ANALISIS TATANIAGA BAWANG MERAH
(Kasus di Kelurahan Brebes, Kecamatan Brebes,
Kabupaten Brebes)
SKRIPSI
ANITA DWI SATYA WACANA H34070045
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
RINGKASAN
ANITA DWI SATYA WACANA. Analisis Tataniaga Bawang Merah (Kasus di Kelurahan Brebes, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes). Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan JUNIAR ATMAKUSUMA).
Bawang merah merupakan salah satu komoditas sayuran yang tumbuh dengan baik di dataran rendah. Meskipun komoditas ini bukan merupakan kebutuhan pokok, namun hampir selalu dibutuhkan oleh konsumen rumah tangga sebagai pelengkap bumbu masak sehari-hari. Bawang merah merupakan salah satu komoditas hortikultura yang merupakan anggota Allium yang paling banyak diusahakan dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi.
Tingkat permintaan dan kebutuhan bawang merah yang tinggi menjadikan komoditas ini sangat menguntungkan untuk diusahakan. Konsumsi bawang merah penduduk Indonesia per kapita per tahun mencapai 4,56 kilogram atau 0,38 kilogram per kapita per bulan. Oleh karena itu permintaan bawang merah akan terus meningkat dengan perkiraan 5 persen per tahun sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk Indonesia.
Di Indonesia, daerah sentra produksi bawang merah adalah Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten Brebes merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yang memiliki total lahan terbesar yang diusahakan untuk komoditas bawang merah. Kabupaten Brebes menyuplai sekitar 75 persen kebutuhan bawang merah di Provinsi Jawa Tengah dan 23 persen kebutuhan bawang merah nasional. Tujuan dari penelitian ini antara lain : (1) Menganalisis sistem dan pola saluran pemasaran bawang merah di Kelurahan Brebes, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes, (2) Menganalisis fungsi lembaga pemasaran serta struktur, dan perilaku pasar dalam kegiatan tataniaga komoditas bawang merah, (3) Menganalisis efisiensi saluran pemasaran bawang merah di Kelurahan Brebes, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes dilihat dari margin pemasaran, farmer’s share dan rasio keuntungan terhadap biaya.
sampel terdiri dari sepuluh orang pedagang pengumpul, empat orang pedagang pengirim, lima orang pedagang besar, dan enam orang pedagang pengecer.
Pola saluran pemasaran bawang merah di Kelurahan Brebes terdiri dari empat saluran pemasaran, yaitu pola saluran pemasaran I : petani → pedagang pengumpul → pedagang pengirim → pedagang besar non lokal (Sumatra) → pedagang pengecer non lokal (Sumatra) → konsumen non lokal. Pola saluran pemasaran II : petani → pedagang pengumpul → pedagang pengirim → pedagang besar non lokal (Jawa) → pedagang pengecer non lokal (Jawa) → konsumen non lokal. Pola saluran pemasaran III petani → pedagang besar lokal → pedagang pengecer lokal → konsumen lokal. Pola saluran pemasaran IV petani → pedagang pengecer lokal → konsumen lokal.
Masing-masing lembaga pemasaran yang berada di Kelurahan Brebes memiliki fungsi sesuai dengan peran dan kebutuhannya. Struktur pasar yang dihadapi oleh petani bersifat pasar persaingan sempurna, struktur pasar yang dihadapi pedagang pengumpul dan pedagang pengirim lebih mengarah kepada pasar oligopoli. Struktur pasar yang dihadapi oleh pedagang besar bersifat oligopoli. Struktur pasar yang dihadapi oleh pedagang pengecer adalah pasar persaingan monopolistik. Sistem penentuan harga yang terjadi baik di tingkat petani hingga di pedagang pengecer terjadi melalui proses tawar menawar hingga tercapai kesepakatan bersama. Pembayaran yang dilakukan oleh petani dan pedagang besar dilakukan dengan sistem pembayaran angsuran, sedangkan dari pedagang besar hingga ke pedagang pengecer, pembayaran dilakukan dengan sistem pembayaran tunai. Kerjasama yang dilakukan antar lembaga pemasaran baik di tingkat pedagang pengumpul, pedagang pengirim, pedagang besar dan pedagang pengecer berlangsung dengan baik dan telah dilakukan untuk waktu yang lama.
ANALISIS TATANIAGA BAWANG MERAH
(Kasus di Kelurahan Brebes, Kecamatan Brebes,
Kabupaten Brebes)
ANITA DWI SATYA WACANA H34070045
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Skripsi : Analisis Tataniaga Bawang Merah (Kasus di Kelurahan Brebes, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes)
Nama : Anita Dwi Satya Wacana
NRP : H34070045
Disetujui, Pembimbing
Ir. Juniar Atmakusuma, MS
NIP. 19530104 197903 2 001
Diketahui,
Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen
Institut Pertanian Bogor
Dr. Nunung Kusnadi, MS
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis Tataniaga Bawang Merah (Kasus di Kelurahan Brebes, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes)” adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi.
Bogor, Juni 2011
RIWAYAT HIDUP
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala berkah, rahmah dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Analisis Tataniaga Bawang Merah (Kasus di Kelurahan Brebes, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes)”. Shalawat serta salam tidak lupa penulis sampaikan kepada Rasulullah Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat dan umatnya.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sistem dan pola saluran pemasaran, fungsi lembaga pemasaran, struktur, dan perilaku pasar serta efisiensi saluran pemasaran bawang merah di Kelurahan Brebes, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes. Penulis menyadari, dalam menyelesaikan skripsi masih terdapat kekurangan karena keterbatasan dan kendala yang dihadapi. Namun diharapkan skripsi ini dapat menjadi masukkan dan bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
Bogor, Juni 2011
Anita Dwi Satya Wacana
UCAPAN TERIMA KASIH
Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT dan Rasulullah Muhammad SAW, penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada:
1. Ir. Juniar Atmakusuma, MS selaku dosen pembimbing skripsi atas arahan, waktu, bimbingan, solusi dan kesabaran yang telah diberikan selama penulis menyusun skripsi ini.
2. Dr. Ratna Winandi, MS selaku dosen penguji utama dan Arif Karyadi Uswandi, SP selaku dosen penguji departemen pada ujian sidang penulis yang telah meluangkan waktu serta memberikan kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini.
3. Ir. Joko Purwono yang telah menjadi pembimbing akademik dan seluruh dosen serta staf Departemen Agribisnis yang selalu memberikan saran, masukkan kepada penulis.
4. Pihak Kelurahan Brebes dan Kecamatan Brebes atas waktu, kesempatan, informasi dan dukungan yang diberikan.
5. Ketua dan staf Badan Pusat Statistik Kabupaten Brebes, petani dan pedagang responden, atas waktu, fikiran dan bantuannya dalam menyelesaikan tugas akhir ini.
6. Ayahanda R.S Basuki dan Ibunda Intan Nurcahya, abangku Rurys Setyawan, adikku Tomy Pasi Oktava yang selalu memberikan kasih sayang, dukungan, semangat, dan doa kepada penulis selama ini.
7. Akhyar Sulaiman Pattiradja atas panduan dan bantuannya dalam membantu penulis melakukan penelitian dan pencarian data primer di Kelurahan Brebes.
8. Bang Herry, Mbak Melani, Kineta, Tante Lutfiah dan keluarga atas bantuannya sebagai penerjemah selama penulis melakukan kegiatan pengumpulan data primer di Kelurahan Brebes.
10. Teman-teman Puri Sembilan, Sri, Ivon, Anis, Nella atas kehadirannya mendukung penulis dalam seminar skripsi dan ibu Yanti yang selalu memberikan dukungan, masukkan dan semangat dalam menyelesaikan tugas akhir ini.
Saluran Pemasaran ... 14
4.3 4.4
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ... xiiiDAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
I. PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang ... 1
1.2Perumusan Masalah ... 5
1.3Tujuan Penelitian ... 6
1.4Manfaat Penelitian ... 6
1.5Ruang Lingkup Penelitian ... 7
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1Tinjauan Umum Komoditas Bawang Merah ... 8
2.2Syarat Tumbuh dalam Budidaya Bawang Merah ... 9
2.3Perlakuan Pasca Panen ... 10
2.4 Studi Penelitian Terdahulu Tentang Tataniaga ... 12
2.4.1 Sistem dan Pola 2.4.2Fungsi Lembaga Pemasaran ... 15
2.4.3Analisis Struktur dan Perilaku Pasar ... 17
2.4.4Efisiensi Saluran Pemasaran ... 19
III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1Kerangka Pemikiran Teoritis ... 23
3.1.1 Sistem dan Pola Saluran Pemasaran ... 23
3.1.2 Fungsi Lembaga Pemasaran... 25
3.1.3 Struktur Pasar ... 27
3.1.4 Perilaku Pasar ... 29
3.1.5 Efisiensi Pemasaran ... 30
3.1.6 Margin Tataniaga ... 30
3.1.7 Farmer’s Share ... 32
3.1.8 Rasio Keuntungan Terhadap Biaya... 33
3.2Kerangka Pemikiran Operasional ... 33
IV. METODE PENELITIAN 4.1Lokasi dan Waktu Penelitian ... 36
4.2Metode Pengumpulan Data ... 36
Jenis dan Sumber Data ... 37
Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 38
4.4.1 Analisis Saluran Pemasaran ... 38
4.4.2 Analisis Fungsi Pemasaran ... 38
4.4.3 Analisis Struktur dan Perilaku Pasar ... 39
4.4.4 Analisis Margin Pemasaran ... 39
V. GA
onden Tataniaga Bawang Merah ... 45
6. 4.4.6 Analisis Rasio Keuntungan Terhadap Biaya ... 40
MBARAN UMUM WILAYAH 5.1 Karakteristik Wilayah ... 42
5.2 Keadaan Penduduk ... 43
5.3 Karakteristik Petani Resp VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Sistem dan Pola Saluran Pemasaran Bawang Merah ... 48
6.1.1 Pola Saluran Pemasaran I ... 50
6.1.2 Pola Saluran Pemasaran II ... 51
6.1.3 Pola Saluran Pemasaran III ... 52
6.1.4 Pola Saluran Pemasaran IV ... 52
6.2 Fungsi Lembaga Pemasaran... 52
6.3 Struktur Pasar ... 67
6.4 Perilaku Pasar ... 73
5 Analisis Efisiensi Pemasaran ... 75
VII. KESIMPULAN DAN SARAN 8.1 Kesimpulan ... 85
8.2 Saran ... 86
DAFTAR PUSTAKA ... 88
DAFTAR TABEL
omor Halaman
1. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Rata-rata Produksi Bawang Merah di Kabupaten Brebes Tahun 2005
– 2009……… 3
2. Perbandingan Harga Bawang Merah di Tingkat Petani dan
di Tingkat Konsumen Tahun 2009-2010……….. 4 3. Tinjauan Penelitian Terdahulu………..
