ANALISIS PEMANFAATAN PENGOLAHAN SAMPAH
ORGANIK MENJADI PUPUK KOMPOS
TESIS
Oleh
S
S
U
U
K
K
I
I
R
R
067025005/TIFAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ABSTRAK
Menurut perkiraan dari Badan Pusat Statistik (PBS) jumlah sampah pada tahun 2020 di 384 kota di Indonesia mencapai 80.235,87 ton tiap hari. Dari sampah yang dihasilkan tersebut diperkirakan sebesar 4,2% akan diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA), sebanyak 37,6% dibakar, dibuang ke sungai sebesar 4,9% dan tidak tertangani sekitar 53,3%. Dari sekitar 53,3% sampah yang tidak ditangani dibuang dengan cara tidak saniter dan menurut perkiraan National Urban Development Strategy (NUDS) tahun 2003 rata – rata volume sampah yang dihasilkan per orang sekitar 0,5 – 0,6 kg/hari.
Dari berbagai pengamatan 70% - 80% sampah yang dihasilkan adalah sampah organik rumah tangga yang berasal dari kegiatan dapur maupun dari pekarangan. Setiap rumah tangga dimanapun bertanggung jawab terhadap sampah yang dihasilkan (Ananta, 1997).
Fakta yang terlihat sehari-hari menunjukkan bahwa umumnya sampah-sampah organik dikumpulkan kemudian dibakar. Bila ini dipertahankan maka hasil pembakaran tersebut berdampak pada kerusakan lingkungan yang akhirnya berkontribusi pada pemanasan global.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui metode yang lebih baik dalam pengelolaan sampah organik menjadi kompos dari dua metode yaitu metode konvensional dan metode dengan bantuan katalis EM4 dan diperoleh hasil bahwa metode dengan bantuan katalis EM4 lebih baik dari pada metode konvensional dalam pengolahan sampah organik menjadi kompos berdasarkan pertimbangan teknis dan ekonomis. Komposisi yang optimal pada metode dengan bantuan katalis EM4 yaitu dengan bahan baku sampah organik 150 kg, panjang cacahan sampah 3 cm, volume air 8 liter, waktu pengadukan 20 menit, waktu pembalikan 1 hari, dedak 10 kg, EM4 150 ml dan gula 150 gram serta waktu proses selama 12 hari yang menghasilkan kompos sebanyak 106,5 kg dengan kandungan Nitrogen 7,055%, Pospor 3,085% dan Kalium 2,125%.
ABSTRACT
According to estimation from central statistics agency (Badan Pusat Stastik – BPS) that waste in 2020, 384 city in Indonesia reached 80,235,87 ton/a day. From waste generated is estimated at 4,2% will be transported to Banishment Place (Landfills), about 37,6% is burned, throw to river about 4,9% and not handled about 53,3%. Approximately 53,3% waste of not handled, it is thrown by no sanitary manner and according to estimation of National Urban Development Strategy (NUDS) in 2003, average volume of waste generated per person is around 0,5 – 0,6 kg/a day.
From various observations, 70% - 80% waste generated is household organic waste either from kitchen activity or from yard. Every household is responsible of waste generated. (Ananta, 1997).
In fact, it indicates that daily general organic wastes are collected and then burnt. If it is maintained, the impact of the combustion will be environmental damage which ultimately contributes to global warming.
This research is performed to determine the better method in organic waste management into compost from conventional method and the method with the help of catalysts EM4 so it is obtained results that the method with the help of catalysts EM4 is better than conventional method in organic waste management into compost that based on technical and economic considerations. Optimum composition of the method with the help of catalysts EM4 is with organic waste materials 150kg, long chopped trash 3 cm, water volume 8 litre, stirring time 20 minutes, reversal time 1 day, mixture of rice and bran (dedak in Indonesia) 10kg, EM4 150 ml and sugar 150 gram, also processing time for 12 days which produces compost as much as 106,5kg with containing 7,055% nitrogen, 3,08% phosphorus and 2,125 % potassium.
Keyword : Organic Waste Processing, Economic Analysis, Completely
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat serta hidayahNya, sehingga tesis dengan judul Analisis Pemanfaatan
Pengolahan Sampah Organik Menjadi Pupuk Kompos dapat diselesaikan, sebagai
salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada Program Studi Teknik Industri pada
Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.
Terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis ucapkan kepada :
1. Dekan Fakultas Teknik Bapak Prof. Dr. Ir. Armansyah Ginting, M.Eng atas
kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan studi di
Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Sukaria Sinulingga, M. Eng, sebagai Ketua Program Studi, dan
sekaligus sebagai Pembimbing Utama, yang dengan penuh perhatian memberikan
bimbingan, arahan serta dorongan sehingga penelitian serta penulisan tesis ini
dapat diselesaikan.
3. Bapak Ir. Nazaruddin, MT Anggota Pembimbing yang telah membimbing dan
mengarahkan penulis sehingga tesis ini dapat diselesaikan.
4. Bapak Ir. Mangara M. Tambunan, M.Sc dan Ibu Nazlina, MT, sebagai anggota
tim Penguji yang telah banyak memberikan masukan dan saran demi
5. Bapak Ponijan Asri, MM, selaku Kepala Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan
Pendidik dan Tenaga Kependidikan ( PPPPTK ) Medan dan sebagai atasan
penulis yang dengan penuh perhatian dan dorongannya untuk menyelesaikan tesis
ini.
Penulis pada kesempatan ini juga mengucapkan terimakasih yang tulus kepada :
1 Almarhum Ayahanda Sonoredjo dan ibunda almarhumah Sainah yang telah
menanamkan nilai-nilai pendidikan dan akhlak yang mulia kepada penulis,
sehingga penulis tetap tabah untuk menyelesaikan studi ini.
2. Istri tercinta Dra. Malarita. MS dan ananda Syukronul Mustaqim yang telah
memberikan dorongan dan semangat dalam studi ini.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini belum sempurna, oleh sebab itu penulis
mengharapkan kritik, saran dan masukan yang memberi perbaikan demi
kesempurnaan dari tesis ini. Semoga tulisan ini dapat memberi manfaat bagi kita
semua untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Semoga.
Hormat Penulis,
Sukir
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 13 April 1960 di Sidolaju Madiun, Jawa
Timur sebagai anak ke 5 dari 5 bersaudara, dari ayah Sonoredjo dan ibu Sainah.
Lulus SDN pada tahun 1973 dari SD Negeri Sidolaju Madiun, lulus ST pada
tahun 1976 jurusan Bangunan Air dari ST Negeri Walikukun Madiun, lulus STM
pada tahun 1982 jurusan Mesin Umum dari STM YPT Pangkalan Brandan, Sumatera
Utara. Pada tahun 1982 penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Pendidikan
Teknologi Kejuruan IKIP Padang.
Pada tanggal 1 Maret 1987 penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil di
Depdikbud Sumatera Barat sebagai guru STM Negeri 1 Padang sampai tahun 1994.
Kemudian pada tahun 1994 penulis pindah tugas ke Pusat Pengembangan Penataran
Guru Teknologi (PPPGT) Medan sebagai Widyaiswara hingga sekarang.
Pada tahun 2006 penulis mendapat tugas belajar pada Strata-2 di Fakultas
Teknik Program Studi Magister Teknik Industri Universitas Sumatera Utara.
