• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sindroma Conn

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Sindroma Conn"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

SINDROMA CONN

Oleh :

DINA APRILLIA ARIESTINE

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA RSUP H. ADAM MALIK

(2)

DAFTAR ISI

PENDAHULUAN ... 1

INSIDENS ... 1

ETIOLOGI ... 2

PATOFISIOLOGI ... 3

GEJALA DAN TANDA ... 4

PEMERIKSAAN LABORATORIUM ... 4

DIAGNOSIS ... 4

DIAGNOSIS BANDING ... 7

PENATALAKSANAAN ... 8

KESIMPULAN ... 9

(3)

PENDAHULUAN

Hiperaldosteronisme primer adalah salah satu hipertensi sekunder, merupakan

sindrom yang disebabkan oleh hipersekresi aldosteron yang tidak terkendali, umumnya

berasal dari kelenjar korteks adrenal. Hiperaldosteronisme primer secara klinis dikenal

dengan triad terdiri dari hipertensi, hipokalemia dan alkalosis metabolik. Sindrom ini

dilaporkan pertama kali tahun 1955 oleh Jerome W. Conn.1,2 Skrining untuk

hiperaldosteronisme primer ini diindikasikan pada pasien dengan hipertensi dengan

hipokalemia yang tidak dapat dijelaskan, hipertensi resisten dan hipertensi grade 2, hipertensi

pada juvenile dan atau stroke (< 50 tahun), ditemukan massa adrenal non fungsional

insidental (insidentaloma), bukti adanya kerusakan organ akhir, dan sindrom metabolik.3

Telah dilaporkan adanya hubungan antara aldosteronisme primer dan gangguan

metabolisme karbohidrat oleh Conn pada tahun 1965 dan disebutkan bahwa

aldosterone-producing adenoma (APA) menjadi penyebab yang mungkin untuk timbulnya diabetes

melitus oleh American Diabetes Association. Namun, hasil penelitian retrospektif potong

lintang Matrozova dkk (2009) tidak dapat menunjukkan adanya perbedaan signifikan

prevalensi sindrom metabolik antara pasien aldosteronisme primer dan hipertensi esensial.4

INSIDENS

Semakin banyak laporan yang menunjukkan adanya peningkatan insidens

hiperaldosteronisme primer di masyarakat. Saat ini banyak laporan yang menunjukkan

kejadian hiperaldosteronisme primer berkisar antara 5-10%. Hasil ini didapatkan dengan

memeriksa semua pasien hipertensi terhadap kemungkinan hiperaldosteronisme primer. Pada

pasien ini tidak didapatkan hipokalemia. Tetapi peningkatan insidens hiperaldosteronisme

primer yang dilaporkan sebagian besar disebabkan peningkatan insidens kejadian hiperplasia

adrenal.5 Keadaan ini paling sering terjadi pada wanita usia pertengahan akibat sekresi

aldosteron autonom.6

Pasien dengan hiperaldosteronisme primer mengalami hipertensi pada dekade ke-4

sampai 7, kecuali mereka dengan glucocorticoid-remediable aldosteronism (GRA), di mana

hipertensi terjadi sejak lahir atau awal masa kanak-kanak. Predominan pada wanita, kecuali

(4)

pada GRA yang dapat mempengaruhi pria dan wanita sama banyak. Prevalensi komplikasi

serebrovaskular awal meningkat pada GRA, terutama kejadian stroke hemoragik yang berasal

dari aneurisma intraserebral yang mengalami ruptur.1

ETIOLOGI

Setengah sampai tigaperempat pasien mengalami adenoma adrenal soliter, kecil,

dengan penampang berwarna kuning. Sisanya mengalami hiperplasia adrenokortikal mikro

atau makronoduler. Gambaran patologi disebabkan oleh hipertensi atau hipokalemia.6

Ada 6 subtipe hiperaldosteronisme primer, yaitu:1,7

1. Aldosterone-producing adrenal adenomas (APA)

Terjadi pada kira-kira 40% kasus. Hiperaldosteronisme cenderung lebih berat, dengan

hipertensi dan hipokalemia yang lebih jelas.

