PERBEDAAN KREATIVITAS ANTARA SISWA
HOMESCHOOLING DENGAN SISWA SEKOLAH REGULER
Proposal Skripsi
Guna Memenuhi Persyaratan
Mata Kuliah Seminar Psikologi Pendidikan
OLEH :
Tio Enny Mardianti
031301072FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... ii
BAB I PENDAHULUAN I. A . Latar Belakang ... 1
I. B . Tujuan Penelitian ... 9
I. C . Manfaat Penelitian ... 9
I.C.1 Manfaat teoritis ... 9
I.C.2 Manfaat praktis ... 9
I. D. Sistematika Penulisan ... 9
BAB II LANDASAN TEORI II. A. Kreativitas ... 11
II.A.1 Definisi Kreativitas ... 11
II.A.2 Ciri-ciri Kreativitas ... 13
II.A.3 Aspek-aspek Kreativitas ... 14
II.A.4 Fase-fase Kreativitas ... 15
II.A.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi Kreativitas ... 17
II.A.6 Peranan Keluarga dalam mengembangkan Kreativitas ... 18
II. B. Homeschooling ... 22
II.B.1 Pengertian Homeschooling ... 22
II.B.2 Sejarah Home Schooling ... 25
II. C. Program Reguler ... 37
II. D. Perbedaan Kreativitas siswa Homeschooling dan siswa yang mengikuti Program Reguler ... 38
II. E. Hipotesis ... 41
BAB III METODE PENELITIAN III. A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 42
III. B. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 42
III. C. Populasi dan Metode Pengambilan Sampel ... 43
III.C.1. Populasi dan Sampel Penelitian ... 43
III.C.2. Metode Pengambilan Sampel ... 44
III. D. Validitas dan Reliabilitas alat ukur ... 55
III. E. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 57
III.E.1. Tahap Persiapan ... 57
III.E.2. Tahap Pelaksanaan ... 57
III. F. Metode Analisa Data ... 57
BAB IV ANALISA DAN INTERPRETASI DATA ... 59
IV.A. Gambaran Sampel Penelitian ... 59
IV.A.1 Gambaran Subjek Penelitian berdasarkan Usia ... 59
IV.A.2 Gambaran Subjek Penelitian berdasarkan Jenis Kelamin ... 60
IV.B. Hasil Penelitian ... 61
IV.B.1 Uji Asumsi Penelitian ... 61
IV.B.1.1 Uji Normalitas ... 61
IV.B.12 Uji Homogenitas ... 62
IV.B.3.1 Kategorisasi data Penlitian ... 64
IV.B.3.2 Perbedaan Kreativitas berdasarkan Usia ... 68
IV.B.3.3 Perbedaan Kreativitas berdasarkan Jenis Kelamin ... 69
BAB V KESIMPULAN DISKUSI DAN SARAN ... 71
V.A. Kesimpulan ... 71
V.B. Diskusi ... 72
V.C. Saran ... 73
BAB I PENDAHULUAN
I.A. Latar Belakang
Era globalisasi ditandai dengan adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang terus berkembang pesat, sehingga dibutuhkan individu-individu
yang mampu menyesuaikan diri, bergerak cepat, memikirkan ide-ide baru dan
merubah cara-cara lama agar lebih baik dalam menghadapi persaingan di era
globalisasi ini (Supraptiningsih, 1999).
Individu yang diharapkan tidak hanya mengandalkan intelegensi tinggi
semata, tetapi juga dibutuhkan kreativitas dalam menghadapi persaingan di semua
bidang kehidupan manusia, baik di sekolah, keluarga, masyarakat, maupun dalam
pekerjaan. Individu yang kreatif mampu menghasilkan ide-ide baru dalam
meningkatkan daya saing, dinamis, fleksibel, komunikatif dan aspiratif. Individu
yang kreatif biasanya tidak dapat diam, selalu menginginkan
perubahan-perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik, mampu merubah suatu ancaman
menjadi tantangan dan peluang. Kreativitas dapat membangkitkan semangat, dan
percaya diri untuk menghadapi masa depan yang lebih baik bagi kehidupan
berbangsa dan bernegara (Munandar,1999). Ray Nickerson menegaskan bahwa
kreativitas sangat baik bagi kualitas kehidupan individu maupun sosial (dalam
Robertson, 2007).
Di Indonesia sendiri, masalah kreativitas semakin terasa, terutama sejak
kajian dan penelitian Utami Munandar (1977) dalam disertasinya “Creativity and
kreativitas untuk Indonesia. Dalam kaitan ini, Utami Munandar (1992)
mengemukakan empat sebab mengapa kreativitas perlu dipupuk dan
dikembangkan dalam diri anak.
Pertama, dengan berkreasi orang dapat mewujudkan dirinya, dan
perwujudan diri ini merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia. Orang yang
sehat mental, yang bebas dari hambatan, dapat mewujudkan diri sepenuhnya.
Dalam hal ini berarti ia berhasil mengembangkan dan menggunakan semua bakat
dan kemampuannya, sehingga akan memperkaya hidupnya.
Kedua, kreativitas atau berpikir kreatif merupakan kemampuan untuk
melihat bermacam-macam kemungkinan penyelesaian terhadap suatu masalah,
merupakan bentuk pemikiran yang sampai saat ini masih kurang mendapat
perhatian dalam pendidikan formal. Sementara dalam pendidikan formal di
Indonesia masih cenderung ditekankan pada pentingnya penalaran berdasarkan
suatu informasi yang telah tersedia, atau terlalu ditekankan pada fungsi ingatan
serta kemampuan berpikir konvergen, yaitu kemampuan berpikir menuju
satu-satunya jawaban yang benar.
Ketiga, bersibuk diri secara kreatif tidak saja berguna tapi juga
memberikan kepuasan kepada individu.
Keempat, kreativitaslah yang memungkinkan manusia untuk
meningkatkan taraf kualitas hidupnya. Dengan kreativitas, seseorang terdorong
untuk membuat ide-ide baru, penemuan-penemuan baru, atau teknologi baru yang
dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara luas.
Dikatakan bahwa kreativitas kurang mendapat perhatian dalam pendidikan
cenderung hanya melatih factor ingatan, pengetahuan atau penalaran berdasarkan
suatu informasi yang telah tersedia.
Bakat kreatif sesungguhnya dimiliki setiap anak, tetapi perkembangan
bakat kreatif ini sangat bergantung pada lingkungan dimana anak berada.
Lingkungan yang kondusif bagi perkembangan bakat kreatif adalah lingkungan
yang memberi keamanan dan kebebasan psikologis pada anak untuk berkembang,
baik kemampuan kognisi, afeksi, maupun kemampuan psikomotoriknya secara
bersama-sama. Lingkungan harus mampu memberi kesempatan pada anak untuk
mendapat latihan, pengetahuan, pengalaman dan dorongan agar bakat kreatif itu
dapat terwujud (Biondi dalam Munandar, 1985).
Untuk itu kreativitas perlu dipupuk dan dikembangkan sejak dini,
dimana pada usia tersebut berlangsung “periode kritis” di samping “periode
puncak” perkembangan kreativitas (Supraptiningsih, 1999).
Torrance (1964) juga menegaskan perlunya upaya peningkatan kreativitas
pada anak-anak sejak usia dini, karena dalam perioe ini anak mulai
mengembangan perasaan otonomi serta ingin melakukan segalanya sendiri. Rasa
ingin tahunya yang besar perlu ditumbuhkan dengan menunjukkan rasa antusias
bila ia menemukan hal-hal baru atau berhasil menciptakan sesuatu yang baru.
Orangtua dan guru perlu mengarahkan anak pada tahapan usia ini untuk
menyumbangkan ide mereka dalam membuat suatu perencanaan. Tahapan usia ini
merupakan saat yang terbaik untuk mengembangkan imajinasi dalam menciptakan
kejutan-kejutan baru bagi teman-teman maupun anggota keluarganya.
Pendidikan dan sikap yang tepat dari orang tua dan guru sangat
kesempatan untuk menggunakan atau mengubah banyak objek dari materi yang
ada akan memiliki kreativitas yang optimal (Blais dalam Bawani, 1997).
Sistem pendidikan yang ada sekarang ini masih terlalu lemah dan kurang
demokratis. Hal ini menyebabkan pembelajaran yang mengarah pada kreativitas
siswa menjadi terhambat, ini bisa terlihat dari penerapan disiplin yang masih
kaku, pemberian materi atau tugas yang membosankan. Prof.Arief Rachman
menegaskan bahwa banyak siswa yang merasa tidak tersalurkan potensi
kecerdasan dan bakat minatnya selain kenyataan bahwa suka tidak suka, minat
tidak minat, mereka tetap harus mengikuti aturan yang seragam tersebut dengan
jadwal belajar yang sudah terpola dan sistematis lengkap dengan limit waktu yang
harus ditempuh, mengikuti kurikulum yang sudah ada dan pada gilirannya
bermuara pada ujian-ujian yang seragam (dalam Kompas, 2007).
