• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengetahuan masyarakat tentang konservasi sumberdaya hutan: studi kasus pada masyarakat Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Sukabumi Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengetahuan masyarakat tentang konservasi sumberdaya hutan: studi kasus pada masyarakat Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Sukabumi Jawa Barat"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

Studi Kasus pada Masyarakat Desa Cipeuteuy,

Kecamatan Kabandungan, Kawasan Taman Nasional Gunung

Halimun Salak, Sukabumi, Jawa Barat

FEBRIANY SAKINA TINAMBUNAN

`

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

(2)

PENGETAHUAN MASYARAKAT TENTANG KONSERVASI

SUMBERDAYA HUTAN

Studi Kasus pada Masyarakat Desa Cipeuteuy,

Kecamatan Kabandungan, Kawasan Taman Nasional Gunung

Halimun Salak, Sukabumi, Jawa Barat

FEBRIANY SAKINA TINAMBUNAN

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

(3)

Konservasi Sumberdaya Hutan (Studi Kasus pada Masyarakat Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Sukabumi, Jawa Barat). Dibimbing oleh DIDIK SUHARJITO.

Taman Nasional Gunung Halimun sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 282/Kpts-II/1992 tanggal 28 Februari 1992 luasnya 40.000 ha. Pada tahun 2003 kawasan TNGH diperluas menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS))yang ditetapkan dengan SK Menhut No. 175/Kpts-II/2003. Perluasan kawasan TNGHS merubah status hutan produksi menjadi satu kesatuan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak dengan luas kawasan menjadi 113.357 ha.

Fokus penelitian ini adalah pengetahuan masyarakat tentang konservasi yang terwujud dalam larangan-larangan yang ada di dalam masyarakat dan pengaruhnya terhadap aktivitas-aktivitas pemanfaatan masyarakat seperti budidaya pertanian, menebang pohon, mengambil kayu bakar, dan mengambil rumput. Aktivitas masyarakat tersebut dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat. Di sisi lain, status kawasan sebagai taman nasional membatasi akses masyarakat dalam melakukan kegiatan-kegiatan tersebut karena dinilai dapat merusak hutan. Oleh karena itu, perlu mengkaji secara lebih mendalam pengetahuan masyarakat tentang konservasi sumberdaya hutan.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode studi kasus. Informan terdiri dari para tokoh dan warga masyarakat dari lima dusun di Desa Cipeuteuy yang berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan pengelolaan taman nasional. Data yang didapatkan dari hasil observasi lapang dan wawancara mendalam dengan masyarakat diklasifikasikan dan dianalisis. Hasilnya ditampilkan dalam bentuk teks naratif dan gambar, dan dijelaskan secara deskriptif.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam interaksinya dengan hutan, masyarakat Cipeuteuy memiliki aturan-aturan antara lain berupa larangan-larangan. Aturan tersebut muncul sebagai hasil proses belajar dalam kehidupan masyarakat dan hasil interaksinya dengan taman nasional. Sebagian aturan pada masyarakat Cipeuteuy merupakan hasil adopsi peraturan yang dibuat oleh taman nasional. Masyarakat Cipeuteuy masih melakukan aktifitas pemanfaatan di kawasan taman nasional seperti budidaya pertanian, penebangan pohon, pengambilan kayu bakar, dan pengambilan rumput untuk pakan ternak. Pada umumnya masyarakat berusaha menghindari pemanfaatan yang telah dilarang oleh taman nasional berdasarkan peraturan atau Undang-Undang yang berlaku. Karena kondisi masyarakat saat ini yang belum memiliki pengganti sumber mata pencaharian maka masyarakat masih terus melakukan aktivitas-aktivitas tersebut dengan tetap berusaha meminimalkan kerusakan hutan yang ditimbulkan.

(4)

SUMMARY

FEBRIANY SAKINA TINAMBUNAN. Community knowledge of Forest Resource Conservation (a Case Study of Cipeuteuy Village community, Kabandungan Sub District, Halimun Salak Mountain National Park Area, Sukabumi, West Java). Supervised by DIDIK SUHARJITO.

Halimun Salak Mountain National Park in accordance with the Decree of Ministry of Forestry No. 282/Kpts-II/1992 covering area of 40.000 ha. TNGH area was enlarged on 2003 become Halimun Salak Mountain National Park (TNGHS) according to the Decree of Ministry of Forestry No. 175/Kpts-II/2003. The extension of TNGHS area changed the status of production forest become one entity of Halimun Salak Mountain National Park area with total area as 113.357 ha.

The focus of this research is community knowledge of conservation thatrealized in prohibition contained in the community and the influence to the utilization activities of community such as agricultural cultivation, tree felling, firewood collecting, and grass taking. Those community activities are conducted in order to meet the economic needs of community. In the other hand, the area status as a national park restricts the community access in conducting those activities because it’s considered can damage the forest. Therefore, it needs to review more deeply the community knowledge about forest resources conservation.

This research was conducted by using case study method. Respondent consist of community leader and community members living in five hamlets of Cipeuteuy village that directly or indirectly involve in managing the National Park. It was conducted in five hamlets on one village. The data from field observation and deep interview with communities was classified and analyzed. The result is shown as narrative text and figure, and explained descriptively.

This research result shown that Cipeuteuy communities have rules on interacting with forest including prohibitions. The rules arose as a result of learning process on community and socialization of regulation by National Park thus the regulation was gradually adopted in the rules of Cipeuteuy communities. In addition, Cipeuteuy communities’ still conduct utilization activity in National Park area such as agricultural cultivation, logging, collecting fuel wood and collecting the grass for animals feed. Generally, the communities try to avoid utilization that has been prohibited by National Park according to existing regulation or statue, but because of they do not have substitute, the community still continue the activities while trying to minimize the forest damage.

(5)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul ”Pengetahuan Masyarakat tentang Konservasi Sumberdaya Hutan (Studi Kasus pada Masyarakat

Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Kawasan Taman Nasional Gunung

Halimun Salak, Sukabumi, Jawa Barat)” adalah benar-benar hasil karya saya

sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan

sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber

informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak

diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Maret 2011

(6)

Hutan (Studi Kasus pada Masyarakat Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Sukabumi, Jawa Barat)

Nama Mahasiswa : Febriany Sakina Tinambunan

NIM : E14050636

Menyetujui : Dosen Pembimbing,

Dr. Ir. Didik Suharjito, MS NIP. 19630401 199403 1 001

Mengetahui:

Ketua Departemen Manajemen Hutan,

(7)

Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 16 Februari 1987.

Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara pasangan

Amir Hamzah Tinambunan dan Zuraedah. Jenjang pendidikan

formal yang ditempuh penulis dimulai pada tahun 1993 di SDN

Situ Gintung II Pagi Jakarta Selatan dan lulus pada tahun 1999.

Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan kembali pendidikan formalnya di

MTs Negeri 3 Jakarta Selatan dan lulus pada tahun 2002. Pendidikan formal

penulis kemudian dilanjutkan kembali ke SMA Negeri 47 Jakarta Selatan dan

lulus pada tahun 2005. Pada tahun 2005, penulis diterima di Institut Pertanian

Bogor melalui jalur SPMB sebagai mahasiswa Departemen Manajemen Hutan,

Fakultas Kehutanan.

Selama masa perkuliahan, penulis aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan

diantaranya adalah Sekretaris Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Kehutanan

IPB 2006-2007. Bendahara Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Kehutanan

IPB 2007-2008. Sekretaris Umum Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas

Kehutanan IPB 2008-2009. Pengurus DKM Ibaadurrahmaan Fakultas Kehutanan

IPB 2006-2007.

Pada tahun 2007 penulis mengikuti Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan

(P2EH) di KPH Banyumas dan Cilacap. Pada tahun 2008 penulis mengikuti

Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW).

Kemudian pada tahun 2009 penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapang (PKL) di

PT. Musi Hutan Persada, Palembang, Sumatera Selatan.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di

Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, penulis melaksanakan penelitian

dalam bidang sosial kehutanan dengan judul : ”Pengetahuan Masyarakat tentang

Konservasi Sumberdaya Hutan (Studi Kasus pada Masyarakat Desa Cipeuteuy,

Kecamatan Kabandungan, Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak,

(8)

KATA PENGANTAR

Teriring puji dan syukur kepada Allah swt yang telah memberikan nikmat

dan karunia yang begitu besar kepada makhluk-makhlukNya. Shalawat dan salam

semoga tercurah kepada Nabi Muhammad saw yang telah menuntun umatnya dari

zaman yang gelap gulita ke zaman yang terang benderang.

Skripsi ini berjudul ”Pengetahuan Masyarakat tentang Konservasi Sumberdaya Hutan (Studi Kasus pada Masyarakat Desa Cipeuteuy, Kecamatan

Kabandungan, Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Sukabumi,

Jawa Barat) dan dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Penulis

menyadari bahwa di dalam penyusunan skripsi ini banyak terdapat kekurangan

dan kelemahan. Untuk itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang

membangun agar menjadi lebih baik. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat tidak

hanya bagi penulis sendiri namun juga bagi para pembaca.

Terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada:

1. Allah swt atas limpahan nikmat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini bisa

penulis selesaikan.

2. Orang tua tercinta Amir Hamzah Tinambunan dan Zuraedah (mama dan

bapak) yang telah memberikan dukungan dan kasih sayangnya tanpa

kenal lelah.

3. Dr. Ir. Didik Suharjito, MS yang telah membimbing penulis hingga

skripsi ini terselesaikan.

4. Suami tercinta Topan Mai Disyam, S.Hut yang selalu mendampingi

dengan setia.

5. Kepala Balai TNGHS Dr. Ir. Bambang Supriyanto, M.Sc

Akhirnya, penulis ucapkan terima kasih kepada segenap pihak yang

terlibat dalam penelitian ini. Semoga skripsi ini bermanfaat dan berguna bagi

semua pihak.

Bogor, Maret 2011

(9)

DAFTAR ISI

2.2Masyarakat Sekitar Hutan ... 5

2.3 Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat ... 6

2.4 Pengetahuan Masyarakat ... 6

2.5 Konservasi Sumberdaya Alam Hayati...6

BAB III METODE PENELITIAN 3.1Waktu dan Tempat Penelitian ... 8

3.2 Metode Pengumpulan Data ... 8

3.3 Metode Pengolahan data ... 8

3.4 Definisi Operasional ... 9

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1Kondisi Biofisik Taman Nasional Gunung Halimun Salak ... 10

4.2Kondisi Sosial dan Ekonomi Desa Cipeuteuy ... 12

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Gagasan dan Nilai Konservasi ... 18

5.2 Interaksi Masyarakat dengan Hutan ... 22

5.3 Peran Pengetahuan Lokal dalam Pengelolaan Taman Nasional ... 30

(10)

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan ... 35

6.2 Saran ... 35

(11)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Jumlah penduduk menurut umur dan jenis kelamin ... 14

2. Tingkat pendidikan masyarakat Desa Cipeuteuy ... 15

3. Tingkat partisipasi pendidikan ... 15

4. Mata pencarian masyarakat Desa Cipeuteuy ... 16

5. Luas penggunaan lahan Desa Cipeuteuy... 17

6. Aktifitas masyarakat di kawasan TNGHS ... 22

7. Jumlah populasi ternak masyarakat Desa Cipeuteuy...29

(12)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Peta lokasi penelitian………..……..10

2. Papan pemberitahuan batas kawasan pelestarian alam ... 18

3. Peta kawasan Taman Nasional ... 21

4. Budidaya Padi di kawasan Taman Nasional ... 24

5. Budidaya Cabai di kawasan Taman Nasional ... 24

(13)

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hutan merupakan salah satu bagian penting bagi kehidupan manusia.

Karena antara hutan dan manusia mempunyai keterikatan yang cukup erat dan

saling mendukung satu sama lain. Masyarakat yang tinggal di sekitar hutan

menggantungkan sebagian besar kebutuhan hidupnya pada hutan. Pengetahuan

masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya hutan sangat beragam.

