ANALISIS VEKTOR AUTOREGRESI (VAR) TERHADAP
HUBUNGAN ANTARA PRODUKSI BIODIESEL DAN HARGA
MINYAK SAWIT DI INDONESIA
DHANI SATRIA WIBAWA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Vektor Autoregresi
(VAR) Terhadap Hubungan Antara Produksi Biodiesel Dan Harga Minyak Sawit
Di Indonesia adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, November 2012
Dhani Satria Wibawa
SUMMARY
DHANI SATRIA WIBAWA. Vector Autoregressive (VAR) Analysis on Relation between Biodiesel Production and Palm Oil Price in Indonesia. Under direction of MUHAMAD SYAMSUN and YANDRA ARKEMAN.
Indonesian palm oil industry continues to grow and develop rapidly. Indonesia, which was originally a manufacturer of the world's number two oil palm since 2006 has become the world's largest palm oil producer. According to the Indonesian Palm Oil Board (IPOB) production of Crude Palm Oil (CPO) and Crude Palm Kernel Oil (CPKO) Indonesia in 2010 reached 24.459 million tons or 47.9% of the total production of world’s CPO and CPKO, and in 2011 increased to 26.485 million tons.
Bright prospects for oil industry making it one of Indonesia's main industry. For this bright prospects reason which prompted the government of Indonesia to develop oil palm plantations.
For the last few years oil prices soar and affect the price of fossil fuels. This makes a lot of countries are seeking alternative sources of energy that is renewable bioenergy, including the government of Indonesia. Bioenergy feedstock for biodiesel, which is one of renewable bioenergy, could use palm oil which is produced in Indonesia.
Utilization of palm oil as biodiesel feedstock will lead to increased demand for CPO. Thus the demand for palm oil will increase not only from the demand from the food sector but also from non-food sector. Production of biodiesel tend to respond positively to the CPO price shocks. Response of cooking oil for biodiesel production is positive and tends to increase steadily.
Fluctuations in the price of cooking oil in the long run is more affected by the price of CPO than biodiesel production, but CPO is the main raw material of biodiesel so that when there is an increase in the demand for palm oil, biodiesel production will also increase. Increased demand for palm oil could trigger an increase in CPO prices so that the price of cooking oil will rise. It shows that the price of cooking oil will indirectly influenced by the production of biodiesel.
The increase in cooking oil prices caused by the increase in crude palm oil prices due to the production of biodiesel can be reduced by increasing the supply of CPO either by reduction of exports and the increase in CPO production.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
ANALISIS VEKTOR AUTOREGRESI (VAR) TERHADAP
HUBUNGAN ANTARA PRODUKSI BIODIESEL DAN HARGA
MINYAK SAWIT DI INDONESIA
DHANI SATRIA WIBAWA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Manajemen
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
NIM : H251100141
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Dr Ir Muhammad Syamsun, MSc Dr Ir Yandra Arkeman, MEng Ketua Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Manajemen
Dr Ir Abdul Kohar Irwanto, MSc Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih kepada
pihak-pihak yang telah membantu serta memberikan arahan, bimbingan dan
kerjasamanya dalam pelaksanaan penelitian ini.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr Ir Muhammad
Syamsun dan Bapak Dr Ir Yandra Arkeman selaku pembimbing serta Bapak Dr
Sukiswo Dirdjosuparto dan Bapak Dr Ir Abdul Kohar Irwanto yang telah banyak
memberi saran. Penghargaan juga disampaikan oleh penulis kepada Prof Dr Erliza
Hambali atas kesempatan yang diberikan kepada penulis sehingga bisa
melanjutkan studi di jenjang master dan PT Indocement Tunggal Prakasa atas
beasiswa yang diberikan kepada penulis. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada orangtua, istri, anak-anakku, serta seluruh keluarga, atas doa
dan dukungannya. Tak lupa pula penulis ucapkan terima kasih atas kebersamaan
dari rekan-rekan di Departemen Ilmu Manajemen serta rekan-rekan di Pusat
Penelitian Surfaktan dan Bioenergi (SBRC) serta semua pihak yang tidak bisa
penulis sebutkan satu persatu.
Semoga karya ilmiah ini bisa bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Desember 2012
Penulis dilahirkan di Bojonegoro pada tanggal 1 September 1982 dengan
nama lengkap Dhani Satria Wibawa. Penulis merupakan anak kedua dari tiga
bersaudara dari pasangan Sujono (Alm.) dan Sri Mudjajati Rahaju.
Pendidikan penulis dimulai dari Taman Kanak-Kanak Dharma Wanita tamat
tahun 1989, SD Negeri Kutorejo 1 Tuban tamat pada tahun 1995. Pada tahun
1998 penulis menamatkan pendidikan di SLTP Negeri 3 Tuban kemudian penulis
melanjutkan ke jenjang SMU di SMU Negeri 1 Tuban dan tamat pada tahun 2001.
Pada jenjang pendidikan tinggi, penulis tamat dari Departemen Teknologi Industri
Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada tahun
2008.
Sejak tahun 2006 sampai sekarang, penulis bekerja di Pusat Penelitian
Surfaktan dan Bioenergi, Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2010 penulis
melanjutkan pendidikan Strata-2 pada program Ilmu Manajemen di Sekolah
xix
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL
... xxiDAFTAR GAMBAR
... xxiiiDAFTAR LAMPIRAN
... xxv1. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 6
1.3. Tujuan Penelitian ... 6
1.4. Manfaat Penelitian ... 6
1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 6
2. TINJAUAN PUSTAKA ... 7
2.1. Kelapa Sawit ... 7
2.2. Biodiesel ... 14
2.3. Minyak Goreng ... 20
2.4. Vektor Autoregresi ... 24
2.4.1. Uji Stasioneritas ... 28
2.4.2. Penentuan Panjang Lag Optimal ... 30
2.4.3. Uji Kausalitas Granger ... 31
2.4.4. Uji Kointegrasi ... 33
2.5. Penelitian Terdahulu ... 35
3. METODOLOGI PENELITIAN ... 37
3.1. Kerangka Pemikiran ... 37
3.2. Waktu dan Tempat Penelitian ... 38
3.3. Metode ... 39
3.3.1. Uji Stasioneritas Data ... 39
3.3.2.Model Vector Autoregression (VAR) ... 41
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 43
4.1. HASIL ANALISIS ... 43
4.1.1.Uji stasioneritas Data ... 43
4.1.2.Uji Lag Optimal ... 46
4.1.3.Uji Kausalitas Granger ... 46
xx
4.1.5. Estimasi Vector Error Correction Model (VECM) ... 50
4.1.6. Impuls Response Function (IRF) ... 54
4.1.7. Forecast error Variance Decomposition (FEVD) ... 58
4.2. IMPLIKASI MANAJERIAL ... 62
5. SIMPULAN DAN SARAN ... 65
5.1. Simpulan... 65
xxi
DAFTAR TABEL
No. Halaman
1.1 Negara produsen utama minyak sawit dunia 2005-2010 ... 5
1.2 Volume ekspor CPO Indonesia dan Malaysia 2006-2011 ... 5
2.1 Perkembangan ekspor minyak sawit menurut jenis komoditi, ... 9
2.2 Perbandingan sifat biodiesel dan solar ... 14
2.3 Sifat minyak-lemak nabati kelapa, sawit, kapas dan jarak pagar ... 17
2.4 Enam produsen biodiesel terbesar di Indonesia... 19
2.5 Pelaku usaha terbesar industri refinery/minyak goreng di ... 21
2.6 Tinjauan penelitian terdahulu ... 35
4.1 Hasil uji stasioneritas pada level... 45
4.2 Hasil uji stasioneritas pada pembedaan pertama ... 45
4.3 Hasil uji lag optimal... 46
4.4 Hasil uji kointegrasi ... 50
4.5 Hasil estimasi VECM ... 51
4.6 Dekomposisi varian untuk variabel HCPO... 58
4.7 Dekomposisi varian untuk variabel PBIO ... 59
4.8 Dekomposisi varian untuk variabel HTBS ... 60
4.9 Dekomposisi varian untuk variabel HMGO ... 61
xxiii
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
1.1 Perkembangan harga minyak mentah dunia (basis data CEIC) ... 1
1.2 Bauran energi tahun 2006 dan proyeksi tahun 2025 (Kementerian ESDM) ... 2
1.3 Persentase konsumsi energi akhir menurut sumber energi ... 3
2.1 Kelapa sawit Afrika (Elaeis guineensis), ... 8
2.2 Tumpukan tandan buah kosong di kebun kelapa sawit ... 11
2.3 Tumpukan pelepah sawit di kebun kelapa sawit (Sumber: ... 11
2.4 Pohon industri hilir kelapa sawit (Industri Hilir Kelapa Sawit Indonesia, Kemenperin 2011) ... 12
2.5 Neraca massa pengolahan kelapa sawit ... 13
2.6 Reaksi Transesterifikasi ... 15
2.7 Diagram alir proses pembuatan biodiesel satu tahap ... 16
2.8 Produksi biodiesel Indonesia... 19
2.9 Grafik perkembangan produksi minyak goreng Indonesia ... 23
3.1 Bagan alir teknik dan uji statistik ... 38
4.1 Grafik untuk variabel PBIO dan HCPO ... 44
4.2 Grafik untuk variabel HTBS dan HMGO ... 44
4.3 Visualisasi uji kausalitas Granger ... 48
4.4 Respon HCPO terhadap guncangan variabel lainnya ... 55
4.5 Respon PBIO terhadap guncangan variabel lainnya ... 56
4.6 Respon HMGO terhadap guncangan variabel lainnya ... 57
xxv
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman
1.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Beberapa tahun terakhir ini Indonesia mulai mengalami perubahan,
dari yang semula sebagai negara pengekspor bahan bakar minyak (BBM)
menjadi negara pengimpor minyak. Sebagai negara importir minyak,
Indonesia menjadi lebih rentan ketahanan energinya karena pasokan BBM
sangat tergantung dari luar negeri. Kerentanan ini menjadi semakin terlihat
ketika harga minyak bumi dunia tidak stabil dan mengalami peningkatan.
