ANALISIS KRIMINOLOGI TERHADAP KETERLIBATAN
WANITA DALAM PEREDARAN GELAP
NARKOTIKA
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar
Sarjana Hukum
Oleh :
A
A
N
N
D
D
I
I
D
D
A
A
N
N
I
I
E
E
L
L
S
S
I
I
M
M
A
A
N
N
G
G
U
U
N
N
S
S
O
O
N
N
G
G
NIM. 070200436
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
2 0 1 1
ANALISIS KRIMINOLOGI TERHADAP KETERLIBATAN
WANITA DALAM PEREDARAN GELAP
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar
Sarjana Hukum
Oleh :
A
A
N
N
D
D
I
I
D
D
A
A
N
N
I
I
E
E
L
L
S
S
I
I
M
M
A
A
N
N
G
G
U
U
N
N
S
S
O
O
N
N
G
G
NIM. 070200436
Disetujui oleh:
Ketua Departemen Hukum Pidana
Dr. M. Hamdan, SH, M.Hum
Pembimbing I
Prof. DR. Ediwarman, SH, M.Hum
Pembimbing II
Nurmalawaty, SH, M.Hum
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang
telah melimpahkan rakhmat, taufik dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menempuh ujian tingkat
Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini
berjudul “Analisis Kriminologi Terhadap Keterlibatan Wanita Dalam
Peredaran Gelap Narkotika”.
Di dalam menyelesaikan skripsi ini, telah banyak mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan
terima-kasih yang sebesar-besarnya kepada :
- Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara Medan.
- Bapak Dr. M. Hamdan, SH, M.Hum, sebagai Ketua Departemen Hukum
Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
- Bapak Prof. DR. Ediwarman, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I
Penulis.
- Ibu Nurmalawaty, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II Penulis.
- Bapak dan Ibu Dosen serta semua unsur staf administrasi di Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
- Rekan-rekan se-almamater di Fakultas Hukum khususnya dan Umumnya
Pada kesempatan ini juga penulis mengucapkan rasa terima-kasih yang
tiada terhingga kepada Ayahanda dan Ibunda, semoga kebersamaan yang kita
jalani ini tetap menyertai kita selamanya.
Demikianlah penulis niatkan, semoga tulisan ilmiah penulis ini dapat bermanfaat
bagi kita semua.
Medan, Pebruari 2011
Penulis
DAFTAR ISI
halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iii
ABSTRAKSI ... v
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 5
D. Keaslian Penulisan ... 6
E. Tinjauan Kepustakaan ... 7
F. Metodologi Penulisan ... 11
G. Sistematika Penulisan ... 12
BAB II. BENTUK-BENTUK KETERLIBATAN WANITA DALAM PEREDARAN NARKOTIKA ... 14
A. Pengaturan Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Narkotika ... 14
B. Pengaturan Tentang Pengedaran Narkotika ... 20
C. Bentuk-Bentuk Keterlibatan Wanita Dalam Peredaran Narkotika ... 23
WANITA TERLIBAT DALAM PEREDARAN
NARKOTIKA DITINJAU DARI SEGI KRIMINOLOGI ... 30
A. Gambaran Umum Kriminologi ... 30
B. Gender ... 36
C. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Wanita Terlibat Dalam Peredaran Narkotika Ditinjau Dari Segi Kriminologi ... 39
BAB IV. UPAYA-UPAYA YANG PERLU DILAKUKAN UNTUK MENCEGAH ATAU MENANGGULANGI KETERLIBATAN WANITA DALAM PEREDARAN NARKOTIKA ... 55
A. Kedudukan Perempuan Di dalam Hukum ... 55
B. Peranan Wanita Dalam Peredaran Narkotika ... 64
C. Upaya-Upaya Yang Perlu Dilakukan Untuk Mencegah Atau Menanggulangi Keterlibatan Wanita Dalam Peredaran Narkotika ... 66
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 77
A. Kesimpulan ... 77
B. Saran ... 78
ABSTRAK
ANALISIS KRIMINOLOGI TERHADAP KETERLIBATAN WANITA DALAM PEREDARAN GELAP NARKOTIKA
Oleh : A
ANNDDII DDAANNIIEELL SSIIMMAANNGGUUNNSSOONNGG NIM. 070200439
Penelitian ini berupa membahas tentang keterlibatan wanita dalam peredaran narkoba. Hal ini disebabkan dewasa ini perkembangan peredaran narkoba semakin menunjukkan variasinya dimana dalam kegiatan yang bertentangan dengan hukum tersebut wanita dilibatkan. Sebagai landasan pembahasan akan dilakukan penelitian secara kepustakaan
Pembahasan yang akan dilakukan adalah tentang Bagaimana bentuk-bentuk keterlibatan wanita dalam peredaran narkotika, bagaimana upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk mencegah atau menanggulangi keterlibatan wanita dalam peredaran narkotika dan bagaimana faktor-faktor yang menyebabkan wanita terlibat dalam peredaran narkoba ditinjau dari segi kriminologi.
ABSTRAK
ANALISIS KRIMINOLOGI TERHADAP KETERLIBATAN WANITA DALAM PEREDARAN GELAP NARKOTIKA
Oleh : A
ANNDDII DDAANNIIEELL SSIIMMAANNGGUUNNSSOONNGG NIM. 070200439
Penelitian ini berupa membahas tentang keterlibatan wanita dalam peredaran narkoba. Hal ini disebabkan dewasa ini perkembangan peredaran narkoba semakin menunjukkan variasinya dimana dalam kegiatan yang bertentangan dengan hukum tersebut wanita dilibatkan. Sebagai landasan pembahasan akan dilakukan penelitian secara kepustakaan
Pembahasan yang akan dilakukan adalah tentang Bagaimana bentuk-bentuk keterlibatan wanita dalam peredaran narkotika, bagaimana upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk mencegah atau menanggulangi keterlibatan wanita dalam peredaran narkotika dan bagaimana faktor-faktor yang menyebabkan wanita terlibat dalam peredaran narkoba ditinjau dari segi kriminologi.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang dapat
mengakibatkan sindrom ketergantungan apabila penggunaannya tidak berada di
bawah pengawasan dan petunjuk tenaga kesehatan dan mempunyai keahlian
dan kewenangan untuk itu. Hal ini tidak saja merugikan bagi pengguna, akan
tetapi juga berdampak sosial, ekonomi, dan keamanan nasional, sehingga hal ini
merupakan ancaman bagi kehidupan bangsa dan Negara.
Penyalahgunaan narkotika mendorong adanya peredaran narkotika itu
sendiri, sedangkan peredaran gelap narkotika menyebabkan meningkatnya
penyalahgunaan yang main meluas dan berdimensi internasional. Sebab itu
diperlukan adanya upaya pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan
narkotika dan upaya pemberantasan peredaran gelap. Di samping itu upaya
pemberantasan peredaran gelap narkotika secara illegal terlebih dalam era
globalisasi komunikasi, informasi, dan transportasi sekarang ini sangat
diperlukan.
Maraknya kasus peredaran narkotika di Indonesia secara umum dan Sumatera Utara khususnya telah merasuk ke sendi-sendi kehidupan masyarakat, dari tingkat ekonomi bawah hingga ke tingkat ekonomi atas. Narkoba telah dijadikan mata pencaharian untuk memperoleh uang atau materi dengan cara yang mudah dan mengesampingkan upaya-upaya produktif yang legal. Fenomena permasalahan sosial ini selain melanggar
ketentuan hukum, tatanan adat budaya juga melanggar ketentuan agama.1
Keterlibatan wanita dalam walam peredaran narkotika baik itu sebagai
pemakai atau pengedar atau sekaligus kedua-duanya untuk setiap tahunnya dari Dalam masyarakat modern sekarang ini, termasuk di Indonesia sudah
menjadi keadaan yang biasa, seorang wanita aktif melakukan kegiatan diluar
rumah tangga atau keluarganya. Hal ini baik karena dorongan faktor kebutuhan
ekonomis yang meningkat maupun oleh faktor lain seperti sosial psikologis
karena banyaknya wanita yang berpendidikan yang mempunyai berbagai
keterampilan untuk bekerja.
Dengan semakin banyaknya wanita beraktifitas di luar rumah, maka
bekerja maupun dalam aktivitas lain sebagaimana halnya pria, tentu juga
berpengaruh dan terpengaruh oleh lingkungan sekelilingnya. Akibatnya wanita
yang melakukan kejahatanpun semakin meningkat pula. Hal ini dapat dilihat
diberbagai media massa tentang berita-berita kriminalitas yang dilakukan oleh
wanita. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari tidak merasa heran atau
menganggap hal yang luar biasa bila ada wanita merupakan indikator
meningkatnya kwalitas kejahatan wanita. Hal ini menunjukkan betapa
tertekannya kondisi sosial kaum wanita di satu sisi, yaitu mulai dari tekanan
dalam keluarga sampai kepada masalah ekonomi yang semakin menghimpit,
sehingga konstribusi ini menjadikan wanita terlibat dalam peredaran narkoba.
