HUBUNGAN
EMOTION COACHING
DENGAN KECERDASAN
EMOSI PADA MASA KANAK-KANAK TENGAH
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi
Oleh
DEWI CHRISTIANTY
061301068
FAKULTAS PSIKOLOGI
SKRIPSI
HUBUNGAN EMOTION COACHING DENGAN KECERDASAN EMOSI
PADA MASA KANAK-KANAK TENGAH
Dipersiapkan dan disusun oleh:
DEWI CHRISTIANTY
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji
Pada tanggal 10 Juni2010
Mengesahkan, Dekan Fakultas Psikologi
Prof. Dr. Chairul Yoel, Sp. A(K) NIP. 195005041977061001
Tim Penguji
1. Dr. Wiwik Sulistyaningsih Penguji I
NIP. 196501122000032001 Merangkap pembimbing
2. Elvi Andriani Yusuf M.Si Penguji II
NIP. 196405232000032001
3. Liza Marini, M.Psi Penguji III
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul :
Hubungan Emotion Coaching dengan Kecerdasan Emosi Pada
Masa Kanak-Kanak Tengah
adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.
Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.
Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera
Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Medan, Juni 2010
Hubungan Emotion Coaching dengan Kecerdasan Emosi Pada Masa Kanak-Kanak Tengah
Dewi Christianty dan Wiwik Sulistyaningsih
ABSTRAK
Emotion Coaching merupakan suatu proses dimana orangtua memberikan pelatihan emosi kepada anak. Orangtua dapat membantu mengembangkan kecerdasan emosi anak dengan memberikan emotion coaching. Pada umumnya karakteristik orangtua dapat dikategorikan menjadi dua jenis yaitu orangtua yang mampu berperan sebagai pelatih emosi (emotion coaches) yang baik dan orangtua yang kurang mampu berperan sebagai pelatih emosi (emotion coaches) yang baik. Adanya perbedaan kemampuan orangtua dalam memberikan emotion coaching
dapat menyebabkan adanya perbedaan dalam kecerdasan emosi anak. Menurut Gottman dan DeClaire, emotion coaching sebaiknya diberikan pada masa kanak-kanak awal yaitu antara usia empat sampai tujuh tahun sebab pada masa ini anak mulai membentuk hubungan sosial dengan teman sebayanya dan anak dapat mengembangkan ketrampilan mengatur emosinya ketika berinteraksi dengan teman sebayanya. Di dalam penelitian ini emotion coaching akan dilihat pada masa kanak-kanak akhir sebab pada masa kanak-kanak awal anak masih berada pada tahapan awal emotion coaching diberikan. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah terdapat hubungan antara emotion coaching yang dilakukan oleh orangtua dengan perkembangan kecerdasan emosi anak pada masa kanak-kanak tengah.
Penelitian ini merupakan penelitian korelasional. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik incidental sampling.
Sampel dalam penelitian ini adalah anak usia 8-12 tahun beserta ibu dari anak. Data penelitian ini diperoleh dari dua jenis skala yaitu skala emotion coaching
yang diberikan kepada ibu dan skala kecerdasan emosi yang diberikan kepada anak.
Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan t-test untuk 2 sampel independen. Berdasarkan hasil pengolahan data, diperoleh bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara emotion coaching yang diberikan oleh orangtua dengan kecerdasan emosi anak yakni r = 0.741 yang memiliki makna bahwa peranan emotion coaching terhadap kecerdasan emosi adalah sebesar 74,1%, sedangkan sisanya yang sebesar 25,9 % dipengaruhi oleh faktor-faktor lain.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan berkat-Nya maka penulis masih diberikan kesempatan dan
waktu sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Hubungan
Emotion Coaching dengan Kecerdasan Emosi Pada Masa Kanak-kanak Tengah”. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai
pihak, sangat sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesa-besarnya kepada kedua orangtua
yang telah memberikan dukungan sepenuhnya dalam menyelesaikan skripsi ini. Selain itu, pada kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Chairul, Sp. A(K) selaku Dekan Fakultas Psikologi.
2. Ibu Dr. Wiwik Sulistyaningsih selaku Dosen Pembimbing skripsi yang telah
bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
3. Ibu Elvi Andriani Yusuf M.Si selaku Dosen Penguji skripsi yang telah
bersedia meluangkan waktunya untuk menguji skripsi ini.
4. Ibu Liza Marini, M.Psi selaku Dosen Penguji skripsi yang telah bersedia
5. Kepala Sekolah SD SUTOMO 2 Medan yang telah memberikan izin kepada penulis untuk mengambil data penelitian yang dipergunakan untuk
melengkapi data skripsi ini.
6. Guru-guru serta pihak administrasi SD SUTOMO 2 Medan yang telah membantu dalam proses pengambilan data serta memberikan dukungan
kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.
7. Seluruh dosen di Fakultas Psikologi USU yang telah memberikan ilmu, wawasan dan pengetahuan yang sangat berharga kepada penulis, dan seluruh
pegawai di Fakultas Psikologi USU yang setia membantu penulis menyediakan
segala keperluan selama perkuliahan, khususnya dalam penelitian ini.
8. Seluruh pegawai di Fakultas Psikologi USU yang telah bersedia membantu penulis menyediakan segala keperluan selama perkuliahan, khususnya dalam
proses pengerjaan skripsi ini.
9. Senior angkatan 2004 dan 2005 yang telah bersedia memberikan saran dan kritik kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
10.Teman-teman angkatan 2006 yang telah bersedia memberikan saran dan
kritik kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
12.Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah banyak memberikan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, karena itu
penulis terbuka untuk menerima semua saran dan kritik demi tercapainya penulisan
yang lebih baik lagi. Akhir kata, penulis berharap kiranya skripsi ini dapat
memberikan manfaat bagi berbagai pihak.
Medan, Juni 2010
DAFTAR ISI
COVER HALAMAN DEPAN……… i
LEMBAR PENGESAHAN………. ii
LEMBAR PERNYATAAN……… iii
ABSTRAK……….. iv
KATA PENGANTAR………. v
DAFTAR ISI………... viii
DAFTAR TABEL………... xii
DAFTAR DIAGRAM……… xiv
DAFTAR LAMPIRAN……….. xv
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………...……….. 1
B. Perumusan Masalah... 9
C. Tujuan Penelitian... 9
D. Manfaat Penelitian... 9
BAB II. LANDASAN TEORI
A. Kecerdasan Emosi………...……… 12
1. Definisi Kecerdasan Emosi………... 12
2. Aspek-aspek Kecerdasan Emosi……… 15
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosi…...… 19
4. Ciri-ciri Kecerdasan Emosi Tinggi dan Rendah………….…. 21
B. Emotion Coaching………..……… 22
1. Definisi Emotion Coaching……….. 22
2. Langkah-langkah dalam Emotion Coaching……….... 23
C. Perkembangan Emosi pada Masa Kanak-Kanak Tengah……...… 28
D. Hubungan antara Emotion Coaching dengan Kecerdasan Emosi Anak……….……….. 31
E. Hipotesis….……… 33
BAB III. METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel Penelitian………...………… 34
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian………...…. 35
C. Populasi Dan Metode Pengambilan Sampel………... 37
1. Populasi dan Sampel………. 37
2. Metode Pengambilan Sampel……… 38 3. Jumlah Sampel Penelitian………. 38
D. Alat Ukur Penelitian………...…… 39
2. Skala Kecerdasan Emosi……….. 42
E. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur………... 44
1. Uji Validitas………..……… 45
2. Uji Daya Beda Aitem………... 45
3. Uji Reliabilitas……….. 46
F. Hasil Uji Coba Alat Ukur………... 47
1. Skala Emotion Coaching……….. 48
2. Skala Kecerdasan Emosi………... 51
G. Prosedur Pelaksanaan Penelitian……… 41
1. Tahap Persiapan Penelitian……….. 42
2. Tahap Pelaksanaan Penelitian……….. 55
3. Tahap Pengolahan Data………... 55
H. Metode Analisa Data………... 55
1. Uji Normalitas……….. 56
2. Uji Linearitas……… 56
