• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan Kreativitas Antara Siswa Homeschooling Dengan Siswa Sekolah Reguler

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perbedaan Kreativitas Antara Siswa Homeschooling Dengan Siswa Sekolah Reguler"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN KREATIVITAS ANTARA SISWA

HOMESCHOOLING DENGAN SISWA SEKOLAH REGULER

Proposal Skripsi

Guna Memenuhi Persyaratan

Mata Kuliah Seminar Psikologi Pendidikan

OLEH :

Tio Enny Mardianti

031301072

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

BAB I PENDAHULUAN I. A . Latar Belakang ... 1

I. B . Tujuan Penelitian ... 9

I. C . Manfaat Penelitian ... 9

I.C.1 Manfaat teoritis ... 9

I.C.2 Manfaat praktis ... 9

I. D. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II LANDASAN TEORI II. A. Kreativitas ... 11

II.A.1 Definisi Kreativitas ... 11

II.A.2 Ciri-ciri Kreativitas ... 13

II.A.3 Aspek-aspek Kreativitas ... 14

II.A.4 Fase-fase Kreativitas ... 15

II.A.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi Kreativitas ... 17

II.A.6 Peranan Keluarga dalam mengembangkan Kreativitas ... 18

II. B. Homeschooling ... 22

II.B.1 Pengertian Homeschooling ... 22

II.B.2 Sejarah Home Schooling ... 25

(3)

II. C. Program Reguler ... 37

II. D. Perbedaan Kreativitas siswa Homeschooling dan siswa yang mengikuti Program Reguler ... 38

II. E. Hipotesis ... 41

BAB III METODE PENELITIAN III. A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 42

III. B. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 42

III. C. Populasi dan Metode Pengambilan Sampel ... 43

III.C.1. Populasi dan Sampel Penelitian ... 43

III.C.2. Metode Pengambilan Sampel ... 44

III. D. Validitas dan Reliabilitas alat ukur ... 55

III. E. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 57

III.E.1. Tahap Persiapan ... 57

III.E.2. Tahap Pelaksanaan ... 57

III. F. Metode Analisa Data ... 57

BAB IV ANALISA DAN INTERPRETASI DATA ... 59

IV.A. Gambaran Sampel Penelitian ... 59

IV.A.1 Gambaran Subjek Penelitian berdasarkan Usia ... 59

IV.A.2 Gambaran Subjek Penelitian berdasarkan Jenis Kelamin ... 60

IV.B. Hasil Penelitian ... 61

IV.B.1 Uji Asumsi Penelitian ... 61

IV.B.1.1 Uji Normalitas ... 61

IV.B.12 Uji Homogenitas ... 62

(4)

IV.B.3.1 Kategorisasi data Penlitian ... 64

IV.B.3.2 Perbedaan Kreativitas berdasarkan Usia ... 68

IV.B.3.3 Perbedaan Kreativitas berdasarkan Jenis Kelamin ... 69

BAB V KESIMPULAN DISKUSI DAN SARAN ... 71

V.A. Kesimpulan ... 71

V.B. Diskusi ... 72

V.C. Saran ... 73

(5)

BAB I PENDAHULUAN

I.A. Latar Belakang

Era globalisasi ditandai dengan adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan

teknologi yang terus berkembang pesat, sehingga dibutuhkan individu-individu

yang mampu menyesuaikan diri, bergerak cepat, memikirkan ide-ide baru dan

merubah cara-cara lama agar lebih baik dalam menghadapi persaingan di era

globalisasi ini (Supraptiningsih, 1999).

Individu yang diharapkan tidak hanya mengandalkan intelegensi tinggi

semata, tetapi juga dibutuhkan kreativitas dalam menghadapi persaingan di semua

bidang kehidupan manusia, baik di sekolah, keluarga, masyarakat, maupun dalam

pekerjaan. Individu yang kreatif mampu menghasilkan ide-ide baru dalam

meningkatkan daya saing, dinamis, fleksibel, komunikatif dan aspiratif. Individu

yang kreatif biasanya tidak dapat diam, selalu menginginkan

perubahan-perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik, mampu merubah suatu ancaman

menjadi tantangan dan peluang. Kreativitas dapat membangkitkan semangat, dan

percaya diri untuk menghadapi masa depan yang lebih baik bagi kehidupan

berbangsa dan bernegara (Munandar,1999). Ray Nickerson menegaskan bahwa

kreativitas sangat baik bagi kualitas kehidupan individu maupun sosial (dalam

Robertson, 2007).

Di Indonesia sendiri, masalah kreativitas semakin terasa, terutama sejak

kajian dan penelitian Utami Munandar (1977) dalam disertasinya “Creativity and

(6)

kreativitas untuk Indonesia. Dalam kaitan ini, Utami Munandar (1992)

mengemukakan empat sebab mengapa kreativitas perlu dipupuk dan

dikembangkan dalam diri anak.

Pertama, dengan berkreasi orang dapat mewujudkan dirinya, dan

perwujudan diri ini merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia. Orang yang

sehat mental, yang bebas dari hambatan, dapat mewujudkan diri sepenuhnya.

Dalam hal ini berarti ia berhasil mengembangkan dan menggunakan semua bakat

dan kemampuannya, sehingga akan memperkaya hidupnya.

Kedua, kreativitas atau berpikir kreatif merupakan kemampuan untuk

melihat bermacam-macam kemungkinan penyelesaian terhadap suatu masalah,

merupakan bentuk pemikiran yang sampai saat ini masih kurang mendapat

perhatian dalam pendidikan formal. Sementara dalam pendidikan formal di

Indonesia masih cenderung ditekankan pada pentingnya penalaran berdasarkan

suatu informasi yang telah tersedia, atau terlalu ditekankan pada fungsi ingatan

serta kemampuan berpikir konvergen, yaitu kemampuan berpikir menuju

satu-satunya jawaban yang benar.

Ketiga, bersibuk diri secara kreatif tidak saja berguna tapi juga

memberikan kepuasan kepada individu.

Keempat, kreativitaslah yang memungkinkan manusia untuk

meningkatkan taraf kualitas hidupnya. Dengan kreativitas, seseorang terdorong

untuk membuat ide-ide baru, penemuan-penemuan baru, atau teknologi baru yang

dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara luas.

Dikatakan bahwa kreativitas kurang mendapat perhatian dalam pendidikan

(7)

cenderung hanya melatih factor ingatan, pengetahuan atau penalaran berdasarkan

suatu informasi yang telah tersedia.

Bakat kreatif sesungguhnya dimiliki setiap anak, tetapi perkembangan

bakat kreatif ini sangat bergantung pada lingkungan dimana anak berada.

Lingkungan yang kondusif bagi perkembangan bakat kreatif adalah lingkungan

yang memberi keamanan dan kebebasan psikologis pada anak untuk berkembang,

baik kemampuan kognisi, afeksi, maupun kemampuan psikomotoriknya secara

bersama-sama. Lingkungan harus mampu memberi kesempatan pada anak untuk

mendapat latihan, pengetahuan, pengalaman dan dorongan agar bakat kreatif itu

dapat terwujud (Biondi dalam Munandar, 1985).

Untuk itu kreativitas perlu dipupuk dan dikembangkan sejak dini,

dimana pada usia tersebut berlangsung “periode kritis” di samping “periode

puncak” perkembangan kreativitas (Supraptiningsih, 1999).

Torrance (1964) juga menegaskan perlunya upaya peningkatan kreativitas

pada anak-anak sejak usia dini, karena dalam perioe ini anak mulai

mengembangan perasaan otonomi serta ingin melakukan segalanya sendiri. Rasa

ingin tahunya yang besar perlu ditumbuhkan dengan menunjukkan rasa antusias

bila ia menemukan hal-hal baru atau berhasil menciptakan sesuatu yang baru.

Orangtua dan guru perlu mengarahkan anak pada tahapan usia ini untuk

menyumbangkan ide mereka dalam membuat suatu perencanaan. Tahapan usia ini

merupakan saat yang terbaik untuk mengembangkan imajinasi dalam menciptakan

kejutan-kejutan baru bagi teman-teman maupun anggota keluarganya.

Pendidikan dan sikap yang tepat dari orang tua dan guru sangat

(8)

kesempatan untuk menggunakan atau mengubah banyak objek dari materi yang

ada akan memiliki kreativitas yang optimal (Blais dalam Bawani, 1997).

Sistem pendidikan yang ada sekarang ini masih terlalu lemah dan kurang

demokratis. Hal ini menyebabkan pembelajaran yang mengarah pada kreativitas

siswa menjadi terhambat, ini bisa terlihat dari penerapan disiplin yang masih

kaku, pemberian materi atau tugas yang membosankan. Prof.Arief Rachman

menegaskan bahwa banyak siswa yang merasa tidak tersalurkan potensi

kecerdasan dan bakat minatnya selain kenyataan bahwa suka tidak suka, minat

tidak minat, mereka tetap harus mengikuti aturan yang seragam tersebut dengan

jadwal belajar yang sudah terpola dan sistematis lengkap dengan limit waktu yang

harus ditempuh, mengikuti kurikulum yang sudah ada dan pada gilirannya

bermuara pada ujian-ujian yang seragam (dalam Kompas, 2007).