1
mulai tahun 2004 sampai dengan tahun 2010 menunjukkan angka yang
bervariasi. Untuk tahun 2004 jumlah tindak kejahatan narkotika di Sumatera
Utara adalah sebesar 2648 kasus dimana yang berjenis kelamin wanita
sebanyak 124 kasus atau sebesar 4,68% dari semua kasus narkotika. Untuk
tahun 2005 mengalami peningkatan dimana jumlah tindak kejahatan narkotika
ada sebesar 2326 kasus dan yang dilakukan wanita ada sebanyak 146 kasus atau
sebesar 6,27%. Untuk tahun 2006 ada sebanyak 873 kasus dimana yang
melibatkan wanita sebanyak 50 kasus atau sebesar 5,72%.2
Tahun 2007 ada sebanyak 1184 kasus kejahatan narkotika di Sumatera
Utara sedangkan yang melibatkan wanita sebanyak 126 kasus atau sebesar
10,64%. Untuk tahun 2008 ada sebanyak 2996 dimana yang melibatkan wanita
sebanyak 162 kasus atau sebesar 8,11%. Untuk tahun 2009 ada sebanyak
2143 kasus dan yang melibatkan wanita sebanyak 110 kasus atau sebesar
5,13%. Sedangkan untuk tahun 2010 ada sebanyak 1604 kasus tindak kejahatan
narkotika di Sumatera Utara dimana yang melibatkan wanita sebanyak 94 kasus
atau sebesar 6,22%.3
Data Pusat Informasi Masyarakat Anti Narkoba Sumatera Utara juga
menjelaskan untuk tahun 2010 adalah sebanyak 10 kasus tindak kejahatan
narkotika di Sumatera Utara yang melibatkan suami isteri. Artinya dalam kasus
ini ada dilibatkan wanita yang sekaligus berstatus sebagai seorang isteri dalam
2
Pusat Informasi Masyarakat Anti Narkoba Sumatera Utara (PIMANSU) & Divisi Litbang GAN Indonesia, Jl. P. Diponegoro No. 50 (Kantor Gubsu) Medan
3
hubungannya dengan kejahatan narkotika terlepas dari bentuk kejahatannya
pengedar atau pemakai.4
Sedangkan data lainnya dari Data Pusat Informasi Masyarakat Anti
Narkoba Sumatera Utara yang menjelaskan tindak kejahatan narkotika kasus
yang melibatkan ibu rumah tangga terbebas dari memiliki suami atau tidak ada
pada tahun 2010 ada sebesar 12 kasus.5
Data Pusat Informasi Masyarakat Anti Narkoba Sumatera Utara yang
menjelaskan tindak kejahatan narkotika yang melibatkan wanita dalam
peredaran gelap narkotika di Sumatera Utara untuk tahun 2010ada sebanyak 27
kasus.6
Selain itu penulis sangat ingin mengetahui faktor-faktor apa yang
membuat wanita melakukan tindakan sebagai pengedar narkotika, hal ini dapat
dilihat berdasarkan pemberitaan-pemberitaan yang dimuat di mass media Berdasarkan angka-angka di atas maka keberadaan wanita sangat
potensial dalam hal perkembangan kejahatan peredaran narkotika khususnya di
wilayah hukum Provinsi Sumatera Utara.
Keadaan dan gejala-gejala ini merupakan masalah yang tidak hanya
perlu diungkapkan tetapi juga memerlukan pengkajian-pengkajian baik secara
sosiologis, psikologis maupun dari segi hukum yang berlaku. Masalah inilah
yang menarik penulis untuk membahas hal tersebut.
4
Ibid.
5
Ibid.
6
seperti Harian Kompas, Waspada, Analisa dan sebagainya, dan juga media
elektronik seperti RCTI, Indosiar, SCTV dan lain sebagainya.
Bertitik tolak dari uraian diatas, maka penulis tertarik untuk memilih dan menetapkan judul tentang “Analisis Kriminologi Tentang Keterlibatan Wanita Dalam Peredaran Narkoba”.
B. Perumusan Masalah
Adapun yang mejadi permasalahan yang nantinya akan menjadi dasar
dari penelitian ini dilakukan adalah sebagia berikut :
1. Bagaimana bentuk-bentuk keterlibatan wanita dalam peredaran narkotika?
2. Bagaimana upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk mencegah atau
menanggulangi keterlibatan wanita dalam peredaran narkotika?
3. Bagaimana faktor-faktor yang menyebabkan wanita terlibat dalam
peredaran narkoba ditinjau dari segi kriminologi ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Sedangkan yang menjadi tujuan dari penelitian yang penulis lakukan
adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui bentuk-bentuk keterlibatan wanita dalam peredaran
narkotika.
2. Untuk mengetahui upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk mencegah atau
menanggulangi keterlibatan wanita dalam peredaran narkotika.
3. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan wanita terlibat dalam
Manfaat yang dapat diambil dari penelitian yang penulis lakukan ini
antara lain adalah sebagai berikut :
1. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagia bahan kajian lebih lanjut untuk
melahirkan beberapa konsep ilmiah yang pada gilirannya akan memberikan
sumbangan pemikiran bagi perkembangan hukum pidana, khususnya yang
berkaitan degnan keterlibatan wanita dalam peredaran narkoba.
2. Secara praktis.
a. Sebagai pedoman dan masukan bagi lembaga hukum, institusi
pemerintah dan penegak hukum dikalangan masyarakat luas;
b. Sebagai bahan informasi bagi semua kalangan yang berkaitan dengan
penegakan dan pengembangan hukum pidana;
c. Sebagai bahan kajian bagi kalangan akademis untuk menambah wawasan
dalam bidang hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan
keterlibatan wanita dalam peredaran narkoba.
D. Keaslian Penulisan
Adapun penulisan skripsi yang berjudul “Analisis Kriminologi Terhadap
Keterlibatan Wanita Dalam Peredaran Gelap Narkotika” ini merupakan luapan
dari hasil pemikiran penulis sendiri. Penlisan skripsi yang bertemakan
mengenai narkotika memang sudah cukup banyak diangkat dan dibahas, namun
pernah ditulis sebagai skripsi. Dan penulisan skripsi ini tidak sama dengan
penulisan skripsi lainnya. Sehingga penulisan skripsi ini masih asli serta dapat
dipertanggungjawabkan secara moral dan akademik.
E. Tinjauan Kepustakaan
Kriminologi merupakan cabang ilmu pengetahuan yang muncul pada
abad XIX yang pada intinya merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari
tentang kejahatan sebagai fenomena sosial.
Sutherland memasuki proses pembuatan Undang-Undang, dan reaksi terhadap pelanggaran Undang-Undang tersebut (reacting toward the
breaking of the law), dengan kata lain bahwa Sutherland melakukan
pembatasan terhadap objek studi kriminologi pada perbuatan-perbuatan yang terdapat dalam konteks hukum pidana.7
1. Kriminologi klasik / classical criminology (C. Beccaria)
Dalam kriminologi terdapat beberapa aliran pemikiran yang bertujuan
dalam menjelaskan fenomena kejahatan, yaitu :
Yaitu aliran yang mendasar pada pandangan bahwa intelegensi dan rasionalitas merupakan ciri fundamental dari mausia dan mejadi dasar bagi penjelasan perilaku manusia baik yang bersifat perorangan maupun kelompok. Intelegensi membuat mausia mampu mengarahkan dirinya sendiri dalam arti ia adalah penguasa dari nasibnya, pemimpin dari jiwanya. Mahkluk yang mampu memahakmi dirinya dan bertindak untuk mencapai kepentingan dan kehendaknya.8
Dalam knsep yang demikian maka masyarakat dibentuk sebagaimana adanya
sesuai dengan pola yang dikehendakinya. Kunci kemajuan menurut
7
Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, halaman 10.
8
pemikiran ini adalah kemampuan, kecerdasan dan akal yang dapat
ditingkatkan melalui latihan dan pendidikan sehingga manusia mampu
mengontrol nasibnya sendiri sebagia individu atau sebagai masyarakat.
Dengan demikian dalam rangka pemikiran ini lazimnya kejahatan dan
penjahat didefinisikan sebagai pelanggaran terhadap perbuatan yang dilarang
oleh Undang-undang pidana, sedangkan penjahat adalah setiap orang yang
melakukan kejahatan.
Dei delicti e dellea pene, paham indeterminis :
- Yang menyatakan bahwa setiap manusia mempunyai kehendak bebas,
artinya setiap manusia bebas menentukan tindakan apa yang akan
dilaku-kannya termasuk untuk melakukan perbuatan jahat.
- Tugas hukum pidana dalam kriminologi klasik adalah mebatasi atau
menentukan perbuatan yang dikulifikasikan sebagai kejahatan. Jadi
dalam hal ini kejahatan hanya ditinjau dari sudut Undang-undang.
2. Kriminologi positif / positif criminology (C. Lambroso)
Aliran ini berpandangan bahwa perilaku manusia ditentukan oleh factor-factor diluar kontrolnya, baik yang berupa favtro biologisnya maupun cultural. Ini berarti bahwa manusia bukan makhluk yang bebas untuk berbuat menuruti dorongan keinginan dan intelegensinya, akan tetapi makhluk yang dibatasi atau ditentukan oleh perangkat biologis dan situasi kulturalnya. Aliran pemikiran ini menghasilkan 2 (dua) pandangan:
a. Determinis biologis.
Yang menganggap bahwa organisasi social berkembang sebagia hasil indovidu dan perilakunya dipahami dan diterima sebagia pencerminan umum dari warisan biologis.
b. Determinis cultural.
melingkupinya.9
3. Kriminologis kritis.
Dalam kerangka pemikiran ini, maka tugas kriminologi adalah menganalisis
sebab-sebab perilaku kejahatan melalui studi ilmiah terhadap cirri-ciri
penjahat dari asfek fisik, social, dan kulturalnya.
