.J.S Poerwadarminta, 1998.Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia

(17)

A. Latar Belakang

Korupsi merupakan permasalahan yang dapat dikatakan sebagai sumber utama dari permasalahan bangsa Indonesia. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan telah masuk sampai keseluruh lapisan kehidupan masyarakat. Perbuatan tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi tidak lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa. Sehingga dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa.

Tindak pidana korupsi tidak harus mengandung secara langsung unsur merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, misalnya suap menyuap. Yang merupakan perbuatan tercela adalah penyalahgunaan kekuasaan, perilaku diskriminatif dengan memberikan keuntungan finansial, pelanggaran kepercayaan, rusaknya mental pejabat, ketidakjujuran dalam berkompetisi dan lain-lain. Menyadari kompleksnya permasalahan korupsi di tengah-tengah krisis multidimensional serta ancaman nyata yang pasti terjadi, yaitu dampak dari kejahatan ini. Maka tindak pidana korupsi dapat dikategorikan sebagai permasalahan nasional yang harus dihadapi secara sungguh-sungguh melalui langkah-langkah yang tegas dan jelas dengan melibatkan semua potensi yang ada dalam masyarakat khususnya pemerintah dan aparat penegak hukum. (Evi Hartanti, 2005: 5).

(18)

Keuangan dan Pembangunan (selanjutnya disingkat BPKP), sebagai lembaga Non-Departemen yang bertugas mengaudit setiap lembaga pemerintah secara independen. BPKP sudah seharusnya menjadi lembaga yang dapat mengidentifikasi bahwa telah terjadi suatu tindak pidana korupsi dalam jajaran aparatur negara, begitu juga dalam proses pembuktian di persidangan Auditor BPKP selalu dihadirkan untuk memberikan keterangan tentang adanya kerugian negara atau menghitung seberapa besar kerugian negara dalam kasus tindak pidana korupsi.

Kerjasama dilaksanakan dalam rangka mewujudkan pengelolaan keuangan negara yang tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggungjawab sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, perlu dilakukan penertiban, khususnya penyimpangan dan pengelolaan keuangan negara termasuk dana nonbudgeter serta pengadaan barang dan jasa. Dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan dan pembangunan negara yang dapat menghambat laju pembangunan nasional, sehingga perlu adanya kesamaan persepsi dalam proses penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus-kasus yang berindikasi tindak pidana korupsi termasuk dana nonbudgeter.

(19)

31 tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Pasal 2 (1) jo Pasal 18 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan jelas menyebutkan bahwa, setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dapat dipidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Hal ini tentu mengakibatkan terjadinya perbedaan antara peraturan perundang-undangan dengan putusan yang diberikan oleh Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang terhadap terdakwa pelaku tindak pidana korupsi tersebut. Hal yang meringankan apakah yang menyebabkan Majelis Hakim yang menangani perkara ini di Pengadilan Negeri Tanjung Karang

memberikan putusan yang menurut penulis, putusan ini adalah putusan yang ringan dan tidak

memberikan efek jera kepada pelaku tindak pidana korupsi dan tidak sesuai dengan undang-undang

tindak pidana korupsi yang berlaku.

Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk melakukan analisis terhadap putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 03/PID.TPK/2011/PN.TK, yang terdapat perbedaan atau ketidaksesuaian antara peraturan perundang-undangan dengan putusan yang diberikan oleh Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang terhadap terdakwa pelaku tindak pidana korupsi tersebut. Dimana terdakwa hanya dihukum 3 (tiga) tahun sedangkan didalam Undang-Undang Tindak Pemberantasan Korupsi pidana penjara minimal 4 (empat) tahun. Melalui penulisan skripsi yang berjudul “Analisis Pertanggungjawaban Pidana Korupsi Pengadaan Alat Customer Information System (CIS) Di PLN Wilayah Lampung (Studi Putusan No.

03/PID.TPK/2011/PN.TK)”.

(20)

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian adalah :

a. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana korupsi pengadaan alat Customer Information System (CIS) di PLN Wilayah Lampung dalam putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 03/PID.TPK/2011/PN.TK ?

b. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara pelaku tindak pidana korupsi pengadaan alat Customer Information System (CIS) di PLN Wilayah Lampung dalam putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 03/PID.TPK/2011/PN.TK ?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian dalam penulisan skripsi ini dibatasi pada pembahasan terhadap penentuan pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana korupsi pengadaan alat Customer Information System (CIS) di PLN Wilayah Lampung dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi tindak pidana korupsi pengadaan alatCustomer Information System(CIS) di PLN Wilayah Lampung dengan lokasi penelitian di wilayah hukum Pengadilan Negeri Tanjung Karang.

(21)

Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah dan pokok bahasan diatas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana korupsi pengadaan alat Customer Information System(CIS) di PLN Wilayah Lampung.

b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara pelaku tindak pidana korupsi pengadaan alatCustomer Information System(CIS) di PLN Wilayah Lampung.

2. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini memiliki dua kegunaan, yaitu kegunaan teoritis dan kegunaan praktis. a. Kegunaan Teoritis

Kegunaan penulisan ini adalah untuk pengembangan kemampuan daya nalar dan daya pikir yang sesuai dengan disiplin ilmu pengetahuan yang dimiliki untuk dapat mengungkapkan secara obyektif melalui metode ilmiah dalam memecahkan setiap permasalahan yang ada, khususnya masalah yang berkaitan dengan aspek tindak pidana korupsi.

b. Kegunaan Praktis

Hasil penulisan skripsi ini diharapkan dapat digunakan bagi masyarakat dan bagi aparatur penegak hukum dalam memperluas serta memperdalam ilmu hukum khususnya ilmu hukum pidana dalam menentukan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi pengadaan alatCustomer Information System(CIS) di PLN Wilayah Lampung.

(22)

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari hasil-hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi yang dianggap relevan oleh peneliti. (Soerjono Soekanto ; 1996 : 125).

Skripsi ini akan membahas mengenai pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana korupsi, untuk mempertajam fakta tersebut sangat penting untuk mengetahui pasal-pasal dalam peraturan hukum yang berlaku menyangkut fakta tersebut dan teori-teori serta interpretasi dari para ahli. Perbuatan yang melawan hukum belumlah cukup untuk menjatuhkan hukuman, disamping perbuatan melawan hukum harus ada seorang pembuat (dader) yang bertanggungjawab atas perbuatannya pembuat, haruslah terbukti bersalah (schute hebben) terhadap tindak pidana yang dilakukan.

Pertanggungjawaban pidana atau kesalahan menurut hukum pidana (shute in ruime zin) terdiri dari 3 (tiga) unsur :

1. Toerekening strafbaarheid(dapat dipertanggungjawabkan) pembuat. a) Suatu sikap psikis pembuat berhubungan dengan kelakuannya. b) Kelakuan yang sengaja.

2. Kelakuan dengan sikap kurang berhati-hati atau lalai (unsur kealpaan : culva, schute in enge zin).

3. Tidak ada alasan-alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana pembuat (unsur Toerekenbaar heid). (Andi Hamzah, 2003 : 130).

(23)

tidak mempunyai kesalahan walaupun telah melakukan perbuatan yang dilarang dan tercela,

tentu tidak dipidana. Asas yang tidak tertulis “tiada dipidana seseorang jika tidak ada kesalahan”

merupakan dasar daripada dipidananya si pembuat.

Pertanggungjawaban pidana seseorang berkaitan dengan kesalahan, kesalahan dalam hukum pidana ada 2 (dua) macam yaitu sengaja (dolus/opzet) dan kealpaan (culpa) :

1. Kesengajaan (dolus/opzet)

Ada 3 (tiga) kesengajaan dalam hukum pidana yaitu :

a) Kesengajaan untuk mencapai sesuatu kesengajaan yang dimaksud/tujuan/dolus directus; b) Kesengajaan yang bukan mengandung suatu tujuan melainkan disertai keinsyafan, bahwa

suatu akibat pasti akan terjadi (kesengajaan dengan kepastian);

c) Kesengajaan seperti sub diatas, tetapi dengan disertai keinsyafan hanya ada kemungkinan (bukan kepastian, bahwa sesuatu akibat akan terjadi (kesengajaan dengan kemungkinan/dolus eventualis).

2. Kurang hati-hati (kealpaan/culpa)

Kurang hati-hati/kealpaan (culpa) arti dari alpa adalah kesalahan pada umumnya, tetapi dalam ilmu pengetahuan mempunyai arti teknis yaitu suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak seberat seperti kesengajaan yaitu kurang berhati-hati, sehingga berakibat yang tidak disengaja terjadi. (Wirjono Projodikoro. 1986: 20)

Menurut D. Simon (Soedarto. 1986 : 40) unsur-unsurStrafbaar Feitatau tindak pidana adalah : 1. Perbuatan manusia (Positif atau negatief; berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan. 2. Diancam dengan pidana (Straafbaar gesteid),

3. Melawan hukum (Onrechmatig),

4. Dilakukan dengan kesalahan (Met Shuld inverband stand),

5. Oleh orang yang mampu bertanggungjawab (Toerekening varbaar person).

(24)

hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.

Hakim sebagai orang yang menjalankan hukum berdasarkan demi keadilan di dalam menjatuhkan putusan terhadap perkara yang ditanganinya tetap berlandaskan aturan yang berlaku dalam undang-undang dan memakai pertimbangan berdasarkan data-data uang autentik serta para saksi yang dapat dipercaya. Tugas hakim tersebut dalam mempertimbangkan untuk menjatuhkan suatu putusan bebas dapat dilihat dalam Pasal 191 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) yang menyatakan: “jika pengadilan

berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan menyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.