Banyak peneliti yang menjadikan pengetahuan masyarakat dalam

pengelolaan hutan sebagai fokus utama dalam penelitiannya. Sebagai contoh,

Mainawati (2004) mengkaji tentang partisipasi dan nilai-nilai tradisional oleh

masyarakat Kasepuhan terkait dengan pengelolaan kawasan TNGH. Puspita

(2006) mengkaji pengetahuan masyarakat dan peranannya dalam konservasi

Kedaung. Selanjutnya, Nurhayati (2006) mengkaji pengetahuan tradisional

masyarakat Paser dalam hal pemanfaatan tumbuhan. Pada kasus lain, Asiah

(2009) meneliti tentang pengetahuan lokal dalam pengelolaan hutan rakyat serta

perubahan pengetahuan dan perannya dalam kelestarian ekosistem. Kajian-kajian

tersebut menunjukan kesimpulan yang berbeda-beda. Beberapa penelitian

menyimpulkan bahwa pengetahuan masyarakat merupakan aspek yang cukup

penting dalam menjaga kelestarian hutan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh

LSM-LSM lingkungan memperlihatkan bahwa pemanfaatan kawasan hutan dan

taman nasional pada khususnya oleh masyarakat adat tidak terbukti merusak

ekosistem kawasan taman nasional (Mainawati 2004).

Salah satu kawasan yang dijadikan taman nasional oleh pemerintah adalah

Gunung Halimun sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.

282/Kpts-II/1992 tanggal 28 Februari 1992 dengan luas 40.000 ha. Kemudian

pada tahun 2003 kawasan TNGH diperluas menjadi Taman Nasional Gunung

Halimun Salak (TNGHS))melalui SK Menhut No. 175/Kpts-II/2003. Perluasan

tersebut dilakukan dengan tujuan melakukan penyelamatan kawasan konservasi

Halimun Salak akibat adanya desakan pembangunan dan kepentingan masyarakat.

(14)

kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak dengan luas kawasan menjadi

113.357 ha.

Dengan beralih fungsinya kawasan hutan produksi menjadi taman nasional

maka aturan yang ada didalamnya pun ikut berubah sesuai dengan aturan taman

nasional. Kebijakan yang langsung berdampak pada aktivitas masyarakat adalah

adanya pembatasan akses dalam pemanfaatan hutan. Perubahan kebijakan di sisi

lain memberikan sumbangan yang cukup besar dalam meningkatkan pengetahuan

masyarakat meskipun bertentangan dengan kebutuhan masyarakat, sehingga untuk

mencapai pengelolaan hutan yang lestari diperlukan adanya kerjasama antar

berbagai pihak yaitu pemerintah dan pengelola TNGHS sebagai pembuat

kebijakan juga masyarakat yang tinggal disekitar hutan yang akan memberikan

dampak baik positif maupun negatif. Hal ini tergantung dari sejauh apa kebijakan

dan aturan yang dibuat oleh pemerintah khususnya TNGHS berkontribusi

terhadap pengetahuan dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNGHS.

Oleh karena itu perlu diadakan penelitian mengenai pengetahuan masyarakat

tentang konservasi dan pengaruhnya terhadap aktivitas-aktivitas pemanfaatan

masyarakat seperti budidaya pertanian, menebang pohon, mengambil kayu bakar,

dan mengambil rumput. Aktivitas masyarakat tersebut dilakukan dalam rangka

memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat.

Penelitian ini penting dilakukan karena pengetahuan tentang konservasi

dapat membantu masyarakat maupun pengelola TNGHS untuk menentukan cara

yang harus dilakukan agar pengelolaan TNGHS dapat berjalan dengan baik, serta

dapat memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar tanpa harus merusak kawsan

konservasi.

1.2 Perumusan Masalah

Fokus penelitian ini adalah menggali pengetahuan masyarakat tentang

konservasi yang terwujud dalam larangan-larangan yang ada di dalam masyarakat

dan pengaruhnya terhadap aktivitas-aktivitas pemanfaatan masyarakat seperti

budidaya pertanian, menebang pohon, mengambil kayu bakar, dan mengambil

rumput. Aktivitas masyarakat tersebut dilakukan dalam rangka memenuhi

(15)

nasional membatasi akses masyarakat dalam melakukan kegiatan-kegiatan

tersebut karena dinilai dapat merusak hutan. Oleh karena itu, perlu mengkaji

secara lebih mendalam pengetahuan masyarakat tentang konservasi sumberdaya

hutan dalam pengelolaan kawasan TNGHS.

1.3 Tujuan

a. Mendeskripsikan pengetahuan masyarakat tentang konservasi sumberdaya

hutan dalam pengelolaan TNGHS.

b. Mendeskripsikan bentuk-bentuk pemanfaatan kawasan konservasi pada

TNGHS.

1.4 Manfaat Penelitian

a. Sebagai bahan masukan bagi TNGHS dalam menentukan kebijakan dan

strategi dalam pengelolaan hutan

b. Sebagai bahan acuan untuk bahan penelitian selanjutnya di bidang Kehutanan

(16)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1Taman Nasional

Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi

Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Taman Nasional adalah kawasan

pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi

yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahun, pendidikan,

menunjang budaya, pariwisata dan rekreasi.

Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai

ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan

penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan

rekreasi alam (Peraturan Pemerintah No.68 Tahun 1998).

Dalam SK Menteri Kehutanan No. 435/kpts-II/89 memuat ketentuan Taman

Nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang dikelola dengan sistem

zonasi terdiri dari zona inti, zona penyangga, zona pemanfaatan serta zona-zona

lain yang dimanfaatkan untuk tujuan ilmu pengetahuan, pariwisata, rekeasi dan

pendidikan. Meningkatkan pengelolaan kawasan hutan konservasi alam secara

terpadu dalam bentuk Taman Nasional dalam rangka mewujudkan pemeliharaan,

perlindungan, pengawetan, dan pelestarian manfaat sumber daya alam hutan baik

barang maupun jasa, secara terpadu, selaras, seimbang dan lestari.

Salah satu bentuk hutan konservasi dikelola Taman Nasional yang

merupakan kawasan pelestarian alam dengan pengelolaan berdasarkan zonasi.

