I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Rata-rata laju pertumbuhan populasi ternak unggas selama enam tahun
dari tahun 2004 hingga 2010 menunjukkan peningkatan, diantaranya ternak ayam
ras petelur dan pedaging serta itik (Tabel 1). Sementara, perkembangan ternak
ayam buras mengalami penurunan dengan rata-rata laju penurunan 0,29 persen
selama enam tahun di Indonesia. Namun demikian, rata-rata kontribusi populasi
ternak ayam buras terhadap populasi ternak unggas di Indonesia selama tujuh
tahun sebesar 20,60 persen menunjukkan bahwa budidaya ayam buras juga
menyumbang pertumbuhan output nasional pada subsektor peternakan unggas
sebagai salah satu sektor riil perekonomian di Indonesia, yaitu sektor pertanian.
Selain itu, kontribusi populasi ayam buras terhadap pemenuhan konsumsi daging
dan telur nasional potensial untuk dikembangkan.
Tabel 1. Populasi Ternak Unggas di Indonesia Tahun 2004-2010
(dalam 000 Ekor)
Ternak Unggas 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010*)
Ayam Buras 276.989 278.954 291.085 272.251 243.423 249.964 268.957
Ayam Ras Petelur 93.416 84.790 100.202 111.489 107.955 99.768 103.841 Ayam Ras Pedaging 778.970 811.189 797.527 891.659 902.052 991.281 1.249.952
Itik 32.573 32.405 32.481 35.867 38.840 42.318 45.292
Total Populasi Unggas 1.181.948 1.207.338 1.221.295 1.311.266 1.292.270 1.383.331 1.668.042
Keterangan: *) Angka Sementara
Sumber: Badan Pusat Statistik (2011) 1) (Diolah)
Jumlah produksi unggas nasional tersebut sebagian besar disumbang dari
Pulau Jawa, antara lain Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur
sebagaimana yang ditunjukkan dalam Tabel 2. Besar sumbangan populasi ternak
ayam buras di Provinsi Jawa Barat terhadap populasi nasional 11,11 persen
menunjukkan masih rendahnya pengusahaan ternak ayam buras dibandingkan
dengan ayam ras pedaging dan petelur. Data populasi ternak ayam buras belum
memilah antara usaha ternak ayam pedaging dan petelur, sehingga data populasi
1)
2 yang ditunjukkan merupakan total keseluruhan populasi ayam buras pedaging dan
petelur.
Tabel 2. Perbandingan Populasi Ternak di Provinsi Jawa Barat dengan Provinsi
Lain dan Kontribusinya terhadap Nasional Tahun 2010*
**) Persentase kontribusi populasi unggas Provinsi Jawa Barat terhadap populasi unggas Nasional Sumber: Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat (2011) 2)
Populasi unggas ayam buras di Provinsi Jawa Barat yang masih rendah
tersebut disebabkan pengusahaan oleh rumah tangga peternak yang organisasi
produksinya masih bersifat subsisten atau hanya sebagai rumah tangga pemelihara
(Tabel 3). Kedua jenis rumah tangga yang berbeda dalam Tabel tersebut
menjelaskan corak usahatani yang terdapat dalam masyarakat pembudidaya ternak
unggas di Jawa Barat.
(http://disnak.jabarprov.go.id). Perbandingan Populasi Ternak di Provinsi Jawa Barat dengan Provinsi Lain dan Kontribusinya terhadap Nasional Tahun 2010*. Diakses Tanggal 3 Oktober 2011.
3)
3 Rumah tangga pemelihara dimaksudkan dengan corak usaha ternak yang subsisten
dan rumah tangga usaha merupakan corak usaha ternak yang komersial.
Umumnya, budidaya ternak ayam buras diusahakan secara terpencar-pencar oleh
individu peternak di wilayah pedesaan dengan skala yang sangat kecil dan corak
subsisten. Jumlah rumah tangga peternak, baik rumah tangga pemelihara maupun
rumah tangga usaha dalam membudidayakan ternak ayam buras sangat besar
jumlahnya, tetapi populasi ayam buras masih rendah.
Berbeda halnya dengan populasi ayam ras pedaging dan petelur yang
pengusahaannya oleh rumah tangga peternak lebih sedikit dibandingkan dengan
rumah tangga peternak ayam buras. Persentase jumlah rumah tangga pemelihara
ternak ayam buras terhadap jumlah rumah tangga pemelihara unggas di Provinsi
Jawa Barat mencapai 92,05 persen adalah lebih besar daripada jumlah rumah
tangga pemelihara ayam ras pedaging dan petelur yang masing-masing hanya 0,78
persen dan 0,39 persen terhadap jumlah rumah tangga pemelihara unggas di Jawa
Barat pada tahun 2008. Sementara, rumah tangga peternak usaha (komersial)
untuk ternak ayam buras baru diusahakan sekitar 1,39 persen terhadap seluruh
rumah tangga peternakan unggas di Jawa Barat.
Namun demikian, pengusahaan ayam ras pedaging dan petelur secara
komersial pun tidak lebih besar dari rumah tangga peternak ayam buras komersial
masing-masing hanya 0,64 persen dan 0,09 persen dari rumah tangga peternakan
unggas di Jawa Barat. Hal ini disebabkan pengusahaan ayam ras pedaging dan
petelur saat ini banyak dikembangkan dengan berkelompok melalui
kelembagaan-kelembagaan sosial dan ekonomi yang terdapat dalam lingkungan masyarakat,
seperti kelompok ternak, Kelompok Wanita Tani (KWT) dan diarahkan dengan
bentuk kemitraan PIR (Perusahaan Inti Rakyat). Dengan prinsip kolektivitas
tersebut, baik melalui kelembagaan maupun kemitraan, ternyata mampu
meningkatkan produksi ayam ras pedaging dan petelur. Bentuk kolektivitas ini
masih jarang ditemukan dalam perkembangan budidaya ayam buras hampir di
sebagian besar wilayah pedesaan Indonesia.
Produksi ternak unggas ayam buras yang masih kecil itu membuat harga
jual hasil ternak, baik daging maupun telur ayam buras lebih mahal daripada hasil
4 karakteristik yang lebih diminati masyarakat tertentu. Beberapa karakteristik
daging dan telur ayam buras tersebut, diantaranya seperti tekstur yang liat pada
daging dan kandungan lemak yang lebih tinggi sehingga rasanya lebih gurih
daripada daging dan telur ayam ras. Pemeliharaannya yang tradisional dengan
membebaskan ayam secara liar untuk mencari pakan sendiri, membuat tingkat
keaktifan ayam buras lebih tinggi dan secara biologis membentuk rasa dan tekstur
spesifik. Hasil ternak telur ayam buras lebih banyak diminati karena manfaat
fungsionalnya untuk menjaga stamina dan kesehatan tubuh daripada telur ayam
ras yang manfaatnya untuk makanan konsumsi sehari-hari. Implikasinya adalah
bahwa permintaan hasil ternak ayam buras masih lebih besar daripada
11.892 800.900 1.266.060 20.257 365.310 7.608.900
7 Kab. Ciamis 217.333 - - 466.814 - 15.209.816 Jawa Barat 8.460.181 2.412.746 99.997.152 3.417.148 9.253.798 122.971.880
Keterangan : Tanda (-) menunjukkan bahwa tidak ada pemasukan dan pengeluaran unggas Sumber : Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat (2011) 4)
4
5 Istilah pemasukan menjelaskan tentang kebutuhan suatu daerah akan
ternak tertentu yang dikirimkan berasal dari daerah di luar Provinsi Jawa Barat.
Sementara, istilah pengeluaran menjelaskan jumlah unggas yang dapat diproduksi
oleh peternak daerah tersebut yang dapat dikonsumsi dan atau dikirimkan ke luar
daerah tersebut. Jumlah pemasukan ayam buras untuk Kabupaten dan Kota Bogor
yang lebih besar dibandingkan jumlah pengeluaran pada tahun 2010 menunjukkan
bahwa permintaan ayam buras di daerah Bogor masih lebih besar daripada
produksinya. Hal ini pun terjadi juga di beberapa kabupaten dan kota lainnya di
Provinsi Jawa Barat. Dengan demikian, pengembangan ternak ayam buras ini
menjadi penting untuk meningkatkan produksi dalam memenuhi peluang
permintaan yang masih besar.
1.2. Perumusan Masalah
Rekapitulasi data kelompok peternakan ayam buras dalam Tabel 5
menunjukkan potensi ternak ayam buras yang dikembangkan di Kabupaten
Bogor. Menurut data dari Badan Penyuluhan Pertanian, Perikanan, Peternakan
dan Kehutanan (BP4K), terdapat lima kecamatan di Kabupaten Bogor yang
membudidayakan ayam buras dengan berkelompok, salah satunya adalah di
Kecamatan Klapa Nunggal.
Tabel 5. Rekapitulasi Data Kelompok Peternakan Ayam Buras Tahun Anggaran
2009 di Kabupaten Bogor
Sumber : Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor (2011) 5) (Diolah).
