• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelaksanaan Mediasi Berdasarkan Perma No. 2 Tahun 2003 Di Pengadilan Negeri Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pelaksanaan Mediasi Berdasarkan Perma No. 2 Tahun 2003 Di Pengadilan Negeri Medan"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

PELAKSANAAN MEDIASI BERDASARKAN PERMA

NO. 2 TAHUN 2003 DI PENGADILAN NEGERI

MEDAN

TESIS

OLEH

MARIANNUR PURBA

NIM. 057005038

SEKOLAH PASCA SARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2007

(2)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI... i

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Keaslian Penelitian... 8

F. Kerangka Teori... 9

G. Metode Penelitian ... 26

BAB II MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIKAN SENGKETA DI PENGADILAN NEGERI MEDAN... 31

A. Pengertian Mediasi ... 33

B. Sejarah Dan Perkembangan Mediasi... 39

C. Mediasi Dan Konsiliasi ... 45

D. Mediasi Dan Negosiasi... 47

E. Mediator ... 52

1. Pengertian Mediator ... 52

2. Tugas Mediator ... 54

3. Keterampilan Mediator ... 55

(3)

BAB III KEBERHASILAN MEDIASI DI PENGADILAN NEGERI

MEDAN ... 67

A. Proses Mediasi Di Pengadiladn Negeri Medan ... 67

1. Pendaftaran Gugatan ... 67

2. Tahap Pra Mediasi... 69

3. Tahap Mediasi... 72

4. Akhir Mediasi ... 74

5. Perjanjian Perdamaian dalam Mediasi ... 75

6. Kekuatan Hukum Akta Perdamaian dalam Mediasi ... 77

B. Mediator Di Pengadilan Negeri Medan... 79

C. Perkara Yang Diputus Melalui Mediasi Di Pengadilan Negeri Medan ... 82

BAB IV FAKTOR YANG MENJADI HAMBATAN PELAKSANAAN MEDIASI BERDASARKAN PERMA No. 2 TAHUN 2003 DI PENGADILAN NEGERI MEDAN ... 87

A. Faktor yang Berasal dari Dalam Diri Para Pihak (Faktor Intern)... 87

B. Faktor yang Berasal dari Luar Diri Para Pihak (Faktor Ekstern) ... 94

1. Ketidakmampuan Mediator... 94

(4)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 102

A. Kesimpulan... 102

B. Saran ... 103

(5)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perselisihan atau persengketaan merupakan suatu keadaan yang tidak

dikehendaki oleh setiap orang. Akan tetapi dalam pergaulan di masyarakat yang

berbeda kepentingan. Perbedaan kepentingan itulah yang menyebabkan timbulnya

perselisihan atau persengketaan.

Penyelesaian sengketa melalui proses litigasi di Pengadilan pada dasarnya

berazaskan azas sederhana, cepat, biaya ringan.1 Akan tetapi dalam praktek

seringkali ditemukan hal yang sebaliknya, sistim peradilan yang tidak efektif

(ineffective) dan tidak efisien (inefficient). Penyelesaian perkara memakan waktu

bertahun-tahun, proses bertele-tele, dapat diajukan upaya hukum yang

berkepanjangan, mulai dari banding, kasasi dan peninjauan kembali, setelah putusan

berkekuatan hukum tetap, eksekusi dibenturkan lagi dengan upaya hukum verzet.

Selain proses yang bertele-tele dan biaya mahal, penyelesaian sengketa melalui

litigasi juga menimbulkan penumpukan jumlah perkara di Pengadilan.

Memasuki gelanggang forum Pengadilan, tidak ubahnya seperti mengembara

dan mengadu nasib di hutan belantara (adventure onto the unknown), padahal

1

(6)

masyarakat pencari keadilan membutuhkan proses penyelesaian yang cepat yang

tidak formalitas (informal procedure and be put into motion quickly.2

Melihat kondisi di atas untuk penyelesaian sengketa perdata, lingkungan,

bisnis, perbankan dalam ruang lingkup Nasional maupun Internasional, maka peluang

penyelesaian sengketa alternative sangat diperlukan.3

Mediasi merupakan bentuk proses penyelesaian sengketa alternatif atau

Alternative Dispute Resolution (ADR). Mediation, a form of Alternative Dispute

Resolution (ADR), aims to assist two (or more) disputants in reaching an agreement.

The key component of mediation is that wether an agreement is reached, and what

that agreement, if any, is determined by the parties themselves rather than being

imposed by third party. The disputes may involve states, organizations, communities,

individuals or other representatives with a vested interest in the outcome.4

Proses penyelesaian sengketa melalui mediasi bertujuan untuk memungkinkan

para pihak yang bersengketa mendiskusikan perbedaan-perbedaan mereka secara

pribadi dengan bantuan pihak ketiga yang netral (mediator). Mediator menolong para

pihak untuk memahami pandangan para pihak lainnya sehubungan dengan

masalah-masalah yang disengketakan, dan selanjutnya membantu mereka melakukan penilaian

yang objektif dari keseluruhan situasi atau keadaan yang sedang berlangsung selama

dalam proses perundingan-perundingan. Jadi mediator harus tetap bersikap netral,

2

M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, (Jakarta : Sinar Grafika, 1997), h. 248

3

Huala Adolf, Arbitrase Komersial Internasional, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1993), h. 13

4

(7)

selalu membina hubungan baik, berbicara dengan bahasa para pihak, memdengarkan

secara aktif menekankan pada keuntungan potensial, meminimalkan

perbedaan-perbedaan dan menitikberatkan persamaan-persamaan, yang bertujuan untuk

membantu para pihak bernegosiasi secara lebih baik atas penyelesaian suatu

sengketa.5

Mediator sangat menentukan efektifitas proses penyelesaian sengketa, ia harus

secara layak memenuhi kualitas tertentu serta berpengalaman dalam komunikasi dan

negosiasi agar mampu mengarahkan para pihak yang bersengketa. Dengan bekal

berbagai kemampuan yang dimilikinya, mediator mendiagnosis suatu sengketa

tertentu. Ia mendesain serta mengendalikan proses mediasi untuk menuntun para

pihak mencapai suatu kesepakatan yang sehat. Ia menjadi katalisator untuk

mendorong lahirnya suasana yang konstruktif bagi diskusi.

Dibandingkan dengan Pengadilan, mediasi lebih fleksibel, efektif biaya,

pribadi dan efisien. Mediasi merupakan salah satu metode yang berkembang dengan

cepat dalam penyelesaian masalah, seperti bisnis yang menemukan fleksibilitas dan

keefektifannya yang berarti lebih cepat, lebih efektif dan kurangnya kerugian dalam

penyelesaian perselisihan.6

5

Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 121.

6

(8)

Ada dua jenis mediasi yaitu mediasi di luar dan di dalam Pengadilan.7

Mediasi yang dibicarakan disini adalah mediasi di dalam ruang lingkup Pengadilan

(court connected mediation), yaitu mediasi di dalam ruang lingkup Pengadilan.

Mediasi yang berada di dalam Pengadilan diatur oleh Peraturan Mahkamah

Agung (Perma) No. 2 Tahun 2003, dikeluarkan pada tanggal 11 September 2003.

Perma ini dirancang oleh mahkamah Agung dan Indonesia Institute for Conflict

Transformation (IICT), yaitu organisasi non Pemerintah di bidang transformasi dan

manajemen konfik. Adapun pertimbangan Mahkamah Agung mengeluarkan Perma

tersebut adalah :

a) Pengitegrasian mediasi kedalam proses beracara di Pengadilan dapat menjadi

salah satu instrumen efektif mengatasi kemungkinan penumpukan perkara di

Pengadilan.

b) Mediasi merupakan salah satu proses lebih cepat dan murah, serta dapat

memberikan akses kepada para pihak yang bersengketa untuk memperoleh

keadilan atau penyelesaian yang memuaskan atas sengketa yang dihadapi.

c) Surat Edaran No. 1 tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat

Pertama Menerapkan Lembaga Damai (Eks Pasal 130 HIR/154 Rbg) belum

lengkap, sehingga perlu disempurnakan.

d) Hukum acara yang berlaku, baik Pasal 130 HIR maupun Pasal 154 Rbg,

mendorong para pihak untuk menempuh proses perdamaian yang dapat

7

(9)

diintensifkan dengan cara mengintegrasikan proses mediasi ke dalam prosedur

berperkara di Tingkat pertama.