Pemikiran kritis yang dikenal dalam berbagai disiplin ilmu merupakan aliran yang tidak berusaha menjawab pertanyaan “apakah perilaku manusia itu be-bas atau ditentukan”, akan tetapi lebih mengarah untuk mempelajari proses-proses manusia dalam membangun dunianya, dimana ia hidup. Oleh karena kriminologi kritis mempelajari proses dimana kumpulan orang-orang dan tindakan-tindakan ditunjuk sebagai criminal pada waktu dan tempat tertentu. Kriminologi kritis bukan hanya mempelajari perilaku orang-orang yang didefinisikan sebagai kejahatan, akan tetapi juga perilaku dari aparat-aparat penegak hukum, di samping mempertanyakan dijadikannya tindakan-tindakan tertentu sebagai kejahatan.10
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman baik sintesis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas, maka tugas kriminologi adalah
menganalisa proses-proses bagaimana cap jahat tersebut diterapkan terhadap
tindakan-tindakan dan orang-orang tertentu.
11
Istilah narkotika berasal dari bahasa Yunani yang disebut “ Narkotikos “ yang berarti kaku seperti patung atau tidur.12
9
Ibid., halaman 23. 10
Ibid.
11
Pusat Informasi Masyarakat Anti Narkoba Sumatera Utara (PIMANSU) Dan Gerakan Anti Narkoba (GAN) Indonesia, Workshop Manajemen Penanggulangan Permasalahan Narkoba
Berbasis Sekolah (MPP-NBS), Asrama Haji, Medan, 3-6 Agustus 2003, halaman 3.
12
Romli Atmasasmita, Tindak Pidana Narkotika Transnasional Dalam Sistem Hukum
Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, halaman 3.
patung atau tidur bila orang ini menggunakan bahan-bahan tertentu. Bahan-bahan tertentu ini dalam bahasa Yunani disebut Narkotika.
Narkotika ialah zat yang digunakan menyebabkan seseorang kaku seperti patung atau tidur (narkotikos). Lama kelamaan istilah narkotika tidak terbatas pada bahan yang menyebabkan keadaan yang kaku seperti patung atau tidur, tetapi juga bahan yang menimbulkan keadaan yang sebaliknya sudah dimasukkan pada kelompok narkotika.
Narkotika di dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 di dalam Pasal 1 ayat (1) diterangkan :
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.
Sebelum keluarnya Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang berlaku adalah Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Narkotika. Pada masa ini terasa kesimpang siuran pengertian narkotika. Ada yang menyatakan bahwa narkotika itu adalah obat bius, sebagian mengatakan obat keras atau obat berbahaya.
F. Metodologi Penulisan
Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini bersifat yuridis normatif, yaitu penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu keadaan yang menjadi objek penelitian dengan mendasarkan penelitian pada ketentuan hukum normatif. Dalam penelitian yuridis normatif ini akan digambarkan keadaan atau suatu fenomena yang berhubungan dengan telaah kriminologi terhadap keterlibatan wanita dalam peredaran gelap narkotika dengan mendasarkan penelitian pada Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
2. Sumber Data
Sumber penelitian yang dipergunakan bersumber dari data sekunder.
Data sekunder yakni dengan melakukan pengumpulan referensi yang berkaitan
dengan objek atau materi penelitian yang meliputi:
a. Bahan hukum primer, dalam penelitian ini dipakai adalah Undang-Undang
No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
b. Bahan hukum sekunder, berupa bacaan yang relevan dengan materi yang
diteliti.
c. Bahan hukum tertier, yaitu dengan menggunakan kamus hukum dan kamus
Bahasa Indonesia.
3. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang dipergunakan untuk mengumpulkan
data dalam penelitian ini adalah melalui studi dokumen yang berupa
pengambilan data yang berasal dari bahan literatur atau tulisan ilmiah sesuai
dengan objek yang diteliti.
4. Analisis Data
Jenis analisis yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif yang menggambarkan fenomen-fenomena mengenai hasil penelitian dengan kalimat-kalimat sehingga dapat memecahkan rumusan masalah.
G. Sistematika Penulisan
terdiri dari unit-unit bab demi bab. Adapun sistematika penulisan ini dibuat
dalam bentuk uraian:
Bab I. Pendahuluan
Dalam Bab ini akan diuraikan tentang uraian umum seperti
penelitian pada umumnya yaitu, Latar Belakang Masalah,
Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian
Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penulisan serta
Sistematika Penulisan.
Bab II. Bentuk-Bentuk Keterlibatan Wanita Dalam Peredaran Narkotika
Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang Pengaturan
Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Narkotika, Pengaturan Tentang
Pengedaran Narkotika dan Bentuk-Bentuk Keterlibatan Wanita
Dalam Peredaran Narkotika.
Bab III. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Wanita Terlibat Dalam
Peredaran Narkotika Ditinjau Dari Segi Kriminologi
Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan tentang: Gambaran
Umum Kriminologi, Pengertian Gender, dan Faktor-Faktor Yang
Menyebabkan Wanita Terlibat Dalam Peredaran Narkotika Ditinjau
Dari Segi Kriminologi.
Bab IV. Upaya-Upaya Yang Perlu Dilakukan Untuk Mencegah Atau
Menanggulangi Keterlibatan Wanita Dalam Peredaran Narkotika
Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan terhadap Kedudukan
Narkotika dan Upaya-Upaya Yang Perlu Dilakukan Untuk
Mencegah Atau Menanggulangi Keterlibatan Wanita Dalam
Peredaran Narkotika.
Bab V. Kesimpulan dan Saran
Bab ini adalah bab penutup, yang merupakan bab terakhir dimana
BAB II
BENTUK-BENTUK KETERLIBATAN WANITA DALAM PEREDARAN NARKOTIKA
Pengaturan Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Narkotika
1. Sejarah Penbentukan Undang-Undang Narkotika
Kebijakan penanggulangan dan penyalahgunaan narkotika di
Indonesia sebenarnya sudah dimulai sejak zaman penjajahan Belanda
dengan dikeluarkannya ordonansi obat bius dan candu (Verdoovende
Middlen Ordonantie, Stbl 1927 Nomor 278 jo Nomor 536.
Pada awal tahun 1970 penyalahgunaan narkotika sudah semakin sering
terjadi dalam masyarakat dan jenis-jenis narkotika yang beredar pun semakin
beragam, kenyataan ini menimbulkan kesadaran perlunya suatu undang-undang
yang dapat menjangkau setiap penyalahgunaan narkotika, selain itu bahwa
ketentuan dalam V.M.O Stbl 1927 Nomor 278 jo Nomor 536 tidak lagi
memenuhi syarat sebagai undang-undang narkotika dan kenyataan bahwa tidak
cocok lagi dengan administrasi pengadilan pidana.13 Maka pada tanggal 8 September 1971 Presiden lalu mengeluarkan Instruksi Presiden No.6 Tahun
1971 kepada Kepala Bakin yang pada prinsipnya memerintahkan Kepala Bakin
untuk memberantas masalah-masalah yang menghambat pembangunan
nasional, salah satunya adalah penyalahgunaan narkotika.14
13
M. Taufik Makarao, , dkk. Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2005, halaman 10
14
Khusus dalam masalah penyalahgunaan narkotika ketentuan hukum yang sudah ada belum dapat menjangkaunya, sebab ketentuan-ketentuan yang masih lama memiliki beberapa kelemahan, antara lain:
a. Tidak adanya keseragaman dalam pengertian narkotika.
b. Sanksi yang terlalu ringan dibanding dengan penyalahgunaan narkotika.
c. Ketidaktegasan dalam pemberantasan penjual, pemilik, pemakai, pengedar dan penyimpan narkotika.
d. Ketidak serasian antara ketentuanhukum pidana mengenai narkotika. e. Belum adanya badan bertingkat nasional yang khusus menangani
masalah penyalahgunaan narkotika.
f. Belum ada ketentuan khusus wajib lapor dalam kasus penyalahgunaan narkotika.
g. Belum adanya hal-hal yang khusus bagi yang berjasa dalam penyelidikan perkara penyalahgunaan narkotika.15
Kemudian pemerintah mengundangkan Undang-undang No. 9
Tahun 1976 tentang Narkotika yang diundangkan dalam Lembaran
Negara RI Tahun 1976 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara RI
Nomor 3086 dan dinyatakan berlaku sejak 26 Juli 1976, dalam
perkembangan terakhir, undang-undang ini pun diganti dengan
Undang-undang No.22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang diUndang-undangkan pada
tanggal 1 September 1997 dalam Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor
67 dan Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3698 dan berlaku sejak
undang-undang tersebut diundangkan. Lahirnya undang-undang tentang
narkotika yang baru ini didahului dengan keluarnya Undang-Undang
No.7 Tahun 1997 tentang Pengesahan Konvensi Pemberantasan Peredaran
Gelap Narkotika dan Psikotropika 1988.
Kemudian pada tahun 2009 diundangkan Undang-Undang Republik
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Diundangkan di
Jakarta pada tanggal 12 Oktober 2009 dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 143.