2. Idiopathic hyperaldosteronism (IHA)

Disebabkan oleh hiperplasia adrenal bilateral, terdapat pada 50-60% kasus. Secara

umum, lebih ringan.

3. Primary adrenal hyperplasia (PAH) unilateral

Mempunyai kemiripan biokimia dengan APA, tetapi menunjukkan bentuk jarang

hiperaldosteronisme.

4. Aldosterone-producing adrenocortical carcinoma

Merupakan penyebab yang jarang dari hiperaldosteronisme primer.

5. Familial hyperaldosteronism

Tipe I atau glucocorticoid-remediable aldosteronism (GRA) diturunkan sebagai trait

dominan autosom yang tergantung dengan ACTH. Kelainan itu terjadi < 3% kasus

hiperaldosteronisme primer. Tipe II juga diturunkan secara dominant autosom, namun

tidak tergantung dengan ACTH.

6. Ectopic aldosterone-producing adenoma/carcinoma

Terjadi pada < 0,1% kasus.

(5)

Tabel 1. Demografi dan karakteristik subtipe hiperaldosteronisme primer.dikutip dari 9

PATOFISIOLOGI

Sel kelenjar adrenal yang mengalami hiperplasia atau adenoma menghasilkan hormon

aldosteron secara berlebihan. Peningkatan kadar serum aldosteron akan merangsang

penambahan jumlah saluran natrium yang terbuka pada sel prinsipal membran luminal dari

duktus kolektikus bagian korteks ginjal. Akibat penambahan jumlah ini, reabsorbsi natrium

mengalami peningkatan. Absorbsi natrium juga membawa air sehingga tubuh menjadi

cenderung hipervolemia.

Sejalan dengan ini, lumen duktus kolektikus ini berubah menjadi bermuatan lebih

negatif yang mengakibatkan keluarnya ion kalium dari sel duktus kolektikus masuk ke dalam

lumen tubuli melalui saluran kalium. Akibat peningkatan ekskresi kalium di urin, terjadi

kadar kalium darah berkurang. Peningkatan ekskresi kalium juga dipicu oleh peningkatan

aliran cairan menuju tubulus distal. Hal ini mengakibatkan tubuh kekurangan kalium dan

timbul gejala seperti lemas.

(6)

Hipokalemia yang terjadi akan merangsang peningkatan ekskresi ion H di tubulus

proksimal melalui pompa NH3+, sehingga reabsorbsi bikarbonat meningkat di tubulus

proksimal dan kemudian terjadi alkalosis metabolik. Hipokalemia bersama dengan

hiperaldosteron juga akan merangsang pompa H-K-ATPase di tubulus distal yang

mengakibatkan peningkatan ekskresi ion H, selanjutnya akan memelihara keadaan alkalosis

metabolik pada pasien ini.

Kadar renin plasma pada pasien ini sangat rendah. Hipervolemia yang terjadi akibat

reabsorbsi natrium dan air yang meningkat akan menekan produksi renin sehingga kadar

renin plasma tertekan. Hal ini berbeda dengan hiperaldosteronisme sekunder di mana terjadi

peningkatan kadar renin maupun aldosteron darah. Hiperaldosteronisme sekunder didapatkan

pada hipertensi renovaskular atau pemberian diuretik pada pasien hipertensi.

Hipertensi yang terjadi pada pasien ini sebagian besar disebabkan oleh hipervolemia

yang menetap.5,8,9

GEJALA DAN TANDA

Dapat timbul gejala yang berhubungan dengan hipokalemia, seperti kelemahan otot,

kram. Gejala lain yang tidak spesifik, seperti sakit kepala, kelelahan, palpitasi dan poliuria.