Kurikulum yang berlaku di Indonesia dianggap belum sepenuhnya mampu
untuk menampung konsepsi dan gagasan baru sejalan dengan tantangan dan
kehidupan bangsa saat ini. Banyak orang tua merasa tidak puas pada pendidikan
di sekolah reguler. Kurikulum selalu berubah, diikuti buku pelajaran yang juga
harus berubah. Alasan lain yang menjadi pertimbangan orangtua adalah pergaulan
di sekolah yang memberi dampak buruk bagi anak-anak mereka, mulai dari
pergaulan bebas, tawuran, rokok, dan obat-obatan terlarang. Hal inilah yang
membuat orang tua mempertimbangkan kembali untuk menyekolahkan anaknya
di sekolah reguler (Prasetyawati, 2006).
Kenyataan inilah yang oleh sebagian masyarakat khususnya orangtua yang
teramat peduli terhadap perkembangan putra-putri mereka menjadi suatu
yang lebih dikenal dengan istilah homeschooling atau home education atau home
based learning atau sekolah mandiri, yaitu suatu model pendidikan dimana
sebuah keluarga memilih untuk bertanggung jawab sendiri atas pendidikan
anaknya dengan menggunakan rumah sebagai basis pendidikannya (Sumardiono,
2007). Memilih untuk bertanggung jawab berarti orangtua terlibat langsung
menentukan proses penyelenggaraan pendidikan, penentuan arah dan tujuan
pendidikan, nilai-nilai yang hendak dikembangkan, kecerdasan dan keterampilan,
kurikulum dan materi, serta metode dan praktek belajar (Sumardiono, 2007).
Wichers (2001) mengatakan bahwa homeschooling didesain sebagai
situasi pembelajaran dimana anak pada umumnya diajarkan oleh orangtua mereka,
dalam lingkungan yang non tradisional. Orangtua merasa lebih nyaman bila
menerapkan homeschooling bagi anak-anaknya. Selain itu, orangtua dapat lebih
intensif membantu tumbuh kembang anak. Dalam homeschooling penekanannya
lebih kepada partisipasi dari orangtua dalam merancang pendidikan anak-anaknya,
karena pada dasarnya orangtua-lah yang lebih mengenal karakter anaknya.
Orangtua dapat merancang pola didik yang paling sesuai dengan karakter, minat,
dan bakat anaknya.
Holt menegaskan bahwa homeschooling merupakan sebuah pendidikan
yang dilakukan ‘tanpa sekolah’ dan dilakukan di rumah, berdasarkan pada
pembelajaran yang terpusat pada anak (dalam Griffith, 2006). Menurut
Yulfiansyah (2006) homeschooling merupakan sebuah wacana pembelajaran yang
menitikberatkan kepada pemanfaatan potensi anak didik dengan sedikit supervisi.
Anak yang homeschooling diberi kesempatan untuk mengembangkan kemampuan
Hal ini berbeda dengan proses penyelenggaraan pendidikan di sekolah
reguler yang bersifat sangat kompleks, di dalamnya terdapat aspek paedagogis,
psikologis, dan didaktis. Aspek paedagogis merujuk pada kenyataan bahwa
belajar mengajar di sekolah berlangsung dalam lingkungan pendidikan di mana
guru harus mendampingi siswa dalam perkembangannya menuju kedewasaan,
melalui proses belajar mengajar di dalam kelas. Aspek psikologis merujuk pada
kenyataan bahwa siswa yang belajar di sekolah memiliki kondisi psikologis yang
berbeda-beda. Aspek psikologis tersebut merujuk pada kenyataan bahwa proses
belajar itu sendiri sangat bervariasi, misalnya : belajar materi yang mengandung
aspek hafalan, belajar konsep, belajar sikap, dan seterusnya. Aspek didaktis
merujuk pada pengaturan belajar siswa oleh tenaga pengajar, dimana guru harus
menentukan metode yang paling efektif untuk proses belajar mengajar sesuai
dengan tujuan instruksional yang harus dicapai (Suryadi dan Hartilaar, 1993).
UU No.2 tahun 1989 (dalam Mukhtar,2000) tentang sistem pendidikan
nasional yang menyebutkan bahwa suasana belajar dan mengajar yang dapat
menumbuhkan rasa percaya diri dan budaya belajar di kalangan masyarakat harus
terus dikembangkan agar tumbuh sikap dan perilaku yang kreatif, inovatif, dan
keinginan untuk maju. Kenyataannya, idealisme dan harapan yang tertuang dalam
undang-undang tersebut belum sepenuhnya terwujud dalam sistem pendidikan
nasional.
Di Indonesia, beberapa kota seperti Jakarta, Medan, dan Banda Aceh
mulai tertarik akan pendidikan alternatif , salah satunya adalah homeschooling,
dan penerapan program homeschooling ini sudah banyak dilaksanakan.
homeschooling. Peneliti sendiri sudah menanyakan kepada beberapa orang tua
yang anaknya mengikuti program homeschooling, dan para orang tua tersebut
mengatakan bahwa alasan mereka adalah bahwa mereka kurang percaya dengan
sekolah reguler karena faktor pergaulan yang begitu bebas sehingga mereka takut
kalau anaknya salah pergaulan. Selain itu dengan homeschooling, anak dapat
mengatur jadwal belajarnya sendiri tetapi penuh dengan kedisiplinan yang tinggi
dan dapat memfokuskan pelajaran mana yang paling digemari. Di Jakarta sendiri
sudah banyak terdapat komunitas homeschooling, sementara untuk daerah Aceh
sendiri baru terdapat satu komunitas homeschooling yang bernama “ Buah Hati
School House” berada dipusat kota Banda Aceh tepatnya daerah Blower.
School House berdiri sejak tahun 2007 oleh seorang Psikolog yang
bernama Ibu Poppy Amelia. Awalnya homeschooling ini hanya diterapkan untuk
anaknya. Namun ternyata banyak orangtua yang berminat akan homeschooling
ini. Saat ini terdapat 30 anak yang mengikuti homeschooling di komunitas ini,
namun masih terbatas untuk taraf pendidikan SD. Komunitas ini merupakan suatu
tempat perkumpulan bagi keluarga yang melaksanakan homeschooling,
memfasilitasi tenaga pendidik bagi keluarga yang merasa perlu akan penambahan
tenaga pendidik terhadap suatu mata pelajaran tertentu. Selain itu tentunya
komunitas ini juga memfasilitasi peserta didik untuk mengikuti pendidikan
kesetaraan tingkat SD (Paket A). Para peserta didik memiliki jadwal bertemu
seminggu tiga kali, namun ini juga disesuaikan dengan jadwal belajar dirumah.
Artinya, peserta komunitas tidak harus datang pada jadwal yang ditetapkan.
kegiatan lapangan untuk mengunjungi tempat-tempat tertentu, seperti
musium,persawahan, laut, atau tempat umum lainnya.
Sementara untuk siswa Program Reguler, peneliti mengambil penelitian di
SD Negeri 60 kecamatan Lueng Bata, Banda Aceh. Pemilihan sekolah SD Negeri
60 ini sebelumnya telah disesuaikan dengan kondisi ekonomi keluarga, baik untuk
siswa homeschooling maupun siswa reguler. Sehingga terdapat kesetaraan antara
kedua jalur pendidikan tersebut.
Peneliti memilih anak yang berjenjang Sekolah Dasar dikarenakan pada
masa ini merupakan fase peningkatan dan penurunan kreativitas. Andrew (dalam
Munandar,1977) mengatakan bahwa skor imajinatif paling tinggi terjadi pada saat
anak berusia 4,5 tahun dan kemudian menurun pada usia 5 tahun saat anak
memasuki taman kanak-kanak. Pada usia 9 tahun (akhir kelas III) terjadi
penurunan hampir pada semua kemampuan berpikir kreatif. Masa pemulihan
terjadi di kelas V terutama untuk komponen kelancaran (fluency). Pemulihan
orisinalitas baru terjadi saat kelas VI dan kemudian mengalami penurunan
menjelang kelas 1 SMP.
Adanya perbedaan proses belajar mengajar, suasana belajar, tanggung
jawab pengajaran membuat peneliti tertarik untuk melihat bagaimana
pengaruhnya bagi perkembangan kreativitas siswa.
Homeschooling menawarkan konsep pendidikan yang berbeda dengan
sekolah reguler, dimana rumah menjadi pusat utama kegiatan belajar. Hal inilah
yang mendorong peneliti untuk melakukan penelitian mengenai perbedaan
kreativitas antara siswa yang mengikuti program homeschooling dengan siswa
I. B. Tujuan Penelitian
Dari uraian di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan
kreativitas antara siswa yang mengikuti program homeschooling dengan siswa
program reguler.
I. C. Manfaat Penelitian I. C. 1. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi disiplin ilmu
psikologi khususnya psikologi pendidikan yang membahas berbagai teori yang
menjadi acuan penyelenggaraan pendidikan. Serta menambah wacana yang
berkaitan dengan tema program homeschooling yang sedang marak akhir-akhir
ini.
I. C. 2. Manfaat praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi, tambahan
wawasan dan pandangan baik bagi para orangtua, guru, pemerhati anak serta
masyarakat mengenai kreativitas,dan program homeschooling.
Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan kepada para
siswa dalam menjalani sebuah program pendidikan, sehingga pendidikan yang
diterima sesuai dengan bakat dan kemampuan siswa.
I. D. Sistematika Penulisan
Bab I Pendahuluan
Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, tujuan penelitian,
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kreativitas
antara siswa yang mengikuti program homeschooling dengan siswa
program reguler.
Bab II Landasan Teori
Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang
menjadi objek penelitian, meliputi landasan teori dari kreativitas,
homeschooling, dan program reguler.
Bab III Metode Penelitian
Bab ini berisikan identifikasi variabel-variabel yang diteliti,
definisi operasional, subyek penelitian, alat ukur yang digunakan,
BAB II
LANDASAN TEORI
II. A. Kreativitas
II. A.1. Definisi Kreativitas
Kreativitas merupakan suatu aktivitas yang sifatnya sangat kompleks,
sehingga tidak dapat dipungkiri pengertian kreativitas menyebar luas dan banyak
digunakan melalui individu-individu yang memiliki keahlian berbeda dan
peradaban yang variatif, hingga secara otomatis hal ini menyebabkan munculnya
sejumlah definisi.
Amabile (dalam Munandar, 2002) mendefinisikan kreativitas sebagai
produk suatu respon atau karya yang baru dan sesuai dengan tugas yang dihadapi.
Menurut Renzulli (dalam Munandar, 2002) kreativitas adalah kemampuan untuk
menciptakan sesuatu yang baru, kemampuan untuk memberi gagasan-gagasan
baru yang dapat diterapkan dalam pemecahan masalah atau sebagai kemampuan
untuk melihat hubungan-hubungan baru antara unsur-unsur yang sudah ada
sebelumnya.
Torrance (dalam Al-Khalili, 2005) menambahkan bahwa kreativitas
mengandung sensitifitas terhadap problematika-problematika dan kesulitan dalam
bidang apa pun, kemudian menyusun sebagian pemikiran atau data-data teoritis
yang digunakan untuk mengatasi problematika tersebut, dan menguji kebenaran
data-data itu, serta menyampaikan hasil-hasil yang dicapai kepada orang lain.
Namun, setiap individu memiliki cara-cara yang berbeda dalam pemikiran,
definisi kreativitas yang dikemukakan Guilford (dalam Al-Khalili, 2005) yaitu,
sistem dari beberapa kemampuan nalar yang sederhana, dan sistem ini berbeda
satu sama lain dikarenakan perbedaan bidang kreativitas tersebut.
Guilford (dalam Munandar, 1999) juga mengemukakan tentang struktur
intelektual, dimana didalamnya mencakup tiga dimensi:
1. Dimensi Operation, terdiri dari kognisi, memori, kemampuan
berpikir divergen, konvergen dan kemampuan melakukan evaluasi
a. Kognisi adalah kemampuan menemukan ( discovery ),
menyadari (awareness ), memahami ( comprehension atau
understanding ).
b. Ingatan ( memory ) adalah kemampuan untuk meretensi
informasi dan menyimpannya dalam ingatan.
c. Berpikir divergen adalah kemampuan berpikir secara kreatif
yang ditandai oleh kelancaran ( fluency ) dalam
mengemukakan ide, kelenturan ( flexibility ), orisinalitas,
dan elaborasi.
d. Berpikir konvergen adalah kemampuan berpikir kearah satu
alternatif pemecahan umum yang diterima.
e. Evaluasi adalah kemampuan membuat keputusan dan
pertimbangan.
2. Content menjelaskan bagaimana informasi diproses, yang
mencakup figural, simbolik, semantic, dan behavioral ( perilaku ).
3. Product, ialah hasil akhir dari proses yang terjadi dalam bentuk
Berdasarkan pendapat-pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa
kreativitas merupakan suatu kemampuan individu dalam bersikap, menciptakan
berbagai jenis ketrampilan yang sifatnya unik atau berbeda dari biasanya dan
kemampuan berpikir yang menunjukkan kelancaran, orisinalitas, kemampuan
mengembangkan suatu ide yang berbeda dari orang lain, dan fleksibilitas dalam
berpikir.
II. A.2. Ciri-ciri Kreativitas
Ada beberapa ciri kreativitas yang dimiliki oleh individu kreatif, tidak
hanya meliputi aspek kognitif, tetapi juga meliputi aspek afektif. Guilford (dalam
Munandar, 2004) menekankan bahwa prestasi atau perilaku kreatif sangat
ditentukan oleh ciri-ciri kognitif yang disebutnya dengan aptitude dan ciri afektif
yang disebutnya dengan nonaptitude. Ciri-ciri aptitude dari kreativitas (berpikir
kreatif) meliputi kelancaran, kelenturan (fleksibilitas), dan orisinalitas dalam
berpikir. Ciri-ciri ini dioperasionalisasikan dalam tes berpikir divergen. Namun,
produktivitas kreatif tidak sama dengan produktivitas divergen. Sejauh mana
seseorang mampu menghasilkan prestasi kreatif ikut ditentukan oleh ciri-ciri
non-aptitude (afektif).
Penelitian berdasarkan analisa faktor menunjukkan korelasi yang statistis
bermakna (signifikan) walaupun rendah, antara ciri-ciri non-aptitude atau afektif
(seperti kepercayaan diri, keuletan, apresiasi estetik, kemandirian) dan ciri-ciri
aptitude dari kreativitas (antara kelancaran, kelenturan, dan orisinalitas dalam
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kreativitas terdiri dari
dua ciri yaitu ciri kognitif dan ciri afektif yang saling berhubungan satu sama lain,
saling mendukung dan akan selalu muncul secara bersamaan.
II. A.3. Aspek-aspek Kreativitas
Menurut Torrance (dalam Munandar,1988) aspek-aspek kreativitas
meliputi :
1. Kelancaran berpikir
Maksud dari kelancaran berpikir adalah kemampuan dalam
menghasilkan ide, jawaban, penyelesaian masalah atau pertanyaan
yang keluar dari pemikiran seseorang, memberikan banyak cara atau
saran untuk melakukan berbagai hal.
2. Keluwesan
Yaitu kemampuan untuk menggunakan bermacam-macam
pendekatan dalam mengatasi persoalan. Orang yang kreatif adalah
orang yang luwes dalam berpikir menggantikan cara berpikir lama
dengan cara berpikir yang baru dan mampu mengubah cara pendekatan
atau cara pemikiran.
3. Elaborasi
Yaitu kemampuan dalam memperkaya dan mengembangkan suatu
gagasan atau produk, dan menambahkan atau memperinci detail-detail
4. Orisinalitas
Kemampuan untuk mencetuskan gagasan asli, memikirkan cara
yang tidak lazim untuk mengungkapkan diri, dan mampu membuat
kombinasi-kombinasi yang tidak lazim dari bagian-bagian atau
unsur-unsur.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kreativitas terdiri dari
aspek-aspek yang meliputi kelancaran berpikir, keluwesan, elaborasi, dan
orisinalitas. Berdasarkan aspek-aspek tersebut, peneliti ingin mengungkap secara
simultan dari beberapa operasi mental kreatif dengan menggunakan tes Torrence
yang terdiri dari bentuk verbal dan bentuk figural,dimana keduanya berkaitan
dengan proses kreatif dan meliputi jenis berpikir yang berbeda-beda.
II. A.4. Fase-fase Kreativitas
Wallas (dalam Al-khalili,2005) memberikan deskripsi tentang empat fase
berkreativitas yang dilalui oleh proses kreativitas. Keempat fase tersebut meliputi:
1) Fase persiapan (Preparation)
Fase ini mencakup segala hal yang dipelajari orang yang kreatif melalui
kehidupannya, dan pengalaman yang diperolehnya, hingga meskipun melalui
usaha dan kesalahan terlebih dahulu. Dapat dikatakan bahwa segala hal yang
dipelajari seseorang dalam hidupnya dapat bermanfaat bagi proses berpikir
kreatif. Disamping berbagai macam pengetahuan yang dibawa oleh orang
kreatif, terkadang juga diperlukan latihan khusus yang berkaitan dengan kerja
2) Fase inkubasi
Dalam fase ini, secara emosional orang yang kreatif tidak akan
menyibukkan diri dengan berbagai permasalahan, dan proses berpikir sedang
dalam kondisi tidak aktif, serta tidak memperlihatkan kemajuan apa pun
menuju solusi atau produk kreatif. Orang kreatif menyengaja untuk
mengalihkan pandangannya dari permasalahan utama kepada sesuatu yang
lain setelah melewati fase persiapan, denan harapan dapat memberikan
petunjuk kepada solusi akhir bersamaan dengan berlalunya waktu.
Perilaku orang kreatif ini tampak jelas melalui fase inkubasi antara
seseorang dengan orang lain, dan dari satu sikap dengan sikap lainnya. Dalam
fase ini, kegundahan dapat mengalahkan perilaku seseorang dengan disertai
rasa tidak nyaman sampai frustasi dan menjadi mudah terpengaruh dengan
faktor yang terpisah. Terkadang orang lain menjadi merasa sedih dan tertekan.