Pada awal tahun 2009 harga minyak dunia masih berkisar di angka US$ 40
per barel tetapi pada awal tahun 2010 harga minyak bumi dunia naik
menjadi sekitar US$ 70 per barel. Harga ini ternyata masih terus naik, pada
awal tahun 2010 harga minyak dunia ini bahkan menembus angka US$ 100
per barel. Kenaikan harga minyak ini akan berdampak pada devisa negara.
Pengeluaran devisa untuk impor dan subsidi BBM meningkat, akibatnya
harga BBM dalam negeri juga ikut meningkat. Perkembangan harga minyak
mentah dunia dalam tiga tahun terakhir yang diakses dari basis data CEIC
dapat dilihat pada Gambar 1.1 berikut.
Gambar 1.1 Perkembangan harga minyak mentah dunia (basis data CEIC)
Untuk mengantisipasi ketergantungan terhadap bahan bakar impor,
pemerintah Indonesia kemudian mengembangkan energi alternatif sebagai
0,00 50,00 100,00 150,00
1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11
2009 2010 2011
US
$
/
b
ar
e
l
Tahun
pengganti bahan bakar minyak fosil. Pengembangan energi alternatif di
Indonesia sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 2006. Pada tahun 2006 ini
Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Presiden Republik
Indonesia No. 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Pada
peraturan ini Pemerintah menargetkan bauran energi nasional pada tahun
2025 porsi minyak bumi turun dari sekitar 50% pada tahun 2006 menjadi
sekitar 20% pada tahun 2025 dan porsi energi baru terbarukan (EBT)
diharapkan mencapai 17%. Gambar 1.2 menunjukkan bauran energi (energy
mix) pada tahun 2006 dan bauran energi pada Perpres No 5/2006 yang
menunjukkan proyeksi bauran energi pada tahun 2025 seperti yang
dijelaskan oleh Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral.
Gambar 1.2 Bauran energi tahun 2006 dan proyeksi tahun 2025 (Kementerian ESDM)
Pemerintah fokus terhadap pengurangan pemakaian bahan bakar
minyak karena konsumsi bahan bakar minyak di Indonesia mencapai 50%
dari konsumsi energi nasional. Pengurangan konsumsi BBM ini diharapkan
dapat mengurangi ketergantungan terhadap BBM yang harganya terus
Dengan memgurangi ketergantungan terhadap BBM maka diharapkan
keamanan pasokan energi nasional akan meningkat dan pada akhirnya akan
meningkatkan keamanan energi nasional. Persentase konsumsi energi
nasional pada tahun 2010 seperti yang terdapat pada Neraca Energi
Indonesia 2006-2010 dapat dilihat pada Gambar 1.3 berikut.
Gambar 1.3 Persentase konsumsi energi akhir menurut sumber energi tahun 2010 (Neraca Energi Indonesia 2006-2010, diolah)
Indonesia sebagai negara agraris dan memiliki lahan yang cukup luas
berpotensi untuk mengembangkan bioenergi. Bioenergi, khususnya biofuel
dapat dibuat dengan bahan baku yang terdapat di Indonesia seperti kelapa
sawit, sagu, kelapa, ubi kayu, jarak pagar, tebu, maupun jagung.
Salah satu biofuel yang dikembangkan di Indonesia adalah biodiesel.
Biodiesel adalah bioenergi atau bahan bakar nabati yang dibuat dari minyak
nabati, baik baru maupun bekas penggorengan dan melalui proses
transesterifikasi, esterifikasi, atau proses esterifikasi-transesterifikasi
(Hambali 2007). Menurut Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI),
Indonesia sebetulnya memproduksi dua jenis biofuel yaitu bioetanol dan
biodiesel. Pada tahun 2008 bioetanol dan biodiesel dikembangkan sebagai
tahun 2010 karena terkendala persediaan bahan baku. Dilain pihak biodiesel
tetap bertahan sampai sekarang.
Menurut Aun 2006, tanaman penghasil minyak di Indonesia
diantaranya adalah kelapa sawit, kelapa, dan jarak pagar. Diantara ketiga
tanaman tersebut kelapa sawit memiliki produktivitas yang paling tinggi,
yaitu sekitar 5.950 Liter Minyak/Ha/Thn sedangkan kelapa dan jarak pagar
produktivitasnya masing-masing sekitar 2.689 Liter Minyak/Ha/Thn dan
1.892 Liter Minyak/Ha/Thn. Bila dibandingkan dengan tanaman penghasil
minyak lainnyapun kelapa sawit masih tetap yang paling tinggi
produktivitasnya.
Indonesia merupakan negara produsen dan pengekspor kelapa sawit
kedua terbesar setelah Malaysia sampai dengan tahun 2005. Di tahun 2006
Indonesia berhasil menjadi negara produsen minyak sawit nomor satu di
dunia. Produksi CPO (Crude Palm Oil) Indonesia pada tahun 2006 sebesar
16.050 ribu ton, sedangkan total produksi CPO Malaysia sebesar 15.881
ribu ton. Walaupun menempati peringkat sebagai negara produsen CPO
terbesar dunia namun untuk kegiatan ekspor CPO, Indonesia masih kalah
dengan Malaysia. Data volume ekspor tahun 2006 hingga 2011
memperlihatkan bahwa Malaysia masih menempati peringkat pertama
didunia untuk ekspor CPO (Tabel 1.1 dan Tabel 1.2).
Produktivitas kelapa sawit yang cukup tinggi dengan biaya produksi
yang relative lebih rendah dari tanaman penghasil minyak lainnya membuat
kelapa sawit menjadi primadona di Indonesia. Prospek cerah industri sawit
membuatnya menjadi salah satu industri unggulan Indonesia. Prospek cerah
ini pulalah yang mendorong pemerintah Indonesia untuk mengembangkan
perkebunan kelapa sawit secara besar-besaran.
Beberapa tahun terakhir harga minyak mentah melambung tinggi dan
mempengaruhi harga bahan bakar fosil. Hal ini membuat banyak negara
mencari sumber energi alternatif terbarukan yaitu bioenergi, termasuk pula
pemerintah Indonesia. Bahan baku bioenergi, dimana salah satunya
biodiesel, bisa menggunakan minyak sawit yang banyak diproduksi di
Tabel 1.1 Negara produsen utama minyak sawit dunia 2005-2010 (000 Ton)
Negara 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Indonesia 14.070 16.050 16.800 19.200 21.000 21.800
Malaysia 14.962 15.881 15.823 17.735 17.566 17.320
Thailand 680 860 1.020 1.300 1.310 1.500
Nigeria 800 815 835 830 870 885
Kolombia 661 713 780 778 802 770
Ekuador 319 345 385 418 448 435
Lainnya 2.559 2.478 2.905 3.045 3.107 3.204
TOTAL 33.732 37.142 38.163 43.306 45.102 45.914
Sumber : BPS, Statistik Kelapa Sawit Indonesia, 2011.
Tabel 1.2 Volume ekspor CPO Indonesia dan Malaysia 2006-2011
(000 Ton)
Negara 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Indonesia 10.471,92 11.875,42 14.290,69 16.829,21 16.291,86 16.436,20
Malaysia 14.416,02 13.734,75 15.412,51 15.880,74 16.664,07 17.993,27
Sumber : MPOB, BPS, Statistik Perkebunan Indonesia 2010-2012, diolah.