Taman Nasional melakukan zonasi untuk menentukan zona mana yang dapat

digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat untuk rekreasi, pendidikan,

penelitian, dan penunjang budidaya (biasanya dinamakan zona pemanfaatan) dan

zona mana yang benar-benar dijaga untuk kelangsungan seluruh komponen

kehidupan. Zona yang dijaga tersebut biasanya disebut dengan zona inti. Agar

tidak terjadi kontak langsung yang merugikan, antara zona inti dengan zona

pemanfaatan pun terdapat zona penyangga (Harmita 2009).

Dalam Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998 disebutkan bahwa suatu

kawasan ditunjuk sebagai Kawasan Taman Nasional, apabila telah memenuhi

(17)

a. Kawasan yang ditetapkan mempunyai luas yang cukup untuk menjamin

kelangsungan proses ekologis secara alami.

b. Memiliki sumber daya alam yang khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan

maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan

alami.

c. Memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh.

d. Memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan

e. Sebagai pariwisata alam.

f. Merupakan kawasan yang dapat dibagi ke dalam zona lain yang karena

pertimbangan kepentingan rehabilitasi kawasan, ketergantungan penduduk

sekitar kawasan, dan dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumber

daya hayati dan ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri.

Kawasan ekosistem Halimun merupakan satu-satunya kawasan di Pulau

Jawa bagian barat yang masih memiliki kekayaan ekosistem hutan hujan tropis,

yang juga merupakan salah satu penyangga/pendukung penting sistem kehidupan

mengingat fungsinya sebagai kawasan resapan air (water-catchment area),

terutama yang berhubungan dengan ketersediaan sumber daya air di tiga propinsi

(Jawa Barat, DKI Jakarta dan Propinsi Banten). Kekayaan lainnya adalah

kandungan bahan tambang yang bernilai ekonomi tinggi seperti emas, bentonit,

kapur, dan lain-lain yang dilirik dan diperebutkan banyak pihak sehingga

menimbulkan konflik multipihak (RMI 2009).

2.2Masyarakat Sekitar Hutan

Masyarakat di dalam dan sekitar hutan adalah warga negara yang belum

sepenuhnya menikmati hasil pembangunan. Karena secara geografis, letaknya

sangat terpencil. Dimana jangkauan, akses informasi, pendidikan dan mata

pencahariannya serba terbatas. Dengan kondisi demikian, maka sudah sewajarnya

masyarakat tersebut diberdayakan melalui berbagai kegiatan pembangunan.

Terutama yang terkait dengan pembangunan hutan sebagai sumber daya yang

paling dekat dengan keberadaan mereka. Pernyataannya itu sejalan dengan visi

(18)

mensejahterakan masyarakat yang merupakan salah satu bagian penting dalam

pengelolaan hutan dan bagian dari ekosistem hutan (Fenny 2009).

Menurut Mainawati (2004) pengelolaan hutan tidak hanya dilaksanakan

oleh pemerintah melainkan memerlukan peran aktif dari masyarakat yang bisa

berfungsi sebagai kontrol sosial.

Pengalaman menunjukkan bahwa adanya akses masyarakat lokal terhadap

pemanfaatan hutan dan terhadap proses perumusan kebijakan akan mengurangi

banyak permasalahan dalam pengelolaan hutan. Namun dalam prakteknya, terjadi

bias yang sangat besar antara pihak (stakeholders) yang berkepentingan terhadap

hutan. Pengakuan akses masyarakat jarang diterapkan dilapangan dan persoalan

malahan bertambah oleh anggapan mengenai rendahnya tingkat pendidikan

masyarakat lokal, kelembagaan lokal yang tidak berkembang, dan diabaikannya

isu-isu budaya lokal oleh para perencana pembangunan. Meskipun interaksi saling

menguntungkan antara hutan dan masyarakat tersebut dapat dijumpai di banyak

tempat dan dalam berbagai karakter masyarakat lokal, kesempatan yang tersedia

bagi berkembangnya praktek-praktek pengelolaan hutan di tingkat lokal amatlah

sempit, bila tak bisa disebut tidak ada sama sekali (Faisal dan Maskanah 2000).

2.3Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat

Dalam konteks sumberdaya hutan menurut Suharjito et al. (2000)

pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM) adalah sistem pengelolaan hutan

yang dilakukan oleh individu atau kelompok suatu komunitas, pada lahan negara,

lahan komunal, lahan adat atau lahan milik (individual/rumah tangga) untuk

memenuhi kebutuhan rumah tangga dan masyarakat, serta diusahakan secara

komersial ataupun subsisten.

PHBM merupakan suatu instrumen untuk mencapai tujuan pengelolaan

hutan yaitu kelestarian hutan, keseimbangan ekologis dan kesejahteraan

masyarakat. Dengan kata lain adalah suatu kondisi dimana kepentingan para pihak

dapat terpenuhi. Kegiatan pengelolaan hutan oleh masyarakat bermitra dengan

perusahaan HTI memiliki kelebihan antara lain masyarakat mendapat bimbingan

teknis, bantuan modal, jaminan kesempatan kerja dan kepastian pemasaran

(19)

2.4Pengetahuan Masyarakat

Pengetahuan merupakan kapasitas manusia untuk memahami dan

menginterpretasikan baik hasil pengamatan maupun pengalaman, sehingga bisa

digunakan untuk meramalkan ataupun sebagai dasar pertimbangan dalam

keputusan. Pengetahuan merupakan keluaran dari proses pemahaman dan

interpretasi yang masuk akal. Namun pegetahuan bukanlah merupakan kebenaran

yang bersifat mutlak. Pengetahuan sendiri tidak mengarah ke suatu tindakan

nyata. (Sunaryo dan Joshi 2003, diacu dalam Asiah 2009).

Pengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia

melalui pengematan inderawi. Pengetahuan muncul ketika seorang menggunakan

indera atau akal budinya untuk menggali benda atau kejadian tertentu yang belum

pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya (Arafah 2002, diacu dalam Asiah 2009).