5)
6 Kelompok ternak yang mengusahakan ternak ayam buras di Kecamatan Klapa
Nunggal Desa Nambo merupakan kelompok ternak ayam buras yang mempunyai
jumlah populasi ternak ayam buras terbanyak dibandingkan dengan
kelompok-kelompok ternak ayam buras lainnya di Kabupaten Bogor, yaitu Kelompok
Ternak Hidayah Alam.
Pada tahun 2009, Kelompok Ternak Hidayah Alam Desa Nambo memiliki
kandang terluas yaitu 1.048 m2 dengan jumlah populasi ternak ayam burasnya
sebesar 6.250 ekor. Dengan jumlah anggota peternak yang tergabung didalamnya
sebanyak enam orang, Kelompok Ternak Hidayah Alam yang berdiri pada tahun
2000 telah berkembang menjadi peternakan unggas yang bercorak komersial
dengan skala kecil, karena jumlah kepemilikan ayam yang lebih dari 1.000 ekor
(Bamualim, Inounu dan Talib 2007). Namun dalam perkembangannya hingga
tahun 2011, populasi ternak ayam buras tersebut semakin berkurang. Berdasarkan
informasi yang diperoleh dari Ketua Kelompok Ternak Hidayah Alam, bahwa
sebelumnya terdapat beberapa peternak ayam buras yang pernah menjadi anggota
kelompok tersebut, tetapi kemudian meninggalkan usaha ternak ayam burasnya.
Hal ini disebabkan jumlah ayam buras yang dipelihara cukup besar dan akan
membutuhkan tenaga kerja tambahan. Tetapi, sebagian besar peternak yang
mengusahakan ayam buras dalam kelompok ini menjadikan usaha ternak ayam
buras sebagai pekerjaan sampingan, sehingga peternak mencurahkan jam kerja
sebagian besar kepada pekerjaan utamanya di luar usaha ternak, diantaranya
sebagai pegawai pemerintahan dan karyawan perusahaan.
Keterbatasan tenaga kerja keluarga untuk mengelola usaha ternak ayam
buras ini menyebabkan manajemen pemeliharaan, terutama untuk seleksi bibit
ayam untuk memperoleh produksi telur yang diharapkan, semakin menurun
sehingga mengurangi pertumbuhan produktivitas telur ayam. Peternak tidak
menggunakan tenaga kerja dari luar keluarga, karena selain pertimbangan
munculnya biaya produksi tambahan, tetapi juga beralihnya peternak dalam
penggunaan jenis pakan. Sejak 1,5 tahun sebelumnya, peternak meramu pakan
manual meliputi dedak padi, bungkil kedelai, tepung ikan dan jagung giling, tetapi
kini peternak lebih memilih menggunakan jenis pakan jadi ayam petelur yang
7 beberapa peternak yang mempunyai mesin pemecah jagung saat ini jarang
dimanfaatkan, terutama karena ketersediaan bahan-bahan untuk membuat pakan
manual yang semakin langka. Harga pakan jadi ayam petelur ini relatif mahal bagi
sebagian besar peternak, terlebih lagi konsumsi ayam buras petelur untuk
memproduksi telur konsumsi membutuhkan jumlah pakan yang relatif besar,
berkisar antara 80-100 gram per ekor per hari.
Harga pakan jadi ayam petelur yang digunakan peternak Kelompok
Hidayah Alam rata-rata sebesar Rp 200.000,00 setiap 50 kilogram yang diberikan
untuk 400 ekor ayam dan habis dikonsumsi dalam satu hari. Kebutuhan dan harga
pakan jadi yang tinggi ini ikut mendorong sebagian besar peternak untuk
memutuskan menjual ayam-ayam yang dipeliharanya, di samping untuk
mengurangi biaya tambahan tenaga kerja untuk mempertahankan manajemen
pemeliharaan tanpa menurunkan produktivitas telur ayam, tetapi juga untuk
membiayai penggunaan jenis pakan jadi yang lebih besar daripada biaya pakan
manual untuk membudidayakan ternak ayam buras pada tahun berikutnya.
Namun demikian, pembudidayaan ayam buras petelur di Desa Nambo ini
terus dikembangkan dalam Kelompok Ternak Hidayah Alam dan dijalankan
melalui kemitraan dengan perusahaan di sekitar desa tersebut dalam suatu
program tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility
(CSR). Tetapi, tidak semua peternak bermitra dan menerima bantuan modal
tersebut, sehingga terdapat peternak yang bermitra dan tidak bermitra. Kemitraan
yang dijalankan antara perusahaan dengan kelompok ternak berupa pemberian
pinjaman modal dalam bentuk input bibit ayam betina umur lima bulan, yang
sifatnya bergulir di antara peternak dengan jangka waktu pengembalian selama
tiga tahun. Di samping itu, peternak yang menjalankan kemitraan juga
memperoleh pelatihan budidaya ayam buras dari perusahaan swasta tersebut.
Kemitraan ini dilaksanakan oleh dua perusahaan swasta, yaitu PT.
Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. dan PT. Holcim Indonesia, Tbk. Peran
kemitraan ini sebagai sumber penyedia permodalan bagi peternak merupakan
salah satu upaya pengembangan usaha ternak dalam kaitannya dengan penyediaan
input usaha ternak. Oleh karena itu, penting sekali mengkaji perbedaan keputusan
8 usaha ternak yang dijalankan Kelompok Hidayah Alam ini memiliki variasi
jumlah populasi ayam buras yang dipelihara, yaitu skala pengusahaan paling kecil
sebanyak 150 ekor dan skala paling besar sebanyak 1.325 ekor.
Perluasan skala pengusahaan ternak dapat menurunkan rata-rata komponen
biaya input tetap per unit output sehingga keuntungan produsen meningkat (Teken
dalam Fatma 2011). Perbedaan skala pengusahaan ternak ini membutuhkan kajian
mengenai analisis usaha ternak antara peternak skala besar dan peternak skala
kecil untuk melihat perbedaan tingkat keberhasilan usaha ternak. Hasil kajian ini
diharapkan dapat memberikan gambaran kondisi usaha ternak yang dijalankan
Kelompok Ternak Hidayah Alam saat ini, sehingga dapat menjadi rekomendasi
alternatif pengembangan usaha ternak ayam buras petelur. Berdasarkan uraian di
atas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan adalah:
(1) Bagaimana perbedaan kemitraan dan skala pengusahaan ternak terhadap
tingkat keberhasilan usaha ternak ayam buras petelur Kelompok Hidayah
Alam?
(2) Bagaimana alternatif pengembangan usaha ternak ayam buras petelur
dalam Kelompok Ternak Hidayah Alam?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka
penelitian ini bertujuan dalam:
(1) Menganalisis perbedaan kemitraan dan skala pengusahaan ternak terhadap
pendapatan dan efisiensi usaha ternak ayam buras petelur dalam
Kelompok Hidayah Alam;
(2) Menganalisis perbedaan kemitraan dan skala pengusahaan ternak terhadap
tingkat keuntungan investasi usaha ternak ayam buras petelur dalam
Kelompok Hidayah Alam; dan
(3) Menganalisis alternatif pengembangan usaha ternak ayam buras petelur
9
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat dari adanya penelitian ini diantaranya adalah:
(1) Bagi Masyarakat Desa Nambo
Masyarakat Desa Nambo, khususnya peternak ayam buras petelur yang
tergabung dalam Kelompok Ternak Hidayah Alam merupakan pihak yang sangat
terkait dengan perencanaan dan pelaksanaan penelitian. Penelitian ini bertujuan
untuk membantu peternak dalam memberikan alternatif solusi permasalahan
dalam pengembangan usaha ternak ayam buras petelur dan pada akhirnya untuk
meningkatkan pendapatan dan keuntungan peternak. Sementara itu, manfaat
penelitian bagi masyarakat secara umum adalah memberikan informasi mengenai
potensi pengembangan usaha ternak telur ayam buras sebagai tambahan
penerimaan dalam rumah tangga dan upaya peningkatan kemandirian pangan
secara lokal;
(2) Bagi Mahasiswa
Penelitian ini merupakan tugas akhir mahasiswa sebagai bentuk
pertanggungjawaban akademik dalam menyelesaikan permasalahan masyarakat
yang terkait dengan bidang keahliannya. Perencanaan dan pelaksanaan penelitian
yang dirancang ini melatih mahasiswa untuk tanggap melihat
permasalahan-permasalahan yang ada dalam masyarakat dan kemudian menganalisis
permasalahan-permasalahan tersebut serta memberikan rekomendasi solusi
berbekal ilmu yang diperoleh selama bangku perkuliahan. Di samping menambah
pengalaman selama di lapangan, penelitian ini juga dapat meningkatkan
kemampuan akademik mahasiswa dalam tataran aplikasi; dan
(3) Bagi Institut Pertanian Bogor
Institut Pertanian Bogor merupakan salah satu pihak akademis yang
mempunyai tanggung jawab untuk memajukan daerah-daerah pedesaan sekitar
kampus maupun luar kampus dalam sektor pertanian secara luas. Oleh karena itu,
pelaksanaan penelitian ini dapat digunakan sebagai tolak ukur keberhasilan
mahasiswa sebagai perwakilan Institut Pertanian Bogor dalam membangun
daerah-daerah pedesaan tersebut. Hasil dari kegiatan penelitian yang dilaksanakan
10 mendapatkan perhatian dari pihak IPB, sehingga pembangunan desa-desa tersebut
dapat terus dilakukan sebagai salah satu upaya meningkatkan pertanian Indonesia.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini dibatasi untuk mengidentifikasi dan
menganalisis pengembangan usaha ternak ayam buras petelur Kelompok Ternak
Hidayah Alam, Desa Nambo, Kecamatan Klapa Nunggal, Kabupaten Bogor,
Provinsi Jawa Barat. Objek penelitian ini adalah seluruh peternak yang tergabung
ke dalam kelompok ternak Hidayah Alam yang berjumlah enam orang.