Pemanfaatan minyak sawit sebagai bahan baku biodiesel ini oleh
banyak pihak dianggap akan meningkatkan permintaan akan CPO. Dengan
demikian permintaan CPO akan meningkat tidak hanya dari permintaan dari
sektor pangan tetapi juga dari sektor non pangan. Perubahan permintaan ini
kemudian akan mengakibatkan perubahan terhadap harga CPO. Perubahan
harga CPO terutama kenaikan harga CPO ini pada akhirnya dikhawatirkan
akan meningkatkan pula harga minyak goreng sawit. Pada akhirnya
penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh produksi biodiesel
1.2. Perumusan Masalah
Biodiesel minyak sawit sangat prospektif untuk dikembangkan karena
ketersediaan bahan baku yang melimpah. Tetapi penggunaan minyak sawit
sebagai bahan baku biodiesel juga memicu perubahan harga minyak sawit
dan pada akhirnya akan memicu perubahan harga minyak goreng sawit.
Perubahan harga minyak sawit akibat produksi biodiesel bisa terjadi melalui
berbagai faktor yang mempengaruhi. Teknik analisis vektor autoregresi ini
akan digunakan untuk menguji hubungan produksi biodiesel terhadap harga
minyak sawit dan juga terhadap harga minyak goreng sawit.
1.3. Tujuan Penelitian
Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji:
1. Pengaruh produksi biodiesel terhadap harga minyak sawit.
2. Pengaruh harga minyak sawit terhadap produksi biodiesel.
3. Hubungan produksi biodiesel, harga minyak sawit, dan harga minyak
goreng sawit.
4. Model persamaan hubungan produksi biodiesel, harga minyak sawit,
dan harga minyak goreng sawit.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapakan dapat memberikan manfaat dan kontribusi:
1. Bagi penulis, dapat menerapkan ilmu pengetahuan yang didapatkan dari
perkuliahan dan dapat menerapkannya dilapangan.
2. Bagi masyarakat secara umum, dapat menjadi referensi jika ingin
melakukan penelitian yang serupa.
3. Bagi pemerintah, dapat menjadi salah satu pertimbangan dalam
pengambilan keputusan.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini yaitu analisis hubungan antara
produksi biodiesel, harga minyak sawit dan harga minyak goreng di
Indonesia. Analisis menggunakan metode vektor autoregresi (VAR). Data
yang dibutuhkan berupa data sekunder mengenai produksi biodiesel, harga
2.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kelapa Sawit
Kelapa sawit merupakan sumber bahan baku penghasil minyak paling
efisien bila dibandingkan dengan tanaman penghasil minyak nabati lainnya.
Secara garis besar, buah kelapa sawit terdiri dari daging buah yang dapat
diolah menjadi minyak sawit kasar atau CPO (crude palm oil) dan inti
(kernel) yang dapat diolah mejadi minyak inti sawit atau PKO (palm kernel
oil).
Kelapa sawit berbentuk pohon dengan tinggi bisa mencapai 24 meter.
Akar kelapa sawit berbentuk serabut yang mengarah ke bawah dan
kesamping. Selain itu kelapa sawit juga memiliki akar napas yang tumbuh
ke samping atas untuk mendapatkan aerasi tambahan.
Kelapa sawit mirip dengan jenis palem-paleman lainnya. Daun kelapa
sawit tersusun secara majemuk menyirip. Batang tanaman muda diselimuti
bekas pelepah tetapi setelah tanaman menua maka bekas pelepah tersebut
akan mengering dan terlepas sehingga penampakannya akan mirip dengan
kelapa.
Bunga jantan dan betina dari kelapa sawit terpisah tetapi masih berada
dalam satu pohon. Walaupun berada dalam satu pohon tetapi sangat jarang
terjadi penyerbukan sendiri, hal ini karena waktu pematangan bunga jantan
dan betina berbeda. Penampakan fisik bunga jantan berbentuk panjang dan
agak lancip sedangkan bunga betina terlihat lebih besar.
Dalam memudahkan identifikasi tanaman secara ilmiah maka setiap
tanaman diberikan nama ilmiah (latin) sendiri-sendiri. Tanaman kelapa
sawit dalam dunia tumbuhan diklasifikasikan sebagai berikut (Pahan 2006).
Divisi : Embryophyta siphonagama
Kelas : Angiospermae
Ordo : Monocotyledonae
Famili : Arecaceae
Subfamili : Cocoideae
Spesies : 1. E. guineensis Jacq.
2. E. oleifera (H.B.K.) Cortes
3. E. odora
Warna buah sawit umumnya jingga tetapi ada juga yang berwarna
hitam, ungu, hingga merah. Buahnya berkelompok dalam tandan yang
muncul dari pelepah. Penampakan kelapa sawit dapat dilihat seperti Gambar
2.1 berikut.
Gambar 2.1 Kelapa sawit Afrika (Elaeis guineensis), (Koehler’s Medicinal Plants, 1887)
Kelapa sawit merupakan tanaman tropis yang termasuk ke dalam
kelompok tanaman tahunan. Kelapa sawit yang dikenal adalah jenis Dura,
Psifera dan Tenera. Ketiga jenis ini dapat dibedakan berdasarkan
penampang irisan buah. Jenis Dura memiliki tempurung yang tebal, jenis
merupakan hasil persilangan Dura dengan Psifera menghasilkan buah
tempurung tipis dan inti yang besar (PPKS Medan, 2004).
Kelapa sawit memiliki peran yang besar dalam perekonomian
Indonesia. Pertama, minyak kelapa sawit merupakan bahan baku utama
minyak goreng, sehingga pasokan yang kontinu ikut menjaga kestabilan
harga minyak dari minyak goreng tersebut. Hal ini penting sebab minyak
goreng merupakan salah satu dari sembilan bahan kebutuhan pokok
masyarakat. Kedua, sebagai salah satu komoditi pertanian andalan ekspor
non migas yang memiliki prospek yang cerah dalam perolehan devisa.
Ketiga, dalam proses produksi maupun pengolahannya juga menciptakan
kesempatan kerja dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat
khususnya petani. Keempat, membantu pengembangan wilayah dan
memperkecil ketimpangan pertumbuhan ekonomi antar wilayah. Karena
perannya itulah kelapa sawit terus dikembangkan di Indonesia.
Perkembangan ekspor minyak sawit mentah (CPO) Indonesia pada periode
[image:33.595.121.508.477.624.2]2006-2010 cenderung meningkat, seperti terlihat pada Tabel 2.1 berikut.
Tabel 2.1 Perkembangan ekspor minyak sawit menurut jenis komoditi, 2005 - 2010
Jenis komoditi
Berat Bersih (Ton) Nilai FOB (000 US $)
Crude Palm Oil Other Palm Oil Total Crude Palm Oil Crude Palm Oil Other Palm Oil Total Crude Palm Oil
2005 4.565.625 5.810.565 10.376.190 1.593.295 2.162.988 3.756.283
2006 5.199.287 6.901.634 12.100.921 1.993.667 2.823.975 4.817.642
2007 5.701.286 6.174.132 11.875.418 3.738.652 4.129.988 7.868.640
2008 7.904.179 6.386.507 14.290.686 6.561.330 5.814.239 12.375.569
2009 9.566.746 7.262.460 16.829.206 5.702.126 4.665.495 10.367.621
2010 9.444.170 6.847.686 16.291.856 7.649.966 5.819.000 13.468.966 Sumber: Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2010, diolah
Ekspor minyak sawit Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke
tahun, dari sekitar 10 juta ton pada tahun 2005 hingga mencapai lebih dari
16 juta ton pada tahun 2010. Hal ini berarti rata-rata pertumbuhan ekspor
persen. Jika dilihat dari nilainya, ekspor CPO juga mengalami peningkatan.
Pada tahun 2005 nilai ekspornya baru mencapai US$ 3.756,3 juta,
sedangkan pada tahun 2010 sudah meningkat menjadi US$ 13.468,9 juta
dengan demikian laju pertumbuhannya adalah sebesar 20,18 persen.
Seperti yang telah diketahui bahwa produk kelapa sawit dapat
dikelompokan dalam jenis bahan makanan, bahan non makanan, bahan
kosmetika, dan farmasi. Minyak kelapa sawit dan inti kelapa sawit yang
digunakan sebagai bahan pangan diperoleh melalui proses fraksinasi,
rafinasi, dan hidrogenasi. Gambar 2.4 merupakan gambar pohon industri
kelapa sawit yang menunjukkan setiap bagian dari kelapa sawit yang
memiliki nilai ekonomi.
Tandan buah segar kelapa sawit terbagi menjadi 3 (tiga) bagian yaitu
buah, tandan kosong, dan sludge (kotoran). Empat bagian utama dari buah
kelapa sawit, yaitu daging, biji, tempurung, dan serat dapat diolah menjadi
berbagai produk turunan kelapa sawit. Kelapa sawit menghasilkan dua
macam minyak yang sangat berlainan sifatnya, yaitu minyak yang berasal
dari sabut (mesocarp) dan minyak yang berasal dari biji (kernel). Minyak
kelapa sawit yang dihasilkan dari sabut dikenal dengan minya sawit kasar
atau crude palm oil (CPO) dan minyak kelapa sawit yang dihasilkan dari
inti (biji) sawit disebut dengan minyak inti sawit atau palm kernel oil
(PKO).