22 4. Karakteristik Struktur Pasar Berdasarkan Sudut Penjual
dan Sudut Pembeli... 28 5. Luas Lahan di Kelurahan Brebes Tahun 2009……….. 43 6. Jumlah Penduduk Kelurahan Brebes Berdasarkan Usia
tahun 2009………. 44
7. Jumlah penduduk Kelurahan Brebes berdasarkan mata Pencaharian Tahun 2009………...
45 8. Karakteristik Petani Responden Usahatani Bawang Merah
di Kelurahan Brebes tahun 2011……….. 46 9. Fungsi Pemasaran pada Lembaga Pemasaran bawang
Merah di Kelurahan Brebes……….. 53 10. Analisis Margin Pem
Februari-Maret 20 es, Kecamatan
Brebes, Kabupaten Brebes………. 76
79 12.
8
N
asaran Bawang Merah pada Bulan 11 di Kelurahan Breb
11. Farmer’s Share pada Saluran Pemasaran Bawang Merah di Kelurahan Brebes, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes... Rasio Keuntungan dan Biaya pada Saluran Pemasaran Bawang Merah di Kelurahan Brebes, Kecamatan Brebes,
Nomor Halam 31 2.
4. Pola Saluran Pemasaran Bawang Merah di Kelurahan
Brebes, Kabupaten Brebes ………..……… 48
DAFTAR GAMBAR
an 1. Konsep Margin Pemasaran...
Skema Kerangka Pemikiran Operasional……… 35 3. Alur Pengambilan Sampel Petani dan Pedagang Perantara
Bawang Merah di Kelurahan Brebes.……….
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Kuisioner Petani………. 87
2. Kuisioner Pedagang……… 89
3. Biaya Pemasaran Bawang Merah yang Dikeluarkan
oleh Setiap Lembaga Pemasaran pada Saluran I……… 92 4. Biaya Pemasaran Bawang Merah yang Dikeluarkan
oleh Setiap Lembaga Pemasaran pada Saluran II…… 93 5. Biaya Pemasaran Bawang Merah yang Dikeluarkan
oleh Setiap Lembaga Pemasaran pada Saluran III..… 94 6. Biaya Pemasaran Bawang Merah yang Dikeluarkan
oleh Setiap Lembaga Pemasaran pada Saluran IV…… 95
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Komoditas hortikultura merupakan salah satu komoditas pertanian yang memiliki nilai ekonomi tinggi serta mempunyai potensi besar untuk dikembangkan sebagai usaha di bidang agribisnis. Komoditas hortikultura terdiri dari buah-buahan, sayuran, tanaman hias dan tanaman obat. Salah satu produk dari komoditas sayuran adalah bawang merah. Di Indonesia tanaman bawang merah telah lama diusahakan oleh petani sebagai usahatani komersial. Tingkat permintaan dan kebutuhan bawang merah yang tinggi menjadikan komoditas ini sangat menguntungkan untuk diusahakan. Konsumsi bawang merah penduduk Indonesia per kapita per tahun mencapai 4,56 kilogram atau 0,38 kilogram per kapita per bulan. Oleh karena itu permintaan bawang merah akan terus meningkat dengan perkiraan 5 persen per tahun sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk Indonesia1.
Permintaan bawang merah pada tahun 2005 mencapai 847.833.000 kilogram dengan rincian 731.833.000 kilogram untuk kebutuhan konsumsi dan 116.000,000 kilogram untuk kebutuhan lain seperti benih, industri dan ekspor. Dengan perkiraan peningkatan permintaan sebesar 5 persen per tahun, maka pada tahun 2009, estimasi permintaan bawang merah adalah sebesar 934.301.000 kilogram dengan rincian 800.101.000 kilogram untuk kebutuhan konsumsi dan 134.200,000 kilogram untuk kebutuhan lain2.
Bawang merah merupakan salah satu komoditas sayuran yang tumbuh dengan baik di dataran rendah. Meskipun komoditas ini bukan merupakan kebutuhan pokok, namun hampir selalu dibutuhkan oleh konsumen rumah tangga sebagai pelengkap bumbu masak sehari-hari. Selain itu, bawang merah juga memiliki manfaat sebagai obat tradisional seperti kompres penurun panas,
1.
Anonim. 2009. Konsumsi Bawang Merah Indonesia Per Kapita. http://hortikultura.go.id/index. php?. [diakses 30 Mei 2011].
2.
diabetes, penurun kolesterol darah dan kadar gula darah, mencegah pengerasan dan penebalan pembuluh darah, dan maag karena kandungan senyawa allin dan allisin di dalamnya. Selain itu, peningkatan pertumbuhan industri makanan juga turut meningkatkan permintaan bawang merah dalam negeri diluar kebutuhan konsumsi restoran dan hotel serta industri olahan lainnya seperti acar, bumbu, bawang goreng dan bahan baku campuran obat-obatan.
Di Indonesia, daerah sentra produksi bawang merah adalah Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten Brebes merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yang memiliki total lahan terbesar yang diusahakan untuk komoditas bawang merah. Kabupaten Brebes menyuplai sekitar 75 persen kebutuhan bawang merah di Provinsi Jawa Tengah dan 23 persen kebutuhan bawang merah nasional. Dengan produksi sebesar 312.583.200 kilogram pada tahun 2009, pertanian bawang merah menyumbang PDRB Kabupaten Brebes sebesar 58 persen3.
Beberapa varietas bawang merah yang dikembangkan di Kabupaten Brebes adalah varietas Bima Brebes, Kuning, Timor, Sumenep, dan varietas bawang merah impor seperti dari Filipina dan Bangkok (ditanam pada musim kemarau). Namun hanya bawang merah varietas Bima dan varietas Kuning yang dikembangkan di Kelurahan Brebes. Bawang merah di Kelurahan Brebes ditanam dengan sistem monokultur maupun tumpang gilir, dengan waktu panen raya pada bulan Mei-Juni dan Agustus-September. Beberapa faktor iklim yang penting dalam budidaya bawang merah adalah ketinggian tempat, temperatur, cahaya, curah hujan, dan angin.
Sebagai komoditas unggulan yang sekaligus menjadi andalan di Kabupaten Brebes, bawang merah dikembangkan di 10 wilayah Kecamatan yang menjadi sentra produksi komoditas utama tersebut, yaitu Kecamatan Wanasari, Kecamatan Bulakamba, Kecamatan Larangan, Kecamatan Tanjung, Kecamatan Losari, Kecamatan Kersana, Kecamatan Ketanggungan, Kecamatan Larangan, Kecamatan Songgom dan Kecamatan Brebes.
3.
Nurdin, Mohammad. 2011. Boks Laporan dan Analisis Hasil Liaison Ad Hoc Komoditas
Bawang Merah Kabupaten Brebes, Jawa Tengah.
Tabel 1. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Rata-rata Produksi Bawang Merah di Kabupaten Brebes Tahun 2005 - 2009
Tahun Luas Panen (Ha)
Produksi
(kilogram)
Rata-rata Produksi
(kilogram/Ha)
2005 24.440 231.960.000 9.491,00
2006 18.869 179.227.800 9498,53
2007 23.361 253.183.500 10.837,87
2008 26.636 336.644.700 12.638,71
2009 24.978 312.583.200 12.514,34
Sumber : BPS Kabupaten Brebes 2009, diolah
Pada tahun 2009, produksi bawang merah Kabupaten Brebes mengalami penurunan dibanding produksi pada tahun 2008. Jika pada tahun 2008 produksi bawang merah di Kabupaten Brebes mencapai 336.644.700 kilogram dari luas panen 26.636 hektar, maka pada tahun 2009 produksi hanya mencapai 312.583.200 kilogram dari luas panen 24.978 hektar.
Harga bawang merah berfluktuasi setiap bulannya. Fluktuasi harga tersebut cenderung mengikuti jumlah produksi yang dihasilkan pada bulan tersebut. Pada saat jumlah produksi bawang merah tinggi, harga bawang merah cenderung turun, dan sebaliknya pada saat produksi bawang merah rendah harga cenderung naik.
