ABSTRAK
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK
PAIR SHARE (TPS) TERHADAP PEMAHAMAN
KONSEP MATEMATIS SISWA
(Studi Terhadap Siswa Kelas VIII SMP Negeri 7 Bandar Lampung Semester Genap Tahun Pelajaran 2012/2013)
Oleh FEBRI IRAWAN
Penelitian ini adalah penelitian eksperimen semu yang bertujuan untuk
mengetahui pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe TPS terhadap
pemahaman konsep matematis siswa. Desain yang digunakan dalam penelitian
ini adalah post-test only control design. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII yang bukan kelas unggulan di SMP Negeri 7 Bandar Lampung tahun pelajaran 2012/2013. Sampel penelitian dipilih dua kelas dari delapan kelas dengan teknik purposive random sampling. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe TPS berpengaruh terhadap pemahaman konsep matematis siswa kelas VIII SMP
Negeri 7 Bandar Lampung tahun pelajaran 2012/2013.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... x
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... ... 1
B. Rumusan Masalah ... ... 6
C. Tujuan Penelitian ... ... 6
D. Manfaat Penelitian ... ... 6
E. Ruang Lingkup Penelitian ... ... 7
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori ... ... 8
1. Belajar Matematika... ... 8
2. Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share ... ... 9
3. Pembelajaran Konvensional ... ... 12
4. Pemahaman Konsep Matematis ... 13
B. Kerangka Pikir ... ... 15
viii
III. METODE PENELITIAN
A. Populasi dan Sampel... ... 18
B. Desain Penelitian ... ... 19
C. Prosedur Penelitian ... ... 20
D. Data Penelitian ... ... 20
E. Teknik Pengumpulan Data... 20
F. Instrumen Penelitian ... 21
G. Teknik Analisis Data ... 25
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 29
1. Analisis Kemampuan Pemahaman Konsep Matematika Siswa... 29
2. Uji Hipotesis ... 30
3. Pencapaian Indikator Pemahaman Konsep Matematika Siswa ... 31
B. Pembahasan ... ... 32
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... ... 36
B. Saran ... ... 36 DAFTAR PUSTAKA
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan mempunyai peranan penting dalam meningkatkan dan
mengem-bangkan kualitas sumber daya manusia. Melalui pendidikan, manusia dapat
mengembangkan potensi yang dimiliki guna mencapai tujuan hidup yang
diinginkan. Seperti yang tercantum dalam UU Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional bahwa:
Tujuan pendidikan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya yaitu manusia yang bertak-wa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Tujuan pendidikan nasional dioperasionalkan menjadi tujuan pembelajaran di
sekolah melalui mata pelajaran yang diberikan di sekolah. Salah satu mata
pelajaran yang diberikan di sekolah adalah matematika. Matematika merupakan
salah satu mata pelajaran pokok yang diajarkan pada setiap jenjang pendidikan
mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Seperti yang termuat dalam
Badan Satuan Nasional Pendidikan (BSNP) yaitu mata pelajaran matematika
perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk
2
kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Selain itu, tujuan pembelajaran
matematika menurut BSNP, antara lain:
1) Memahami konsep matematika dan mengaplikasikan konsep tepat dalam pemecahan masalah; 2) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat serta melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi; 3) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
Berdasarkan tujuan pembelajaran matematika tersebut jelas bahwa siswa dituntut
untuk memiliki pemahaman yang baik terhadap konsep-konsep matematis. Oleh
karena itu, dalam proses pembelajaran matematika di sekolah guru harus
berorientasi pada pemahaman konsep matematis siswa.
Akan tetapi pada kenyataannya kemampuan pemahaman konsep siswa dalam
mata pelajaran matematika belum sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini
ditunjukan dengan hasil studi internasional TIMSS (Trends in International
Mathematics and Science Study). TIMSS adalah studi internasional tentang
prestasi matematika dan sains siswa sekolah menengah pertama. Pada bulan
Desember tahun 2012, TIMSS telah mempublikasikan hasil studi terbarunya yang
dilakukan pada tahun 2011. Berdasarkan hasil survei Mullis et al (2012) pada
hasil studi TIMSS tersebut, Indonesia berada di peringkat 38 dari 45 negara
dengan skor 386. Skor ini mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun
2007, dimana pada saat itu Indonesia menempati peringkat 33 dari 49 negara
dengan skor 397.
Pengukuran terhadap ranah kognitif TIMSS menurut Mullis et al (2012) dibagi
menjadi tiga domain yaitu knowing (mengetahui), applying (mengaplikasikan) dan
reasoning (penalaran). Domain knowing mencakup fakta, konsep, dan prosedur
yaitu domain applying yang berfokus pada kemampuan siswa untuk menerapkan
pengetahuan dan pemahaman konsep untuk memecahkan masalah atau menjawab
pertanyaan. Sedangkan pada domain reasoning, lebih dari sekedar menemukan
solusi dari masalah rutin tetapi juga mencakup situasi asing, konteks yang
kompleks, dan multistep problems.
Sementara itu, salah satu poin dalam tujuan mata pelajaran matematika Indonesia
adalah memahami konsep matematis dan menjelaskan keterkaitan antar konsep.
Poin tersebut termasuk ke dalam domain knowing dan applying TIMSS, dimana
rata-rata persentase jawaban benar siswa Indonesia pada survey TIMSS tahun
2011 adalah: 31% untuk knowing, 23% untuk applying dan 17% untuk reasoning.