e) Sambil menunggu peraturan perundang-undangan dan memperhatikan wewenang

Mahkamah Agung dalam mengatur acara peradilan yang belum cukup diatur oleh

peraturan perundang-undangan, maka demi kepastian, ketertiban dan kelancaran

dalam proses mendamaikan para pihak untuk menyelesaikan suatu sengketa

perdata, dipandang perlu menetapkan suatu Peraturan Mahkamah Agung .8

Latar belakang lahirnya Perma ini yang Pertama adalah sebagai salah satu

upaya untuk membantu Lembaga Pengadilan dalam rangka mengurangi beban beban

penumpukan perkara. Kedua, adanya kesadaran akan pentingnya sistim hukum di

Indonesia untuk menyediakan akses seluas mungkin kepada para pihak yang

bersengketa untuk memperoleh rasa keadilan. Ketiga, proses mediasi sering

diasumsikan sebagai proses yang lebih efisien dan tidak memakan waktu

dibandingkan Pengadilan.9

Berbeda dengan proses persidangan di Pengadilan, para pihak dalam mediasi

adalah merupakan kekuasaan tertinggi, sedangkan dalam persidangan, Hakim

memegang kekuasaan tertinggi. Dalam mediasi mediator sebagai pihak ketiga yang

dianggap netral hanya membantu atau memfasilitasi jalannya proses mediasi. Hasil

proses mediasi adalah merupakan kesepakatan antara para pihak (mutually acceptable

solution). Kesepakatan para pihak ini lebih kuat sifatnya dibandingkan Putusan

8

Pertimbangan Hukum Peraturan Mahkamah Agung RI No. 02 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, Mahkamah Agung RI

9

(10)

Pengadilan, karena merupakan kesepakatan dari para pihak, artinya kesepakatan itu

adalah hasil kompromi atau jalan yang telah mereka pilih untuk disepakati demi

kepentingan-kepentingan mereka, sedangkan dalam putusan Pengadilan, ada pihak

lain yang memutuskan yaitu Hakim, dengan kata lain Putusan Pengadilan itu bukan

kesepakatan para pihak.

Berdasarkan pertimbangan Mahkamah Agung di atas, Perma No. 2 Tahun

2003, dibentuk untuk memberdayakan Pasal 130 HIR dan 154 Rbg. Dalam Pasal

tersebut dikatakan bahwa “Pada hari yang ditentukan, jika kedua belah pihak

menghadap ke Pengadilan dengan perantara keduanya, maka Hakim mencoba

mendamaikan”.10 Artinya Ketua Mejelis wajib mencoba mendamaikan para pihak.

Salah satu bentuk usaha untuk mendamaikan tersebut adalah melalui proses mediasi,

oleh karena itu dalam Perma No. 2 Tahun 2003 ini, mediasi bersifat wajib.

Proses mediasi di Pengadilan dimulai dengan pendaftaran gugatan oleh para

pihak, dalam hal ini Penggugat ke Pengadilan Negeri. Pada hari sidang pertama,

Majelis Hakim mengupayakan perdamaian kepada para pihak. Dengan

mengupayakan perdamaian itu diarahkan agar para pihak melalui proses mediasi

terlebih dahulu. Dalam Perma No. 2 Tahun 2003, ditentukan bahwa Majelis Hakim

yang menangani perkara itu berbeda dengan mediator yang nanti akan mencoba akan

mendamaikan kedua belah pihak. Selanjutnya dalam Perma tersebut, mediator bisa

terdiri dari Hakim dan non Hakim. Begitu juga dengan tempat pelaksanaan mediasi,

para pihak diberi alternatif, apakah mediasi dilaksanakan di Pengadilan atau di luar

10

(11)

Pengadilan. Apabila para pihak memilih tempat pelaksanaan mediasi di dalam

Pengadilan, maka para pihak boleh memilih Hakim yang akan menjadi mediatornya.

Kesepakatan damai yang telah dicapai oleh para pihak, haruslah merupakan

acceptable solution, yaitu kesepakatan yang dapat diterima oleh kedua belah pihak .

Jika usaha perdamaian berhasil, maka para pihak membuat Perjanjian Perdamaian

yang berisikan kesepakatan-kesepatan para pihak, kemudian diajukan kepada Hakim

untuk diputus dalam bentuk putusan dan kekuatan putusan tersebut sama dengan

putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, mengingat salah satu tujuan Perma No. 2

Tahun 2003 dibentuk adalah sebagai upaya untuk membantu Lembaga Pengadilan

dalam rangka mengurangi beban penumpukan perkara, maka untuk melihat

pelaksanaan mediasi berdasarkan Perma No. 2 Tahun 2003 di Pengadilan Negeri

Medan, menjadi latar belakang penulisan penelitian tesis ini.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka yang menjadi pokok permasalahan

yang akan diteliti adalah :

1. Bagaimanakah pelaksanaan mediasi berdasarkan Perma No. 2 Tahun 2003 di

Pengadilan Negeri Medan ?

2. Faktor apa yang menjadi hambatan keberhasilan pelaksanaan mediasi berdasarkan

(12)

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui dan menganalisis pelaksanaan mediasi berdasarkan Perma No.

2 Tahun 2003 di Pengadilan Negeri Medan

2. Untuk mengetahui dan menganalisis faktor apa yang menjadi hambatan

keberhasilan pelaksanaan mediasi berdasarkan Perma No. 2 Tahun 2003 di

Pengadilan Negeri Medan

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dilakukan agar dapat memberi manfaat baik secara teoritis

maupun secara praktis.

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk

mengembangkan pemikiran tentang pentingnya mediasi.

Secara praktis :

a. Penelitian ini ditujukan bagi kalangan bisnis (pelaku usaha) yang sangat rentan

dengan berbagai konflik internal maupun eksternal.

b. Sebagai informasi bagi masyarakat tentang pentingnya mediasi.

c. Sebagai bahan kajian bagi akademisi, mahasiswa dan untuk menambah wawasan

ilmu khususnya di bidang mediasi.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan dari perumusan dan hasil–hasil penelitian yang ada, penelitian

(13)

No. 2 Tahun 2003 di Pengadilan Negeri Medan ini belum pernah dilakukan dalam

topik dan permasalahan yang sama, sehingga penelitian ini asli, baik dari segi materi

maupun metode pendekatan dalam menganalisis bahan hukum primer, sekunder dan

tertier, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara

ilmiah dan terbuka untuk kritikan–kritikan yang sifatnya membangun sehubungan

dengan topik dan permasalahan dalam penelitian ini.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Penyelesaian sengketa (perselisihan) secara damai (musyawarah muakat)

sudah merupakan budaya dalam masyarakat adat tradisional di Indonesia.

Penyelesaian sengketa secara damai ini dikenal pada zaman Hindia Belanda, yang

disebut dengan “Peradilan Desa” (Dorpsjustitie), sebagaimana diatur dalam Pasal 3

RO.11 Menurut Pasal tersebut dikatakan :

1. Semua perkara yang menurut hukum adat termasuk kekuasaan Hakim dari masyarakat hukum kecil-kecil (Hakim Desa) tetap diadili oleh para Hakim tersebut.

2. Ketentuan ayat di muka tidak mengurangi sedikitpun hak yang berperkara untuk Setiap waktu mengajukan perkaranya kepada Hakim-Hakim yang lebih tinggi.

3. Hakim-Hakim yang dimaksud pada ayat (1) mengadili perkara Menurut hukum adat, mereka tidak boleh menjatuhi hukuman.

11

(14)

Jika terjadi perselisihan di kampung, di dusun, di tempat pemukiman, maka

untuk memulihkan gangguan keseimbangan keluarga dan masyarakat bersangkutan

diselesaikan secara langsung di tempat kejadian antara pribadi yang bersangkutan,

atau diselesaikan di rumah keluarga salah satu pihak yang bersangkutan, atau antara

tetangga daslam kesatuan rukun tetangga.

Apabila pertemuan yang diselenggarakan pribadi, keluarga atau tetangga

tersebut tidak mencapai kesepakatan, atau karena satu dan lain hal tidak

berkelanjutan, sehingga perkaranya perlu dilanjutkan kepada Kepala Kerabat atau

Kepala Adat. Di daerah Lampung misalnya, perselisihan “kawin lari” di antara

sesama orang Lampung, harus diselesaikan oleh Kepala Kerabat atau Kepala Adat.12

Penyelesaian perselisihan secara damai yang dilakukan oleh Kepala Desa

dilaksanakan di Balai Desa, yang disebut dengan Peradilan Desa (Doorpsjustitie),

sebagai upaya untuk mencapai kesepakatan, Kepala Desa berusaha antara lain :

a. Menerima dan mempelajari pengaduan yang disampaikan kepadanya.

b. Memerintahkan Perangkat Desa atau Kepala Dusun untuk menyelidiki kasus

perkara, dengan menghubungi para pihak yang bersangkutan.

c. Mengatur dan menetapkan waktu persidangan serta menyiapkan persidangan di

Balai Desa.

d. Mengundang para Sesepuh Desa yang akan mendampingi Kepala Desa

memimpin persidangan, dan lainnya yang dianggap perlu.

12

(15)

e. Mengundang para pihak yang berselisih, para saksi untuk di dengar

keterangannya.

f. Membuka persidangan dengan menawarkan perdamaian di antara kedua belah

pihak.

g. Memeriksa perkara, mendengar keterangan saksi, pendapat para Sesepuh Desa,

Kepala Dusun yang bersangkutan dan lainnya.

h. Mempertimbangkan dan menetapkan keputusan berdasarkan kesepakatan kedua

belah pihak.

