• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh kedalaman muka air tanah pada berbagai varietas kedelai hitam (Glycine max (L.) Merr.) dengan sistem budidaya jenuh air di lahan pasang surut.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh kedalaman muka air tanah pada berbagai varietas kedelai hitam (Glycine max (L.) Merr.) dengan sistem budidaya jenuh air di lahan pasang surut."

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

PADA BERBAGAI VARIETAS KEDELAI HITAM

(

Glycine max

(L

.)

Merr.)

DENGAN SISTEM BUDIDAYA JENUH AIR

DI LAHAN PASANG SURUT

HANS DORIS WELLY

A24080190

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN

(2)

RINGKASAN

HANS DORIS WELLY. Pengaruh Kedalaman Muka Air Tanah pada Berbagai Varietas Kedelai Hitam (Glycine max (L.) Merr.) dengan Sistem Budidaya Jenuh Air di Lahan Pasang Surut. (Dibimbing oleh MUNIF GHULAMAHDI).

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kedalaman muka air tanah yang sesuai pada kedelai hitam varietas Ceneng, Cikuray dan Lokal Malang dengan budidaya jenuh air (BJA) yang dilaksanakan di lahan pasang surut Desa Banyu Urip Palembang pada bulan Juni –September 2012.

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan petak terpisah (RPT) dengan faktor kedalaman muka air tanah sebagai petak utama dan faktor varietas sebagai anak petak. Faktor kedalaman muka air tanah terdiri atas tiga taraf perlakuan, yaitu kedalaman 10 cm dan kedalaman 20 cm di bawah permukaan tanah serta pembanding, yaitu budidaya kering. Faktor varietas terdiri atas empat jenis perlakuan, yaitu Ceneng, Cikuray, Lokal Malang dan varietas pembanding yaitu Tanggamus. Benih masing-masing varietas ditanam pada jarak tanam 25 cm x 10 cm sejumlah 1 benih per lubang. Pada budidaya jenuh air,

kedalaman muka air berdasarkan perlakuan dipertahankan dari mulai penanaman hingga panen pada saluran sedalam 25 cm dan selebar 30 cm.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa produktivitas kedelai hitam dapat ditingkatkan dengan budidaya jenuh air (BJA) di lahan pasang surut. Kedalaman muka air 10-20 cm di bawah permukaan tanah dapat diterapkan dalam BJA tanpa

(3)

PADA BERBAGAI VARIETAS KEDELAI HITAM

(

Glycine max

(L

.)

Merr.)

DENGAN SISTEM BUDIDAYA JENUH AIR

DI LAHAN PASANG SURUT

Skripsi sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

HANS DORIS WELLY

A24080190

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN

(4)

Judul :

Nama : HANS DORIS WELLY

NIM : A24080190

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS NIP 19590505 198503 1 004

Mengetahui, Ketua Departemen

Fakultas Pertanian IPB

Dr. Ir. Agus Purwito, MSc. Agr NIP 19611101 198703 1 003

Tanggal Lulus :

PENGARUH KEDALAMAN MUKA AIR TANAH

PADA BERBAGAI VARIETAS KEDELAI HITAM

(

Glycine max

(L

.)

Merr.) DENGAN SISTEM BUDIDAYA

(5)

Penulis dilahirkan di Kepulauan Mentawai, Propinsi Sumatera Barat pada tanggal 23 Juli 1989. Penulis merupakan anak pertama dari Bapak Bisronel Siritoitet dan Ibu Ratna Samongilailai.

Tahun 2001 penulis lulus dari SD N 15 Havea Sikakap, kemudian pada tahun 2004 penulis menyelesaikan studi di SMP N 1 Pagai Utara, Kepulauan Mentawai. Selanjutnya penulis lulus dari SMA N 1 Pagai Utara, Kepulauan Mentawai pada tahun 2007. Tahun 2007 penulis diterima dalam program prauniversitas Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui program BUD dan memasuki tingkat persiapan bersama (TPB) IPB pada tahun 2008. Selanjutnya tahun 2009 penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Agronomi dan Hortikultura (AGH), Fakultas Pertanian IPB.

(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kasih dan karunia-Nya sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik. Penelitian pengaruh kedalaman muka air tanah pada berbagai varietas kedelai hitam dengan budidaya jenuh air di lahan pasang surut terdorong oleh keinginan untuk mengetahui kedalaman muka air yang sesuai dalam budidaya jenuh air untuk kedelai hitam di lahan pasang surut. Penelitian dilaksanakan di lahan pasang surut, Desa Banyu Urip, Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sangat mendalam kepada

1. kedua orang tua yang selalu memberikan dukungan doa dan materi hingga penulis menyelesaikan perkuliahan dan penelitian,

2. Prof. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS., selaku dosen pembimbing skripsi yang

telah memberikan bimbingan selama pelaksanan penelitian dan penulisan skripsi penulis,

3. dosen pembimbing akademik, Maryati Sari, SP, MSi., atas arahan akademik selama penulis mengikuti perkuliahan,

4. Pemerintah Daerah Kepulauan Mentawai yang telah mendukung dalam beasiswa kepada penulis,

5. keluarga Pak Suaji, Pak Muh, Pak Marno dan Bu Ilona atas bantuannya selama penelitian di lahan pasang surut Palembang,

6. teman-teman mahasiswa Agronomi dan Hortikultura Indigenous angkatan ke-45 IPB, terkhusus kepada Andri Hamidi dan Arief Setya Nugroho, atas dukungan semangat dan masukan selama penulisan skripsi, dan

7. teman-teman mahasiswa Mentawai seperjuangan di IPB, yaitu Jhon P.T. Sakoikoi, Desni R.M. Sakerebau, Helma H. P. Saleleubaja dan Maria Sagulu.

Semoga hasil penelitian ini berguna menjadi pedoman dan acuan bagi yang memerlukan.

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... viii

DAFTAR GAMBAR... ix

DAFTAR LAMPIRAN... x

PENDAHULUAN... 1

Latar Belakang... 1

Tujuan Penelitian... 3

Hipotesis Penelitian... 3

TINJAUAN PUSTAKA... 4

Kedelai hitam... 4

Lahan Pasang Surut... 6

Kedalaman Muka Air pada Budidaya Jenuh Air... 8

METODE PENELITIAN... 10

Tempat dan Waktu... 10

Alat dan Bahan... 10

Metode Penelitian... 10

Pelaksanaan Penelitian... 11

HASIL DAN PEMBAHASAN... 14

Kondisi umum... 14

Hasil... 16

Pembahasan... 29

KESIMPULAN DAN SARAN... 43

Kesimpulan... 43

Saran... 43

DAFTAR PUSTAKA... 44

(8)

DAFTAR TABEL

No Halaman 1 Uji beda nyata perlakuan kedalaman muka air tanah dan varietas

terhadap berbagai peubah yang diamati... 16

2 Tinggi, jumlah daun dan jumlah cabang tanaman kedelai pada

berbagai kedalaman muka air tanah di lahan pasang surut... 17

3 Bobot kering biomassa tanaman kedelai pada berbagai

kedalaman muka air tanah di lahan pasang surut... 19

4 Serapan unsur hara tanaman kedelai pada berbagai kedalaman

muka air tanah di lahan pasang surut... 20

5 Tinggi, jumlah daun dan jumlah cabang tanaman kedelai pada

beberapa varietas di lahan pasang surut... 21

6 Bobot kering biomassa tanaman kedelai dari berbagai varietas

kedelai di lahan pasang surut... 22

7 Serapan unsur hara beberapa varietas kedelai di lahan pasang

surut... 22

8 Jumlah daun tanaman kedelai pada berbagai kedalaman muka air

tanah dan varietas... 23

9 Jumlah cabang tanaman kedelai pada berbagai kedalaman muka

air tanah dan varietas... 25

10 Jumlah polong tanaman kedelai pada berbagai kedalaman muka

air tanah dan varietas... 26

11 Bobot 100 biji tanaman kedelai pada berbagai kedalaman

muka air tanah dan varietas... 26

12 Bobot biji per ubinan kedelai pada berbagai kedalaman muka air

tanah dan varietas... 27

13 Produktivitas tanaman kedelai pada berbagai kedalaman muka

(9)

DAFTAR GAMBAR

No Halaman 1 Model perlakuan kedalaman muka air 10 cm dan 20 cm di bawah

permukaan tanah... 12

2 Keragaan pertanaman kedelai hitam pada 7 MST dan

8 MST... 15

3 Penampilan akar varietas Lokal Malang pada budidaya kering, BJA 20 cm dan BJA 10 cm pada 8 MST dengan perbandingan

leher akar tanaman... 30

4 Gejala kekuningan pada daun varietas Lokal Malang pada 3 MST dan masih terlihat pada daun varietas Ceneng pada

4 MST... 31

5 Aklimatisasi kedelai hitam pada 5 MST dan 6 MST... 31

6 Ilustrasi profil muka air tanah dan perkembangan perakaran

tanaman kedelai dalam budidaya jenuh air... 34

7 Penampilan polong kedelai hitam varietas Ceneng, Cikuray, Lokal Malang dan kedelai kuning varietas Tanggamus setelah

mengalami pemulihan penuh pada 8 MST... 37

8 Curah hujan dan waktu tanam kedelai hitam dengan budidaya jenuh air

di lahan pasang surut... 39

9 Perbandingan ukuran biji ketiga varietas kedelai hitam dan

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman 1 Luas panen, produktivitas, dan produksi tanaman kedelai seluruh

Indonesia tahun 1992-2011... 50

2 Tata letak petak penelitian kedalaman muka air tanah... 51

3 Titik pengambilan contoh tanaman untuk pengamatan mingguan,

biomassa dan bobot ubinan... 52

4 Curah hujan dan hari hujan dari bulan Juni hingga Agustus 2012

di Kecamatan Tanjung Lago... 53

5 Suhu dan kelembaban nisbi dari bulan Juni hingga Agustus di

Kecamatan Tanjung Lago... 54

6 Hasil analisis sampel tanah sebelum penelitian... 55

8 Kandungan hara daun dan serapan hara pada perlakuan kedalaman muka air tanah terhadap beberapa varietas kedelai di

lahan pasang surut... 56

9 Keragaan pertanaman kedelai hitam varietas Ceneng, Cikuray, Lokal Malang dan kedelai kuning varietas Tanggamus setelah

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pengembangan kedelai di Indonesia menjadi sangat penting dengan meningkatnya konsumsi kedelai sedangkan impor menjadi kebijakan yang masih digunakan untuk menutupi kebutuhan kedelai. Kedelai dikonsumsi sebagai sumber protein nabati yang relatif terjangkau dibandingkan sumber protein

hewani. Menurut Damardjati et al. (2005), peningkatan konsumsi kedelai dipicu oleh peningkatan jumlah penduduk dan kebutuhan bahan baku industri olahan pangan seperti tempe, tahu, kecap, susu kedelai, tauco, makanan ringan dan sebagainya. Sudaryanto dan Swastika (2007) memproyeksikan konsumsi kedelai secara umum meningkat dari 1.84 juta ton pada tahun 2005 menjadi 2.64 juta ton pada tahun 2020. Defisit kedelai diproyeksikan terus meningkat dari 1.03 juta ton pada tahun 2005 menjadi 2 juta ton pada tahun 2020.

