• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengawasan OJK Terhadap Lembaga Pegadaian Dalam Pemenuhan Kebutuhan Likuiditas Masyarakat Terkait Pemenuhan Aspek Kepatuhan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengawasan OJK Terhadap Lembaga Pegadaian Dalam Pemenuhan Kebutuhan Likuiditas Masyarakat Terkait Pemenuhan Aspek Kepatuhan"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Adolf, Huala. Kedudukan Hukum & Tanggung Jawab Pendiri Perseroan Terbatas. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002

Asshiddiqie, Jimly dan Ali Safaat. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum. Jakarta: Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006.

Hasibuan, Malayu. Manajemen Perbankan. Jakarta: CV. Haji Magum, 1994.

Hinuri, Hindarmojo. The Essence of Good Corporate Governance; Konsep dan Implementasi pada Perusahaan Publik dan Korporasi Indonesia Jakarta: Yayasan pendidikan Pasar Modal Indonesia & Sinergy Communication, 2002. Kansil, C.S.T. Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia. Cet-4, Jakarta:

Sinar Grafika, 2008, 1984.

Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.

_______, Dasar-Dasar Perbankan, Jakarta : Raja Grafindo Persada. 2002.

M Balfas, Hamud, Hukum Pasar Modal Indonesia, Cet. 1, Jakarta: Tatanusa, 2006.

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta: Liberty. 1986.

Muhammad, Abdulkhadir, Hukum Perseroan Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1995.

Prawirohamidjojo, R. Soetojo Dan Marthalena Pohan, Bab-Bab Tentang Hukum Benda, Cet-1, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1984.

Saherodji, Hapi, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Aksara Baru, 1980.

Sembiring, Sentosa, Hukum Perusahaan: Tentang Perseroan Terbatas Cet. Ketiga, Bandung: Nuansa Aulia, 2012

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1982.

(2)

Surya, Indra dan Ivan Yustiavandana, Penerapan Good Corporate Governance : Mengesampingkan Hak-hak Istimewa demi Kelangsungan Usaha, Jakarta: Kencana Prenanda Media Group, 2006.

Susilo, Sigit Triandaru dan Totok Budisantoso, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Jakarta: Salemba Empat, 2000.

Sutedi, Adrian, Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan, Jakarta: Raih Asa Sukses.2014

Sutojo, Siswanto dan E. John Aldridge, Good Corporate Governance (Tata Kelola Perusahaan Yang Sehat), Jakarta: PT. Damar Mulia Pustaka, 2008.

Triandaru dan Budisantoso, Bank Dan Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta: Salemba Empat, 2003.

Tumbuan, Fred B.G., “ Mencermati Kewenangan dan Tanggung Jawab Direksi, Komisaris dan Pemegang Saham Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1995,” dalam Prosiding: Perseroan Terbatas dan Good Corporate Governance, cet.IV, Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2006.

Widjaya, I.G.Ray, Berbagai Peraturan dan Pelaksanaan Undang-undang di Bidang Hukum Perusahaan, Pemakaian Nama PT, Tata Cara Mendirikan PT, Tata Cara Pendaftaran Perusahaan, TDUP & SIUP, cet. 3, Jakarta: Kesaint Blanc, 2003.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

(3)

Peraturan Menteri BUMN No. Per-01/MBU/2011 Tentang Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (Good Corporate Governance) pada BUMN.

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/Pojk.05/2014 Tentang Pemeriksaan Langsung Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank.

Peraturan OJK No. 1/POJK.05/2015 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank.

C. Data Lainnya

Bisdan Sigalingging, 2013, Analisis Hubungan Kelembagaan Antara Otoritas Jasa Keuangan Dengan Bank Indonesia, Medan : Tesis Magister Hukum Universitas Sumatera Utara.Nova Asmirawati, 2012, Catatan Singkat Terhadap Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, Jurnal Legisasi Indonesia Vol. 9 No. 3.

Bismar Nasution, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 8, Nomor 3, September 2010, hal. 23.

Tanti Rahmayanti, 2015, Efektifitas Perubahan Bentuk Hukum Perum Pegadaian Menjadi Persero Dihubungkan Dengan Kewajiban Pelayanan Umum (PSO) Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2011 Tentang Perubahan Bentuk Badan Hokum Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero), Bandung : Universitas Islam Bandung.

Tim Panitia Antar Departemen Rancangan Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan, Naskah Akademik: Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) 2010.

(4)

(diakses tgl 12 Maret 2016).

(diakses pada tanggal 2 Maret 2016).

(diakses pada tanggal 23 Maret 2016).

(diakses pada tanggal 27 Februari 2016).

(5)

BAB III

PENGELOLAAN LEMBAGA PEGADAIAN MENURUT UU NO. 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS

D. Bentuk Usaha Lembaga Pegadaian

Lembaga pegadaian merupakan salah satu lembaga keuangan yang berkembang di Indonesia. Sebagai lembaga keuangan, lembaga pegadaian bergerak di bidang keuangan yakni menghimpun dana, menyalurkan dana/atau kedua-duanya, artinya kegiatan yang dilakukan oleh lembaga keuangan selalu berkaitan dengan bidang keuangan, apakah kegiatannya hanya menghimpun dana atau hanya menyalurkan dana atau bahkan kedua-duanya yakni menghimpun dan menyalurkan dana.

Usaha gadai yang dijalankan oleh lembaga pegadaian merupakan kegiatan menjamin barang-barang berharga kepada pihak tertentu, guna memperoleh sejumlah uang dan barang yang dijaminkan akan ditebus kembali sesuai dengan perjanjian antara nasabah dengan lembaga gadai. Secara luas Kegiatan jasa keuangan yang dijalankan oleh lembaga pegadaian adalah sebagai berikut :33

1. Jasa gadai. 2. Jasa taksiran. 3. Jasa titipan barang. 4. Kredit.

5. Kerjasama dengan pihak ketiga

33

(6)

Usaha gadai yang dijalankan lembaga pegadaian dalam kegiatan jasa keuangannya memiliki ciri sebagai berikut :34

1. Terdapat barang barang berharga yang digadaikan seperti:

a. Perhiasan seperti emas, perak, intan, berlian, mutiara, platina dan jam. b. Kendaraan seperti mobil, motor dan sepeda.

c. Elektronik seperti tv, radio, tape,video, computer, kulkas. d. Mesin seperti mesin jahit dan mesin kapal motor.

e. Tekstil dan barang pecah belah.

2. Nilai jumlah pinjaman tergantung nilai barang yang digadaikan. 3. Barang yang digadaikan dapat ditebus kembali.

Perseroan Terbatas Pegadaian merupakan salah satu BUMN. Hal ini dikarenakan PT. Pegadaian merupakan badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Oleh karena itu, struktur permodalan PT. Pegadaian berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan dalam menjalankan suatu kegiatan usaha dalam rangka memperoleh pemasukan terhadap kas Negara.

Pasal 1 angka 1 PP No. 51 Tahun 2011 tentang Perubahan Bentuk Badan Hukum Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) menyatakan “Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian yang didirikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1990 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Jawatan (Perjan) Pegadaian Menjadi Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian yang telah diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000 tentang Perusahaan

(7)

Umum (Perum) Pegadaian, diubah bentuk badan hukumnya menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) dalam UU BUMN dalam Peraturan Pemerintah ini disebut Perusahaan Perseroan (Persero).

Bentuk usaha lembaga pegadaian sebagai salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berbentuk Perusahaan Perseroan (Persero). Dalam UU BUMN pada Pasal 1 angka 2 menyebutkan Perusahaan Perseroan adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan.

Permodalan PT. Pegadaian yang terbagi atas saham dapat dimiliki oleh Negara secara penuh. Hal ini dimungkinkan karena dalam ketentuan Pasal 7 ayat (5) UU Perseroan Terbatas yang mengatur bahwa 100% saham Perseroan pesero (BUMN berbentuk Perseroan terbatas) dapat dimiliki Negara RI.35

1. Persero adalah badan usaha.

Struktur modal yang terbagi atas saham memungkinkan terjadinya peralihan/dipindah tangankan (transferable share).

Perusahaan yang dikategorikan sebagai BUMN Persero, yaitu:

2. Persero adalah Perseroan Terbatas (PT).

3. Modal terbagi atas saham negara menguasai paling sedikit 51% saham dalam perusahaan bersangkutan.

4. Tujuan didirikankannya persero adalah untuk mendapatkan keuntungan.

35

(8)

Perusahaan Perseroan berlaku juga Prinsip-prinsip yang dimuat dalam ketentuan UU Perseroan Terbatas. Pasal 1 angka 1 UU Perseroan Terbatas menjelaskan Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut Perseroan adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksananya.