Cara penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh Kepala Desa atau Kepala

Adat bertujuan untuk mewujudkan perdamaian antara kedua belah pihak, bukan

mencari siapa yang benar dan siapa yang salah, dengan demikian keseimbangan yang

terganggu di antara para pihak dapat dipulihkan kembali, sebagaimana dikatakan Ter

Haar : “Hij moet trachten aan te sluiten op de roekoenanpraktijk der Indonesiers, hoe

dmeer hoe beter”. Jadi Kepala Desa sebagai juru damai harus berusaha sebanyak

mungkin agar kebiasaan rukunan orang-orang Indonesia tetap dipertahankan.13

Penyelesaian sengketa secara damai juga dikenal di kota-kota kecil, besar atau

di daerah di mana penduduknya heterogen, di mana terdapat perkumpulan atau

organisasi kemasyarakatan, seperti halnya perkumpulan-perkumpulan kekeluargaan

masyarakat adat di perantauan, perkumpulan kepemudaan dan kewanitaan,

perkumpulan keagamaan dan lainnya. Apabila terjadi pertikaian di antara anggota,

maka yang bertindak sebagai juru damai adalah ketua perkumpulan bersangkutan.

13

(16)

Begitu pula jika peristiwa yang terjadi itu bukan di antara sesama anggota, melainkan

terjadi dengan orang luar perkumpulan atau perkumpulan lain, maka pimpinan

perkumpulan itu masing-masing mengadakan perundingan dan menyelesaikan

perselisihan di antara perkumpulan mereka, dengan rukun dan damai.

Dengan meminjam istilah Koesnoe yasng disebutnya dengan Ajaran

Menyelesaikan, sebagai lawan dari Ajaran Memutus. Ajaran Menyelesaikan

menitikberatkan pada penyelesaian sebuah sengketa dengan cara musyawarah

mufakat, sehingga hasilnya dapat memulihkan kembali hubungan di antara para pihak

yang bersengketa seperti sebelum terjadinya sengketa.14

Pada dasarnya perselisihan yang terjadi di masyarakat diselesaikan secara

musyawarah mufakat. Penyelesaian melalui Litigasi sedapat mungkin dihindari.

Gagasan untuk menghindari penyelesaian secara litigasi dan anjuran berkompromi

pernah disampaikan oleh Abraham Lincoln pada tahun 1850 dengan ucapan :

“Discorage Litigation. Persuade your neighbors to compromise whenever you can.

Point out to them how nominal winner is often a real loser in fees, expenses, and

waste of time”.15

Apabila mengacu kepada penyelesaian sengketa atau masalah dengan cara

musyawarah mufakat Seperti yang telah dikemukakan di atas, maka untuk mencapai

penyelesaian masalah atau sengketa harus dibangun paradigma baru, yaitu mengubah

14

Runtung, Pemberdayaan Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Adat pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (1 April 2006), h. 7.

15

(17)

paradigma mengadili menjadi menyelesaikan masalah atau sengketa. Paradigma baru

ini akan mencakup empat strategi pokok, yaitu :

Pertama; revitalisasi fungsi Pengadilan untuk mendamaikan pihak-pihak yang

menghadapi sengketa hukum. Fungsi ini terutama berkaitan dengan sengketa hukum

yang bukan perkara pidana. Sesuai dengan ketentuan yang sudah ada Hakim wajib

berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mempertemukan dan meyakinkan

pihak-pihak untuk menyelesaikan sengketa yang sedang dihadapi secara damai menuju

prinsip win-win solution. Pihak-pihak diwajibkan untuk secara sungguh-sungguh

(compulsory) dan di bawah supervisi Hakim untuk menyelesaikan sengketa hukum

secara damai.

Kedua; revitalisasi pranata-pranata sosial dengan memberikan dasar-dasar

yang lebih kuat bagi pengembangan lembaga penyelesaian (ADR) seperti arbitrase,

mediasi, maupun perdamaian di luar Pengadilan. Pada saat ini telah ada BANI dan

BMN. Selain itu, perlu didorong peran-peran lain seperti lembaga bantuan hukum

untuk mediasi, dan lain-lain.

Ketiga; menata kembali tata cara penyelesaian suatu perkara menjadi lebih

efisien, efektif, produktif, dan mencerminkan keterpaduan sistem diantara

unsur-unsur penegak hukum dengan merinci pembagian tugas dan wewenang yang tegas

diantara para penegak hukum. Prinsip sistem peradilan terpadu dalam perkara pidana

(integrated criminal justice system), tidak cukup mengatur hubungan koordinasi

diantara para penegak hukum. Tanpa mengurangi maksud membangun kemandirian

(18)

pertimbangan” atau “hubungan supervisi” agar suatu proses perkara tidak terhenti

akibat suatu formalitas yang kurang atau tidak dipenuhi secara sempurna.

Keempat; menata kembali hak-hak berperkara yang menyebabkan

penyelesaian yang berlarut-larut, dan mengandung berbagai potensi konflik

“permanen” diantara pihak-pihak atau mereka yang terkena perkara. Strategi ini

berkaitan dengan pembatasan hak kasasi yang dapat didasarkan kepada nilai perkara,

ancaman pidana, atau sifat perkara. Yang terakhir ini berkaitan dengan

perkara-perkara di bidang (hukum) kekeluargaan (perceraian, pemeliharaan anak,

pengangkatan anak, harga perkawinan dan lain-lain). pembatasan hak kasasi pada

perkara-perkara (hukum) kekeluargaan dimaksudkan agar dapat tuntas secepat

mungkin mengingat kepentingan-kepentingan dari pihak dan orang ketiga (seperti

anak) yang bersangkutan dalam perkara tersebut.16

Rumusan Pasal 1 angka 10 dan alinea ke sembilan dari Penjelasan Umum

Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa, dikatakan bahwa masyarakat dimungkinkan memakai alternatif lain dalam

melakukan penyelesaian sengketa. Alternatif tersebut dapat dilakukan dengan cara

konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli. Sementara itu yang

dimaksud alternatif penyelesaian sengketa adalah suatu pranata penyelesaian

16

(19)

sengketa di luar Pengadilan atau dengan cara mengesampingkan penyelesaian secara

litigasi di Pengadilan Negeri.17

Alternatif penyelesaian sengketa di luar Pengadilan tersebut akan segera

diuraikan di bawah ini :

1. Konsultasi

Meskipun konsultasi alternatif penyelesaian sengketa tersebut dalam

Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa, namun tidak ada satu Pasal-pun yang menjelaskannya.

Dengan mengutip Black’s Law Dictionary, Gunawan Widjaya dan Ahmad

Yani menguraikan bahwa pada prinsipnya Konsultasi merupakan tindakan yang

bersifat “personal” antara suatu pihak tertentu, yang disebut dengan “klien”

dengan pihak lain yang merupakan “konsultan”, yang memberikan pendapatnya

kepada klien tersebut untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya

tersebut. Tidak ada suatu rumusan yang mengharuskan si klien mengikuti

pendapat yang disampaikan konsultan. Jadi hal ini konsultan hanyalah

memberikan pendapat (hukum), sebagaimana diminta oleh kliennya, yang untuk

selanjutnya keputusan mengenai penyelesaian sengketa tersebut akan diambil

sendiri oleh para pihak meskipun adakalanya pihak konsultan juga diberikan

17

(20)

kesempatan untuk merumuskan bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang

dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa tersebut.18

2. Negosiasi dan Perdamaian

Menurut Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 pada

dasarnya para pihak dapat berhak untuk menyelesaikan sendiri sengketa yang

timbul di antara mereka. Kesepakatan mengenai penyelesaian tersebut selanjutnya

harus dituangkan dalam bentuk tertulis yang disetujui oleh para pihak. Negosiasi

adalah mirip dengan perdamaian sebagaimana diatur dalam Pasal 1851 s/d 1864

KUH Perdata, dimana perdamaian itu adalah suatu persetujuan diantara kedua

belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang,

mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya

suatu perkara. Persetujuan mana harus dibuat secara tertulis dengan ancaman

tidak sah. Namun ada beberapa hal yang membedakan, yaitu negosisasi diberikan

tenggang waktu penyelesaian paling lama 14 hari, dan penyelesaian sengketa

tersebut harus dilakukan dalam bentuk pertemuan langsung oleh dan di antara

para pihak yang bersengketa.

Perbedaan lain adalah bahwa negosiasi merupakan salah satu lembaga

alternatif penyelesaian sengketa yang dilaksanakan di luar Pengadilan, sedangkan

perdamaian dapat dilakukan baik sebelum proses persidangan Pengadilan

18

(21)

dilakukan maupun setelah sidang peradilan dilaksanakan, baik di dalam maupun

di luar Pengadilan.19

3. Mediasi

Berdasarkan Pasal 6 ayat 3 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999, atas

kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui

bantuan “seorang atau lebih penasehat ahli” maupun melalui seorang mediator.

Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final

dan mengikat bagi para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik. Hal tersebut

sesuai dengan azas iktikad baik di mana setiap orang yang membuat suatu

perjanjian harus dilakukan dengan iktikad baik. Maksudnya, bahwa cara

menjalankan suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan kepatutan dan

keadilan. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata.20

Demikian juga halnya dalam melakukan proses mediasi di Pengadilan sesuai

dengan Perma No. 2 Tahun 2003 berdasarkan azas pacta sunt servanda

perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam proses mediasi adalah bersifat

mengikat bagi para pihak yang membuatnya dan menjadi undang-undang bagi

para pihak. Hal tersebut adalah untuk mendapatkan kepastian hukum. Menurut

Subekti, tujuan azas pacta sunt servanda adalah untuk memberikan perlindungan

kepada para pihak agar tidak khawatir akan hak-haknya karena perjanjian itu

19

Agnes M. Toor, dkk, Arbitrase di Indonesia, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1995), h. 10.

20

(22)

berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.21 Dengan

demikian suatu perjanjian harus ada suatu kata sepakat dari mereka yang

membuat perjanjian sesuai dengan syarat sah suatu perjanjian yang dianut dalam

ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata yang mempunyai azas konsensualitas. Maka,

dalam proses mediasi yang memuat perjanjian perdamaian diantara para pihak

harus sesuai dengan ketentuan azas konsensualitas berdasarkan ketentuan Pasal

1320 KUH Perdata tersebut.22

Kemudian kesepakatan tertulis yang telah disepakati oleh kedua belah

pihak tersebut wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama

30 (tiga puluh) hari terhitung sejak penandatanganan, dan wajib dilaksanakan

dalam waktu selama 30 (tiga puluh) hari sejak pendaftaran.23

4. Konsiliasi dan perdamaian

Seperti pranata alternatif penyelesaian sengketa yang telah diuraikan di

atas, konsiliasipun tidak dirumuskan secara jelas dalam Undang-Undang No. 30

Tahun 1999 sebagai suatu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar

Pengadilan adalah suatu tindakan atau proses untuk mencapai perdamaian di luar

Pengadilan. Untuk mencegah dilaksanakan proses ligitasi, melainkan juga dalam

setiap tingkat peradilan yang sedang berjalan, baik di dalam maupun di luar

21

A. Qirom Syamsudin Meliala, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, (Yogyakarta : Liberty, 1985), h. 20.

22

Ibid.

23

(23)

Pengadilan, dengan pengecualian untuk hal-hal atau sengketa di mana telah

diperoleh suatu putusan Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.24

Penyelesaian perkara melalui mediasi mengandung berbagai keuntungan

substansial dan psikologis yang terpenting diantaranya, yakni :

a. Penyelesaian bersifat informal.

Penyelesaian melalui pendekatan nurani, bukan berdasarkan hukum dari

kedua belah pihak yang melepaskan diri dari kekakuan istilah hukum (legal term)

kepada pendekatan yang bercorak nurani dan moral. Menjauhkan doktrin dan azas

pembuktian ke arah persamaan persepsi yang saling menguntungkan.

b. Menyelesaikan sengketa para pihak secara tersendiri.

Penyelesaian ini tidak diserahkan kepada kemauan dan kehendak Hakim

ataupun arbiter tetapi diselesaikan para pihak tersendiri sesuai dengan kemauan

mereka, karena merekalah yang lebih tahu hal-hal yang sebenarnya dan

sesungguhnya atas sengketa yang dipermasalahkan.

c. Jangka waktu penyelesaian pendek

Pada umumnya jangka waktunya relatif singkat atau pendek berdasarkan

ketulusan dan kerendahan hati para pihak oleh karenanya bersifat speedy (cepat).

d. Biaya ringan

Perdamaian tidak memerlukan biaya yang mahal (very expensive).

24

(24)

e. Aturan pembuktian tidak perlu

Prinsip pembuktian yang formil dan teknis tidak esensil jikalau terjadi

perdamaian.

f. Proses penyelesaian bersifat confidential

Penyelesaian perdamaian benar-benar bersifat rahasia (confidential) yakni:

penyelesaiannya tertutup untuk umum, yang mengetahui hanya mediator,

konsiliator atau advisor maupun ahli yang bertindak membantu proses

perdamaian, oleh karenanya nama baik para pihak dalam lingkungan masyarakat

dan bisnis tetap terjaga.

g. Hubungan para pihak bersifat cooperative

Dalam proses perdamaian tidak terjadi suatu permusuhan atau

antagonisme, tetapi persaudaraan dan kerjasama para pihak menjauhkan dari rasa

dendam dan permusuhan.

h. Komunikasi dan fokus penyelesaian

Dalam proses perdamaian terwujud komunikasi aktif diantara para pihak

yang berkeinginan memperbaiki perselisihan ataupun kesalahan masa lalu menuju

hubungan yang lebih baik untuk masa depan.

i. Hasil yang dituju sama menang

Hasil yang dicari dan dituju para pihak dalam perdamaian dapat dikatakan

luhur, yakni sama-sama menang atau disebut konsep win-win solution dengan

(25)

demikian tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang atau bukan winning or

losing seperti penyelesaian melalui Pengadilan ataupun arbitrase.

j. Bebas emosi dan dendam

Perdamaian meredam sikap emosional yang tinggi dan bergejolak.ke arah

suasana bebas emosi, oleh karenanya tujuan yang akan dicapai dapat terlaksana

dengan baik.25

Oleh karenanya berdasarkan ketentuan Pasal 130 maupun Pasal 154 RBg pada

asasnya mengenal dan menghendaki penyelesaian sengketa melalui cara damai.

Adapun isi ketentuan Pasal 130 ayat (1) HIR berbunyi :

Jika pada hari yang ditentukan itu kedua belah pihak datang, maka Pengadilan

negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan memperdamaikan mereka,

Selanjutnya ayat (2) mengatakan :

Jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu bersidang, diperbuat sebuah surat (akta) tentang itu, dalam mana kedua belah pihak dihukum akan mentaati perjanjian yang diperbuat itu, surat mana akan berkekuatan dan akan dijalankan sebagai putusan yang biasa.26

Bertitik tolak dari ketentuan Pasal tersebut, sistem yang diatur dalam hukum

acara perdata tentang penyelesaian perkara yang diajukan ke Pengadilan Negeri

hampir sama dengan court connection arbitration system, dengan alasan sebagai

berikut :

25

M.Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, Op.cit., h. 293.

26

(26)

1. Hakim membantu atau menolong para pihak yang berperkara untuk

menyelesaikan sengketa dengan perdamaian,

2. Selanjutnya apabila tercapai kesepakatan diantara para pihak, kesepakatan

tersebut dituangkan dalam bentuk perjanjian perdamaian yang ditandatangani

para pihak dan terhadap perjanjian perdamaian tersebut dibuat suatu akta berupa

putusan yang dijatuhkan Pengadilan yang mencantumkan amar, menghukum para

pihak menepati perjanjian perdamaian, oleh karenanya hampir sama dengan court

connection arbitration system.

Berdasarkan ketentuan Pasal 130 HIR dan Pasal 154 RBg pada prinsipnya

lebih menghendaki penerapan konsep win-win solution yaitu sama-sama menang

daripada penerapan winning or loosing yaitu menang atau kalah.

Kemudian berdasarkan Pasal 131 ayat (1) HIR menyatakan upaya Hakim

untuk mendamaikan adalah bersifat inperatif yakni Hakim wajib berupaya untuk

mendamaikan para pihak yang berperkara, maka oleh karenanya jika Hakim tidak

dapat mendamaikan para pihak harus disebut didalam Berita Acara Sidang. Apabila

didalam berita acara persidangan tidak mencantumkan upaya perdamaian yang

dilakukan oleh Majelis Hakim maka proses pemeriksaan perkara tersebut

mengandung cacat formil dan berakibat pemeriksaan batal demi hukum serta

melanggar tata tertib beracara yang dikualifikasikan undue process.27

27

(27)

Bertitik tolak dari pendekatan strict law, menyatakan : pemeriksaan yang

sama sekali tidak memberi ruang terhadap perdamaian atau lalai mencantumkan

tahap tersebut dalam berita acara, proses pemeriksaan yang dilakukan tidak

memenuhi syarat formil, akibatnya pemeriksaan tidak sah dan batal demi hukum.

Kemudian penyelesaian melalui perdamaian diatur dalam Pasal 6 Perma yang

berbunyi : Hakim berkewajiban mendorong para pihak untuk menyelesaikan perkara

dimaksud melalui perdamaian, baik pada awal persidangan maupun selama

berlangsungnya pemeriksaan perkara.28

Berdasarkan ketentuan Pasal 6 Perma dimaksud, dapat dijelaskan sebagai

berikut :

1. Hakim wajib mendamaikan.

Penerapan kewajiban mendamaikan yang diatur dalam Pasal 6 Perma No. 2

Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, yaitu :

a. Kewenangannya berupa tindakan, yakni mendorong para pihak untuk

menyelesaikan perkara melalui perdamaian, yang mana perdamaian tersebut

diserahkan kepada keinginan para pihak dan Hakim tidak dapat memaksa

para pihak untuk berdamai.

b. Berlangsungnya kewajiban mendorong perdamaian dapat diupayakan Hakim,

mulai dari saat awal persidangan maupun selama proses pemeriksaan

berlangsung sebelum sampai putusan dijatuhkan.