Pemenuhan konsumsi kedelai perlu ditunjang oleh produksi kedelai nasional. Subandi et al. (2007) menyatakan bahwa produksi kedelai nasional ditentukan oleh dua sumber pertumbuhan utama yaitu areal tanam dan produktivitas kedelai. Areal tanam dapat menunjukkan minat petani pada kedelai sedangkan produktivitas menunjukkan kesesuaian lahan dan/atau penerapan teknologi produksi oleh petani. Dari data BPS (2012), produksi dan luas panen tanaman kedelai cenderung mengalami penurunan sedangkan produktivitas kedelai mengalami peningkatan. Luas panen tanaman kedelai pada tahun 1992 yang merupakan tertinggi selama 20 tahun terakhir yang mencapai 1,665,710 ha terus menurun hingga menjadi 622,254 ha pada tahun 2011. Hal ini juga

mengakibatkan produksi nasional terus menurun dari 1,869,710 ton pada tahun 1992 menjadi 851,286 ton pada tahun 2011. Produktivitas kedelai nasional mengalami peningkatan dari selama sepuluh tahun terakhir yang bergerak dari 1.12 ton/ha pada tahun 1992 menjadi 1.37 ton/ha pada tahun 2011 (Lampiran 1).

(12)

2

kebutuhan kedelai Indonesia di tahun 2012, Wahono (2012) melaporkan bahwa

sekitar 323,400 ton diserap oleh industri kecap dan tauco. Berdasarkan data Kemenperin (2012), kebutuhan kecap Indonesia disuplai dari impor dengan peningkatan konsumsi sebesar 43.22% dari tahun 2007 hingga tahun 2011. Di sisi lain tejadi peningkatan ekspor kecap Indonesia sebesar 16.16% pada dari tahun 2007 hingga tahun 2011. Peningkatan konsumsi kecap di dalam dan luar negeri berdampak pada pentingnya peningkatan produksi kedelai hitam Indonesia.

Pengembangan kedelai hitam diperlukan untuk meningkatkan produksi kedelai hitam dalam mengiringi peningkatan konsumsi kecap di Indonesia. Tidak seperti kedelai kuning, penelitian untuk pengembangan kedelai hitam tergolong masih minim. Minimnya pengembangan kedelai hitam mengakibatkan masih rendahnya produktivitas kedelai hitam di dalam negeri. Menurut Maryani (2007), rendahnya produksi kedelai hitam berakibat pada peningkatan harga bahan baku dan kelangkaan kedelai hitam bagi industri kecap sehingga industri kecap tidak dapat menyerap kedelai hitam dalam jumlah yang besar.

Peningkatan produksi kedelai hitam dapat ditunjang dari peningkatan luas areal tanam hingga ke lahan-lahan marjinal. Menurut Pinem (2000), strategi

pengembangan kedelai diarahkan pada lahan-lahan rehabilitasi, lahan irigasi intesif yang masih memungkinkan dimasukkan pola tanam kedelai, lahan tadah hujan, budidaya kering tidak bermasalah, budidaya kering bereaksi masam (dengan pemberian kapur secara larikan dan budidaya alley cropping), lahan gambut, lahan pasang surut, lahan perkebunan rakyat dan perkebunan swasta atau

BUMN dan lahan hutan sosial.

Kedelai hitam diharapkan dapat dikembangkan dengan penambahan luas areal tanam di lahan pasang surut. Menurut Adhi et al. (1992), luasan areal pasang surut ditaksir sekitar 20.1 juta ha. Menurut Sabran et al. (2000), lahan pasang surut yang tersedia sesuai untuk kegiatan pertanian adalah 5.6 juta ha dan luasan yang berpotensi dikembangkan untuk pertanian skala besar adalah 2.6 juta ha.

Pengembangan kedelai hitam di lahan pasang surut dari aspek budidaya

tanaman diperhadapkan pada pengelolaan tanah dan pengelolaan air. Menurut Adhi et al. (1992), kesalahan dalam pengelolaan tanah dan air di lahan pasang

(13)

peningkatan kemasaman tanah dan tertekannya pertumbuhan tanaman. Menurut

Sarwani (2001), strategi pengembangan lahan pasang surut selain pengelolaan lahan adalah pengelolaan air. Pengelolaan air pada lahan pasang surut bertujuan untuk menyediakan kebutuhan evapotranspirasi tanaman, membuang kelebihan air, mencegah terjadinya elemen toksik, dan melindi (leaching) elemen toksik serta mencegah penurunan muka tanah (gambut). Pengelolaan air pada lahan pasang surut berupa pengelolaan air tanah (ground water management) atau pengelolaan air permukaan (surface water management).

Perpaduan pengelolaan tanah dan air di lahan pasang surut diharapkan dapat meningkatakan produksi kedelai hitam. Menurut Sarwani (2001), dengan penerapan sistem drainase dangkal yang dikombinasikan dengan pemupukan dan bahan amelioran, produktivitas kedelai dapat mencapai 2.3 ton/ha. Hasil penelitian Ghulamahdi et al. (2009) menunjukkan produktivitas kedelai varietas nasional Tanggamus dapat mencapai 4.63 ton/ha dengan budidaya jenuh air.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kedalaman muka air tanah yang sesuai dalam budidaya jenuh air untuk kedelai hitam di lahan pasang surut.

Hipotesis Penelitian

1) Terdapat taraf pengaturan kedalaman muka air tanah yang mendukung produktivitas tinggi pada kedelai hitam di lahan pasang surut

2) Terdapat varietas kedelai hitam yang memiliki produktivitas tinggi di lahan pasang surut

3) Terdapat varietas kedelai hitam yang memiliki produktivitas tinggi dengan

(14)

TINJAUAN PUSTAKA

Kedelai Hitam

Kedelai merupakan tanaman yang berasal dari Manchuria (daratan Cina bagian timur laut) dan kemudian telah menyebar ke seluruh dunia pada pertengahan abad ke-20 (Sumarno dan Manshuri, 2007). Menurut Adie dan Krisnawati (2007), keberadaan kedelai di Indonesia mulai terekam pertama kali

di Ambon dalam Herbarium Amboinense yang diselesaikan pada tahun 1673. Sebaran adaptasi kedelai tergolong luas yang mencakup 0o-45o lintang utara (LU) dan 0o-45o lintang selatan (LS) dengan historis-biologis asal kedelai terdapat pada wilayah subtropika pada 45o-48o LU. Lingkungan tumbuh yang mempengaruhi hasil kedelai mencakup faktor iklim dan kesuburan fisiko-kimia dan biologi tanah. Keberadaan hama dan penyakit selama pertumbuhan kedelai juga dapat membatasi produktivitas tetapi masih dapat dikendalikan (Sumarno dan Manshuri, 2007).

Kedelai diklasifikasikan secara botani ke dalam ordo Polypetales, family Leguminosae, dan subfamily Papilionoideae. Kedelai yang bernilai paling ekonomis dalam genus Glycine dengan subgenus soja terdiri atas spesies Glycine ussuriensis dan Glycine max. Kedua spesies ini merupakan tanaman semusim (Adie dan Krisnawati, 2007).

Karakter kedelai hitam mengarah pada karakter spesies G. ussurinesis yang memiliki bunga berwarna ungu, biji keras berwarna hitam hingga coklat tua dengan batang menjalar. Diduga kedelai hitam merupakan hasil persilangan G. ussurinesis yang bersifat liar dengan kedelai yang telah dibudidayakan G. max sehingga kandungan protein kedelai hitam lebih tinggi dari pada kedelai kuning (Adie dan Krisnawati, 2007).

(15)

pada kedelai adalah perwujudan warna ungu yang sangat kuat dari pigmen

antosianin (Nagai, 1921).

Karakteristik kedelai secara umum yang telah dibudidayakan di Indonesia, berupa tanaman yang tegak dengan tinggi 40-90 cm, bercabang, berdaun unifoliet dan trifoliet, berbulu pada daun dan polong tetapi tidak terlalu padat. Bentuk daun kedelai terdiri dari lancip, bulat dan lonjong serta terdapat perpaduan bentuk daun dan umumnya daun kedelai di Indonesia adalah lonjong. Sistem perakaran pada kedelai terdiri dari sebuah akar tunggang, sejumlah akar sekunder, cabang akar sekunder dan cabang akar adventif yang tumbuh di bawah hipokotil. Pada bagian perakaran akan terlihat adanya bintil akar pada 10 hari setelah tanam (Adie dan Krisnawati, 2007).

