PENGARUH KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH
TERHADAP BELANJA LANGSUNG DAERAH
DI KABUPATEN/KOTA PROPINSI SUMATERA UTARA
TESIS
Oleh
R U D I A T I
077017087/Akt
S
E K O L A H
P A
S C
A S A R JA
NA
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PENGARUH KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH
TERHADAP BELANJA LANGSUNG DAERAH
DI KABUPATEN/KOTA PROPINSI SUMATERA UTARA
Tesis
Diajukan Sebagai Salah Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Akuntansi pada
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
R U D I A T I
077017087/Akt
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : PENGARUH KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH TERHADAP BELANJA LANGSUNG DAERAH DI KABUPATEN/KOTA PROPINSI SUMATERAUTARA
Nama Mahasiswa : Rudiati
Nomor Pokok : 077017087
Program Studi : Akuntansi
Menyetujui Komisi Pembimbing,
( Erlina, SE, Ak, MSi, PhD) (Rasdianto, SE, Ak, MS)
Ketua Anggota
Ketua Program Studi Direktur
(Prof.Dr.Ade Fatma Lubis, MAFIS, MBA,Ak) (Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B, MSc)
Telah diuji pada
Tanggal :
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Erlina, SE, Ak, MSi, PhD
Anggota : 1. Rasdianto, SE, Ak, MS
2. Prof. Dr. Ade Fatma Lubis, MAFIS, MBA, Ak
3. Drs. Syamsul Bahri TRB, MM, Ak
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan Tesis yang berjudul :
”Pengaruh Kemampuan Keuangan Daerah Terhadap Belanja Langsung
Daerah Di Kabupaten/Kota Propinsi Sumatera Utara”,
Adalah benar hasil kerja saya sendiri dan belum dipublikasikan oleh siapapun
sebelumnya. Sumber-sumber data dan informasi yang digunakan telah
dinyatakan secara benar dan jelas.
Medan, Juli 2009
Yang membuat pernyataan
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh kemampuan keuangan daerah terhadap belanja langsung daerah dan bagaimana mendapatkan jalan keluar serta bagaimana kebijakan yang tepat untuk meningkatkan kemampuan keuangan daerah di Kabupaten/kota Propinsi Sumatera Utara.
Populasi dari penelitian ini adalah 33 Kabupaten/kota di Propinsi Sumatera Utara. Dan dari populasi ini diambil sebanyak 19 Kabupaten/kota sebagai sampel. Jenis data adalah pooling data yaitu gabungan data time series dengan cross section berupa realisasi pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba badan usaha milik daerah dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah dan belanja langsung daerah Kabupaten/kota Propinsi Sumatera Utara. Metode analisis yang digunakan untuk menguji hipotesis adalah analisa regresi berganda.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada Retribusi Daerah dan Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah berpengaruh secara signifikan terhadap Belanja Langsung Daerah. Sedangkan Pajak Daerah dan Bagian Laba Badan Usaha Milik Daerah tidak berpengaruh secara signifikan terhadap Belanja Langsung Daerah.
ABSTRACT
The main objective of this research is to know the influence of regional financial ability on direct government expenditure and how to get the way out and how good policy to increase the ability of financial of the regency/municipal in the province of North Sumatera.
The population of this research are 33 regencies and municipals in the province of North Sumatera and from this population are taken 19 regencies and municipals as samples. The type of data is pooling data that is combination of time series and cross section such as the realization of regional tax, regional distribution, equity of corporation and another original income and regional direct expenditure in the regency/municipal in the province of North Sumatera. The method used to test the hypothesis is multiple regression.
The result shows that the regional retribution and other original income influence on the regional direct expenditure significantly. Meanwhile regional tax and a part of profit owned by regional corporation significantly influenced on the regional direct expenditure.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Dengan segala kerendahan hati, tulus dan ikhlas, penulis menyampaikan puji
dan syukur kehadirat Allah SWT, oleh karena rahmat, karunia dan ridhoNya serta
motivasi dari pembimbing, keluarga dan rekan-rekan, maka penulis dapat
menyelesaikan tesis ini.
Dalam menyelesaikan tesis ini tentu saja penulis banyak menemui kesulitan,
kendala dan hambatan, akan tetapi berkat bantuan, bimbingan, petunjuk serta
masukan dari berbagai pihak, maka penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan
baik. Untuk itu dengan segala kerendahan hati, tulus dan ikhlas penulis mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Menteri Pendidikan Nasional yang telah memberikan dukungan pembiayaan
melalui Program Beasiswa Unggulan selama tiga semester berdasarkan DIPA
Sekretariat Jenderal DEPDIKNAS Tahun Anggaran 2007 s/d 2009.
2. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A (K), selaku Rektor
Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas
untuk mengikuti dan menyelesaikan Sekolah Pascasarjana.
3. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc, selaku Direktur Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang senantiasa dengan sabar dan
secara berkesinambungan meningkatkan layanan pendidikan di Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
4. Ibu Prof. Dr. Ade Fatma Lubis, MAFIS, MBA, Ak, selaku Ketua Program
Studi Magister Ilmu Akuntansi yang juga selaku pembanding yang telah
5. Ibu Erlina, SE, Ak, MSi, PhD selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah
banyak memberi bimbingan dan arahan dengan penuh kearifan dan kesabaran
disela-sela kesibukannya dari sejak awal hingga selesainya tesis ini;
6. Bapak Rasdianto, SE, Ak, MS selaku anggota komisi pembimbing yang telah
banyak membimbing dan mengarahkan penulis hingga selesainya tesis ini;
7. Ibu Dra. Tapi Anda Sari, M.Si, Ak dan Bapak Drs. Syamsul Bahri TRB, MM,
Ak selaku dosen pembanding yang telah memberikan saran dan masukannya
untuk kesempurnaan tesis ini selanjutnya;
8. Pengelola, Dosen Pengajar dan staf sekretariat Magister Ilmu Akuntansi, yang
telah banyak membantu penulis selama mengikuti perkuliahan;
9. Bapak staf pada kantor Biro Pusat Statistik yang telah banyak memberikan
data dan informasi hingga selesainya tesis ini;
10.Dekan dan para Pembantu Dekan FMIPA USU yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan S2 pada Program
Studi Ilmu Akuntansi USU serta teman-teman pegawai FMIPA USU yang
banyak memberikan dorongan dan dukungan kepada penulis dalam
penyelesaian pendidikan ini.
11.Ayahanda Ainal (Alm) dan ibunda Asnah (Alm) yang paling penulis hormati
dan banggakan serta Mertuaku yang senantiasa mengiringi dengan doa untuk
keberhasilan dan kesuksesanku, dan juga saudara-saudaraku terima kasih dari
lubuk hati yang paling dalam atas doa dan dukungan yang diberikan kepada
penulis selama mengikuti pendidikan;
12.Suamiku tercinta Drs. Zahedi, M.Si yang terus memberikan motivasi,
semangat, dukungan dan doa selama menempuh pendidikan hingga penulisan
tesis ini, serta anakku yang ganteng Badai Charamsar Nusantara dan si comel
13.Seluruh rekan mahasiswa Magister Ilmu Akuntansi Pemerintahan Universitas
Sumatera Utara yang pantas dibanggakan yang penuh dengan rasa
kekeluargaan dan persahabatan yang hangat, yang terjalin erat selama hampir
2 tahun belakangan ini sehingga menjadi kenangan yang mengesankan dan
takkan terlupakan;
Semoga Allah Subhanahu Wata’ala memberikan balasan yang setimpal sesuai
dengan jasa-jasanya. Akhirnya penulis menyadari dengan kemampuan dan
pengetahuan yang terbatas, banyak kekurangan dan kelemahan dalam penulisan ini,
untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif demi
kesempurnaan tesis ini, dan semoga dapat bermanfaat bagi penulis serta pihak lain
yang memerlukannya.