28

(28)

Dengan diterbitkannya Perma No. 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur

Mediasi di Pengadilan yang efektif berlaku mulai sejak 11 September 2003,

memaksakan secara imperatif semua penyelesaian perkara mesti terlebih dahulu

ditempuh melalui proses mediasi, dan apabila proses mediasi gagal, maka proses

litigasi dapat dilanjutkan. 29

2. Perdamaian dituangkan dalam putusan perdamaian

Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 10 Perma No. 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur

Mediasi di Pengadilan, tata cara pemeriksaaan perdamaian yang diatur dalam

Pasal 6 tunduk kepada Pasal 130 HIR, dengan acuan sebagai berikut :

a. Para pihak menyepakati sendiri materi perdamaian.

b. Kesepakatan (agreement) dibuat dan dirumuskan di luar persidangan tanpa

campur tangan Hakim.

c. Persetujuan dituangkan dalam bentuk tertulis dan ditandatangani para pihak

dengan memakai kertas bermaterai.

d. Selanjutnya para pihak meminta kepada Hakim agar terhadap kesempatan itu

dijatuhkan putusan perdamaian. Maka berdasarkan permintaan para pihak,

Hakim menjatuhkan putusan yang memuat Diktum : “Menghukum para pihak

memenuhi dan melaksanakan isi perdamaian”. Putusan demikian disebut

dengan putusan acte van vergelijk atau acte van dading.30

29

Lihat ketentuan Perma No. 2 Tahun 2003 tentang prosedur mediasi di Pengadilan

30

(29)

Putusan perdamaian menurut Pasal 130 HIR dianggap sama dengan putusan

yang berkekuatan hukum tetap, yakni :

1. Tertutup terhadap upaya banding dan kasasi.

2. Langsung final dan mengikat (final and binding) kepada para pihak.

3. Serta langsung melekat padanya kekuatan eksekutorial (executorial kracht)

sehingga apabila tidak dilaksanakan secara sukarela dapat dijalankan eksekusi

melalui Pengadilan Negeri.31

2. Kerangka Konsep

Konseptual adalah merupakan definisi operasional dari berbagai istilah yang

dipergunakan dalam tulisan ini sebagaimana dikemukakan M. Solly Lubis bahwa

kerangka konsep adalah merupakan konsep secara internal pada pembaca yang

mendapat stimulasi dan dorongan konseptual dari bacaan dan tinjauan pustaka.32

Adapun definisi operasional dari berbagai istilah tersebut adalah sebagai

berikut :

Mediasi adalah merupakan bentuk proses penyelesaian sengketa alternatif

atau Alternative Dispute Resolution (ADR) yang merupakan salah satu proses dengan

cara cepat dan biaya murah serta dapat memberikan akses kepada para pihak yang

bersengketa untuk memperoleh keadilan atau penyelesaian yang memuaskan atas

sengketa yang dihadapinya ataupun para pihak yang bersengketa dapat

31

R. Subekti, Arbitrase Perdagangan, (Jakarta : BPHN-Bina Cipta, 1981), h. 160.

32

(30)

mendiskusikan perbedaan-perbedaan di antara para pihak secara pribadi dengan

bantuan pihak ketiga yang netral (mediator).

Perma No. 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan adalah

merupakan suatu peraturan yang dibuat oleh Mahkamah Agung RI tentang prosedur

mediasi di Pengadilan khususnya di Pengadilan Negeri sebagai judex factie yang

mengatur bagaimana tugas dan peran serta kewenangan seorang Hakim tingkat

pertama (judex factie) di Pengadilan sebagai ranah pencari keadilan yang

pertama-tama berupaya untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa melalui proses

mediasi.

G. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipergunakan untuk menjawab permasalahan yang

timbul dalam tesis ini adalah :

1. Spesifikasi dan Pendekatan Penelitian

Sifat penelitian yang digunakan bersifat deskriptif analitis yang bertujuan

menggambarkan permasalahan yang bertujuan untuk membangun dan menguji

hipotesa-hipotesa atau teori-teori33 yang berkaitan dengan Pelaksanaan Mediasi

berdasarkan Perma No. 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

Negeri Medan.

33

(31)

Dalam penelitian tesis digunakan metode pendekatan yuridis normatif yang

dilakukan dengan cara terlebih dahulu meneliti bahan-bahan kepustakaan yang

relevan dengan permasalahan yang diteliti dan mengacu kepada norma-norma hukum

yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, pendapat ahli hukum, dan hakim

Pengadilan Negeri Medan yang pernah menangani mediasi.

2. Sumber Data

Adapun sumber data yang dipergunakan untuk mendukung penelitian ini

adalah data sekunder, yakni diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library

research) yang dilakukan adalah upaya memperoleh data sekunder berupa

norma-norma hukum, undang-undang, pendapat ahli hukum, dokumen-dokumen dan

keterangan atau informasi dari seluruh mediator dan pihak Pengadilan Negeri Medan.

Data sekunder dalam penelitian ini meliputi bahan-bahan hukum seperti bahan

hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Sehingga penulisan

tesis dapat menghasilkan suatu kesimpulan yang diharapkan. Adapun pembagian

bahan hukum primer, sekunder dan tertier terdiri dari :

a. Bahan Hukum Primer

Peraturan perundang–undangan dalam hal ini adalah HIR, RBg, Perma

No. 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, Undang-Undang No.

(32)

b. Bahan Hukum Sekunder

Memberikan penjelasan bahan hukum primer, dalam hal ini hasil

penelitian para ahli, pendapat beberapa ahli hukum yang berkaitan dengan

masalah yang diteliti. Untuk mendapat data yang lebih mendalam dilakukan

dengan cara wawancara (Depth Interview) kepada Ketua Pengadilan Negeri

Medan, mediator, Advokat, para pihak yang pernah menangani mediasi di

Pengadilan Negeri Medan, sehingga menghasilkan wawancara yang relevan

dengan permasalahan yang diteliti.

c. Bahan Hukum Tertier

Bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap

bahan hukum primer dan sekunder, dalam hal ini kamus hukum Ensiklopedia.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah Penelitian Kepustakaan

(Library Research) yang dilakukan untuk memperoleh data sekunder, maka

pengumpulan data ditempuh dengan melakukan penelitian kepustakaan yang

berkaitan dengan mediasi, dengan langkah-langkah sebagai berikut :

a. Menginvetarisir dan menilai peraturan perundang-undangan, karya ilmiah, hasil

penelitian, majalah dan dokumen lainnya yang erat kaitannya dengan masalah

yang diteliti.

b. Menginventarisir dan menilai buku-buku literatur yang pokok pembahasannya

(33)

c. Mengadakan wawancara dengan metode wawancara terstruktur, artinya

pertanyaan diarahkan untuk mendapatkan data objek penelitian yang terdiri dari

variabel mediasi sebagai salah satu penyelesaian sengketa alternatif berdasarkan

Perma No. 2 Tahun 2003 di Pengadilan Negeri Medan, faktor-faktor apa saja

yang menjadi hambatan keberhasilan pelaksanaan Perma No. 2 Tahun 2003 di

Pengadilan Negeri Medan. Maka wawancara terstruktur ditujukan kepada Ketua

Pengadilan Negeri Medan, seluruh Hakim Mediator Hakim Pengadilan Negeri

Medan, Advokat dan para pihak yang pernah berperkara di Pengadilan Negeri

Medan. Untuk keperluan wawancara tersebut Peneliti melalukan

persiapan-persiapan seperti isi wawancara, catatan-catatan hasil wawancara.

4. Alat Pengumpulan Data

Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data sekunder adalah dengan

lebih dahulu mengadakan studi dokumen baik tertulis maupun elektronik (internet)

yang kemudian dilakukan inventarisasi secara sistematis sesuai dengan permasalahan

yang dikemukakan.34 Alat pengumpulan data yang digunakan :

a. Studi Dokumen

Yaitu menemukan azas-azas hukum, Pasal-Pasal, peraturan

Perundang-undangan yang berlaku, teori-teori hukum, doktrin-doktrin hukum, yurisprudensi,

dan hal-hal yang relevan guna menunjang kualitas dan kesempurnaan tesis ini.

34

(34)

b. Wawancara

Wawancara dilakukan dengan narasumber, antara lain : Ketua Pengadilan

Negeri Medan, mediator, advokat dan para pihak yang pernah berperkara di

Pengadilan Negeri Medan, yang bersifat menunjang penelitian kepustakaan yang

juga dimaksudkan untuk menambah kekuranglengkapan data studi kepustakaan.

5. Analisis Data

Analisis data merupakan proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke

dalam pola kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan

dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.