Kedelai merupakan tanaman yang menyerbuk sendiri dengan bunga yang muncul pada 3-5 minggu setelah tanam. Tidak semua bunga kedelai berhasil menjadi polong dengan tingkat keguguran bunga berkisar 20-80%. Polong tempat biji kedelai berlekuk lurus atau ramping dan umumnya berisi 2-3 biji per polong. Pengisian biji di dalam polong sangat dipengaruhi oleh kekurangan atau kelebihan air, serangan hama dan penyakit serta lain sebagainya sehingga periode pengisian

biji merupakan fase paling kritis untuk pencapaian hasil optimal. Biji sebagai komponen morfologi yang bernilai ekonomis pada kedelai dapat dikelompokkan berdasarkan ukurannya, yaitu biji besar (bobot>14 g/100 biji), biji sedang (10-14 g/100 biji) dan kecil (bobot<10 g/100 biji) (Adie dan Krisnawati, 2007).

Pertumbuhan tanaman kedelai dibagi atas tipe determinit, indeterminit dan

semi-determinit. Pada tipe determinit, pertumbuhan vegetatif berhenti setelah fase berbunga, buku teratasnya mengeluarkan bunga, batang tanaman teratas cenderung berukuran sama dengan batang bagian tengah sehingga pada kondisi normal batang tidak melilit. Pada tipe indeterminit, pertumbuhan vegetatif masih berlangsung setelah fase berbunga dan ukuran batang semakin mengecil hingga ke pucuk. Bentuk peralihan antara pertumbuhan determinit dan interdeminit dikenal dengan pertumbuhan semi-determinit. Varietas kedelai di Indonesia umumnya bertipe tumbuh determinit (Adie dan Krisnawati, 2007).

(16)

6

setelah tanam (Sumarno, 1991). Menurut Gardner et al. (1985), umur panen yang lebih lama memberikan hasil lebih banyak dibandingkan umur panen lebih awal.

Tanaman kedelai pada dasarnya sesuai diusahakan pada iklim agak kering tetapi memerlukan kelembaban tanah yang cukup selama pertumbuhan. Kebutuhan air yang diperlukan oleh tanaman kedelai yang dipanen pada umur 80-90 hari dapat disuplai dari curah hujan 120-135 mm/bulan. Suhu yang sesuai untuk pertumbuhan kedelai berkisar antara 22-27oC. Kelembaban udara yang optimal untuk tanaman kedelai berkisar 75-90% selama periode tanaman tumbuh hingga stadia pengisian polong dan pada waktu pematangan berkisar 60-75%. Kisaran pH tanah untuk kedelai tumbuh baik adalah 5.5-7.0 dengan pH optimal 6.0-6.5 (Sumarno dan Manshuri, 2007).

Potensi hasil kedelai hitam yang telah dibudidayakan dengan budidaya kering bervariasi menurut karakter varietasnya. Varietas Ceneng memiliki potensi hasil 2 ton/ha dan sesuai untuk tanah masam (Karto, 2005). Varietas Cikuray memiliki potensi produksi 1.7 ton/ha (Suhartina, 2005).

Lahan Pasang Surut

Lahan pasang surut merupakan salah satu lahan marjinal yang potensial untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian. Menurut Rachman et al. (2007), lahan pasang surut sebagai lahan suboptimal, akan sesuai untuk pengembangan kedelai bila diikuti dengan penerapan teknologi yang berkaitan dengan konservasi tanah, pengelolaan air, ameliorasi dan pengelolaan bahan organik serta pemupukan.

(17)

permukaan tanah. Lahan bertipe luapan D tidak terluapi air pasang tetapi

kedalaman muka air tanahnya lebih dari 50 cm di bawah permukaan tanah.

Pertanaman palawija seperti kedelai di lahan pasang surut umumnya ditanam pada tipologi lahan C dan D. Menurut Sarwani (2001), penanaman kedelai dilakukan bahkan pada musim hujan sekalipun dengan pengelolaan air aliran satu arah tetapi harus disertai dengan pembuatan saluran drainase dangkal. Sistem drainase dangkal adalah sistem pengelolaan air bawah tanah. Sistem ini dirancang dengan menurunkan muka air tanah pada batas antara 40-60 cm dari permukaan tanah.

Paparan sinar matahari pada tanaman di lahan pasang surut tergolong penuh tanpa naungan. Menurut Irianto et al. (2005), energi radiasi matahari dibutuhkan tanaman untuk proses fotosintesis, fotomorfogenesis, fotorespirasi, perpanjangan sel dan pematangan biji. Pada penelitiannya di Bogor, Baharsjah et al. (1985) menunjukkan bahwa hasil kedelai lebih tinggi pada musim kemarau dengan radiasi 345 cal/cm2 selama 6.4 jam dari pada pada musim hujan dengan radiasi 270 cal/cm2 selama 2.7 jam. Hasil penelitian Syahbuddin dan Las (2002) menunjukkan bahwa hasil polong tertinggi pada kedelai dicapai pada perlakuan

tanpa naungan dengan tingkat ketersediaan air 50%. Menurut Irianto et al. (2005), pengembangan kedelai di daerah khatulistiwa sangat didukung oleh kekayaan radiasi matahari dan ketersediaan air sepanjang tahun oleh hujan orogragfis.

Kemasaman tanah di lahan pasang surut merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan untuk usaha pertanian. Menurut Adisarwanto dan Sunarlim

(2000), salah satu kendala yang menekan pertumbuhan kedelai di lahan pasang surut adalah karena sifat kimia tanahnya yang masam dengan pH 3.3-3.8. Ada pun status hara yang lain adalah C organik (sedang-tinggi), P tersedia (rendah-sangat rendah), K-dd (rendah-sedang), Al-dd (tinggi). Terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan tanaman disebabkan oleh ketidaktersediaan hara untuk tanaman pada pH rendah dan terdapatnya senyawa beracun bagi tanaman, seperti pirit.

(18)

8

karena mengalami oksidasi dengan turunnya muka air tanah. Lahan menjadi

masam ekstrim (pH 1.3 hingga 3.3) karena dihasilkannya besi III koloidal, asam sulfat yang terlarut menjadi ion sulfat dan melimpahnya ion H+.

Kedalaman Muka Air Tanah pada Budidaya Jenuh Air

Budidaya jenuh air (BJA) adalah budidaya dengan mempertahankan kedalaman muka air tanah dengan memberikan air terus-menerus pada parit-parit di sekitar petak pertanaman sehingga lapisan di bawah perakaran menjadi jenuh air (Hunter et al., 1980; Troedson et al., 1983). Hasil tanaman kedelai terbukti

telah dapat ditingkatkan berdasarkan hasil penelitian-penelitian BJA di Indonesia (Pasaribu et al., 1988; Ghulamahdi, 2009; Sagala, 2010; Sahuri, 2011;

Dharmaswara, 2011). Menurut Pasaribu et al. (1988), penanaman kedelai dengan cara penjenuhan kelembaban tanah disertai dengan pembumbunan atau tanpa pembumbunan dapat memberikan pertumbuhan tanaman optimal dengan hasil di

atas 2 ton/ha. Secara konsisten dengan BJA, produktivitas varietas nasional Tanggamus yang dapat mencapai 4 ton/ha ditunjukkan dari hasil penelitian Ghulamahdi (2009), Sagala (2010), Sahuri (2011) dan Dharmaswara (2011).

Usaha mepertahankan kedalaman muka air didukung oleh tekstur tanah yang dapat memegang air dengan baik. Menurut Hakim et al. (1986), fraksi liat menjadi pemegang air yang baik sedangkan fraksi debu mendukung air tersedia dan pembebasan unsur-unsur hara untuk diserap oleh tanaman. Fraksi pasir menyokong tanah di sekelilingnya yang terdiri dari partikel liat dan debu. Untuk lahan pasang surut yang telah dijadikan sawah, menurut Murtantiyo (1997), terdapat lapisan kedap air pada kedalaman sekitar 90 cm di bawah permukaan tanah yang dapat menahan air dalam waktu yang cukup lama.

Usaha mempertahankan kedalaman muka air tanah menjamin kebutuhan air tanaman kedelai. Menurut Sumarno dan Manshuri (2007), tanaman kedelai membutuhkan air berkisar antara 360-405 mm dengan masa tumbuh tanaman berkisar 80-90 hari.

(19)

lapang dan jumlah air dalam tanah pada persentase pelayuan permanen. Fisher

dan Dunham (1992) menyatakan bahwa aerasi tanah yang jelek yang biasanya disebabkan oleh kejenuhan air yang merupakan kondisi optimum untuk difusi dan penimbunan hara di dalam akar. Hanya saja fungsi akar menjadi terganggu karena kekurangan oksigen dan kenaikan kadar faktor-faktor beracun seperti karbon dioksida, metana, etilena dan berbagai asam organik. Sitompul dan Guritno (1995) menambahkan bahwa walaupun tanaman yang kekurangan air memiliki banyak akar akan tetapi hasil tanaman yang tumbuh dengan keadaan cukup air lebih tetap lebih tinggi.

(20)

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di Desa Banyu Urip, Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan. Areal penelitian terletak pada ketinggian 28 m di atas permukaan laut (dpl). Penelitian dilakukan pada bulan Mei hingga September 2012. Pengeringan biomassa tanaman dilakukan di Laboratorium

Pascapanen Departemen Agronomi dan Hortikultura. Analisis tanah dan daun dilakukan di Laboratorium Tanah Balai Penelitian Tanah Bogor.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan adalah alat pengolah tanah, alat pengukur dan plang label percobaan serta pompa air. Pompa air yang digunakan adalah pompa dengan diameter pipa berukuran 2 inci.