Mengenai alat bukti yang dipergunakan sebagai bahan pertimbangan hakim, terdapat dalam Pasal 183 dan 184 KUHAP, menurut KUHAP harus ada alat-alat bukti yang sah, di mana alat bukti tersebut berupa keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa seperti hal ini bertujuan untuk mendapat keyakinan hakim bahwa suatu tindak pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Putusan hakim harus berdasar penafsiran hukum yang sesuai dengan rasa keadilan yang tumbuh, hidup, dan berkembang dalam masyarakat, juga faktor lain yang mempengaruhi seperti faktor budaya, sosial, ekonomi, politik dan lain- lain. Hakim dalam memberikan putusan terhadap kasus yang sama dapat berbeda karena antara hakim yang satu dengan yang lainnya mempunyai cara pandang serta dasar pertimbangan yang berbeda pula.

(25)

Konseptual merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antar konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang diteliti (Soerjono Soekanto; 1996 : 32).

a. Pertanggungjawaban pidana adalah sesuatu perbuatan pidana yang harus dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukan, (Roeslan Saleh, 1982: 80).

b. Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melarang larangan tersebut (Moeljatno 1993: 54).

c. Tindak pidana korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dengan menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 2 Ayat (1) Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).

d. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan (Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara).

(26)

E. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan dalam memahami permasalahan dan pembahasan dari tema atau judul diatas, maka penulisan skripsi ini disusun dalam 5 (lima) bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Bab ini memuat tentang latar belakang permasalahan dan ruang lingkup penelitian, tujuan dan kegunaan, kerangka teoritis dan konseptual serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini merupakan bab yang berisikan tentang pengertian-pengertian dari istilah sebagai latar belakang pembuktian masalah dan dasar hukum dalam membahas hasil penelitian yang terdiri dari : pengertian pertanggungjawaban pidana, pengertian tindak pidana, unsur-unsur tindak pidana dan pengertian tindak pidana korupsi.

III.METODE PENELITIAN

Merupakan bab yang menjelaskan metode yang dilakukan untuk memperoleh dan mengolah data yang akurat. Adapun metode yang digunakan terdiri dari pendekatan masalah, sumber dan jenis data, prosedur pengumpulan dan pengolahan data, serta analisa data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

(27)

menjatuhkan sanksi tindak pidana korupsi pengadaan alat Customer Information System (CIS) di PLN Wilayah Lampung.

V. PENUTUP

(28)

A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban adalah kewajiban terhadap segala sesuatunya, fungsi menerima pembebanan sebagai akibat dari sikap tindak sendiri atau pihak lain, (WJS. Poerwadarminta, 1998: 619)

Pertanggungjawaban adalah sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang telah dilakukan, yaitu perbuatan yang tercela oleh masyarakat dan itu dipertanggungjawabkan oleh si pembuatnya dengan kata lain kesadaran jiwa orang yang dapat menilai, menentukan kehendaknya, tentang perbuatan tindak pidana yang dilakukan berdasarkan putusan yang berkekuatan hukum tetap. Untuk adanya pertanggungjawaban pidana harus jelas terlebih dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan. Ini berarti harus dipastikan dahulu yang dinyatakan sebagai pembuat untuk suatu tindak pidana (Roeslan Saleh, 1982: 80)

Masalah ini menyangkut subjek tindak pidana yang ada pada umumnya sudah dirumuskan oleh si pembuat undang-undang untuk pidana yang bersangkutan. Namun dalam kenyataannya memastikan siapa si pembuatnya tidak mudah karena untuk menentukan siapakah yang bersalah harus sesuai dengan proses yang ada, yaitu sistem peradilan pidana berdasarkan KUHAP.

(29)

perbuatannya tersebut, demikian untuk dapatnya seseorang dijatuhi pidana harus memenuhi unsur-unsur perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana dalam Hukum Pidana.

Perbuatan pidana hanya untuk menunjuk pada dilarangnya suatu perbuatan oleh undang-undang. Apakah orang yang melakukan perbuatan itu kemudian juga dipidana, tergantung pada persoalan, apakah ia dalam melakukan perbuatannya ia mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila orang yang telah melakukan perbuatan itu memang mempunyai kesalahan, maka ia dapat dipidana. Berarti orang yang melakukan tindak pidana akan dapat dipidana apabila mempunyai kesalahan.

Seseorang yang melakukan tindak pidana harus dibuktikan apakah kesalahan tersebut mengandung unsur kesengajaan (dolus/opzet) atau kealpaan (culpa). Perbuatan yang dilakukan dengan sengaja atau karena kealpaan akan menentukan berat ringannya pidana seseorang. Perbuatan pidana yang dilakukan secara sengaja ancaman pidananya akan lebih berat dari pada karena kealpaan. Untuk dapat dipidananya seseorang harus ada unsur mampu dipertanggungjawabkan oleh si pelaku, dimana si pelaku dapat menginsyafi atau secara sadar melakukan perbuatan tersebut.

Roeslan Saleh (1982: 80) menyatakan bahwa orang yang mampu bertanggungjawab itu harus memenuhi 3 syarat yaitu :

1. Dapat menginsyafi makna yang senyatanya dari perbuatannya.

2. Dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu dapat dipandang patut dalam pergaulan masyarakat.

3. Mampu untuk menentukan niat atau kehendak dalam melakukan perbuatan.

(30)

sehari-sehari dibidang pendidikan moral, agama dan sebagainya. Oleh karena pidana merupakan istilah yang lebih khusus maka perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukkan ciri-ciri atau sifat-sifat khas.