2.5Konservasi Sumberdaya Alam Hayati

Widada (2006) mengatakan bahwa konservasi sumberdaya alam hayati dan

ekosistemnya adalah pengelolaan sumberdaya alam hayati yang pemanfaatannya

dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya

dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan

nilainya. Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui

tiga kegiatan pokok, yaitu:

1. Perlindungan sistem penyangga kehidupan

2. Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta

ekosistemnya

(20)

III. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2009 dan bertempat di Desa

Cipeuteuy Kecamatan Kabandungan Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. Desa

Cipeuteuy dipilih karena lokasinya yang berada di sekitar kawasan TNGHS dan

tidak terlalu jauh dengan kantor Balai TNGHS. Selain itu, Desa Cipeuteuy

merupakan salah satu desa Model Kampung Konservasi dan terlibat dalam PEKA

(Peduli Konservasi Indonesia)

3.2 Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini metode penelitian yang digunakan adalah metode studi

kasus. Informan sebanyak 30 orang yang terdiri dari para tokoh masyarakat dan

warga masyarakat di lima dusun di Desa Cipeuteuy yang berhubungan langsung

maupun tidak langsung dengan pengelolaan taman nasional. Jumlah informan di

setiap dusunnya berbeda didasarkan pada kemudahan akses dalam menjangkau

dusun tersebut.

Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer

dikumpulkan melalui wawancara mendalam dan pengamatan langsung dilapangan

(observasi). Data sekunder diperoleh dari Balai TNGHS dan kelurahan Desa

Cipeuteuy. Data yang dikumpulkan yaitu kondisi umum lokasi penelitian dan

kondisi sosial ekonomi yang diambil dari data monografi desa yang terdiri dari

batas wilayah, jumlah penduduk, tingkat pendidikan, mata pencarian, dan luas

pemanfaatan lahan.

3.3 Metode Pengolahan Data

Data yang didapatkan dari hasil observasi lapang dan wawancara mendalam

dengan masyarakat diklasifikasikan, dikelompokan, dan dianalisis. Hasilnya

(21)

3.4 Definisi Operasional

1. Pengetahuan masyarakat yang dimaksud terbagi kedalam dua kategori,

yaitu:

a. Pengetahuan masyarakat yang terkait dengan interaksinya terhadap

hutan, yang terbagi dalam bentuk-bentuk pemanfaatan hutan

diantaranya budidaya pertanian, menebang pohon, mengambil kayu

bakar, dan mengambil rumput.

b. Pengetahuan mayarakat yang terkait dengan aturan-aturan taman

nasional berupa larangan-larangan yang tidak boleh dilakukan oleh

masyarakat (pembatasan akses pemanfaatan).

2. Berdasarkan sanksi yang diberikan larangan-larangan tersebut

dikategorikan menjadi dua:

a. Larangan dengan sanksi keras; Larangan keras merupakan bentuk

larangan yang apabila tetap dilakukan diberikan sanksi berupa proses

hukum dan diserahkan kepada pihak yang berwajib (pihak kepolisian)

b. Larangan dengan sanksi ringan; Larangan ringan merupakan bentuk

larangan yang apabila dilakukan diberikan teguran oleh petugas

BTNGHS atau hanya dibiarkan tanpa proses hukum dan tanpa sanksi

sosial dari masyarakat.

3. Berdasarkan jangka waktunya, larangan dikategorikan menjadi dua yaitu:

a. Larangan yang berlaku selama periode waktu tertentu.

b. Larangan yang berlaku selamanya.

4. Bentuk pemanfaatan masyarakat dikategorikan menjadi dua berdasarkan

tingkat urgensitas/kebutuhan

a. Tingkat urgensitas/kebutuhan rendah yaitu bentuk pemanfaatan yang

dilakukan secara temporal dan bukan merupakan kebutuhan sehari-hari

masyarakat.

b. Tingkat urgensitas/kebutuhan tinggi yaitu bentuk pemanfaatan yang

dilakukan secara terus menerus dan merupakan kebutuhan sehari-hari

(22)

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Kondisi Biofisik Taman Nasional Gunung Halimun Salak 4.1.1 Letak

Secara geografis Taman Nasional Gunung Halimun Salak terletak pada

106012’58’’ BT-106045’50’’ BT dan 06032’14’’ LS-06055’12’’ LS. Secara

administratif wilayah kerja Taman Nasional Gunung Halimun Salak termasuk

dalam tiga wilayah administratif pemerintahan tingkat kabupaten, yaitu

Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Lebak (BTNGHS 2007).

Kantor Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak dapat dijangkau

dengan kendaraan darat. Perjalanan dari Jakarta menempuh waktu 3 jam dengan

jarak 125 km melalui rute perjalanan Jakarta-Bogor-Parungkuda-Kabandungan,

sedangkan dari Bandung dapat ditempuh dalam 4 jam dengan jarak 152 km

melalui rute perjalanan Bandung-Sukabumi-Parungkuda-Kabandungan.

(23)

4.1.2 Tanah

Geologi kawsan TNGHS merupakan bagian dari deretan pegunungan

Sumatera. Sebagian besar kawasan tersusun atas batuan vulkanik breksi, basaltik

dan lava andesit dari periode Pleistosin dan beberapa strata dictic dari periode

Prepleiosin (sekitar 10-20 juta tahun yang lalu). Berdasarkan peta tanah tinjau

Jawa Barat, jenis tanah di daerah ini terdiri atas asosiasi andosol coklat dan

regosol coklat, asosiasi latosol coklat dan latosol coklat kekuningan, latosol coklat

kemerahan dan latosol coklat, asosiasi latosol coklat kemerahan dan laterit,

komplek latosol coklat kemerahan dan lithosol, asosiasi latosol coklat dan regosol

kelabu (LP Tanah, 1966). Bahkan Gunung Salak sampai saat ini masih berstatus

gunung berapi gunung berapi strato type A dan tercatat terakhir meletus tahun

1938. Gunung Salak memiliki kawah yang masih aktif dan dikenal dengan nama

Kawah Ratu (Mirmanto at al. 2008).

4.1.3 Topografi

Kawasan TNGHS mempunyai ketinggian tempat berkisar 500-2.211 mdpl.