Bahan yang akan digunakan adalah tiga benih varietas kedelai hitam, yaitu Ceneng, Cikuray dan Lokal Malang, serta satu benih varietas kedelai kuning sebagai pembanding, yaitu Tanggamus. Bahan lain yang digunakan adalah kapur

Dolomit (CaMg(CO3)2) dengan dosis 2 ton/ha, SP36 dengan dosis 200 kg/ha, dan

KCl dengan dosis 100 kg/ha, serta Urea dengan konsentrasi 10 g/l air dalam volume semprot 400 l/ha. Bahan untuk perlakuan benih yaitu Rhizobium sebanyak 5 g/kg benih dan insektisida dengan bahan aktif karbosulfan 25.53% sebanyak 15 g/kg benih. Pengendalian gulma pada persiapan lahan menggunakan herbisida

sistemik dengan bahan aktif isopropilamina glifosat 486 g/l dan herbisida pembeku biji gulma dengan bahan aktif etil pirazosulfuron 10%. Untuk penanggulangan hama digunakan insektisida dengan bahan aktif klorantraniliprol 50 g/l dan rodentisida dengan bahan aktif brodifakum 0.005%.

Metode Penelitian

(21)

taraf perlakuan, yaitu kedalaman 10 cm dan kedalaman 20 cm di bawah

permukaan tanah serta pembanding, yaitu budidaya kering. Faktor varietas terdiri atas empat jenis perlakuan, yaitu Ceneng, Cikuray, Lokal Malang dan varietas pembanding yaitu Tanggamus. Faktor varietas sebagai anak petak diacak di dalam faktor kedalaman muka air tanah dengan tiga ulangan sehingga diperoleh 36 satuan penelitian (Lampiran 2).

Model liner penelitian ini adalah Yijk = μ + αi + j + ik+ (α )ij + ρk + εijk,

dengan:

i = kedalaman muka air tanah ke 1, 2, 3; j = varietas ke 1, 2, 3, 4;

k = ulangan ke 1, 2, 3;

Yijk = nilai pengamatan perlakuan kedalaman air tanah ke-i, varietas ke-j, dan ulangan ke-k;

μ = nilai rata-rata umum;

αi = pengaruh perlakuan kedalaman muka air tanah ke- i;

j = pengaruh perlakuan varietas ke-j;

ik =pengaruh galat perlakuan kedalaman muka air tanah ke-i dan ulangan ke-k

(galat a);

ρk = pengaruh aditif dari ulangan ke-k;

(α )ij = pengaruh interaksi antara kedalaman muka air tanah ke-i dan varietas ke-j;

εijk = pengaruh galat yang timbul dari taraf kedalaman muka air tanah ke-i dan varietas ke-j pada ulangan ke-k (galat b).

Jika terdapat pengaruh nyata dari perlakuan kedalaman muka air tanah terhadap varietas yang diuji berdasarkan analisis ragam (uji F-hitung) pada taraf 5%, dilakukan uji lanjut untuk melihat perbedaan antar perlakuan dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5%.

Pelaksanaan Penelitian

Pengambilan sampel tanah dilakukan sebelum persiapan lahan untuk mengetahui sifat fisik dan kimia tanah sebelum penanaman. Persiapan lahan dilakukan dengan membersihkan lahan dari gulma. Petakan dibuat dengan ukuran

(22)

12

Tiap petakan ditambahkan kapur Dolomit, SP36, dan KCl pada dua minggu

sebelum penanaman. Aplikasi pengapuran dan pemupukan dilakuan dengan cara disebar secara merata di atas permukaan tanah kemudian tanah diolah ringan.

Benih diinokulasi sebelum penanaman dengan Rhizobium sp. selama 15 menit dan disalut dengan insektisida karbosulfan. Benih kemudian ditanam pada jarak tanam 25 cm x 10 cm dengan jumlah 1 benih per lubang tanam.

Gambar 1. Model perlakuan kedalaman muka air 10 cm (kiri) dan 20 cm (kanan) di bawah permukaan tanah

Kegiatan pemeliharaan meliputi pengairan dan drainase, pengendalian gulma, pengendalian hama dan penyakit serta penyemprotan urea. Pengairan dilakukan bila muka air tanah telah turun sedangkan drainase dilakukan bila muka air tanah naik dari perlakuan di dalam saluran (Gambar 1). Pengendalian gulma dilakukan secara manual 4 minggu setelah tanam (MST). Pengendalian hama dan penyakit dilakukan ketika terdapat gejala dan serangan hama dan penyakit. Tanaman kedelai dipupuk dengan urea melalui daun pada 3, 4, 5 dan 6 MST.

Pengamatan dilakuan saat fase vegetatif dan generatif pada 10 tanaman contoh di tiap unit penelitian. Pengamatan fase vegetatif mencakup tinggi tanaman dan jumlah daun pada 2, 4, 6, 8, 10 MST.

Komponen pengamatan diuraikan sebagai berikut:

1. tinggi tanaman yang diukur dari bekas munculnya kotiledon hingga titik tumbuh,

2. jumlah daun yang dihitung dari daun yang telah mekar sempurna. Trifoliet

daun dihitung sebagai satu unit daun,

3. waktu berbunga 50% dari populasi yang diamati pada setiap varietas,

(23)

5. bobot kering biomassa yang diamati pada 8 MST dengan mencabut satu

tanaman di luar tanaman contoh dan bukan tanaman pinggir serta di luar petak panen di tiap petakan percobaan (Lampiran 3). Tanaman yang telah dicabut dipisahkan menjadi daun, batang, akar, dan bintil akar. Bobot kering biomassa ditimbang setelah komponen tersebut dioven selama 24 jam dengan suhu 105 oC,

6. jumlah cabang tanaman yang dihitung pada saat panen,

7. jumlah polong tanaman yang merupakan polong bernas yang dihitung per tanaman,

8. bobot biji per ubinan yang dihitung dari ubinan yang berukuran 4 m x 1 m di tiap petak perlakuan,

(24)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum

Pertumbuhan dan produksi kedelai hitam sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim, kondisi tanah, teknik budidaya dan karakter varietas yang dipilih di lahan pasang surut. Lokasi penelitian merupakan areal lahan pasang surut yang kedalaman muka air tanahnya masih dapat ditemukan kurang dari 50 cm di bawah

permukaan tanah dan tidak terluapi oleh pengaruh pasang besar dan kecil air laut. Sumber air yang digunakan di dalam saluran penelitian dipengaruhi oleh pasang surut air laut dengan salinitas yang rendah dan daya hantar listrik yang sangat rendah sehingga tidak membahayakan tanaman kedelai (Lampiran 6).

Kondisi iklim dapat diketahui dari data curah hujan dan hari hujan, suhu rata-rata harian, dan kelembaban rata-rata harian. Kondisi iklim selama penelitian digambarkan dari curah hujan dan hari hujan yang terus menurun dari bulan Juni hingga bulan Agustus dan kecenderungan suhu yang semakin meningkat. Berdasarkan data BMKG Palembang (2012), curah hujan selama penelitian turun

dari 100 ml/bulan yang diikuti penurunan hari hujan dari 10 hari/bulan (Lampiran 4). Suhu rata-rata selama tiga bulan penelitian adalah 27oC dengan

suhu minimum rata-rata mencapai 23oC dan suhu maksimum rata-rata mencapai 32oC. Kelembaban rata-rata terukur rata-rata 80% (Lampiran 5).

Sifat tanah sebelum penelitian ditunjukkan dari sifat fisik dan kimia tanah yang dianalisis dari sampel bahan kering tanah (Lampiran 6). Tekstur tanah bersifat liat berdebu dengan komposisi 54% liat, 44% debu dan 2% pasir. Kandungan karbon organik tergolong sangat tinggi dan nitrogen organik

tergolong tinggi dengan nilai berturut-turut yaitu 8.38% dan 0.52% sehingga rasio karbon-nitrogen bahan organiknya adalah 16.00 yang tergolong tinggi. Meskipun kadar P2O5 dan K2O tanah tergolong sedang, ketersediaan kedua hara tersebut

sangat tinggi untuk tanaman (Lampiran 6).

Nilai kejenuhan basah (KB) dari kation-kation basa (Ca, Mg, K dan Na) tanahnya tergolong sedang yaitu 44.00% sehingga sekitar 56% kation lainnya berupa Al3+ dan H+ terjerap pada koloid tanah yang membuat tanah memiliki nilai

(25)

masam dengan nilai pH yaitu 4.4 berdasarkan larutan air dan tergolong masam

berdasarkan larutan kalium klorida dengan nilai pH yaitu 3.80 (Lampiran 6). Keseimbangan nilai pH tanah tergantung pada pertukaran ion-ion basa dan ion-ion asam yang dipertukarkan. Nilai kapasitas tukar kation (KTK) tanah sebelum penelitian yaitu 21.66 cmolc/kg tergolong sedang dan tidak terdapat

kation-kation bebas disamping kation-kation dapat ditukar. Nilai KTKCa, KTKMg

KTKNa dan KTKK berturut-turut adalah 4.65 cmolc/kg (sedang), 3.60 cmolc/kg

(tinggi), 1.22 cmolc/kg (tinggi) dan 0.14 cmolc/kg (rendah). Nilai KTKAl3+ KTKH+

berturut-turut adalah 2.40 cmolc/kg (sangat rendah) dan 1.22 cmolc/kg.

Gambar 2. Keragaan pertanaman kedelai hitam pada 7 MST (kiri) dan 8 MST (kanan).

(26)

16

Hasil

Faktor kedalaman muka air tanah dan varietas kedelai hitam nyata mempengaruhi beberapa peubah pengamatan. Tidak ada peubah pengamatan yang hanya dipengaruhi faktor varietas saja tetapi ada peubah yang hanya dipengaruhi kedalaman muka air tanah saja seperti jumlah daun tanaman pada 10 MST, jumlah cabang, bobot kering daun, bobot kering batang dan bobot kering akar (Tabel 1).