BAB IV. ANALISA DAN INTERPRETASI DATA A. Gambaran Umum Subjek Penelitian……….. 57
B. Hasil Penelitian……….. 64
1. Hasil Uji Asumsi……….. 64
2. Hasil Utama Penelitian………. 66
BAB V. KESIMPULAN
A. Kesimpulan………. 75
B. Saran………... 76
DAFTAR PUSTAKA………. 78
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Cara Penilaian Skala Emotion Coaching... 41
Tabel 2. Distribusi Aitem-aitem Skala Emotion Coaching……….. 41
Tabel 3. Cara Penilaian Skala Kecerdasan Emosi... 43
Tabel 4. Distribusi Aitem-aitem Skala Kecerdasan Emosi... 43
Tabel 5. Distribusi Aitem-Aitem Skala Emotion Coaching Sebelum Uji Coba... 49
Tabel 6. Distribusi Aitem-Aitem Skala Emotion Coaching Setelah Uji Coba... 50
Tabel 7. Distribusi Aitem-Aitem Skala Kecerdasan Emosi Sebelum Uji Coba... 52
Tabel 8. Distribusi Aitem-Aitem Skala Kecerdasan Emosi Setelah Uji Coba... 53
Tabel 9. Gambaran Orangtua Anak Berdasarkan Usia... 57
Tabel 10. Gambaran Orangtua Anak Berdasarkan Pekerjaan... 59
Tabel 11. Gambaran Orangtua Anak Berdasarkan Pendidikan... 60
Tabel 12. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia... 61
Tabel 13. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin... 62
Tabel 14. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Urutan Kelahiran... 63
Tabel 15. Hasil Uji Normalitas... 64
Tabel 17. Uji Korelasi Dengan Menggunakan Analisa Regresi... 67 Tabel 18. Deskripsi Umum Skor Maksimum, Minimum, Mean dan Standar
Deviasi Emotion Coaching... 68 Tabel 19. Kategorisasi Norma Skor Emotion Coaching... 69
Tabel 20. Penggolongan Emotion Coaching Berdasarkan Skor Skala
Emotion Coaching... 69 Tabel 21. Deskripsi Subjek Penelitian (Ibu) berdasarkan Usia, Pekerjaan
dan Pendidikan... 71 Tabel 22. Deskripsi Umum Skor Maksimum, Minimum, Mean¸dan Standar
Deviasi Emotional Inteligence... 72
Tabel 23. Kategorisasi Norma Skor Kecerdasan Emosi... 72 Tabel 24. Penggolongan Kecerdasan Emosi Berdasarkan Skor Skala
DAFTAR DIAGRAM
Diagram 1. Gambaran Orangtua Anak Berdasarkan Usia... 58
Diagram 2. Gambaran Orangtua Anak Berdasarkan Pekerjaan……… 59
Diagram 3. Gambaran Orangtua Anak Berdasarkan Pendidikan... 60
Diagram 4. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia... 61
Diagram 5. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin... 62
Diagram 6. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Urutan Kelahiran... 63
Diagram 7. Penggolongan Emotion Coaching Berdasarkan Skor Skala Emotion Coaching...70
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Skala Tryout Emotion Coaching……… 81
Lampiran 2. Skala Tryout Kecerdasan Emosi………. 88
Lampiran 3. Hasil Analisa Tryout Skala Emotion Coaching……….. 94
Lampiran 4. Hasil Analisa Tryout Skala Kecerdasan Emosi……….. 98
Lampiran 5. Skala Penelitian Emotion Coaching………101
Lampiran 6. Skala Penelitian Kecerdasan Emosi……… 107
Lampiran 7. Hasil Analisa Penelitian……….. 113
Lampiran 8. Data Emotion Coaching……….. 116
Hubungan Emotion Coaching dengan Kecerdasan Emosi Pada Masa Kanak-Kanak Tengah
Dewi Christianty dan Wiwik Sulistyaningsih
ABSTRAK
Emotion Coaching merupakan suatu proses dimana orangtua memberikan pelatihan emosi kepada anak. Orangtua dapat membantu mengembangkan kecerdasan emosi anak dengan memberikan emotion coaching. Pada umumnya karakteristik orangtua dapat dikategorikan menjadi dua jenis yaitu orangtua yang mampu berperan sebagai pelatih emosi (emotion coaches) yang baik dan orangtua yang kurang mampu berperan sebagai pelatih emosi (emotion coaches) yang baik. Adanya perbedaan kemampuan orangtua dalam memberikan emotion coaching
dapat menyebabkan adanya perbedaan dalam kecerdasan emosi anak. Menurut Gottman dan DeClaire, emotion coaching sebaiknya diberikan pada masa kanak-kanak awal yaitu antara usia empat sampai tujuh tahun sebab pada masa ini anak mulai membentuk hubungan sosial dengan teman sebayanya dan anak dapat mengembangkan ketrampilan mengatur emosinya ketika berinteraksi dengan teman sebayanya. Di dalam penelitian ini emotion coaching akan dilihat pada masa kanak-kanak akhir sebab pada masa kanak-kanak awal anak masih berada pada tahapan awal emotion coaching diberikan. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah terdapat hubungan antara emotion coaching yang dilakukan oleh orangtua dengan perkembangan kecerdasan emosi anak pada masa kanak-kanak tengah.
Penelitian ini merupakan penelitian korelasional. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik incidental sampling.
Sampel dalam penelitian ini adalah anak usia 8-12 tahun beserta ibu dari anak. Data penelitian ini diperoleh dari dua jenis skala yaitu skala emotion coaching
yang diberikan kepada ibu dan skala kecerdasan emosi yang diberikan kepada anak.
Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan t-test untuk 2 sampel independen. Berdasarkan hasil pengolahan data, diperoleh bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara emotion coaching yang diberikan oleh orangtua dengan kecerdasan emosi anak yakni r = 0.741 yang memiliki makna bahwa peranan emotion coaching terhadap kecerdasan emosi adalah sebesar 74,1%, sedangkan sisanya yang sebesar 25,9 % dipengaruhi oleh faktor-faktor lain.
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Pada umumnya yang dimaksud dengan anak cerdas adalah anak yang memiliki kemampuan intelektual di atas rata-rata atau anak yang memperoleh
nilai akademis yang memuaskan. Sekarang ini banyak ditemukan lembaga-lembaga bimbingan atau les privat yang diikuti para pelajar untuk mengejar
nilai-nilai akademik dengan kategori memuaskan agar dapat diterima di sekolah-sekolah favorit. Mayoritas masyarakat beranggapan bahwa anak yang diterima di sekolah favorit adalah anak yang cerdas dan memenuhi standar
sesuai dengan ketentuan lembaga sekolah. Fenomena yang ditemui sekarang ini yaitu mayoritas sekolah favorit di perkotaan baik negeri maupun swasta
mengadakan tes untuk menyeleksi anak cerdas sesuai dengan ketentuan lembaga sekolah. Melalui prasyarat-prasyarat itu, seolah-olah diprediksikan bahwa anak yang cerdas akan berhasil baik dalam studi maupun karir di
kemudian hari. Walaupun prediksi tersebut dijadikan sebagai tolok ukur anak cerdas namun pada kenyataannya ada juga pelajar yang gagal di tengah studi
dan masyarakat masih berpandangan bahwa anak yang diterima di sekolah favorit adalah anak yang cerdas (Zulfiah, 2009).
Fenomena lain misalnya ada mantan mahasiswa yang selalu masuk dalam peringkat 3 besar sewaktu kuliah dan lulus dengan predikat cum laude
ternyata gagal dalam karir pekerjaannya. Sebaliknya seseorang yang bahkan berpendidikan SMP saja tidak lulus dapat menjadi seorang pengusaha alat berat yang berhasil. Dari kedua fenomena di atas dapat disimpulkan bahwa
kecerdasan otak atau IQ (Intelligence Quotient) bukanlah faktor utama yang menentukan keberhasilan hidup seseorang (Martin, 2003). IQ hanya
menyumbang paling banyak 20% kesuksesan dalam hidup seseorang sedangkan 80% ditentukan oleh faktor lain (Goleman, 1995).
Selama ini pandangan umum terhadap kecerdasan manusia terlalu
sempit yakni masyarakat berpandangan bahwa IQ merupakan potensi kecerdasan manusia yang paling penting dan mengabaikan serangkaian
potensi lain yang berpengaruh dalam menentukan keberhasilan hidup seseorang. Goleman (1995) mengemukakan faktor-faktor yang terkait mengapa orang yang memiliki IQ tinggi gagal dan orang yang memiliki IQ
rata-rata menjadi sangat sukses. Faktor-faktor ini mengacu pada suatu cara
lain untuk menjadi cerdas yang disebut dengan “kecerdasan emosional” atau
EI (Emotional Intelligence) (Goleman, 1995).