Topografinya bergelombang, berbukit dan bergunung-gunung. Di sekitar kawasan

TNGHS terdapat bukit memanjang mulai dari Gunung Endut (di sebelah barat)

melintas Gunung Kendeng (di kawasan baduy) kemudian perlahan menurun

sampai ke Gunung Honje dan semenanjung Ujung Kulon. Sedangkan di sebelah

timur berhubungan dengan Gunung Gede Pangrango yang dipisahkan oleh Sungai

Citatih, Sungai Cisadane dan jalan Propinsi Ciawi-Sukabumi (Mirmanto at al.

2008).

4.1.4 Iklim dan Curah Hujan

Menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson (1951) iklim di daerah kawasan

TNGHS termasuk tipe A, dengan curah hujan tahunan sebesar 4.000 – 6.000 mm.

Rata-rata curah hujan bulanan selalu > 100 mm, dengan bulan terkering (+ 200

mm) pada Juni sampai Septermber dan terbasah (+500 mm) antara

Oktober-Maret, sehingga dapat digolongkan beriklim selalu basah (Kartawinata, 1975)

dengan kelembaban udara rata-rata 88%. Suhu rata-rata bulanan 31,50C dengan

(24)

4.1.5 Flora

Lebih dari 700 jenis tumbuhan berbunga hidup di hutan alam di dalam

TNGHS, yang meliputi 391 marga dari 119 suku. Tipe hutan alam di kawasan

TNGHS dibagi menjadi hutan hujan dataran rendah (100-1.000 mdpl) yang

didominasi oleh Zona Collin (500-1.000 mdpl), hutan hujan pegunungan bawah

atau sub montana (ketinggian 1.000-1.500 mdpl) dan hutan hujan pegunungan

tengah atau hutan montana (ketinggian 1.500-1.929 mdpl). Pada ketinggian

1.400-1.929 mdpl banyak dijumpai jenis-jenis Gimnospermae seperti jamuju

(Dacrycapus imbricatus), kiputri (Podocarpus neriifolius) dan kibima (P. amara).

Sedangkan pada ketinggian 1.000-1.200 mdpl terdapat pohon-pohon yang

tingginya mencapai 40-45 m dengan diameter 120 cm, jenis-jenisnya antara lain

rasamala (Altingia excelsa), saninten (Castanopsis argentea), pasang (Quercus

sp.) dan huru (Litsea sp.). pada ketinggian 600-700 mdpl beberapa jenis anggota

Suku Dipterocarpaceae yang merupakan ciri hutan hujan dataran rendah dapat

ditemukan dikawasan Gunung halimun, yaitu: Dipterocarpus trinervis, D.

Gracillis dan D. Hasseltii.

Didaerah perluasan ditemukan hutan tanaman , terutama di areal yang

dulunya berstatus sebagai hutan produksi dan hutan lindung yang dikelola Perum

Perhutani, antara lain hutan tanaman rasamala (Altingia excelsa), pinus (Pinus

merkusii), damar (Agathis sp.) dan puspa (Schima wallichii) (BTNGHS 2007).

4.1.6 Fauna

TNGHS memiliki keanekaragaman satwa liar yang tinggi, diantaranya 244

jenis burung atau setara dengan 50% dari jumlah jenis burung yang hidup di Jawa

dan Bali, 61 jenis mamalia, 27 jenis amfibi, 50 jenis reptilia, berbagai jenis

serangga, diantaranya 26 jenis capung. Jenis penciri (Flagship Species) TNGHS

adalah owa jawa (Hylobates moloch), macan tutul (Panthera pardus melas) dan

elang jawa (Spizaetus bartelsi), serta kukang (Nycticebus coucang) (BTNGHS

(25)

4.2 Kondisi Sosial dan Ekonomi Desa Cipeuteuy 4.2.1 Administrasi Pemerintahan

Dalam administrasi pemerintahan Desa Cipeuteuy terletak di Kecamatan

Kabandungan, Kabupaten Sukabumi. Desa Cipeuteuy terbagi ke dalam 5 dusun

yaitu Dusun Cipeuteuy, Dusun Cisalimar, Dusun Lewiwaluh, Dusun Arendah,

dan Dusun Cisarua. Pemerintahan Desa Cipeuteuy dipimpin oleh Kepala Desa dan

dibantu oleh perangkat desa. Secara administratif batas-batas Desa Cipeuteuy

adalah sebagai berikut:

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Purwabakti, Kecamatan Pamijahan,

Kabupaten Bogor.

2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Cihamerang, Kecamatan

Kabandungan, Kabupaten Sukabumi.

3. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Kabandungan, Kecamatan

Kabandungan, Kabupaten Sukabumi.

4. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Malasari, Kecamatan Nanggung,

Kabupaten Bogor.

Sumber: Profil Desa/Kelurahan Desa Cipeuteuy 2008

4.2.2 Demografi

Jumlah penduduk Desa Cipeuteuy yang tercatat dalam profil desa tahun

2008 sebanyak 6.654 jiwa yang terdiri dari 3.369 laki-laki (50,63 %) dan 3.285

perempuan (49,37 %). Jumlah kepala keluarga di Desa Cipeuteuy sebanyak 1.654

KK. Kepadatan penduduknya mencapai 562 jiwa/Km2. Sedangkan tahun

sebelumnya, jumlah penduduk Desa Cipeuteuy sebanyak 6.352 jiwa yang terdiri

dari 3.236 laki-laki dan 3.116 perempuan. Terdapat pertambahan penduduk

sebanyak 302 jiwa (4,75 %) yang terdiri dari 133 orang laki-laki dan 169

perempuan.

Pembagian umur masyarakat terbagi menjadi beberapa klasifikasi. Kelas

umur 0-4 tahun tergolong kedalam kriteria bayi dan balita. Umur 5-14 tahun

tergolong kriteria anak-anak dan usia sekolah. Umur 15-55 tahun merupakan usia

produktif manusia yaitu yang termasuk ke dalam angkatan kerja. Umur 56 ke atas

(26)

Tabel 1 Jumlah penduduk menurut umur dan jenis kelamin

Sumber: Profil Desa/Kelurahan Desa Cipeuteuy 2008

Dilihat dari Tabel 1, jumlah usia tidak produktif masyarakat Cipeuteuy

sebanyak 2.782 orang (1.410 orang laki-laki dan 1.372 orang perempuan). Jumlah

usia produktifnya sebanyak 3.872 orang (1.959 orang laki-laki dan 1.913 orang

perempuan), sehingga tingkat ketergantungan masyarakat Desa Cipeuteuy

mencapai 71,84 %.