Kurikulum yang berlaku di Indonesia dianggap belum sepenuhnya mampu

untuk menampung konsepsi dan gagasan baru sejalan dengan tantangan dan

kehidupan bangsa saat ini. Banyak orang tua merasa tidak puas pada pendidikan

di sekolah reguler. Kurikulum selalu berubah, diikuti buku pelajaran yang juga

harus berubah. Alasan lain yang menjadi pertimbangan orangtua adalah pergaulan

di sekolah yang memberi dampak buruk bagi anak-anak mereka, mulai dari

pergaulan bebas, tawuran, rokok, dan obat-obatan terlarang. Hal inilah yang

membuat orang tua mempertimbangkan kembali untuk menyekolahkan anaknya

di sekolah reguler (Prasetyawati, 2006).

Kenyataan inilah yang oleh sebagian masyarakat khususnya orangtua yang

teramat peduli terhadap perkembangan putra-putri mereka menjadi suatu

(9)

yang lebih dikenal dengan istilah homeschooling atau home education atau home

based learning atau sekolah mandiri, yaitu suatu model pendidikan dimana

sebuah keluarga memilih untuk bertanggung jawab sendiri atas pendidikan

anaknya dengan menggunakan rumah sebagai basis pendidikannya (Sumardiono,

2007). Memilih untuk bertanggung jawab berarti orangtua terlibat langsung

menentukan proses penyelenggaraan pendidikan, penentuan arah dan tujuan

pendidikan, nilai-nilai yang hendak dikembangkan, kecerdasan dan keterampilan,

kurikulum dan materi, serta metode dan praktek belajar (Sumardiono, 2007).

Wichers (2001) mengatakan bahwa homeschooling didesain sebagai

situasi pembelajaran dimana anak pada umumnya diajarkan oleh orangtua mereka,

dalam lingkungan yang non tradisional. Orangtua merasa lebih nyaman bila

menerapkan homeschooling bagi anak-anaknya. Selain itu, orangtua dapat lebih

intensif membantu tumbuh kembang anak. Dalam homeschooling penekanannya

lebih kepada partisipasi dari orangtua dalam merancang pendidikan anak-anaknya,

karena pada dasarnya orangtua-lah yang lebih mengenal karakter anaknya.

Orangtua dapat merancang pola didik yang paling sesuai dengan karakter, minat,

dan bakat anaknya.

Holt menegaskan bahwa homeschooling merupakan sebuah pendidikan

yang dilakukan ‘tanpa sekolah’ dan dilakukan di rumah, berdasarkan pada

pembelajaran yang terpusat pada anak (dalam Griffith, 2006). Menurut

Yulfiansyah (2006) homeschooling merupakan sebuah wacana pembelajaran yang

menitikberatkan kepada pemanfaatan potensi anak didik dengan sedikit supervisi.

Anak yang homeschooling diberi kesempatan untuk mengembangkan kemampuan

(10)

Hal ini berbeda dengan proses penyelenggaraan pendidikan di sekolah

reguler yang bersifat sangat kompleks, di dalamnya terdapat aspek paedagogis,

psikologis, dan didaktis. Aspek paedagogis merujuk pada kenyataan bahwa

belajar mengajar di sekolah berlangsung dalam lingkungan pendidikan di mana

guru harus mendampingi siswa dalam perkembangannya menuju kedewasaan,

melalui proses belajar mengajar di dalam kelas. Aspek psikologis merujuk pada

kenyataan bahwa siswa yang belajar di sekolah memiliki kondisi psikologis yang

berbeda-beda. Aspek psikologis tersebut merujuk pada kenyataan bahwa proses

belajar itu sendiri sangat bervariasi, misalnya : belajar materi yang mengandung

aspek hafalan, belajar konsep, belajar sikap, dan seterusnya. Aspek didaktis

merujuk pada pengaturan belajar siswa oleh tenaga pengajar, dimana guru harus

menentukan metode yang paling efektif untuk proses belajar mengajar sesuai

dengan tujuan instruksional yang harus dicapai (Suryadi dan Hartilaar, 1993).

UU No.2 tahun 1989 (dalam Mukhtar,2000) tentang sistem pendidikan

nasional yang menyebutkan bahwa suasana belajar dan mengajar yang dapat

menumbuhkan rasa percaya diri dan budaya belajar di kalangan masyarakat harus

terus dikembangkan agar tumbuh sikap dan perilaku yang kreatif, inovatif, dan

keinginan untuk maju. Kenyataannya, idealisme dan harapan yang tertuang dalam

undang-undang tersebut belum sepenuhnya terwujud dalam sistem pendidikan

nasional.

Di Indonesia, beberapa kota seperti Jakarta, Medan, dan Banda Aceh

mulai tertarik akan pendidikan alternatif , salah satunya adalah homeschooling,

dan penerapan program homeschooling ini sudah banyak dilaksanakan.

(11)

homeschooling. Peneliti sendiri sudah menanyakan kepada beberapa orang tua

yang anaknya mengikuti program homeschooling, dan para orang tua tersebut

mengatakan bahwa alasan mereka adalah bahwa mereka kurang percaya dengan

sekolah reguler karena faktor pergaulan yang begitu bebas sehingga mereka takut

kalau anaknya salah pergaulan. Selain itu dengan homeschooling, anak dapat

mengatur jadwal belajarnya sendiri tetapi penuh dengan kedisiplinan yang tinggi

dan dapat memfokuskan pelajaran mana yang paling digemari. Di Jakarta sendiri

sudah banyak terdapat komunitas homeschooling, sementara untuk daerah Aceh

sendiri baru terdapat satu komunitas homeschooling yang bernama “ Buah Hati

School House” berada dipusat kota Banda Aceh tepatnya daerah Blower.

School House berdiri sejak tahun 2007 oleh seorang Psikolog yang

bernama Ibu Poppy Amelia. Awalnya homeschooling ini hanya diterapkan untuk

anaknya. Namun ternyata banyak orangtua yang berminat akan homeschooling

ini. Saat ini terdapat 30 anak yang mengikuti homeschooling di komunitas ini,

namun masih terbatas untuk taraf pendidikan SD. Komunitas ini merupakan suatu

tempat perkumpulan bagi keluarga yang melaksanakan homeschooling,

memfasilitasi tenaga pendidik bagi keluarga yang merasa perlu akan penambahan

tenaga pendidik terhadap suatu mata pelajaran tertentu. Selain itu tentunya

komunitas ini juga memfasilitasi peserta didik untuk mengikuti pendidikan

kesetaraan tingkat SD (Paket A). Para peserta didik memiliki jadwal bertemu

seminggu tiga kali, namun ini juga disesuaikan dengan jadwal belajar dirumah.

Artinya, peserta komunitas tidak harus datang pada jadwal yang ditetapkan.

(12)

kegiatan lapangan untuk mengunjungi tempat-tempat tertentu, seperti

musium,persawahan, laut, atau tempat umum lainnya.

Sementara untuk siswa Program Reguler, peneliti mengambil penelitian di

SD Negeri 60 kecamatan Lueng Bata, Banda Aceh. Pemilihan sekolah SD Negeri

60 ini sebelumnya telah disesuaikan dengan kondisi ekonomi keluarga, baik untuk

siswa homeschooling maupun siswa reguler. Sehingga terdapat kesetaraan antara

kedua jalur pendidikan tersebut.

Peneliti memilih anak yang berjenjang Sekolah Dasar dikarenakan pada

masa ini merupakan fase peningkatan dan penurunan kreativitas. Andrew (dalam

Munandar,1977) mengatakan bahwa skor imajinatif paling tinggi terjadi pada saat

anak berusia 4,5 tahun dan kemudian menurun pada usia 5 tahun saat anak

memasuki taman kanak-kanak. Pada usia 9 tahun (akhir kelas III) terjadi

penurunan hampir pada semua kemampuan berpikir kreatif. Masa pemulihan

terjadi di kelas V terutama untuk komponen kelancaran (fluency). Pemulihan

orisinalitas baru terjadi saat kelas VI dan kemudian mengalami penurunan

menjelang kelas 1 SMP.

Adanya perbedaan proses belajar mengajar, suasana belajar, tanggung

jawab pengajaran membuat peneliti tertarik untuk melihat bagaimana

pengaruhnya bagi perkembangan kreativitas siswa.

Homeschooling menawarkan konsep pendidikan yang berbeda dengan

sekolah reguler, dimana rumah menjadi pusat utama kegiatan belajar. Hal inilah

yang mendorong peneliti untuk melakukan penelitian mengenai perbedaan

kreativitas antara siswa yang mengikuti program homeschooling dengan siswa

(13)

I. B. Tujuan Penelitian

Dari uraian di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan

kreativitas antara siswa yang mengikuti program homeschooling dengan siswa

program reguler.

I. C. Manfaat Penelitian I. C. 1. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi disiplin ilmu

psikologi khususnya psikologi pendidikan yang membahas berbagai teori yang

menjadi acuan penyelenggaraan pendidikan. Serta menambah wacana yang

berkaitan dengan tema program homeschooling yang sedang marak akhir-akhir

ini.

I. C. 2. Manfaat praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi, tambahan

wawasan dan pandangan baik bagi para orangtua, guru, pemerhati anak serta

masyarakat mengenai kreativitas,dan program homeschooling.

Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan kepada para

siswa dalam menjalani sebuah program pendidikan, sehingga pendidikan yang

diterima sesuai dengan bakat dan kemampuan siswa.

I. D. Sistematika Penulisan

Bab I Pendahuluan

Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, tujuan penelitian,

(14)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kreativitas

antara siswa yang mengikuti program homeschooling dengan siswa

program reguler.

