• Tidak ada hasil yang ditemukan

Toxicity of heavy metal’s lead (Pb) and its effects on oxygen consumption and hematological response of juvenile tiger grouper (Epinephelus fuscoguttatus)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Toxicity of heavy metal’s lead (Pb) and its effects on oxygen consumption and hematological response of juvenile tiger grouper (Epinephelus fuscoguttatus)"

Copied!
164
0
0

Teks penuh

(1)

TOKSISITAS LOGAM BERAT TIMBAL (Pb) DAN

PENGARUHNYA PADA KONSUMSI OKSIGEN DAN RESPON

HEMATOLOGI JUVENIL IKAN KERAPU MACAN

(

Epinephelus fuscoguttatus

)

JACQUELINE M.F SAHETAPY

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI THESIS DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Toksisitas Logam Berat Timbal (Pb) dan Pengaruhnya Pada Konsumsi Oksigen dan Respon Hematologi Juvenil Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus)” adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2011

(4)
(5)

ABSTRACT

JACQUELINE M.F SAHETAPY. Toxicity of heavy metal’s lead (Pb) and its effects on oxygen consumption and hematological response of juvenile tiger grouper (Epinephelus fuscoguttatus). Supervised by D. DJOKOSETIYANTO and EDDY SUPRIYONO.

Lead (Pb) is a toxic and dangerous heavy metal, most found as

contaminants and tend to interfere the survival of aquatic organisms. The aim of

this research was to analyze the effect of lead toxicity at various concentrations to

the level of oxygen consumption, blood glucose level, hematological response

(hematocrit, hemoglobin, number of erythrocyte and leukocytes), survival and

growth of tiger grouper fish. This study was conducted in the two stages, those

are: acute and sub–chronic test. The results showed that the impact of lead

toxicity in juvenile tiger grouper fish would reduce the level of oxygen

consumption, hematocrit, hemoglobin and the number of erythrocyte, those were

equal to 0.34 mg O2/gr of body weight / hour; 9.66%; 2.64 % and 0,77x106

cells/mm3. Besides the effect of lead toxicity also increases the number of leukocytes (0,81x106 cells/mm3), blood glucose levels (90.79 mmol / liter), effect growth rate and reduce the survival rates.

(6)
(7)

RINGKASAN

JACQUELINE M.F SAHETAPY. Toksisitas Logam Berat Timbal (Pb) dan Pengaruhnya Pada Konsumsi Oksigen dan Respon Hematologi Juvenil Ikan

Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus). Dibimbing oleh D. DJOKOSETIYANTO dan EDDY SUPRIYONO.

Timbal (Pb) adalah salah satu logam berat yang beracun dan berbahaya yang banyak ditemukan sebagai pencemar dan cenderung mengganggu kelangsungan hidup organisme perairan. Tingginya konsentrasi timbal yang mencemari perairan dapat mengganggu proses kelangsungan hidup juvenil - juvenil ikan, karena timbal berikatan dengan lendir insang dan akan menyebabkan gangguan pada sistem pernapasan ikan sehingga menurunkan kemampuan sel darah merah mengikat oksigen dan menghalangi kerja enzim sehingga proses fisiologis dan metabolisme tubuh terganggu. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh toksisitas timbal pada berbagai konsentrasi terhadap tingkat konsumsi oksigen, kadar glukosa darah, respon hematologi ( kadar hematokrit, hemoglobin, jumlah eritrosit, dan leukosit), kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan pada ikan kerapu macan.

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lingkungan Departemen Budidaya Perairan, Institut Pertanian Bogor dan dilaksanakan selama 3 (tiga) bulan. Penelitian dilaksanakan dalam dua tahapan yaitu : uji akut dan uji sub kronik. Ikan uji yang digunakan adalah juvenil ikan kerapu macan (Epinephelus fuscogutattus) berukuran 6-7 cm yang diperoleh dari Balai Benih Situbondo Jawa Timur.

Respon ikan uji terhadap deretan konsentrasi pada uji akut menunjukkan kepekaan mortalitas yang tinggi terhadap daya toksik timbal. Pada konsentrasi 160 ppm, mortalitas ikan uji mencapai 50% setelah 24 jam pemaparan. dan mencapai 55% hingga 96 jam Sedangkan pada konsentrasi 20 ppm, mortalitas ikan uji mencapai 0 % setelah 24 jam pemaparan dan mencapai 5% setelah 48 jam pemaparan dan 96 jam pemaparan. Pada kontrol, mortalitas ikan uji sampai pada jam ke-96 mencapai 0%. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas media pemeliharaan dan vitalitas ikan selama pengujian dalam kondisi yang baik.

Hasil analisis statistika menunjukkan nilai LC50 pada waktu pemaparan 24,

48, 72 dan 96 jam berturut-turut adalah 90,45 ppm, 78,76 ppm, 74,26 ppm dan 68,63 ppm. Nilai tersebut menunjukkan bahwa semakin lama waktu pemaparan maka nilai LC50 timbal terhadap ikan kerapu macan akan semakin rendah.

Gerakan operkulum pada konsentrasi lebih tinggi memperlihatkan frekuensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Secara berturut-turut rerata frekuensi gerakan operkulum pada perlakuan A, B, C, D dan E yaitu 89 kali/menit, 91 kali/menit, 96 kali/menit, 107 kali/menit dan 133 kali/menit. Tingkah laku ini diduga untuk meningkatkan suplai oksigen yang dibutuhkan oleh proses biokimia tubuh sebagai pola adaptasi fisiologi sehingga dapat bertahan hidup atau memperlambat efek kematian.

(8)

berturut-turut 9,66%, 12,33% 15,10% dan 18,78%. Kadar haemoglobin juga mengalami penurunan dan nilai paling rendah ditemukan pada konsentrasi 6,86 ppm selanjutnya 3,43 ppm, 0,69 ppm dan 0 ppm, dengan persentase secara berturut-turut 2,64%, 2,86%, 3,23% dan 3,62%. Demikian halnya dengan jumlah eritrosit yang mengalami penurunan hingga mencapai 0,77 x 106 sel/mm3 untuk konsentrasi 6,86 ppm dan 0,86 x 106 sel/mm3 untuk konsentrasi 3,43 ppm, sedangkan untuk konsentrasi 0,69 ppm dan 0 ppm nilainya mencapai 0,89 x 106 sel/mm3 dan 1,0 x 106 sel/mm3. Pemaparan timbal telah meningkatkan jumlah leukosit terlihat bahwa jumlah leukosit tertinggi terdapat pada konsentrasi timbal 6,86 ppm yaitu 0,81x106 sel/mm3, kemudian konsentrasi 3,43 ppm sebesar 0,7x106 sel/mm3, 0,69 ppm sebesar 0,65x106sel/mm3 dan 0 ppm sebesar 0,60x106 sel/mm3. Selain meningkatkan jumlah leukosit juga meningkatkan kadar glukosa darah yaitu pada konsentrasi 6,86 ppm selanjutnya 3,43; 0,69 dan 0 ppm sebesar 90,79 mmol/liter; 62,68 mmol/liter; 59,87 mmol/liter dan 46,21 mmol/liter.

Pengukuran sampai dengan hari ke 30, konsentrasi 0 ppm memberikan pengaruh laju pertumbuhan spesifik yang lebih tinggi disusul konsentrasi 0,69 ppm, 3,43 ppm dan 6,86 ppm. Dengan nilai laju pertumbuhan spesifik yaitu 0,24%, 0,14%, 0,07% dan 0,03% BB/hari.. Demikian halnya dengan kelangsungan hidup Persentase kelangsungan hidup tertinggi yaitu pada perlakuan kontrol dengn konsentrasi 0,68 ppm selanjutnya konsentrasi 3,43 ppm dan 6,86 ppm dengan persentase kelangsungan hidup 100%, 88,33%, 78,33% dan 66,67%.

Data kualitas air yang diambil dalam penelitian ini adalah suhu, salinitas, pH, DO,alkalinitas dan TAN. Suhu air selama penelitian berkisar antara 28,5-29⁰C. Sedangkan salinitas 34‰, pH berkisar antara 7,72-7,97, kandungan oksigen terlarut berkisar antara 3,50-3,75 ppm, alkalinitas berkisar antara 76-132 ppm, dan kisaran nilai TAN yaitu 0,001-0,231 ppm. Data parameter kualitas air menunjukkan bahwa kisaran kualitas air pada uji sub kronis masih dalam kisaran yang layak untuk kehidupan juvenil ikan kerapu macan.

(9)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(10)
(11)

TOKSISITAS LOGAM BERAT TIMBAL (Pb) DAN

PENGARUHNYA PADA KONSUMSI OKSIGEN DAN RESPON

HEMATOLOGI JUVENIL IKAN KERAPU MACAN

(

Epinephelus fuscoguttatus

)

JACQUELINE M.F SAHETAPY

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains Pada Program Studi Ilmu Akuakultur

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)
(13)

Judul Penelitian : Toksisitas Logam Berat Timbal (Pb) dan Pengaruhnya Pada Konsumsi Oksigen dan Respon Hematologi Juvenil Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus)

Nama : Jacqueline M.F Sahetapy

NRP : C151090121

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Prof. Dr.Ir. D. Djokosetiyanto, DEA Dr.Ir.Eddy Supriyono, M.Sc Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah PascasarjanaIPB Ilmu Akuakultur

Prof. Dr.Ir. Enang Harris, MS Dr.Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr

(14)
(15)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Kuasa, karena kasih setia dan penyertaanNYA yang tiada ternilai, sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Tesis yang menjadi syarat bagi penulis untuk memperoleh gelar magister sains ini berisikan tentang “Toksisitas Logam Berat Timbal (Pb) dan Pengaruhnya Pada Konsumsi Oksigen dan Respon Hematologi Juvenil Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus)”. Tesis ini dapat diselesaikan berkat bantuan dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan termakasih dan penghargaan yang tinggi kepada:

1. Prof. Dr.Ir.D.Djokosetiyanto, DEA dan Dr.Ir.Eddy Supriyono, MSc selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang dengan penuh kesabaran dan ketulusan hati mebimbing dan mengarahkan penulis mulai dari persiapan penelitian, penulisan tesis hingga selesai.

