• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Kerusakan Struktur Plaza Andalas Pasca Gempa Padang Tanggal 30 September 2009 (Study Kasus)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kajian Kerusakan Struktur Plaza Andalas Pasca Gempa Padang Tanggal 30 September 2009 (Study Kasus)"

Copied!
135
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN KERUSAKAN STRUKTUR PLAZA ANDALAS

PASCA GEMPA PADANG TANGGAL 30 SEPTEMBER 2009

(STUDY KASUS)

TUGAS AKHIR

Diajukan untuk melengkapi tugas – tugas dan

melengkapi syarat untuk menempuh

Ujian Sarjana Teknik Sipil

Disusun oleh :

060404058 Diana Yuwita Sari

BIDANG STUDI STRUKTUR

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

ABSTRAK

Indonesia merupakan daerah yang rawan gempa, yang dibagi dalam 6

wilayah gempa, dari wilayah gempa satu hingga wilayah gempa yang tertinggi yaitu

wilayah gempa enam. Kota padang terbagi dalam dua wilayah gempa, yaitu wilayah

gempa lima dan wilayah gempa enam. Dijalan Pemuda kota Padang, terdapat plaza

Andalas, yang pada saat gempa 30 September 2009 mengalami kerusakan, Plaza

tersebut dibangun pada tahun 2004 dan selesai pada tahun 2005.

Pada tugas akhir ini, penyusun menganalisa penyebab terjadinya kerusakan

pada plaza Andalas tersebut, dengan cara membandingkan output Analisa Software

ETABS v 9.0.7 dan kondisi existing struktur tersebut. Saat ini, untuk merencanaan

struktur diwilayah gempa tinggi, metode analisa gempanya menggunakan metode

respons spketrum. Pada analisis ini, struktur dirunkan dalam tiga wilayah gempa,

yakni wilayah gempa empat, lima dan enam, pada kondisi jenis tanah yang lunak.

Sehingga didapat kesimpulan bahwa kerusakan struktur diakibatkan oleh

gaya gempa yang terlalu tinggi melebihi gaya gempa rencana struktur, selain

diakibatkan oleh hal tersebut, kerusakan juga disebabkan oleh pengerjaan struktur

pada waktu pembangunan, dimana banyak terdapat segregasi pada dasar kolom,

serta banyak ditemukan balok yang berongga (kopong), hal ini disebabkan oleh

pemberian vibrasi yang tidak merata sewaktu pengecoran, pemberian vibrasi dapat

dilakukan dengan alat concrete vibrator dan merojok (manual).

(3)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur kepada Allah SWT, yang telah

memberikan rahmat dan hidayah-Nya hingga selesainya Tugas Akhir ini dengan

judul “Analisis Kekuatan Struktur Plaza Andalas Pasca Gempa Padang Tanggal 30

September 2009 ”

Tugas Akhir ini disusun untuk diajukan sebagai salah satu syarat yang

harus dipenuhi dalam Ujian Sarjana Teknik Sipil Bidang Studi Struktur pada

Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara (USU). Penulis

menyadari bahwa Tugas Akhir ini masih banyak kekurangan. Hal ini disebabkan

keterbatasan pengetahuan dan kurangnya pemahaman penulis. Dengan tangan

terbuka dan hati yang tulus penulis menerima saran dan kritik bapak dan ibu dosen

serta rekan mahasiswa demi penyempurnaan Tugas Akhir ini.

Penulis juga menyadari bahwa selesainya Tugas Akhir ini tidak lepas

dari bimbingan, dukungan dan bantuan semua pihak. Untuk itu, pada kesempatan

ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tulus dan tidak terhingga kepada

kedua orang tua yang selalu penulis muliakan yang telah memberikan segalanya

hingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan ini.

Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada:

1. Bapak Prof. DR. Ing. Johannes Tarigan, selaku Ketua Departemen Teknik Sipil

(4)

2. Bapak Ir. Teruna Jaya, M. Sc., selaku Sekretaris Departemen Teknik Sipil

Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Ir. Besman Surbakti, MT selaku pembimbing dan yang telah banyak

meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam memberikan bimbingan yang tiada

hentinya kepada penulis dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini.

4. Bapak/Ibu Dosen Staf Pengajar Jurusan Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara.

5. Orang tua saya yang sangat besar peranannya buat saya. Terima kasih Ayah dan

Ibu sungguh besar pengorbanan kalian padaku, keluarga besar saya dikampung,

yang tak henti-hentinya memberikan semangat kepada saya.

6. Ci Dung-Dung yang telah membantu saya dalam penyusunan Tugas akhir ini.

7. Bang Indra (2000) yang telah memberikan masukan yang sangat berarti sehingga

terlaksanannya tugas akhir ini.

7. Abang-abang angkatan 2003, 2004, 2005 bang Nova, bang Miko, bang Hamdi,

bang Budi, bang Pau, bang Reno, bang Rendy, bang Hamzah, bang Ajo, bang

Taufik, bang Fredy, bang Andy, bang Joko, bang Ilham, bang Arlin.

8. Kakak-kakak 2004 dan 2005, kak Rhini, Kak Sheila, kak Henny, kak Dian, Kak Fira

serta kakak-kakak yang lain yang belum tersebutkan.

8. Pegawai Administrasi yang telah memberikan bantuan dalam penyelesaian

administrasi, Kak Lince, Bang Amin, Bang Zul. Terima kasih atas bantuannya

(5)

9. Rekan-rekan mahasiswa Jurusan Teknik Sipil Angkatan 2006, Helen, Diana,

Winda, Citra, mak Ani, Adheq, Irin, Yovanka, Nurul, Janet, Dina, Tami, Faim,

Ucup, Budi, Benny, Anton, Biondi, Najib, Subroto, Shendy, Riky, Rivan, Radi,

Rahmat, Mas Agung, Cik Gafar, Muhajir, Maman, Alfi, Khoir, Alex, Afif, Sinar,

Marni, Ulil, Husni, Nasrul, Asep, Atha, Hery munte, Hery IS, bang Sawal. Adik-adik

angkatan 2007, Ari, harly, Nanda, Hery, Sadikin, Rudi, Aulia, Dita, Tessa, Dean,

dan kalian semua ‘07. Adik-adik ’08 dan ’09 yang telah memberikan support

kepada saya, Evi, Lia, Putri, Erlia, Dewi Bocor, Mia, Virda, Hannah, Ersa, dan bagi

kawan-kawan serta adek-adek yang belum tersebutkan namanya, saya mohon

maaf yang sebesar-besarnya.

11.Rekan-rekan kosku, Juli, kak Nova, kak Rina, Kak Fitri, Nanda, kak Qorin, kak Titi,

kak Wirda, kak Dinda yang telah sedikit banyak membantu dalam menyelesaikan

tugas akhir ini

10.Dan untuk semua orang, dengan kerendahan hati saya meminta maaf yang

sebesar-besarnya, karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT, dan saya hanya

manusia yang penuh kekhilafan.

Medan, Juni 2010

060404058

(6)

DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang --- 1.2 Tujuan Penelitian --- 1.3 Batasan Penelitian ---

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

(7)

2.4.2 Pendetailan Kolom --- 2.4.3 Penulangan Daktilitas pada Kolom --- 2.5 Metode Analisis Struktur ---

BAB III : METODE PENELITIAN

3.1 Pekerjaan Lapangan (Field Investigation) --- 3.2 Hasil penyelidikan Data Lapangan --- 3.2.1 Ukuran Bangunan --- 3.2.2 Kolom --- 3.2.3 Balok --- 3.2.4 Plat --- 3.3 Pekerjaan Analisa --- 3.3.1 Pembebanan Struktur ---

BAB IV : ANALISA DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisa Struktur --- 4.1.1 Data input pada ETABS versi 9.0.7 --- 4.1.2 Gambar data struktur --- 4.2 Output ETABS versi 9.0.7 --- 4.2.1 Eksentrisitas Struktur --- 4.2.2 Waktu Getar Alami Struktur --- 4.2.3 Gaya Geser Dasar (Base Shear) --- 4.2.4 Kontrol Partisipasi Massa --- 4.2.5 Metode Penjumlahan Respons Ragam --- 4.2.6 Simpangan Struktur --- 4.3 Perbandingan Luas Tulangan Utama Existing Struktur Gedung Terhadap Analisa Program ETABS v.9.0.7 ---

4.3.1 Tulangan Utama --- 4.3.2 Tulangan Tranversal --- 4.3.3 Penulangan Daktalitas Pada Kolom --- 4.4 Persyaratan Kuat Lentur ---

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

96

102

104

(8)

5.1 Kesimpulan --- 5.2 Saran ---

DAFTAR PUSTAKA

(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Lendutan izin maksimum --- 11

Tabel 2.2 Jenis-jenis tanah --- 20

Tabel 2.3 Faktor keutamaan I untuk berbagai kategori gedung dan bangunan Tabel 2.4 Faktor daktalitas maksimum, faktor reduksi gempa maksimum dan faktor tahanan lebih total beberapa system dan subsistem bangunan gedung --- 23

Tabel 4.1 Penampang balok --- 25

Tabel 4.2 Penampang Kolom --- 61

Tabel 4.3 Slab Section --- 62

Tabel 4.4 Static Load--- 63

Tabel 4.5 Data Sondir pada Titik Pertama --- 65

Tabel 4.6 Data Sondir pada Titik Kedua --- 66

Tabel 4.7 Data Sondir pada Titik Ketiga --- 67

Tabel 4.8 Nilai dari Ketiga Titik Penyondiran --- 68

Tabel 4.9 Respons spektrum wilayah gempa 4,5 dan 6 --- 70

(10)

