• Tidak ada hasil yang ditemukan

Spiritualitas Lansia Suku Batak Akibat Kehilangan Pasangan Hidup di Desa Pagar Manik Kecamatan Silinda Kabupaten Serdang Bedagai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Spiritualitas Lansia Suku Batak Akibat Kehilangan Pasangan Hidup di Desa Pagar Manik Kecamatan Silinda Kabupaten Serdang Bedagai"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

SPIRITUALITAS LANSIA SUKU BATAK AKIBAT

KEHILANGAN PASANGAN HIDUP DI DESA

PAGAR MANIK KECAMATAN SILINDA

KABUPATEN SERDANG BEDAGAI

SKRIPSI

Oleh:

Monica Sales Sipayung 101101036

FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)
(3)

Judul : Spiritualitas Lansia Suku Batak Akibat Kehilangan Pasangan Hidup di Desa Pagar Manik Kecamatan Silinda Kabupaten Serdang Bedagai

Nama Mahasiswa : Monica Sales Sipayung

Nim : 101101036

Jurusan : IlmuKeperawatan

Tahun : 2014

Abstrak

Perkembangan spiritualitas pada lansia yang telah kehilangan pasangan hidup termasuk lansia Suku Batak dapat mengancam proses perkembangan spiritual, menjadi pukulan yang sangat berat, dan menghilangkan semangat hidup orang yang ditinggalkan. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi spiritualitas lansia Suku Batak akibat kehilangan pasangan hidup di Desa Pagar Manik Kecamatan Silinda Kabupaten Serdang Bedagai. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dengan besar sampel sebanyak 41 orang dengan metode pengambilan sampel adalah total sampling dan menggunakan kuesioner penelitian yang terdiri dari kuesioner data demografi dan kuesioner spiritualitas. Hasil analisa data disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi dan persentase. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas spiritualitas lansia Suku Batak akibat kehilangan pasangan hidup memiliki spiritualitas tinggi (65.9%). Dimensi spiritualitas: hubungan dengan Tuhan pada lansia Suku Batak akibat kehilangan pasangan hidup berada dalam kategori rendah yaitu (58.5%). Dimensi spiritualitas: hubungan dengan diri sendiri pada lansia Suku Batak akibat kehilangan pasangan hidupberada dalam kategori tinggi yaitu (65.9%). Dimensi spiritualitas: hubungan dengan orang lain pada lansia Suku Batak akibat kehilangan pasangan hidup berada dalam kategori tinggi yaitu (75.6%). Dimensi spiritualitas: hubungan dengan lingkungan/alam pada lansia Suku Batak akibat kehilangan pasangan hidupberada dalam kategori tinggi yaitu (78%).Penelitian lebih lanjut diperlukan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi spiritualitas lansia, dan terkhususnya bagi lansia Suku Batak diharapkan diteliti tentang kendala lansia memenuhi kebutuhan spiritualitas yang berhubungandengan Tuhan.

(4)

Title : Spirituality of the Bataknese Elderly who lost spouse in Pagar Manik village of Silinda District, Serdang Bedagai

Name : Monica Sales Sipayung NIM : 101101036

Major : Bachelor of Nursing Year : 2014

Abstract

Spirituality development in the Bataknese elderly who lost spouse can threaten spirituality development process, be hard blow, and discouraged the spirit of people who were in sorrow. The purpose of this research was to identify the Bataknese elderly spirituality who lost spouse in Pagar Manik village, Silinda district, Serdang Bedagai. The research design used in this research was dscriptive with 41 samples with total sampling method and used research questionnaire consisting of demography data questionnaire and spirituality questionnaire. The result of data analyses were provided in the form of frequency distribution and percentage. The results of the research showed that majority of the bataknese elderly spiritualiti who lost spouse had high spirituality (65%). Spirituality dimension: relation to God of the Bataknse elderly who lost spouse was in low category (58.5%). Spirituality dimension: relation within him/her self of the Bataknse elderly who lost spouse was in high category (65.9%). Spirituality dimension: relation to other people of the Bataknse elderly who lost spouse was in high category (75.6%). Spirituality dimension: relation with the surrounding of the Bataknse elderly who lost spouse was in high category (78%). The following research was necessary for about the factors which influence the elderly spirituality, especially the Bataknese elderly. It is hoped that the results of this research can fulfill the spirituality in relation to God.

(5)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, rahmat, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan skripsi dengan judul “Spiritualitas Lansia Suku Batak Akibat Kehilangan Pasangan Hidup Di Desa Pagar Manik Kecamatan Silinda Kabupaten Serdang Bedagai” tepat waktu, yang merupakan salah satu syarat bagi penulis dalam menyelesaikan Pendidikan S1 di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

Pertama sekali penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang sangat tulus kepada kedua orang tua penulis, kepada Ayahanda Tamianta Sipayung dan Ibunda tercinta Rehulina Elisabet Purba yang selalu memberikan motivasi yang sangat berharga, doa yang tulus, dan selalu memberi dorongan baik moril maupun material dan senantiasa memberikan yang terbaik untuk penulis selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Keperawatan. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada adik laki-laki penulis satu-satunya yaitu Citra Perdana Bungaran Sipayung yang selalu memberikan semangat kepada penulis dan menjadi adik yang senantiasa mendukung selama pengerjaan skripsi ini.

Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak dr. Dedi Ardinata, M.Kes sebagai Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

(6)

3. Ibu Evi Karota Bukit, S.Kp, MNS sebagai Pembantu Dekan II Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Ikhsanuddin A. Harahap, S.Kp, MNS sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Surya Terti A. N. Damanik sebagai Kepala Desa Pagar Manik Kecamatan Silinda Kabupaten Serdang Bedagai yang telah memberikan ijin penelitian kepada penulis di Desa Pagar Manik.

6. Terkhusus penulis juga mengucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing Ibu Mahnum Lailan Nasution, S.Kep, Ns, M.Kep yang telah memberikan bimbingan, arahan, motivasi, dan semangat yang sangat berharga kepada penulis selama menyelesaikan penulisan skripsi ini.

7. Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada dosen pembimbing Akademik Ibu Siti Saidah Nasution, S.Kp, M.Kep, Sp.Mat, yang selalu meberikan masukan dan nasihat kepada penulis selama proses belajar di Fakultas Keperawatan.

8. Ibu Sri Eka Wahyuni, S.Kep, Ns, M.Kep, selaku Dosen penguji I yang telah membantu dan memberi masukan kepada penulis dalam perbaikan skripsi ini.

9. Ibu Yesi Ariani, S.Kep, Ns, M.Kep, selaku dosen penguji II yang juga telah memberikan masukan yang berarti kepada penulisan skripsi ini. 10. Ibu Nunung Febriany Sitepu, S.Kep, Ns,MNS, yang telah membantu dan

(7)

11. Seluruh staf pengajar dan staf administrasi di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

12. Seluruh lansia di Desa Pagar Manik dan Pamah yang telah bersedia menjadi responden dalam penelitian ini, terimakasih atas semua partisipasinya.

13. Terimaksih yang sangat besar juga kepada sahabat-sahabat yang sangat saya sayangi sekaligus sahabat yang menjadi teman seperjuanganku mendapatkan gelar S.Kep yaitu Natalisda Halawa, Dewi Yuliana RH, Siska Hutagalung, Ika Febriani Pandiangan, Ruth Veranita Barus, Astika Irmawati Sigalingging, Fajaria Nainggolan, dan Herlina Silvani Purba, dan khususnya untuk BEM’S OKULI (Kak Cory, Bobi, Sri, Eunike), dan terakhir ucapan terimakasih juga penulis ucapkan kepada Yusuf Siregar dan teman-teman semuanya. Kehadiran mereka semua sangat bermakna kepada penulis.

Semoga Tuhan Yang Maha Kasih selalu memberikan berkat dan Kasih sayangNya kepada semua pihak yang telah memberikan banyak bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis mengharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat kepada pembacanya khususnya dalam pengembangan pengetahuan dibidang keperawatan. Akhir kata penulis sampaikan terimakasih.

Medan, Juli 2014

Hormat Saya,

(8)

DAFTAR ISI

Bab 2. Tinjauan Pustaka 1. Spiritualitas

Bab 3. Kerangka Penelitian 1. Kerangka Konsep ... 33

2. Kerangka Penelitian ... 33

3. Defenisi Operasional ... 34

Bab 4. Metodologi Penelitian 1. Desain Penelitian ... 36

2. Populasi, Sampel Penelitian, dan Tekhnik Sampling... 36

3. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 37

(9)

5. Instrumen Penelitian dan Pengukuran Validitas-Reliabilitas ... 39

6. Pengumpulan Data ... 42

7. Analisa Data ... 43

Bab 5. Hasil Penelitian Dan Pembahasan 1. Hasil Penelitian 1.1Karakteristik Responden ... 44

1.2Spiritualitas lansia Suku Batak akibat kehilangan pasangan hidup ... 46 2.1Spiritualitas lansia Suku Batak akibat kehilangan pasangan hidup ... 50

2.1.1 Dimensi spiritualitas: hubungan dengan Tuhan ... 54

2.1.2 Dimensi spiritualitas: hubungan dengan diri sendiri ... 56

2.1.3 Dimensi spiritualitas: hubungan dengan orang lain ... 57

2.1.4 Dimensi spiritualitas: hubungan dengan lingkungan ... 58

Bab 6. Kesimpulan Dan Saran 1. Kesimpulan ... 60

2. Saran ... 61

Daftar Pustaka ... 63 Lampiran

1. Penjelasan Tentang Penelitian

2. Lembar Persetujuan Menjadi Responden 3. Kuesioner Penelitian

4. Surat Izin Penelitian 5. Surat Balasan Penelitian 6. Tabel Hasil Penelitian 7. Jadwal Penelitian

(10)