Selain minyak, buah kelapa sawit juga menghasilkan bahan padatan
berupa sabut, cangkang (tempurung) dan tandan buah kosong kelapa sawit.
Bahan padatan ini dapat dimanfaatkan untuk sumber energi, pupuk,
makanan ternak, dan bahan untuk industri. Pemanfaatan bahan padatan atau
biomasa sawit di kebun sawit terutama adalah untuk menjaga kesuburan
tanah dan untuk mengurangi pemakaian pupuk kimia. Gambar 2.2 dan
Gambar 2.3 menunjukkan tumpukan tandan kosong kelapa sawit dan
pelepah sawit di kebun kelapa sawit.
Dari segi pemanfaatannya, kelapa sawit dapat diolah menjadi berbagai
produk. Saat ini, industri hilir kelapa sawit telah mampu mengolah mulai
sangat ekonomis karena memiliki berbagai kegunaan baik untuk industri
pangan maupun industri non pangan. Namun, perkembangan produk kelapa
sawit lebih cenderung ke arah perkembangan produk pangan (sekitar 90
persen) dan sisanya ke arah produk-produk non pangan atau produk
oleokimia (sekitar 10 persen). Dalam hal pangan, sebagian besar minyak
sawit digunakan untuk pembuatan minyak goreng dan sebagian untuk
[image:35.595.187.459.508.710.2]pembuatan margarin (Hariyadi et al. 2003).
Gambar 2.2 Tumpukan tandan buah kosong di kebun kelapa sawit (Sumber: dokumen pribadi)
12
Gambar 2.4 Pohon industri hilir kelapa sawit (Industri Hilir Kelapa Sawit Indonesia, Kemenperin 2011) MINYAK SAWIT MENTAH
(MSM)
MINYAK SAWIT KASAR (CPO)
MINYAK INTI SAWIT (PKO)
OLEIN ASAM AMINO PFAD Vit. A, E KAROTEN PROTEIN SEL
TUNGGAL STEARIN
TRIGLISERIDA, DIGLISERIDA, MONOGLISERIDA
ES KRIM LIPASE SOAP
CHIP ASAM LEMAK
MINYAK GORENG SHORTENING METIL ESTER SABUN CUCI METIL ESTER FAT POWDER COCOA BUTTER SUBSTITUTE (CBS) SURFAKTAN BIODIESEL CONFECTIONERIES MARGARIN KOSMETIKA SHORTENING SABUN VEGETABLE GHEE VANASPATI COCOA BUTTER SUBSTITUTE (CBS)
ESTER ASAM LEMAK: METALIC SALT: FATTY AMINES : OXYGENATED
FATTY ACID / ESTER :
FATTY ALCOHOL FATTY ACID AMIDES: GLYCEROL FOOD EMULSIFIER
PALMITAT/PROPAND
STEARAT
OLEAT/GLYCOL PROPYLENE GLYCOL
OLEAT / Ba
PALMITAT STEARAT / Ca, Zn
STEARAT / Ca, Mg
STEARAT / Al, Li
OLEAT / Zn, Pb
POLYETHOXYLATE DERIVATIVES: PALMITAT/ETHYLENE PROPYLENE OXIDE STEARAT/ETHYLENE PROPYLENE OXIDE
OLEIC ACID DIMER ETHYLENE PROPYLENE OXIDE
SECONDARY C16 & C18 / ETHOXYLATED
BETAIN
C16 & C16 / ETHOXYLATED
EPOXY STEARIC / OCTANOL ESTER
EPTHIO STEARIN MONO & POLYHYDRIC ALCOHOL
ESTER METIL ESTER SULFONAT
C16 & C18 ALCOHOL / SULPHATED
C16 & C18 ALCOHOL / ESTERIFIED WITH HIGHER
SATURATED FATTY ACID
C16 & C16 ALCOHOL / ETHOXYLATION MONOGLISERIDA ETHOXYLATION STEARAMIDE ALKANOLAMIDES SULPHATED ALCANOLAMIDE OF PALMITAT, STAERIC &
OLEIC ACIDS
OLEAMIDE
SUDAH DI PRODUKSI DI INDONESIA
BELUM DI PRODUKSI DI INDONESIA
Minyak kelapa sawit kasar (Crude Palm Oil, CPO) merupakan hasil
olahan buah kelapa sawit melalui proses perebusan Tandan Buah Segar
(TBS), perontokan, dan pengepresan. CPO ini diperoleh dari bagian
mesocarp buah kelapa sawit yang telah mengalami beberapa proses, yaitu
sterilisasi, pengepresan, dan klarifikasi. Minyak ini merupakan produk level
pertama yang dapat memberikan nilai tambah sekitar 30% dari nilai tandan
buah segar. Minyak inti sawit atau Palm Kernel Oil (PKO) diperoleh dari
bagian inti buah kelapa sawit dengan cara pengepresan. Komponen asam
lemak terbesar penyusun PKO adalah asam laurat. Minyak inti sawit (PKO)
memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan minyak sawit (CPO).
Minyak inti sawit memiliki kandungan asam laurat yang sangat tinggi
dengan titik leleh yang tinggi, sedangkan minyak sawit didominasi oleh
asam palmitat dengan kisaran antara titik leleh dengan titik lunak (softening
point) yang sangat jauh (O’Brien 2000).
Proses pengolahan lebih lanjut pada CPO dan PKO tersebut dapat
meningkatkan nilai tambah produk dan memberi kesempatan kerja yang
lebih besar bagi rakyat Indonesia. Secara umum neraca massa pengolahan
[image:37.595.110.510.484.719.2]kelapa sawit disajikan pada Gambar 2.5.
Saat ini pasokan bahan baku minyak sawit cukup melimpah, karena
perkebunan kelapa sawit sudah cukup lama diusahakan dalam skala besar
dan berkembang dengan baik. Pengembangan tetap perlu dilakukan karena
selama ini minyak sawit banyak digunakan sebagai bahan baku industri,
baik industri pangan (minyak goreng) maupun non pangan (oleokimia).
Penggunaan minyak sawit sebagai bahan baku biodiesel tentunya
mempertegas hal tersebut. Harapannya, konsumsi minyak sawit untuk
biodiesel tidak akan mengganggu ketersediaan minyak sawit untuk pangan
dan oleokimia pada masa yang akan datang.
2.2. Biodiesel
Biodiesel adalah bahan bakar alternatif terbarukan yang dapat
dihasilkan dari minyak nabati maupun lemak hewani (Ma dan Hanna 2001).
Karakteristik minyak nabati tidak memungkinkan penggunaannya secara
langsung sebagai bahan bakar sehingga diperlukan suatu proses untuk
mengubah minyak nabati menjadi bahan bakar (Korus et al. 2000), dimana
salah satu contohnya adalah biodiesel. Biodiesel memiliki sifat menyerupai
minyak diesel (solar) sebagaimana disajikan pada Tabel 2.2 berikut.
Tabel 2.2 Perbandingan sifat biodiesel dan solar
No Sifat Fisiko-kimia Biodiesel Solar
1 Komposisi Metil ester dari asam lemak
Hidrokarbon
2 Massa jenis (mg/ml) 0,8624 0,8750
3 Viskositas kinematik pada 40oC, mm2/s (cSt)
5,55 4,0
4 Titik kilat (oC) 172 98
5 Angka setana 62,4 53
6 Kadar air (%) 0,1 0,3
7 Tenaga mesin yang dihasilkan
128.000 BTU 130.000 BTU
8 Putaran mesin Sama Sama
9 Pelumasan Lebih tinggi Lebih rendah
10 Emisi CO, jumlah
hidrokarbon, SO2 dan nitro oksida
CO, jumlah
(Biodiesel)
Lanjutan Tabel 2.2
No Sifat Fisiko-kimia Biodiesel Solar
Lebih rendah
11 Handling Kurang mudah
terbakar
Lebih mudah terbakar
12 Lingkungan Toksisitas rendah Toksisitas 10 kali lebih tinggi
Sumber : Gafar (2001) dalam Mariana (2005).
Pada prinsipnya, proses pembuatan biodiesel sangat sederhana.
Biodiesel dihasilkan melalui proses transesterifikasi minyak atau lemak
dengan alkohol. Alkohol akan menggantikan gugus alkohol pada struktur
ester minyak dengan dibantu oleh katalis. NaOH dan KOH adalah katalis
yang umum digunakan.
Minyak/lemak + metanol/etanol metil ester/etil ester + gliserin
Proses transesterifikasi bertujuan untuk menurunkan viskositas
(kekentalan) minyak, sehingga mendekati nilai viskositas minyak diesel.
Nilai viskositas yang tinggi akan menyulitkan pemompaan/pemasukan
bahan bakar dari tangki ke ruang bahan bakar mesin dan menyebabkan
atomisasi lebih sulit terjadi, hal ini mengakibatkan pembakaran yang kurang
sempurna dan akan menimbulkan endapan pada nosel. Proses atau reaksi
transesterifikasi ini bisa dilihat pada Gambar 2.6 sedangkan diagram alir
proses pembuatan biodiesel satu tahap (transesterifikasi) bisa dilihat pada
Gambar 2.7.