Perseroan Terbatas Pegadaian dikategorikan sebagai perusahaan persero dikarenakan memenuhi ciri perseroan sebagai berikut:

1. PT. Pegadaian memiliki status hukum tersendiri, yaitu sebagai suatu badan hukum, yaitu subjek hukum artificial, yang sengaja diciptakan oleh hukum untuk membentuk kegiatan perekonomian, yang dipersamakan dengan individu manusia, orang perorangan.

2. PT. Pegadaian memiliki harta kekayaan tersendiri yang dicatatkan atas namanya sendiri, dan pertanggungjawaban sendiri atas setiap tindakan, perbuatan, termasuk perjanjian yang dibuat. Ini berarti perseroan dapat mengikatkan dirinya dalam satu atau lebih perikatan, yang berarti menjadikan perseroan sebagai subjek hukum mandiri (persona standi in judicio) yang memiliki kapasitas dan kewenangan untuk dapat menggugat dan digugat di hadapan pengadilan.

(9)

4. Pertanggungjawaban yang mutlak terbatas, selama dan sepanjang para pengurus (direksi), dewan komisaris dan/atau pemegang saham tidak melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang tidak boleh dilakukan.

E. Pengelolaan Lembaga Pegadaian Sebagai Lembaga Keuangan Menurut UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

Lembaga pegadaian yang telah berbentuk Perusahaan perseroan mengakibatkan tata kelola lembaga pegadaian didasarkan pada ketentuan UU Perseroan Terbatas. Didalam UU Perseroan Terbatas dijelaskan bahwa Pengelolaan PT yang mencakup pendirian PT, organ PT dan tugas serta kewenangan organ-organ didalam PT. Pengelolaan PT Pegadaian dalam Pasal 1 angka 2 UU Perseroan Terbatas dilakukan oleh RUPS, direktur dan komisaris.

Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) adalah organ perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada direksi atau dewan komisaris di dalam pengelolaan PT. Pegadaian dalam batas yang ditentukan oleh Undang-Undang dan/atau anggaran dasar (Pasal 1 angka 4 UU Perseroan Terbatas.). Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) merupakan organ perseroan yang memegang kekuasaan tertinggi dalam perseroan.36

Wewenang RUPS dalam pengelolaan PT. Pegadaian merujuk Pasal 63 ayat (9) UU Perseroan Terbatas, yang berbunyi:

RUPS dalam pengelolaan PT. Pegadaian memegang peranan penting dalam pertanggungjawaban direksi dan komisaris dalam menjalankan kegiatan jasa keuangannya dalam memenuhi kebutuhan likuiditas masyarakat.

36

(10)

1. Mengangkat Direksi dan Komisaris yang menjadi wewenang RUPS demikian juga dengan pemberhentian direksi dan dewan komisaris.

2. Mengambil keputusan untuk mengubah anggaran dasar.

3. Rencana restrukturisasi usaha juga menjadi wewenang RUPS walaupun merger dan akuisisi merupakan pekerjaan direksi dari perseroan-perseroan yang bersangkutan, hal ini dapat dilakukan jika disetujui RUPS dari masing-masing perseroan. Berarti bahwa tidak ada perusahaan yang akan melakukan merger ataupun akuisisi dengan sah tanpa persetujuan RUPS, maka persetujuan itu adalah wewenang RUPS.

4. Membuat peraturan tentang pembagian tugas dan wewenang setiap anggota direksi serta besar jenis penghasilan direksi.

5. Mengangkat satu orang pemegang saham atau lebih untuk mewakili perseroan dalam keadaan direksi tidak berwenang mewakili perseroan atau terjadi pertentangan kepentingan antara direksi dan perseroan.

6. Mengambil keputusan jika diminta oleh direksi untuk memberikan persetujuan guna mengalihkan atau menjadikan jaminan utang seluruh atau sebagian harta kekayaan perseroan.

(11)

Sebaliknya hal ini merupakan kewajiban dari direksi dan dewan komisaris untuk memberikan keterangan yang diperlukan RUPS.37

Rapat Umum Pemegang Saham PT. Pegadaian yang bertindak sebagai RUPS adalah menteri yang ditunjuk dan atau yang diberi kuasa untuk mewakili pemerintah selaku pemegang saham. Dalam PP Nomor 41 Tahun 2003 tentang Pelimpahan Kedudukan, Tugas dan Kewenangan Menteri Keuangan Pada Perusahaan Perseroan (Persero), Perusahaan Umum (Perum) dan Perusahaan Jawatan (Perjan) kepada Menteri Negara BUMN, sebagian kedudukan, tugas dan kewenangan Menteri Keuangan di Bidang Pembinaan dan Pengawasan BUMN sebagian dilimpahkan kepada Menteri Negara BUMN antara lain kedudukan, tugas dan kewenangan sebagai pemegang saham atau RUPS pada persero. Oleh karena itu, yang bertindak selaku RUPS di PT (Persero) Pegadaian adalah Menteri Negara BUMN.

Pengelolaan PT. Pegadaian dijalankan oleh direksi. Direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan Terbatas untuk kepetingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili perseroan, baik didalam maupun diluar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.38

1. Mengurus segala urusan PT. Pegadaian.

Tugas dan wewenang Direksi dalam mengelola PT. Pegadaian harus merujuk pada anggaran dasar PT, antara lain:

2. Mengurus harta kekayaan PT. Pegadaian.

37

Budiarto Agus, Kedudukan Hukum & Tanggung Jawab Pendiri Perseroan Terbatas

(Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hlm. 60. 38

(12)

3. Melakukan perbuatan-perbuatan seperti yang dimaksud dalam Pasal 1796 KUHPdt, yaitu:

a. memindahtangankan hipotik pada brang-barang tetap; b. membebankan hipotik pada barang-barang tetap; c. melakukan dading;

d. melakukan perbuatan lain mengenai hak milik; e. mewakili perseroan di muka dan di luar pengadilan.

4. Hubungan dengan pihak ketiga, direksi mempunyai hak mewakili perseroan mengenai hal-hal dalam bidang usaha yang menjadi tujuan perseroan. Direksi bertanggungjawab penuh mengenai pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan.

5. Hubungan dengan harta kekayaan perseroan, direksi harus mengurus dengan baik, menginventarisasi secara teliti dan cermat. Segala perbuatan hukum mengenai hak dan kewajiban perseroan wajib dicatat dalam pembukuan sesuai dengan norma-norma pembukuan yang lazim.

(13)

tentang Wajib Daftar Perusahaan serta mengumumkannya dalam tambahan berita Negara Republik Indonesia.39

Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian PT. Pegadaian apabila yang bersangkutan salah atau lalai dalam menjalankan tugasnya. Tanggung jawab yang dimaksud berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota Direksi. Salah atau lalai dalam mengelola PT. Pegadaian (Pasal 97 ayat 2 UU Perseroan Terbatas). Anggota direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana yang dimaksud, apabila dapat membuktikan:

a. Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya.

b. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan Terbatas.

c. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian.

d. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau selanjutnya kerugian tersebut.

Pengawasan dalam pengelolaan PT. Pegadaian dalam menjalankan kegiatan jasa keuangannya dilakukan oleh dewan komisaris. Dewan komisaris adalah organ perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada direksi (Pasal 1 angka 6 UU Perseroan Terbatas).40

Dewan komisaris bertanggung jawab atas pengawasan PT. Pegadaian sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) UU Perseroan Terbatas yaitu

39

Ibid., hlm. 63. 40

(14)

dalam hal melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai perseroan maupun usaha perseroan, dan memberi nasihat kepada direksi. Setiap anggota dewan komisaris wajib dengan itikad baik, kehati-hatian, dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugas pengawasan dan pemberian nasihat kepada direksi untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan.

Setiap anggota dewan komisaris ikut bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian perseroan, apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai dalam menjalankan tugasnya. Hal ini sesuai dengan Pasal 114 ayat (3) UU Perseroan Terbatas yang berbunyi jika dewan komisaris terdiri atas 2 (dua) anggota dewan komisaris atau lebih, maka tanggung jawab sebagaimana yang dimaksud berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota dewan komisaris.