2. Kaidah Pidana Di Bidang Narkotika
Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
disamping mengatur penggunaan narkotika, juga mengatur secara khusus
ketentuan-ketentuan pidana sebagaimana yang diatur dalam Bab XV Pasal 111
sampai dengan Pasal 148 yang berjumlah 37 pasal. Semua tindak pidana yang
diatur dalam undang-undang tersebut merupakan kejahatan, alasannya adalah
bahwa narkotika dipergunakan untuk pengobatan dan kepentingan ilmu
pengetahuan, maka apabila ada perbuatan diluar kepentingan-kepentingan
tersebut sudah merupakan kejahatan mengingat besarnya akibat yang
ditimbulkan dari pemakaiaan narkotika secara tidak sah.
Dari ketentuan-ketentuan pidana tersebut maka pengelompokan
kejahatan di bidang narkotika adalah:
a. Kejahatan yang menyangkut produksi narkotika.
Kejahatan yang menyangkut produksi narkotika bukan hanya perbuatan yang memproduksi narkotika saja melainkan perbuatan yang sejenis dengan itu, berupa mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, merakit dan
menyediakan narkotika untuk semua golongan.
b. Kejahatan yang menyangkut pengangkutan dan transito narkotika.
Kejahatan narkotika ini dalam arti luas termasuk dalam perbuatan
15
membawa, mengirim dan mentransito narkotika, diatur dalam Pasal 81.
Kemudian masih ada tindak pidana di bidang pengangkutan narkotika yang
khusus ditujukan kepada nahkoda atau kapten penerbang karena tidak
melaksanakan tugasnya dengan baik.
c. Kejahatan yang menyangkut jual beli narkotika.
Kejahatan yang meyangkut jual beli narkotika disini maksudnya bukan hanya jual beli dalam arti sempit, akan tetapi termasuk pula perbuatan ekspor, impor dan tukar menukar narkotika. Dalam tindak pidana narkotika ini perbuatan menyalurkan dan menyerahkan narkotika juga termasuk dalam perbuatan jual beli narkotika.
d. Kejahatan yang menyangkut penguasaan narkotika.
Dalam kejahatan ini oleh undang-undang dibedakan antara tindak pidana menguasai narkotika golongan I dengan tindak pidana menguasai narkotika golongan II dan III, karena golongan narkotika tersebut memiliki fungsi dan akibat yang berbeda.
e. Kejahatan yang menyangkut penyalahgunaan narkotika.
Tindak pidana penyalahgunaan narkotika golongan I, golongan II dan
golongan III dibedakan atas dua macam, yaitu penyalahgunaan narkotika
untuk orang lain dan penyalahgunaan narkotika untuk diri sendiri.
f. Kejahatan yang menyangkut tidak melaporkan pecandu narkotika.
Undang-undang narkotika menghendaki agar pecandu narkotika
melaporkan diri atau keluarganya yang melaporkan. Kewajiban tersebut apabila tidak dilakukan merupakan tindak pidana bagi orang tua atau wali yang bersangkutan.
g. Kejahatan yang menyangkut label dan publikasi narkotika.
Seperti diketahui bahwa pabrik obat diwajibkan mencamtumkan label pada kemasan narkotika baik dalam bentuk obat jadi maupun bahan baku
tersebut tidak dilakukan maka terjadi kejahatan narkotika yang menyangkut label dan publikasi.
h. Kejahatan yang menyangkut jalannya peradilan narkotika.
Yang dimaksud dengan proses peradilan meliputi pemeriksaan perkara di
tingkat penyidikan, penuntutan dan pengadilan. Sehingga perbuatan yang
menghalang-halangi atau mempersulit jalannya proses peradilan yang
bertujuan untuk proses peradilan tidak lancar atau tidak jadi sama sekali
merupakan tindak pidana. Perbuatan menghalangi-halangi dapat dilakukan
di semua tingkat pemeriksaan yang dilakukan oleh siapa saja, sedangkan
pebuatan mempersulit dilakukan ketika pemeriksaan perkara sedang
berlangsung yang dilakukan oleh orang yang sedang diperiksa oleh petugas
atau pejabat pemeriksa.
i. Kejahatan yang menyangkut penyitaan dan pemusnahan narkotika.
Dalam perkara narkotika ada kemungkinan bahwa barang bukti yang disita
berupa tanaman yang jumlahnya sangat banyak, sehingga tidak mungkin
barang bukti tersebut diajukan ke persidangan semuanya. Barang bukti yang
demikian dilakukan penyisihan yang wajar dan selebihnya barang bukti itu
dimusnahkan yang dibuat dan dimasukkan dalam berkas berita acaranya.
Apabila tidak dilakukan maka dapat dikenakan tindak pidana.
j. Kejahatan yang menyangkut keterangan palsu.
memberikan keterangannya selalu konsekuen. Dan apabila dalam perkara narkotika saksi tidak memberikan keterangan dengan benar dapat dipidana.
k. Kejahatan yang menyangkut penyimpangan fungsi lembaga.
Lembaga-lembaga yang diberi wewenang oleh undang-undang narkotika untuk memproduksi, menyalurkan atau menyerahkan narkotika yang ternyata melakukan kegiatan narkotika tidak sesuai dengan tujuan
penggunaan narkotika sebagaimana yang ditetapkan oleh undang-undang, maka pimpinan lembaga yang bersangkutan dapat dijatuhi pidana.
l. Kejahatan yang menyangkut pemanfaatan anak dibawah umur.
Kejahatan di bidang narkotika tidak seluruhnya dilakukan oleh orang dewasa, tetapi ada kalanya kejahatan ini dilakukan pula bersama-sama dengan anak di bawah umur (belum genap 18 tahun). Anak-anak yang belum dewasa cenderung mudah dipengaruhi untuk melakukan perbuatan yang berhubungan dengan narkotika, karena jiwanya belum stabil akibat perkembangan fisik dan psikis.
Selain itu ada kemungkinan bahwa warga negara Indonesia yang
bepergian ke luar negeri ataupun yang berada diluar negeri melakukan
kejahatan narkotika dan setelah melakukan perbuatannya itu yang bersangkutan
kembali ke Indonesia. Dalam hal ini undang-undang narkotika akan selalu
mengikuti warga negara Indonesia kemana saja perginya, ketentuan dalam
undang-undang tersebut hanya dapat diberlakukan setelah pelakunya pulang ke
tanah air.
Selain mengatur penggolongan kejahatan di bidang narkotika,
undang-undang ini sudah mengenal ancaman pidana minimal yang dimaksudkan untuk
pemberatan hukuman apabila tindak pidananya:
a. Didahului dengan permufakatan jahat.
b. Dilakukan secara terorganisasi jahat.
d. Dilakukan oleh residivis.
Pengaturan Tentang Pengedaran Narkotika
Narkotika masuk ke Indonesia diketahui pada tahun 1969 di Jakarta.
Pada waktu itu dari sejumlah pasien yang berobat ke Senatorium Kesehatan
Jiwa Dharmawangsa oleh psikiater mendapati seorang pasien pengguna
narkotika dan sejak itulah disadari bahwa narkotika telah masuk ke Indonesia.
Pola peredaran narkotika di Indonesia melalui udara terutama di
pelabuhan udara yang banyak menerima wisatawan mancanegara. Meskipun
diketahui Indonesia telah masuk narkotika tahun 1969 dalam tingkat peredaran
Indonesia diketahui sebagai negara transit. Pada tahun 1999 status tersebut telah
berubah menjadi negara tujuan pemasaran/pengguna. Perubahan terjadi setelah
jumlah korban terus bertambah dan tertangkapnya jenis narkotika oleh petugas
Bea Cukai di Bandara Internasional dalam jumlah yang banyak. Di samping itu
pula aparat kepolisian berhasil menangkap/membongkar jaringan sindikat
pengedar tingkat internasional di Hotel berbintang dan tempat-tempat
pemukiman penduduk.
16 Sejak diketemukan sampai tahun 1972 jumlah pasien penyalahgunaan
narkotika terus meningkat dan Senatorium kewalahan menanganinya. Pada
tahun 1972 didirikanlah Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO)
Oleh karena pengawasan peredaran narkotika yang semakin ketat sejak
tahun 1999 narkotika masuk ke Indonesia tidak hanya lewat pelabuhan udara
tetapi melalui jalur laut dan darat dan dimungkinkan telah beredar ke kota-kota
besar dan kecil di Indonesia. Di samping itu pula ada jenis-jenis narkotika yang
telah diproduksi secara ilegal.17
Perkembangannya transaksi narkotika di Jakarta tahun 2000 setiap
harinya diperkirakan 1,3 milyar rupiah yang diimpor secara gelap dari manca
negara.18
2. Lewat orang yang diberi gaji/upah dengan membawa secara langsung yang tersimpan dalam kas/koper yang telah dikemas sampai tidak Sindikat jaringan pengedar sangat dideteksi oleh aparat Bea Cukai.
Diperkirakan masuknya narkotika dari mancanegara tidak dapat dituntaskan
mengingat adanya negara di Kawasan Asia yang mengandalkan ekspornya dari
jenis-jenis narkotika. Di samping itu wilayah Indonesia bertetangga dengan
negara Australia yang menjadi negara tujuan pemasaran setelah transit lebih
dahulu di bandara internasional di Indonesia, setidaknya waktu transit
dimungkinkan pengedar mengupayakan narkotika yang tertinggal.
Berbagai kajian yang dilakukan pemerhati masalah narkotika
disimpulkan bahwa pola peredaran narkotika sangat bervariasi yakni:
1. Lewat paket pos yang dikirim dari mancanegara kepada seseorang di negara tujuan dengan menggunakan nama alibi/alias, guna menghindari tertangkapnya si pemesan. Jika barang tersebut lolos dari sensor atau pengawasan aparat, Narkotika yang dalam paket sampai ke tangan pengedar/bandar.