Medan, Juli 2009
RIWAYAT HIDUP
Nama : Rudiati
Alamat : Jl. Ismailiyah Gg. Pelajar No. 61 K Medan
Tempat Tgl Lahir : Medan, 15 Oktober 1967
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Nama Ayah : Ainal (Alm)
Nama Ibu : Asnah (Alm)
Suami : Drs. Zahedi, M.Si
Anak : 1. Badai Charamsar Nusantara
2. Yasmine Maharani Putri
Pendidikan :
1. 1975 – 1981 SD Negeri No. 060822 Medan
2. 1981 – 1984 SMP Negeri 4 Medan
3. 1984 – 1987 SMEA NEG. I Medan
4. 1993 – 1996 D3 STIE Harapan Medan
5. 1996 – 1998 S1 STIE Harapan Medan
6. 2007 – 2009 Magister Ilmu Akuntansi Sekolah Pascasarjana USU
Pekerjaan :
DAFTAR ISI
2.1.3. Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah ……….. 14
2.1.4. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ………..…... 15
2.1.5. Pendapatan Asli Daerah …………..……… 17
2.1.6. Belanja Langsung Daerah ………... 21
BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS ……….... 26
5.5.3. Pengaruh Bagian Laba Badan Usaha terhadap Belanja
Langsung Daerah ..………...……… 59
5.5.4. Pengaruh lain-lain PAD yang Sah Terhadap Belanja Langsung Daerah ………... 61
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN .……….. 63
6.1. Kesimpulan ………..……… 63
6.2. Keterbatasan ………...……… 65
6.3. Saran ……….……… 65
DAFTAR TABEL
No. Judul Halaman
2.1. Peneliti Terdahulu ... 25
4.1. Populasi Sampel Penelitian …...……… 32
4.2. Definisi Operasional Variabel ...……….. 35
5.1. Deskripsi Statistik……… ………. 41
5.2. Belanja Langsung ………. 42
5.3. Pajak Daerah ……… 43
5.4. Retribusi Daerah ……….. 44
5.5. Bagian Laba Badan Usaha Milik Daerah……… 45
5.6. Lain-lain PAD yang Sah ……….. 47
5.7. Coefficients ……….. 50
DAFTAR GAMBAR
No. Judul Halaman
3.1. Pengaruh Kemampuan Keuangan Daerah Terhadap ...
Belanja Langsung Daerah ……… 26
5.1. Pengujian Normalitas Data……….. 49
DAFTAR LAMPIRAN
No. Judul Halaman
1. Data Penelitian………. ... 70
2. Deskripsi Statistik Variabel Penelitian……….. 79
3. Uji Normalitas Data.. ... ………. 80
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh kemampuan keuangan daerah terhadap belanja langsung daerah dan bagaimana mendapatkan jalan keluar serta bagaimana kebijakan yang tepat untuk meningkatkan kemampuan keuangan daerah di Kabupaten/kota Propinsi Sumatera Utara.
Populasi dari penelitian ini adalah 33 Kabupaten/kota di Propinsi Sumatera Utara. Dan dari populasi ini diambil sebanyak 19 Kabupaten/kota sebagai sampel. Jenis data adalah pooling data yaitu gabungan data time series dengan cross section berupa realisasi pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba badan usaha milik daerah dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah dan belanja langsung daerah Kabupaten/kota Propinsi Sumatera Utara. Metode analisis yang digunakan untuk menguji hipotesis adalah analisa regresi berganda.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada Retribusi Daerah dan Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah berpengaruh secara signifikan terhadap Belanja Langsung Daerah. Sedangkan Pajak Daerah dan Bagian Laba Badan Usaha Milik Daerah tidak berpengaruh secara signifikan terhadap Belanja Langsung Daerah.
ABSTRACT
The main objective of this research is to know the influence of regional financial ability on direct government expenditure and how to get the way out and how good policy to increase the ability of financial of the regency/municipal in the province of North Sumatera.
The population of this research are 33 regencies and municipals in the province of North Sumatera and from this population are taken 19 regencies and municipals as samples. The type of data is pooling data that is combination of time series and cross section such as the realization of regional tax, regional distribution, equity of corporation and another original income and regional direct expenditure in the regency/municipal in the province of North Sumatera. The method used to test the hypothesis is multiple regression.
The result shows that the regional retribution and other original income influence on the regional direct expenditure significantly. Meanwhile regional tax and a part of profit owned by regional corporation significantly influenced on the regional direct expenditure.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Otonomi daerah (Otda) dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan
dengan maksud dan tujuan pemberian otonomi daerah kepada suatu daerah yaitu
untuk memberdayakan daerah dan meningkatkan kesejahteraan rakyat yang
merupakan bagian utama dari tujuan nasional.
Sebenarnya pertimbangan mendasar terselenggaranya Otonomi Daerah adalah
perkembangan kondisi di dalam negeri yang mengindikasikan bahwa rakyat
menghendaki keterbukaan dan kemandirian (desentralisasi). Selain itu keadaan luar
negeri yang juga menunjukkan bahwa semakin maraknya globalisasi yang menuntut
daya saing tiap negara, termasuk daya saing pemerintah daerahnya. Daya saing
pemerintah daerah ini diharapkan akan tercapai melalui peningkatan kemandirian
pemerintah daerah. Selanjutnya peningkatan kemandirian pemerintah daerah tersebut
diharapkan dapat diraih melalui otonomi daerah. Tujuan program otonomi daerah
adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, mengurangi
kesenjangan antar daerah dan meningkatkan kualitas pelayanan publik agar lebih
efisien dan responsif terhadap kebutuhan, potensi maupun karakteristik di daerah
masing-masing. Hal ini ditempuh melalui peningkatan hak dan tanggung jawab
Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah telah menempatkan otonomi daerah secara utuh pada daerah kabupaten dan
kota. Daerah kabupaten dan kota berkedudukan sebagai daerah otonomi yang
mempunyai kewenangan dan keleluasaan untuk membentuk dan melaksanakan
kebijakan menurut prakarsa dan partisipasi masyarakat. Demikian pula pada
penjelasan umum dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, untuk
mendukung penyelenggaraan otonomi daerah tersebut diwujudkan dengan
pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan
serta perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah. Sumber pembiayaan
pemerintah daerah dalam rangka perimbangan ini dilaksanakan dengan lebih
mengutamakan pelaksanaan asas desentralisasi. Hal-hal yang mendasar dalam
Undang-Undang ini adalah untuk mendorong pemberdayaan masyarakat,
menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat serta
mengembangkan peran dan fungsi DPRD.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 telah memberikan semangat dan
nilai-nilai yang telah sesuai dengan tuntutan dalam mewujudkan otonomi daerah
melalui penekanan aspek-aspek demokrasi, keadilan pemerataan, peran serta
masyarakat, serta pengelolaan potensi dan keanekaragaman daerah yang juga
memberikan makna baru terhadap sifat ruang lingkup otonomi daerah yaitu berupa
Arah pengembangan ini antara lain terlihat dari menguatkan peranan
Pemerintah Daerah dan DPRD dalam membuat kebijakan daerah dengan melibatkan
partisipasi masyarakat sesuai dengan potensi dan karakter masyarakatnya. Bila dikaji
secara lebih cermat, otonomi daerah yang luas dan utuh tidak saja berarti sebagai
peluang, tetapi juga sebagai tantangan bagi Pemerintah Daerah dan DPRD untuk
mampu mengatur, melayani, dan memenuhi kebutuhan masyarakat, sebagai satu
argumen dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah bahwa pemerintah daerah harus
mempunyai sumber-sumber keuangan yang memadai untuk membiayai
penyelenggaraan otonominya. Keberhasilan otonomi daerah tidak dapat dilepaskan
dari kemampuan daerah di bidang keuangan yang merupakan salah satu indikator
penting guna mengukur tingkat otonomi suatu daerah.
Reformasi anggaran dalam konteks otonomi memberikan paradigma baru
terhadap anggaran daerah yaitu bahwa anggaran daerah harus bertumpu pada
kepentingan publik, dikelola dengan berdaya guna dan berhasil guna serta mampu
memberikan transparansi dan akuntabilitas secara rasional untuk keseluruhan siklus
anggaran. Anggaran daerah dikelola berdasarkan performance oriented untuk seluruh
jenis pendapatan dan belanja, sehingga mampu menumbuhkan profesionalisme kerja
di setiap organisasi terkait, serta dapat memberikan keleluasaan bagi para
pelaksana/pengelola untuk dapat lebih memaksimalkannya berdasarkan prinsip value
Dalam konteks otonomi, daerah dituntut mandiri diberbagai aspek
pembangunan terutama kemandirian di dalam mendanai pelaksanaan pembangunan
daerahnya. Untuk menyelenggarakan otonomi daerah yang luas, nyata dan
bertanggung jawab diperlukan kewenangan dan kemampuan menggali sumber
keuangan sendiri, yang didukung oleh perimbangan keuangan pemerintah pusat dan
daerah serta antara propinsi dan kabupaten/kota yang merupakan prasyarat dalam
sistem pemerintahan daerah.