Data primer maupun sekunder dilakukan analisis penelitian dengan analisis

kualitatif, juga dilakukan interpretasi secara logis dan sistematis, selanjutnya

dilakukan penarikan kesimpulan dengan menggunakan logika berpikir secara induktif

– deduktif yang akan membantu penelitian ini dalam taraf konsistensi, serta

konseptual dan prosedur tata cara sebagaimana yang ditetapkan oleh azas-azas hukum

yang berlaku di dalam perundang-undangan yang bertujuan untuk memberikan

gambaran terhadap permasalahan yang akan dijawab.35

35

(35)

BAB II

MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF

PENYELESAIAN SENGKETA

Alternatif penyelesaian sengketa atau secara umum disebut Alternative

Dispute Resolution (ADR) adalah suatu pranata penyelesaian sengketa di luar

Pengadilan atau dengan cara mengesampingkan penyelesaian sengketa secara litigasi

di Pengadilan Negeri.

ADR sebetulnya sudah sejak lama secara informal dilaksanakan dalam

masyarakat Indonesia. Langkah ini konsisten dengan musyawarah dalam Pancasila

yang secara kultur mudah diterima, karena kedua belah pihak yang bersengketa

sama-sama menang (win-win solution).

Alternatif penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan dengan cara

konsultasi, negoisasi, mediasi dan konsiliasi.36 Pada prinsipnya konsultasi merupakan

tindakan yang bersifat personal antara suatu pihak tertentu yang disebut dengan

”klien” dengan pihak lain yang merupakan ”konsultan”, yang memberikan

pendapatnya kepada klien tersebut untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan

kliennya tersebut.37

Negosiasi adalah suatu cara untuk menetapkan keputusan yang dapat

disepakati atau diterima oleh dua belah pihak menyetujui apa dan bagaimana tindakan

36

Ketentuan Pasal 1 Angka 10 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

37

(36)

yang akan dilakukan di masa mendatang. Pengertian negosiasi ini dijelaskan dalam

buku ”Teach Yourself Negotiations”, karangan Phil Bagley.38

Bentuk lain dari alternatif penyelesaian sengketa adalah Arbitrase. Arbitrase

adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang

didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang

bersengketa.39

Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang

bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut

juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum

tertentu dalam hal belum timbul sengketa.40

Berdasarkan pada ketentuan Pasal 3 UU No. 30 Tahun 1999, diketahui bahwa

penyelesaian perselisihan atau sengketa melalui arbitrase memiliki kompetensi

absolut terhadap penyelesaian perselisihan atau sengketa melalui Pengadilan. Ini

berarti bahwa setiap perjanjian yang telah mencantumkam klausula arbitrase atau

suatu perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak, menghapuskan kewenangan

dari Pengadilan untuk menyelesaikan setiap perselisihan atau sengketa yang timbul

dari perjanjian yang memuat klausula arbitrase tersebut atau yang telah timbul

sebelum ditandatanganinya perjanjian arbitrase oleh para pihak.41

38

Negoisasi, Harian Sinar Harapan, (4 April 2002).

39

Ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

40

Ketentuan Pasal 1 angka 8 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

41

(37)

Defenisi dari perjanjian arbitrase yang diberikan dalam UU No. 30 Tahun

1999, dapat dikatakan bahwa pada dasarnya perjanjian arbitrase dapat terwujud dalam

bentuk suatu kesepakatan berupa :

1. Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulilis yang dibuat

para pihak sebelum timbul sengketa, atau

2. Suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat oleh para pihak setelah timbul

sengketa.42

Bentuk yang paling sering dilakukan dari alternatif penyelesaian sengketa

adalah mediasi. Sekarang di mana-mana dijadikan pilihan pertama dalam

penyelesaian pertikaian.43 Mediasi sebetulnya tidak lebih merupakan negoisasi yang

dilakukan dengan dukungan seorang profesional.

A. Pengertian Mediasi

Fenomena pertumbuhan terkait dengan penggunaan mediasi pada tahun

terakhir ini sudah menjadi pembahasan yang penting dalam hal apa sebenarnya yang

termasuk sebagai mediasi dan apa yang bukan sebagai mediasi. Selanjutnya adalah

bagaimana hal tersebut berbeda dengan yang lain terkait dalam penyelesaian

perselisihan alternatif yang sesuai, seperti arbitrase yang mengikat dan yang tidak

mengikat, evaluasi netral dan keputusan Pengadilan. Perbedaan utama antara mediasi

42

Ibid., hal. 99

43

(38)

dan proses lain adalah bahwa dalam mediasi, maka pihak yang berselisih memiliki

kekuasaan dalam pembuatan keputusan.

Jaringan Mediasi Kalifornia Utara, organisasi non-profit yang didirikan pada

tahun 1985 satu organisasi untuk meramalkan pertumbuhan dan perkembangan

program mediasi di masyarakat, sudah melihat penggunaan mediasi, seperti yang

dipraktekkan oleh anggota pusat, berkembang di luar dari proses sederhana terhadap

penyelesaian masalah.44

Untuk mengetahui lebih jauh tentang apa yang dimaksud dengan mediasi,

berikut ini akan diuraikan pengertian dan penjelasan tentang mediasi. Gary Godpaster

mengemukakan mediasi adalah proses negosiasi pemecahan masalah dimana pihak

luar yang tidak memihak (impartial) dan netral bekerja dengan pihak yang

bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian yang

memuaskan. Berbeda dengan Hakim atau arbiter, mediator tidak mempunyai

wwenang untuk memutuskan sengketa antara para pihak. Namun dalam hal ini para

pihak menguasakan kepada mediator untuk membantu mereka menyelesaikan

persoalan-persoalan diantara mereka. Asumsinya bahwa pihak ketiga akan mampu

mengubah kekuatan dan dinamika sosial hubungan konflik dengan cara

mempengaruhi kepercayaan dan tingkah laku pribadi para pihak, dengan memberikan

pengetahuan atau informasi, atau dengan menggunakan proses negosiasi yang lebih

44

(39)

efektif, dan dengan demikian membantu para peserta untuk menyelesaian

persoalan-persoalan yang dipersengketakan.45

Jacqueline M. Nolan Haley, mengemukakan batasan mediasi sebagai berikut : ”mediation is generally understood to be a short-term structured, task-oriented, participatory intervention process. Disputing partties work with a neutral thirt party, the mediator, to reach a mutuallu acceptable agreement. Unlike the udjudication process, where a thirt party intervenor inposes a decision, no such compulsion exist in mediation. It is the parties themselves who shape their agreement”.46

Kimberlee K Kovach merumuskan batasan mediasi adalah :

”Facilited negotiation, it is a proces by which a neutral thirt party , the

mediator, assists disputing parties in reaching a mutually satisfactory

resolution”.47

Mark E Roszkowski, mengemukakan bahwa:

”mediation is a relatively informal process in which a neutral thirt party, the mediator, help to resolve a dispute. In many respect therefore, mediator can be considered as structured negotiation in which the mediator facilitates the process”.48

Selanjutnya, kamus hukum ekonomi ELIPS, mengatakan bahwa : ”Mediasi

salah satu alternatif penyelesaian sengketa di luar Pengadilan dengan menggunakan

jasa seorang mediator atau penengah, sama seperti konsiliasi”.49

45

Gary Goodpaster, Negosiasi dan Mediasi : Sebuah Pedoman Negosiasi dan Penyelesaian Sengketa Melalui Negosiasi, (Jakarta : Elips Project, 1993), h. 201.

46

Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003), h. 80.

47

Ibid.

48

Ibid., h. 81

49

(40)

Dalam Blak’s Law Dictionary dikatakkan bahwa mediasi adalah : ”mediation

is private, informal dispute resolution process in which a neutral thirt person, the

mediator, helps disputing parties to reach an agreement. The mediator has no power

to impose a decision to impose a decision on the parties.50

Menurut Kamus Besar bahasa Indonesia, mediasi adalah proses

pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai

penasehat.51

Menurut John W. Head, mediasi adalah suatu prosedur penengahan di mana

seseorang bertindak sebagai ”kendaraan” untuk berkomunikasi antar para pihak,

sehingga pandangan mereka yang berbeda atas sengketa tersebut dapat dipahami dan

mungkin didamaikan, tetapi tanggung jawab utama tercapainya suatu perdamaian

tetap berada di tangan para pihak sendiri. Dari definisi tersebut, mediator dianggap

sebagai ”kendaraan” bagi para pihak untuk berkomunikasi.52

Christopher W. Moore menyebutkan bahwa mediasi adalah intervensi dalam

sebuah sengketa atau negosiasi oleh pihak ketiga yang bisa diterima pihak yang

bersengketa, bukan merupakan bagian dari kedua belah pihak dan bersifat netral.

Pihak ketiga ini tidak mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan. Dia

bertugas untuk membantu pihak-pihak yang bertikai agar secara sukarela mau

50

Gunawan Widjaja, Loc.cit

51

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2000), h. 726

52

(41)

mencapai kata sepakat yang diterima oleh masing-masing dalam suatu

persengketaan.53

Selanjutnya Rachmadi Usman menyimpulkan bahwa mediasi adalah cara

penyelesaian sengketa di luar Pengadilan melalui perundingan yang melibatkan pihak

ketiga yang bersifat netral (non-intervensi) dan tidak berpihak (impartial) kepada

pihak-pihak yang bersengketa. Pihak ketiga tersebut disebut ”mediator” atau

”penengah”.