DAFTAR TABEL

Tabel

1. Definisi operasional spiritualitas lansia Suku Batak akibat kehilangan pasangan hidup ... 34 2. Distribusi frekuensi berdasarkan karakteristik responden ... 45 3. Distribusi frekuensi dan persentase spiritualitas lansia Suku Batak ... 46 4. Distribusi frekuensi dimensi spiritualitas: hubungan dengan Tuhan Pada

lansia Suku Batakakibat kehilangan pasangan hidup... 47 5. Distribusi frekuensi dimensi spiritualitas: hubungan dengan diri sendiri

pada lansia Suku Batakakibat kehilanganpasangan hidup ... 47 6. Distribusi frekuensi dimensi spiritualitas: hubungan dengan orang lain

pada lansia Suku Batakakibat kehilangan pasangan hidup ... 48 7. Distribusi frekuensidimensi spiritualitas: hubungan dengan lingkungan

(11)

DAFTAR SKEMA

Skema

(12)

Judul : Spiritualitas Lansia Suku Batak Akibat Kehilangan Pasangan Hidup di Desa Pagar Manik Kecamatan Silinda Kabupaten Serdang Bedagai

Nama Mahasiswa : Monica Sales Sipayung

Nim : 101101036

Jurusan : IlmuKeperawatan

Tahun : 2014

Abstrak

Perkembangan spiritualitas pada lansia yang telah kehilangan pasangan hidup termasuk lansia Suku Batak dapat mengancam proses perkembangan spiritual, menjadi pukulan yang sangat berat, dan menghilangkan semangat hidup orang yang ditinggalkan. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi spiritualitas lansia Suku Batak akibat kehilangan pasangan hidup di Desa Pagar Manik Kecamatan Silinda Kabupaten Serdang Bedagai. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dengan besar sampel sebanyak 41 orang dengan metode pengambilan sampel adalah total sampling dan menggunakan kuesioner penelitian yang terdiri dari kuesioner data demografi dan kuesioner spiritualitas. Hasil analisa data disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi dan persentase. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas spiritualitas lansia Suku Batak akibat kehilangan pasangan hidup memiliki spiritualitas tinggi (65.9%). Dimensi spiritualitas: hubungan dengan Tuhan pada lansia Suku Batak akibat kehilangan pasangan hidup berada dalam kategori rendah yaitu (58.5%). Dimensi spiritualitas: hubungan dengan diri sendiri pada lansia Suku Batak akibat kehilangan pasangan hidupberada dalam kategori tinggi yaitu (65.9%). Dimensi spiritualitas: hubungan dengan orang lain pada lansia Suku Batak akibat kehilangan pasangan hidup berada dalam kategori tinggi yaitu (75.6%). Dimensi spiritualitas: hubungan dengan lingkungan/alam pada lansia Suku Batak akibat kehilangan pasangan hidupberada dalam kategori tinggi yaitu (78%).Penelitian lebih lanjut diperlukan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi spiritualitas lansia, dan terkhususnya bagi lansia Suku Batak diharapkan diteliti tentang kendala lansia memenuhi kebutuhan spiritualitas yang berhubungandengan Tuhan.

(13)

Title : Spirituality of the Bataknese Elderly who lost spouse in Pagar Manik village of Silinda District, Serdang Bedagai

Name : Monica Sales Sipayung NIM : 101101036

Major : Bachelor of Nursing Year : 2014

Abstract

Spirituality development in the Bataknese elderly who lost spouse can threaten spirituality development process, be hard blow, and discouraged the spirit of people who were in sorrow. The purpose of this research was to identify the Bataknese elderly spirituality who lost spouse in Pagar Manik village, Silinda district, Serdang Bedagai. The research design used in this research was dscriptive with 41 samples with total sampling method and used research questionnaire consisting of demography data questionnaire and spirituality questionnaire. The result of data analyses were provided in the form of frequency distribution and percentage. The results of the research showed that majority of the bataknese elderly spiritualiti who lost spouse had high spirituality (65%). Spirituality dimension: relation to God of the Bataknse elderly who lost spouse was in low category (58.5%). Spirituality dimension: relation within him/her self of the Bataknse elderly who lost spouse was in high category (65.9%). Spirituality dimension: relation to other people of the Bataknse elderly who lost spouse was in high category (75.6%). Spirituality dimension: relation with the surrounding of the Bataknse elderly who lost spouse was in high category (78%). The following research was necessary for about the factors which influence the elderly spirituality, especially the Bataknese elderly. It is hoped that the results of this research can fulfill the spirituality in relation to God.

(14)

BAB 1 PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Dimensi kemanusiaan yang saling terkait yaitu aspek biologis, psikologis, sosial, dan spiritual merupakan komponen integral yang tidak terpisahkan pada semua orang (Stanley dan Beare, 2006). Spiritualitas adalah keyakinan dalam hubungannya dengan yang Maha Kuasa dan Maha Pencipta (Hamid, 1999). Spiritualitas memberikan dimensi luas pada pandangan holistik kemanusiaan ( Potter & Perry, 2005).

(15)

Menurut Undang-Undang No.13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia menyatakan bahwa lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun keatas. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) saat ini diseluruh dunia jumlah lansia diperkirakan mencapai 500 juta jiwa dan diperkirakan pada tahun 2025 akan mencapai 1,2 milyar jiwa. Menurut laporan WHO tahun 1998 angka harapan hidup orang Indonesia akan meningkat dari 65 tahun (1997) menjadi 73 tahun (2005). Kondisi ini menempatkan Indonesia pada urutan ketiga yang memiliki populasi lansia terbanyak di dunia pada tahun 2020, setelah China dan India. Populasi lansia di Indonesia pada tahun 2000 yaitu sebanyak 14.4 juta jiwa ( WHO, 2005 dalam Suardiman, 2011).

(16)

Berdasarkan survei Badan Pusat Statistik (BPS) RI tahun 2012 persentase rumah tangga perempuan yang berusia 60 tahun keatas dan bertempat tinggal di desa sebanyak 2.18% dan sebanyak 90.99% sudah cerai mati dengan pasangannya, sedangkan persentase rumah tangga laki-laki adalah sebesar 88.34% dan hanya 10.30% yang sudah cerai mati dengan pasangannya (BPS RI, Susenas 2009 -2012).

Lansia memiliki pengalaman kehilangan yang lebih banyak sepanjang hidupnya seperti kehilangan kemampuan fisik, kesehatan, kebebasan, pekerjaan, pendapatan, dan kematian pasangan hidup (Kozier, Erb, Blais & Wilkinson, 1995). Kematian pasangan hidup dapat mengancam dan menentang proses perkembangan spiritual pada lansia (Potter & Perry, 2005). Kematian akan menimbulkan perasaan berduka, yang lamanya proses berduka tersebut sangat individual. Reaksi berduka atau kesedihan yang terus menerus biasanya reda dalam 3 sampai 12 bulan setelah pengalaman kehilangan dan berduka yang mendalam mungkin akan berlanjut dalam 3 hingga 5 tahun (Worden, 1991 dalam Lueckenotte, 2000 ).

(17)

Pengalaman terputusnya hubungan karena kematian memang tidak langsung terlihat mempengaruhi kesehatan, tetapi dapat memunculkan simptom-simptom psikologis, dan dapat menyebabkan kondisi kesehatan yang buruk (Young dan Koopsen, 2007). Berdasarkan hasil penelitian dilaporkan bahwa 72% para lanjut usia di Amerika yang ditinggal mati oleh pasangannya mengatakan bahwa pengalaman kematian pasangan merupakan suatu tekanan yang sangat berat dan membutuhkan kemampuan koping yang tinggi untuk mengatasinya. Setelah meninggalnya pasangan, orang yang ditinggalkan, tertama laki-laki lebih rentan terhadap penyakit dan sakit fisik, dan tingkat kematian yang lebih tinggi (Stroebe, Stroebe & Schut , 2000 dalam Wade dan Travis, 2007).

Bagi lansia yang sudah berstatus janda atau duda akan berpaling pada agama atau spiritualitas untuk mengatasi kesedihan karena kematian pasangan hidupnya. Orang yang berduka mungkin akan akan marah kepada Tuhan dan mengalami krisis iman, namun spiritualitas dan kepercayaan pada sesuatu yang lebih besar dari dirinya mampu membuat proses dukacita yang sehat dan positif (Young dan Koopsen, 2007). Lansia yang tidak mampu menerima kenyataan karena kematian pasangan hidupnya akan beresiko mengalami distress spiritualitas dan memiliki permasalahan seperti depresi hingga bunuh diri karena merasa kesepian dan keterasingan (Hawari, 2007).

(18)

bukan “Aku” saja yang meninggal terlebih dahulu, mengaku sering menangis, sering berharap akan kehadiran suaminya kembali, dan hal yang membuat ibu. T semangat menjalani hidupnya adalah kehadiran keluarga yang selalu membantu.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan diatas menunjukkan bahwa spiritualitas sangat mempengaruhi kehidupan lansia setelah kematian pasangan hidupnya, namun tidak ada penelitian sebelumnya tentang spiritualitas lansia akibat kehilangan pasangan hidup, khususnya di Desa Pagar Manik yang memiliki jumlah lansia Suku Batak yang sudah berstatus janda atau duda yang cukup tinggi. Oleh karena itu peneliti berniat melakukan penelitian dengan judul “Spiritualitas Lansia Suku Batak Akibat Kehilangan Pasangan Hidup di Desa Pagar Manik Kecamatan Silinda Kabupaten Serdang Bedagai”.