Rata-rata tersebut pun jauh dibawah rata-rata persen jawaban benar international
yaitu: 49% untuk knowing, 39% untuk applying, dan 30% untuk reasoning.
Rendahnya persentase pada domain knowing dan applying menunjukkan bahwa
kemampuan pemahaman konsep matematissiswa di Indonesia masih rendah.
Salah satu hal yang menyebabkan pemahaman konsep matematis siswa masih
rendah adalah model pembelajaran yang digunakan guru. Model pembelajaran
mempunyai peranan penting dalam menciptakan keberhasilan proses belajar
mengajar. Selain itu, model pembelajaran juga merupakan komponen utama
dalam menciptakan suasana belajar yang aktif dan menyenangkan. Pada situasi
pembelajaran yang terjadi di dalam kelas sebaiknya tidak hanya didominasi oleh
guru saja tetapi juga melibatkan peranan siswa sehingga siswa tidak lagi menjadi
4
dan tidak lagi menjadi sumber informasi. Oleh sebab itu, guru harus mampu
selektif dalam memilih model pembelajaran yang tepat.
Model pembelajaran yang selama ini digunakan oleh guru dalam pembelajaran
matematika di kelas masih menggunakan paradigma lama yaitu berpusat pada
guru. Hal ini sejalan dengan pendapat Marpaung (2010) yang menyatakan bahwa,
pembelajaran matematika lama yang sampai sekarang umumnya masih
berlangsung di sekolah, masih didominasi oleh paradigma mengajar dengan
ciri-ciri:
1. guru aktif mentransfer pengetahuan ke dalam pikiran siswa (guru mengajari siswa),
2. siswa menerima pengetahuan secara pasif (murid berusaha menghafalkan pengetahuan yang diterima),
3. pembelajaran dimulai oleh guru dengan menjelaskan konsep atau prosedur menyelesaikan soal, memberi soal-soal latihan pada siswa,
4. memeriksa dan memberi skor pada pekerjaan siswa.
Dalam hal ini, interaksi belajar hanya terjadi satu arah yaitu dari guru sebagai
sumber informasi dan siswa sebagai penerima informasi sehingga membuat siswa
kurang optimal dalam memahami konsep yang disampaikan oleh guru.
Kondisi pembelajaran dengan interaksi pembelajaran yang didominasi oleh guru
juga terjadi di SMP Negeri 7 Bandarlampung, dimana guru mengawali
pembelajaran dengan memberikan terlebih dahulu defenisi, prinsip dan konsep
materi pelajaran serta memberikan contoh-contoh. Kemudian siswa diberikan
soal latihan dan guru memantaunya. Dengan pembelajaran seperti ini siswa
cenderung pasif dan hanya memahami langkah-langkah penyelesaian soal saja,
Salah satu model pembelajaran yang dapat mengaktifkan siswa dan dapat
mengkondisikan siswa untuk berinteraksi satu sama lain adalah model
pembelajaran kooperatif. Salah satu tipe model pembelajaran kooperatif yang
dapat meminimalisir kelemahan-kelemahan model pembelajaran saat ini adalah
model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS). Pembelajaran ini
dapat merangsang aktivitas siswa untuk berfikir dan mendiskusikan hasil
pemikirannya dengan siswa lainnya, serta merangsang keberanian siswa untuk
mengemukakan pendapatnya di depan kelas.
Beberapa hal yang mendasari digunakannya pembelajaran kooperatif tipe TPS
sesuai dengan pendapat Lie (2004: 58) yaitu: 1) Pada pembelajaran kooperatif tipe
TPS siswa akan melaksanakan tahap berpikir secara mandiri sebelum berdiskusi
dengan pasangannya sehingga siswa lebih siap dengan hal yang akan didiskusikan
dan diskusi menjadi lebih efektif. 2) Setelah tahap berpikir secara mandiri siswa
menentukan pasangan dalam kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari dua
siswa sehingga tanggungjawab tiap siswa menjadi lebih besar dan kesempatan
untuk mengandalkan siswa lain dapat diminimalisir. 3) Setelah siswa berdiskusi
dengan pasangannya beberapa pasangan diminta untuk mempresentasikan hasil
diskusinya di depan dan siswa lain menanggapi. Dengan tahapan pembelajaran
tersebut, pembelajaran menjadi lebih menarik dan memberikan peluang kepada
6
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah “apakah model pembelajaran kooperatif tipe TPS
berpengaruh terhadap pemahaman konsep matematis siswa?”
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, dijabarkan pertanyaan penelitian “apakah
pemahaman konsep matematis siswa yang mengikuti model pembelajaran
kooperatif tipe TPS lebih tinggi daripada pemahaman konsep matematis siswa
yang mengikuti pembelajaran konvensional?”.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh modelpembelajaran
kooperatif tipe TPS terhadap pemahaman konsep matematis siswa.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
teoritis dalam pembelajaran matematika terkait model pembelajaran TPS dan
hubungannya dengan pemahaman konsep matematis siswa.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi
guru dan peneliti.
a. Bagi guru, diharapkan dapat memberikan informasi tentang model
pembelajaran kooperatif tipe TPS dan kaitannya dengan pemahaman
b. Bagi peneliti, diharapkan dapat menjadi referensi tentang model
pembelajaran kooperatif tipe TPS.
E. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Pengaruh adalah daya yang ditimbulkan. Model pembelajaran kooperatif tipe
TPS dikatakan berpengaruh terhadap pemahaman konsep matematis jika
pemahaman konsep matematis siswa yang mengikuti pembelajaran kooperatif
tipe TPS lebih baik dibandingkan dengan pemahaman konsep matematis
siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional.
