• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fortification Fish Meal Skipjack Tuna (Katsuwonus pelamis) on the Characteristic of Sago Noodles

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Fortification Fish Meal Skipjack Tuna (Katsuwonus pelamis) on the Characteristic of Sago Noodles"

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

CHRISTINA LITAAY

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Ikan Cakalang(Katsuwonus pelamis)terhadap Karakteristik Mie Sagu adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2012

Christina Litaay

(4)
(5)

pelamis) on the Characteristic of Sago Noodles. Supervised by JOKO SANTOSO and BAMBANG HARYANTO.

The effects of different immersion method namely water, 3% acetic acid and 0.8% sodium bicarbonate at immersion time (2, 4, and 6 hours) on the physico-chemical characteristics of skipjack tuna fish meal were studied. Producing of fish meal with 0.8% sodium bicarbonate immersion for 6 hours had better characteristics than the water and 3% acetic acid with increased in protein content by 82.86% and decreased in fat content by 1.10%. Sago noodle characteristics with the fortification of fish meal were investigated. Result of organoleptic evaluation showed that the fortification of fish meal had a positive impact in the assessment of aroma and flavor, however there were no effect in texture of the sago noodles. Fortification of 8% fish meal gave the best aroma and taste of the sago noodles. Whiteness decreased slightly with no fortification of fish meal concentration. Control and commercial sago noodle showed the internal structure of a compact and smooth compared with the addition of sago noodle 8% fish meal and wheat flour noodles. Optimum concentration fortification of fish meal to increase in protein content of sago noodles was by 8% fish meal.

Keywords :fish meal, physico-chemical characteristics, sago noodles, skipjack tuna

(6)
(7)

terhadap Karakteristik Mie Sagu. Dibimbing oleh JOKO SANTOSO dan BAMBANG HARYANTO.

Ikan cakalang merupakan salah satu komoditas perikanan andalan dari perairan Maluku, karena selain menjadi ikan konsumsi yang digemari masyarakat, juga merupakan komoditas ekspor. Ikan cakalang memiliki daging berwarna gelap dan lemak tinggi, sehingga perlu proses deffating yang menghasilkan tepung ikan yang berkualitas. Konsumsi mie berbahan baku terigu terus meningkat, sehingga sangat menurunkan devisa negara. Perlu adanya pengembangan teknologi mie berbahan baku lokal, misalnya dengan memanfaatkan tepung sagu. Sagu memiliki kandungan protein yang rendah mengakibatkan diperlukan upaya untuk memperkaya nilai gizi dari mie sagu. Fortifikasi tepung ikan cakalang pada mie sagu merupakan bentuk diversifikasi produk perikanan, dan dapat meningkatkan nilai gizi dari mie sagu. Sagu tidak memiliki gluten yang dapat menyebabkan adonan elastis, namun dengan adanya proses pregelatinasi dan penggunaan teknologi ekstruder dapat digunakan 100% pati sagu yang menghasilkan mie yang kenyal. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan (1) pengaruh kombinasi lama perendaman dan metode perendaman ikan dalam air, asam asetat dan natrium bikarbonat dalam proses

deffating terhadap karakteristik fisiko-kimia tepung ikan cakalang, (2) karakteristik organoleptik, fisiko-kimia dan mikrostruktur mie sagu dengan fortifikasi tepung ikan cakalang.

Penelitian ini terdiri dari penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan yaitu pembuatan tepung ikan menggunakan dua faktor, yaitu metode perendaman (air, asam asetat 3% dan natrium bikarbonat 0,8%) dan lama perendaman (2, 4 dan 6 jam). Penelitian utama yaitu pembuatan mie sagu dengan fortifikasi tepung ikan dengan menggunakan lima konsentrasi tepung ikan, yaitu 0%, 2%, 4%, 6% dan 8%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi antara metode perendaman natrium bikarbonat 0,8% dan lama perendaman 6 jam menghasilkan karakteristik tepung ikan yang lebih baik dari metode perendaman air dan asam asetat 3%. Tepung ikan yang dihasilkan memiliki karakteristik rendemen 38,32%, kadar air 6,15%, kadar abu 2,64%, kadar protein 82,86% dan kadar lemak 1,10%.

(8)

karakteristik cooking time8,0 menit,cooking losses 23,8% dan elastisitas 16,20 gf. Pengamatan menggunakan SEM menunjukkan bahwa granula mie sagu kontrol memiliki karakteristik bentuk oval, sedangkan mie sagu formulasi A8berbentuk elips agak terpotong. Struktur internal mie kontrol terlihat kompak dan halus dibandingkan dengan mie sagu dengan fortifikasi tepung ikan 8% yang terlihat kompak namun kasar. Interaksi protein dan karbohidrat yang terjadi merupakan interaksi yang bersifat tidak nyata karena kedua molekul primer memiliki eksistensi sendiri-sendiri. Konsentrasi optimum tepung ikan untuk meningkatkan kandungan protein mie sagu yaitu tepung ikan 8%, dengan menghasilkan kadar air 18,87%, kadar abu 1,12%, kadar protein 5,56%, dan kadar lemak 0,41%

(9)

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(10)
(11)

CHRISTINA LITAAY

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister sains

pada Program Studi Teknologi Hasil perairan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)
(13)

Nama : Christina Litaay

NRP : C351100061

Program Studi : Teknologi Hasil Perairan

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr.Ir.Joko Santoso, M.Si Prof.Dr.Ir.Bambang Haryanto, M.S

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana,

Teknologi Hasil Perairan Institut Pertanian Bogor

Dr.Tati Nurhayati, S.Pi,M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr

(14)
(15)

karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Hasil Perairan yang berjudul Fortifikasi Tepung Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis)terhadap Karakteristik Mie Sagu .

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si selaku ketua komisi pembimbing yang telah memberikan arahan, saran dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis. Terima kasih atas ilmu yang Bapak berikan, semoga bermanfaat bagi saya pribadi maupun institusi tempat saya bekerja.

2. Prof. Dr. Ir. Bambang Haryanto, M.S sebagai anggota komisi pembimbing yang telah membimbing dan memberi masukan serta motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan tesis.

3. Dr. Ir. Wini Trilaksani, M.Sc selaku dosen penguji luar komisi yang telah memberi masukan dan saran kepada penulis.

4. Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si selaku Ketua Program Studi yang selalu memberi motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan studi di PS. Teknologi Hasil Perairan dan segenap karyawan serta staf THP-IPB.

5. Deputi Bidang Masyarakat KRT selaku Penanggungjawab Program Beasiswa Pascasarjana KRT yang menjadi sponsor dalam studi penulis di THP-IPB.

6. Suamiku tercinta, Marcus Rino Wakanno, S.Pi yang telah sabar serta penuh pengertian dan kasih sayang mendukung penulis untuk melanjutkan tugas belajar meskipun harus jauh dari keluarga. Kedua putri kami tersayang Charin Nadila Esther Wakanno dan Imanuella Nadine Leathizia Wakanno yang menjadi semangat penulis untuk segera menyelesaikan studi.

7. Ayah (Marcus Litaay) dan Ibu (Martha Litaay-Hasmus, S.Pd) serta kakak- adik (Henderina, Abraham, dan Gilberth), untuk doa yang selalu mengiringi dan kasih sayang yang tidak terputus selama penulis menjalankan studi.

8. Bapak mertua (Andarias Wakanno), Ibu mertua (Martha Wakanno-Ruhukail), Papa Nadus Pormes dan Mama Nanang Pormes-Wakanno serta kakak-adik yang mendukung penulis dalam doa selama menjalankan studi.

9. Dr. Augy Syahalaitua, M.Sc selaku Kepala UPT. BKBL LIPI Ambon serta staf dan pegawai LIPI Ambon atas segala dukungan doa selama penulis menjalankan studi.

10. Teman-teman S2 THP Angkatan 2010 (Mba Ima, Yenni, Mba Nani, Tyas, Tya, Eka, Fikri, Wiwit, Dewi, Pa Agus, Vivi, dan Lenny) dalam membangun persahabatan, semoga persahabatan kita tetap terjalin dan terjaga selalu.

Penulis menyadari masih ada kekurangan di dalam penyusunan tesis ini, meskipun demikian semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, September 2012

(16)
(17)

Penulis dilahirkan di Saparua, pada tanggal 9 Juli 1979. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara keluarga Bapak Marcus Litaay dan Ibu Martha Litaay-Hasmus, S.Pd. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD Negeri 36 Inpres Ambon pada tahun 1991. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi ke SMP Negeri 7 Ambon dan lulus pada tahun 1994.

Selanjutnya penulis melanjutkan studi di SMA Negeri 3 Ambon dan lulus pada tahun 1997. Pendidikan Sarjana ditempuh di Jurusan Teknologi Hasil Perikanan Fakultas Perikanan Universitas Pattimura, Ambon dari tahun 1997 2001.