2. Rumusan Masalah

Bagaimana spiritualitas lansia Suku Batak akibat kehilangan pasangan hidup di Desa Pagar Manik Kecamatan Silinda Kabupaten Serdang Bedagai.

3. Tujuan

3.1 Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi spiritualitas lansia Suku Batak akibat kehilangan pasangan hidup di Desa Pagar Manik Kecamatan Silinda Kabupaten Serdang Bedagai.

(19)

3.2Tujuan khusus

3.2.1 Mengidentifikasi dimensi spiritualitas: hubungan dengan Tuhan pada lansia Suku Batak akibat kehilangan pasangan hidup di Desa Pagar Manik Kecamatan Silinda Kabupaten Serdang Bedagai.

3.2.2 Mengidentifikasi dimensi spiritualitas: hubungan dengan diri sendiri pada lansia Suku Batak akibat kehilangan pasangan hidup di Desa pagar Manik Kecamatan Silinda Kabupaten serdang Bedagai.

3.2.3 Mengidentifikasi dimensi spiritualitas: hubungan dengan orang lain pada lansia Suku Batak akibat kehilangan pasangan hidup di Desa Pagar Manik Kecamatan silinda Kabupaten Serdang Bedagai.

3.2.4 Mengidentifikasi dimensi spiritualitas: hubungan dengan lingkungan pada lansia Suku Batak akibat kehilangan pasangan hidup di Desa Pagar Manik Kecamatan Silinda Kabupaten Serdang Bedagai.

4. Manfaat Penelitian

4.1 Pelayanan Keperawatan

(20)

4.2 Institusi keperawatan

Memberikan masukan kepada Institusi Keperawatan untuk mengembangkan pembelajaran tentang spiritualitas dengan pendekatan kultural dalam proses belajar.

4.3Peneliti selanjutnya

Dapat menjadi salah satu sumber untuk perkembangan dan perbandingan tentang spiritualitas lansia Suku Batak dan dapat dilanjutkan untuk diteliti tentang faktor lain yang mempengaruhi spiritualitas lansia khususnya bagi Suku Batak.

(21)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. Spiritualitas

1.1 Definisi Spiritualitas

Istilah “spiritualitas” diturunkan dari kata latin “spiritus” yang berarti nafas, istilah ini juga berkaitan erat dengan kata Yunani, “pneuma”, atau nafas yang mengacu pada nafas hidup atau jiwa (Potter dan Perry, 2007). Spiritualitas mencakup seluruh aspek kehidupan pribadi manusia dan merupakan sarana menjalani hidup, spiritualitas dapat didefinisikan sebagai dimensi integral dari kesehatan dan kesejahteraan setiap manusia (Skokan dan Bader, 2000). Spiritualitas merupakan daya semangat, prinsip hidup atau hakikat eksistensi manusia yang diungkapkan melalui hubungan dengan diri sendiri, sesama, alam, dan Sang Pencipta atau sumber hidup dan dibentuk melalui pengalaman kultural, spiritualitas merupakan pengalaman manusia yang universal (Young dan Koopsen, 2007).

(22)

Spiritualitas atau kepercayaan spiritual dapat diartikan sebagai suatu kepercayaan yang memiliki hubungan dengan suatu kekuasaan yang lebih tinggi, memiliki kekuatan, mengandung aspek tentang Tuhan, dan memiliki sumber kekuatan yang tidak terbatas. Contohnya seseorang yang percaya kepada Tuhan atau Sang Pencipta atau percaya kepada suatu kekuasaan yang lebih tinggi (Kozier, Erb, Blais & Wilkinson, 2004). Spiritualitas terdiri dari beberapa aspek menurut Burkhardt (1993), yaitu:

a. Berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui atau ketidakpastian dalam kehidupan

b. Menemukan arti dan tujuan hidup

c. Menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan dalam diri sendiri

d. Mempunyai perasaan keterikatan dengan diri sendiri dan dengan Yang Maha Tinggi.

1.2 Dimensi Spiritual

(23)

Spiritualitas sebagai suatu yang multidimensi, yaitu dimensi eksistensial dan dimensi agama. Dimensi eksistensial berfokus pada tujuan dan arti hidup, sedangkan dimensi agama berfokus pada hubungan seseorang dengan Yang Maha Penguasa (Mickley et all, 1992).

Selanjutnya Stoll menguraikan bahwa spiritualitas adalah konsep dua dimensi, yaitu dimensi vertikal dan dimensi horizontal. Dimensi vertikal mencakup hubungan dengan Tuhan atau Yang Maha Tinggi yang menuntun kehidupan seseorang, dan dimensi horizontal mencakup hubungan seseorang dengan diri sendiri, dengan orang lain, dan dengan lingkungan, terdapat hubungan yang terus menerus antara kedua dimensi tersebut (Stoll, 1989 dalam Kozier, Erb, Blais & Wilkinson, 1995).

1.3 Karakteristik Spiritual

Karakteristik spiritualitas pada setiap individu didasarkan pada kebutuhan berhubungan dengan Tuhan, hubungan dengan diri sendiri, hubungan dengan orang lain atau sesama, dan hubungan dengan lingkungan atau alam (Bukhardt 1993 dalam kozier, Erb, & Blais, 2004).

a. Hubungan dengan Tuhan

(24)

memberikan ketenangan pada individu yang melakukannya (Kozier, et all, 1995). Doa dan ritual agama juga dapat membangkitkan harapan dan rasa percaya diri seseorang dan bagi seseorang yang sakit dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuhnya dan mempercepat penyembuhan (Hawari, 2002).

b. Hubungan dengan diri sendiri

Memiliki pengetahuan tentang diri sendiri, mengetahui hal apa yang harus dilakukan, percaya pada diri sendiri, percaya pada kehidupan saat ini dan masa depan, merasakan kedamaian pikiran, dan harmoni dengan diri sendiri. Kebutuhan spiritualitas yang bersumber dari kekuatan dalam diri individu sendiri dalam menghadapi masalah, kebutuhan spiritualitas yang bersumber dari kekuatan diri sendiri meliputi kepercayaan, harapan, dan makna dalam kehidupan (Kozier, et all, 1995). Orang tua atau lansia sering mengarah pada hubungan yang penting dan menyediakan diri mereka bagi orang lain sebagai tugas spiritual, sejalan dengan makin dewasanya seseorang mereka sering introspeksi untuk memperkaya nilai yang telah lama dianutnya. Kesehatan spiritualitas yang sehat pada lansia adalah sesuatu yang memberikan kedamaian dan penerimaan tentang diri sendiri (Potter & Perry, 2005).

1. Kepercayaan

(25)

seseorang percaya pada kekuatan dirinya sendiri, percaya pada kehidupan masa depan, memiliki ketenangan pikiran, dan memiliki keselarasan dengan diri sendiri (Taylor, Lilis , & Le Mone, 1997; Kozier, et al, 1995).

2. Harapan

Harapan dapat diartikan sebagai suatu keyakinan akan keinginan yang akan tercapai dalam hidup. Harapan merupakan suatu proses interpersonal yang terbina melalui hubungan dengan orang lain dan yang terutama melalui hubungan dengan Tuhan dan didasarkan pada kepercayaan. Harapan memberikan peranan penting bagi individu dalam mempertahankan dirinya saat menghadapi penyakit atau masalah, tanpa harapan individu akan merasa hampa, lesu/tidak bersemangat, dan terasa mati (Kozier, et all, 1995).

3. Makna kehidupan

Memiliki makna kehidupan menjadikan seorang individu merasa berharga dan berarti dan memiliki perasaan dekat dengan Tuhan, orang lain, dan alam sekitar, dimana individu merasa hidupnya menjadi lebih terarah, memiliki masa depan, dan menerima kasih sayang dari orang lain disekitarnya (Puchalski, 2004 ; Kozier, et al, 1995 ).

c. Hubungan dengan orang lain

(26)

meninggal, yang dapat memberikan hubungan positif terhadap sesama. Keluarga dan teman dapat memberikan bantuan dan dukungan emosional terhadap masalah atau penyakit yang dihadapi seseorang. Sedangkan hubungan yang tidak harmonis adalah konflik dengan orang lain, perselisihan dengan orang lain, dan memiliki perkumpulan yang terbatas. Hubungan dengan orang lain terdiri atas maaf dan pengampunan, cinta kasih dan dukungan sosial (Hart, 2002; Kozier, et al 1995). Persahabatan adalah hubungan yang dimiliki seseorang dengan orang lain, termasuk keluarga, teman akrab, rekan ditempat kerja, amggota komunitas masyarakat, dan lingkungan tetangga. Persahabatan mencakup komunitas yang mempunyai kepercayaan yang sama dan menciptakan ikatan yang kuat dengan orang lain sehingga menjadi sumber harapan bagi individu tersebut (Farran, et al, 1989 dalam Potter & Perry 2005).

1. Maaf dan pengampunan (forgiveness)

Dengan pengampunan, seorang individu dapat meningkatkan koping terhadap stres, cemas, depresi dan tekanan emosional, penyakit fisik serta meningkatkan perilaku sehat dan perasaan damai (Puchalski, 2004).

2. Cinta kasih dan dukungan sosial (Love and social support)

(27)

d. Hubungan dengan Lingkungan

Pemenuhan kebutuhan spiritualitas dengan lingkungan dapat terlihat melalui kedamaian pada lingkungan dengan suasana yang tenang, kedamaian meliputi keadilan, empati, dan rasa kesatuan. Kedamaian dapat membuat individu menjadi lebih tenang dan dapat meningkatkan status kesehatannya. Hubungan dengan alam adalah mengetahui tentang tanaman, pohon, kehidupan alam liar, cuaca, mampu bersatu dengan alam seperti berkebun, dan berjalan. Hubungan dengan lingkungan dapat terdiri dari rekreasi dan kedamaian. (Kozier, et all, 1995).