16
Zulkarnain Nasution, dkk, Modul Penyuluhan Klasikal, Pencegahan Penyalahgunaan
Narkoba, GAN Indonesia dan Pusat Informasi Masyarakat Anti Narkoba Sumatera Utara
(PIMANSU), Medan, 2004, halaman 46. 17
Singgih D. Gunarsa, Psikologi Remaja, Gunung Mulia, Jakarta, 1991, halaman 28.
18
terdeteksi alat sensor di pelabuhan udara.
3. Memperalat wanita Indonesia sebagai isteri dengan tujuan memudahkan keluar masuk Indonesia (orang Nigeria banyak memperisteri wanita Indonesia dan tempat tinggal di permukiman penduduk dan bersifat sosial kepada masyarakat sekitarnya).19
Bentuk-Bentuk Keterlibatan Wanita Dalam Peredaran Narkotika
Kasus peredaran narkotika di Indonesia ini untuk tahun ke tahun
cendrung meningkat tajam. Bahkan peningkatan barang yang memabukkan itu
pada tahun 2010 telah mencapai lebih dari separuh atau 62,34 persen dari
jumlah peredaran tahun 2009.20
Kepala Bagian Represi Badan Narkotika Propinsi Surabaya mengatakan
hingga saat ini heroin jenis itu belum ditemukan di Indonesia. Heroin jenis
brownsugar dan white crystal itu dibuat di negara negara kawasan Segi Tiga
Emas dan Bulan Sabit dan Afganistan. Pasokan barang langka ini terus masuk
ke Indonesia dan peredarannya juga tiap tahun terus meningkat. “Untuk
pertengahan tahun ini saja kami telah menyita sekitar 2,354 gram Kuat dugaan, meningkatnya peredaran
narkotika itu disebabkan semakin banyaknya sindikat narkotika internasional
melakukan pemasokan. Ironisnya narkotika seperti heroin berjenis brownsugar
dan white crystal sudah banyak beredar dipasaran, padahal narkotika jenis itu
merupakan barang langka di Indonesia.
19
brownsugar,”21
Direktur IV Tindak Pidana Narkotika dan Kejahatan Terorganisir,
Bareskrim Mabes Polri, Brigjen Pol Indradi Thanos menyebutkan, salah satu
sindikat pemasok heroin jenis white crystal yakni Mr 2000 alias Ajah Joeseph
asal Nigeria yang berhasil ditangkap di depan Mc Donald Taman Impian Jaya
Ancol, Jakarta Utara, Kamis (21/8) sekitar pukul 21:00 WIB, tengah malam. Dari operasi dikedua tempat tersebut, polisi berhasil menemukan barang
bukti berbagai jenis narkotika seperti 55 paket heroin, 56 butir pil ekstasi, 3
paket ganja kering dan 16 buah jarum suntik. Dalam operasi itu kepolisian juga
menemukan heroin jenis brownsugar asal Bulan Sabit dan Afganistan serta
heroin berjenis white cristal yang berasal dari kawasan Segi Tiga Emas yakni
Laos-Burma-Thailand. Kawasan Segi Tiga Emas ini merupakan salah satu basis
penyuplai narkotika untuk Asia.
Direktur Narkotika Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Arman Depari
yang ikut melakukan operasi dikedua tempat tersebut menyebutkan
ditemukannya narkotika jenis heroin langka di kedua tempat itu telah
menunjukkan bahwasanya kawasan Menteng, Tenggulun dan Pegangsaan
Timur dan sekitarnya sudah merupakan bagian dari pusat peredaran mafia atau
sindikat narkotika internasional.
22 Dari operasi itu, kepolisian menetapkan tujuh orang tersangka yakni
20
C. Plint 1984, “Peredaran Narkoba Semakin Meluas”,
Diakses tanggal 6 Pebruari 2011. 21
Ajah Joseph atau Mr.2000 (Nigeria), Bethel Onye Oju atau Boni (Nigeria),
Chris (Nigeria) napi LP Cipinang, Dadang (Napi LP Cipinang), Iwan Chandra,
Wahyuni A dan Ati Suryani. Selain itu, kepolisian juga berhasil menyita sekitar
100 gram heroin.23
22
Ibidi.
23
Ibid.
Dari tersangka di atas ada dua orang yang berjenis kelamin wanita yaitu
Wahyuni A dan Ati Suryani/ Jaringan ini biasanya memperalat para wanita
Indonesia untuk dijadikan sebagai kurir untuk mengedarkan barang
haramnya. Pada point ini terlihat bentuk yang dimainkan oleh wanita dalam
keterlibatannya dengan peredaran narkotika adalah sebagai kurir semata.
Artinya si wanita dalam kapasitas ini diberikan imbalan dalam bentuk
sejumlah uang untuk menyampaikan narkotika tersebut dari satu tempat ke
tempat lain.
Meski barang bukti hanya 100 gram, tetapi setidaknya kepolisian telah
mendapat petunjuk tentang peta jalur perdagangan narkotika dari Afrika Barat
ke Indonesia. Petanya itu dari Pakistan ke India lalu Malaysia baru ke
Indonesia, mereka menggunakan jalur udara dan memasok sekitar 9 sampai 10
kilogram heroin per minggu. Pasokannya dari Segitiga Emas dan Afghanistan.
Kalau dulu modusnya dari Myanmar ke China baru ke Indonesia.Tapi sekarang
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dilihat bahwa bentuk utama
keterlibatan wanita dalam peredaran narkotika adalah sebagai kurir narkotika
semata.
Menurut Sulistyowati Irianto, perempuan yang biasa dipilih oleh warga
negara asing untuk dijadikan kurir narkotika, dan akhirnya dilibatkan dalam
kejahatan narkotika adalah: muda usia, tingkat ekonomi rendah, pendidikan
rata-rata Sekolah Menengah Atas. Perempuan-perempuan itu dikencani untuk
waktu yang lama, dinikahi, dipenuhi kebutuhan materinya, dan dibuat agar
timbul keterikatan dan ketergantungan.
Selain dihadapkan pada kondisi di atas pada beberapa kasus juga
ditemukan wanita Indonesia yang bepergian ke luar negeri, dan tatkala pulang
kembali ke Indonesia dijadikan sebagai kurir narkotika tanpa diketahui si
wanita itu sendiri. Dalam kasus ini dimisalkan wanita Indonesia pergi ke
Thailand. Tatkala di Thailand ia berkenalan dengan seorang warga Thailand. 24
Keterlibatan perempuan dalam pengedarkan narkotika berkaitan dengan
posisi tawar perempuan yang sangat rendah terhadap laki-laki (pacar atau
suami, dan komplotannya). Karena ancaman kekerasan, perempuan tidak kuasa
menolak permintaan suami atau pacar. Atau, karena perempuan itu
membutuhkan uang, atau sudah dipenuhi segala kebutuhan materinya, dengan
kata lain dibuat menjadi tergantung, maka perempuan tidak mampu menolak
Tatkala si wanita akan pulang ke Indonesia, wanita tersebut dititipi barang
orang warga Thailand tersebut yang menjelaskan bahwa barang titipan tersebut
adalah contoh kosmetik yang akan di pasarkan di Indonesia. Si wanita dibujuk
agar membawanya dengan menjanjikan pembagian keuntungan.
Barang titipan yang menurut penitipnya adalah kosmetika ternyata
adalah narkotika. Maka dalam kondisi ini si wanita telah menjadi korban dari
sindikat pengedaran narkotika tanpa diketahui si wanita itu sendiri.
Bentuk lainnya dalam kaitannya dengan keterlibatan wanita dalam
peredaran narkotika adalah total menjadi kegiatan pengedaran tersebut sebagai
suatu mata pencaharian dalam pemenuhan ekonominya. Selain difungsikan
untuk pemenuhan ekonomi maka kegiatan pengedaran narkotika oleh wanita
sangat dimungkinkan bahwa si wanita tersebut adalah juga sebagai pemakai.
Sehingga dalam melakoni kegiatannya sebagai pemakai ia juga melakukan
kegiatan pengedaran narkotika itu sendiri.
Hal-hal yang tidak pernah diperhitungkan oleh para perumus hukum
adalah konteks sosial bagaimana suatu tindak kriminal berkaitan dengan
narkotika itu terjadi. Berkembangnya kejahatan dalam masyarakat tidak pernah
bisa dikejar oleh hukum, dalam hal ini adalah kejahatan dan kekerasan yang
semakin canggih, yang antara lain menjadikan wanita sebagai pelaku atau
korban. Hampir tidak pernah terpikirkan oleh para penegak hukum, bahwa
24
Sulistyowati Irianto, Kriminal Atau Korban, (Studi tentang Perempuan dalam Kasus
keterlibatan perempuan dalam perdagangan narkotika, adalah berkaitan dengan
masalah kekerasan yang menempatkan perempuan sebagai korban. Di samping
itu, barangkali juga tidak pernah terbayangkan oleh para penegak hukum,
bahwa terlibatnya perempuan dalam perdagangan narkotika, merupakan bagian
dari fenomena lain yang lebih luas, yaitu masalah perdagangan perempuan.