2. Dr.Ir. Dinar Trisoelistyowati, DEA selaku penguji luar komisi yang telah memberikan saran dan masukan untuk kesempurnaan tesis ini.

3. Prof.Dr.Ir. Enang Harris,MS selaku ketua program studi Ilmu Akuakultur serta semua staf pengajar yang telah membekali penulis dengan ilmu pengetahuan selama mengikuti pendidikan pascasarjana.

4. Prof.Dr.H.B Tetelepta, MPd selaku Rektor Universitas Pattimura yang telah mengizinkan penulis untuk mengikuti studi lanjut di Institut Pertanian Bogor.

5. Direktorat Jendral pendidikan Tinggi yang telah memberikan Beasiswa Bantuan Program Pascasarjana (BPPS ) untuk membiayai penulis selama mengikuti pendidikan pascasarjana di Institut Pertanian Bogor.

6. Pemerintah Provinsi Maluku, Yayasan Beasiswa Oikoumene, dan Universitas Pattimura yang telah memberikan bantuan dana untuk penelitian dan penulisan tesis.

7. Rekan-rekan Program studi AKU 2009: Jenny (STP Hatta Sjahrir-Banda), Muliany (Unimal-NAD), Lanny (Polikan-Tual), Maya (Polikan-Tual, Yuni, Erna, Muznah (Polikan-Tual), Riri, Eulis (Polinela-Lampung), Dewi (BBAT-Sempur), Harry (BBAT-Sukamandi), Rahman, Anwar, Udin (BBAT-Sempur), Ikko, Abi, Eza, Zuraida, Syafrizal, Dian (Polinela-Lampung), Novi (LIPI-Cibinong), Condro (UNDIP-Semarang) dan Aras (Unkhair-Ternate).

8. Persatuan Mahasiswa Maluku (Permama) dan Persekutuan Mahasiswa Oikoumene (PO).

9. Papa, Mama serta Papi dan Mami (Alm) serta keluarga besar Sahetapy dan Matitaputty yang selalu memberikan semangat dan dukungan doa untuk penulis, kiranya Tuhan selalu memberkati.

(16)
(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ambon, pada tanggal 30 Januari 1977 dari ayah Jan

Hendrik Adriaan Sahetapy dan ibu Suuzane Parinussa, penulis merupakan anak

sulung dari dua bersaudara. Penulis menamatkan pendidikan pada SMA Negeri 2

Ambon pada tahun 1995 dilanjutkan ke Program Studi Manajemen Sumberdaya

Perairan Universitas Pattimura dan lulus pada tahun 2000.

Pada tahun 2002 penulis diangkat sebagai dosen pada Universitas

Pattimura dan pada tahun 2009 penulis mendapat beasiswa dari BPPS-Dikti untuk

melanjutkan pendidikan Magister Sains pada Program Studi Ilmu Akuakultur,

(18)
(19)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xxi

DAFTAR GAMBAR ... xxiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xxv

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 3

Tujuan dan Manfaat ... 3

Hipotesis ... 4

TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Klasifikasi dan Morfologi Ikan Kerapu Macan ... 5

Toksisitas Logam Berat ... 6

Logam Berat Timbal ... 8

Sistem Pernafasan Ikan…. ... … 9

Tingkat Konsumsi Oksigen ... .. 10

Kadar Glukosa darah ... 11

Sistem Hematologi Ikan ... 12

Sel Darah Merah ... 13

Sel Darah Putih ... 13

Hematokrit. ... 14

Hemoglobin ... 15

METODE PENELITIAN ... 17

Tempat dan Waktu Penelitian ... 17

Pelaksanaan Penelitian ... 17

Uji Akut ... 17

Uji Sub Kronis ... 18

Tingkat Konsumsi Oksigen ... 19

Kadar Glukosa Darah ... 19

Gambaran Darah ... 20

Kelangsungan Hidup ... 21

Laju Pertumbuhan ... 21

Analisis Data ... 22

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23

(20)

Hemoglobin ... 28

Eritrosit ... 29

Leukosit ... 30

Kadar Glukosa Darah ... 31

Laju Pertumbuhan Spesifik ... 32

Tingkat Kelangsungan Hidup ... 33

Kandungan Pb dalam daging ikan dan media air laut ... 34

Kualitas Air ... 35

Pembahasan Umum ... 36

KESIMPULAN DAN SARAN ... 41

Kesimpulan ... 41

Saran ... 41

DAFTAR PUSTAKA ... 43

(21)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Rerata kandungan Timbal dalam daging ikan... 34

2 Rerata kandungan Timbal dalam media air laut ... 35

(22)
(23)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Morfologi Ikan Kerapu Macan ... 5

2 Persentase mortalitas ikan kerapu macan selama uji akut ... 23

3 Frekuensi pergerakan operkulum juvenil ikan kerapu macan ... 25

4 Tingkat konsumsi oksigen juvenil kerapu macan

Selama 30 hari pemaparan ... 26

5 Rerata hematokrit juvenil ikan kerapu macan selama

30 hari pemaparan ... 28

6 Rerata kadar hemoglobin juvenil ikan kerapu macan

selama 30 hari pemaparan timbal ... 29

7 Rerata jumlah eritrosit juvenil ikan kerapu macan

selama 30 hari pemaparan timbal ... 30

8 Rerata jumlah leukosit juvenil ikan kerapu macan

selama 30 hari pemaparan timbal ... 31

9 Rerata kadar glukosa darah juvenil ikan kerapu macan

selama 30 hari pemaparan timbal ... 32

10 Laju Pertumbuhan spesifik juvenil ikan kerapu macan

selama 30 hari pemaparan timbal ... 33

11 Kelangsungan hidup juvenil ikan kerapu macan

(24)
(25)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Data mortalitas ikan pada uji akut ... 47

2 Hasil analisis probit LC50-24 jam... 49

3 Hasil analisis probit LC50-48 jam... 50

4 Hasil analisis probit LC50-72 jam... 51

5 Hasil analisis probit LC50-96 jam... 52

6 Frekuensi pergerakan operkulum juvenil ikan kerapu macan ... 53

7 Analisis sidik ragam dan uji lanjut (Tukkey)

tingkat konsumsi oksigen juvenil ikan kerapu macan ... 54

8 Analisis sidik ragam dan uji lanjut (Tukkey)

nilai hematokrit juvenil ikan kerapu macan ... 56

9 Analisis sidik ragam dan uji lanjut (Tukkey)

nilai hemoglobin juvenil ikan kerapu macan ... 58

10 Analisis sidik ragam dan uji lanjut (Tukkey)

total eritrosit juvenil ikan kerapu macan ... 60

11 Analisis sidik ragam dan uji lanjut (Tukkey)

total leukosit juvenil ikan kerapu macan ... 62

12 Analisis sidik ragam dan uji lanjut (Tukkey)

kadar glukosa darah juvenil ikan kerapu macan ... 64

13 Analisis sidik ragam dan uji lanjut (Tukkey)

(26)
(27)

1   

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Program pembangunan Indonesia yang dewasa ini sedang berkembang

diwarnai dengan pertambahan penduduk dan kebutuhan pangan yang terus

meningkat. Sumberdaya perairan terutama ikan merupakan sumber utama pangan

untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Namun demikian kegiatan yang

dilakukan seringkali menghasilkan bahan buangan yang jika tidak ditangani

dengan baik, akan masuk dan mengganggu upaya pemanfaatan sumberdaya

perairan. Beberapa aktivitas yang dilakukan meliputi pertanian, industri,

pemukiman dan perkebunan akan memenuhi ekosistem perairan. Dengan

demikian organisme penghuni ekosistem perairan tersebut akan menerima

dampak negatif yang pada akhirnya akan berbahaya bagi kehidupan manusia.

Ikan Kerapu (Epinephelus sp) umumnya dikenal dengan istilah "groupers" dan merupakan salah satu komoditas perikanan yang mempunyai peluang baik

dipasaran domestik maupun pasar internasional dan selain itu nilai jualnya cukup

tinggi. Budidaya ikan kerapu telah dilakukan di beberapa tempat di Indonesia,

namun dalam proses pengembangannya masih menemui kendala, karena

keterbatasan benih. Selama ini para petani nelayan masih mengandalkan benih

alam yang sifatnya musiman, namun sejak tahun 1993 ikan kerapu macan

(Epinephelus fuscoguttatus) sudah dapat dibenihkan.

Teluk Ambon Dalam (TAD) dan sekitarnya memiliki beberapa fungsi dan

kegunaan yaitu sebagai daerah perikanan tangkap dan budidaya, pelabuhan

pangkalan TNI Angkatan Laut dan POLAIRUD, Pelabuhan kapal PT.Pelni, kapal

tradisional antar pulau dan dermaga penyeberangan ferry, pelabuhan perikanan,

jalur transportasi laut, tempat pembuangan limbah air panas oleh PLN, dermaga

tempat perbaikan kapal, tempat penambangan pasir dan batu, daerah konservasi,

tempat rekreasi dan olahraga, tempat pendidikan dan penelitian serta pemukiman

penduduk.

Salah satu logam berat yang beracun dan berbahaya menurut Palar (2004)

yang banyak ditemukan sebagai pencemar dan cenderung mengganggu

kelangsungan hidup organisme perairan adalah logam timbal (Pb). Sumber timbal

di perairan alami berupa batuan kapur dan dalam bentuk sulfida/gelana (PbS), Pb

(28)

carbonat dan PbSO4 (Achmad 2004). Secara alamiah, timbal masuk ke perairan

melalui pengkristalan timbal di udara dengan bantuan air hujan, jatuhan debu

yang mengandung timbal yaitu : bahan bakar yang mengandung timbal tetraetil

juga memberikan kontribusi yang berarti bagi keberadaan timbal di dalam air,

erosi, proses korosifikasi batu-batuan mineral dan limbah industri (pabrik baterai,

amunisi, kawat dan cat) (Saeni 1989). Adanya persenyawaan timbal yang masuk

ke dalam ekosistem menjadi sumber pencemaran dan dapat berpengaruh terhadap

biota perairan sebagai contoh dapat mematikan ikan terutama pada fase larva

(juvenil) karena toksisitasnya tinggi (Darmono 2001).