1. Rekreasi (Joy)

Rekreasi merupakan kebutuhan spiritual seseorang dalam menumbuhkan keyakinan, rahmat, rasa terima kasih, harapan dan cinta kasih. Dengan rekreasi seseorang dapat menyelaraskan antara jasmani dan rohani sehingga timbul perasaan kesenangan dan kepuasaan dalam pemenuhan kebutuhan spiritualnya, seperti medengar musik, menonton TV, dan berolah raga (Puchalski, 2004).

2. Kedamaian (Peace)

Kedamaian merupakan keadilan, rasa kasihan dan kesatuan dengan orang lain. Dengan kedamaian seseorang akan merasa lebih tenang dan dapat meningkatkan status kesehatan (Hamid, 2000).

1.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi spiritualitas

(28)

1. Perkembangan

Spiritualitas merupakan bagian dari kehidupan manusia dan berhubungan dengan proses perubahan dan perkembangan pada manusia. Semakin bertambah usia, individu akan menunjukkan dan membenarkan keyakinan spiritualitasnya (Taylor, et all, 1997). Setiap individu memiliki bentuk pemenuhan spiritualitas yang berbeda-beda sesuai dengan usia, jenis kelamin, agama, dan kepribadian individu. Menurut Westerhoff’s (1976 dalam Kozier, et al, 1995), perkembangan spiritualitas berdasarkan usia terdiri dari:

a. Spiritualitas pada masa anak-anak belum bermakna pada dirinya sendiri. Spiritualitas didasarkan pada perilaku yang didapat melalui interaksi dengan orang lain seperti keluarga. Pada masa ini, anak-anak belum mempunyai pemahaman salah atau benar. Kepercayaan atau keyakinan mengikuti ritual atau meniru orang lain seperti orang tuanya.

b. Spiritualitas pada masa remaja sudah mulai memiliki keinginan akan pencapaian kebutuhan spiritualitas seperti keinginan untuk meminta melalui berdoa kepada penciptanya, yang berarti sudah mulai membutuhkan pertolongan melalui keyakinan atau kepercayaan, bila pemenuhan kebutuhan spiritualitas tidak terpenuhi, akan menimbulkan kekecewaan pada dirinya sendiri.

(29)

kepercayaan harus dapat dijawab dan timbul perasaan akan penghargaan terhadap kepercayaan tersebut.

d. Pada masa dewasa pertengahan dan lansia, spiritualitas pada masa ini yaitu semakin kuatnya kepercayaan diri yang dipertahankan walaupun menghadapi perbedaan keyakinan yang lain dan lebih mengerti akan kepercayaan dirinya. Perkembangan spiritualitas pada tahap ini lebih matang, berpartisipasi dalam aktifitas sosial dan keagamaan, sehingga membuat individu lebih mampu untuk mengatasi masalah dan menghadapi kenyataan.

2. Budaya

Spiritualitas adalah pengalaman individu yang berhubungan dengan konteks budaya (pincharoen and Congdon, 2003). Setiap budaya memiliki bentuk pemenuhan kebutuhan spiritualitas yang berbeda. Sikap, keyakinan, dan nilai dipengaruhi oleh latar belakang budaya seseorang. Budaya dan spiritualitas menjadi dasar bagi seseorang dalam menentukan perilaku dan menjalani masalah hidup agar tetap seimbang (Taylor, et al , 1997).

3. Keluarga

(30)

kebutuhan spiritualitas bagi seorang anak karena keluarga memiliki ikatan emosional yang kuat dan selalu berinteraksi dalam kehidupan sehari- hari anak tersebut dan umunya seseorang akan mengikuti tradisi agama dan spiritual keluarga (Hidayat, 2006; Taylor, et al, 1997). Individu belajar tentang nilai moral serta spiritualitas dari hubungan keluarga. Apapun tradisi dan sistem kepercayaan yang dianut oleh individu dari keluarga akan memberikan pengalaman spiritualitas yang unik bagi setiap individu (Hamid, 1999).

4. Agama

(31)

5. Pengalaman Hidup

Pengalaman hidup baik yang positif maupun negatif dapat mempengaruhi spiritualitas seseorang. Pengalaman hidup mempengaruhi cara pandang spiritual seseorang dalam mengartikan kejadian yang dialaminya. Pengalaman hidup yang menyenangkan seperti pernikahan, kelulusan dapat menimbulkan rasa syukur pada Tuhan. Sedangkan pengalaman yang tidak menyenangkan dianggap sebagi suatu cobaan. Sebagian besar individu bersyukur terhadap pengalaman hidup yang menyenangkan (Taylor, et al, 1997).

6. Krisis dan Perubahan

Krisis sering dialami ketika seseorang menghadapi penyakit, penderitaan, proses penuaan, kehilangan, dan kematian. Krisis dapat menguatkan bahkan menghilangkan spiritualitas seseorang. Perubahan dalam kehidupan dan krisis yang dialami seseorang merupakan pengalaman spiritualitas yang bersifat fisikal dan emosional (Craven & Hirnle, 1996 ).

1.5 Perkembangan spiritualitas pada lansia

(32)

Perubahan spiritual pada lansia ditandai dengan semakin matangnya lansia dalam kehidupan keagamaan. Perkembangan spiritual yang matang akan membantu lansia untuk menghadapi kenyataan, berperan aktif dalam kehidupan, mampu merumuskan arti dan tujuan keberadaannya dalam kehidupan. Para lansia juga akan mendapatkan pengalaman berharga yang bermanfaat melalui berbagi pengalaman dengan orang lain. Lansia yang tidak matur dalam spiritulitas akan menunjukkan kelemahan fisik merasa putus asa dan berkurangnya minat dalam pekerjaan atau komunitas sosial (Kozier, et all, 1995).

Perkembangan spiritual pada usia 70 tahun menurut Fowler dan Keen (1985) adalah Universalizing yaitu perkembangan yang dicapai pada tingkat ini adalah berpikir dan bertindak dengan cara memberikan contoh cara mencintai keadilan. Pada lansia agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupan (Maslow,1970). Lansia makin matur dalam kehidupan keagamaanya, hal ini terlihat dalam berfikir dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari (Murray dan Zentner,1970 dalam Kozier, et all, 1995).

(33)

Kebutuhan spiritual pada lansia umumnya adalah dengan mengisi waktu mereka untuk beribadah, melalui ibadah para lanjut usia mendapat ketenangan jiwa, pencerahan dan kedamaian menghadapi hari tua, mereka sangat menginginkan generasi penerus yang sungguh-sungguh dalam menjalani ibadah (Setiti, 2007).

2. Lanjut Usia

2.1 Definis Lanjut Usia

Usia lanjut di nyatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia (Keliat, 1999 dalam Maryam, 2008). Menua (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri untuk mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Nugroho, 2000).

(34)

2.2 Batasan-batasan lanjut usia

Dimulainya batas usia lanjut tampak bervariasi dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya, di Amerika Serikat, umumnya orang dianggap sebagai lansia bila telah mencapai usia 65 tahun, tidak peduli apakah mereka berkeluarga atau melajang (Setiti, 2007).

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggolongkan lansia menjadi 4 yaitu:

1. Usia pertengahan (middle age) adalah 44–59 tahun 2. Lanjut usia (elderly) adalah 60–74 tahun

3. Lanjut usia tua (old) adalah 75–90 tahun 4. dan usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun.

Hasil penelitian Koentjaraningrat dan kawan-kawan yang dilakukan di Sumatera Barat dan Sumba Timur (1995) menunjukkan bahwa para warga lansia di Sumatera Barat melihat hubungan antara usia kronologis dan kondisi fisik serta kesehatan sebagai hal yang penting untuk menetapkan kategori lansia. Di Bukittinggi usia 50-55 tahun dinyatakan sebagai dimulainya lansia, sementara di Padang, usia lanjut ditetapkan antara 55-60 tahun (Basri, 2006).

(35)

Saat ini di Indonesia hal-hal yang terkait dengan usia lanjut diatur dalam suatu undang-undang yaitu Undang-undang Republik Indonesia No.13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, dalam pasal 1 ayat 2 Undang-undang No.13 Tahun 1998 tersebut dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan lanjut usia adalah seseorang yang berusia 60 tahun keatas.

Dengan demikian, kelompok usia lanjut tidak dapat diperhitungkan dengan hanya melihat pada sisi umur saja, tetapi kelompok usia lanjut disesuaikan dengan kemampuan dan tugas perkembangan masing-masing individu, dan saat ini di Indonesia yang berlaku adalah Undang-undang No.13 Tahun 1998 (Suardiman, 2011).

2.3 Tugas Perkembangan Lanjut Usia

Tugas-tugas perkembangan pada lansia mencakup menemukan makna hidup dan bagaimana mendapatkan aspek-aspek positif dari kehidupan. Tugas-tugas perkembangan lansia juga mencakup hal-hal berikut (Hitchcock et al, 1990 dalam Young dan Koopsen):

1.) Merencanakan untuk mengatur hidup yang aman

2.) Mewujudkan gaya hidup yang sehat

3.) Melanjutkan relasi hangat dengan keluarga dan teman-teman

(36)

5.) Menghadapi realitas dari kematian diri sendiri dan kematian orang-orang yang dicintai.