(18)
(19)

Halaman

2.1 Biologi dan Komposisi Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis)... 7

2.2 Tepung Ikan ... 9

2.3 Sagu (Metroxylonsp) ... 10

2.4 Mie ... 13

2.5 Mie Sagu ... 16

2.6 Interaksi Karbohidrat dan Protein ... 18

3 BAHAN DAN METODE ... 21

3.1 Waktu dan Tempat ... 21

3.2 Bahan dan Alat... 21

3.2.1 Bahan ... 21

3.2.2 Alat... 22

3.3 Tahapan Penelitian ... 22

3.3.1 Penelitian pendahuluan ... 22

3.3.2 Penelitian utama... 24

3.4 Prosedur Analisis ... 25

3.4.1 Analisis organoleptik ... 25

(1) Uji skoring (Soekarto dan Hubeis 2000) ... 25

(2) Uji perbandingan (Soekarto dan Hubeis 2000) ... 25

3.4.2 Analisis fisik ... 26

(1) Rendemen ... 26

(2) Waktu tanak (cooking time) (Colladoet al. 2001) ... 26

(3) Cooking losses(Colladoet al. 2001)... 26

(4) Elastisitas mie (Chenet al. 2002)... 26

(5) Warna (Gaurav 2003) ... 26

3.4.3 Analisis kimia ... 27

(1) Kadar protein kasar (AOAC 1980) ... 27

(2) Kadar lemak (AOAC 1980) ... 28

(3) Kadar abu (AOAC 1980) ... 28

(4) Kadar air (AOAC 1980) ... 28

(5) Kadar karbohidrat... 28

(20)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 33

4.1 Penelitian Pendahuluan ... 33

4.1.1 Komposisi kimia pati sagu dan tepung ikan cakalang ... 33

4.1.2 Karakteristik tepung ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) ... 34

(1) Rendemen tepung ikan ... 35

(2) Kadar air tepung ikan... 36

(3) Kadar abu tepung ikan ... 37

(4) Kadar protein tepung ikan ... 38

(5) Kadar lemak tepung ikan ... 39

4.2 Penelitian Utama ... 40

4.2.1 Karakteristik organoleptik ... 41

(1) Uji skoring ... 41

(2) Uji perbandingan pasangan... 46

4.2.2 Karakteristik fisik mie sagu... 47

(1) Derajat putih terhadap warna mie sagu ... 47

(2) Cooking timemie sagu... 49

(3) Cooking lossesmie sagu ... 50

(4) Elastisitas mie sagu... 51

4.2.3 Karakteristik kimia mie sagu ... 52

4.2.4 Angka Kecukupan Gizi (AKG) ... 54

4.2.5 Mikrostruktur (SEM) mie sagu ... 56

5 SIMPULAN DAN SARAN ... 59

5.1 Simpulan... 59

5.2 Saran ... 59

DAFTAR PUSTAKA ... 61

LAMPIRAN ... 71

(21)

1 Nilai indeks glikemik mie di pasaran . . 16

2 Karakteristik mie sagu dari Palopo dan BBPP Pertanian Bogor ... 18

3 Komposisi kimia tepung ikan cakalang dan pati sagu ... 33

4 Pengujian derajat putih terhadap warna mie sagu... 48

5 Karakteristik kimia mie sagu tepung ikan cakalang... 53

6 Kandungan nutrisi per takaran penyajian 56

(22)
(23)

Halaman 1 Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) FAO (2012) ... 8 2 Diagram alir pembuatan tepung ikan cakalang (Modifikasi Amirullah 2008) 23 3 Diagram alir pembuatan mie sagu (Modifikasi CV Putra Santoso 2010)... 24 4 Bentuk pati sagu dan tepung ikan tanpa prosesdeffating... 34 5 Bentuk ikan cakalang pada masing-masing kombinasi perlakuan ... 35 6 Histogram rerata rendemen tepung ikan setelah perlakuan perendaman

air, asam asetat 3% dan natrium bikarbonat 0,8%). Angka-angka yang diikuti huruf superskrip berbeda (a,b) menunjukkan berbeda

nyata (p<0,05) pada metode perendaman. ... 36 7 Histogram rerata kadar air tepung ikan setelah perlakuan perendaman

air, asam asetat 3% dan natrium bikarbonat 0,8%. Angka-angka yang diikuti huruf superskrip berbeda (a,b,c,d,e,f,g,h)

menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) pada faktor interaksi metode

perendaman dan lama perendaman ... 37 8 Histogram rerata kadar abu tepung ikan setelah perlakuan perendaman

air, asam asetat 3% dan natrium bikarbonat 0,8%. Angka-angka yang diikuti huruf superskrip berbeda (a,b) menunjukkan berbeda

nyata (p<0,05) pada metode perendaman ... 38 9 Histogram rerata kadar protein tepung ikan setelah perlakuan perendaman

air, asam asetat 3% dan natrium bikarbonat 0,8%. Angka-angka yang diikuti huruf superskrip berbeda (a,b,c,d) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) pada faktor interaksi metode perendaman dan lama

perendaman ... 38 10 Histogram rerata kadar lemak tepung ikan setelah perlakuan perendaman

air, asam asetat 3% dan natrium bikarbonat 0,8%. Angka-angka yang diikuti huruf superskrip berbeda (a,b,c) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) pada faktor interaksi metode perendaman dan lama

perendaman ... 39 11 Bentuk mie sagu dengan konsentrasi tepung ikan 0% (A); 2% (B); 4% (C);

6% (D) dan 8% (E) ... 40 12 Histogram rerata penilaian panelis terhadap tekstur mie sagu dengan A0=

kontrol (tanpa fortifikasi tepung ikan cakalang, A2= fortifikasi tepung ikan cakalang 2%, A4= fortifikasi tepung ikan cakalang 4%, A6= fortifikasi tepung ikan cakalang 6%, dan A8= fortifikasi tepung ikan cakalang 8%. Angka-angka yang diikuti huruf superskrip sama (a)

menunjukkan tidak nyata (p>0,05) pada fortifikasi tepung ikan .. 42

(24)

A6= fortifikasi tepung ikan cakalang 6%, dan A8= penambahan tepung ikan cakalang 8%. Angka-angka yang diikuti huruf superskrip

sama (a) menunjukkan tidak nyata (p>0,05) pada fortifikasi tepung ikan ... .43 14 Histogram rerata penilaian panelis terhadap aroma mie sagu dengan A0=

kontrol (tanpa fortifikasi tepung ikan cakalang, A2= fortifikasi tepung ikan cakalang 2%, A4= fortifikasi tepung ikan cakalang 4%, A6= fortifikasi tepung ikan cakalang 6%, dan A8= fortifikasi

tepung ikan cakalang 8%. Angka-angka yang diikuti huruf superskrip berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) pada fortifikasi

tepung ikan. ... 44 15 Histogram rerata penilaian panelis terhadap rasa mie sagu dengan A0=

kontrol (tanpa fortifikasi tepung ikan cakalang, A2= fortifikasi tepung ikan cakalang 2%, A4= fortifikasi tepung ikan cakalang 4%, A6= fortifikasi tepung ikan cakalang 6%, dan A8= fortifikasi

tepung ikan cakalang 8%. Angka-angka yang diikuti huruf superskrip sama (a) menunjukkan tidak nyata (p>0,05) pada fortifikasi tepung

ikan. ... 45 16 Histogram nilai perbandingan pasangan mie sagu ... 47 17 Histogram reratacooking timemie sagu dengan A0= kontrol (tanpa

fortifikasi tepung ikan cakalang, A2= fortifikasi tepung ikan cakalang 2%, A4= fortifikasi tepung ikan cakalang 4%, A6= fortifikasi tepung ikan cakalang 6%, dan A8= fortifikasi tepung

ikan cakalang 8%. Angka-angka yang diikuti huruf superskrip berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) pada fortifikasi tepung

ikan. ... 49 18 Histogram reratacooking lossesmie sagu dengan A0= kontrol

(tanpa fortifikasi tepung ikan cakalang, A2= fortifikasi tepung ikan cakalang 2%, A4= fortifikasi tepung ikan cakalang 4%, A6= fortifikasi tepung ikan cakalang 6%, dan A8= fortifikasi

tepung ikan cakalang 8%. Angka-angka yang diikuti huruf superskrip

sama (a) menunjukkan tidak nyata (p>0,05) pada fortifikasi tepung ikan .... 51 19 Histogram rerata elastisitas mie sagu dengan A0= kontrol (tanpa

fortifikasi tepung ikan cakalang, A2= fortifikasi tepung ikan cakalang 2%, A4= fortifikasi tepung ikan cakalang 4%, A6= fortifikasi tepung ikan cakalang 6%, dan A8= fortifikasi tepung

ikan cakalang 8%. Angka-angka yang diikuti huruf superskrip berbeda

(a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) pada fortifikasi tepung ikan. ... 52 20 Struktur mikroskopis granula mie sagu (A) mie sagu formulasi A0,

(B) mie sagu formulasi A8, (C) mie sagu komersial, (D) mie terigu... 56 21 Struktur mikroskopis internal mie sagu. (A) mie sagu formulasi A0,

(B) mie sagu formulasi A8, (C) mie sagu komersial dan (D) mie terigu .. 57

(25)

Halaman 1 Standar Nasional Indonesia (SNI 01-3551-2000)...71 2 Formulir uji peringkat produk mie sagu... 72 3 Formulir uji mie sagu tepung ikan cakalang terpilih dengan mie komersial ... 73 4 Analisis ragam (ANOVA) dan uji BNT pada nilai rendemen tepung

ikan cakalang... 74 5 Analisis ragam (ANOVA) dan uji BNT pada kadar air tepung ikan ... 75 6 Analisis ragam (ANOVA) dan uji BNT pada kadar abu tepung ikan ... 76 7 Analisis ragam (ANOVA) dan uji BNT pada kadar protein tepung ikan ... 77 8 Analisis ragam (ANOVA) dan uji BNT pada kadar lemak tepung ikan ... 78 9 Analisis Kruskal Wallis tekstur mie sagu... 79 10 Analisis Kruskal Wallis warna mie sagu... 80 11 Analisis Kruskal Wallis aroma mie sagu ... 81 12 Analisis Kruskal Wallis rasa mie sagu ... 82 13 Nilai perbandingan pasangan mie sagu. ... 83 14 Analisis ragam (ANOVA) dan Uji BNT derajat putih mie sagu ... 84 15 Analisis ragam (ANOVA) dan Uji BNTcooking timemie sagu ... 85 16 Analisis ragam (ANOVA) dan Uji BNTcooking lossesmie sagu ... 86 17 Analisis ragam (ANOVA) dan Uji BNT elastisitas mie sagu ... 87 18 Analisis ragam (ANOVA) dan uji BNT pada kadar air mie sagu... 88 19 Analisis ragam (ANOVA) dan uji BNT pada kadar abu mie sagu ... 89 20 Analisis ragam (ANOVA) dan uji BNT pada kadar protein mie sagu... 90 21 Analisis ragam (ANOVA) dan uji BNT pada kadar lemak mie sagu ... 91