Tabel 4.11 Nilai Xcr dan Ycr --- 76

Tabel 4.12 Kontrol nilai eksentrisitas struktur terhadap SNI 03-1726-2003 --- 76

Tabel 4.13 Cek waktu getar alami struktur --- 77

Tabel 4.14 Berat Total Output ETABS --- 82

Tabel 4.15 Modal Participating Mass Ratio --- 84

Tabel 4.16 Selisih Periode Antar Mode yang Berdekatan --- 86

Tabel 4.17 Simpangan --- 87

Tabel 4.18 Analisa ∆s Akibat Arah Gempa x --- 88

Tabel 4.19 Analisa ∆s Akibat Arah Gempa y --- 89

Tabel 4.20 Simpangan Masimum Antar Tingkat arah x --- 90

Tabel 4.21 Simpangan Masimum Antar Tingkat Arah y --- 92

Tabel 4.22 Penulangan Kolom di Lapangan --- 93

Tabel 4.23 Penulangan Kolom Hasil Analisa ETABS v 9.0.7 --- 93

Tabel 4.24 Penulangan Balok di Lapangan --- 94

Tabel 4.25 Penulangan Balok Hasil ETABS v 9.0.7 untuk Wilayah Gempa 4 --- 94

Tabel 4.26 Penulangan Balok Hasil ETABS v 9.0.7 untuk Wilayah Gempa 5 --- 95

Tabel 4.27 Penulangan Balok Hasil ETABS v 9.0.7 untuk Wilayah Gempa 6 --- 95

(11)

Tabel 4.29 Penulangan Sengkang Output ETABS pada Wilayah Gempa 4 --- 97

Tabel 4.30 Penulangan Sengkang Output ETABS pada Wilayah Gempa 5 --- 98

Tabel 4.31 Penulangan Sengkang Output ETABS pada Wilayah Gempa 6 --- 99

Tabel 4.32 Penulangan Sengkang pada Balok --- 100

Tabel 4.33 Penulangan Sengkang Output ETABS Wilayah Gempa 4 --- 100

Tabel 4.34 Penulangan Sengkang Output ETABS Wilayah Gempa 5 --- 101

Tabel 4.35 Penulangan Sengkang Output ETABS Wilayah Gempa 6 --- 101

Tabel 4.36 Penulangan Daktilitas Kolom di Lapangan --- 103

(12)

DAFTAR NOTASI

h = Tebal pelat

ln = Panjang bentang bersih balok dalam arah melintang

β = Perbandingan antara bentang bersih dalam arah memanjang terhadap arah

melintang dari pelat dua arah

αm = Nilai rata-rata dari α

α = Rasio kekakuan lentur penampang balok terhadap kekakuan lentur pelat

dengan lebar yang dibatasi secara lateral oleh garis-garis sumbu tengah dari

panel-panel yang bersebelahan pada tiap sisi balok

Ecb = Modulus elastis pada beton

Ecs = Modulus elastis pada pelat

= Lendutan

V = Beban geser nominal static ekivalen

= Nilai faktor respon spectrum

I = Faktor keutamaan bangunan

µ = Nilai faktor daktalitas struktur bangunan gedung

= adalah faktor reduksi gempa maksimum

(13)

ed = Eksentrisitas rencana ed

e = Eksentrisitas teoritis

Ag = Luas bruto penampang

f’c = Kuat tekan beton

bw = Lebar badan balok

d = Tinggi efektif penampang

fy = Kuat leleh baja

db = Diameter nominal batang tulangan

s = Spasi tulangan tranversal diukur sepanjang sumbu longitudinal komponen

struktur

s0 = Spasi maksimum tulangan tranversal

Ac = Luas inti komponen struktur tekan yang ditulangi tulangan spiral diukur

hingga diameter luar dari spiral

ρs = Rasio volume tulangan spiral terhadap volume inti beton yang terkekang

oleh tulangan spiral (diukur dari sisi luar tulangan spiral)

Ash = Luas penampang total tulangan tranversal dalam rentang spasi s

hc = Dimensi penampang inti kolom diukur dari sumbu ke sumbu tulangan

pengekang

lo = Panjang minimum diukur dari muka joint sepanjang sumbu komponen

struktur dimana harus disediakan tulangan tranversal

Ø = Diameter tulangan

qc = Tahanan lekat pada sondir

ex = Eksentrisitas terhadap sumbu x

(14)

ζ = Koefisien pengali dari jumlah tingkat struktur gedung yang membatasi

waktu getar alami

H = Tinggi stuktur

T1 = Waktu getar alami

V = Gaya geser dasar nominal yang bekerja pada tingat dasar sturktur

Δs = Kinerja Batas Layan

Δm = Kinerja Batas Ultimit

Mk = Jumlah momen dimuka hubungan balok kolom sesuai dengan desain

kuat lentur nominal kolom.

Mb = Jumlah momen dimuka hubugan balok kolom sesuai dengan desain kuat

lentur balok-balok yang merangka pada hubungan balok kolom tersebut.

qc = Perlawanan Penetrasi Konus

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1 : Output ETABS v 9.0.7

(16)

ABSTRAK

Indonesia merupakan daerah yang rawan gempa, yang dibagi dalam 6

wilayah gempa, dari wilayah gempa satu hingga wilayah gempa yang tertinggi yaitu

wilayah gempa enam. Kota padang terbagi dalam dua wilayah gempa, yaitu wilayah

gempa lima dan wilayah gempa enam. Dijalan Pemuda kota Padang, terdapat plaza

Andalas, yang pada saat gempa 30 September 2009 mengalami kerusakan, Plaza

tersebut dibangun pada tahun 2004 dan selesai pada tahun 2005.

Pada tugas akhir ini, penyusun menganalisa penyebab terjadinya kerusakan

pada plaza Andalas tersebut, dengan cara membandingkan output Analisa Software

ETABS v 9.0.7 dan kondisi existing struktur tersebut. Saat ini, untuk merencanaan

struktur diwilayah gempa tinggi, metode analisa gempanya menggunakan metode

respons spketrum. Pada analisis ini, struktur dirunkan dalam tiga wilayah gempa,

yakni wilayah gempa empat, lima dan enam, pada kondisi jenis tanah yang lunak.

Sehingga didapat kesimpulan bahwa kerusakan struktur diakibatkan oleh

gaya gempa yang terlalu tinggi melebihi gaya gempa rencana struktur, selain

diakibatkan oleh hal tersebut, kerusakan juga disebabkan oleh pengerjaan struktur

pada waktu pembangunan, dimana banyak terdapat segregasi pada dasar kolom,

serta banyak ditemukan balok yang berongga (kopong), hal ini disebabkan oleh

pemberian vibrasi yang tidak merata sewaktu pengecoran, pemberian vibrasi dapat

dilakukan dengan alat concrete vibrator dan merojok (manual).

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gempa merupakan bencana alam yang tidak dapat diduga kapan akan terjadi

dan seberapa besar kekuatan gempa tersebut. Gempa tidak terjadi secara periodik,

akibatnya setiap gempa dengan kekuatan yang besar, banyak menelan korban jiwa.

Menurut para ahli ada 4 penyebab terjadinya gempa yakni, gua-gua yang besar

didalam tanah ambruk. Tabrakan yang terjadi akibat jatuhnya meteor kebumi,

meletusnya gunung api dan kegiatan tektonis, seperti gerakan patahan bumi dan

lain-lain.

Indonesia merupakan daerah yang rawan gempa (kecuali pulau Kalimantan)

seperti yang terlihat pada peta wilayah gempa Indonesia, sehingga para teknisi

maupun arsitek harus memberi perhatian yang serius agar konstruksi bangunan yang

dibuat dapat tahan terhadap beban gempa.

Pada tanggal 30 September 2009, Sumatera Barat diguncang oleh gempa

dengan kekuatan besar. Gempa ini memporak-porandakan daerah Pariaman dan kota

Padang. Menurut Balai Besar Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BBMKG)

wilayah I Medan, gempa yang terjadi di Sumatera Barat terjadi pada kedalaman 71

km dibawah dasar laut, namun tidak berpotensi menyebabkan tsunami. Menurut ahli

gempa LIPI, gempa yang terjadi di Sumatera Barat berkekuatan 7,6 SR terletak 57

km barat daya Pariaman, beberapa menit setelah gempa yang pertama, tercatat

(18)

Geologi Universitas Gadjah Mada (UGM) berhasil memetakan zona gempa dan

longsor yang terjadi saat gempa berkekuatan 7,6 Skala Richter (SR) yang terjadi di

Sumatera Barat, 30 September 2009 lalu, menurut mereka, terbukti bahwa sebagian

besar bangunan yang roboh atau pun hancur, mengarah ke episenter gempa yang ada

dilaut.

Gempa yang terjadi di Sumatera Barat ini, mengakibatkan salah satu

bangunan yang terletak dijalan Pemuda kota Padang, mengalami rusak parah.

Gedung tersebut adalah Plaza 5 lantai termasuk basement. Penelitian ini dilakukan

karena tuntutan dari pihak asuransi gedung yang rusak tersebut.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kerusakan bangunan yang terjadi

murni disebabkan oleh gaya gempa atau karena faktor yang lain, seperti masalah

teknis lapangan disaat pembangunan gedung tersebut. Serta untuk mengetahui,

dizona gempa wilayah berapa seharusnya bangunan ini mengalami kerusakan dan

keruntuhan dan sebaliknya, dizona gempa berapa bangunan tersebut aman.

1.3 Batasan Penelitian

Lingkup pekerjaan penelitian yang dilakukan berupa pekerjaan lapangan

(field investigation) dan pekerjaan analisa terhadap perilaku dan kekuatan struktur.

Adapun pekerjaan lapangan (field investigation) yang dilakukan adalah :

1. Pekerjaan pengukuran as-as bangunan pada arah melintang, memanjang, dan

ketinggian bangunan.