Menurut Soedarto (1986: 14) menyatakan yang dimaksud pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi sasaran tertentu sedangkan menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief yang dikutip oleh Roeslan Saleh, (1982: 5) menyatakan bahwa pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan Negara kepada perbuatan delik itu.

Beberapa definisi di atas dapatlah diartikan bahwa pidana mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut :

1. Pidana pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan atas nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.

2. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang).

3. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan pidana menurut Undang-undang. (Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998: 4)

Fokusnya dalam pidana adalah pada kekuatan salah satu tindak pidana yang telah dilakukan oleh si pembuat atau pelaku dengan kata lain perbuatan itu mempunyai peranan yang sangat penting dan syarat yang harus dipenuhi untuk adanya suatu tindak pidana agar pelaku atau subjek tindak pidana dapat dimintakan pertanggungjawaban atas apa yang telah dilakukan.

Adapun ciri atau unsur kesalahan yang dapat dijatuhi hukuman bagi pelaku kejahatan adalah : 1) Dapat dipertanggungjawabkannya perbuatan pembuat.

2) Adanya kaitan psikis antara pembuat dan perbuatan yaitu adanya sengaja atau kesalahan. 3) Tidak adanya dasar pemidanaan yang menghapus dapat di pertanggung jawabkan sesuatu

(31)

Pasal 44 Ayat (1) KUHP menyatakan bahwa barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, disebabkan karena akal sehatnya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana. Menurut Pompe yang dikutip oleh Andi Hamzah (2003: 47) Pasal tersebut merupakan pengertian yuridis bukan medis. Memang medikus yang memberikan keterangan kepada Hakim yang memutuskan, dapat dipertanggungjawabkan (toerekenbaarheid) berkaitan dengan kesalahan (Schuld) orang dapat menyatakan dipertanggungjawabkan itu sendiri merupakan kesalahan (Shuld).

B. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

Korporasi saat ini bergerak meluas ke bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, riset, pemerintahan, sosial, budaya dan agama. Perkembangan ini terjadi akibat peran perkembangan ilmu dan teknologi serta terjadinya perubahan di bidang ekonomi.

Korporasi sebagai subyek hukum, menjalankan kegiatannya sesuai dengan prinsip ekonomi yakni mencari keuntungan sebesar-besarnya, dan mempunyai kewajiban untuk mematuhi peraturan hukum di bidang ekonomi yang digunakan pemerintah guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial.

Korporasi subyek hukum, berarti korporasi sebagai bentuk badan usaha harus mempertanggungjawabkan sendiri semua perbuatannya. Di samping itu, masih dimungkinkan pula pertanggungjawaban dipikul bersama oleh korporasi dan pengurus atau pengurusnya saja.

(32)

pidana yang dapat dipertanggungjawabkan atas segala perbuatan hukum yang dilakukannya sebagai perwujudan tanggung jawab karena kesalahannya terhadap orang lain (korban).

Korporasi atau badan hukum adalah suatu perseroan yang merupakan badan hukum, korporasi atau peseroan yang dimaksud adalah suatu kumpulan atau organisasi yang oleh hukum diperlakukan seperti manusia (persona). Yakni sebagai pengembang (atau pemilik) hak dan kewajiban memiliki hak menggugat atau digugat dimuka pengadilan. Contoh badan hukum ialah PT (perseroan terbatas), NV (Namloze Vennootschap) dan yayasan (Sticthing), bahkan Negara pun juga merupakan badan hukum.

Kata korporasi yang lazim dipergunakan di kalangan pakar hukum pidana untuk menyebut apa yang biasa dalam bidang hukum lain, khususnya bidang hukum perdata, sebagai badan hukum, atau yang dalam bahasa Belanda disebut rechtspersoon, atau yang dalam bahasa Inggris legal entitiesataucorporation.

Secara umum korporasi mempunyai unsur-unsur antara lain: a) Kumpulan orang dan atau kekayaan;

b) Terorganisir; c) Badan hukum; d) Non badan hukum.

Bentuk-bentuk kejahatan korporasi dapat diklasifikasilan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu:

(33)

persengkongkolan dalam penentuan harga, memberikan sumbangan kampanye politik secara tidak sah.

b) Kejahatan korporasi dibidang sosial budaya, antara lain; kejahatan hak cipta, kejahatan terhadap buruh, kejahatan narkotika dan psikotropika, dan

c) Kejahatan korporasi yang menyangkut masyarakat luas. Hal ini dapat terjadi pada lingkungan hidup, konsumen dan pemegang saham.

Perkembangan pertanggungjawaban pidana di Indonesia, ternyata yang dapat dipertanggungjawabkan tidak hanya manusia, tetapi juga korporasi. Khusus mengenai pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana, ternyata terdapat bermacam-macam cara perumusannya yang ditempuh oleh pembuat undang-undang.