Tabel 2. Perbandingan Harga Bawang Merah di Tingkat Petani dan di Tingkat Konsumen Tahun 2009-2010
Tahun 2009 2010
Harga Petani (Rp/Kg)
Konsumen (Rp/Kg)
Margin (Rp/Kg)
Petani (Rp/Kg)
Konsumen (Rp/Kg)
Margin (Rp/Kg) Januari 4.224,30 7.922,10 3.697,80 5.720,90 11.986,90 6.266,00 Februari 6.323,00 8.843,20 2.520,20 5.947,10 10.740,60 4.793,50 Maret 5.771,40 11.588,70 5.817,30 5.605,70 11.193,30 5.587,60 April 5.205,70 10.134,30 4.928,60 6.251,40 11.958,40 5.707,00 Mei 4.941,40 11.101, 60 6.160,20 6.677,10 13.511,50 6.834,40 Juni 4.647,90 11.410,10 6.762,20 7.433,40 13.632,80 6.199,40 Juli 6.001,00 12.764,90 6.763,90 7.588,70 14.020,60 6.431,90 Agustus 5.331,10 14,900,80 9.569,70 6.302,00 17.189,00 10.887,00 September 5.586,10 12.429,40 6.843,30 6.033,50 15.953,80 9.920,30 Oktober 5.112,70 10.878,90 5.766,20 11.064,60 14.183,90 3.119,30 November 6.102,00 12.636,30 6.534,30 11.578,00 20.681,10 9.103,10 Desember 5.440,60 12,283,20 6.842,60 20.099,00
Rata-rata 5.390,60 11.407,79 6.017,19 7.291,13 14.595,91 6.804,50
Sumber: Liaison Dispertan Brebes, Survei Pemantauan Harga, DW DSM (diolah)
pemasaran terbesar diperoleh pedagang perantara juga pada penjualan bulan Agustus, yaitu sebesar Rp 10.887,00.
1.2. Perumusan Masalah
Kabupaten Brebes merupakan salah satu daerah penghasil bawang merah terbesar di Indonesia. Daerah ini mampu memproduksi hingga lebih dari 300,000.000 kilogram per tahun yang dipasarkan di Provinsi Jawa Tengah dan pasar nasional. Namun tingginya tingkat produksi bawang merah di Kabupaten Brebes tidak membuat harga bawang merah di daerah tersebut stabil, pada kenyataannya harga bawang merah di Kabupaten Brebes berfluktuasi setiap bulannya (Tabel 2).
Musim tanam yang dilakukan secara hampir bersamaan, akan menyebabkan produksi bawang merah melimpah pada musim panen yang mengakibatkan turunnya harga jual bawang merah. Tingginya curah hujan yang berlangsung, menyebabkan turunnya produktivitas bawang merah. Selain itu, angin kumbang yang biasanya terjadi pada bulan Juli hingga bulan Agustus relatif jarang berhembus pada tahun 2009 hingga tahun 2010 akibat curah hujan yang tinggi. Sifat angin kumbang yang sejuk namun tidak lembab merupakan faktor pendukung dalam peningkatan produksi bawang merah.
Ketidakseimbangan harga yang diterima petani dengan margin di tingkat pedagang perantara dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti banyaknya fungsi yang dilakukan lembaga pemasaran selain petani, kurangnya informasi pasar yang dibutuhkan oleh pelaku pasar yang terlibat dalam aktivitas pemasaran dan tingginya biaya pemasaran yang digunakan dalam kegiatan pemasaran bawang merah hingga ke tingkat konsumen akhir.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana pola saluran pemasaran bawang merah di Kelurahan Brebes, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes
2. Bagaimana fungsi lembaga pemasaran serta struktur, dan perilaku pasar dalam kegiatan tataniaga komoditas bawang merah
3. Apakah saluran pemasaran bawang merah di Kelurahan Brebes, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes sudah efisien dilihat dari margin pemasaran, farmer’s share dan rasio keuntungan terhadap biaya.
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pemaparan dari latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah :
1. Menganalisis sistem dan pola saluran pemasaran bawang merah di Kelurahan Brebes, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes
2. Menganalisis fungsi lembaga pemasaran serta struktur, dan perilaku pasar dalam kegiatan tataniaga komoditas bawang merah
3. Menganalisis efisiensi saluran pemasaran bawang merah di Kelurahan Brebes, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes dilihat dari margin pemasaran, farmer’s share dan rasio keuntungan terhadap biaya.
1.4. Manfaat Penulisan
masukan dan pembelajaran bagi perkembangan kelembagaan pemasaran bawang merah di Kabupaten Brebes. Penelitian ini juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan rujukan dan penelitian selanjutnya terutama yang terkait dengan analisis tataniaga bawang merah.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dibatasi dalam lingkup analisis pemasaran komoditas bawang merah dilihat dari pola saluran pemasaran, fungsi yang dilakukan oleh lembaga pemasaran, struktur pasar dan perilaku pasar. Dalam hasil analisis tersebut dapat diidentifikasi bagaimana efisiensi pemasaran komoditas bawang merah yang terjadi yang kemudian dapat memberikan gambaran secara umum mengenai kegiatan pemasaran untuk komoditi bawang merah di Kabupaten Brebes.
Penelitian ini juga dibatasi pada lembaga pemasaran yang terlibat dalam kegiatan pemasaran komoditas bawang merah yang berlokasi di Kelurahan Brebes hingga pedagang besar yang berlokasi di luar Kelurahan Brebes seperti di daerah Palembang, Jambi, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Pola saluran pemasaran yang diteliti dibatasi pada pola saluran pemasaran yang memasarkan komoditas bawang merah dalam bentuk bawang merah mentah (tidak diolah) hingga ke konsumen akhir yaitu konsumen rumah tangga.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Umum Komoditas Bawang Merah
Bawang merah merupakan salah satu komoditas hortikultura yang merupakan anggota Allium yang paling banyak diusahakan dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi selain bawang putih dan bawang Bombay. Tanaman bawang merah banyak dibudidayakan di daerah dataran rendah yang memiliki iklim kering dan suhu yang cukup tinggi.
Jika dilihat secara ilmiah, kedudukan bawang merah dalam tata nama atau sistematika tumbuhan diklasifikasikan sebagai berikut :
Divisio : Spermatophyta
Sub division : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Ordo : Lilialaes (Liliflorae)
Famili : Liliales
Genus : Allium
Spesies : Allium ascalonicum L.
Menurut Rahayu (1998), bawang merah tergolong tanaman semusim atau setahun yang berbentuk rumpun dengan akar serabut. Tanaman bawang merah memiliki batang yang sangat pendek, sehingga hampir tidak tampak dengan daun yang memanjang dan berbentuk silindris. Pangkal daunnya akan berubah bentuk dan fungsinya hingga membentuk umbi lapis. Umbi tersebut kemudian membentuk tunas baru yang kemudian tumbuh membesar dan setelah dewasa akan membentuk umbi kembali. Karena sifat pertumbuhan tersebut maka dari satu umbi dapat membentuk satu rumpun tanaman yang berasal dari hasil peranakan umbi.
Bima dan jenis Kuning. Menurut Wibowo (1999), varietas Bima merupakan salah satu varietas yang memiliki tingkat produktivitas tertinggi dibanding dengan varietas lainnya.
Varietas Bima sangat terkenal dengan produksinya yang sangat tinggi hingga mencapai 10.000 kilogram per hektar. Varietas ini sangat unik, karena memiliki ketahanan yang tinggi terhadap tingkat curah hujan yang tinggi. Umbi yang dihasilkan berukuran besar, bercincin kecil dengan warna merah muda. Umur panen dari varietas Bima termasuk pendek, yaitu sekitar 60-65 hari. Sedangkan varietas Kuning memiliki tingkat produktivitas yang sedikit lebih rendah dari varietas Bima, yaitu sekitar 7.000 kilogram per hektar. Varietas ini sangat cocok untuk ditanam pada musim kemarau. Umbi yang dihasilkan berbentuk bulat dengan cincin-cincin umbi lapis yang jelas. Umur panen dari varietas ini tergolong panjang, yaitu sekitar 80 hari.
2.2. Syarat Tumbuh dalam Budidaya Bawang Merah
Menurut Rukmana (1994), dalam budidaya bawang merah terdapat beberapa syarat dan perlakuan agar tanaman bawang merah dapat berproduksi dengan baik, yaitu :
1. Iklim
Bawang merah akan berproduksi dengan sangat baik jika ditanam di daerah yang berikilim kering dengan suhu yang cenderung panas dan cuaca cerah. Tanaman bawang merah memiliki akar yang pendek, sehingga walaupun ditanam di daerah yang beriklim kering, tanaman ini harus diberikan pengairan yang baik. Musim yang sangat tepat untuk menanam bawang merah adalah pada akhir musim hujan atau pada awal musim kemarau.
2. Suhu dan Ketinggian Tempat
3. Tanah
Bawang merah dapat ditanam di sawah setelah panen padi atau dapat juga ditanam di tanah darat seperti tegalan, kebun dan pekarangan. Tanah yang sangat baik untuk pertumbuhan bawang merah adalah tanah yang gembur, subur, dan banyak mengandung bahan organis atau humus. Selain itu, dibutuhkan tanah yang memiliki aerasi yang baik dan tidak becek. Tanah yang gembur dan subur akan mendorong perkembangan umbi, sehingga umbi yang dihasilkan akan berukuran lebih besar.
2.3. Perlakuan Pasca Panen
Penanganan panen dan pasca panen merupakan satu rangkaian dengan kegiatan budidaya tanaman. Kegiatan ini juga perlu mendapat perhatian khusus dan hati-hati agar hasil yang akan dipasarkan mempunyai kualitas baik dan bernilai ekonomis tinggi.
Penanganan pasca panen yang dapat dilakukan untuk menghindari kerusakan bawang merah setelah panen meliputi pembersihan, pengeringan, sotrasi dan grading, penyimpanan, pengemasan dan pengangkutan.
1. Pembersihan
Umbi bawang merah yang baru dipanen keadaannya masih sangat kotor, karena banyak tanah yang melekat pada umbi. Pembersihan umbi dapat dilakukan bersamaan dengan proses pengikatan daun dari beberapa rumpun tanaman. Setelah pengikatan selesai, pembersihan umbi dapat dilakukan dengan menggerak-gerakkan ikatan bawang merah tersebut dibantu juga dengan tangan sehingga tanah yang menempel berjatuhan. Setelah bawang merah bersih, ikatan dapat diletakkan di tempat penjemuran.