Sedangkan, periode produksi dalam satu tahun yang menjadi patokan analisis
usaha ternak ini yaitu produksi hasil ternak yang terjadi dalam Januari sampai
dengan Desember pada tahun 2011. Unit analisis dalam penelitian ini adalah
usaha ternak penetasan telur ayam buras yang dibudidayakan oleh
peternak-peternak yang tergabung ke dalam Kelompok Ternak Hidayah Alam. Artinya,
usaha lain yang terkait dengan usaha ternak ayam buras petelur, seperti misalnya
usaha pembesaran telur ayam buras, usaha pembesaran daging ayam buras, usaha
pembibitan ayam buras, perusahaan mitra penyedia permodalan dan
II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Gambaran Umum Pengembangan Usaha Ternak Ayam Buras di
Indonesia
Beberapa penelitian yang mengkaji permasalahan usaha ternak ayam buras
banyak menunjukkan pertumbuhan produksi ayam buras yang berbeda dengan
pertumbuhan produksi yang terjadi pada usaha ternak ayam ras. Salah satunya
adalah seperti yang diungkapkan oleh Bamualim, Inounu dan Talib (2007), bahwa
pengembangan ayam buras yang dilakukan sebagian besar masyarakat Indonesia
adalah untuk mendapatkan bibit ayam yang spesifik sifatnya dan berfungsi untuk
hiburan atau hobi karena warna dan keunikannya. Tidak banyak yang
membudidayakan ternak ayam buras ini berdasarkan orientasi produksi daging
atau telur dalam jumlah besar. Peternak budidaya ayam buras memilih ternak
tersebut sebagai tabungan yang mudah untuk dijual dan menghasilkan uang tunai.
Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa usaha ternak ayam buras hanya
ditujukan untuk melestarikan salah satu plasma nutfah di Indonesia.
Masih rendahnya usaha ternak ayam buras yang ditujukan untuk produksi
daging dan telur dalam jumlah yang besar juga didukung oleh penelitian
Amrawaty (2009) bahwa usaha ternak ayam buras pada peternak berada pada
kategori usaha sambilan, karena tingkat pendapatan usaha ternak tidak lebih tinggi
dari 30 persen total pendapatannya. Besarnya kontribusi usaha ternak ayam buras
terhadap total pendapatan usahatani untuk rata-rata skala kepemilikan ayam buras
sebesar 30 ekor adalah 11,65 persen, skala kepemilikan 31 ekor sebesar 5,8 persen
dan skala kepemilikan 28 ekor sebesar 2,43 persen. Usaha sambilan ternak ayam
buras ini yang telah menjadi tulang punggung penyedia ternak di tanah air yang
persentasenya mencapai 90 persen. Kedua penelitian tersebut menyimpulkan
bahwa pengembangan usaha ternak ayam buras di Indonesia sebagian besar
diusahakan sebagai usaha sambilan atau sampingan dan belum berorientasi
12
2.2. Perkembangan Penampilan Usaha Ternak Ayam Buras di Indonesia
Usaha ternak ayam lokal dengan sistem pemeliharaan yang intensif
melalui perbaikan pakan, manajemen dan pengendalian penyakit yang baik dapat
menghasilkan produksi telur per tahun 51 butir per ekor dengan daya tetas 78-80
persen (Sumanto dan Zainuddin 2005). Penelitian tersebut juga menjelaskan
perbaikan koefisien teknis penampilan usaha ayam lokal melalui perbaikan pakan
dan sistem perkandangan disertai pembinaan teknis bagi peternak yang
meningkatkan produksi telur hingga 63 butir per induk per tahun dengan daya
tetas 86 persen per ekor per periode. Namun demikian, produksi ayam lokal ini
masih belum menunjukkan tingkat produktivitas ayam yang maksimum.
Perkembangan penelitian selanjutnya menyebutkan bahwa rata-rata jumlah
ayam yang dipelihara peternak di Indonesia dengan sistem intensif yaitu 104 ekor
setiap peternak dan dapat memproduksi telur sebesar 80,30 butir per ekor induk
per tahun (Sinurat dalam Hasbianto dan Suryana 2008). Upaya dalam
meningkatkan produktivitas tersebut dapat dilakukan melalui introduksi teknologi
pemeliharaan intensif dengan melaksanakan “Sapta Usaha” ayam buras, yang
meliputi pemilihan bibit, pencegahan penyakit, perkandangan, pemberian pakan
dengan gizi seimbang, sistem reproduksi, pasca panen, pemasaran dan manajemen
usaha. Pada usaha ternak ayam buras yang dilakukan dengan sistem tersebut,
induk baru dapat memproduksi telur pada umur pertama bertelur rata-rata 7,5
bulan dan daya tetas telur mencapai 83,70 persen. Tingkat mortalitas ternak
hingga umur enam minggu rata-rata 27,20 persen, sedangkan ternak yang berumur
produktif hingga afkir memiliki tingkat mortalitas kurang dari 27 persen.
Namun, produktivitas telur ayam buras akan semakin menurun dengan
bertambahnya umur induk. Septiwan (2007) menggambarkan respons
produktivitas dan reproduktivitas ayam buras dengan umur induk yang berbeda
bahwa induk ayam buras yang berumur 6 bulan dapat memproduksi telur 3,24
butir per ekor per minggu, umur 12 bulan memproduksi 2,21 butir per ekor per
minggu dan umur 18 bulan dapat memproduksi 1,78 butir per ekor per minggu.
Pertambahan umur induk ini juga diikuti dengan menurunnya daya tetas telur
ayam buras hingga 88,21 persen pada induk yang berumur 18 bulan untuk telur
13 dapat dilakukan dengan memelihara tatalakana perkandangan yang baik,
pengendalian penyakit dan perbaikan mutu genetik untuk memperoleh bibit
dengan produksi telur yang baik.
Kondisi perkandangan yang gelap, ventilasi kurang cahaya, lembab, kotor
dan kapasitas kandang yang tidak berimbang dengan jumlah ternak serta
manajemen dan iklim, merupakan media yang sangat bagus untuk berkembangnya
penyakit koksiodisis, dimana penyakit ini dapat menghambat pertumbuhan,
menurunkan berat badan, menurunkan jumlah telur, mengundurkan masa bertelur
hingga lima sampai tujuh minggu serta menimbulkan kematian 20-90 persen
(Salvina, et al dalam Jarmani 2005). Upaya pencegahan penyakit yang
menggunakan ramuan jamu berasal dari tanaman-tanaman berkhasiat obat seperti
kunyit, lempuyang, jahe, daun sambiloto, kencur, bawang merah dan daun papaya
yang dicampurkan ke dalam pakan dan minum ayam dapat meningkatkan
produktivitas.
Di samping itu, perbaikan mutu genetik ayam lokal petelur untuk
mengurangi sifat mengeram, salah satunya dapat dilakukan dengan persilangan
antara ayam lokal dengan ayam ras (Setioko dan Iskandar 2005). Penelitian
tersebut menyebutkan juga besarnya produksi telur hasil seleksi generasi ketiga
mencapai 178 butir per ekor per tahun. Diwyanto et al. dalam Hasbianto dan
Suryana (2008) menjelaskan juga mengenai konsumsi pakan ayam buras dengan
sistem pemeliharaan intensif yaitu antara 80-100 gram per ekor per hari.
Kebutuhan pakan dalam pemeliharaan tersebut 30 persen lebih besar daripada
penggunaan pakan yang dikeluarkan dalam sistem pemeliharaan semi intensif dan
tradisional. Beberapa nilai yang dijelaskan tersebut dapat menggambarkan
parameter produksi atau koefisien teknis dalam usaha ternak ayam buras pada
umumnya, antara lain produktivitas telur per ekor induk per tahun dapat mencapai
92,56 – 168,48 butir pada umur berbeda (Septiwan 2007). Daya tetas telur
terrendah dan tertinggi masing-masing adalah 78 persen (Sumanto dan Zainuddin
2005) dan 88,21 persen (Septiwan 2007) per periode bertelur. Tingkat mortalitas
14
2.3. Arah Pengembangan Usaha Ternak Ayam Buras di Indonesia
Komoditi daging ayam buras memang merupakan salah satu komoditi
yang terdiferensiasi, artinya komoditi tersebut memiliki permintaan yang spesifik.