Goleman (1995) mendefinisikan kecerdasan emosi (EI) sebagai kemampuan individu untuk menyadari emosinya, mengendalikan emosi,
bersosialisasi. Kecerdasan emosi lebih dapat dijadikan acuan untuk memprediksi apakah seorang individu kelak menjadi sukses atau tidak.
Berbeda dengan IQ yang telah ditentukan sejak lahir, kecerdasan emosi yang baik dapat dipelajari dan diraih sejalan dengan pertumbuhan dan
perkembangan individu (Goleman, 1995).
Kecerdasan emosi penting untuk dikembangkan dalam diri setiap individu terutama pada anak yang cerdas (Zulfiah, 2009). Hal ini disebabkan
oleh adanya fenomena bahwa jika anak yang cerdas di sekolah dan memiliki prestasi akademik yang bagus tidak dapat mengelola emosinya dengan baik,
maka prestasi akademiknya yang bagus tidak akan banyak bermanfaat bagi dirinya sendiri. Oleh sebab itu kecerdasan emosional perlu lebih dihargai dan dikembangkan pada anak sejak usia dini (Goleman, 1999).
Kecerdasan emosi dapat dipelajari dan guru pertama yang dapat mengajarkan mengenai emosi kepada anak adalah orangtua. Pola asuh
orangtua dalam keluarga sangat penting bagi setiap anak karena pengaruhnya sangat besar pada kehidupan anak di kemudian hari. Pola asuh yang keliru dapat menjadikan anak bermasalah (Gottman & DeClaire, 1997). Hal ini
sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa pola asuh orangtua
(parenting style) memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan anak
atau kehangatan, dan sebagainya dapat berakibat mendalam dan permanen bagi kehidupan emosional anak (Goleman, 1995).
Gottman dan DeClaire (1997) mengemukakan bahwa orangtua dapat
membantu mengembangkan kecerdasan emosi anak dengan memberikan pelatihan emosi pada anak yang disebut dengan istilah “emotion coaching”.
Emotion coaching merupakan suatu proses dimana orangtua dengan aktif
mendengarkan ungkapan perasaan anaknya, menerima perasaan anaknya serta memberikan bimbingan, batasan perilaku, dan membantu anak menyelesaikan
permasalahannya agar anak dapat belajar bagaimana mengendalikan perasaan atau emosi yang dirasakannya dengan cara yang benar (Gottman & DeClaire, 1997).
Pembelajaran emosi yang dapat diberikan orangtua bukan hanya melalui hal-hal yang diucapkan dan dilakukan oleh orangtua secara langsung
kepada anak-anaknya melainkan juga melalui contoh-contoh yang mereka berikan ketika menangani perasaan mereka sendiri atau perasaan yang biasa muncul antara suami dan istri. Dewasa ini hasil penelitian menunjukkan
bahwa mempunyai orangtua yang cerdas secara emosional merupakan keuntungan yang besar sekali bagi anak. Cara-cara yang digunakan pasangan
peka terhadap transisi emosi yang paling halus dalam keluarga (Goleman, 1995).
Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa sikap, pengasuhan dan
kondisi orangtua baik secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi kemampuan pengendalian emosi anak. Eisenberg dkk. (dalam Sarwono, 2007) menemukan bahwa perilaku emosional orangtua berpengaruh
pada perilaku pengendalian diri anak (Sarwono, 2007).
Penelitian lain yang dilakukan oleh Shields (dalam Sarwono, 2007)
menunjukkan bahwa anak-anak yang diperlakukan tidak baik (maltreated) lebih menunjukkan perilaku sulit menyesuaikan diri (maladaptive) daripada anak-anak yang diperlakukan dengan baik. Perilaku maladaptive yang
dimaksud adalah ketidakmampuan mengendalikan amarah dan tidak mau berteman sedangkan perilaku yang adaptive adalah perilaku prososial dan
suka berteman. Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa perlakuan orangtua pada anak mempengaruhi perilaku adaptasi anak (Sarwono, 2007).
Penelitian yang dilakukan oleh Chang di Cina (dalam Sarwono, 2007)
menunjukkan bahwa perlakuan kasar dari orangtua berpengaruh secara langsung atau tidak langsung pada pengendalian emosi anak dan
mempengaruhi agresivitas anak di sekolah. Perlakuan kasar dari ibu lebih mempengaruhi pengendalian emosi anak sedangkan perlakuan kasar ayah lebih mempengaruhi agresivitas anak. Perlakuan kasar ayah juga lebih
Dari beberapa hasil penelitian yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa perlakuan atau pola asuh yang diterapkan orangtua kepada anaknya
berpengaruh terhadap pengendalian emosi atau kecerdasan emosi anak. Oleh sebab itu orangtua dapat membantu mengembangkan kecerdasan emosi anak dengan memberikan emotion coaching. Anak dapat memiliki kemampuan
untuk mencintai dan menghargai orang lain, anak dapat merasa nyaman dengan perasaannya sendiri dan anak dapat belajar untuk mengungkapkan
emosinya dengan cara yang benar (Goleman, 1995).
Gottman dan DeClaire (1997) mengemukakan bahwa tidak semua orangtua mampu berperan sebagai guru emosi yang baik. Ada orangtua yang
berbakat menjadi guru emosi yang baik dan ada orangtua yang tidak berbakat menjadi guru emosi yang baik. Pada umumnya karakteristik orangtua dapat
dikategorikan menjadi dua jenis yaitu orangtua yang mampu berperan sebagai pelatih emosi (emotion coaches) yang baik dan orangtua yang kurang mampu berperan sebagai pelatih emosi (emotion coaches) yang baik. Orangtua yang
mampu berperan sebagai pelatih emosi (emotion coaches) yang baik disebut dengan istilah “Emotion Coaches” (Gottman & DeClaire, 1997). Dalam hal
ini orangtua mengajarkan kepada anaknya bagaimana strategi yang tepat dalam menghadapi kehidupan yang tidak konsisten. Orangtua tidak menolak ataupun mengabaikan kemarahan, kesedihan dan ketakutan anaknya. Orangtua
mengajarkan kepada anaknya pelajaran yang dapat diperoleh dari situasi tersebut serta membentuk hubungan yang lebih dekat dengan anaknya
(Gottman & DeClaire, 1997).
Sebaliknya orangtua yang kurang mampu berperan sebagai emotion coaches yang baik dapat dikategorikan sebagai (1) Dismissing parents yaitu
orangtua yang mengabaikan dan tidak memperdulikan emosi negatif anak, (2) Disapproving parents yaitu orangtua yang tidak suka anaknya
mengungkapkan emosi negatif dan akan memberikan hukuman kepada anaknya apabila mereka mengungkapkan emosi negatif tersebut, dan
(3) Laissez-faire parents yaitu orangtua yang menerima emosi negatif anaknya tetapi tidak memberikan bimbingan bagaimana cara mengendalikan emosi negatif tersebut (Gottman & DeClaire, 1997).
Gottman dan DeClaire (1997) mengemukakan lima langkah dalam
emotion coaching yang umumnya digunakan oleh orangtua untuk
meningkatkan kecerdasan emosi anak yaitu (1) Menyadari emosi diri sendiri dan emosi anak (Awareness), (2) Menerima emosi anak sebagai peluang untuk lebih dekat dengan mereka dan mengajarkan kepada mereka bagaimana cara
mengatasi emosi mereka (Acceptance), (3) Mendengarkan dengan empati dan pengertian (Empathy), (4) Membantu anak memberi label pada emosi yang
Orangtua memiliki peluang yang besar untuk mengembangkan
kecerdasan emosi anak dengan memberikan emotion coaching sejak dini (Gottman & DeClaire, 1997). Emotion coaching sebaiknya diberikan pada
masa kanak-kanak awal yaitu antara usia empat sampai tujuh tahun sebab pada masa ini anak mulai membentuk hubungan sosial dengan teman sebayanya dan anak dapat mengembangkan ketrampilan mengatur emosinya ketika
berinteraksi dengan teman sebayanya (Gottman & DeClaire, 1997). Hal ini sesuai dengan penelitian Gottman dan DeClaire (1997) yang menunjukkan
bahwa anak yang berhasil mengendalikan emosinya ketika berhubungan dengan kelompok sosialnya pada masa kanak-kanak tengah yaitu antara usia delapan sampai dua belas tahun adalah anak yang telah belajar mengendalikan
emosinya pada masa kanak-kanak awal melalui emotion coaching.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa emotion coaching
yang diberikan oleh orangtua mempengaruhi kecerdasan emosi anak. Setiap orangtua memiliki tingkat kecerdasan emosi yang berbeda sehingga hal ini menyebabkan adanya perbedaan dalam kemampuan melatih emosi anaknya.