Gambar 2.7 Diagram alir proses pembuatan biodiesel satu tahap transesterifikasi (Hambali et al. 2010)
Biodiesel dapat dibuat dari minyak nabati, lemak binatang, dan
ganggang. Pemanfaatan minyak nabati sebagai bahan baku biodiesel
memiliki beberapa kelebihan, diantaranya sumber minyak nabati mudah
diperoleh, proses pembuatan biodiesel dari minyak nabati mudah dan cepat,
serta tingkat konversi minyak nabati menjadi biodiesel tinggi (mencapai
95%). Minyak nabati memiliki komposisi asam lemak berbeda-beda
tergantung dari jenis tanamannya. Zat-zat penyusun utama minyak-lemak
(nabati maupun hewani) adalah trigliserida, yaitu trimester gliserol dengan
asam-asam lemak (C8-C24). Komposisi asam lemak dalam minyak nabati Recovery
Metanol
Recovery Metanol Bahan baku
dengan kadar FFA <5%
Pemanasan
Transesterifikasi
KOH Metanol
Pencampuran
Separasi
Gliserol Crude Biodiesel
Kasar
Sludge
Purifikasi Purifikasi
Biodiesel
akan menentukan sifat fisiko-kimia minyak. Sifat minyak-lemak nabati dari
kelapa, sawit, kapas dan jarak pagar dapat dilihat pada Tabel 2.3 berikut.
Tabel 2.3 Sifat minyak-lemak nabati kelapa, sawit, kapas dan jarak pagar
Minyak Massa
jenis, (20°C, Kg/Liter) Viskositas kinematika (20°C, cSt) DHc, MJ/Kg Angka Setana Titik awan/ kabut, °C Titik tuang, °C
Kelapa 0,915 30 37,10 40-42 28 23-26
Sawit 0,915 60 36,90 38-40 31 23-40
Kapas 0,921 73 36,80 35-50 -1 2
Jarak
pagar
0,920 77 38,00 23-41 2 -3
Sumber : Vaitilingom et al. 1997
Biodiesel juga merupakan salah satu sumber energi yang terbarukan,
biodegradable, serta mempunyai beberapa keuntungan apabila
dibandingkan dengan petroleum diesel. Kandungan sulfur dan karbon pada
biodiesel relatif rendah sehingga penggunaan biodiesel dapat mengurangi
karbonmonoksida dan sulfur pada emisinya. Artinya, biodiesel sawit yang
berasal dari bahan baku yang dapat diperbarui ini akan mereduksi efek gas
rumah kaca dan pemanasan global sehingga lebih ramah terhadap
lingkungan.
Biodiesel dapat digunakan langsung sebagai bahan bakar pada mesin
diesel tanpa adanya modifikasi mesin atau dalam bentuk campuran dengan
petroleum diesel pada berbagai konsentrasi dari 5 persen sampai 50 persen.
Karena sifatnya yang biodegradable, biodiesel sangat cocok untuk
digunakan di perairan sebagai bahan bakar kapal atau perahu, baik untuk
komersial maupun rekreasi. Aplikasi lainnya adalah bahan bakar bus dan
Biodiesel dapat digunakan dalam bentuk murni atau dicampur dalam
berbagai rasio dengan petrodiesel. Campuran paling umum adalah 20 bagian
biodiesel : 80 bagian petrodiesel atau sering disebut B20. Semakin banyak
jumlah biodiesel dalam campuran, maka emisi gas buang yang dihasilkan
semakin baik. Penggunaan minyak sawit secara langsung untuk
menggantikan solar tidak disarankan karena dapat menghasilkan senyawa
plastis semi padat dari gliserin yang bisa mengganggu kerja mesin. Selama
pembakaran, minyak sawit akan terurai menjadi asam lemak dan gliserin
yang selanjutnya berubah menjadi senyawa plastis dan membentuk deposit
yang bisa mengganggu kerja pompa injector. Guna menghilangkan
gangguan mesin ini, minyak sawit dikonversi terlebih dahulu menjadi metil
ester atau biodiesel. Proses konversi bisa dilakukan lewat transesterifikasi
minyak sawit dengan metanol sehingga dihasilkan gliserin dan metil ester
seperti yang sudah dijelaskan. Metil ester ini kemudian dipisahkan dan
dicuci untuk menjadi biodiesel yang siap digunakan. Produk samping dari
proses ini, yaitu gliserin merupakan bahan baku industri yang sangat luas
penggunaannya, mulai dari bahan kosmetika, sabun hingga farmasi dan
obat.
Menurut Kementerian Perindustrian, sampai tahun 2011 terdapat
sekitar dua puluh perusahan yang memproduksi biodiesel. Diantara
produsen-produsen biodiesel tersebut yaitu PT Wilmar Bioenergi Indonesia
(PT WBI) merupakan produsen terbesar di Indonesia. Kapasitas terpasang
PT WBI mencapai satu juta ton/tahun sedangkan kapasitas terpasang dari
produsen terbesar kedua yaitu PT Cemerlang Energi Perkasa (PT CEP)
mencapai 400 ribu ton/tahun. Beberapa diantara produsen biodiesel yang
memiliki kapasitas terbesar dapat dilihat pada Tabel 2.4. Menurut data dari
PT Pertamina dan Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI), sampai
dengan tahun 2011 kapasitas produksi biodiesel Indonesia mencapai 4,28
juta kiloliter sedangkan produksi aktualnya hanya sekitar 1,73 juta kiloliter.
Dengan demikian rasio produksi aktual dibandingkan dengan potensinya
hanya 0,4 atau dengan kata lain produksi biodiesel Indonesia baru 40% dari
Tabel 2.4 Enam produsen biodiesel terbesar di Indonesia
No Nama Perusahaan Lokasi Kapasitas (ton/Tahun) 1 PT Wilmar Bio Energi Indonesia Dumai 1.050.000 2 PT Cemerlang Energi Perkasa Dumai, Riau 400.000 3 Musim Mas Group Kab Deli Serdang 70.000 Batam 350.000 4 PT Pelita Agung Agrindustri Bengkalis, Riau 200.000 5 PT Darmex Biofuel Bekasi 150.000 6 PT Petro Andalan Nusantara Dumai 150.000 Sumber: Industri Hilir Kelapa Sawit Indonesia, Kementerian Perindustrian.
Produksi biodiesel Indonesia mayoritas ternyata untuk pasar ekspor.
Hal ini terlihat dari data yang ada dari PT Pertamina dan Kementerian
Energi dan Sumberdaya Mineral yang menunjukkan bahwa pada tahun 2011
pemanfaatan biodiesel dalam negeri hanya sekitar 350 ribu kiloliter
sedangkan ekspornya mencapai 1,3 juta kiloliter. Hal ini berarti biodiesel
untuk ekspor mencapai hampir 80% dari total produksi biodiesel nasional.
Perkembangan produksi biodiesel Indonesia dapat dilihat pada Gambar 2.8
berikut.
Gambar 2.8 Produksi biodiesel Indonesia
0 500.000 1.000.000 1.500.000
2009
2010
2011
KL
Tahun
Produksi Biodiesel Indonesia
2.3. Minyak Goreng
Minyak goreng merupakan salah satu bahan makanan pokok yang
dikonsumsi oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia, baik yang berada di
pedesaan maupun di perkotaan. Oleh karena itu, minyak goreng dapat pula
dikategorikan sebagai komoditas yang cukup strategis, karena pengalaman
selama ini menunjukkan bahwa kelangkaan minyak goreng dapat
menimbulkan dampak ekonomis dan politis yang cukup berarti bagi
perekonomian nasional.
Minyak goreng yang dikonsumsi masyarakat, pada masa sebelum orde
baru dan sampai pada awal pembangunan jangka panjang (PJP) I,
didominasi oleh jenis minyak goreng asal kelapa. Semenjak semakin
meningkatnya produksi kelapa sawit pada tahun 1970-an, minyak goreng
yang berasal kelapa tergeser oleh minyak goreng yang berasal dari kelapa
sawit. Dibandingkan dengan minyak kelapa sawit, minyak kelapa
mengandung lemak jenuh dalam jumlah yang relatif tinggi. Rendahnya
lemak jenuh dalam minyak sawit dikarenakan produksi minyak sawit yang
melalui proses pemanasan dan pengepresan.
Pengembangan industri hilir perlu dilakukan agar nilai tambah kelapa
sawit ini dapat dinikmati di dalam negeri. Salah satu industri hilir yang
menggunakan minyak kelapa sawit ini adalah industri minyak goreng.
Industri minyak goreng merupakan konsumen terbesar dari minyak kelapa
sawit (CPO) nasional.
Menurut data dari Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia
(GIMNI), kapasitas terpasang industri minyak goreng Indonesia mencapai
15,4 juta ton. Di Indonesia, ada sekitar 31 pelaku usaha skala besar di
industri minyak goreng dan mayoritas berlokasi di daerah Sumatera Utara.