Namun, bukan berarti potensi pembudidayaannya hanya bertujuan untuk
mendapatkan hasil yang spesifik dan melestarikan plasma nutfah. Ternak ayam
buras yang telah menjadi akar dasar perekonomian bagi sebagian besar
masyarakat pedesaan Indonesia ini dapat dikembangkan dengan berorientasi
kepada produksi, sama halnya dengan pertumbuhan produksi yang terjadi pada
komoditi ayam ras, baik ayam ras pedaging maupun petelur. Ilham, Sejati dan
Yusdja (2003) menyebutkan bahwa populasi ayam ras pedaging yang tinggi di
Pulau Jawa berhubungan dengan ketersediaan pasar yaitu kepadatan penduduk,
ketersediaan modal, lahan, dan keterampilan. Hal ini menunjukkan bahwa
besarnya potensi pengembangan ayam karena adanya permintaan dari jumlah
penduduk yang cukup besar untuk Pulau Jawa. Kenyataan ini memberikan
peluang bagi pengembangan ayam buras, mengingat semakin bertambahnya
populasi penduduk di Pulau Jawa sebagai potensi permintaan daging dan telur
ayam yang semakin meningkat.
Upaya pengembangan ayam buras untuk memenuhi potensi permintaan
daging dan telur ayam buras yang dilakukan pemerintah sejak tahun 1980, yaitu
dengan menetapkan kebijakan melalui program INTAB (Intensifikasi Ayam
Buras) dan dilaksanakan dengan pendekatan kelompok tani yang menerapkan
Sapta Usaha meliputi teknologi bibit, pakan, kandang, kesehatan, manajemen,
pasca panen dan pemasarannya. Bakrie et al (2003) menyebutkan bahwa
pemeliharaan ayam buras pada kandang batere menghasilkan produksi telur yang
lebih tinggi dibandingkan dengan produksi telur pada kandang umbaran terbatas.
Sistem pemeliharaan untuk memproduksi telur konsumsi merupakan
implementasi dari pemeliharaan ayam buras secara intensif. Pada sistem ini, ayam
dipelihara pada kandang batere individu, sehingga produksi telur masing-masing
ayam dapat diketahui. Kandang yang digunakan untuk pemeliharaan ayam buras
untuk tujuan memproduksi telur konsumsi adalah kandang individu dengan
ukuran 20 x 20 x 40 cm dengan posisi lantai miring agar telur yang diproduksi
15 mengeram dengan mencampur ayam pejantan. Pada sistem kandang batere ini,
teknologi seleksi ayam secara sederhana dengan mengeluarkan ayam-ayam yang
produksinya rendah dan diganti dengan ayam baru yang diperkirakan mempunyai
produktivitas tinggi, sehingga produktivitas telur secara keseluruhan dapat relatif
seragam dan sesuai dengan yang diharapkan.
Namun, permasalahan dalam pengembangan ayam buras terutama adalah
penggunaan teknologi budidaya yang selama ini menghasilkan produktivitas
rendah dan tidak diikuti dengan upaya perbaikan. Rohaeni (2005) menjelaskan
beberapa cara untuk mengatasi permasalahan tersebut melalui peningkatan
pembinaan teknis dengan adanya penyuluhan dan pengkajian atau penelitian,
perbaikan sistem kelembagaan, peningkatan hubungan dengan lembaga penyedia
permodalan, baik bank atau perusahaan swasta untuk bermitra, perbaikan
teknologi dengan memperhatikan tiga faktor seperti breeding, feeding dan
tatalaksana yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan identifikasi dan
optimalisasi bahan pakan lokal. Perbaikan pakan diarahkan dengan
memperhatikan kandungan protein ransum dan efisiensi biaya pakan. Perbaikan
pengendalian penyakit dapat mengurangi kematian ayam dan meningkatkan
replacement sehingga mengurangi biaya bibit (Gunawan 2005).
Bakrie et al. (2003) menjelaskan bahwa proses pembibitan ayam telah
diarahkan untuk mencapai kualitas ayam yang diinginkan yaitu untuk
memproduksi telur konsumsi dalam jumlah tinggi, sehingga dilakukan
persilangan dengan ayam ras petelur. Selain itu, upaya pembibitan ini didukung
oleh sistem perkandangan ayam berupa batere individu, sehingga peternak lebih
mengetahui induk yang produksinya menurun karena adanya proses manajemen
seleksi. Proses pembibitan dilakukan dengan melakukan pencatatan data atau
seleksi pada sistem perkandangan batere individu, karena dengan data yang
diperoleh dari pemeliharaan di kandang batere individu merupakan data individu,
sehingga pemilihan ternak yang akan dijadikan tetua (pejantan dan induk) untuk
dikawinkan akan lebih teliti. Ketelitian ini akan menghasilkan peluang
dihasilkannya keturunan yang sesuai dengan tujuan perbibitan. Perkawinan pada
16 (Inseminasi Buatan) dengan pertimbangan lebih efisien dan biaya yang relatif
murah.
Penampilan ayam buras saat ini mulai dikembangkan untuk memperoleh
kesamaan sifat seperti ayam ras, terutama dalam tingkat pertumbuhan atau
produksi telurnya. Bakrie, Suwandi dan Lotulung (2005) menggambarkan
persilangan Ayam Arab jantan dengan ayam buras betina seperti ayam Kedu
merah, Sentul dan Wareng atau Ayam Buras Hibrida (Ayam Buras Super) yang
merupakan persilangan antara ayam buras jantan dengan ayam ras petelur atau
ayam broiler dengan ayam buras betina dapat meningkatkan produksi telur
konsumsi pada ayam buras. Hal ini juga diungkapkan oleh Juarini, Sumanto dan
Zainuddin (2005), bahwa untuk meningkatkan produktivitas ayam lokal, maka
bibit harus diseleksi sehingga harus ada pemeliharaan secara mantap yaitu
persilangan antar ayam lokal yang menghasilkan peningkatan performans, dengan
memperhatikan segi pemuliaan dan efisiensi biaya pakan.
Kebutuhan telur konsumsi selain dipenuhi dari ayam buras, terutama
sebagian besar diproduksi oleh ayam ras petelur. Pertumbuhan produksi ayam ras
petelur yang cukup besar salah satunya dipengaruhi faktor harga jual hasil
produksi ayam ras dan luas kandang ternak (Nurwanti 2005). Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Nurwanti (2005) di Desa Sukamulya, Kecamatan
Ciamis, faktor harga jual hasil produksi ternak memiliki pengaruh terbesar, yaitu
sebesar 95 persen terhadap pengembangan usaha ternak tersebut. Harga jual yang
dimaksudkan adalah harga jual yang dapat menutupi biaya operasionalnya dan
cenderung stabil, dimana harga jual yang diamati pada objek peternak plasma
adalah harga jual yang disepakati dengan pihak inti. Demikian juga dengan luas
kandang ternak yang memiliki pengaruh sebesar 90 persen terhadap
pengembangan usaha ternak ayam ras pedaging tersebut dapat dicapai pada skala
efisiennya ketika peternak melakukan kerjasama dengan pihak inti. Hal ini
terutama dikarenakan adanya penyediaan modal dalam pembuatan kandang
tersebut.
Fitriyani (2006) dan Kesuma (2006) yang mengkaji usaha ternak ayam ras
pun mendukung alternatif pengembangan melalui peningkatan skala produksi.
17 melalui ukuran penerimaan atas total biaya yang dikeluarkan lebih baik pada
peternak yang memiliki skala usaha besar dibandingkan dengan peternak berskala
kecil. Kedua penelitian tersebut yang menggunakan pengambilan contoh secara
purposive sampling rata-rata menyimpulkan bahwa semakin besar skala usaha yaitu semakin besar jumlah kepemilikan ayam, maka semakin besar pendapatan
bersih dan semakin besar penerimaan yang dimiliki petani atas total biaya yang
dikeluarkannya. Hal ini menunjukkan bahwa faktor yang penting dalam
mempengaruhi pengembangan atau meningkatkan pendapatan dan kelayakan
usaha ternak tersebut adalah skala usaha, baik dari pemeliharaan ayam maupun
luas kandang pemeliharaannya. Menurut Gunawan dalam Hasbianto dan Suryana
(2008) menyatakan bahwa skala pemeliharaan ayam buras yang menguntungkan
adalah lebih dari 50 ekor setiap peternak. Pengembangan produksi dengan skala
pemeliharaan besar tersebut diusahakan dengan meningkatkan luas kandang
ternak melalui penyediaan modal dalam pembuatan kandang bagi peternak. Hal
tersebut merupakan salah satu alternatif pengembangan yang dapat dilakukan
untuk meningkatkan pertumbuhan hasil produksi ayam buras.