2. Pengeringan
tidak boleh terkena sinar matahari secara langsung untuk menghindari terjadinya sengatan luka bakar pada umbi. Pada saat penjemuran, umbi diletakkan di bagian bawah dengan daun di bagian atas.
Cara pengasapan dilakukan apabila kondisi cuaca sedang buruk dan tidak mungkin dilakukan penjemuran. Pengasapan dilakukan di tempat khusus dengan membuat tungku-tungku berbahan bakar kayu atau sekam. Untuk mengatur suhu, tempat pengasapan dilengkapi dengan jendela yang dapat dibuka dan thermometer sebagai pengatur suhu. Agar bawang merah kering secara merata, perlu dilakukan pembalikan atau pertukaran tempat. Bila panas ruangan dipertahankan secara normal, dalam 12 jam umbi sudah cukup kering.
Umbi bawang merah dapat juga dikeringkan dengan menggunakan pengering mekanis. Prinsip kerja alat tersebut yaitu dengan menggunakan sumber pemanas kompor. Pipa-pipa pemanas dipanaskan dengan kompor hingga udara di dalam pipa ikut memanas. Kemudian udara tersebut dialirkan ke dalam ruangan pengering yang berisi rak-rak penyimpanan bawang dengan menggunakan blower atau kipas angin. Selama berada di dalam bilik pengeringan, air yang terkandung di dalam umbi akan menguap, hingga umbi akan mengering.
3. Sortasi dan Grading
Kegiatan sortasi dan grading dilakukan untuk memisahkan umbi bawang merah yang baik dengan yang cacat, busuk, terkena hama penyakit atau kerusakan lainnya. Ukuran yang dijadikan acuan biasanya adalah keseragaman, umur umbi, tingkat kekeringan, penyakit, bentuk umbi dan ukuran besar kecilnya umbi.
4. Penyimpanan
dimasukkan dalam kemasan karung yang anyamannya jarang, sehingga udara dapat masuk.
5. Pengangkutan
Pengangkutan bawang merah dilakukan ke beberapa tempat seperti gudang, pasar, supermarket atau ekspor. Agar bawang merah tidak rusak selama proses pengangkutan berlangsung, diperlukan kendaraan yang dapat memberikan tempat yang luas dan aman selama perjalanan. Agar kualitas bawang merah terjamin, hindari berbagai hal yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan terhadap umbi, seperti benturan fisik, kontaminasi kotoran, ataupun terkena air hujan.
2.4. Studi Penelitian Terdahulu Tentang Tataniaga
Beberapa penelitian terdahulu yang menganalisis mengenai tataniaga komoditas hortikultura adalah penelitian Rosantiningrum (2004), tentang Analisis Produksi dan Pemasaran Usahatani Bawang Merah (Studi Kasus Desa Banjaranyar, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes, Propinsi Jawa Tengah), penelitian Anggraini (2000) tentang Analisis Usahatani dan Pemasaran bawang Merah (Kasus di Kecamatan Wanasari, Kabupaten Brebes, Propinsi Jawa Tengah), penelitian Maulina (2001) mengenai Analisis Pendapatan Usahatani dan Pemasaran Bawang Merah (Kasus : Desa Kemukten, Kecamatan Kersana, Kabupaten Dati II Brebes, Jawa tengah), penelitian Ariyanto (2008) mengenai Analisis Tataniaga Sayuran Bayam (Kasus Desa Ciaruten Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor), dan penelitian Agustina (2008) mengenai Analisis Tataniaga dan Keterpaduan Pasar Kubis (Studi Kasus Desa Cimenyan, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat).
10 persen yaitu 19,68 persen dan 22,35 persen yang berarti terjadi ketidaksempurnaan sistem pemasaran dengan perbedaan harga yang sangat signifikan setiap bulannya.
Penelitian Anggraini (2000) juga didasari adanya fakta bahwa belum sempurnanya sistem pemasaran bawang merah yang terjadi pada tahun 2000. Sistem pemasaran yang ada selama ini belum memberikan kesejahteraan bagi petani, karena keuntungan terbesar berada di tangan pedagang perantara. Permasalahan tersebut disebabkan oleh harga bawang merah yang fluktuatif yang perubahannya terjadi dalam waktu yang relatif singkat. Akibat dari fluktuasi harga bawang merah tersebut dinilai oleh peneliti dapat merugikan petani.
Penelitian Maulina (2001) didasari adanya fakta bahwa adanya peningkatan permintaan bawang merah yang signifikan setiap tahunnya antara tahun 1986 hingga tahun 1995 yaitu dengan rata-rata sebesar 6,39 persen per tahun, sehingga bawang merah dianggap memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan ke di masa depan dan dapat memberikan keuntungan bagi petani.
Penelitian Ariyanto (2008) didasari atas informasi yang diterima di Desa Ciaruten Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, yaitu saluran tataniaga bayam memiliki jalur tataniaga yang panjang dan farmers’s share rendah dengan kisaran antara 28 persen - 42,8 persen. Perbedaan harga bayam di tingkat petani dengan di tingkat konsumen terjadi begitu besar. Petani di Desa Ciaruten Ilir sebagai produsen sekaligus sebagai pihak yang menerima harga. Dalam posisi tawar-menawar sering tidak seimbang, petani dikalahkan dengan kepentingan pedagang yang lebih dulu mengetahui harga. Keluhan ini semakin diperkuat karena fluktuasi harga selalu berubah-ubah.
Penelitian Agustina (2008) didasari oleh fakta bahwa harga yang terjadi pada komoditas kubis setiap saat dapat berubah. Fluktuasi harga tersebut pada
dasarnya terjadi akibat ketidakseimbangan antara volume permintaan dan
penawaran dimana tingkat harga meningkat jika volume permintaan melebihi
penawaran dan sebaliknya. Hal tersebut kemungkinan terjadi karena selain
banyaknya lembaga pemasaran yang terlibat, informasi yang tersedia untuk semua
pihak masih relatif kurang, kemudian kelemahan dalam mencari dan menentukan
margin atau perbedaan harga di tingkat produsen dan di tingkat konsumen yang
cukup besar, serta tidak adanya keterpaduan harga di tingkat produsen dengan
harga di tingkat konsumen.
2.4.1. Sistem dan Pola Saluran Pemasaran
Hasil dari penelitian Rosantiningrum (2004) mengenai pola saluran pemasaran menyatakan bahwa terdapat tiga pola saluran pemasaran bawang merah yang terjadi di Desa Banjaranyar, yaitu pola I dari petani – pedagang besar – pedagang pengecer – konsumen non lokal, pola II dari petani – pedagang pengumpul – pedagang besar atau grosir – pedagang pengecer – konsumen non lokal, dan pola III yaitu dari petani – pedagang pengumpul – konsumen lokal. Dari ketiga pola tersebut, Rosantiningrum menyatakan bahwa pola II merupakan pola yang paling banyak digunakan oleh pelaku tataniaga di Desa Banjaranyar yaitu sebesar 86,87 persen.
Di Desa Wanasari, Kecamatan Brebes, terdapat lebih banyak pola saluran pemasaran. Pola saluran tersebut yaitu pola I dari petani – pedagang pengumpul desa – pedagang besar – pedagang grosir Pasar Induk – pedagang pegecer Pasar Induk – konsumen Pasar Induk, pola II dari petani – pedagang besar – pedagang grosir Pasar Induk – pedagang pengecer Pasar Induk – konsumen Pasar Induk. Pola saluran III merupakan saluran terpanjang yang dilalui komoditas bawang merah di Desa Wanasari, yaitu dari petani – pedagang pengumpul desa – pasar bawang – pedagang besar – pedagang grosir Pasar Induk – pedagang pengecer Pasar Induk – konsumen Pasar Induk. Pola saluran IV merupakan pola yang terjadi dalam lingkup pemasaran lokal yaitu dari petani – pedagang pengumpul desa – pasar bawang – pedagang pengecer lokal – konsumen lokal. Berdasarkan hasil penelitian Anggraini (2000), pola saluran pemasaran I dan II yang paling banyak digunakan yaitu sebesar 46,67 persen dan 33,33 persen.
pola III dari petani – pedagang pengumpul – pedagang pengecer – kosumen lokal. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa pola saluran yang paling banyak digunakan di Desa Kemukten adalah pola III, yaitu sebesar 77,78 persen.
Penelitian Ariyanto (2008) menyatakan bahwa pola saluran pemasaran sayuran bayam di Desa Ciaruten Ilir terbagi dalam tiga saluran pemasaran yaitu Saluran pemasaran 1 : petani – pedagang pengumpul – pedagang pengecer – konsumen. Saluran pemasaran 2 : petani – pedagang pengecer – konsumen. Saluran pemasaran 3 : petani – konsumen. Berdasarkan analisis marjin tataniaga diketahui bahwa saluran tataniaga tiga petani yang paling efisien. Petani memperoleh keuntungan terbesar yaitu sebesar Rp 368 per ikat, rasio keuntungan dan biaya yaitu sebesar 9,43 dan bagian harga yang terbesar (farmer’s Share) diterima oleh petani sebesar 100 persen. Pada saluran tataniaga tiga petani berprofesi sebagai pedagang pengecer dan produk yang dijual sedikit sehingga keuntungan secara total yang diperoleh tidak begitu besar dan hanya sebagian kecil dari jumlah petani yang di wawancarai yang melakukan kegiatan tataniaga ini.