Seseorang yang santai, dapat meminimalisir pengaruh pencegahan kreativitas,
ia akan lebih mempersiapkan kesempatan untuk memunculkan kreativitas
melalui dorongan yang kuat dan baru, serta keberanian melangkah ke depan.
3) Fase inspirasi (Illumination)
Dalam fase ini, sebuah solusi tampak seakan-akan datang secara tiba-tiba,
disertai dengan emosi yang meluap dan menyenagkan. Fase inpirasi ini bukan
merupakan fase yang terpisah dan mandiri. Namun, merupakan hasil dari
seluruh upaya yang dilakukan oleh orang kreatif selama fase-fase sebelumnya.
4) Fase perealisasian (Verification)
Dalam fase ini, orang kreatif melakukan pengujian atas kebenaran dan
dilakukan sebagian revisi atau perubahan atas produk kreativitas tersebut yang
dimaksudkan untuk memperbaiki dan memunculkannya dengan bentuk sebaik
mungkin.
Meskipun keempat fase ini ada dalam proses kreativitas, namun sebaiknya
lebih melihat kreativitas sebagai suatu proses yang dinamis, reaktif, dan
berkesinambungan secara lebih banyak daripada proses psikologis lainnya. Proses
kreativitas juga merupakan proses intervensi antar beberapa fase, reaktif, dan
eksis. Inilah yang berlawanan dengan pembagian proses kreativitas menjadi
beberapa fase yang berbeda. Meski demikian, fokus lebih mengarah pada dua fase
yaitu inkubasi dan iluminasi sebagai dua fase dasar yang memberikan cahaya bagi
proses berkreativitas itu sendiri secara langsung.
II. A.5. Faktor-faktor yang mempengaruhi Kreativitas
Rogers (dalam Munandar, 2002) mengemukakan dua faktor yang
mempengaruhi kreativitas seseorang, yaitu :
1. Faktor internal, didalamnya mencakup:
a. Keterbukaan terhadap pengalaman dan rangsangan-rangsangan
dari luar.
b. Kemampuan untuk menilai situasi sesuai dengan patokan pribadi
seseorang.
c. Kemampuan untuk bereksperimen dalam hal “bermain” dengan
2. Faktor eksternal, didalamnya terdapat lingkungan yang mengandung
keamanan dan kebebasan psikologis yang terbentuk melalui tiga proses
yang berbeda, yaitu :
a. Menerima individu sebagaimana adanya dengan segala kelebihan
dan keterbatasannya.
b. Mengusahakan suasana yang di dalamnya tidak ada evaluasi
eksternal
c. Memberikan pengertian secara empatis.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kreativitas seseorang
dipengaruhi oleh dua faktor yang saling mempengaruhi satu sama lain. Kedua
faktor tersebut adalah faktor internal yang bersumber dari diri individu sendiri,
dan faktor eksternal yang berasal dari luar diri individu.
II. A.6. Peranan Orangtua dalam Upaya Pengembangkan Kreativitas
Dalam lingkungan anak, orangtualah yang menjadi tokoh terdekat. Anak
dilahirkan dari pasangan orangtua yang kemudian merawat, mendidik, serta
memberikan kasih sayang kepadanya. Oleh karena itu, tidak mengherankan
bilamana anak mencontoh orangtuanya an menganggap mereka sebagai tokoh
yang paling baik, setidaknya sampai mereka mulai memasuki lingkungan
pergaulan yang lebih luas. Apapun bentuk perilaku yang ditunjukkan orangtua
pada anaknya akan berdampak pada kepribadian anak (Faw dan Belkin,1989).
Selain itu, keluarga tetaplah merupakan sekolah utama di tengah masyarakat yang
akan menghasilkan individu-individu yang mandiri serta kreatif, yang siap
Menurut Amabile (1989), dalam keluarga yang kreatif, orangtua terlibat
secara intelektual dalam proses perkembangan anak-anaknya. Mereka berdiskusi
mengenai berbagai hal, bertanya, berasumsi, menyelidiki, dan mengeksplorasi.
Pada umumnya, rumah yang kreatif adalah rumah di mana anak dan orang
dewasa yang ada di dalamnya memiliki ‘kebiasaan-kebiasaan kreatif’. Mereka
selalu mempertanyakan apa yang dilihat, berusaha menemukan cakrawala baru
dalam menjawab suatu persoalan, berusaha menemukan cara baru untuk
melakukan apapun yang mereka lakukan.
Amabile (1989) juga memberikan beberapa garis umum bagi orangtua
untuk pengembangan kreativitas anak di rumah, yaitu:
1. Kebebasan
Orangtua yang memberikan kebebasan pada anak, orangtua yang
seperti ini menjauhi sikap yang otoriter, tidak selalu
mengendalikan anak-anaknya serta tidak merasa cemas dengan apa
yang dilakukan oleh anaknya.
2. Rasa hormat
Anak yang kreatif umumnya memiliki orangtua yang menghargai
dan menghormati keberadaan mereka sebagai individu. Orangtua
dapat menunjukkan keyakinan atas kemampuan anak-anaknya dan
percaya akan keunikan anaknya. Anak-anak ini secara alami akan
mengembangkan rasa percaya diri serta dapat bersikap orisinal.
3. Kedekatan emosional yang secukupnya
Keluarga dengan anak yang kreatif pada umumnya tidak memiliki
hubungan antara anak dan orangtua agak longgar. Kuncinya adalah
sikap yang tidak terlalu berlebihan sehingga anak tidak terlalu
tergantung pada orangtua, namun di lain pihak mereka perlu
mengetahui bahwa mereka dicintai serta diterima oleh
orangtuanya.
4. Nilai dan bukan peraturan
Orangtua dari anak-anak yang kreatif tidak terlalu menjejali
peraturan pada anak-anaknya dibandingkan dengan orangtua dari
anak-anak yang tidak begitu kreatif. Peraturan yang diterapkan
bersifat lebih mendasar dan khusus, misalnya dalam jumlah jam
belajar, kebebasan yang menekankan agar anak tidak mengancam
kebebasan oranglain, namun yang pasti adalah diperlukannya
peraturan yang spesifik. Anehnya, banyak orangtua dari keluarga
yang kreatif merasa bahwa mereka tidak mempunyai masalah
apapun sehubungan dengan upaya penegakkan disiplin anak.
5. Prestasi dan bukan angka
Orangtua dari anak-anak kreatif menilai tinggi prestasi anak.
Mereka mendorong anak-anaknya untuk tampil sebaik mungkin
dan mencapai hal-hal yang baik. Namun di pihak lain, mereka
tidak menekankan perlunya anak memperoleh angka yang baik di
rapornya. Dalam sebuah studi yang dilakukan untuk melihat
perbedaan antara ‘anak-anak kreatif’ dan orangtua ‘anak-anak yang
tidak begitu kreatif’, tampak bahwa orangtua anak-anak yang
serta mempunyai IQ yang tingi, tidak terlalu penting bila
dibandingkan dengan imajinasi dan kejujuran.
6. Kemandirian, orangtua aktif
Sebagai orangtua, sikapnya terhadap diri sendiri merupakan hal
yang perlu diperhatikan karena ia menjadi model utama bagi
anaknya.
Mereka umumnya memiliki beragam jenis minat baik di dalam
maupun di luar rumah tangga.
7. Menghargai kreativitas
Anak-anak kreatif pada umumnya merasa bahwa orangtua mereka
sangat mendorong mereka untuk melakukan hal-hal yang kreatif,
dan orangtua mereka sangat senang melihat anak-anaknya
menampilkan kreativitas. Dalam keluarga yang kreatif, orangtua
mengolah kreativitas anak-anaknya dengan les, peralatan dan
pengalaman baru yang menarik.
8. Visi
Orangtua dari anak-anak yang kreatif mengekspresikan visi yang
jelas mengenai anaknya sebagai individu yang mandiri, dengan hak
untuk dihargai dan dikasihi, yang dapat diharapkan mampu
menunjukkan sikap yang bertanggungjawab jika dituntut demikian.
Selain itu, mereka juga dilihat mampu untuk melakukan hal-hal
yang luar biasa, kreatif, dengan bakat serta skill apapun yang
9. Rasa humor
Salah satu aspek yang secara potensial juga penting adalah
kemampuan menertawakan kejadian-kejadian, situasi-situasi
tertentu ataupun diri sendiri. Hasil penelitian menemukan bahwa
anak-anak yang kreatif berasal dari keluarga yang dalam interaksi
sesama anggota keluarganya selalu dipenuhi oleh humor. Dalam
keluarga-keluarga yang seperti ini, selalu ada ‘lelucon-lelucon
tetap’ ataupun permainan-permainan lucu.
Dari uraian diatas tampak di sini besarnya peran orangtua dalam
menumbuhkan minat dan kreativitas anak. Dimana orangtua terlibat dalam proses
perkembangan anaknya dan senantiasa menjadikan rumah sebagai sarana
pengembangan kreativitas tanpa batas.
II. B. Homeschooling
II. B.1. Pengertian Homeschooling
Homeschooling adalah suatu model pendidikan alternatif selain di sekolah.