(26)
(27)

. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ikan merupakan bahan pangan dengan kandungan gizi tinggi karena menyediakan asam amino esensial yang lengkap dan penting bagi tubuh. Ikan cakalang merupakan salah satu komoditas perikanan andalan dari perairan Maluku. Bahkan jenis ikan ini menjadi primadona, karena selain menjadi ikan konsumsi yang digemari masyarakat, juga merupakan komoditas ekspor. Pemanfaatan ikan dalam produk pangan telah dilakukan beberapa peneliti diantaranya adalah fortifikasi tepung tenggiri (omromorus sp) dalam

pembuatan bubur bayi instan (Amirullah 2008); peningkatan kadar protein mie sagu instan dengan penambahan tepung ikan tongkol (Rayanti 2010) dan pembuatan mie instan dengan penambahan daging ikan nila

(Oreochromis niloticus) (Robiyanto 2008).

Kandungan gizi ikan cakalang pemanfaatannya belum dilakukan secara optimal. Hal ini dibuktikan dengan tingkat pemanfaatan masih rendah karena dikelola oleh usaha perikanan berskala kecil dan bersifat tradisional (Wardja 2011) selain itu ikan cakalang memiliki kendala, yaitu memiliki daging berwarna gelap dan kandungan lemak tinggi (Guenneugues dan Morrissey 2005). Pemanfaatan ikan diperlukan dalam fortifikasi dimana memerlukan bahan yang tidak mudah tengik dan tidak berbau, sehingga proses meminimumkan lemak pada daging ikan cakalang sangat diperlukan. Salah satu upaya untuk meminimumkan lemak adalah melakukan perendaman menggunakan asam dan alkali (Nolsoe dan Ingrid 2009). Rawdkuen et al. (2009) melaporkan bahwa

pengurangan mioglobin dan lemak lebih mudah terjadi dalam proses alkali atau asam, bila dibandingkan dengan proses konvensional. Menurut Suzuki dan Watabe (2011) ikan pelagis yang memiliki daging merah perlu penambahan natrium bikarbonat dengan konsentrasi 0,5-1,0% untuk mengurangi lemak.

(28)

perikanan dan dapat meningkatkan nilai gizi dari mie sagu. Kandungan gizi mie sagu dengan fortifikasi tepung ikan akan meningkatkan nilai ekonomisnya, selain itu dapat digunakan sebagai makanan pengganti yang bergizi dan menyenyangkan karena selain mengandung karbohidrat juga mengandung protein yang tinggi.

Masyarakat di Indonesia gemar mengkonsumsi mie mulai dari mie kering sampai mie siap santap. Mie merupakan bahan pangan yang cukup potensial, selain harganya relatif murah dan pengolahannya yang praktis (Muhajir 2007). Perkembangan konsumsi mie yang sangat pesat memberi gambaran bahwa mie merupakan jenis makanan yang sesuai dengan kebutuhan dan preferensi konsumen Indonesia. Namun di sisi lain berpeluang menurunkan devisa negara, mengingat mie merupakan produk yang terbuat dari tepung terigu suatu komoditas impor. Nilai impor tepung terigu pada tahun 2009 mencapai US$ 223,2 juta dan meningkat menjadi US$ 261,7 juta pada tahun 2010 (Prasetya 2011). Mengingat bahan baku terigu harus diimpor maka diupayakan pengembangan teknologi mie berbahan baku lokal, misalnya dengan memanfaatkan tepung sagu.

Mie sagu merupakan salah satu produk olahan di Maluku yang terbuat dari pangan lokal sagu. Pati sagu berbeda dengan tepung terigu, karena di dalam pati sagu tidak terdapat gluten. Gluten merupakan suatu massa yang kohesif dan dapat meregang secara elastis sehingga peningkatan gluten akan menyebabkan adonan semakin elastis dan tidak mudah putus, baik sewaktu pencetakan maupun gelatinisasi. Namun dengan adanya proses pregelatinasi dan penggunaan teknologi ekstruder dapat digunakan 100% pati sagu yang menghasilkan mie yang kenyal seperti mie tepung terigu.

Widaningrumet al. (2005) menyatakan bahwa mie sagu termasuk ke dalam

mie berbasis pati, karena terdapat resistant starch (pati resisten). Mie sagu

mengandung pati resisten sekitar 45 mg/g. Kadar resistant starch di dalam mie

sagu 4-5 kali lebih besar dibanding kadar resistant starch mie instan terigu.

Kandungan resistant starch yang tinggi sangat bermanfaat bagi kesehatan usus

(29)

Selama ini pembuatan mie sagu yang dihasilkan memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi, tetapi sangat rendah kandungan protein. Beberapa penelitian tentang mie sagu telah dilakukan diantaranya adalah pembuatan mie sagu dengan pemanfaatan tepung rumput laut (Pujiastuti 2009) dan penggunaan suhu pemeraman (Widaningrum et al. 2005). Kandungan protein yang rendah

mengakibatkan diperlukan upaya untuk memperkaya nilai gizi dari mie sagu dengan fortifikasi protein hewani. Interaksi protein dengan polisakarida digunakan dalam industri makanan karena berperan penting dalam struktur dan tekstur bahan makanan, akibat adanya interaksi elektrostatik atau ikatan kovalen (Stephen 1995).

Interaksi protein dengan polisakarida dalam pembuatan mie sagu dapat memberikan pilihan yang lebih variatif bagi masyarakat luas sekaligus mendorong usaha-usaha Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal , sehingga ketergantungan masyarakat terhadap konsumsi beras dan terigu dapat dikurangi. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mempelajari karakteristik mie sagu dengan penambahan tepung ikan cakalang.

1.2. Perumusan Masalah

Propinsi Maluku memiliki sumberdaya alam yang potensial antara lain sagu dan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis), namun pemanfaatannya belum

dilakukan secara optimal. Pemanfaatan sagu masih dalam bentuk makanan tradisional antara lain sagu lempeng, bagea, sinoli, dan buburne (Lawalata 2004). Potensi ikan cakalang saat ini berada pada tingkat pemanfaatan masih rendah karena dikelola oleh usaha perikanan berskala kecil dan bersifat tradisional (Wardja 2011). Menurut Gaspersz (1985) pemanfaatan ikan cakalang masih dalam bentuk produk olahan tradisional, yaitu dendeng dimana usaha pengolahan ini umumnya masih dilakukan dengan cara sederhana, serta masalah sanitasi, dan hygiene kurang mendapat perhatian dari para pengolah.

Untuk meningkatkan pemanfaatan dan nilai tambahnya, ikan cakalang dapat diolah menjadi tepung ikan. Cakalang merupakan hasil perikanan yang bersifat mudah rusak dan membusuk (perishable)karena memiliki daging berwarna gelap

(30)

atau bau. Untuk mengurangi kandungan lemak maka dalam pembuatan tepung ikan cakalang dilakukan prosesdeffatingyaitu penghilangan lemak.

Proses deffating dapat dilakukan dengan perlakuan perendaman dalam air,

asam, dan alkali pada proses pengolahannya. Pengurangan mioglobin dan lemak lebih mudah terjadi dengan dalam proses alkali atau asam, bila dibandingkan dengan proses konvensional (Rawdkuen et al. 2009). Hultin et al. (2005)

menyatakan bahwa proses asam dan alkali dapat mengatasi beberapa masalah karena menggunakan otot gelap (daging merah/gelap). Proses asam dan alkali dalam perendaman daging ikan cakalang diharapkan menjadi alternatif untuk menghasilkan tepung ikan yang berkualitas dengan kandungan protein yang tinggi dan rendah lemaknya sebelum ditambahkan kedalam produk mie sagu.

Tekstur dan struktur produk secara keseluruhan tidak hanya tergantung pada sifat individu protein dan polisakarida, tetapi juga sifat alami, dan kekuatan interaksi protein dengan polisakarida. Oleh karena itu, untuk mengembangkan sifat yang diinginkan pada produk makanan, pengetahuan mekanisme interaksi protein dengan polisakarida sangat penting (Hemaret al.2002).

Pemanfaatan ikan pelagis dalam produk pangan telah dikaji, namun demikian pemanfaatan ikan cakalang dalam produk mie sagu belum pernah dilakukan. Interaksi protein dan karbohidrat dalam mie sagu diharapkan akan membantu meningkatkan nilai gizi. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik tepung ikan yang dihasilkan serta untuk mengetahui pengaruh penambahan tepung ikan cakalang dalam peningkatan kandungan protein mie sagu.