Sebagai konsekuensi di dalam menjalankan otonomi daerah, Kabupaten kota
di Propinsi Sumatera Utara dituntut untuk mampu meningkatkan pendapatan asli
daerah (PAD) yang merupakan tolok ukur terpenting bagi kemampuan daerah dalam
menyelenggarakan dan mewujudkan otonomi daerah, dikarenakan PAD merupakan
cerminan kemandirian suatu daerah dan penerimaan murni daerah yang merupakan
modal utama bagi daerah dalam membiayai pemerintahan dan pembangunan di
daerahnya.
Kemandirian suatu daerah dalam bidang keuangan dapat dilihat dari seberapa
besar kontribusi PAD terhadap APBD daerah tersebut. Pada prinsipnya semakin
besar sumbangan PAD kepada APBD akan menunjukkan semakin kecil
ketergantungan daerah kepada pusat. Kebutuhan belanja daerah dari tahun ke tahun
cenderung meningkat. Peningkatan belanja pemerintah ini digunakan untuk
non fisik. Tingginya belanja daerah ini perlu diimbangi dengan peningkatan
penerimaan keuangan daerah termasuk dari pendapatan pajak dan retribusi daerah.
Walaupun PAD diharapkan menjadi modal utama bagi penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan, namun pada saat ini kondisinya masih sangat
kurang memadai, dalam arti bahwa kontribusi yang dapat disumbangkan PAD
terhadap total penerimaan daerah (TPD) masih relatif sangat rendah. Keadaan
kemampuan keuangan daerah Kabupaten kota di Propinsi Sumatera Utara dalam
menggali PAD melalui pajak dan retribusi daerah dirasa masih belum optimal karena
adanya beberapa faktor penyebab diantaranya adalah kemajuan dari sektor usaha
dalam memberikan sumbangan terhadap kemampuan keuangan daerah.
Beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan otonomi
daerah adalah faktor manusia pelaksana, keuangan, peralatan, organisasi dan
manajemen. Bahkan masalah yang sering muncul adalah rendahnya kemampuan
pemerintah daerah untuk menghasilkan prediksi pendapatan daerah yang akurat,
sehingga belum dapat dipungut secara optimal.
Bersamaan dengan semakin sulitnya keuangan negara dan pelaksanaan
otonomi itu sendiri, maka setiap daerah dituntut harus dapat membiayai diri sendiri
melalui sumber-sumber keuangan yang dikuasainya. Peranan pemerintah daerah di
dalam menggali dan mengembangkan berbagai potensi daerah sebagai sumber
pendapatan daerah akan sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan tugas
Dari fenomena di atas dalam konteks otonomi daerah, semestinya kemampuan
untuk menyelenggarakan otonomi tersebut ditunjukkan dengan peranan pendapatan
asli daerahnya yang signifikan di dalam membiayai belanja daerahnya yang tercermin
pada kontribusi PAD terhadap APBD daerah yang bersangkutan. Melihat kontribusi
PAD yang masih sangat minim tersebut maka penulis tertarik untuk mengetahui
tentang sejauh mana kemampuan keuangan daerah Kabupaten/kota di Propinsi
Sumatera Utara dalam membiayai belanja daerahnya.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan fenomena yang telah diuraikan di atas, maka masalah-masalah
yang hendak diteliti dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : ‘Apakah
pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba badan usaha milik daerah, dan lain-lain
pendapatan asli daerah yang sah berpengaruh terhadap belanja langsung daerah di
Kabupaten/kota di Propinsi Sumatera Utara’.
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah
‘Untuk mengetahui apakah pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba badan usaha
milik daerah, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah berpengaruh terhadap
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1. Akademisi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pengembangan ilmu
pengetahuan itu sendiri dengan memberikan sumbangan bagi pengembangan
konsep-konsep yang sudah ada dan merangsang munculnya peneliti serupa
atau lebih lanjut khususnya pada tatanan kemampuan keuangan daerah dalam
membiayai belanja daerah.
2. Praktisi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi Pemerintah
Daerah Kabupaten kota di Propinsi Sumatera Utara dan dapat menjadi acuan
dalam pembuatan kebijakan di masa yang akan datang dalam hal
meningkatkan kontribusi PAD dalam APBD dan penetapan PAD sesuai
dengan potensi daerah.
3. Peneliti
Penelitian ini diharapkan untuk pengembangan serta menjadi media untuk
mengaplikasikan berbagai teori yang dipelajari, sehingga berguna dalam
1.5. Originalitas Penelitian
Penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian sebelumnya yaitu Saputra
(2007) dengan judul Analisis Kemampuan Keuangan Daerah dan Pengaruhnya
terhadap Belanja Daerah di Kabupaten Aceh Tenggara. Yang membagi variabel
independen menjadi tiga yaitu pendapatan asli daerah, pajak daerah dan retribusi
daerah, sedangkan yang menjadi variabel dependen adalah belanja daerah. Perbedaan
penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu peneliti membagi variabel
independen (Pendapatan Asli Daerah) menjadi empat variabel yaitu pajak daerah,
retribusi daerah, bagian laba badan usaha milik daerah dan lain-lain pendapatan asli
daerah yang sah. Sedangkan variable dependennya yaitu belanja langsung daerah.
Dan lokasi penelitian terletak di kabupaten/kota di Propinsi Sumatera Utara.
1.6. Batasan Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten/Kota di Propinsi Sumatera Utara.
Dalam hal ini penelitian akan dibatasi hanya pada faktor keuangan dengan melihat
Pendapatqn Asli Daerah berupa pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba badan
usaha milik daerah dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah serta belanja
langsung daerah sebagai salah satu kriteria kesiapan Pemerintah Kabupaten kota di
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori
2.1.1.Kebijakan Otonomi Daerah
Cita desentralisasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki
sumber utama dan prinsip dasar. Sumber utama dan prinsip dasar yang dianut dalam
penyelenggaraan sistem pemerintahan di daerah adalah pasal 18 UUD 1945, yang
berbunyi : Pembagian daerah Indonesia atas dasar besar dan kecil dengan bentuk
susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang dengan memandang
dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan
hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.
Dengan demikian secara yuridis formal penerapan sistem desentralisasi dalam
bentuk pemberian otonomi kepada daerah-daerah sudah memiliki dasar hukum yang
jelas dan kuat. Oleh karena itu perlu ada distribusi atau pelimpahan wewenang dari
pemerintah pusat kepada daerah dan pihak lain yang berkepentingan. Tipe
pelimpahan wewenang pemerintah pusat kepada daerah bagaimanapun menjadi
kewenangan pemerintah setempat.
Sementara itu sistem pemerintahan di Indonesia menunjukkan adanya dua
pendekatan dalam pemerintahan, yaitu pendekatan desentralisasi dan dekonsentrasi.
Masdiasmo (2002) menyebutkan pada dasarnya asas pemerintahan meliputi asas
pengembangan otonomi daerah atau fungsi pemerintahan tertentu dan kekuasaan
mengambil keputusan tertentu yang dilimpahkan kepada pemerintah daerah yang
mencakup lembaga perwakilan yang dipilih. Dekonsentrasi merupakan administrasi
daerah dan fungsi pemerintah di daerah yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat.
Dengan kata lain diartikan bahwa dekonsentrasi merupakan penyerahan wewenang
pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada aparat di daerah. Tugas Pembantuan
adalah penugasan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dan dari
pemerintah daerah ke desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
Tekad pemerintah pusat untuk meningkatkan peranan pemerintah daerah
dalam mengelola daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya Undang-Undang No.
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 33 Tahun
2004 tentang Perimbanngan Keuangan antara Pemerintah Pusat Pemerintah Daerah.
Sebagaimana tercantum dalam pasal 1 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 yang
dimaksud dengan otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dengan otonomi ini pemerintah daerah diharapkan bisa meningkatkan
kemandirian dalam pengelolaan pembangunan daerah. Lebih lanjut Suparmoko (2002
: 18) menerangkan bahwa yang dimaksud dengan daerah otonom adalah kesatuan
masyarakat hukum dengan daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus
masyarakat. Tujuan penerapan otonomi daerah pada prinsipnya adalah untuk
memberdayakan peran serta pemerintah dan masyarakat di daerah dalam
pembangunan wilayah. Diterangkan oleh Masdiasmo (2002) bahwa tujuan utama
penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik
(publik service) dan memajukan perekonomian daerah.