Akumulasi logam berat dalam ikan dapat terjadi karena adanya kontak

antara medium yang mengandung toksik dengan ikan. Kontak berlangsung

dengan adanya pemindahan zat kimia dari lingkungan air ke dalam atau

permukaan tubuh ikan, misalnya melalui insang atau permukaan kulit, termasuk

lapisan mukus dan sisik. Masuknya logam berat kedalam tubuh organisme

perairan dengan tiga cara yaitu melalui makanan, insang dan difusi melalui

permukaan kulit (Poels 1983).

Beberapa penelitian telah dilakukan mengenai kandungan logam berat

timbal dalam tubuh ikan antara lain Sahetapy dan Tuhumury (2008) menemukan

bahwa di perairan teluk Ambon Dalam, kisaran kandungan logam berat timbal

(Pb) yang terkandung dalam tubuh ikan Baronang (Siganus canaliculatus) dan Ikan Kuweh (Caranx sexfasciatus) adalah 0,007 – 0,254 ppm. Dan diantara beberapa logam berat yang diujikan pada ikan laut, maka logam berat timbal

memiliki kandungan yang terbesar, hal ini diduga ada kaitannya dengan aktifitas

pembakaran bahan bakar baik berupa limbah PLTD , aktifitas pelabuhan

perikanan, dermaga penyeberangan ferry dan lainnya yang berlokasi di perairan

Teluk Ambon. Dengan demikian maka diduga bahwa organisme yang biasanya

dibudidayakan di perairan Teluk Ambon Dalam ini juga sudah tercemar logam

berat timbal, khususnya jenis-jenis ikan konsumtif seperti ikan kerapu bebek

(Chromileptes altivelis), ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) dan lainnya.

(29)

3   

hingga tertinggi 0,33179 mg/kg. Selain itu penelitian Ghalib (2002) juga

menemukan bahwa pengaruh logam timbal (Pb) terhadap konsumsi oksigen

juvenil ikan bandeng (Chanos chanos) ternyata menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi logam yang diberikan yaitu 0 : 0,05 : 0,10 : 0,15 ppm maka

akan mengurangi tingkat oksigen sebesar 2,68:2,23:2,15:1,87 µL O2/mg.

Sedangkan hasil penelitian Siahaan (2003) mengemukakan bahwa mortalitas ikan

Bandeng (Chanos chanos) yang diakibatkan adanya bahan pencemar Pb pada air laut lebih tinggi jika dibandingkan dengan media air payau. Berdasarkan

pemahaman tersebut diatas maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui

pengaruh toksisitas logam berat timbal terhadap tingkat konsumsi oksigen, kadar

glukosa darah, respon hematologi, kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan

kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus).

1.2 Perumusan Masalah

Ikan kerapu macan merupakan salah satu komoditas yang bernilai

ekonomis tinggi karena sangat berarti dalam pemenuhan gizi pangan masyarakat

serta dapat meningkatkan taraf hidup. Lingkungan perairan dengan segenap faktor

yang mempengaruhinya merupakan salah satu faktor penting dalam usaha

budidaya ikan kerapu. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kehadiran

logam berat tertentu dalam konsentrasi yang tinggi akan menyebabkan dampak

toksisitas bagi ikan.

Tingginya konsentrasi timbal yang mencemari perairan dapat mengganggu

proses kelangsungan hidup juvenil - juvenil ikan, karena timbal berikatan dengan

lendir insang dan akan menyebabkan gangguan pada sistem pernapasan ikan

sehingga menurunkan kemampuan sel darah merah mengikat oksigen dan

menghalangi kerja enzim sehingga proses fisiologis dan metabolisme tubuh

terganggu.

1.3 Tujuan dan Manfaat

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh toksisitas timbal

(30)

darah, respon hematologi ( kadar hematokrit, hemoglobin, jumlah eritrosit, dan

jumlah leukosit), kelangsungan hidup dan pertumbuhan pada ikan kerapu macan

Manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu informasi

tentang dampak toksisitas timbal dengan berbagai konsentrasi pada ikan kerapu

macan (Epinephelus fuscoguttatus).

1.4 Hipotesis

Konsentrasi timbal yang berbeda dalam media akan memberikan respon

yang berbeda terhadap tingkat konsumsi oksigen, kadar glukosa darah, respon

hematologi, tingkat kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan kerapu macan

(31)

5   

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1Klasifikasi dan Morfologi Ikan Kerapu Macan

Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) adalah salah satu jenis ikan kerapu yang umumnya dikenal dengan istilah "groupers" dan merupakan

salah satu komoditas perikanan yang mempunyai peluang baik dipasar domestik

maupun pasar internasional dan selain itu nilai jualnya cukup tinggi. Ikan Kerapu

mempunyai sifat-sifat yang menguntungkan untuk dibudidayakan karena

pertumbuhannya cepat dan dapat diproduksi massal untuk melayani permintaan

pasar ikan kerapu dalam keadaan hidup. Berkembangnya pasar ikan kerapu hidup

karena adanya perubahan selera konsumen dari ikan mati atau beku kepada ikan

dalam keadaan hidup, telah mendorong masyarakat untuk memenuhi permintaan

[image:31.595.99.499.39.795.2]

pasar ikan kerapu melalui usaha budidaya.

Gambar 1. Morfologi Ikan Kerapu Macan

Klasifikasi ikan kerapu Macan menurut Randall (1987) dalam Subyakto dan Cahyaningsih (2003) adalah :

Class : Osteichtyes Sub class : Actinopterigi

Ordo : Percomorphi

Divisi : Perciformes Famili : Serranidae Genus : Epinephelus

Species : Epinephelus fuscoguttatus

Subyakto dan Cahyaningsih (2003) menjelaskan bahwa ikan kerapu macan

bentuk tubuhnya memanjang dan gepeng (compressed), tetapi kadang-kadang ada

(32)

juga yang agak bulat. Mulutnya lebar serong ke atas dan bibir bawahnya menonjol

ke atas. Rahang bawah dan atas dilengkapi gigi-gigi geratan yang berderet dua

baris, ujungnya lancip dan kuat. Sementara itu, ujung luar bagian depan dari gigi

baris luar adalah gigi-gigi yang besar. Badan kerapu macan ditutupi oleh sisik

kecil yang mengkilap dan bercak loreng mirip bulu macan (Subyakto dan

Cahyaningsih, 2003).

Habitat benih ikan kerapu macan adalah pantai yang banyak ditumbuhi

algae jenis reticulata dan Gracilaria sp, setelah dewasa hidup di perairan yang lebih dalam dengan dasar terdiri dari pasir berlumpur. Ikan kerapu termasuk jenis

karnivora dan cara makannya "mencaplok" satu persatu makan yang diberikan

sebelum makanan sampai ke dasar. Pakan yang paling disukai jenis krustase

(rebon, dogol dan krosok), selain itu jenis ikan-ikan (tembang, teri dan belanak).

2.2 Toksisitas Logam Berat

Pencemaran merupakan penambahan bermacam-macam bahan sebagai

aktivitas manusia ke dalam lingkungannya yang biasanya memberikan pengaruh

berbahaya terhadap lingkungan (Palar, 2004)., yaitu adanya perubahan sifat

fisika, kimia dan biologi (Connell dan Miller, 1995). Selanjutnya dijelaskan

bahwa pencemaran air adalah penurunan kualitas air sehingga air tidak lagi

memenuhi syarat atau bahkan mengganggu peruntukannya. Definisi pencemaran

air menurut Surat Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan

Hidup (1988) ditegaskan dalam pasal 1 bahwa masuk atau dimasukannya

makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air dan atau

berubahnya tatanan air oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga

kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air menjadi

kurang atau sudah tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya.

Penyebaran logam berat di lingkungan perairan dicirikan oleh adanya

keberadaan kandungan logam berat dalam wilayah perairan tertentu, karena

pengaruh kondisi perairan tersebut. Logam dalam air biasanya terikat dengan

senyawa lainnya membentuk molekul. Ikatan yang dapat terbentuk dapat berupa

garam organik (senyawa metil, etil, fenil) maupun garam anorganik (oksida,

(33)

7   

banyak ditemukan dalam air kemudian bersenyawa dengan bahan kimia jaringan

sehingga membentuk senyawa organik atau diserap dan tertimbun dalam tanaman

dan organisme air (Darmono, 2001). Selanjutnya menurut Connel and Miller (1995), keberadaan konsentrasi logam berat dalam lingkungan akuatik

menunjukkan adanya partisi diantara fase padat dan cair. Sebagian besar dari

logam akan teradsorbsi ke dalam partikulat dan diendapkan sebagai sedimen dan

sebaian kecil lagi terlarut dalam air. Sedangkan spesiasi dari logam dipengaruhi

oleh beberapa proses seperti: penyerapan, pengendapan dan co-presipitasi,

pelarutan kekuatan kompleksasi antara ligan dan jenis logam akan menentukan

tingkat bioavailabilitas logam pada protein ikan dan masing-masing logam

menunjukkan adanya perbedaan kemampuan pengambilan pada ikan. Darmono

(2001) menyebutkan perbedaan konsentrasi logam dari berbagai jaringan,

ditentukan oleh peranan spesifik dari organ untuk akumulasi, detoksifikasi dan

penyimpanan dari logam. Thompson et al., (2000) melaporkan bahwa konsentrasi logam berat Timbal yang tertinggi pada jaringan tubuh ikan ditemukan di daerah

yang dekat dengan aktifitas perindustrian.

Beban sumber pencemaran pada badan air merupakan jumlah bahan yang

dihasilkan dari sumber yang dapat diketahui sumbernya, misal limbah industri dan

yang tidak diketahui secara pasti sumbernya yaitu masuk ke perairan bersama air

hujan dan limpasan air permukaan (Manan, 1992). Berdasarkan sifat toksiknya,

pencemaran dibedakan menjadi dua, yaitu:

1. Polutan tak toksik biasanya telah berada pada ekosistem secara alami.

Sifat destruktif pencemaran ini muncul apabila berada dalam jumlah

yang berlebihan sehingga dapat mengganggu kesetimbangan ekosistem

melalui perubahan proses fisika-kimia perairan.