4.2.3 Tingkat Pendidikan

Jumlah penduduk Desa Cipeuteuy sebagian besar menamatkan

pendidikannya ditingkat SD yaitu sebanyak 2.139 laki-laki (82,2%) dan 1.808

perempuan (89,5%). Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat Desa Cipeuteuy

selain karena penghasilan mereka yang dibawah rata-rata sehingga tidak mampu

membiayai pendidikan sampai ke jenjang yang tinggi juga karena penduduk Desa

Cipeuteuy kurang memahami pentingnya pendidikan untuk masa depan. Terlebih

(27)

Tabel 2 Tingkat pendidikan masyarakat Desa Cipeuteuy

Sumber: Profil Desa/Kelurahan Desa Cipeuteuy 2008

Tabel 3 Tingkat partisipasi pendidikan

Partisipasi pendidikan Jumlah

Sumber: Profil Desa/Kelurahan Desa Cipeuteuy 2008

4.2.4 Mata Pencaharian

Sebagian besar penduduk bermata pencaharian sebagai petani, sehingga

biasanya setiap satu kepala keluarga memiliki lahan untuk diolah baik itu lahan

milik sendiri maupun lahan garapan bekas pengelolaan Perhutani. Untuk

penduduk yang tidak memiliki lahan baik itu lahan pribadi maupun garapan dan

tidak memiliki keahlian lain, biasanya mereka bekerja menjadi buruh tani di

lahan-lahan milik tetangganya sendiri. Sebagian penduduk Desa Cipeuteuy bertani

dengan cara berkebun. Tanaman yang ditanam di lahan tersebut adalah tanaman

sayur mayur seperti sawi, bayam, cabe, tomat, terong, dan tanaman buah-buahan

seperti pisang, pepaya, dan lain-lain. Ada juga petani yang menjadikan lahannya

(28)

Tabel 4 Mata pencaharian masyarakat Desa Cipeuteuy

Jenis Pekerjaan Laki-Laki Perempuan Total Persentase (%)

Petani 655 537 1192 62,7

Sumber: Profil Desa/Kelurahan Desa Cipeuteuy 2008

4.2.5 Luas Lahan Menurut Penggunaan

Luas penggunaan lahan di Desa Cipeuteuy dapat dilihat pada tabel 5.

Tabel 5 Luas penggunaan lahan di Desa Cipeuteuy

No Jenis Penggunaan Lahan Luas (ha)

1 Pemukiman 4,650

Sumber: Profil Desa/Kelurahan Desa Cipeuteuy 2008

Penggunaan lahan yang paling luas selain lahan hutan, dijadikan sebagai

perkebunan dan persawahan. Sesuai dengan kondisi masyarakat yang sebagian

(29)

pemukiman tidak terlalu besar, hanya seluas 4,65 ha. Sisanya dijadikan sebagai

(30)

V.

nya dengan hutan, masyarakat Cipeuteuy memi

n-larangan. Aturan tersebut muncul sebagai ha

pan masyarakat. Sosialisasi peraturan dari Ba

imun Salak (BTNGHS) kepada masyarakat juga me

untuk mengadopsi peraturan tersebut. Aturan-atu

pa larangan-larangan tersebut diantaranya adalah:

ki kawasan yang semula ditetapkan sebagai cagar

masih berstatus cagar alam yaitu pada tahun 1

ngetahui adanya larangan memasuki kawasan c

yang tidak tertulis dalam masyarakat untuk memb

kawasan cagar alam. Ada beberapa tempat di da

ki masyarakat. Tempat tersebut dianggap tempa

khluk gaib dan tidak boleh dijamah sama s

kat meyakini bahwa akan terjadi hal-hal y

ya jika memasuki dan merusak tempat kerama

a sanksi yang diterapkan masyarakat kepada w

ran tersebut. Masyarakat tidak memasuki

n untuk melindungi dirinya sendiri dari ancaman

da. Masyarakat beranggapan bahwa sanksi akan

k gaib yang tinggal di dalam hutan.

(31)

2. Larangan menebang pohon

Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak (BTNGHS) telah melarang

masyarakat menebang pohon yang terdapat di dalam kawasan TNGHS dan

mensosialisasikannya kepada masyarakat. Akan tetapi masih ada masyarakat yang

menebang pohon di dalam kawsan TNGHS untuk dijual. Sejauh ini, sudah

beberapa kali terjadi kasus penangkapan yang dilakukan petugas terhadap warga

yang diketahui menebang pohon di kawasan taman nasional, namun masyarakat

Cipeuteuy belum menerapkan sanksi apapun untuk warganya yang diketahui

menebang pohon walaupun pihak BTNGHS telah menerapkan sanksi berupa

proses hukum bagi masyarakat yang melakukan penebangan pohon.

3. Larangan menggarap lahan

Pada tahun 2003 telah terjadi pengalihan fungsi kawasan yang semula hutan

produksi Perum Perhutani menjadi kawasan Taman Nasional Gunung Halimun

Salak. Sejak saat itu masyarakat Cipeuteuy tidak lagi diperbolehkan menggarap

lahan hutan produksi tersebut. Saat dikelola oleh Perum Perhutani, masyarakat

bekerja sama dengan pihak Perhutani dalam mengelola hutan produksi.

Masyarakat diperbolehkan menggarap lahan tersebut dengan menanami lahan

dengan tanaman lain seperti tanaman pangan dan perkebunan selain tanaman

pokok Perhutani. Saat ini masyarakat belum bisa melepaskan lahan garapannya

meskipun telah ada aturan yang jelas dari BTNGHS yang melarang masyarakat

menggarap lahan. BTNGHS belum memberikan sanksi apapun bagi masyarakat

yang tetap menggunakan lahan garapan tetapi memberikan himbaun agar

masyarakat mau menanami lahan garapannya dengan tanaman asli taman nasional

seperti puspa dan tanaman kayu lainnya tanpa ditebang atau dipanen kembali.