1.3. Tujuan dan Manfaat

Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan :

1) pengaruh kombinasi lama perendaman dan metode perendaman ikan dalam air, asam asetat3%, dan natrium bikarbonat 0,8% dalam proses deffating

terhadap karakteristik fisiko-kimia tepung ikan cakalang,

(31)

Manfaat penelitian adalah sebagai salah satu sumber informasi ilmiah pemanfaatan sagu dan ikan cakalang dalam produk mie sagu sebagai sumber alternatif makanan bergizi.

1.4. Hipotesis

Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1) Proses deffating dengan kombinasi perlakuan metode perendaman pada air,

asam asetat 3%, dan natrium bikarbonat 0,8% dengan lama perendaman 2, 4, dan 6 jam mempengaruhi karakteristik fisiko-kimia tepung ikan,

(32)
(33)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biologi dan Komposisi Kimia Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis)

Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) merupakan jenis ikan pelagis

yang beruaya dan mendiami seluruh perairan tropis dan subtropis lautan di dunia (Arai et al. 2005). Spesies ini secara komersial sangat penting, dan menempati

peringkat pertama dari 10 spesies yang telah memberi kontribusi yang besar dalam penangkapan secara global (FAO 2009).

Ciri-ciri morfologi ikan cakalang antara lain badan berbentuk torpedo

(fusi form), memanjang, dan bulat dengan kedua ujung mulutnya meruncing.

Ikan ini mempunyai 4-6 garis hitam tebal, seperti pita yang membujur di bagian bawah gurat sisinya. Punggung ikan cakalang berwarna biru keunguan, sedangkan bagian tubuh di bawah gurat sisi dan perut berwarna keperak-perakan. Tubuh ikan cakalang tidak bersisik, kecuali pada gurat sisi dan bagian depan sirip punggung pertama. Ikan cakalang mempunyai 7-9 sirip dubur dan pada bagian batang ekornya terdapat tiga buah tonjolan. Ikan cakalang memiliki ukuran panjang yang bervariasi mulai dari ukuran 26,0 cm sampai 58,9 cm. Ukuran ini merupakan ukuran ikan yang telah dewasa atau layak untuk dieksploitasi (Syamsuddin et al. 2007). Klasifikasi cakalang menurut Direktorat Jenderal

Perikanan (1979) adalah sebagai berikut : Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata Kelas : Pisces Subkelas : Teleostei Ordo : Percomorphi Subordo : Scombridea Famili : Scombridae Subfamili : Thunninae Genus : Katsuwonus

Spesies : Katsuwonus pelamis

(34)

Gambar 1 Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) (FAO 2012).

Menurut Miyake et al. (2004) sebagian besar tangkapan ikan cakalang

berasal dari Samudera Pasifik. Ikan ini merupakan salah satu perikanan paling produktif di dunia, terutama Pasifik utara barat. Ikan cakalang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan potensinya besar di perairan Indonesia bagian timur. Lokasi penangkapan ikan cakalang tersebar diantara 5oLU-10oLS, terdiri dari Laut Sulawesi, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Flores, dan Laut Sawu sedangkan Laut Timor, dan Laut Arafura, serta perairan utara Irian dalam batas antara 131oBT-146oBT dan 5oLU-11oLS (Bunyamin 1981).

Komposisi kimia daging ikan bervariasi menurut jenis, umur, kelamin, dan musim. Perubahan musim yang terjadi berpengaruh pada kandungan lemak sebelum dan sesudah memijah. Kandungan lemak berbeda pada bagian tubuh yang satu dengan yang lain. Ketebalan lapisan lemak di bawah kulit berubah menurut umur atau musim. Lemak paling banyak terdapat di dinding perut (Murniyati dan Sunarman 2000). Daging ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)

segar mempunyai komposisi kimia yang terdiri dari kadar air 70,40%, kadar protein 25,80%, kadar lemak 2,00%, dan kadar abu 1,40% (Murniyati dan Sunarman 2000).

(35)

2.2 Tepung Ikan

Tepung ikan merupakan sumber protein yang sangat baik karena dapat meningkatkan konsumsi makanan dan pakan (Solangi et al. 2002). Tepung ikan

adalah tepung yang berwarna coklat yang diperoleh setelah memasak, menekan, pengeringan, dan penggilingan ikan. Penggunaan ikan sebagai tepung hampir secara keseluruhan dari kecil, spesies ikan pelagis (biasanya hidup di permukaan perairan atau di kedalaman laut), dan 90% dari ikan yang digunakan untuk membuat tepung ikan dalam jumlah besar sebagai konsumsi makanan manusia (Green 2010).

Komposisi tepung ikan bervariasi tergantung pada spesies ikan dan metode yang digunakan dalam pengolahan (Nadeem 2003). Tepung ikan yang baik adalah tepung ikan yang berkadar protein tinggi, yaitu di atas 60% dan mengandung kadar lemak rendah 3-7%. Lemak yang terlalu tinggi akan mengakibatkan tepung ikan mudah tengik sehingga menyebabkan mutu rendah. Tepung ikan yang memenuhi syarat adalah tepung ikan rucah karena dapat menyamai tepung ikan impor (Puspita 2005). Tepung ikan yang dipasarkan memiliki protein kasar 65%, tetapi dapat bervariasi dari 57-77% tergantung pada spesies ikan yang digunakan (Maigualema dan Gernet 2003).

Menurut Jassim (2010) komposisi kimia tepung ikan, yaitu protein kasar 60%, kadar air 2,5%, lemak 2,54%, dan kadar abu 1,2%. Kandungan protein tepung ikan relatif tinggi. Protein tersebut disusun oleh asam-asam amino esensial yang kompleks, diantaranya asam amino lisin 3,1%, metionin 0,96%, vitamin 2,00 mg, kalsium 0,3 mg, dan fosfor 1,2 mg. Ikan tuna memiliki komposisi proksimat adalah kadar air 6,6%, protein 61,3%, lemak 13,6%, dan abu 19,4% (Tekinayet al. 2009).

(36)

diolah menjadi tepung ikan terdapat dalam jumlah yang kecil dan tidak teratur pengadaanya, maka hasil tangkapan tersebut dapat diolah dalam skala kecil dengan menggunakan metode sederhana (Ilyaset al. 1985).

Mutu tepung ikan dipengaruhi oleh bahan baku yang digunakan, metode pengolahan, cara pengolahan, dan lama penyimpanan. Proses pembuatan yang semakin baik diharapkan dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas tepung yang dihasilkannya, sehingga dapat meningkatkan dan memenuhi kebutuhan tepung ikan dalam negeri (Annafi 2009).

Tepung ikan yang berkualitas baik harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: tepung ikan harus merupakan partikel-partikel yang dapat melewati saringan Tyler nomor 8, memiliki warna terang, keputihan, abu-abu sampai coklat muda. Selain itu tepung ikan memiliki kandungan protein lebih dari 50%, kandungan lemak 2,5-5%, dan kandungan air 6% (Murtidjo 2001).

Tepung ikan dapat dijadikan sebagai bahan fortifikasi pada produk pangan yang rendah proteinnya. Menurut Irianto (2011), fortifikasi pangan adalah penambahan satu atau lebih zat gizi (nutrien) ke pangan. Tujuan utama adalah untuk meningkatkan tingkat konsumsi dari zat gizi yang ditambahkan sehingga dapat meningkatkan status gizi populasi. Fortifikasi pangan dapat diterapkan untuk tujuan-tujuan berikut :

1) Untuk memperbaiki kekurangan zat-zat dari pangan (untuk memperbaiki defisiensi akan zat gizi yang ditambahkan).

2) Untuk mengembalikan zat-zat yang awalnya terdapat dalam jumlah yang siquifikan dalam pangan akan tetapi mengalami kehilangan selama pengolahan.

3) Untuk meningkatkan kualitas gizi dari produk pangan olahan (pabrik) yang digunakan sebagai sumber pangan bergizi missal : susu formula bayi.

4) Untuk menjamin equivalensi gizi dari produk pangan olahan yang menggantikan pangan lain, misal margarin yang difortifikasi sebagai pengganti mentega.

2.3 Sagu (Metroxylonsp.)

Sagu (Metroxylon sp.) tergolong suku palmae dan merupakan tanaman

(37)

tumbuh mengelompok membentuk rumpun mulai dari anakan sampai tingkat pohon. Tinggi pohon dewasa berkisar 8-20 m, tergantung jenis dan tempat tumbuh. Batang sagu terdiri dari lapisan kulit bagian luar yang keras, dengan tebal sekitar 3-5 cm, bagian ini sering digunakan sebagai bahan bangunan di daerah Maluku. Bagian yang kedua yaitu bagian dalam berupa empulur yang mengandung serat-serat dan aci atau pati (Lawalata 2004).

Pohon sagu (Metroxylon sp.) merupakan tumbuhan yang berkembang

biak melalui tunas akar sehingga tumbuh berkelompok atau dengan bijinya. Taksonomi sagu mengacu pada Haryanto dan Pangloli (1992) adalah :

Divisio : Spermathophyta Ordo : Spadiciflorae Klas : Angiospermae Subklas : Monocotyledoneae Famili : Palmae

Genus : Metroxylon Spesies :Metroxylonsp

Sagu adalah produk pangan yang diperoleh dari empulur batang tanaman. Jenis sagu yang diketahui adalah Metroxylon sago atau Metroxylon rumphii.

Pati sagu adalah pati yang diperoleh dari sari empulur pohon sagu. Sagu memiliki kadar air tidak lebih dari 13% (BPOM 2006).