Tabel 1. Uji beda nyata perlakuan kedalaman muka air tanah dan varietas terhadap berbagai peubah yang diamati

Peubah pengamatan

Sumber Keragaman Ulangan

(U)

Kedalaman muka air tanah

(K) U*K

Varietas

(V) K*V Tinggi

2 MST tn * tn ** *

4 MST tn ** tn ** tn

6 MST tn ** tn ** tn

8 MST tn ** * ** tn

10 MST tn ** ** ** *

Jumlah daun

2 MST tn * tn ** **

4 MST tn ** tn * tn

6 MST tn ** tn * tn

8 MST tn ** tn ** **

10 MST tn * tn tn tn

Jumlah cabang tn ** tn tn **

Jumlah polong tn ** tn ** **

Bobot kering

biomassa tn ** tn tn tn

daun tn * tn tn tn

batang tn ** * tn tn

akar tn ** tn tn tn

bintil akar tn ** tn * tn

Serapan hara

nitrogen tn * * ** tn

fosfor tn * * * tn

kalium tn * * ** *

kalsium tn * tn ** tn

Bobot 100 biji tn ** ** ** **

Bobot ubinan tn ** tn ** **

Produktivitas tn ** tn ** **

(27)

Kedalaman Muka Air Tanah

Kedalaman muka air tanah nyata mempengaruhi tinggi dan jumlah daun tanaman dari 2 MST hingga 10 MST, jumlah cabang, jumlah polong, bobot kering biomassa, serapan hara, bobot 100 biji, bobot ubinan dan produktivitas kedelai hitam di lahan pasang surut. Umumnya nilai peubah pertanaman kedelai hitam pada BJA lebih tinggi dari pada tanaman kedelai hitam dari budidaya kering (Tabel 1).

Tinggi tanaman kedelai dari 2 MST hingga 10 MST pada BJA pada kedalaman muka air 10 cm dengan 20 cm di bawah permukaan tanah berbeda nyata dengan budidaya kering di lahan pasang surut. Tinggi tanaman antara BJA kedalaman muka air 10 cm tidak berbeda nyata dengan kedalaman muka air 20 cm di bawah permukaan tanah pada umur tanaman sebelum 8 MST tetapi berbeda nyata saat berumur 8 MST hingga 10 MST (Tabel 2).

Tinggi tanaman kedelai pada umur 10 MST pada BJA kedalaman muka air

20 cm di bawah permukaan tanah lebih tinggi dari pada kedelai pada BJA kedalaman 10 cm di bawah permukaan tanah dan budidaya kering. Tinggi tanaman kedelai rata-rata pada BJA kedalaman muka air 20 cm dan 10 cm di bawah permukaan tanah adalah 70.16 cm dan 66.50 cm sedangkan pada budidaya kering tinggi tanaman kedelai hanya mencapai rata-rata 22.15 cm (Tabel 2).

Tabel 2 . Tinggi dan jumlah daun tanaman kedelai pada berbagai kedalaman muka air tanah di lahan pasang surut

Peubah pengamatan Budidaya kering Kedalaman muka air BJA 20 cm 10 cm Tinggi ---(cm)---

2 MST 4.12b 4.97a 5.22a

4 MST 9.26b 18.80a 17.84a

6 MST 19.98b 53.52a 50.77a

8 MST 21.96c 70.09a 66.28b

10 MST 22.15c 70.16a 66.50b Jumlah daun ---(daun)---

2 MST 3.0ab 2.9b 3.1a

4 MST 4.6b 7.7a 7.4a

6 MST 6.9b 17.3a 16.9a

8 MST 7.0b 25.0a 23.4a

10 MST 3.7b 21.6a 22.8a

(28)

18

Jumlah daun kedelai pada BJA tidak berbeda nyata dengan budidaya

kering pada 2 MST. Jumlah daun kedelai antara BJA kedalaman muka air 10 cm tidak berbeda nyata dengan kedalaman muka air 20 cm di bawah permukaan tanah saat tanaman berumur 4 MST hingga 10 MST. Jumlah daun kedelai pada BJA berbeda nyata dengan kedelai pada budidaya kering saat berumur 4 MST hingga 10 MST di lahan pasang surut (Tabel 2).

Jumlah daun maksimum rata-rata tanaman kedelai pada 8 MST tidak berbeda nyata antara BJA kedalaman muka air 10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah di lahan pasang surut. Jumlah daun kedelai dari BJA kedalaman muka air 10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah berbeda nyata terhadap jumlah daun tanaman kedelai dengan budidaya kering pada 8 MST. Jumlah daun kedelai rata-rata pada BJA kedalaman muka air 10 cm dan 20 cm dapat mencapai 23.44 daun dan 25.03 daun sedangkan jumlah daun rata-rata kedelai dengan budidaya kering hanya mencapai 6.97 daun (Tabel 2).

Kedalaman muka air tanah mempengaruhi bobot kering biomassa, daun, batang, akar, dan bintil akar tanaman kedelai. Bobot kering biomassa, daun, batang, akar dan bintil akar kedelai dari BJA kedalaman muka air tanah 10 cm dan

20 cm di bawah permukaan tanah tidak berbeda nyata tetapi bobot-bobot kedua perlakuan tersebut berbeda nyata terhadap kedelai pada budidaya kering (Tabel 3).

Bobot kering biomassa kedelai dengan BJA 767-790% (delapan kali) lebih tinggi dari pada kedelai dengan budidaya kering. Bobot kering biomasa tanaman kedelai sebesar 3.79 g per tanaman dibagi menjadi 46% bahan kering daun,

43% bahan kering batang, 3% bahan kering akar, dan 0% bahan kering bintil akar. Bobot kering biomassa kedelai pada BJA kedalaman muka air 10 cm di bawah permukaan tanah sebesar 28.68 g per tanaman dibagi menjadi 35% bahan kering daun, 56% bahan kering batang, 6% bahan kering akar dan 3% bahan kering bintil akar. Bobot kering biomassa kedelai pada BJA kedalaman muka air 20 cm di bawah permukaan tanah sebesar 29.53% dibagi menjadi 34% bahan kering daun, 58% bahan kering batang, 5% bahan kering akar dan 3% bahan kering bintil akar (Tabel 3).

(29)

20 cm di bawah permukaan tanah. Bobot kering daun kedelai dengan BJA

584-593% (enam kali) lebih tinggi dari pada bobot daun kedelai dengan budidaya kering (Tabel 3).

Tabel 3. Bobot kering biomassa tanaman kedelai pada berbagai kedalaman muka air tanah di lahan pasang surut

Peubah pengamatan Budidaya kering Kedalaman muka air BJA

20 cm 10 cm

---(g)---

Bobot kering daun 1.71b 10.14a 9.98a

Bobot kering batang 1.60b 16.97a 15.92a

Bobot kering akar 0.43b 1.60a 1.69a

Bobot kering bintil akar 0.00b 0.82a 1.09a

Bobot kering biomassa 3.74b 29.53a 28.68a

Keterangan: Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT α= 5% (BJA= Budidaya jenuh air)

Bobot kering batang kedelai dengan BJA mencapai 15.92 per tanaman pada kedalaman 10 cm dan 16.97 g pada kedalaman 20 cm di bawah permukaan tanah. Bobot kering batang kedelai dengan BJA 995-1061% (sepuluh kali) lebih tinggi dari pada bobot kering batang kedelai pada budidaya kering (Tabel 3).

Bobot kering akar kedelai dengan BJA mencapai 1.69 g per tanaman pada BJA kedalaman muka air 10 cm dan 1.60 g per tanaman pada kedalaman muka air

20 cm di bawah permukaan tanah. Bobot kering akar kedelai dengan BJA 372% (empat kali) lebih tinggi dari pada bobot kering akar kedelai dengan budidaya kering (Tabel 3).

Bobot kering bintil akar kedelai dengan BJA mencapai 0.91 g per tanaman

pada kedalaman muka air 10 cm dan 0.82 g per tanaman pada kedalaman muka air pada 20 cm di bawah permukaan tanah. Bintil akar kedelai dengan budidaya kering tidak ditemukan (Tabel 3).

(30)

20

Kemampuan tanaman kedelai pada BJA dalam menyerap unsur nitrogen

509-523% (5 kali) lebih tinggi, unsur fosfor 3,142-3,428% (31-34 kali) lebih tinggi, unsur kalium 4,281-4,719% (43-47) kali lebih tinggi, dan unsur kalsium 9,994-10,200% (100-102) kali lebih tinggi dari pada tanaman kedelai pada budidaya kering (Tabel 4).

Tabel 4. Serapan unsur hara tanaman kedelai pada berbagai kedalaman muka air tanah di lahan pasang surut

Serapan

unsur Budidaya kering

Kedalaman muka air BJA

20 cm 10 cm

---(g)---

Nitrogen 0.94b 4.79a 4.92a

Fosfor 0.01b 0.22a 0.24a

Kalium 0.03b 1.37a 1.51a

Kalsium 0.01b 1.50a 1.53a

Keterangan: Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT α= 5% (BJA= Budidaya jenuh air)

Varietas

Peubah yang nyata dipengaruhi oleh varietas adalah tinggi tanaman dari 2 MST hingga 10 MST, jumlah daun dari 2 MST hingga 8 MST, jumlah polong, bobot bintil akar, serapan hara, bobot 100 biji, bobot ubinan dan produktivitas (Tabel 1). Pertambahan tinggi kedelai terus menigkat secara nyata setelah tanaman berumur 4 MST dan pertambahan tinggi melandai pada saat tanaman berumur 8 MST. Jumlah daun kedelai terus meningkat hingga mencapai maksimum pada 8 MST dan jumlah daun mengalami penurunan pada saat

tanaman berumur 10 MST. Perbedaan kemampuan varietas dalam menyerap hara ditunjukkan serapan hara masing-masing varietas meskipun tidak ada perbedaan biomassa antar varietas (Tabel 5).

