• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pemanfaatan Pengolahan Sampah Organik Menjadi Pupuk Kompos

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Pemanfaatan Pengolahan Sampah Organik Menjadi Pupuk Kompos"

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PEMANFAATAN PENGOLAHAN SAMPAH

ORGANIK MENJADI PUPUK KOMPOS

TESIS

Oleh

S

S

U

U

K

K

I

I

R

R

067025005/TI

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)
(3)

ABSTRAK

Menurut perkiraan dari Badan Pusat Statistik (PBS) jumlah sampah pada tahun 2020 di 384 kota di Indonesia mencapai 80.235,87 ton tiap hari. Dari sampah yang dihasilkan tersebut diperkirakan sebesar 4,2% akan diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA), sebanyak 37,6% dibakar, dibuang ke sungai sebesar 4,9% dan tidak tertangani sekitar 53,3%. Dari sekitar 53,3% sampah yang tidak ditangani dibuang dengan cara tidak saniter dan menurut perkiraan National Urban Development Strategy (NUDS) tahun 2003 rata – rata volume sampah yang dihasilkan per orang sekitar 0,5 – 0,6 kg/hari.

Dari berbagai pengamatan 70% - 80% sampah yang dihasilkan adalah sampah organik rumah tangga yang berasal dari kegiatan dapur maupun dari pekarangan. Setiap rumah tangga dimanapun bertanggung jawab terhadap sampah yang dihasilkan (Ananta, 1997).

Fakta yang terlihat sehari-hari menunjukkan bahwa umumnya sampah-sampah organik dikumpulkan kemudian dibakar. Bila ini dipertahankan maka hasil pembakaran tersebut berdampak pada kerusakan lingkungan yang akhirnya berkontribusi pada pemanasan global.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui metode yang lebih baik dalam pengelolaan sampah organik menjadi kompos dari dua metode yaitu metode konvensional dan metode dengan bantuan katalis EM4 dan diperoleh hasil bahwa metode dengan bantuan katalis EM4 lebih baik dari pada metode konvensional dalam pengolahan sampah organik menjadi kompos berdasarkan pertimbangan teknis dan ekonomis. Komposisi yang optimal pada metode dengan bantuan katalis EM4 yaitu dengan bahan baku sampah organik 150 kg, panjang cacahan sampah 3 cm, volume air 8 liter, waktu pengadukan 20 menit, waktu pembalikan 1 hari, dedak 10 kg, EM4 150 ml dan gula 150 gram serta waktu proses selama 12 hari yang menghasilkan kompos sebanyak 106,5 kg dengan kandungan Nitrogen 7,055%, Pospor 3,085% dan Kalium 2,125%.

(4)

ABSTRACT

According to estimation from central statistics agency (Badan Pusat Stastik – BPS) that waste in 2020, 384 city in Indonesia reached 80,235,87 ton/a day. From waste generated is estimated at 4,2% will be transported to Banishment Place (Landfills), about 37,6% is burned, throw to river about 4,9% and not handled about 53,3%. Approximately 53,3% waste of not handled, it is thrown by no sanitary manner and according to estimation of National Urban Development Strategy (NUDS) in 2003, average volume of waste generated per person is around 0,5 – 0,6 kg/a day.

From various observations, 70% - 80% waste generated is household organic waste either from kitchen activity or from yard. Every household is responsible of waste generated. (Ananta, 1997).

In fact, it indicates that daily general organic wastes are collected and then burnt. If it is maintained, the impact of the combustion will be environmental damage which ultimately contributes to global warming.

This research is performed to determine the better method in organic waste management into compost from conventional method and the method with the help of catalysts EM4 so it is obtained results that the method with the help of catalysts EM4 is better than conventional method in organic waste management into compost that based on technical and economic considerations. Optimum composition of the method with the help of catalysts EM4 is with organic waste materials 150kg, long chopped trash 3 cm, water volume 8 litre, stirring time 20 minutes, reversal time 1 day, mixture of rice and bran (dedak in Indonesia) 10kg, EM4 150 ml and sugar 150 gram, also processing time for 12 days which produces compost as much as 106,5kg with containing 7,055% nitrogen, 3,08% phosphorus and 2,125 % potassium.

Keyword : Organic Waste Processing, Economic Analysis, Completely

(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan

rahmat serta hidayahNya, sehingga tesis dengan judul Analisis Pemanfaatan

Pengolahan Sampah Organik Menjadi Pupuk Kompos dapat diselesaikan, sebagai

salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada Program Studi Teknik Industri pada

Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

Terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis ucapkan kepada :

1. Dekan Fakultas Teknik Bapak Prof. Dr. Ir. Armansyah Ginting, M.Eng atas

kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan studi di

Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Sukaria Sinulingga, M. Eng, sebagai Ketua Program Studi, dan

sekaligus sebagai Pembimbing Utama, yang dengan penuh perhatian memberikan

bimbingan, arahan serta dorongan sehingga penelitian serta penulisan tesis ini

dapat diselesaikan.

3. Bapak Ir. Nazaruddin, MT Anggota Pembimbing yang telah membimbing dan

mengarahkan penulis sehingga tesis ini dapat diselesaikan.

4. Bapak Ir. Mangara M. Tambunan, M.Sc dan Ibu Nazlina, MT, sebagai anggota

tim Penguji yang telah banyak memberikan masukan dan saran demi

(6)

5. Bapak Ponijan Asri, MM, selaku Kepala Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan

Pendidik dan Tenaga Kependidikan ( PPPPTK ) Medan dan sebagai atasan

penulis yang dengan penuh perhatian dan dorongannya untuk menyelesaikan tesis

ini.

Penulis pada kesempatan ini juga mengucapkan terimakasih yang tulus kepada :

1 Almarhum Ayahanda Sonoredjo dan ibunda almarhumah Sainah yang telah

menanamkan nilai-nilai pendidikan dan akhlak yang mulia kepada penulis,

sehingga penulis tetap tabah untuk menyelesaikan studi ini.

2. Istri tercinta Dra. Malarita. MS dan ananda Syukronul Mustaqim yang telah

memberikan dorongan dan semangat dalam studi ini.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini belum sempurna, oleh sebab itu penulis

mengharapkan kritik, saran dan masukan yang memberi perbaikan demi

kesempurnaan dari tesis ini. Semoga tulisan ini dapat memberi manfaat bagi kita

semua untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Semoga.

Hormat Penulis,

Sukir

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 13 April 1960 di Sidolaju Madiun, Jawa

Timur sebagai anak ke 5 dari 5 bersaudara, dari ayah Sonoredjo dan ibu Sainah.

Lulus SDN pada tahun 1973 dari SD Negeri Sidolaju Madiun, lulus ST pada

tahun 1976 jurusan Bangunan Air dari ST Negeri Walikukun Madiun, lulus STM

pada tahun 1982 jurusan Mesin Umum dari STM YPT Pangkalan Brandan, Sumatera

Utara. Pada tahun 1982 penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Pendidikan

Teknologi Kejuruan IKIP Padang.

Pada tanggal 1 Maret 1987 penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil di

Depdikbud Sumatera Barat sebagai guru STM Negeri 1 Padang sampai tahun 1994.

Kemudian pada tahun 1994 penulis pindah tugas ke Pusat Pengembangan Penataran

Guru Teknologi (PPPGT) Medan sebagai Widyaiswara hingga sekarang.

Pada tahun 2006 penulis mendapat tugas belajar pada Strata-2 di Fakultas

Teknik Program Studi Magister Teknik Industri Universitas Sumatera Utara.

Hormat Penulis,

S u k i r

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

ABTRAK... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP... v

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR TABEL... ix

DAFTAR GAMBAR... x

DAFTAR LAMPIRAN... xi

BAB I. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang Masalah... 1

1.2. Perumusan Masalah... 5

1.3. Tujuan Penelitian... 5

1.4. Sasaran Penelitian... 5

1.5. Manfaat Penelitian... 6

1.6. Batasan Masalah... 6

BAB II. LANDASAN TEORI... 8

2.1. Studi Empiris Terdahulu... 8

2.2. Pengolahan Sampah... 10

(9)

2.4. Bahan Yang Dapat Dikomposkan... 16

2.5. Proses Umum Pengomposan Sampah Organik... 16

2.6. Faktor-faktor ang Mempengaruhi Proses Pengomposan... 20

2.7. Standar Kualitas Kompos... 22

2.8. Teori Mengenai Desain Eksperimen... 23

2.8.1. Tujuan Desain Eksperimen... 24

2.8.2. Rancangan Acak Lengkap... 24

2.9. Studi Kelayakan... 26

2.9.1. Aspek-aspek Studi Kelayakan... 27

2.9.2. Manfaat Studi Kelayakan... 32

2.9.3. Perhitungan Ekonomi... 35

2.9.4. BEP Analisis... 40

BAB III. GAMBAAN UMUM OBJEK STUDI... 43

BAB IV. KERANGKA KONSEPTUAL... 45

BAB V. METODOLOGI PENLITIAN... 49

5.1. Jenis Penelitian... 49

5.2. Metode Pengumpulan Data... 49

5.3. Bahan dan Alat Serta Tenaga Kerja Yang Dibutuhkan... 50

5.4. Metodologi Pengujian... 54

5.5. Metode Analisis Data... 56

BAB VI. PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA... 58

(10)