3. Budaya dan Suku

3.1 Budaya

Bangsa Indonesia terkenal sebagai bangsa yang majemuk atau heterogen. Bangsa Indonesia mempunyai beraneka ragam suku bangsa, budaya, agama, dan adat istiadat atau tradisi. Koentjaraningrat mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan kebudayaan adalah wujud ideal yang bersifat abstrak yang tidak dapat diraba yang berada dalam pikiran manusia yang dapat berupa gagasan, ide, norma, keyakinan dan lain sebagainya. Dalam setiap kebudayaan terdapat unsur-unsur yang juga dimiliki oleh kebudayaan lain. Koentjaraningrat menyebutnya sebagai unsur-unsur kebudayaan yang universal yang meliputi: sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup, dan sistem tekhnologi dan peralatan (Koentjaraningrat, 1989).

3.2 Suku Batak

(37)

Simalungun, Batak Pakpak dan Batak Mandailing, kategori tersebut dibagi berdasarkan nama daerah asalnya misalnya Batak Toba mendiami daerah Toba, Batak Karo mendiami daerah Karo, Batak Simalungun mendiami daerah simalungun begitu juga dengan yang lainnya (Harahap, 1940).

(38)

Dalam nilai Budaya Batak prioritas nilai budaya yang pertama adalah kekerabatan dan yang kedua adalah religi, kedua nilai prioritas ini menjadi ciri dan identitas bersama orang Batak (Harahap, 1940). Kekerabatan mencakup hubungan antar sesama suku, kasih sayang antar hubungan darah, kerukunan hubungan dengan masyarakat khususnya yang ada kaitannya dengan hubungan kekerabatan karena pernikahan, solidaritas marga, dll. Nilai kekerabatan atau keakraban berada ditempat yang tinggi bagi aturan masyarakat Batak, dan hal ini terwujud dalam pelaksanaan adat, tutur sapa, dan bersikap terhadap sesama. Religi mencakup kehidupan keagamaan yang kemudian mengatur kehidupannya dengan Maha Pencipta serta hubungannya dengan manusia dan lingkungan hidupnya (Situmeang, 2007).

Dalam hal kemasyarakatan masyarakat Batak pada umumnya membangun perkampungan atau desa sebagai tempat tinggal mereka yang disebut dengan huta

(39)

3.3 Lansia pada Suku Batak

Sistem nilai sosial budaya di Indonesia menempatkan lanjut usia sebagai warga terhormat, baik di lingkungan keluarga maupun dalam kehidupan masyarakat. Tuntunan agama dan nilai luhur menempatkan lanjut usia dihormati, dihargai dan dibahagiakan dalam kehidupan keluarga. Dalam berbagai budaya yang kita miliki penanganan lanjut usia juga masalah lainnya, diatur dalam tradisi masyarakat. Pada suku Batak, lanjut usia laki-laki disapa Opung Bulang, untuk wanita disapa dengan Opung Nini (Situmeang, 2007).

(40)

Orientasi nilai-nilai Budaya Batak juga mengatur hakekat hubungan manusia dengan alam yaitu memiliki hubungan yang akrab dengan alam, karena alam dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hakekat hubungan manusia Suku Batak memiliki intensitas yang tinggi terhadap sesamanya. Kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai anggota masyarakat membuat kadar partisipasi yang kuat untuk senantiasa terlibat dalam setiap aktivitas hubungan antar manusia, dan apabila ada salah seorang anggota masyarakat yang berduka maka para masyarakat akan melakukan hak dan kewajibannya pada orang tersebut, khususnya bagi para lansia yang sudah janda ataupun duda akan dirawat dengan baik oleh keluarganya (Harahap, 1940).

(41)

4. Kehilangan Dan Berduka

4.1 Definisi Kehilangan (loss)

Kehilangan adalah suatu kondisi aktual atau potensial yang mengakibatkan sesuatu hal berubah, berpisah dalam jangka waktu yang lama, atau kehilangan karena bepergian. Kehilangan (loss) dapat dialami individu ketika berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, baik sebagian atau seluruhnya dan menyebabkan adanya perubahan dalam hidup sehingga akan timbul perasaan kehilangan.

Seseorang bisa mengalami kehilangan yang bersumber dari kehilangan bagian anggota tubuhnya sendiri, kehilangan objek eksternal seperti kehilangan uang, kehilangan lingkungan tempat tinggal atau pekerjaan, dan kehilangan salah seorang yang dicintai karena kematian. Kematian adalah pengalaman kehilangan yang sangat berarti, bagi yang mengalami kehilangan dan yang berjuang dalam mempertahankan hidupnya. Kehilangan seseorang karena kematian dapat menjadi suatu masalah yang sangat mengganggu, dan pada umumnya kelompok masyarakat Amerika menunjukkan penolakan terhadap kematian (Kozier, et all, 2004).

4.2 Berduka

(42)

Lamanya proses berduka yang dialami oleh seorang individu sangat individual dan dapat sampai beberapa tahun lamanya. Menurut teori Martocchio (1985) menyatakan bahwa durasi berduka atau kesedihan yang dialami individu bervariasi dan bergantung pada faktor yang mempengaruhi respon kesedihan itu sendiri. Reaksi yang terus menerus dan kesedihan biasanya reda dalam 6-12 bulan dan berduka yang mendalam mungkin berlanjut 3-5 tahun (Kozier, Erb, Blais & Wilkinson, 2004), sedangkan menurut Worden, 1991 dalam Lueckenotte, 2000 mengatakan bahwa respon berduka yang perlu diperhatikan pada seseorang normalnya adalah 3 bulan sampai 1 tahun setelah pengalaman kehilangan dan jika para lansia tersebut telah mengalami pengalaman kehilangan yang banyak maka akan membutuhkan waktu berduka yang lebih lama.

Respon berduka terhadap kehilangan yang paling dikenal adalah yang dikemukan oleh (Kubler-Ross dalam Potter dan Perry, 1997) yang menjelaskan bahwa terdapat lima tahap dalam proses respon seseorang terhadap dukacita, yaitu:

1. Penolakan (denial)

Reaksi awal individu terhadap kehilangan adalah tidak percaya, syok, dan mengingkari kenyataan bahwa kehilangan benar-benar terjadi. Reaksi ini dapat berlangsung dalam beberapa menit hingga beberapa tahun.

2. Marah (angry)

(43)

3. Tawar menawar (Bargaining)

Pada tahap ini individu sudah mulai menunda kesadaran atas terjadinya kehilangan dan membuat seolah-olah kehilangan yang dialaminya dapat dicegah. Individu mungkin berupaya melakukan tawar menawar dengan memohon kemurahan kepada Tuhan.

4. Depresi (depression)

Pada tahap ini sering ditunjukkan dengan sikap menarik diri dan menyatakan keputusasaan,tidak mau bicara, dan bisa timbul keinginan bunuh diri.

5. Penerimaan (Acceptance)

Pada tahap ini pikiran individu yang mengalami kehilanganyang selalu berpusat pada objek yang hilang akan berkurang atau hilang. Individu telah menerima kenyataan kehilangan dan sudah mulai memikirkan rencana masa depan dan mulai beralih kepada hal yang baru. Apabila individu tersebut mampu menerima kehilangan dengan perasaan damai maka dia dapat mengakhiri proses berduka serta mengatasi perasaan kehilangan secara tuntas.

4.3 Kehilangan pada lansia

(44)

kehilangan orang yang dicintainya (Hidayat, 2004). Dampak kehilangan pada masa dewasa tua dan lansia adalah kehilangan khususnya kematian pasangan hidup dapat menjadi pukulan yang sangat berat dan menghilangkan semangat hidup orang yang ditinggalkan (Hidayat, 2009).

Lansia pada umumnya telah menyadari bahwa kematian adalah bagian dari kehidupan yang normal, tetapi kesadaran akan kematian tidak berarti bahwa pasangan yang ditingalkan akan menemukan penyesuaian kematian dengan mudah. Hilangnya pasangan menuntut reorganisasi fungsi keluarga secara total karena kehilangan pasangan akan mengurangi sumber emosional dan ekonomi serta diperlukan penyesuaian untuk menghadapi kehilangan tersebut (Maryam, 2008).

Lansia yang sudah janda atau duda memiliki kesadaran akan hidup sendiri yang menjadi suatu pengalaman yang menakutkan. Pasangan hidup meninggal, selain itu anak-anak meninggalkan rumah untuk membentuk keluarga sendiri. Rasa sepi pada keadaan seperti itu menimbulkan keraguan akan makna hidup atau nilai dirinya dan guna bagi masyarakat (Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga, 2012).

(45)

istrinya seperti keterikatan sosial, tugas-tugas rumah tangga, dan memecahkan masalah dalam menghadapi stress, sehingga pada umumnya laki-laki kurang persiapan dari pada perempuan dalam menghadapi tantangan sebagi seorang duda (Suardiman, 2011). Laki-laki juga cenderung kurang terlibat dalam kegiatan keagamaan yang merupakan suatu sumber dukungan yang sangat penting untuk memperoleh dukungan sosial dan kekuatan dari Tuhan (Berk, 2007; 619 dalam Young dan Koopsen, 2007).

Berbeda dengan wanita yang lebih mampu mengatasi kondisi menjadi janda, alasannya adalah bahwa mereka memiliki hubungan persahabatan yang erat dan mendalam dengan orang lain dan umumnya sudah terbiasa memiliki hubungan sosial yang lebih luas. Para wanita juga lebih mampu mengekspresikan emosinya, sehingga dapat segera bangkit untuk menyesuaikan dirinya kembali. Sebagai janda lansia juga cenderung memiliki teman senasib atau sama-sama hidup sendiri sehingga merasa lebih siap menghadapi hidup tanpa seorang suami (Suardiman, 2011).

(46)

BAB 3

KERANGKA PENELITIAN

1. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan spiritualitas lansia Suku Batak akibat kehilangan pasangan hidup di Desa Pagar Manik Kecamatan Silinda Kabupaten serdang Bedagai. Spiritualitas adalah suatu kepercayaan akan adanya hubungan dengan suatu kekuasaan yang lebih tinggi, memiliki kekuatan, mengandung aspek tentang Tuhan, dan memiliki sumber kekuatan yang tidak terbatas dan terdiri dari dimensi vertikal dan dimensi horizontal (Kozier, Erb, Blais & Wilkinson, 2004).