Menurut Kamus Hukum, mediasi adalah usaha untuk menyelesaikan

perselisihan hukum melalui partisipasi aktif pihak ketiga (mediator) yang bekerja

untuk menemukan poin kesepakatan dan membuat orang yang menghadapi konflik

menemukan hasil yang baik. Mediasi berbeda dengan arbitrase dalam hal pihak

ketiga (arbitor) bertindak menyerupai Hakim di luar Pengadilan, menyelesaikan

masalah dengan cara tidak begitu formal, namun secara aktif berpartisipasi dalam

pembahasan. Mediasi menjadi hal yang sangat umum dalam berusaha mengatasi

masalah perselisihan hubungan dalam negeri (perceraian, perlindungan anak,

kunjungan) dan sering diperintahkan oleh Hakim. Mediasi juga menjadi lebih sering

dilakukan dalam kontrak dan dalam kasus kerugian sipil. Dalam hal ini ada mediator

profesional atau Hakim yang tidak melakukan mediasi karena biaya substansial,

namun biaya yang dibutuhkan dalam hal ini lebih sedikit daripada upaya yasng

dilakukan di Pengadilan dan dapat mencapai kesepakatan lebih awal dan mengakhiri

53

(42)

kecemasan yang terjadi. Namun demikian, mediasi tidak selalu menghasilkan

perdamaian.54

Ada juga yang mengatakan bahwa mediasi adalah cara yang bersifat sukarela

dan rahasia dalam menyelesaikan perselisihan tanpa memberikan kekuatan untuk

pembuatan keputusan kepada orang lain (seperti seorang Jaksa). Hal ini melibatkan

duduk bersama dengan pihak lain yang berselisih dan pihak ketiga dalam hal ini

adalah netral dan tidak memihak (mediator). Mediator membantu pihak yang ada

untuk mengidentifikasi masalah yang penting dalam perselisihan tersebut dan

memutuskan bagaimana perselisihan dapat diselesaikan dengan baik. Mediator dalam

hal ini tidak mengatakan apa yang perlu dilakukan, atau membuat penilaian mengenai

siapa yang benar dan siapa yang salah. Kendali atas hasil yang ada tetap ada pada

pihak terkait.55

Menurut Perma No. 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan :

”Mediasi adalah penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak

dengan bantuan pihak ketiga”.56

Berdasarkan penjelasan sebagaimana telah diuraikan di atas, mediasi sebagai

salah satu bentuk penyelesaian sengketa, bertujuan untuk membantu para pihak dalam

mencapai kesepakatan yang lebih baik. Perselisihan yang dimaksud mungkin

melibatkan negara, organisasi, masyarakat, individu atau perwakilan lainnya yang

54

Mediation-Definition, versi elektronik dapat dilihat di : http://www.hg.org/mediation-definition.html.

55

Ibid.

56

(43)

mempunyai kepentingan di dalamnya. Mediator menggunakan teknik yang sesuai

dan/atau keahlian dan memperbaiki dialog antara orang yang berselisih, dan bertujuan

untuk membantu pihak-pihak yang berselisih mencapai kesepakatan (dengan hasil

konkrit) terhadap masalah yang diperdebatkan. Biasanya, semua pihak yang ada

harus menganggap mediator sebagai pihak luar. Mediasi dapat digunakan untuk

berbagai perselisihan.

Mediasi memberikan peluang kepada pihak ketiga untuk membahas masalah

yang muncul dalam hal biaya, menghilangkan kesalahpahaman, menentukan masalah

yang ada. Mediator tidak mengatasi beban yang ada atau membuat keputusan

terhadap pihak yang ada, melainkan mediator membantu pihak-pihak terkait untuk

mencapai suatu kesepakatan. Proses mediasi bersifat rahasia. Informasi yang

diungkapkan selama mediasi tidak akan dibeberkan kepada siapapun.

B. Sejarah dan Perkembangan Mediasi

Aktivitas mediasi sudah ada sejak zaman kuno. Ahli sejarah menjelaskan

pertama kali ditemukan dalam kasus dalam perdagangan Phoenician (juga

menggambarkan penggunaan di Babylon). Praktek yang dikembangkan di Yunani

Kuno (yang dikenal dengan nama proxegenator), selanjutnya pada peradaban Roma

(hukum Roma dimulai Justinian’s Digest, 530-533) dikenal adanya mediasi. Orang

(44)

intercessor, philantrophus, interplolator, conciliator, interlocutor, interpres dan

akhirnya mediator.57

Zaman pertengahan memandang mediasi tersebut dengan cara yang berbeda,

dan kadang-kadang melarang praktek tersebut atau membatasi penggunaannya

terhadap otoritas pusat. Beberapa budaya menganggap mediator sebagai figur yang

suci, yang dihormati.

Mediasi berkembang pada abad ke duapuluh dalam arena sekuler di mana hal

tersebut mulai dikenal memiliki peranan. Hukum konsiliasi berhubungan dengan

hubungan industri dan tindakan yang diberlakukan di United Kingdom pada awal

tahun 1896.

Selanjutnya di USA, proses alternatif penyelesaian sengketa (ADR)

diberlakukan sebagai pilihan berawal dari Departemen Buruh AS (didirikan pada

tahun 1913) dengan mengangkat satu panel yang disebut dengan ”komisioner

konsiliasi” untuk mengatasi perselisihan manajemen.58 Komisioner ini menjadi

dijadikan sebagai layanan komisioner AS dan pada tahun 1947 entitas tersebut

menjadi Mediasi Federal dan Layanan Konsiliasi. Beberapa tulisan sebelumnya

dalam ADR menggambarkan pengalaman tenaga kerja dan menggunakannya pada

penyelesaian konflik yang terjadi.

Pada tahun 1926, Asosiasi Arbitrasi Amerika didirikan sebagai layanan

perdagangan untuk penyelesaian masalah dalam sektor swasta. Asosiasi Keluarga dan

57

Mediation, versi elektronik, Op.cit.

58

(45)

Peradilan Konsiliasi didirikan pada tahun 1963 untuk mempromosikan konsiliasi

keluarga sebagai suatu penyelesaian konflik keluarga. Mediasi keluarga menjadi

bagian utama dalam pertumbuhan dan perkembangan ADR yaitu Asosiasi Mediasi

Keluarga dan Akademi Mediator Keluarga.

Quakers memiliki sejarah yang panjang dalam hal mediasi dan arbitrase.

Banyak model mediasi sebelumnya di AS didasarkan atas pekerjaan yang dilakukan

di Quakers. Di kota New York, masyarakat Yahudi mendirikan forum mediasi

sendiri. Imigran Cina mendirikan Masyarakat Benelovent Cina untuk menyelesaikan

masalah perselisihan dalam keluarga dan dalam masyarakat dengan mediasi.

Pada tahun 1980, Kongres AS menyetujui Hukum Penyelesaian Perselisihan

memerintahkan program nasional ADR untuk dicatat oleh Departemen KeHakiman.

Namun, Kongres tidak mengikuti pelaksanaannya dengan mengeluarkan dana yang

perlu untuk pelaksanaannya.

Banyak negara bagian berusaha mendanai program mediasi untuk mengatasi

perselisihan pada banyak situasi termasuk keluarga, lingkungan, kontrak pemerintah

dan bahkan untuk tingkat dasar.

Mediasi di Jepang, ditemukan sedikit pengacara mungkin karena dalam

sejarah mereka banyak mempergunakan mediasi . Para pemimpin desa diharapkan

untuk membantu warganya memecahkan perselisihan yang ada. hal ini dilakukan

untuk menghindari banyaknya tantangan dalam proses litigasi secara formal dan hal

ini merupakan penekanan terhadap penerapan prosedur informal dan mediasi.

(46)

Budaya Barat mengenal tradisi yang sangat lama tentang mediasi.

Gereja-gereja digunakan sebagai tempat perlindunan dan pendeta sering bertindak sebagai

mediator antara pelaku kejahatan dan pihak yang menuntut. Pada zaman pertengahan,

pendeta Kristen dianggap sebagai perantara dalam menyelesaikan perselisihan antara

keluarga dan bahkan dalam perselisihan dalam bentuk diplomatik. Pengadilan

Rabbinikal menggunakan tradisi yang ada untuk menyelesaikan masalah yang timbul.

Budaya Islam memiliki tradisi yang kuat tentang mediasi dan konsiliasi

sebagai pendekatan yang lebih dipilih dalam penggunaan quadis, kerjasama yang

dilakukan untuk mencapai hidup yang harmonis dengan berusaha tetap melakukan

kesepakatan dalam menyelesaikan masalah.

