• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.2 Penelitian Utama

4.2.1 Karakteristik organoleptik

Dalam uji organoleptik yang dilakukan terhadap mie sagu hasil formulasi dengan penambahan tepung ikan cakalang meliputi uji skoring dan uji perbandingan pasangan.

(1) Uji skoring

Soekarto dan Hubeis (2000) menyatakan bahwa uji organoleptik terhadap suatu makanan adalah penilaian menggunakan alat indra yaitu indera penglihatan, penciuman, pencicipan, dan peraba. Dalam melakukan suatu penilaian, panelis dituntut menggunakan indera untuk menilai sehingga didapat suatu kesan terhadap rangsangan. Tujuan pengenalan sifat organoleptik pangan ini adalah mengenal beberapa sifat-sifat organoleptik beberapa produk. Uji ini dapat dilakukan untuk mengetahui penerimaan panelis terhadap suatu produk yang dihasilkan.

(a) Tekstur

Tekstur merupakan komponen dan unsur struktur yang ditata dan digabung menjadi mikro dan makro struktur dalam segi aliran deformasi. Penilaian karakteristik tekstur dapat berupa kekerasan, elastisitas dan daya kohesif (Sugiyonoet al. 2009).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai rata-rata panelis terhadap tekstur berkisar antara 3,80-4,35 dengan skala agak kurang kenyal hingga kenyal. Uji Kruskal Wallis (Lampiran 9) menunjukkan bahwa fortifikasi tepung ikan cakalang tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap tekstur mie sagu (Gambar 12).

4,35 (a) 4,10 (a) 4,05 (a) 3,85 (a) 3,80 (a) 1 2 3 4 5 6 7 A0 A2 A4 A6 A8 T e k st u r

Tingkat penambahan tepung

Gambar 12 Histogram rerata penilaian panelis terhadap tekstur mie sagu dengan A0= kontrol (tanpa fortifikasi tepung ikan cakalang, A2= fortifikasi tepung ikan cakalang 2%, A4 = fortifikasi tepung ikan cakalang 4%, A6= fortifikasi tepung ikan cakalang 6%, dan A8= fortifikasi tepung ikan cakalang 8%. Angka-angka yang diikuti huruf superskrip sama (a) menunjukkan tidak nyata (p>0,05) pada fortifikasi tepung ikan.

(b) Warna

Warna merupakan sifat sensori pertama yang dapat dilihat langsung oleh panelis. Warna dalam bahan pangan mempunyai peranan yang sangat penting dalam keterterimaan makanan. Suatu produk akan menarik minat konsumen apabila warnanya menarik (Sumbaga 2006). Penentuan mutu bahan makanan pada umumnya sangat tergantung pada warna. Suatu bahan makanan yang dinilai bergizi tinggi, enak, dan teksturnya sangat baik tidak akan dimakan apabila memiliki warna yang tidak sedap dipandang. Warna merupakan faktor yang ikut menentukan mutu dan sebagai indikator keseragaman atau kematangan (Achyadi dan Afiana 2004).

Dalam uji organoleptik, suatu produk pertama kali dinilai dengan mata, yaitu dengan melihat warna yang dimiliki karena secara visual warna tampil terlebih dahulu dalam penentuan produk makanan. Apabila suatu produk memiliki warna yang kurang menarik untuk dilihat meskipun memiliki rasa, tekstur, dan aroma yang sangat baik, setiap orang akan mempertimbangkan untuk mengkonsumsinya. Warna memberikan respon yang paling cepat dan kesan yang baik (Fellows 2000). Menurut Purwani et al. (2006c) warna dapat memberi

petunjuk mengenai perubahan kimia dalam makanan, seperti warna kuning, kuning kemerahan, coklat kemerahan, atau putih

4,15 a 3,45 a 3,50 a 3,55 a 3,75 a 1 2 3 4 5 6 7 A0 A2 A4 A6 A8 W a rn a

Tingkat penambahan tepung

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai rata-rata panelis terhadap warna berkisar antara 3,45-4,15 dengan skala agak kurang bening/kecoklatan hingga bening/kuning. Uji Kruskal Wallis (Lampiran 10) menunjukkan bahwa fortifikasi tepung ikan cakalang tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap warna mie sagu (Gambar 13).