Hormat Penulis,
S u k i r
DAFTAR ISI
Halaman
ABTRAK... i
ABSTRACT... ii
KATA PENGANTAR... iii
RIWAYAT HIDUP... v
DAFTAR ISI... vi
DAFTAR TABEL... ix
DAFTAR GAMBAR... x
DAFTAR LAMPIRAN... xi
BAB I. PENDAHULUAN... 1
1.1. Latar Belakang Masalah... 1
1.2. Perumusan Masalah... 5
1.3. Tujuan Penelitian... 5
1.4. Sasaran Penelitian... 5
1.5. Manfaat Penelitian... 6
1.6. Batasan Masalah... 6
BAB II. LANDASAN TEORI... 8
2.1. Studi Empiris Terdahulu... 8
2.2. Pengolahan Sampah... 10
2.4. Bahan Yang Dapat Dikomposkan... 16
2.5. Proses Umum Pengomposan Sampah Organik... 16
2.6. Faktor-faktor ang Mempengaruhi Proses Pengomposan... 20
2.7. Standar Kualitas Kompos... 22
2.8. Teori Mengenai Desain Eksperimen... 23
2.8.1. Tujuan Desain Eksperimen... 24
2.8.2. Rancangan Acak Lengkap... 24
2.9. Studi Kelayakan... 26
2.9.1. Aspek-aspek Studi Kelayakan... 27
2.9.2. Manfaat Studi Kelayakan... 32
2.9.3. Perhitungan Ekonomi... 35
2.9.4. BEP Analisis... 40
BAB III. GAMBAAN UMUM OBJEK STUDI... 43
BAB IV. KERANGKA KONSEPTUAL... 45
BAB V. METODOLOGI PENLITIAN... 49
5.1. Jenis Penelitian... 49
5.2. Metode Pengumpulan Data... 49
5.3. Bahan dan Alat Serta Tenaga Kerja Yang Dibutuhkan... 50
5.4. Metodologi Pengujian... 54
5.5. Metode Analisis Data... 56
BAB VI. PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA... 58
6.2. Pengumpulan dan Pengolahan Data Aspek Ekonomis... 63
BAB VII. ANALISIS DAN EVALUASI... 73
7.1. Analisis Aspek Teknis... 73
7.2. Analisis Aspek Ekonomis... 74
7.3. Evaluasi Alternatif Terbaik Berdasarkan Aspek Teknis dan Aspek Ekonomis... 76
7.4. Sistem Pembuangan Sampah Aktual... 77
7.5. Evaluasi Sistem Pembuangan Sampah Masyarakat... 78
BABVIII.KESIMPULAN DAN SARAN... 81
8.1. Kesimpulan... 81
8.2. Saran... 82
DAFTAR PUSTAKA... 83
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
1. Organisme Yang Terlibat Dalam Proses Pengomposan... 19
2. Kondisi Optimal Untuk Mempercepat Proses Pengomposan... 21
3. Perbandingan Sampah Organik dan Anorganik kota Medan... 44
4. Komposisi Cara Konvensional... 58
5. Komposisi Cara Bantuan Katalis EM4... 58
6. Data Pengujian... 59
7. Hasil Pengujian... 60
8. Alternatif Komposisi Terbaik dari Kedua Metode... 61
9. Kombinasi Perlakuan 2 Metode Konvensional... 61
10. Kombinasi Perlakuan 2 Metode Bantuan Katalis EM4... 62
11. Rincian Biaya Metode Konvensional... 65
12. Depresiasi Mesin dan Peralatan Metode Konvensional... 65
13. Proyeksi Laba Rugi Metode Konvensional... 66
14. NPV Metode Konvensional... 66
15. Rincian Biaya Metode Bantuan Katalis EM4... 70
16. Depresiasi Mesin dan Peralatan Metode Bantuan Katalis EM4... 71
17. Proyeksi Laba Rugi Metode Bantuan Katalis EM4... 71
18. NPV Metode Katalis EM4... 73
20. Alternatif Terbaik Aspek Ekonomis... 76
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
1. Proses Umum Pengomposan Sampah Organik secara aerobik... 17
2. Perubahan Suhu Selama Proses Pengomposan... 19
3. Grafik Titik Impas (BEP)... 42
4. Kerangka Konseptual... 45
5. Mesin Pencacah Sampah Organik dan Alat Timbangan... 51
6. Sampah Organik yang akan Dijadikan Kompos... 52
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Standar Kualitas Kompos Menurut Standar Nasional……… 84
2. Persyaratan Teknis Minimal Pupuk Organik………. 85
3. Unsur Hara Makro Kompos dan Fungsinya……….. 86
4. Unsur Hara Mikro kompos dan Fungsinya……… 87
5. Hasil Uji Kualitas Kompos……… 98
6. Tahapan Proses Pembuatan Kompos Dengan Bantuan Katalis EM4………... 89
ABSTRAK
Menurut perkiraan dari Badan Pusat Statistik (PBS) jumlah sampah pada tahun 2020 di 384 kota di Indonesia mencapai 80.235,87 ton tiap hari. Dari sampah yang dihasilkan tersebut diperkirakan sebesar 4,2% akan diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA), sebanyak 37,6% dibakar, dibuang ke sungai sebesar 4,9% dan tidak tertangani sekitar 53,3%. Dari sekitar 53,3% sampah yang tidak ditangani dibuang dengan cara tidak saniter dan menurut perkiraan National Urban Development Strategy (NUDS) tahun 2003 rata – rata volume sampah yang dihasilkan per orang sekitar 0,5 – 0,6 kg/hari.
Dari berbagai pengamatan 70% - 80% sampah yang dihasilkan adalah sampah organik rumah tangga yang berasal dari kegiatan dapur maupun dari pekarangan. Setiap rumah tangga dimanapun bertanggung jawab terhadap sampah yang dihasilkan (Ananta, 1997).
Fakta yang terlihat sehari-hari menunjukkan bahwa umumnya sampah-sampah organik dikumpulkan kemudian dibakar. Bila ini dipertahankan maka hasil pembakaran tersebut berdampak pada kerusakan lingkungan yang akhirnya berkontribusi pada pemanasan global.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui metode yang lebih baik dalam pengelolaan sampah organik menjadi kompos dari dua metode yaitu metode konvensional dan metode dengan bantuan katalis EM4 dan diperoleh hasil bahwa metode dengan bantuan katalis EM4 lebih baik dari pada metode konvensional dalam pengolahan sampah organik menjadi kompos berdasarkan pertimbangan teknis dan ekonomis. Komposisi yang optimal pada metode dengan bantuan katalis EM4 yaitu dengan bahan baku sampah organik 150 kg, panjang cacahan sampah 3 cm, volume air 8 liter, waktu pengadukan 20 menit, waktu pembalikan 1 hari, dedak 10 kg, EM4 150 ml dan gula 150 gram serta waktu proses selama 12 hari yang menghasilkan kompos sebanyak 106,5 kg dengan kandungan Nitrogen 7,055%, Pospor 3,085% dan Kalium 2,125%.
ABSTRACT
According to estimation from central statistics agency (Badan Pusat Stastik – BPS) that waste in 2020, 384 city in Indonesia reached 80,235,87 ton/a day. From waste generated is estimated at 4,2% will be transported to Banishment Place (Landfills), about 37,6% is burned, throw to river about 4,9% and not handled about 53,3%. Approximately 53,3% waste of not handled, it is thrown by no sanitary manner and according to estimation of National Urban Development Strategy (NUDS) in 2003, average volume of waste generated per person is around 0,5 – 0,6 kg/a day.
From various observations, 70% - 80% waste generated is household organic waste either from kitchen activity or from yard. Every household is responsible of waste generated. (Ananta, 1997).
In fact, it indicates that daily general organic wastes are collected and then burnt. If it is maintained, the impact of the combustion will be environmental damage which ultimately contributes to global warming.
This research is performed to determine the better method in organic waste management into compost from conventional method and the method with the help of catalysts EM4 so it is obtained results that the method with the help of catalysts EM4 is better than conventional method in organic waste management into compost that based on technical and economic considerations. Optimum composition of the method with the help of catalysts EM4 is with organic waste materials 150kg, long chopped trash 3 cm, water volume 8 litre, stirring time 20 minutes, reversal time 1 day, mixture of rice and bran (dedak in Indonesia) 10kg, EM4 150 ml and sugar 150 gram, also processing time for 12 days which produces compost as much as 106,5kg with containing 7,055% nitrogen, 3,08% phosphorus and 2,125 % potassium.
Keyword : Organic Waste Processing, Economic Analysis, Completely
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 . Latar Belakang Masalah
Masalah sampah merupakan fenomena sosial yang perlu mendapat perhatian
dari semua pihak, karena setiap manusia pasti memproduksi sampah, disisi lain
masyarakat tidak ingin berdekatan dengan sampah.
Sampah merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari kehidupan
masyarakat, terutama di daerah perkotaan. Sampah apabila tidak ditangani secara
baik dan benar dari sumber sampah, maka akan menimbulkan masalah terhadap
kesehatan, sosial, ekonomi dan keindahan.
Dewasa ini pertumbuhan penduduk khususnya di kota berjalan dengan pesat
sekitar 36%, pada tahun 2020 diperkirakan jumlahnya meningkat menjadi 52% atau
sebanyak 40 juta jiwa (Muchtar, 1993; Kusbiantoro, 1993).
Pesatnya pertumbuhan penduduk di kota – kota besar di Indonesia selain
membawa keuntungan dengan tumbuh dan berkembangnya kota – kota menjadi pusat
kegiatan ekonomi, industri, sosial dan budaya juga membawa dampak terhadap
meningkatnya biaya sosial, sehingga pada akhirnya kawasan perkotaan akan sampai
pada tingkat skala disekonomi (kemunduran ekonomi). Hal ini merupakan akibat
terjadinya kemerosotan kualitas lingkungan hidup perkotaan berupa kebisingan,
kemacetan lalu lintas, pencemaran air, udara dan tanah yang disebabkan oleh limbah
Menurut perkiraan dari Badan Pusat Statistik (PBS) jumlah sampah pada
tahun 2020 di 384 kota di Indonesia mencapai 80.235,87 ton tiap hari. Dari sampah
yang dihasilkan tersebut diperkirakan sebesar 4,2% akan diangkut ke Tempat
Pembuangan Akhir (TPA), sebanyak 37,6% dibakar, dibuang ke sungai sebesar 4,9%
dan tidak tertangani sekitar 53,3%. Dari sekitar 53,3% sampah yang tidak ditangani
dibuang dengan cara tidak saniter dan menurut perkiraan National Urban
Development Srtategy (NUDS) tahun 2003 rata – rata volume sampah yang dihasilkan
per orang sekitar 0,5 – 0,6 kg/hari.
Sebagai contoh Kota Medan merupakan kota inti di Sumatera Utara
mempunyai beban volume sampah yang diproduksi penduduk sebesar 5.710 m3/hari.