Homeschooling dipraktikkan oleh jutaan keluarga di seluruh dunia. Namun, tidak
ada sebuah definisi tunggal mengenai homeschooling karena model pendidikan
yang dikembangkan di dalam homeschooling sangat beragam dan bervariasi.
Lines (1995) mendefinisikan homeschooling sbagai suatu situasi
pembelajaran yang singkat atau lama, di mana siswa dididik dengan beragam
subjek pelajaran di dalam rumah oleh orang tuanya, orang lain, teman-teman, atau
Sementara Wichers (2001) mengemukakan bahwa homeschooling
merupakan sebuah situasi pembelajaran di mana pada umumnyaanak diajarkan
oleh orang tua mereka sendiri dalam lingkunganyang non-tradisional.
Menurut Yulfiansyah (2006) homeschooling merupakan sebuah wacana
pembelajaran yang menitikeratkan pada pemanfaatan potensi anak didik dengan
sedikit supervisi. Anak yang homescholing diberi kesempatan untuk
mengembangkan kemampuan berpikir dan bernalar secara komprehensif, optimal,
dan mengoptimalkan kreativitasnya.
Pendapat lain dikemukakan oleh Holt (dalam Griffith,2006) yang
mengatakan bahwa homeschooling merupakan sebuah pendidikan yang dilakukan
‘tanpa sekolah’ dan dilakukan di dalam rumah, serta berdasarkan pada
pembelajaran yang terpusat pada anak.
Sumardiono (2007) homeschooling adalah model pendidikan di mana
sebuah keluarga memilih untuk bertanggung jawab sendiri atas pendidikan
anak-anaknya dan mendidik anak dengan menggunakan rumah sebagai basis
pendidikannya.
Homeschooling pada dasarnya dapat dibedakan menjadi 3 (dalam
Sumardiono,2007) yaitu :
1. Homescholing Tunggal
Merupakan format homeschooling yang dilaksanakan oleh orangtua
dalam satu keluarga tanpa bergabung dengan lainnya. Biasanya
homeschooling jenis ini diterapkan karena adanya tujuan atau alasan
khusus yang tidak dapat diketahui atau dikompromikan dengan
sepenuhnya atas seluruh proses yang ada dalam homeschooling, mulai
perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, pengadministrasian, hingga
penyediaan sarana pendidikan. Dalam format seperti ini, keluarga
menggunakan fasilitas atau sarana-sarana umum sebagai penunjang
kegiatan belajar anak-anaknya.
2. Homeschooling Majemuk
Merupakan format homeschooling yang dilaksanakan oleh dua atau
lebih keluarga untuk kegiatan tertentu sementara kegiatan pokok tetap
dilaksanakan oleh orangtua masing-masing. Format homeschooling ini
memberikan kemungkinan pada keluarga untuk saling bertukar
pengalaman dan sumber daya yang dimiliki tiap keluarga.
Alasan memilih homeschooling jenis ini dikarenakan terdapat
kebutuhan-kebutuhan yang dapat dikompromikan oleh beberapa
keluarga untuk melakukan kegiatan bersama. Contohnya kurikulum
dari konsorsium, kegiatan olahraga (misalya kelurga atlet tenis),
keahlian musik, kegiatan keagamaan, dan kegiatan sosial.
3. Komunitas Homeschooling
Adalah gabungan beberapa homeschooling majemuk yang menyusun
dan menentukan silabus, bahan ajar, kegiatan pokok (olahraga,
musik/seni, dan bahasa), sarana/prasarana, dan jadwal pembelajaran.
Komitmen penyelenggaraan antara orangtua dan komunitasnya kurang
lebih 50:50.
a. Terstruktur dan lebih lengkap untuk pendidikan akademik,
pembangunan akhlak mulia, dan pencapaian hasil belajar.
b. Tersedia fasilitas pembelajaran yang baik, misalnya bengkel
kerja, laboratorium alam, perpustakaan, laboratorium IPA atau
bahasa, auditorium, fasilitas olahraga dan kesenian.
c. Ruang gerak sosialisasi peserta didik lebih luas tetapi dapat
dikendalikan.
d. Dukungan lebih besar dikarenakan masing-masing
bertanggung jawab untuk saling mengajar sesuai keahlian
masing-masing.
e. Sesuai untuk anak usia di atas sepuluh tahun.
f. Menggabungkan keluarga yang tinggal berjauhan melalui
internet dan alat informasi-komunikasi lainnya untuk tolak
banding (benchmarking) termasuk untuk standardisasi.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa di Indonesia terdapat
tiga jenis kegiatan homeschooling, yaitu homeschooling tunggal, homeschooling
majemuk, dan komunitas homeschooling. Menurut data yang dihimpun oleh
Direktorat Pendidikan Kesetaraan Departemen Pendidikan Nasional, ada sekitar
600 peserta homeschooling di Indonesia. Sebanyak 83,3% atau sekitar 500 orang
mengikuti homeschooling majemuk dan komunitas, sedangkan sebanyak 16,7%,
II. B.2. Sejarah Homeschooling
Sejak perkembangan revolusi industri, terjadi proses sistematisasi
pendidikan dan proses belajar. Perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan serta
usaha untuk memaksimalkan model pembelajaran selama berabad-abad
menghasilkan sebuah evolusi sistem pendidikan yang kemudian kita kenal sebagai
sekolah. Sekolah adalah salah satu representasi institusional dari nilai-nilai
modern yang dipegang manusia saat ini. Sebagai institusi modern, sekolah
dijadikan sebagai solusi untuk mengatasi keterbatasan keluarga dalam mendidik
anaknya secara sadar dan terencana (Sumardiono,2007).
Walaupun sekolah menjadi institusi pendidikan yang terbukti memberikan
manfaat bagi kemanusiaan, proses pencarian pendidikan yang terbaik tak pernah
berhenti. Berbagai filsafat dan pemkiran yang terus lahir, serta berinteraksi
dengan kondisi sosial yang dialami oleh masyarakat.
Pembelajaran yang tidak konvensional ini kemudian mengambil jalur
pendidikan yang berbeda. Dipicu oleh pemikiran yang dilontarkan John Cadlwell
Holt (dalam Sumardiono,2007) melalui bukunya “ How Children Fail” (1964),
terjadi perbincangan dan perdebatan luas mengenai pendidikan dan sistem
sekolah. Sebagai guru dan pengamat pendidikan, Holt menyatakan bahwa
kegagalan akademis pada siswa tidak disebabkan oleh kurangnya usaha pada
sistem sekolah,tetapi disebabkan oleh eksistensi sekolah itu sendiri. Walaupun
Holt tidak mendorong untuk pembentukan sistem pendidikan alternatif, pemikiran
Holt memicu banyak kalangan pendidikan dan keluarga untuk memikikan ulang
mengenai pendidikan dan sekolah. Pemikiran dasar Holt adalah “ manusia pada
bagaimana cara belajar. Yang membunuh kesenangan belajar adalah orang-orang
yang berusaha menyelak, mengatur, atau mengontrolnya.”
John Holt di akhir tahun 1970-an akhirnya mempelopori terbentuknya
sekolah di rumah kepada publik. Pada tahun 1977, Holt mulai mempublikasikan
buletin berita sebanyak empat halaman, yang berjudul “Growing Without
Schooling “ (Tumbuh Tanpa Sekolah) bagi keluarga-keluarga yang menginginkan
ide-ide dan dukungan untuk membantu anak-anak mereka belajar di luar sekolah.
Pada awalnya Holt menggunakan kata “pendidikan tanpa sekolah” untuk
menggambarkan tindakan pendidikan anak didik di luar sekolah formal. Namun,
hal tersebut segera menjadi sinonim untuk sebutan sekolah di rumah
(homeschooling). Selama dua dekade terakhir, arti istilah itu telah berubah dan
menyempit, sehingga “pendidikan tanpa sekolah” mengacu pada gaya khusus
sekolah di rumah (homeschooling) yang dianjurkan Holt dan pembelajarannya
terpusat pada anak. Kemudian sejak tahun 1970-an, pergerakan dari
homeschooling telah mendapat dukungan luas dan tumbuh dengan pesat
(Griffith,2006).
Menurut laporan Departemen Pendidikan Amerika Serikat
“Homeschooling in the United States: 2003” , terjadi peningkatan jumlah siswa
homeschooling dari 850 ribu (1,7% dari total siswa) menjadi 1,1 juta pada tahun
2003 (2,2% dari total siswa). Sementara itu, berdasarkan penelitian Dr. Brian Ray
(presiden the National Home Education Research Institute), pada tahun
2002-2003 ada sekitar 1,7 juta-2,1 juta siswa homeschooling Amerika Serikat. Dr. Ray
menyatakan bahwa jumlah siswa homeschooling terus tumbuh dengan kecepatan
Di tahun 2003 pula, NHES melakukan survei terhadap orang tua,
mengenai alasan mereka menerapkan homeschooling pada anak-anak mereka.
Sekitar 31% orang tua menyatakan khawatir terhadap lingkungan sekolah; 30%
mengatakan alasannya adalah memberikan ajaran agama dan moral; dan alasan
berikutnya, sekitar 16% adalah ketidakpuasan terhadap sistem akademis di
sekolah.