Sejarah mediasi di Cina dan Asia, Confucius percaya bahwa cara terbaik

dalam menyelesaikan masalah perselisihan adalah melalui persuasi moral dan

kesepakatan daripada dengan melakukan koersi. Pada manusia, terdapat suatu

perasaan keharmonisan yang seharusnya tidak diganggu. Perdamaian dan saling

memahami merupakan inti dari filsafatnya. Tradisi Budha mendorong penyelesaian

perselisihan melalui kompromi daripada dengan koersi. Pada budaya ini, litigasi

adalah pilihan terakhir dan ternyata mengakibatkan kerugian pada kedua belah pihak.

Saat sekarang ini, orang-orang Republik Cina masih menekankan pada konsiliasi dan

mediasi yang digunakan dalam penyelesaian perselisihan.

Di Texas, Pengadilan Federal, Distrik dan Daerah berusaha mencari alternatif

atas proses peradilan yang panjang dan jumlah gugatan yang sangat banyak telah

(47)

perselisihan di luar dari lembaga yang ada sudah mendapatkan momentum dan

alternatif penyelesaian sengketa (ADR) memperluas ruang lingkup, kekuasaan,

keuangan dan kepemimpinan.

Konstitusi Texas pada tahun 1845 membicarakan akan pentingnya arbitrasi

untuk perselisihan perselisihan warga. Namun, hal tersebut tidak sampai tahun 1978

di mana Kepala Pengadilan (Mahkamah Agung Texas) Joe R. Greenhill bertemu

dengan Kepala Pengadilan Frank G. Evans (Pengadilan Tingkat Pertama) untuk

membahas bagaimana caranya untuk menguragi proses peradilan yang panjang.

Akhirnya, asosisi bar Houston mendirikan komite ADR dan merekomendasikan

pendanaan dari pemerintah dan sektor swasta untuk Pusat Penyelesaian Perselisihan.

Yang pertama dalam hal ini dibuka oleh Bar Houston dan Harries County pada bulan

Oktober 1980.

Selanjutnya pada tahun yang sama, penyelesaian masalah secara mediasi di

kota Dallas dibuka dan di kota Tarrant didirikan dengan layanan yang sama pada

tahun 1981. Akhirnya, beberapa daerah di Texas membuka pusat layanan setelah

induk di Houston dan Dallas.

Pada tahun 1987, Pengadilan negara bagian merekomendasikan perundangan

baru yang mendukung ADR.

Pertama, amandemen terhadap Undang-undang 2372aa diberlakukan,

menambah biaya iuran sampai dengan $10. Selanjutnya, satu ketentuan yang

(48)

Kembali, pada tahun 1987, Undang-undang pemerintah Texas mensahkan

undang tentang prosedur Penyelesaian sengket alternatif 1987.

Undang-undang ini menjelaskan kebijaksanaan pemerintah dalam pelaksanaan penyelesaian

sengketa secara perdamaian daripada melakukan litigasi. Undang-undang ini juga

menjelaskan bagaimana pelaksanaan penyelesaian sengketa alternatif di Pengadilan

dan menjelaskan syarat pelatihan dan tugas yang sesuai terhadap pihak ketiga yang

netral. Undang-undang ini juga menjamin kerahasiaan materi diskusi

yangdipergunakan oleh pihak yang berselisih dalam prosedur alternatif penyelesaian

sengketa.

(Sebagian Informasi diatas tentang sejarah Texas didasarkan atas materi yang ada

dalam Manual Pelatihan DMS).

Ada banyak persamaan dalam pertumbuhan di dunia, terutama di Australia,

Selandia Baru dan Kanada. Australia memiliki sistem yang kompleks untuk

mengatasi masalah keluarga dan perhubungan . Sistem ini digabungkan dengan

masyarakat banyak sebagai badan komunitas kesehatan mental yang sudah didirikan

di Amerika Serikat. Di United Kingdom, Conciliation and Arbitration Service

didirikan untuk mengatasi perselisihan dalam bidang industri.

Tulisan yang menggambarkan perkembangan ADR antara lain : Laura Nader

dan P.H. Gulliver mulai pada tahun 1969 dan 1973. Antropologis budaya ini

mempelajari ADR dan melakukan penelitian untuk penerapan lanjutan dari prinsip

ini.59

59

(49)

O.J. Coogler pada tahun 1978 menulis struktur mediasi dalam penyelesaian

perceraian, Howard Irving pada tahun 1980 menulis mediasi perceraian, dan John

Haynes pada tahun 1981 menulis Pemecahan Masalah secara komplit. Buku ini

membantu untuk mengembangkan mediasi pada perselisihan keluarga dan

perceraian.60

Martin Deutsch menulis buku yang sangat berpengaruh. Penyelesaian konflik

yang menguji aspek negatif dan positif tentang penyelesaian permasalahan dan

pengaruh pemikiran mediator dan penulis mengenai ADR.

Lon Fuller, Sarjana Hukum Harvard (mulai awal 1963), Frank Sander dan

Roger Fisher (mulai pada pertengahan tujuhpuluhan) sudah membantu dalam

membentuk pemikiran mengenai penggunaan teknik dan prosedur mengenai

penyelesaian perselisihan.61

Mediasi dalam hukum Indonesia pada dasarnya sudah dikenal sejak dulu.

Pasal 130 HIR menentukan agar pada sidang pertama, Hakim terlebih dahulu

mengupayakan perdamaian.

C. Mediasi dan Konsiliasi

Banyak perdebatan yang terfokus pada perbedaan antara konsiliasi dan

mediasi dan tidak ada kesepakatan universal yang muncul. Konsiliasi kadang-kadang

berfungsi sebagai payung yang mencakup semua mediasi dan sebagai fasilitasi dan

60

Ibid.

61

(50)

proses penyelesaian perselisihan. Namun demikian, proses ini tidak menentukan

hasil, dan keduanya berbagi banyak persamaan. Misalnya, kedua proses yang ada

melibatkan pihak ketiga yang netral dan tidak memiliki kekuasaan.62

Satu perbedaan yang penting antara konsiliasi dan mediasi adalah terletak

dalam hal di mana konsiliator memiliki pengetahuan khusus mengenai domain yang

mereka selesaikan. Konsiliator dapat memberikan saran terkait dengan ketentuan

penyelesaian dan dapat memberikan saran untuk masalah yang timbul. Konsiliator

juga dapat menggunakan peranan mereka untuk secara aktif mendorong pihak terkait

mencapai kesepakatan. Hal ini membantu mencapai kesepakatan sesuai dengan

kerangka kerja yang berlaku terhadap penyelesaian tersebut. Dalam hal ini, konsiliasi

mencakup aspek pemberian saran.

Mediasi bekerja secara murni. Praktisi tidak memiliki peran untuk

memberikan saran. Lagipula, mediator berusaha untuk mendapatkan bantuan dari

pihak-pihak yang ada dalam mengembangkan saling memahami terhadap konflik

yang ada dan untuk bekerja dalam mencapai kesepakatan. Kedua mediasi dan

konsiliasi berfungsi untuk mengidentifikasi masalah yang dipermasalahkan, dan

untuk memberikan pilihan yang membantu pihak yang berselisih mencapai

kesepakatan dengan cara yang memuaskan. Mereka keduanya menawarkan proses

yang fleksibel dan penyelesaian yang dicapai adalah atas kesepakatan kedua belah

pihak. Hal ini berbeda dengan litigasi, yang biasanya mengatasi perselisihan sesuai

dengan pihak yang memiliki argumen terkuat.

62

Gambar

Tabel 1. : Jumlah Mediator di Pengadilan Negeri Medan
Tabel 2. : Perkara yang Diselesaikan di Pengadilan Negeri Medan

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan wawancara dengan Syahril, advokat yang menjadi mediator pada perkara perdata di Pengadilan Negeri Medan.. Advokat berpikiran bahwa proses mediasi tidak membawa

Pada hari sidang yang ditentukan dan dihadiri oleh kedua belah pihak yang berperkara, Hakim mewajibkan para pihak agar terlebih dahulu menempuh mediasi. 35 Dalam

Pada hari sidang yang ditentukan dan dihadiri oleh kedua belah pihak yang berperkara, Hakim mewajibkan para pihak agar terlebih dahulu menempuh mediasi. 35 Dalam

Sejak pemberlakuan Perma No.1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi maka proses persidangan perkara perdata diwajibkan kepada para pihak yang berperkara untuk menempuh

Masyarakat dalam hal ini adalah para pihak yang berperkara. Para pihak yang berperkara memberikan andil terhadap berhasil atau tidaknya proses mediasi, karena keberhasilan

1/2008 yang masih memberikan peluang terhadap proses mediasi di tingkat upaya hukum dimana substansi perkara yang dijadikan pokok sengketa oleh para pihak telah

Kecilnya angka perkara yang masuk ke proses mediasi disebabkan ketidakhadiran para pihak dalam proses mediasi. Selain itu, banyak perkara yang diputus secara verstek. Baik

Pada hari sidang yang ditentukan dan dihadiri oleh kedua belah pihak yang berperkara, Hakim mewajibkan para pihak agar terlebih dahulu menempuh mediasi. 35 Dalam