F. Aspek Kepatuhan dalam Pengelolaan Lembaga Pegadaian

Lembaga Pegadaian akan menjalankan prinsip Tata Kelola Perusahaan yang Baik atau Good Corporate Governance yang biasa disingkat GCG. Prinsip ini menjadi garis besar dalam pengelolaan serta kebutuhan yang mendasar yang harus dijalankan PT. Pegadaian dalam memenuhi tantangan dalam menajalankan kegiatan jasa keuangan dalam memenuhi kebutuhan likuiditas masyarakat.

(15)

pembagian beban tanggung jawab masing-masing unsur dari struktur perseroan. Disamping itu berkaitan juga dengan hubungan antar-unsur struktur perseroan mulai dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), direksi, dewan komisaris, serta mengatur hubungan antara struktur perseroan dan unsur-unsur di luar perseroan yang hakekatnya merupakan stakeholders perseroan, yaitu negara (yang berkepentingan atas pajak) dan masyarakat luas yang meliputi para investor publik perseroan itu (dalam hal perseroan tersebut adalah perusahaan publik), calon investor, kreditor dan calon kreditor.41

Secara teoritis pelaksanaan GCG dalam pengelolaan PT. Pegadaian dapat meningkatkan nilai PT. Pegadaian dengan meningkatkan kinerja keuangannya, mengurangi resiko yang mungkin dilakukan oleh dewan dengan keputusan-keputusan yang menguntungkan diri sendiri serta meningkatkan kepercayaan investor.

Perseroan Terbatas Pegadaian sebagai salah satu BUMN menjalankan kegiatan jasa keuangannya mematuhi Peraturan Menteri BUMN No. Per-1/MBU/2011 Tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance) pada UU BUMN dan UU Perseroan Terbatas. Tujuan yang diharapkan terlaksananya prinsip tersebut didalam tata kelola PT. Pegadaian ialah terciptanya PT. Pegadaian sebagai salah satu lembaga keuangan yang mampu bersaing dalam menjalankan kegiatan jasa keuangannya terhadap lembaga keuangan lainnya serta melalui pengelolaan PT. Pegadaian diharapkan mampu member sumbangsih ke dalam keuangan negara sebagai salah satu BUMN.

(16)

dikatakan pengelolaan PT. Pegadaian berdasarkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik mendatangkan manfaat bagi PT. Pegadaian dalam menjalankan kegiatan usahanya. Hal ini dikarenakan GCG merupakan prinsip pengelolaan perusahaan berlandaskan peraturan perundang-undangan dan etika berusaha.43

Secara teoritis harus diakui bahwa dengan melaksanakan prinsip good corporate governance, ada beberapa manfaat yang bias diambil antara lain : 44

1. Meningkatkan kinerja perusahaan melalui terciptanya proses pengambilan keputusan yang lebih baik, meningkatkan efisiensi operasional perusahaan serta lebih meningkatkan pelayanan kepada stakeholders.

2. Mempermudah diperolehnya dana pembiayaan yang lebih murah dan tidak rigid (karena faktor kepercayaan) yang pada akhirnya akan meningkatkan corporate value.

3. Mengembalikan faktor kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.

4. Pemegang saham akan merasa puas dengan kinerja perusahaan sekaligus akan meningkatkan shareholders dan dividen. Khusus bagi BUMN akan dapat membantu penerimaan bagi APBN terutama dari hasil privatisasi.

Perseroan Terbatas Pegadaian sebagai salah satu lembaga keuangan dalam menyelenggarakan sektor jasa keuangan secara teratur, adil, transparan, akuntabel, yang mana mengingatkan pemikiran pada prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang

Umum (PSO) Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2011 Tentang Perubahan Bentuk Badan Hokum Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero), (Bandung : Universitas Islam Bandung, 2015), hlm. 4.

43

Pasal 1 Angka 1 Peraturan Menteri BUMN No. Per-01/MBU/2011 Tentang Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (Good Corporate Governance) pada BUMN.

44

Makalah Zulfi Chairi berjudul “Tanggung Jawab Direksi dalam Menjalankan Prinsip

(17)

baik dan benar (Good Corporate Governance) yang terdiri dari 5 prinsip yang disingkat dengan TARIF. Dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor: PER – 01/MBU/2011 Tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (Good Corporate Governance) Pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Prinsip-prinsip Good Corporate Governance yaitu:45

1. Transparency (Keterbukaan Informasi)

Untuk menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur dan pemangku kepentingan lainnya.

Prinsip transparansi ini berkaitan dengan dua permasalahan, yaitu:46

a. Pemenuhan informasi penting yang berkaitan dengan kinerja suatu Perseroan sebagai bahan pertimbangan bagi para pemegang saham atau calon investor untuk menanamkan modalnya. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 66 ayat (1) dan (2) UU Perseroan Terbatas.

b. Perlindungan terhadap kedudukan pemegang saham dari penyalahgunaan wewenang dan penipuan yang dapat dilakukan oleh direksi perseroan.

45

Bisdan Sigalingging, Analisis Hubungan Kelembagaan Antara Otoritas Jasa Keuangan Dengan Bank Indonesia (Tesis Magister Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2013) hal.. 107 dan dalam buku Stephen W. Mayson, Derek French and Christoper L. Ryan,

Company Law, 1996-1997 Edition, (Blackstone Press Limited: 1996), hlm. 104, dalam : Hamud M Balfas, Hukum Pasar Modal Indonesia, Cet. 1, (Jakarta : Tatanusa, 2006), hlm. 161.

46

(18)

Pedoman pokok pelaksanaan prinsip transparansi dalam pengelolaan PT. Pegadaian sebagai berikut :47

a. Perusahaan harus menyediakan informasi secara tepat waktu, memadai, jelas, akurat dan dapat diperbandingkan serta mudah diakses oleh pemangku kepentingan sesuai dengan haknya.

b. Informasi yang harus diungkapkan meliputi, tetapi tidak terbatas pada, visi, misi, sasaran usaha dan strategi perusahaan, kondisi keuangan, susunan dan kompensasi pengurus, pemegang saham pengendali, kepemilikan saham oleh anggota direksi dan anggota dewan komisaris beserta anggota keluarganya dalam perusahaan dan perusahaan lainnya, sistem manajemen risiko, sistem pengawasan dan pengendalian internal, sistem dan pelaksanaan GCG serta tingkat kepatuhannya, dan kejadian penting yang dapat mempengaruhi kondisi perusahaan.

c. Prinsip keterbukaan yang dianut oleh perusahaan tidak mengurangi kewajiban untuk memenuhi ketentuan kerahasiaan perusahaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, rahasia jabatan, dan hak-hak pribadi.

d. Kebijakan perusahaan harus tertulis dan secara proporsional dikomunikasikan kepada pemangku kepentingan.

2. Accuntability (Akuntabilitas)

Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan

47

(19)

pemegang saham dan pemangku kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan serta prinsip ini juga turut mendukung keberadaan doktrin fiduciary duties yang pada dasarnya memberikan konsep normatif mengenai wewenang dan tanggung jawab direksi dan dewan komisaris dalam menjalankan perseroan, sehingga doktrin tersebut dapat diimplementasikan secara konkret.48

Pedoman Pokok Pelaksanaan prinsip akuntabilitas dalam pengelolaan PT. Pegadaian sebagai berikut :

Sebagaimana diatur dalam Pasal 92 ayat (1) UU Perseroan Terbatas diperkuat pada Pasal 97 ayat (1) UU Perseroan Terbatas dan Pasal 108 ayat (1) UU Perseroan Terbatas diperkuat kembali pada Pasal 114 Ayat (1) dan (2) UU Perseroan Terbatas.

49

a. Perusahaan harus menetapkan rincian tugas dan tanggung jawab masing-masing organ perusahaan dan semua karyawan secara jelas dan selaras dengan visi, misi, nilai-nilai perusahaan (corporate values), dan strategi perusahaan. b. Perusahaan harus meyakini bahwa semua organ perusahaan dan semua

karyawan mempunyai kemampuan sesuai dengan tugas, tanggung jawab, dan perannya dalam pelaksanaan GCG.

c. Perusahaan harus memastikan adanya sistem pengendalian internal yang efektif dalam pengelolaan perusahaan.

48

Hindarmojo Hinuri, ed., The Essence of Good Corporate Governance; Konsep dan Implementasi pada Perusahaan Publik dan Korporasi Indonesia (Jakarta: Yayasan pendidikan Pasar Modal Indonesia & Sinergy Communication, 2002), hlm. 78.