6.2. Pengumpulan dan Pengolahan Data Aspek Ekonomis... 63

BAB VII. ANALISIS DAN EVALUASI... 73

7.1. Analisis Aspek Teknis... 73

7.2. Analisis Aspek Ekonomis... 74

7.3. Evaluasi Alternatif Terbaik Berdasarkan Aspek Teknis dan Aspek Ekonomis... 76

7.4. Sistem Pembuangan Sampah Aktual... 77

7.5. Evaluasi Sistem Pembuangan Sampah Masyarakat... 78

BABVIII.KESIMPULAN DAN SARAN... 81

8.1. Kesimpulan... 81

8.2. Saran... 82

DAFTAR PUSTAKA... 83

(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1. Organisme Yang Terlibat Dalam Proses Pengomposan... 19

2. Kondisi Optimal Untuk Mempercepat Proses Pengomposan... 21

3. Perbandingan Sampah Organik dan Anorganik kota Medan... 44

4. Komposisi Cara Konvensional... 58

5. Komposisi Cara Bantuan Katalis EM4... 58

6. Data Pengujian... 59

7. Hasil Pengujian... 60

8. Alternatif Komposisi Terbaik dari Kedua Metode... 61

9. Kombinasi Perlakuan 2 Metode Konvensional... 61

10. Kombinasi Perlakuan 2 Metode Bantuan Katalis EM4... 62

11. Rincian Biaya Metode Konvensional... 65

12. Depresiasi Mesin dan Peralatan Metode Konvensional... 65

13. Proyeksi Laba Rugi Metode Konvensional... 66

14. NPV Metode Konvensional... 66

15. Rincian Biaya Metode Bantuan Katalis EM4... 70

16. Depresiasi Mesin dan Peralatan Metode Bantuan Katalis EM4... 71

17. Proyeksi Laba Rugi Metode Bantuan Katalis EM4... 71

18. NPV Metode Katalis EM4... 73

(12)

20. Alternatif Terbaik Aspek Ekonomis... 76

(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1. Proses Umum Pengomposan Sampah Organik secara aerobik... 17

2. Perubahan Suhu Selama Proses Pengomposan... 19

3. Grafik Titik Impas (BEP)... 42

4. Kerangka Konseptual... 45

5. Mesin Pencacah Sampah Organik dan Alat Timbangan... 51

6. Sampah Organik yang akan Dijadikan Kompos... 52

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Standar Kualitas Kompos Menurut Standar Nasional……… 84

2. Persyaratan Teknis Minimal Pupuk Organik………. 85

3. Unsur Hara Makro Kompos dan Fungsinya……….. 86

4. Unsur Hara Mikro kompos dan Fungsinya……… 87

5. Hasil Uji Kualitas Kompos……… 98

6. Tahapan Proses Pembuatan Kompos Dengan Bantuan Katalis EM4………... 89

(15)

ABSTRAK

Menurut perkiraan dari Badan Pusat Statistik (PBS) jumlah sampah pada tahun 2020 di 384 kota di Indonesia mencapai 80.235,87 ton tiap hari. Dari sampah yang dihasilkan tersebut diperkirakan sebesar 4,2% akan diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA), sebanyak 37,6% dibakar, dibuang ke sungai sebesar 4,9% dan tidak tertangani sekitar 53,3%. Dari sekitar 53,3% sampah yang tidak ditangani dibuang dengan cara tidak saniter dan menurut perkiraan National Urban Development Strategy (NUDS) tahun 2003 rata – rata volume sampah yang dihasilkan per orang sekitar 0,5 – 0,6 kg/hari.

Dari berbagai pengamatan 70% - 80% sampah yang dihasilkan adalah sampah organik rumah tangga yang berasal dari kegiatan dapur maupun dari pekarangan. Setiap rumah tangga dimanapun bertanggung jawab terhadap sampah yang dihasilkan (Ananta, 1997).

Fakta yang terlihat sehari-hari menunjukkan bahwa umumnya sampah-sampah organik dikumpulkan kemudian dibakar. Bila ini dipertahankan maka hasil pembakaran tersebut berdampak pada kerusakan lingkungan yang akhirnya berkontribusi pada pemanasan global.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui metode yang lebih baik dalam pengelolaan sampah organik menjadi kompos dari dua metode yaitu metode konvensional dan metode dengan bantuan katalis EM4 dan diperoleh hasil bahwa metode dengan bantuan katalis EM4 lebih baik dari pada metode konvensional dalam pengolahan sampah organik menjadi kompos berdasarkan pertimbangan teknis dan ekonomis. Komposisi yang optimal pada metode dengan bantuan katalis EM4 yaitu dengan bahan baku sampah organik 150 kg, panjang cacahan sampah 3 cm, volume air 8 liter, waktu pengadukan 20 menit, waktu pembalikan 1 hari, dedak 10 kg, EM4 150 ml dan gula 150 gram serta waktu proses selama 12 hari yang menghasilkan kompos sebanyak 106,5 kg dengan kandungan Nitrogen 7,055%, Pospor 3,085% dan Kalium 2,125%.

(16)

ABSTRACT

According to estimation from central statistics agency (Badan Pusat Stastik – BPS) that waste in 2020, 384 city in Indonesia reached 80,235,87 ton/a day. From waste generated is estimated at 4,2% will be transported to Banishment Place (Landfills), about 37,6% is burned, throw to river about 4,9% and not handled about 53,3%. Approximately 53,3% waste of not handled, it is thrown by no sanitary manner and according to estimation of National Urban Development Strategy (NUDS) in 2003, average volume of waste generated per person is around 0,5 – 0,6 kg/a day.

From various observations, 70% - 80% waste generated is household organic waste either from kitchen activity or from yard. Every household is responsible of waste generated. (Ananta, 1997).

In fact, it indicates that daily general organic wastes are collected and then burnt. If it is maintained, the impact of the combustion will be environmental damage which ultimately contributes to global warming.

This research is performed to determine the better method in organic waste management into compost from conventional method and the method with the help of catalysts EM4 so it is obtained results that the method with the help of catalysts EM4 is better than conventional method in organic waste management into compost that based on technical and economic considerations. Optimum composition of the method with the help of catalysts EM4 is with organic waste materials 150kg, long chopped trash 3 cm, water volume 8 litre, stirring time 20 minutes, reversal time 1 day, mixture of rice and bran (dedak in Indonesia) 10kg, EM4 150 ml and sugar 150 gram, also processing time for 12 days which produces compost as much as 106,5kg with containing 7,055% nitrogen, 3,08% phosphorus and 2,125 % potassium.

Keyword : Organic Waste Processing, Economic Analysis, Completely

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 . Latar Belakang Masalah

Masalah sampah merupakan fenomena sosial yang perlu mendapat perhatian

dari semua pihak, karena setiap manusia pasti memproduksi sampah, disisi lain

masyarakat tidak ingin berdekatan dengan sampah.

Sampah merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari kehidupan

masyarakat, terutama di daerah perkotaan. Sampah apabila tidak ditangani secara

baik dan benar dari sumber sampah, maka akan menimbulkan masalah terhadap

kesehatan, sosial, ekonomi dan keindahan.

Dewasa ini pertumbuhan penduduk khususnya di kota berjalan dengan pesat

sekitar 36%, pada tahun 2020 diperkirakan jumlahnya meningkat menjadi 52% atau

sebanyak 40 juta jiwa (Muchtar, 1993; Kusbiantoro, 1993).

Pesatnya pertumbuhan penduduk di kota – kota besar di Indonesia selain

membawa keuntungan dengan tumbuh dan berkembangnya kota – kota menjadi pusat

kegiatan ekonomi, industri, sosial dan budaya juga membawa dampak terhadap

meningkatnya biaya sosial, sehingga pada akhirnya kawasan perkotaan akan sampai

pada tingkat skala disekonomi (kemunduran ekonomi). Hal ini merupakan akibat

terjadinya kemerosotan kualitas lingkungan hidup perkotaan berupa kebisingan,

kemacetan lalu lintas, pencemaran air, udara dan tanah yang disebabkan oleh limbah

(18)

Menurut perkiraan dari Badan Pusat Statistik (PBS) jumlah sampah pada

tahun 2020 di 384 kota di Indonesia mencapai 80.235,87 ton tiap hari. Dari sampah

yang dihasilkan tersebut diperkirakan sebesar 4,2% akan diangkut ke Tempat

Pembuangan Akhir (TPA), sebanyak 37,6% dibakar, dibuang ke sungai sebesar 4,9%

dan tidak tertangani sekitar 53,3%. Dari sekitar 53,3% sampah yang tidak ditangani

dibuang dengan cara tidak saniter dan menurut perkiraan National Urban

Development Srtategy (NUDS) tahun 2003 rata – rata volume sampah yang dihasilkan

per orang sekitar 0,5 – 0,6 kg/hari.

Sebagai contoh Kota Medan merupakan kota inti di Sumatera Utara

mempunyai beban volume sampah yang diproduksi penduduk sebesar 5.710 m3/hari.

Dari produksi sampah tersebut yang mampu diangkut oleh Dinas Kebersihan kota

Medan baru 68%, sedangkan 32% belum terangkut. Masalah utama sektor

persampahan di kota Medan adalah masih banyaknya illegal dumping (Profil Kota

Medan, 2004).