Skema 1. Kerangka konseptual spiritualitas lansia Suku Batak akibat kehilangan pasangan hidup di Desa Pagar Manik Kecamatan Silinda Kabupaten Serdang Bedagai.

Spiritualitas lansia Suku Batak akibat kehilangan pasangan hidup

1. Hubungan dengan Tuhan 2. Hubungan dengan diri sendiri 3. Hubungan dengan orang lain 4. Hubungan dengan lingkungan 

/alam 

Tinggi 

(47)

2. Defenisi Operasional

Tabel 1. Definisi operasional spiritualitas lansia Suku Batak akibat kehilangan pasangan hidup di Desa Pagar Manik Kecamatan Silinda Kabupaten Serdang Bedagai.

(48)
(49)

BAB 4

METODE PENELITIAN

1. Desain Penelitian

Desain penelitian ini menggunakan rancangan deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui spiritualitas lansia Suku Batak akibat kehilangan pasangan hidup di Desa Pagar Manik Kecamatan Silinda Kabupaten Serdang Bedagai.

2. Populasi dan Sampel

2.1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang akan diteliti yang dapat berupa manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, peristiwa dan gejala yang terjadi di dalam masyarakat atau di dalam alam (Notoatmodjo, 2010). Populasi dalam penelitian ini adalah lansia Suku Batak yang sudah kehilangan pasangan hidupnya yang berada di Desa Pagar Manik Kecamatan Silinda Kabupaten Serdang Bedagai. Menurut data dari Kepala Desa Pagar Manik jumlah lansia Suku Batak yang sudah kehilangan pasangan hidup sebanyak 50 orang lansia.

2.2. Sampel

Sampel adalah bagian populasi yang akan diteliti atau terdiri dari sebagian jumlah karakteristik yang dimiliki oleh populasi yang sesuai dengan kriteria yang akan diteliti. Penelitian ini menggunakan tekhnik sampling jenuh (total sampling)

(50)

agar hasil yang didapatkan representatif dan untuk membuat generalisasi dengan kesalahan yang sangat kecil (Sugiyono, 2010).

Kriteria inklusi

1. Lansia yang tinggal di Desa Pagar Manik Kecamatan silinda Kabupaten

serdang Bedagai dan bersuku Batak.

2. Sudah kehilangan pasangan hidup diatas 6 bulan

3. Bersedia menjadi responden

4. Mampu berbahasa Indonesia

5. Mampu berkomunikasi.

Pada saat pengumpulan data jumlah responden yang didapat adalah 44 orang dikarenakan ada tiga orang lansia yang tidak bisa di jumpai peneliti karena ternyata sudah berdomisili ditempat lain bersama dengan anaknya, dan terdapat juga seorang lansia yang meninggal pada bulan Maret 2014 sebelum peneliti selesai melakukan pengumpulan data, dan sisanya sebanyak lima orang lansia tidak bersedia menjadi responden, sehingga jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 41 orang.

3. Lokasi dan waktu penelitian

(51)

penelitian dan para lansia ini adalah mayoritas Suku batak yang telah kehilangan pasangan hidupnya, sehingga memungkinkan peneliti mendapatkan jumlah sampel yang memadai sesuai dengan kriteria peneliti. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Februari hingga Maret 2014.

4. Pertimbangan Etik Penelitian

Penelitian ini telah dilakukan setelah proposal penelitian disetujui oleh fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara, mendapat surat etik dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Keperawatan, setelah selesai melakukan uji reliabilitas instrumen di Desa Pamah Kecamatan silinda, dan terakhir mendapat surat ijin dari Kepala Desa Pagar Manik. Seluruh populasi dijadikan sampel penelitian agar semuanya memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi responden. Peneliti terlebih dahulu menemui responden dan menjelaskan maksud dan tujuan penelitian yang dilakukan. Peneliti memberikan kebebasan pada responden dalam menentukan dirinya sehingga penelitian yang dilaksanakan menghargai kebebasan dari setiap responden (self determination).

(52)

responden juga tidak dicantumkan (anonymity) dan hanya menggunakan kode agar memberikan jaminan kepada responden bahwa data yang didapat akan dijaga kerahasiaannya (Confidentiality). Semua data yang diperoleh dari responden akan digunakan untuk kepentingan penelitian saja.

5. Instrumen penelitian

(53)

P=

P adalah panjang kelas dengan nilai tertinggi (96) dikurangi nilai terendah (24) sehingga didapat rentang kelas dan banyak kelas adalah 2 kelas yaitu tinggi dan rendah, sehingga didapat hasil tinggi (61-96) dan rendah (24-60).

6. Uji Validitas dan Uji Reliabilitas

a. Validitas

Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrumen. Validitas isi dilakukan atas isinya untuk memastikan apakah isi instrumen mengukur secara tepat keadaan yang ingin diukur (Purwanto, 2007 dalam Siswanto, Susila, dan Suyanto, 2013). Pengujian validitas pada penelitian ini menggunakan pengujian validitas isi (Content Validity) yang dilakukan dengan menggunakan pendapat dari ahli (Judgment Experts) untuk mengukur kevaliditasan instrumen penelitian yaitu kuesioner (Sugiyono, 2010). Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini telah divalidasi oleh salah satu dosen yang memiliki pengetahuan khusus dibidang spiritualitas di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara, yaitu ibu Nunung Febriany Sitepu, S.kep, Ns, MNS.

(54)

dalam setiap pernyataan agar lebih sesuai, dan akhirnya seluruh pernyataan dinilai valid dan seluruh pernyataan diberi nilai 4 kecuali pernyataan nomor 7, 11, dan 28 diberi nilai 3, jika dihitung nilai validitasnya (content validity index) yaitu nilai skor hitung (93) dibagi nilai tertinggi (96) adalah 0.96, sehingga dinyatakan telah valid secara validitas isi oleh ahlinya.

b. Reliabilitas

Reliabilitas menunjukkan bahwa suatu instrumen cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data karena instrumen tersebut sudah baik. Instrumen yang reliabel akan menghasilkan data yang dapat dipercaya atau benar sesuai kenyataannya sehingga walaupun data diambil berulang hasilnya akan tetap sama (Arikunto, 2010). Uji reliabilitas telah dilakukan sebelum pengumpulan data kepada 20 orang lansia pada tanggal 5-25 Februari 2014 di desa sebelah yaitu Desa Pamah Kecamatan Silinda Kabupaten Serdang Bedagai yang sesuai dengan kriteria penelitian. Uji reliabilitas kuesioner penelitian ini menggunakan rumus Uji Alpha Cronbach (Cronbach’s Alpha Coeffient), yang dianalisa menggunakan proses komputerisasi.

(55)

7. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan setelah peneliti mendapatkan surat ijin dari fakultas keperawatan Universitas Sumatera Utara, lalu mendapat surat etik dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Keperawatan, dan mendapat ijin dari Kepala Desa Pagar Manik. Selanjutnya peneliti menemui responden dan menjelaskan maksud dan tujuan penelitian yang dilakukan. Jika calon responden bersedia menjadi menjadi responden maka diawali dengan mengisi lembar

informed consent, dan kemudian mengambil data dari kuesioner spiritualitas yang diisi oleh responden.

(56)

8. Analisa Data

Analisa data dilakukan setelah para responden mengisi kuesioner yang diberikan. Analisa data diawali dengan editing, yaitu memeriksa kembali kebenaran data yang telah terkumpul kemudian dilanjutkan dengan pemberian kode (coding) yaitu pemberian kode numerik (angka) terhadap data yang telah di kategorikan. Kemudian data yang sudah diberi kode akan dimasukkan (entri)

kedalam program komputer dan tahap selanjutnya adalah melakukan pembersihan data apabila terdapat kesalahan saat pemasukan data kekomputer (cleaning). Tahap selanjutnya adalah melakukan tekhnik analisis, yaitu analisis deskriptif untuk menggambarkan suatu data secara sistematis.

Data akan dianalisis menggunakan tekhnik komputerisasi. Analisa deskriptif yang digunakan akan menggambarkan spiritualitas lansia Suku Batak terhadap kehilangan pasangan hidup. Data yang didapat akan ditampilkan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan persentasi.

(57)

BAB 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini diuraikan hasil penelitian beserta pembahasan mengenai spiritualitas lansia Suku Batak akibat kehilangan pasangan hidup yang telah dilaksanakan oleh peneliti mulai tanggal 27 Februari hingga 31 Maret 2014 terhadap 41 orang lansia Suku Batak sebagai responden di Desa Pagar Manik Kecamatan Silinda Kabupaten Serdang Bedagai. Penyajian data dalam penelitian ini akan ditampilkan secara deskriptif yaitu karakteristik responden dan spiritualitas pada lansia Suku Batak.

1. Hasil Penelitian

1.1 Deskriptif karakteristik responden

Responden pada penelitian ini adalah lansia Suku Batak yang telah kehilangan pasangan hidupnya yang bertempat tinggal di Desa Pagar Manik Kecamatan Silinda Kabupaten Serdang Bedagai dengan jumlah responden sebanyak 41 orang. Karakteristik responden yang diteliti meliputi usia, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, dan lama hidup menjanda/duda.

(58)

Kristen Protestan sebanyak 41 orang (100%), pendidikan terakhir SD sebanyak 28 orang (68.3%), pekerjaan sebagai buruh/bertani sebanyak 35 orang (85.4%), dan lamanya responden telah kehilangan pasangan hidup yaitu 6-10 tahun sebanyak 17 orang (41.4%). Hasil penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 5.1.