2. Polutan toksik adalah polutan yang dapat mengakibatkan kematian

(lethal) maupun bukan kematian (sub-lethal), misalnya terganggunya pertumbuhan, tingkah laku dan karakteristik morfologi berbagai

organisme akuatik. Polutan toksik ini biasanya berupa bahan-bahan

yang bukan bahan alami, misalnya pestisida, detergen dan

(34)

Pembuangan limbah domestik dan gangguan terhadap sumberdaya air

karena umumnya mengandung unsur logam berat diantaranya timbal dan

merkuri. Air sebagai komponen lingkungan akan mempengaruhi dan dipengaruhi

komponen lain. Air yang kualitasnya buruk akan mengakibatkan kondisi

lingkungan menjadi buruk sehingga berpengaruh terhadap makhluk hidup di

dalamnya. Penurunan kualitas air akan menurunkan daya guna, hasil guna,

produktifitas, daya dukung dan daya tampung sumber daya air (PP RI No.82,

2001). Pada akhirnya akan menurunkan kekayaan sumber daya alam (natural

resources depletion). Selanjutnya dijelaskan bahwa organisme air yang termasuk

dalam kelompok organisme akuatik adalah yang pertama kali mengalami

kehidupan buruk secara langsung dari pengaruh limbah atau pencemaran terhadap

badan air.

Kandungan toksik logam berat terhadap organisme tidak sama. Menurut

Lloyd (1992) dalam Palar (2004), menyatakan bahwa uptake dan akumulasi logam oleh organisme akuatik dari air dipengaruhi oleh : suhu, oksigen terlarut

(DO), kekeruhan, kesadahan, amoniak, nitrit dan nitrat.

2.3 Logam Berat Timbal

Menurut Palar (2004), timbal termasuk kedalam kelompok logam-logam

golongan IV-A pada tabel periodik unsur kimia. Mempunyai nomor atom 82

dengan berat atom 207,2. Penyebaran logam timbal di bumi sangat sedikit,

jumlah timbal yang terdapat di seluruh lapisan bumi hanyalah 0,0002% dari

jumlah seluruh kerak bumi. Jumlah ini sangat sedikit jika dibandingkan dengan

jumlah kandungan logam berat lainnya yang ada di bumi.

Effendi (2003) mengemukakan bahwa timbal pada perairan ditemukan

dalam bentuk terlarut dan tersuspensi. Kelarutan timbal cukup rendah sehingga

kadar timbal di dalam air relatif sedikit. Kadar dan toksisitas timbal dipengaruhi

oleh kesadahan, pH, alkalinitas dan kadar oksigen. Sumber alami utama timbal

adalah galena (PbS), gelesite (PbSO4) dan cerrusite (PbCO3). Bahan bakar yang

(35)

9   

Akumulasi timbal didalam tubuh manusia mengakibatkan gangguan pada

otak dan ginjal, serta kemunduran mental pada anak yang sedang tumbuh.

Perairan tawar alami biasanya memiliki kadar timbal < 0,05 mg/L dan pada

perairan laut memiliki kadar timbal sekitar 0,025 mg/L (Moore, 1991 dalam Effendi, 2003). Kelarutan timbal pada perairan lunak (soft water) adalah sekitar

0,5 mg/L, sedangkan pada perairan sadah (hard water) sekitar 0,003 mg/L. Timbal

tidak termasuk unsur yang esensial bagi makhluk hidup, bahkan unsur ini bersifat

toksik bagi hewan dan manusia karena dapat terakumulasi pada tulang.

Meningkatnya kandungan timbal pada air laut berasal dari pembuangan sampah

kapal-kapal, penambangan di laut dan sebagainya, dari hasil penelitian

Hutagalung dan Razak (1982) diketahui bahwa perairan estuari Muara Angke dan

Teluk Banten mengandung Pb sebsar 90,00 – 330 µg/L dan 10,00- 23,00 µg/L.

Tingginya kandungan ini diduga berasal dari aktivitas yang terjadi di daratan

sekitar perairan. Menurut Saeni (1989), Timbal dapat mengganggu kerja enzim

dan fungsi protein. Konsentrasi timbal sebesar 0,05 mg/L dapat membahayakan

perairan laut. Gupta et al.(2010) melaporkan bahwa kandungan logam berat timbal pada ikan Channa punctatus di sungai Gangga India berkisar antara 1,86 ppm - 2,89 ppm.

Toksisitas timbal terhadap tumbuhan relatif lebih rendah dibandingkan

dengan unsur renik lainnya (Effendi, 2003). Toksisitas logam timbal terhadap

organism akuatik berkurang dengan meningkatnya kesadahan dan kadar oksigen

terlarut. Timbal dapat menutupi lapisan mukosa pada organisme akuatik, dan

selanjutnya dapat mengakibatkan sufokasi. Toksisitas timbal lebih rendah bila

dibandingkan dengan logam cadmium (Cd), merkuri (Hg) dan tembaga (Cu) akan

tetapi lebih tinggi daripada kromium (Cr), mangan (Mn), Barium (Ba), Zinc (Zn)

dan Besi (Fe).

2.4 Sistem Pernafasan Ikan

Pernapasan adalah proses pengikatan oksigen dan pengeluaran

karbondioksida oleh darah melalui permukaan alat pernapasan. Proses pengikatan

oksigen selain dipengaruhi struktur alat pernapasan juga dipengaruhi oleh

(36)

tekanan tersebut menyebabkan gas-gas berdifusi kedalam darah atau keluar

melalui alat pernapasannya (Funjaya, 2004). Insang merupakan komponen

penting dalam proses pertukaran gas. Insang terbentuk dari lengkungan tulang

rawan yang mengeras dengan beberapa filament insang didalamnya. Tiap-tiap

filamen insang terdiri atas banyak lamella yang merupakan tempat pertukaran gas.

Tugas ini ditunjang oleh struktur lamella yang tersusun atas sel-sel epitel yang

tipis pada bagian luar, membran dasar dan sel-sel tiang sebagai penyangga bagian

dalam. Pinggiran lamella yang tidak menempel pada lengkung insang ditutupi

oleh epithelium dan mengandung jaringan pembuluh darah kapiler (Funjaya,

2004).

Bila oksigen telah berdifusi dalam darah insang, oksigen ditranspor dalam

gabungan dengan hemoglobin ke kapiler jaringan tempatnya dilepaskan untuk

digunakan oleh sel. Adanya hemoglobin didalam sel darah merah memungkinkan

darah mengangkut oksigen 30-100 kali daripada yang dapat diangkut hanya dalam

bentuk oksgen terlarut dalam darah. Pergerakan oksigen ke dalam kapiler darah

insang disebabkan oleh adanya perbedaan tekanan dari tempat pertama ke tempat

lainnya. Karena tekanan oksigen dalam insang lebih besar dari tekanan oksigen

dalam kapiler darah insang, maka oksigen ditranspor melalui sirkulasi ke jaringan

perifer (Funjaya, 2004).

2.5 Tingkat Konsumsi Oksigen Ikan

Tingkat konsumsi oksigen adalah banyaknya oksigen yang diambil atau

dikonsumsi oleh biota akuatik dalam waktu tertentu yang berhubungan linear

dengan banyaknya oksigen terlarut di perairan tersebut. Tingkat kebutuhan

oksigen pada ikan berbeda-beda tergantung pada spesies, ukuran (stadia),

aktifitas, jenis kelamin, saat reproduksi, tingkat konsumsi pakan, dan suhu

(Vernberg and Vernberg, 1972).

Oksigen terlarut (Dissolved oxygen = DO) dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme atau pertukaran zat yang kemudian

menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan. Disamping itu, oksigen

juga dibutuhkan untuk oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik dalam proses

(37)

11   

jenis, stadium dan aktifitasnya. Kebutuhan oksigen untuk ikan dalam keadaan

diam relatif lebih sedikit apabila dibandingkan dengan ikan pada saat bergerak

atau memijah. Kandungan oksigen terlarut (DO) minimum adalah 2 ppm dalam

keadaan normal dan tidak tercemar oleh senyawa beracun (Wardoyo, 1987).

2.6 Kadar Glukosa Darah

Kata stress bermula dari sebuah kata latin stringere yang berarti ketegangan dan tekanan. Stres merupakan reaksi yang tidak diharapkan yang

muncul karena tingginya tuntutan lingkungan pada organisme. Respon tubuh

terhadap stress terdiri dari proses dua tahap, yaitu: respon stress primer, yaitu

respon yang membantu kita menghadapi ancaman dari lingkungan kita. Respon

stress sekunder, yaitu reaksi saraf yang diawali oleh otak dalam menanggapi apa

yang kita butuhkan. Stres pada ikan bisa disebabkan oleh faktor lingkungan (pH,

amoniak tinggi, rendahnya kadar oksigen, pencemaran, dsb), kepadatan,

penanganan dan lain-lain. Salah satu pendekatan yang bisa dilihat pada tubuh ikan

saat stress adalah perubahan naik turunnya kadar glukosa darah. Mekanisme

terjadinya perubahan kadar glukosa darah selama stress dimulai dari diterimanya

informasi penyebab faktor stress oleh organ reseptor. Selanjutnya informasi

tersebut disampaikan ke otak bagian hypothalamus melalui system saraf.

Hipothalamus memerintahkan sel kromafin untuk mensekresikan katekolamin

melalui serabut saraf simpatik. Adanya katekolamin ini akan mengaktivasi

enzim-enzim yang terlibat dalam katabolisme simpanan glikogen, sehingga kadar

glukosa darah mengalami peningkatan.