Sampah sebagai hasil buangan dari kegiatan produksi dan konsumsi manusia

baik dalam bentuk padat, cair, maupun gas merupakan sumber pencemaran

lingkungan hidup yang dapat menyebabkan disekonomi (kemerosotan ekonomi)

kawasan perkotaan. Permasalahan dalam penanganan sampah terjadi karena

ketidakseimbangan antara produksi dengan kemampuan dalam pengelolaannya,

volume sampah terus meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk, perubahan

kualitas hidup dan dinamika kegiatan masyarakat. Sampah yang tidak dikelola inilah

(19)

dan menimbulkan bau yang tidak sedap, banjir, pencemaran tanah, air dan

berkurangnya nilai kebersihan dan keindahan lingkungan.

Pilosofis pengelolaan sampah selama ini adalah dikumpulkan, ditampung di

Tempat Penampungan Sementara (TPS) dan akhirnya dibuang ke Tempat

Penampungan Akhir (TPA). Hal ini menyebabkan terjadinya penumpukan sampah di

setiap lini rumah tangga, TPS dan TPA. Secara internal keadaan ini disebabkan oleh

kurang tersedianya sarana dan prasarana pengumpulan, keterbatasan armada personil

kebersihan dan sulitnya mencari lembaga swadaya yang dapat bermitra dengan

pemerintah dalam penanganan sampah secara baik. Adanya keterbatasan lahan yang

dapat dipergunakan sebagai TPA karena makin sulitnya memperoleh ruang yang

pantas dan jaraknya semakin jauh dari pusat kota maupun pusat pemukiman, serta

diperlukan dana yang besar untuk pembebasan lahan TPA.

Dari berbagai pengamatan 70% - 80% sampah yang dihasilkan adalah sampah

organik rumah tangga yang berasal dari kegiatan dapur maupun dari pekarangan.

Setiap rumah tangga dimanapun bertanggung jawab terhadap sampah yang dihasilkan

(Ananta, 1997).

Fakta yang terlihat sehari-hari menunjukkan bahwa umumnya

sampah-sampah organik dikumpulkan kemudian dibakar. Bila ini dipertahankan maka hasil

pembakaran tersebut berdampak pada kerusakan lingkungan yang akhirnya

berkontribusi pada pemanasan global seperti yang telah dirasakan saat ini.

Pengolahan sampah merupakan suatu upaya untuk mengurangi volume sampah atau

(20)

pengomposan, pemadatan, penghancuran, pengeringan dan pendaur ulangan ( Dirjen

Cipta Karya, 1998).

Sadoko (1993), mengatakan upaya pengelolaan sampah kota yang lebih baik

berdasarkan pada usaha penanganan sampah sedini mungkin, sedekat mungkin dari

sumbernya dan sebanyak mungkin mendayagunakan kembali sampah.

Ditinjau dari segi ekonomi usaha pengomposan sampah kota khususnya

sampah organik menjadi pupuk kompos memiliki nilai ekonomis, disamping pupuk

kompos dimanfaatkan untuk tanaman organik yang sudah menjadi kebutuhan

manusia saat ini. Disamping itu dengan menghasilkan pupuk kompos dari sampah

organik akan mengurangi kerusakan lingkungan akibat penggunaan pupuk kimia

yang selama ini banyak digunakan petani.

Saat ini penanganan sampah organik menjadi pupuk kompos beragam cara

dilakukan oleh masyarakat. Pengolahan sampah organik diantaranya adalah

pengolahan sampah organik menjadi pupuk kompos secara konvensional (windrow),

dan pengolahan sampah organik menggunakan berbagai metode baik secara aerobik

maupun anerobik.

Berdasarkan uraian tersebut, perlu dilakukan penelitian tentang perancangan

sistem yang bisa memisahkan sampah organik dan anorganik dan pengolahan sampah

organik menjadi pupuk kompos secara massal yang layak untuk dikembangkan baik

(21)

1.2 . Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka ditentukan

perumusan masalah yaitu pembuatan sistem pemisahan sampah organik dan

anorganik yang dihasilkan oleh rumah tangga kemudian mengolahnya secara massal

menjadi pupuk kompos serta membandingkan antara metode konvensional dengan

metode yang menggunakan bantuan katalis EM4 untuk mendapatkan kelayakan

secara teknis dan ekonomis.

1.3 . Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Merancang sistem pembuangan sampah rumah tangga.

2. Penentuan komposisi yang optimal dalam proses pengolahan sampah menjadi

pupuk kompos melalui pertimbangan teknis dan ekonomis.

1.4. Sasaran Penelitian

Sasaran penelitian ditentukan yaitu:

1. Merancang sistem pembuangan sampah rumah tangga berdasarkan sampah

organik dan anorganik

2. Menentukan rancangan percobaan untuk mendapatkan berbagai alternatif

rancangan variabel percobaan pada pengolahan sampah dengan menggunakan

metode konvensional dan menggunakan bantuan katalis EM4

(22)

4. Analisa laboratorium untuk mengukur kandungan NPK terhadap hasil eksperimen

5. Penentuan komposisi yang optimal

6. Perhitungan kelayakan ekonomis terhadap komposisi yang optimal.

1.5 . Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagi Lembaga Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga

Kependidikan (PPPPTK) Medan.

Hasil penelitian tersebut dapat menjadi masukan dan digunakan lembaga dalam

mengatasi permasalahan sampah organik.

2. Bagi Peneliti

Memberi pengalaman dalam pemecahan masalah – masalah nyata dengan

menggunakan teori –teori yang sistematis dan logis dengan pendekatan akademis.

3. Bagi Program Studi Teknik Industri USU

Sebagai tambahan referensi yang dapat menjadi acuan bagi peneliti –peneliti lain

yang terkait dengan topik tersebut.

1.5 . Batasan Masalah

Agar penelitian ini terarah dan fokus pada permasalahan, maka batasan masalah yang

diteliti adalah :

1. Hanya meneliti proses pengolahan sampah organik menjadi pupuk kompos secara

(23)

2. Hanya meneliti kualitas kompos dari kedua metode pengolahan kompos secara

konvensional dan dengan bantuan katalis EM4

3. Hanya meneliti perbandingan/komparasi analisis finansial secara ekonomis

terhadap NPV, IRR, dan PBP dari kedua metode pengolahan kompos baik secara

(24)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Studi Empiris Terdahulu

Penelitian tentang permasalahan sampah organik telah banyak dilakukan

orang dengan fokus kajian pengelolaan sampah, analisis keragaman ekonomi dan

kelembagaan pengelola sampah, pencemaran yang diakibatkan oleh sampah, dan

lain-lain. Penelitian yang dilakukan Virgota et al. (2001) tentang kajian simulasi

kelayakan sistem pemisahan sampah rumah tangga pada pengelolaan sampah di kota

Pekan Baru. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Jumiono et al. (2000)

mengenai proses pendirian industri vermikompos berbahan baku sampah kota yang

memfokuskan kepada analisis finansial industri vermikompos yang berbahan baku

sampah kota.

Penelitian lain dilakukan oleh Iriani et al. (1994) tentang sistem organisasi

pengelolaan sampah pemukiman di kota Medan. Dalam penelitian diambil responden

sebanyak 80 kepala keluarga. Pengambilan data dilakukan dengan cara wawancara,

observasi langsung, dan studi dokumentasi.

Mandailing et. al (2001) tentang partisipasi pedagang dalam program

kebersihan dan pengelolaan sampah pasar yang mengambil studi kasus di Bogor.

Untuk mencapai tujuan penelitiannya, peneliti melakukan survai terhadap 90

(25)

pedagang dan faktor – faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi pedagang dalam

pengelolaan sampah pasar.

Djuwendah et al. (1998) meneliti keragaman ekonomi dan kelembagaan

penanganan sampah perkotaan yang mengambil studi kasus di kota Bandung. Tujuan

penelitiannya mengetahui aspek teknis operasional pengelolaan sampah di kota

Bandung, aktivitas pemanfaatan sampah terhadap penurunan volume dan biaya

pengelolaan sampah. Untuk mencapai penelitiannya, Djuwendah et al. (1998)

mengambil sampel 100 orang perangkas, 42 orang lapak, dan 9 orang bandar.

Syamsuddin et al. (1985) juga melakukan penelitian tentang pengelolaan

sampah di kota Ujung Pandang. Dalam penelitiannya digunakan empat faktor untuk

menilai keberhasilan sistem pengelolaan sampah rumah tangga, yaitu partisipasi

masyarakat, persepsi masyarakat, pengelolaan sampah oleh pemerintah kota, dan

peraturan perundang – undangan.

Dari penelitian terdahulu belum ada melakukan penelitian tentang Analisis

Pemanfaatan Pengolahan Sampah Organik Menjadi Pupuk Kompos dengan metode

eksprimen terhadap dua alternatif teknologi pengolahan sampah organik yaitu metode

pengolahan sampah konvensional (windrow) dan metode pengolahan sampah

(26)

2.2. Pengolahan Sampah

Azwar (1990) mengatakan bahwa sampah adalah sebagian dari suatu yang

tidak terpakai, tidak disenangi atau sesuatu yang dibuang, umumnya berasal dari

kegiatan manusia dan bersifat padat. Definisi lain dikemukakan oleh Hadiwijoto

(1983), sampah adalah sisa-sisa bahan yang telah mengalami perlakuan baik telah

diambil bagian utamanya, telah mengalami pengolahan, dan sudah tidak bermanfaat,

dari segi ekonomi.