Bab II Landasan Teori

Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang

menjadi objek penelitian, meliputi landasan teori dari kreativitas,

homeschooling, dan program reguler.

Bab III Metode Penelitian

Bab ini berisikan identifikasi variabel-variabel yang diteliti,

definisi operasional, subyek penelitian, alat ukur yang digunakan,

(15)

BAB II

LANDASAN TEORI

II. A. Kreativitas

II. A.1. Definisi Kreativitas

Kreativitas merupakan suatu aktivitas yang sifatnya sangat kompleks,

sehingga tidak dapat dipungkiri pengertian kreativitas menyebar luas dan banyak

digunakan melalui individu-individu yang memiliki keahlian berbeda dan

peradaban yang variatif, hingga secara otomatis hal ini menyebabkan munculnya

sejumlah definisi.

Amabile (dalam Munandar, 2002) mendefinisikan kreativitas sebagai

produk suatu respon atau karya yang baru dan sesuai dengan tugas yang dihadapi.

Menurut Renzulli (dalam Munandar, 2002) kreativitas adalah kemampuan untuk

menciptakan sesuatu yang baru, kemampuan untuk memberi gagasan-gagasan

baru yang dapat diterapkan dalam pemecahan masalah atau sebagai kemampuan

untuk melihat hubungan-hubungan baru antara unsur-unsur yang sudah ada

sebelumnya.

Torrance (dalam Al-Khalili, 2005) menambahkan bahwa kreativitas

mengandung sensitifitas terhadap problematika-problematika dan kesulitan dalam

bidang apa pun, kemudian menyusun sebagian pemikiran atau data-data teoritis

yang digunakan untuk mengatasi problematika tersebut, dan menguji kebenaran

data-data itu, serta menyampaikan hasil-hasil yang dicapai kepada orang lain.

Namun, setiap individu memiliki cara-cara yang berbeda dalam pemikiran,

(16)

definisi kreativitas yang dikemukakan Guilford (dalam Al-Khalili, 2005) yaitu,

sistem dari beberapa kemampuan nalar yang sederhana, dan sistem ini berbeda

satu sama lain dikarenakan perbedaan bidang kreativitas tersebut.

Guilford (dalam Munandar, 1999) juga mengemukakan tentang struktur

intelektual, dimana didalamnya mencakup tiga dimensi:

1. Dimensi Operation, terdiri dari kognisi, memori, kemampuan

berpikir divergen, konvergen dan kemampuan melakukan evaluasi

a. Kognisi adalah kemampuan menemukan ( discovery ),

menyadari (awareness ), memahami ( comprehension atau

understanding ).

b. Ingatan ( memory ) adalah kemampuan untuk meretensi

informasi dan menyimpannya dalam ingatan.

c. Berpikir divergen adalah kemampuan berpikir secara kreatif

yang ditandai oleh kelancaran ( fluency ) dalam

mengemukakan ide, kelenturan ( flexibility ), orisinalitas,

dan elaborasi.

d. Berpikir konvergen adalah kemampuan berpikir kearah satu

alternatif pemecahan umum yang diterima.

e. Evaluasi adalah kemampuan membuat keputusan dan

pertimbangan.

2. Content menjelaskan bagaimana informasi diproses, yang

mencakup figural, simbolik, semantic, dan behavioral ( perilaku ).

3. Product, ialah hasil akhir dari proses yang terjadi dalam bentuk

(17)

Berdasarkan pendapat-pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa

kreativitas merupakan suatu kemampuan individu dalam bersikap, menciptakan

berbagai jenis ketrampilan yang sifatnya unik atau berbeda dari biasanya dan

kemampuan berpikir yang menunjukkan kelancaran, orisinalitas, kemampuan

mengembangkan suatu ide yang berbeda dari orang lain, dan fleksibilitas dalam

berpikir.

II. A.2. Ciri-ciri Kreativitas

Ada beberapa ciri kreativitas yang dimiliki oleh individu kreatif, tidak

hanya meliputi aspek kognitif, tetapi juga meliputi aspek afektif. Guilford (dalam

Munandar, 2004) menekankan bahwa prestasi atau perilaku kreatif sangat

ditentukan oleh ciri-ciri kognitif yang disebutnya dengan aptitude dan ciri afektif

yang disebutnya dengan nonaptitude. Ciri-ciri aptitude dari kreativitas (berpikir

kreatif) meliputi kelancaran, kelenturan (fleksibilitas), dan orisinalitas dalam

berpikir. Ciri-ciri ini dioperasionalisasikan dalam tes berpikir divergen. Namun,

produktivitas kreatif tidak sama dengan produktivitas divergen. Sejauh mana

seseorang mampu menghasilkan prestasi kreatif ikut ditentukan oleh ciri-ciri

non-aptitude (afektif).

Penelitian berdasarkan analisa faktor menunjukkan korelasi yang statistis

bermakna (signifikan) walaupun rendah, antara ciri-ciri non-aptitude atau afektif

(seperti kepercayaan diri, keuletan, apresiasi estetik, kemandirian) dan ciri-ciri

aptitude dari kreativitas (antara kelancaran, kelenturan, dan orisinalitas dalam

(18)

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kreativitas terdiri dari

dua ciri yaitu ciri kognitif dan ciri afektif yang saling berhubungan satu sama lain,

saling mendukung dan akan selalu muncul secara bersamaan.

II. A.3. Aspek-aspek Kreativitas

Menurut Torrance (dalam Munandar,1988) aspek-aspek kreativitas

meliputi :

1. Kelancaran berpikir

Maksud dari kelancaran berpikir adalah kemampuan dalam

menghasilkan ide, jawaban, penyelesaian masalah atau pertanyaan

yang keluar dari pemikiran seseorang, memberikan banyak cara atau

saran untuk melakukan berbagai hal.

2. Keluwesan

Yaitu kemampuan untuk menggunakan bermacam-macam

pendekatan dalam mengatasi persoalan. Orang yang kreatif adalah

orang yang luwes dalam berpikir menggantikan cara berpikir lama

dengan cara berpikir yang baru dan mampu mengubah cara pendekatan

atau cara pemikiran.

3. Elaborasi

Yaitu kemampuan dalam memperkaya dan mengembangkan suatu

gagasan atau produk, dan menambahkan atau memperinci detail-detail

(19)

4. Orisinalitas

Kemampuan untuk mencetuskan gagasan asli, memikirkan cara

yang tidak lazim untuk mengungkapkan diri, dan mampu membuat

kombinasi-kombinasi yang tidak lazim dari bagian-bagian atau

unsur-unsur.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kreativitas terdiri dari

aspek-aspek yang meliputi kelancaran berpikir, keluwesan, elaborasi, dan

orisinalitas. Berdasarkan aspek-aspek tersebut, peneliti ingin mengungkap secara

simultan dari beberapa operasi mental kreatif dengan menggunakan tes Torrence

yang terdiri dari bentuk verbal dan bentuk figural,dimana keduanya berkaitan

dengan proses kreatif dan meliputi jenis berpikir yang berbeda-beda.

II. A.4. Fase-fase Kreativitas

Wallas (dalam Al-khalili,2005) memberikan deskripsi tentang empat fase

berkreativitas yang dilalui oleh proses kreativitas. Keempat fase tersebut meliputi:

1) Fase persiapan (Preparation)

Fase ini mencakup segala hal yang dipelajari orang yang kreatif melalui

kehidupannya, dan pengalaman yang diperolehnya, hingga meskipun melalui

usaha dan kesalahan terlebih dahulu. Dapat dikatakan bahwa segala hal yang

dipelajari seseorang dalam hidupnya dapat bermanfaat bagi proses berpikir

kreatif. Disamping berbagai macam pengetahuan yang dibawa oleh orang

kreatif, terkadang juga diperlukan latihan khusus yang berkaitan dengan kerja

(20)

2) Fase inkubasi

Dalam fase ini, secara emosional orang yang kreatif tidak akan

menyibukkan diri dengan berbagai permasalahan, dan proses berpikir sedang

dalam kondisi tidak aktif, serta tidak memperlihatkan kemajuan apa pun

menuju solusi atau produk kreatif. Orang kreatif menyengaja untuk

mengalihkan pandangannya dari permasalahan utama kepada sesuatu yang

lain setelah melewati fase persiapan, denan harapan dapat memberikan

petunjuk kepada solusi akhir bersamaan dengan berlalunya waktu.

Perilaku orang kreatif ini tampak jelas melalui fase inkubasi antara

seseorang dengan orang lain, dan dari satu sikap dengan sikap lainnya. Dalam

fase ini, kegundahan dapat mengalahkan perilaku seseorang dengan disertai

rasa tidak nyaman sampai frustasi dan menjadi mudah terpengaruh dengan

faktor yang terpisah. Terkadang orang lain menjadi merasa sedih dan tertekan.

Seseorang yang santai, dapat meminimalisir pengaruh pencegahan kreativitas,

ia akan lebih mempersiapkan kesempatan untuk memunculkan kreativitas

melalui dorongan yang kuat dan baru, serta keberanian melangkah ke depan.

3) Fase inspirasi (Illumination)

Dalam fase ini, sebuah solusi tampak seakan-akan datang secara tiba-tiba,

disertai dengan emosi yang meluap dan menyenagkan. Fase inpirasi ini bukan

merupakan fase yang terpisah dan mandiri. Namun, merupakan hasil dari

seluruh upaya yang dilakukan oleh orang kreatif selama fase-fase sebelumnya.