Dari produksi sampah tersebut yang mampu diangkut oleh Dinas Kebersihan kota
Medan baru 68%, sedangkan 32% belum terangkut. Masalah utama sektor
persampahan di kota Medan adalah masih banyaknya illegal dumping (Profil Kota
Medan, 2004).
Sampah sebagai hasil buangan dari kegiatan produksi dan konsumsi manusia
baik dalam bentuk padat, cair, maupun gas merupakan sumber pencemaran
lingkungan hidup yang dapat menyebabkan disekonomi (kemerosotan ekonomi)
kawasan perkotaan. Permasalahan dalam penanganan sampah terjadi karena
ketidakseimbangan antara produksi dengan kemampuan dalam pengelolaannya,
volume sampah terus meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk, perubahan
kualitas hidup dan dinamika kegiatan masyarakat. Sampah yang tidak dikelola inilah
dan menimbulkan bau yang tidak sedap, banjir, pencemaran tanah, air dan
berkurangnya nilai kebersihan dan keindahan lingkungan.
Pilosofis pengelolaan sampah selama ini adalah dikumpulkan, ditampung di
Tempat Penampungan Sementara (TPS) dan akhirnya dibuang ke Tempat
Penampungan Akhir (TPA). Hal ini menyebabkan terjadinya penumpukan sampah di
setiap lini rumah tangga, TPS dan TPA. Secara internal keadaan ini disebabkan oleh
kurang tersedianya sarana dan prasarana pengumpulan, keterbatasan armada personil
kebersihan dan sulitnya mencari lembaga swadaya yang dapat bermitra dengan
pemerintah dalam penanganan sampah secara baik. Adanya keterbatasan lahan yang
dapat dipergunakan sebagai TPA karena makin sulitnya memperoleh ruang yang
pantas dan jaraknya semakin jauh dari pusat kota maupun pusat pemukiman, serta
diperlukan dana yang besar untuk pembebasan lahan TPA.
Dari berbagai pengamatan 70% - 80% sampah yang dihasilkan adalah sampah
organik rumah tangga yang berasal dari kegiatan dapur maupun dari pekarangan.
Setiap rumah tangga dimanapun bertanggung jawab terhadap sampah yang dihasilkan
(Ananta, 1997).
Fakta yang terlihat sehari-hari menunjukkan bahwa umumnya
sampah-sampah organik dikumpulkan kemudian dibakar. Bila ini dipertahankan maka hasil
pembakaran tersebut berdampak pada kerusakan lingkungan yang akhirnya
berkontribusi pada pemanasan global seperti yang telah dirasakan saat ini.
Pengolahan sampah merupakan suatu upaya untuk mengurangi volume sampah atau
pengomposan, pemadatan, penghancuran, pengeringan dan pendaur ulangan ( Dirjen
Cipta Karya, 1998).
Sadoko (1993), mengatakan upaya pengelolaan sampah kota yang lebih baik
berdasarkan pada usaha penanganan sampah sedini mungkin, sedekat mungkin dari
sumbernya dan sebanyak mungkin mendayagunakan kembali sampah.
Ditinjau dari segi ekonomi usaha pengomposan sampah kota khususnya
sampah organik menjadi pupuk kompos memiliki nilai ekonomis, disamping pupuk
kompos dimanfaatkan untuk tanaman organik yang sudah menjadi kebutuhan
manusia saat ini. Disamping itu dengan menghasilkan pupuk kompos dari sampah
organik akan mengurangi kerusakan lingkungan akibat penggunaan pupuk kimia
yang selama ini banyak digunakan petani.
Saat ini penanganan sampah organik menjadi pupuk kompos beragam cara
dilakukan oleh masyarakat. Pengolahan sampah organik diantaranya adalah
pengolahan sampah organik menjadi pupuk kompos secara konvensional (windrow),
dan pengolahan sampah organik menggunakan berbagai metode baik secara aerobik
maupun anerobik.
Berdasarkan uraian tersebut, perlu dilakukan penelitian tentang perancangan
sistem yang bisa memisahkan sampah organik dan anorganik dan pengolahan sampah
organik menjadi pupuk kompos secara massal yang layak untuk dikembangkan baik
1.2 . Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka ditentukan
perumusan masalah yaitu pembuatan sistem pemisahan sampah organik dan
anorganik yang dihasilkan oleh rumah tangga kemudian mengolahnya secara massal
menjadi pupuk kompos serta membandingkan antara metode konvensional dengan
metode yang menggunakan bantuan katalis EM4 untuk mendapatkan kelayakan
secara teknis dan ekonomis.
1.3 . Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1. Merancang sistem pembuangan sampah rumah tangga.
2. Penentuan komposisi yang optimal dalam proses pengolahan sampah menjadi
pupuk kompos melalui pertimbangan teknis dan ekonomis.
1.4. Sasaran Penelitian
Sasaran penelitian ditentukan yaitu:
1. Merancang sistem pembuangan sampah rumah tangga berdasarkan sampah
organik dan anorganik
2. Menentukan rancangan percobaan untuk mendapatkan berbagai alternatif
rancangan variabel percobaan pada pengolahan sampah dengan menggunakan
metode konvensional dan menggunakan bantuan katalis EM4
4. Analisa laboratorium untuk mengukur kandungan NPK terhadap hasil eksperimen
5. Penentuan komposisi yang optimal
6. Perhitungan kelayakan ekonomis terhadap komposisi yang optimal.
1.5 . Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagi Lembaga Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga
Kependidikan (PPPPTK) Medan.
Hasil penelitian tersebut dapat menjadi masukan dan digunakan lembaga dalam
mengatasi permasalahan sampah organik.
2. Bagi Peneliti
Memberi pengalaman dalam pemecahan masalah – masalah nyata dengan
menggunakan teori –teori yang sistematis dan logis dengan pendekatan akademis.
3. Bagi Program Studi Teknik Industri USU
Sebagai tambahan referensi yang dapat menjadi acuan bagi peneliti –peneliti lain
yang terkait dengan topik tersebut.
1.5 . Batasan Masalah
Agar penelitian ini terarah dan fokus pada permasalahan, maka batasan masalah yang
diteliti adalah :
1. Hanya meneliti proses pengolahan sampah organik menjadi pupuk kompos secara
2. Hanya meneliti kualitas kompos dari kedua metode pengolahan kompos secara
konvensional dan dengan bantuan katalis EM4
3. Hanya meneliti perbandingan/komparasi analisis finansial secara ekonomis
terhadap NPV, IRR, dan PBP dari kedua metode pengolahan kompos baik secara
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Studi Empiris Terdahulu
Penelitian tentang permasalahan sampah organik telah banyak dilakukan
orang dengan fokus kajian pengelolaan sampah, analisis keragaman ekonomi dan
kelembagaan pengelola sampah, pencemaran yang diakibatkan oleh sampah, dan
lain-lain. Penelitian yang dilakukan Virgota et al. (2001) tentang kajian simulasi
kelayakan sistem pemisahan sampah rumah tangga pada pengelolaan sampah di kota
Pekan Baru. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Jumiono et al. (2000)
mengenai proses pendirian industri vermikompos berbahan baku sampah kota yang
memfokuskan kepada analisis finansial industri vermikompos yang berbahan baku
sampah kota.
Penelitian lain dilakukan oleh Iriani et al. (1994) tentang sistem organisasi
pengelolaan sampah pemukiman di kota Medan. Dalam penelitian diambil responden
sebanyak 80 kepala keluarga. Pengambilan data dilakukan dengan cara wawancara,
observasi langsung, dan studi dokumentasi.
Mandailing et. al (2001) tentang partisipasi pedagang dalam program
kebersihan dan pengelolaan sampah pasar yang mengambil studi kasus di Bogor.
Untuk mencapai tujuan penelitiannya, peneliti melakukan survai terhadap 90
pedagang dan faktor – faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi pedagang dalam
pengelolaan sampah pasar.
Djuwendah et al. (1998) meneliti keragaman ekonomi dan kelembagaan
penanganan sampah perkotaan yang mengambil studi kasus di kota Bandung. Tujuan
penelitiannya mengetahui aspek teknis operasional pengelolaan sampah di kota
Bandung, aktivitas pemanfaatan sampah terhadap penurunan volume dan biaya
pengelolaan sampah. Untuk mencapai penelitiannya, Djuwendah et al. (1998)
mengambil sampel 100 orang perangkas, 42 orang lapak, dan 9 orang bandar.
Syamsuddin et al. (1985) juga melakukan penelitian tentang pengelolaan
sampah di kota Ujung Pandang. Dalam penelitiannya digunakan empat faktor untuk
menilai keberhasilan sistem pengelolaan sampah rumah tangga, yaitu partisipasi
masyarakat, persepsi masyarakat, pengelolaan sampah oleh pemerintah kota, dan
peraturan perundang – undangan.