Murtadho dan Gumbira (1998) membedakan sampah atas sampah organik dan

sampah anorganik. Sampah organik meliputi limbah padat semi basah berupa

bahan-bahan organik yang umumnya berasal dari limbah hasil pertanian memiliki sifat

mudah terurai oleh mikroorganisme dan mudah membusuk.

Sampah organik meliputi kotoran/ limbah peternakan, limbah pabrik gula, sisa

makanan, daun, kertas, kulit buah – buahan, potongan sayuran dll. Pada dasarnya

sampah organik merupakan bahan yang berasal makhluk hidup. Sampah organik

inilah yang bisa dijadikan kompos.

2.3. Teknologi Pengomposan

Dalam pengertian modern, pengkomposan diartikan sebagai proses

dekomposisi materi organik secara biologis menjadi material seperti humus dalam

kondisi aerobik yang terkendali. Menurut Crawford (2003) kompos didefinisikan

sebagai hasil dekomposisi parsial/tidak lengkap, dipercepat secara artifisial dari

(27)

kondisi lingkungan yang hangat, lembab, dan aerobik. Pengomposan dengan bahan

baku sampah organik merupakan teknologi yang ramah lingkungan, sederhana dan

menghasilkan produk akhir yang sangat berguna bagi kesuburan tanah atau tanah

penutup bagi landfill.

Sedangkan Christopher J. Starbuck, seorang ahli holtikultura dari University of

Missouri menjelaskan bahwa kompos merupakan bahan organik yang telah

membusuk beberapa bagian (partially decomposed) sehingga warna gelap, mudah

hancur (crumbled), dan memiliki aroma seperti tanah (earthy). Kompos dibuat

melalui proses biologi, yaitu seperti penguraian pada jaringan tumbuhan oleh

organisme yang ada dalam tanah (soil). Ketika proses pembusukan selesai, kompos

akan berwarna coklat kehitaman dan menjadi materi bubuk bernama humus. Proses

yang terjadi dalam pembuatan kompos ini tidak jauh berbeda dengan proses pada

penguraian tersebut, maka pembuatan kompos sering dianggap sebagai seni dalam

merubah kematian menjadi kehidupan (the of turning death into life).

Sementara National Organic Gardening Centre yang berada di kota Coventry,

Inggris dalam publikasinya menjelaskan, pembuatan kompos pada dasarnya adalah

membuat suatu kondisi yang mendukung (favourable condition) bagi pertumbuhan

populasi mikroorganisme dalam proses pembusukan untuk membuat material humus

yang sangat penting bagi tanah. Pembusukan dalam pembuatan kompos akan lebih

(28)

Komposisi sampah di Indonesia sebagian besar terdiri atas sampah organik,

sekitar 50% sampai 60% dapat dibuat kompos. Apabila sampah organik ini dapat

diolah menjadi kompos, maka akan diperoleh keuntungan sebagai berikut:

1. Memperpanjang umur tempat pembuangan akhir (TPA), karena semakin banyak

sampah organik diolah menjadi kompos, sehingga semakin sedikit sampah yang

dikelola

2. Meningkatkan efisien biaya pengangkutan sampah, disebabkan jumlah sampah

yang diangkut ke TPA semakin berkurang

3. Meningkatkan kondisi sanitasi di perkotaan

4. Dari segi sosial kemasyarakatan, pengomposan dapat meningkatkan peranserta

masyarakat dalam pengeolaan sampah kota dan meningkatkan pendapatan

keluarga

5. Pengomposan berpotensi mengurangi pencemaran lingkungan perkotaan, karena

jumlah sampah yang dibakar atau dibuang ke sungai menjadi berkurang. Selain

itu aplikasi kompos pada lahan pertanian berarti mencegah pencemaran karena

berkurangnya kebutuhan pemakaian pupuk kimia dan obat-obatan yang

berlebihan

6. Membantu melestarikan sumber daya alam.

Pada dasarnya teknologi pengomposan yang selama ini diterapkan manusia

meniru proses terbentuknya humus oleh alam dengan bantuan mikroorganisme.

(29)

tinggi (aerob) dan mikroorganisme yang bekerja pada kadar oksigen rendah

(anaerob). Pengomposan konvensional/windrow adalah pengomposan yang biasa

dilakukan oleh orang, dimana sampah organik ditumpuk diatas lantai sambil dibalik.

Pengomposan dengan EM4 (Effective Microorganism) adalah model pengomposan

dengan menambahkan suatu unsur untuk proses terjadinya pengomposan. Unsur

tersebut salah satunya adalah EM4.

Pengomposan merupakan salah satu solusi teknis yang baik bagi negara

berkembang dalam rangka mereduksi sampah domestik, terutama bagi negara-negara

dengan iklim tropis dan mempunyai masalah dengan tanah yang kurang subur. WHO

(World Health Organization) menyatakan bahwa agar pengomposan dengan bahan

baku sampah domestik dapat berjalan dengan baik, maka harus dapat dicapai

beberapa persyaratan sebagai berikut :

1. Jenis sampah sesuai untuk pengomposan

2. Pangsa pasar untuk kompos maksimal berjarak 25 km dari kota

3. Dukungan dari instansi yang terkait dengan pertanian

4. Harga kompos terjangkau oleh para petani.

Berdasarkan ada tidaknya asupan udara, pembuatan kompos dibedakan

menjadi pengomposan secara aerobik dan pengomposan anerobik. Pengomposan

aerobik, adanya udara dapat mempercepat proses pembusukan oleh mikroorganisme

aerobik. Proses berlangsung cepat dan tidak menimbulkan bau. Sebaliknya oksigen

(30)

Berdasarkan kebutuhan oksigen untuk pengomposan aerobik antara lain :

1. Pengomposan sistem windrow, merupakan metode yang paling sederhana dan

sudah sejak lama dilakukan. Untuk mendapatkan aerasi dan pencampuran,

biasanya tumpukan sampah organik tersebut dibalik (diaduk). Hal ini dapat

menghambat bau yang mungkin timbul. Pembalikan dapat dilakukan secara

manual atau mekanis. Sistem windrow sudah berkembang di Indonesia untuk

sekala kecil.

2. Pengomposan aerated static pile composting, udara dimasukkan melalui pipa

statis ke dalam tumpukan sampah organik. Untuk mencegah bau yang timbul,

pipa dilengkapi dengan exhaust fan.

3. In-veseel composting system, pengomposan dilakukan di dalam kontainer atau

tangki tertutup. Proses ini berlangsung secara mekanik, untuk mencegah bau

disuntikkan udara.

4. Vermicomposting, merupakan langkah pengembangan pengomposan secara

aerobik dengan memanfaatkan cacing tanah sebagai perombak utama. Cacing

tanah dilakukan pada saat kondisi material organik sudah siap menjadi media

tumbuh (kompos setengah matang). Dikenal 4 marga cacing tanah yang sudah

dibudidayakan yaitu eisenia, lumbricus, perethima dan peryonix (Yayasan Kirai

Indonesia, 1996).

5. Effective Microorganisms (EM4), merupakan kultur campuran dari

mikroorganisme yang menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman yang dapat

(31)

a. Bakteri Fotosintetik

b. Bakteri Asam Laktat

c. Ragi

d. Actinomcetes

e. Jamur Fermentasi

Setiap jenis EM4 mempunyai fungsi masing-masing dalam proses fermentasi

bahan organik, namun bakteri fotosintetik adalah pelaksana kegiatan EM4 yang

paling utama. Bakteri ini mendukung kegiatan mikroorganisme lain dan di lain pihak

(32)

2.4 . Bahan Yang Dapat Dikomposkan

Bahan – bahan organik yang diperlukan dalam pembuatan kompos adalah

substansi organik. Bahan yang dapat dikomposkan seperti sampah rumah tangga,

sampah-sampah organik pasar/kota, kotoran ternak, limbah dari pertanian, limbah

pabrik gula, limbah pabrik kelapa sawit dll. Kemudian bahan-bahan tersebut harus

memiliki rasio karbon dan nitrogen yang memenuhi syarat agar berlangsung

pengomposan secara sempurna.

2.5. Proses Umum Terjadinya Pengomposan Sampah Organik

Sampah organik dapat diubah menjadi kompos dengan suksesi berbagai

macam organisme. Selam fase awal pengomposan, bakteri meningkat dengan cepat.

Berikutnya, bakteri berfilamen (actinomycetes), jamur, dan protoza mulai bekerja.

Setelah sejumlah besar karbon (C) dalam kompos dimanfaatkan (utilized) dan

temperatur mulai turun, centipedes, milipedes, kutu, cacing tanah, dan organisme

lainnya melanjutkan proses pengomposan (Starbuck, 2004).

Organisme yang bertugas dalam menghancurkan material organik

membutuhkan nitrogen (N) dalam jumlah besar. Oleh karena itu, dalam proses

pengomposan perlu ditambahkan material yang mengandung nitrogen agar

berlangsung proses pengomposan secara sempurna. Material tersebut salah satunya

adalah kotoran ternak (manure).

Setelah selesai proses pembusukan, nitrogen akan dilepaskan kembali sebagai

(33)

(fungi) akan mencerna kembali substansi organik untuk cacing tanah dan

actinomycetes agar mulai bekerja. Cacing tanah akan bertugas dalam mencampurkan

substansi organik yang telah dicerna kembali oleh jamur dengan sejumlah kecil tanah

lempung (clay) dan kalsium yang terkandung dalam tubuh cacing tanah. Dalam tahap

ini, kompos sudah bisa digunakan sebagai pupuk pada tumbuhan.