Naik turunnya kadar glukosa dalam darah ikan mengindikasikan bahwa

ikan sedang lapar atau sedang kenyang. Naiknya glukosa darah menandakan

bahwa ikan sedang kenyang, artinya nafsu makan berkurang karena energi yang

dibutuhkan oleh tubuh terpenuhi. Sebaliknya, pada saat kadar glukosa darah turun,

maka ikan akan merasa lapar sehingga diperlukan makanan untuk memenuhi

kebutuhan energinya. Pada saat ikan stress menyebabkan kadar glukosa dalam

darah terus naik yang diperlukan untuk mengatasi homeostasis dan insulin akan

(38)

dari pusat saraf menandakan bahwa ikan merasa kenyang, dan ikan tidak mau

makan (Marcel et al, 2009 dalam Sabilu, 2010)

Naiknya kadar glukosa darah dibutuhkan untuk proses memperbaiki

homeostasis selama stres, namun kebutuhan energi dari glukosa tersebut akan

dapat terpenuhi apabila glukosa dalam darah dapat segera masuk ke dalam sel,

dan ini sangat bergantung pada kerja insulin. Tingginya kadar glukosa di dalam

darah tersebut maka sinyal dari saraf pusat menandakan bahwa ikan merasa

kenyang.

2.7 Sistem Hematologi Ikan

Darah amat penting bagi kehidupan makhluk yang mempunyai banyak sel,

disebabkan oleh perannya untuk transport oksigen, air, elektrolit, zat makanan dan

hormon-hormon ke setiap sel, juga transport hasil atau sisa metabolisme ke

organ-organ pembuangan. Pembentukan sel darah merah (eritropoiesis) merupakan suatu

pengaturan umpan balik karena pembentukan ini dihambat oleh kenaikan jumlah

sel darah merah dalam sirkulasi yang mencapai nilai diatas normal, dan

distimulasi oleh anemia (Ganong, 1983).

Indikator parameter nilai hematologi yang memperlihatkan perubahan

pada darah, meliputi : hemoglobin, hematokrit, trombosit, jumlah sel darah merah

dan jumlah sel darah putih. Sel darah merah, sel darah putih dan

platelet/thrombosit merupakan bagian dari elemen darah, sedangkan berbagai

faktor koagulasi/zat pembekuan serta immunoglobulin adalah unsur penting dari

protein plasma total. Fungsi utama sel darah merah ialah mengikat haemoglobin

untuk trasnspor oksigen, sedangkan sel darah putih peran utamanya ialah dalam

pertahanan tubuh terhadap infeksi microbial. Platelet/thrombosit dan protein

koagulasi adalah penting untuk mempertahankan kondisi hemostasis, juga untuk

mencegah kehilangan banyak darah akibat terjadinya luka bulu darah.

Imunoglobulin merupakan unsur penting dari humoran immune response yang dibentuk untuk menghambat/mencegah hewan dari agen infeksi. Sedangkan

protein-protein lain yang ada dalam darah mempunyai peranan biologis yang

bervariasi yaitu mempertahankan kesehatan tubuh. Berbagai faktor mungkin akan

(39)

13   

2.7.1 Sel Darah Merah

Eritrosit merupakan sel yang paling banyak jumlahnya. Inti sel eritrosit

terletak sentral dengan sitoplasma dan akan terlihat jernih kebiruan dengan

pewarnaan Giesma (Dchinabut et al., 1991 dalam Mulyani, 2006). Pada ikan teleost, jumlah normal eritrosit adalah 1,05x106 – 3,0 x 106 sel/mm3 (Robert,

1978 dalam Mulyani, 2006). Seperti halnya pada hematokrit, kadar eritrosit yang rendah menunjukkan terjadi anemia. Sedangkan kadar tinggi menunjukkan bahwa

ikan dalam keadaan stress (Wedemeyer dan Yasutake, 1977 dalam Purnomo dan Muhyiddin, 2007). Jumlah sel darah merah normal pada manusia 5,4 juta/mm3

pada laki-laki dan 4,8 juta/mm3 pada perempuan dengan diameter sekitar 7,5 µm

dan tebalnya 2 µm dengan lama hidup dalam sirkulasi darah sekitar 120 hari.

Eritrosit merupakan sel yang paling banyak jumlahnya. Inti sel eritrosit terletak

sentral dengan sitoplasma dan akan terlihat jernih kebiruan dengan pewarnaan

Giemsa (Chinabut et al.,dalam Mulyani, 2006).

2.7.2 Sel Darah Putih

Sel darah putih (SDP, WBC, Leukosit) warnanya bening, bentuknya lebih

besar dibandingkan dengan sel darah merah, tetapi jumlahnya lebih sedikit. Sel

darah putih dibuat pada sumsum tulang dan berisi sebuah inti yang berbelah

banyak dan protoplasmanya berbulir karena itu disebut sel berbulir granulosit

(Irianto, 2005 dalam Pearce, 2006).

Jumlah total SDP dan diferensiasinya merupakan bantuan hematologi yang

berguna untuk evaluasi respon inang terhadap infeksi mikroba dan untuk

diagnosis leukemia. Dalam evaluasi sebuah leukogram, amat perlu diketahui

bahwa tidak hanya total SDP dan diferensiasinya, tetapi untuk menetapkan adanya

perubahan morfologi SDP maka informasi tentang komponen darah lainnya harus

ada. Juga protein plasma total dan konsentrasi fibrinogen, parameter darah merah

(HCT, HB,SDM) dan SDM berinti serta jumlah retikulosit secara tak langsung

membantu dalam interpretasi leukogram. Jumlah total leukosit bervariasi antar

spesies hewan dan hal ini dipengaruhi oleh umur hewan. Saat hewan lahir

(40)

yaitu pada umur 2 - 12 bulan. Meningkatnya jumlah leukosit disebut leukositosis

sedangkan penurunan disebut leucopenia. Leukositosis lebih umum daripada

leucopenia dan tidak merupakan hal yang serius, bahkan mungkin bisa fisiologis.

Leukositosis yang fisiologis mungkin terjadi sebagai reaksi “ephinephrine”

dimana neutrofil dan limfosit dimobilisasi ke dalam sirkulasi umum sehingga

menaikan jumlah total SDP. Hal ini sering terjadi pada hewan muda dan biasanya

akibat stress, juga adanya gangguan fisik sehingga leukositosis ini bias terjadi

dalam keadaan sehat ataupun sakit dan biasa bersifat fisiologis maupun patologis.

Sedangkan leukopenia umumnya berhubungan dengan infeksi bakterial atau viral

(Aliambar, 1999).

2.7.3 Hematokrit

Hematokrit (HCT; PCV) merupakan persentase volume eritrosit dalam

darah ikan. Hasil pemeriksaan terhadap hematokrit dapat dijadikan sebagai salah

satu patokan untuk menentukan keadaan kesehatan ikan, nilai hematokrit kurang

dari 25% menunjukan terjadinya anemia. Kadar hematokrit ini bervariasi

tergantung pada faktor nutrisi, umur ikan, jenis kelamin, ukuran tubuh dan masa

pemijahan. Nilai hematokrit sebesar 40% berarti dalam darah mengandung 40%

sel darah merah (Kuswardani, 2006). Persentase nilai hematokrit ikan lele normal

berkisar antara 30,8% - 45,5% (Dopongtonung, 2008).

Aliambar (1999) menyatakan bahwa perhitungan hematokrit dilakukan

setelah darah dicegah membeku dengan antikoagulan dan disentrifus sehingga

sel-selnya akan mengendap dan menempati dasar tabung. Sedangkan plasma, suatu

cairan yang berwarna kekuning-kuningan akan naik ke atas. Jumlah sel-selnya

adalah 45% dari volume darah total, dan nilai ini dinamakan Packed Cell Volume

(PCV) atau hematokrit (HCT), yang dinyatakan dalam persen.

Perhitungan nilai hematokrit lebih sering ditentukan dengan metode

mikrohematokrit. Kekuatan dan lama putaran amatlah penting untuk mengurangi

plasma yang melekat pada dinding tabung (Tortora dan Anagnostakos, 1990).

Pada kambing dan domba, metode hematokrit membutuhkan waktu centrifuse

yang lebih lama (10-20 menit), sedangkan spesies lainnya cukup 5 menit saja.

(41)

15   

tinggi di akhir musim panas dan musim gugur dibandingkan pada musim dingin

dan musim semi. Sedangkan pada sapi, nilainya paling tinggi selama bulan-bulan

paling dingin dan paling rendah selama bulan-bulan terhangat ditahun tersebut.

Perbedaan nilai ini dapat pula terjadi akibat kesalahan teknik terutama yang

disebabkan oleh metode pengambilan darah, tipe dan konsentrasi antikoagulan

serta metode yang dipakai untuk determinasi perhitungan SDM dan SDP,

konsentrasi HB dan HCT (Aliambar, 1999).

2.7.4 Hemoglobin

Hemoglobin (HB) adalah pigmen merah pembawa oksigen dalam sel

darah merah vertebrata, yang merupakan suatu protein yang kaya akan zat besi.

Konsentrasi hemoglobin normal pada manusia dewasa adalah 14-16 g/dl darah

atau rata-rata 15 gram setiap 100 ml arah dan jumlah ini biasanya disebut 100

persen (Pearce, 2006). Dan diperkirakan terdapat kira-kira 750 gram hemoglobin

dalam seluruh darah yang beredar. Hemoglobin (HB) sangat penting untuk

mempertahankan kehidupan sebab ia membawa dan mengirim oksigen ke

jaringan-jaringan. Sekitar 400 juta molekul hemoglobin ada dalam sel darah

merah dan meliputi 95% dari berat keringnya. Sedangkan sintesis hemoglobin dan

proses destruksinya seimbang dalam kondisi fisiologis dan adanya gangguan pada

salah satunya dapat menimbulkan gangguan hematologis yang nyata (Aliambar

1999).

Hemoglobin mengandung senyawa protein yang berisi globin dan heme.

Setiap gram hemoglobin berisi 3,34 mg zat besi dan membawa 1,34 ml oksigen.