Dari penelitian terdahulu belum ada melakukan penelitian tentang Analisis
Pemanfaatan Pengolahan Sampah Organik Menjadi Pupuk Kompos dengan metode
eksprimen terhadap dua alternatif teknologi pengolahan sampah organik yaitu metode
pengolahan sampah konvensional (windrow) dan metode pengolahan sampah
2.2. Pengolahan Sampah
Azwar (1990) mengatakan bahwa sampah adalah sebagian dari suatu yang
tidak terpakai, tidak disenangi atau sesuatu yang dibuang, umumnya berasal dari
kegiatan manusia dan bersifat padat. Definisi lain dikemukakan oleh Hadiwijoto
(1983), sampah adalah sisa-sisa bahan yang telah mengalami perlakuan baik telah
diambil bagian utamanya, telah mengalami pengolahan, dan sudah tidak bermanfaat,
dari segi ekonomi.
Murtadho dan Gumbira (1998) membedakan sampah atas sampah organik dan
sampah anorganik. Sampah organik meliputi limbah padat semi basah berupa
bahan-bahan organik yang umumnya berasal dari limbah hasil pertanian memiliki sifat
mudah terurai oleh mikroorganisme dan mudah membusuk.
Sampah organik meliputi kotoran/ limbah peternakan, limbah pabrik gula, sisa
makanan, daun, kertas, kulit buah – buahan, potongan sayuran dll. Pada dasarnya
sampah organik merupakan bahan yang berasal makhluk hidup. Sampah organik
inilah yang bisa dijadikan kompos.
2.3. Teknologi Pengomposan
Dalam pengertian modern, pengkomposan diartikan sebagai proses
dekomposisi materi organik secara biologis menjadi material seperti humus dalam
kondisi aerobik yang terkendali. Menurut Crawford (2003) kompos didefinisikan
sebagai hasil dekomposisi parsial/tidak lengkap, dipercepat secara artifisial dari
kondisi lingkungan yang hangat, lembab, dan aerobik. Pengomposan dengan bahan
baku sampah organik merupakan teknologi yang ramah lingkungan, sederhana dan
menghasilkan produk akhir yang sangat berguna bagi kesuburan tanah atau tanah
penutup bagi landfill.
Sedangkan Christopher J. Starbuck, seorang ahli holtikultura dari University of
Missouri menjelaskan bahwa kompos merupakan bahan organik yang telah
membusuk beberapa bagian (partially decomposed) sehingga warna gelap, mudah
hancur (crumbled), dan memiliki aroma seperti tanah (earthy). Kompos dibuat
melalui proses biologi, yaitu seperti penguraian pada jaringan tumbuhan oleh
organisme yang ada dalam tanah (soil). Ketika proses pembusukan selesai, kompos
akan berwarna coklat kehitaman dan menjadi materi bubuk bernama humus. Proses
yang terjadi dalam pembuatan kompos ini tidak jauh berbeda dengan proses pada
penguraian tersebut, maka pembuatan kompos sering dianggap sebagai seni dalam
merubah kematian menjadi kehidupan (the of turning death into life).
Sementara National Organic Gardening Centre yang berada di kota Coventry,
Inggris dalam publikasinya menjelaskan, pembuatan kompos pada dasarnya adalah
membuat suatu kondisi yang mendukung (favourable condition) bagi pertumbuhan
populasi mikroorganisme dalam proses pembusukan untuk membuat material humus
yang sangat penting bagi tanah. Pembusukan dalam pembuatan kompos akan lebih
Komposisi sampah di Indonesia sebagian besar terdiri atas sampah organik,
sekitar 50% sampai 60% dapat dibuat kompos. Apabila sampah organik ini dapat
diolah menjadi kompos, maka akan diperoleh keuntungan sebagai berikut:
1. Memperpanjang umur tempat pembuangan akhir (TPA), karena semakin banyak
sampah organik diolah menjadi kompos, sehingga semakin sedikit sampah yang
dikelola
2. Meningkatkan efisien biaya pengangkutan sampah, disebabkan jumlah sampah
yang diangkut ke TPA semakin berkurang
3. Meningkatkan kondisi sanitasi di perkotaan
4. Dari segi sosial kemasyarakatan, pengomposan dapat meningkatkan peranserta
masyarakat dalam pengeolaan sampah kota dan meningkatkan pendapatan
keluarga
5. Pengomposan berpotensi mengurangi pencemaran lingkungan perkotaan, karena
jumlah sampah yang dibakar atau dibuang ke sungai menjadi berkurang. Selain
itu aplikasi kompos pada lahan pertanian berarti mencegah pencemaran karena
berkurangnya kebutuhan pemakaian pupuk kimia dan obat-obatan yang
berlebihan
6. Membantu melestarikan sumber daya alam.
Pada dasarnya teknologi pengomposan yang selama ini diterapkan manusia
meniru proses terbentuknya humus oleh alam dengan bantuan mikroorganisme.
tinggi (aerob) dan mikroorganisme yang bekerja pada kadar oksigen rendah
(anaerob). Pengomposan konvensional/windrow adalah pengomposan yang biasa
dilakukan oleh orang, dimana sampah organik ditumpuk diatas lantai sambil dibalik.
Pengomposan dengan EM4 (Effective Microorganism) adalah model pengomposan
dengan menambahkan suatu unsur untuk proses terjadinya pengomposan. Unsur
tersebut salah satunya adalah EM4.
Pengomposan merupakan salah satu solusi teknis yang baik bagi negara
berkembang dalam rangka mereduksi sampah domestik, terutama bagi negara-negara
dengan iklim tropis dan mempunyai masalah dengan tanah yang kurang subur. WHO
(World Health Organization) menyatakan bahwa agar pengomposan dengan bahan
baku sampah domestik dapat berjalan dengan baik, maka harus dapat dicapai
beberapa persyaratan sebagai berikut :
1. Jenis sampah sesuai untuk pengomposan
2. Pangsa pasar untuk kompos maksimal berjarak 25 km dari kota
3. Dukungan dari instansi yang terkait dengan pertanian
4. Harga kompos terjangkau oleh para petani.
Berdasarkan ada tidaknya asupan udara, pembuatan kompos dibedakan
menjadi pengomposan secara aerobik dan pengomposan anerobik. Pengomposan
aerobik, adanya udara dapat mempercepat proses pembusukan oleh mikroorganisme
aerobik. Proses berlangsung cepat dan tidak menimbulkan bau. Sebaliknya oksigen
Berdasarkan kebutuhan oksigen untuk pengomposan aerobik antara lain :
1. Pengomposan sistem windrow, merupakan metode yang paling sederhana dan
sudah sejak lama dilakukan. Untuk mendapatkan aerasi dan pencampuran,
biasanya tumpukan sampah organik tersebut dibalik (diaduk). Hal ini dapat
menghambat bau yang mungkin timbul. Pembalikan dapat dilakukan secara
manual atau mekanis. Sistem windrow sudah berkembang di Indonesia untuk
sekala kecil.
2. Pengomposan aerated static pile composting, udara dimasukkan melalui pipa
statis ke dalam tumpukan sampah organik. Untuk mencegah bau yang timbul,
pipa dilengkapi dengan exhaust fan.
3. In-veseel composting system, pengomposan dilakukan di dalam kontainer atau
tangki tertutup. Proses ini berlangsung secara mekanik, untuk mencegah bau
disuntikkan udara.
4. Vermicomposting, merupakan langkah pengembangan pengomposan secara
aerobik dengan memanfaatkan cacing tanah sebagai perombak utama. Cacing
tanah dilakukan pada saat kondisi material organik sudah siap menjadi media
tumbuh (kompos setengah matang). Dikenal 4 marga cacing tanah yang sudah
dibudidayakan yaitu eisenia, lumbricus, perethima dan peryonix (Yayasan Kirai
Indonesia, 1996).
5. Effective Microorganisms (EM4), merupakan kultur campuran dari
mikroorganisme yang menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman yang dapat
a. Bakteri Fotosintetik
b. Bakteri Asam Laktat
c. Ragi
d. Actinomcetes
e. Jamur Fermentasi
Setiap jenis EM4 mempunyai fungsi masing-masing dalam proses fermentasi
bahan organik, namun bakteri fotosintetik adalah pelaksana kegiatan EM4 yang
paling utama. Bakteri ini mendukung kegiatan mikroorganisme lain dan di lain pihak
2.4 . Bahan Yang Dapat Dikomposkan
Bahan – bahan organik yang diperlukan dalam pembuatan kompos adalah
substansi organik. Bahan yang dapat dikomposkan seperti sampah rumah tangga,
sampah-sampah organik pasar/kota, kotoran ternak, limbah dari pertanian, limbah
pabrik gula, limbah pabrik kelapa sawit dll. Kemudian bahan-bahan tersebut harus
memiliki rasio karbon dan nitrogen yang memenuhi syarat agar berlangsung
pengomposan secara sempurna.
2.5. Proses Umum Terjadinya Pengomposan Sampah Organik
Sampah organik dapat diubah menjadi kompos dengan suksesi berbagai
macam organisme. Selam fase awal pengomposan, bakteri meningkat dengan cepat.
Berikutnya, bakteri berfilamen (actinomycetes), jamur, dan protoza mulai bekerja.