2. Model pembelajaran kooperatif tipe TPS adalah suatu model diskusi
kooperatif dengan cara memproses informasi dengan mengembangkan cara
berfikir dan komunikasi, dengan tahapan sebagai berikut: pertama siswa
diberi kesempatan untuk berpikir (Thinking) atas informasi yang diberikan
guru, kemudian berpasangan (Pairing) dengan teman sebangku untuk
berdiskusi, dan berbagi (Sharing) dengan seluruh kelas atas hasil diskusinya.
3. Pembelajaran konvensional merupakan pembelajaran yang biasa digunakan
oleh guru seperti ceramah, tanya jawab, dan latihan soal. Penerapannya
dalam pembelajaran matematika adalah guru menjelaskan materi pelajaran
kemudian siswa mengerjakan latihan soal yang diberikan.
4. Pemahaman konsep adalah kemampuan siswa dalam menerjemahkan,
menafsirkan, dan menyimpulkan suatu konsep berdasarkan pembentukan
pengetahuannya sendiri, bukan sekadar menghafal, serta siswa dapat
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Belajar Matematika
Belajar merupakan proses yang dapat menyebabkan perubahan tingkah laku
karena adanya reaksi terhadap situasi tertentu atau adanya proses internal yang
terjadi dalam diri seseorang dan interaksi dengan lingkungannya. Hal ini sesuai
dengan pendapat Slameto (2003: 2) yang menyatakan bahwa belajar merupakan
suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan
tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu
sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.
Menurut Gagne dalam Slameto (2003: 13) belajar merupakan suatu proses untuk
memperoleh motivasi dalam pengetahuan, keterampilan, kebiasaan, dan tingkah
laku. Sedangkan Hamalik (2005: 27) mengartikan bahwa belajar adalah suatu
modifikasi atau memperteguh kelakuan melalui pengalaman.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan
proses yang dapat mengakibatkan terjadinya perubahan tingkah laku dan
merupakan suatu proses perubahan secara sadar, bersifat kontinu dan positif,
Belajar matematika memiliki keunikan yang membuatnya berbeda dengan belajar
secara umum. Belajar matematika juga melibatkan struktur heirarki yang
mempunyai tingkatan lebih tinggi dan dibentuk atas dasar pengalaman yang sudah
ada sehingga belajar matematika tidak dapat dilakukan secara terputus-putus
karena dapat mengganggu pemahaman terhadap materi yang dipelajari. Hal ini
sesuai dengan pendapat Hudoyo (1990: 4) yang menyatakan bahwa belajar
matematika harus bertahap dan berurutan secara sistematis serta harus didasarkan
pada pengalaman belajar sebelumnya. Seseorang akan mampu mempelajari
matematika yang baru apabila didasarkan kepada pengetahuan yang telah
dipelajari. Pengajaran yang lalu akan mempengaruhi proses belajar materi
matematika berikutnya yang tersusun secara heirarkis. Belajar matematika
menurut Bruner dalam Hudoyo (1990: 48) merupakan belajar tentang
konsep-konsep dan struktur matematika yang terdapat dalam materi yang dipelajari serta
mencari hubungan-hubungan antara konsep-konsep dan struktur-struktur
matematika itu.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa belajar
matematika merupakan proses yang dapat mengakibatkan terjadinya perubahan
pengetahuan, sikap, dan keterampilan untuk menerapkan konsep-konsep, struktur,
dan pola dalam matematika sehingga menjadikan siswa berfikir logis, kreatif, dan
sistematis dalam kehidupan sehari-hari.
2. Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share
Menurut Baharuddin & Nur (2008: 128) Pembelajaran kooperatif adalah strategi
10
secara komprehensif konsep-konsep yang sulit jika mereka mendiskusikan dengan
siswa lainnya tentang problem yang dihadapi. Hal ini sejalan dengan pendapat
Trianto (2009: 58) yang menyatakan bahwa, pembelajaran kooperatif merupakan
sebuah kelompok strategi pembelajaran yang melibatkan siswa bekerja secara
berkolaborasi untuk mencapai tujuan bersama sedangkan Nurhadi (2004: 112)
mengemukakan bahwa pembelajaran kooperatif adalah pendekatan pembelajaran
yang berfokus pada penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerjasama dalam
memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan belajar.
Menurut Lie (2004: 31) terdapat lima unsur model pembelajaran kooperatif yang
harus diterapkan untuk mencapai hasil yang maksimal, yaitu saling
ketergan-tungan positif, tanggung jawab perseorangan, tatap muka, komunikasi antar
anggota, dan evaluasi proses kelompok. Dari beberapa pendapat diatas, dapat
disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif merupakan model
pembelajaran yang mengutamakan adanya kerjasama antar siswa dalam kelompok
untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Model pembelajaran kooperatif mempunyai beberapa macam tipe diantaranya
adalah model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS). TPS atau
berpikir berpasangan berbagi merupakan jenis pembelajaran kooperatif yang
dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa. Model pembelajaran
kooperatif tipe TPS pertama kali dikembangkan oleh Frang Lyman dan koleganya
di Universitas Maryland sesuai yang dikutip oleh Arends, yang menyatakan
bahwa model pembelajaran kooperatif tipe TPS merupakan suatu cara yang
semua diskusi membutuhkan pengaturan untuk mengendalikan kelas secara
keseluruhan dan prosedur yang digunakan dalam model pembelajaran kooperatif
tipe TPS dapat memberi siswa lebih banyak waktu berpikir untuk merespon dan
saling membantu.