Di Desa Cimenyan, terdapat tiga saluran tataniaga kubis yaitu: (1) Petani - Pedagang Pengumpul I - Grosir – Pengecer - Konsumen (2)Petani - pedagang pengumpul II - Grosir - Pengecer - Konsumen (3) Petani – Grosir - Pengecer - Konsumen. Saluran dua dibagi menjadi dua bagian, pertama pemasaran di daerah produksi (lokal) dan kedua pemasaran di luar daerah produksi. Alternatif saluran tataniaga yang memberikan keuntungan paling besar bagi petani dibandingkan dengan saluran lainnya berdasarkan nilai total margin, farmer’s share, rasio keuntungan terhadap biaya adalah saluran tiga dengan nilai total margin sebesar Rp 1.681,87, farmer’s share terbesar yaitu 55,81 persen, rasio keuntungan terhadap biaya terbesar yaitu 2,28.
2.4.2. Fungsi Lembaga Pemasaran
pedagang pengumpul melakukan fungsi pertukaran berupa penjualan dan pembelian, fungsi fisik berupa penyimpanan dan pengangkutan dan fungsi fasilitas berupa informasi pasar. Pedagang grosir atau pedagang besar dan pedagang pengecer melakukan fungsi yang sama dengan pedagang pengumpul.
Hasil penelitian Anggraini (2000) menunjukkan perbedaan dalam fungsi yang dilakukan oleh lembaga pemasaran dibandingkan dengan kedua penelitian lainnya. Pada penelitian tersebut, petani melakukan fungsi yang lebih banyak yaitu fungsi pertukaran berupa penjualan, fungsi fisik berupa penyimpanan dan fungsi fasilitas berupa informasi pasar. Pedagang pengumpul melakukan fungsi pertukaran berupa penjualan dan pembelian, fungsi fisik berupa pengangkutan dan fungsi fasilitas berupa informasi pasar. Pedagang besar dan pedagang pengecer melakukan fungsi yang hampir sama, yaitu meliputi fungsi pertukaran berupa penjualan, pembelian, fungsi fisik berupa pengemasan, dan fungsi informasi pasar berupa informasi pasar, dan ditambah fungsi pengangkutan pada fungsi yang dilakukan oleh pedagang besar. Sedangkan pedagang grosir melakukan fungsi pertukaran berupa penjualan, pembelian, fungsi fisik berupa pengemasan dan fungsi fasilitas berupa fungsi informasi pasar.
Hasil penelitian Ariyanto (2008) menunjukkan fungsi tataniaga yang dilakukan oleh petani sayuran bayam adalah fungsi pertukaran berupa fungsi penjualan, fungsi fisik berupa kegiatan pengemasan, pengangkutan dan fungsi fasilitas berupa informasi pasar, penanggungan risiko dan pembiayaan. Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh pedagang pengumpul adalah fungsi pertukaran berupa fungsi pembelian dan penjualan, fungsi fisik berupa fungsi pengangkutan, fungsi fasilitas berupa informasi pasar, penanggungan resiko dan pembiayaan. Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh pedagang pengecer adalah fungsi pertukaran berupa fungsi pembelian dan penjualan, fungsi fisik berupa fungsi pengangkutan, fungsi fasilitas berupa informasi pasar, penanggungan resiko dan pembiayaan.
pasar. Pedagang pengumpul II melakukan fungsi pertukaran berupa penjualan dan pembelian, fungsi fisik berupa pengangkutan dan fungsi fasilitas berupa fungsi standarisasi dan grading, informasi harga, pembiayaan dan penanggungan risiko. Pedagang grosir melakukan fungsi pertukaran berupa penjualan dan pembelian, fungsi fisik berupa pengemasan, serta fungsi fasilitas berupa sortasi dan grading. Pedagang pengecer melakukan fungsi pertukaran berupa penjualan dan pembelian, fungsi fisik berupa pengemasan dan penyimpanan serta fungsi fasilitas berupa fungsi penanggungan risiko dan informasi pasar.
2.4.3. Analisis Struktur dan Perilaku Pasar
Analisis struktur dan perilaku pasar dilakukan dalam penelitian Rosantiningrum (2004), Ariyanto (2008) dan Agustina (2008) sedangkan kedua penelitian lainnya tidak melakukan analisis tersebut. Pada penelitian Rosantiningrum, struktur pasar dianalisis dengan melihat jumlah lembaga yang terlibat, jenis produk, hambatan keluar masuk pasar, dan informasi pasar. Di tingkat petani hingga pedagang pengumpul, jenis produk yang dipasarkan seragam atau homogen, sedangkan di tingkat pedagang grosir hingga pedagang pengecer produk yang dijual lebih beragam atau heterogen dari ukuran dan harganya.
Hambatan keluar masuk pasar pada tingkat petani dan pedagang pengecer rendah dilihat dari kebutuhan modal yang rendah untuk dapat masuk pasar. Sedangkan bagi pedagang pengumpul dan pedagang grosir, dibutuhkan modal yang besar untuk dapat masuk ke dalam kegiatan pemasaran bawang merah, sehingga hambatan masuk dan keluar pasar relatif tinggi.
Informasi pasar diperoleh pelaku kegiatan pemasaran melalui pedagang-pedagang yang terlibat dalam kegiatan pemasaran. Berdasarkan analisis tersebut, Rosantiningrum menyimpulkan bahwa struktur pasar yang terjadi di tingkat petani dan pedagang pengumpul adalah struktur pasar oligopoli, pada tingkat pedagang grosir adalah struktur pasar monopolistik, sedangkan pada tingkat pedagang pengecer adalah pasar persaingan sempurna.
terlibat. Sistem penentuan harga yang dilakukan oleh petani hingga pedagang pengecer di Desa Banjaranyar dilakukan dengan sistem tawar menawar. Hal ini menunjukkan bahwa masing-masing lembaga pemasaran menghadapi harga yang telah ditentukan oleh lembaga pemasaran diatasnya sehingga semua lembaga pemasaran yang terlibat hanya sebagai price taker. Dalam penentuan harga pasar, tidak ada kerjasama antara pedagang, sehingga harga yang terbentuk berdasarkan mekanisme kerja hukum permintaan dan penawaran.
Pada penelitian Ariyanto (2008), struktur pasar yang dihadapi petani sayuran bayam di Desa Ciaruten Ilir bersifar pasar bersaing sempurna karena jumlah petani yang banyak, tidak dapat mempengaruhi harga dan petani bebas untuk keluar masuk pasar. Struktur pasar yang dihadapi pedagang pengumpul di Desa Ciaruten Ilir adalah Oligopsoni. Terdapat hambatan bagi pedagang lain untuk memasuki pasar pedagang pengumpul. Struktur pasar yang dihadapi pedagang pengecer adalah pasar persaingan sempurna, karena jumlah pedagang pengecer cukup banyak, produk yang diperjualbelikan bersifat homogen dan pedagang pengecer tidak dapat mempengaruhi pasar sehingga bertindak sebagai price taker.
Perilaku pasar yang dilakukan oleh pedagang pengumpul berupa praktek pembelian sayuran bayam dan menjual kepada pedagang pengecer. Secara umum sistem pembayaran antar lembaga tataniaga dan petani dilakukan secara tunai dan harga produk berdasarkan mekanisme pasar. Kerjasama anatara petani dan pedagang pengumpul terjalin dengan baik melalui kegiatan jual-beli produk sayuran bayam. Hal yang sama juga terjadi diantara pedagang pengumpul dan pedagang pengecer.
Pada penelitian Agustina (2008), struktur pasar yang dihadapi petani kubis yaitu oligopsoni. Hal ini dikarenakan jumlah lembaga tataniaga kubis tidak
sebanding dengan jumlah petani. Jumlah petani lebih banyak dibandingkan
jumlah pedagang pengumpul I maupun pedagang pengumpul II. Sedikitnya
jumlah pedagang pengumpul desa (I dan II) menyebabkan harga lebih banyak
ditentukan oleh pedagang pengumpul, sehingga petani hanya bertindak sebagai
pasar oligopsoni. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya pedagang pengumpul desa
yang menjual kubis, namun dihadapkan pada jumlah pedagang grosir yang
terbatas yaitu hanya dua orang. Hambatan masuk bagi pedagang pengumpul I
terletak pada modal yang harus digunakan untuk membeli kubis dari petani.
Komoditi yang diperjualbelikan bersifat homogen yaitu kubis green cronet.
Struktur pasar yang dihadapi oleh pedagang pengumpul II adalah oligopoli. Hal
ini dilihat dari jumlah pedagang grosir yang lebih besar dari jumlah pedagang
pengumpul II. Hambatan masuk bagi pedagang pengumpul II terletak pada modal
yang harus digunakan untuk membeli kubis dari petani. Komoditi yang
diperjualbelikan bersifat homogen yaitu kubis green cronet. Pedagang grosir
menghadapi pasar oligopoli dimana jumlah pedagang pengecer lebih banyak
dibandingkan dengan jumlah pedagang grosir. Komoditi yang diperjualbelikan
bersifat homogen yaitu kubis green cronet. Struktur pasar yang dihadapi oleh
pedagang pengecer bersifat oligopoli. Komoditi yang diperjualbelikan bersifat
homogen dan jumlah pedagang pengecer sedikit dibandingkan jumlah konsumen
yang sangat banyak.
Pada kegiatan penentuan harga kubis di lokasi penelitian, antara pedagang
pengumpul I dan pedagang pengumpul II didasarkan pada harga yang berlaku di
pasaran dan proses tawar-menawar, dimana pedagang memperoleh informasi
harga dari grosir atau sesama pedagang pengumpul. Sistem pembayaran yang
terjadi dalam kegiatan pertukaran komoditas kubis ini terbagi dalam tiga sistem
pembayaran, yaitu sistem pembayaran tunai, sistem pembayaran kemudian dan
sistem pembayaran di muka.