Setelah sejumlah besar karbon (C) dalam kompos dimanfaatkan (utilized) dan
temperatur mulai turun, centipedes, milipedes, kutu, cacing tanah, dan organisme
lainnya melanjutkan proses pengomposan (Starbuck, 2004).
Organisme yang bertugas dalam menghancurkan material organik
membutuhkan nitrogen (N) dalam jumlah besar. Oleh karena itu, dalam proses
pengomposan perlu ditambahkan material yang mengandung nitrogen agar
berlangsung proses pengomposan secara sempurna. Material tersebut salah satunya
adalah kotoran ternak (manure).
Setelah selesai proses pembusukan, nitrogen akan dilepaskan kembali sebagai
(fungi) akan mencerna kembali substansi organik untuk cacing tanah dan
actinomycetes agar mulai bekerja. Cacing tanah akan bertugas dalam mencampurkan
substansi organik yang telah dicerna kembali oleh jamur dengan sejumlah kecil tanah
lempung (clay) dan kalsium yang terkandung dalam tubuh cacing tanah. Dalam tahap
ini, kompos sudah bisa digunakan sebagai pupuk pada tumbuhan.
Pada fase terakhir, organisme mengoksidasi substansi nitrogen menjadi nitrat
yang dibutuhkan akan tanaman dan tumbuhan bertunas (sprouting plants) seperti
rebung, tauge. Kompos akan berubah menjadi gelap, wangi, remah, dan mudah
hancur. Fase ini disebut juga sebagai fase kematangan (ripeness) karena kompos
sudah dapat digunakan.
Proses terjadinya pengomposan sampah organik dapat dilihat pada Gambar 1
berikut :
Proses pengomposan akan segera berlangsung setelah bahan – bahan mentah
dicampur. Proses pengomposan secara sederhana dapat dibagi menjadi dua tahap,
yaitu tahap aktif dan tahap pematangan. Selama tahap – tahap awal proses, oksigen
dan senyawa – senyawa yang mudah terdegradasi akan segera dimanfaatkan oleh
mikroba mesofilik. Suhu tumpukan sampah organik akan meningkat dengan cepat.
Demikian pula akan diikuti dengan peningkatan pH sampah organik. Suhu akan
meningkat di atas 500C – 800C dan suhu akan tetap tinggi selama waktu tertentu.
Mikroba yang aktif pada kondisi ini adalah mikroba termofilik,yaitu mikroba
yang aktif pada suhu tinggi. Pada saat ini terjadi dekomposisi atau penguraian bahan
organik yang sangat aktif. Mikroba – mikroba di dalam kompos dengan
menggunakan oksigen akan menguraikan bahan organik menjadi CO2, uap air dan
panas. Setelah sebagian besar bahan telah terurai, maka suhu akan berangsur – angsur
mengalami penurunan. Pada saat ini terjadi pematangan kompos tingkat lanjut, yaitu
pembentukan komplek liat humus. Selama proses pengomposan akan terjadi
penyusutan volume maupun biomassa bahan kurang lebih 25% - 40% dari volume
atau bobot awal bahan.
Perubahan suhu dan jumlah mikroba selama proses pengomposan sampah
Gambar 2. Perubahan Suhu dan Jumlah Mikroba Selama Proses Pengomposan
Berikut ini dapat dilihat pada Tabel 1, organisme yang terlibat dalam proses
pengomposan sampah organik :
Tabel 1. Organisme Yang Terlibat Dalam Proses Pengomposan
Kelompok Organisme Organisme Jumlah/ gram
kompos
Mikroflora Bakteri
Aktinomicetes Kapang
108 – 109 105 – 108 104 – 106
Mikrofauna Protozoa 104 – 105
Makroflora Jamur tingkat tinggi -
Makrofauna Cacing tanah, rayap, semut,
kutu, kaki seribu dll -
2.6. Faktor – faktor Yang Mempengaruhi Proses Pengomposan
Keberhasilan dalam pengolahan sampah organik menjadi pupuk kompos
sangat dipengaruhi beberapa faktor, antara lain :
1. Rasio C/N
Yang efektif untuk proses pengomposan berkisar antara 30:1 hingga 40:1.
Mikroba memecah senyawa C sebagai sumber energi dan menggunakan N untuk
sintesis protein. Pada rasio C/N antara 30 – 40 mikroba mendapatkan cukup C
untuk energi dan N untuk sintesis protein. Apabila rasio C/N terlalu tinggi,
mikroba akan kekurangan N untuk sintesis protein sehingga dekomposisi berjalan
lambat.
2. Ukuran Partikel
Sangat mempengaruhi proses pengomposan. Idealnya ukuran partikel sampah
organik yang akan dikomposkan berkisar 2 cm – 5 cm.
3. Aerasi
Ditentukan oleh porositas dan kandungan air sampah organik. Aerasi secara alami
akan terjadi pada saat terjadi peningkatan suhu yang menyebabkan udara hangat
keluar dan udara yang dingin masuk ke dalam tumpukan kompos.
4. Porositas
Adalah ruang diantara partikel di dalam tumpukan kompos. Porositas dihitung
dengan mengukur volume rongga dibagi dengan volume total. Rongga – rongga
pengomposan. Apabila rongga dipenuhi oleh air, maka pasokan oksigen akan
berkurang dan proses pengomposan juga akan terganggu.
5. Kelembaban
Memegang peranan yang sangat penting dalam proses metabolisme mikroba dan
secara tidak langsung berpengaruh pada suplai oksigen. Mikroorganisme dapat
memanfaatkan bahan organik apabila bahan organik tersebut larut di dalam air.
Kelembaban 40% - 60% adalah kisaran optimum untuk metabolisme mikroba.
6. Temperatur
Faktor temperatur sangat berpengaruh terhadap proses pengomposan. Temperatur
optimum bagi pengomposan adalah 400C – 600C. Suhu yang lebih tinggi dari
600C akan membunuh sebagian mikroba dan hanya mikroba thermofilik saja yang
akan tetap bertahan hidup.
7. pH, Proses pengomposan dapat terjadi pada pH optimum antara 6,5 – 7,5.
Berikut ini adalah kondisi yang optimal untuk mempercepat proses pengomposan
seperti pada Tabel 2.
Tabel 2. Kondisi Optimal Untuk Mempercepat Proses Pengomposan
Kondisi Kompos Kondisi Yang Bisa Diterima Ideal
Ratio C/N 20:1 s/d 40:1 25 – 35:1
Kelembaban 40 – 65% 45 – 62 % berat
Konsentrasi Oksigen > 5 % > 10 %
Ukuran partikel 1 inchi Bervariasi
pH 5,5 – 9,0 6,5 – 8,0
Temperatur 43 – 660C 54 – 600C
2.7. Standar Kualitas Kompos
Kualitas kompos biasanya diidentikkan dengan kandungan unsur hara yang
ada didalamnya, kadarnya sangat tergantung dari bahan baku atau proses
pengomposan. Unsur hara makro dan mikro dalam kompos terbilang lengkap, tetapi
kadarnya kecil sehingga tidak memenuhi kebutuhan tanaman.
Untuk mengetahui tingkat kematangan apakah kompos sudah jadi, maka dapat
dilakukan sebagai berikut :
1. Dicium
Biasanya kompos yang sudah matang berbau seperti tanah dan harum, meskipun
kompos dari sampah kota. Bila kompos tercium bau yang tidak sedap berarti
terjadi fermentasi anerobik dan menghasilkan senyawa – senyawa berbau yang
mungkin berbahaya bagi tanaman. Apabila kompos masih berbau seperti bahan
mentahnya berarti kompos belum matang.
2. Warna Kompos
Bila sudah matang berwarna coklat kehitam – hitaman. Bila kompos masih
berwarna hijau atau warnanya mirip dengan bahan mentahnya berarti kompos
belum matang.
3. Penyusutan
Terjadi penyusutan volume atau bobot seiring dengan kematangan kompos.
Besarnya penyusutan tergantung pada karakteristik bahan mentah dan tingkat
4. Suhu
Suhu kompos yang sudah matang mendekati dengan suhu awal pengomposan.
Suhu kompos yang masih tinggi atau diatas 500C, berarti proses pengomposan
masih berlangsung aktif.
5. Kandungan air kompos, kompos yang sudah matang memiliki kandungan air
kurang lebih 50% - 60%.
6. Apabila dipegang dan dikepal, kompos akan menggumpal, dan bila ditekan
dengan lunak gumpalan kompos akan hancur dengan mudah. Jika dianalisis di
laboratorium, kompos yang sudah matang akan memiliki ciri – ciri sebagai
berikut:
a. Tingkat keasaman (pH) kompos agak asam sampai netral (6,5 – 7,5)
b. Memiliki C/N ratio sebesar 10 – 20
c. Daya absorbsi air tinggi
2.8. Teori Mengenai Desain Eksperimen
Desain eksperimen yaitu suatu rancangan percobaan dengan tiap langkah
tindakan yang betul-betul terdefinisikan sedemikian sehingga informasi yang
berhubungan dengan atau diperlukan untuk persoalan yang sedang diteliti dapat
dikumpulkan.