2.1.2. Kemampuan Keuangan Daerah
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 33
Tahun 2004 sudah tentu berpengaruh terhadap pengelolaan keuangan daerah. Devas
et.al, (1989 : 279) menjelaskan bahwa tujuan utama pengelolaan keuangan
pemerintahan daerah adalah sebagai berikut :
1. Pertanggungjawaban (Accountability). Pemerintah daerah harus
mempertanggungjawabkan tugas keuangan kepada lembaga atau orang yang
berkepentingan. Unsur tanggung jawab ini adalah meliputi keabsahan dengan
berpangkal pada ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku,
sedangkan pengawasan merupakan tata cara yang efektif untuk menjaga
kekayaan uang dan barang, mencegah penghamburan dan penyelewengan,
dan memastikan bahwa semua sumber pendapatan dan penggunaannya adalah
2. Mampu memenuhi kewajiban keuangan. Keuangan daerah harus dikelola
sedemikian rupa sehingga mampu melunasi semua ikatan keuangan, baik
jangka pendek maupun jangka panjang.
3. Kejujuran. Urusan keuangan harus diserahkan kepada pegawai yang jujur dan
kesempatan untuk berbuat curang dipersempit.
4. Efisiensi dan efektivitas. Tata cara mengurus keuangan daerah harus
menggunakan manajemen pengawasan yang baik. Sehingga memungkinkan
program dapat direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan
pemerintah daerah dengan biaya seefisien mungkin dan memerlukan jangka
waktu pelaksanaan yang seefektif mungkin.
5. Pengendalian. Petugas keuangan daerah, DPRD, dan petugas pengawas harus
melakukan pengendalian agar semua tujuan yang direncanakan bisa tercapai.
Untuk itu semua pihak yang berkepentingan dalam pengawasan ini harus
mengusahakan agar selalu mendapatkan informasi yang diperlukan untuk
memantau pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran keuangan daerah sesuai
dengan rencana dan sasaran.
Hal ini berkaitan erat dengan konsep otonomi dan desentralisasi yang pada
hakekatnya memberikan kekuasaan, kewenangan dan keleluasaan kepada pemerintah
daerah untuk mengatur dan menentukan penggunaan dana untuk melaksanakan
dampak otonomi daerah dan desentralisasi fiskal adalah perlunya dilakukan reformasi
manajemen keuangan daerah.
Di dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan, unsur penting yang
selalu menjadi perhatian pemerintah adalah dalam hal pengadaan sumber
pembiayaan. Salah satu kritetia penting untuk mengetahui secara nyata kemampuan
keuangan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya adalah
kemampuan self supporting dalam bidang keuangan. Dengan kata lain, faktor
keuangan merupakan faktor esensial dalam mengukur tingkat kemampuan daerah
dalam melaksanakan otonominya.
Faktor keuangan daerah menjadi begitu penting karena tanpa ada biaya yang
cukup, pemerintah tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik. Hal ini
menunjukkan bahwa pemerintah daerah tidak akan dapat melaksanakan fungsinya
dengan efektif dan efisien tanpa biaya yang cukup untuk memberikan pelayanan dan
pembangunan.
Secara umum keberhasilan keuangan daerah ditunjukkan oleh kemampuan
daerah meningkatkan penerimaan daerah secara berkesinambungan seiring dengan
perkembangan perekonomian tanpa memperburuk faktor-faktor produksi dan
keadilan. Musgrave (1993) menyebutkan bahwa asal usul prinsip kemampuan
keuangan adalah muncul dari prinsip manfaat. Dengan demikian prinsip kemampuan
keuangan berorientasi pada penerimaan dan masalah pendistribusian kembali
tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah disebutkan bahwa Keuangan Daerah
adalah semua hak dan kewajiban dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan di
daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya semua bentuk kekayaan
yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut.
2.1.3. Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
Penyelenggaraan pemerintahan di daerah pada hakekatnya selalu berpegang
pada asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang pada prinsipnya
diatur dan dikendalikan oleh pemerintah pusat. Berdasarkan ketiga asas tersebut,
hubungan pemerintah pusat dan daerah dalam bidang keuangan memerlukan aturan
yang jelas dan pengolahannya harus transparan. Diutarakan Davey (1988 : 254) hal
penting guna penentuan kekuatan dan bobot keuangan pemerintah daerah adalah
melalui perpaduan antara alokasi tanggung jawab dengan sumber-sumber dana di
setiap tingkat dan daerah.
Devas et.al (1989 : 179) mengungkapkan bahwa hubungan keuangan pusat
dan daerah pada prinsipnya adalah menyangkut pembagian tanggung jawab untuk
melaksanakan kegiatan tertentu antara tingkat-tingkat pemerintahan. Selain itu juga
menyangkut pembagian sumber penerimaan untuk menutup pengeluaran akibat
kegiatan-kegiatan tersebut. Tujuan utama hubungan ini adalah untuk mencapai
perimbangan agar potensi dan sumber daya di masing-masing daerah bisa dibagi
adanya kebijakan pembentukan dana perimbangan keuangan antara pemerintah pusat
dan daerah, yaitu dalam rangka pemberdayaan (empowerment) masyarakat dan
pemerintah daerah yang selama ini tertinggal dibidang pembangunan.
Menyadari akan pentingnya harmonisasi hubungan antara pusat dan daerah
ini, selanjutnya pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (d/h
UU No. 25/1999). Pada pasal 1 Undang-Undang ini menyatakan bahwa yang
dimaksud dengan Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
adalah suatu sistem keuangan pemerintahan dalam negara kesatuan, yang mencakup
pembagian keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah secara
proporsional, demokratis, adil transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi,
dan kebutuhan daerah, sejalan dengan kewajiban, pembagian kewenangan, dan
tanggungjawab serta tata cara penyelenggaraan kewenangan tersebut.
Pada aspek hubungan pemerintah pusat dan daerah ini Elmi (2002: 55)
mengungkapkan bahwa dengan adanya kebijakan yang mengatur mengenai
perimbangan keuangan pusat dan daerah, diharapkan pembagian kue nasional
menjadi lebih adil dan rasional. Artinya bagi daerah-daerah yang memiliki kekayaan
sumber daya alam akan memperoleh bagian pendapatan dengan jumlah yang lebih
besar sedangkan daerah-daerah lainnya akan mengutamakan bagian dari dana alokasi
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 yang menjelaskan Dana Perimbangan terdiri
atas : a) Dana Bagi Hasil; b) Dana Alokasi Umum; dan c) Dana Alokasi Khusus.
2.1.4. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Bab VIII Pasal 179
dinyatakan bahwa APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam masa
1 (satu) tahun anggaran terhitung mulai 1 (satu) tahun anggaran terhitung mulai 1
Januari sampai dengan 31 Desember. Pada Pasal 16 Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara disebutkan bahwa : (1) APBD merupakan
wujud pengelolaan keuangan daerah yang ditetapkan setiap tahun dengan Peraturan
Daerah (2) APBD terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan
pembiayaan (3) Pendapatan daerah berasal dari Pendapatan Asli Daerah, Dana
Perimbangan dan lain-lain pendapatan daerah yang sah (4) Belanja daerah dirinci
menurut organisasi, fungsi dan jenis belanja.
Dijelaskan oleh Suparmoko (2002 : 28) bahwa Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah harus disiapkan oleh Pemerintah Daerah dan ditetapkan dengan
Peraturan Daerah (Perda) atas persetujuan DPRD, selambat-lambatnya satu bulan
setelah ditetapkan APBD. Menurut Permendagri No. 13 Tahun 2006 Pasal 1 ayat 9
menyebutkan, yang dimaksudkan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
yang selanjutnya disebut dengan APBD adalah rencana keuangan pemerintah daerah
dengan peraturan daerah. Dengan demikian dapat dipahami bahwa keuangan daerah
dilaksanakan melalui serangkaian proses pengelolaan keuangan daerah yang meliputi
penganggaran, pelaksanaan dan pertanggungjawaban.
APBD atau juga dikenal dengan anggaran daerah adalah suatu bentuk konkrit
rencana kerja keuangan daerah yang komprehensif untuk mengaitkan belanja
pemerintah daerah yang dinyatakan dalam bentuk uang untuk mencapai tujuan dan
target dan apa yang direncanakan dalam jangka waktu tertentu. Pentingnya posisi
keuangan daerah dalam penyelenggaraan otonomi daerah sangat disadari oleh
pemerintah dan demikian pula dengan alternatif cara untuk mendapatkan keuangan
yang memadai. Salah satu indikator kemampuan daerah yang maksud adalah
kontribusi PAD terhadap APBD.