2.4.4. Analisis Efisiensi Saluran Pemasaran
pada pola I, yaitu sebesar Rp 4.2 untuk setiap Rp 1,- yang dikeluarkan. Rosantiningrum menyimpulkan bahwa pola saluran pemasaran yang paling efisien adalah pola saluran pemasaran III dimana bagian yang diperoleh petani cukup tinggi yaitu 56,4 persen dengan total margin 43,6 persen.
Pada penelitian Anggraini (2000), margin pemasaran dan farmer’s share yang terjadi untuk setiap saluran pemasaran sama, yaitu sebesar 44,29 persen untuk farmer’s share dan 55,71 persen untuk margin pemasaran. Hal tersebut dikarenakan harga yang berlaku di tingkat petani dan di tingkat pedagang pengecer pada masing-masing saluran pemasaran sama. Sedangkan rasio keuntungan terhadap biaya terbesar terjadi pada pola IV, yaitu sebesar 11,73 persen. Pada penelitian ini, peneliti tidak menyimpulkan pola pemasaran yang paling efisien dari hasil analisis margin pemasaran, farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya.
Pada penelitian Maulina (2001), farmer’s share terbesar terdapat pada pola II yaitu sebesar Rp 3.825,00 atau 90,00 persen. Hal ini terjadi karena petani pada pola II langsung menjual bawang merahnya di pasar-pasar yang berada di luar kota dan petani juga melakukan fungsi-fungsi yang dilakukan oleh pedagang pengumpul. Berdasarkan total margin yang terjadi, pola III memiliki margin terbesar yaitu 34,66 persen dari harga jual pengecer dan pola II memiliki margin paling kecil yaitu sebesar 10,00 persen. Pola III memiliki margin terbesar karena pola III memiliki saluran pemasaran yang paling panjang diantara seluruh pola pemasaran yang terjadi.
Rasio keuntungan terhadap biaya dalam penelitian Maulina (2001) menunjukkan bahwa pola III memberikan rasio keuntungan terhadap biaya terbesar, yaitu sebesar Rp4,80 untuk setiap Rp1,00 yang dikeluarkan dan pola II memberikan keuntungan terkecil yaitu Rp1,93 untuk setiap Rp1,00 yang dikeluarkan. Dari hasil analisis tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa pola saluran pemasaran II merupakan pola saluran pemasaran yang peling efisien, dimana bagian yang diperoleh petani cukup tinggi yaitu 90,00 persen dengan total margin 10,00 persen.
produksi sayuran bayam langsung dibawa ke pasar dan dijual langsung ke konsumen dalam bentuk ikat dan petani bertindak sebagai pedagang pengecer. Petani memperoleh keuntungan terbesar yaitu sebesar Rp 368 per ikat, rasio keuntungan dan biaya yaitu sebesar 9,43 dan bagian harga yang terbesar (farmer’s Share) diterima oleh petani sebesar 100 persen. Pada saluran tataniaga tiga petani berprofesi sebagai pedagang pengecer dan produk yang dijual sedikit sehingga keuntungan secara total yang diperoleh tidak begitu besar dan hanya sebagian kecil dari jumlah petani yang di wawancarai yang melakukan kegiatan tataniaga.
Berdasarkan penelitian Agustina (2008), Alternatif saluran tataniaga yang memberikan keuntungan paling besar bagi petani dibandingkan dengan saluran
lainnya berdasarkan nilai total margin, farmer’s share, rasio keuntungan terhadap
biaya adalah saluran tiga dengan nilai total margin sebesar Rp 1.681,87, farmer’s
share terbesar yaitu 55,81 persen, rasio keuntungan terhadap biaya terbesar yaitu 2,28.
Berdasarkan studi dari beberapa penelitian terdahulu, dapat terlihat bahwa peneliti menggunakan beberapa alat analisis yang digunakan untuk menjabarkan kegiatan tataniaga produk agribisnis bawang merah yang berupa analisis secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan dengan meneliti sistem dan pola saluran pemasaran bawang merah dari petani hingga sampai ke konsumen akhir, fungsi yang dilakukan oleh lembaga pemasaran yang terlibat, serta analisis struktur dan perilaku pasar yang dihadapi oleh lembaga-lembaga yang terlibat dalam kegiatan pemasaran. Sedangkan analisis kuantitatif dilakukan dengan menganalisis tingkat efisiensi saluran pemasaran yang digunakan dalam memasarkan produk bawang merah hingga sampai ke konsumen akhir dengan menggunakan alat analisis margin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya dari masing-masing saluran pemasaran.
akhir memiliki selisih yang besar dibanding harga rata-rata yang diterima konsumen akhir dan harga yang terdapat dalam penelitian terdahulu.
Tabel 3. Tinjauan Penelitian Terdahulu
No Nama Judul Penelitian Alat Analisis
1 Rosantiningrum (2004)
Analisis Produksi dan Pemasaran Usahatani Bawang Merah (Studi Kasus Desa Banjaranyar, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes, Propinsi Jawa Tengah)
Sistem dan pola saluran pemasaran, fungsi lembaga pemasaran, analisis struktur dan perilaku pasar, efisiensi saluran pemasaran.
2 Anggraini (2000)
Analisis Usahatani dan Pemasaran bawang Merah (Kasus di Kecamatan Wanasari, Kabupaten Brebes, Propinsi Jawa Tengah)
Sistem dan pola saluran pemasaran, fungsi lembaga pemasaran, efisiensi saluran pemasaran. 3 Maulina (2001) Analisis Pendapatan Usahatani dan Pemasaran Bawang Merah (Kasus : Desa Kemukten,
Kecamatan Kersana, Kabupaten Dati II Brebes, Jawa tengah)
Sistem dan pola saluran pemasaran, fungsi lembaga pemasaran, efisiensi saluran pemasaran. 4 Ariyanto (2008) Analisis Tataniaga Sayuran Bayam (Desa Ciaruten Ilir, Kecamatan Cibungbulang,
Kabupaten Bogor, Jawa Barat)
Sistem dan pola saluran pemasaran, fungsi lembaga pemasaran, analisis struktur dan perilaku pasar, efisiensi saluran pemasaran.
5 Agustina (2008)
Analisis Tataniaga dan Keterpaduan Pasar Kubis (Studi
Kasus Desa Cimenyan, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, Provinsi
Jawa Barat)
Sistem dan pola saluran pemasaran, fungsi lembaga pemasaran, analisis struktur dan perilaku pasar, efisiensi saluran pemasaran.
III.
KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis
Kerangka pemikiran teoritis merupakan batasan teori yang akan dipakai sebagai landasan dalam penelitian. Kerangka pemikiran teoritis memberikan gambaran mengenai variabel yang akan diteliti. Variabel yang akan diteliti dalam penelitian analisis tataniaga bawang merah di Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah ini terdiri dari sistem dan pola saluran pemasaran, fungsi lembaga pemasaran, struktur dan perilaku pasar serta efisiensi pemasaran yang dilihat dari margin pemasaran, farmer’s share dan rasio keuntungan terhadap biaya.
3.1.1. Sistem dan Pola Saluran Pemasaran
Dahl dan Hammond (1977) dalan Asmarantaka (1999), mendefinisikan pemasaran sebagai serangkaian fungsi yang diperlukan dalam penanganan atau pergerakan input ataupun produk mulai dari titik produksi primer sampai konsumen akhir. Serangkaian fungsi tersebut adalah fungsi pertukaran (pembelian dan penjualan), fisik (pengolahan, pengangkutan dan penyimpanan) dan fasilitas (pembiayaan, risiko, standarisasi dan grading dan inteligens pemasaran). Fungsi-fungsi pemasaran tersebut adalah kegiatan produktif (meningkatkan nilai guna, bentuk, waktu, tempat dan kepemilikan), sedangkan pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut dapat dilakukan oleh kelompok perusahaan atau individu yang disebut lembaga pemasaran. Stanton (1978) dalam Firdaus (2008) mendefinisikan pemasaran sebagai suatu sistem keseluruhan dari kegiatan-kegiatan bisnis yang ditujukan untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan dan mendistribusikan barang dan jasa yang memuaskan kebutuhan, baik kepada pembeli yang ada maupun pembeli potensial.
akan keinginan dan kebutuhan konsumen dan pengetahuan konsumen terhadap produk yang dijual.
Menurut Kohl dan Uhl (2002), perspektif pemasaran memiliki pengertian yang berbeda bagi setiap pelaku pemasaran. Bagi konsumen, pemasaran berkenaan dengan kegiatan pembelian produk. Bagi petani, kegiatan pemasaran merupakan kegiatan penjualan produk kepada penawar dengan harga tertinggi yang akan membawa produk hasil pertaniannya ke pasar. Bagi pedagang seperti pedagang pengumpul, pedagang pengecer dan pengolah, akan melihat pemasaran sebagai proses dalam mendapatkan keuntungan dalam persaingan dari pesaing-pesaingnya, meningkatkan penjualan dan laba serta memuaskan konsumen. Setiap pelaku hanya memiliki sebagian konsep dari proses pemasaran secara keseluruhan.
Dalam kegiatan pemasaran, pelaku pemasaran berhubungan dengan pelaku pemasaran lainnya dengan tujuan pembelian atau penjualan produk. Pada situasi normal, selalu ada situasi persaingan dalam kegiatan pemasaran, dimana produsen mengandalkan pedagang perantara untuk memenangkan persaingan melalui sistem dan strategi yang telah diciptakan perusahaan untuk memenangkan persaingan. Tingkat efektivitas pemasaran dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dimana pedagang perantara masing-masing berada seperti demografi, ekonomi, teknologi, fisik, politik dan sosial budaya.