(19)

3. Keruntuhan gedung mengarah ke Barat, diketahui dengan alat Kompas.

4. Data banguan yang didapat dari gambar lama struktur bangunan tersebut.

Adapun pekerjaan analisis yang dilakukan adalah :

1. Pembebanan pada struktur disesuaikan menurut Tata Cara Pembebanan Untuk

Rumah dan Gedung (SKBI- 1.3.53.1987)

2. Pembebanan struktur terdiri dari beban mati, hidup, beban gempa dan beban

angin beserta kombinasi pembebanannnya.

3. Kombinasi pembebanan disesuaikan menurut Tata Cara Perhitungan Struktur

Beton (SNI 03-2847-2002).

4. Analisis akibat beban gempa menggunakan metode analisis dinamik dengan

metode respon spektrum.

5. Pemodelan dan perhitungan analisa struktur dilakukan dengan menggunakan

software analisa struktur.

6. Kota padang terletak dipesisir pantai, menurut pembagian daerah gempa

Indonesia dan spektrum untuk masing-masing dearah gempa, Padang terletak

pada daerah gempa 5 dan zona 6 menurut SNI 03-1726-2003.

7. struktur tersebut dibangun diatas tanah lunak.

(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perencanaan Struktur Beton Bertulang

Beton didapat dari pencampuran bahan-bahan agregat halus dan kasar yaitu

pasir, batu-batu pecah atau bahan semacam lainnya, dengan menambahkan

secukupnya bahan perekat semen dan air sebagai bahan pembantu guna keperluan

reaksi kimia selama proses pengerasan dan perewatan beton berlangsung.

Nilai kuat tekan beton relatif tinggi dibandingkan dengan kuat tariknya dan

beton merupakan bahan yang bersifat getas. Umumnya beton diperkuat dengan

batang tulangan baja sebagai bahan yang dapat bekerja sama dan membantu dalam

menahan gaya tarik. Sehingga pada beton bertulang, tulangan baja bertugas

memperkuat dan menahan gaya tarik sedangkan beton diperhitungkan untuk

menahan gaya tekan.

Beton dan baja tulangan dapat bekerja sama dengan didasarkan pada

keadaan-keadaan:

a. Lekatan sempurna antara batang tulangan baja dengan beton yang

membungkusnya.

b. Beton bersifat kedap sehingga mampu melindungi dan mencegah

terjadinya karat baja.

(21)

Dalam perencanaan struktur beton bertulang hal yang harus diperhatikan

adalah perilaku komponen struktur beton bertulang pada waktu menahan berbagai

beban diantaranya adalah gaya aksial, gaya geser, puntiran ataupun gaya gabungan

dari gaya-gaya tersebut. Secara umum dapat dipahami bahwa perilaku tersebut

tergantung pada hubungan tegangan-regangan yang terjadi pada beton dan juga jenis

tegangan yang ditahan. Karena sifat beton yang hanya mempunyai nilai kuat tarik

rendah, maka pada umumnya hanya diperhitungkan kuat desak yang bekerja pada

daerah tekan pada penampangnya, dan hubungan tegangan-regangan yang timbul

karena pengaruh gaya tekan tersebut digunakan sebagai bahan pertimbangan.

Adapun struktur pendukung untuk rumah dan gedung adalah sebagai berikut :

1. Plat

Plat lantai menerima beban yang bekerja tegak lurus terhadap permukaan

plat. Berdasarkan kemampuannya untuk menyalurkan gaya akibat beban, pelat lantai

dibedakan menjadi : plat satu arah, yaitu plat yang didukung pada kedua tepi sisi

yang berhadapan sehingga lenturan timbul pada arah tegak lurus terhadap arah

dukungan tepi, dan plat dua arah, yaitu plat yang didukung pada keempat sisinya

yang dibatasi oleh dua balok induk pada sisi pendeknya dan dua balok anak pada sisi

panjangnya.

Plat lantai yang dirancang adalah plat lantai dua arah yang didukung pada

keempat sisinya. Untuk memudahkan perancangan akan digunakan tabel dari grafik

dan hitungan beton bertulang berdasarkan SNI-03-2847-2002.

Tebal plat harus memenuhi syarat tebal plat minimum pada

(22)

a) Tidak boleh kurang dari nilai

atau

b) Tetapi tidak boleh lebih dari (SK SNI T-15-1991-03 ayat 3.2.5 butir 3):

dimana: h = tebal pelat

ln = panjang bentang bersih balok dalam arah melintang

β = perbandingan antara bentang bersih dalam arah memanjang

terhadap arah melintang dari pelat dua arah.

αm = nilai rata-rata dari α

Ecb = modulus elastis pada beton

Ecs = modulus elastis pada pelat.

Dalam segala hal tebal pelat minimum tidak boleh kurang dari nilai berikut :

• αm < 2, tebal pelat minimum 120 mm

• αm ≥ 2, tebal pelat minimum 90 mm.

(23)

2. Balok

Bentangan plat tidak dapat panjang karena ada ketebalan tertentu (termasuk

berat sendiri), karena akan menghasilkan strkutr yang tidak hemat dan praktis. Oleh

karena itu banyak dikembangkan jenis sistem struktur plat yang bertujan untuk

mendapatkan bentang sepanjang mungkin. Salah satunya adalah sistem balok anak

dan balok induk serta kolom sebagai penopang struktur keseluruhan.

Analisis dan perencanaan balok yang dicetak menjadi satu kesatuan monolit

dengan pelat lantai atau atap didasrkan pada anggapan bahwa antra plat dengan balok

terjadi interakasi saat menahan momen lentur positif yang bekerja pada balok.

Interaksi antara plat dan balok yang menjadi satu kesatuan pada penampangnya

membentk huruf T tipilal sehingga itulah dinamakan sebagai balok T. plat akan

berlaku sebagai lapis sayap (flens). Flens juga harus direncanakan dan

diperhitungkan tersendiri terhadap balok pendukungnya.

3. Kolom

Pada pasal 10.8 SNI-03-2847-2002 memberikan defenisi kolom adalah

komponen strkutur bangunan yang tugas utamanya menyangga beban aksial tekan

vertical dengan bagian tinggi yang tidak ditopang paling tidak tiga kali dimensi

lateral terkecil. Sebagai bagian dari suatu kerangka bangunan dengan fungsi dan

peran seperti itu, kolom menempati posisi penting didalam sistem struktur bangunan.

Kegagalan kolom akan berakibat langsung pada runtuhnya komponen struktur lain

yang berhubungan dengannya,atau bahkan merupakan batas runtuh total keseluruhan

bangunan.

Pada umumnya keruntuhan atau kegagalan atau keruntuhan kolom sebagai

(24)

mendadak. Oleh karena itu, dalam merencanakan struktur kolom harus

memperhitungkan secara cermat dengan memberikan cadangan kekuatan lebih tinggi

daripada untuk komponen struktur lainnya. Dalam prakteknya kolom tidak hanya

bertugas menahan beban aksial vertikal, definisi kolom diperluas mencakup untuk

menahan kombinasi beban aksial dan momen lentur,dengan kata lain kolom juga

diperhitungkan untuk menyangga beban aksial tekan dengan eksentrisitas tertentu.

4. Momen

Berdasarkan kondisi dilapangan serta beban yang menyebabkan terjadinya,

momen dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:

a. Momen Lentur

Beban yang bekerja pada struktur, baik yang berupa beban gravitasi,

beban hidup, beban angin, beban berat sendiri dari struktur tersebut maupun

beban-beban yang lain, menyebabkan terjadinya lentur dan deformasi pada

elemen struktur. Lentur pada balok merupakan akibat dari regangan yang

timbul karena adanya beban. Apabila bebannya bertambah maka akan terjadi

regangan tambahan yang menyebabkan timbulnya retak lentur disepanjang

bentang balok.

Momen merupakan beban yang berbanding lurus dengan jarak. Akibat

adanya momen, balok mengalami lenturan pada balok yang mengakibatkan

retak pada balok. Mengingat sifat beton hanya tahan terhadap gaya tekan

saja, maka diperlukan adanya tulangan baja untuk dapat menahan tegangan

(25)

b. Momen Torsi (puntir)

Gaya torsi terjadi pada saat suatu komponen memikul beban gaya

sedemikian sehingga terpuntir terhadap sumbu memanjangnya. Momen

puntir ini sering menyebabkan tegangan geser yang cukup besar. Gaya torsi

cendrung terjadi pada batang yang berpenampang bukan bulat. Gaya torsi

yang timbul mengakibatkan retak tarik diagonal seperti yang diakibatkan oleh

gaya geser lentur.

Selain terjadi pada elemen struktur beton bertulangnya seperti pada

balok, momen putir juga terjadi pada bangunan itu sendiri. Pada balok, untuk

mengurangi resiko akibat momen torsi, diperlukan tulangan baja yang

dipasang melintang dengan arah retakan, umumnya dipasang pada arah

memanjang balok. Pada bangunan, untuk menghindari terjadinya torsi, salah

satunya adalah menjaga agar titik berat bangunan berhimpit dengan titik

massa bangunan tersebut dan sebaiknya menghindari bentuk struktur

bangunan seperti gambar dibawah ini.

(26)

5. Gaya Lintang

Gaya lintang merupakan gaya yang tegak lurus sumbu bagian konstruksi

yang ditinjau. Gaya lintang yang terjadi mengakibatkan terjadinya geser. Akibat

terjadinya lenturan, balok juga menahan gaya geser. Dalam konsep beton bertulang,

apabila gaya geser yang bekerja sangat besar sehingga beton tidak mampu

menahanya, maka diperlukan tulangan tambahan untuk dapat menahan gaya yang

tejadi.

Tegangan geser dan lentur akan timbul disepanjang komponen struktur

tempat bekerjanya gaya geser dan momen lentur. Terjadinya lentur ditahan oleh

tulangan longitudinal, sedangkan untuk gaya geser, ditahan oleh tulangan tambahan

berupa sengkang. Adapun mekanisme perlawanan geser sebagai berikut:

a. Adanya perlawanan geser beton sebelum terjadi retak.

b. Adanya gaya ikatan antar agregat

c. Timbulya aksi pasak tulangan longitudinal sebagai perlawanan terhadap

gaya transversal yang harus ditahan.

d. Terjadinya perlengkungan pada balok yang relatif tinggi.

e. Adanya perlawanan penulangan geser yang berupa sengkang vertikal

ataupun miring (untuk balok bertulangan geser).