Gambar 13 Histogram rerata penilaian panelis terhadap warna mie sagu dengan A0= kontrol (tanpa fortifikasi tepung ikan cakalang, A2= fortifikasi tepung ikan cakalang 2%, A4= fortifikasi tepung ikan cakalang 4%, A6= fortifikasi tepung ikan cakalang 6%, dan A8= fortifikasi tepung ikan cakalang 8%. Angka-angka yang diikuti huruf superskrip sama (a) menunjukkan tidak nyata (p>0,05) pada fortifikasi tepung ikan.

(c) Aroma

Dalam industri pangan pengujian aroma dianggap penting karena dengan cepat dapat memberikan hasil penilaian terhadap produk tentang diterima atau tidaknya produk tersebut. Menurut Soekarto dan Hubeis (2000), kelezatan suatu makanan sangat ditentukan oleh faktor aroma. Makanan akan terlihat enak, jika aromanya mampu merangsang indera penciuman manusia dan memicu orang yang mencium aromanya untuk mengkonsumsinya (Sumbaga 2006).

Berdasarkan uji Kruskal Wallis (Lampiran 11), fortifikasi tepung ikan cakalang memberikan pengaruh berbeda nyata (p<0,05) terhadap aroma mie sagu (Gambar 13). Fortifikasi tepung ikan ke dalam produk mie sagu terbukti mampu memberikan pengaruh terhadap aroma, karena adanya aroma khas ikan cakalang. Hasil uji panelis terhadap aroma mie sagu menunjukkan nilai rata-rata aroma tertinggi adalah A2 (4,10) dan A8 (4,00) yang termasuk dalam skala harum, sedangkan nilai terendah adalah A0(2,65).

2,65 (b) 4,10 (a) 3,35 (ab) 3,55 (ab) 4,00 (a) 1 2 3 4 5 6 7 A0 A2 A4 A6 A8 A ro m a

Tingkat penambahan tepung

Gambar 13 Histogram rerata penilaian panelis terhadap aroma mie sagu dengan A0=kontrol (tanpa fortifikasi tepung ikan cakalang, A2= fortifikasi tepung ikan cakalang 2%, A4 = fortifikasi tepung ikan cakalang 4%, A6= fortifikasi tepung ikan cakalang 6%, dan A8= fortifikasi tepung ikan cakalang 8%. Angka-angka yang diikuti huruf superskrip berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) pada fortifikasi tepung ikan.

Gambar 13 menunjukkan bahwa mie sagu formula A2 dan A8 sangat disukai oleh panelis karena memberikan aroma khas ikan cakalang. Menurut Muhajir (2007) penambahan tepung ikan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap organoleptik aroma. Hasil ini berbeda dengan pendapat Ismanadji et al. (2000), yaitu semakin tinggi tingkat konsentrasi penambahan

tepung ikan cakalang maka semakin menurun tingkat kesukaan panelis atas aroma karena bau ikan kering.

(d) Rasa

Rasa merupakan faktor penentu daya terima konsumen terhadap produk pangan dan lebih banyak dinilai menggunakan indera pengecap atau lidah. Rasa suatu produk makanan mempengaruhi cita rasa yang ditimbulkan oleh bahan makanan tersebut. Rasa suatu bahan pangan dapat berasal dari sifat bahan itu sendiri atau karena adanya zat lain yang ditambahkan pada proses pengolahannya (Achyadi dan Afiana 2004 ).

Rasa suatu makanan merupakan gabungan dari berbagai macam rasa bahan-bahan yang digunakan dalam makanan tersebut (Kartika et al. 1998).

Rasa didefinisikan sebagai rangsangan yang ditimbulkan oleh bahan yang dimakan, terutama yang dirasakan oleh indera pengecap. Rasa merupakan faktor yang penting dalam menentukan keputusan bagi konsumen untuk menerima atau

3,25 (a)

3,75 (a) 3,70 (a) 4,00 (a) 4,05 (a)

1 2 3 4 5 6 7 A0 A2 A4 A6 A8 R a sa

Tingkat penambahan tepung

menolak suatu makanan. Meskipun parameter lain nilainya baik, jika rasa tidak enak atau tidak disukai, maka produk akan ditolak. Ada empat jenis rasa dasar yang dikenali, yaitu manis, asin, asam, dan pahit; sedangkan rasa lainnya merupakan perpaduan dari rasa dasar (Fellows 2001).