Menurut Nurhadi (2004: 23), model pembelajaran kooperatif tipe TPS merupakan
struktur pembelajaran yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa
agar tercipta suatu pembelajaran kooperatif yang dapat meningkatkan penguasaan
akademik dan keterampilan siswa. TPS memiliki prosedur yang ditetapkan untuk
memberi waktu yang lebih banyak kepada siswa dalam berpikir, menjawab, dan
saling membantu satu sama lain.
Menurut Lie (2004: 58), model pembelajaran kooperatif tipe TPS adalah salah
satu model pembelajaran yang memberi kesempatan kepada setiap siswa untuk
menunjukkan partisipasi kepada orang lain. Adapun langkah-langkah dalam
pembelajaran TPS yang pertama adalah tahap thinking (berpikir), yaitu tahapan
dimana guru mengajukan pertanyaan yang berhubungan dengan topik pelajaran.
Kemudian siswa diminta untuk memikirkan pertanyaan tersebut secara untuk
beberapa saat. Dalam tahap ini siswa dituntut lebih mandiri dalam mengolah
informasi yang dia dapat. Kemudian tahap yang kedua adalah pairing
(berpasangan), pada tahap ini guru meminta siswa duduk berpasangan dengan
siswa lain untuk mendiskusikan apa yang telah difikirkannya pada tahap pertama.
Interaksi pada tahap ini diharapkan dapat membagi jawaban dengan pasangannya.
Biasanya guru memberikan waktu 4-5 menit untuk berpasangan. Kemudian tahap
12
berbagi jawaban dengan seluruh kelas tentang apa yang telah mereka diskusikan.
Ini efektif dilakukan dengan cara bergiliran pasangan demi pasangan dan
dilanjutkan sampai sekitar seperempat pasangan telah mendapat kesempatan
untuk melaporkan hasil diskusinya.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran
kooperatif tipe TPS merupakan suatu cara yang efektif untuk membuat variasi
suasana pola diskusi kelas dengan cara memproses informasi dengan
mengembangkan cara berpikir dan komunikasi siswa. Siswa diberi kesempatan
untuk berpikir (think) atas pertanyaan atau masalah yang diberikan guru secara
individu, berpasangan (pair) untuk berdiskusi, dan berbagi (share) dengan
mempresentasikan hasil diskusi di depan kelas.
3. Pembelajaran Konvensional
Menurut Ridwan dalam Trisna (2008) pembelajaran konvensional merupakan
pembelajaran yang biasa diterapkan guru dalam melaksanakan proses
pem-belajaran. Pembelajaran konvensial masih mengalami krisis paradigma. Krisis
yang dimaksud adalah seharusnya telah berlangsung model kontruktivisme di
mana pemerintah telah berusaha menciptakan suatu model pembelajaran yang
inovatif yang dituangkan dalam peraturan menteri nomor 41 tahun 2007, namun
hal ini belum dijalankan sepenuhnya oleh guru.
Salah satu metode mengajar yang sering digunakan oleh guru dalam pembelajaran
konvensional adalah metode ekspositori. Menurut Wina (2006 : 179) metode
ekspositori adalah metode mengajar yang menekankan kepada proses
dengan maksud agar siswa dapat menguasai materi pelajaran secara optimal.
Menurut Suyitno dalam Solihin (2012), metode ekspositori adalah cara
penyampaian materi pelajaran dari seorang guru kepada siswa di dalam kelas
dengan cara berbicara di awal pelajaran, menerangkan materi dan contoh soal
disertai tanya jawab.
Tahapan-tahapan dalam model pembelajaran konvensional menurut Trianto dalam
Trisna (2008) adalah sebagai berikut:
1. Kegiatan pendahuluan pembelajaran, guru mengkonsentrasikan siswa pada materi yang akan dipelajari dengan memberikan apersepsi. Peran siswa pada tahap ini adalah mendengarkan penjelasan guru.
2. Kegiatan inti pembelajaran, terdapat proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi. Proses tersebut diterapkan guru dengan memberikan informasi kepada siswa. Peran siswa pada tahap ini adalah menyimak informasi yang diberikan guru. Terkadang siswa membentuk kelompok untuk melaksanakan praktikum dan mendiskusikan hasil praktikum.
3. Kegiatan penutup pembelajaran, guru mengajak siswa untuk
menyimpulkan hasil pembelajaran dan memberikan tes. Peran siswa pada tahap ini adalah menyimpulkan hasil pembelajaran dan menjawab tes yang diberikan guru.
Berdasarkan pemaparan di atas maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
konvensional adalah suatu pembelajaran yang bersifat ceramah yaitu siswa
menerima semua materi yang dijelaskan oleh guru sehingga siswa kurang aktif
dalam kegiatan pembelajaran dan pemahaman siswa dibangun berdasarkan
hafalan, metode yang digunakan berupa ceramah, contoh, dan latihan soal.
4. Pemahaman Konsep Matematis
Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, paham berarti mengerti dengan tepat,
14
adalah suatu ide abstrak yang memungkinkan kita mengklasifikasikan objek-objek
atau peristiwa-peristiwa termasuk atau tidak ke dalam ide abstrak tersebut.