2.1.5. Pendapatan Asli Daerah
Sesuai UU No. 33 Tahun 2004, apabila kebutuhan pembiayaan suatu daerah
lebih banyak diperoleh dari subsidi atau bantuan dari pusat, dan nyata-nyata
kontribusi PAD terhadap kebutuhan pembiayaan tersebut sangat kecil, maka dapat
dipastikan bahwa kinerja keuangan daerah itu masih sangat lemah. Kecilnya
kontribusi PAD terhadap kebutuhan pembiayaan sebagaimana yang tertuang dalam
APBD merupakan bukti kekurangmampuan daerah dalam mengelola sumber daya
Pasal 157 UU No. 32 Tahun 2004 dan Pasal 6 UU No. 33 Tahun 2004
menjelaskan bahwa sumber pandapatan asli daerah terdiri atas hasil pajak daerah,
hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan yang dipisahkan dan lain-lain PAD
yang sah.
Pajak Daerah. Wewenang mengenakan pajak atas penduduk untuk membiayai
layanan masyarakat merupakan unsur penting dalam sistem pemerintahan daerah.
Diungkapkan dalam Devas et.al, (1989 : 58) bahwa sistem perpajakan yang dipakai
sekarang ini banyak mengandung kelemahan, dan tampaknya bagian terbesar dari
pajak daerah lebih banyak menimbulkan beban daripada menghasilkan penerimaan
bagi masyarakat. Untuk itu pemerintah perlu melakukan perubahan besar pada sistem
pajak nasional, dan perubahan sistem pajak daerah merupakan langkah logis untuk
langkah berikutnya.
Pembaharuan yang dilakukan pemerintah misalnya dengan diterbitkannya UU
No. 34 Tahun 2000 tentang pajak dan retribusi sebagai perubahan UU No. 18 Tahun
1997. dengan diberlakukannya UU No. 34 Tahun 2000 ini jenis pajak daerah
jumlahnya menjadi berkurang. Terakhir pemerintah menerbitkan UU No. 33 Tahun
2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah. Dalam Undang-Undang tersebut dijalaskan tentang pembagian hasil Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Upaya peningkatan pajak dilakukan di dalam perbaikan sistem perpajakan
secara keseluruhan. Ada beberapa upaya yang bisa dilakukan antara lain menghapus
pajak daerah yang tidak memuaskan, memperbaiki kinerja pajak daerah yang ada,
meningkatkan wewenang pemerintah daerah, meningkatkan administrasi pajak
daerah, dan menciptakan pajak daerah baru. Keberhasilan dalam mengelola
sumber-sumber penerimaan pajak daerah tergantung pada kemampuan pemerintah daerah itu
sendiri dalam mengoptimalisasikan faktor-faktor yang turut menentukan keberhasilan
tersebut. Devas et.al (1989 : 72) dalam memberikan penjelasan bahwa kemampuan
menghimpun dana adalah perbandingan antara penerimaan dari pajak dengan PDRB
atau disebut dengan upaya pajak (tax effort).
Masdiasmo (2002) mengungkapkan bahwa untuk mengurangi ketergantungan
terhadap pembiayaan dari pemerintah pusat, pemerintah daerah perlu diberikan
otonomi dan keleluasaan daerah (local discretion). Langkah penting yang harus
dilakukan untuk meningkatkan penerimaan pajak yang riil yang dimiliki oleh daerah
tersebut, sehingga bisa diketahui peningkatan kapasitas pajak (tax capacity) daerah.
Peningkatan kapasitas pajak pada dasarnya adalah optimalisasi sumber-sumber
pendapatan daerah.
Retribusi Daerah. Pemungutan retribusi (Charging) dibayar langsung oleh mereka
yang menikmati suatu pelayanan, dan biasanya dimaksudkan untuk menutup seluruh
atau sebagian dari biaya pelayanannya. Besarnya retribusi seharusnya (lebih kurang)
ialah pembayaran pada negara yang dilakukan oleh mereka yang menggunakan
jasa-jasa. Lebih lanjut Syamsi (1994 : 221) mengatakan bahwa retribusi adalah iuran dari
masyarakat tertentu (individu yang bersangkutan) yang ditetapkan berdasarkan
peraturan pemerintah yang prestasinya ditunjuk secara langsung, dan pelaksanaannya
dapat dipaksakan. Dengan kata lain yang lebih sederhana, retribusi adalah pungutan
yang dibebankan kepada seseorang karena menikmati jasa secara langsung.
Sedangkan Redjo (1998 : 89) berpendapat bahwa retribusi ialah suatu
pembayaran dari rakyat kepada pemerintah dimana kita dapat melihat adanya
hubungan antara balas jasa yang diterima langsung dengan adanya pembayaran
retribusi tersebut, misalnya uang langganan air minum, uang langganan listrik dan
lain-lain.
Mengenai potensi retribusi daerah, Koswara (2001 : 191) memaparkan bahwa
seperti halnya dengan pajak daerah, hanya dengan beberapa jenis retribusi yang
efektif berperan sebagai sumber pendapatan daerah. Walaupun demikian Devas et.al,
(1989 : 91) mengatakan bahwa retribusi merupakan sumber pendapatan yang sangat
penting dan hasil retribusi hampir mencapai setengah dari seluruh pendapatan daerah.
Dalam dimensi potensi daerah yang demikian itu, pemerintah daerah hendaknya
dapat mengembangkan inisiatif dan upaya untuk meningkatkan penerimaan retribusi
daerah. Upaya ini antara lain dilakukan dengan cara memberikan palayanan publik
secara profesional dan mampu memberikan kepuasan kepada setiap penerima
Davey (1988 : 148) mengungkapkan beberapa pendapatan mungkin akan
timbul pada elastisitas retribusi yang harus responsif kepada pertumbuhan penduduk
dan pendapatan. Hal ini umumnya dipengaruhi oleh pertumbuhan permintaan atau
konsumsi akan suatu pelayanan. Dalam konteks yang demikian itu, pengelolaan
sumber-sumber PAD dari jenis retribusi tentu mempunyai konsekuensi yang harus
difikirkan oleh pemerintah daerah. Artinya, pemerintah daerah tidak boleh hanya
memikirkan bagaimana memperoleh pendapatan yang sebesar-besarnya dari
pemungutan retribusi, tetapi pemerintah daerahpun harus bertanggung jawab atas
konsekuensi pemungutan retribusi tersebut.
Bagian Laba Badan Usaha Milik Daerah. Jenis bagian laba badan usaha milik
daerah dapat dirinci menurut obyek pendapatan yang mencakup bagian laba atas
penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/BUMD, bagian laba atas penyertaan
modal pada perusahaan milik pemerintah /BUMN dan bagian laba atas penyertaan
modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha masyarakat.
Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah. Jenis lain-lain Pendapatan Asli
Daerah yang Sah sesuai UU No. 33 Tahun 2004 disediakan untuk menganggarkan
penerimaan daerah yang tidak termasuk dalam jenis pajak daerah, retribusi daerah
dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dirinci menurut obyek
pendapatan yang antara lain: hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan
secara tunai atau angsuran/cicilan, jasa giro, pendapatan bunga, penerimaan atas
sebagaimana akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh
daerah, penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang
asing
2.1.6. Belanja Langsung Daerah
Belanja langsung daerah dipergunakan dalam rangka pelaksanaan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota yang terdiri
dari urusan wajib dan urusan pilihan yang ditetapkan berdasarkan peraturan
perundang-undangan. Kelompok Belanja Langsung dari suatu kegiatan menurut
jenisnya terdiri dari :
a. Belanja Pegawai
Belanja Pegawai yang dimaksud pada kelompok belanja langsung adalah
pengeluaran honorarium/ Upah dalam melaksanakan program dan kegiatan
Pemerintah Daerah.
b. Belanja Barang dan Jasa
Belanja Barang dan Jasa maksudnya belanja yang digunakan untuk pengeluaran/
pembelian/ pangadaan barang yang nilai manfaatnya kurang dari 12 bulan.
c. Belanja Modal
Belanja Modal dimaksud belanja yang digunakan untuk pengeluaran yang
berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 bulan untuk digunakan
dalam kegiatan pemerintahan.