Pendidikan di sekolah merupakan salah satu sub sistem kesuluruhan sistem
pendidikan yang terdiri dari sentra keluarga, masyarakat, media, dan sekolah.
Pemerintah Indonesia pada hakekatnya telah melakukan beberapa kebijakan
pendidikan guna mengakomodasi dan melayani kebutuhan pendidikan bagi
anak-anak di Indonesia, karena pendidikan merupakan usaha sadar untuk
menumbuhkembangan potensi sumber daya manusia (SDM) melalui kegiatan
pengajaran. Kegiatan pengajaran tersebut diselenggarakan pada semua satuan dan
jenjang pendidikan yang meliputi wajib pendidikan dasar 9 tahun, pendidikan
menengah, dan pendidikan tinggi (Depdiknas,2001).
Namun, pada saat ini banyak fenomena yang mengarah pada bentuk
ketidakpercayaan masyarakat terhadap signifikansi proses pendidikan dalam
sistem sekolah formal untuk merubah kualitas hidup. Proses yang terjadi
disekolah dianggap sebagai ritual formalitas yang berkisar dari hal menjemukan
sampai penyiksaan terhadap siswa, namun tetap saja harus dilakukan agar
mendapatkan pengakuan resmi dari pemerintah berupa ijazah untuk bisa
memasuki jenjang selanjutnya. Di tingkat perguruan tinggi, terungkapnya kasus
pembelian gelar dan ijazah sebagai jalan pintas yang juga melibatkan beberapa
terhadap proses pembelajaran dalam sistem formal
(http://www.komunitasdemokrasi.or.id/comment.php?id=P153_0_9_0_C).
Sejalan dengan hal tersebut muncul sekolah-sekolah alternatif yang
diprakarsai oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Ketika masyarakat
tergerak untuk mengambil alih kembali pendidikan, muncul pendidikan alternatif
yang diprakarsai sejumlah lembaga swadaya masyarakat. Terdapat sanggar anak,
sekolah anak rakyat, komunitas pinggir kali, dan sebagainya. Dan akhir-akhir ini
yang lebih menggembirakan lagi, muncul sebuah gerakan sekolah rumah
(homeschooling) sebagai bentuk ketidakpercayaan kepada sekolah formal.
Walaupun masih belum cukup banyak dibanding kompleksitas berbagai
permasalahan dalam masyarakat, upaya-upaya alternatif ini merupakan bagian
dari dinamika proses negoisasi dimensi formal dan non-formal dari pendidikan
(http://www.komunitasdemokrasi.or.id/comment.php?id=P153_0_9_0_C).
Salah satu konsep kunci dari homeschooling adalah pembelajaran yang
tidak berlangsung melalui institusi sekolah formal. Konsep ini mengarah pada
konsep yang lebih umum yaitu konsep belajar otodidak atau belajar mandiri.
Dalam bentuk umumnya, pembelajaran otodidak ini memiliki beragam variasi,
diantaranya pembelajaran dengan cara magang (internship )yang banyak
dipraktikkan oleh keluarga di Indonesia. Dalam level komunitas, akar
homeschooling ini dapat juga ditelusuri dari pendidikan berbasis agama seperti
pesantren atau komunitas adat yang melakukan pembelajaran secara mandiri tanpa
ketergantungan pada model pendidikan formal yang ada ( sumardiono,2007 ).
Prasetyawati (2006) mengatakan bahwa kegiatan belajar yang dialihkan
terhadap sistem pendidikan, ketidaksesuaian anak terhadap mata pelajaran
sehingga tidak bisa mengembangkan potensi anak, pergaulan di sekolah yang
memberi dampak buruk, misalnya: penyalahgunaan obat terlarang yang sudah
menyusup di kalangan pelajar, serta adanya fleksibilitas dalam memberikan
pelajaran oleh orangtua.
Saat ini, perkembangan homeschooling di Indonesia dipengaruhi oleh
akses terhadap informasi yang semakin terbuka dan membuat para orang tua
memiliki semakin banyak pilihan untuk anak-anaknya.
Ibuka (dalam Sukadji,2000) menyatakan tulisannya mengenai pendidikan
anak, bahwa anak hendaknya mulai dididik sejak lahir oleh orang tuanya sendiri.
Pendidikan anak pada hakekatnya berasal dari rumah yang menjadi guru pertama
kali dalam hidup anak adalah orang tua, yang mana pendidikan dalam rumah
dapat membuat anak sehat jasmaninya,lebih bermental fleksibel,lebih cerdas, dan
lebih sopan. Yulfiansyah (2006) mengatakan bahwa pada homeschooling yang
menjadi guru untuk mendidik dan mengajarkan anak adalah orang tua.
Selanjutnya orang tua dapat pula mengundang siapa saja untuk memberikan
keahlian transfer pada anak-anaknya,bisa seorang mahasiswa untuk bidang yang
dikuasainya,seorang suster untuk masalah kesehatan,seorang satpam untuk belajar
beladiri,seorang cleaning service untuk kegigihan dan kesungguhan dalam
berkerja,seorang buruh pabrik,dan lain sebagainya.Pada dasarnya dengan
pengalaman yang mereka miliki,wawasan anak didik menjadi lebih berkembang
oleh karena ilmu yang sejati bisa datang dan dibawa siapa saja.
Suyanto (2006) mengatakan bahwa orang tua yang ragu-ragu terhadap
anaknya dirumah. Namun, tentu materinya harus sesuai dengan standard yang
berlaku.Untuk itulah anak-anak yang mengikuti homeschooling harus menempuh
ujian kesetaraan, yang dapat diikuti melalui lembaga yang dikelola oleh
pemerintah, seperti di Sanggar Kegiatan Belajar-Unit Pelaksanaan Teknis Daerah
(SKB-UPTD) yang sudah menyebar di seluruh kabupaten di Indonesia, dan di
Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang penyebarannya mencapai
tingkat kelurahan.Dengan demikian anak yang homeschooling dapat memperoleh
ijazah sama seperti anak yang sekolah di sekolah formal, dan dapat melanjutkan
pendidikannya di sekolah yang lebih tinggi pula.
Di Indonesia, menurut perkiraan Ella Yulaelawati (dalam
Sumardiono,2007) Direktur Pendidikan Kesetaraan Depdiknas, ada sekitar
1.000-1.500 siswa homeschooling. Di Jakarta terdapat sekitar 600 siswa, sebagian besar
diantaranya ( sekitar 500 orang ) adalah siswa homeschooling majemuk.
II. B.3. Legalitas Homeschooling di Indonesia
Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
mengamanatkan pentingnya pendidikan nasional. Pasal 31 menyebutkan:
1) Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan
2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayainya.
Untuk menjalankan amanat Konstitusi UUD 1945, telah dibuat
Undang-Undang nomor 20/2003 yang mengatur mengenai Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas). Undang-Undang ini merupakan rujukan induk untuk sistem dan
Berdasarkan Undang-Undang tersebut, definisi pendidikan yang dianut
dalam Sistem Pendidikan Nasional Indonesia adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (pasal 1).
Sistem Pendidikan Nasional didefinisikan sebagai keseluruhan komponen
pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan
nasional(pasal 1).
Definisi pendidikan yang dijelaskan dalam UU tersebut menunjukkan
luasnya cakupan pendidikan dan sistem pendidikan yang diakui di Indonesia.
Pendidikan tidak hanya terbatas pada belajar di sekolah. Demikian pula, sistem
pendidikan tidak hanya ada dalam bentuk sekolah formal sebagaimana yang
umumnya dikenal dan berkembang di masyarakat. Ada bentuk-bentuk pendidikan
lain yang dikenal dan diakui dalam Sistem Pendidikan Nasional yang berlaku di
Indonesia.
Di dalam UU Sisdiknas dijelaskan mengenai jenjang dan jalur pendidikan
yang ada. Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan
berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan
kemampuan yang dikembangkan (pasal 1).
Jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk
mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan
tujuan pendidikan. Sistem Pendidikan Nasional Indonesia mengakui ada 3 jalur
1. Formal, adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang. Terdiri
atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
Pendidikan yang dimulai dari tingkat SD, SMP, SMU, dan Perguruan
Tinggi.
2. Non Formal, adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat
dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Jalur pendidikan ini
diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan
pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan pelengkap
pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.
Pendidikan non formal meliputi pendidikan kecapakan hidup, pendidikan
anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan
perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan
kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan yang lain yang ditujukan
untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.
Satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan non formal antara
lain adalah: lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat
kegiatan belajar masyarakat, majelis taklim, serta satuan pendidikan
sejenis.
3. Informal, adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan secara mandiri,
salah satunya adalah homeschooling. Hasil pendidikan informal diakui
sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus
ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan.
Keberadaan homeschooling telah diatur dalam UU 20/2003 tentang Sistem
“Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan
lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri”
Pemerintah tidak mengatur standar isi dan proses pelayanan pendidikan
informal. Tetapi, hasil pendidikan informal ini dapat diakui sama dengan
pendidikan formal dan non formal sebagaimana yang dinyatakan pada UU No.20 /
23, pasal 27 ayat (2).