6. Gaya Normal

Gaya normal merupakan gaya yang sejajar sumbu bagian konstruksi yang

ditinjau. Pada stuktur bangunan, yang mengalami gaya normal atau aksial paling

besar adalah kolom. Pada kolom gaya aksial sangat dominan sehingga keruntuhan

sangat sulit dihindari. Apabila beban ditambah, maka retak akan terjadi diseluruh

(27)

keruntuhan dan tekuk (buckling) yang ditandai dengan lepas atau hancurnya selimut

beton kemudian diikuti dengan lelehnya tulangan baja. Untuk mencegah terjadinya

keruntuhan dan buckling, kolom diusahakan tidak terlalu panjang/tinggi dan

penulangan kolom harus sangat diperhatikan, baik tulangan memanjang, maupun

sengkangnya.

7. Lendutan

Komponen struktur beton bertulang yang mengalami lentur harus

direncanakan agar mempunyai kekakuan yang cukup untuk membatasi lendutan atau

deformasi apapun yang dapat memperlemah kekuatan ataupun mengurangi

kemampuan layan struktur pada beban kerja.

Besar lendutan yang terjadi dapat diatasi dengan meningkatkan inersia

tampang tersebut. Untuk konstruksi dua arah, semua lendutan yang dihitung dengan

menggunakan formula standar atau cara lain tidak boleh melebihi nilai lendutan izin

maksimum yang ditetapkan dalam SNI 03-2847-2002.

Rumus-rumus standar untuk untuk perhitungan lendutan diberikan dalam

buku-buku mekanika teknik. Rumus lendutan δ untuk tengah-tengah bentang sebuah

balok tertumpu bebas dengan panjang l dan EI konstan, serta letak beban terpusat

ditengah bentang adalah

(28)

Untuk balok yang mendapatkan beban terbagi rata sepanjang balok, lendutan

di tengah-tengah bentang adalah

Sedangkan lendutan dari pelat pada umumnya dapat dihitung dengan rumus

sebagai berikut :

(29)

2.2 Konsep Perencanaan Terhadap Gaya Gempa

2.2.1 Sejarah Penggunaan Gaya Horizontal Akibat adanya Gempa

Ketika gempa bumi terjadi tanah akan bergetar dan bangunan akan

bergoyang-goyang. Setelah mengalami sejarah yang panjang, goyangan massa

bangunan kemudian dianalogikan sebagai akibat dari adanya beban horizontal

dinamik yang bekerja pada massa bangunan yang bersangkutan. Hal ini seperti yang

disajikan pada Gambar 2.1. Prinsip ini sudah diketahui sejak awal abad ke-20

tepatnya setelah gempa San Fransisco USA (1906) dan gempa Messina-Regio Italia

(1908).

Pada saat itu efek beban dinamik pada struktur bangunan belum sepenuhnya

dikuasai, terutama secara analitik. Suatu komisi yang terdiri para ahli yang bertugas

mempelajari perilaku bangunan gedung tahan gempa yang pada akhirnya

menghasilkan dua rekomendasi yang berbeda yaitu bangunan diisolasi terhadap

tanah dengan dukungan roll sementara rekomendasi yang lain bangunan disatukan

secara rigid dengan fondasi,yang pada akhirnya rekomendasi kedua inilah yang

diambil sebagai keputusan akhir. Efek beban dinamik terhadap bangunan kemudian

disederhanakan yaitu menjadi beban ekivalen statik yang bekerja pada massa

bangunan yang bersangkutan. Kemudian pada tahun 1909 disetujui bahwa suatu

bangunan harus didisain dengan beban horisontal paling tidak dari berat total

(30)

a). Struktur SDOF dengan beban gempa b). Struktur yang bergoyang

c). Beban horizontal ekuivalen

Gambar 2.2 Representasi Beban Horizontal Akibat Gempa Bumi.

2.2.2 Analisis Beban Statik Ekivalen

Perkembangan beban yang berkaitan dengan gempa bumi terus mengalami

banyak perubahan, setelah itu pula banyak gempa besar terjadi misalnya gempa El

Centro 1994, gempa Taft 1952, gempa Perlu 1940, gempa Chile 1943, yang

mendorong untuk memperbaiki konsep beban horisontal akibat gempa. Beban

ekivalen statik ini mempunyai karakter yang berbeda dengan beban statik. Intensitas

(31)

berdasarkan nilai ratarata maksimum. Karakter-karakter tersebut berbeda pada beban

ekivalen statik.

Beban ekivalen statik adalah suatu representasi dari beban gempa setelah

disederhanakan dan dimodifikasi, yang mana gaya inersia yang bekerja pada suatu

massa akibat gempa disederhanakan menjadi ekivalen beban statik. Jadi beban

ekivalen statik adalah beban yang equivalent dengan beban gempa yang membebani

bangunan dalam batas-batas tertentu sehingga tidak terjadi overstress pada bangunan

yang bersangkutan. Sedangkan untuk tujuan pembebanan yang lebih teliti guna

memperoleh jaminan yang lebih besar, maka harus dipakai konsep beban

yang lain, misalnya dengan cara dinamik analisis.

Bergetarnya bangunan akibat gempa kemudian disederhanakan seolah-olah

terdapat gaya horisontal yang bekerja pada massa bangunan. Apabila bangunan

mempunyai banyak massa maka terdapat banyak gaya horisontal yang

masing-masing bekerja pada massa-massa tersebut. Sesuai dengan prinsip keseimbangan

maka dapat dianalogikan seperti adanya gaya horisontal yang bekerja pada dasar

bangunan yang kemudian disebut Gaya Geser Dasar, V. Gaya geser dasar ini secara

keseluruhan membentuk keseimbangan dengan gaya horisontal yang bekerja pada

tiap-tiap massa bangunan tersebut.

Beban geser nominal, V yang bekerja pada bangunan menurut SNI

03-1726-2003 dapat dihitung dengan :

Dimana : V = Beban geser nominal static ekivalen

= Nilai faktor respon spectrum

(32)

= Berat total bangunan.

R = Faktor reduksi gempa

Dinamik karakteristik bangunan adalah massa, kekakuan dan redaman.

Dalam konsep ekivalen statik hanya massa yang diperhitungkan, dan inilah yang

menjadi perbedaan utama antara konsep statik dan konsep dinamik. Apabila terdapat

simpangan horisontal akibat gempa sebagaimana tampak pada Gambar 2.2.a, maka

simpangan horisontal y tersebut seolah-olah adalah akibat dari adanya gaya

horisontal H. Konsep adanya gaya horizontal H akibat gempa kemudian menjadi

lebih jelas pada stick model seperti pada Gambar 2.2.c. Pada gambar tersebut

terdapat keseimbangan antara gaya geser dasar V dengan gaya horisontal H yang

bekerja pada massa.

a). Struktur SDOF b). Gaya Geser c). Stick Model

Gambar 2.3 Gaya Geser Dasar.

Di setiap tempat lokal maupun global biasanya mempunyai kondisi geologi,

topografi dan kondisi tanah yang berbeda. Pada tempat-tempat tersebut juga

mempunyai frekuensi kejadian, mekanisme kejadian, ukuran gempa dan

kemungkinan daya rusak gempa yang berbeda-beda. Hal-hal tersebut adalah faktor

(33)

daerah tersebut akan mempunyai respon dan juga resiko gempa yang berbeda pula.

Faktor yang kedua adalah berhubungan dengan kondisi tanah setempat (tanah lokal).

Pengalaman dari beberapa kejadian gempa bumi menunjukkan bahwa kondisi tanah

lokalyang ditunjukkan oleh jenis, properti dan tebal lapisan tanah berpengaruh

terhadap respon tanah dan kerusakan bangunan. Jenis tanah menurut SNI

03-1726-2002 adalah tanah keras dan tanah lunak, yang kedua-duanya mempunyai definisi

yang jelas. Untuk semua daerah gempa, kedua jenis tanah tersebut akan berpengaruh

terhadap nilai koefisien gempa dasar C. Faktor ketiga yang mempengaruhi koefisien

gempa dasar C adalah periode getar T struktur. Dengan demikian untuk memperoleh

koefisien gempa dasar C umumnya terdapat tiga pertanyaan yang harus dijawab yaitu

dimana bangunan akan dibangun, jenis tanah dimana bangunan akan didirikan, dan

periode getar struktur.

Agar perencanaan struktur beton dapat dilakukan dengan cara yang sederhana

(analisis statis ekivalent) tanpa melakukan analisis yang rumit (analisis dynamis) dan

prilaku struktur diharapkan sangat baik bila dilanda gempa, maka tata letak struktur

sangat penting untuk diatur. Tentunya tidak ada suatu bentuk struktur yang sangat

ideal memenuhi semua syarat-syarat yang diijinkan tetapi beberapa pedoman dasar

dibawah ini dapat dipakai sebagai acuan dalam merencanakan tata letak struktur.

1. Bangunan harus mempunyai bentuk yang sederhana

2. Bentuk yang simetris

3. Tidak terlalu langsing baik pada denahnya maupun potongannya

4. Distribusi kekuatan sepanjang tinggi bangunan seragam dan menerus

(34)

6. Terbentuknya sendi plastis harus terjadi pada elemen-elemen horisontal

lebih dahulu dibandingkan dengan elemen vertikal.