Pada fase terakhir, organisme mengoksidasi substansi nitrogen menjadi nitrat

yang dibutuhkan akan tanaman dan tumbuhan bertunas (sprouting plants) seperti

rebung, tauge. Kompos akan berubah menjadi gelap, wangi, remah, dan mudah

hancur. Fase ini disebut juga sebagai fase kematangan (ripeness) karena kompos

sudah dapat digunakan.

Proses terjadinya pengomposan sampah organik dapat dilihat pada Gambar 1

berikut :

(34)

Proses pengomposan akan segera berlangsung setelah bahan – bahan mentah

dicampur. Proses pengomposan secara sederhana dapat dibagi menjadi dua tahap,

yaitu tahap aktif dan tahap pematangan. Selama tahap – tahap awal proses, oksigen

dan senyawa – senyawa yang mudah terdegradasi akan segera dimanfaatkan oleh

mikroba mesofilik. Suhu tumpukan sampah organik akan meningkat dengan cepat.

Demikian pula akan diikuti dengan peningkatan pH sampah organik. Suhu akan

meningkat di atas 500C – 800C dan suhu akan tetap tinggi selama waktu tertentu.

Mikroba yang aktif pada kondisi ini adalah mikroba termofilik,yaitu mikroba

yang aktif pada suhu tinggi. Pada saat ini terjadi dekomposisi atau penguraian bahan

organik yang sangat aktif. Mikroba – mikroba di dalam kompos dengan

menggunakan oksigen akan menguraikan bahan organik menjadi CO2, uap air dan

panas. Setelah sebagian besar bahan telah terurai, maka suhu akan berangsur – angsur

mengalami penurunan. Pada saat ini terjadi pematangan kompos tingkat lanjut, yaitu

pembentukan komplek liat humus. Selama proses pengomposan akan terjadi

penyusutan volume maupun biomassa bahan kurang lebih 25% - 40% dari volume

atau bobot awal bahan.

Perubahan suhu dan jumlah mikroba selama proses pengomposan sampah

(35)

Gambar 2. Perubahan Suhu dan Jumlah Mikroba Selama Proses Pengomposan

Berikut ini dapat dilihat pada Tabel 1, organisme yang terlibat dalam proses

pengomposan sampah organik :

Tabel 1. Organisme Yang Terlibat Dalam Proses Pengomposan

Kelompok Organisme Organisme Jumlah/ gram

kompos

Mikroflora Bakteri

Aktinomicetes Kapang

108 – 109 105 – 108 104 – 106

Mikrofauna Protozoa 104 – 105

Makroflora Jamur tingkat tinggi -

Makrofauna Cacing tanah, rayap, semut,

kutu, kaki seribu dll -

(36)

2.6. Faktor – faktor Yang Mempengaruhi Proses Pengomposan

Keberhasilan dalam pengolahan sampah organik menjadi pupuk kompos

sangat dipengaruhi beberapa faktor, antara lain :

1. Rasio C/N

Yang efektif untuk proses pengomposan berkisar antara 30:1 hingga 40:1.

Mikroba memecah senyawa C sebagai sumber energi dan menggunakan N untuk

sintesis protein. Pada rasio C/N antara 30 – 40 mikroba mendapatkan cukup C

untuk energi dan N untuk sintesis protein. Apabila rasio C/N terlalu tinggi,

mikroba akan kekurangan N untuk sintesis protein sehingga dekomposisi berjalan

lambat.

2. Ukuran Partikel

Sangat mempengaruhi proses pengomposan. Idealnya ukuran partikel sampah

organik yang akan dikomposkan berkisar 2 cm – 5 cm.

3. Aerasi

Ditentukan oleh porositas dan kandungan air sampah organik. Aerasi secara alami

akan terjadi pada saat terjadi peningkatan suhu yang menyebabkan udara hangat

keluar dan udara yang dingin masuk ke dalam tumpukan kompos.

4. Porositas

Adalah ruang diantara partikel di dalam tumpukan kompos. Porositas dihitung

dengan mengukur volume rongga dibagi dengan volume total. Rongga – rongga

(37)

pengomposan. Apabila rongga dipenuhi oleh air, maka pasokan oksigen akan

berkurang dan proses pengomposan juga akan terganggu.

5. Kelembaban

Memegang peranan yang sangat penting dalam proses metabolisme mikroba dan

secara tidak langsung berpengaruh pada suplai oksigen. Mikroorganisme dapat

memanfaatkan bahan organik apabila bahan organik tersebut larut di dalam air.

Kelembaban 40% - 60% adalah kisaran optimum untuk metabolisme mikroba.

6. Temperatur

Faktor temperatur sangat berpengaruh terhadap proses pengomposan. Temperatur

optimum bagi pengomposan adalah 400C – 600C. Suhu yang lebih tinggi dari

600C akan membunuh sebagian mikroba dan hanya mikroba thermofilik saja yang

akan tetap bertahan hidup.

7. pH, Proses pengomposan dapat terjadi pada pH optimum antara 6,5 – 7,5.

Berikut ini adalah kondisi yang optimal untuk mempercepat proses pengomposan

seperti pada Tabel 2.

Tabel 2. Kondisi Optimal Untuk Mempercepat Proses Pengomposan

Kondisi Kompos Kondisi Yang Bisa Diterima Ideal

Ratio C/N 20:1 s/d 40:1 25 – 35:1

Kelembaban 40 – 65% 45 – 62 % berat

Konsentrasi Oksigen > 5 % > 10 %

Ukuran partikel 1 inchi Bervariasi

pH 5,5 – 9,0 6,5 – 8,0

Temperatur 43 – 660C 54 – 600C

(38)

2.7. Standar Kualitas Kompos

Kualitas kompos biasanya diidentikkan dengan kandungan unsur hara yang

ada didalamnya, kadarnya sangat tergantung dari bahan baku atau proses

pengomposan. Unsur hara makro dan mikro dalam kompos terbilang lengkap, tetapi

kadarnya kecil sehingga tidak memenuhi kebutuhan tanaman.

Untuk mengetahui tingkat kematangan apakah kompos sudah jadi, maka dapat

dilakukan sebagai berikut :

1. Dicium

Biasanya kompos yang sudah matang berbau seperti tanah dan harum, meskipun

kompos dari sampah kota. Bila kompos tercium bau yang tidak sedap berarti

terjadi fermentasi anerobik dan menghasilkan senyawa – senyawa berbau yang

mungkin berbahaya bagi tanaman. Apabila kompos masih berbau seperti bahan

mentahnya berarti kompos belum matang.

2. Warna Kompos

Bila sudah matang berwarna coklat kehitam – hitaman. Bila kompos masih

berwarna hijau atau warnanya mirip dengan bahan mentahnya berarti kompos

belum matang.

3. Penyusutan

Terjadi penyusutan volume atau bobot seiring dengan kematangan kompos.

Besarnya penyusutan tergantung pada karakteristik bahan mentah dan tingkat

(39)

4. Suhu

Suhu kompos yang sudah matang mendekati dengan suhu awal pengomposan.

Suhu kompos yang masih tinggi atau diatas 500C, berarti proses pengomposan

masih berlangsung aktif.

5. Kandungan air kompos, kompos yang sudah matang memiliki kandungan air

kurang lebih 50% - 60%.

6. Apabila dipegang dan dikepal, kompos akan menggumpal, dan bila ditekan

dengan lunak gumpalan kompos akan hancur dengan mudah. Jika dianalisis di

laboratorium, kompos yang sudah matang akan memiliki ciri – ciri sebagai

berikut:

a. Tingkat keasaman (pH) kompos agak asam sampai netral (6,5 – 7,5)

b. Memiliki C/N ratio sebesar 10 – 20

c. Daya absorbsi air tinggi

2.8. Teori Mengenai Desain Eksperimen

Desain eksperimen yaitu suatu rancangan percobaan dengan tiap langkah

tindakan yang betul-betul terdefinisikan sedemikian sehingga informasi yang

berhubungan dengan atau diperlukan untuk persoalan yang sedang diteliti dapat

dikumpulkan.

Pengetahuan tentang desain eksperimen faktorial merupakan pedoman dalam

melakukan penelitian dalam eksperimen yang memiliki faktor yang lebih dari satu

(40)

akhirnya dapat diperoleh kesimpulan yang benar-benar membantu dalam menentukan

faktor mana yang memberikan pengaruh terhadap eksperimen. Tentu hal ini akan

membantu para peneliti dalam mengambil keputusan terhadap pengolahan data

selanjutnya, sedangkan optimisasi merupakan suatu disiplin matemetika yang dapat

digunakan untuk mencari nilai minimal atau maksimal.

2.8.1. Tujuan Desain Eksperimen

Desain suatu eksperimen bertujuan untuk memperoleh atau mengumpulkan

informasi sebanyak-banyaknya yang diperlukan dan berguna dalam melakukan

penyelidikan persoalan yang akan dibahas. Meskipun demikian, dalam rangka usaha

mendapatkan semua informasi yang berguna itu, hendaknya desain dibuat

sesederhana mungkin. Penyelidikan juga hendaknya dilakukan seefisien mungkin

mengingat waktu, biaya, tenaga dan bahan yang harus digunakan. Hal ini juga

penting mengingat pada kenyataan bahwa desain yang sederhana akan mudah

dilaksanakan, dan data yang diperoleh berdasarkan desain demikian akan dapat cepat

dianalisis, disamping juga akan bersifat ekonomis. Jadi jelas hendaknya, bahwa

desain eksperimen berusaha untuk memperoleh informasi yang maksimum dengan

menggunakan biaya minimum.