4) Fase perealisasian (Verification)

Dalam fase ini, orang kreatif melakukan pengujian atas kebenaran dan

(21)

dilakukan sebagian revisi atau perubahan atas produk kreativitas tersebut yang

dimaksudkan untuk memperbaiki dan memunculkannya dengan bentuk sebaik

mungkin.

Meskipun keempat fase ini ada dalam proses kreativitas, namun sebaiknya

lebih melihat kreativitas sebagai suatu proses yang dinamis, reaktif, dan

berkesinambungan secara lebih banyak daripada proses psikologis lainnya. Proses

kreativitas juga merupakan proses intervensi antar beberapa fase, reaktif, dan

eksis. Inilah yang berlawanan dengan pembagian proses kreativitas menjadi

beberapa fase yang berbeda. Meski demikian, fokus lebih mengarah pada dua fase

yaitu inkubasi dan iluminasi sebagai dua fase dasar yang memberikan cahaya bagi

proses berkreativitas itu sendiri secara langsung.

II. A.5. Faktor-faktor yang mempengaruhi Kreativitas

Rogers (dalam Munandar, 2002) mengemukakan dua faktor yang

mempengaruhi kreativitas seseorang, yaitu :

1. Faktor internal, didalamnya mencakup:

a. Keterbukaan terhadap pengalaman dan rangsangan-rangsangan

dari luar.

b. Kemampuan untuk menilai situasi sesuai dengan patokan pribadi

seseorang.

c. Kemampuan untuk bereksperimen dalam hal “bermain” dengan

(22)

2. Faktor eksternal, didalamnya terdapat lingkungan yang mengandung

keamanan dan kebebasan psikologis yang terbentuk melalui tiga proses

yang berbeda, yaitu :

a. Menerima individu sebagaimana adanya dengan segala kelebihan

dan keterbatasannya.

b. Mengusahakan suasana yang di dalamnya tidak ada evaluasi

eksternal

c. Memberikan pengertian secara empatis.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kreativitas seseorang

dipengaruhi oleh dua faktor yang saling mempengaruhi satu sama lain. Kedua

faktor tersebut adalah faktor internal yang bersumber dari diri individu sendiri,

dan faktor eksternal yang berasal dari luar diri individu.

II. A.6. Peranan Orangtua dalam Upaya Pengembangkan Kreativitas

Dalam lingkungan anak, orangtualah yang menjadi tokoh terdekat. Anak

dilahirkan dari pasangan orangtua yang kemudian merawat, mendidik, serta

memberikan kasih sayang kepadanya. Oleh karena itu, tidak mengherankan

bilamana anak mencontoh orangtuanya an menganggap mereka sebagai tokoh

yang paling baik, setidaknya sampai mereka mulai memasuki lingkungan

pergaulan yang lebih luas. Apapun bentuk perilaku yang ditunjukkan orangtua

pada anaknya akan berdampak pada kepribadian anak (Faw dan Belkin,1989).

Selain itu, keluarga tetaplah merupakan sekolah utama di tengah masyarakat yang

akan menghasilkan individu-individu yang mandiri serta kreatif, yang siap

(23)

Menurut Amabile (1989), dalam keluarga yang kreatif, orangtua terlibat

secara intelektual dalam proses perkembangan anak-anaknya. Mereka berdiskusi

mengenai berbagai hal, bertanya, berasumsi, menyelidiki, dan mengeksplorasi.

Pada umumnya, rumah yang kreatif adalah rumah di mana anak dan orang

dewasa yang ada di dalamnya memiliki ‘kebiasaan-kebiasaan kreatif’. Mereka

selalu mempertanyakan apa yang dilihat, berusaha menemukan cakrawala baru

dalam menjawab suatu persoalan, berusaha menemukan cara baru untuk

melakukan apapun yang mereka lakukan.

Amabile (1989) juga memberikan beberapa garis umum bagi orangtua

untuk pengembangan kreativitas anak di rumah, yaitu:

1. Kebebasan

Orangtua yang memberikan kebebasan pada anak, orangtua yang

seperti ini menjauhi sikap yang otoriter, tidak selalu

mengendalikan anak-anaknya serta tidak merasa cemas dengan apa

yang dilakukan oleh anaknya.

2. Rasa hormat

Anak yang kreatif umumnya memiliki orangtua yang menghargai

dan menghormati keberadaan mereka sebagai individu. Orangtua

dapat menunjukkan keyakinan atas kemampuan anak-anaknya dan

percaya akan keunikan anaknya. Anak-anak ini secara alami akan

mengembangkan rasa percaya diri serta dapat bersikap orisinal.

3. Kedekatan emosional yang secukupnya

Keluarga dengan anak yang kreatif pada umumnya tidak memiliki

(24)

hubungan antara anak dan orangtua agak longgar. Kuncinya adalah

sikap yang tidak terlalu berlebihan sehingga anak tidak terlalu

tergantung pada orangtua, namun di lain pihak mereka perlu

mengetahui bahwa mereka dicintai serta diterima oleh

orangtuanya.

4. Nilai dan bukan peraturan

Orangtua dari anak-anak yang kreatif tidak terlalu menjejali

peraturan pada anak-anaknya dibandingkan dengan orangtua dari

anak-anak yang tidak begitu kreatif. Peraturan yang diterapkan

bersifat lebih mendasar dan khusus, misalnya dalam jumlah jam

belajar, kebebasan yang menekankan agar anak tidak mengancam

kebebasan oranglain, namun yang pasti adalah diperlukannya

peraturan yang spesifik. Anehnya, banyak orangtua dari keluarga

yang kreatif merasa bahwa mereka tidak mempunyai masalah

apapun sehubungan dengan upaya penegakkan disiplin anak.

5. Prestasi dan bukan angka

Orangtua dari anak-anak kreatif menilai tinggi prestasi anak.

Mereka mendorong anak-anaknya untuk tampil sebaik mungkin

dan mencapai hal-hal yang baik. Namun di pihak lain, mereka

tidak menekankan perlunya anak memperoleh angka yang baik di

rapornya. Dalam sebuah studi yang dilakukan untuk melihat

perbedaan antara ‘anak-anak kreatif’ dan orangtua ‘anak-anak yang

tidak begitu kreatif’, tampak bahwa orangtua anak-anak yang

(25)

serta mempunyai IQ yang tingi, tidak terlalu penting bila

dibandingkan dengan imajinasi dan kejujuran.

6. Kemandirian, orangtua aktif

Sebagai orangtua, sikapnya terhadap diri sendiri merupakan hal

yang perlu diperhatikan karena ia menjadi model utama bagi

anaknya.

Mereka umumnya memiliki beragam jenis minat baik di dalam

maupun di luar rumah tangga.

7. Menghargai kreativitas

Anak-anak kreatif pada umumnya merasa bahwa orangtua mereka

sangat mendorong mereka untuk melakukan hal-hal yang kreatif,

dan orangtua mereka sangat senang melihat anak-anaknya

menampilkan kreativitas. Dalam keluarga yang kreatif, orangtua

mengolah kreativitas anak-anaknya dengan les, peralatan dan

pengalaman baru yang menarik.

8. Visi

Orangtua dari anak-anak yang kreatif mengekspresikan visi yang

jelas mengenai anaknya sebagai individu yang mandiri, dengan hak

untuk dihargai dan dikasihi, yang dapat diharapkan mampu

menunjukkan sikap yang bertanggungjawab jika dituntut demikian.

Selain itu, mereka juga dilihat mampu untuk melakukan hal-hal

yang luar biasa, kreatif, dengan bakat serta skill apapun yang

(26)

9. Rasa humor

Salah satu aspek yang secara potensial juga penting adalah

kemampuan menertawakan kejadian-kejadian, situasi-situasi

tertentu ataupun diri sendiri. Hasil penelitian menemukan bahwa

anak-anak yang kreatif berasal dari keluarga yang dalam interaksi

sesama anggota keluarganya selalu dipenuhi oleh humor. Dalam

keluarga-keluarga yang seperti ini, selalu ada ‘lelucon-lelucon

tetap’ ataupun permainan-permainan lucu.

Dari uraian diatas tampak di sini besarnya peran orangtua dalam

menumbuhkan minat dan kreativitas anak. Dimana orangtua terlibat dalam proses

perkembangan anaknya dan senantiasa menjadikan rumah sebagai sarana

pengembangan kreativitas tanpa batas.

II. B. Homeschooling

II. B.1. Pengertian Homeschooling

Homeschooling adalah suatu model pendidikan alternatif selain di sekolah.

Homeschooling dipraktikkan oleh jutaan keluarga di seluruh dunia. Namun, tidak

ada sebuah definisi tunggal mengenai homeschooling karena model pendidikan

yang dikembangkan di dalam homeschooling sangat beragam dan bervariasi.

Lines (1995) mendefinisikan homeschooling sbagai suatu situasi

pembelajaran yang singkat atau lama, di mana siswa dididik dengan beragam

subjek pelajaran di dalam rumah oleh orang tuanya, orang lain, teman-teman, atau

(27)

Sementara Wichers (2001) mengemukakan bahwa homeschooling

merupakan sebuah situasi pembelajaran di mana pada umumnyaanak diajarkan

oleh orang tua mereka sendiri dalam lingkunganyang non-tradisional.