2.2.3 Wilayah Gempa Indonesia

Indonesia merupakan zona patahan lempeng bumi, dimana lempeng tersebut

sering terjadi patahan, lipatan, yang mengakibatkan terjadinya getaran sehingga

menjadikan Indonesia daerah yang rawan gempa. Namun tidak semua daerah

Indonesia memiliki kekuatan getaran gempa yang sama. Oleh karena itu, di

Indonesia dibagi menjadi enam wilayah gempa, mulai dari wilayah yang gempa

paling rendah hingga wilayah gempa yang paling tinggi. Pembagian gempa menurut

SNI 03-1726-2003 adalah sebagai berikut:

(35)
(36)

2.2.4 Kondisi Tanah

Indonesia terletak pada daerah patahan aktif, akibat terjadnya patahan pada

lempeng bumi Indonesia menjadi kawasan yang rawan gempa. Tiap-tiap wilayah

gempa mempunyai spektrum respons sendiri-sendiri sebagaimana yang tampak pada

Gambar 2.4. Pada Gambar 2.4 tersebut terdapat 6 spektrum respon masing-masing

untuk tiap wilayah gempa. Tampak bahwa absis spektrum menunjukkan periode

getar struktur T dalam detik sedangkan ordinatnya merupakan nilai koefisien gempa

dasar C (tidak berdimensi). Pada setiap gambar tersebut juga tampak spektrum

respon untuk tanah keras, tanah sedang dan tanah lunak.

Berdasarkan SNI 03-1726-2003 jenis tanah ditetapkan sebagai Tanah Keras,

Tanah Sedang dan Tanah Lunak, apabila untuk lapisan setebal maksimum 30 m

paling atas dipenuhi syarat-syarat yang tercantum dalam Tabel dibawah ini.

(37)

Dimana untuk menentukan

Dengan : ti = tebal lapisan tanah ke-i

Ni = nilai hasil test penetrasi standart ke-i

Nilai N didapat dari tes penetrasi standar. Berbeda dengan Amerika Serikat

yang menggunakan SPT (Standart Penetration Test) untuk mendapatkan nilai

perlawanan tanah, di Indonesia percobaan SPT jarang digunakan, umumnya yang

digunakan adalah alat Sondir (Dutch Penetrometer Test), karena lebih sesui dengan

kondisi tanah di Indonesia dan juga hasilnya lebih dapat dipercaya. Untuk itu,

diperlukan adanya suatu konversi dari nilai hasil sondir ke N-SPT. Menurut prof.

weasley dalam bukunya yang berjudul mekanika tanah, dinyatakan bahwa nilai

N-SPT = qc/4, dimana qc = perlawanan penetrasi konus (nilai sondir), seperti pada

gambar berikut.

(38)

Berdasarkan SKBI-1.3.53.1987 menyebutkan bahwa untuk pemakaian

pedoman ini suatu struktur gedung harus dianggap berdiri di atas tanah bawah yang

lunak, apabila struktur gedung tersebut terletak di atas endapan-endapan tanah

dengan kedalaman-kedalaman yang melampaui nilai-nilai yang disebut dibawah ini :

a. Untuk tanah kohesif dengan kekuatan geser pada kadar air tetap rata-rata

tidak lebih dari 0,5 kg/cm2 : 6 m

b. Untuk setiap tempat dimana lapisan yang menutupinya terdiri dari tanah

kohesif dengan kekuatan geser pada kadar air tetap ratarata tidak lebih dari 1

kg/cm2 atau terdiri dari tanah butiran yang sangat padat : 9 m

c. Untuk tanah kohesif dengan kekuatan geser pada kadar air tetap rata-rata

tidak lebih dari 2 kg/cm2 : 12 m

d. Untuk tanah butiran terikat yang sangat padat : 20 m

Kedalaman harus diukur dari tingkat dimana tanah mulai memberikan

penjepitan lateral yang efektif kepada struktur gedung. Tanah bawah yang lebih

dangkal dari pembatasan-pembatasan di atas harus dianggap sebagai tanah keras.

Analisis beban statik ekivalen juga dipengaruhi atas beberapa faktor, yaitu sebagai

berikut :

1). Faktor Keutamaan Bangunan (I)

Setiap bangunan umumnya didirikan dengan maksud pemakaian tertentu.

Pada tiap-tiap jenis pemakaian, suatu bangunan harus mempunyai kemampuan

minimum untuk melindungi pemakainya. Mengingat hal tersebut, maka

pengamanan bangunan dengan cara mengurangi resiko terhadap kerusakan

bangunan merupakan sesuatu yang penting. Pengamanan bangunan tersebut

(39)

keutamaan bangunan I unutk berbagai jenis bangunan menurut SNI

03-1726-2003 adalah sebagai berikut:

Tabel 2.3 Faktor keutamaan I untuk berbagai kategori gedung dan bangunan

2). Faktor Reduksi Gempa (R)

Faktor reduksi gempa adalah untuk menjadikan beban gempa tersebut

menjadi beban gempa nominal sesuai dengan faktor daktalitas yang dipilih untuk

struktur bangunan tersebut. Adapun persamaan faktor reduksi gempa sebagai

berikut:

2,2 ≤ R = µ .

Dalam persamaan diatas, R = 2,2 adalah faktor reduksi gempa untuk

bangunan gedung yang berprilaku elastik, sedangkan adalah faktor reduksi

gempa maksimum yang terdapat dalam tabel 2.3.

Nilai ≈ 1,6

Dimana adalah faktor tahanan lebih beban dan bahan yang terkandung dalam

struktur bangunan gedung. Dan µ merupakan nilai faktor daktalitas struktur

bangunan gedung. Dalam perencanaan struktur bangunan gedung dapat dipilih

(40)

maksimum yang dapat dikerahkan oleh masing-masing sistem atau

(41)

Tabel 2.4 Faktor daktalitas maksimum, faktor reduksi gempa maksimum dan faktor

(42)

2.2.5 Analisis Dinamik

Untuk gedung yang tidak beraturan dan bertingkat banyak, digunakan

perencanaan analisis dinamik, Banyak metode yang digunakan dalam perencanaan

struktur gedung dalam analisis dinamik, diantarnya adalah :

1. Analisis Ragam Spektrum respons

Pada metode analisis ini kita menggunakan spectrum respons gempa

rencana sebagai dasar untuk menetukan responsnya. dalam hal ini, analisis

respons spektrum hanya dipakai unutk menentukan gaya geser tingkat

nominal dinamik akibat pengaruh gempa rencana. Gaya-gaya internal dalam

unsur struktur gedung didapat dari analisis 3 dimensi biasa berdasarkan

beban-beban gempa statik ekuivalen.

2. Analisis Respons Dinamik Riwayat Waktu

Dalam analisis ini, faktor I adalah untuk memperhitungkan kategori

gedung yang ada, sedangkan faktor R adalah untuk menjadikan pembebanan

gempa tersebut menjadi pembebanan gempa nominal. Yang lebih ditekankan

pada percepatan tanah yang disimulasikan sebagai gerakan gempa.

2.2.6 Eksentrisitas rencana

Pusat massa lantai tingkat suatu struktur merupakan titik tangkap resultan

beban-beban yang bekerja pada lantai tingkat struktur tesebut. Pusat rotasi lantai

tingkat suatu struktur adalah suatu titik pada lantai tingkat tersebut yang bila terjadi

gaya horizontal, gaya tersebut tidak berotasi tetapi hanya bertranslasi.

Antara pusat massa dan pusat rotasi lantai tingkat harus ditinjau suatu

(43)

pada lantai tingkat itu diukur tegak lurus arah pembebanan gempa, dinyatakan

dengan b, maka eksentrisitas rencana ed harus ditentukan sebagai berikut :

1. Untuk 0 < e ≤ 0,3 b

ed = 1,5 e + 0,005 b

atau

ed = e – 0,05 b

dan pilih diantara keduanya yang pengaruhnya paling menentukan untuk

unsure subsistem struktur gedung yang ditinjau.

2. Untuk e > 0,3 b

ed = 1,33 e + 0,1 b

atau

ed = 1,17 e – 0,1 b

serta pilih diantara keduanya yang pengaruhnya paling menentukan untuk unsure

subsistem struktur gedung yang ditinjau.

2.3 Konsep Strong Column Weak Beam

Dalam perencanaan struktur beban di daerah gempa perencanaan Limit States

designnya disebut capacity design yang berarti bahwa ragam keruntuhan struktur

akibat beban gempa yang besar ditentukan lebih dahulu dengan elemen-elemen

kritisnya dipilih sedemikian rupa agar mekanisme keruntuhannnya dapat

memencarkan energi yang sebesar-besarnya.

Agar elemen-elemen kritis dapat dijamin pembentukannya secara sempurna

(44)

dibandingkan elemen-elemen kritis. Salah satu filsafat yang dikenal dalam

perencanaan capacity disebut Strong Column Weak Beam atau kolom kuat balok

lemah.

Dalam SNI 03-1726-2003 pasal 4.5 dijelaskan bahwa struktur bangunan

gedung berdaktalitas penuh harus memenuhi persyaratan kolom kuat balok lemah.

Artinya ketika struktur bangunan gedung memikul pengaruh gempa rencana,

sendi-sendi plastis dalam strutur bangunan gedung tersebut harus terbentuk demikian dapat

dihindari terjadinya mekanisme tingkat (story mechanism). Implementasi persyaratan

ini didalam struktur beton dan strutur baja ditetapkan dalam standar beton dan

standar baja yang berlaku.

Join diantara batang-batang seperti pertemuan balok dengan kolom sangat

peka terhadap keretakan awal dibandingkan dengan batang-batang yang

didukungnya akibat kerusakan-kerusakan pada semua joinnya. Untuk menghindari

hal ini maka perencanaan join dilakukan dengan konsep desain kapasitas dan dua

mekanisme yang terjadi yakni strut mekanisme dan truss mekanisme diperhitungkan

dalam menahan kelebihan beban. Dalam peraturan-peraturan beton yang baru di

seluruh dunia belum ada kesepakatan dalam perencanaan. Kesepakatan yang belum

dapat disatukan adalah tentang ragam keruntuhan yang dapat diterima pada join

balok kolom. Ada yang mengharapkan join balok kolom tetap dalam keadaan elastis,

ada yang memperkenankan terjadinya kerusakan-kerusakan pada join balok kolom

asal perilakunya masih sangat daktail.