2.2. Review Penelitian Terdahulu
Penelitian yang berkaitan dengan belanja negara dan belanja daerah telah banyak
dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya, diantaranya adalah :
1. Saputra (2007) telah meneliti tentang Analisis Kemampuan Keuangan Daerah
dan Pengaruhnya Terhadap Belanja Daerah di Kabupaten Aceh Tenggara dan
menyimpulkan bahwa Pendapatan Asli Daerah, Pajak Daerah dan Retribusi
daerah berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap Total Belanja
Daerah di Kabupaten Aceh Tenggara.
2. Eriadi (2004) juga telah meneliti tentang perbandingan kinerja keuangan
pemerintah daerah sebelum dan setelah otonomi daerah ini menyimpulkan
a. Analisa Data yang dilakukan menunjukkan bahwa regulasi keuangan tidak
secara keseluruhan memperbaiki rata-rata kinerja keuangan pemerintah
daerah. Hal ini dapat dijelaskan dari hasil penelitian bahwa perbedaan
antara sebelum dan setelah otonomi daerah yaitu rasio desentralisasi
fiskal, rasio upaya fiskal, rasio kemampuan pembiayaan dan rasio
efisiensi, diantaranya dua rasio berkembang positif berupaya kenaikan
rata-rata kinerja yaitu rasio upaya fiskal dan rasio efisiensi, sisanya dua
setelah otonomi yaitu rasio desentralisasi fiskal dan rasio kemampuan
pembiayaan.
b. Sedangkan rasio desentralisasi fiskal, rasio kemampuan pembiayaan dan
rasio efisiensi anggaran tidak mengalami perubahan yang signifikan dalam
periode sebelum dan sesudah otonomi.
3. Kusumayoni (2004) telah meneliti tentang kemampuan keuangan daerah yang
diproksikan dalam PAD, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah berpengaruh
positif terhadap pengeluaran daerah, PDRB juga mempunyai pengaruh positif
terhadap PAD, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
4. Kustiawan (2003) telah meneliti peran dan orientasi pemerintah daerah dalam
rangka optimalisasi pendapatan asli daerah dan dana perimbangan yang
proporsional kasus pada Dinas Pendapatan Daerah Propinsi Jawa Barat.
Penelitian ini juga menggunakan analisis deskriptif dan hasilnya
menunjukkan bahwa :
1). Pada dasarnya upaya Pemerintah Propinsi Jawa Barat dalam mengoptimalkan
PAD-nya adalah dilakukan dengan 2 cara yaitu :
a) Intensifikasi, yaitu suatu upaya mengoptimalkan PAD dengan cara
meningkatkan dari yang sudah ada.
b) Ekstensifikasi, yaitu mengoptimalkan PAD dengan cara mengembangkan
subyek dan obyek pajak. Tetapi kendalanya terhadap upaya untuk
diberi kewenangan untuk memungut empat jenis pajak sebagaimana diatur
dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 34 Tahun 2000.
2). Pemerintah Daerah Jawa Barat setuju dengan formula yang telah diterapkan
dalam PP No. 104 Tahun 2000, karena Jawa Barat termasuk satu dan empat
propinsi yang mendapat pembobotan Dana Alokasi Umum terbesar (Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan DKI Jakarta).
5. Saggaf (1999) telah meneliti tentang “Pengaruh pendapatan asli daerah
terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi di Pekan Baru”, dengan
menggunakan analisis kuantitatif berupa analisis regresi, penelitian ini
menyimpulkan bahwa :
1) Secara bersama-sama terdapat pengaruh yang signifikan antara PAD dan
komponen PAD terhadap pertumbuhan ekonomi (PDRB).
2) Secara partial pengaruh PAD dan komponen PAD yaitu pajak daerah,
retribusi daerah dan laba BUMD yang signifikan terhadap pertumbuhan
ekonomi (PDRB) sedangkan komponen PAD lainnya (Pendapatan Dinas)
tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.
Tabel 2.1 : Peneliti Terdahulu
No Nama
Peneliti
Judul Penelitian
Tahun Variabel Kesimpulan
1. Andra Eka
2. Eriadi Analisis Perbandingan Kinerja Keuangan rangka opti malisasi Penda patan Asli Daerah dan dana perimbangan dan proposional (studi kasus pada Dinas Pendapatan daerah Propinsi Jawa Barat
2003 Anggaran dan realisasi PAD PAD dengan dua cara yaitu intensifikasi dan ekstensifikasi
5. Said Saggaf
Analisa Pengaruh Pendapatan Asli Daerah ter
hadap Pening katan Pertum buhan Ekonomi di Kotamadya DATI II Pekan Baru
1999 Anggaran dan Realisasi PAD
PDRB APBD
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS
3.1. Kerangka Konsep
Berdasarkan latar belakang dan landasan teori, maka model penelitian dapat
dibuat seperti pada gambar 3.1.
Kemampuan
Pendapatan asli daerah dapat diartikan sebagai pendapatan yang bersumber
dari pungutan-pungutan yang dilaksanakan oleh daerah berdasarkan
peraturan-peraturan yang berlaku yang dapat dikenakan kepada setiap orang atau badan usaha
baik milik pemerintah maupun swasta, karena perolehan jasa yang diberikan
pemerintah daerah tersebut maka daerah dapat melaksanakan pungutan dalam bentuk
penerimaan pajak, retribusi dan penerimaan lainnya yang sah yang diatur oleh
undang-undang.
Kemampuan keuangan daerah adalah sebagaimana kemampuan pemerintah
daerah untuk menghasilkan keuangan daerah melalui penggalian kekayaan asli
daerah yang dikatakan sebagai pendapatan asli daerah yang harus terus menerus
dipacu pertumbuhannya oleh pemerintah daerah. Jumlah dan kenaikan kontribusi
pendapatan asli daerah akan sangat berperan dalam kemandirian pemerintah daerah.
Ini dapat dilihat melalui sasaran yang telah dicapai dalam pelaksanaan pembangunan
dan pelayanan kepada masyarakat melalui pemanfaatan pendapatan asli daerah.
Pajak daerah merupakan bentuk pendapatan daerah yang ditentukan oleh
undang-undang sebagai kewajiban masyarakat yang dibayarkan kepada pemerintah
secara periodik yaitu setiap tahun. Berbagai sumber pajak seperti pajak bumi dan
bangunan, pajak hotel dan restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan
jalan, pajak pengambilan dan pengolahan bahan galian C.
Retribusi merupakan pungutan resmi yang diatur dengan undang-undang
daerah diantaranya retribusi pelayanan kesehatan, retribusi sampah, retribusi catatan
sipil, retribusi parkir, retribusi pasar, retribusi terminal, retribusi obyek-obyek wisata,
retribusi rumah potong hewan, retribusi hasil hutan, retribusi izin mendirikan
bangunan, retribusi pemanfaatan jalan kabupaten dan lain-lain.
Bagian laba badan usaha milik daerah menurut obyek pendapatan yang
mencakup bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/BUMD,
bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik pemerintah /BUMN dan
bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok
usaha masyarakat.
Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah dirinci menurut obyek
pendapatan yang antara lain: hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan
secara tunai atau angsuran/cicilan, jasa giro, pendapatan bunga, penerimaan atas
tuntutan ganti kerugian daerah, penerimaan komisi, potongan ataupun bentuk lain
sebagaimana akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh
daerah, penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang
asing.
Belanja Langsung dari suatu kegiatan menurut jenisnya terdiri dari belanja
pegawai yaitu pengeluaran honorarium/ Upah dalam melaksanakan program dan
kegiatan Pemerintah Daerah, belanja barang dan jasa yaitu pengeluaran atau
pembelian / pangadaan barang yang nilai manfaatnya kurang dari 12 bulan, belanja
rangka pembelian/ pengadaan atau pembangunan asset tetap berwujud yang
mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 bulan untuk digunakan dalam kegiatan
pemerintahan.
3.2. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan pada masalah dan kerangka konseptual yang telah dikemukakan
di atas, maka hipotesis penelitian yang akan diuji adalah: “ Pajak daerah, retribusi
daerah, bagian laba badan usaha milik daerah dan lain-lain pendapatan asli daerah
yang sah berpengaruh secara simultan dan parsial terhadap belanja langsung daerah
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian
Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian terhadap fakta-fakta untuk
membuktikan secara empiris tentang pengaruh suatu variabel dengan variabel lain,
yaitu fakta tentang pengaruh, Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Bagian Laba Badan
Usaha Milik Daerah dan Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah terhadap
Belanja Langsung Daerah di Pemerintahan Kabupaten/kota di Propinsi Sumatera
Utara.