Menurut Yulfiansyah (2006) homeschooling merupakan sebuah wacana

pembelajaran yang menitikeratkan pada pemanfaatan potensi anak didik dengan

sedikit supervisi. Anak yang homescholing diberi kesempatan untuk

mengembangkan kemampuan berpikir dan bernalar secara komprehensif, optimal,

dan mengoptimalkan kreativitasnya.

Pendapat lain dikemukakan oleh Holt (dalam Griffith,2006) yang

mengatakan bahwa homeschooling merupakan sebuah pendidikan yang dilakukan

‘tanpa sekolah’ dan dilakukan di dalam rumah, serta berdasarkan pada

pembelajaran yang terpusat pada anak.

Sumardiono (2007) homeschooling adalah model pendidikan di mana

sebuah keluarga memilih untuk bertanggung jawab sendiri atas pendidikan

anak-anaknya dan mendidik anak dengan menggunakan rumah sebagai basis

pendidikannya.

Homeschooling pada dasarnya dapat dibedakan menjadi 3 (dalam

Sumardiono,2007) yaitu :

1. Homescholing Tunggal

Merupakan format homeschooling yang dilaksanakan oleh orangtua

dalam satu keluarga tanpa bergabung dengan lainnya. Biasanya

homeschooling jenis ini diterapkan karena adanya tujuan atau alasan

khusus yang tidak dapat diketahui atau dikompromikan dengan

(28)

sepenuhnya atas seluruh proses yang ada dalam homeschooling, mulai

perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, pengadministrasian, hingga

penyediaan sarana pendidikan. Dalam format seperti ini, keluarga

menggunakan fasilitas atau sarana-sarana umum sebagai penunjang

kegiatan belajar anak-anaknya.

2. Homeschooling Majemuk

Merupakan format homeschooling yang dilaksanakan oleh dua atau

lebih keluarga untuk kegiatan tertentu sementara kegiatan pokok tetap

dilaksanakan oleh orangtua masing-masing. Format homeschooling ini

memberikan kemungkinan pada keluarga untuk saling bertukar

pengalaman dan sumber daya yang dimiliki tiap keluarga.

Alasan memilih homeschooling jenis ini dikarenakan terdapat

kebutuhan-kebutuhan yang dapat dikompromikan oleh beberapa

keluarga untuk melakukan kegiatan bersama. Contohnya kurikulum

dari konsorsium, kegiatan olahraga (misalya kelurga atlet tenis),

keahlian musik, kegiatan keagamaan, dan kegiatan sosial.

3. Komunitas Homeschooling

Adalah gabungan beberapa homeschooling majemuk yang menyusun

dan menentukan silabus, bahan ajar, kegiatan pokok (olahraga,

musik/seni, dan bahasa), sarana/prasarana, dan jadwal pembelajaran.

Komitmen penyelenggaraan antara orangtua dan komunitasnya kurang

lebih 50:50.

(29)

a. Terstruktur dan lebih lengkap untuk pendidikan akademik,

pembangunan akhlak mulia, dan pencapaian hasil belajar.

b. Tersedia fasilitas pembelajaran yang baik, misalnya bengkel

kerja, laboratorium alam, perpustakaan, laboratorium IPA atau

bahasa, auditorium, fasilitas olahraga dan kesenian.

c. Ruang gerak sosialisasi peserta didik lebih luas tetapi dapat

dikendalikan.

d. Dukungan lebih besar dikarenakan masing-masing

bertanggung jawab untuk saling mengajar sesuai keahlian

masing-masing.

e. Sesuai untuk anak usia di atas sepuluh tahun.

f. Menggabungkan keluarga yang tinggal berjauhan melalui

internet dan alat informasi-komunikasi lainnya untuk tolak

banding (benchmarking) termasuk untuk standardisasi.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa di Indonesia terdapat

tiga jenis kegiatan homeschooling, yaitu homeschooling tunggal, homeschooling

majemuk, dan komunitas homeschooling. Menurut data yang dihimpun oleh

Direktorat Pendidikan Kesetaraan Departemen Pendidikan Nasional, ada sekitar

600 peserta homeschooling di Indonesia. Sebanyak 83,3% atau sekitar 500 orang

mengikuti homeschooling majemuk dan komunitas, sedangkan sebanyak 16,7%,

(30)

II. B.2. Sejarah Homeschooling

Sejak perkembangan revolusi industri, terjadi proses sistematisasi

pendidikan dan proses belajar. Perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan serta

usaha untuk memaksimalkan model pembelajaran selama berabad-abad

menghasilkan sebuah evolusi sistem pendidikan yang kemudian kita kenal sebagai

sekolah. Sekolah adalah salah satu representasi institusional dari nilai-nilai

modern yang dipegang manusia saat ini. Sebagai institusi modern, sekolah

dijadikan sebagai solusi untuk mengatasi keterbatasan keluarga dalam mendidik

anaknya secara sadar dan terencana (Sumardiono,2007).

Walaupun sekolah menjadi institusi pendidikan yang terbukti memberikan

manfaat bagi kemanusiaan, proses pencarian pendidikan yang terbaik tak pernah

berhenti. Berbagai filsafat dan pemkiran yang terus lahir, serta berinteraksi

dengan kondisi sosial yang dialami oleh masyarakat.

Pembelajaran yang tidak konvensional ini kemudian mengambil jalur

pendidikan yang berbeda. Dipicu oleh pemikiran yang dilontarkan John Cadlwell

Holt (dalam Sumardiono,2007) melalui bukunya “ How Children Fail” (1964),

terjadi perbincangan dan perdebatan luas mengenai pendidikan dan sistem

sekolah. Sebagai guru dan pengamat pendidikan, Holt menyatakan bahwa

kegagalan akademis pada siswa tidak disebabkan oleh kurangnya usaha pada

sistem sekolah,tetapi disebabkan oleh eksistensi sekolah itu sendiri. Walaupun

Holt tidak mendorong untuk pembentukan sistem pendidikan alternatif, pemikiran

Holt memicu banyak kalangan pendidikan dan keluarga untuk memikikan ulang

mengenai pendidikan dan sekolah. Pemikiran dasar Holt adalah “ manusia pada

(31)

bagaimana cara belajar. Yang membunuh kesenangan belajar adalah orang-orang

yang berusaha menyelak, mengatur, atau mengontrolnya.”

John Holt di akhir tahun 1970-an akhirnya mempelopori terbentuknya

sekolah di rumah kepada publik. Pada tahun 1977, Holt mulai mempublikasikan

buletin berita sebanyak empat halaman, yang berjudul “Growing Without

Schooling “ (Tumbuh Tanpa Sekolah) bagi keluarga-keluarga yang menginginkan

ide-ide dan dukungan untuk membantu anak-anak mereka belajar di luar sekolah.

Pada awalnya Holt menggunakan kata “pendidikan tanpa sekolah” untuk

menggambarkan tindakan pendidikan anak didik di luar sekolah formal. Namun,

hal tersebut segera menjadi sinonim untuk sebutan sekolah di rumah

(homeschooling). Selama dua dekade terakhir, arti istilah itu telah berubah dan

menyempit, sehingga “pendidikan tanpa sekolah” mengacu pada gaya khusus

sekolah di rumah (homeschooling) yang dianjurkan Holt dan pembelajarannya

terpusat pada anak. Kemudian sejak tahun 1970-an, pergerakan dari

homeschooling telah mendapat dukungan luas dan tumbuh dengan pesat

(Griffith,2006).

Menurut laporan Departemen Pendidikan Amerika Serikat

“Homeschooling in the United States: 2003” , terjadi peningkatan jumlah siswa

homeschooling dari 850 ribu (1,7% dari total siswa) menjadi 1,1 juta pada tahun

2003 (2,2% dari total siswa). Sementara itu, berdasarkan penelitian Dr. Brian Ray

(presiden the National Home Education Research Institute), pada tahun

2002-2003 ada sekitar 1,7 juta-2,1 juta siswa homeschooling Amerika Serikat. Dr. Ray

menyatakan bahwa jumlah siswa homeschooling terus tumbuh dengan kecepatan

(32)

Di tahun 2003 pula, NHES melakukan survei terhadap orang tua,

mengenai alasan mereka menerapkan homeschooling pada anak-anak mereka.

Sekitar 31% orang tua menyatakan khawatir terhadap lingkungan sekolah; 30%

mengatakan alasannya adalah memberikan ajaran agama dan moral; dan alasan

berikutnya, sekitar 16% adalah ketidakpuasan terhadap sistem akademis di

sekolah.

Pendidikan di sekolah merupakan salah satu sub sistem kesuluruhan sistem

pendidikan yang terdiri dari sentra keluarga, masyarakat, media, dan sekolah.

Pemerintah Indonesia pada hakekatnya telah melakukan beberapa kebijakan

pendidikan guna mengakomodasi dan melayani kebutuhan pendidikan bagi

anak-anak di Indonesia, karena pendidikan merupakan usaha sadar untuk

menumbuhkembangan potensi sumber daya manusia (SDM) melalui kegiatan

pengajaran. Kegiatan pengajaran tersebut diselenggarakan pada semua satuan dan

jenjang pendidikan yang meliputi wajib pendidikan dasar 9 tahun, pendidikan

menengah, dan pendidikan tinggi (Depdiknas,2001).