Menurut Soedjadi (2000: 14) konsep adalah ide abstrak yang dapat digunakan
untuk menggolongkan atau mengklasifikasikan sekumpulan obyek. Sebagai
contoh, segitiga adalah nama dari suatu konsep abstrak dan bilangan asli adalah
nama suatu konsep yang lebih kompleks karena terdiri dari beberapa konsep yang
sederhana, yaitu bilangan satu, bilangan dua, dan seterusnya. Konsep
berhubungan erat dengan definisi. Definisi adalah ungkapan yang membatasi
konsep. Dengan adanya definisi, orang dapat membuat ilustrasi atau gambaran
atau lambang dari konsep yang didefinisikan, sehingga menjadi jelas apa yang
dimaksud konsep tertentu.
Menurut Sadiman (2008: 42) pemahaman atau comprehension dapat diartikan
menguasai sesuatu dengan pikiran. Oleh sebab itu, belajar harus mengerti secara
makna dan filosofinya, maksud dan implikasi serta aplikasi-aplikasinya, sehingga
menyebabkan siswa memahami suatu situas. Pemahaman menurut Skemp dalam
Herdian (2010) dibagi menjadi dua, yaitu pemahaman instrumental dan
pemahaman relasional. Pemahaman instrumental diartikan sebagai pemahaman
konsep yang saling terpisah dan hanya hafal rumus dalam perhitungan sederhana.
Sedangkan pemahaman relasional termuat skema atau struktur yang dapat
digunakan pada penjelasan masalah yang lebih luas dan sifat pemakaiannya lebih
bermakna.
Pemahaman siswa terhadap konsep matematis menurut NCTM dalam Herdian
yaitu mendefinisikan konsep secara verbal dan tulisan, membuat contoh dan
bukan contoh, menggunakan simbol-simbol untuk merepresentasikan suatu
konsep, mengubah suatu bentuk representasi ke bentuk lainnya, mengenal
berbagai makna dan interpretasi konsep, mengidentifikasi sifat-sifat suatu konsep
dan mengenal syarat yang menentukan suatu konsep, serta membandingkan dan
membedakan konsep-konsep.
Ada beberapa indikator khusus yang membedakan antara soal pemahaman konsep
dengan soal untuk aspek penilaian yang lain. Berikut indikator siswa yang
memahami suatu konsep menurut KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan)
tahun 2006:
1. menyatakan ulang sebuah konsep.
2. mengklasifikasi obyek-obyek menurut sifat-sifat tertentu (sesuai dengan konsepnya).
3. memberi contoh dan non-contoh dari konsep.
4. menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematis. 5. mengembangkan syarat perlu atau syarat cukup suatu konsep.
6. menggunakan, memanfaatkan, dan memilih prosedur atau operasi tertentu. 7. mengaplikasikan konsep atau algoritma pemecahan masalah.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemahaman konsep
matematis adalah kemampuan siswa dalam menerjemahkan, menafsirkan, dan
menyimpulkan suatu konsep matematika berdasarkan pembentukan
pengetahuanya sendiri, bukan sekedar menghafal. Selain itu, siswa dapat
menemukan dan menjelaskan kaitan suatu konsep dengan konsep lainnya.
B. Kerangka Pikir
Salah satu usaha yang dapat dilakukan oleh guru dalam meningkatkan
16
model pembelajaran kooperatif yang dapat membantu siswa dalam meningkatkan
pemahaman konsep matematis siswa. Model pembelajaran kooperatif berpusat
pada siswa, sehingga guru hanya menjadi fasilitator yang mengarahkan siswa
belajar secara mandiri.
Salah satu tipe model pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran
kooperatif tipe TPS yang terdiri dari tiga tahapan, yaitu thinking, pairing, dan
sharing. Pada tahap thinking (berpikir), siswa secara mandiri mencoba untuk
menyelesaikan masalah yang dihadapi, hal ini membuat siswa lebih terbiasa
dalam mengungkapkan kembali konsep-konsep yang telah dimiliki terkait dengan
masalah tersebut sehingga siswa dapat mengembangkan kemampuan pemahaman
konsepnya dan sebagai bekal diskusi pada tahap selanjutnya. Kemudian pada
tahap Pairing (berpasangan), siswa secara berpasangan mendiskusikan hasil
pemikiran atau gagasan yang telah mereka kembangkan pada tahap thinking.
Tahap ini mempunyai peranan penting karena adanya diskusi siswa akan lebih
mudah bertukar ide atau pendapat masing-masing kepada pasangannya sehingga
setiap permasalahan matematika yang umumnya dipandang sulit oleh para siswa
terlihat lebih mudah dan membuat pemahaman konsep matematis mereka semakin
matang. Selanjutnya pada tahap Sharing (berbagi), siswa saling berbagi ide atau
pendapat dengan kelompok lain, sehingga jawaban yang didapatkan lebih
sempurna daripada tahap sebelumnya. Hal ini sesuai dengan kajian teori yang
telah diuraikan sebelumnya, bahwa pada model pembelajaran kooperatif tipe TPS
dapat membuat siswa aktif untuk mencari jawaban dari masalah yang diberikan
melalui tahapan-tahapan pada model pembelajaran kooperatif tipe TPS, sehingga
tahap pair dan share siswa dilatih untuk berani mengemukakan pendapat dan
berdiskusi dengan pasanganya untuk memperoleh jawaban yang lebih sempurna
dan membuat pemahaman konsep matematis siswa menjadi lebih baik.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran
kooperatif tipe TPS dapat berpengaruh terhadap pemahaman konsep matematis
siswa.
B.Hipotesis
1. Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini adalah model pembelajaran kooperatif tipe TPS
ber-pengaruh terhadap pemahaman konsep matematis siswa.