(45)

2.4 Pendetailan Kolom dan Balok yang Baik

Banyak ahli struktur mengatakan bahwa dalam perencanaan bangunan

didaerah gempa pendetailan struktur sama pentingnya dengan analisa struktur bahkan

lebih penting karena beban gempa itu sangat sulit diperkirakan dan dihitung

distribusi gayanya. Kerusakan-kerusakan yang terjadi akibat kurang baiknya

pendetailan adalah

a. Penampang kurang daktail

b. Kerusakan akibat penjangkaran yang kurang panjang

c. Strut dan Tie models yang tidak diperhitungkan dalam pendetailan

d. Tertekuknya tulangan kolom

Karena peranan daktilitas sangat besar pada kemampuan struktur untuk

memancarkan energi pada waktu terjadinya gempa besar maka pendetailan yang baik

sangat penting sekali dalam perencanaan struktur beton.

2.4.1 Pendetailan Balok

Menurut SNI 03-2847-2002 pasal 23.3(1) balok merupakan salah satu

komponen pemikul lentur, juga memikul beban gempa. Pada pendetailan ini

direncanakan untuk wilayah gempa 4, 5 dan 6. Adapun syarat-syarat yang harus

dipenuhi adalah:

a. Perbandingan lebar tinggi adalah 0,3 dan lebar balok harus lebih besar dari

250 mm dan tidak boleh lebih besar dari lebar kolom yang mendukungnya

ditambah ¾ kali tinggi balok.

b. Gaya aksial tekan terfaktor pada komponen struktur tidak boleh melebihi

(46)

c. Bentang bersih komponen struktur ≥ 4 d

d. Perbandingan lebar terhadap tinggi tidak boleh kurang dari 0,3

Adapun untuk penulangan longitudinal balok, persyaratan yang perlu diperhatikan

adalah:

1). Tulangan minimal harus sedikitnya dan pada tiap

potongan atas dan bawah, kecuali untuk komponen struktur yang besar dan

masif, luas tulangan yang diperlukan pada setiap penampang, positif atau

negatif, paling sedikit harus sepertiga lebih besar dari yang diperlukan

berdasarkan analisis.

2). Ratio tulangan ≤ 0,025.

3). Kekuatan momen positif dimuka kolom ≥ ½ k uat momen negative dimuka

kolom.

4). Sedikitnya dipasang 2 tulangan diatas dan bawah ditiap potongan secara

menerus.

5). Pemakaian tulangan geser miring sebaiknya dihindarkan.

6). Pemutusan penulangan harus didasarkan bahwa sendi plastis yang

direncanakan tempat terjadinya harus dijamin lokasinya sehingga tidak

menimbulkan penampang-penampang kritis baru, pemutusan semua

penulangan pada satu tempat sebaiknya dapat dihindarkan.

7). Sebaiknya untuk tulangan memanjang pada balok digunakan baja lunak

(47)

Untuk penulangan tranversal balok yang harus diperhatikan antara lain:

1) Perencanaan didaerah gempa 5 dan 6, dinajurkan unutk menggunakan

tulangan tertutup. Pada daerah hingga dua kali tinggi balok diukur dari muka

tumpuan ke arah tengah bentang, di kedua ujung komponen struktur lentur.

2) Sengkang tertutup pertama harus dipasang tidak lebih dari 50 mm dari muka

tumpuan. Jarak maksimum antara sengkang tertutup tidak boleh melebihi

(a) d/4,

(b) delapan kali diameter terkecil tulangan memanjang,

(c) 24 kali diameter batang tulangan sengkang tertutup, dan

(d) 300 mm.

3) Tulangan tranversal harus dipasang unutk menahan gaya geser.

4) Pada daerah yang tidak memerlukan sengkang tertutup, sengkang dengan kait

gempa pada kedua ujungnya harus dipasang dengan spasi tidak lebih dari d/2

di sepanjang bentang komponen struktur ini.seperti gambar 2.6.

(48)

2.4.2 Pendetailan Kolom

1. Spasi maksimum sengkang ikat yang dipasang pada rentang dari muka

hubungan

balok-kolom adalah . Spasi tersebut tidak boleh melebihi:

a. Delapan kali diameter tulangan longitudinal terkecil,

b. 24 kali diameter sengkang ikat,

c. Setengah dimensi penampang terkecil komponen struktur, dan

d. 300 mm.

Panjang l 0 tidak boleh kurang daripada nilai terbesar berikut ini:

a. Seperenam tinggi bersih kolom,

b. Dimensi terbesar penampang kolom, dan

c. 500 mm.

2. Sengkang ikat pertama harus dipasang pada jarak tidak lebih daripada 0,5

dari muka

hubungan balok-kolom.

3. Tulangan hubungan balok-kolom harus memenuhi 13.11(2). Yaitu pada

sambungan-sambungan elemen portal ke kolom harus disediakan tulangan

lateral dengan luas tidak kurang daripada yang disyaratkan dalam persamaan

berikut dan dipasang didalam kolom sejauh tidak kurang

daripada tinggi bagian sambungan paling tinggi dari elemen portal yang

disambung, kecuali untuk sambungan yang bukan merupakan bagian dari

sistem utama penahan beban gempa, yang dikekang pada keempat sisinya

(49)

4. Spasi sengkang ikat pada sebarang penampang kolom tidak boleh melebihi

2 .

2.4.3 Penulangan Daktilitas pada Kolom

Konsep daktilitas struktur adalah kemampuan suatu gedung utnk mengalami

simpangan pasca-elastik yang besar secara berulang kali dan bolak-balik akibat

gempa hingga terjadinya pelelehan pertama, sambil mempertahankan kekuatan dan

kekakuan yang cukup sehingga struktur masih dapat berdiri walaupun telah

diambang keruntuhan. Untuk mendapatkan konsep daktilitas pada struktur,

elemen-elemen struktur tersebut harus didesain secara khusus. Adapun persyaratan

penulangan daktilitas pada kolom pada SNI beton 2002 pasal 23.4 :

1. Jumlah tulangan tranversal harus dipenuhi berdasarkan :

a. Rasio volumetrik tulangan spiral atau sengkang cincin, dimana :

ρs > 0.45 atau 0,12

b. Luas total penampang sengkang tertutup persegi tidak boleh kurang dari :

Ash = 0,3 ( shc f’c / f yh ) [( Ag / Ach )-1] dan

Ash = 0,09 ( shc f’c / f yh )

c. Tulangan tranversal harus berupa sengkang tunggal atau tumpuk.

Tulangan pengikat silang dengan diameter dan spasi yang sama dengan

diameter dan spasi sengkang tertutup boleh digunakan. Tiap ujung

tulangan pengikat silang harus terkait pada tulangan longitudinal terluar.

Pengikat silang yang berurutan harus ditempatkan secara berselang-seling

(50)

d. Bila kuat rencana pada bagian inti komponen struktur telah memenuhi

ketentuan kombinasi pembebanan termasuk pengaruh gempa maka

persamaan Ash = 0,3 ( shc f’c / f yh ) [( Ag / Ach )] tidak perlu diperhatikan.

e. Bila tebal selimut beton di luar tulangan tranversal pengekang melebihi

100mm, tulangan tranversal tambahan perlu dipasang dengan spasi tidak

melebihi 300 mm. tebal selimut di luar tulangan tranversal tambahan

tidak boleh melebihi 100 mm.

Gambar 2.6 Contoh penulangan daktilitas pada kolom.

2. Tulangan tranversal harus diletakkan dengan spasi lebih daripada :

a. ¼ dimensi terkecil komponen struktur

b. 6 x diameter tulangan utama

c. Sx = 100 +

(51)

3. Tulangan pengikat silang tidak boleh dipasang dengan spasi lebih dari 350

mm dari sumbu ke sumbu dalam arah tegak lurus sumbu komponen struktur.

4. Tulangan tranversal yang sesuai dengan diatas harus dipasang sepanjang lo

(panjang minimum diukur dari muka join sepanjang sumbu komponen

struktur., dimana harus disediakan tulangan tranversal) pada kedua sisi dari

setiap penampang yang berpotensi membentuk leleh lentur akibat deformasi

lateral inelastik struktur rangka. Panjang lo ditentukan tidak kurang dari :

a. Tinggi penampang komponen struktur pada muka hubungan balok kolom

atau pada segmen yang berpotensi membentuk leleh lentur.

b. 1/6 bentang bersih komponen struktur.

c. 500 mm.

5. Bila gaya-gaya aksial terfaktor pada kolom akibat beban gempa melampaui

Ag f’c / 10 dan gaya-gaya aksial tersebut berasal dari komponen struktur

lainnya yang sangat kaku yang didukungnya, misalnya dinding. Maka kolom

tersebut harus diberi tulangan tranversal sejumlah yang ditentukan diatas

pada seluruh tinggi kolom.

6. Bila tulangan tranversal yang ditentukan diatas tidak dipasang diseluruh

panjang kolom maka pada dearah sisanya harus dipasang tulangan spiral atau

sengkang tertutup dengan spasi sumbu ke sumbu tidak lebih darpada nilai

(52)

2.5 Metode analisis Struktur

Analisis dan pemodelan struktur dilakukan dengan menggunakan bantuan

software analisa struktur secara tiga dimensi.

Langkah-langkah analisis struktur adalah sebagai berikut :

1. Perhitungan pembebanan menurut ketentuan dari SK SNI 03-2847-2002 dan SNI

03-1726-2003 serta Pedoman Perencanaan Pembebanan Untuk Rumah dan

Gedung 1987.