Pengetahuan tentang desain eksperimen faktorial merupakan pedoman dalam
melakukan penelitian dalam eksperimen yang memiliki faktor yang lebih dari satu
akhirnya dapat diperoleh kesimpulan yang benar-benar membantu dalam menentukan
faktor mana yang memberikan pengaruh terhadap eksperimen. Tentu hal ini akan
membantu para peneliti dalam mengambil keputusan terhadap pengolahan data
selanjutnya, sedangkan optimisasi merupakan suatu disiplin matemetika yang dapat
digunakan untuk mencari nilai minimal atau maksimal.
2.8.1. Tujuan Desain Eksperimen
Desain suatu eksperimen bertujuan untuk memperoleh atau mengumpulkan
informasi sebanyak-banyaknya yang diperlukan dan berguna dalam melakukan
penyelidikan persoalan yang akan dibahas. Meskipun demikian, dalam rangka usaha
mendapatkan semua informasi yang berguna itu, hendaknya desain dibuat
sesederhana mungkin. Penyelidikan juga hendaknya dilakukan seefisien mungkin
mengingat waktu, biaya, tenaga dan bahan yang harus digunakan. Hal ini juga
penting mengingat pada kenyataan bahwa desain yang sederhana akan mudah
dilaksanakan, dan data yang diperoleh berdasarkan desain demikian akan dapat cepat
dianalisis, disamping juga akan bersifat ekonomis. Jadi jelas hendaknya, bahwa
desain eksperimen berusaha untuk memperoleh informasi yang maksimum dengan
menggunakan biaya minimum.
2.8.2. Rancangan Acak Lengkap
Rancangan Acak Lengkap (RAL) merupakan rancangan dasar. Semua
pembatasan-pembatasan dalam alokasi perlakuan dalam lapangan percobaan. Apabila unit
percobaan terlalu heterogen, salah satu cara untuk mengontrol variabilitas adalah
dengan mengadakan stratifikasi ke dalam kelompok-kelompok yang lebih homogen.
RAL dapat didefinisikan sebagai rancangan dengan beberapa perlakuan yang
disusun secara random untuk seluruh unit percobaan. Tidak ada pembatasan yang
dikenakan dalam menyusun perlakuan untuk tiap unit percobaan.
Kelebihan RRL :
1. Mudah menyusun rancangannya.
2. Analisis statistik yang digunakan cukup sederhana.
3. Banyak unit percobaan untuk tiap perlakuan tidak harus sama.
Kekurangan RAL yang paling pokok adalah bahwa rancangan ini biasanya hanya
cocok untuk digunakan dengan beberapa perlakuan (yang tidak banyak) serta untuk
unit percobaan yang relatif homogen. Yang dimaksud dengan menyusun rancangan
adalah menempatkan perlakuan pada unit percobaan. Misalnya kita punya N Unit
percobaan dan K perlakuan. kita pilih secara random n1 unit percobaan dari unit dan
satu dari k perlakuan itu kita gunakan pada n1 unit tersebut. Selanjutnya kita pilih
secara random n2 unit dari (N-n1) unit percobaan sisanya dan satu (sembarang)
perlakuan dari sisa (K-1) perlakuan kita gunakan pada n2 unit percobaan tersebut.
demikian seterusnya, sampai semua perlakuan didapat. Apabila tiap perlengkapan
diulang sebanyak kali yang sama, maka n1=n2=...=nk=n, dan sum(ni) = kn = N unit
2.9. Studi Kelayakan
Studi kelayakan adalah suatu metode penelitian dari suatu gagasan usaha
tentang kemungkinan layak atau tidaknya gagasan usaha tersebut dilaksanakan. Studi
kelayakan dalam arti yang luas telah timbul jauh sebelum berkembangnya
perekonomian modern. Revolusi industri di Inggris pada abad ke 17 yang mendorong
perkembangan perindustrian dan perdagangan merupakan suatu titik permulaan dari
keperluan akan adanya suatu studi kelayakan yang lebih sistematis dengan
metode-metode ilmiah.
Perkembangan perekonomian dan bertambah kompleksnya hubungan antar
manusia, yang secara langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi gagasan
suatu usaha, maka diperlukan studi kelayakan dengan metode-metode yang lebih
sistematis. Pada mulanya bentuk studi kelayakan yang masih sederhana hanya
merupakan penelitian dari faktor-faktor yang dapat dinilai dengan uang. Konsep
social benefits dan social cost belum dikenal dalam studi kelayakan. Setelah perang
dunia kedua, faktor-faktor yang diteliti untuk menilai kelayakan suatu gagasan proyek
semakin bertambah seperti penilaian social benefits dan social cost, penilaian
pengaruhnya terhadap lingkungan.
Agar pembuatan studi kelayakan berlangsung dengan baik, maka
pertama-tama harus diberikan batasan (kriteria) apa yang disebut layak. Hal ini perlu sebab
kriteria layak menurut pemerintah belum tentu layak bagi seorang pengusaha. Setelah
ditetapkan kriteria kelayakan suatu proyek maka selanjutnya diteliti gagasan yang
atau tidak. Bila proyek tersebut memenuhi kriteria yang telah kita tetapkan maka
usaha tersebut dikatakan layak. Untuk itu, studi kelayakan memerlukan berbagai
disiplin ilmu antara lain ahli ekonomi, ahli teknik, ahli sosiologi, dan sebagainya.
Pola pikir yang sistematis diperlukan dalam studi kelayakan. Studi kelayakan
menyangkut berbagai aspek dan memerlukan berbagai displin ilmu. Secara
konsepual, tahap-tahap studi kelayakan:
1. Penemuan ide
2. Tahap Penelitian
3. Tahap evaluasi
4. Tahap Urutan Usulan yang layak
5. Tahap Rencana Pelaksanaan
6. Tahap Pelaksanaan
2.9.1. Aspek-Aspek Studi Kelayakan
Struktur variabel-variabel yang mempengaruhi suatu studi kelayakan terdiri
dari berbagai aspek, yaitu:
1. Aspek Pasar
Penelitian pasar merupakan langkah pertama dan paling penting dalam studi
kelayakan. Karena faktor inilah yang menentukan apakah penelitian selanjutnya pada
bidang-bidang lain perlu dilakukan atau tidak. Pada tahap permulaan ini kita mau
meneliti apakah barang atau jasa yang akan kita hasilkan ada pembelinya di pasar
kalau barang tersebut tidak laku di pasar, atau kalau tidak bermanfaat bagi
masyarakat. Selain itu perlu diketahui apakah sudah ada barang-barang sejenis atau
barang-barang pengganti di pasar. Kalau sudah ada berapa harga jualnya dan berapa
marketshare-nya. Demikian juga pertanyaan-pertanyaan lain yang berhubungan
dengan pasar. Ada tiga macam orientasi pengusaha yang menjadi dasar falsafah
seorang pengusaha menghadapi pasar yang mempengaruhi sikap dan orientasi
seorang pengusaha untuk menghasilkan produk, yaitu:
a. Falsafah yang berorientasi pada produksi
b. Falsafah yang berorientasi pada penjualan
c. Falsafah yang berorientasi pada konsumen
Falsafah yang terbaik adalah falsafah yang berorientasi pada konsumen karena hanya
produk yang sesuai dengan keinginan produsen yang dapat terjual dengan baik. Pada
aspek pasar diadakan penelitian terhadap permintaan potensial, permintaan musiman,
menaksir besarnya permintaan total.
2. Aspek pemasaran
Pada aspek pemasaran dibicarakan strategi pemasaran, dengan mengetahui kekuatan
persaingan dari produk yang kita hasilkan dengan produk lain yang sudah ada.
Keadaan persaingan dari barang atau jasa yang akan kita produksikan sangat
dipengaruhi oleh market share. Untuk itu, sebelum kita dapat menaksir besarnya
dahulu harus dibicarakan hal-hal yang berkaitan dengan kekuatan persaingan.
Faktor-faktor yang harus diperhatikan tersebut antara lain:
a. Mutu atau kualitas
b. Brand loyality
c. Struktur pasar
d. Organisasi pemasaran
e. Promosi penjualan
f. Harga
Dalam studi kelayakan sangat perlu mengevaluasi bagaimana harus mengatur taktik
dan strategi sebelum memasuki pasaran. Tidak jarang terjadi kegagalan suatu usaha
bukan disebabkan faktor-faktor teknis, tetapi karena pengusaha tidak siap dengan
strategi untuk memasuki pasaran.
3. Aspek Teknik dan Teknologi
Secara sederhana aspek teknis meliputi faktor-faktor produksi langsung yang
umumnya berwujud fisik. Yang termasuk dalam aspek teknis antara lain:
a. Teknologi
b. Tenaga kerja, termasuk kuantitas tenaga kerja, kualitas tenaga kerja.
c. Bahan baku, termasuk kualitas bahan baku, transportasi bahan baku, jalur
pangadaan bahan baku, timbulnya penggunaan lain bahan baku, faktor harga
d. Faktor non ekonomis, seperti faktor alam, kebijaksanaan pemerintah dan
hubungan antarnegara.
e. Peralatan, termasuk pengadaan peralatan, layanan purna jual yang meliputi suku
cadang, tenaga ahli, sarana.