Orangtua yang memiliki kecerdasan emosi tinggi mampu berperan sebagai
emotion coaches yang baik bagi anak dan sebaliknya orangtua yang memiliki
kecerdasan emosi rendah kurang mampu berperan sebagai emotion coaches
yang baik bagi anaknya. Di dalam penelitian ini emotion coaching akan dilihat pada masa kanak-kanak akhir sebab pada masa kanak-kanak awal anak masih
ingin meneliti hubungan antara emotion coaching yang dilakukan oleh orangtua dengan perkembangan kecerdasan emosi anak pada masa
kanak-kanak tengah.
B. PERUMUSAN MASALAH
Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah terdapat hubungan antara emotion coaching yang dilakukan oleh orangtua dengan
perkembangan kecerdasan emosi anak.
C. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bermaksud untuk mendapatkan data secara langsung mengenai hubungan antara emotion coaching yang dilakukan oleh orangtua
dengan perkembangan kecerdasan emosi anak. Data yang diperoleh nantinya akan digunakan dan diolah untuk menjawab perumusan masalah yang
diajukan dalam penelitian ini.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi
2. Manfaat Praktis
1. Memberikan informasi berupa data konkrit mengenai hubungan
emotion coaching yang diberikan orangtua terhadap perkembangan kecerdasan emosi anak kepada praktisi perkembangan anak, dokter
anak, pekerja sosial, organisasi LSM, akademisi dan pihak-pihak
lainnya yang berkepentingan dengan masalah perkembangan anak.
2. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat memberikan pemahaman kepada para akademisi lainnya bahwa masalah emotion coaching
merupakan masalah yang penting untuk diperhatikan dan penelitian ini
dapat bermanfaat sebagai sumber informasi penting untuk penelitian selanjutnya.
E. SISTEMATIKA PENULISAN
Adapun sistematika penulisan yang disusun dalam penelitian ini adalah: Bab I Pendahuluan
Bab ini menjelaskan latar belakang masalah penelitian, perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.
Bab II Landasan Teori
Bab ini berisikan landasan teori mengenai kecerdasan emosi,
tengah, hubungan antara emotion coaching dengan kecerdasan emosi anak, dan hipotesis penelitian.
Bab III Metode Penelitian
Bab ini berisi identifikasi variabel penelitian, definisi operasional,
populasi dan metode pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, validitas dan reliabilitas alat ukur, hasil uji coba alat ukur, prosedur penelitian, dan metode analisa data.
Bab IV Analisa dan Interpretasi Data Penelitian
Bab ini berisi tentang pengolahan data penelitian, gambaran umum
subjek penelitian, dan hasil penelitian. Bab V Kesimpulan, Diskusi, dan Saran
Bab ini berisi kesimpulan yang diperoleh dari penelitian, hasil
penelitian, serta saran-saran yang diperlukan, baik untuk penyempurnaan penelitian ataupun untuk penelitian-penelitian
BAB II
LANDASAN TEORI
A. KECERDASAN EMOSI
a. Definisi Kecerdasan Emosi
Istilah “kecerdasan emosi” pertama kali dilontarkan pada tahun 1990
oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari
University of New Hampshire untuk menerangkan kualitas-kualitas emosi
yang tampaknya penting bagi keberhasilan. Salovey dan Mayer
mendefinisikan kecerdasan emosional atau yang sering disebut Emotional Intelligence (EI) sebagai himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang
melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial yang melibatkan
kemampuan pada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan
informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan. Kecerdasan emosi
sangat dipengaruhi oleh lingkungan, tidak bersifat menetap, dan dapat
berubah-ubah setiap saat. Untuk itu peranan lingkungan terutama orang tua
pada masa kanak-kanak sangat mempengaruhi dalam pembentukan
kecerdasan emosi (Shapiro, 1998).
Keterampilan EI bukanlah lawan keterampilan IQ atau keterampilan
kognitif, namun keduanya berinteraksi secara dinamis, baik pada tingkatan
konseptual maupun di dunia nyata. Selain itu, EI tidak begitu dipengaruhi
oleh faktor keturunan (Shapiro, 1998). Gardner dalam bukunya yang berjudul
Frame Of Mind (Goleman, 2000) mengatakan bahwa bukan hanya satu jenis
melainkan ada spektrum kecerdasan yang lebar dengan tujuh varietas utama
yaitu linguistik, matematika/logika, spasial, kinestetik, musik, interpersonal
dan intrapersonal. Kecerdasan ini dinamakan oleh Gardner sebagai
kecerdasan pribadi yang oleh Daniel Goleman disebut sebagai kecerdasan
emosi (Goleman, 2000).
Berdasarkan kecerdasan yang dinyatakan oleh Gardner tersebut,
Salovey (dalam Goleman, 2000) memilih kecerdasan interpersonal dan
kecerdasan intrapersonal untuk dijadikan sebagai dasar untuk mengungkap
kecerdasan emosi pada diri individu. Menurut Salovey (dalam Goleman,
2000), kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang untuk mengenali
emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang
lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan
orang lain.
Menurut Cooper dan Sawaf (1999) kecerdasan emosi adalah
kemampuan merasakan, memahami dan secara efektif menerapkan daya dan
kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koreksi dan pengaruh yang
manusiawi. Kecerdasan emosi menuntut penilikan perasaan untuk belajar
mengakui, menghargai perasaan pada diri dan orang lain serta menanggapinya
dengan tepat, menerapkan secara efektif energi emosi dalam kehidupan
sehari-hari. Kecerdasan emosi juga merupakan kemampuan untuk
menggunakan emosi secara efektif untuk mencapai tujuan yang produktif dan
meraih keberhasilan (Setyawan, 2005).
Goleman (1997) mendefinisikan bahwa kecerdasan emosi adalah
kemampuan untuk dapat memotivasi diri sendiri, bertahan menghadapi
frustasi, mengendalikan impulsive needs atau dorongan hati, tidak melebih-lebihkan kesenangan maupun kesusahan, mampu mengatur reactive needs,
menjaga agar bebas stress, tidak melumpuhkan kemampuan berpikir dan
kemampuan untuk berempati pada orang lain, serta adanya prinsip berusaha
sambil berdoa (Goleman, 1997).
Goleman menambahkan kecerdasan emosi merupakan sisi lain dari
kecerdasan kognitif yang berperan dalam aktivitas manusia yang meliputi
kesadaran diri dan kendali dorongan hati, ketekunan, semangat dan motivasi
diri serta empati dan kecakapan sosial. Kecerdasan emosi lebih ditujukan
kepada upaya mengenali, memahami dan mewujudkan emosi dalam porsi
yang tepat dan upaya untuk mengelola emosi agar terkendali dan dapat
dimanfaatkan untuk memecahkan masalah kehidupan terutama yang terkait
dengan hubungan antar manusia (Goleman, 1997).
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa kecerdasan
emosi adalah kemampuan yang menuntut diri sendiri untuk belajar mengakui
dan menghargai perasaan diri sendiri dan orang lain serta menanggapinya
dengan tepat, menerapkan emosi dengan efektif dalam kehidupan dan
pekerjaan sehari-hari, serta merupakan kemampuan seseorang untuk
mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali
emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan
b. Aspek-aspek kecerdasan emosi
Goleman (dalam Salovey, 2002) mengemukakan lima aspek
kecerdasan emosi yaitu:
(a) Mengenali emosi diri. Mengenali emosi diri sendiri merupakan
suatu kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi.
Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan emosi, para ahli psikologi
menyebutkan kesadaran diri sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang
akan emosinya sendiri. Menurut Mayer (Goleman, 2002) kesadaran diri
adalah waspada terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati,
bila kurang waspada maka individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi
dan dikuasai oleh emosi. Kesadaran diri memang belum menjamin
penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting untuk
mengendalikan emosi sehingga individu lebih mudah menguasai emosi.