Masalah ini sekarang sangat merebak, bahkan menyita perhatian
(lembaga-lembaga) internasional. Ciri-ciri yang memperlihatkan adanya
overlapping antara modus pengedaran narkotika melalui perempuan; dengan
perdagangan perempuan adalah adanya penipuan, jebakan, pemasungan
kebebasan, dan pemindahan.
Dalam hal ini koreksi yang seharusnya dilakukan melalui perubahan 25
Memang dalam masalah perdagangan perempuan (dan anak perempuan) yang skalanya luas itu, ditenggarai bahwa perempuan korban antara lain dijadi-
kan sebagai pengedar narkotika, di samping sebagai pekerja seks (paling banyak), budak, dan perdagangan organ tubuh.
Kesulitan yang lebih mendasar adalah, adanya azas legalitas dalam
hukum pidana yang harus dipegang secara sangat ketat oleh para penegak
hukum, sehingga sulit bagi mereka untuk mengadakan penafsiran secara agak
lain. Azas legalitas menuntut pendefinisian yang sangat jelas mengenai suatu
perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan atau kriminal. Tujuannya
adalah agar tidak salah dalam menghukum orang, dan inilah yang dilihat oleh
Pendekatan hukum berperspektif perempuan sebagai: hukum pidana
melindungi pelaku, bukan korban.
25
atau reformasi di bidang hukum pidana (substansi hukum) ke arah yang lebih
bersahabat kepada perempuan, hampir tidak pernah terjadi. Padahal, rumusan
atau substansi hukum pidana yang kaku itu tidak sesuai lagi dengan tuntutan
jaman, karena perempuan yang merupakan separuh lebih dari jumlah penduduk
mengharapkan keadilan. Hal-hal yang pada masa lalu tidak dipikirkan sebagai
kejahatan bagi perempuan, sekarang ini sudah dirasakan sebagai suatu
pelanggaran terhadap hak asasi manusia (perempuan), karena
pengalaman-pengalaman perempuan semakin muncul ke permukaan.
Bila terjadinya perubahan substansi hukum sulit dilakukan, maka
munculnya terobosan-terobosan dari para penegak hukum sangat diharapkan.
Koreksi terhadap kekakuan hukum pidana sebenarnya dapat diatasi melalui
adanya putusan-putusan pengadilan yang lebih ramah kepada perempuan. Perlu
dipahami oleh para penegak hukum, bahwa berempati kepada perempuan
dengan pengalaman–pengalamannya yang berbeda, bukanlah suatu dosa dalam
BAB III
FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN WANITA TERLIBAT DALAM PEREDARAN NARKOTIKA DITINJAU DARI SEGI
KRIMINOLOGI
A. Gambaran Umum Kriminologi
1. Kriminologi
Sebagai salah satu ilmu pengetahuan yang berkembang, kriminologi
mempunyai tempat yang sangat penting dalam penegakan hukum. Namun
walaupun demikkian, kriminologi belum mempunyai satu batasan atau
pengertian yang tegas yang dapat dipergunakan secara seragam. Hal ini dapat
dilihat dari banyaknya Para Kriminolog dengan sudut pandang masing-masing
memberikan pengertian atau batasan tentang apa itu kriminologi.
Secara harafiah kriminologi berasal dari kata “crimen” yang berarti
kejahatan atau penjahat dan “logos” yang berarti ilmu pengetahuan. Apabila
dilihat dari akta tersebut, maka kriminologi mempunyai arti sebagai
pengetahuan tentang kejahatan.
Beranjak dari pengertian kriminologi tersebut, Sutherland dan Cressey
mengemukakan pendapatnya sebagaimana dikutip oleh Made Darma Weda, 26
Secara harafiah tersebut memberikan suatu pengertian yang sempit
bahkan dapat juga menjerumuskan pada pengertian yang salah. Pengertian
kriminologi sebagai ilmu tentang kejahatan akan menimbulkan suatu persepsi
bahwa “yang termasuk dalam pengertian krimonologi adalah proses
pembentukan hukum, pelanggaran hukum dan reaksi terhadap pelanggaran
hukum.
Menurut pendapat Michael dan Adler, bahwa yang dimaksud dengna
kriminologi adalah: “keseluruhan dari bahan-bahan keterangan mengenai
perbuatan-perbuatan lingkungan mereka dan bagaimana mereka diperlakukan
oleh badan-badan masyarakat dan oleh anggota masyarakat” 27
Dengan demikian kriminologi tidak hanya mempelajari masalah
kejahatan saja, akan tetapi juga meliputi proses pembentukan hukum,
pelanggaran hukum serta reaksi yang diberkan terhadap para pelaku kejahatan.
28
I. Paul Topinard meneybutkan bahwa kriminologi adalah ilmu atau cabang ilmu yang mempelajari soal-soal kejahatan.
Beberapa sarjana atau kriminolog yang memberikan pendapatnya
tentang pengertian kriminologi adalah :
2. W. A. Bonger memberikan nama lain ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki kejahatan seluas-luasnya kepada krimonologi. 3. Wood mengemukakan bahwa kriminologi adalah meliputi segala
pengetahuan yang diperoleh baik oleh pengalaman, maupun teori-teori tentang kejahatan dan penjahat serta pengetahuan yagn meliputi reaksi-reaksi masyarakat terhadap penjahat dan kejahatan itu.
4. Frij meneybutkan bahwa kriminologi adalah suatu ilmu pengetahaun yagn berhubungan dengan kejahatan baik sebagai gejala maupun sebagai faktor sebab akibat dari kejahatan itu sendiri
5. Paul Moedigdo menyebutkan bahwa krimonologi adalah ilmu pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu yang membahas kejahatan sebagai masalah manusia.29
26
Algra NE, dkk, Kamus Istilah Hukum, Bina Cipta, Jakarta, 1983, halaman 121. 27
Made Darma Weda, Kriminologi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, halaman 2. 28
Ibid., halaman 1.
29
Di luar dari pendapat tersebut diatas, paham klasik menyebutkan bahwa
kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang meneliti dilinkuensi dair
kejahatan sebagai suatu gejala social. Sementara paham lain berpandangan
bahwa krimonolgi itu merupakan ilmu yang empiris yang ada kaitannya dengan
kaedah hukum.
Walaupun dari beberapa pengertian atau paham tentang kriminologi
terserbut diatas, ada menunjukkan beberapa perbedaan, seperti penempatan
kriminologi itu sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri dan atau cabang
dari ilmu lain, akan tetapi pokok permasalahan yang menjadi pembahasannya
pada dasarnya adalah sama,. Yaitu meneliti ataupun mempelajari kejahatan
dengan seluas-luasnya serta bagaimana reaksi masyarakat kepada penjahat.
Dari berbagai pendapat tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa
kriminologi itu adalah merupakan perpaduan ilmu dan pengetahuan yagn
mempelajari kejahatan sebagai gejala sosial, bagaimana teknik atau cara
penanggulangannya, serta bagaimana pula reaksi masyarakat terhadap
kejahatan dan pelaku kejahatan.
2. Teori-teori tentang kejahatan dalam konsep kriminologi
a. Teori differential association
Teori ini dilandaskan pada proses belajar. Kejahatan seperti juga
perilaku pada umumnya merupakan sesuatu yang dipelajari. E.
Sutherland menyebutkan 9 (Sembilan) proporsi yang menyebabkan
1. Perilaku kejahatan adalah perilaku yang dipelajari secara negative, berarti perilaku itu tidak diwarisi.
2. Perilaku kejahtan dipelajari dalam interaksi dengan orang lain dalam suatu proses komunikasi. Komunikasi tersebut terutama dapat bersifat lisan ataupun menggunakan bahasa isyarat.
3. Bagian yang terpenting dalam proses mempelajari perilaku kejahatan ini terjadi dalam kelompok personal yang intim. Secara negative ini berarti komunikasi yang bersifat tidak personal, secara relative tidak mempunyai peranan penting dalam hal terjadinya kejahatan.
4. Apabila kejahatan dipelajari, maka yang dipelajari meliputi teknik melakukan kejahatan motif-motif tertentu, dorongan-dorongan melakukan kejahatan sert aalasan pembenar termasuk sikap-sikap. 5. Arah dari motif dan dorongan itu dipelajari melalui definisi-definisi
dari peraturan hukum. Dalam suatu masyarakat terkadang seseorang dikelilingi oleh orang-orang yang secara bersamaan melihat apa yang diatur dalam peraturan hukum sebagai suatu yang perlu diperhatikan dan dipatuhi namun kadang ia dikelilingi oleh orang-orang yagn melihat aturan hukum sebagia sesuatu yang memberikan peluang dilakukannya kejahatan.
6. Seseorang menjadi dilinkuen karena akses dari pola-pola piker yang lebih melihat aturan hukum sebagia pemberi peluang dialkukannya kejahatan dari pada yang melihat hukum sebagai sesuatu yang harus duiperhatikan dan dipatuhi.
7. Differential association bervariasi dalam hal frekuensi, jangka waktu, prioritas dan intensitasnya
8. Proses mempelajari perilaku kejahtan yang diperoleh melalui hubungan pola-pola kejahatan dari anti kejahatan yagn menyangkut seluruh mekanisme yang lazim terjadi dalam setiap proses belajar pada umumnya.