2.4. Pengaruh Kemitraan dalam Pengembangan Usaha Ternak Ayam
Buras
Karakteristik usaha ternak ayam buras memiliki perbedaan dengan usaha
ternak ayam ras. Pola usahatani ayam buras masih bersifat tradisional dan belum
diusahakan secara komersial. Padahal ternak ayam buras dapat diandalkan sebagai
sumber pendapatan keluarga (cash income), sebagai tabungan dan sebagai sumber
dalam membantu penyediaan pangan hewani bergizi bagi keluarga petani di
pedesaan (Agustian dan Sehabudin 2001). Oleh karena itu, dalam meningkatkan
pengembangan usaha ternak ayam buras, pola pengembangannya dapat
diusahakan seperti halnya pengembangan ternak ayam ras. Pola kerjasama
kemitraan seperti pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR) pada peternakan ayam ras
dapat ditempuh oleh peternak ayam buras dengan perusahaan-perusahaan yang
bergerak dalam penanganan pemasaran hasil ternak, penyediaan sarana produksi
18 Dalam upaya pengembangan ternak ayam buras masih belum terlihat
secara nyata adanya kegiatan pola kerjasama antara peternak di satu sisi dengan
pihak lainnya dimana kedua belah pihak mendapatkan keuntungan secara
seimbang. Sedangkan pola kerjasama pada usaha ternak ayam ras telah terjalin
antar peternak sebagai “plasma” dengan Poultry Shop sebagai “inti” (Taryoto et al
dalam Agustian dan Sehabudin 2001). Struktur ongkos peternakan ayam buras
yang dikaji dalam penelitian menunjukkan bahwa usaha ternak ayam buras lebih
ditujukan untuk menghasilkan pendapatan tunai (cash income) karena hanya
sebagian kecil porsi telur ayam buras yang ditetaskan (digenerasikan menjadi
ternak lagi). Sebagian besar adalah dijual untuk mendapatkan pendapatan tunai
tersebut.
Selama ini, petani lemah dalam menentukan harga produksi karena sulit
mendapatkan akses informasi pasar. Petani harus melakukan konsolidasi yang
bersifat horizontal dan memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam
berusahatani. Maka, pihak swasta dapat memberikan penyuluhan (pendidikan dan
pelatihan) yang sifatnya berkelanjutan. Keterkaitan dan kerjasama kelembagaan
kelompok tani dengan pihak swasta tersebut identik dengan konsolidasi vertikal.
Priyono, Nufus dan Dessy (2004) mengungkapkan bahwa strategi kemitraan
usaha yang tepat untuk mendorong pengembangan agribisnis di pedesaan adalah
melalui konsolidasi vertikal. Usahatani skala kecil dikonsolidasikan oleh suatu
usaha agroindustri atau pemasaran dalam suatu usaha kemitraan sehingga tercipta
satu unit industri pertanian (agroindustri).
Hal ini dikarenakan peternak tidak mempunyai kemampuan finansial
untuk membeli input dan akses mendapatkan informasi dan akibatnya, permintaan
pasar yang tinggi tidak mendapatkan respon dari petani. Penelitian ini
menyebutkan bahwa kebijakan yang dapat disarankan adalah membangun
organisasi komunikasi yang dapat menggerakkan subsistem agribisnis bahwa
model organisasi yang dibangun tersebut harus mampu:
(1) Memadu kegiatan input dan output terintegrasi;
19
(3) Memiliki azas kebersamaan dengan kriteria zero cost pada tingkat
peternak dan atau biaya pokok pada tingkat lembaga input dan keuntungan dibagi
berdasarkan kesepakatan.
Kriteria zero cost ini merupakan salah satu prinsip yang dikembangkan
dalam sistem kemitraan saat ini, dimana antara subsistem agribisnis suatu
komoditi tersebut memiliki nilai biaya dan keuntungan yang sama besarnya pada
setiap lini. Beberapa manfaat penting dari adanya pola kemitraan yang dapat
diperoleh yaitu adanya pihak perusahaan yang berniat untuk bermitra akan
menyediakan modal kepada peternak dalam memperluas skala usaha ternak dan
membuka lapangan kerja baru. Manfaat lainnya adalah harga penjualan ayam
stabil karena dijamin perusahaan, manfaat ini tergantung dari kondisi harga jual
ayam, jika harga jual ayam cenderung tetap maka peternak dapat merasakan
manfaatnya namun jika harga jual mengalami perubahan maka peternak tidak bisa
komplain karena sudah terikat kontrak.
Persentase terbesar yang ditunjukkan penelitian tersebut mengenai manfaat
kemitraan adalah jaminan pemasarannya, dimana dalam pelaksanaan kemitraan
pengusaha yang bermitra bertanggungjawab untuk memasarkan hasil produksi,
maka dari itu peternak tidak khawatir dengan tidak lakunya hasil panen Hal ini
dapat membantu peternak dalam menghindari risiko tidak terjualnya hasil panen
dan sekaligus mendapatkan harga produk yang wajar. Pelaksanaan kemitraan
memperkecil risiko karena masing-masing kedua belah pihak menanggung risiko
yang berbeda. Sementara, kelemahan-kelemahan dalam mendukung usaha
kemitraan meliputi terjadinya over supply apabila panen ayam terjadi bersamaan
bagi perusahaan inti. Sementara penetapan harga jual ayam oleh perusahaan
menyebabkan peternak tidak mendapatkan keuntungan maksimal, peternak tidak
bisa memasarkan ayamnya kepada pihak lain, karena terikat perjanjian dengan
pihak inti.
Pembagian komposisi insentif antara perusahaan inti dengan peternak
plasma dapat dideskripsikan dalam penelitian Andini (2005). Ada komposisi
insentif inti yang diperoleh dari penjualan pakan, DOC, obat-obatan, vaksin dan
vitamin serta dari selisih harga jual ayam di pasar dengan harga kesepakatan.
20 selisih harga beli DOC dengan harga kesepakatan inti yang ditetapkan kepada
plasmanya. Insentif dari pakan diperoleh inti berupa keuntungan dari selisih harga
beli pakan dengan harga kesepakatan inti yang ditetapkan kepada plasma.
Sedangkan dari komposisi insentif untuk obat-obatan, vaksin, vitamin dan bahan
kimia lainnya, inti memperoleh potongan harga antara 15-25 persen karena
melakukan pembelian dalam jumlah besar.
Kesuma (2006) juga mendukung sistem kemitraan inti plasma ini dengan
membandingkan usaha ternak yang dijalankan antara melalui Sistem Perusahaan
Inti Rakyat (PIR) dengan Sistem Kerjasama Operasional Agribisnis (KOA).
Kesejahteraan peternak yang melakukan kemitraan PIR tersebut lebih baik
dibandingkan dengan peternak yang tergabung dalam pola KOA. Selain itu, jika
pemerintah ingin melestarikan usaha rakyat maka perlu kebijakan pengembangan
kemitraan (Ilham, Sejati dan Yusdja 2003). Peternakan rakyat membutuhkan suatu
konsep kemitraan dengan pihak inti (perusahaan swasta skala besar) dengan
sistem bagi hasil yang saling menguntungkan. Kemitraan ini harus berlangsung
secara terbuka dan memudahkan pengawasan baik oleh pemerintah maupun
III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1. Teori Organisasi Produksi Usahatani
Menurut Rivai dalam Hernanto (1989) mendefinisikan usahatani sebagai
organisasi dari alam, kerja dan modal yang ditujukan kepada produksi di lapangan
pertanian. Organisasi usahatani yaitu usahatani sebagai suatu organisasi, dimana
didalamnya terdapat pelaku yang mengorganisir dalam hal memimpin dan
mengambil keputusan (Hernanto 1989). Pelaku itu adalah petani dan keluarganya
untuk mengorganisir faktor-faktor produksi yang dikuasai atau dapat dikuasai.
Faktor-faktor produksi tersebut merupakan unsur-unsur pokok yang selalu ada
dalam suatu usahatani (faktor intern), diantaranya tanah, tenaga kerja, modal dan
pengelolaan (manajemen).
(1) Tanah sebagai Faktor Produksi Usahatani
Tanah merupakan faktor produksi yang relatif langka dibandingkan
dengan faktor produksi lain, distribusi penguasaannya tidak merata di masyarakat.
Tanah memiliki beberapa sifat, antara lain: (1) Luasnya yang relatif tetap; (2)
Tidak dapat dipindah-pindahkan; dan (3) Dapat dipindahtangankan atau
diperjualbelikan. Sumber-sumber pemilikan tanah yang dikelola oleh petani dapat
diperoleh dengan membeli, menyewa, menyakap (sistem bagi hasil), pemberian
dari negara, warisan, wakaf dan membuka lahan sendiri (Hernanto 1989).
Sumber-sumber pemilikan tanah tersebut berkaitan dengan status tanah
pengolahan usahatani. Ada beberapa status tanah yang dikenal, antara lain tanah
milik atau tanah hak milik, tanah sewa, tanah sakap, tanah gadai dan tanah
pinjaman.
Tanah dapat dijadikan sebagai ukuran besar kecilnya suatu usahatani.