(b) Mengelola emosi. Mengelola emosi merupakan kemampuan
individu dalam menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau
selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu. Menjaga agar
emosi yang merisaukan tetap terkendali merupakan kunci menuju
kesejahteraan emosi. Emosi berlebihan, yang meningkat dengan intensitas
terlampau lama akan mengoyak kestabilan kita (Goleman, 2002).
Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk menghibur diri sendiri,
melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat
yang ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan
(c) Memotivasi diri sendiri. Setiap individu harus memiliki motivasi
dalam dirinya, yang berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap
kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan
motivasi yang positif, yaitu antusianisme, gairah, optimis dan keyakinan diri.
(d) Mengenali emosi orang lain. Kemampuan untuk mengenali emosi
orang lain disebut juga empati. Menurut Goleman (2002) kemampuan
seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan
empati seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu
menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan
apa-apa yang dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut
pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu
untuk mendengarkan orang lain. Rosenthal (Goleman, 2002) dalam
penelitiannya menunjukkan bahwa orangorang yang mampu membaca
perasaan dan isyarat non verbal lebih mampu menyesuiakan diri secara
emosional, lebih populer, lebih mudah bergaul, dan lebih peka. Nowicki
(dalam Goleman, 2002), ahli psikologi menjelaskan bahwa anak-anak yang
tidak mampu membaca atau mengungkapkan emosi dengan baik akan terus
menerus merasa frustasi. Seseorang yang mampu membaca emosi orang lain
juga memiliki kesadaran diri yang tinggi. Semakin mampu terbuka pada
emosinya sendiri, mampu mengenal dan mengakui emosinya sendiri, maka
(e) Membina hubungan dengan orang lain. Kemampuan dalam
membina hubungan merupakan suatu keterampilan yang menunjang
popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi (Goleman, 2002).
Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam
keberhasilan membina hubungan. Individu sulit untuk mendapatkan apa yang
diinginkannya dan sulit juga memahami keinginan serta kemauan orang lain.
Individu yang memiliki keterampilan membina hubungan dengan orang lain
akan sukses dalam bidang apapun. Individu berhasil dalam pergaulan karena
mampu berkomunikasi dengan lancar pada orang lain. Orang-orang ini
populer dalam lingkungannya dan menjadi teman yang menyenangkan karena
kemampuannya berkomunikasi (Goleman, 2002). Ramah tamah, baik hati,
hormat dan disukai orang lain dapat dijadikan petunjuk positif bagaimana
siswa mampu membina hubungan dengan orang lain. Sejauhmana
kepribadian siswa berkembang dilihat dari banyaknya hubungan interpersonal
yang dilakukannya (Salovey, 2002).
Goleman (dalam Setiawan, 2005) mengemukakan lima aspek
kecerdasan emosi yaitu:
(a) Kesadaran diri. Mengetahui apa yang kita rasakan pada suatu saat
dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan untuk diri
sendiri memiliki tolak ukur realitas atas kemampuan diri dan kepercayaan diri
yang kuat.
(b) Mengelola emosi. Menangani emosi kita sedemikian rupa
dan sanggup untuk menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran,
mampu pulih kembali dari tekanan emosi.
(c) Motivasi. Kemampuan menggunakan hasrat yang paling dalam
untuk menggerakkan dan menuntut kita menuju sasaran, membantu kita
mengambil inisiatif dan bertindak sangat efektif dan untuk bertahan
menghadapi kegagalan dan frustasi.
(d) Empati. Merasakan yang dirasakan orang lain, mampu memahami
prespektif mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya dan
menyelaraskan diri dengan bermacam-macam individu.
(e) Ketrampilan sosial. Menangani emosi dengan baik ketika
berhubungan dengan orang lain dan cermat membaca situasi dan jaringan
sosial, berinteraksi dengan lancar menggunakan keterampilan keterampilan
ini mempengaruhi dan memimpin, bermusyawarah dan menyelesaikan
perselisihan dan untuk bekerja dalam tim (Setiawan, 2005).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek kecerdasan emosi meliputi mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, membina hubungan
dengan orang lain. Kelima aspek kecerdasan emosi tersebut akan dijadikan indikator alat ukur kecerdasan emosi dalam penelitian ini dengan pertimbangan bahwa aspek-aspek tersebut sudah cukup mewakili untuk
c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosi
Goleman (1997) menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang
mempengaruhi kecerdasan emosi individu yaitu: (a) Lingkungan keluarga.
Kehidupan keluarga merupakan sekolah pertama dalam mempelajari emosi.
Kecerdasan emosi dapat diajarkan pada saat masih bayi melalui ekspresi.
Peristiwa emosional yang terjadi pada masa anak-anak akan melekat dan
menetap secara permanen hingga dewasa. Kehidupan emosional yang
dipupuk dalam keluarga sangat berguna bagi anak kelak dikemudian hari. (b)
Lingkungan non keluarga. Hal ini yang terkait adalah lingkungan masyarakat
dan pendidikan. Kecerdasan emosi ini berkembang sejalan dengan
perkembangan fisik dan mental anak. Pembelajaran ini biasanya ditujukan
dalam suatu aktivitas bermain peran sebagai seseorang diluar dirinya dengan
emosi yang menyertai keadaan orang lain (Goleman, 1997).
Menurut Le Dove (dalam Goleman, 1997) bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi kecerdasan emosi antara lain:
(a) Fisik. Secara fisik bagian yang paling menentukan atau paling
berpengaruh terhadap kecerdasan emosi seseorang adalah anatomi saraf
emosinya. Bagian otak yang digunakan untuk berfikir yaitu konteks (kadang
kadang disebut juga neo konteks). Sebagai bagian yang berada dibagian otak
yang mengurusi emosi yaitu system limbic, tetapi sesungguhnya antara kedua bagian inilah yang menentukan kecerdasan emosi seseorang. (1) Konteks.
Bagian ini berupa bagian berlipat-lipat kira kira 3 milimeter yang
membungkus hemisfer serebral dalam otak. Konteks berperan penting dalam
perasaan tertentu dan selanjutnya berbuat sesuatu untuk mengatasinya.
Konteks khusus lobus prefrontal, dapat bertindak sebagai saklar peredam
yang memberi arti terhadap situasi emosi sebelum berbuat sesuatu. (2) System
limbic. Bagian ini sering disebut sebagai emosi otak yang letaknya jauh
didalam hemisfer otak besar dan terutama bertanggung jawab atas pengaturan
emosi dan implus. Sistem limbic meliputi hippocampus, tempat
berlangsungnya proses pembelajaran emosi dan tempat disimpannya emosi.
Selain itu ada amygdala yang dipandang sebagai pusat pengendalian emosi
pada otak.
(b) Psikis. Kecerdasan emosi selain dipengaruhi oleh kepribadian
individu, juga dapat dipupuk dan diperkuat dalam diri individu. Berdasarkan
uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat dua faktor yang dapat
mempengaruhi kecerdasan emosi seseorang yaitu secara fisik dan psikis.
Secara fisik terletak dibagian otak yaitu konteks dan sistem limbic, secara
psikis meliputi lingkungan keluarga dan lingkungan non keluarga.
Menurut Dinkmeyer (1965) faktor-faktor yang mempengaruhi
kecerdasan emosi anak adalah faktor kondisi fisik dan kesehatan, tingkat intelegensi, lingkungan sosial, dan keluarga. Anak yang memiliki kesehatan yang kurang baik dan sering lelah cenderung menunjukkan
reaksi emosional yang berlebihan. Anak yang dibesarkan dalam keluarga yang menerapkan disiplin yang berlebihan cenderung lebih emosional.
dalam keluarga cenderung menunjukkan reaksi emosional yang negatif (Dinkmeyer, 1965).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi. Dalam penelitian
ini faktor yang akan diteliti adalah pola asuh orangtua yang berkaitan dengan emotion coaching yang dilakukan oleh orangtua kepada anaknya sebab emotion coaching yang diberikan oleh orangtua sejak dini
berpengaruh terhadap perkembangan emosi anak pada tahapan selanjutnya. Pendapat ini didukung oleh hasil penelitian yang
dikemukakan oleh Collins dan Kuczaj (1991) bahwa parenting style (pola asuh orangtua) memiliki pengaruh yang kuat terhadap perkembangan anak.