49

(20)

d. Perusahaan harus memiliki ukuran kinerja untuk semua jajaran perusahaan yang konsisten dengan sasaran usaha perusahaan, serta memiliki sistem penghargaan dan sanksi (reward and punishment system).

e. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya, setiap organ perusahaan dan semua karyawan harus berpegang pada etika bisnis dan pedoman perilaku (code of conduct) yang telah disepakati.

3. Responsibility (Pertanggungjawaban)

Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen.

Pedoman pokok pelaksanaan prinsip pertanggungjawaban dalam pengelolaan PT. Pegadaian sebagai berikut :50

a. Organ perusahaan harus berpegang pada prinsip kehati-hatian dan memastikan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, anggaran dasar dan peraturan perusahaan (by-laws).

b. Perusahaan harus melaksanakan tanggung jawab sosial dengan antara lain peduli terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama di sekitar perusahaan dengan membuat perencanaan dan pelaksanaan yang memadai. Hal ini berkaitan dengan Pasal 74 UU Perseroan Terbatas yang menyatakan:

(21)

1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan.

2) Tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.

3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

4. Independency (Kemandirian)

Demi kelancaran pelaksanaan asas GCG, perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain. Sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) UU Perseroan Terbatas yang menyatakan bahwa “Perseroan dilarang mengeluarkan saham baik untuk dimiliki sendiri maupun dimiliki oleh Perseroan lain, yang sahamnya secara langsung atau tidak langsung telah dimiliki oleh Perseroan”.

(22)

a. Masing-masing organ perusahaan harus menghindari terjadinya dominasi oleh pihak manapun, tidak terpengaruh oleh kepentingan tertentu, bebas dari benturan kepentingan (conflict of interest) dan dari segala pengaruh atau tekanan, sehingga pengambilan keputusan dapat dilakukan secara obyektif. b. Masing-masing organ perusahaan harus melaksanakan fungsi dan tugasnya

sesuai dengan anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan, tidak saling mendominasi dan atau melempar tanggung jawab antara satu dengan yang lain. 5. Fairness (Kesetaraan atau Kewajaran)

Pelaksanaan kegiatan usaha kesetaraan ini perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan. Secara umum, hak-hak dasar pemegang saham yang harus dilindungi dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) golongan, yaitu :51

a. Hak-hak yang berkaitan dengan kepemilikan perusahaan.

b. Hak-hak yang diciptakan sebagai konsekuensi pemisahan fungsi pemegang saham dan dewan pengurus atau Board of Directors serta manajemen perusahaan. Hak yang kedua ini lazim disebut hak ikut mengambil keputusan penting.

Pedoman pokok pelaksansaan prinsip kewajaran dalam pengelolaan PT. Pegadaian sebagai berikut :52

a. Perusahaan harus memberikan kesempatan kepada pemangku kepentingan untuk memberikan masukan dan menyampaikan pendapat bagi kepentingan

51

Siswanto Sutojo dan E. John Aldridge, Good Corporate Governance: Tata Kelola Perusahaan Yang Sehat (Jakarta: PT. Damar Mulia Pustaka, 2005), hlm. 76.

52

(23)

perusahaan serta membuka akses terhadap informasi sesuai dengan prinsip transparansi dalam lingkup kedudukan masing-masing.

b. Perusahaan harus memberikan perlakuan yang setara dan wajar kepada pemangku kepentingan sesuai dengan manfaat dan kontribusi yang diberikan kepada perusahaan.

(24)

BAB IV

PENGAWASAN OJK TERHADAP LEMBAGA PEGADAIAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN LIKUIDITAS MASYARAKAT TERKAIT

PEMENUHAN ASPEK KEPATUHAN

D. Kedudukan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Pengawasan Lembaga Keuangan Non Bank

Otoritas Jasa Keuangan resmi memulai tugasnya sebagai lembaga pengawasan pasar modal Indonesia dan lembaga non bank menggantikan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK). Hal ini merupakan tugas berat OJK untuk dapat memperbaiki industri keuangan yang menjadi harapan bagi semua pelaku pasar. Otoritas Jasa Keuangan diharapkan dapat meningkatkan kinerja keuangan di industri pasar modal Indonesia serta akan agresif mengadakan edukasi kepada masyarakat Indonesia.

Pengawasan lembaga keuangan sebelum dikeluarkannya UU OJK pengawasan yang dilakukan terhadap perusahaan yang bergerak di bidang keuangan dilakukan oleh dua (2) lembaga yang ditunjuk pemerintah, yaitu:53

1. Lembaga keuangan bank (perbankan) dilakukan oleh Bank Indonesia (BI). Artinya semua aktivitas perbankan sepenuhnya dilakukan oleh Bank Indonesia, termasuk dalam hal memberi izin, menindak, atau membubarkan bank.

2. Lembaga keuangan bukan bank seperti pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya, kegiatannya diawasi oleh Kementerian Keuangan, BI dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK).

53

(25)

Setelah diterbitkannya UU OJK seluruh pengawasan lembaga jasa keuangan beralih kepada Otoritas Jasa Keuangan atau yang biasa disingkat OJK. OJK merupakan lembaga diluar pemerintah yang independen dalam mengawasi kegiatan sektor jasa keuangan.

Dasar pembentukan OJK merupakan revisi dari Pasal 34 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Dalam penjelasan Pasal 34 OJK bersifat independen dalam menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada di luar pemerintah dan berkewajiban menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).54 Tugas dan wewenangnya meliputi microprudential, yaitu pengaturan pengawasan, manajemen risiko dan penindakan (administratif) terhadap kegiatan perbankan, pasar modal dan LNKB55

Pelaksanaan tugas dan wewenang OJK dilakukan melalui koordinasi dengan beberapa lembaga lain, antara lain : Bank Indonesia, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Menteri Keuangan bahkan Presiden.

dengan fungsi pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan, yaitu independensi, terintegrasi, dan menghindari benturan kepentingan.

Nova Asmirawati, Catatan Singkat Terhadap Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, Jurnal Legisasi Indonesia Vol. 9 No. 3, 2012, hlm. 139.

56

Adrian Sutedi, Op. Cit., hlm. 63.

(26)

Pasal 1 ayat 1 UU OJK menyebutkan Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Indepedensi ini secara tersirat dimaksudkan bahwa OJK dalam melakukan tugas dan kedudukannya berada diluar pemerintahan.

Setiap pihak dilarang campur tangan terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang OJK dengan maksud bahwa untuk menjamin terselenggaranya pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan yang optimal dan mampu meningkatkan daya saing nasional, maka OJK harus dapat bekerja secara independen dalam peraturan perundang-undangan di bidang jasa keuangan. Oleh karena itu, sesuai dengan Pasal 2 ayat 2 UU OJK, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, OJK bebas dari campur tangan pihak lain.

Otoritas Jasa Keuangan adalah suatu lembaga pemegang otoritas tertinggi dan disebut lembaga extraordinary, di mana lembaga ini mendapatkan pemindahan fungsi pengaturan dan pengawasan pada lembaga-lembaga keuangan, seperti perbankan, pasar modal dan lembaga keuangan non-bank (asuransi, dana pensiun dan termasuk di dalamnya lembaga pembiayaan konsumen) seluruh bisnis keuangan di Indonesia berada di bawah pengaturan dan pengawasannya yang bebas dari intervensi pihak manapun. Namun pembentukan lembaga superpower menimbulkan kekhawatiran tentang kewenangan besar yang dimilikinya.57

57

Ahmad Sutedi, Op. Cit., hlm. 78.

(27)

keuangan. Fungsi pengawasan tersebut dapat dilihat pada Pasal 5 UU OJK menyebutkan OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Kegiatan jasa keuangan yang diawasi OJK meliputi :58

1. Kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan. 2. Kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal.

3. Kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya. Dalam hal pengawasan lembaga jasa keuangan yang bergerak di bidang pembiayaan, wewenang OJK yang termuat dalam UU OJK yang mencakup :

a. Menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan.

b. Mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh kepala eksekutif. Melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan konsumen, dan tindakan lain terhadap lembaga jasa keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

c. Memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan dan/atau pihak tertentu.

d. Melakukan penunjukan pengelola statuter. e. Menetapkan penggunaan pengelola statuter.

58

(28)

f. Menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

g. Memberikan dan/atau mencabut atas: 1) Izin usaha.

2) Izin orang perseorangan.

3) Efektifnya pernyataan pendaftaran. 4) Surat tanda terdaftar.

5) Persetujuan melakukan kegiatan usaha. 6) Pengesahan.

7) Persetujuan atau penetapan pembubaran.