Tidak ada dijumpai tanda spesifik pada pemeriksaan fisik pada hiperaldosteronisme

primer. Kebanyakan pasien mengalami hipertensi, dapat ringan sampai berat, tetapi dapat

juga normal. Edema jarang ditemukan. Tanda-tanda kerusakan organ, seperti retinopati,

proteinuria, dan hipertrofi ventrikel kiri, berhubungan dengan keparahan dan lamanya

hipertensi.1,5

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan hipokalemia, alkalosis metabolik,

dan hipernatremia ringan. Hipokalemia dapat spontan atau didapat dari penggunaan diuretik.

Sedikit pasien dengan normokalemia.1,5

DIAGNOSIS

Tindakan diagnosis pada hiperaldosteronisme primer terdiri dari tahap menentukan

adanya hiperaldosteronisme primer dan mengetahui kausanya. Bila dicurigai terdapat

(7)

hiperaldosteronisme primer maka dilakukan pemeriksaan plasma aldosterone

concentration (PAC) dan plasma renin activity (PRA) secara bersamaan. Pemeriksaan ini

dilakukan pagi hari dan pasien tidak perlu harus berbaring. Sebelum tes dilakukan, perlu

diketahui apakah pasien sedang mengkonsumsi obat yang dapat mempengaruhi hasil

pemeriksaan seperti antagonis aldosteron, yang harus dihentikan 6 minggu sebelum

dilakukan pemeriksaan.

Rasio antara PAC (ng/dl) dengan PRA (ng/ml per jam) yang disebut sebagai

aldosterone renin ratio (ARR) memiliki nilai diagnostik yang bermakna. Nilai ARR > 100

dianggap sebagai nilai diagnostik yang sangat bermakna untuk terdapatnya

hiperaldosteronisme. Perlu diperhatikan pada penghitungan ARR sangat bergantung pada

nilai PRA. Bila menggunakan reagen yang dapat mengukur kadar PRA konsentrasi rendah,

maka ARR akan semakin besar. Karena itu disarankan menggunakan reagen yang dapat

mengukur kadar PRA yang rendah.5

Banyak obat-obatan antihipertensi yang dapat mempengaruhi nilai PAC dan PRA.

Beta bloker dapat menurunkan PRA, tidak mempengaruhi PAC, dan meningkatkan ARR.

Beta bloker harus dihentikan sedikitnya 2 minggu sebelum dilakukan pemeriksaan.

Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor dan angiotensin II receptor blocker (ARB)

dapat menaikkan PRA dan menurunkan PAC, sehingga ARR juga turun dan membuat hasil

menjadi negatif palsu. Sebaliknya reseptor α1 bloker doxazosin tidak mempunyai efek pada

sistem renin-angiotensin-aldosteron.3

Kombinasi PAC 20 ng/dl (555 pmol/l) dan ARR > 30 memiliki spesifisitas 90% dan

sensitivitas 91% untuk mendeteksi hiperaldosteronisme.1,5

Peningkatan serum aldosteron dan ARR saja tidak berarti didapatkan

hiperaldosteronisme primer. Perlu dilakukan pemeriksaan untuk menunjukkan adanya sekresi

kelenjar adrenal yang berlebihan. Untuk itu dilakukan tes supresi kelenjar aldosteron dengan

memberikan garam NaCl. Terdapat dua cara melakukan tes supresi yaitu secara oral dan

pemberian NaCl isotonis. Pada tes supresi oral diberikan diet 5 g NaCl per oral dengan

pemberian selama 3 hari. Setelah hari ketiga dilakukan pengumpulan urin selama 24 jam

untuk mengukur kadar natrium, kalium dan aldosteron dalam urin. Kadar natrium dalam urin

harus lebih dari 200 mEq yang menandakan diet tinggi natrium yang diberikan telah cukup

adekuat. Kadar aldosteron urin lebih dari 14 μgr/24 jam atau 39 nmol/24 jam sesuai dengan

hiperaldosteronisme primer. Tes supresi kedua yaitu dengan pemberian 2 liter NaCl isotonis

dalam waktu 4 jam dengan posisi pasien tidur terlentang. Bila kadar aldosteron plasma lebih

(8)

Dari 10 ng/dl atau lebih dari 277 pmol/l, sesuai dengan adanya hiperaldosteronisme primer.