Aspek teknis besar pengaruhnya terhadap kelancaran produksi, untuk itu perlu
berkonsultasi dengan orang yang memiliki keahlian dalam aspek teknik untuk
membuat studi kelayakan.
4. Aspek Manajemen dan Sumber Daya Manusia
Aspek manajemen bergantung pada skala perusahaan dimana semakin besar
perusahaan maka semakin kompleks permasalahannya. Pada perusahaan kecil,
kemampuan teknis lebih diperlukan dari pada kemampuan manajemen. Tetapi dengan
semakin besarnya perusahaan tersebut maka kemampuan manajemen semakin
diperlukan. Pada aspek manajemen diperlukan pemahaman struktur organisasi,
terutama kuantitas dan kualitas dari tenaga-tenaga manajemen. Misalnya, pengusaha
ingin mendirikan perusahaan komputer, maka disusun struktur organisasi garis
dimana top manajer membawahi manajer pemasaran, manajer produksi, manajer
personalia, manajer keuangan. Tetapi usaha untuk mengisi jabatan Top Manajer sulit
dipenuhi karena sukar diperoleh orang yang berwibawa dan memiliki pengetahuan
komputer. Oleh karena itu perlu dipikirkan perubahan organisasi garis menjadi
organisasi garis dan staff. Tolak ukur manajemen antara lain:
b. Kemampuan berkomunikasi ke dalam dan ke luar
Syarat pendukung kemampuan manajemen dimana manusianya memiliki kemampuan
antara lain pengalaman, pendidikan, dan investasi.
5. Aspek Lingkungan Perusahaan
Pertumbuhan dan perkembangan suatu perusahaan tidak dapat lepas dari lingkungan
sekitarnya. Dengan kata lain lingkungan dapat berpengaruh negatif atau positif
terhadap perkembangan perusahaan. Lingkungan adalah segala sesuatu yang berada
di luar perusahaan tetapi mempunyai pengaruh atas pertumbuhan dan perkembangan
perusahaan. Untuk mengenali faktor-faktor yang termasuk dalam lingkungan
perusahaan tidak mudah, karena daktor lingkungan tidak bersifat statis, tetapi lebih
bersifat dinamis. Faktor-faktor yang diperhitungkan antara lain:
a. Sistem nilai masyarakat sebagai faktor lingkungan
b. Perundang-undangan sebagai faktor lingkungan (Aspek Yuridis)
c. Sistem birokrasi sebagai faktor lingkungan (Prosedur perizinan)
d. Iklim perekonomian dan politik sebagai faktor lingkungan
e. Lingkungan kehidupan dan lingkungan alam
6. Aspek Finansial
Untuk dapat memutuskan layak atau tidaknya suatu usaha maka perlu
dipertimbangkan aspek keuangan. Suatu gagasan usaha tidak dapat dilaksanakan
sendiri dan modal asing. Modal sendiri adalah modal yang diharapkan mendukung
realisasi gagasan usaha tersebut yang bukan merupakan pinjaman, misalnya modal
sendiri dari pengusaha, modal saham. Sedangkan modal asing adalah modal pinjaman
yang sebagai konsekuensinya harus membayar beban bunga. Dukungan modal
umumnya diperoleh dari lembaga perkreditan, apakah itu bank pemerintah maupun
bank swasta. Dukungan permodalan itu tidak hanya kuantitas (jumlah), tetapi kualitas
(jenis modal). Mungkin kredit yang diperoleh adalah kredit jangka pendek, padahal
untuk melaksanakan gagasan tersebut sebenarnya diperlukan kredit jangka panjang.
Untuk itu perlu dipertimbangkan:
a. Jumlah dan jenis modal
b. Titik pulang pokok
c. Rentabilitas (Persentase keuntungan yang dapat diperoleh dibandingkan dengan
modal yang ditanam untuk usaha tersebut).
d. Jangka waktu pengembalian modal
2.9.2. Manfaat Studi Kelayakan
Studi kelayakan mempunyai arti yang penting terutama bagi pengusaha.
Secara luas studi kelayakan selain penting bagi pengusaha juga penting bagi
pihak-pihak lain yang mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung terhadap
1. Pihak Manajemen Perusahaan
Dengan adanya studi kelayakan maka pengusaha akan mengetahui apakah gagasan
usahanya layak atau tidak untuk dilaksanakan, ditinjau dari sudut perusahaan.
Bilamana berdasarkan studi kelayakan usahanya tersebut tidak layak, maka
pengusaha tersebut telah menyelamatkan investasinya dari kerugian-kerugian besar
yang mungkin timbul akibat kegagalan. Sebaliknya bila berdasarkan studi kelayakan
ternyata bahwa usaha tersebut layak untuk dilaksanakan, maka besar kemungkinan
usaha tersebut akan berhasil.
2. Pihak Investor
Dengan mempelajari studi kelayakan seorang investor dapat mengambil kesimpulan
apakah akan menanamkan modalnya atau tidak pada suatu perusahaan. Mereka
mempunyai kepentingan langsung tentang keuntungan yang akan diperoleh dan
kestabilan dari perusahaan tersebut. Dengan kata lain calon penanam modal perlu
jaminan keselamatan atas modal yang akan ditanamkannya.
3. Pihak Kreditor
Dengan hasil studi kelayakan yang menyatakan suatu usaha layak maka kita lebih
dapat meyakinkan pihak kreditor, khususnya perbankan untuk memberikan kredit
pada gagasan usaha tersebut. Sebelum kreditor memberikan kredit, dia akan mengkaji
kembali studi kelayakan yang telah dibuat oleh pihak pengusaha. Perlu dicatat disini,
kelayakan, tetapi juga oleh pertimbangan-pertimbangan lain, seperti bonafiditas dari
pengusaha tersebut, tingkat hubungan kedua belah pihak, jaminan dan sebagainya.
Meskipun demikian, studi kelayakan ini mempunyai andil yang tidak sedikit untuk
meng-goal-kan suatu kredit.
4. Pemerintah dan Masyarakat
Kepentingan masyarakat atau pemerintah terhadap studi kelayakan suatu proyek
menyangkut apa yang disebut externalities, yakni akibat sampingan baik positif atau
negatif sebagai akibat didirikannya suatu proyek. Pendirian sebuah pabrik gula
misalnya, akan mempunyai akibat sampingan negatif berupa pengotoran lingkungan
dan kebisingan. Akibat sampingan semacam ini disebut social cost. Pembuatan
jalan-jalan baru dari kota menuju pabrik tersebut adalah dampak positif, yang disebut
social benefits. Karena pihak perusahaan umumnya tidak memasukkan faktor ini
dalam neraca keuntungan dan kerugian terutama karena sulit dinilai dengan uang,
maka masyarakat/pemerintah dapat diwakili oleh pemerintah, mempunyai
kepentingan memasukkan faktor tersebut kedalam studi kelayakan. Sehingga dapat
dilihat apakah proyek tersebut dapat diterima atau tidak. Apabila berdasarkan studi
kelayakan bahwa suatu proyek mempunyai social cost lebih kecil dari pada social
benefits, dengan sendirinya proyek tersebut akan mendapat dukungan dari
2.9.3. Perhitungan Ekonomi
Perhitungan ekonomi diperlukan untuk melihat kelayakan dari suatu usaha.
Untuk setiap aspek dalam studi kelayakan terdapat sejenis analisa yang
menitikberatkan aspek tersebut. Umumnya terbagi atas 2 macam analisis, yaitu:
a. Analisis finansial, dimana proyek dilihat dari sudut badan-badan atau orang-orang
yang menanam modalnya dalam proyek atau orang yang berkepentingan
langsung dalam proyek.
b. Analisis ekonomis, dimana proyek dilihat dari sudut perekonomian sebagai
keseluruhan.
Untuk mengetahui keuntungan yang dapat diperoleh dari investasi dilakukan
dengan Investment Criteria atau kelayakan investasi. Beberapa Investment Criteria:
a. Net Present Value (NPV)
NPV merupakan selisih antara Present value dari benefit dan Present value dari
biaya. Suatu proyek dikatakan layak bila NPV ≥ 0. Jika NPV = 0, berarti proyek
tersebut akan mengembalikan persis sebesar Social Opportunity Cost of Capital.
Jika NPV < 0, proyek ditolak.
∑
= +−Keterangan: Bt = Benefit sosial kotor sehubungan dengan suatu proyek pada
tahun t
Ct = Biaya sosial kotor sehubungan dengan proyek pada tahun t,
tidak dilihat apakah biaya tersebut dianggap bersifat modal (pembelian peralatan, tanah, konstruksi, dan sebagainya) ata rutin
i = Social Opportunity Cost of Capital yang ditunjukkan sebagai Social Discount Rate
b. Internal Rate of Return (IRR)
IRR adalah tingkat pertumbuhan rata-rata uang yang diinvestasikan dimana net
cash flow dari hasil investasi, diinvestasikan kembali untuk usaha tersebut. IRR
adalah nilai discount rate i yang membuat NPV dari proyek sama dengan nol.