Ada 3 (tiga) sistem kedudukan korporasi dalam hukum pidana yakni : (1) Pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggungjawab, (2) Korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggungjawab, (3) Korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggungjawab.

UU Nomor 41 Tahun 1999 jo UU Nomor 19 Tahun 2004, pertanggungjawaban tindak pidana

korporasi terdapat pada Pasal 78 angka (14) yang dirumuskan sebagai berikut: “Tindak pidana

sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana masing-masing ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang

(34)

Tanggung jawab korporasi pada UU Nomor 19 Tahun 2004, apabila tindak pidana yang dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha, yang bertanggungjawab adalah pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, ini maksudnya dapat ditafsirkan bahwa pengurus atas nama pribadi atau sendiri dapat diminta pertanggungjawaban atau pengurus yang melakukan secara bersama-sama bisa diminta pertangggungjawaban. Dengan demikian bukan badan hukum yang bisa diminta pertanggungjawaban dalam tindak pidana korporasi ini, hanya pada pengurus dari badan hukum yang bisa diminta pertanggungjawaban.

Pasal 50 ayat (1), (2), dan (3) , UU Nomor 41 Tahun 1999 jo UU Nomor 19 Tahun 2004, dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korporasi. Hal ini mengingat dalam penjelasan pasal 50 ayat (1) dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan orang adalah subjek hukum baik secara pribadi, badan hukum, maupun badan usaha.

C. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana merupakan suatu pengertian dasar dalam hukum pidana dan oleh karena itu memahami tindak pidana adalah sangat penting. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yang yuridis, lain halnya dengan kejahatan yang biasa diartikan secara yuridis ataupun krimonologis. Istilah tindak pidana adalah terjemahan dari bahasa Belanda yaitu Strafbaar Feit atauDelict(R. Soesilo, 1984: 4)

(35)

disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melarang larangan tersebut.

Menurut Soedjono (1977: 15) kejahatan adalah perbuatan manusia yang melanggar atau bertentangan dengan apa yang ditentukan dalam kaidan hukum, tegasnya perbuatan yang melanggar larangan yang ditetapkan kaidah hukum dan tidak memenuhi atau melawan perintah-perintah yang telah ditetapkan dalam kaidah hukum yang berlaku dalam masyarakat. Wirjono Projodikoro (1986: 50) menyatakan bahwa tindak pidana itu adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.

Menurut Simons (1992: 127) merumuskanstrafbaar feitadalah suatu tindakan melanggar hukum yang dengan sengaja telah dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya yang dinyatakan dapat dihukum.

KUHP menentukan bahwa tindak pidana digolongkan menjadi kejahatan dan pelanggaran. Penggolongan jenis-jenis delik yang ada dalam KUHP terdiri dari Kejahatan (misdriven), disusun dalam Buku II KUHP, sedangkan Pelanggaran (over tredingen), disusun dalam Buku III KUHP. Undang-undang hanya memberikan penggolongan kejahatan dan pelanggaran, akan tetapi tidak memberikan arti yang jelas, risalah penjelasan undang-undang.

(36)

D. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Berdasarkan pengertian tindak pidana diatas dapat ditemukan beberapa unsur yang terkandung dalam suatu tindak pidana. Unsur-unsur ini penting untuk dibuktikan melalui suatu proses sistem peradilan pidana, merupakan hal pemeriksaan dipersidangan, apabila unsur-unsur itu salah satu di antaranya tidak terbukti, maka perbuatan itu bukanlah suatu tindak pidana atau kejahatan dan tersangka harus dibebaskan dari segala tuntutan hukum. Perlu kita ketahui beberapa pendapat sarjana mengenai unsur-unsur tindak pidana yaitu :

Menurut Moeljatno unsur-unsur atau elemen perbuatan pidana adalah : a. Kelakuan dan akibat (perbuatan)

b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana d. Unsur melawan hukum yang objektif

e. Unsur melawan hukum yang subjektif (Moeljatno, 1993: 18)

Menurut M. Bassar Sudrajad unsur-unsur yang terkandung dalam suatu delik adalah terdiri dari : a. Unsur melawan hukum

b. Unsur merugikan masyarakat c. Dilarang oleh aturan hukum pidana d. Pelakunya dapat diancam pidana (Adami Chazawi, 2002: 78)

Menurut pendapat Tresna, tindak pidana terdiri dari unsur-unsur yakni :

a. Perbuatan/rangkaian perbuatan (manusia)

(37)

c. Diadakan tindakan penghukuman (Adami Chazawi, 2002: 78)

Moeljatno membedakan unsur tindak pidana berdasarkan perbuatan dan pelaku dapat dibagi dalam 2 bagian yaitu :

1. Unsur subjektif berupa : a. Perbuatan manusia

b. Mengandung unsur kesalahan 2. Unsur objektif berupa : a. Bersifat melawan hukum b. Ada aturannya

(Moeljatno, 1993: 64)

Berdasarkan pendapat para sarjana di atas, walaupun pendapat dari rumusan berbeda-beda namun pada hakekatnya ada persamaannya, ialah tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai perbuatannya dengan unsur yang mengenai diri orangnya (pelaku). Merumuskan suatu perbuatan pidana maka perlu ditegaskan secara jelas hal-hal yang menjadi unsur-unsurnya. Seseorang hanya dapat dipidana karena telah melakukan suatu tindak pidana, apabila jelas telah memenuhi unsur-unsur didalamnya yaitu unsur perbuatan, melawan hukum, kesalahan, dan dapat dipertanggungjawabkan.

E. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

(38)

ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.

Dasar hukum tindak pidana korupsi adalah : Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 diundangkan tanggal 29 Maret 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan pada tahun 1999 diubah dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kemudian pada tanggal 21 November 2001 diundangkan dan disahkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Menurut Andi Hamzah (2003: 51) korupsi dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu :

a. Korupsi antara lain disebabkan karena kurangnya kesadaran dan kepatuhan hukum diberbagai bidang kehidupan,

b. Korupsi timbul karena ketidaktertiban didalam mekanisme administrasi pemerintah, c. Korupsi sebagai salah satu pengaruh dari meningkatnya volume pembangunan secara

relatif cepat, sehingga pengelolaan, pengendalian dan pengawasan mekanisme taat usaha negara menjadi semakin komplek dan unit yang membuat akses dari birokrasi terutama pada aparatur-aparatur pelayanan sosial seperti bagian pemberian izin dan berbagai keputusan, akses inilah yang melahirkan berbagai pola korupsi,

d. Masalah kependudukan, kemiskinan, pendidikan dan lapangan kerja dan akibat kurangnya gaji pegawai dan buruh.

Pengertian korupsi tergantung dari sudut pandang setiap orang apa dan bagaimana korupsi itu mengejawantah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, hal ini ditandai dengan belum terdapat keseragaman dalam merumuskan pengertian korupsi, menurut W. Sangaji (1999: 9) mengemukakan korupsi (corruption) adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang menyuap orang atau kelompok lain untuk mempermudah keinginannya dan mempengaruhi penerima untuk memberikan pertimbangan khusus guna mengabulkan permohonannya. Lebih lanjut beliau menyatakan definisi tersebut dapat dikembangkan sebagai berikut :

(39)

b. Korupsi adalah seseorang atau sekelompok orang meminta imbalan dalam menjalankan kewajibannya,

c. Korupsi adalah mereka yang menggelapkan dan menggunakan uang negara atau milik umum untuk kepentingan pribadi,

d. Korupsi merupakan perbuatan-perbuatan manusia yang dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara,

e. Korupsi merupakan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain sebagai akibat pertimbangan yang ilegal.

W.J.S Poerwadarminta (1998: 524) dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, berpendapat bahwa Korupsi adalah perbuatan yang buruk (seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya).

Perbuatan-perbuatan korupsi dilakukan bukan saja oleh Pegawai Negeri tetapi juga meliputi orang-orang yang menangani proses pemberian pelayanan yang menerima gaji atau upah dari suatu hukum yang meminta bantuan dari keuangan negara atau daerah atau badan hukum yang mempergunakan secara ilegal.

(40)

Keuangan negara yang dimaksud adalah kekayaan negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena :

a. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan mempertanggungjawabkan pejabat lembaga negara yang baik ditingkat pusat maupun daerah.

b. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan mempertanggungjawabkan Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, Badan Hukum dan Perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.

Perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah baik ditingkat daerah maupun ditingkat pusat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran dan kesejahteraan pada seluruh kehidupan rakyat.

Jenis korupsi pada umumnya terdapat di dunia ini meliputi tiga macam pola yaitu:

a. Untuk negara-negara Asia Tenggara pada umumnya koruptor memanfaatkan dana-dana yang didapat dari perbuatan korupsi untuk kepentingan konsumsi.

b. Untuk negara-negara yang sudah maju pada umumnya dan dari hasil korupsi dipergunakan untuk kepentingan politik.

c. Bentuk campuran dana korupsi dipergunakan untuk kepentingan politik sekaligus untuk kepentingan konsumsi.

(41)

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu :

1) Pasal 2 menyatakan :

(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dapat dipidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

2) Pasal 3 menyatakan :

Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling sedikit 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

3) Pasal 5 menyatakan :

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lama) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang :

a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya, atau;

b. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

(4) Pasal 6 menyatakan :

(42)

rupiah) dan paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang :

a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Hakim dengan maskud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili atau,

b. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokad untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili. (2) Bagi Hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokad yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

5) Pasal 7 menyatakan :

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) :

a. Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang atau keselamatan negara dalam keadaan perang,

b. Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a,

c. Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang atau,

d. Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dengans sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c,

(2) Bagi orang yang menerima penyerahan barang bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

6) Pasal 8 menyatakan :

(43)

orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.

7) Pasal 9 menyatakan :

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu dengan sengaja memalsukan buku-buku atau daftar-daftar yang khusus pemeriksaan administrasi.

8) Pasal 10 menyatakan :

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja :

a. Menggelapkan, menghancurkan, merusakkan atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang yang dikuasai karena jalannya atau;

b. Membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan atau membuat tidak dipakai barang, akta, surat atau daftar tersebut atau;

c. Membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat atau daftar tersebut.