2.8.2. Rancangan Acak Lengkap

Rancangan Acak Lengkap (RAL) merupakan rancangan dasar. Semua

(41)

pembatasan-pembatasan dalam alokasi perlakuan dalam lapangan percobaan. Apabila unit

percobaan terlalu heterogen, salah satu cara untuk mengontrol variabilitas adalah

dengan mengadakan stratifikasi ke dalam kelompok-kelompok yang lebih homogen.

RAL dapat didefinisikan sebagai rancangan dengan beberapa perlakuan yang

disusun secara random untuk seluruh unit percobaan. Tidak ada pembatasan yang

dikenakan dalam menyusun perlakuan untuk tiap unit percobaan.

Kelebihan RRL :

1. Mudah menyusun rancangannya.

2. Analisis statistik yang digunakan cukup sederhana.

3. Banyak unit percobaan untuk tiap perlakuan tidak harus sama.

Kekurangan RAL yang paling pokok adalah bahwa rancangan ini biasanya hanya

cocok untuk digunakan dengan beberapa perlakuan (yang tidak banyak) serta untuk

unit percobaan yang relatif homogen. Yang dimaksud dengan menyusun rancangan

adalah menempatkan perlakuan pada unit percobaan. Misalnya kita punya N Unit

percobaan dan K perlakuan. kita pilih secara random n1 unit percobaan dari unit dan

satu dari k perlakuan itu kita gunakan pada n1 unit tersebut. Selanjutnya kita pilih

secara random n2 unit dari (N-n1) unit percobaan sisanya dan satu (sembarang)

perlakuan dari sisa (K-1) perlakuan kita gunakan pada n2 unit percobaan tersebut.

demikian seterusnya, sampai semua perlakuan didapat. Apabila tiap perlengkapan

diulang sebanyak kali yang sama, maka n1=n2=...=nk=n, dan sum(ni) = kn = N unit

(42)

2.9. Studi Kelayakan

Studi kelayakan adalah suatu metode penelitian dari suatu gagasan usaha

tentang kemungkinan layak atau tidaknya gagasan usaha tersebut dilaksanakan. Studi

kelayakan dalam arti yang luas telah timbul jauh sebelum berkembangnya

perekonomian modern. Revolusi industri di Inggris pada abad ke 17 yang mendorong

perkembangan perindustrian dan perdagangan merupakan suatu titik permulaan dari

keperluan akan adanya suatu studi kelayakan yang lebih sistematis dengan

metode-metode ilmiah.

Perkembangan perekonomian dan bertambah kompleksnya hubungan antar

manusia, yang secara langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi gagasan

suatu usaha, maka diperlukan studi kelayakan dengan metode-metode yang lebih

sistematis. Pada mulanya bentuk studi kelayakan yang masih sederhana hanya

merupakan penelitian dari faktor-faktor yang dapat dinilai dengan uang. Konsep

social benefits dan social cost belum dikenal dalam studi kelayakan. Setelah perang

dunia kedua, faktor-faktor yang diteliti untuk menilai kelayakan suatu gagasan proyek

semakin bertambah seperti penilaian social benefits dan social cost, penilaian

pengaruhnya terhadap lingkungan.

Agar pembuatan studi kelayakan berlangsung dengan baik, maka

pertama-tama harus diberikan batasan (kriteria) apa yang disebut layak. Hal ini perlu sebab

kriteria layak menurut pemerintah belum tentu layak bagi seorang pengusaha. Setelah

ditetapkan kriteria kelayakan suatu proyek maka selanjutnya diteliti gagasan yang

(43)

atau tidak. Bila proyek tersebut memenuhi kriteria yang telah kita tetapkan maka

usaha tersebut dikatakan layak. Untuk itu, studi kelayakan memerlukan berbagai

disiplin ilmu antara lain ahli ekonomi, ahli teknik, ahli sosiologi, dan sebagainya.

Pola pikir yang sistematis diperlukan dalam studi kelayakan. Studi kelayakan

menyangkut berbagai aspek dan memerlukan berbagai displin ilmu. Secara

konsepual, tahap-tahap studi kelayakan:

1. Penemuan ide

2. Tahap Penelitian

3. Tahap evaluasi

4. Tahap Urutan Usulan yang layak

5. Tahap Rencana Pelaksanaan

6. Tahap Pelaksanaan

2.9.1. Aspek-Aspek Studi Kelayakan

Struktur variabel-variabel yang mempengaruhi suatu studi kelayakan terdiri

dari berbagai aspek, yaitu:

1. Aspek Pasar

Penelitian pasar merupakan langkah pertama dan paling penting dalam studi

kelayakan. Karena faktor inilah yang menentukan apakah penelitian selanjutnya pada

bidang-bidang lain perlu dilakukan atau tidak. Pada tahap permulaan ini kita mau

meneliti apakah barang atau jasa yang akan kita hasilkan ada pembelinya di pasar

(44)

kalau barang tersebut tidak laku di pasar, atau kalau tidak bermanfaat bagi

masyarakat. Selain itu perlu diketahui apakah sudah ada barang-barang sejenis atau

barang-barang pengganti di pasar. Kalau sudah ada berapa harga jualnya dan berapa

marketshare-nya. Demikian juga pertanyaan-pertanyaan lain yang berhubungan

dengan pasar. Ada tiga macam orientasi pengusaha yang menjadi dasar falsafah

seorang pengusaha menghadapi pasar yang mempengaruhi sikap dan orientasi

seorang pengusaha untuk menghasilkan produk, yaitu:

a. Falsafah yang berorientasi pada produksi

b. Falsafah yang berorientasi pada penjualan

c. Falsafah yang berorientasi pada konsumen

Falsafah yang terbaik adalah falsafah yang berorientasi pada konsumen karena hanya

produk yang sesuai dengan keinginan produsen yang dapat terjual dengan baik. Pada

aspek pasar diadakan penelitian terhadap permintaan potensial, permintaan musiman,

menaksir besarnya permintaan total.

2. Aspek pemasaran

Pada aspek pemasaran dibicarakan strategi pemasaran, dengan mengetahui kekuatan

persaingan dari produk yang kita hasilkan dengan produk lain yang sudah ada.

Keadaan persaingan dari barang atau jasa yang akan kita produksikan sangat

dipengaruhi oleh market share. Untuk itu, sebelum kita dapat menaksir besarnya

(45)

dahulu harus dibicarakan hal-hal yang berkaitan dengan kekuatan persaingan.

Faktor-faktor yang harus diperhatikan tersebut antara lain:

a. Mutu atau kualitas

b. Brand loyality

c. Struktur pasar

d. Organisasi pemasaran

e. Promosi penjualan

f. Harga

Dalam studi kelayakan sangat perlu mengevaluasi bagaimana harus mengatur taktik

dan strategi sebelum memasuki pasaran. Tidak jarang terjadi kegagalan suatu usaha

bukan disebabkan faktor-faktor teknis, tetapi karena pengusaha tidak siap dengan

strategi untuk memasuki pasaran.

3. Aspek Teknik dan Teknologi

Secara sederhana aspek teknis meliputi faktor-faktor produksi langsung yang

umumnya berwujud fisik. Yang termasuk dalam aspek teknis antara lain:

a. Teknologi

b. Tenaga kerja, termasuk kuantitas tenaga kerja, kualitas tenaga kerja.

c. Bahan baku, termasuk kualitas bahan baku, transportasi bahan baku, jalur

pangadaan bahan baku, timbulnya penggunaan lain bahan baku, faktor harga

(46)

d. Faktor non ekonomis, seperti faktor alam, kebijaksanaan pemerintah dan

hubungan antarnegara.

e. Peralatan, termasuk pengadaan peralatan, layanan purna jual yang meliputi suku

cadang, tenaga ahli, sarana.

Aspek teknis besar pengaruhnya terhadap kelancaran produksi, untuk itu perlu

berkonsultasi dengan orang yang memiliki keahlian dalam aspek teknik untuk

membuat studi kelayakan.

4. Aspek Manajemen dan Sumber Daya Manusia

Aspek manajemen bergantung pada skala perusahaan dimana semakin besar

perusahaan maka semakin kompleks permasalahannya. Pada perusahaan kecil,

kemampuan teknis lebih diperlukan dari pada kemampuan manajemen. Tetapi dengan

semakin besarnya perusahaan tersebut maka kemampuan manajemen semakin

diperlukan. Pada aspek manajemen diperlukan pemahaman struktur organisasi,

terutama kuantitas dan kualitas dari tenaga-tenaga manajemen. Misalnya, pengusaha

ingin mendirikan perusahaan komputer, maka disusun struktur organisasi garis

dimana top manajer membawahi manajer pemasaran, manajer produksi, manajer

personalia, manajer keuangan. Tetapi usaha untuk mengisi jabatan Top Manajer sulit

dipenuhi karena sukar diperoleh orang yang berwibawa dan memiliki pengetahuan

komputer. Oleh karena itu perlu dipikirkan perubahan organisasi garis menjadi

organisasi garis dan staff. Tolak ukur manajemen antara lain:

(47)

b. Kemampuan berkomunikasi ke dalam dan ke luar

Syarat pendukung kemampuan manajemen dimana manusianya memiliki kemampuan

antara lain pengalaman, pendidikan, dan investasi.