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada 33 Kabupaten/Kota di Propinsi Sumatera Utara.
Penelitian ini dilakukan secara bertahap dalam Bulan Pebruari 2009 sampai dengan
Mei 2009.
4.3. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah Pemerintah Kabupaten/Kota di Propinsi
Sumatera Utara dalam bentuk laporan tahunan dengan menggunakan data runtut
waktu (time series) dan cross section selama 4 tahun yaitu dari tahun 2004 – 2007.
Obyek yang diteliti adalah kemampuan keuangan daerah yang diproksikan
lain-lain pendapatan asli daerah yang sah terhadap belanja langsung daerah di
Pemerintahan Kabupaten/kota di Propinsi Sumatera Utara. Populasi penelitian
sebanyak 33 kabupaten/kota di Propinsi Sumatera Utara. Pengambilan sampel
dilakukan secara purposive sampling dengan kriteria tersedianya data yang lengkap
selama periode amatan.
Berdasarkan kriteria di atas, maka jumlah kabupaten/kota yang akan dijadikan
Tabel 4.1 Populasi dan Sampel Penelitian
No KABUPATEN/KOTA POPULASI SAMPEL KETERANGAN
1 Kabupaten Nias √ Data Tdk lgkp
2. Kabupaten Mandailing Natal √ √ 3. Kabupaten Tapanuli Selatan √ √
4.4. Metode Pengumpulan Data
Jenis data adalah pooling data yaitu gabungan data time series dengan cross
section. Data penelitian adalah sekunder berupa realisasi pajak daerah, realisasi
retribusi daerah, realisasi bagian laba badan usaha milik daerah, lain-lain pendapatan
asli daerah yang sah dan belanja langsung daerah Kabupaten/kota di Propinsi
Sumatera Utara selama periode pengamatan. Sumber data diperoleh dari BPS,
buku-buku literature, jurnal maupun hasil publikasi dari instansi terkait yang ada
hubungannya dengan penelitian ini.
4.5. Definisi Operasional dan Metode Pengukuran Variabel
Variabel yang diteneliti dapat dikelompokkan menjadi variabel independen
dan variable dependen. Variabel independen terdiri dari pajak daerah, retribusi
daerah, bagian laba badan usaha milik daerah dan lain-lain pendapatan asli daerah
yang sah. Variabel dependen adalah belanja langsung daerah.
Devinisi operasional dan pengukuran variabel-variabel yang digunakan
adalah:
1. Pajak Daerah (X1) yaitu jumlah realisasi penerimaan pajak daerah yang
meliputi realisasi berbagai jenis pajak daerah yang ada di Kabupaten/kota di
2. Retribusi Daerah (X2) merupakan realisasi penerimaan dari retribusi yang
dipungut dari masyarakat oleh Pemerintah Kabupaten/kota di Propinsi
Sumatera Utara. Skala pengukuran yang digunakan adalah rasio.
3. Bagian Laba Badan Usaha Milik Daerah (X3) mencakup bagian laba atas
penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/BUMD, bagian laba atas
penyertaan modal pada perusahaan milik pemerintah/BUMN dan bagian laba
atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha
masyarakat yang ada di Kabupaten/kota di Propinsi Sumatera Utara. Skala
pengukuran yang digunakan adalah rasio.
4. Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah (X4) merupakan pendapatan
penerimaan daerah yang tidak termasuk dalam jenis pajak daerah, retribusi
daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. Skala
pengukuran yang digunakan adalah rasio.
5. Belanja Langsung Daerah (Y) yaitu jumlah realisasi belanja langsung. Skala
pengukuran yang digunakan adalah rasio.
Secara ringkas definisi dan pengukuran variabel-variabel penelitian dapat dilihat
pada tabel berikut :
Tabel 4.2 Definisi Operasional Variabel
Variabel
Penelitian Nama Variabel Definisi Operasional Parameter
Pajak Daerah (X1)
Pajak Daerah merupakan jumlah realisasi penerimaan yang meliputi berbagai jenis pajak daerah
Rasio
Retribusi Daerah
(X2) Retribusi Daerah merupakan realisasi retribusi yang dipungut dari masyarakat oleh Pemerintah
Rasio
Bagian Laba Badan
Usaha Milik Daerah (X3)
BLBU mencakup bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah, perusahaan milik pemerintah dan perusahaan milik swasta.
Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah merupakan pendapatan penerimaan daerah yang tidak termasuk jenis pajak daerah, retribusi daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan.
Rasio
Variabel Independen
Belanja langsung
daerah (Y) Belanja langsung daerah yaitu jumlah realisasi belanja langsung.
Rasio
4.6. Metode Analisa Data
Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan ilmiah dengan menggunakan
struktur teori untuk membangun satu atau lebih hipotesis yang membutuhkan
pengujian secara kuantitatif dan statistik. Jenis penelitian ini adalah penelitian uji
dengan tujuan penelitian. Data penelitian adalah pooling data yaitu data dan sampel
selama 4 tahun yaitu dari tahun 2004 – 2007. Model penelitian adalah sebagai beikut:
Y = β0 + β1 X1+ β2 X2 + β3 X3+ β4 X4 +ε
Dimana :
Y = Belanja Langsung
β0 = Konstanta
β1 s/d β4 = Koefisien estimasi
X1 = Pajak Daerah.
X2 = Restribusi Daerah
X3 = Bagian Laba Badan Usaha Milik Daerah
X4 = Lain-lain PAD yang Sah
4.6.1. Pengujian Asumsi Klasik
Selanjutnya peneliti akan melakukan pengujian dengan beberapa uji asumsi
klasik yaitu :
1) Pengujian Normalitas Data
Pengujian normalitas data bertujuan untuk mengetahui distribusi data dalam
variabel yang akan digunakan dalam penelitian. Data yang baik dan layak
yang digunakan dalam penelitian adalah data yang memiliki distribusi normal.
Dalam penelitian ini, untuk melihat normalitas dengan menggunakan data Uji
One-Sample Kolmogorov-Smirnov. Jika signifikansi dari nilai One-One-Sample
Kolmogorov-Smirnov lebih besar dari 0,05 berarti model penelitian
memenuhi asumsi normalitas.
2) Uji Multikolinieritas yaitu situasi adanya korelasi variabel-variabel independen
antara yang satu dengan yang lainnya. Dalam hal ini kita sebut
variabel-variabel bebas ini tidak ortogonal. Variabel-variabel-variabel bebas yang bersifat
ortogonal adalah variabel bebas yang memiliki nilai korelasi diantara
sesamanya sama dengan nol. Jika terjadi korelasi sempurna diantara sesama
variabel bebas, maka konsekuensinya adalah: (1). Koefisien-koefisien regresi
menjadi tidak dapat ditaksir. (2). Nilai standar error setiap koefisien regresi
menjadi tak terhingga. Pengujian ini bermaksud untuk menguji apakah pada
model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel independent. Jika
terjadi korelasi, maka dinamakan terdapat problem multikolinieritas.
Pengujian multikolinearitas dilakukan dengan melihat nilai VIF dan korelasi
diantara variabel independen. Jika nilai VIF lebih besar dari 10, maka terjadi
multikolinearitas diantara variabel independent. Disamping itu, suatu model
dikatakan terdapat gejala multikolinearitas, jika korelasi diantara variabel
independen lebih besar dari 0,9 (Ghozali, 2002).
a. Mengeluarkan salah satu variabel, misalnya variabel independen A dan B
saling berkolerasi dengan kuat, maka bisa dipilih A atau B yang dikeluarkan dari
model regresi.
b. Menggunakan metode lanjut seperti Regresi Bayesian atau Regresi Ridge.
3) Uji Heteroskedastisitas yaitu untuk menguji apakah dalam sebuah model regresi
terjadi ketidaksamaan varians dari residual dari satu pengamatan ke pengamatan
yang lain. Jika varians dari residual dari suatu pengamatan ke pengamatan lainnya
tetap, maka disebut homoskedastisitas. Sebaliknya jika varians berbeda, maka
disebut heteroskedastisitas. Model regresi yang baik adalah tidak terjadi
heteroskedastisitas. Pada penelitian ini, uji heterokedastisitas dilakukan dengan
melihat titik Scatterplot.