9) Pasal 11 menyatakan :

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.

10) Pasal 12 menyatakan :

(44)

a. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya,

b. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya,

c. Hakim yang menerima hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili.

Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa tindak pidana korupsi adalah suatu perbuatan yang dilakukan seseorang dengan maksud memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan cara melawan hukum. Dalam perkembangannya pada Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, tindak pidana korupsi tidak hanya dilakukan oleh pegawai negeri tetapi juga meliputi orang-orang yang menangani proses pemberian layanan yang menerima gaji atau upah dari suatu hukum yang meminta bantuan dari keuangan negara atau daerah atau badan hukum yang mempergunakan secara ilegal. Selain itu juga dapat dikenakan kepada aparat penegak hukum lainnya seperti advokad, polisi, jaksa dan hakim yang menerima janji, pemberian hadiah untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu karena jabatannya.

F. Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana

Seseorang tidak dapat dibebani pertanggungjawaban pidana (Criminal Liability) dengan dijatuhi sanksi pidana karena telah melakukan suatu tindak pidana apabila tindak pidana, telah melakukan perbuatan tersebut dengan tidak disengaja atau bukan karena kelalaiannya.

(45)

pidana bagi terdakwa dalam kasus tertentu. Dalam Pasal 55 ayat (1) Konsep RUU KUHP 2005 disebutkan pedoman pemidanaan yang wajib dipertimbangkan hakim, antara lain:

1. Kesalahan pembuat tindak pidana;

2. Motif dan tujuan dilakukannya tindak pidana; 3. Cara melakukan tindak pidana;

4. Sikap batin pembuat tindak pidana;

5. Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat tindak pidana; 6. Sikap dan tindakan pembuat setelah melakukan tindak pidana; 7. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana; 8. Tindak pidana dilakukan dengan berencana;

9. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban; 10. Pemaafan dari korban dan/atau keluarganya; dan/atau;

11. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.

Pedoman pemidanaan ini akan sangat membantu Hakim dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan, sehingga hal ini akan memudahkan Hakim dalam menerapkan takaran pemidanaan.

Selain itu, Hakim dalam menjatuhkan pidana sangatlah banyak hal-hal yang mempengaruhi, yaitu yang bisa dipakai sebagai bahan pertimbangan untuk menjatuhkan putusan pemidanaan baik yang terdapat di dalam maupun di luar Undang-Undang.

(46)

masalah yang mudah seperti perkiraan orang, karena Hakim mempunyai kebebasan untuk menetapkan jenis pidana, cara pelaksanaan pidana dan tinggi rendahnya pidana.

(47)

Metode penelitian dilakukan dalam usaha untuk memperoleh data yang akurat serta dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Penelitian hukum merupakan kegiatan ilmiah yang didasarkan kepada metode sistematika, dan pemikiran tertentu dengan jalan menganalisisnya (Soerjono Soekanto, 1996 : 43). Selain itu juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan yang timbul.

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan yang digunakan dalam pembahasan penulisan penelitian ini adalah pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan ini dilakukan untuk mengetahui kesesuaian pertanggungjawaban pelaku tindak pidana korupsi pengadaan alat Customer Information System (CIS) di PLN Wilayah Lampung yang terdapat dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 03/PID.TPK/2011/PN.TK

B. Sumber dan Jenis Data

Jenis data dapat dilihat dari sumbernya, dapat dibedakan antara data yang diperoleh langsung dari masyarakat dan data yang diperoleh dari bahan pustaka (Seorjono Soekanto, 1996 : 11). Data yang dipergunakan dalam penelitian ini bersumber pada dua jenis data, yaitu:

1. Data Primer

(48)

pertanggungjawaban pidana korupsi pengadaan alat Customer Information System (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 03/PID/TPK/2011/PN.TK).

2. Data Sekunder

Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan dengan cara membaca, mengutip, dan menelaah peraturan perundang-undangan, buku-buku, dokumen, kamus, artikel dan literatur hukum lainnya yang berkenaan dengan permasalahan yang akan dibahas, yang terdiri dari:

a. Bahan Hukum Primer

Merupakan bahan hukum yanga mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Dalam hal ini bahan hukum primer terdiri dari:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);

2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP);

3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

4. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman.

b. Bahan Hukum Sekunder

Merupakan bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu dalam menganalisa serta memahami bahan hukum primer, seperti literatur dan norma-norma hukum yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dalam skripsi ini. Bahan hukum sekunder penelitian ini meliputi:

(49)

2. Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 03/PID.TPK/2011/PN.TK. c. Bahan Hukum Tersier

Merupakan bahan-bahan yang berguna untuk memberikan informasi, petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia, media massa, artikel, makalah, nasakah, paper, jurnal, internet yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas atau diteliti dalam skripsi ini.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