Tinggi tanaman kedelai hitam varietas Ceneng dan Lokal Malang pada

(31)

Tabel 5. Tinggi dan jumlah daun beberapa varietas kedelai di lahan pasang surut

Peubah pengamatan

Varietas

Ceneng Cikuray Lokal Malang Tanggamus Tinggi ---(cm)---

2MST 4.71b 3.85c 4.45b 6.08a

4MST 16.33a 12.93c 14.72b 17.21a

6MST 45.15a 37.55a 39.65b 43.35b

8MST 55.74a 44.81b 54.00a 56.55a

10MST 55.98b 44.99c 53.38ab 57.41a

Jumlah daun ---(daun)---

2MST 2.8b 2.8b 2.9b 3.5a

4MST 6.1c 6.4bc 6.7ab 7.0a

6MST 12.4c 13.2bc 15.0a 14.3ab

8MST 16.7c 16.3c 21.9a 19.0b

10MST 13.5ab 12.4b 17.6ab 20.8a

Keterangan: Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT α= 5%

Jumlah daun maksimum rata-rata tanaman kedelai hitam pada 8 MST tidak berbeda nyata antara Ceneng dan Cikuray tetapi jumlah daun kedua varietas tersebut berbeda nyata dengan jumlah daun varietas Lokal Malang. Jumlah daun Lokal lebih tinggi dari pada dari pada Ceneng dan Cikuray bahkan dari Tanggamus pada 8 MST (Tabel 5).

Bobot kering biomassa, daun, batang dan akar tidak berbeda nyata antar varietas kedelai hitam dan terhadap varietas Tanggamus. Bobot kering biomassa kedelai hitam berkisar 18.46-21.92 g per tanaman di lahan pasang surut. Bobot kering daun kedelai hitam berkisar 6.41-8.44 g per tanaman. Bobot kering batang kedelai hitam berkisar 10.59-12.14 g per tanaman. Bobot kering akar kedelai hitam berkisar 0.97-1.25 g per tanaman (Tabel 6).

Bobot kering bintil akar kedelai hitam berbeda nyata dengan varietas Tanggamus tetapi tidak ada perbedaan yang nyata antar varietas kedelai hitam. Bobot kering bintil akar secara berturut-turut dari varietas Lokal Malang, Ceneng

(32)

22

Tabel 6. Bobot kering biomassa tanaman kedelai dari berbagai varietas kedelai di lahan pasang surut

Peubah pengamatan

Varietas

Ceneng Cikuray Lokal Malang Tanggamus ---(g)---

Bobot kering daun 6.53a 6.41a 8.44a 7.72a

Bobot kering batang 12.14a 10.59a 11.65a 11.59a

Bobot kering akar 1.20ab 0.97b 1.25ab 1.54a

Bobot kering bintil akar 0.52b 0.48b 0.57b 0.97a Bobot kering biomassa 20.39a 18.45a 21.91a 21.82a Keterangan: Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT α= 5%

Kemampuan tanaman kedelai dalam menyerap hara dipengaruhi oleh varietas tanaman kedelai. Kemampuan kedelai hitam varietas Lokal Malang berbeda nyata dan lebih tinggi dari pada varietas Ceneng dan Cikuray dalam menyarap unsur nitrogen, fosfor, kalium dan kalsium. Kemampuan varietas Lokal Malang dalam menyerap hara tidak berbeda nyata dengan varietas Tanggamus (Tabel 7).

Tabel 7. Serapan unsur hara beberapa varietas kedelai di lahan pasang surut

Serapan unsur

Varietas

Ceneng Cikuray Lokal Malang Tanggamus ---(g)---

Nitrogen 2.319b 2.468b 4.252a 4.037a

Fosfor 0.110c 0.128bc 0.205a 0.189ab

Kalium 0.523c 0.860bc 1.295a 1.206ab

Kalsium 0.786b 0.679b 1.467a 1.132ab

Keterangan: Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT α= 5%

Interaksi Faktor Kedalaman Muka Air Tanah dengan Varietas

(33)

Jumlah daun kedelai hitam pada budidaya kering tidak berbeda nyata antar

varietas kedelai hitam pada 8 MST. Jumlah daun kedelai hitam pada BJA berbeda nyata terhadap kedelai hitam pada budidaya kering. Jumlah daun kedelai hitam varietas Ceneng dan Cikuray tidak berbeda nyata pada BJA kedalaman 10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah. Jumlah daun varietas Lokal Malang berbeda nyata antar BJA kedalaman 10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah dan jumlah daunnya berbeda nyata dan lebih tinggi dari pada varietas Ceneng dan Cikuray pada BJA kedalaman 20 cm di bawah permukaan tanah (Tabel 8).

Jumlah daun varietas Ceneng dengan BJA berbeda nyata dengan budidaya kering. Meskipun tidak berbeda nyata antar kedalaman 10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah, jumlah daun pada BJA 303-311% (3 kali) lebih tinggi dari pada pada budidaya kering. Jumlah daun varietas Ceneng pada BJA dapat mencapai 21-22 daun sedangkan pada budidaya kering hanya 7 daun (Tabel 8).

Jumlah daun varietas Cikuray dengan BJA berbeda nyata dengan budiaya kering. Meskipun tidak berbeda nyata antar kedalaman 10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah, jumlah daun pada BJA 361-381% (4 kali) lebih tinggi dari pada budidaya kering. Jumlah daun varietas Cikuray pada BJA dapat mencapai

21-22 daun sedangkan pada budidaya kering hanya 6 daun (Tabel 8).

Tabel 8. Jumlah daun tanaman kedelai pada berbagai kedalaman muka air tanah dan varietas pada 8 MST

Perlakuan Jumlah daun

Ceneng Cikuray Lokal Malang Tanggamus

Budidaya kering 7.0e 5.8e 7.6e 7.4e

BJA 20 cm 21.2d 20.9d 32.0a 25.9bc

BJA 10 cm 21.8cd 22.1bcd 26.1b 23.7bcd

Keterangan: Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada baris dan kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT α= 5% (BJA= Budidaya jenuh air)

Jumlah daun varietas Lokal Malang dengan BJA berbeda nyata pada semua perlakuan kedalaman muka air tanah. Jumlah daun tertinggi ditunjukkan pada BJA kedalaman 20 cm di bawah permukaan tanah. Terhadap jumlah daun pada budidaya kering, jumlah daun pada BJA kedalaman 10 cm 342% (3 kali)

(34)

24

jumlah daun pada BJA kedalaman 10 cm mencapi 26 daun dan 32 daun pada BJA

20 cm di bawah permukaan tanah. Jumlah daun varietas Lokal Malang tidak berbeda nyata dengan varietas Tanggamus pada BJA kedalaman 10 cm tetapi menjadi berbeda nyata dan lebih tinggi pada BJA kedalaman 20 cm di bawah permukaan tanah (Tabel 8).

Jumlah cabang dari ketiga varietas kedelai hitam pada BJA kedalaman 10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah lebih tinggi dari pada budidaya kering. Jumlah cabang dari ketiga varietas kedelai hitam tidak berbeda nyata pada perlakuan budidaya kering dan pada BJA kedalaman muka air tanah 10 cm di bawah permukaan tanah. Jumlah cabang varietas Lokal Malang dan varietas Cikuray tidak berbeda nyata tetapi jumlah cabang kedua varietas tersebut berbeda nyata dan lebih tinggi dari pada varietas Ceneng pada BJA kedalaman 20 cm di bawah permukaan tanah. Jumlah cabang ketiga varietas kedelai hitam tidak berbeda nyata dengan varietas Tanggamus pada BJA kedalaman muka air 10 cm di bawah permukaan tanah (Tabel 9).

Jumlah cabang varietas Ceneng pada BJA kedalaman muka air 10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah tidak berbeda nyata tetapi kedua perlakuan

tersebut berbeda nyata dan lebih tinggi dari perlakuan budidaya kering. Jumlah cabang varietas Ceneng tidak berbeda nyata dengan varietas Tanggamus pada budidaya kering dan BJA kedalaman 10 cm tetapi berbeda nyata dengan BJA kedalaman 20 cm di bawah permukaan tanah. Jumlah cabang varietas Ceneng mencapai 3.60-3.73 cabang pada BJA sedangkan pada budidaya kering hanya

mencapai 2.00 cabang (Tabel 9).

Jumlah cabang varietas Cikuray pada BJA kedalaman muka air 10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah tidak berbeda nyata tetapi kedua perlakuan tersebut berbeda nyata dan lebih tinggi dari perlakuan budidaya kering. Jumlah cabang varietas Cikuray tidak berbeda nyata dengan jumlah cabang varietas Lokal Malang pada budidaya kering maupun BJA. Jumlah cabang varietas Cikuray mencapai 4.07-4.20 cabang pada BJA sedangkan pada budidaya kering hanya mencapai 2.00 cabang (Tabel 9).

(35)

nyata dengan varietas Tanggamus pada perlakuan kedalaman muka air tanah

10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah. Jumlah cabang varietas Lokal Malang berbeda nyata dan lebih rendah daripada varietas Tanggamus pada perlakuan budidaya kering. Varietas Lokal Malang memiliki jumlah cabang paling terendah pada dari varietas lainnya, yaitu 1.5 cabang pada budidaya kering tetapi jumlah cabangnya dapat mencapai 4.00-4.60 cabang pada BJA (Tabel 9).

Tabel 9. Jumlah cabang tanaman kedelai pada berbagai kedalaman muka air tanah dan varietas

Perlakuan Jumlah cabang

Ceneng Cikuray Lokal Malang Tanggamus

Budidaya kering 2.0de 2.0de 1.5e 2.1d

BJA 20 cm 3.6c 4.2ab 4.6a 4.6a

BJA 10 cm 3.7bc 4.1abc 4.0bc 3.7bc

Keterangan: Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada baris dan kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT α= 5% (BJA= Budidaya jenuh air)

Jumlah polong dari ketiga varietas kedelai hitam dan varietas Tanggamus pada budidaya kering tidak berbeda nyata. Jumlah polong dari varietas Ceneng dan Cikuray pada BJA kedalaman 10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah tidak berbeda myata tetapi berbeda nyata dan lebih rendah dari pada varietas

Lokal Malang (Tabel 10).