Sagu (Metroxylonsp) merupakan sumber karbohidrat yang cukup penting di

Indonesia dan menempati urutan ke 4 setelah ubi kayu, jagung dan ubi jalar. Tanaman sagu tersebar di kawasan Timur Indonesia terutama Papua, Maluku dan Sulawesi. Sebanyak 90% (1.015 juta ha) tumbuh dan berkembang di Propinsi Papua dan Maluku (Lakuy dan Limbongan 2003). Sagu (pati sagu) dimanfaatkan sebagai makanan pokok masyarakat di kawasan Timur Indonesia. Pati sagu diolah dalam bentuk makanan tradisional seperti papeda, kapurung dan sagu bakar (Lestari 2009).

(38)

sagu sebagai makanan pokok dan sekitar 1.000.000 orang mengkonsumsi sagu untuk diet.

Sagu memiliki kandungan karbohidrat, protein, lemak, kalsium, dan zat besi yang tinggi. Dengan kandungan tersebut, sagu berpotensi dijadikan sebagai bahan baku sirup glukosa yang dapat meningkatkan nilai tambah sagu. Pati sagu mengandung 27% amilosa dan 73% amilopektin. Perbandingan komposisi kadar amilosa dan amilopektin akan mempengaruhi sifat pati. Semakin tinggi kadar amilosa maka pati bersifat kurang kering, kurang lekat dan mudah menyerap air (higroskopis) (Wirakartakusumahet al. 1986).

Menurut Hasbullah (2008), tepung sagu adalah pati yang diekstrak dari batang sagu. Produk ini digunakan untuk pengolahan makanan, pakan, kosmetik, industri kimia, dan pengolahan kayu. Batang sagu dapat diolah menjadi tepung sagu dengan cara sederhana menggunakan alat-alat yang biasa terdapat di dapur rumah tangga. Untuk industri kecil pengolahan memerlukan alat-alat mekanis untuk mempertinggi efisiensi hasil dan biaya.

Cara pengolahan pati sagu memiliki beberapa tahapan proses pengolahan, yaitu meliputi penebangan pohon, pemotongan dan pembelahan, penokokkan atau pemarutan, pemerasan, penyaringan, pengendapan, dan pengemasan. Penebangan pohon dilakukan menggunakan peralatan sederhana, yaitu parang atau kampak, selanjutnya batang sagu dibersihkan dan dipotong-potong. Potongan-potongan batang sagu kemudian dibelah dua dan empulur batang yang mengandung aci dihancurkan dengan alat yang disebut nanni. Penghancuran empulur sagu

dilakukan dengan pemarutan empulur. Pemarutan dilakukan untuk memisahkan aci dari serat-serat empulur. Empulur yang telah ditokok atau diparut akan berwarna kecoklatan. Empulur hasil tokokan dibawa ke tempat peremasan atau penyaringan yang disebut goti. Goti terdiri dari dua bagian, yaitu tempat

peremasan yang disebut sahanidan tempat pengendapan aci yang disebuttawaer.

(39)

0,7 g, lemak 0,2 g, air 14,0 g, karbohidrat 84,7 g, fosfor 13 mg, kalsium 11 mg dan besi 1,5 mg (Direktorat Gizi 1979).

2.4 Mie

Mie (noodle) adalah salah satu produk pangan yang terbuat dari tepung dan

menyerupai tali. Mie merupakan salah satu jenis produk pasta yang ditemukan pertama kali oleh bangsa Tiongkok 5000 tahun SM, lalu berkembang ke daerah Asia yang lain, sampai akhirnya terkenal di seluruh dunia. Seluruh dunia telah mengenalnya dengan masing-masing nama atau istilahnya. Dalam bahasa Inggris disebut noodle, bahasa Jepang terdapat beberapa

istilah yaitu ramen dan udon. Mie merupakan salah satu bentuk pangan

yang cukup populer dan disukai oleh berbagai kalangan masyarakat. Jenis makanan ini digemari oleh berbagai lapisan masyarakat, karena penyajiannya sangat mudah dan cepat. Mie dapat digunakan sebagai lauk pauk juga sebagai bahan alternatif pengganti nasi. Beragam jenis mie dijumpai di pasar, yang disebabkan oleh perbedaan bahan baku. Berdasarkan cara penyiapannya dikenal dengan mie basah, mie kering, dan mie instan (Purwaniet al. 2006a).

Mie dapat diklasifikasikan berdasarkan 2 kategori, yaitu berdasarkan bahan baku dan proses pengolahannya.

(a) Mie berdasarkan bahan baku

Berdasarkan bahan bakunya, mie dapat dibagi menjadi 2 jenis mie, yaitu mie terigu dan mie non-terigu. Mie terigu yaitu mie yang bahan baku utamanya menggunakan terigu atau campuran dengan tepung yang lain (buckwheat flour). Yang termasuk mie terigu tersebut, yaitu mie

Jepang dan Cina. Mie Jepang yaitu udon biasanya berwarna putih dan memiliki

tekstur yang lebih lunak. Mie ini terbuat dari tepung terigu softdanmedium yang

memiliki kandungan protein 8-10%, kadar abu 0,33-0,45%, air, dan garam. Mie Cina biasanya berwarna kuning dan memiliki tekstur yang keras. Tepung terigu yang digunakan untuk membuat mie ini biasanya tepung terigu jenis hard.

Tepung terigu jenishard memiliki kandungan protein 10,5-12,0% dan kadar abu

(40)

Ada jenis lain yang tergolong mie terigu yaitu soba. Mie jenis ini memiliki warna coklat muda atau abu-abu dengan rasa dan flavour yang unik. Mie tersebut merupakan campuran tepung terigu dan buckwheat flour, dengan berbagai variasi

sesuai dengan produk yang diinginkan. Kelebihan dari buckwheat flour, yaitu

memiliki nutrisi yang sangat baik, daya cerna tinggi, kandungan lisin dan lesitin tinggi, serta kadar mineral tinggi (Virtucio 2004). Di benua Eropa terdapat jenis mie yang biasa disebut dengan pasta. Pasta berbentuk helaian dikenal dengan

nama spaghetti, fettucine dan vermicelli. Perbedaan antara pasta dengan mie

terigu antara lain pasta terbuat dari durum (Triticum durum), tepung semolina, dan

air sedangkan mie terigu terbuat dari tepung gandum (Triticum aestivum), air, dan

alkali (Kruger et al. 1996). Menurut Fabriani dan Lintas (1988) terdapat

perbedaan karakteristik mie terigu dan pasta, yaitu mie terigu terbuat dari tepung gandum yang berwarna putih dan biji yang keras sedangkan pasta pasta terbuat dari durum yang berwarna kuning, bukan putih dan memiliki biji yang lebih keras. Mie non-terigu terkadang disebut dengan mie berbasis pati. Yang tergolong mie non-terigu antara lain bihun dan soun. Terdapat perbedaan karakteristik bihun dan soun. Bihun merupakan makanan yang terbuat dari tepung beras, berwarna putih kusam, tekstur agak kesat, helai bihun yang masih kering sangat rapuh (mudah patah) dan cara melunakkan bihun adalah diseduh dengan air mendidih selama 20 menit. Bihun atau mihun merupakan masalah satu jenis makanan dari Tiongkok, bentuknya seperti mie namun lebih tipis. Dalam bahasa Inggris disebut rice vermicelli atau rice noodles atau rice sticks. Bihun berasal

dari bahasa Tionghoa, yaitu Bi artinya beras dan hun artinya tepung. Bahan

baku bihun adalah tepung beras. Soun adalah mie halus yang terbuat dari pati. Bahan baku adalah pati kacang hijau, umbi (kentang, ubijalar, tapioka), sagu, aren, dan midro (ganyong) di Korea disebut dangmyun atau tangmyon)

(41)

(b) Mie berdasarkan proses pengolahannya

Berdasarkan proses pengolahannya, mie yang dipasarkan terdiri dari mie mentah (Raw Chinese Noodles), mie basah (Boiled Noodle), mie kering (Steamed

and Dried Noodles), dan mie instan (Steamed and Fried Noodle/instant noodle)

(Haryanto dan Pangloli 1992). Proses pembuatan mie yaitu semua bahan dicampur dan diaduk dalam mixer sampai terbentuk adonan seperti dalam pembuatan roti. Adonan ditekan sampai permukaan halus. Adonan digiling membentuk lembaran, kemudian dilipat dua kali dan digiling kembali. Proses ini dilakukan beberapa kali sampai permukaan lembaran adonan menjadi halus dan tidak kelihatan bintik-bintik tepung atau aci. Lembaran adonan didiamkan selama kurang lebih 15 menit supaya semua bahan tercampur secara sempurna, kemudian diroll sampai mencapai ketebalan kurang lebih 0,5 mm. Jenis mie yang dihasilkan pada proses ini adalah mie mentah (raw noodle) (Haryanto dan Pangloli 1992).

Mie mentah yang diperoleh dapat diproses lebih lanjut untuk menghasilkan jenis atau bentuk-bentuk mie lainnya. Untuk memproduksi mie basah, mie mentah dibiarkan kurang lebih 30 menit kemudian direbus dalam air mendidih selama kurang lebih 5 menit. Mie yang dihasilkan dicuci dengan air dingin sampai semua pati yang tidak tergelatinisasi terbuang, setelah itu ditiriskan, dan diolesi minyak goreng supaya lembaran-lembaran mie tidak lengket (Haryanto dan Pangloli 1992).

Proses pengolahan mie kering (Steam and Dried Noodle) hampir sama

dengan pengolahan mie instan. Untuk menghasilkan mie kering, mie mentah yang telah didiamkan selama kurang lebih 30 menit dikukus kemudian dikeringkan pada suhu kurang lebih 40 oC, sedangkan untuk mie instan setelah proses pengukusan (steam) dilanjutkan dengan proses penggorengan (fried) (Haryanto

dan Pangloli 1992).