Diagnostik lain adalah dengan terdapatnya peningkatan ekskresi kalium dalam urin 24

jam (> 30 mEq/l). Syarat pemeriksaan ini adalah pasien tidak boleh dalam keadaan

hipovolemia atau dalam keadaan diet rendah natrium (kadar natrium urin kurang dari 50 mEq

per 24 jam). Tes captoril juga digunakan sebagai tes skrining.1,3,5,7,8,9

Pemeriksaan lain pada hiperaldosteronisme primer adalah pemeriksaan analisis gas

darah yang menunjukkan gambaran alkalosis metabolik yang disebabkan peningkatan

reabsorbsi bikarbonat di tubulus proksimal karena peningkatan kadar aldosteron.

Dahulu kecurigaan hiperaldosteronisme primer bila didapatkan pasien hipertensi

dengan hipokalemia atau adanya gejala lemas. Saat ini dengan semakin banyaknya laporan

peningkatan kejadian hiperaldosteronisme maka kriteria pasien yang perlu dilakukan skrining

diperluas. Di lain pihak, tes penyapihan pada semua pasien hipertensi tidak dianjurkan.

Walaupun saat ini dilaporkan adanya peningkatan kejadian hiperaldosteronisme primer di

masyarakat tetapi hasil skrining tersebut menunjukkan peningkatan populasi hiperplasia

adrenal yang cukup diterapi dengan pemberian antagonis aldosteron. Dengan melakukan

skrining hiperaldosteronisme pada semua pasien hipertensi, proporsi adenoma lebih sedikit

(dari 60-70% menjadi 25%) dibandingkan bila dilakukan skrining pada pasien dengan

hipokalemia atau hipertensi resisten.

Pemeriksaan berikutnya adalah untuk menentukan subtipe hiperaldosteronisme

primer. Pemeriksaan pencitraan berupa CT-scan atau MRI dapat membedakannya. Bila

didapatkan ukuran kelenjar > 4 cm, maka kecurigaan adanya karsinoma adrenal perlu

dipikirkan. Bila didapatkan kelenjar adrenal membesar satu sisi maka diagnostik terdapat

APA. Bila didapatkan kedua kelenjar membesar maka penyebab hiperaldosteronisme primer

adalah hiperplasia adrenal. Pada keadaan sulit untuk menentukan apakah terdapat hiperplasia

atau adenoma maka dilakukan pengukuran kadar aldosteron di vena adrenal. Pemeriksaan ini

dilaporkan sulit dilakukan karena itu harus dilakukan oleh ahli yang berpengalaman untuk

pemeriksaan ini. Pasien dalam pemberian infus kontinu ACTH 50 mcg per jam ketika

dilakukan pengambilan sampel darah vena. Juga diperiksa kadar kortisol untuk memastikan

darah berasal dari vena adrenal. Bila didapatkan kadar aldosteron berbeda > 4 kali maka di

sisi tersebut terdapat adenoma, sedangkan pada hiperplasia kelenjar adrenal kadar aldosteron

pada dua sisi hampir sama.5 Nwariaku dkk (2006) melaporkan tes sampel darah vena adrenal

lebih akurat dibandingkan dengan pemeriksaan CT-scan abdomen untuk menentukan APA

pada pasien hiperaldosteronisme primer dan dapat menurunkan angka morbiditas setelah