Jumlah polong dari varietas Ceneng pada BJA kedalaman muka air 10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah tidak berbeda nyata tetapi kedua perlakuan tersebut berbeda nyata dan lebih tinggi dari pada budidaya kering. Jumlah polong varietas Ceneng pada BJA mencapai 65.36-65.40 polong sedangkan pada budidaya kering hanya mencapai 7.00 polong (Tabel 10).

Jumlah polong dari varietas Cikuray pada BJA kedalaman muka air tanah 10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah tidak berbeda nyata tetapi kedua perlakuan tersebut berbeda nyata dan lebih tinggi dari pada budidaya kering. Jumlah polong varietas Cikuray mencapai 53.70-62.73 polong pada BJA sedangkan pada budidaya kering hanya mencapai 8.20 polong (Tabel 10).

Jumlah polong dari varietas Lokal Malang berbeda nyata antar perlakuan

(36)

26

tanah dan budidaya kering, yaitu 102.83 polong, 84.66 polong dan 4.40 polong.

Jumlah polong antara varietas Lokal Malang dengan varietas Tanggamus tidak berbeda nyata pada ketiga perlakuan kedalaman muka air tanah (Tabel 10).

Tabel 10. Jumlah polong tanaman kedelai pada berbagai kedalaman muka air tanah dan varietas

Perlakuan Jumlah polong

Ceneng Cikuray Lokal Malang Tanggamus

Budidaya kering 7.0d 8.2d 4.4d 8.2d

BJA 20 cm 65.4c 53.7c 102.8a 100.0ab

BJA 10 cm 65.4c 62.7c 84.7b 92.1ab

Keterangan: Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada baris dan kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT α= 5% (BJA= Budidaya jenuh air)

Bobot 100 biji dari varietas Ceneng, Cikuray dan Tangamus tidak

berbeda nyata pada budidaya kering tetapi berbeda nyata dan lebih tinggi dari pada varietas Lokal Malang. Bobot 100 biji dari ketiga varietas kedelai hitam berbeda nyata pada BJA. Bobot 100 biji tertinggi ditunjukkan oleh varietas Cikuray yang diikuti oleh varietas Ceneng dan Lokal Malang. Bobot 100 biji varietas Ceneng tidak berbeda nyata dengan varietas Tanggamus (Tabel 11).

Tabel 11. Bobot 100 biji kedelai pada berbagai kedalaman muka air tanah dan varietas

Perlakuan Bobot 100 biji (g)

Ceneng Cikuray Lokal Malang Tanggamus

Budidaya kering 9.60de 10.00cd 9.02e 10.24cd

BJA 20 cm 10.76bc 14.00a 10.21cd 11.18b

BJA 10 cm 11.64b 13.59a 10.11cd 11.59b

Keterangan: Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada baris dan kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT α= 5% (BJA= Budidaya jenuh air)

Bobot 100 biji varietas Ceneng pada BJA antara kedalaman muka air 10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah tidak berbeda nyata tetapi bobot 100 biji kedua perlakuan tersebut berbeda nyata dan lebih tinggi dari perlakuan budidaya kering. Bobot 100 biji varietas Ceneng pada BJA dapat mencapai

(37)

100 biji kedua perlakuan BJA tersebut berbeda nyata dan lebih besar dari pada

budidaya kering. Bobot 100 biji varietas Cikuray pada BJA dapat mencapai 13.59-14.00 g sedangkan pada budidaya kering hanya mencapai 10.00 g (Tabel 11).

Bobot 100 biji varietas Lokal Malang pada BJA antara kedalaman muka air tanah 10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah tidak berbeda nyata tetapi kedua perlakuan BJA tersebut berbeda nyata dan lebih tinggi dari pada perlakuan budidaya kering. Bobot 100 biji varietas Lokal Malang pada BJA dapat mencapai 10.11-10.21 g sedangkan pada budidaya kering hanya mencapai 9.02 g (Tabel 11).

Tabel 12. Bobot biji per ubinan kedelai pada berbagai kedalaman muka air tanah dan varietas

Perlakuan Bobot biji per ubinan (g/4 m

2

)

Ceneng Cikuray Lokal Malang Tanggamus

Budidaya kering 6.67e 11.85e 7.92e 13.67e

BJA 20 cm 1570.44c 1112.00d 1945.60a 1997.81a

BJA 10 cm 1623.33bc 1293.81d 1876.29a 1851.58ab Keterangan: Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada baris dan kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT α= 5% (BJA= Budidaya jenuh air)

Bobot biji per ubinan masing-masing kedelai hitam pada BJA kedalaman muka air 10 cm dengan 20 cm di bawah permukaan tanah tidak berbeda nyata tetapi produktivitas dari kedua perlakuan tersebut berbeda nyata dan lebih tinggi dari perlakuan budidaya kering. Bobot biji per ubinan kedelai hitam dan varietas Tanggamus tidak berbeda nyata pada budidaya kering. Bobot biji per ubinan kedelai hitam tertinggi ditunjukkan oleh varietas Lokal Malang yang diikuti oleh varietas Ceneng dan Cikuray. Bobot biji per ubinan varietas Lokal Malang tidak berbeda nyata dengan varietas Tanggamus (Tabel 12).

Keberadaan saluran dalam BJA berakibat pada pengurangan areal yang ditanami kedelai sebesar 15% luasan tanam. Hal ini mengakibatkan pendugaan produktivitas per hektar kedelai dari BJA harus dikurangi 15% produktivitas tanpa saluran.

(38)

28

Produktivitas varietas Ceneng pada BJA mencapai 3.34-3.45 ton/ha sedangkan

pada budidaya kering hanya mencapai 0.26 ton/ha (Tabel 13).

Produktivitas varietas Cikuray pada BJA antara perlakuan kedalaman muka air 10 cm dengan 20 cm di bawah permukaan tanah tidak berbeda nyata tetapi produktivitas dari kedua perlakuan tersebut berbeda nyata dan lebih tinggi dari pada perlakuan budidaya kering. Produktivitas varietas Cikuray pada BJA mencapai 2.75-2.36 ton/ha sedangkan pada budidaya kering hanya mencapai 0.47 ton/ha (Tabel 13).

Tabel 13. Produktivitas tanaman kedelai pada berbagai kedalaman muka air tanah dan varietas

Perlakuan

Produktivitas (ton/ha)

Ceneng Cikuray Lokal Malang Tanggamus ---sebelum dikurangi saluran---

Budidaya kering 0.26e 0.47e 0.31e 0.54e

BJA 20 cm 3.92c 2.78d 4.86a 4.99a

BJA 10 cm 4.06bc 3.23d 4.69a 4.62ab

---sesudah dikurangi

saluran---Budidaya kering 0.26e 0.47e 0.31e 0.54e

BJA 20 cm 3.32c 2.36d 4.13a 4.24a

BJA 10 cm 3.45bc 2.75d 3.99a 3.93ab

Keterangan: Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada baris dan kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT α= 5% (BJA= Budidaya jenuh air)

Produktivitas Lokal Malang pada BJA antara perlakuan kedalaman air 10 cm dengan 20 cm di bawah permukaan tanah tidak berbeda nyata tetapi produktivitas kedua perlakuan tersebut berbeda nyata dan lebih tinggi dari pada perlakuan budidaya kering. Produktivitas varietas Lokal Malang pada BJA dapat mencapai 3.99-4.13 ton/ha sedangkan pada budidaya kering hanya mencapai 0.31 ton/ha (Tabel 13).

Umur berbunga dan umur panen kedelai hitam tergantung dari varietasnya. Varietas Ceneng berbunga lebih cepat yaitu pada 35 hari setelah tanam (HST) yang diikuti varietas Cikuray dan Lokal Malang berbunga pada 38 HST. Varietas Tanggamus sebagai tanaman pembanding berbunga lebih lama, yaitu 42 HST.

(39)

Pembahasan

Kedalaman muka air tanah menjadi faktor penting dalam budidaya kedelai hitam di lahan pasang surut. Pengaruh pengaturan kedalaman muka air tanah dalam BJA untuk meningkatkan hasil tanaman kedelai hitam dapat ditinjau dari kecukupan ruang tumbuh untuk perkembangan perakaran dan mikroorganisme di dalam tanah yang memiliki udara dan kondisi jenuh air di bawah perakaran. Kondisi jenuh air di bawah perakaran menyumbang ketersediaan air dan kelarutan hara bagi tanaman yang sekaligus dapat menekan pengaruh racun dan kemasaman tanah.

Muka air tanah di lokasi penelitian dapat dipertahankan dengan baik

dengan dukungan tekstur tanah yang bersifat liat berdebu. Tekstur liat pada tanah penelitian menahan air dengan baik tetapi juga membatasi perkembangan akar. Karena lahan penelitian yang digunakan merupakan sawah bekas penanaman padi, menurut Murtantiyo (1997) dan Hardjowigeno et al. (2004), terdapat lapisan tapak bajak yang telah terbentuk sehingga muka air tanah dapat dipertahankan pada kedalaman 10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah. Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), tingkat drainase tanah pada tanah bertekstur liat berdebu agak terhambat hingga terhambat dengan kedalaman efektif untuk perkembangan akar berkisar 20-30 cm di bawah permukaan tanah.

(40)

30

Perkembangan akar kedelai hitam, sebagai contoh varietas Lokal Malang,

pada BJA kedalaman muka air 10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah terhambat sesuai perlakuannya (Gambar 3). Di sisi lain, perkembangan akar pada budidaya kering tidak tumbuh lebih dalam dari 10 cm karena diduga terhambat oleh tekstur liat dan berkembang lebih dangkal untuk memanfaatkan air hujan yang sewaktu-waktu turun di musim kemarau.

Gambar 3. Penampilan akar varietas Lokal Malang pada budidaya kering (kiri), BJA 20 cm (tengah), dan BJA 10 cm (kanan) pada 8 MST dengan perbandingan leher akar tanaman. (BJA= Budidaya jenuh air).

(41)

Gambar 4. Gejala kekuningan pada daun varietas Lokal Malang pada 3 MST (kiri) dan masih terlihat pada daun varietas Ceneng pada 4 MST (kanan).