Bagi keluarga homeschooling, salah satu jalan untuk mendapatkan
kesetaraan adalah membentuk Komunitas Belajar. Eksistensi Komunitas Belajar
diakui sebagai salah satu satuan pendidikan non formal yang berhak
menyelenggarakan pendidikan. Hal tersebut sejalan dengan UU 20 / 2003 pasal 26
ayat (6):
“Hasil pendidikan non formal dapat dihargai setara dengan hasil program
pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh
lembaga yang ditunjuk pemerintah atau pemerintah daerah dengan
mengacu pada standar nasional pendidikan.”
Agar kegiatan homeschooling bisa memperoleh penilaian dan penghargaan
melalui pendidikan kesetaraan, perlu ditempuh langkah-langkah pembentukan
Komunitas Belajar sebagai berikut:
1. Mendaftarkan kesiapan orangtua atau keluarga untuk menyelenggarakan
pembelajaran di rumah atau lingkungan kepada Komunitas Belajar.
2. Berhimpun dalam suatu komunitas.
3. Mendaftarkan Komunitas Belajar pada bidang yang menangani
pendidikan kesetaraan pada Dinas Pendidikan kabupaten / kota
4. Mengadministrasikan peserta didik sesuai dengan program paket belajar
yang diikutinya.
5. Menyusun program belajar dan strategi penyelenggaraan secara
menyeluruh dan berkesinambungan sesuai dengan program paket
belajar yang diselenggarakannya.
6. Mengembangkan perangkat pendukung pembelajaran.
7. Melakukan penilaian terhadap hasil belajar yang dicapai peserta didik
secara berkala per semester.
8. Mengikutsertakan peserta didik yang sudah memenuhi persyaratan
dalam Ujian Nasional.
Sejalan dengan hal di atas, pemerintah dan pemerintah daerah juga
berkewajiban untuk:
1. Melakukan pendataan Komunitas Belajar dan sekolah rumah yang
menjadi anggotanya.
2. Melakukan pembinaan terhadap Komunitas Belajar.
3. Memfasilitasi terselenggaranya Ujian Nasional bagi peserta didik
sekolah rumah yang terdaftar pada Komunitas Belajar.
II. B.4. Faktor-faktor yang Menentukan Keberhasilan Homeschooling
Menurut Alifa (2006) keberhasilan homeschooling dipengaruhi oleh
beberapa faktor berikut ini (
http://www.tabloid-nakita.com/artikel2.php3?edisi=07359&rubrik=topas), yaitu:
Pengajar dan anak didik yang diajar harus menerapkan sikap yang
disiplin. Belajar di rumah tentu memiliki keleluasaan waktu.
Namun, orangtua bersama anak harus membuat kesepakatan bersama
perihal waktu belajar. Taati waktu yang telah dipilih dan tidak
melanggarnya. Terlewat satu hari berarti talah melewatkan beberapa
materi yang harus dipelajari.
2. Mengenali Kemampuan Anak
Dengan mengenali kemampuan anak, maka si pengajar atau tutor dapat
memberikanmateri yang sesuai baginya. Orang tua tidak boleh
memaksa anak melebihi kemampuannya karena dapat membuatnya
frustasi.
3. Menciptakan Suasana Belajar yang Menyenangkan
Kelebihan sistem homeschooling ini adalah dapat memilih lokasi
belajar di mana saja, di dalam ruangan, dan di sekitar rumah, sehingga
suasana belajar menjadi lebih menyenangkan.
4. Memberikan Kesempatan pada Anak untuk Bersosialisasi
Kemampuan bersosialisasi anak tetap dapat dikembangkan dengan
cara memberinya kesempatan mengikuti kegiatan ekskul yang
melibatkan anak-anak sebaya. Sesuaikan bidang ekskul dengan minat
anak sehingga semangat selalu menyertainya.
5. Memperkaya Kemampuan Pengajaran
Tutor hendaknya selalu menambah pengetahuannya, baik dalam hal
teknik mengajar kreatif dan interaktif maupun materi yang
kabar, buku, dan forum-forum orangtua homeschooling tentu akan
sangat membantu.
Keberhasilan homeschooling sangat dipengaruhi oleh komitmen orangtua
yang lebih dituntut untuk mengenali kemampuan anak, menciptakan lingkungan
belajar yang menyenangkan, lebih memberikan kesempatan untuk anak
bersosialisasi, dan memperkaya kemampuan pengajaran.
II.C. Program Reguler
Pengertian Program reguler dalam kamus Bahasa Indonesia adalah teratur,
tetap atau biasa (Daryanto,1997). Berdasarkan pengertian tersebut penulis dapat
menyimpulkan bahwa yang dimaksud kelas reguler adalah kelas yang secara
umum diselenggarakan oleh sekolah-sekolah dengan sistem tetap atau biasa yang
memberikan kepada siswa suatu metode pengajaran yang biasa dilaksanakan
selama ini yang membutuhkan waktu tempuh pendidikan selama enam tahun SD
dan tiga tahun di SMP / SMU. Waktu belajar yang digunakan kelas reguler
maksimal delapan jam, secara umum belajar yang digunakan adalah tujuh sampai
dengan delapan jam (Balitbang Depdikbud,1986)
Menurut Widyastono (2004) kelas reguler diselenggarakan berdasarkan
kurikulum nasional yang berlaku. Dalam kelas reguler semua peserta didik atau
siswa diberikan perlakuan yang sama tanpa melihat perbedaan kemampuan
mereka.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa program reguler
studinya selama enam tahun untuk SD dan tiga tahun untuk SMP/SMU, dengan
tetap menggunakan kurikulum yang diterapkan oleh pemerintah.
II.D. Perbedaan Kreativitas siswa Homescholing dan siswa yang mengikuti Program Reguler
Program pendidikan homeschooling sudah semakin meluas dan cukup
dikenal, termasuk Indonesia. Banyak para pendidik dan tokoh masyarakat
menyambut positif kebijakan ini, karena program ini adalah salah satu program
pendidikan bagi anak didik yang melibatkan partisipasi orangtua di dalamnya.
Dalam homeschooling penekanannya lebih kepada partisipasi dari
orangtua dalam merancang pendidikan anak-anaknya. Dalam belajar dan
mendidik anak, yang menjadi guru pertama dalam hidup anak adalah orangtua.
Menurut Dewey (dalam Lines,2000) orangtua yang lebih mengenal karakter,
minat, dan bakat anak-anaknya, sehingga dapat dirancang suatu pola didik yang
paling sesuai dengan karakter, minat, dan bakat mereka tersebut. Selanjutnya,
orangtua bisa mengundang siapa saja untuk memberikan transfer keahlian kepada
anak-anaknya, bisa seorang mahasiswa untuk bidang yang dikuasainya, seorang
perawat untuk masalah kesehatan, seorang satpam untuk belajar beladiri, seorang
cleaning service untuk kegigihan dan kesungguhan dalam bekerja, dan lain
sebagainya. Pada dasarnya dengan pengalaman mereka anak-anak akan menjadi
lebih berkembang, karena ilmu yang sejati bisa datang dan dibawa oleh siapa saja
(Yulfiansyah,2006).
Menurut Kak Seto (2007) homeschooling dapat membebaskan anak untuk
berkunjung ke berbagai tempat yang bisa menjadi objek pelajaran, seperti
persawahan, taman burung, pemandian air panas, kebun binatang, tepian laut yang
berisi beraneka ragam makhluk hidup, stadion olahraga, pasar, bank, dan
tempat-tempat lain yang dapat dijadikan sebagai sarana belajar.
Berbeda dengan konsep sekolah reguler yang sangat komplek, belajar
mengajar di sekolah berlangsung dalam lingkungan pendidikan di mana guru
harus mendampingi siswa dalam perkembangannya menuju kedewasaan, melalui
proses belajar mengajar di dalam kelas. Selain itu, siswa yang belajar di sekolah
memiliki kondisi psikologis yang berbeda-beda dan mau tidak mau harus
mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan pihak sekolah sehingga
menyebabkan keterbatasan bagi ruang gerak siswa (Suryadi dan Hartilaar,1993).
Pada hakekatnya, baik homeschooling maupun sekolah umum, sama-sama
sebagai sebuah sarana untuk menghantarkan anak-anak mencapai tujuan
pendidikan seperti yang diharapkan. Namun homeschooling dan sekolah memiliki
perbedaan. Pada sistem sekolah, tanggung jawab pendidikan anak didelegasikan
orangtua kepada guru dan pengelola sekolah. Pada homeschooling, tanggung
jawab pendidikan anak sepenuhnya berada ditangan orangtua.
Sistem di sekolah terstandarisasi untuk memenuhi kebutuhan anak secara
umum, sementara sistem pada homeschooling disesuaikan dengan kebutuhan anak
dan kondisi keluarga. Sekolah telah mengatur jadwal belajar dan menentukan
seragam untuk seluruh siswa, semantara homeschooling jadwal belajar fleksibel,
tergantung pada kesepakatan antara anak dan orangtua. Pengelolaan di sekolah
terpusat, seperti pengaturan dan penentuan kurikulum dan materi ajar.
homeschooling, kurikulum dan materi ajar dipilih dan ditentukan oleh orangtua
(Kompas,2005).