8) Penetapan lain, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

Pelaksanaan tugas dan wewenangnya dalam mengawasi lembaga keuangan, Otoritas Jasa Keuangan berlandaskan asas-asas sebagai berikut:59

1. Asas independensi, yakni independen dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang OJK, dengan tetap sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dimana OJK dalam pengambilan keputusan tidak menerima pengaruh (influence) dari lembaga lain.

2. Asas kepastian hukum, yakni asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan dan mencerminkan prinsip keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan.

59

(29)

3. Asas kepentingan umum, yakni asas yang membela dan melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan likuiditas masyarakat serta memajukan kesejahteraan umum.

4. Asas keterbukaan, yakni asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi dan golongan, serta rahasia negara, termasuk rahasia sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

5. Asas profesionalitas, yakni asas yang mengutamakan keahlian dalam pelaksanaan tugas dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap berlandaskan pada kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

6. Asas integritas, yakni asas yang berpegang teguh pada nilai-nilai moral dan ketentuan hukum yang berlaku dalam setiap tindakan dan keputusan yang diambil oleh OJK dalam penyelenggaraan pengawasan kegiatan jasa keuangan.

7. Asas akuntabilitas, yakni asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari setiap kegiatan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.

E. Pengawasan OJK Terhadap Lembaga Pegadaian dalam Pemenuhan Kebutuhan Likuiditas Masyarakat Terkait Pemenuhan Aspek Kepatuhan

(30)

nasabah atau konsumen, dan investor dari keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Seperti, keterbukaan yang melanggar hukum dan keterbukaan yang tidak sah atau pernyataan menyesatkan (misleading statement), insider dealing, dan money laundering.60

Tujuan dari pembentukan OJK dapat dilihat pada pasal 4 UU OJK yang intisarinya terdiri atas:61

1. Dengan adanya OJK tersebut diharapkan akan tercipta sebuah lembaga keuangan yang bisa bekerja secara transparan, teratur, adil, dan akuntabel. Dengan begitu diharapkan akan terjadi peningkatan kualitas pada lembaga keuangan menjadi lebih professional.

2. Selain itu keberadaan OJK tersebut diharapkan mampu mewujudkan sebuah sistem keuangan yang bisa tumbuh secara lebih berkelanjutan dan stabil. Karena tanpa adanya keberlanjutan dan kestabilan pada system keuangan maka sistem keuangan akan semakin sulit untuk berkembang.

3. Yang tidak kalah penting dari keberadaan OJK adalah lembaga ini diharapkan mampu melindungi setiap kepentingan konsumen dan masyarakat. Sehingga konsumen dan masyarakat merasa aman berhubungan dengan lembaga keuangan. Dengan tingginya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga keuangan, maka hal tersebut juga akan memberikan pengaruh yang signifikan bagi perkembangan lembaga keuangan.

60

61

(31)

Berdasarkan Pasal 4 UU OJK tersebut OJK diharapkan mampu melindungi kepentingan stakeholder dalam kegiatan keuangan. Terlebih melindungi masyarakat dalam kegiatan kebutuhan likuiditasnya. Untuk mencapai hal tersebut dalam menjalankan tugas pengaturan dan pengawasan OJK mempunyai wewenang terkait pengaturan lembaga jasa keuangan (bank dan non-bank) yang meliputi :62

1. Menetapkan peraturan dan keputusan OJK.

2. Menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan. 3. Menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK.

4. Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap lembaga jasa keuangan dan pihak tertentu.

5. Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada lembaga jasa keuangan.

6. Menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola, memelihara, dan menatausahakankekayaan dan kewajiban.

7. Menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

Pengawasan lembaga jasa keuangan khususnya pada lembaga Pegadaian dilakukan OJK dengan menjalankan prinsip-prinsip sebagai berikut :

1. Independensi.

Otoritas Jasa Keuangan merupakan lembaga yang mengawasi kegiatan jasa keuangan dan transaksi keuangan oleh entitas bisnis yang berpotensi benturan kepentingan dan mempengaruhi pihak-pihak tertentu, maka OJK

62

(32)

harus bebas dari intervensi termasuk pemerintah. Bahwa untuk menjamin terselenggaranya pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan yang optimal Otoritas Jasa Keuangan harus dapat bekerja secara independen dalam membuat dan menerapkan tugas dan wewenangnya sebagimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang jasa keuangan.63

Status OJK yang ditentukan didalam Pasal 1 angka 1 Jo Pasal 2 ayat 2 UU OJK hanya menentukan independen, bebas dari campur tangan pihak lain yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam UU OJK. UU OJK tidak menentukan bebas dari campur tangan pemerintah, melainkan hanya menentukan bebas dari campur tangan pihak lain seperti yang dijelaskan diatas.64

Independensi dari lembaga pengatur dan pengawas jasa keuangan telah menjadi prinsip utama yang dikemukakan oleh organisasi-organisasi intrnasional di masing-masing industri keuangan. Pada umumnya organisasi pembuat standar internasional tersebut menyatakan perlunya secara operasional lembaga pengatur dan pengawas sektor jasa keuangan memiliki independensi. Untuk menjalankan fungsi pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan sehingga tujuan untuk menciptakan suatu kegiatan dan

63

Adrian Sutedi, Op. Cit., hlm. 62. 64

(33)

transaksi ekonomi dalam sistem keuangan yang efisien, transparan, dan akuntabel dapat tercapai.65

2. Terintegrasi.

Semakin pesatnya pertumbuhan kompleksitas kegiatan jasa keuangan sebagai akibat kemajuan yang luar biasa dibidang teknologi informasi dan inovasi produk finansial yang canggih (sophisticated) serta kecenderungan yang tidak bisa dihentikan dari entitas bisnis berbentuk konglomerasi dan adanya praktik-praktik arbitrase peratiran (regulatory arbitrage) dari entitas bisnis jasa keuangan adalah merupakan alasan-alasan pokok perlunya dilakukan suatu pengaturan dan pengawasan terhadap industri jasa keuangan (yang mencakup perbankan, pasar modal, dan lembaga keuangan non-bank) secara terintegrasi.

3. Menghindari benturan kepentingan.

Benturan kepentingan yang muncul dari adanya penggabungan dua fungsi yang berada di dalam suatu lembaga merupakan suatu kenyataan dan pengalaman yang terjadi di beberapa negara selama ini, misalnya pengaturan dan pengawasan perbankan yang dilaksanakan oleh bank sentral yang sekaligus berperan sebagai otoritas moneter. Benturan kepentingan dimaksud mengakibatkan berkurangnya efektifitas fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan adanya benturan kepentingan antara bank sentral sebagai otoritas moneter dan bank sentral sebagai pengawas perbankan inilah yang perlu

65

(34)

dihindari dengan cara memisahkan fungsi pengawasan bank dari bank sentral yang fungsi utamanya adalah otoritas moneter.66

Pengawasan sektor keuangan khususnya lembaga Pegadaian dilaksanakan untuk memastikan pelaksanaan regulasi terkait pengelolaan lembaga keuangan. Secara umum fungsi pengawasan sektor keuangan dibagi menjadi tiga yaitu:

Pengawasan OJK terhadap PT. Pegadaian dilakukan dalam mencapai tujuan agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan PT. Pegadaian terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil dan mampu melindungi kepentingan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan likuiditas masyarakat. Dengan pengawasan OJK terhadap PT. Pegadaian diharapkan mampu meningkatkan daya saing PT. Pegadaian dalam memenuhi kebutuhan likuiditas masyarakat.

67

1. Macroprudential Supervision

Bertujuan membatasi krisis keuangan yang dapat menghancurkan ekonomi secara riil (berfokus pada konsekuensi atas tindakan institusi sistematis terhadap pasar keuangan), antara lain dengan cara menginformasikan kepada otoritas publik dan industri keuangan apabila terdapat potensi ketidakseimbangan di sejumlah institusi keuangan serta melakukan penilaian mengenai potensi dampak kegagalan institusi keuangan terhadap stabilitas sistem keuangan suatu negara.

2. Microprudential Supervision

66 Ibid. 67

(35)

Bertujuan untuk menjaga tingkat kesehatan lembaga pegadaian secara individu. Kesehatan lembaga pegadaian dimaksudkan untuk menjaga stabilitas keuangan lembaga pegadaian sehingga diharapkan tidak mengakibatkan krisis terhadap kegiatan perekonomian negara. Regulator menetapkan peraturan yang berlandaskan pada prinsip kehati-hatian dan melakukan pengawasan melalui dua pendekatan yaitu: (i) analisis laporan bank (off-site analysis) dan pemeriksaan setempat (on-site visit) untuk menilai kinerja dan profil risiko serta kepatuhan lembaga keuangan terhadap peraturan yang berlaku.