Tabel 5.1 Distribusi frekuensi berdasarkan karakteristik demografi responden yaitu lansia Suku Batak di Desa Pagar Manik Kecamatan Silinda Kabupaten Serdang Bedagai (n=41)

No. Karakteristik Responden Frekuensi (f) Persentase (%) 1. Usia 6. Lama hidup menjanda/ duda

(59)

1.2 Spiritualitas lansia Suku Batak akibat kehilangan pasangan hidup di Desa Pagar Manik Kecamatan Silinda Kabupaten Serdang Bedagai

Spiritualitas lansia Suku Batak akibat kehilangan pasangan hidup dikategorikan tinggi dan rendah. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan didapat bahwa mayoritas lansia memiliki tingkat spiritualitas yang tinggi sebanyak 27 orang (65.9%), jauh lebih sedikit dengan yang memiliki spiritualitas rendah sebanyak 14 orang (34.1%). Spiritualitas lansia suku batak akibat kehilangan pasangan hidup di Desa Pagar Manik Kecamatan Silinda Kabupaten Serdang Bedagai dapat dilihat pada Tabel 5.2.

Tabel 5.2 Distribusi frekuensi dan persentase spiritualitas lansia Suku Batak akibat kehilangan pasangan hidup di Desa Pagar Manik Kecamatan Silinda Kabupaten Serdang Bedagai (n=41)

No. Spiritualitas Frekuensi (f) Persentase (%)

1. Tinggi 27 65.9

2. Rendah 14 34.1

1.2.1 Dimensi spiritualitas: hubungan dengan Tuhan pada lansia Suku Batak akibat kehilangan pasangan hidup di Desa Pagar Manik Kecamatan Silinda Kabupaten Serdang Bedagai

(60)

spiritualitas: hubungan dengan Tuhan pada lansia Suku Batak akibat kehilangan pasangan hidup dapat dilihat pada Tabel 5.3.

Tabel 5.3 Distribusi frekuensi dan persentase dimensi spiritualitas: hubungan dengan Tuhan lansia Suku Batak akibat kehilangan pasangan hidup di Desa Pagar Manik Kecamatan Silinda Kabupaten Serdang Bedagai (n=41)

No. Spiritualitas Frekuensi (f) Persentase (%)

1. Tinggi 17 41.5

2. Rendah 24 58.5

1.2.2 Dimensi spiritualitas: hubungan dengan diri sendiri pada lansia Suku Batak akibat kehilangan pasangan hidup di Desa Pagar Manik Kecamatan Silinda Kabupaten Serdang Bedagai

(61)

Tabel 5.4 Distribusi frekuensi dan persentase dimensi spiritualitas: hubungan dengan diri sendiri lansia Suku Batak akibat kehilangan pasangan hidup di Desa Pagar Manik Kecamatan Silinda Kabupaten Serdang Bedagai (n=41)

No. Spiritualitas Frekuensi (f) Persentase (%)

1. Tinggi 27 65.9

2. Rendah 14 34.1

1.2.3 Dimensi spiritualitas: hubungan dengan orang lain pada lansia Suku Batak akibat kehilangan pasangan hidup di Desa Pagar Manik Kecamatan Silinda Kabupaten Serdang Bedagai

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa mayoritas lansia memiliki dimensi spiritualitas: hubungan dengan orang lain tinggi yaitu sebanyak 31 orang (75.6%), jauh lebih sedikit dengan yang memiliki dimensi spiritualitas: hubungan dengan orang lain rendah yaitu 10 orang (24.4%). Dimensi spiritualitas: hubungan dengan orang lain pada lansia Suku Batak akibat kehilangan pasangan hidup dapat dilihat pada Tabel 5.5.

Tabel 5.5 Distribusi frekuensi dan persentase dimensi spiritualitas: hubungan dengan Orang lain lansia Suku Batak akibat kehilangan pasangan hidup di Desa Pagar Manik Kecamatan Silinda Kabupaten Serdang Bedagai (n=41)

No. Spiritualitas Frekuensi (f) Persentase (%)

1. Tinggi 31 75.6

(62)

1.2.4 Dimensi spiritualitas: hubungan dengan lingkungan/alam pada lansia Suku Batak akibat kehilangan pasangan hidup di Desa Pagar Manik Kecamatan Silinda Kabupaten Serdang Bedagai

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa mayoritas responden memiliki dimensi spiritualitas: hubungan dengan lingkungan/alam tinggi yaitu sebanyak 32 orang (78%), jauh lebih sedikit dengan yang memiliki dimensi spiritualitas: hubungan dengan lingkungan/alam rendah yaitu 9 responden (22%). Dimensi spiritualitas: hubungan dengan lingkungan/alam pada lansia Suku Batak akibat kehilangan pasangan hidup dapat dilihat pada Tabel 5.6.

Tabel5.6 Distribusi frekuensi dan persentase dimensi spiritualitas: hubungan dengan Lingkungan/alam lansia Suku Batak akibat kehilangan pasangan hidup di Desa Pagar Manik Kecamatan Silinda Kabupaten Serdang Bedagai (n=41)

No. Spiritualitas Frekuensi (f) Persentase (%)

1. Tinggi 32 78

(63)

2. Pembahasan

Pembahasan pada penelitian ini menjelaskan tentang makna hasil penelitian dan membandingkannya dengan penelitian sebelumnya atau dengan literatur yang ada. Pembahasan hasil penelitian menjelaskan tentang karakteristik demografi dan spiritualitas lansia Suku Batak akibat kehilangan pasangan hidup di Desa Pagar Manik Kecamatan Silinda Kabupaten Serdang Bedagai.

2.1 Spiritualitas lansia Suku Batak akibat kehilangan pasangan hidup

(64)

Berdasarkan penelitian didapatkan juga bahwa mayoritas lansia tergolong kedalam kelompok usia setengah baya (elderly) yaitu usia 60-74 tahun, dengan jumlah 34 orang responden (82.9%), hal ini sejalan dengan yang dinyatakan oleh Taylor, et, all (1997) bahwa perkembangan spiritualitas pada tahap ini sudah lebih matang, berpartisipasi dalam aktifitas sosial dan keagamaan, sehingga membuat individu lebih mampu untuk mengatasi masalah. Pertumbuhan spiritualitas pada lansia menunjukkan perkembangan perasaan identitas, penciptaan, dan pemeliharaan relasi yang bermakna dengan orang lain, dengan Tuhan, mampu menghargai alam, dan mengembangkan suatu kesadaran transendental (Young dan Koopsen, 2007).

Berdasarkan penelitian juga didapatkan bahwa mayoritas responden berjenis kelamin perempuan sebanyak 36 orang (87.8%), hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Fatimah (2010) bahwa umur harapan hidup pada wanita 79.3 tahun dan umur harapan hidup pada laki-laki 72.7 tahun, dilanjutkan dengan pernyataan Suardiman (2011) bahwa angka harapan hidup pada wanita 4-7 tahun lebih panjang daripada laki-laki sehingga menyebabkan jumlah janda lebih banyak daripada jumlah duda, dan menyatakan bahwa para wanita lebih mampu mengatasi kondisi menjadi janda, karena memiliki hubungan persahabatan yang erat dan mendalam dengan orang lain, dan umumnya sudah terbiasa memiliki hubungan sosial yang luas dibanding dengan para duda.

(65)

tahun lamanya. Reaksi kesedihan yang terus menerus biasanya reda dalam 6-12 bulan dan berduka yang mendalam mungkin berlanjut 3-5 tahun setelah pengalaman kehilangan orang terdekat (Kozier, Erb, Blais & Wilkinson, 2004). Kemungkinan para lanjut usia merasa dapat menerima untuk mengenali kesedihan karena kehilangan pasangan hidup. Lansia sering mengalami banyak kepuasaan hidup yaitu kegunaan dan kenikmatan hidup berakhir pada usia tua, semakin lama seseorang hidup maka akan semakin banyak membentuk ikatan cinta (Rando, 1986, Kastenbaum, 1991 dalam Potter & Perry, 2005). Peneliti berasumsi bahwa lamanya waktu hidup sebagai seorang janda/duda bagi seorang lansia menyebabkan lansia tersebut sudah dapat menyesuaikan dirinya kembali.

(66)
(67)

2.1.1 Dimensi spiritualitas: hubungan dengan Tuhan pada lansia Suku Batak akibat kehilangan pasangan hidup

Hasil penelitian diketahui bahwa mayoritas responden memiliki dimensi spiritualitas: hubungan dengan Tuhan rendah yaitu sebanyak 24 orang responden (58.5%). Hasil penelitian ini bertentangan dengan pernyataan Hamid (2000) bahwa seiring bertambahnya usia seseorang keikutsertaan dalam upacara keagamaan akan meningkat karena kelompok usia pertengahan dan lansia mempunyai lebih banyak waktu untuk kegiatan agama dan berusaha lebih mengerti nilai-nilai agama yang diyakini oleh generasi muda. Meskipun demikian hasil ini didukung dengan nilai Budaya Batak yang menjadikan prioritas nilai budaya yang pertama adalah kekerabatan dan yang kedua adalah religi, kedua nilai prioritas ini menjadi ciri dan identitas bersama orang Batak (Harahap, 1940). Nilai religi mencakup kehidupan keagamaan yang kemudian mengatur hubungannya dengan Maha Pencipta yang posisinya berada lebih rendah dibandingkan dengan nilai kekerabatan atau keakraban pada masyarakat batak (Situmeang, 2007).