Mie yang beredar di pasaran adalah mie kering dengan bahan baku utamanya adalah tepung terigu. Komposisi kimia hasil karakterisasi dari mie adalah kadar protein 39,61%, kadar air 3,44%, kadar abu 1,6%, dan kadar vitamin A 0,014 mg (Nasution 2005).

(42)

efeknya terhadap gula darah. Pangan yang menaikkan kadar gula darah dengan cepat memiliki IG tinggi. Sebaliknya, pangan yang menaikkan kadar gula darah dengan lambat memiliki IG rendah. Indeks glikemik bahan pangan dipengaruhi oleh kadar amilosa, protein, lemak, serat, dan daya cerna pati. Daya cerna pati merupakan kemampuan pati untuk dapat dicerna dan diserap dalam tubuh. Karbohidrat yang lambat diserap menghasilkan kadar glukosa darah yang rendah dan berpotensi mengendalikan kadar glukosa darah (Rimbawan dan Siagian 2004). IG dikategorikan tinggi jika memiliki nilai 70 atau lebih, sedang antara 56-69 dan rendah jika nilainya 55 ke bawah (Milleret al. 1997). Beberapa produk

sumber karbohidrat memiliki nilai indeks glikemik dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Nilai indeks glikemik beberapa produk sumber karbohidrat

Produk Nilai indeks glikemik Golongan IG

Mie kacang hijau* 26 Rendah

Mie sagu* 28 Rendah

Gandum* 30 Rendah

Mie instan (dari gandum)* 47 Rendah

Semolina* 55 Sedang

Mie jagung varietas Srikandi putih* 57 Sedang

Jagung* 59 Sedang

Spaghetti (dari semolina)* 59 Sedang

Mie atau pasta beras* 61 Sedang

Tepung jagung* 68 Sedang

Beras* 69 Sedang

Jagung pipil merah kukus** 79,36 Tinggi

Nasi (Beras BMW Cianjur)** 81,7 Tinggi

Sumber : * Rimbawan dan Siagian (2004) ** Yulianiet al. 2011

2.5 Mie Sagu

(43)

dibandingkan dengan mie yang terbuat dari tepung terigu. Bila dilihat secara sekilas, penampakan mie ini tidak berbeda jauh dengan mie terigu, namun bila dilihat lebih seksama mie ini memiliki warna yang lebih mengkilap dan keras. Hasil pengolahan dari mie sagu memiliki tekstur yang lebih kenyal tetapi tidak elastis dan licin ketika dimakan. Oleh karena itu masyarakat menyebutnya mie glosor (Hendrasari 2000).

Mie berbasis pati sangat berbeda dengan mie dari bahan terigu. Kekhasan mie berbasis pati adalah adonan terbuat dari campuran binder (pati

tergelatinisasi) dengan pati mentah (native). Binder berfungsi sebagai pengikat

seperti halnya gluten pada terigu sehingga dapat dibentuk adonan yang mudah ditangani (Purwani et al. 2004). Menurut Hendrasari (2000), mie sagu memiliki

sifat yang berbeda bila dibandingkan dengan mie yang terbuat dari terigu, yaitu memiliki tekstur yang lebih kenyal namun tidak elastis dan licin waktu di makan. Kandungan karbohidrat mie sagu sangat tinggi, tetapi sangat rendah kadar protein, lemak, dan zat gizi lainnya.

Munarso (2004) mengemukakan bahwa pati resisten memiliki peran penting bagi kesehatan saluran pencernaan. Pati resisten dapat memperbaiki kesehatan kolon dengan cara mendorong perkembangan sel-sel sehat yang kuat. Pati resisten memiliki manfaat prebiotik, yaitu menstimulasi pertumbuhan dan aktivitas bakteri menguntungkan (bifidobacteria), serta menurunkan konsentrasi

bakteri patogen (Escherichia colidan Clostridia). Penambahan pati resisten dapat

menurunkan ketersediaan karbohidrat tercerna, yang hasilnya adalah tingkat respon glikemik yang rendah. Pemanfaatan pati resisten dapat diarahkan pada pengembangan pangan untuk penderita diabetes maupun untuk mereka yang melakukan diet.

Mie sagu biasanya berwarna kuning, kuning kemerahan, coklat kemerahan, atau putih. Ketika dimakan terasa kenyal dan licin. Mie yang baik ketika dimasak, yaitu tampak transparan, tidak mudah putus, dan tidak mengakibatkan air perebusannya keruh. Hal ini menandakan bahwa tidak banyak padatan mie yang terlepas atau padatan yang hilang relatif kecil (Purwaniet al. 2006c).

(44)

dikonsumsi dengan bahan pangan lain untuk mendapatkan tambahan zat gizi yang memadai (Purwani et al. 2006b). Mie sagu memiliki komposisi kimia dengan

karakteristik dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Karakteristik mie sagu dari Palopo dan BBPP Pertanian Bogor

Karakteristik Mie Sagu Palopo Sulawesi

Selatan Mie Sagu BBPPPertanian Bogor

Rendemen (%) 347,7 315,5

Sumber : Purwaniet al. (2006b)

2.6 Interaksi Karbohidrat dan Protein

Sistem makanan selalu mengandung campuran heterogen protein dan polisakarida yang berbeda sifat alami kimia, modifikasi, rantai dasar, ukuran, bentuk molekul, tingkatan hidrolisis, denaturasi, disosiasi dan agregasi. Interaksi protein dengan polisakarida, beragam protein satu sama lain, dan dengan air akan mengatur kelarutan dan co-solubility biopolimer, kemampuan untuk membentuk

larutan dan gel kental, viskoelastis dan sifatnya di permukaan (Damodaran dan Paraf 1997).

Menurut Oakenfull et al. (1997) jika protein dan polisakarida berinteraksi

dapat menghasilkan tiga kemungkinan, yaitu:

1) Co-solubility, bila terjadi interaksi yang bersifat tidak nyata karena kedua

molekul primer memiliki eksistensi sendiri-sendiri.

2) Incompatibility, bila kedua tipe polimer saling menolak sehingga

menyebabkan keduanya berada pada fase terpisah.

3) Complexing, yaitu kedua polimer saling berikatan yang menyebabkan

membentuk fase tunggal atau endapan.

(45)

gel yang berbeda. Bila proses pencampuran adalah eksotermik, dan interaksi tarik menarik maka dapat mengarah pada susunan komplek larut atau tidak larut.

Menurut Hurrel (1980), protein merupakan komponen yang paling aktif dari kebanyakan bahan pangan. Protein dapat bereaksi dengan gula pereduksi, lemak, dan zat-zat hasil oksidasi. Hal ini dapat menyebabkan turunnya nilai gizi, munculnya flavor yang tidak diinginkan, reaksi browning, dan timbulnya zat

toksik. Kemampuan protein untuk mengikat komponen pangan lain penting untuk formulasi makanan. Ikatan ini menyebabkan gaya adhesi, pembentukan serat dan film, serta peningkatan viskositas. Sifat fungsional protein dapat didefinisikan sebagai sifat-sifat fisiko-kimia di luar sifat nutrisi yang memungkinkan protein menyumbang karakteristik tertentu pada suatu makanan (Cheftel et al. 1985).

Menurut Philips dan Beuchat (1981) protein dapat berinteraksi dengan komponen lain di dalam sistem pangan yang kompleks selama persiapan, pengolahan, penyimpanan, dan konsumsi.

Karbohidrat secara alami dapat berinteraksi dengan protein. Menurut Farnumet al.(1976), interaksi antara protein dan karbohidrat dapat terjadi karena

adanya pembentukkan ikatan ionik dan hidrogen di dalam struktur film, sedangkan Samanth et al. (1993) menjelaskan bahwa interaksi polisakarida

dengan protein dapat terjadi karena pembentukan kompleks elektrostatik, antara lain polisakarida anionik, CMC, pH 6 dengan mioglobin, dan Bovine Serum

Albumin (BSA). pH mioglobin biasanya bermuatan positif sedangkan BSA

bermuatan negatif. Ketergantungan muatan ini memerlukan adanya keterlibatan grup karboksilat dari polisakarida dan residu asam amino yang bermuatan positif seperti -amino, -amino, guanidium, dan imidizol. Kekuatan interaksi yang sebenarnya sangat tergantung pada jumlah dan distribusi sisi-sisi tersebut. Proses denaturasi akibat pemanasan atau penambahan alkali dapat menyebabkan jumlah sisi-sisi meningkat, karena terbebaskan dari strukturnya yang dapat memaksimalkan interaksi dan menghasilkan kompleks yang stabil (Imesonet al.1977).

(46)

mempermudah pembentukan ikatan silang dan juga memiliki nilai gizi yang baik. Sifat-sifat protein yang penting dalam pembentukan gel adalah fleksibilitas, yaitu kemampuan protein untuk terdenaturasi dan membentuk jaringan dengan ikatan silang (Oakenfullet al.1997).

(47)

3. METODE PENELITIAN

3.1.Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2011 hingga bulan Maret 2012. Penelitian dilakukan di beberapa laboratorium yaitu Laboratorium Pengolahan LIPI Ambon untuk preparasi sampel dan pengukusan ikan, Laboratorium Preservasi dan Pengolahan Hasil Perairan untuk pengepresan daging ikan, Laboratorium Kimia Terpadu Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB untuk pembuatan tepung ikan, analisiscooking time, cooking losses dan

karakteristik kimia, Laboratorium Organoleptik Departemen Teknologi Hasil Perairan untuk uji organoleptik, Laboratorium Teknologi Industri Agro dan Biomedika PUSPITEK Serpong untuk pembuatan mie sagu, Laboratorium Pengolahan Pangan IPB untuk pengujian warna dan elastisitas mie sagu, dan laboratorium Zoologi LIPI Cibinong untuk analisa mikrostruktur mie sagu (SEM).