Ukuran-ukuran itu antara lain total tanah usahatani, total luas pertanian dan luas
tanaman utama. Intensitas penggunaan tanah menunjukkan perbandingan (rasio)
dari total luas pertanaman dengan luas tanah usahatani. Biasanya diukur dengan
persentase. Semakin besar nilai intensitas menunjukkan tingkat penguasaan yang
22
(2) Tenaga Kerja sebagai Faktor Produksi Usahatani
Jenis tenaga kerja dalam usahatani digolongkan menjadi tenaga kerja
manusia, tenaga kerja ternak dan tenaga kerja mekanik. Tenaga kerja manusia
terdiri dari tenaga kerja pria, wanita dan anak-anak. Tenaga kerja manusia tersebut
dapat diperoleh dari dalam keluarga dan dari luar keluarga. Tenaga kerja luar
keluarga diperoleh dengan cara upahan, sambatan dan arisan tenaga kerja. Potensi
tenaga kerja keluarga petani adalah jumlah tenaga kerja potensial yang tersedia
pada satu keluarga petani. Kegiatan usaha ternak yang memerlukan tenaga kerja
meliputi hampir semua proses produksi berlangsung, diantaranya: (1) Pembuatan
kandang/bila dikandangkan; (2) Pemeliharaan, yaitu pengobatan, perbaikan
kandang dan pemberian makanan; dan (3) Panen.
Yang dalam Hernanto (1989) membuat konversi tenaga kerja, yaitu
dengan membandingkan tenaga kerja pria sebagai ukuran baku dan jenis tenaga
kerja lain dikonversikan atau disetarakan dengan pria yaitu: 1 pria = 1 hari kerja
pria (HKP); 1 wanita = 0,7 HKP; 1 ternak = 2 HKP; dan 1 anak = 0,5 HKP.
Satuan ukuran yang umum dipakai untuk mengatur tenaga kerja adalah jumlah
jam dan hari kerja total. Ukuran ini menghitung seluruh pencurahan kerja dari
sejak persiapan sampai panen. Perhitungan dapat menggunakan inventarisasi jam
kerja yaitu 1 hari = 7 jam kerja, kemudian dijadikan hari kerja total (HK Total).
Satuan ukuran yang kedua yang dipakai juga adalah jumlah setara pria (Men
Equivalent) yaitu jumlah kerja yang dicurahkan untuk seluruh proses produksi diukur dengan ukuran hari kerja pria. Hal ini berarti menggunakan konversi
berdasarkan upah, dimana pria dinilai 1 HKP, wanita 0,7 HKP, ternak 2 HKP dan
anak 0,5 HKP.
(3) Modal sebagai Faktor Produksi Usahatani
Modal adalah barang atau uang bersama-sama dengan faktor produksi lain
dan tenaga kerja serta pengelolaan yang menghasilkan barang-barang baru, yaitu
produksi pertanian (Hernanto 1989). Modal yang paling tinggi di antara tiga
faktor produksi lain, khususnya modal operasional. Modal operasional
dimaksudkan sebagai modal dalam bentuk tunai yang dapat ditukarkan dengan
23 membiayai pengelolaan. Dalam usahatani, yang dimaksud dengan modal adalah
tanah, bangunan-bangunan seperti gudang, kandang, lantai jemur dan pabrik,
alat-alat pertanian antara lain traktor, cangkul, parang dan sprayer, tanaman,
ternak dan ikan di kolam, bahan-bahan pertanian (pupuk, bibit dan obat-obatan),
piutang di bank dan uang tunai.
Modal dibedakan berdasarkan sifatnya menjadi dua, yaitu modal tetap dan
modal bergerak. Modal tetap adalah modal yang tidak habis dalam satu periode
produksi, misalkan tanah dan bangunan. Jenis modal ini memerlukan
pemeliharaan agar dapat berdaya guna dalam jangka waktu yang lama. Jenis
modal ini pun ada yang mengalami penyusutan, artinya nilai modal menyusut
menurut jenis dan waktu. Modal bergerak adalah modal yang habis atau dianggap
habis dalam waktu satu periode proses produksi, misalkan alat-alat, bahan, uang
tunai, piutang di bank, tanaman, ternak dan ikan. Sumber pembentukan modal
dapat berasal dari modal milik sendiri, pinjaman atau kredit antara lain kredit bank
atau dari pelepas uang/tetangga/famili, hadiah warisan, dari usaha lain dan
kontrak sewa. Modal usahatani dapat berupa biaya investasi, biaya operasional,
biaya pemeliharaan dan biaya pengelolaan.
(4) Manajemen sebagai Faktor Produksi Usahatani
Hernanto (1989) menjelaskan bahwa manajemen usahatani adalah
kemampuan petani dalam menentukan, mengorganisir, dan mengkoordinasikan
faktor-faktor produksi yang dikuasainya dengan sebaik-baiknya dan mampu
memberikan produksi pertanian sebagaimana yang diharapkan. Ukuran dari
keberhasilan pengelolaan itu adalah produktivitas dari setiap faktor maupun
produktivitas dari usahanya. Untuk dapat menjadi pengelola yang berhasil, maka
pemahaman terhadap prinsip teknik dan prinsip ekonomis menjadi syarat bagi
seorang pengelola. Pengertian dan pemahaman prinsip teknis meliputi: (1)
Perilaku cabang usaha yang diputuskan; (2) Perkembangan teknologi; (3) Tingkat
teknologi yang dikuasai; (4) Daya dukung faktor yang dikuasai; dan (5) Cara
budidaya dan alternatif cara lain berdasar pengalaman orang lain. Sementara,
pengenalan dan pemahaman prinsip ekonomis, diantaranya: (1) Penentuan
24 Pembiayaan usahatani; (5) Penggolongan modal dan pendapatan; serta (6)
Ukuran-ukuran keberhasilan yang lazim.
3.1.2. Teori Produksi
Fungsi produksi menggambarkan hubungan antara input-output dan
mendeskripsikan tingkat dimana sumberdaya dirubah menjadi bentuk produk.
Ada beberapa hubungan input-output dalam pertanian karena tingkat dimana input
dirubah menjadi output akan bervariasi antara jenis tanah, hewan, teknologi dan
sebagainya. Ada hubungan input-output tertentu yang mengkhususkan kuantitas
dan kualitas sumberdaya yang dibutuhkan untuk memproduksi produk tertentu.
Doll dan Orazem (1978) memberikan contoh empiris fungsi produksi dengan
beberapa asumsi tertentu, antara lain ketidakpastian sempurna, tingkat teknologi
dan lama periode waktu (Gambar 1).
Keterangan : TPP = Total Physical Product
Gambar 1. Fungsi Produksi Klasik
Sumber : Doll dan Orazem (1978)
Gambar tersebut menjelaskan bahwa output yang dihasilkan nol pada saat input
variabel nol, kemudian output meningkat pada peningkatan beberapa input
C
A
2 4 B 6 8 10 12 14 D 16 160 -
140 - 120 - 100 - 80 - 60 - 40 - 20 -
0
TPP Y (Output)
25 variabel pertama yang ditambahkan. Selanjutnya, output meningkat dengan
tambahan yang semakin menurun pada tingkat input yang semakin tinggi.
Sementara, Lipsey dan Steiner (1928) menjelaskan bahwa untuk
membatasi keputusan perusahaan dengan secara tetap membuat proporsi yang
dapat diatur, para ahli ekonomi menguraikan keputusan tersebut ke dalam tiga
kelompok teori diantaranya: (1) Bagaimana cara terbaik untuk membudidayakan
tanaman dan perlengkapan saat ini (keputusan jangka pendek); (2) Apa jenis
tanaman dan perlengkapan baru dan proses produksi dalam memilih kerangka
kemungkinan teknis tertentu yang telah diketahui (keputusan jangka panjang); dan
(3) Apa yang harus dilakukan mengenai percobaan penemuan baru atas teknologi
baru (keputusan jangka sangat panjang). Keputusan jangka pendek dibuat ketika
kuantitas sejumlah input tidak dapat bervariasi. Perusahaan tidak dapat
memperoleh lebih banyak input-input tetap dari yang dimilikinya saat ini.
Input-input yang dapat bervariasi dalam jangka pendek disebut dengan Input-input variabel.
Keputusan jangka panjang dibuat ketika semua input dari seluruh faktor produksi
dapat bervariasi tetapi teknologi produksi dasar tidak berubah.