4. Ciri-ciri Kecerdasan Emosi Tinggi dan Rendah
Goleman (1995) mengemukakan karakteristik individu yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi dan rendah sebagai berikut:
(a) Kecerdasan emosi tinggi yaitu mampu mengendalikan perasaan marah, tidak agresif dan memiliki kesabaran, memikirkan akibat sebelum bertindak, berusaha dan mempunyai daya tahan untuk mencapai tujuan
hidupnya, menyadari perasaan diri sendiri dan orang lain, dapat berempati pada orang lain, dapat mengendalikan mood atau perasaan negatif,
orang lain, mahir dalam berkomunikasi, dan dapat menyelesaikan konflik sosial dengan cara damai.
(b) Kecerdasan emosi rendah yaitu bertindak mengikuti perasaan tanpa memikirkan akibatnya, pemarah, bertindak agresif dan tidak sabar,
memiliki tujuan hidup dan cita-cita yang tidak jelas, mudah putus asa, kurang peka terhadap perasaan diri sendiri dan orang lain, tidak dapat mengendalikan perasaan dan mood yang negatif, mudah terpengaruh oleh
perasaan negatif, memiliki konsep diri yang negatif, tidak mampu menjalin persahabatan yang baik dengan orang lain, tidak mampu berkomunikasi
dengan baik, dan menyelesaikan konflik sosial dengan kekerasan.
B. EMOTION COACHING
1. Definisi Emotion Coaching
Menurut Gottman dan DeClaire (1997) emotion coaching
merupakan suatu proses dimana orangtua dengan aktif mendengarkan ungkapan perasaan anaknya, menerima perasaan anaknya serta memberikan bimbingan, batasan perilaku, dan membantu anak
menyelesaikan permasalahannya agar anak dapat belajar bagaimana mengendalikan perasaan atau emosi yang dirasakannya dengan cara yang
benar. Hal paling mendasar dalam emotion coaching yang perlu dimiliki oleh orangtua adalah perasaan empati yaitu kemampuan orangtua untuk menempatkan diri mereka dalam kedudukan anak mereka dan memberi
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa emotion coaching
adalah suatu proses dimana orangtua mendengarkan dan menerima
ungkapan perasaan anaknya, memberikan bimbingan serta mengajarkan kepada anaknya bagaimana mengendalikan perasaannya dengan cara yang
sesuai. Emotion coaching dapat diberikan oleh orangtua untuk membantu mengembangkan kecerdasan emosi anak. Orangtua dapat melatih emosi anaknya dengan menenangkan perasaan anak, mendengarkan, memahami
pemikiran dan perasaan yang dirasakan anak serta membantu anak untuk memahami dirinya sendiri.
2. Langkah-langkah dalam Emotion Coaching
Gottman dan DeClaire (1997) mengemukakan lima langkah dalam
emotion coaching yang umumnya digunakan oleh orangtua untuk meningkatkan kecerdasan emosi anak yaitu (1) Menyadari emosi diri
sendiri dan anak (Awareness), (2) Menerima emosi anak sebagai peluang untuk lebih dekat dengan mereka dan mengajarkan kepada mereka bagaimana cara mengatasinya (Acceptance), (3) Mendengarkan dengan
empati dan pengertian (Empathy), (4) Membantu anak memberi label pada emosi yang sedang dirasakannya dengan kata-kata (Labeling), dan (5)
(1) Menyadari emosi diri sendiri dan anak (Awareness). Agar orangtua dapat merasakan apa yang dirasakan oleh anak-anak mereka
maka terlebih dahulu orangtua harus dapat menyadari emosi dalam diri mereka sendiri dan kemudian menyadari emosi dalam diri anak-anak
mereka. Orangtua yang menyadari emosi-emosi mereka sendiri dapat menggunakan kepekaan mereka untuk menyelaraskan diri dengan perasaan-perasaan anak mereka. Anak-anak sering mengungkapkan emosi
mereka secara tidak langsung dan melalui cara-cara yang membingungkan orang dewasa namun jika orangtua dapat mendengarkan dengan seksama
maka orangtua akan dapat memahami apa yang dirasakan oleh anak-anak. (2) Menerima emosi anak sebagai peluang untuk lebih dekat dengan mereka dan mengajarkan kepada mereka bagaimana cara
mengatasinya (Acceptance). Beberapa orangtua mencoba untuk mengabaikan perasaan-perasaan negatif anaknya dengan harapan agar
perasaan-perasaan negatif itu akan hilang tetapi cara seperti ini tidak dapat meredakan perasaan negatif anak dan sebaliknya perasaan-perasaan negatif itu akan lenyap apabila anak diberi kesempatan untuk
membicarakan emosi yang dirasakannya sebab dengan demikian anak akan merasa dimengerti oleh orangtuanya. Ketika anak merasa dimengerti
(3) Mendengarkan dengan empati dan pengertian (Empathy). Agar orangtua dapat merasakan apa yang dirasakan oleh anaknya maka orangtua
harus dapat menempatkan dirinya dalam kedudukan anaknya. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan empatic listening. Empatic listening
merupakan proses yang paling penting dalam emotion coaching. Ketika anak mengungkapkan apa yang dirasakannya, orangtua hendaknya mendengarkan dengan empati dan penuh perhatian. Orangtua dapat
mengungkapkan kembali apa yang telah diungkapkan anaknya untuk meyakinkan anak bahwa orangtua mendengarkannya dengan penuh
perhatian dan mengerti akan apa yang dirasakannya.
(4) Membantu anak memberi label pada emosi yang sedang dirasakannya dengan kata-kata (Labeling). Salah satu langkah dalam
emotion coaching adalah membantu anak menemukan kata-kata yang tepat untuk melukiskan apa yang sedang mereka rasakan. Misalnya orangtua
memberitahu anaknya bahwa apa yang sedang dirasakan anaknya dapat disebut dengan perasaan “tegang”, “cemas”, “sakit hati”, “marah”, “sedih” atau “takut”. Hal ini dapat membantu anak menyusun kosakata yang dapat
mereka gunakan untuk mengungkapkan emosi mereka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tindakan memberi label pada emosi yang sedang
dirasakan anak dapat membantu menenangkan sistem saraf anak sehingga anak akan lebih cepat pulih dari perasaan tidak menyenangkan yang dirasakannya. Menurut Gottman hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
mengaktifkan belahan otak kiri yang merupakan pusat bahasa dan penalaran sehingga anak akan memfokuskan perhatiannya pada kosakata
yang akan digunakannya sehingga anak tidak lagi terlalu fokus pada perasaan tidak menyenangkan yang sedang dialaminya.
(5) Menentukan batas-batas perilaku yang boleh dilakukan anak ketika membantu anak menyelesaikan masalahnya (Problem-Solving). Gottman dan DeClaire (1997) mengemukakan beberapa tahapan dalam
langkah problem-solving yaitu (a) Menentukan batas-batas perilaku yang boleh dilakukan. Orangtua boleh menerima perasaan negatif yang
dirasakan oleh anaknya namun ketika anaknya mengungkapkan perasaaan negatif dengan berperilaku yang tidak sesuai seperti memukul temannya, mengejek atau merusak mainan temannya maka orangtua harus
membimbing anaknya mengenai batasan perilaku yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan. Orangtua perlu mengajarkan kepada anaknya
bahwa perasaan negatif yang dirasakannya bukanlah suatu masalah tetapi yang lebih dipermasalahkan adalah perilaku anak ketika mengungkapkan perasaan negatif tersebut. Tugas orangtua adalah memberitahu anak
batas-batas perilaku yang masih boleh dilakukan dan memberi pengertian kepada anak bahwa anak berhak untuk memiliki perasaan negatif tetapi
harus menggunakan cara yang benar untuk mengungkapkan perasaan negatif yang dirasakannya; (b) Menentukan tujuan (goals). Orangtua menanyakan kepada anaknya mengenai apa yang ingin dicapai ketika anak
(c) Memikirkan solusi lain untuk penyelesaian masalah. Orangtua hendaknya memberikan kesempatan kepada anaknya untuk memikirkan
solusi permasalahannya sendiri sebelum orangtua memberikan solusi kepada anaknya. Hal ini akan membantu kemampuan anak untuk
menyelesaikan permasalahannya (problem-solving). Jika solusi yang diberikan anak tidak dapat dilakukan maka orangtua sebaiknya tidak memberitahu secara langsung bahwa solusi yang dipikirkan oleh anaknya
tidak dapat dilakukan sebab hal ini dapat mematahkan semangat anaknya. Sebaliknya orangtua dapat memberikan beberapa pertanyaan yang
membimbing anaknya untuk memikirkan apa yang akan terjadi apabila solusi tersebut dilakukan, orangtua membiarkan anaknya menilai sendiri apakah solusinya efektif dilakukan atau tidak; (d) Mengevaluasi
solusi-solusi yang diusulkan. Pada tahap ini orangtua membantu anak untuk mengevaluasi solusi-solusi yang diusulkannya dapat memecahkan
masalahnya atau tidak. Orangtua dapat membantu anak untuk merenungkan setiap solusinya secara terpisah misalnya dengan
mengajukan pertanyaan seperti “Apakah pemecahan ini adil?”, “Apakah
pemecahan ini akan berhasil?” atau “Apakah pemecahan ini aman?”; dan
(e) Membantu anak memilih solusi yang paling tepat. Anak diberikan
kesempatan untuk memilih solusi yang akan dilakukannya. Ketika anak memilih solusinya, orangtua dapat menggunakan kesempatan ini untuk memberikan bimbingan serta memberitahukan pendapat-pendapatnya.