Setiap molekul hemoglobin berisi 4 heme unti masing-masing bergabung dengan

satu rangkaian globin yang mempunyai residu asam amino. Hemoglobin

dilepaskan dalam bentuk bebas bila terjadi hemolisis sedangkan batas antara

hemoglobin dan stroma sel darah merah mengalami kerobekan yang disebabkan

oleh agen penyebab hemolisis. Kadar hemoglobin yang rendah dapat dijadikan

sebagai petunjuk mengenai rendahnya kandungan protein pakan, defisiensi

vitamin atau ikan mendapat infeksi. Sedangkan kadar tinggi menunjukkan bahwa

(42)
(43)

17   

III.

METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lingkungan Departemen

Budidaya Perairan, Institut Pertanian Bogor dan dilaksanakan selama 3 (tiga)

bulan dimulai dari bulan Februari sampai Mei 2011. Untuk analisis gambaran

darah dan glukosa darah dilakukan di Laboratorium Kesehatan Ikan (LKI)

Departemen Budidaya Perairan ,Institut Pertanian Bogor.

3.2 Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dilaksanakan dalam dua tahapan yaitu : uji akut dan uji sub

kronis. Ikan uji yang digunakan adalah juvenil ikan kerapu macan (Epinephelus fuscogutattus) berukuran 6-7 cm yang diperoleh dari Balai Benih Situbondo Jawa Timur sedangkan pakan yang digunakan adalah pelet ( komersil) dan logam

berat timbal yang digunakan adalah timbal nitrat (Pb(NO3)2) yang diperoleh di

toko Setia Guna Bogor. Wadah yang digunakan dalam penelitian ini berupa

akuarium 20 x 20 x 30 cm, ukuran 30 x 30 x 30 cm, refraktometer, DO meter, pH

meter, termometer dan gelas ukur.

3.3 Uji Akut

Uji akut dilakukan berdasarkan konsentrasi yang diperoleh pada uji nilai

kisaran kemudian ditentukan konsentrasi untuk perlakuan uji akut berdasarkan

deret angka sebagai berikut:

Perlakuan A = Tanpa Perlakuan timbal

Perlakuan B = 20 ppm

Perlakuan C = 40 ppm

Perlakuan D = 80 ppm

Perlakuan E = 160 ppm

Pada tahap ini digunakan 150 ekor hewan uji dengan kepadatan ikan uji 10

ekor dalam setiap unit percobaan dengan 3 kali ulangan. Selama uji akut pada

akuarium diberi aerasi kecil, feses dan sisa pakan di dasar akuarium disipon setiap

hari. Pengamatan terhadap tingkah laku dan mortalitas ikan uji dilakukan setiap 2

(44)

jam selama 24 jam kemudian dilanjutkan tiap 6 jam selama 96 jam. Indikator

pengamatan tingkah laku ikan uji yaitu gejala Ram Jet Ventilation (mulut terbuka

secara terus menerus, dan tutup ikan terabduksi), frekuensi pernapasan yaitu gerak

membuka dan menutup insang/mulut per menit (perhitungan dimulai 30 menit

setelah pemberian bahan uji, dan selanjutnya dibandingkan dengan kontrol), pola

gerak renang dan refleksi (normal, diam di dasar, ke permukaan, tidak seimbang,

terkejut-kejut atau kehilangan gerak reflex) dan perubahan warna sisik.

Penghitungan gerak operculum akan dimulai 30 menit setelah pemberian bahan

uji, penghitungan akan dilakukan selama 1 menit dan diulangi setiap 10 menit

sampai menit ke 30.

Pengukuran kualitas air media pada setiap unit percobaan dilakukan pada

jam ke-0, 24, 48, 72 dan ke-96.

3.4 Uji sub-kronik

Penelitian ini akan dilakukan untuk melihat pengaruh konsentrasi timbal

terhadap tingkat konsumsi oksigen (TKO), Kondisi hematologi, Kelangsungan

hidup dan laju pertumbuhan. Uji ini dilakukan dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan

yaitu :

Perlakuan A = Tanpa timbal (sebagai kontrol)

Perlakuan B = 1 % dari LC50-96 jam

Perlakuan C = 5 % dari LC50-96 jam

Perlakuan D = 10 % dari LC50-96 jam

Pada tahap ini digunakan ikan uji sebanyak 240 ekor dengan

masing-masing unit sebanyak 20 ekor. Percobaan dirancang dengan menggunakan

Rancangan Acak Lengkap (RAL), Uji pengaruh logam timbal ini dilakukan

selama 30 hari. Variabel yang diamati adalah : Tingkat Konsumsi Oksigen,

glukosa darah, respon hematologi (hematokrit, hemoglobin, eritrosit dan

leukosit), kelangsungan hidup, laju pertumbuhan, kandungan logam berat timbal

(45)

19   

3.4.1 Tingkat Konsumsi Oksigen

Tingkat konsumsi oksigen diukur dengan menggunakan botol respirasi

pada akhir penelitian dengan menghitung rasio oksigen terlarut pada awal dan

akhir pengamatan. Tingkat konsumsi oksigen dihitung menggunakan rumus Liao

dan Huang (1975) :

TKO = { (DO awal – DO akhir)/W x t} x V

Keterangan :

TKO = Tingkat Konsumsi Oksigen (mg O2/gr tubuh/jam)

DO awal = Oksigen terlarut pada awal pengamatan (mg/L)

DO akhir = Oksigen terlarut pada akhir pengamatan (mg/L)

W = Berat Ikan Uji (gr)

t = periode pengamatan (jam)

V = Volume air pada respirometer (L)

3.4.2 Kadar Glukosa Darah

Pemeriksaan kadar glukosa darah ikan dilakukan sebagai indikator stress

sekunder akibat toksisitas Timbal. Pengukuran kadar glukosa darah ini sebanyak

4 kali yaitu pada hari ke 0, 10, 20 dan hari ke-30. Sebelum pengambilan darah,

ikan dipuasakan selama 24 jam. Prosedur pengukuran glukosa darah yaitu: plasma

darah diambil dengan cara disentrifuge, selanjutnya 0,05 ml plasma darah,

glukosa standard dsan akuades dimasukkan kedalam masing-masing tabung reaksi

yang telah berisi 3,5 ml color reagent (perbandingan asam asetat dan ortotoluidine

= 94:6). Setelah itu dipanaskan dalam water bath tertutup selama 10 menit pada

suhu 100 ⁰C. Selanjutnya setelah didinginkan pada suhu kamar, lalu dibaca

dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 635 nm. Rumus

yang digunakan adalah :

GD = Au x Cs As Keterangan :

GD : Konsentrasi Glukosa darah (mg/100 ml)

Au : Absorbansi sampel

Cs : Konsentrasi standar

(46)

3.4.3 Gambaran Darah

Pengukuran kadar hematokrit

Prosedur pengamatan dan penghitungan kadar hematokrit dilakukan menurut

Anderson dan Swicki (1993). Menggunakan Microhematocrit method, darah

dimasukkan kedalam tabung mikrohematokrit sampai 4/5 bagian. Kemudian salah

satu ujung tabung disumbat dengan crestaseal. Darah disentrifuge selama 5 menit.

Setelah itu akan terbentuk lapisan-lapisan yang terdiri dari lapisan plasma yang

jernih dibagian atas, kemudian lapisan putih abu-abu (buffy coat) yang merupakan

trombosit dan leukosit dan lapisan eritrosit yang berwarna merah. Nilai hematokrit

ditentukan dengan mengukur presentase volume eritrosit dari darah dengan

menggunakan alat ukur panjang (mistar) dan dinyatakan dalam persentase (% Ht).

Pengukuran kadar hemoglobin (Hb)

Pengukuran kadar hemoglobin pada prinsipnya adalah mengkonversikan

haemoglobin dalam darah kedalam bentuk asam hematin oleh asam klorida.

Mula-mula darah dihisap dengan menggunakan pipet sahli hingga skala 20 mm3.

Kemudian dipindahkan kedalam tabung Hb yang berisi HCl 0,1N sampai skala 10

(garis kuning). Didiamkan selama 3-5 menit agar Hb bereaksi dengan HCl

membentuk asam hematin, kemudian diaduk dan ditambahkan aquadestila (sedikit

demi sedikit) hingga warnanya sama dengan standar. Pembacaan skala dilakukan

dengan melihat tinggi permukaan larutan yang dikocok dengan skala % yang

menunjukkan banyaknya Hb dalam gram setiap ml darah dan dinyatakan dalam

persentase (%Hb).

Penghitungan jumlah sel darah merah (eritrosit)

Prosedur pengamatan dam penghitungan jumlah sel darah merah pada

penelitian ini berdasarkan Blaxhall dan Daisley (1973). Darah diambil dari ikan

dengan menggunakan ineksi yang berisi cairan antikoagulan untuk mencegah

terjadinya penggumpalan darah. Darah yang tersedot dimasukkan kedalam

ependorf kemudian darah dihisap menggunakan pipet pencampur sampai pada

skala 0,5 dan ditambahkan larutan Hayems yang dihisap dengan pipet yang sama

hingga mencapai skala 101. Setelah itu, pipet digoyang membentuk angka delapan

(47)

21   

kedalam hemositometer dan ditutup dengan kaca penutup. Penghitungan

dilakukan pada 5 kotak kecil yaitu pada sudut kiri atas, sudut kanan atas, sudut

kiri bawah, sudut kanan bawah dan pada bagian tengah. Jumlah sel darah merah

yang terhitung dikonversikan dengan rumus:

Jumlah sel darah merah = ∑ sel darah merah terhitung x 104 sel/mm3

Penghitungan jumlah sel darah putih (leukosit)

Prosedur pengamatan dan penghitungan jumlah sel darah putih dilakukan

berdasarkan Blaxhall dan Daisley (1973). Metode pengambilan darahnya sama

dengan metode pengambilan sel darah merah. Darh dihisap dengan pipet

pencampur sampai dengan skala 11. Jumlah sel darah putih yang terhitung

dikonversikan berdasarkan rumus:

Jumlah sel darah putih = ∑ sel darah putih terhitung x 50 sel/mm3

3.5 Kelangsungan Hidup

Kelangsungan hidup ikan kerapu macan ditentukan dengan menggunakan rumus

(Zonneveld et al., 1991)