Populasi adalah jumlah keseluruhan objek sebagai keseluruhan sumber data yang memiliki karateristik tertentu didalam suatu penelitian. Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah Hakim dari Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Jaksa dari Kejaksaan Negeri Bandar Lampung dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung. Sampel adalah sebagian data yang diambil dari populasi dengan menggunakan cara-cara tertentu yang mewakili populasi. Sampel

ditentukan secara “Purposive Sampling” yang berarti sampel yang disesuaikan dengan tujuan

yang ingin dicapai dan dianggap telah mewakili terhadap masalah yang hendak digambarkan dan dicapai. Responden yang dianggap dapat mewakili populasi dan mencapai tujuan dalam penelitian ini adalah:

1. Hakim dari Pengadilan Negeri Tanjung Karang : 2 orang 2. Jaksa dari Kejaksaan Negeri Bandar Lampung : 2 orang 3. Dosen Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung : 1 orang +

5 orang

(50)

1. Metode Pengumpulan Data

Pelaksanaan pengumpulan data digunakan cara dengan studi kepustakaan dan studi lapangan, yaitu sebagai berikut:

a. Studi Kepustakaan (Library Research)

Studi kepustakaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan penulis dengan maksud untuk memperoleh data sekunder dengan cara mengumpulkan data dengan membaca, memahami, dan mengutip, merangkum, dan membuat catatan-catatan dari berbagai literatur, peraturan perundang-undangan, buku-buku, media massa dan bahan tertulis lainnya yang ada hubungannya dengan penelitian yang dilakukan.

b. Studi Lapangan (Field Research)

Studi lapangan merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk memperoleh data primer dengan metode wawancara (interview) secara langsung dengan narasumber/responden sebagai usaha mengumpulkan data dengan mengajukan pertanyaan secara lisan, maupun dengan menggunakan daftar pertanyaan secara tertulis.

2. Metode Pengolahan Data

Setelah data terkumpul, baik studi kepustakaan maupun studi lapangan, maka data diproses melalui pengolahan data dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Seleksi Data

Yaitu memeriksa dan memilih data sesuai dengan objek yang akan dibahas, juga dengan mempelajari dan menelaah data yang diperoleh dari hasil penelitian.

(51)

Yaitu mengklasifikasikan/mengelompokan data yang diperoleh menurut jenisnya untuk memudahkan dalam menganalisis data.

c. Sistematisasi Data

Yaitu melakukan penyusunan dan penempatan data pada setiap pokok secara sistematis sehingga memudahkan interprestasi data dan tercipta keteraturan dalam menjawab permasalahan.

E. Analisis Data

(52)
(53)

1

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana telah diuraikan dalam bab IV, maka dapat diambil kesimpulan bahwa:

a. Pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana korupsi pengadaan alat customer information system (CIS) di PLN Wilayah Lampung dalam perkara ini perbuatan terdakwa secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi, terdakwa Hariadi Sadono dijerat telah melakukan tindak pidana korupsi pada Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam mempertanggungjawabkan perbuatannya terdakwa divonis pidana penjara 3 (tiga) tahun penjara, denda Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah), subsider 3 (tiga) bulan kurungan, dan uang pengganti Rp. 137.380.120,- (seratus tiga puluh tujuh juta tiga ratus delapan puluh ribu seratus dua puluh rupiah).

(54)

2

2. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi pengadaan alat customer information system (CIS) di Perusahaan Listrik Negara Wilayah Lampung dalam perkara Nomor 03/PID.TPK/2011/PN.TK, berdasarkan Pasal 183 dan 184 KUHAP dan juga harus memuat hal-hal yuridis dan non yuridis. Pertimbangan hakim bersifat yuridis adalah alat bukti berupa keterangan saksi-saksi, keterangan ahli, keterangan terdakwa, barang bukti dan fakta-fakta hukum yang terungkap dipersidangan. Pertimbangan hakim yang bersifat non yuridis adalah alasan yang meringankan dan memberatkan terdakwa.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan, maka saran-saran dan masukan yang dapat diberikan oleh penulis adalah sebagai berikut:

(55)

3

Referensi

Dokumen terkait

Jadi, sumber naskah dan dokumen ANI mencatat data yang sama sepeninggal Raden Adipati Surianata, pada tahun 1829 kedudukan Bupati Karawang ditempati oleh adiknya yang bemama

Dengan adanya edukasi serta penyampaian dari berbagai media diharapkan masyarakat, turis asing serta domestik mengerti tentang pentingnya menjaga kelestarian serta

Menentukan realisasi dari suatu fungsi transfer bukan hal yang mudah, diantaranya pada sistem linier diskrit dengan Single Input dan Single Output ( SISO

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kurnia dan izinNya skripsi yang berjudul gambaran profil lipid pada penderita sindrom koroner

This is likely due to DEP (Diesel Exhaust Particles) of exposure, and due to incomplete combustion, which uses fuel wood and charcoal ironwood type, and also where iron plate

[r]

Oleh karena sindrom koroner akut merupakan salah satu penyebab kematian di dunia dan di Indonesia serta besarnya pengaruh perubahan kadar lipid darah terhadap penyakit

 Information technology can be used to  unlock  new  game  content  automatically  once  the  players  have  achieved  something  that  can  be