(68)

memang sebagian besar lansia memiliki pendidikan yang rendah yaitu SD sebanyak 28 orang (68.3%), ditambah lagi dengan penurunan penglihatan yang dialami lansia yang mempersulit lansia dalam melakukan ritual ibadah seperti membaca kitab suci yang dapat mendekatkan diri kepada Tuhan. Penuruan kesehatan fisik para lansia seperti penurunan penglihatan pada umumnya, sehingga menyebabkan para lansia ini tidak mampu melihat ataupun membaca dengan baik, dan kurang aktif dalam kegiatan sosial. Hal ini didukung oleh pernyataan Hardywinoto dan Setiabudhi (2012), dimana kondisi fisik lansia akan mengalami perubahan yang tidak dapat dihindari, perubahan akan terlihat pada jaringan dan organ tubuh, seperti kulit berkeriput, penglihatan semakin menurun, pendengaran juga berkurang, tulang keropos dan mudah patah, otot jantung bekerja tidak efisien, dan otak menyusut sehingga reaksi menjadi lambat. Perubahan-perubahan tersebut mengarah pada kemunduran psikis yang akhirnya akan berpengaruh juga pada aktivitas ekonomi dan sosial lansia.

(69)

Berdasarkan hasil penelitian juga diketahui bahwa 17 orang responden (41.5%) memiliki dimensi spiritualitas: hubungan dengan Tuhan tinggi. Kebutuhan spiritualitas yang berhubungan dengan Tuhan dapat diwujudkan dengan doa dan ritual agama. Doa dan ritual agama merupakan hal yang penting bagi setiap individu dan dapat memberikan ketenangan pada individu yang melakukannya (Kozier, Erb, Blais & Wilkinson, 1995).

2.1.2 Dimensi spiritualitas: hubungan dengan diri sendiri pada lansia Suku Batak akibat kehilangan pasangan hidup

(70)

Berdasarkan hasil penelitian juga ditemukan sebanyak 14 orang (34.1%) lansia yang memiliki dimensi spiritualitas: hubungan dengan diri sendiri yang rendah. Ketika seorang individu tidak mempunyai hubungan yang baik dengan dirinya sendiri seperti kepercayaan, makna kehidupan, khusunya harapan maka individu tersebut akan merasa hampa, letih/lesu, tidak bersemangat, dan terasa mati (Kozier, et all (1995). Hubungan yang rendah dengan diri sendiri juga bisa terjadi ketika para lansia ini tidak mampu memenuhi kebutuhan dirinya sendiri yang sebelumnya dilakukan oleh pasangan hidupnya, seperti yang didukung oleh pernyataan Young dan Koopsen (2007) bahwa seorang janda/duda akan mengalami pergantian peran yang sebelumnya dikuasai oleh pasangannya, juga di dukung oleh Suardiman (2011) yang menyatakan bahwa laki-laki yang sudah duda akan mengalami kesulitan dalam hal hubungan sosial, tugas rumah tangga, dan merasa kurang bebas mengekspresikan emosinya.

2.1.3 Dimensi spiritualitas: hubungan dengan orang lain pada lansia Suku Batak akibat kehilangan pasangan hidup

(71)

seperti cinta kasih, dukungan sosial, perhatian pada anak-anak/orang sakit, menunjungi orang yang meninggal, dapat memberikan hubungan yang positif dan memberikan bantuan dan dukungan terhadap masalah yang dihadapi seseorang (Kozier, et all, 1995).

Hasil penelitian ini juga didukung dengan orientasi nilai Budaya Batak yang memiliki hubungan dengan intensitas yang tinggi terhadap sesamanya. Kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai anggota masyarakat membuat kadar partisipasi yang kuat untuk senantiasa terlibat dalam setiap aktivitas hubungan antar manusia, dan apabila ada salah seorang anggota masyarakat yang berduka maka para masyarakat akan melakukan hak dan kewajibannya pada orang tersebut, khususnya bagi para lansia yang sudah janda ataupun duda akan dirawat dengan baik oleh keluarganya (Harahap, 1940). Hal ini juga sesuai dengan nilai Budaya Batak yaitu masyarakat Suku Batak akan melakukan penghiburan kepada orang yang sedang berduka termasuk para lansia yang kehilangan pasangan hidupnya untuk melakukan penghiburan dan memberikan kata-kata nasihat kepada yang berduka agar lebih berserah kepada Tuhan untuk mendapatkan kekuatan (Sinaga, 2010).

2.1.4 Dimensi spiritualitas: hubungan dengan lingkungan/alam pada lansia Suku Batak akibat kehilangan pasangan hidup

(72)

dapat menyelaraskan hubungan antara jasmani dan rohani sehingga timbul perasaan kesenangan dan kepuasan dalam kebutuhan spiritualnya (Puchalski, 2004), hal ini terlihat dari hasil penelitian mayoritas lansia 21 orang (51.2%) sangat sering bercocok tanam walaupun telah kematian pasangan hidup. Sebagian lansia sering berjalan-jalan saat tidak memiliki kegiatan yaitu 23 orang (56.1%), dan terdapat 19 orang (46.3%) sering menonton TV ataupun mendengarkan musik di rumah jika merasa sendiri.

(73)

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan

Berdasarkan analisis dan pembahasan hasil penelitian, maka didapatkan kesimpulan penelitian yaitu: mayoritas responden termasuk kedalam kelompok usia setengah baya (elderly) yaitu usia 60-74 tahun, dengan jumlah 34 orang responden (82.9%) dan hanya sebagian kecil yang termasuk kedalam kelompok usia tua (old) yaitu usia 75-90 tahun sebanyak 7 orang (17.1%). Mayoritas responden lansia berjenis kelamin perempuan sebanyak 36 orang (87.8%), seluruh responden beragama Kristen Protestan sebanyak 41 orang (100%), pendidikan terakhir SD sebanyak 28 orang (68.3%), pekerjaan sebagai buruh/bertani sebanyak 35 orang (85.4%), dan lamanya responden telah kehilangan pasangan hidup yaitu 6-10 tahun sebanyak 17 orang (41.4%).

(74)

sebanyak 31 orang responden (75.6%). Dimensi spiritualitas: hubungan dengan lingkungan/alam pada lansia Suku Batak akibat kehilangan pasangan hidup berada dalam kategori tinggi sebanyak 32 orang responden (78%).

2. Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat diberikan beberapa saran sebagai perbaikan dan pemanfaatan penelitian mengenai spiritualitas lansia Suku Batak akibat kehilangan pasangan hidup, yaitu:

1. Pelayanan keperawatan

Para perawat di Rumah Sakit Khususnya di komunitas diharapkan selalu melakukan asuhan keperawatan secara holistik, khususnya dalam pemenuhan kebutuhan spiritualitas seorang lansia dengan pendekatan kultural, khususnya bagi lansia yang telah mengalami kehilangan pasangan hidup, agar perawat dapat membimbing para lansia yang sudah berstatus janda/duda tersebut menemukan koping yang positif dan meningkatkan spiritualitasnya, sehingga dapat memberikan pengaruh yang positif juga terhadap kesehatan lansia.

2. Institusi keperawatan

(75)

3. Peneliti selanjutnya

Bagi penelitian selanjutnya diharapkan dapat menjadi informasi tambahan dan bisa sebagai bahan masukan jika akan melakukan penelitian dengan Suku yang lain. berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa spiritualitas lansia Suku batak akibat kehilangan pasangan hidup adalah tinggi, namun spiritualitas yang berhubungan dengan Tuhan rendah, sehingga mungkin perlu diteliti tentang kendala yang dihadapi para lansia khususnya Suku Batak dalam memenuhi kebutuhan spiritualitas yang berhubungan dengan Tuhan.

3. Keterbatasan Penelitian

Gambar

Tabel 1. Definisi operasional spiritualitas lansia Suku Batak akibat kehilangan pasangan hidup di Desa Pagar Manik Kecamatan Silinda Kabupaten Serdang  Bedagai
Tabel 5.1 Distribusi frekuensi berdasarkan karakteristik demografi  responden yaitu lansia Suku Batak di Desa Pagar Manik Kecamatan Silinda Kabupaten Serdang Bedagai (n=41)
Tabel 5.2 Distribusi frekuensi dan persentase spiritualitas lansia Suku Batak akibat kehilangan pasangan hidup di Desa Pagar Manik Kecamatan Silinda Kabupaten Serdang Bedagai (n=41)
Tabel 5.3 Distribusi frekuensi dan persentase dimensi spiritualitas: hubungan dengan Tuhan lansia Suku Batak akibat kehilangan pasangan hidup di Desa Pagar Manik Kecamatan Silinda Kabupaten Serdang Bedagai (n=41)
+4

Referensi

Dokumen terkait

Diksi atau Pemilihan Kosakata dalam Novel Alun Samudra Rasa Karya Ardini Pangastuti Bn... Pemanfaatan

Setelah user memasukkan data kode pembelian dan memilih supplier maka user akan diarahkan ke halaman form pembelian untuk menambahkan barang yang telah dibeli8.

Memberi pelajaran kepada kanak-kanak perempuan ini adalah suatu perkara yang susah kerana kebanyakan orang timur dan orang Melayu khasnya pada zaman dahulu tidak

Beruk : Tempat air yang dibuat dari buah kelapa yang sudah tua Ceper : Sarana upakara umat Hindu yang terbuat dari daun. kelapa dan berbentuk

[r]

CHAPTER III: THE APPROPRIATE SUBJECT MATTERS WITH LEVEL AGES 8-12 YEARS IN INTERACTIVE CD BY AKAL INTERAKTIF (SERIES: ENGLISH? NO PROBLEM!).. Subject Matters

Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik. Universitas

Oleh sebab jumlah tabungan rumah tangga pada waktu perekonomian mencapai penggunaan tenaga kerja penuh akan selalu sama dengan jumlah seluruh investasi