2. Perhitungan mekanika struktur akibat adanya kombinasi beban-beban yang

bekerja pada struktur, yang meliputi beban mati, beban hidup, beban gempa,

beban angin beserta kombinasinya, dengan menggunakan software analisa

struktur.

3. Output software analisa struktur yang meliputi gaya lentur, gaya geser, dan gaya

(53)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Pekerjaan Lapangan (Field Investigation)

Metode penelitian dilapangan dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya

adalah dengan pengukuran struktur bangunan secara menyeluruh. Pengukuran yang

dilakukan harus teliti agar mendapatkan data yang tepat dan akurat. Selain dengan

cara pengukuran, penyusun juga mendapatkan gambar layout struktur bangunan

plaza andalas.

Gambar 3.1 Pengukuran dimensi kolom

(54)

1. Ukuran bangunan

2. Dimensi kolom

3. Dimensi balok

4. Luasan tulangan

5. Tebal plat

Data-data diatas akan dipergunakan sebagai input pada pemodelan program

analisa struktur.

3.2 Hasil penyelidikan Data Lapangan

3.2.1 Ukuran Bangunan

Ukuran bangunan sangat diperlukan untuk input data pada pekerjaan analisa.

Ukuran bangunan seperti yang terlihat dilampiran. Dari layout struktur yang ada,

didapat data sebagai berikut :

1. Ukuran melintang bangunan : 184 m

2. Ukuran memanjang bangunan : 44 m

3. Ketinggian bangunan : 18,45 m

4. Jumlah lantai : 5 lantai

5. Ketinggian setiap lantai : -. Semi basement = 3,35 m

-. Lantai 1 = 5 m

-. Lantai 2, 3, 4 = 4.5 m

(55)

Pada kolom data yang didapat berupa dimensi kolom, jarak as ke as kolom,

keadaan tulangan kolom, luas tulangan, kerusakan yang terjadi di kolom. Kerusakan

kolom terutama terjadi dilantai 4, seperti yang terlihat digambar dibawah ini.

(56)

Gambar 3.3 kerusakan yang terjadi pada kolom

(57)

No

Data dan Jenis Kolom Keterangan Gambar

1. Kolom semi basement

a. K1.0 (65x65) dengan detail tulangan:

Tulangan utama 16 Ø 25 sedangkan untuk

tulangan sengkang pada daerah tumpuan

D10-10 dan pada daerah lapangan DD10-10-20 serta

terdapat tulangan kait D10-20. Kolom ini

berjumlah 62 buah, yang terletak pada elevasi

- 3,60 m.

b. K2.0 (65x65) dengan detail tulangan :

Tulangan utama 16 Ø 25 sedangkan untuk

tulangan sengkang pada daerah tumpuan

D10-10 dan pada daerah lapangan DD10-10-20 serta

terdapat tulangan kait D10-20. Kolom ini

berjumlah 85 buah, yang terletak pada elevasi

- 3,60 m.

c. K3.0 (50x50) dengan detail tulangan :

Tulangan utama 18 Ø 19 sedangkan untuk

tulangan sengkang pada daerah tumpuan

D10-10 dan pada daerah lapangan DD10-10-20 serta

terdapat tulangan kait D10-20. Kolom ini

berjumlah 8 buah, yang terletak pada elevasi

- 1,45 m.

(58)

2.

Tulangan utama 28 Ø 19 sedangkan untuk

tulangan sengkang pada daerah tumpuan

D10-10 dan pada daerah lapangan DD10-10-20 serta

terdapat tulangan kait D10-20. Kolom ini

berjumlah 12 buah, yang terletak pada elevasi

- 1,45 m.

Kolom Lantai 1

a. K1.1 (60x60) dengan detail tulangan :

Tulangan utama 24 Ø 19 sedangkan untuk

tulangan sengkang pada daerah tumpuan

D10-10 dan pada daerah lapangan DD10-10-20 serta

terdapat tulangan kait D10-20. Kolom ini

berjumlah 62 buah, yang terletak pada elevasi -

0,05 s/d +4,95 m.

b. K2.1 (60x60) dengan detail tulangan :

Tulangan utama 24 Ø 19 sedangkan untuk

tulangan sengkang pada daerah tumpuan

D10-10 dan pada daerah lapangan DD10-10-20 serta

terdapat tulangan kait D10-20. Kolom ini

berjumlah 85 buah, yang terletak pada elevasi -

0,05 s/d +4,95 m.

c. K3.1 (50x50) dengan detail tulangan :

(59)

3.

tulangan sengkang pada daerah tumpuan

D10-10 dan pada daerah lapangan DD10-10-20 serta

terdapat tulangan kait D10-20. Kolom ini

berjumlah 8 buah, yang terletak pada elevasi -

0,05 s/d +4,95 m.

d. K4.1 (50x50) dengan detail tulangan :

Tulangan utama 26 Ø 19 sedangkan untuk

tulangan sengkang pada daerah tumpuan

D10-10 dan pada daerah lapangan DD10-10-20 serta

terdapat tulangan kait D10-20. Kolom ini

berjumlah 8 buah, yang terletak pada elevasi -

0,05 s/d +4,95 m.

Kolom Lantai 3

a. K1.2 (60x60) dengan detail tulangan :

Tulangan utama 20 Ø 19 sedangkan untuk

tulangan sengkang pada daerah tumpuan

D10-10 dan pada daerah lapangan DD10-10-20 serta

terdapat tulangan kait D10-20. Kolom ini

berjumlah 62 buah, yang terletak pada elevasi

+4,95 s/d +9,45 m.

b. K2.2 (60x60) dengan detail tulangan :

Tulangan utama 20 Ø 19 sedangkan untuk

(60)

D10-4.

10 dan pada daerah lapangan D10-20 serta

terdapat tulangan kait D10-20. Kolom ini

berjumlah 85 buah, yang terletak pada elevasi

+4,95 s/d +9,45 m.

c. K3.2 (50x50) dengan detail tulangan :

Tulangan utama 14 Ø 19 sedangkan untuk

tulangan sengkang pada daerah tumpuan

D10-10 dan pada daerah lapangan DD10-10-20 serta

terdapat tulangan kait D10-20. Kolom ini

berjumlah 8 buah, yang teletak pada elevasi

+4,95 s/d +9,45 m.

d. K4.2 (50x50) dengan detail tulangan :

Tulangan utama 20 Ø 19 sedangkan untuk

tulangan sengkang pada daerah tumpuan

D10-10 dan pada daerah lapangan DD10-10-20 serta

terdapat tulangan kait D10-20. Kolom ini

berjumlah 12 buah, yang terletak pada elevasi

+4,95 s/d +9,45 m.

Kolom Lantai 3

a. K1.3 (50x50) dengan detail tulangan :

Tulangan utama 20 Ø 19 sedangkan untuk

tulangan sengkang pada daerah tumpuan

(61)

terdapat tulangan kait D10-20. Kolom ini

berjumlah 62 buah yang terletak pada elevasi

+9.45 s/d +13,95 m.

b. K2.3 (50x50)

Tulangan utama 16 Ø 19 sedangkan untuk

tulangan sengkang pada daerah tumpuan

D10-10 dan pada daerah lapangan DD10-10-20 serta

terdapat tulangan kait D10-20. Kolom ini

berjumlah 85 buah yang terletak pada elevasi

+9.45 s/d +13,95 m.

c. K.3.3 (40x40)

Tulangan utama 12 Ø 19 sedangkan untuk

tulangan sengkang pada daerah tumpuan

D10-10 dan pada daerah lapangan DD10-10-20 serta

terdapat tulangan kait D10-20. Kolom ini

berjumlah 8 buah yang terletak pada elevasi

+9.45 s/d +13,95 m.

d. K4.3 (40x40)

Tulangan utama 16 Ø 19 sedangkan untuk

tulangan sengkang pada daerah tumpuan

D10-10 dan pada daerah lapangan DD10-10-20 serta

terdapat tulangan kait D10-20. Kolom ini

berjumlah 12 buah yang terletak pada elevasi

(62)

5. Kolom Lantai 4

a. K1.4 (50x50)

Tulangan utama 16 Ø 19 sedangkan untuk

tulangan sengkang pada daerah tumpuan

D10-10 dan pada daerah lapangan DD10-10-20 serta

terdapat tulangan kait D10-20. Kolom ini

berjumlah 28 buah yang terletak pada elevasi

+13,95 s/d +18,45m.

b. K.3.4 (40x40)

Tulangan utama 10 Ø 19 sedangkan untuk

tulangan sengkang pada daerah tumpuan

D10-10 dan pada daerah lapangan DD10-10-20 serta

terdapat tulangan kait D10-20. Kolom ini

berjumlah 8 buah yang terletak pada elevasi

+13,95 s/d +18,45m.

c. K4.4 (40x40)

Tulangan utama 12 Ø 19 sedangkan untuk

tulangan sengkang pada daerah tumpuan

D10-10 dan pada daerah lapangan DD10-10-20 serta

terdapat tulangan kait D10-20. Kolom ini

berjumlah 12 buah yang terletak pada elevasi

+13,95 s/d +18,45m.

(63)

Tulangan utama 8 Ø 16 sedangkan untuk

tulangan sengkang pada daerah tumpuan

D10-10 dan pada daerah lapangan DD10-10-20 serta

terdapat tulangan kait D10-20. Kolom ini

berjumlah 119 buah yang terletak pada elevasi

+13,95 s/d +18,45m.

e. K6.4 (20x20)

Tulangan utama 4 Ø 12 sedangkan untuk

tulangan sengkang pada daerah tumpuan

D10-10 dan pada daerah lapangan D8-20 serta

terdapat tulangan kait D8-20. Kolom ini

berjumlah 52 buah yang terletak pada elevasi

+13,95 s/d +18,45m.

3.2.3 Balok

(64)

keadaan tulangan balok, luas tulangan, kerusakan yang terjadi di balok. Kerusakan

balok terutama terjadi dilantai 4, seperti yang terlihat digambar dibawah ini.