Kelebihan homeschooling sendiri antara lain: adaptable, artinya sesuai
dengan kebutuhan anak dan keluarga, mandiri artinya lebih memberikan peluang
kemandirian dan kreativitas individual yang tidak didapatkan di sekolah umum,
dapat memaksimalkan potensi anak tanpa harus mengikuti standar waktu yang
ditetapkan sekolah, siap terjun pada dunia nyata. Output sekolah rumah lebih siap
terjun pada dunia nyata karena proses pembelajarannya berdasarkan kegiatan
sehari-hari yang ada disekitarnya, terlindung dari pergaulan menyimpang, ada
kesesuaian pertumbuhan anak dengan keluarga (Yorgi,2006).
Menurut Jeanette Vos dan Gordon Dryden (dalam Pikiran Rakyat,2006)
kunci pembelajaran adalah “Fun”, ini akan semakin menguatkan kelebihan
pembelajaran individual yang paling mungkin dilakukan di rumah. Vos dan
rekannya tersebut mengatakan, bahwa belajar akan efektif jika dilakukan dalam
situasi yang menyenangkan. Kondisi itu hanya bisa terwujud jika guru dan
muridnya berada dalam keadaan senang mengajar dan ingin belajar. Jadwal
belajar yang ketat seperti halnya di sekolah kurang mampu mengakomodasikan
kepentingan ini. Bisa jadi, pada saat pembelajaran berlangsung, siswa dan juga
gurunya sedang malas untuk belajar, efeknya proses belajar mengajar menjadi
tidak efektif. Esensi pelajarannya pun tidak tertangkap otak, sehingga proses
kreativitas mau tidak mau akan terhambat.
Sementara itu, hal yang dapat menunjang kreativitas menurut Munandar
(1985) adalah menciptakan iklim yang menunjang pengembangan kreativitas dan
Blair, dkk (1975) mengatakan bahwa anak akan kreatif bila diberi
kesempatan untuk menyentuh, menggunakan peralatan-peralatan, dan
mengubah-ubah bentuk objek. Hal ini memberi implikasi bahwa apa pun jenis kegiatan
belajar hendaknya menyediakan lingkungan dan sarana yang dapat
mengembangkan sifat eksploratif dan rasa ingin tahu. Kesempatan yang luas
untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar akan lebih mendorong
perkembangan kreativitas.
Siswa-siswa yang mengikuti homescholing diperkirakan memiliki
kreativitas yang berbeda dibandingkan dengan siswa-siswa reguler yang belajar di
sekolah formal. Siswa homeschooling lebih fleksibel dalam menerima maupun
mengikuti pendidikan, tidak kaku dan tidak terlalu berstruktur sebagaimana
sekolah formal. Pendidikan homeschooling lebih kepada upaya pengembangan
kreatif anak-anak itu sendiri, sehingga tercipta anak-anak yang senang belajar,
menjalankan aktivitas pembelajaran dengan motivasi internal yang kuat, kreatif,
serta mampu menguasai materi pelajaran secara lebih efektif. Dengan demikian,
kreativitas siswa homeschooling belum tentu sama dengan kreativitas yang
dimiliki oleh siswa di sekolah reguler.
II.E. Hipotesis
Berdasarkan uraian teoritik yang dikemukan di atas, maka dalam
penelitian ini diajukan sebuah hipotesis sebagai jawaban sementara terhadap
permasalahan yang telah dikemukan. Adapun hipotesis yang diajukan dalam
penelitian ini adalah: “Ada perbedaan kreativitas antara siswa homeschooling
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian sangat menentukan suatu penelitian karena menyangkut
cara yang benar dalam pengumpulan data, analisa data, dan pengambilan
keputusan hasil penelitian. Pembahasan dalam metode penelitian meliputi:
identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, subjek penelitian, dan metode
analisis data (Hadi,2000). Atas dasar hal tersebut maka dalam bab ini akan
dibahas mengenai masalah-masalah metodologis yang digunakan untuk menjawab
masalah penelitian.
III.A. Identifikasi Variabel Penelitian
1. Variabel Tergantung : Kreativitas
2. Variabel Bebas : Jalur Pendidikan, yaitu:
Program Homeschooling dan Program
Reguler
III.B. Definisi Operasional Variabel Penelitian
a. Kreativitas
Kemampuan individu dalam berpikir yang menunjukkan kelancaran,
orisinalitas, fleksibilitas dalam berpikir, dan kamampuan mengembangkan suatu
ide yang berbeda dari orang lain. Kreativitas ini nantinya akan diungkap melalui
Torrance (1974a) dan kreativitas verbal yang di konstruksi di Indonesia dari
Munandar (1997) .
b. Program Homeschooling
Program Homeschooling adalah model pendidikan alternatif yang berfokus
pada pemanfaatan potensi anak dimana orangtua atau keluarga bertanggung jawab
penuh terhadap proses pendidikan anak dengan menjadikan rumah sebagai basis
utama proses belajar. Pihak yang melaksanakan homeschooling akan bergabung
dalam suatu Komunitas Belajar untuk menyusun silabus serta bahan ajar bagi
peserta didiknya.
c. Program Reguler
Program reguler merupakan pendidikan umum yang menggunakan
kurikulum pemerintah melalui Keputusan Menteri Pendidikan Nasional.
III.C. Populasi dan Metode Pengambilan Sampel III.C.1. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi adalah usaha seluruh penduduk yang dimaksudkan untuk
diselidiki dan dibatasi oleh sejumlah penduduk yang sedikitnya memiliki satu sifat
yang sama (Hadi,2000). Populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang terdiri
dari manusia, benda-benda, hewan, tumbuh-tumbuhan, gejala-gejala, nilai tes,
atau peristiwa sebagai sumber data yang memiliki karakteristik tertentu di dalam
suatu penelitian (Nawawi,2000).
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa yang berada pada taraf
pendidikan Sekolah Dasar (SD) di Banda Aceh. Sampel dalam penelitian ini
perempuan yang mengikuti program Homeschooling di Komunitas “Buah Hati
School House” Banda Aceh dan SD Negeri 60 Banda Aceh, dengan jumlah 60
orang, 30 orang untuk siswa yang mengikuti program homeschooling dan 30
orang untuk siswa yang mengikuti program reguler. Alasan penggunaan sampel
yang lebih sedikit pada siswa program homeschooling dikarenakan Komunitas
“Buah Hati School House” masih berusia dua tahun dengan pengelolaan sekolah
rumah untuk anak-anak kalangan menengah kebawah.
III.C.2. Metode Pengambilan Sampel
Sampel penelitian menurut Azwar (2000) adalah sumber utama data
penelitian, yaitu mereka yang memiliki data mengenai variabel penelitian yang
akan diteliti. Sampel adalah sebagian dari populasi yang merupakan penduduk
yang jumlahnya kurang dari populasi. Sampel harus memiliki paling sedikit satu
sifat yang sama (Hadi,2000). Penelitian terhadap sampel dilakukan untuk
menggeneralisasikan sampel, yaitu untuk mengambil kesimpulan penelitian
sampel sebagai sesuatu yang berlaku bagi populasi (Azwar,2000).
Adapun teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive
sampling, di mana subjek penelitian didasarkan atas ciri atau sifat tertentu yang
dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat
populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Penekanannya adalah pada kesesuaian
tujuan penelitian dengan populasi yang diperoleh mengarah pada karakteristik
sampel saja (Hadi,2000)
Karakteristik sampel penelitian diperlukan untuk menjamin homogenitas
berada pada taraf pendidikan Sekolah Dasar kelas 4 sampai 6 SD baik laki-laki
maupun perempuan, berusia 11-13 tahun yang mengikuti Program
Homeschooling dan Program Reguler.
III.D. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam suatu kegiatan penelitian bertujuan untuk
mengungkapkan fakta mengenai variabel yang akan diteliti (Azwar,2000).
Adapun metode pengumpulan data yang dijadikan alat ukur dalam penelitian ini
adalah dengan mengguakan alat Tes Kreativitas Figural (TKF) dan Tes
Kreativitas Verbal (TKV).
1. Tes Kreativitas Figural Tipe B
Tes ini merupakan bagian dari Torrance Test of Creative Thinking (TTCT)
yang disusun oleh Paul Torrance dan dipublikasikan pada tahun 1966 setelah
melalui serangkaian penelitian selama sembilan tahun. TTCT ini dimaksudkan
untuk mengukur dan mengetahui potensi-potensi kreatif anak-anak, remaja, dan
dewasa. Pada penelitian ini menggunakan Tes Kreativitas Figural dari Torrence
(1974a) Form B yang terdiri dari tiga macam subtes yaitu :
1. Subtes I : Picture construction, mengungkapkan faktor keaslian dan
faktor elaborasi. Tes ini dilakukan dengan cara membuat gambar dari
bentuk yang diberikan.
2. Subtes II : Incomplete figure, mengungkapkan faktor kelancaran, faktor
keluwesan, faktor keaslian, dan faktor elaborasi, ini dilakukan dengan