membantu anak untuk merencakan tindakan yang harus dilakukannya. Ketika solusi yang dipilih anak tidak berhasil, orangtua dapat
membimbing anak untuk memikirkan kembali solusi yang lain. Pada umumnya anak dapat belajar dari kesalahannya sendiri.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa emotion coaching
dapat diberikan oleh orangtua untuk membantu mengembangkan kecerdasan emosi anak. Ada lima langkah dalam emotion coaching yang
umumnya digunakan orangtua untuk meningkatkan kecerdasan emosi anak yaitu (1) Menyadari emosi-emosi diri sendiri dan anak-anak (Awareness),
(2) Menerima emosi anak sebagai peluang untuk lebih dekat dengan mereka dan mengajarkan kepada mereka bagaimana cara mengatasinya
(Acceptance), (3) Mendengarkan dengan empati dan pengertian
(Empathy), (4) Membantu anak memberi label pada emosi yang sedang dirasakannya dengan kata-kata (Labeling), dan (5) Menentukan
batas-batas perilaku yang boleh dilakukan anak ketika membantu anak menyelesaikan masalahnya (Problem-Solving). Orangtua dapat berperan sebagai pelatih emosi yang baik dalam meningkatkan kecerdasan emosi
anaknya dengan berpedoman pada kelima langkah tersebut.
C. PERKEMBANGAN EMOSI PADA MASA KANAK-KANAK TENGAH
Menurut Papalia, Olds, dan Feldman (2007) masa kanak-kanak tengah dimulai dari usia 6 sampai 11 tahun sedangkan menurut Gottman dan
tahun. Selama periode masa kanak-kanak tengah, anak-anak mulai berhubungan dengan suatu kelompok sosial yang lebih luas dan memahami
pengaruh sosial. Pada saat bersamaan, anak-anak mulai tumbuh secara kognitif dan mampu mengenali emosi mereka sendiri (Gottman & DeClaire,
1997).
Anak-anak pada masa kanak-kanak tengah sudah memahami disposisi psikososial yang berarti bahwa anak sudah mampu menjelaskan emosinya
dengan menghubungkannya pada internal states dan bukan pada physical events. Mereka sudah memahami variasi-variasi emosi yang ada (Strayer
dalam Berk, 1996).
Emotional self-regulation berkembang pesat pada masa kanak-kanak tengah seiring dengan berkembangnya berbagai cara yang digunakan oleh
anak untuk mengatasi situasi-situasi yang memunculkan perasaan emosional. Anak-anak pada masa kanak-kanak tengah tidak hanya mampu memahami
dan merespon perasaan mereka sendiri tetapi mereka juga sudah mampu memahami apa yang dirasakan oleh orang lain. Kemampuan untuk memahami apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh oranglain (perspective taking) sudah
berkembang pada masa kanak-kanak tengah. (Berk, 1996).
Menurut Papalia, dkk (2007) pada usia 8 sampai 10 tahun, anak sudah
mendeskripsikan perasaan yang dirasakannya (Papalia, Olds, & Feldman, 2007).
Menurut Gottman dan DeClaire (1997) orangtua memiliki peluang yang besar untuk mengembangkan kecerdasan emosi anak dengan
memberikan emotion coaching sejak dini. Emotion coaching sebaiknya diberikan pada masa kanak-kanak awal yaitu antara usia empat sampai tujuh tahun sebab pada masa ini anak mulai membentuk hubungan sosial dengan
teman sebayanya dan anak dapat mengembangkan ketrampilan mengatur emosinya ketika berinteraksi dengan teman sebayanya (Gottman & DeClaire,
1997). Hal ini sesuai dengan penelitian Gottman dan DeClaire (1997) yang menunjukkan bahwa anak yang berhasil mengendalikan emosinya ketika berhubungan dengan kelompok sosialnya pada masa kanak-kanak tengah yaitu
antara usia delapan sampai dua belas tahun adalah anak yang telah belajar mengendalikan emosinya pada masa kanak-kanak awal melalui emotion
coaching.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa emotion coaching perlu diberikan pada anak-anak sejak dini. Di dalam penelitian ini, hubungan
emotion coaching dengan kecerdasan emosi akan diteliti pada masa kanak-kanak tengah sebab pada masa kanak-kanak-kanak-kanak tengah anak sudah mampu
D. HUBUNGAN ANTARA EMOTION COACHING DENGAN KECERDASAN EMOSI ANAK
Menurut Gottman dan DeClaire (1997) emotion coaching merupakan suatu proses dimana orangtua dengan aktif mendengarkan ungkapan perasaan anaknya, menerima perasaan anaknya serta memberikan bimbingan, batasan
perilaku, dan membantu anak menyelesaikan permasalahannya agar anak dapat belajar bagaimana mengendalikan perasaan atau emosi yang
dirasakannya dengan cara yang benar.
Ada lima langkah dalam emotion coaching yang umumnya dilakukan
orangtua yaitu (1) Menyadari emosi diri sendiri dan anak (Awareness), (2) Menerima emosi anak sebagai peluang untuk lebih dekat dengan mereka dan mengajarkan kepada mereka bagaimana mengatasinya (Acceptance), (3)
Mendengarkan dengan empati dan pengertian (Empathy), (4) Membantu anak memberi label pada emosi yang sedang dirasakannya dengan kata-kata
(Labeling), dan (5) Menentukan batas-batas perilaku yang boleh dilakukan
anak ketika membantu anak menyelesaikan masalahnya (Problem-Solving)
(Gottman & DeClaire, 1997).
Penelitian yang dilakukan oleh Gottman dan DeClaire (1997) menunjukkan bahwa anak-anak yang diberikan emotion coaching memiliki
tingkat kecerdasan emosi yang tinggi. Anak-anak yang telah terlatih ini memiliki lebih banyak kemampuan dalam bidang emosi mereka sendiri dibandingkan dengan anak-anak yang kurang dilatih oleh orangtua mereka.
keadaan emosional mereka sendiri. Anak-anak ini lebih terampil dalam menenangkan diri mereka sendiri ketika mereka marah dan lebih terampil
dalam memusatkan perhatian. Mereka berhubungan lebih baik dengan orang lain, lebih memahami orang lain, memiliki persahabatan yang lebih baik
dengan orang lain (Gottman & DeClaire, 1997).
Di samping itu anak-anak yang orangtuanya secara mantap mempraktekkan emotion coaching memiliki kesehatan fisik yang lebih baik
serta memperoleh nilai yang lebih tinggi secara akademis bila dibandingkan dengan anak-anak yang orangtuanya tidak secara mantap memberikan emotion
coaching. Anak-anak ini bergaul lebih baik dengan teman-temannya, tidak banyak mengalami masalah tingkah laku, dan tidak mudah melakukan tindakan kekerasan. Pada umumnya anak-anak yang dilatih emosinya
mengalami perasaan negatif yang lebih sedikit dan lebih sehat secara emosional (Gottman & DeClaire, 1997).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Gottman dan DeClaire (1997) yaitu ketika orangtua menggunakan bentuk pengasuhan anak seperti pelatih, anak-anak menjadi lebih kenyal. Anak-anak yang orangtuanya memberikan
emotion coaching masih akan mengalami kesedihan, marah, atau takut dalam keadaan-keadaan yang sulit namun mereka lebih mampu menenangkan diri
mereka sendiri, bangkit kembali dari kemurungan, dan melanjutkan kegiatan-kegiatan yang produktif. Anak-anak yang orangtuanya melakukan emotion coaching dapat dikatakan lebih cerdas secara emosional (Gottman &
E. HIPOTESIS
Hipotesis dalam penelitian ini adalah “Ada hubungan positif antara emotion
coaching yang diberikan oleh orangtua dengan kecerdasan emosi anak.”