(9)

operasi adrenalektomi laparoskopi.10 Pemeriksaan lainnya adalah tes stimulasi postural,

sintigrafi adrenal NP59, tes supresi deksametason dan pengukuran 18-OH kortikosteron

plasma dan 18-hidroksikortisol dan 18-oksokortisol urin. GRA dikonfirmasi dengan tes

genetik.1,3,5,7,8,9

Gambar 1. Bagan diagnosis kerja untuk hiperaldosteronisme primer.dikutip dari 3

DIAGNOSIS BANDING

Tabel 2. Diagnosis banding pada hipertensi dan hipokalemia.dikutip dari 1

PRA meningkat

Defisiensi 11 beta-hidroksilase

Deoxycorticosterone-secreting tumors

Terpapar kelebihan mineralokortikoid

Defisiensi 11 beta-hidroksisteroid

dehidrogenase

Konsumsi licorice jangka panjang

(10)

Gagal jantung

Tujuan terapi adalah menormalkan tekanan darah, serum kalium dan kadar serum

aldosteron. Pada hiperplasia kelenjar aldosteron, hal ini dicapai dengan pemberian obat

antagonis aldosteron. Pemberian spironolakton 12,5-25 mg biasanya sudah cukup efektif

mengendalikan tekanan darah dan menormalkan kadar kalium plasma. Sayangnya, obat

spironolakton yang diberikan dalam jangka panjang mempunyai efek samping seperti

impotensi, ginekomastia, gangguan haid dan gangguan traktus gastrointestinal sehingga

pemberian jangka panjang spironolakton mempunyai banyak kendala. Saat ini ada obat baru

eplerenon dengan cara kerja memblok reseptor aldosteron secara selektif, dengan dosis dua

kali 25 mg per hari dengan efek samping yang lebih ringan daripada spironolakton, sehingga

dapat diberikan dalam jangka panjang, walaupun harganya relatif mahal. Selain terapi

farmakologi perlu dikurangi asupan garam dalam makanan, berolahraga secara teratur,

menormalkan berat badan dan menghindari konsumsi alkohol.

Bila pasien tidak toleran dengan spironolakton, dapat diberikan amiloride hingga

dosis 15 mg dua kali sehari. Amiloride hanya dipakai untuk menormalkan kadar kalium dan

tidak dapat menurunkan tekanan darah oleh karena itu perlu ditambahkan obat antihipertensi

lain. Perlu diperhatikan bahwa pada terapi ini kadar aldosteron dalam darah tetap tinggi dan

dalam jangka panjang dikhawatirkan hal ini dapat menimbulkan gangguan pada jantung. Efek

samping obat ini antara lain oyong, kelelahan dan impotensi. Obat alternatif lain adalah

triamteren 200-300 mg dosis terbagi dengan efek samping oyong dan mual.1,5

Total adrenalektomi unilateral adalah pilihan terapi pada APA dan PAH.

Adrenalektomi laparoskopi dapat mempersingkat lama rawat inap dan menurunkan kematian

(11)

dibandingkan dengan operasi terbuka. Dianjurkan untuk mengontrol tekanan darah dan

memperbaiki hipokalemia dengan spironolakton sebelum operasi. Pada APA, keadaan

hipokalemia diperbaiki secara cepat setelah adrenalektomi.1 Adrenalektomi pada adenoma

adrenal akan menormalkan kadar aldosteron plasma serta menormalkan tekanan darah tanpa

membutuhkan spironolakton, suplementasi kalium atau obat antihipertensi yang lain.5 Tetapi

Sawka dkk (2001) mendapatkan pada 40-60% pasien didapatkan tekanan darah tetap tinggi

pasca operasi. Pada kelompok dengan penggunaan obat antihipertensi kurang dari 2 dan tidak

adanya riwayat hipertensi dalam keluarga dilaporkan tekanan darah akan terkendali setelah

operasi adrenalektomi.11

KESIMPULAN

Bukti-bukti mengindikasikan bahwa hiperaldosteronisme primer lebih sering dijumpai

dan merupakan penyebab hipertensi sekunder yang paling umum. Sangat penting untuk

diagnosis dini hiperaldosteronisme primer karena jika terlambat dapat menyebabkan

kerusakan kardiovaskular.