St = (Nt/No) 100 %

Dimana : Sr = Kelangsungan Hidup (%)

Nt = Jumlah hewan uji pada akhir penelitian (ekor)

No= Jumlah hewan uji pada awal penelitian (ekor)

3.6 Laju Pertumbuhan

Pertumbuhan ikan yang diukur meliputi pertambahan berat (g) dengan

menggunakan neraca digital dan pertambahan panjang (cm) dengan menggunakan

millimeter blok. Pengukuran ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh kadar

timbals terhadap laju pertumbuhan juvenil ikan kerapu macan (Epinephelus fuscogutattus) menggunakan rumus sebagai berikut (Huisman, 1976) :

α = { t [(Wt/Wo) – 1] } x 100%

Keterangan : Wt = Rerata bobot individu pada akhir penelitian

(48)

t = Waktu pemeliharaan (hari)

α = Laju pertumbuhan harian (g/hari)

3.7Analisis Data

Pengaruh logam berat timbal pada berbagai konsentrasi terhadap tingkat

konsumsi oksigen, respon hematologi (kadar hematokrit, kadar hemoglobin,

jumlah eritrosit, dan jumlah leukosit), kelangsungan hidup dan pertumbuhan

pada ikan kerapu macan diperoleh dengan cara mengolah data menggunakan

analisis sidik ragam, Apabila terdapat pengaruh yang nyata maka dilanjutkan

dengan uji BNJ (Steel and Torrie, 1982). Parameter pendukung dianalisis dengan

statistik deskriptif berupa tabel, grafik dan gambar. Pengolahan data

(49)

23   

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

4.1.1 Uji Akut

Uji akut dilakukan pada konsentrasi timbal sebesar 20 ppm, 40 ppm, 80

ppm dan 160 ppm serta perlakuan kontrol negatif. Respon ikan uji terhadap

deretan konsentrasi pada uji akut menunjukkan kepekaan mortalitas yang tinggi

terhadap daya toksik timbal (Gambar 2).

Gambar 2. Persentase mortalitas ikan kerapu macan selama uji akut

Pada konsentrasi 160 ppm, mortalitas ikan uji mencapai 50% setelah 24

jam pemaparan. Sedangkan pada konsentrasi 20 ppm, mortalitas ikan uji

mencapai 0 % setelah 24 jam pemaparan dan mencapai 5% setelah 48 jam

pemaparan dan 96 jam pemaparan. Sedangkan pada konsentrasi 160 ppm

mortalitas ikan mencapai 50% setelah 48 jam hingga 96 jam. Pada kontrol,

mortalitas ikan uji sampai pada jam ke-96 mencapai 0% . Hal ini menunjukkan

bahwa kualitas media pemeliharaan dan vitalitas ikan selama pengujian dalam

kondisi yang baik.

Toksisitas akut timbal yang tinggi terhadap juvenil ikan kerapu macan,

diduga karena kecilnya kemampuan adaptasi ikan kerapu macan untuk

memperkecil pengaruh biokimia yang ditimbulkan timbal masuk kedalam tubuh,

menyebabkan turunnya kemampuan menyerap oksigen dari lingkungan.

(50)

Sementara saat ikan dalam kondisi stress, metabolisme tubuhnya akan meningkat

dan kebutuhan oksigen akan meningkat pula yang diperlukan dalam

mempertahankan kondisi homeostasis. Gerberding (2005) dalam Sabilu (2010) melaporkan bahwa meskipun organisme biasanya mengembangkan perlawanan

setelah beberapa saat terpapar oleh timbal akan tetapi kemampuan

mengembangkan perlawanan tersebut ditentukan oleh spesies dan efek toksik

yang ditimbulkan. Demikian pula Rand and Petrocelli (1985) dalam Sabilu (2010) menyatakan bahwa pengaruh bahan toksik terhadap suatu organisme akan terlihat

dalam waktu pemaparan yang berbeda. Pengambilan awal logam berat oleh ikan

kerapu macan dapat melalui empat proses utama yakni melalui insang, permukaan

tubuh, mekanisme osmoregulasi dan penyerapan melalui makanan. Pengaruh

tersebut ditentukan oleh sifat toksik logam berat timbal dan keberhasilan tubuh

ikan kerapu macan melakukan proses detoksifikasi dan ekskresi, sehingga

pengaruh sifat toksik timbal terhadap tubuh ikan kerapu macan masih dapat

ditolerir oleh tubuh atau telah melewati ambang batas sehingga mengakibatkan

kematian. Menurut Connel and Miller (1995), kehadiran xenobiotik dalam tubuh ikan merangsang ikan melakukan perlawanan secara fisiologis untuk

meminimalisir dampak racun yang ditimbulkan. Perlawanan tersebut dilakukan

melalui proses biotransformasi, detoksifikasi dan ekskresi. Lebih lanjut dikatakan

bahwa kemampuan organisme melakukan perlawanan ditentukan oleh konsentrasi

dan sifat toksik yang dimiliki oleh toksikan maka kemampuan organisme

melakukan perlawanan fisiologis akan semakin kecil.

Data mortalitas kumulatif juvenil ikan kerapu macan pada uji akut

selanjutnya dianalisis menggunakan analisis statistik untuk menentukan nilai LC50

pada waktu pemaparan 24, 48, 72 dan 96 jam. Hasil analisis statistika

menunjukkan nilai LC50 pada waktu pemaparan 24, 48, 72 dan 96 jam

berturut-turut adalah 90,45 ppm, 78,76 ppm, 74,264 ppm dan 68,627 ppm. Nilai tersebut

menunjukkan bahwa semakin lama waktu pemaparan maka nilai LC50 timbal

terhadap ikan kerapu macan akan semakin rendah. Nilai LC50-96 jam timbal pada

juvenil ikan kerapu macan ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan nilai LC50-96

jam timbal yang dipaparkan pada ikan bandeng di salinitas 16 ppt yaitu 13,43 ppm

(51)

25   

timbal bersifat toksik tinggi terhadap juveil ikan kerapu macan. Klasifikasi WHO

dan EPA bahwa rentang nilai LC50-96 jam pada konsentrasi antara 1-50 ppm

dikatagorikan bersifat toksik yang tinggi (Balazs 1970).

Pengaruh bahan toksik dalam waktu singkat dapat diketahui dengan

menghitung nilai LC50 suatu substansi terhadap satu atau beberapa spesies. LC50

adalah konsentrasi suatu bahan kimia dalam air yang dapat mematikan 50% dari

populasi organisme dalam waktu pemaparan tertentu (OECD 1981 dalam Siahaan 2003). Menurut Connel dan Miller (1995), dampak mematikan suatu bahan

toksik merupakan tanggapan yang terjadi akibat zat-zat xenobiotik tertentu

mengganggu proses sel dalam makhluk hidup yang melebihi batas toleransi

sehingga menyebabkan kematian secara langsung.

Gambar 3. Frekwensi pergerakan operkulum juvenil ikan kerapu macan

Gerakan operkulum pada konsentrasi lebih tinggi memperlihatkan

frekuensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan ksontrol. Secara berturut-turut

frekuensi gerakan operculum pada perlakuan A, B, C, D dan E yaitu 89

kali/menit, 91 kali/menit, 96 kali/menit, 107 kali/menit dan 133 kali/menit

(Gambar 3). Tingkah laku ini diduga untuk meningkatkan suplai oksigen yang

dibutuhkan oleh proses biokimia tubuh sebagai pola adaptasi fisiologi sehingga

dapat bertahan hidup atau memperlambat efek kematian. Respon fisiologi ini

diikuti dengan menurunnya nafsu makan dan umumnya ikan uji cenderung lebih

(52)

4.1.2 Uji Sub Kronis

4.1.2.1 Tingkat Konsumsi Oksigen

Kebutuhan oksigen biologi didefinisikan sebagai banyaknya oksigen yang

diperlukan oleh organisme pada saat pemecahan bahan organik, pada kondisi

aerobik. Pemecahan bahan organik diartikan bahwa bahan organik ini digunakan

oleh organisme sebagai bahan makanan dan energinya diperoleh dari proses

oksidasi. Banyaknya oksigen yang dikonsumsi oleh biota akuatik dalam waktu

tertentu berhubungan linear dengan banyaknya oksigen terlarut di perairan

[image:52.595.54.482.41.572.2]

tersebut.

Gambar 4. Tingkat konsumsi oksigen juvenil kerapu macan selama 30 hari pemaparan timbal.

Pengamatan terhadap tingkat konsumsi oksigen sebelum pemaparan

timbal, terlihat bahwa konsumsi oksigen hampir merata pada setiap perlakuan.

Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pada semua perlakuan, insang masih

berfungsi dalam keadaan normal. Pengukuran hari ke-10; 20 dan hari ke-30

menunjukkan bahwa pemaparan timbal dengan konsentrasi 0,69 ppm, 3,43 ppm

dan 6,86 ppm mengalami penurunan tingkat konsumsi oksigen yaitu 0,52 mg

O2/gr berat tubuh ikan/jam, 0,44 mg O2/gr berat tubuh ikan/jam dan 0,34 mg O2/gr

berat tubuh ikan/jam. Grafik diatas memberikan indikasi bahwa semakin tinggi

konsentrasi timbal dan semakin lama waktu pemaparan akan menyebabkan

konsumsi oksigen akan semakin rendah. Kenyataan menunjukkan bahwa setelah

(53)

27   

ppm di hari ke-10 dapat menurunkan tingkat konsumsi oksigen juvenil ikan

kerapu macan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Fatahuddin

dkk (2003) dalam Sabilu (2010) bahwa laju konsumsi oksigen juvenil ikan bandeng akan semakin rendah seiring dengan lama waktu pengamatan dan

peningkatan konsentrasi seng dalam air. Demikian halnya dengan penelitian

Ghalib dkk (2002) bahwa semakin lama waktu pemaparan timbal pada juvenil ikan bandeng akan menurunkan tingkat konsumsi oksigen. Besarnya selisih

konsumsi oksigen pada konsentrasi timbal yang lebih tinggi diakibatkan oleh

kerusakan insang dan kemampuan darah untuk mengikat oksigen semakin kecil

akibat keracunan logam berat timbal, dimana akibat keracunan timbal, ikan akan

mengalami gangguan pada proses pernafasan dan metabolisme tubuhnya. Hal ini

terjadi karena bereaksinya logam berat timbal dengan lendir insang sehingga

insang diselimuti lendir yang mengandung timbal dan mengakibatkan proses

pernafasan dan metabolisme tubuh terganggu.