3.2 Bahan dan Alat

3.2.1 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi tiga jenis yaitu bahan untuk pembuatan tepung ikan, bahan untuk pembuatan mie sagu dan bahan untuk analisis. Bahan baku untuk pembuatan tepung ikan adalah ikan cakalang. Bahan baku ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) berasal dari Desa Latuhalat Kota

Ambon-Maluku. Bahan pendukung yang digunakan untuk pembuatan tepung ikan meliputi air, asam asetat 3% dan natrium bikarbonat 0,8%, sedangkan bahan yang digunakan untuk karakterisasi tepung ikan adalah pelarut lemak berupa N-heksan, selenium, H2SO4pekat, NaOH, akuades, H3BO3, HCl, dan indikator Brom Cresol

Green-Methyl Redberwarna merah muda. Pada tahap pembuatan mie sagu, bahan

yang digunakan adalah tepung sagu, tepung ikan, air, dan garam. Bahan yang digunakan untuk analisis karakteristik mie sagu terdiri dari analisis organoleptik adalah score sheet dan sampel mie sagu. Bahan untuk analisis fisik adalah air,

akuades, dan sampel mie sagu. Bahan untuk analisis kimia adalah selenium, H2SO4pekat, akuades, NaOH, H3BO3, HCl, indikatorBrom Cresol Green-Methyl

Red berwarna merah muda dan pelarut lemak berupa N-heksan. Spesifikasi

(48)

3.2.2 Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini juga terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu alat yang digunakan untuk pembuatan tepung ikan, pembuatan mie sagu dan alat untuk analisis karakteristik mie sagu. Alat-alat yang digunakan dalam proses pembuatan dan karakterisasi tepung ikan adalah timbangan digital (Fisher scientific), alat press (Press-Tokyo Jepang), dan oven (Heraeus instrument), cawan porselen (Duran), desikator (csn simax), tanur (Furnace thermolyne), labu soxhlet (Kimax), labu kjeldahl (Duran dan Pyrex), dan labu erlenmeyer (Pyrex). Pembuatan mie sagu menggunakan alat-alat antara lain adalah ekstruder (power 2 pk screw bertingkat), timbangan digital (Fisher scientific), sedangkan untuk karakteristik mie sagu alat yang digunakan adalah chromameter minolta (tipe CR 200, Jepang), hot plate (Cimarec 3), gelas arloji,

cawan petri (Pyrex), oven (Heraeus instrument), desikator (csn simax), timbangan digital (Fisher scientific), texture analyzer TAXT2 (kec 3 mm/det dan force 100

g),scanning electron microscope(SEM) JFC-1100, cawan porselen (Duran), oven

(Heraeus instrument), tanur (Furnace thermolyne), labu soxhlet (Kimax), kertas saring, labu kjeldahl (Duran dan Pyrex) dan labu erlenmeyer (Pyrex).

3.3 Tahapan Penelitian

Penelitian ini terdiri dari penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan adalah pembuatan tepung ikan dan analisis karakteristik fisiko-kimia tepung ikan yang dihasilkan. Penelitian utama adalah pembuatan mie sagu dengan penambahan tepung ikan terbaik yang dihasilkan pada penelitian pendahuluan dilanjutkan analisis karakteristik organoleptik, fisiko-kimia dan mikrostruktur mie sagu.

3.3.1 Penelitian Pendahuluan

(49)

Ikan cakalang

mengetahui rendemen, kadar air, kadar abu, kadar protein, dan kadar lemak. Pada tahap ini akan diperoleh tepung ikan terbaik dengan kadar protein tertinggi dan kadar lemak rendah yang akan digunakan dalam proses pembuatan mie sagu. Diagram alir prosedur pembuatan tepung ikan dapat dilihat pada Gambar 2.

Keterangan : *bagian yang dimodifikasi

Gambar 2 Diagram alir pembuatan tepung ikan cakalang (Modifikasi Amirullah 2008).

Pencucian dan penyiangan

Pemfilletan (7 x 5 x 1 cm3) *

Perendaman dengan air, asam asetat 3%; natrium bikarbonat 0,8% (faktor A) dan lama perendaman 2, 4, dan 6 jam (faktor B), dengan

perbandingan 2 : 1 *

Pengukusan10 menit, 80oC

Pengepresan 10 menit

Pengeringan pada suhu 50oC, 5 jam

Penepungan 60 mesh

Tepung ikan terbaik

Tepung ikan

(50)

3.3.2 Penelitian Utama

Pembuatan mie sagu dilakukan mengacu pada metode CV Putra Santoso (2010) yang telah dimodifikasi. Perlakuan yang diberikan dalam pembuatan mie sagu adalah penambahan tepung ikan dengan konsentrasi 0%, 2%, 4%, 6%, dan 8%. Untaian mie sagu yang utuh dibandingkan dengan SNI 01-3551-2000 tentang Mie Instan (Lampiran 1). Diagram alir prosedur pembuatan mie sagu dapat dilihat pada Gambar 3.

Keterangan : *bagian yang dimodifikasi

Gambar 3 Diagram alir pembuatan mie sagu (Modifikasi CV Putra Santoso 2010).

Parameter yang diamati pada penelitian utama adalah analisis organoleptik uji skoring dan uji perbandingan pasangan, dimana sampel mie sagu disajikan dalam bentuk mie basah dan diberi kode sesuai dengan konsentrasi tepung ikan. Penilaian uji skoring dan perbandingan pasangan dilakukan oleh 20 orang panelis

Tepung sagu 100% + konsentrasi tepung ikan 0%, 2%, 4%, 6%, dan 8% *

(51)

semi terlatih meliputi tekstur, warna, aroma, dan rasa. Analisis fisik yaitu warna,

cooking time,cooking losses, dan elastisitas mie. Analisis kimia terdiri dari kadar

air, kadar abu, kadar protein, dan kadar lemak serta kadar karbohidrat (by

difference). Analisis mikrostruktur mie sagu menggunakan Scanning Electron

Microscope(SEM).

3.4 Prosedur Analisis

3.4.1 Analisis organoleptik

Analisis organoleptik mie sagu dalam penelitian ini menggunakan uji skoring dan uji perbandingan pasangan. Uji skoring berfungsi untuk menilai suatu sifat organoleptik yang spesifik, sedangkan uji perbandingan pasangan digunakan untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan mie sagu hasil formulasi dibandingkan dengan produk komersial.

(1) Uji skoring (Soekarto dan Hubeis 2000)

Uji skoring adalah uji yang digunakan untuk menentukan karakteristik mutu sensorik. Pelaksanaan uji adalah mie sagu disediakan dalam bentuk basah dan diberi kode sesuai dengan perlakuannya, selanjutnya panelis diminta untuk memberikan penilaian. Penilaian dilakukan oleh 20 orang panelis semi terlatih meliputi tekstur, bau, rasa, dan warna dengan nilai berkisar antara 1 sampai 7 (sangat kurang sampai sangat lebih). Formulir uji peringkat produk mie sagu dapat dilihat pada Lampiran 2.

(2) Uji perbandingan pasangan (Soekarto dan Hubeis 2000)

(52)

3.4.2 Analisis Fisik

(1) Rendemen

Rendemen merupakan hasil akhir yang dihitung berdasarkan proses input dan output. Rendemen dihitung berdasarkan berat basah dengan rumus sebagai berikut :

Rendemen (%) = ( )

( ) x 100% (2) Waktu tanak (cooking time) (Colladoet al. 2001)

Air sebanyak 200 ml dipanaskan sampai mendidih, kemudian 5 gram mie yang telah dipotong sepanjang 3 cm, dimasukkan ke dalam air mendidih tersebut. Setiap 30 detik helaian mie diletakkan diantara dua gelas arloji kemudian ditekan. Waktu tanak optimum diperoleh pada saat seluruh bagian mie menyerap air dengan sempurna atau pada saat tidak terbentuk titik putih ketika mie ditekan dengan gelas arloji. Waktu dicatat mulai dari perebusan mie sagu sampai matang.

(3) Cooking losses(Colladoet al. 2001)

Cooking losses adalah kehilangan padatan akibat pemasakan. Sebanyak

5 gram sampel direbus dalam 50 ml akuades mendidih. Setelah mencapai waktu tanak optimum, mie ditiriskan dan dimasukkan ke dalam cawan petri yang telah diketahui bobotnya kemudian dikeringkan dalam oven bersuhu 100 oC sampai beratnya konstan lalu ditimbang. Kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) dihitung berdasarkan rumus :

KPAP (%) = x 100%

(4) Elastisitas mie (Chenet al. 2002)

Elastisitas diukur menggunakan alat texture analyzer TAXT2, dengan kecepatan 3 mm/det dan force 100 g. Sehelai sampel yang telah direhidrasi dikaitkan sedemikian rupa pada kedua ujung probe, kemudian sampel ditarik oleh probe yang di atas sampai putus. Hasilnya berupa kurva yang menunjukkan hubungan antara kekuatan dan waktu. Titik puncak kekuatan positif menunjukkan nilai elastisitas (gf).