Daftar pelaku usaha terbesar industri refinery/minyak goreng di Indonesia
Tabel 2.5 Pelaku usaha terbesar industri refinery/minyak goreng di Indonesia
No Nama Perusahaan Lokasi Kapasitas
Terpasang Ton/Tahun 1 PT. Agrindo Indah Persada Medan - Sumut 120.000 2 PT. Agro Makmur Raya Medan - Sumut 300.000 3 PT. Berlian Eka Sakti
Tangguh
Medan - Sumut 225.000
4 PT. Bintang Tenera Medan - Sumut 30.000 5 PT. Wilmar Nabati Indonesia Medan - Sumut 1.800.000
6 PT. Indah Pontjan Medan - Sumut 90.000
7 PT. Indo Karya Internusa Medan - Sumut 300.000 8 PT. Intibenua Perkasatama Medan - Sumut 780.000
9 PT. Musim Mas Medan - Sumut 750.000
10 PT. Nagamas Palmoil Lestari Medan - Sumut 780.000
11 PT. Nubika Jaya Medan - Sumut 300.000
12 PT. Pacific Palmindo Industri
Medan - Sumut 420.000
13 PT. Permata Hijau Sawit Medan - Sumut 180.000 14 PT. Socfin Indonesia Medan - Sumut 99.000
15 PT. Smart Tbk Medan - Sumut 120.000
16 PT. Mitra Perkasa Palm Oil Medan - Sumut 120.000 17 PT. Multimas Nabati Asahan Asahan - Sumut 750.000 18 PT. Sawit Asahan Tetap
Utuh
Asahan - Sumut 15.000
19 PT. Pamina Adolina Pebaungan – Sumut 90.000 20 PT. Incasi Raya Padang - Sumbar 300.000 21 PT. Sari Dumai Sejati Dumai - Riau 450.000 22 PT. Sinar Alam Permai Palembang - Sumsel 900.000 23 PT. Kurnia Tunggal Nugraha Jambi 90.000 24 PT. Asianagro Agung Jaya Marunda- Jakarta 1.000.000 25 PT. Smart Tbk Marunda- Jakarta 300.000 26 PT. Mikie Oleo Nabati
Industri
Bekasi - Jabar 300.000
27 PT. Royal Cikampek - Jabar 300.000
28 PT. Hasil Abadi Surabaya - Jatim 300.000 29 PT. Megasurya Mas Sidoarjo - Jatim 450.000 30 PT. Multi Nabati Sulawesi Bitung - Sulut 240.000 31 PT. Smart Tbk Kalimantan Barat 300.000
Lain-lain 3.201.000
Total 15.400.000
Sumber : GIMNI, 2011
Agribisnis minyak goreng secara umum berdasarkan definisi
proses mulai dari produksi bahan baku, pengolahan bahan baku tersebut
menjadi minyak goreng, dan pemasaran produk akhir minyak goreng yang
dihasilkan. Sistem produksi bahan baku sangat tergantung pada jenis
minyak goreng. Bahan baku untuk minyak goreng asal kelapa, sebagian
besar berasal dari hasil produksi perkebunan rakyat. Untuk minyak goreng
asal sawit, sebagian besar bahan bakunya berasal dari hasil produksi
perkebunan milik negara dan perkebunan besar swasta.
Sistem pemasaran minyak goreng dilakukan sepenuhnya oleh
perusahaan swasta. Akan tetapi mengingat bahwa minyak goreng
merupakan komoditas strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak,
pemerintah selalu memantau perkembangan pemasarannya tersebut agar
ketersediaannya di pasar mencukupi dengan harga relatif stabil. Salah satu
cara untuk mengindentifikasi jaringan agribisnis minyak goreng adalah
dengan mengetahui pohon industri dari bahan bakunya. Pohon industri
komoditas bahan baku menyajikan ragam jenis, alur dan jaringan produk
olahan dari bahan baku tersebut (kelapa sawit).
Keunggulan lain yang dimiliki oleh minyak sawit dibandingkan
minyak kelapa adalah harga minyak kelapa sawit lebih murah dan juga
warnanya lebih jernih sehingga aman bagi kesehatan. Bagi masyarakat yang
sudah paham akan pentingnya kesehatan mereka lebih memilih minyak
goreng yang berbahan baku dari minyak kelapa sawit.
Pada awal masa perkembangannya, industri minyak goreng Indonesia
dimulai dari skala rumah tangga dengan menggunakan bahan baku yang
berasal dari minyak kelapa. Sistem perdagangan minyak goreng saat itu
dilakukan dalam bentuk minyak goreng curah, dan selanjutnya mulailah
bermunculan minyak goreng bermerek. Sejalan dengan diperkenalkannya
tanaman kelapa sawit sebagai salah satu tanaman perkebunan di Indonesia,
minyak kelapa mulai tergeser posisinya sebagai bahan baku minyak goreng
oleh minyak kelapa sawit. Minyak kelapa sawit mendominasi
penggunaannya sebagai bahan baku industri minyak goreng nasional.
Pergeseran posisi tersebut dikarenakan minyak sawit mentah yang berasal
tidak tergantung musim tertentu, lebih tahan hama dan dapat diusahakan
dalam skala besar sehingga dapat mencapai skala ekonomi tertentu.
Menurut kementerian perindustrian, produksi minyak goreng
Indonesia rata-rata meningkat 10,6% setiap tahunnya. Peningkatan ini
menunjukkan bahwa permintaan minyak goreng cukup stabil dan cenderung
meningkat. Perkembangan produksi minyak goreng di Indonesia bisa dilihat
[image:47.595.147.502.260.471.2]pada Gambar 2.9 berikut.
Gambar 2.9 Grafik perkembangan produksi minyak goreng Indonesia (Kementrian Perindustrian, 2011).
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 3,73 4,11 4,43
5,17 5,76
6,43 6,63 7,60
8,33 9,22
10,20
Pr
o
d
u
ksi
(
Ju
ta
To
n
2.4. Vektor Autoregresi
Model vektor autoregresi (VAR) adalah salah satu analisis model
deret waktu multivariat yang paling mudah, fleksibel dan banyak digunakan.
Model ini adalah pengembangan dari univariat autoregresi (AR). Model
VAR telah terbukti bermanfaat untuk menggambarkan tingkah laku dinamis
dalam bidang ekonomi ataupun deret waktu finansial dan bahkan untuk
prakiraan.
Model VAR ini menjawab tantangan kesulitan yang ditemui akibat
model struktural yang harus mengacu pada teori. Dengan kata lain, model
VAR tidak banyak tergantung pada teori, tetapi hanya perlu menentukan
variabel yang saling berinteraksi (menyebabkan) yang perlu dimasukkan
dalam sistem, dan banyaknya variabel jeda yang perlu diikutsertakan dalam
model yang diharapkan dapat menangkap keterkaitan antar variabel dalam
sistem (Nachrowi dan Usman, 2006)
Pada tahun 1950 dan 1960-an, model persamaan simultan dalam skala
besar sering mengandung ratusan persamaan. Model tersebut dibangun guna
meramal beberapa peubah kunci di bidang ekonomi. Terdapat banyak
keterbatasan model yang dibangun tersebut, diantaranya adalah: beberapa
persamaan terpaksa bertentangan dengan teori yang melandasinya serta
parameter dalam model kemungkinan sangat bergantung pada kebijakan
ekonomi dan akan berubah bila terjadi perubahan kebijakan ekonomi.
Adanya permasalahan tersebut, memunculkan pendekatan baru dalam
peramalan di bidang ekonomi, yakni model VAR. Model VAR dirancang
dengan meminimalkan asumsi tentang struktur yang melandasi model
tersebut (Ashenfelter & Zimmerman, 2003).
VAR dikenalkan pertama kali sebagai pendekataan alternatif pada
pemodelan multi-persamaan oleh Sims pada tahun 1980. Oleh Sims, VAR
diformulasikan bahwa semua peubah diasumsikan sebagai peubah endogen
(Pindyck & Rubinfield 1981).
Misalkan ada sistem bivariat sederhana sebagai berikut.:
...
(2)Asumsi untuk kedua persamaan tersebut adalah:
(1) yt dan zt harus stasioner.
(2) εytdan εzt merupakan ingar putih dengan simpangan baku masing-
masing adalah sy dan sz.
(3) {εyt} dan {εzt} tidak berkorelasi.
Persamaan (1) dan (2) merupakan model VAR ordo pertama dengan
syarat bahwa panjang lagnya adalah sama. Model VAR ordo pertama ini
sangat berguna bagi ilustrasi sistem peubah ganda ordo yang lebih tinggi.
Struktur sistem persamaan tersebut merupakan gabungan umpan balik,
karena yt dan zt saling memberikan efek satu sama lain.