IRR dapat dianggap sebagai tingkat keuntungan atas investasi bersih dari suatu
proyek asal setiap benefit bersih yang diwujudkan bernilai positif.
0
Biasanya rumus IRR tidak dapat dipecahkan (dicari nilai i-nya) secara langsung.
Namun secara coba-cobaan.
c. Periode Batas (Cut off)
Priode batas adalah jangka waktu tertentu dimana investasi yang ditanam pada
suatu proyek sudah harus kembali. Panjang priode batas ini berbeda dari satu
proyek ke proyek yang lain dan dari satu waktu ke waktu yang lain, tergantung
pada situasi yang mungkin bersifat ekonomis atau non-ekonomis.
d. Periode Kembali Modal (Pay- off period)
Periode kembali modal adalah jangka waktu yang diperlukan untuk dapat
kembalinya modal investasi. Pilihan jatuh pada proyek yang periode kembalinya
e. Keuntungan rata-rata
Pertimbangan kelayakan berdasarkan pada besarnya keuntungan rata-rata
pertahun. Kriteria keuntungan rata-rata sangat dipengaruhi oleh umur proyek.
Dalam perhitungan keuntungan rata-rata perlu dipertimbangkan biaya tahunan
rata-rata terkecil.
f. Benefit Cost Ratio (BCR)
Benefit Cost Ratio (BCR) adalah suatu ukuran krieria ekonomis dari suatu
perusahaan. Benefit proyek dapat dibagi kedalam 3 jenis yaitu:
1. Direct Benefits, dapat berupa kenaikan output fisik, atau kenaikan nilai output
yang disebabkan adanya perbaikan kualitas, perubahan lokasi, perubahan
dalam waktu penjualan, penurunan biaya dan kerugian. Manfaat langsung
dari suatu proyek adalah kenaikan nilai hasil produksi barang atau jasa atau
penurunan biaya sebagai akibat langsung dari suatu proyek. Kenaikan nilai
hasil produksi tersebut dapat berupa meningkatnya jumlah hasil (kuantitas)
atau meningkatnya mutu produksi (kualitas). Contohnya:
a. Kenaikan produksi padi karena adanya irigasi adalah contoh manfaat
langsung dari proyek tersebut.
b. Contoh penurunan biaya adalah berkurangnya biaya transportasi karena
adanya proyek perbaikan jalan.
2. Indirect Benefits, merupakan benefit yang timbul atau dirasakan di luar proyek
karena adanya realisasi suatu proyek, merupakan multiplier effects dari
pembangkit tenaga listrik. Proyek pembangkit tenaga listrik ini akan
memberikan manfaat tak langsung seperti:
a. Mendorong tumbuhnya industri-industri lain yang dapat memanfaatkan
listrik tersebut.
b. Pertambahan nilai hasil produksi dari industri-industri tersebut di atas
adalah manfaat tak langsung sebagai multiplier efects dari proyek
pembangkit tenaga listrik.
c. Berkembangnya pertanian, pertambangan dan usaha lain disekitar daerah
pembangunan proyek
Disamping itu, manfaat langsung dari proyek pembangkt listrik tersebut
adalah jumlah kapasitas listrik (kilowatt) dikalikan harga (tarif) listrik
tersebut.
3. Intangible Benefits, merupakan benefit yang sulit dinilai dengan uang,
contoh-contoh Intangible Benefits dari pendirian suatu proyek adalah:
a. Perbaikan lingkungan hidup
b. Perbaikan pemandangan karena adanya suatu taman
c. Perbaikan distribusi pendapatan
d. Integrasi nasional dan pertahanan nasional
e. Berkurangnya pengangguran, dan sebagainya.
Melihat 3 macam manfaat seperti yang diuraikan di atas, maka manfaat langsung
relatif lebih mudah untuk diidentifikasikan dan dihitung jumlahnya dibandingkan
dapat direalisir, manfaat tidak langsung tidak akan otomatis terwujud. Misalnya,
kalau proyek bendungan sudah berhasil meningkatkan tenaga listrik sebagai
akibat langsung dari proyek tersebut maka pertumbuhan industri sebagai manfaat
tak langsung belum tentu akan terwujud, karena banyak faktor-faktor lain yang
ikut menentukan.
Untuk perbandingan BCR, biaya suatu proyek dapat jaga diklasifikasikan atas
biaya langsung dan biaya tak langsung.
1. Biaya Langsung
Adalah semua pengeluaran yang langsung untuk keperluan proyek, misalnya
biaya investasi, biaya operasi dan biaya pemeliharaan proyek.
2. Biaya Tak Langsung
Biaya tak langsung umumnya berupa biaya tak kentara seperti polusi udara,
bising, perubahan nilai-nilai (norma) dalam masyarakat.
Seperti halnya manfaat langsung, maka biaya langsung lebih mudah
diidentifikasikan dan dihitung. Karena itu dalam evaluasi proyek, biaya langsung
sering mendapat bobot yang lebih besar dibandingkan biaya tak langsung. Akan
tetapi, perlu diingat bahwa semakin besar masarakat yang menanggung biaya tak
langsung (misalnya polusi udara) maka semakin perlu dipertimbangkan untuk
BCR merupakan nisbah manfaat biaya yang sering digunakan untuk mengukur
kelayakan suatu proyek. Pada BCR yang dilihat adalah perbandingan antara nilai
tunai penerimaan dengan nilai tunai pengeluaran atau biaya.
PC PV C
B/ =
Oleh karena NPV adalah selisih antara PV dan PC, maka antara NPV dan B/C
terdapat hubungan sebagai berikut:
NPV > 0, maka B/C >1
NPV < 0, maka B/C < 1
NPV = 0, maka B/C = 1
Proyek dikatakan layak bila B/C ≥ 1, atau 1 <BCR< 2 karena bila BCR<1 maka
usaha tersebut dikatakan rugi, dan bila BCR>2 dikenal dengan situasi overheating
yang berbahaya bagi perekonomian karena dapat menyebabkan inflasi
2.9.4. Break Even Point Analysis (Analisa Titik Impas)
Suatu studi kelayakan harus dapat menetapkan titik pulang pokok (Break
Even Point). Sebagai masukan dalam perencanaan dan sebagai alat kendali dalam
pengoperasian perusahaan, perlu diketahui pada kapasitas produksi berapakah paling
rendah agar perusahan tidak merugi. Pada kapasitas tersebut perusahaan tidak merugi
dan tidak berlaba. Kapasitas tersebut disebut Break Even Point (BEP) dimana
pendapatan sama dengan pengeluaran ( TR = TC )
a. Biaya berubah (variabel cost), yaitu biaya yang besarnya tergantung kepada
banyaknya produksi seperti biaya bahan, sebagian besar biaya energi, sebagian
besar biaya perawatan, sebagian sewa-sewa dan upah karyawan lepas. Biaya
berubah umumnya diasumsikan fungsi linear:
y = ax
dimana x = jumlah produksi
b. Biaya tetap (fixed cost), yaitu biaya yang besarnya tetap walaupun tidak ada
produksi, seperti gaji karyawan tetap, depresiasi, amortisasi, asuransi, PBB,
seluruh atau sebagian sewa-sewa, sebagian biaya energi, sebagian biaya
perawatan. Biaya tetap merupakan konstanta:
y = b
Total biaya seluruhnya menjadi:
y = ax + b ...(1)
Apabila penjualan perunit produksi diasumsikan konstan maka hasil penjualan
juga merupakan garis lurus:
y = sx ...(2)
Perpotongan antara persamaan (1) dan (2) merupakan titik impas (BEP) yang
Rp
x Rugi
Laba
BEP
penjualan
y = sx
total biaya
b
biaya tetap
b biaya berubah y
Gambar 3. Grafik Titik Impas (BEP)
Apabila kapasitas produksi lebih kecil dari BEP maka perusahaan akan
BAB III
GAMBARAN UMUM OBJEK STUDI
Penelitian ini dilakukan di 2 lokasi yaitu di divisi Pendidikan Lingkungan
Hidup (PLH) dan areal parkir sepeda motor pada Pusat Pengembangan dan
Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PPPPTK) Medan, jl. Setia Budi
No. 75 Helvetia Medan.
Devisi PLH PPPPTK Medan adalah bagian yang menangani masalah
lingkungan, dimana telah memiliki fasilitas untuk pengolahan sampah.
Sampah-sampah atau limbah yang dihasilkan oleh aktivitas departemen/devisi di lingkungan
PPPPTK Medan semuanya telah dikelola dengan baik. Sampah organik seperti
rumput, daun, sisa makanan dari katering dan kantin telah diolah menjadi pupuk
kompos. Sedangkan sampah anorganik seperti kertas, karton, logam, plastik di daur
kembali atau dimanfaatkan kembali.
Sampah organik merupakan sampah yang berasal dari alam, memiliki rasio
perbandingan dengan sampah anorganik sebesar 2,21:1 (Zulfi, 2000). Sampah
organik selama ini belum dikelola secara maksimal oleh masyarakat untuk dijadikan
pupuk kompos. Berdasarkan data Dinas Kebersihan Kota Medan, perbandingan