9. Sementara perilaku kejahatan merupakan pernyataan kebutuhan dan nilai umum. Akan tetapi hal tersebut tidak dijelaskan oleh kebuntuhan dan nilai-nilai umum itu, sebab perilaku yang bukan kejahatan juga merupakan pernyataan kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai yang sama.30
b. Teori anomi
Teori ini menyatakan bahwa tahapan tertentu dari struktur sosial akan
menumbuhkan suatu kondisi dimana pelanggaran terhadap norma-norma
30
kemasyarakatan merupakan wujud reaksi normal. Dalam pengertian ini
berusaha menunjukkan bahwa “berbagai struktur sosial yang mungkin
terdapat dalam masyarakat dalam realitasnya telah mendorong orang-orang
dengan kualitas tertentu cenderung berperilaku menyimpang mematuhi
norma-norma kemasyarakatan”.31
Dua unsur yang dianggap perlu untuk diperhatikan dalam mempelajari berbagai bentuk perilaku dilinkuensi adalah unsur-unsur dari struktur sosial dan cultural. Unsure cultural melahirkan goals dan unsur struktural melahirkan means. Goal diartikan sebagia tujuan-tujuan dan kepentingan-kepentingan yagn sudah membudaya, meliputi kerangka aspirasi dasar manusia, seperti dorongan untuk hidup, sedangkan means merupakan aturan-aturan dan cara-cara control yang melembaga dan diterima sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang membudaya tersebut.32
1. Conformity, merupakan perilaku yang terjadi manakala tujuan dan cara
yagn sudah ada pada masyarakat diterima dan melalui sikap itu seseorang mencapai keberhasilan.
Kedua unsur tersebut saling bekerjasama. Untuk pengadaptasian yang
terjadi dalam masyarakat terhadap dua unsur tersebut, Merton
mengemukakan 5 (lima) bentuk pengadaptasian, yaitu :
2. Innovation, terjadi manakala seseorang terlalu menekankan tujuan
yang membudaya tanpa menginternalisasikan norma-norma kelembagaan yang megnatur tata cara untuk pencapaian tujuan yang membudaya.
3. Ritualisme, pada umumnya merupakan kecenderungan yang terjadi
pada stratifikasi masyarakat menengah dan rendah
4. Retreatisme, mencerminkan orang-orang yang terlempar dair
kehidupan kemasyarakatan, termasuk didalamnya pergaulan bebas.
5. Rebellion, merupakan perjuangan yang terorganisasi ditujukan untuk
mengadakan perubahan-perubahan kondisi sosial, ekonomi, politik dengan maksud untuk menunjukkan struktur sosial yang telah membudaya.33
31
Mardjono Reksodipuro, Mencari Faktor Sebab Kejahatan, Prasarana Dalam Workshop Pemasyarakatan, UNPAD-FHPM, Bandung, 1971, halaman 34.
32
Ibid.
33
c. Teori netralisasi
Pada dasarnya teori netralisasi ini beranggapapan bahwa aktifitas manusia
selalu dikendalikan oleh pikirannya. Menurut teori ini orang-orang
berperilaku jahat disebabkan adanya kecenderungan dikalangan mereka
untuk merasionalisasikan norma-norma dan nilai-nilai menurut persepsi dan
kepentingan masyarakat. Lebih jauh Sykes dan Matza merinci bentuk atau
kecenderungan penetralisasian dikalangan para pelaku kejahatan menjadi 5
(lima) kecenderungan, yaitu :
1. The Danial Of Responsibility,mereka menganggap dirinya sebagai
korban tekanan-tekanan social, misalnya kurang kasih sayang dan lainnya.
2. The Denial Injury, mereka berpandangna bahwa perbuatannya tidak
mengakibatkan kerugian besar dimasyarakat.
3. The Denial Of Victim, yang berpandangan bahwa mereka adalah
pahlawan.
4. Condemnation of the Comdemners, yang beranggapan bahwa orang
yang mengutuk perbuatan mereka sebagia orang-orang yang munafik.
5. Appeal Top Higher Loyality, mereka merasa dirinya terperangkap
antara kemauan masyarakat luas dan hukumnya dengan kebutuhan kelompok kecil atau minoritas darimana mereka berasal atau tergabung, misalnya kelompok gang.34
d. Teori Control
Teori control (Theorie Control Social) beranggapan bawha indovidu di
dalam masyarakat mempunyai kecenderungan yang sama,
kemungkinannya menjadi baik atau jahat. Baik atau jahatnya seseorang
sepenuhnya tergantung pada masyarakat. Ikatan sosial seseorang dengan
masyarakat dipandang sebagai faktor pencegahan timbulnya perilaku
34
menyimpang. Seseorang yagn lemah atau terputus ikatan sosialnya dengan
masyarakat bebas melakukan penyimpangan.35
Gender secara keliru sering diartikan sebagai jenis kelamin, sehingga
kedua kata ini perlu dipahami pengertiannya secara benar. Jenis kelamin atau
seks adalah penan-daan individu manusia ke dalam kategori laki-laki dan
perempuan berdasar karakteristik biologis (genital eksternal dan organ-organ
seks internal), genetik (kromosom) dan hormon.
Seseorang dapat melemah atau terputus ikatan sosial dengan
masyarakatnya, manakala di masyarakat itu telah terjadi pemerosotan
fungsi lembaga control sosial informal, disini ialah sarana-sarana tersebut
dapat diidentikkan dengan lembaga adar, suatu sistem control sosial yagn
tidak tertulis namun memperoleh pengakuan keabsahan pemberlakuannya
di masyarakat.
B. Gender
Akan terasa sulit sekali dalam memberi suatu pengertian tentang
perempuan, karena konsep pengertian tentang suatu kata dari kata perempuan
itu timbul hanya untuk membedakan jenis kelamin saja.
Tidak ada yang membedakan dan mempertanyakan mengapa sebutan itu
timbul, tidak ada pula orang mempertanyakan beda dari sebutan perempuan itu
sendiri, baik perempuan dengan sebutan wanita.
36
Gender diartikan sebagai perbedaan-perbedaan sifat, peranan, fungsi,
35
Ibid., halaman 54. 36
dan status antara laki-laki dan perempuan yang tidak berdasarkan pada
perbedaan biologis, tetapi berdasarkan pada relasi sosial budaya yang
dipengaruhi oleh struktur masyarakatnya yang lebih luas. Gender merupakan
hasil konstruksi sosial budaya dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan
zaman.
Peran gender bersifat dinamis, dipenga-ruhi oleh umur (generasi tua dan
muda, dewasa dan anak-anak), ras, etnik, agama, lingkungan geografi,
pendidikan, sosial ekonomi dan politik. Oleh itu, karenanya perubahan peran
gender sering terjadi sebagai respon terhadap perubahan kondisi sosial
ekonomi, budaya, sumberdaya alam dan politik termasuk perubahan yang
diakibatkan oleh upaya-upaya pembangunan atau penyesuaian program
struktural (structural adjustment program) maupun pengaruh dari
kekuatan-kekuatan di tingkat nasional dan global.
Hanya saja dimungkinkan fungsi penyebutan wanita diarahkan kepada
kata yang menggairahkan, atau gambaran tentang fungsi perempuan sebagai
suatu bidang yang memberi gambaran bahwa imaginasi tentang kata wanita itu
adalah sesuatu yang menggugah kegairahan saja.
Sedangkan pengertian tentang pemakaian kata dari perempuan itu
sendiri sering dimaknakan sebagai gambaran sosok yang begitu anggun, serta
mempunyai kharisma yang begitu bersahaja, jauh dari unsur yang
menggairahkan serta mempunyai suatu makna yang dibutuhkan sekali dalam
suatu kehidupan rumah tangga. Fungsi yang demikian lebih sering disebut
dengan peran kodratinya sebagai ibu rumah tangga yang baik bagi kehidupan
anak-anaknya serta kehidupan suaminya.
Identifikasi yang demikian tentang makna perempuan ditambah dengan
perbedaan jenis kelamin, maka hal tersebut tidak dapat disalahkan karena suatu
identifikasi adalah merupakan kenyataan yang ditemui. Pengertian tentang
pemakaian kata sebagai suatu pembeda makna, termasuk pengertian tentang
perempuan sebagai suatu jenis kelamin di luar laki-laki, tidak akan pernah
berubah, kecuali memang ada sebutan lain yang membedakan jenis kelamin
tersebut.
Dalam kamus umum bahasa Indonesia, disebutkan bahwa pengertian
perempuan adalah jenis sebagai lawan laki-laki.37
Dengan hal uraian di atas dapat ditarik suatu pengertian bahwa
pengertian tentang perempuan itu hanya terbatas sebagai suatu sebutan dalam Pengertian di atas juga timbul karena adanya perbedaan jenis kelamin.
Pada satu sisi adalah pria dan pada satu sisi lagi adalah perempuan. Hanya saja
terkadang pengertian tentang makna perempuan ini yang meletakkannya pada
peran tradisional, maka dalam tafsiran yang ada bahwa perempuan dalam arti
perempuan diberikan suatu tingkat penilaian yang lebih terhormat. Hal ini dapat
dilihat bahwa perempuan itu sebagai seorang ibu yang membesarkan serta
melahirkan keturunan, maka peranan yang sedemikian adalah sangat mulia di
dalam aturan serta norma yang terdapat di dalam masyarakat.
37
membedakan jenis kelamin saja, hanya saja fungsi penyebutan wanita lebih
difokuskan pada makna yang menggairahkan sedang kata perempuan
difungsikan sebagai kaum yang dihormati.
C. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Wanita Terlibat Dalam Peredaran
Narkotika Ditinjau Dari Segi Kriminologi
Keterlibatan wanita dalam walam peredaran narkotika baik itu sebagai
pemakai atau pengedar atau sekaligus kedua-duanya untuk setiap tahunnya dari
mulai tahun 2003 sampai dengan tahun 2010 menunjukkan angka yang
bervariasi. Hal ini dapat dilihat dari tabel di bawah ini:
Tabel 1
Data Usia dan Jenis Kelamin Pelaku Tindak Pidana Kejahatan Narkoba di Sumatera Berdasarkan Tangkapan Kepolisian Tahun 2003-2010
Tahun U S I A Jenis Kelamin
6-11 12-15 16-18 19-23 24… Diketahui Tdk Lk Pr Diketahui Tdk 2003 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2004 0 30 379 1188 1051 0 2524 124 0 2005 0 44 386 957 991 0 2180 146 0 2006 0 6 79 355 717 15 823 50 299 2007 0 18 227 973 902 147 1058 126 1056 2008 1 27 159 777 1821 212 2834 162 1 2009 0 19 99 458 1432 132 2033 110 1 2010 2 7 94 272 1059 183 1511 94 12 Jumlah 3 151 1423 4980 7973 689 12983 812 1369
Sumber : Pusat Informasi Masyarakat Anti Narkoba Sumatera Utara (PIMANSU) & Divisi Litbang GAN Indonesia, Jl. P. Diponegoro No. 50 (Kantor Gubsu) Medan.
Tabel di atas memperlihatkan bahwa data usia yang terbesar sebagai
pelaku tindak pidana kejahatan narkoba adalah berada pada usia 24 tahun ke
hal tersebut maka semakin tinggi usia pelaku maka semakin besar jumlah
pelakunya. Demikian juga perbandingan untuk jenis kelamin bahwa laki-laki
lebih besar jumlahnya sebagai pelaku tindak pidana kejahatan narkoba apabila
diperbandingkan dengan perempuan.
Berdasarkan tabel di atas untuk tahun 2004 jumlah tindak kejahatan
narkotika di Sumatera Utara adalah sebesar 2648 kasus dimana yang berjenis
kelamin wanita sebanyak 124 kasus atau sebesar 4,68% dari semua kasus
narkotika. Untuk tahun 2005 mengalami peningkatan dimana jumlah tindak
kejahatan narkotika ada sebesar 2326 kasus dan yang dilakukan wanita ada
sebanyak 146 kasus atau sebesar 6,27%. Untuk tahun 2006 ada sebanyak 873
kasus dimana yang melibatkan wanita sebanyak 50 kasus atau sebesar 5,72%.
Tahun 2007 ada sebanyak 1184 kasus kejahatan narkotika di Sumatera
Utara sedangkan yang melibatkan wanita sebanyak 126 kasus atau sebesar
10,64%. Untuk tahun 2008 ada sebanyak 2996 dimana yang melibatkan wanita
sebanyak 162 kasus atau sebesar 8,11%. Untuk tahun 2009 ada sebanyak
2143 kasus dan yang melibatkan wanita sebanyak 110 kasus atau sebesar
5,13%. Sedangkan untuk tahun 2010 ada sebanyak 1604 kasus tindak kejahatan
narkotika di Sumatera Utara dimana yang melibatkan wanita sebanyak 94 kasus
Tabel 2
Tindak kejahatan Narkoba Yang Melibatkan Suami Isteri Daerah Sumut Tahun 2010
No. Nama
Tersangka Kepolisian Jenis Narkotika Ket.
1 Feri (35), Sri (37) Satuan I Narkotika Polda Sumut Shabu-shabu Pasangan suami isteri, pengedar
2 An (25), Sh (18) Poldasu Ganja Pengedar Pasnagan suami ister
3
MB (35), SM (25), Mul (18)
Polres Kesatuan Pelaksana Pengamanan Pelabuhan Belawan
Ganja Pengedar
Suami isteri
4
Masjulase (41), Hariyah (37), Siwen Shangker (26), Erwin Syahputra (35)
Ganja ganja Suami isteri,
Pengedar dan Pemakai
5 K (23), N Br n (19), HP (17) Polsekta Patumbak Shabu-Shabu Pemakai 1 wanita Pengedar Suami isteri
6 G.S Polsek Kualuh Hulu Ganja Pasangan suami isteri pengedar
7
Gani (23), Ana (18), BG (27)
Sat Narkotika dan polsek Sei Tualang Raso Polres T. Balai
Ganja Pemakai dan pengedar
pasangan suami isteri
8 Hsj (25), sn (25) Polres Tapsel Putau Pasangan suami isteri pemilik putaw
9
Rp alias Roma (37), EN br. Sinambela (35)
Satuan Narkotika Polres Tapteng
Ganja Suami isteri pengedar
ganja
10 BH (34), Bus (33) Petugas Bea Cukai Pel. Teluk Nibung Shabu-shabu Bandar suami isteri
Sumber : Pusat Informasi Masyarakat Anti Narkoba Sumatera Utara (PIMANSU) & Divisi Litbang GAN Indonesia, Jl. P. Diponegoro No. 50 (Kantor Gubsu) Medan.
Berdasarkan tabel di atas maka dapat dilihat data Pusat Informasi
Masyarakat Anti Narkoba Sumatera Utara juga menjelaskan untuk tahun 2010
adalah sebanyak 10 kasus tindak kejahatan narkotika di Sumatera Utara yang
melibatkan suami isteri. Artinya dalam kasus ini ada dilibatkan wanita yang
sekaligus berstatus sebagai seorang isteri dalam hubungannya dengan kejahatan
Tabel 3
Tindak kejahatan Narkoba Yang Melibatkan Ibu Rumah Tangga Daerah Sumut Tahun 2010
No. Nama
Tersangka Kepolisian Jenis Narkotika Ket.
1 Hariyah (30) Polsekta medan Kota
Ganja Pengedar/IRT
2
Wiwik Poltabes MS dan Polsekta Percut Sei Tuan
Shabu-Shabu Pengedar/IRT
3 Sur (35) Polsekta Medan Labuhan
Shabu-Shabu Pengedar/IRT
4 MB (35) Polres KP3 Belawan
Ganja Pengedar/IRT
5 Tri (32) Polres Tebing Tinggi
Shabu-Shabu Pengedar/IRT
6 HPS (42) Polres P. Siantar Putaw Pengedar/IRT
7 Mar (28) Polresta Tanjungbalai
Ganja Pengedar/IRT
8 S Br. S (31) Polsek Sei Tualang Shabu-Shabu Pengedar/IRT 9 BS Vr S (25) Polres Sibolga Ganja Pengedar/IRT
10 IR (28) Reskrim Polsek Pulau Brandan
Shabu-Shabu Ganja
Pengedar/IRT
11 Atik Baja (41) Polsek P. Brandan Ganja Pengedar/IRT 12 JL (38) Polsek Bilah hulu Ganja Bandar
Sumber : Pusat Informasi Masyarakat Anti Narkoba Sumatera Utara (PIMANSU) & Divisi Litbang GAN Indonesia, Jl. P. Diponegoro No. 50 (Kantor Gubsu) Medan.
Berdasarkan tabel di atas yang didapatkan dari Data Pusat Informasi
Masyarakat Anti Narkoba Sumatera Utara yang menjelaskan tindak kejahatan
narkotika kasus yang melibatkan ibu rumah tangga terbebas dari memiliki
Tabel 3
Tindak kejahatan Narkoba Yang Melibatkan Wanita Daerah Sumut Tahun 2010
No. Nama
Tersangka Kepolisian Jenis Narkotika Ket.
1 S (32) Poltabes Medan Ganja Shabu-shabu
Pengedar Wanita
2 Udriasih (38) Poltabes Medan Shabu-Shabu Ekstasi
Ratu Bandar (wanita)
3
TR (38), R (38), S (37), Y (28) E (27)
Poltabes Medan Shabu-Shabu Ganja Pengedar Dua orang wanita 4 Hendra (35) Lidiasasri (19)
Poltabes Medan Shabu-shabu Pengedar Satu wanita
5 Mul (29) Poltabes Medan Shabu-shabu Pengedar Satu wanita 6 Masjulase (41), Hariyah (37) Polsekta Medan Kota
Ganja Suami isteri, pengedar dan pemakai
7 RK (33) Polsek Medan Baru Ekstasi Pengedar wanita
8 Mar (50 Polsek Medan Baru Ganja Pengedar satu wanita
9 Yuni (2) Polsek Medan Baru Shabu-Shabu Pemakai satu wanita
10 Ratih Ariani (34)
Polsek Medan Belawan
Ganja Pengedar wanita
11
Wiwik Poltabes MS dan polsekta Percut Sei Tuan
Shabu-Shabu Pengedar seorang wanita
12 Sur (35) Polsekta Medan Labuhan
Shabu-Shabu Pengedar wanita
13 Acin (34) Poldasu Shabu-Shabu Pengedar wanita 14 DH (43) Polres Binjai Shabu-Shabu Pengedar wanita 15 J br S (40) Polsek Sei Bungai GAnja Pengedar wanita
Sumber : Pusat Informasi Masyarakat Anti Narkoba Sumatera Utara (PIMANSU) & Divisi Litbang GAN Indonesia, Jl. P. Diponegoro No. 50 (Kantor Gubsu) Medan.
Data Pus