Persamaan (1) dan (2) merupakan bentuk yang belum direduksi
karena yt mempunyai pengaruh yang sama terhadap zt dan sebaliknya zt
juga berpengaruh terhadap yt. Kedua persamaan tersebut dapat
ditransformasi menjadi bentuk yang lebih berguna. Dengan menggunakan
aljabar matriks, persamaan tersebut dapat dituliskan sebagai berikut :
[
] [
] [
] [
] [
] [
]
... (3)
Atau
...
(4)
Dimana :
[
]
,[
]
,[
]
,[
]
,dan
[
]
karena B adalah matriks berpangkat penuh maka jika dikalikan
... (5)
Dimana :
,
, dan
Untuk kepentingan notasi, unsur ke-i dari vektor A0 dapat
didefinisikan sebagai ai0, unsur baris ke-i kolom ke-j dari matriks A1 dapat
didefinisikan sebagai aij, dan unsur ke-i dari vektor et didefinisikan sebagai
eit. Menggunakan notasi-notasi baru ini, maka persamaan (5) dapat ditulis
kembali dalam bentuk:
... (6)
... (7)
Persamaan (1) dan (2) dinamakan VAR struktural atau sistem primitif,
sedangkan persamaan (6) dan (7) dinamakan bentuk VAR standar.
Sehingga, secara umum model VAR ordo p dapat diformulasikan sebagai
berikut:
... (8)
dimana:
xt = vektor berukuran nx1 yang berisi n peubah yang masuk ke
dalam model VAR
A0 = vektor intersep berukuran nx1
Ai = matriks koefisien berukuran nxn
et = vektor sisaan berukuran nx1
Metode yang diperkenalkan oleh Sims ini hanya memerlukan sedikit
peubah yang akan masuk ke dalam model VAR dan penentuan panjang lag
yang sesuai. Peubah -peubah yang akan dimasukkan ke dalam model VAR
harus dipilih berdasarkan hubungan ekonomi yang relevan. Uji panjang lag
eksplisit yang dibuat guna mengurangi jumlah parameter yang akan diduga.
Matriks A0 mengandung sebanyak n intersep dan masing-masing matriks
Ai mengandung n2 koefisien, oleh karenanya terdapat n+pn2 item yang
harus diduga. Keadaan ini menjadikan model VAR akan over parameter,
sehingga banyak koefisien yang diduga dapat dikeluarkan dari model
(Enders 1995).
Gujarati (2003) menyebutkan keunggulan dari analisis VAR antara
lain adalah:
1. Metode ini sederhana, peneliti tidak perlu membedakan antara variabel
endogen dan eksogen.
2. Estimasinya sederhana karena dapat digunakan metode Ordinary Least
Square (OLS) pada tiap-tiap persamaan secara terpisah.
3. Hasil prakiraan (forecast) yang diperoleh dengan menggunakan metode
ini dalam banyak kasus lebih baik dibandingkan dengan hasil yang
diperoleh dengan menggunakan model persamaan simultan yang lain.
Pada dasarnya analisis VAR bisa dipadankan dengan suatu model
persamaan simultan, oleh karena dalam analisis VAR kita
mempertimbangkan beberapa variabel endogen secara bersama-sama dalam
suatu model. Perbedaannya dengan model persamaan simultan biasa adalah
bahwa dalam analisis VAR masing-masing variabel selain diterangkan oleh
nilainya di masa lampau, juga dipengaruhi oleh nilai masa lalu dari semua
variabel endogen lainnya dalam model yang diamati. Di samping itu, dalam
analisis VAR biasanya tidak ada variabel eksogen di dalam model tersebut.
Adkins (2012) mengatakan bahwa model vektor autoregresi
merupakan kerangka umum untuk menggambarkan hubungan dinamis
antara variable-variabel stasioner. Jadi langkah pertama dalam analisis
adalah menentukan apakah data yang dimiliki stasioner ataukah tidak. Jika
tidak ambil turunan pertama dari data tersebut dan dianalisis kembali.
Biasanya jika level (atau log-level) dari data deret waktu tersebut tidak
Jika data deret waktu tidak stasioner maka kerangka VAR perlu
dimodifikasi untuk membolehkan estimasi yang konsisten antara hubungan
antar deret data. Vector Error Correction Model (VECM) merupakan kasus
khusus dari VAR dimana variabelnya stasioner pada turunannya. VECM
juga bisa mempertimbangkan hubungan kointegrasi antar variabel.
2.4.1. Uji Stasioneritas
Pada regresi deret waktu, data yang digunakan harus stasioner.
Pada dasarnya hal ini menyatakan bahwa rataan, varian, dan
kovarian dari data deret waktu tidak tergantung pada periode waktu
dimana data tersebut diamati (Adkins 2012). Masih menurut
Adkins, tes Augmented Dickey-Fuller (ADF) bisa digunakan untuk
menguji apakah data stasioner atau tidak.
Untuk membuat kesimpulan statistik terhadap struktur dari
suatu proses stokastik pada suatu data observasi, kita harus
menyederhanakan asumsi yang berkaitan dengan struktur tersebut.
Asumsi penting tersebut adalah adanya kestasioneran. Ide dasar
kestasioneran adalah bahwa proses tersebut mengikuti kaidah
kemungkinan yang tidak berubah karena waktu atau proses berada
pada keseimbangan secara statistik. Suatu proses stokastik disebut
sebagai stasioner kuat apabila distribusi bersama dari Z(t1), Z(t2), …, Z(tn) adalah sama dengan distribusi bersama dari Z(t1-k), Z(t2-k), …, Z(tn-k) untuk semua waktu t1, tβ, …, tn dan semua lag k (Cryer 1986).
Banyak teori kemungkinan dari deret waktu mengasumsikan
bahwa data deret waktu mempunyai rataan dan varian yang konstan
dari waktu ke waktu. Komponen yang tidak stasioner dari data deret
waktu biasanya dapat dihilangkan guna menjadikan data tersebut
stasioner, misalnya dengan melakukan pembedaan (differencing)
guna menghilangkan variasi karena tren atau musiman (SAS
Institute Inc. 1996).
Menurut Wei (1994), kestasioneran data peubah-peubah model
(autocorrelation function, ACF) dan pola fungsi otokorelasi diri
parsial (partial autocorrelation function, PACF). Kestasioneran
masing- masing peubah juga dapat diperiksa melalui uji Dickey
Fuller. Misalkan data deret waktu peubah tunggal Zt adalah:
Zt = a0 + a1zt -1 + a2zt -2 + … + apzt -p + et
dengan model pembedaan dapat dituliskan sebagai berikut.:
Zt = a0+ Zt-1 + a2Zt -2 + … + apZt-p + εt
Hipotesis yang akan diuji adalah:
H0: = 0 (data bersifat tidak stasioner)
H1: < 0 (data bersifat stasioner)
Nilai diduga melalui metode kuadrat terkecil dan pengujian dilakukan dengan menggunakan uji t. Statistik uji dapat dituliskan
sebagai berikut :
̂
̂
engan meru akan nilai dugaan dan meru akan sim angan baku dari Jika nilai thit < nilai kritis dalam tabel Dickey
Fuller, maka keputusan yang diambil adalah tolak H0 atau data
bersifat stasioner.
Kestasioneran data deret waktu dapat diperiksa dengan melihat
plot deret waktu. Plot deret waktu yang berfluktuasi dengan ragam
yang konstan di sekitar rataan yang konstan menunjukkan bahwa
data deret waktu tersebut stasioner. Selain itu plot korelasi diri
(ACF) juga dapat menunjukkan data deret waktu stasioner atau tidak
stasioner. Jika plot ACF dari data membentuk pola cuts off
(memotong garis) atau tails off (turun secara eksponensial menuju
nol) dengan cepat, maka data tersebut diperkirakan stasioner.
maka data deret waktu tersebut diperkirakan tidak stasioner (Bowerman & O’Connell 1993). Data dikatakan stasioner bila memenuhi syarat berikut : (1) rata-rata dan variannya konstan
sepanjang waktu, dan (2) kovarian antara dua data deret waktu
tergantung pada kelambanan antara dua periode tersebut (Winarno,
2007)
2.4.2. Penentuan Panjang Lag Optimal
Dalam model VAR, panjang lag menunjukkan derajat bebas.
Jika panjang lag dilambangkan dengan p, maka setiap n persamaan
berisi n.p koefisien ditambah dengan intersep. Dalam memilih
panjang lag peubah-peubah yang masuk ke dalam model VAR, kita
menginginkan panjang lag yang cukup sehingga dapat menangkap
dinamika sistem yang akan dimodelkan. Di sisi lain, lag yang lebih
panjang akan mengakibatkan lebih banyak jumlah parameter yang
harus diduga dan derajat bebas yang lebih sedikit. Pada umumnya,
kita harus mempunyai jumlah lag dan parameter yang cukup. Hal ini
merupakan kelemahan dari model VAR. Dalam prakteknya, kita
sering menemukan perlunya membatasi jumlah lag dengan
mengesampingkan lag yang ideal yang memberikan gambaran
dinamika model, sehingga dapat mengaplikasikan model VAR.