Hasil panelis terhadap rasa mie sagu rasa yang tertinggi adalah formula A8 yaitu 4,05 (enak) dan terendah adalah A0 yaitu 3,25 (agak kurang enak). Berdasarkan hasil uji Kruskal Wallis (Lampiran 12), rasa mie sagu tidak dipengaruhi secara nyata (p>0,05) oleh perlakuan fortifikasi tepung ikan cakalang (Gambar 14).

Gambar 14 Histogram rerata penilaian panelis terhadap rasa mie sagu dengan A0=kontrol (tanpa fortifikasi tepung ikan cakalang, A2= fortifikasi tepung ikan cakalang 2%, A4= fortifikasi tepung ikan cakalang 4%, A6= fortifikasi tepung ikan cakalang 6%, dan A8= fortifikasi tepung ikan cakalang 8%. Angka-angka yang diikuti huruf superskrip sama (a) menunjukkan tidak nyata (p>0,05) pada fortifikasi tepung ikan.

Penilaian panelis menunjukkan bahwa secara umum fortifikasi tepung ikan tidak mempengaruhi secara nyata terhadap parameter tekstur, warna, aroma, dan rasa. Hal ini mengindikasikan bahwa keberadaan bahan asing yaitu tepung ikan cakalang yang sengaja ditambahkan pada produk mie sagu tidak mengganggu penerimaan panelis. Berdasarkan nilai rata-rata dari kesemua parameter, mie sagu A8 mempunyai nilai rata-rata organoleptik lebih baik. Mie sagu formulasi terbaik A8 selanjutnya dibandingkan dengan mie sagu komersial melalui uji perbandingan pasangan.

(2) Uji perbandingan pasangan

Uji perbandingan pasangan dilakukan untuk mengetahui keunggulan dan kelemahan poduk baru apabila dibandingkan dengan produk komersial (Rahayu 1998). Uji perbandingan pasangan dilakukan dengan formulasi mie sagu terbaik yaitu penambahan tepung ikan cakalang 8% terhadap mie sagu komersial.

Produk komersial yang digunakan sebagai pembanding adalah Mie Sadap yang diproduksi oleh CV Putra Santoso Ambon. Parameter yang diuji dalam uji perbandingan pasangan meliputi tekstur, warna, aroma, dan rasa. Keempat parameter tersebut digunakan dengan pertimbangan mampu mewakili ketertarikan konsumen terhadap produk mie sagu.

Penilaian dilakukan dengan kriteria subyektif yang dikonversikan menjadi angka parameter yang diuji dalam uji perbandingan pasangan adalah meliputi tekstur, warna, aroma dan rasa dengan skala -3 sampai 3, dimana -3 = sangat lebih buruk, -2= lebih buruk, -1= agak lebih buruk, 0= tidak berbeda, +1= agak lebih baik, +2= lebih baik, +3= sangat lebih baik untuk mendapatkan nilai-nilai kelebihan dan kekurangan dari dua formulasi mie sagu terbaik dibandingkan dengan mie sagu komersial.

Rata-rata perbandingan pasangan (Gambar 15) menunjukkan bahwa tekstur, warna, dan aroma mie sagu formulasi A8memiliki kriteria penilaian tidak berbeda dari produk komersial (Lampiran 13). Walaupun demikian tekstur mie komersial lebih kenyal jika dibandingkan mie sagu formulasi A8, karena mie komersial tidak terdapat penambahan tepung ikan yang dapat mempengaruhi kekenyalan. Warna mie sagu komersial lebih kuning dari mie sagu formulasi A8 karena pembuatan mie komersial menggunakan kunyit untuk memberi warna khas mie. Mie sagu formulasi A8tidak menggunakan pewarna sehingga warna yang muncul disebabkan pigmen flavonoid dari pati sagu dan tepung ikan.

0,35 0,50 0,45 1,05 -3 -2 -1 0 1 2 3

Tekstur Warna Aroma Rasa

R a ta -r a ta P e rb a n d in g a n P a sa n g a n Parameter

Gambar 15 Histogram nilai perbandingan pasangan mie sagu.

Aroma mie sagu formulasi A8 memiliki aroma khas ikan, sedangkan mie komersial menimbulkan aroma jahe/kunyit. Dari kesemua parameter hanya rasa mie sagu formulasi A8yang memiliki kriteria penilaian agak lebih baik dari mie sagu komersial. Mie sagu penelitian memiliki rasa ikan kering, sedangkan mie komersial memiliki rasa yang hambar.

Dokumen terkait