Heath (1987) mengemukakan bahwa logam berat dapat menyebabkan

kerusakan insang seperti nekrosis dan lepasnya lapisan epithelium. Sejalan pula

dengan laporan Wardoyo (1975) dalam Ghalib (2002) bahwa salah satu jaringan tubuh organisme yang cepat terakumulasi logam berat adalah insang sehingga

menyebabkan terganggunya proses pertukaran ion-ion dan gas-gas melalui insang.

4.1.2.2 Respons Hematologi

4.1.2.2.1 Hematokrit

Hematokrit (Hct) atau volume packed cell merupakan persentase darah

yang dibentuk oleh eritrosit. Pengukuran ini merupakan persentase eritrosit dalam

(54)

Gambar 5. Rerata hematokrit juvenil ikan kerapu macan selama 30 hari pemaparan

Data kadar hematokrit menunjukkan bahwa ada penurunan kadar

hematokrit pada semua perlakuan sampai pengukuran pada hari ke-30. Dimana

makin tinggi perlakuan konsentrasi timbal yang dipaparkan maka kadar

hematokrit akan semakin rendah (Gambar 5). Pada awal perlakuan, nilai

hematokrit berkisar antara 23,19 – 24,70%, setelah dipaparkan timbal selama 30

hari maka nilai hematokrit semakin menurun dan kadar hematokrit paling rendah

ditemukan pada konsentrasi 6,86 ppm. Selanjutnya 3,43 ppm dan 0,69 ppm

dengan persentase berturut-turut 9,66%, 12,33% 15,10% dan 18,78%. Gambar

diatas juga menunjukkan bahwa setelah 30 hari pemaparan, pengaruh lanjut

toksisitas timbal mulai pada konsentrasi 6,86 ppm di hari ke-10 secara nyata dapat

menurunkan kadar hematokrit dalam darah juvenil ikan kerapu macan. Hasil

analisis statistik menunjukkan kadar hematokrit juvenil kerapu macan berbeda

nyata (P<0,05) antar setiap perlakuan. Dari gambar diatas terlihat bahwa setelah

30 hari pemaparan, pengaruh lanjut toksisitas timbal secara nyata dapat

menurunkan kadar hematokrit darah pada juvenil ikan kerapu macan.

4.1.2.2.2 Hemoglobin

Hemoglobin (Hb) adalah pigmen merah pembawa oksigen dalam sel darah

merah yang merupakan suatu protein yang kaya akan zat besi. Satu gram

hemoglobin dapat mengikat sekitar 1,34 ml oksigen, dan kadar haemoglobin yang

rendah dapat dijadikan sebagai petunjuk mengenai rendahnya kandungan protein

(55)
[image:55.595.106.496.94.251.2]

29   

Gambar 6. Rerata kadar hemoglobin juvenil ikan kerapu macan selama 30 hari pemaparan timbal.

Data hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar hemoglobin pada semua

perlakuan pemaparan timbal selama 30 hari mengalami penurunan dimana

semakin tinggi konsentrasi timbal yang dipaparkan maka akan menurunkan kadar

hemoglobin dalam darah juvenil ikan kerapu macan. Gambar diatas

memperlihatkan bahwa kadar hemoglobin pada awal penelitian berkisar antara

3,70 – 3,87%. Setelah timbal dipaparkan selama 30 hari terlihat bahwa kadar

haemoglobin mengalami penurunan. Kadar hemoglobin paling rendah ditemukan

pada konsentrasi 6,86 ppm selanjutnya 3,43 ppm, 0,69 ppm dan 0 ppm, dengan

persentase secara berturut-turut 2,64%, 2,86%, 3,23% dan 3,62%. Gambar diatas

juga menunjukkan bahwa setelah 30 hari pemaparan, pengaruh lanjut toksisitas

timbal mulai pada konsentrasi 6,86 ppm di hari ke-10 dapat menurunkan kadar

hemoglobin dalam darah juvenil ikan kerapu macan. Hasil analisis statistik

menunjukkan kadar haemoglobin juvenil kerapu macan berbeda nyata (P<0,05)

antar setiap perlakuan. Dari gambar diatas terlihat bahwa setelah 30 hari

pemaparan, pengaruh lanjut toksisitas timbal secara nyata dapat menurunkan

kadar hematokrit darah pada juvenil ikan kerapu macan.

4.1.2.2.3 Eritrosit

Eritrosit atau disebut juga sel darah merah merupakan sel yang paling

banyak banyak jumlahnya. Pada ikan teleost, jumlah normal eritrosit adalah

(56)

penelitian menunjukkan bahwa pada awal penelitian jumlah eritrosit berkisar

antara 1,03x106 sel/mm3 – 1,06x106 sel/mm3.

Gambar 7. Rerata jumlah eritrosit juvenil ikan kerapu macan selama 30 hari pemaparan timbal.

Selama 30 hari pemaparan timbal, jumlah eritrosit menurun hingga

mencapai 0,77x106 sel/mm3 untuk konsentrasi 6,86 ppm dan 0,86 x106 sel/mm3

untuk konsentrasi 3,43 ppm. Sedangkan untuk konsentrasi 0,69 ppm dan 0 ppm

nilainya mencapai 0,89x106 sel/mm3 dan 1,0x106 sel/mm3. Gambar diatas

menunjukkan bahwa setelah 30 hari pemaparan, pengaruh lanjut toksisitas timbal

mulai pada konsentrasi 6,86 ppm di hari ke-10 dapat menurunkan jumlah eritrosit

dalam darah juvenil ikan kerapu macan. Hasil analisis statistik menunjukkan

bahwa jumlah eritrosit berbeda nyata antar setiap perlakuan (P<0,05), hal ini

menunjukkan bahwa pengaruh lanjut toksisitas timbal pada konsentrasi yang lebih

tinggi secara nyata dapat menurunkan jumlah eritrosit dalam darah juvenil ikan

kerapu macan.

4.1.2.2.4 Leukosit

Leukosit atau disebut juga sel darah putih mempunyai bentuk lonjong

atau bulat, tidak berwarna dan jumlahnya tiap mm3 darah ikan berkisar antara

20.000-150.000 butir, serta merupakan unit yang aktif dari sistem pertahanan

(imun) tubuh. Sel-sel leukosit akan ditranspor secara khusus ke daerah terinfeksi

(Mulyani 2006). Meningkatnya jumlah leukosit disebut leukositosis sedangkan

(57)
[image:57.595.112.501.92.271.2]

31   

Gambar 8. Rerata jumlah leukosit juvenil ikan kerapu macan selama 30 hari pemaparan timbal.

Data hasil penelitian menunjukkan bahwa pada awal penelitian jumlah

leukosit berkisar antara 0,61x106 sel/mm3- 0,65x106 sel/mm3 dan selama 30 hari

pemaparan timbal telah meningkatkan jumlah leukosit terlihat bahwa jumlah

leukosit tertinggi terdapat pada konsentrasi timbal 6,86 ppm yaitu 0,81x106

sel/mm3, kemudian konsentrasi 3,43 ppm sebesar 0,7x106 sel/mm3, 0,69 ppm

sebesar 0,65x106sel/mm3 dan 0 ppm sebesar 0,60x106 sel/mm3. Pada gambar 8

menunjukkan bahwa setelah 30 hari pemaparan pengaruh lanjut toksisitas timbal

mulai pada konsentrasi 6,86 ppm di hari ke-10 dapat meningkatkan jumlah

leukosit dalam darah juvenil ikan kerapu macan. Hasil analisis statistik

menunjukkan bahwa jumlah eritrosit berbeda nyata antar setiap perlakuan

(P<0,05), hal ini menunjukkan bahwa pengaruh lanjut toksisitas timbal pada

konsen

Gambar

Gambar 1. Morfologi Ikan Kerapu Macan
Gambar 4. Tingkat konsumsi oksigen juvenil kerapu macan selama 30  hari
Gambar 6. Rerata kadar hemoglobin juvenil ikan kerapu macan selama 30
Gambar 8. Rerata jumlah leukosit juvenil ikan kerapu macan selama 30 hari
+7

Referensi

Dokumen terkait

belakang pendidikan yang dimiliki maka kematangan karirnya akan tercapai. Kematangan karir yang tinggi akan membuat mahasiswa lebih siap dalam menentukan arah

Hendri Metro Purba (2011) dengan judul Analisis Pendapatan dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produksi Cabang Usahatani Padi Ladang di Kabupaten Karawang, dimana

Skripsi yang berjudul: Pengaruh Penambahan Serbuk Biji Jambe dan Daun Binahong dalam Ransum terhadap Kadar SGPT dan SGOT Ayam Petelur, serta penelitian yang terkait

Kadar pasir yang terlalu tinggi mengakibatkan material tidak dapat merekat, dengan demikian sedimen lebih besifat kohesif, yang mana kohesif berfungsi sebagai

Faktor yang mempengaruhi kinerja karyawan dalam sebuah perusahaan dan memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap pencapaian tujuan perusahaan salah satunya adalah

dapat dijelaskan bahwa implementasi Total Quality Management (TQM) memungkinkan perusahaan untuk mengembangkan kemampuan perusahaan perikanan dalam melakukan invosi

Skripsi ini berjudul “ Tingkat Adopsi Petani terhadap Teknologi Pertanian Terpadu Usahatani Padi Organik “ (Studi Kasus di Desa Lubuk Bayas Kecamatan Perbaungan

Suhu sterilisasi 100°C selama 45 menit, merupakan suhu sterilisasi yang aman digunakan untuk sediaan injeksi larutan D-manitol, karena hilangnya bahan aktif (D- manitol)