Namun, pada saat ini banyak fenomena yang mengarah pada bentuk

ketidakpercayaan masyarakat terhadap signifikansi proses pendidikan dalam

sistem sekolah formal untuk merubah kualitas hidup. Proses yang terjadi

disekolah dianggap sebagai ritual formalitas yang berkisar dari hal menjemukan

sampai penyiksaan terhadap siswa, namun tetap saja harus dilakukan agar

mendapatkan pengakuan resmi dari pemerintah berupa ijazah untuk bisa

memasuki jenjang selanjutnya. Di tingkat perguruan tinggi, terungkapnya kasus

pembelian gelar dan ijazah sebagai jalan pintas yang juga melibatkan beberapa

(33)

terhadap proses pembelajaran dalam sistem formal

(http://www.komunitasdemokrasi.or.id/comment.php?id=P153_0_9_0_C).

Sejalan dengan hal tersebut muncul sekolah-sekolah alternatif yang

diprakarsai oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Ketika masyarakat

tergerak untuk mengambil alih kembali pendidikan, muncul pendidikan alternatif

yang diprakarsai sejumlah lembaga swadaya masyarakat. Terdapat sanggar anak,

sekolah anak rakyat, komunitas pinggir kali, dan sebagainya. Dan akhir-akhir ini

yang lebih menggembirakan lagi, muncul sebuah gerakan sekolah rumah

(homeschooling) sebagai bentuk ketidakpercayaan kepada sekolah formal.

Walaupun masih belum cukup banyak dibanding kompleksitas berbagai

permasalahan dalam masyarakat, upaya-upaya alternatif ini merupakan bagian

dari dinamika proses negoisasi dimensi formal dan non-formal dari pendidikan

(http://www.komunitasdemokrasi.or.id/comment.php?id=P153_0_9_0_C).

Salah satu konsep kunci dari homeschooling adalah pembelajaran yang

tidak berlangsung melalui institusi sekolah formal. Konsep ini mengarah pada

konsep yang lebih umum yaitu konsep belajar otodidak atau belajar mandiri.

Dalam bentuk umumnya, pembelajaran otodidak ini memiliki beragam variasi,

diantaranya pembelajaran dengan cara magang (internship )yang banyak

dipraktikkan oleh keluarga di Indonesia. Dalam level komunitas, akar

homeschooling ini dapat juga ditelusuri dari pendidikan berbasis agama seperti

pesantren atau komunitas adat yang melakukan pembelajaran secara mandiri tanpa

ketergantungan pada model pendidikan formal yang ada ( sumardiono,2007 ).

Prasetyawati (2006) mengatakan bahwa kegiatan belajar yang dialihkan

(34)

terhadap sistem pendidikan, ketidaksesuaian anak terhadap mata pelajaran

sehingga tidak bisa mengembangkan potensi anak, pergaulan di sekolah yang

memberi dampak buruk, misalnya: penyalahgunaan obat terlarang yang sudah

menyusup di kalangan pelajar, serta adanya fleksibilitas dalam memberikan

pelajaran oleh orangtua.

Saat ini, perkembangan homeschooling di Indonesia dipengaruhi oleh

akses terhadap informasi yang semakin terbuka dan membuat para orang tua

memiliki semakin banyak pilihan untuk anak-anaknya.

Ibuka (dalam Sukadji,2000) menyatakan tulisannya mengenai pendidikan

anak, bahwa anak hendaknya mulai dididik sejak lahir oleh orang tuanya sendiri.

Pendidikan anak pada hakekatnya berasal dari rumah yang menjadi guru pertama

kali dalam hidup anak adalah orang tua, yang mana pendidikan dalam rumah

dapat membuat anak sehat jasmaninya,lebih bermental fleksibel,lebih cerdas, dan

lebih sopan. Yulfiansyah (2006) mengatakan bahwa pada homeschooling yang

menjadi guru untuk mendidik dan mengajarkan anak adalah orang tua.

Selanjutnya orang tua dapat pula mengundang siapa saja untuk memberikan

keahlian transfer pada anak-anaknya,bisa seorang mahasiswa untuk bidang yang

dikuasainya,seorang suster untuk masalah kesehatan,seorang satpam untuk belajar

beladiri,seorang cleaning service untuk kegigihan dan kesungguhan dalam

berkerja,seorang buruh pabrik,dan lain sebagainya.Pada dasarnya dengan

pengalaman yang mereka miliki,wawasan anak didik menjadi lebih berkembang

oleh karena ilmu yang sejati bisa datang dan dibawa siapa saja.

Suyanto (2006) mengatakan bahwa orang tua yang ragu-ragu terhadap

(35)

anaknya dirumah. Namun, tentu materinya harus sesuai dengan standard yang

berlaku.Untuk itulah anak-anak yang mengikuti homeschooling harus menempuh

ujian kesetaraan, yang dapat diikuti melalui lembaga yang dikelola oleh

pemerintah, seperti di Sanggar Kegiatan Belajar-Unit Pelaksanaan Teknis Daerah

(SKB-UPTD) yang sudah menyebar di seluruh kabupaten di Indonesia, dan di

Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang penyebarannya mencapai

tingkat kelurahan.Dengan demikian anak yang homeschooling dapat memperoleh

ijazah sama seperti anak yang sekolah di sekolah formal, dan dapat melanjutkan

pendidikannya di sekolah yang lebih tinggi pula.

Di Indonesia, menurut perkiraan Ella Yulaelawati (dalam

Sumardiono,2007) Direktur Pendidikan Kesetaraan Depdiknas, ada sekitar

1.000-1.500 siswa homeschooling. Di Jakarta terdapat sekitar 600 siswa, sebagian besar

diantaranya ( sekitar 500 orang ) adalah siswa homeschooling majemuk.

II. B.3. Legalitas Homeschooling di Indonesia

Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

mengamanatkan pentingnya pendidikan nasional. Pasal 31 menyebutkan:

1) Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan

2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan

pemerintah wajib membiayainya.

Untuk menjalankan amanat Konstitusi UUD 1945, telah dibuat

Undang-Undang nomor 20/2003 yang mengatur mengenai Sistem Pendidikan Nasional

(Sisdiknas). Undang-Undang ini merupakan rujukan induk untuk sistem dan

(36)

Berdasarkan Undang-Undang tersebut, definisi pendidikan yang dianut

dalam Sistem Pendidikan Nasional Indonesia adalah usaha sadar dan terencana

untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik

secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual

keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta

keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (pasal 1).

Sistem Pendidikan Nasional didefinisikan sebagai keseluruhan komponen

pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan

nasional(pasal 1).

Definisi pendidikan yang dijelaskan dalam UU tersebut menunjukkan

luasnya cakupan pendidikan dan sistem pendidikan yang diakui di Indonesia.

Pendidikan tidak hanya terbatas pada belajar di sekolah. Demikian pula, sistem

pendidikan tidak hanya ada dalam bentuk sekolah formal sebagaimana yang

umumnya dikenal dan berkembang di masyarakat. Ada bentuk-bentuk pendidikan

lain yang dikenal dan diakui dalam Sistem Pendidikan Nasional yang berlaku di

Indonesia.

Di dalam UU Sisdiknas dijelaskan mengenai jenjang dan jalur pendidikan

yang ada. Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan

berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan

kemampuan yang dikembangkan (pasal 1).

Jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk

mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan

tujuan pendidikan. Sistem Pendidikan Nasional Indonesia mengakui ada 3 jalur

(37)

1. Formal, adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang. Terdiri

atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.

Pendidikan yang dimulai dari tingkat SD, SMP, SMU, dan Perguruan

Tinggi.

2. Non Formal, adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat

dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Jalur pendidikan ini

diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan

pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan pelengkap

pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.

Pendidikan non formal meliputi pendidikan kecapakan hidup, pendidikan

anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan

perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan

kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan yang lain yang ditujukan

untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.

Satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan non formal antara

lain adalah: lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat

kegiatan belajar masyarakat, majelis taklim, serta satuan pendidikan

sejenis.

3. Informal, adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan secara mandiri,

salah satunya adalah homeschooling. Hasil pendidikan informal diakui

sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus

ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan.

Keberadaan homeschooling telah diatur dalam UU 20/2003 tentang Sistem

(38)

“Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan

lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri”

Pemerintah tidak mengatur standar isi dan proses pelayanan pendidikan

informal. Tetapi, hasil pendidikan informal ini dapat diakui sama dengan

pendidikan formal dan non formal sebagaimana yang dinyatakan pada UU No.20 /

23, pasal 27 ayat (2).

Bagi keluarga homeschooling, salah satu jalan untuk mendapatkan

kesetaraan adalah membentuk Komunitas Belajar. Eksistensi Komunitas Belajar

diakui sebagai salah satu satuan pendidikan non formal yang berhak

menyelenggarakan pendidikan. Hal tersebut sejalan dengan UU 20 / 2003 pasal 26

ayat (6):

“Hasil pendidikan non formal dapat dihargai setara dengan hasil program

pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh

lembaga yang ditunjuk pemerintah atau pemerintah daerah dengan

mengacu pada standar nasional pendidikan.”

Agar kegiatan homeschooling bisa memperoleh penilaian dan penghargaan

melalui pendidikan kesetaraan, perlu ditempuh langkah-langkah pembentukan

Komunitas Belajar sebagai berikut:

1. Mendaftarkan kesiapan orangtua atau keluarga untuk menyelenggarakan

pembelajaran di rumah atau lingkungan kepada Komunitas Belajar.

2. Berhimpun dalam suatu komunitas.

3. Mendaftarkan Komunitas Belajar pada bidang yang menangani

pendidikan kesetaraan pada Dinas Pendidikan kabupaten / kota

(39)

4. Mengadministrasikan peserta didik sesuai dengan program paket belajar

yang diikutinya.