3. Conduct of Business Supervision

Menekankan pada keselamatan konsumen sebagai klien atas kecurangan dan ketidakadilan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan kegiatan keuangan yang dilakukan lembaga pegadaian.

Rancangan Peraturan OJK Tentang Pembinaan dan Pengawasan Usaha Gadai dijelaskan bahwa perusahaan Pegadaian harus menyampaikan laporan kepada OJK dalam Pasal 21 dan Pasal 22 yang menyatakan bahwa :68

a. Perusahaan Pergadaian Pemerintah wajib menyampaikan kepada OJK laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan publik paling lambat 4 (empat) bulan setelah tahun buku berakhir.

b. Selain laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) perusahaan pegadaian pemerintah wajib menyampaikan kepada OJK laporan

68

(36)

bulanan sesuai peraturan perundang-undangan dan laporan sewaktu-waktu bila diperlukan.

Hal ini mengindikasikan bahwa OJK mengawasi kegiatan usaha yang dilakukan lembaga pegadaian. Pengawasan OJK dilakukan melalui penyampaian laporan tahunan yang disampaikan oleh lembaga pegadaian kepada OJK. Dalam hal ini OJK dapat dikatakan sebagai Control Institution atau lembaga kontrol lembaga pegadaian.

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/Pojk.05/2014 Tentang Pemeriksaan Langsung Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank pasal 2 mengatur hal sebagai berikut :

a. OJK dapat melakukan pemeriksaan langsung terhadap Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank.

b. Terkait pemeriksaan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) OJK dapat melakukan pemeriksaan langsung terhadap:

1) Pemegang saham atau yang setara pada Lembaga Jasa Keuangan Non Bank.

2) Perusahaan anak dari Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank.

3) Pihak lain yang melakukan transaksi dengan Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank.

(37)

F. Akibat Hukum Terhadap Lembaga Pegadaian Yang Tidak Memenuhi Aspek Kepatuhan dalam Pemenuhan Kebutuhan Likuiditas Masyarakat.

Objek hukum adalah perbuatan yang lahir, tujuannya ingin menyelenggarakan kedamaian dan ketenangan hidup masyarakat. Hukum merupakan kaidah untuk berbuat sesuai dengan apa yang seharusnya diperbuat, dan hukum membentuk suatu keseluruhan yang mewujudkan sebuah sistem, yaitu keseluruhan yang teratur dan bagian-bagiannya yang memiliki fungsi pengaturan. Menurut Hans Kelsen:

“Pernyataan bahwa seorang individu diharuskan secara hukum untuk perbuatan tertentu adalah suatu penekanan tentang isi suatu norma hukum, bukan tentang peristiwa nyata, khususnya bukan tentang sikap mental individu tersebut. Dalam menentukan kewajiban, yaitu dengan memberikan sanksi pada pelanggaran kewajiban, aturan hukum mungkin dengan maksud agar individu memenuhi kewajibannya karena takut akan sanksi”.69

Menurut Thomas Aquinas, ada dua hal yang menunjukkan akibat atau efek keberlakukan hukum, yakni a) kebaikan hidup manusia; dan b) karakteristik hukum sebagai perintah, larangan, izin, dan adanya sanksi hukuman.70

69

Jimly Asshiddiqie dan Ali Safaat, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, hlm. 65.

70

E. Sumaryono, Etika dan Hukum: Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas, Kanisius Yogyakarta, 2002, hlm. 83.

(38)

Terkait konteks fiduciary duty Pasal 7 Ayat 4 UU Perseroan Terbatas menjelaskan kewajiban berbadan hukum bagi perseroan adalah agar dapat bertanggung jawab secara hukum dalam setiap perbuatan hukum yang dilakukan perusahaan.71

Pasal 85 ayat 1 UU Perseroan Terbatas yang menegaskan bahwa setiap anggota direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan usaha perseroan, juga termasuk pada pandangan paham intuisi yang disebut di atas. Itikad baik direksi untuk menjalankan atau mengurus perseroan secara profesional dengan skill dan tindakan pemeliharaan semuanya dimaksudkan untuk kepentingan usaha perseroan, termasuk pula kepentingan para pemegang saham.

Hal ini dikarenakan PT. Pegadaian sebagai salah satu badan hukum merupakan subjek hukum yang mempunyai hak dan kewajiban yang diakui oleh hukum.

72

Pasal 97 ayat 3 UU Perseroan Terbatas menyatakan jika direksi bertanggung jawab jika lalai menyebabkan kerugian perseroan dan tidak beritikad baik serta bertanggungjawab, dan ayat 5 menyatakan jika direksi tidak bertanggungjawab jika “kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan; tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian

71

I.G.Ray Widjaya, Berbagai Peraturan dan Pelaksanaan Undang-undang di Bidang Hukum Perusahaan, Pemakaian Nama PT, Tata Cara Mendirikan PT, Tata Cara Pendaftaran Perusahaan, TDUP & SIUP, cet. 3, Jakarta : Kesaint Blanc, 2003,hlm. 140.

72

Agus Budiarto, Kedudukan Hukum dan Tanggung Jawab Pendiri Perseroan Terbatas,

(39)

tersebut.” Tidak adanya perubahan mengenai perbuatan melawan hukum (PMH) dalam Pasal 3 UU Perseroan Terbatas tentang piercing the corporate veil, defenisi PMH dalam pasal tersebut sudah jelas mengenai makna bersalah pada Pasal 95 ayat 2 UU Perseroan Terbatas harus diartikan bahwa telah adanya putusan pengadilan menyatakan seseorang telah bersalah secara pidana.

Pertanggungjawaban direksi terhadap kelalaian menjalankan pengurusan PT. Pegadaian dalam Pasal 23 mengatur norma selama pendaftaran dan pengumuman yang dimaksud dalam Pasal 21 dan 22 belum dilakukan, maka direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas segala perbuatan hukum dilakukan perseroan, dan Pasal 104 ayat (2) mengatur norma dalam hal kepailitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi karena kesalahan direksi dan harta pailit tidak cukup membayar kewajiban Perseroan dalam kepailitan tersebut, setiap anggota direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dari harta pailitnya.

(40)

Terkait Pierching Corporate Veil, Pasal 3 ayat 2 UU Perseroan Terbatas diketahui bahwa untuk terjadinya piercing the corporate veil dipersyaratkan, yaitu: 1. Persyaratan perseroan badan hukum belum atau tidak terpenuhi,

2. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan iktikad buruk memanfaatkan perseroan semata-mata untuk kepentingan pribadi,

3. Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum dilakukan perseroan,

4. Pemegang saham bersangkutan langsung atau tidak langsungsecara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan, yang mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang perseroan.

Tanggung jawab Komisaris terbatas sebagaimana tercantum dalam Pasal 114 ayat 6 UU Perseroan Terbatas bahwa atas nama perseroan, pemegang saham mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat menggugat anggota dewan komisaris karena kesalahan menimbulkan kerugian perseroan ke Pengadilan Negeri. Sedangkan tanggung jawab terbatas pemegang saham erseroan terbatas, bahwa keterbatasan tanggung jawab itu juga berlaku terhadap anggota direksi meskipun tidak secara tegas dinyatakan dalam pasal-pasal yang termuat dalam UU Perseroan Terbatas.

(41)

kepatutan dan kewajaran, dan apabila perseroan tidak melaksanakan kewajiban tersebut akan dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku sebagai mana dalam Pasal 74 ayat 3 UU Perseroan Terbatas jika tidak akan dikenai sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Selain itu dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (selanjutnya disebut sebagai UU Penanaman Modal) juga diatur bahwa setiap penanam modal bertanggung jawab untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup. Ini juga merupakan bagian dari Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. Lebih lanjut mengatur jika penanam modal tidak melakukan kewajibannya untuk melaksanakan Tangggung Jawab Sosial dan Lingkungan, maka berdasarkan Pasal 34 UU Penanaman Modal, penanam modal dapat dikenai sanksi adminisitatif berupa:

1. Peringatan tertulis.

2. Pembatasan kegiatan usaha.

3. Pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal. 4. Pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal.

Terkait pelaksanaan penanggulangan resiko dalam kegiatan jasa keuangan PT. Pegadaian, diatur dalam Peraturan OJK No. 1/POJK.05/2015 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank. Dalam pasal 2 menyatakan:

1. LJKNB wajib menerapkan Manajemen Risiko secara efektif.

(42)

a. pengawasan aktif direksi, dewan komisaris, atau yang setara dari LJKNB; b. kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit risiko;

c. kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko;

d. sistem informasi manajemen risiko; dan e. sistem pengendalian intern yang menyeluruh.