(12)

KEPUSTAKAAN

1. Chen J. Conn’s Syndrome. In: Henderson KE et al, editors. The Washington Manual

Endocrinology Subspecialty Consult. USA: Lippincott Williams & Wilkins; 2006. p.

71-5.

2. Loriaux DL. Jerome W. Conn (1907-1994). The Endocrinologist 2008; 18 (4):159-60.

3. Rossi GP, Pessina AC, Heagerty AM. Primary aldosteronism: an update on screening,

diagnosis and treatment. Journal of Hypertension 2008; 26:613-21.

4. Matrozova J, Steichen O, Amar L, et al. Fasting Plasma Glucose and Serum Lipids in

Patients With Primary Aldosteronism. A Controlled Cross-Sectional Study.

Hypertension 2009; 53:605-10.

5. Nainggolan G. Hiperaldosteronisme Primer. Dalam: Sudoyo AW dkk, editor. Buku

Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke-4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen

Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006. hal. 610-1.

6. Piliang S. Penyakit Korteks Adrenal Lainnya. Dalam: Sudoyo AW dkk, editor. Buku

Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi ke-4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen

Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006. hal. 1984-6.

7. Young WF. Primary aldosteronism: renaissance of a syndrome. Clinical

Endocrinology 2007; 66:607-18.

8. Don BR, Lo JC. Endocrine Hypertension. In: Gardner DG, Shoback D, editors.

Greenspan’s Basic and Clinical Endocrinology, 8th ed. USA: McGraw-Hill; 2007. p.

396-420.

9. Ganguly A. Primary Aldosteronism. The New England Journal of Medicine 1998;

339 (25):1828-34.

10.Nwariaku FE, Miller BS, Auchus R, et al. Primary Hyperaldosteronism: Effect of

Adrenal Vein Sampling on Surgical Outcome. Arch Surg 2006; 141:497-503.

11.Sawka Am, Young WF, Thompson GB, et al. Primary Aldosteronism: Factors

Associated with Normalization of Blood Pressure after Surgery. Ann Intern Med

2001; 135:258-61.

Gambar

Tabel 1. Demografi dan karakteristik subtipe hiperaldosteronisme primer.dikutip dari 9
Gambar 1. Bagan diagnosis kerja untuk hiperaldosteronisme primer.dikutip dari 3

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

pelakVDQDDQ SHQJDZDVDQ GDQ HYDOXDVL SURJUDP SHQGLGLNDQ´ 3DUWLVLSDVL orangtua dapat berbentuk keikutsertaan mereka dalam penyelenggaraan pendidikan. Partisipasi orangtua juga

Bahwa Termohon melaksanakan pemungutan suara pada Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Nduga pada tanggal 25 Mei 2011 dan melakukan proses

Langkah nyata yang ditempuh Douwes Dekker guna menyuarakan aspirasinya ditempuh dengan mendirikan partai politik atau dikenal dengan Indische Partij.. Tjipto dikenal

Data input yang digunakan adalah data tahun 2012 pada Stasiun Tandun dan Stasiun Pantai Cermin untuk meramalkan tinggi muka air Stasiun Pantai Cermin tahun 2012

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah disesuaikan dengan tujuan penelitian “Endorphin Massage mempengaruhi Kesiapan Psikologi Ibu Hamil TM III

[r]

Pusat Kegiatan Lokal (PKL) yang merupakan kawasan kabupaten yang fungsinya melayani kegiatan skala kabupaten/kota atau beberapa kecamatan.Terdapatnya dua Kecamatan di

Segala Puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufiq, hidayah dan inayahnya sehingga penulis mampu menyelesaikan penyusunan skripsi ini yang berjudul “ Media