5. Menyusun program belajar dan strategi penyelenggaraan secara

menyeluruh dan berkesinambungan sesuai dengan program paket

belajar yang diselenggarakannya.

6. Mengembangkan perangkat pendukung pembelajaran.

7. Melakukan penilaian terhadap hasil belajar yang dicapai peserta didik

secara berkala per semester.

8. Mengikutsertakan peserta didik yang sudah memenuhi persyaratan

dalam Ujian Nasional.

Sejalan dengan hal di atas, pemerintah dan pemerintah daerah juga

berkewajiban untuk:

1. Melakukan pendataan Komunitas Belajar dan sekolah rumah yang

menjadi anggotanya.

2. Melakukan pembinaan terhadap Komunitas Belajar.

3. Memfasilitasi terselenggaranya Ujian Nasional bagi peserta didik

sekolah rumah yang terdaftar pada Komunitas Belajar.

II. B.4. Faktor-faktor yang Menentukan Keberhasilan Homeschooling

Menurut Alifa (2006) keberhasilan homeschooling dipengaruhi oleh

beberapa faktor berikut ini (

http://www.tabloid-nakita.com/artikel2.php3?edisi=07359&rubrik=topas), yaitu:

(40)

Pengajar dan anak didik yang diajar harus menerapkan sikap yang

disiplin. Belajar di rumah tentu memiliki keleluasaan waktu.

Namun, orangtua bersama anak harus membuat kesepakatan bersama

perihal waktu belajar. Taati waktu yang telah dipilih dan tidak

melanggarnya. Terlewat satu hari berarti talah melewatkan beberapa

materi yang harus dipelajari.

2. Mengenali Kemampuan Anak

Dengan mengenali kemampuan anak, maka si pengajar atau tutor dapat

memberikanmateri yang sesuai baginya. Orang tua tidak boleh

memaksa anak melebihi kemampuannya karena dapat membuatnya

frustasi.

3. Menciptakan Suasana Belajar yang Menyenangkan

Kelebihan sistem homeschooling ini adalah dapat memilih lokasi

belajar di mana saja, di dalam ruangan, dan di sekitar rumah, sehingga

suasana belajar menjadi lebih menyenangkan.

4. Memberikan Kesempatan pada Anak untuk Bersosialisasi

Kemampuan bersosialisasi anak tetap dapat dikembangkan dengan

cara memberinya kesempatan mengikuti kegiatan ekskul yang

melibatkan anak-anak sebaya. Sesuaikan bidang ekskul dengan minat

anak sehingga semangat selalu menyertainya.

5. Memperkaya Kemampuan Pengajaran

Tutor hendaknya selalu menambah pengetahuannya, baik dalam hal

teknik mengajar kreatif dan interaktif maupun materi yang

(41)

kabar, buku, dan forum-forum orangtua homeschooling tentu akan

sangat membantu.

Keberhasilan homeschooling sangat dipengaruhi oleh komitmen orangtua

yang lebih dituntut untuk mengenali kemampuan anak, menciptakan lingkungan

belajar yang menyenangkan, lebih memberikan kesempatan untuk anak

bersosialisasi, dan memperkaya kemampuan pengajaran.

II.C. Program Reguler

Pengertian Program reguler dalam kamus Bahasa Indonesia adalah teratur,

tetap atau biasa (Daryanto,1997). Berdasarkan pengertian tersebut penulis dapat

menyimpulkan bahwa yang dimaksud kelas reguler adalah kelas yang secara

umum diselenggarakan oleh sekolah-sekolah dengan sistem tetap atau biasa yang

memberikan kepada siswa suatu metode pengajaran yang biasa dilaksanakan

selama ini yang membutuhkan waktu tempuh pendidikan selama enam tahun SD

dan tiga tahun di SMP / SMU. Waktu belajar yang digunakan kelas reguler

maksimal delapan jam, secara umum belajar yang digunakan adalah tujuh sampai

dengan delapan jam (Balitbang Depdikbud,1986)

Menurut Widyastono (2004) kelas reguler diselenggarakan berdasarkan

kurikulum nasional yang berlaku. Dalam kelas reguler semua peserta didik atau

siswa diberikan perlakuan yang sama tanpa melihat perbedaan kemampuan

mereka.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa program reguler

(42)

studinya selama enam tahun untuk SD dan tiga tahun untuk SMP/SMU, dengan

tetap menggunakan kurikulum yang diterapkan oleh pemerintah.

II.D. Perbedaan Kreativitas siswa Homescholing dan siswa yang mengikuti Program Reguler

Program pendidikan homeschooling sudah semakin meluas dan cukup

dikenal, termasuk Indonesia. Banyak para pendidik dan tokoh masyarakat

menyambut positif kebijakan ini, karena program ini adalah salah satu program

pendidikan bagi anak didik yang melibatkan partisipasi orangtua di dalamnya.

Dalam homeschooling penekanannya lebih kepada partisipasi dari

orangtua dalam merancang pendidikan anak-anaknya. Dalam belajar dan

mendidik anak, yang menjadi guru pertama dalam hidup anak adalah orangtua.

Menurut Dewey (dalam Lines,2000) orangtua yang lebih mengenal karakter,

minat, dan bakat anak-anaknya, sehingga dapat dirancang suatu pola didik yang

paling sesuai dengan karakter, minat, dan bakat mereka tersebut. Selanjutnya,

orangtua bisa mengundang siapa saja untuk memberikan transfer keahlian kepada

anak-anaknya, bisa seorang mahasiswa untuk bidang yang dikuasainya, seorang

perawat untuk masalah kesehatan, seorang satpam untuk belajar beladiri, seorang

cleaning service untuk kegigihan dan kesungguhan dalam bekerja, dan lain

sebagainya. Pada dasarnya dengan pengalaman mereka anak-anak akan menjadi

lebih berkembang, karena ilmu yang sejati bisa datang dan dibawa oleh siapa saja

(Yulfiansyah,2006).

Menurut Kak Seto (2007) homeschooling dapat membebaskan anak untuk

(43)

berkunjung ke berbagai tempat yang bisa menjadi objek pelajaran, seperti

persawahan, taman burung, pemandian air panas, kebun binatang, tepian laut yang

berisi beraneka ragam makhluk hidup, stadion olahraga, pasar, bank, dan

tempat-tempat lain yang dapat dijadikan sebagai sarana belajar.

Berbeda dengan konsep sekolah reguler yang sangat komplek, belajar

mengajar di sekolah berlangsung dalam lingkungan pendidikan di mana guru

harus mendampingi siswa dalam perkembangannya menuju kedewasaan, melalui

proses belajar mengajar di dalam kelas. Selain itu, siswa yang belajar di sekolah

memiliki kondisi psikologis yang berbeda-beda dan mau tidak mau harus

mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan pihak sekolah sehingga

menyebabkan keterbatasan bagi ruang gerak siswa (Suryadi dan Hartilaar,1993).

Pada hakekatnya, baik homeschooling maupun sekolah umum, sama-sama

sebagai sebuah sarana untuk menghantarkan anak-anak mencapai tujuan

pendidikan seperti yang diharapkan. Namun homeschooling dan sekolah memiliki

perbedaan. Pada sistem sekolah, tanggung jawab pendidikan anak didelegasikan

orangtua kepada guru dan pengelola sekolah. Pada homeschooling, tanggung

jawab pendidikan anak sepenuhnya berada ditangan orangtua.

Sistem di sekolah terstandarisasi untuk memenuhi kebutuhan anak secara

umum, sementara sistem pada homeschooling disesuaikan dengan kebutuhan anak

dan kondisi keluarga. Sekolah telah mengatur jadwal belajar dan menentukan

seragam untuk seluruh siswa, semantara homeschooling jadwal belajar fleksibel,

tergantung pada kesepakatan antara anak dan orangtua. Pengelolaan di sekolah

terpusat, seperti pengaturan dan penentuan kurikulum dan materi ajar.

(44)

homeschooling, kurikulum dan materi ajar dipilih dan ditentukan oleh orangtua

(Kompas,2005).

Kelebihan homeschooling sendiri antara lain: adaptable, artinya sesuai

dengan kebutuhan anak dan keluarga, mandiri artinya lebih memberikan peluang

kemandirian dan kreativitas individual yang tidak didapatkan di sekolah umum,

dapat memaksimalkan potensi anak tanpa harus mengikuti standar waktu yang

ditetapkan sekolah, siap terjun pada dunia nyata. Output sekolah rumah lebih siap

terjun pada dunia nyata karena proses pembelajarannya berdasarkan kegiatan

sehari-hari yang ada disekitarnya, terlindung dari pergaulan menyimpang, ada

kesesuaian pertumbuhan anak dengan keluarga (Yorgi,2006).

Menurut Jeanette Vos dan Gordon Dryden (dalam Pikiran Rakyat,2006)

kunci pembelajaran adalah “Fun”, ini akan semakin menguatkan kelebihan

pembelajaran individual yang paling mungkin dilakukan di rumah. Vos dan

rekannya tersebut mengatakan, bahwa belajar akan efektif jika dilakukan dalam

situasi yang menyenangkan. Kondisi itu hanya bisa terwujud jika guru dan

muridnya berada dalam keadaan senang mengajar dan ingin belajar. Jadwal

belajar yang ketat seperti halnya di sekolah kurang mampu mengakomodasikan

kepentingan ini. Bisa jadi, pada saat pembelajaran berlangsung, siswa dan juga

gurunya sedang malas untuk belajar, efeknya proses belajar mengajar menjadi

tidak efektif. Esensi pelajarannya pun tidak tertangkap otak, sehingga proses

kreativitas mau tidak mau akan terhambat.