Dalam hal ini, akibat hukum tidak menjalankan aturan ini diatur lebih lanjut di dalam peraturan OJK No. 1/POJK.05/2015 yang berbunyi:

1) OJK mengenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis kepada LJKNB yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 2 ayat (1), Pasal 4, Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 7 ayat (2) Peraturan OJK ini.

2) Sanksi administratif berupa teguran tertulis dikenakan paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut yaitu:

a) teguran tertulis pertama; b) teguran tertulis kedua; dan c) teguran tertulis ketiga.

(43)

4) Sanksi administratif berupa teguran tertulis kedua dan ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c ditetapkan jika dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak ditetapkannya sanksi administratif berupa teguran tertulis pertama atau kedua dimaksud, LJKNB belum dapat mengatasi penyebab dikenakannya sanksi administratif berupa teguran tertulis pertama atau kedua dimaksud.

(44)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahsan rumusan masalah yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Lembaga pegadaian merupakan lembaga keuangan bukan bank yang menjalankan kegiatan jasa keuangan dengan sistem gadai. Bentuk sistem gadai yang dijalankan yaitu gadai konvensional dan gadai syariah. Kedudukan lembaga pegadaian sebagai lembaga keuangan yang menunjang kebutuhan likuiditas masyarakat dilandasi oleh PP No. 51 Tahun 2011 Tentang Perubahan Bentuk Badan Hukum Perusahaan Umum (PERUM) Pegadaian menjadi Perusahaan Perseroan (PERSERO).

(45)

Accuntability (akuntabilitas), Responsibility (pertanggung jawaban), Independency (kemandirian) dan Fairness (kesetaraan atau kewajaran).

3. Otoritas Jasa Keuangan atau yang biasa dikenal OJK merupakan lembaga kontrol yang mengawasi semua kegiatan sektor jasa keuangan. Lembaga pegadaian sebagai salah satu lembaga keuangan berada di bawah pengawasan OJK. Salah satu yang diawasi OJK terhadap lembaga pegadaian ialah terkait jalannya aspek kepatuhan lembaga pegadaian yang termuat dalam UU Perseroan Terbatas dalam menyediakan jasa keuangan dalam pemenuhan kebutuhan likuiditas masyarakat. Pengawasan ini dilakukan agar tujuan dari didirikan PT. Pegadaian sebagai lembaga pegadaian dapat tercapai dalam memenuhi kebutuhan likuiditas masyarakat dalam rangka pembangunan ekonomi nasional.

B. Saran

Berdasarkan penerlitian tersebut, maka penulis memberikan beberapa saran yang diharapkan dapat dipertimbangkan, baik oleh pemerintah, PT. Pegadaian serta masyarakat:

1. OJK sebagai lembaga pemerintah yang independen mengawasi kegiatan jasa keuangan harus mampu melakukan pengawasan terhadap lembaga pegadaian. Pengawasan yang dilakukan harus berpegang kepada ketentuan hukum yang berlaku. Hal ini agar dapat melindungi kebutuhan likuiditas masyarakat dalam kegiatan jasa keuangan yang dilakukan lembaga pegadaian.

(46)

dilakukan lembaga pegadaian. Selain itu, tujuan lembaga pegadaian dalam memenuhi kebutuhan likuiditas masyarakat dapat tercapai.

(47)

BAB II

KEDUDUKAN LEMBAGA PEGADAIAN SEBAGAI LEMBAGA KEUANGAN

A. Lembaga Pegadaian Sebagai Lembaga Keuangan

Lembaga keuangan sudah sangat dikenal oleh masyarakat Indonesia, karena kegiatan kredit sudah sangat biasa dilakukan oleh masyarakat Indonesia dalam setiap sendi kehidupan masyarakat. Defenisi secara umum dari lembaga keuangan tersebut adalah setiap perusahaan yang bergerak di bidang keuangan, menghimpun dana, menyalurkan dana atau kedua-duanya.16

Lembaga keuangan bank merupakan lembaga keuangan yang berbentuk bank yaitu bank adalah lembaga keuangan, pencipta uang, pengumpul dana dan pemberi kredit, mempermudah pembayaran dan penagihan, stabilisator moneter dan dinamisator pertumbuhan ekonomi.

Lembaga keuangan dilihat dari jenisnya, terdiri dari lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan bukan bank.

17

16

Kasmir, Op.Cit, hlm. 2. 17

Malayu Hasibuan, Manajemen Perbankan, (Jakarta: CV. Haji Magum, 1994), hlm. 9.

(48)

Lembaga Keuangan Bukan Bank (selanjutnya disebut sebagai LKBB) berdasarkan Surat Keputusan Menteri RI No. KEP-38/MK/IV/1972 adalah semua lembaga (badan) yang melakukan kegiatan usaha dalam bidang keuangan yang secara langsung maupun tidak langsung menghimpun dana dengan cara mengeluarkan surat-surat berharga, kemudian menyalurkan dana kepada masyarakat terutama untuk membiayai investasi perusahaan-perusahaan.18

1. Sewa Guna Usaha (Leasing)

Adapun lembaga keuangan bukan bank yang berkembang dalam kegiatan keuangan di Indonesia adalah sebagai berikut :

Sewa guna usaha merupakan Kegiatan pembiayaan kepada badan hukum atau perseorangan dalam bentuk pembiayaan modal. Pembayaran dilakukan dalam jangka waktu tertentu.

2. Modal Ventura

Modal ventura merupakan suatu bentuk pembiayaan oleh perusahaaan modal kepada perusahaan kecil yang berupa penyertaan modal untuk jangka waktu sementara. Balas jasa yang didapat adalah bagi hasil jika perusahaan yang dibiayai mendapat keuntungan dan berbagi kerugian apabila perusahaan tersebut merugi.

3. Anjak Piutang

Anjak Piutang merupakan usaha pembiayaan dalam bentuk pembelian atau pengalihan serta pengurusan hutang atau tagihan jangka pendek perusahaan (Debitur) dan transaksi perdagangan dalam dan luar negeri.

18

(49)

4. Asuransi

Asuransi merupakan perjanjian dua pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung meningkatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugiank kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. 5. Dana Pensiun

Dana pensiun merupakan badan hukum yang mengelola dan menjalankan program yang menjanjikan manfaat pensiun bagi pesertanya.

6. Pegadaian

Pegadaian merupakan bentuk lembaga pembiayaan yang melakukan kegiatan usaha gadai yang diperuntukkan bagi masyarakat luas berpenghasilan rendah yang membutuhkan dana dalam waktu segera.19

Pegadaian sebagai salah satu lembaga keuangan bukan bank memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

Dalam hal ini PT. Pegadaian diharapkan mampu menopang kebutuhan likuiditas dalam usaha kecil dan menengah (UKM).

20

a. Terdapat barang-barang berharga yang digadaikan.

b. Nilai jumlah pinjaman tergantung nilai barang yang digadaikan.

19

20

(50)

c. Barang yang digadaikan dapat ditebus kembali.

Adapun jenis-jenis pegadaian yang berkembang di Indonesia adalah sebagai berikut :

a. Pegadaian Konvensional

Pegadaian konvensional merupakan suatu lembaga pemerintah yang memberikan uang pinjaman kepada nasabah atas dasar hukum gadai. Pegadaian konvensional ini sudah tersebar ke seluruh pedesaan. Namun pada jenis pegadaian ini masih menggunakan sistem pencatatan manual, menggunakan sistem bunga dan tarif jasa simpannya yang cukup besar.

b. Pegadaian Syariah

Pegadaian syariah yakni lembaga keuangan/devisi dari bentuk pegadaian dengan memberikan uang pinjaman sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam. Banyak sekali keuntungan pegadaian syariah ini, antara lain : menggunakan sistem bagi hasil yang sesuai syariat dan prinsip-prinsip islam, tarif jasa simpan uang tidak terlalu besar, dan biaya administrasinya sangat kecil. Namun, pegadaian syariah ini masih menggunakan pencatatan yang manual.