2. Hipotesis Kerja
Hipotesis kerja yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
Pemahaman konsep matematis siswa yang mengikuti pembelajaran kooperatif tipe
TPS lebih tinggi daripada pemahaman konsep matematis siswa yang mengikuti
III. METODE PENELITIAN
A. Populasi dan Sampel
Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 7 Bandarlampung. Populasi dari
penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII SMP Negeri 7 Bandarlampung
tahun pelajaran 2012/2013 yang tidak berada dalam kelas unggulan. Populasi
terdiri dari delapan kelas yang diajar oleh tiga guru matematika berbeda.
Berdasarkan nilai rata-rata ujian semester ganjil siswa kelas VIII SMP Negeri 7
Bandarlampung yang diperoleh dari guru mata pelajaran matematika, diketahui
bahwa delapan kelas tersebut memiliki kemampuan berbeda. Berikut nilai
rata-rata ujian semester ganjil kelas VIII SMP Negeri 7 Bandarlampung tahun
pelajaran 2012/2013yang disajikan dalam Tabel 3.1.
Tabel 3.1. Rata-Rata Nilai Ujian Semester Ganjil Kelas VIII SMPN 7 Bandarlampung
Kelas Rata-Rata Nilai
VIII A 34,7
VIII B 38,8
VIII D 33,4
VIII E 34,2
VIII F 34,6
VIII G 33,7
VIII H 34,2
VIII I 40,6
Rata-rata populasi 35,5
Sampel pada penelitian ini diambil dengan teknik purposive random sampling,
yaitu siswa dari populasi yang ada diambil dua kelas yang memiliki kemampuan
relatif sama berdasarkan rata-rata nilai ujian akhir semester ganjil, yaitu kelas VIII
H dan VIII E. Kemudian dipilih secara acak kelas VIII H sebagai kelas
eksperimen dan kelas VIII E sebagai kelas kontrol. Berdasarkan perhitungan
data kemampuan awal menggunakan uji-t, kedua kelas memiliki kemampuan awal
yang sama, sehingga kedua kelas dapat dijadikan sebagai sampel penelitian.
B. Desain Penelitian
Penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian eksperimen semu (quasi
experiment) menggunakan post-test only control group design dengan kelompok
pengendali yang tidak diacak sebagaimana dikemukakan Furchan (1982: 368).
Tabel 3.2 Desain Penelitian
Kelompok Perlakuan Post-test
E X1 O1
P X2 O2
Keterangan:
E = Kelas eksperimen
P = Kelas pengendali atau kontrol
X1 = Perlakuan pada kelas eksperimen dengan menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe TPS
X2 = Perlakuan pada kelas kontrol dengan menggunakan pembelajaran
konvensional
O1 = Skor posttest pada kelas ekperimen
20
C. Prosedur Penelitian
Langkah-langkah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Penelitian pendahuluan, untuk melihat kondisi lapangan seperti berapa kelas
yang ada, jumlah siswanya, karateristik siswa, dan cara mengajar guru
matematika selama pembelajaran.
2. Membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan Lembar kerja Siswa
(LKS) untuk kelas eksperimen dengan menggunakan model pembelajaran
kooperatif tipe TPS, sedangkan untuk kelas kontrol dengan menggunakan
pembelajaran konvensional.
3. Menyiapkan instrumen penelitian berupa tes pemahaman konsep dan aturan
penskorannya.
4. Melakukan validasi instrumen.
5. Melaksanakan pembelajaran
6. Melakukan uji coba instrumen
7. Mengadakan posttest pada kelas eksperimen dan kelas kontrol.
8. Menganalisis data.
9. Membuat laporan.
D. Data Penelitian
Data dalam penelitian ini adalah data pemahaman konsep matematis siswa yang
diperoleh dari tes pemahaman konsep matematis. Data ini berupa data kuantitatif.
E. Teknik Pengumpulan Data
digunakan dalam penelitian ini adalah tes pemahaman konsep matematis.
Pemberian tes ini bertujuan untuk mengukur kemampuan siswa dalam memahami
konsep garis singgung lingkaran yang diberikan. Pemberian tes dilakukan
sesudah pembelajaran (posttest) pada kelas eksperimen dan kelas kontrol.
F. Instrumen Penelitian
Instrumen tes yang digunakan untuk memperoleh data pemahaman konsep
matematis siswa adalah tes. Penyusunan soal tes diawali dengan pembuatan
kisi-kisi yang disusun dengan memperhatikan indikator pemahaman konsep.
Sebelum diujicobakan, terlebih dahulu dilakukan uji validasi perangkat tes.
Dalam penelitian ini validitas tes yang digunakan adalah validitas isi, yakni
ditinjau dari kesesuaian isi tes dengan isi kurikulum yang hendak diukur.
Dalam penelitian ini soal tes dikonsultasikan dengan dosen pembimbing terlebih
dahulu kemudian dikonsultasikan kepada guru mata pelajaran matematika kelas
VIII SMP Negeri 7 Bandarlampung. Penilaian dosen dan guru menyatakan
bahwa perangkat tes telah sesuai dengan kompetensi dasar dan indikator sehingga
tes tersebut dikategorikan valid.
Setelah tes dinyatakan valid, tes tersebut diuji coba di luar sampel tetapi masih
dalam populasi. Uji coba tes ini dimaksudkan untuk mengukur tingkat reliabilitas
tes dan tingkat kesukaran tes. Kriteria penilaian pemahaman konsep, disajikan
22
Tabel 3.3 Skoring Tes Pemahaman Konsep
No Indikator Jawaban Skor
1.