Sementara itu, hal yang dapat menunjang kreativitas menurut Munandar

(1985) adalah menciptakan iklim yang menunjang pengembangan kreativitas dan

(45)

Blair, dkk (1975) mengatakan bahwa anak akan kreatif bila diberi

kesempatan untuk menyentuh, menggunakan peralatan-peralatan, dan

mengubah-ubah bentuk objek. Hal ini memberi implikasi bahwa apa pun jenis kegiatan

belajar hendaknya menyediakan lingkungan dan sarana yang dapat

mengembangkan sifat eksploratif dan rasa ingin tahu. Kesempatan yang luas

untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar akan lebih mendorong

perkembangan kreativitas.

Siswa-siswa yang mengikuti homescholing diperkirakan memiliki

kreativitas yang berbeda dibandingkan dengan siswa-siswa reguler yang belajar di

sekolah formal. Siswa homeschooling lebih fleksibel dalam menerima maupun

mengikuti pendidikan, tidak kaku dan tidak terlalu berstruktur sebagaimana

sekolah formal. Pendidikan homeschooling lebih kepada upaya pengembangan

kreatif anak-anak itu sendiri, sehingga tercipta anak-anak yang senang belajar,

menjalankan aktivitas pembelajaran dengan motivasi internal yang kuat, kreatif,

serta mampu menguasai materi pelajaran secara lebih efektif. Dengan demikian,

kreativitas siswa homeschooling belum tentu sama dengan kreativitas yang

dimiliki oleh siswa di sekolah reguler.

II.E. Hipotesis

Berdasarkan uraian teoritik yang dikemukan di atas, maka dalam

penelitian ini diajukan sebuah hipotesis sebagai jawaban sementara terhadap

permasalahan yang telah dikemukan. Adapun hipotesis yang diajukan dalam

penelitian ini adalah: “Ada perbedaan kreativitas antara siswa homeschooling

(46)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian sangat menentukan suatu penelitian karena menyangkut

cara yang benar dalam pengumpulan data, analisa data, dan pengambilan

keputusan hasil penelitian. Pembahasan dalam metode penelitian meliputi:

identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, subjek penelitian, dan metode

analisis data (Hadi,2000). Atas dasar hal tersebut maka dalam bab ini akan

dibahas mengenai masalah-masalah metodologis yang digunakan untuk menjawab

masalah penelitian.

III.A. Identifikasi Variabel Penelitian

1. Variabel Tergantung : Kreativitas

2. Variabel Bebas : Jalur Pendidikan, yaitu:

Program Homeschooling dan Program

Reguler

III.B. Definisi Operasional Variabel Penelitian

a. Kreativitas

Kemampuan individu dalam berpikir yang menunjukkan kelancaran,

orisinalitas, fleksibilitas dalam berpikir, dan kamampuan mengembangkan suatu

ide yang berbeda dari orang lain. Kreativitas ini nantinya akan diungkap melalui

(47)

Torrance (1974a) dan kreativitas verbal yang di konstruksi di Indonesia dari

Munandar (1997) .

b. Program Homeschooling

Program Homeschooling adalah model pendidikan alternatif yang berfokus

pada pemanfaatan potensi anak dimana orangtua atau keluarga bertanggung jawab

penuh terhadap proses pendidikan anak dengan menjadikan rumah sebagai basis

utama proses belajar. Pihak yang melaksanakan homeschooling akan bergabung

dalam suatu Komunitas Belajar untuk menyusun silabus serta bahan ajar bagi

peserta didiknya.

c. Program Reguler

Program reguler merupakan pendidikan umum yang menggunakan

kurikulum pemerintah melalui Keputusan Menteri Pendidikan Nasional.

III.C. Populasi dan Metode Pengambilan Sampel III.C.1. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi adalah usaha seluruh penduduk yang dimaksudkan untuk

diselidiki dan dibatasi oleh sejumlah penduduk yang sedikitnya memiliki satu sifat

yang sama (Hadi,2000). Populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang terdiri

dari manusia, benda-benda, hewan, tumbuh-tumbuhan, gejala-gejala, nilai tes,

atau peristiwa sebagai sumber data yang memiliki karakteristik tertentu di dalam

suatu penelitian (Nawawi,2000).

Populasi dalam penelitian ini adalah siswa yang berada pada taraf

pendidikan Sekolah Dasar (SD) di Banda Aceh. Sampel dalam penelitian ini

(48)

perempuan yang mengikuti program Homeschooling di Komunitas “Buah Hati

School House” Banda Aceh dan SD Negeri 60 Banda Aceh, dengan jumlah 60

orang, 30 orang untuk siswa yang mengikuti program homeschooling dan 30

orang untuk siswa yang mengikuti program reguler. Alasan penggunaan sampel

yang lebih sedikit pada siswa program homeschooling dikarenakan Komunitas

“Buah Hati School House” masih berusia dua tahun dengan pengelolaan sekolah

rumah untuk anak-anak kalangan menengah kebawah.

III.C.2. Metode Pengambilan Sampel

Sampel penelitian menurut Azwar (2000) adalah sumber utama data

penelitian, yaitu mereka yang memiliki data mengenai variabel penelitian yang

akan diteliti. Sampel adalah sebagian dari populasi yang merupakan penduduk

yang jumlahnya kurang dari populasi. Sampel harus memiliki paling sedikit satu

sifat yang sama (Hadi,2000). Penelitian terhadap sampel dilakukan untuk

menggeneralisasikan sampel, yaitu untuk mengambil kesimpulan penelitian

sampel sebagai sesuatu yang berlaku bagi populasi (Azwar,2000).

Adapun teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive

sampling, di mana subjek penelitian didasarkan atas ciri atau sifat tertentu yang

dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat

populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Penekanannya adalah pada kesesuaian

tujuan penelitian dengan populasi yang diperoleh mengarah pada karakteristik

sampel saja (Hadi,2000)

Karakteristik sampel penelitian diperlukan untuk menjamin homogenitas

(49)

berada pada taraf pendidikan Sekolah Dasar kelas 4 sampai 6 SD baik laki-laki

maupun perempuan, berusia 11-13 tahun yang mengikuti Program

Homeschooling dan Program Reguler.

III.D. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam suatu kegiatan penelitian bertujuan untuk

mengungkapkan fakta mengenai variabel yang akan diteliti (Azwar,2000).

Adapun metode pengumpulan data yang dijadikan alat ukur dalam penelitian ini

adalah dengan mengguakan alat Tes Kreativitas Figural (TKF) dan Tes

Kreativitas Verbal (TKV).

1. Tes Kreativitas Figural Tipe B

Tes ini merupakan bagian dari Torrance Test of Creative Thinking (TTCT)

yang disusun oleh Paul Torrance dan dipublikasikan pada tahun 1966 setelah

melalui serangkaian penelitian selama sembilan tahun. TTCT ini dimaksudkan

untuk mengukur dan mengetahui potensi-potensi kreatif anak-anak, remaja, dan

dewasa. Pada penelitian ini menggunakan Tes Kreativitas Figural dari Torrence

(1974a) Form B yang terdiri dari tiga macam subtes yaitu :

1. Subtes I : Picture construction, mengungkapkan faktor keaslian dan

faktor elaborasi. Tes ini dilakukan dengan cara membuat gambar dari

bentuk yang diberikan.

2. Subtes II : Incomplete figure, mengungkapkan faktor kelancaran, faktor

keluwesan, faktor keaslian, dan faktor elaborasi, ini dilakukan dengan

Gambar

Tabel 4
Tabel 5 dan 6 menunjukkan hasil pengujian dengan Uji-t, diperoleh nilai
Tabel 7
Tabel 9
+5

Referensi

Dokumen terkait

Gambar 1.  Persen inhibisi enzim tirosin kinase oleh masing­masing ekstrak.  Metabolit  sekunder  flavonoid  sudah  banyak  diketahui  sebagai  inhibitor  spesifik 

Hal ini dapat dilihat dari prosentase rata-rata hasil dari setiap aspek yang berkategorikan mampu antara lain, Aspek anak mampu menjawab judul cerita dari siklus I sebesar 53,3%

Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut sebagai OJK) adalah lembaga yang menyelenggarakan fungsi pemerintah dalam rangka mengatur dan mengawasi kegiatan sektor jasa

[r]

Pada hari ini Selasa Tanggal Dua Puluh Delapan Bulan Mei Tahun Dua Ribu Tiga Belas, Panitia Pengadaan Barang/Jasa Dinas Kesehatan Kabupaten Kerinci Telah melakukan

Setiap mata pelajaran dalam Program Keahlian (dalam hal ini Teknik Mesin) dan Paket Keahlian (dalam hal ini diambil contoh Teknik Pemesinan) terdiri atas beberapa kompetensi

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang berjudul : ANALISIS YURIDIS TENTANG TIDAK TERPENUHINYA BUKTI PERMULAAN YANG CUKUP UNTUK MELAKUKAN PENANGKAPAN DAN

Dalam reflecting on teaching ini, guru juga memperhatikan semua hal di sekitarnya, komponen apa yang tidak bermanfaat untuk peningkatan kemampuan siswa.. Lebih