Gambar 3.4 kerusakan yang terjadi pada balok

Adapun data balok yang didapat adalah sebagai berikut:

No Data dan Jenis Balok Keterangan Gambar

1. Balok Lantai 1

a. B.1 (40x65)

Balok B.1 berdimensi 40 x 65 cm. Untuk daerah

tumpuan, pada tulangan atas dipasang tulangan

rangkap 7 Ø 25, pada tulangan bawah 3 Ø 25 dan

tulangan sengkangnya D10-10. Untuk daerah

(65)

bawah dipasang tulangan rangkap 5 Ø 25 dan

tulangan sengkangnya D10-20 serta terdapat tulangan

peminggang 2 Ø 10 dengan selimut beton 3 cm.

b. B.1.A (20x65)

Balok B.1.A berdimensi 20 x 65 cm. Untuk daerah

tumpuan, pada tulangan atas dipasang tulangan

rangkap 6 Ø 16, pada tulangan bawah 3 Ø 16 dan

tulangan sengkangnya D10-15. Untuk daerah

lapangan, pada tulangan atas 3 Ø 16, pada tulangan

bawah diapsang tulangan rangkap 5 Ø 16 dan

tulangan sengkangnya D10-20 serta terdapat tulangan

peminggang 2 Ø 10 dengan selimut beton 3 cm.

c. B.2 (30x60)

Balok B.2 berdimensi 30 x 60 cm. Untuk daerah

tumpuan, pada tulangan atas dipasang tulangan

rangkap 6 Ø 19, pada tulangan bawah dipasang

tulangan tunggal 3 Ø 19 dan tulangan sengkangnya

D10-10. Untuk daerah lapangan, pada tulangan atas 2

Ø 19, pada tulangan bawah 4 Ø 19 dan tulangan

sengkangnya D10-20 serta terdapat tulangan

peminggang 2 Ø 10 dengan selimut beton 3 cm.

d. B.3 (25x50)

(66)

tumpuan, pada tulangan atas dipasang tulangan

rangkap 5 Ø 19, pada tulangan bawah dipasang

tulangan tunggal 2 Ø 19 dan tulangan sengkangnya

D10-10. Untuk daerah lapangan, pada tulangan atas 2

Ø 19, pada tulangan bawah 3 Ø 19 dan tulangan

sengkangnya D10-20 serta terdapat tulangan

peminggang 2 Ø 10 dengan selimut beton 4 cm.

e. B.4 (20x40)

Balok B.4 berdimensi 20 x 40 cm. Untuk daerah

tumpuan, pada tulangan atas dipasang tulangan 3 Ø

19, pada tulangan bawah dipasang tulangan 2 Ø 19

dan tulangan sengkangnya D10-10. Untuk daerah

lapangan, pada tulangan atas 2 Ø 19, pada tulangan

bawah 3 Ø 19 dan tulangan sengkangnya D10-20

dengan selimut beton 4 cm.

f. B.5 (20x30)

Balok B.5 berdimensi 20 x 30 cm. Untuk daerah

tumpuan, pada tulangan atas dipasang tulangan 3 Ø

16, pada tulangan bawah dipasang tulangan tunggal 2

(67)

2.

daerah lapangan, pada tulangan atas 2 Ø 16, pada

tulangan bawah 4 Ø 16 dan tulangan sengkangnya

D10-20 dengan selimut beton 3 cm.

Balok Lantai 2

a. B.1 (40x65)

Balok B.1 berdimensi 40 x 65 cm. Untuk daerah

tumpuan, pada tulangan atas dipasang tulangan

rangkap 7 Ø 25, pada tulangan bawah 3 Ø 25 dan

tulangan sengkangnya D10-10. Untuk daerah

lapangan, pada tulangan atas 3 Ø 25, pada tulangan

bawah dipasang tulangan rangkap 5 Ø 25 dan

tulangan sengkangnya D10-20 serta terdapat tulangan

peminggang 2 Ø 10 dengan selimut beton 3 cm.

b. B.2 (30x30)

Balok B.2 berdimensi 30 x 60 cm. Untuk daerah

tumpuan, pada tulangan atas dipasang tulangan

rangkap 6 Ø 19, pada tulangan bawah dipasang

tulangan tunggal 3 Ø 19 dan tulangan sengkangnya

D10-10. Untuk daerah lapangan, pada tulangan atas 2

Ø 19, pada tulangan bawah 4 Ø 19 dan tulangan

sengkangnya D10-20 serta terdapat tulangan

peminggang 2 Ø 10 dengan selimut beton 3 cm.

(68)

Balok B.3 berdimensi 25 x 50 cm. Untuk daerah

tumpuan, pada tulangan atas dipasang tulangan

rangkap 5 Ø 19, pada tulangan bawah dipasang

tulangan tunggal 2 Ø 19 dan tulangan sengkangnya

D10-10. Untuk daerah lapangan, pada tulangan atas 2

Ø 19, pada tulangan bawah 3 Ø 19 dan tulangan

sengkangnya D10-20 serta terdapat tulangan

peminggang 2 Ø 10 dengan selimut beton 4 cm.

d. B.4 (20x40)

Balok B.4 berdimensi 20 x 40 cm. Untuk daerah

tumpuan, pada tulangan atas dipasang tulangan 3 Ø

19, pada tulangan bawah dipasang tulangan 2 Ø 19

dan tulangan sengkangnya D10-10. Untuk daerah

lapangan, pada tulangan atas 2 Ø 19, pada tulangan

bawah 3 Ø 19 dan tulangan sengkangnya D10-20

dengan selimut beton 4 cm.

e. L.P (13x85)

Balok listplank berdimensi 13 x 85 cm. Untuk daerah

tumpuan, pada tulangan atas dipasangkan tulangan

rangkap 5 Ø 16, pada tulangan bawah dipasangkan

tulangan 2 Ø 16 dan tulangan sengkangnya D8-10.

Untuk daerah lapangan, pada tulangan atas 2 Ø 16,

pada tulangan bawahdipasang tulangan rangkap 4 Ø

(69)

3.

beton 3 cm.

Balok Lantai 3

a. B.1 (40x65)

Balok B.1 berdimensi 40 x 65 cm. Untuk daerah

tumpuan, pada tulangan atas dipasang tulangan

rangkap 7 Ø 25, pada tulangan bawah 3 Ø 25 dan

tulangan sengkangnya D10-10. Untuk daerah

lapangan, pada tulangan atas 3 Ø 25, pada tulangan

bawah dipasang tulangan rangkap 5 Ø 25 dan

tulangan sengkangnya D10-20 serta terdapat tulangan

peminggang 2 Ø 10 dengan selimut beton 3 cm.

b. B.2 (30x60)

Balok B.2 berdimensi 30 x 60 cm. Untuk daerah

tumpuan, pada tulangan atas dipasang tulangan

rangkap 6 Ø 19, pada tulangan bawah dipasang

tulangan tunggal 3 Ø 19 dan tulangan sengkangnya

D10-10. Untuk daerah lapangan, pada tulangan atas 2

Ø 19, pada tulangan bawah 4 Ø 19 dan tulangan

sengkangnya D10-20 serta terdapat tulangan

(70)

c. B.3 (25x50)

Balok B.3 berdimensi 25 x 50 cm. Untuk daerah

tumpuan, pada tulangan atas dipasang tulangan

rangkap 5 Ø 19, pada tulangan bawah dipasang

tulangan tunggal 2 Ø 19 dan tulangan sengkangnya

D10-10. Untuk daerah lapangan, pada tulangan atas 2

Ø 19, pada tulangan bawah 3 Ø 19 dan tulangan

sengkangnya D10-20 serta terdapat tulangan

peminggang 2 Ø 10 dengan selimut beton 4 cm.

d. B.4 (20x40)

Balok B.4 berdimensi 20 x 40 cm. Untuk daerah

tumpuan, pada tulangan atas dipasang tulangan 3 Ø

19, pada tulangan bawah dipasang tulangan 2 Ø 19

dan tulangan sengkangnya D10-10. Untuk daerah

lapangan, pada tulangan atas 2 Ø 19, pada tulangan

bawah 3 Ø 19 dan tulangan sengkangnya D10-20

dengan selimut beton 4 cm.

e. L.P (13x85)

Balok listplank berdimensi 13 x 85 cm. Untuk daerah

Gambar

Gambar 2.4 Pembagian wilayah gempa indonesia
Grafik 2.1 Respon Spektrum Gempa Rencana
gambar berikut.
Gambar 2.6 Contoh penulangan daktilitas pada kolom.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini terlihat pada tujuan multikulturalisme, yaitu pertama, perekat sosial ( social cohesion ), yang bertujuan agar aneka kelompok dapat berinteraksi dengan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat keaktifan siswa kelas XII dalam mengikuti kegiatan keagamaan di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Luragung, tingkat

I n small-group problem-based learning (PBL), students work cooperatively to solve complex, real-world problems. The problems lea d the students to learn basic concepts rather

Penurunan nilai pH ini sejalan dengan penelitian sebelumnya oleh Hidayat, dkk., (2013) yang mengatakan bahwa pembentukan asam laktat menyebabkan peningkatan keasaman dan penurunan

Dalam modifikasinya kita kita menggunakan volume larutan dan jumlah bahan kimia, dengan konsentrasi sebagai faktor konversi. Misal: reaksi yang digunakan secara komersial

Untuk bilangan 0,646464… jika dinyatakan dalam pecahan biasa adalah …a. Bentuk persamaan yang dapat dikembangkan menjadi

PT Dash. Karena pembagian kerja itu sendiri merupakan suatu tindakan yang memberikan tugas kepada karyawan bagian akuntansi diluar dari kemampuan mereka dan juga ada

(2) penilaian autentik pada aspek proyek dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi yang diajarkan, siswa diarahkan untuk mengkonstruksi berbagai pengetahuan yang dimiliki