Menyatakan ulang suatu konsep
Tidak menjawab 0
Menyatakan ulang suatu konsep tetapi
salah 1
Menyatakan ulang suatu konsep dengan
benar 2
sifat-sifat tertentu tetapi salah. 1
Mengklarifikasikan objek-objek menurut
sifat-sifat tertentu dengan benar. 2
3.
representasi matematika tetapi salah. 1
Menyajikan konsep dalam berbagai bentuk
representasi matematika dengan benar. 2
5.
Mengembangkan syarat perlu dan syarat
cukup suatu konsep tetapi salah. 1
Mengembangkan syarat perlu dan syarat
cukup suatu konsep dengan benar. 2
6.
memilih prosedur atau operasi tertentu tetapi salah.
1
Menggunakan, memanfaatkan dan
memilih prosedur atau operasi tertentu dengan benar.
Mengaplikasikan konsep atau pemecahan
masalah tetapi salah. 1
Mengaplikasikan konsep atau pemecahan
masalah dengan benar. 2
a. Reliabilitas Tes
Perhitungan koefisien reliabilitas tes yang didasarkan pada pendapat Sudijono
(2008: 207) menggunakan rumus Alpha, yaitu :
Keterangan :
r11 = koefisien reliabilitas tes
n = banyaknya item tes yang dikeluarkan dalam tes
∑ = jumlah varian skor dari tiap-tiap butir item
= varians total
Menurut Sudijono (2008:207), suatu tes dikatakan baik apabila koefisien
reliabilitasnya sama dengan atau lebih dari 0,70. Setelah dilakukan perhitungan
instrumen tes (Lampiran C.1) diperoleh r11= 0,73 sehingga instrumen memiliki
reliabilitas yang baik.
b. Tingkat Kesukaran (TK)
Tingkat kesukaran digunakan untuk menentukan derajat kesukaran suatu butir
soal. Suatu tes dikatakan baik jika memiliki derajat kesukaran sedang, yaitu tidak
terlalu sukar, dan tidak terlalu mudah. Seperti yang dikemukakan Sudijono dalam
Noer (2010 : 23) untuk menghitung tingkat kesukaran suatu butir soal digunakan
rumus :
TK =
r = n
n−1 1− ∑S
24
Keterangan :
TK : tingkat kesukaran suatu butir soal
JT : jumlah skor yang diperoleh siswa pada butir soal yang diperoleh
IT : jumlah skor maksimum yang dapat diperoleh siswa pada suatu butir soal
Untuk menginterpretasi tingkat kesukaran suatu butir soal digunakan kriteria
indeks kesukaran sebagai berikut :
Tabel 3.4. Interpretasi Nilai Tingkat Kesukaran
Nilai Interpretasi
Berdasarkan perhitungan tingkat kesukaran soal, diketahui bahwa butir soal
nomor 1, 3, 4, 5, dan 6 memiliki tingkat kesukaran dengan interpretasi sedang,
sedangkan pada butir soal nomor 2 memiliki tingkat kesukaran dengan interpretasi
mudah. Perhitungan selengkapnya terdapat pada lampiran C.2.
Rekapitulasi hasil tes uji coba disajikan dalam Tabel 3.5 sebagai berikut:
Tabel 3.5. Rekapitulasi Hasil Tes Uji Coba
Dari Tabel 3.5, terlihat bahwa keenama butir soal tersebut telah memenuhi kriteria
yang ditentukan, sehingga keenam butir soal tersebut dapat digunakan untuk
mengukur pemahaman konsep matematis siswa.
G.Teknik Analisis Data
Sebelum pengujian hipotesis terlebih dahulu dilakukan uji prasyarat, yaitu uji
normalitas data dan uji homogenitas varians.
1. Uji Normalitas Data
Uji normalitas data dilakukan untuk mengetahui apakah data berasal dari populasi
berdistribusi normal atau tidak. Statistik yang digunakan dalam uji normalitas ini
dengan menggunakan chi-kuadrat yang dikemukakan oleh Sudjana (2005: 273)
dengan rumusan hipotesis sebagai berikut:
Hipotesis Uji:
H0 : data sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal
H1 : data sampel berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal
Statistik uji:
Keterangan:
x2 hitung = harga Chi-kuadrat
Oi = frekuensi observasi
Ei = frekuensi harapan
26
k = banyaknya kelas interval
Kriteria uji : tolak H0 jika ( ) ( ) dengan derajat kebebasan dk = k - 3
dan taraf signifikan 5%.
Berdasarkan hasil perhitungan data pemahaman konsep matematis siswa pada
kelas yang mengikuti pembelajaran kooperatif tipe TPS dan kelas yang mengikuti
pembelajaran konvensional diperoleh secara berurut adalah 5,57 dan
5,65 sedangkan pada kelas yang mengikuti pembelajaran kooperatif tipe
TPS adalah 7,81 dan pada kelas yang mengikuti pembelajaran
konvensional adalah 9,49. Berdasarkan keputusan uji, karena χ < χ
maka terima Ho, sehingga data kemampuan pemahaman konsep matematis siswa
pada kelas yang mengikuti pembelajaran kooperatif tipe TPS dan kelas yang
mengikuti pembelajaran konvensional berasal dari populasi yang berdistribusi
normal, untuk perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran C.11 dan
C.12.