Perseroan Terbatas Pegadaian dalam menjalankan kegiatan jasa keuangan dalam memenuhi kebutuhan likuiditas masyarakat umumnya kegiatan jasa keuangan yang dijalankan meliputi 2 hal, yaitu menghimpun dana dan penggunaan dana, yaitu:21

a. Penghimpunan dana (Funding Product)

(51)

Pegadaian sebagai lembaga keuangan tidak diperkenankan menghimpun dana secara langsung dari masyarakat dalam bentuk simpanan, misalnya: giro, deposito dan tabungan sebagaimana perbankan. Untuk memenuhi kebutuhan dananya untuk melakukan kegiatan usahanya, maka pegadaian memiliki sumber-sumber dana, sebagai berikut :22

1) Modal sendiri, terdiri dari:

a) Modal awal, yaitu kekayaan Negara diluar APBN. b) Penyertaan modal pemerintah.

c) Laba ditahan, laba ditahan ini merupakan akumulasi laba sejak perusahaan perum pegadaian berdiri.

2) Pinjaman jangka pendek dari perbankan.

3) Bekerjasama dengan pihak ke-3 dalam memanfaatkan aset perusahaan dalam bidang bisnis properti, seperti dalam pembangunan gedung kantor dan pertokoan dengan sistem BOT, build, operate, dan transfer.

4) Dari masyarakat melalui penerbitan obligasi.

5) Mengadakan kerjasama dengan lembaga keuangan lainnya, baik perbankan maupun non perbankan

b. Pengguna Dana

Dana yang berhasil dihimpun digunakan untuk mendanai kegiatan PT. Pegadaian antara lain digunakan untuk hal-hal berikut:

1) Uang kas dan dana likuid lain. 2) Pendanaan kegiatan operasional.

22

(52)

3) Pembelian dan pengadaan berbagai macam bentuk aktiva tetap dan investaris.

4) Penyaluran dana. 5) Investasi lain.

6) Pinjaman pegawai, kredit yang diberikan kepada pegawai yang berpenghasilan tetap.

Adanya kegiatan gadai yang dilakukan oleh PT. Pegadaian menimbulkan suatu hubungan hukum perikatan yang lahir karena perjanjian antara penerima gadai yang disini adalah PT. Pegadaian itu sendiri dan juga pemberi gadai yang disini merupakan nasabah dari PT. Pegadaian. Hukum yang mengatur tentang Perjanjian di Indonesia hingga saat ini masih mengacu pada Burgelijke Wetboek (BW) atau yang disebut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).23

Aturan khusus yang mengatur mengenai perjanjian belum ada ditemukan secara khusus sehingga pengaturan mengenai perjanjian saat ini diatur dalam Buku III Bab II tentang Perjanjian sesuai dengan Pasal 1313 KUHPerdata merupakan suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Beberapa ahli juga memberikan definisi mengenai perjanjian. Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa perjanjian merupakan hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat atau menimbulkan akibat hukum.24

1. Pasal 1150 sampai dengan 1160 KUHperdata Buku II

Dasar hukum yang digunakan dalam gadai PT. Pegadaian juga berpedomanan kepada:

23

Hapi Saherodji, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Aksara Baru, 1980), hlm. 90. 24

(53)

2. Pasal 1977 KUHPerdata

3. Pasal 548 ayat (1) KUHPerdata 4. Pasal 582 KUHPerdata

5. Staatblad (Stb) Nomor 81 Tahun 1928 (Pandhuist Reglement)

Perseroan Terbatas Pegadaian sebagai badan hukum yang bertindak sebagai pemegang gadai (kreditur) memiliki wewenang, yaitu :25

a. Hak retentie

Hak gadai hanyalah ada bilamana pemberi gadai telah menyerahkan benda yang digadaikan. Di dalam hukum pemegang gadai menguasai benda tersebut sampai tagihannya itu dilunasi (hak retentie) adalah suatu upaya yang penting untuk mendorong debitur untuk membayar hutangnya.

b. Hak executie yang dipermudah

Secara normal debitur akan memenuhi kewajiban-kewajibannya dan benda tersebut akan dikembalikan padanya setelah ia melunasi hutangnya. Hak gadai diciptakan dengan maksud adanya kemungkinan debitur tidak memenuhi kewajiban-kewajibannya. Dalam kasus demikian setiap kreditur berhak untuk memperoleh gati rugi dari harta debitur, tetapi kreditur yang minta janji suatu hak gadai memperoleh kemungkinan ganti rugi yang lebih mudah. Di dalam beberapa segi, maka pemegang gadai di dalam memperoleh ganti kerugian mempunyai suatu posisi yang lebih

25

(54)

menguntungkan daripada kreditur lain yang tagihannya tidak dijamin dengan hak gadai.

c. Hak yang didahulukan dalam memperoleh ganti rugi (voorang bij verhaal) Kreditur yang mempunyai tagihan yang diperkuat dengan hak gadai untuk mencapai tidak hanya, bahwa ia tidak harus menunggu-nunggu pembayarannya, akan tetapi dengan cara sederhana dapat melakukan hak excecutie atas benda gadai itu. Di samping itu, bahwa tagihannya itu akan memperoleh ganti rugi yang paling didahulukan dari hasil benda gadai itu. Pemegang gadai di dalam pembagian hasil executie haknya tidak hanya di atas kreditur konkuren saja melainkan juga berada diatas kreditur-kreditur yang diberikan preferentie (voorang) menurut undang-undang.

B. Kedudukan Lembaga Pegadaian sebagai Lembaga Keuangan

Perseroan Terbatas Pegadaian merupakan lembaga keuangan bukan bank di Indonesia yang ditunjuk untuk menerima dan menyalurkan kredit berdasarkan hukum gadai. Sebelum berubah menjadi Persero, PT. Pegadaian merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berstatus sebagai perusahaan umum, dimana mengenai BUMN sendiri diatur dalam UU BUMN dan kemudian berubah menjadi Persero yang pengaturannya diatur dalam UU Perseroan Terbatas.

(55)

terutama untuk masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah, usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah, serta optimalisasi pemanfaatan sumber daya Perseroan dengan menerapkan prinsip perseroan terbatas. Untuk mencapai maksud dan tujuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat 1, PT. Pegadaian memiliki kegiatan usaha utama yang berupa:

1. Penyaluran pinjaman berdasarkan hukum gadai termasuk gadai efek. 2. Penyaluran pinjaman berdasarkan jaminan fidusia.

3. Pelayanan jasa titipan, pelayanan jasa taksiran, sertifikasi, dan perdagangan logam mulia.

4. Adanya kegiatan gadai yang dilakukan oleh PT. Pegadaian menimbulkan suatu hubungan hukum perikatan yang lahir karena perjanjian antara penerima gadai yang disini adalah PT. Pegadaian itu sendiri dan juga pemberi gadai yang disini merupakan nasabah dari PT. Pegadaian. Hukum yang mengatur tentang Perjanjian di Indonesia hingga saat ini masih mengacu pada Burgelijke Wetboek (BW) atau yang disebut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).26

Sebagaimana diketahui PT. Pegadaian yang merupakan Badan Usaha Milik Negara yang berbentuk Perseroan sebagaimana penjelasan Pasal 1 Angka 2 UU BUMN menyatakan bahwa “Perusahaan Perseroan yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan.

26

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini di harapkan dapat dijadikan sebagai bahan referensi oleh tenaga pendidik di Madrasah Aliyah Al-Ma’arif Pondok Pesantren Panggung Tulungagung

Gagasan tersebut lantas menimbulkan sebuah kontroversi di tengah-tengah pengharaman prostitusi yang sudah ditetapkan hukumnya dalam nash (Al-Qur’an dan As-Sunnah).

Setelah melihat hasil jawaban angket, pengolahan dan analisis data, maka penulis menyarankan : (1) Siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri 18 Pontianak Diharapkan siswa

Bolabasket adalah permainan olahraga yang dilakukan secara berkelompok, terdiri atas 2 tim yang beranggotakan masing-masing 5 orang yang saling bertanding dengan

Namun teori Dependensi Efek Komunikasi Massa mampu menjelaskan mengenai pengaruh positif yang ada antara terpaan berita kasus pembunuhan pada remaja di media massa

Walaupun dalam fikih terdapat empat mazhab besar, tetapi dalam penelitian ini penulis membagi mazhab tersebut menjadi dua, dengan alasan adalah ulama Mazhab

Produk yang dihasilkan dari penelitian berupa soal penalaran model TIMSS yang telah dikembangkan berisi 40 soal pilihan ganda disertai dengan uraian alasan dari setiap

Bagi sekolah, hendaknya perlu mengoptimalkan kembali fasilitas yang dimiliki sekolah; mengoptimalkan kinerja tenaga kependidikan untuk melaksanakan apa