4) Uji Autokorelasi dalam suatu model bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya
korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode tertentu dengan kesalahan
pengganggu periode sebelumnya. Cara ini mudah mendeteksi autokorelasi dapat
dilakukan dengan Durbin Watson hitung terletak di daerah No Autocorelation
(Nugroho, 2005:60).
Jika du < DW < (4-dl) maka nilai Durbin Watson berada di daerah No
Autocorelation. Jika (4-du) < DW < (4-dl) berarti uji Durbin Watson tidak
4.6.2. Pengujian Hipotesis
Pendekatan analisis yang dilakukan adalah metode Ordinary Least Square
(OLS). Dengan analisis ini pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen
yang diteliti bisa diketahui. Uji statistik yang akan digunakan meliputi :
1) Uji f yaitu diperlukan guna mengetahui pengaruh variabel independen secara
simultan terhadap variabel dependen. Uji statistik f pada dasarnya menunjukkan
apakah semua variabel independent atau bebas yang dimasukkan dalam model
mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel dependen.
2) Uji koefisien regresi dengan uji t (t-test) diperlukan guna mengetahui pengaruh
variabel independen secara parsial terhadap variabel dependen. Uji statistik t
pada dasarnya menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu variabel independent
secara individual dalam menerangkan variasi variabel dependen.
3) Uji Koefisien determinasi (R2) untuk mengetahui seberapa besar kemampuan
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini akan menyajikan mengenai pembahasan hasil-hasil pengujian
yang dilakukan, yang terdiri dari deskriptif data, statistik deskriptif, uji asumsi klasik
dan uji hipotesis dengan analisis regresi linear sederhana yang digunakan dalam menguji
hipotesis penelitian.
5.1. Deskriptif Data
Data penelitian yang digunakan merupakan data sekunder yang diperoleh dari
Biro Pusat Statistik. Data penelitian ini berupa hasil laporan keuangan Pemerintah
Kabupaten/kota dalam bentuk laporan tahunan selama 4 tahun yaitu dari tahun 2004 –
2007. Data penelitian yang diperlukan dari laporan keuangan Pemerintah
Kabupaten/kota di Propinsi Sumatera Utara adalah data tentang Pendapatan Asli
Daerah berupa Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Bagian Laba Badan Usaha Milik
Daerah dan Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah serta Belanja Langsung
Daerah di Kabupaten/kota di Propinsi Sumatera Utara. Data laporan keuangan
Kabupaten/kota di Propinsi Sumatera Utara selama 4 tahun dalam bentuk laporan
keuangan tahunan terdiri dari 19 Kabupaten kota. Jumlah amatan selama 4 tahun
5.2. Statistik Deskriptif
Berdasarkan hasil pengujian data, maka ringkasan hasil deskripsi data
penelitian dapat dilihat pada Tabel 5.1 berikut ini.
Tabel 5.1 Statistik Deskripsi (Dalam Milyar Rp)
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
BL 76 16.70 492.10 1.5942E2 108.81942
Pjk Daerah 76 .05 55.15 7.1133 10.37260
Ret. Daerah 76 .15 18.64 4.4208 3.50895
BLBU 76 .00 4.00 .4632 .88574
Lain2 76 .01 14.12 3.0632 2.71932
Valid N (listwise) 76
Dari data pada Tabel 5.1. Dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Rata-rata Belanja Langsung Kabupaten/kota di Propinsi Sumatera Utara
sebesar Rp. 1.594.200.000,- Selama 4 tahun amatan dari 19 Kabupaten/kota.
Belanja langsung yang paling rendah adalah Rp. 16.700.000.000,- yaitu
Kabupaten Pakpak Bharat dan Belanja Langsung yang paling tinggi sebesar
Rp. 492.100.000.000,- yaitu Kabupaten Deli Serdang. Untuk melihat
pertumbuhan masing-masing variable penelitian, dapat dilihat pada tabel
Tabel 5.2 Belanja Langsung (Dalam Milyar Rp)
No. Kabupaten/Kota 2004 2005 2006 2007
1 Mandailing Natal 80.4 68.7 130.4 341.7 2 Tapanuli Selatan 82.9 243.6 365.7 407.1 3 Tapanuli Tengah 156.8 149.7 188.1 235 4 Tapanuli Utara 147.4 139.6 243.2 233.4 5 Toba Samosir 148.5 114.9 194.1 224.4 6 Labuhan Batu 147.1 150.4 153.4 352.1
7 Asahan 101.1 132.1 187 433.5
8 Simalungun 65.7 75.7 206.7 360
9 Karo 59.3 63.1 124.3 297.7
10 Deli Serdang 78.7 135.3 337.9 492.1
11 Langkat 128.7 113 427.8 362.6
12 Humbang Hasundutan 75.3 81 118.4 248
13 Pakpak Bharat 16.7 45.2 90.7 176.4
Belanja langsung yang paling rendah selama amatan adalah dari Kabupaten
Pakpak Bharat di tahun 2004, hal ini disebabkan pada tahun tersebut, Kabupaten ini
merupakan Kabupaten baru.
2. Rata-rata Pajak Daerah Kabupaten/kota di Propinsi Sumatera Utara sebesar
Rp. 7.113.300.000,- Selama 4 tahun amatan dari 19 Kabupaten/kota. Pajak
Daerah yang paling rendah adalah Rp. 50.000.000,- yaitu Kabupaten Pakpak
Bharat dan Pajak Daerah yang paling tinggi sebesar Rp. 55.150.000.000,-
yaitu Kabupaten Deli Serdang. Untuk melihat pertumbuhan masing-masing
Tabel 5.3 Pajak Daerah (Dalam Milyar Rp)
No. Kabupaten/Kota 2004 2005 2006 2007
1 Mandailing Natal 2.59 2.38 3.01 3.85
8 Simalungun 7.97 10.09 10.82 10.83
9 Karo 4.39 5.33 5.49 6.43
10 Deli Serdang 37.02 46 46.93 55.15
11 Langkat 5.07 10.18 11.72 11.74
12 Humbang Hasundutan 0.73 0.53 1.03 1.22
13 Pakpak Bharat 0.05 0.15 0.11 0.13
Pajak daerah yang paling rendah selama amatan adalah dari Kabupaten
Pakpak Bharat di tahun 2004, hal ini disebabkan pada tahun tersebut, Kabupaten ini
merupakan Kabupaten baru.
3. Rata-rata Retribusi Daerah Kabupaten/kota di Propinsi Sumatera Utara
sebesar Rp. 4.420.800.000,- Selama 4 tahun amatan dari 19 Kabupaten/kota.
Retribusi Daerah yang paling rendah adalah Rp. 150.000.000,- yaitu
Kabupaten Pakpak Bharat dan Retribusi Daerah yang paling tinggi sebesar
pertumbuhan masing-masing variable penelitian, dapat dilihat pada Tabel
berikut ini.
Tabel 5.4 Retribusi Daerah (Dalam Milyar Rp)
No. Kabupaten/Kota 2004 2005 2006 2007
1 Mandailing Natal 1.7 1.62 2.44 2.58
12 Humbang Hasundutan 0.52 1.08 1.38 2.17
13 Pakpak Bharat 0.15 1.02 0.95 0.97
Retribusi Daerah yang paling rendah selama amatan adalah dari Kabupaten
Pakpak Bharat di tahun 2004, hal ini disebabkan pada tahun tersebut, Kabupaten ini
merupakan Kabupaten baru.
4. Rata-rata Bagian Laba Badan Usaha Milik Daerah Kabupaten/kota di Propinsi
Sumatera Utara sebesar Rp. 463.200.000,- Selama 4 tahun amatan dari 19
Kabupaten/kota. Bagian Laba Badan Usaha Milik Daerah yang paling
Asahan, Simalungun, Deli Serdang, Langkat, Humbang Hasundutan, Pakpak
Bharat dan Tebing Tinggi. Sedangkan Bagian Laba Badan Usaha Milik
Daerah yang paling tinggi sebesar Rp. 4.000.000.000,- yaitu Kabupaten
Simalungun. Untuk melihat pertumbuhan masing-masing variable penelitian,
dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 5.5 Bagian Laba Badan Usaha Milik Daerah (Dalam Milyar Rp)
No. Kabupaten/Kota 2004 2005 2006 2007
1 Mandailing Natal 0.02 0 0 1.19
5. Rata-rata Lain-lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah Kabupaten/kota di
Propinsi Sumatera Utara sebesar Rp. 3.063.200.000,- Selama 4 tahun amatan
dari 19 Kabupaten/kota. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah yang