(5) Warna (Gaurav 2003)

(53)

warna putih yang terdapat pada alat tersebut. Sejumlah sampel ditempatkan pada wadah yang datar. Pengukuran menghasilkan nilai L, a dan b. L menyatakan parameter kecerahan (warna akromatis, 0: hitam sampai 100: putih). Warna kromatik campuran merah hijau ditunjukkan oleh nilai a (a+ = 0-100 untuk warna merah, a- = 0-(-80) untuk warna hijau. Warna kromatik campuran biru kuning ditunjukkan oleh nilai b (b+ = 0-70 untuk warna kuning, b- = 0-(-70) untuk warna biru. Pengukuran warna didasarkan pada indeks keputihan dengan menggunaan persamaan :

W (%) = 100 (100 − ) + +

Keterangan : W = derajat keputihan L = kecerahan

a = warna merah jika bertanda + dan hijau jika bertanda b = warna kuning jika bertanda + dan biru jika bertanda

3.4.3 Analisis Kimia

(1) Kadar protein kasar (AOAC 1980)

Sebanyak 0,25 gram sampel dimasukkan dalam labu kjeldahl 100 ml dan ditambahkan selenium 0,25 gram dan 3 ml H2SO4 pekat. Proses destruksi (pemanasan dalam keadaan mendidih) dilakukan selama 1 jam, sampai larutan jernih. Setelah dingin ditambahkan 50 ml akuades dan 20 ml NaOH 40% kemudian didestilasi. Hasil destilasi ditampung dalam labu erlenmeyer yang berisi campuran 10 ml H3BO3 2% dan 2 tetes indikatorBrom Cresol Green-Methyl Red

berwarna merah muda. Destilasi dihentikan setelah volume hasil tampungan (destilat) menjadi 10 ml dan berwarna hijau kebiruan. Hasil destilasi dititrasi dengan HCl 0,1N sampai berwarna merah muda. Perlakuan yang sama dilakukan juga terhadap blanko. Kadar nitrogen total dihitung dengan rumus :

N (%) =( ) x 100%

Keterangan:

S = Volume titran sampel (ml) B = Volume titran blanko (ml) W = Bobot sampel kering (mg)

(54)

(2) Kadar lemak (AOAC 1980)

Sebanyak 2 gram sampel disebarkan di atas kapas kemudian dibungkus dengan kertas saring, dan dimasukkan ke dalam labu soxhlet. Sampel diekstraksi selama 6 jam dengan pelarut lemak berupa heksan sebanyak 150 ml. Lemak yang terekstrak dikeringkan dalam oven pada suhu 100 oC selama 1 jam. Kadar lemak dihitung dengan rumus :

Kadar lemak (%)= x 100%

(3) Kadar abu (AOAC 1980)

Sebanyak 1 gram sampel ditempatkan dalam cawan porselen kemudian dibakar. Cawan dimasukkan ke dalam tanur dan diabukan sampai beratnya konstan. Pengabuan dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahap pertama suhu 100oC dan dilanjutkan pada suhu 600 oC dalam tanur. Cawan didinginkan dalam desikator kemudian di timbang. Kadar abu dihitung dengan rumus :

Kadar abu (%) = x 100%

(4) Kadar air (AOAC 1980)

Cawan porselen dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC selama 1 jam dan didinginkan dalam desikator ±15 menit kemudian ditimbang. Sebanyak 1 gram sampel dimasukkan ke dalam cawan kemudian dikeringkan dalam oven dengan suhu 105 oC selama 8 jam sampai beratnya konstan. Cawan dimasukkan ke dalam desikator sampai dingin dan ditimbang. Kadar abu dihitung dengan rumus :

Kadar air (%) = ( ) x 100%

(5) Kadar karbohidrat

Kadar karbohidrat total ditentukan dengan metodecarbohidrat by difference

yaitu : 100% - (kadar air + abu + protein + lemak).

3.4.4 Analisis Mikrostruktur menggunakan Scanning Electron Microscope

(SEM) (Toyaet al. 1986)

Struktur mikroskopis mie sagu diamati menggunakan scanning electron

(55)

sticky tape, kemudian dibersihkan dengan hand blower untuk menghilangkan

debu-debu pengotor. Sampel yang telah menempel pada double sticky tape

kemudian dilapisi emas-pladium setebal 400 dengan menggunakan mesin ion Sputter JFC-1100. Coating tersebut dimaksudkan agar benda uji yang akan dilakukan pemotretan menjadi penghantar listrik. Sampel yang telah dilapisi emas-pladium selanjutnya dimasukkan ke dalam specimen chamber pada mesin

SEM untuk dilakukan pemotretan pada perbesaran 150x untuk butiran dan 500x untuk penampang dalam. Sumber elektron dipancarkan menuju sampel untuk memindai permukaan sampel, kemudian emas sebagai konduktor akan memantulkan elektron ke detektor pada mikroskop SEM. Hasil pemindaian akan diteruskan ke detektor menuju monitor. Hasil yang diperoleh berupa gambar tiga dimensi permukaan butiran mie sagu.

3.5 Rancangan Percobaan dan Analisis Data (Steel dan Torrie 1993)

Penelitian pendahuluan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dengan dua faktor. Faktor A adalah perendaman fillet ikan cakalang dalam air, asam asetat 3%, dan natrium bikarbonat 0,8% sedangkan faktor B adalah lama perendaman 2, 4, dan 6 jam. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak dua kali. Model matematika rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dapat dirumuskan sebagai berikut :

Ai = Pengaruh utama faktor A (metode perendaman) pada taraf ke-i, (i=1,2,3) Bj = Pengaruh utama faktor B (lama perendaman) pada taraf ke-j, (j=1,2,3) (AB)ij= Komponen interaksi faktor A dan faktor B masing-masing pada taraf

ke-i dan ke-j

ijk = Pengaruh galat percobaan dari faktor A taraf ke-i, faktor B taraf ke-j dan ulangan ke-k

(56)

Yij= µ + Ai+ ij

Keterangan :

Yij = Nilai pengamatan dari perlakuan taraf ke-i pada ulangan ke-j µ = Nilai tengah umum

Ai = Pengaruh perlakuan ke-i, (i= 0%, 2%, 4%, 6%, dan 8%) ij = Pengaruh galat percobaan dari perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis ragam untuk mengetahui adanya pengaruh atau tidak dari masing-masing perlakuan. Apabila ada pengaruh, maka dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (BNT) untuk melihat perbedaan dari masing-masing perlakuan.

Data organoleptik diolah menggunakan uji statistik nonparametrik Kruskal Wallis (Mattjik dan Sumertajaya 2006). Uji Kruskal Wallis ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan yang nyata antara perlakuan dalam ranking. Statistik uji yang digunakan adalah :

H =

( )+∑ − 3( + 1)

H1=

Pembagi = 1- ∑

( )( ) dengan T = (t-1)(t+1)

Keterangan :

n = jumlah data total

ni = banyaknya pengamatan pada perlakuan ke-1 Ri2= jumlah peringkat dari perlakuan ke-i

T = banyaknya pengamatan seri dalam kelompok H = simpangan baku

H1 = H terkoreksi

(57)

Apabila data hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan beda nyata, maka dilanjutkan dengan uji multiple comparison untuk mengetahui perbedaan antar

perlakuan. Uji lanjut multiple comparisondapat dirumuskan sebagai berikut :

| − |> <

2

( )

Keterangan :

Ri = rata-rata ranking perlakuan ke-i Rj = rata-rata ranking perlakuan ke-j k = banyaknya ulangan

(58)
(59)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan terdiri dari dua tahap yaitu pengujian kimia pati sagu (Metroxylon sp.) dan tepung ikan cakalang tanpa proses deffating yang

meliputi kadar air, abu, protein, lemak, dan karbohidrat. Penelitian pendahuluan tahap kedua adalah pembuatan tepung ikan cakalang dengan perlakuan media perendaman (air, asam asetat 3%, dan natrium bikarbonat 0,8%) dan lama perendaman (2,4, dan 6 jam). Masing-masing tepung ikan cakalang dianalisis yang meliputi rendemen, kadar air, abu, protein, dan lemak. Tepung ikan cakalang dengan protein tinggi dan lemak rendah yang digunakan dalam formulasi mie sagu.

4.1.1 Komposisi kimia pati sagu dan tepung ikan cakalang

Sagu telah dimanfaatkan sebagai sumber bahan makanan pokok rakyat Maluku sejak ratusan tahun yang lalu, yaitu dikonsumsi dengan ikan, atau daging, dan sayuran. Selain itu juga dalam bentuk makanan penyerta ataupun nyamikan dengan berbagai ragam kue (bagea, bangket, sarut, sagu tumbuk dan sagu mutiara). Pemanfaatan sagu sebagai sumber pangan juga dikembangkan seperti dalam pembuatan roti, biskuit, kerupuk, mie, dan sohun (Lawalata 2004).

Ikan cakalang merupakan ikan pelagis yang memiliki protein dan lemak yang tinggi. Spesies ini merupakan jenis ikan yang komersial dan memiliki kandungan gizi yang tinggi. Hasil analisis komposisi pati sagu dan tepung ikan cakalang tanpa prosesdeffatingdapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Komposisi kimia tepung ikan cakalang dan pati sagu

Gambar

Gambar 1 Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) (FAO 2012).
Tabel 1 Nilai indeks glikemik beberapa produk sumber karbohidrat
Tabel 2 Karakteristik mie sagu dari Palopo dan BBPP Pertanian Bogor
Gambar 2 Diagram alir pembuatan tepung ikan cakalang (Modifikasi Amirullah
+7

Referensi

Dokumen terkait