2. Uji Kesamaan Dua Varians (Uji Homogenitas)
Uji homogenitas varians menggunakan uji F pihak kanan untuk mengetahui
apakah dua sampel yang diambil berasal dari populasi yang memiliki varians
homogen atau sebaliknya. Adapun Hipotesis untuk uji ini adalah:
H0: σ12= σ22 (variansi kedua populasi homogen)
H1 : σ12≠ σ22 (variansi kedua populasi tidak homogen)
Statistik uji :
Keterangan :
S = varians terbesar
S = varians terkecil
Keputusan uji menurut Sudjana (2005: 251) adalah Tolak H0 jika
( , , ), dimana ( , , ) didapat dari daftar distribusi F dengan taraf
signifikan 5% dan derajat kebebasan masing-masing sesuai dengan dk pembilang
dan penyebut. .
Dari hasil perhitungan diperoleh nilai Fhitung= 1,56 dan nilai ( , ) = 1,80
dengan taraf nyata α = 5%. Berdasarkan kriteria pengujian maka terima Ho,
sehingga variansi kedua populasi homogen. Perhitungan selengkapnya pada
Lampiran C.13.
3. Uji Hipotesis
Karena data berdistribusi normal dan kedua kelompok data homogen, maka
statistik yang digunakan dalam pengujian hipotesis adalah uji-t, dengan hipotesis
sebagai berikut:
∶ (pemahaman konsep matematis siswa yang mengikuti
pembelajaran kooperatif tipe TPS kurang dari atau sama dengan
pemahaman konsep matematis siswa yang mengikuti
pembelajaran konvensional).
H1 :
1
2 (pemahaman konsep matematis siswa yang mengikuti28
pemahaman konsep matematis siswa yang mengikuti
pembelajaran konvensional).
Karena
1
2 tetapi tidak diketahui, maka statistik yang digunakan untuk uji iniadalah:
= rata-rata skor tes pemahaman konsep pada kelas yang mengikuti
pembelajaran kooperatif tipe TPS.
= rata-rata skor tes pemahaman konsep pada kelas yang mengikuti
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diperoleh kesimpulan bahwa model
pembelajaran kooperatif tipe TPS berpengaruh terhadap pemahaman konsep
matematis siswa kelas VIII semester genap SMP Negeri 7 Bandar Lampung
Tahun Pelajaran 2012/2013.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan dalam penelitian ini, dapat dikemukakan beberapa saran
sebagai berikut :
1. Bagi peneliti lain yang ingin mengkaji lebih mendalam tentang model
pembelajaran kooperatif tipe TPS, sebaiknya sebelum melaksanakan
penelitian, siswa diperkenalkan model pembelajaran kooperatif tipe TPS
terlebih dahulu sehingga saat penelitian berlangsung siswa dapat beradaptasi
dengan baik. Dengan demikian, data hasil belajar benar-benar merupakan
hasil dari suatu pembelajaran yang optimal.
2. Dalam menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe TPS, guru hendaknya
memahami dan melaksanakan ketiga tahapan model ini dengan pengelolaan
kelas yang baik dan pengelolaan waktu yang tepat agar suasana belajar
37
3. Sebaiknya sebelum melaksanakan penelitian, diadakan tes awal kemampuan
pemahaman konsep untuk mengukur kemampuan awal pemahaman konsep
siswa, sehingga sampel yang diperoleh memiliki kemampuan pemahaman
konsep yang relatif sama.
4. Sebaiknya dilakukan pengukuran terhadap perkembangan karakter siswa
sesuai dengan RPP berkarakter yang digunakan, sehingga perubahan karakter
DAFTAR PUSTAKA
Baharuddin dan Nur, Esa. 2008. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Ar-Ruzzmedia.
Depdiknas. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Furchan, Arief. 1982. Pengantar Penelitian dalam Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.
Hamalik, Oemar. 2007. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.
Herdian. 2010. Kemampuan Pemahaman Matematika. [on line]. Tersedia: http://herdy07. wordpress.com/. (21 September 2012)
Hudoyo, Herman. 1990. Strategi Belajar Matematika. Malang: IKIP Malang.
Lie, Anita. 2004. Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang Kelas. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Marpaung. 2010. Paradigma Pembelajaran. [on line]. Tersedia:
http://p4mriusd.blogspot.com/2011_12_01_archive.html. (06 Mei 2013)
Mullis et al. 2012. Assessment Framework and Field Test Development.TIMSS 2011.
Mulyasa. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Noer, Sri Hastuti. 2010. Jurnal Pendidikan MIPA. Jurusan P.MIPA. Unila.
Nurhadi. 2004. Kurikulum 2004. (Pertanyaan dan Jawaban). Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Nuryanto, Solihin. Efektivitas Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Tps Dalam Meningkatkan Pemahaman Konsep Matematis Siswa (Studi Pada Siswa Kelas XI IPA Semester genap SMA YP UNILA Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2011/2012). Bandar Lampung: Unila.
39
Sastradi, Trisna. 2008. Model Pembelajaran Konvensional. [on line]. Tersedia: http://mediafunia.blogspot.com/2013/01/model-pembelajaran-konvensional. html. (06 Mei 2013)
Sadiman, A.M. 2003. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Grafindo Persada.
Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.
Sudjana. 2005. Metoda Statistika. Bandung: PT. Tarsito.
Soedjadi. 2000. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
Sunartombs. 2009. Pembelajaran Konvensional Banyak Dikritik Namum Paling Disukai. [on line]. Tersedia: http://sunartombs.wordpress.com/2009/03/02/ pembelajaran-konvensional-banyak-dikritik-namun-paling-disukai/.
(21 Agustus 2011)
Suyitno. 2004. Menjelajahi Pembelajaran Inovatif. Sidoarjo: Mass Media Buana Pustaka.
Tim Penyusun. 2006. Undang-Undang Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional) 2003. Jakarta: Sinar Grafika.