Kegiatan pemasaran bertujuan untuk memaksimumkan tingkat pembelian masyarakat terhadap produk yang dipasarkan. Tingginya tingkat pembelian atau konsumsi masyarakat akan mempengaruhi volume produksi dan tingkat laba yang diterima oleh perusahaan. Tingkat produksi yang meningkat akan mempengaruhi perkembangan ekonomi secara mikro dan makro. Secara makro, peningkatan produksi dapat meningkatkan investasi pada sektor produktif yang akan berimplikasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
menentukan panjangnya saluran pemasaran yang terjadi. Panjang atau pendeknya saluran pemasaran yang dilalui oleh suatu produk bergantung pada beberapa faktor, yaitu:
1. Jarak antar produsen dengan konsumen. Semakin jauh jarak antara produsen dan konsumen biasanya semakin panjang saluran yang ditempuh oleh produk tersebut.
2. Sifat produk. Produk yang mudah rusak harus segera diterima konsumen, sehingga menghendaki saluran yang pendek dan cepat.
3. Skala produksi. Jika produksi berlangsung dalam ukuran kecil maka jumlah produk yang dihasilkan kecil, sehingga akan tidak menguntungkan bila produsen langsung menjual ke pasar. Hal ini berarti membutuhkan kehadiran pedagang perantara dan saluran yang akan dilalui produk cenderung panjang.
4. Posisi keuangan pengusaha. Produsen yang posisi keuangannya kuat cenderung untuk memperpendek saluran tataniaga karena akan dapat melakukan fungsi tataniaga lebih banyak dibandingkan dengan pengusaha yang posisi keuangannya lemah.
3.1.2. Fungsi Lembaga Pemasaran
Salah satu langkah dalam mengklasifikasikan aktivitas yang terjadi dalam kegiatan pemasaran adalah dengan membagi proses pemasaran tersebut ke dalam fungsi-fungsi. Fungsi pemasaran diartikan sebagai aktivitas spesialisasi utama yang dilakukan untuk menyempurnakan kegiatan pemasaran. (Kohl dan Uhl, 2002)
Menurut Firdaus (2008), ada sejumlah kegiatan pokok pemasaran yang perlu dilaksanakan untuk mencapai sasaran pemasaran, yaitu menempatkan produk ke tangan konsumen yang dinyatakan sebagai fungsi-fungsi pemasaran (marketing function). Dalam hal ini terdapat tiga fungsi pemasaran, yaitu :
1. Fungsi pertukaran
yang terlibat dalam proses ini adalah pedagang perantara, distributor, dan agen yang mendapat komisi karena mempertemukan pembeli dengan penjual.
a. Fungsi Penjualan
Fungsi penjualan meliputi sejumlah fungsi tambahan seperti, (1) Fungsi perencanaan dan pengembangan produk, (2) Fungsi mencari kontak, (3) Fungsi menciptakan permintaan, (4) Fungsi melakukan negosiasi, (5) Fungsi melakukan kontrak.
b. Fungsi Pembelian
Fungsi pembelian meliputi segala kegiatan yang dilakukan dalam rangka mendapatkan ptoduk yang diinginkan pembeli dan produk yang dibeli siap digunakan pada waktu dan tempat tertentu dengan harga yang layak. Fungsi pembelian meliputi (1) Fungsi perencanaan, (2) Fungsi mencari kontak, (3) Fungsi assembling, (4) Fungsi mengadakan perundingan, (5) Fungsi kontrak.
2. Fungsi Fisik
Fungsi fisik adalah kegiatan yang berhubungan dengan waktu, tempat, dan bentuk. Fungsi fisik meliputi kegiatan pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan.
Fungsi pengangkutan dilakukan dengan tujuan perpindahan produk dari tempat asal produk ke daerah dimana produk tersebut dibutuhkan oleh konsumen . pengangkutan dapat dilakukan dengan berbagai alat transportasi seperti mobil pick up, truk, kereta api, pesawat terbang dan lain sebagainya.
3. Fungsi penyediaan sarana
Fungsi penyediaan sarana merupakan kegiatan yang dapat membantu kegiatan pemasaran agar berjalan dengan lancar. Fungsi ini meliputi fungsi informasi pasar, fungsi penanggungan risiko, fungsi standarisasi dan grading dan fungsi pembiayaan.
Fungsi Informasi pasar sangat dibutuhkan oleh pembeli dan penjual yang berperan dalam kegiatan pemasaran. Pembeli memerlukan informasi mengenai harga, mutu dan sumber penawaran, sedangkan penjual memerlukan informasi mengenai harga pada beberapa pasar. Produsen memerlukan informasi mengenai harga saat ini dan harga di masa yang akan datang untuk memutuskan produk mana yang akan disimpan dan produk mana yang akan dijual ke pasar. Informasi pasar dapat diperoleh dari media massa, perusahaan swasta, pemerintah maupun institusi pendidikan.
Fungsi penanggungan risiko dilakukan oleh perusahaan-perusahaan asuransi yang bekerjasama dengan lembaga pemasaran. Fungsi ini sangat penting karena pemilik produk pertanian selalu menghadapi risiko di sepanjang saluran pemasaran.
Fungsi standarisasi dilakukan untuk menentukan mutu barang menurut ukuran atau standar tertentu. Standarisasi memudahkan produk untuk dijual dan dibeli dengan penyeragaman ukuran dan jenis produk sesuai keinginan konsumen. Fungsi grading dilakukan untuk mengklasifikasikan hasil pertanian ke dalam beberapa golongan mutu yang berbeda. Proses grading yang baik dapat meningkatkan nilai tambah produk.
Fungsi pembiayaan sangat penting bagi sistem pemasaran modern yang membutuhkan modal dalam jumlah besar. Fungsi pembiayaan dalam sistem pemasaran dilakukan oleh lembaga-lembaga keuangan atau investor.
3.1.3. Struktur Pasar
persaingannya. Pada umumnya jenis struktur pasar dapat dibedakan berdasarkan persaingan yang terjadi, yaitu :
Tabel 4 Karakteristik Struktur Pasar Berdasarkan Sudut Penjual dan Sudut Pembeli
No Karakteristik Struktural Struktur Pasar dari Sisi
Jumlah
Perusahaan
Sifat Produk Penjual Pembeli
1 Banyak Standarisasi Persaingan
sempurna
Persaingan
sempurna
2 Banyak Diferensiasi Persaingan
monopolistik
Persaingan
monopolistik
3 Sedikit Standarisasi Oligopoli murni Oligopsoni murni
4 Sedikit Diferensiasi Oligopoli
diferensiasi
Oligopsoni
diferensiasi
5 Satu Unik Monopoli Monopsoni
Sumber : Dahl dan Hammond, (1977)
1. Persaingan sempurna atau persaingan murni (pure competition). Struktur pasar ini ditandai dengan jumlah pembeli dan penjual yang sangat banyak. Transaksi setiap individu yang dilakukan dalam struktur pasar ini sangat kecil dibandingkan output industri total sehingga pelaku yang terlibat dalam pasar tidak dapat mempengaruhi harga produk yang dijual. Perusahaan-perusahaan dalam struktur pasar ini cenderung tidak mampu untuk melakukan diffrensiasi produk atau produk yang dihasilkan bersifat homogen. Pembeli dan penjual hanya bertindak sebagai penerima harga (price taker). Informasi tentang harga dan kualitas produk mudah didapatkan oleh setiap perusahaan bisa dengan mudah. Pada pasar ini tidak adanya hambatan untuk masuk atau keluar pasar.
Perusahaan monopoli memiliki kemampuan dalam membentuk harga (price maker).
3. Persaingan monopolistik, merupakan struktur pasar yang sangat mirip dengan pasar persaingan sempurna, namun pada pasar ini produsen mampu membuat differensiasi produk. Kemampuan untuk mendapatkan informasi dalam sturuktur pasar ini cenderung mudah dan perusahaan memiliki kemudahan untuk masuk dan keluar dari industri.
4. Oligopoli merupakan struktur pasar di mana hanya ada sejumlah kecil perusahaan yang memproduksi hampir seluruh output industri dan mempunyai keputusan yang saling mempengaruhi. Dalam struktur pasar ini, terdapat ketidaksempurnaan dan hambatan dalam memperoleh informasi mengenai produk, dan terdapat kemampuan pengendalian harga. Sebagian produk didiferensiasikan, sehingga terdapat perbedaan produk antara produsen satu dengan yang lain.
3.1.4. Perilaku Pasar
Perilaku pasar adalah pola tingkah laku pelaku pasar dalam melakukan penyesuaian dengan struktur pasar yang dihadapi, dapat berupa praktek penentu harga komoditi, keseragaman biaya pemasaran dan praktek persaingan bukan harga. Perilaku pasar dapat diketahui dengan kegiatan pengamatan praktek penjualan dan pembelian yang dilakukan oleh masing-masing lembaga tataniaga, sistem penentuan harga, kemampuan pasar untuk menerima komoditi yang dijual, stabilitas pasar, sistem pembayaran dan kerjasama antar lembaga pemasaran.
3.1.5. Efisiensi Pemasaran
Sebagai suatu kegiatan ekonomi, pemasaran menghendaki adanya efisiensi. Sistem pemasaran yang tidak efisien akan mengakibatkan kecilnya bagian yang diterima produsen, dan tingginya harga yang dibayarkan oleh konsumen. Pemasaran disebut efisien jika tercipta keadaan dimana pihak produsen, lembaga pemasaran dan konsumen memperoleh kepuasan dengan adanya aktivitas pemasaran tersebut (Limbong dan Sitorus, 1985). Bagi lembaga pemasaran dan produsen, tujuan utama dari efisiensi pemasaran adalah untuk menemukan langkah dalam meningkatkan kepuasan konsumen dengan biaya seminimal mungkin.