Hal terpenting dari keputusan jangka panjang dalam teori produksi yaitu
menunjukkan situasi yang dihadapi perusahaan untuk merencanakan bisnis,
memperluas skala usaha, mendirikan cabang usaha ke dalam produk baru atau
wilayah usaha yang baru, atau memodernisasi, memindahkan atau mengorganisasi
metode produksi yang baru. Keputusan ketiga yaitu keputusan jangka sangat
panjang dimana muncul dari adanya perubahan teknologi. Perubahan ini dapat
disebabkan oleh sesuatu yang dilakukan oleh perusahaan, terutama program
penelitian dan pengembangan. Hubungan antara faktor jasa yang digunakan
sebagai input ke dalam proses produksi dan kuantitas output yang ditentukan
disebut dengan fungsi produksi. Lipsey dan Steiner (1928) menjelaskan fungsi
produksi sederhana yang terdiri dari hubungan dua faktor produksi, yaitu tenaga
kerja dan modal. Variasi output dan biaya dibentuk dengan asumsi bahwa satu
dari dua faktor tersebut adalah tetap. Gambar selanjutnya menjelaskan hubungan
antara produk total, produk rata-rata dan produk marjinal dengan penggunaan
26
Keterangan : TP = Total Product (Produk Total)
AP = Average Product (Produk Rata-Rata)
MP = Marginal Product (Produk Marjinal)
Gambar 2. Kurva Produk Total, Produk Rata-Rata dan Produk Marjinal
Sumber : Lipsey dan Steiner (1928)
Total Product (TP) menjelaskan bahwa jumlah total yang diproduksi selama periode waktu tertentu dengan memanfaatkan seluruh faktor produksi. Jika
satu dari seluruh input tetap, produk total (TP) akan berubah karena penggunaan
faktor variabel yang lebih besar atau lebih kecil. Average Product (AP)
menggambarkan produk total per unit dari faktor variabel yang digunakan, AP
awal meningkat dan kemudian menurun. Tingkat output (34 unit seperti contoh
Gambar), dimana produk rata-rata (AP) mencapai maksimum disebut dengan titik
produktivitas rata-rata yang semakin menurun (point of diminishing average
productivity). Marginal Product (MP) kadangkala disebut dengan incremental product (tambahan produk) adalah perubahan dari produk total yang dihasilkan dari penggunaan satu unit input lebih banyak atau satu unit input lebih sedikit dari
faktor variabel. Tingkat output dimana produk marjinal (MP) mencapai
maksimum disebut dengan titik produktivitas marjinal yang semakin menurun
(point of diminishing marginal productivity).
Variasi input yang dihasilkan dari penggunaan faktor variabel lebih
banyak atau lebih sedikit pada kuantitas faktor tetap tertentu memunculkan
hipotesis ekonomi baru yang disebut dengan hukum kenaikan hasil yang semakin
berkurang atau law of diminishing returns. Hipotesis tersebut menyatakan bahwa
27 jika sejumlah faktor variabel yang digunakan dengan sejumlah faktor tetap
tertentu, maka unit tambahan dari faktor variabel yang ditambahkan akan
mengurangi produk total daripada unit sebelumnya. Kemudian, jika peningkatan
faktor variabel yang digunakan pada sejumlah faktor tetap tertentu, produk
marjinal dan produk rata-rata dari faktor variabel akan menurun.
3.1.3. Teori Biaya Produksi
Lipsey dan Steiner (1928) juga menggambarkan teori biaya, dimana
perusahaan diasumsikan tidak dapat mempengaruhi harga faktor produksi. Oleh
karena itu, perusahaan mengikuti harga faktor produksi menurut pasar untuk
seluruh faktor produksi yang digunakan. Gambar 3 menjelaskan mengenai
hubungan antara output yang diproduksi dengan biaya total dan biaya per unit.
Total Cost (TC) menggambarkan biaya total yang digunakan untuk memproduksi
berapapun tingkat output. Biaya total (TC) terdiri dari biaya total tetap atau total
fixed cost (TFC) dan biaya total variabel atau total variable cost (TVC). Biaya tetap adalah biaya yang dikeluarkan tidak bervariasi bergantung kepada output
yang diproduksi. Sementara, biaya yang dikeluarkan bervariasi bergantung kepada
output, dimana biaya meningkat jika produksi output ditingkatkan dan menurun
jika produksi output dikurangi.
Average Total Cost (ATC) juga disebut sebagai Average Cost (AC) adalah biaya total dari memproduksi berapapun tingkat output dan dibagi dengan
sejumlah unit output yang diproduksi atau biaya per unit. Biaya total rata-rata
(ATC) juga dibagi ke dalam dua kelompok biaya, yaitu biaya tetap rata-rata atau
average fixed costs (AFC) dan biaya variabel rata-rata atau average variable costs
(AVC). Meskipun biaya variabel rata-rata dapat meningkat atau menurun jika
produksi meningkat (tergantung peningkatan atau penurunan produksi lebih cepat
atau lebih lambat dibandingkan dengan biaya total variabel), maka biaya tetap
rata-rata (AFC) akan menurun secara terus-menerus seiring dengan peningkatan
28
Keterangan : TC = Total Cost (Biaya Total)
TVC = Total Variable Cost (Biaya Variabel Total)
TFC = Total Fixed Cost (Biaya Tetap Total)
MC = Marginal Cost (Biaya Marjinal)
ATC = Average Total Cost (Biaya Total Rata-Rata)
AVC = Average Variable Cost (Biaya Variabel Rata-Rata)
AFC = Average Fixed Cost (Biaya Tetap Rata-Rata)
Gambar 3. Kurva Biaya Total, Biaya Rata-Rata dan Biaya Marjinal
Sumber : Lipsey dan Steiner (1928)
Marginal Costs (MC) atau kadangkala disebut dengan incremental cost atau biaya tambahan adalah peningkatan biaya total yang dihasilkan dari peningkatan tingkat
produksi satu unit output. Karena biaya tetap tidak bervariasi terhadap output,
biaya tetap marjinal selalu bernilai nol. Oleh karena itu, biaya marjinal selalu
merupakan biaya marjinal variabel dan perubahan dalam biaya tetap tidak akan
mempengaruhi biaya marjinal. Berdasarkan Gambar kurva biaya, pada harga
faktor tetap, ketika produk rata-rata per tenaga kerja yang digunakan adalah
maksimum, biaya variabel rata-rata adalah minimum.
Hal ini mengimplikasikan bahwa setiap tambahan tenaga kerja yang
digunakan pada sejumlah biaya yang sama tetapi sejumlah output berbeda, maka
output per tenaga kerja akan meningkat, biaya per unit output akan menurun dan
sebaliknya. Output yang menunjukkan biaya total rata-rata minimum pada
Gambar tersebut disebut sebagai kapasitas perusahaan (Lipsey dan Steiner, 1928).
Kapasitas yang dimaksudkan adalah bukan kapasitas batas tertinggi yang dapat
29
diproduksi. Kapasitas output pada qc unit dapat ditingkatkan dan perusahaan akan
menghadapi tambahan biaya dengan meningkatnya output tersebut. Perusahaan
yang memproduksi dengan kapasitas berlebih merupakan produksi yang lebih
rendah dibandingkan dengan titik biaya total rata-rata minimum. Perusahaan
sebaiknya tidak memproduksi sama sekali jika penerimaan rata-rata dari
produknya minimal tidak sama atau melebihi biaya rata-rata variabelnya.
Perusahaan dapat memproduksi dengan kondisi menguntungkan jika penerimaan
marjinal lebih besar daripada biaya marjinal, sehingga perusahaan dapat
melakukan ekspansi atau perluasan usaha hingga penerimaan marjinal sama
dengan biaya marjinal.
Di samping itu, klasifikasi biaya menjadi penting dalam membandingkan
pendapatan usahatani, ada empat kategori atau pengelompokkan biaya, yaitu:
(1) Biaya tetap (fixed costs) yang dimaksudkan dengan biaya yang
penggunaannya tidak habis dalam satu masa produksi. Biaya tetap tersebut antara
lain pajak tanah, pajak air, penyusutan alat dan bangunan pertanian, pemeliharaan
kerbau, pemeliharaan pompa air, traktor dan lain sebagainya. Tenaga kerja
keluarga dapat dikelompokkan ke dalam biaya tetap apabila tidak terdapat biaya
imbangan dalam penggunaannya, terutama untuk usahatani maupun di luar
usahatani;
(2) Biaya variabel (variable costs) yaitu biaya yang besar kecilnya tergantung
kepada skala produksi dan dapat digolongkan ke dalam biaya tunai dan tidak
tunai. Biaya variabel ini diantaranya seperti biaya pupuk, bibit, obat pembasmi
hama dan penyakit, buruh untuk tenaga kerja upahan, biaya panen, biaya
pengolahan tanah, baik yang merupakan kontrak maupun upah harian dan sewa
tanah;
(3) Biaya tunai dari biaya tetap dapat berupa air dan pajak tanah. Sedangkan,
untuk biaya variabel antara lain berupa biaya untuk pemakaian bibit, pupuk,
obat-obatan dan tenaga kerja keluarga; dan
(4) Biaya tidak tunai (diperhitungkan) meliputi biaya tetap, biaya untuk tenaga
kerja keluarga. Sedangkan, biaya variabel tidak tunai antara lain biaya panen dan
30 3.1.4. Teori Pendapatan Usahatani
Soekartawi et al (1986) menjelaskan mengenai penerimaan tunai usahatani
(farm receipts) sebagai nilai uang yang diterima dari penjualan produk usahatani
dan pengeluaran tunai usahatani (farm payments) sebagai jumlah uang yang
dibayarkan untuk pembelian barang dan jasa bagi usahatani. Pendapatan tunai
usahatani (farm net cash flow) merupakan selisih dari penerimaan dan
pengeluaran tunai usahatani yang menggambarkan kemampuan usahtani untuk
menghasilkan uang tunai. Penerimaan tunai usahatani yang tidak berasal dari
penjualan produk usahatani, seperti pinjaman tunai harus ditambahkan dan
pengeluaran tunai usahtani yang tidak ada kaitannya dengan pembelian barang
dan jasa, seperti bunga pinjaman dan uang pokok harus dikurangkan. Neraca ini
merupakan kelebihan uang tunai usahatani (farm cash surplus) dan dihasilkan
usahatani untuk keperluan rumah tangga. Kelebihan uang tunai yang ditambah
dengan penerimaan tunai dari luar usahatani seperti upah kerja di luar usahatani
adalah pendapatan tunai rumah tangga (household net cash income). Berdasarkan
kedua ukuran terakhir ini, yaitu kelebihan uang tunai dan pendapatan tunai rumah
tangga, dapat diketahui besarnya kemampuan petani atau likuiditas usahatani
dalam mengembalikan pinjaman usahatani serta kontribusi usahatani dan
pekerjaan di luar usahatani dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Arus uang tunai belum menceritakan keadaan seluruhnya. Ukuran
pendapatan juga mencakup nilai transaksi barang dan perubahan nilai inventaris
atau kekayaan usahatani selama kurun waktu tertentu (Soekartawi et al 1986).