5. Aspek Lingkungan Perusahaan

Pertumbuhan dan perkembangan suatu perusahaan tidak dapat lepas dari lingkungan

sekitarnya. Dengan kata lain lingkungan dapat berpengaruh negatif atau positif

terhadap perkembangan perusahaan. Lingkungan adalah segala sesuatu yang berada

di luar perusahaan tetapi mempunyai pengaruh atas pertumbuhan dan perkembangan

perusahaan. Untuk mengenali faktor-faktor yang termasuk dalam lingkungan

perusahaan tidak mudah, karena daktor lingkungan tidak bersifat statis, tetapi lebih

bersifat dinamis. Faktor-faktor yang diperhitungkan antara lain:

a. Sistem nilai masyarakat sebagai faktor lingkungan

b. Perundang-undangan sebagai faktor lingkungan (Aspek Yuridis)

c. Sistem birokrasi sebagai faktor lingkungan (Prosedur perizinan)

d. Iklim perekonomian dan politik sebagai faktor lingkungan

e. Lingkungan kehidupan dan lingkungan alam

6. Aspek Finansial

Untuk dapat memutuskan layak atau tidaknya suatu usaha maka perlu

dipertimbangkan aspek keuangan. Suatu gagasan usaha tidak dapat dilaksanakan

(48)

sendiri dan modal asing. Modal sendiri adalah modal yang diharapkan mendukung

realisasi gagasan usaha tersebut yang bukan merupakan pinjaman, misalnya modal

sendiri dari pengusaha, modal saham. Sedangkan modal asing adalah modal pinjaman

yang sebagai konsekuensinya harus membayar beban bunga. Dukungan modal

umumnya diperoleh dari lembaga perkreditan, apakah itu bank pemerintah maupun

bank swasta. Dukungan permodalan itu tidak hanya kuantitas (jumlah), tetapi kualitas

(jenis modal). Mungkin kredit yang diperoleh adalah kredit jangka pendek, padahal

untuk melaksanakan gagasan tersebut sebenarnya diperlukan kredit jangka panjang.

Untuk itu perlu dipertimbangkan:

a. Jumlah dan jenis modal

b. Titik pulang pokok

c. Rentabilitas (Persentase keuntungan yang dapat diperoleh dibandingkan dengan

modal yang ditanam untuk usaha tersebut).

d. Jangka waktu pengembalian modal

2.9.2. Manfaat Studi Kelayakan

Studi kelayakan mempunyai arti yang penting terutama bagi pengusaha.

Secara luas studi kelayakan selain penting bagi pengusaha juga penting bagi

pihak-pihak lain yang mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung terhadap

(49)

1. Pihak Manajemen Perusahaan

Dengan adanya studi kelayakan maka pengusaha akan mengetahui apakah gagasan

usahanya layak atau tidak untuk dilaksanakan, ditinjau dari sudut perusahaan.

Bilamana berdasarkan studi kelayakan usahanya tersebut tidak layak, maka

pengusaha tersebut telah menyelamatkan investasinya dari kerugian-kerugian besar

yang mungkin timbul akibat kegagalan. Sebaliknya bila berdasarkan studi kelayakan

ternyata bahwa usaha tersebut layak untuk dilaksanakan, maka besar kemungkinan

usaha tersebut akan berhasil.

2. Pihak Investor

Dengan mempelajari studi kelayakan seorang investor dapat mengambil kesimpulan

apakah akan menanamkan modalnya atau tidak pada suatu perusahaan. Mereka

mempunyai kepentingan langsung tentang keuntungan yang akan diperoleh dan

kestabilan dari perusahaan tersebut. Dengan kata lain calon penanam modal perlu

jaminan keselamatan atas modal yang akan ditanamkannya.

3. Pihak Kreditor

Dengan hasil studi kelayakan yang menyatakan suatu usaha layak maka kita lebih

dapat meyakinkan pihak kreditor, khususnya perbankan untuk memberikan kredit

pada gagasan usaha tersebut. Sebelum kreditor memberikan kredit, dia akan mengkaji

kembali studi kelayakan yang telah dibuat oleh pihak pengusaha. Perlu dicatat disini,

(50)

kelayakan, tetapi juga oleh pertimbangan-pertimbangan lain, seperti bonafiditas dari

pengusaha tersebut, tingkat hubungan kedua belah pihak, jaminan dan sebagainya.

Meskipun demikian, studi kelayakan ini mempunyai andil yang tidak sedikit untuk

meng-goal-kan suatu kredit.

4. Pemerintah dan Masyarakat

Kepentingan masyarakat atau pemerintah terhadap studi kelayakan suatu proyek

menyangkut apa yang disebut externalities, yakni akibat sampingan baik positif atau

negatif sebagai akibat didirikannya suatu proyek. Pendirian sebuah pabrik gula

misalnya, akan mempunyai akibat sampingan negatif berupa pengotoran lingkungan

dan kebisingan. Akibat sampingan semacam ini disebut social cost. Pembuatan

jalan-jalan baru dari kota menuju pabrik tersebut adalah dampak positif, yang disebut

social benefits. Karena pihak perusahaan umumnya tidak memasukkan faktor ini

dalam neraca keuntungan dan kerugian terutama karena sulit dinilai dengan uang,

maka masyarakat/pemerintah dapat diwakili oleh pemerintah, mempunyai

kepentingan memasukkan faktor tersebut kedalam studi kelayakan. Sehingga dapat

dilihat apakah proyek tersebut dapat diterima atau tidak. Apabila berdasarkan studi

kelayakan bahwa suatu proyek mempunyai social cost lebih kecil dari pada social

benefits, dengan sendirinya proyek tersebut akan mendapat dukungan dari

(51)

2.9.3. Perhitungan Ekonomi

Perhitungan ekonomi diperlukan untuk melihat kelayakan dari suatu usaha.

Untuk setiap aspek dalam studi kelayakan terdapat sejenis analisa yang

menitikberatkan aspek tersebut. Umumnya terbagi atas 2 macam analisis, yaitu:

a. Analisis finansial, dimana proyek dilihat dari sudut badan-badan atau orang-orang

yang menanam modalnya dalam proyek atau orang yang berkepentingan

langsung dalam proyek.

b. Analisis ekonomis, dimana proyek dilihat dari sudut perekonomian sebagai

keseluruhan.

Untuk mengetahui keuntungan yang dapat diperoleh dari investasi dilakukan

dengan Investment Criteria atau kelayakan investasi. Beberapa Investment Criteria:

a. Net Present Value (NPV)

NPV merupakan selisih antara Present value dari benefit dan Present value dari

biaya. Suatu proyek dikatakan layak bila NPV ≥ 0. Jika NPV = 0, berarti proyek

tersebut akan mengembalikan persis sebesar Social Opportunity Cost of Capital.

Jika NPV < 0, proyek ditolak.

= +

Keterangan: Bt = Benefit sosial kotor sehubungan dengan suatu proyek pada

tahun t

Ct = Biaya sosial kotor sehubungan dengan proyek pada tahun t,

tidak dilihat apakah biaya tersebut dianggap bersifat modal (pembelian peralatan, tanah, konstruksi, dan sebagainya) ata rutin

(52)

i = Social Opportunity Cost of Capital yang ditunjukkan sebagai Social Discount Rate

b. Internal Rate of Return (IRR)

IRR adalah tingkat pertumbuhan rata-rata uang yang diinvestasikan dimana net

cash flow dari hasil investasi, diinvestasikan kembali untuk usaha tersebut. IRR

adalah nilai discount rate i yang membuat NPV dari proyek sama dengan nol.

IRR dapat dianggap sebagai tingkat keuntungan atas investasi bersih dari suatu

proyek asal setiap benefit bersih yang diwujudkan bernilai positif.

0

Biasanya rumus IRR tidak dapat dipecahkan (dicari nilai i-nya) secara langsung.

Namun secara coba-cobaan.

c. Periode Batas (Cut off)

Priode batas adalah jangka waktu tertentu dimana investasi yang ditanam pada

suatu proyek sudah harus kembali. Panjang priode batas ini berbeda dari satu

proyek ke proyek yang lain dan dari satu waktu ke waktu yang lain, tergantung

pada situasi yang mungkin bersifat ekonomis atau non-ekonomis.

d. Periode Kembali Modal (Pay- off period)

Periode kembali modal adalah jangka waktu yang diperlukan untuk dapat

kembalinya modal investasi. Pilihan jatuh pada proyek yang periode kembalinya

(53)

e. Keuntungan rata-rata

Pertimbangan kelayakan berdasarkan pada besarnya keuntungan rata-rata

pertahun. Kriteria keuntungan rata-rata sangat dipengaruhi oleh umur proyek.

Dalam perhitungan keuntungan rata-rata perlu dipertimbangkan biaya tahunan

rata-rata terkecil.

f. Benefit Cost Ratio (BCR)

Benefit Cost Ratio (BCR) adalah suatu ukuran krieria ekonomis dari suatu

perusahaan. Benefit proyek dapat dibagi kedalam 3 jenis yaitu:

1. Direct Benefits, dapat berupa kenaikan output fisik, atau kenaikan nilai output

yang disebabkan adanya perbaikan kualitas, perubahan lokasi, perubahan

dalam waktu penjualan, penurunan biaya dan kerugian. Manfaat langsung

dari suatu proyek adalah kenaikan nilai hasil produksi barang atau jasa atau

penurunan biaya sebagai akibat langsung dari suatu proyek. Kenaikan nilai

hasil produksi tersebut dapat berupa meningkatnya jumlah hasil (kuantitas)

atau meningkatnya mutu produksi (kualitas). Contohnya:

a. Kenaikan produksi padi karena adanya irigasi adalah contoh manfaat

langsung dari proyek tersebut.

b. Contoh penurunan biaya adalah berkurangnya biaya transportasi karena

adanya proyek perbaikan jalan.