Jumlah lag dapat ditentukan dengan menggunakan R2
terkoreksi atau menggunakan AIC (Akaike Information Criterion).
Baik R2 terkoreksi maupun AIC mengukur kebaikan model yang
memperbaiki kehilangan derajat bebas ketika lag tambahan
dimasukkan ke dalam model. Statistik-statistik tersebut dapat
digunakan untuk membantu jumlah lag yang masuk ke dalam model
VAR. Dalam banyak aplikasi model VAR, AIC digunakan sebagai
cara yang obyektif guna menentukan jumlah lag yang disertakan
dalam model (Pindyck dan Rubinfeld 1981).
Sebelum uji kointegrasi dilakukan maka sebelumnya harus
ditentukan lebih dahulu panjang lag optimalnya. Uji kointegrasi
menjadi salah satu prosedur penting yang harus dilakukan dalam
pembentuka model (Enders, 2004).
Dalam banyak aplikasi model VAR, AIC digunakan sebagai
cara yang obyektif guna menentukan jumlah lag yang disertakan
dalam model (Pindyck dan Rubinfeld 1981).
Penentuan lag dapat digunakan dengan beberapa pendekatan
antara lain Likelihood Ratio (LR), Final Prediction Error (FPE),
Akaike Information Criterion (AIC) dan Schwarz Criterion (SC).
Model yang baik adalah model yang mampu memberikan tingkat
residual atau error yang paling kecil.
Perhitungan dari AIC dan SIC adalah sebagai berikut (Enders,
2004).
... (9)
... (10)
dimana:
T = Jumlah observasi yang digunakan
k = panjang lag
SSR = the Residual Sum of Squares
n = jumlah parameter yang diestimasi
2.4.3. Uji Kausalitas Granger
Uji kausalitas Granger pada dasarnya adalah untuk mengetahui
apakah suatu variabel mempunyai hubungan baik itu hubungan satu
arah ataukah hubungan dua arah. Pada uji Granger yang dilihat
adalah pengaruh masa lalu terhadap kondisi sekarang, sehingga data
yang digunakan adalah data deret waktu (Nachrowi dan Usman
2006). Jika ada dua variabel y dan z, maka apakah y menyebabkan z
atau z menyebabkan y atau berlaku keduanya atau tidak ada
Kausalitas Granger dilakukan untuk mengetahui pengaruh
antara variabel satu dengan variabel yang lain. Misalkan ada dua
variabel X dan Y, maka terdapat beberapa kemungkinan :
1. X menyebabkan Y
2. Y menyebabkan X
3. X menyebabkan Y dan Y menyebabkan X
4. X dan Y tidak saling menyebabkan
Jika variabel X menyebabkan variabel Y yang berarti nilai Y
pada periode sekarang dapat dijelaskan oleh nilai Y pada periode
sebelumnya dan nilai X pada periode sebelumnya. Kausalitas
Granger hanya menguji hubungan antar variabel dan tidak
melakukan estimasi terhadap model.
Model kausalitas Granger untuk 2 variabel :
Yt= α0+ α1Yt-1+ … +αnYt-n+ 1Xt-1+…+ nXt-n+ε1 ...(11)
Xt= α0 + α1Xt-1+ …+αnXt-n+ 1Yt-1+…+ nYt-n+u1 ... (12)
dengan hipotesis untuk masing-masing persamaan :
H0: 1 = 2 =… … = n = 0
Dimana H0 adalah X bukan penyebab Granger Y untuk regresi
pertama dan Y bukan penyebab Granger X untuk regresi kedua. Jika
menerima hipotesis bahwa X bukan penyebab Granger Y tetapi
menolak hipotesis bahwa Y bukan penyebab Granger X maka
kausalitas Granger menyimpulkan bahwa Y menyebabkan X.
Dengan demikian terdapat empat kemungkinan :
1. Jika ∋ n ≠ 0 untuk ersamaan 1 dan 1 = β = … = n = 0 untuk persamaan 2 yang berarti X penyebab Granger Y dan Y
2. Jika 1 = β = … = n = 0 untuk persamaan 1 dan ∋ n ≠ 0 untuk persamaan 2 yang berarti Y penyebab granger X dan X
bukan penyebab Granger Y.
3. Jika ∋ n ≠ 0 untuk ersamaan 1 dan ∋ n ≠ 0 untuk persamaan 2, berarti X penyebab Granger Y dan Y penyebab
Granger X.
4. Jika 1 = β = … = n = 0 untuk ersamaan 1 dan 1= β = … = n = 0 untuk persamaan 2, berarti X dan Y tidak saling menyebabkan.
(Luky Alfirman dan Edy Sutriono 2009).
Jika Y adalah penyebab Granger (Granger cause) dari X yang
dinyatakan sebagai Y X, apabila nilai sekarang dari Y dapat
diprediksi dengan keakuratan yang lebih baik menggunakan nilai
masa lalu dari X daripada tanpa menggunakannya, diasumsikan
semua yang lain tetap (Charemza dan Deadman 1992).
2.4.4. Uji Kointegrasi
Suatu data deret waktu dikatakan terintegrasi pada tingkat ke-d
atau sering disingkat dengan l(d) jika data tersebut bersifat stasioner
setelah penurunan sebanyak d kali. Peubah-peubah yang tidak
stasioner yang terintegrasi pada tingkat yang sama dapat
membentuk kombinasi linear yang bersifat stasioner (SAS Institute
2005).
Dua variabel atau peubah yang tidak stasioner sebelum
diturunkan namun stasioner pada tingkat turunan pertama, besar
kemungkinan akan terjadi kointegrasi. Ada tiga cara untuk menguji
kointegrasi yaitu uji kointegrasi Engle-Granger (EG), uji
Cointegrating Regression Durbin Watson (CRDW), dan uji
Johansen. Kointegrasi terjadi apabila variabel independen dan
variabel dependen sama-sama merupakan suatu tren deret waktu,
diregresi kombinasi linearnya menjadi stasioner. Kointegrasi juga
dapat menyebabkan terjadinya regresi lancung (Winarno 2007).
Menurut Engle dan Granger, 1987, regresi dari dua variabel
yang tidak stasioner akan menyebabkan terjadinya regresi lancung
sehingga proses penurunan harus terlebih dahulu dilakukan. Namun,
proses ini justru akan menghilangkan hubungan jangka panjang yang
mungkin terdapat di dalam variabel-variabel data deret waktu yang
diteliti dan hanya memberikan hubungan jangka pendek. Maka disini
pentingnya proses kointegrasi dimana konsep ini membantu
memberikan informasi mengenai hubungan jangka panjang yang ada
dengan menggunakan deret waktu non-stasioner. Jadi, dengan kata
lain konsep ini menyatakan bahwa apabila terdapat dua atau lebih
deret waktu yang tidak stasioner (memiliki akar unit) dan terintegrasi
pada order yang sama serta residunya bersifat stasioner sehingga
tidak ada korelasi seri didalamnya yaitu white nose, maka data deret
waktu tersebut adalah terkointegrasi.
Menurut Enders (2004), dalam konsep kointegrasi ini terdapat
beberapa hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu:
a. Kointegrasi merupakan kombinasi linear dari dua atau lebih data
deret waktu yang tidak stasioner. Vektor kointegrasi dari
kombinasi linier tersebut tidak unik karena dengan suatu konstanta yang tidak nol (λ), maka λ juga benar sebagai vektor kointegrasi. Oleh karena itu, biasanya salah satu besaran
digunakan untuk normalisasi vektor kointegrasi dengan
menetapkan koefisiennya menjadi satu.
b. Semua variabel harus terintegrasi pada orde yang sama. Tetapi
tidak semua variabel yang terintegrasi pada orde yang sama
terkointegrasi.
c. Bila vektor xt mempunyai n komponen, maka akan ada n-1 vektor
kointegrasi linear yang tidak tergantung satu dengan yang
kointegrasi atau cointegration rank, biasanya dilambangkan
dengan r.
Sifat penting yang terdapat dalam variabel-variabel atau
peubah yang terkointegrasi adalah perjalanan waktu
variabel-variabel atau peubah tersebut dipengaruhi oleh perubahan atas
hubungan keseimbangan jangka panjangnya. Dengan kata lain,
variabel-variabel atau peubah non stasioner yang terintegrasi pada
orde yang sama dan terkointegrasi akan menjadi stasioner dalam
jangka panjang (Enders 2004). Sebagai tambahan Adkins (2012)
menyatakan bahwa dua data deret waktu terkointegrasi jika mereka
35
[image:61.842.88.755.137.489.2]2.5. Penelitian Terdahulu
Tabel 2.6 Tinjauan penelitian terdahulu
Penulis dan Tahun Judul Alat Analisis
Abustan, Wahyudin (2009) Analisis Vector Auto Regressive (Var) Terhadap Korelasi Antara Belanja Publik Dan Pert