Pendapatan kotor ternak dapat dihitung dari total penjumlahan atas penjualan
ternak, nilai ternak yang digunakan untuk konsumsi rumah tangga, pembayaran
dan hadiah, nilai ternak pada akhir tahun pembukuan, nilai hasil ternak seperti
susu dan telur. Total pendapatan tersebut kemudian dikurangi dengan pembelian
ternak, nilai ternak yang diperoleh sebagai upah dan hadiah dan nilai ternak pada
awal tahun pembukuan.
Pengeluaran total usahatani termasuk pengeluaran tunai dan pengeluaran
tidak tunai. Selisih antara pendapatan kotor usahatani dan pengeluaran total
usahatani adalah pendapatan bersih usahatani (net farm income). Pendapatan
31 faktor-faktor produksi kerja, pengelolaan dan modal milik sendiri atau modal
pinjaman yang diinvestasikan ke dalam usahatani. Penghasilan bersih usahatani
(net farm earning) diperoleh dari pendapatan bersih usahatani dengan mengurangkan bunga yang dibayarkan kepada modal pinjaman. Ukuran ini
menggambarkan penghasilan yang diperoleh dari usahatani untuk keperluan
keluarga dan merupakan imbalan terhadap semua sumberdaya milik keluarga
yang dipakai dalam usahatani. Apabila penghasilan bersih usahatani ditambahkan
dengan pendapatan rumah tangga yang berasal dari luar usahatani, seperti upah
dalam bentuk uang atau benda, maka diperoleh penghasilan keluarga (family
earnings).
Ukuran ketiga yaitu analisis R/C rasio yang dilakukan untuk menunjukkan
besar rasio kelipatan penerimaan usahatani yang akan diperoleh petani untuk
setiap rupiah biaya yang dikeluarkan dalam rangka kegiatan usahatani. Semakin
besar nilai R/C rasio maka semakin besar pula penerimaan usahatani yang
diperoleh untuk setiap rupiah biaya yang dikeluarkan. Hal ini menunjukkan
kelayakan suatu usahatani sehingga memungkinkan untuk dilaksanakan. Tingkat
kelayakan suatu usahatani apabila nilai R/C rasio lebih besar dari satu yang berarti
bahwa setiap selisih biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan selisih
penerimaan yang lebih besar daripada selisih biaya. Dan apabila nilai R/C rasio
lebih kecil dari satu maka setiap selisih biaya yang dikeluarkan akan
menghasilkan selisih penerimaan yang lebih kecil daripada tambahan biaya.
Sedangkan apabila nilai R/C rasio sama dengan satu berarti setiap selisih
biaya yang dikeluarkan sasma dengan selisih penerimaan yang diperoleh sehingga
memperoleh keuntungan normal. R/C rasio yang dihitung terdiri dari R/C rasio
atas biaya tunai dan R/C rasio atas biaya total. R/C rasio atas biaya tunai dihitung
dengan membandingkan antara penerimaan total dengan biaya tunai dalam satu
periode tertentu, sementara R/C rasio atas biaya total dihitung dengan
membandingkan antara penerimaan total dengan biaya total dalam satu periode
tertentu. Rumus analisis imbangan penerimaan antara biaya usahatani sebagai
berikut (Soekartawi, 1986):
R/C rasio atas biaya tunai = TR/Biaya Tunai
32
Keterangan: TR = Total penerimaan usahatani (Rp)
TC = Total biaya usahatani (Rp)
Penyusutan nilai untuk alat-alat pertanian yang digunakan termasuk ke dalam
biaya yang diperhitungkan, dihitung melalui metode garis lurus yaitu setiap tahun
biaya penyusutan yang dikeluarkan relatif sama hingga habis umur ekonomis alat
tersebut. Penghitungan penyusutan nilai alat-alat pertanian dimaksudkan untuk
menilai aset usahatani.
Rumus metode garis lurus tersebut yaitu sebagai berikut:
Dp = c – s n
Keterangan:
Dp = penyusutan/tahun s = nilai sisa
c = nilai beli n = umur ekonomis barang
3.1.5. Teori Skala Usaha (Return to Scale)
Skala usaha (return to scale) perlu diketahui untuk mengetahui apakah
kegiatan dari suatu usaha yang diteliti tersebut mengikuti kaidah increasing,
constant atau decreasing return to scale. Analisis skala usaha merupakan analisis produksi untuk melihat kemungkinan perluasan usaha dalam suatu proses
produksi. Dalam suatu proses produksi, perluasan skala usaha pada dasarnya
merupakan suatu upaya maksimisasi keuntungan dalam jangka panjang. Dengan
perluasan skala usaha, rata-rata komponen biaya input tetap per unit output
menurun sehingga keuntungan produsen meningkat. Dalam hal ini tidak
selamanya perluasan skala usaha akan menurunkan biaya produksi, sampai suatu
batas tertentu perluasan skala usaha justru dapat meningkatkan biaya produksi.
Analisis skala usaha sangat penting untuk menetapkan skala usaha yang efisien.
Hubungan antara faktor-faktor produksi atau input dengan tingkat
produksi atau output skala usaha (return to scale) menggambarkan respon dari
output terhadap perubahan proporsional dari input. Dalam hal ini Teken (1977)
yang diacu dalam Fatma (2011) menyebutkan ada tiga kemungkinan hubungan
antara input dengan output, yaitu: (1) Skala usaha dengan kenaikan hasil
bertambah (increasing return to scale) yaitu kenaikan satu unit input
33
kenaikan hasil tetap (constant return to scale), yaitu penambahan satu unit input
menyebabkan kenaikan output dengan proporsi yang sama; dan (3) Skala usaha
dengan kenaikan hasil yang berkurang (decreasing return to scale) yaitu apabila
pertambahan satu unit input menyebabkan kenaikan output yang semakin
berkurang.
Pengetahuan mengenai keadaan skala usaha sangat penting sebagai salah
satu pertimbangan mengenai pemilihan ukuran usahatani. Keadaan skala
usahatani dengan kenaikan hasil berkurang berarti luas usaha sudah perlu
dikurangi. Jika keadaan skala usaha berada pada kenaikan hasil yang bertambah,
maka luas usaha diperbesar untuk menurunkan biaya produksi rata-rata dan
diharapkan dapat menaikkan keuntungan. Keadaan skala usaha dengan kenaikan
hasil yang tetap, berarti luas rata-rata unit usaha yang ada tidak perlu dirubah.
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional
Kerangka berpikir operasional memberikan kemudahan dalam melakukan
pelaksanaan penelitian dalam menjawab tujuan dan permasalahan penelitian.
Masing-masing kotak dalam Gambar 4 merupakan variabel-variabel yang
mempunyai hubungan sebab akibat dan ditunjukkan melalui tanda panah.
Kerangka berpikir ini berlaku untuk seluruh responden peternak yang menjadi
objek penelitian, baik yang bermitra maupun yang tidak bermitra. Tingkat
perbedaan pendapatan dan efisiensi usaha ternak dapat dijelaskan dengan
mengidentifikasi penggunaan faktor-faktor produksi dalam usaha ternak dan
dinilai berdasarkan masing-masing harga faktor produksi tersebut. Faktor-faktor
produksi yang diidentifikasi antara lain modal dan tenaga kerja.
Faktor produksi modal menjelaskan penggunaan modal investasi yang
merupakan alat-alat peternakan dan modal operasional yang meliputi penggunaan
bibit, pakan, obat-obatan dan vitamin serta vaksin. Faktor produksi kerja
menjelaskan tentang penggunaan tenaga kerja dalam keluarga dan tenaga kerja
luar keluarga dalam usaha ternak. Faktor-faktor produksi bersama harga
masing-masing faktor produksi menghasilkan biaya usaha ternak, sehingga menyebabkan
munculnya biaya usaha ternak. Faktor-faktor produksi usaha ternak diorganisir