Artinya bahwa jika orangtua mampu memberikan emotion coaching dengan baik maka tingkat kecerdasan emosi anak akan tinggi dan sebaliknya jika
orangtua kurang mampu memberikan emotion coaching dengan baik maka tingkat kecerdasan emosi anak akan rendah.
Emotion Coaching
Orangtua mampu memberikan emotion coaching dengan baik
Orangtua kurang mampu memberikan emotion coaching dengan baik
Kecerdasan emosi anak tinggi
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian merupakan unsur penting di dalam penelitian ilmiah,
karena metode yang digunakan dalam penelitian dapat menentukan apakah penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan (Hadi, 2000). Penelitian ini bersifat korelasional, yakni jenis penelitian yang bertujuan untuk menemukan
hubungan antara satu variabel dengan variabel lainnya (Azwar, 2007).
Berikut akan dibahas mengenai identifikasi variabel penelitian, definisi
operasional variabel penelitian, populasi dan metode pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, prosedur penelitian dan metode analisa data.
A. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN
Untuk menguji hipotesis penelitian, terlebih dahulu diindentifikasikan
variabel-variabel yang akan digunakan dalam penelitian. Variabel dalam penelitian ini adalah:
1. Variabel bebas : Emotion Coaching
2. Variabel tergantung : Kecerdasan Emosi
B. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL PENELITIAN
penelitian (Hadi, 2000). Adapun definisi operasional variabel dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Emotion Coaching
Emotion coaching merupakan suatu proses dimana orangtua dengan aktif mendengarkan ungkapan perasaan anaknya, menerima
perasaan anaknya serta memberikan bimbingan, batasan perilaku, dan membantu anak menyelesaikan permasalahannya agar anak dapat belajar
bagaimana mengendalikan perasaan atau emosi yang dirasakannya dengan cara yang benar. Dalam penelitian ini variabel emotion coaching akan
diukur dengan menggunakan skala emotion coaching yang disusun berdasarkan lima langkah dalam emotion coaching yang dikemukakan oleh Gottman dan DeClaire (1997) yaitu (1) Menyadari emosi diri sendiri
dan anak (Awareness), (2) Menerima emosi anak sebagai peluang untuk lebih dekat dengan mereka dan mengajarkan kepada mereka bagaimana
mengatasinya (Acceptance), (3) Mendengarkan dengan empati dan pengertian (Empathy), (4) Membantu anak memberi label pada emosi yang sedang dirasakannya dengan kata-kata (Labeling), dan (5) Menentukan
batas-batas perilaku yang boleh dilakukan anak ketika membantu anak menyelesaikan masalahnya (Problem-Solving).
emotion coaching yang diberikan, artinya semakin tinggi emotion coaching yang diberikan oleh subjek terhadap anaknya.
2. Kecerdasan Emosi
Kecerdasan emosi adalah suatu bentuk ketrampilan sosial yang melibatkan kemampuan untuk mengenali perasaan diri sendiri dan
perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan
dengan orang lain. Dalam penelitian ini variabel kecerdasan emosi akan diukur dengan menggunakan skala kecerdasan emosi yang disusun
berdasarkan lima aspek kecerdasan emosi yang dikemukakan oleh Goleman (1995) yaitu kesadaran diri emosional, mengelola emosi, motivasi diri, empati, dan ketrampilan sosial.
Skor kecerdasan emosi yang dimiliki anak ditunjukkan oleh skor total yang diperoleh dari skala kecerdasan emosi yang disusun sendiri oleh
peneliti. Semakin tinggi skor yang diperoleh subjek dalam skala kecerdasan emosi yang diberikan artinya semakin tinggi kecerdasan emosi yang dimiliki oleh subjek.
C. POPULASI DAN METODE PENGAMBILAN SAMPEL
1. Populasi dan Sampel
Populasi adalah seluruh subjek yang dimaksud untuk diteliti. Populasi dibatasi sebagai sejumlah subjek atau individu yang paling
penelitian ini adalah anak yang berusia 8-12 tahun. Menyadari luasnya keseluruhan populasi dan keterbatasan yang dimiliki peneliti, maka subjek
penelitian yang dipilih adalah sebagian dari keseluruhan populasi yang dinamakan sampel. Sampel adalah sebahagian dari populasi yang
merupakan penduduk yang jumlahnya kurang dari populasi. Sampel harus mempunyai paling sedikit satu sifat yang sama (Hadi, 2000).
Subjek penelitian menurut Azwar (2001) adalah sumber utama data
penelitian, yaitu mereka yang memiliki data mengenai variabel yang akan diteliti. Karakteristik subjek penelitian diperlukan untuk menjamin
homogenitasnya. Karakteristik subjek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Berusia 8 - 12 tahun. Hal ini dikarenakan pada masa kanak-kanak awal
usia 4-7 tahun merupakan tahapan awal emotion coaching diberikan kepada anak sehingga untuk mengetahui apakah emotion coaching
berhubungan dengan kecerdasan emosi anak atau tidak maka populasi yang diteliti adalah anak-anak pada masa kanak-kanak tengah yang berusia 8-12 tahun. Anak pada masa kanak-kanak tengah sudah dapat
memahami emosinya sendiri serta mampu mengisi skala kecerdasan emosi.
2. Metode Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel atau sampling menurut Kerlinger (2002)
berarti mengambil suatu bagian dari populasi atau semesta sebagai wakil (representasi) dari populasi atau semesta itu. Teknik pengambilan sampel
yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik incidental sampling. Incidental sampling adalah pemilihan subjek penelitian yang didasarkan atas ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Di
dalam incidental sampling, hanya individu-individu atau grup-grup yang kebetulan dijumpai atau dapat dijumpai saja yang diteliti (Hadi, 2000).
3. Jumlah Sampel Penelitian
Suatu sampel yang baik harus memenuhi syarat bahwa ukuran atau besarnya memadai untuk dapat meyakinkan kestabilan ciri-cirinya. Berapa
besar sampel yang memadai bergantung kepada sifat populasi dan tujuan penelitian. Semakin besar sampel, akan semakin kecil kemungkinan
menarik kesimpulan tentang populasi.
Menurut Azwar (2005), secara tradisional statistika menganggap jumlah sampel yang lebih dari 60 orang sudah cukup banyak. Berdasarkan
uraian diatas maka jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebanyak 113 orang.
D. ALAT UKUR PENELITIAN
Alat ukur yang digunakan merupakan metode pengumpulan data
variabel yang diteliti (Azwar, 1999). Metode yang digunakan dalam pengumpulan data dalam penelitian ini adalah skala psikologi yang
dikontruksi sendiri oleh peneliti berdasarkan teori-teori yang mendasari variabel yang diteliti. Terdapat dua skala yang digunakan dalam
mengumpulkan data dalam penelitian ini, yakni skala emotion coaching yang dikonstruksi berdasarkan teori-teori yang mendasari emotion coaching dan skala kecerdasan emosi yang dikonstruksi sendiri oleh peneliti berdasarkan
teori-teorikecerdasan emosi.
Metode skala digunakan karena data yang ingin diukur berupa
konstruk atau konsep psikologis yang dapat diungkap secara tidak langsung melalui indikator-indikator perilaku yang diterjemahkan dalam bentuk aitem-aitem pernyataan (Azwar, 2001). Hadi (2000) menyatakan bahwa skala dapat
digunakan dalam penelitian berdasarkan asumsi-asumsi berikut: a. Subjek adalah orang yang paling tahu tentang dirinya.
b. Hal-hal yang dinyatakan oleh subjek kepada peneliti adalah benar dan dapat dipercaya.
c. Interpretasi subjek tentang pernyataan-pernyataan yang diajukan
kepadanya adalah sama dengan apa yang dimaksudkan peneliti.
1. Skala Emotion Coaching
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala
Menyadari emosi diri sendiri dan anak, (2) Menerima emosi anak sebagai peluang untuk lebih dekat dengan