Gambar 5. Aklimatisasi kedelai hitam pada 5 MST (kiri) dan 6 MST (kanan).

Ketersediaan unsur nitrogen sebagai salah satu hara esensial untuk pembentukan perakaran baru pada kedelai di lahan pasang surut sangat rendah. Kandungan nitrogen pada tanah sebelum penelitian, yaitu sebesar 0.52% dari bahan kering tanah, merupakan sumber nitrogen awal bagi pertumbuhan tanaman. Sumbangan nitrogen yang berasal dari hujan sangat rendah karena curah hujan juga yang sangat rendah. Menurut Hakim et al. (1986), nitrogen juga menjadi kurang tersedia karena dimanfaatkan oleh mikroorganisme yang melakukan dekomposisi bahan organik pada tanah dengan kandungan karbon lebih tinggi dari pada nitrogen.

(42)

32

pertumbuhan tanaman kedelai. Dengan nilai pH tanah yang rendah dan nilai KTK

tanah yang tergolong sedang, kebutuhan nitrogen di awal pertumbuhan tanaman tidak ditambahkan pada tanah dengan pupuk urea karena pupuk cenderung tercuci sehingga tidak efektif untuk diserap oleh tanaman kedelai hitam. Hasil penelitian Suwarto et al. (1994) dengan percobaan pot menunjukkan penambahan nitrogen melalui tanah dapat menekan jumlah bintil akar yang terbentuk pada budidaya jenuh air.

Keberadaan bintil akar sebagai indikator keberadaan bakteri rhizobia pada perakaran tanaman kedelai menjamin ketersediaan nitrogen untuk tanaman. Walaupun pada tanah penelitian telah ditambahkan kapur Dolomit dengan dosis 2 ton/ha dan inokulasi Rhizobium sp. pada benih, bintil akar tidak muncul pada kedelai dengan budidaya kering. Bintil akar varietas Lokal Malang, Ceneng dan Cikuray dapat ditemukan pada BJA walaupun jumlahnya tidak berbeda nyata antar kedalaman muka air 10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah dan antar varietas kedelai hitam. Hal ini diduga bahwa lingkungan tumbuh bagi rhizobia untuk bersimbiosis dengan tanaman kedelai hitam pada BJA lebih sesuai dari pada kedelai hitam pada budidaya kering di lahan pasang surut.

Pertumbuhan dan perkembangan tanaman kedelai hitam pada BJA setelah 4 MST mengalami peningkatan dibandingkan dengan budidaya kering dari parameter tinggi dan jumlah daun. Menurut Troedson et al. (1983) dan Avivi (1995), daun tanaman kedelai menjadi kembali hijau dan laju pertumbuhan kedelai lebih tinggi pada BJA karena banyaknya akar dan bintil akar yang muncul

pada tanah yang jenuh air. Pemulihan penuh kedelai hitam secara visual terlihat pada 7 MST dengan warna daun berubah menjadi hijau tua dan tajuk tanaman telah mengembang sempurna (Gambar 5).

(43)

budidaya kering rata-rata hanya mencapai 2 cabang sedangkan pada BJA dapat

mencapai 4-5 cabang per tanaman kedelai.

Ketersediaan air yang terus menurun akibat penurunan curah hujan selama musim kemarau di lahan pasang surut menghambat pertumbuhan tanaman kedelai pada budidaya kering. Tanaman kedelai hitam di budidaya kering membatasi pertumbuhannya dan bahkan mati karena tidak mampu menyerap cukup air untuk menyesuaikan diri dengan laju transpirasinya. Menurut Salisbury dan Ross (1992), bila potensial air tanah dan potensial air akar sama besar, akar tidak lagi mengambil air dari tanah tetapi transpirasi dari tajuk tanaman berjalan terus.

Kebutuhan air selama musim kemarau di lahan pasang surut tersedia bagi tanaman kedelai hitam dengan BJA. Muka air tanah pada BJA yang dipertahankan dengan perlakuan kedalaman muka air 10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah menjamin kebutuhan air bagi tanaman kedelai hitam. Pada tanah dengan BJA, terdapat air kapiler pada pori-pori mikro yang dekat dengan perakaran tanaman kedelai sehingga tanah pada di bawah perakaran selalu berada dalam kondisi kapasitas lapang dan hara dalam keadaan terlarut (Gambar 6). Berdasarkan penelitian Wahjunie (2009), pemanasan permukaan tanah oleh

radiasi matahari pada hari-hari tanpa hujan menyebabkan pergerakan air dari lapisan tanah bawah yang kadar airnya tinggi ke lapisan tanah atas yang kadar airnya lebih rendah melalui pori-pori mikro tanah dengan kecepatan yang relatif rendah.

Suplai air yang terjamin mendukung kelarutan hara di area perakaran

(44)

34

berturut-turut adalah 45.80% dan 21.08%. Dengan tingginya suhu selama

penelitian yang berkorelasi positif dengan transpirasi, Hakim et al. (1986) menyatakan bahwa pergerakan air kapiler karena transpirasi mendekatkan hara yang terlarut pada permukaan perakaran tanaman. Hal ini menyebabkan jumlah hara terlarut dekat perakaran tanaman kedelai hitam dengan BJA lebih tinggi dan lebih mudah diserap dari pada budidaya kering.

Gambar 6. Ilustrasi profil muka air tanah dan perkembangan perakaran tanaman kedelai dalam budidaya jenuh air (diilustrasikan penulis dari hasil penelitian Troedson et al., 1983; Murtantiyo, 1997; Jayadi, 2009; Wahjunie, 2009).

Tingkat ketersediaan hara yang dapat diserap tanaman dapat diperbaiki dengan menaikkan nilai pH tanah masam di lahan pasang surut. Menurut Hakim et al. (1986), penambahan kapur yang mengandung kalsium dan magnesium secara langsung menambah hara tersebut pada tanaman sekaligus secara tidak langsung meningkatkan ketersediaan hara lainnya dengan meningkatnya pH tanah.

(45)

kedalaman muka air 10 cm sebesar 1.53 g per tanaman dan pada BJA kedalaman

muka air tanah 20 cm di bawah permukaan tanah sebesar 1.50 g per tanaman sedangkan pada budidaya kering hanya 0.01 g per tanaman. Meskipun serapan unsur kalsium tidak berbeda nyata pada BJA kedalaman muka air tanah 10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah, serapan kalsium yang lebih tinggi pada kedelai hitam dengan BJA dibandingkan budidaya kering menunjukkan pengaruh ion hidrogen dan aluminium dapat ditekan sehingga ketersediaan hara meningkat bagi tanaman pada BJA. Menurut Kussow (1971), dua bahan penting dari kapur adalah ion CO32- yang menarik ion hidrogen dari koloid tanah dan ion OH- yang

mengusir aluminium dari kompleks jerapan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Mochtar (2002) yang menunjukkan penggenangan pada BJA dengan pengapuran dapat menekan jumlah ion hidrogen dan aluminium yang dapat dipertukarkan sehingga nilai pH tanah mengalami peningkatan.

Perbaikan nilai pH dari pengapuran dan kelarutan hara dari air kapiler yang menuju perakaran menunjang ketersediaan hara untuk diserap tanaman. Bentuk hara yang tersedia untuk diserap oleh tanaman adalah dalam bentuk ion-ion. Menurut Hakim et al. (1986), kation-kation dari kompleks jerapan harus memasuki larutan sebelum diserap oleh tanaman. Bila kejenuhan kation tinggi dalam larutan tanah dekat perakaran, ion H+ dengan mudah dikeluarkan tanaman untuk menggantikan kation-kation yang diserap oleh tanaman dari kompleks jerapan atau koloid tanah. Dengan nilai KTK tanah penelitian yang tergolong sedang, pupuk SP36 dan KCl ditambahkan pada tanah untuk meningkatkan

ketersediaan hara tanah dan cukup tersedia bagi tanaman.

(46)

36

Di sisi lain, Sanchez (1976) menyatakan bahwa daya meracun aluminium cepat

hilang dari tanah asam pada zona tanah yang tergenang karena alumunium yang dapat ditukar diendapkan pada pH 5.5 dan tanah yang tergenang akan mengalami kenaikan nilai pH karena penurunan ion H+ dan peningkatan ion OH-.

Jumlah akar menjadi salah satu penentu jumlah hara yang diserap oleh tanaman. Meskipun tidak berbeda nyata jumlah akar kedelai hitam pada BJA dengan kedalaman muka air 10 cm dan 20 cm di bawah permukaan tanah, jumlah akar pada BJA empat kali lebih tinggi dibandingkan deng

Referensi

Dokumen terkait

Jamalludin dan Zaidatun (2002) menyatakan bahawa pautan atau links membolehkan suatu navigasi tidak linear berbentuk hypermedia dapat dihasilkan. Ini dapat

pelaksanakan dalam penelitian ini yang terbagi menjadi tiga, yaitu: Tahap Persiapan yaitu Penulis meminta izin terlebih dahulu kepada atasan penulis apakah

Dari seluruh jumlah pemilih pemula di Desa Kismoyoso, yaitu 439 responden, yang pernah melihat tayangan acara terkait kampanye partai politik hampir setengahnya berjumlah

Enter a All requested variables entered... Enter a All requested

Menurut Sugiyono (2010:194), wawancara merupakan teknik pengumpulan data apabila peneliti akan melaksanakan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus

Pembahasan mengenai dasar sistem pengolahan lahan pertanian dalam Alquran belum pernah ada. Sejauh yang diketahui, selintas jurusan Ilmu Al-Qu‟an dan Tafsir hanya ada

Pembeli dapat memenuhi kebutuhan pangan dan sandang secara bersamaan, karena terdapat akses yang mudah dari pasar rawasari yang menjual kebutuhan pangan dengan

bangunan Universitas Dumoga Kotamobagu yang masih banyak kekurangan antara lain sistem penzoningan yang tidak jelas, fasilitas yang kurang memadai, penataan ruang