2. Indirect Benefits, merupakan benefit yang timbul atau dirasakan di luar proyek

karena adanya realisasi suatu proyek, merupakan multiplier effects dari

(54)

pembangkit tenaga listrik. Proyek pembangkit tenaga listrik ini akan

memberikan manfaat tak langsung seperti:

a. Mendorong tumbuhnya industri-industri lain yang dapat memanfaatkan

listrik tersebut.

b. Pertambahan nilai hasil produksi dari industri-industri tersebut di atas

adalah manfaat tak langsung sebagai multiplier efects dari proyek

pembangkit tenaga listrik.

c. Berkembangnya pertanian, pertambangan dan usaha lain disekitar daerah

pembangunan proyek

Disamping itu, manfaat langsung dari proyek pembangkt listrik tersebut

adalah jumlah kapasitas listrik (kilowatt) dikalikan harga (tarif) listrik

tersebut.

3. Intangible Benefits, merupakan benefit yang sulit dinilai dengan uang,

contoh-contoh Intangible Benefits dari pendirian suatu proyek adalah:

a. Perbaikan lingkungan hidup

b. Perbaikan pemandangan karena adanya suatu taman

c. Perbaikan distribusi pendapatan

d. Integrasi nasional dan pertahanan nasional

e. Berkurangnya pengangguran, dan sebagainya.

Melihat 3 macam manfaat seperti yang diuraikan di atas, maka manfaat langsung

relatif lebih mudah untuk diidentifikasikan dan dihitung jumlahnya dibandingkan

(55)

dapat direalisir, manfaat tidak langsung tidak akan otomatis terwujud. Misalnya,

kalau proyek bendungan sudah berhasil meningkatkan tenaga listrik sebagai

akibat langsung dari proyek tersebut maka pertumbuhan industri sebagai manfaat

tak langsung belum tentu akan terwujud, karena banyak faktor-faktor lain yang

ikut menentukan.

Untuk perbandingan BCR, biaya suatu proyek dapat jaga diklasifikasikan atas

biaya langsung dan biaya tak langsung.

1. Biaya Langsung

Adalah semua pengeluaran yang langsung untuk keperluan proyek, misalnya

biaya investasi, biaya operasi dan biaya pemeliharaan proyek.

2. Biaya Tak Langsung

Biaya tak langsung umumnya berupa biaya tak kentara seperti polusi udara,

bising, perubahan nilai-nilai (norma) dalam masyarakat.

Seperti halnya manfaat langsung, maka biaya langsung lebih mudah

diidentifikasikan dan dihitung. Karena itu dalam evaluasi proyek, biaya langsung

sering mendapat bobot yang lebih besar dibandingkan biaya tak langsung. Akan

tetapi, perlu diingat bahwa semakin besar masarakat yang menanggung biaya tak

langsung (misalnya polusi udara) maka semakin perlu dipertimbangkan untuk

(56)

BCR merupakan nisbah manfaat biaya yang sering digunakan untuk mengukur

kelayakan suatu proyek. Pada BCR yang dilihat adalah perbandingan antara nilai

tunai penerimaan dengan nilai tunai pengeluaran atau biaya.

PC PV C

B/ =

Oleh karena NPV adalah selisih antara PV dan PC, maka antara NPV dan B/C

terdapat hubungan sebagai berikut:

NPV > 0, maka B/C >1

NPV < 0, maka B/C < 1

NPV = 0, maka B/C = 1

Proyek dikatakan layak bila B/C ≥ 1, atau 1 <BCR< 2 karena bila BCR<1 maka

usaha tersebut dikatakan rugi, dan bila BCR>2 dikenal dengan situasi overheating

yang berbahaya bagi perekonomian karena dapat menyebabkan inflasi

2.9.4. Break Even Point Analysis (Analisa Titik Impas)

Suatu studi kelayakan harus dapat menetapkan titik pulang pokok (Break

Even Point). Sebagai masukan dalam perencanaan dan sebagai alat kendali dalam

pengoperasian perusahaan, perlu diketahui pada kapasitas produksi berapakah paling

rendah agar perusahan tidak merugi. Pada kapasitas tersebut perusahaan tidak merugi

dan tidak berlaba. Kapasitas tersebut disebut Break Even Point (BEP) dimana

pendapatan sama dengan pengeluaran ( TR = TC )

(57)

a. Biaya berubah (variabel cost), yaitu biaya yang besarnya tergantung kepada

banyaknya produksi seperti biaya bahan, sebagian besar biaya energi, sebagian

besar biaya perawatan, sebagian sewa-sewa dan upah karyawan lepas. Biaya

berubah umumnya diasumsikan fungsi linear:

y = ax

dimana x = jumlah produksi

b. Biaya tetap (fixed cost), yaitu biaya yang besarnya tetap walaupun tidak ada

produksi, seperti gaji karyawan tetap, depresiasi, amortisasi, asuransi, PBB,

seluruh atau sebagian sewa-sewa, sebagian biaya energi, sebagian biaya

perawatan. Biaya tetap merupakan konstanta:

y = b

Total biaya seluruhnya menjadi:

y = ax + b ...(1)

Apabila penjualan perunit produksi diasumsikan konstan maka hasil penjualan

juga merupakan garis lurus:

y = sx ...(2)

Perpotongan antara persamaan (1) dan (2) merupakan titik impas (BEP) yang

(58)

 

         

 

Rp 

x Rugi 

Laba 

BEP

penjualan 

y = sx

total biaya

b

biaya tetap 

b biaya berubah 

Gambar 3. Grafik Titik Impas (BEP)

Apabila kapasitas produksi lebih kecil dari BEP maka perusahaan akan

(59)

BAB III

GAMBARAN UMUM OBJEK STUDI

Penelitian ini dilakukan di 2 lokasi yaitu di divisi Pendidikan Lingkungan

Hidup (PLH) dan areal parkir sepeda motor pada Pusat Pengembangan dan

Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PPPPTK) Medan, jl. Setia Budi

No. 75 Helvetia Medan.

Devisi PLH PPPPTK Medan adalah bagian yang menangani masalah

lingkungan, dimana telah memiliki fasilitas untuk pengolahan sampah.

Sampah-sampah atau limbah yang dihasilkan oleh aktivitas departemen/devisi di lingkungan

PPPPTK Medan semuanya telah dikelola dengan baik. Sampah organik seperti

rumput, daun, sisa makanan dari katering dan kantin telah diolah menjadi pupuk

kompos. Sedangkan sampah anorganik seperti kertas, karton, logam, plastik di daur

kembali atau dimanfaatkan kembali.

Sampah organik merupakan sampah yang berasal dari alam, memiliki rasio

perbandingan dengan sampah anorganik sebesar 2,21:1 (Zulfi, 2000). Sampah

organik selama ini belum dikelola secara maksimal oleh masyarakat untuk dijadikan

pupuk kompos. Berdasarkan data Dinas Kebersihan Kota Medan, perbandingan

Gambar

Gambar 1.  Proses Umum Pengomposan Sampah Organik Secara Aerobik
Gambar 6.l. Sampah organik yang telah ditimbang, dibawa ke lokasi eksprimen pengolahan sampah organik dengan Betor (becak bermotor)
Gambar 6.p. Pekerja sedang menaburkan dedak diatas sampah organik sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan
Gambar 6.q.   EM4, gula pasir yang telah dicampur dengan air disiramkan diatas          secara merata diatas sampah organik
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja atau purposive dengan pertimbangan bahwa didaerah tersebut dikenal TPA (Tempat Pembuangan Akhir) sampah yang memproduksi pupuk kompos

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan kualitas sampah sayur menjadi kompos dari starter yang berbeda-beda dengan standar teknis kualitas pupuk organik padat

a. Dengan iptek pengelolaan dan pengolahan limbah atau sampah organik rumah tangga yang ditawarkan diterima dengan baik oleh masyarakat Parangloe. Masyarakat kini

Untuk itu, salah satu cara yang harus dilakukan dalam mengatasi peningkatan volume sampah tersebut adalah dengan mengolahnya menjadi pupuk kompos yaitu pupuk

Gambar 2 Diagram alir organik cair Untuk menunjang proses pembuatan pupuk agar lebih efisien maka dibuat dua alat yaitu mesin pencacah dan pengayak guna mengolah sampah organik,

Dalam proses pembuatan pupuk kompos melewati beberapa tahapan, mulai dari pemilahan limbah organik berupa sayur mayur, limbah pakan ternak, dan lain sebagainya, penjemuran sampah

Gambar 2 Pelaksanaan Program Kerja Pada sampah organik memiliki nilai positif jika diolah dengan baik dan benar, sampah organik dapat dijadikan sebagai pupuk kompos dan menjadi

Hasil Proyek Social bentuk akhir / fungsi atau manfaat proyek social Hasil dari proyek sosial ini adalah menurunnya persentase sampah organik yang terbuang ke TPA, menghasilkan kompos