Pemasaran produk pertanian dapat dilihat dalam sistem input-output. Menurut Kohl dan Uhl (2002), input pemasaran terdiri dari sumber daya tenaga kerja, modal, alat produksi, dan bahan produksi. Output pemasaran terdiri dari waktu, bentuk, tempat dan kepemilikan yang berkaitan dengan peningkatan nilai tambah yang dapat memberikan kepuasan kepada konsumen. Sumber daya yang digunakan dalam kegiatan pemasaran merupakan biaya dan kepemilikan merupakan manfaat dari rasio efisiensi pemasaran. Pemasaran yang efisien adalah maksimisasi dari rasio input dan output tersebut.
3.1.6. Margin Tataniaga
Menurut Kohl dan Uhl (2002), margin tataniaga memiliki pengertian sebagai selisih harga yang dibayarkan konsumen dengan yang diterima oleh petani produsen. Adanya perubahan atau selisih harga tersebut merupakan indikator yang memperlihatkan total biaya yang dikeluarkan, keuntungan serta jasa dan peningkatan nilai tambah yang dilakukan oleh pelaku pemasaran yang terlibat. Dengan kata lain, margin tataniaga merupakan harga dari keseluruhan aktivitas penambahan nilai serta kinerja dan fungsi yang dilakukan oleh lembaga pemasaran. Harga dalam hal ini termasuk biaya dalam kinerja pemasaran dan semua biaya yang menggerakkan produk dari produsen hingga ke konsumen akhir serta keuntungan dari lembaga pemasaran yang terlibat
dalam memproduksi produk pertanian dan biaya jasa pemasaran. Tinggi rendahnya margin tataniaga sering digunakan dalam menilai tingkat efisiensi pemasaran. Margin tataniaga yang rendah tidak selalu merefleksikan tingkat efisiensi pemasaran yang tinggi. Tinggi atau rendahnya margin tataniaga suatu produk dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor fisik tataniaga seperti pengangkutan, penyimpanan, pengolahan dan lain sebagainya. Kesalahpahaman lain dalam menginterpretasikan tingkat margin tataniaga adalah margin yang tinggi menunjukkan banyaknya pedagang perantara yang terlibat dalam proses pemasaran dan margin dapat diturunkan dengan memperpendek saluran pemasaran. Pada kenyataannya, tinggi atau rendahnya margin tataniaga bergantung pada banyaknya fungsi yang dilakukan oleh lembaga pemasaran, bukan banyaknya lembaga yang terlibat.
[image:46.595.198.426.501.642.2]Harga yang dibayar konsumen akhir merupakan harga di tingkat pedagang pengecer. Bila digambarkan dalam suatu kurva, maka keseimbangan harga ditingkat pengecer merupakan perpotongan antara kurva penawaran turunan (derived supply curve), dengan kurva permintaan primer (primary demand curve). Sedangkan kesesimbangan harga ditingkat petani perpotongan antara kurva penawaran primer (primary supply curve) dengan kurva permintaan turunan (derived demand curve). Atau dapat digambarkan dengan:
Keterangan:
Sd : derived supply (kurva penawaran turunan = penawaran produk di tingkat pedagang)
Sp : primary supply (kurva penawaran primer = penawaran produk ditingkat petani)
Dd : derived demand (kurva permintaan turunan = permintaan pedagang atau pabrik)
Dp : primary demand (kurva permintaan primer = permintaan konsumen akhir) Pr : harga ditingkat pedagang pengecer
Pf : harga ditingkat petani
MM : margin pemasaran (marketing margin = Pr – Pf)
Q* : kuantitas (jumlah) produk yang ditransaksikan, yaitu sama ditingkat petani dan ditingkat pengecer.
3.1.7. Farmer’s Share
Farmer’s share merupakan perbandingan antara harga yang dibayarkan konsumen dengan harga yang diterima petani. Farmer’s share biasanya dinyatakan dalam persentase dan memiliki hubungan yang negatif dengan margin pemasaran. Semakin tinggi margin pemasaran suatu produk, maka semakin rendah farmer’s share yang diterima petani dan sebaliknya, semakin rendah margin pemasaran suatu produk maka semakin tinggi farmer’s share yang diterima petani.
3.1.8. Rasio Keuntungan Terhadap Biaya
Tingkat efisiensi pemasaran selain dapat dilihat dari margin tataniaga dan farmer’s share, juga dapat dilihat dari perbandingan antara keuntungan yang diperoleh dengan biaya yang dikeluarkan. Semakin merata penyebaran rasio keuntungan terhadap biaya, maka semakin efisien sistem pemasaran yang dilalui oleh produk tersebut. Rasio keuntungan terhadap biaya digunakan untuk melihat tingkat keuntungan yang diperoleh oleh lembaga pemasaran pada saat biaya pemasaran naik sebesar satu satuan. Rasio antara keuntungan dan biaya sebesar 1 berarti untuk setiap Rp 100,00 per satu satuan produk biaya pemasaran yang dikeluarkan oleh lembaga pemasaran tersebut akan diperoleh keuntungan sebesar Rp 100,00 per satu satuan produk.
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional
Dalam sistem pemasaran bawang merah di Kelurahan Brebes, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes, terdapat beberapa variasi dalam saluran pemasaran. Variasi tersebut mengakibatkan perbedaan dalam hal harga jual, margin pemasaran, farmer’s share,keuntungan dan biaya pemasaran untuk masing-masing lembaga pemasaran yang terlibat dalam sistem pemasaran. Permasalahan utama yang terjadi dalam pemasaran bawang merah di Kelurahan Brebes adalah rendahnya harga yang diterima oleh petani dibandingkan dengan harga yang diterima konsumen.
pemasaran. Analisis kualitatif juga digunakan untuk menganalisis mengenai struktur dan perilaku pasar yang meliputi kegiatan pengamatan terhadap banyaknya dan skala lembaga pemasaran yang terlibat, ketersediaan informasi bagi masing-masing lembaga pemasaran, tingkat kesulitan untuk keluar masuk pasar, dan kegiatan penjualan dan pembelian yang berlangsung antar pelaku pemasaran.
Analisis kuantitatif digunakan untuk mengetahui tingkat efisiensi di setiap pola saluran pemasaran yang terjadi dalam kegiatan pemasaran komoditas bawang merah dengan analisis margin pemasaran, analisis farmer’s share (bagian harga yang diterima petani) dan analisis keuntungan terhadap biaya pemasaran (benefit-cost ratio) masing-masing saluran dan lembaga pemasaran.
Keterangan :
: Informasi dua arah : Arus barang satu arah : Arus uang satu arah
Terjadi perbedaan yang cukup besar antara harga jual bawang merah di tingkat petani dengan harga jual bawang merah di tingkat konsumen
Lembaga pemasaran
− Pedagang pengumpul − Pedagang pengirim − Pedagang besar − Pedagang pengecer
Konsumen Petani
Analisis Kuantitatif
− Margin pemasaran − Farmer’s share
− Rasio keuntungan terhadap biaya
Analisis Kualitatif
− Fungsi pemasaran
− Pola saluran dan lembaga pemasaran
− Struktur dan perilaku pasar
Rekomendasi Alternatif Saluran Tataniaga Bawang Merah yang Efisien
[image:50.595.76.536.81.668.2]Usahatani bawang merah di Kelurahan Brebes
IV.
METODE PENELITIAN
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Kabupaten Brebes merupakan daerah sentra produksi bawang merah di Indonesia, baik dalam hal luas tanam, luas panen, produksi dan produktivitas per luas panen. Kecamatan Brebes merupakan salah satu dari tiga kecamatan dengan luas panen terbesar di Kabupaten Brebes. Kecamatan Brebes terbagi dalam 5 kelurahan dan 18 desa, salah satunya adalah Kelurahan Brebes. Pertimbangan pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive). Penelitian dilakukan di Kelurahan Brebes. Pengumpulan data dilakukan mulai bulan Februari hingga Maret 2011 yang merupakan tahap pengumpulan data primer di lapangan.
4.2. Metode Pengumpulan Data
sampel dengan rincian 3 orang pedagang pengecer pada saluran pemasaran III dan 3 orang pedagang pengecer pada pola saluran pemasaran IV.
10 Orang Pedagang Pengumpul
6 Orang Pedagang
Pengecer
5 Orang Pedagang Besar
4 Orang Pedagang
[image:52.595.122.501.155.312.2]Pengirim 30 Orang Petani
Gambar 3. Alur Pengambilan Sampel Petani dan Pedagang Perantara Bawang Merah di Kelurahan Brebes
Kegiatan observasi merupakan aktivitas pengamatan langsung di lapangan untuk mengetahui, mengamati, dan menganalisis kondisi yang berlangsung di lapangan. Kegiatan wawancara dilakukan secara langsung kepada seluruh pihak yang terlibat dalam kegiatan pemasaran produk bawang merah. Sedangkan kuisioner adalah daftar pertanyaan yang terkait dengan penelitian ini dan ditujukan kepada pihak yang terkait dengan penelitian (Lampiran 1 dan Lampiran 2).
4.3. Jenis dan Sumber Data
Bina Hortikultura, Departemen Pertanian, Dinas Pertanian Kabupaten Brebes, Kelurahan Brebes, Kecamatan Brebes dan studi literatur terkait.
4.4. Metode Analisis dan Pengolahan Data
Pengolahan data hasil penelitian dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif diolah dengan dijabarkan secara deskriptif analitis yaitu mengenai gambaran umum dan kondisi tempat penelitian, pola saluran pemasaran, fungsi-fungsi pemasaran, struktur dan perilaku pasar. Sedangkan data kuantitatif berupa margin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya diolah dengan menggunakan Microsoft Excel dan kalkulator.
4.4.1. Analisis Saluran Pemasaran
Analisis ini saluran pemasaran digunakan untuk mengetahui jenis dan jumlah saluran pemasaran yang dilalui oleh produk bawang merah di Kelurahan Brebes, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes dari tingkat produsen (petani) hingga ke konsumen akhir. Hasil analisis ini akan menunjukkan pola saluran pemasaran yang terjadi berd