Tetapi pada umumnya masyarakat tidak melakukan himbauan yang telah

diberikan karena mereka menyadari tidak akan dapat bercocok tanam dengan

tanaman lain di lahan tersebut jika tanaman kayu yang ditanam telah tumbuh

besar. Beberapa warga hanya menanam tanaman kayu dipinggir-pinggir lahan

(32)

4. Larangan menjual hasil hutan.

Aturan tidak boleh menjual hasil hutan datang dari BTNGHS sebagai pihak

pengelola hutan. Masyarakat Cipeuteuy lebih banyak mengambil hasil hutan dan

memanfaatkannya untuk pemenuhan kebutuhan sendiri, hal tersebut timbul dari

kesadaran diri sendiri bahwa hutan tidak boleh dieksploitasi dengan mengambil

banyak hasil hutan lalu menjualnya ke pihak lain. Masyarakat dengan sendirinya

melakukan pembatasan terhadap penggunaan hasil hutan sebagai bentuk upaya

dalam melestarikan hutan. Sama halnya dengan beberapa larangan di atas, tidak

ada sanksi yang diterapkan oleh masyarakat bagi warganya yang menjual hasil

hutan. Sanksi yang diterapkan hanya sanksi dari pihak BTNGHS berupa proses

hukum dengan diserahkan kepada pihak kepolisian.

5.1.1 Klasifikasi Larangan

5.1.1.1 Berdasarkan Tingkat Sanksi

Dari keempat bentuk larangan yang ada dalam masyarakat Cipeuteuy, hanya

satu larangan yang merupakan aturan yang tumbuh dalam masyarakat dengan

sendirinya, yaitu larangan memasuki wilayah cagar alam. Tiga larangan lainnya

merupakan proses adopsi masyarakat dari aturan yang telah disosialisasikan oleh

BTNGHS. Dilihat dari tingkat sanksinya larangan tersebut terbagi dua, yaitu

larangan dengan sanksi keras dan larangan dengan sanksi ringan. Larangan yang

termasuk ke dalam sanksi keras yaitu larangan menebang pohon dan menjual hasil

hutan. Sanksi bagi larangan tersebut adalah dengan diserahkan kepada pihak

berwajib/kepolisian untuk diproses secara hukum, sedangkan yang termasuk

larangan kedalam sanksi ringan adalah larangan memasuki kawasan cagar alam

dan larangan menggarap lahan. Saat ini masyarakat telah jarang yang tertangkap

memasuki kawasan yang semula ditetapkan sebagai cagar alam karena lokasinya

yang relatif jauh dan karena kebutuhan masyarakat telah dapat terpenuhi tanpa

harus masuk ke dalam kawasan tersebut. Bagi masyarakat yang menggarap lahan

tidak diberikan sanksi apapun. BTNGHS hanya memberikan himbauan untuk

(33)

5.1.1.2 Berdasarkan Jangka Waktu

Dilihat dari jangka waktunya, larangan tersebut ada yang berlaku selama

periode waktu tertentu dan ada yang berlaku selamanya. Untuk larangan yang

berlaku selama periode waktu tertentu adalah larangan menggarap lahan. Sesuai

dengan himbauan dan sosialisasi yang telah dilakukan oleh BTNGHS, masyarakat

diperbolehkan menggarap lahan bersamaan dengan menanam tanaman berkayu.

Sehingga apabila tanaman berkayu tersebut telah tumbuh dan lahan tidak

memungkinkan lagi untuk ditumpangsarikan maka masyarakat dengan sendirinya

diharapkan meninggalkan lahan garapan tersebut.

5.1.1.3 Berdasarkan Tempat

Gambar 3 Peta kawasan taman nasional

Pada Gambar 3 dapat dilihat lokasi Desa Cipeuteuy berada di sekitar zona

inti TNGHS yaitu zona yang berwarna merah. Berdasarkan Peraturan Menteri

Kehutanan P. 56 /Menhut-II/2006 tentang pedoman zonasi taman nasional, fungsi

zona inti yaitu untuk perlindungan ekosistem, pengawetan flora dan fauna khas

beserta habitatnya yang peka terhadap gangguan dan perubahan, sumber plasma

(34)

pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya, maka tidak

boleh terdapat aktivitas pemanfaatan apapun yang dilakukan oleh masyarakat.

Pemanfaatan yang boleh dilakukan oleh masyarakat hanya pada zona khusus yang

memiliki fungsi untuk kepentingan aktivitas kelompok masyarakat yang tinggal di

wilayah tersebut sebelum ditunjuk dan ditetapkan sebagai taman nasional dan

sarana penunjang kehidupannya, serta kepentingan yang tidak dapat dihindari

berupa sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi dan Iistrik.

5.2 Interaksi Masyarakat dengan Hutan

Berbagai bentuk pemanfaatan kawasan hutan yang dilakukan masyarakat

diantaranya adalah (l) Budidaya pertanian, (2) Mengambil kayu bakar, (3)

Mengambil rumput untuk pakan ternak, (4) Menebang pohon untuk membuat

rumah.

Tabel 6 Aktivitas masyarakat di kawasan TNGHS

Kegiatan

Masyarakat Cipeuteuy mengetahui bahwa hutan memberikan manfaat yang

besar dalam memenuhi kebutuhan hidup. Hal itu terlihat dari interaksi mereka

terhadap hutan yang disajikan pada Tabel 6. Mereka memiliki keyakinan bahwa

hutan harus dijaga agar manfaat yang dapat mereka rasakan tidak hilang. Bentuk

pemanfaatan masyarakat dikategorikan menjadi dua berdasarkan tingkat

urgensitas/kebutuhan. Tingkat urgensitas/kebutuhan rendah yaitu bentuk

pemanfaatan yang dilakukan secara temporal dan bukan merupakan kebutuhan

sehari-hari masyarakat. Tingkat urgensitas/kebutuhan tinggi yaitu bentuk

pemanfaatan yang dilakukan secara terus menerus dan merupakan kebutuhan

sehari-hari masyarakat. Dapat dilihat bahwa aktivitas penebangan pohon lebih

(35)

%. Hal ini karena penebangan pohon oleh masyarakat dilakukan hanya untuk

memenuhi kebutuhan rumah masyarakat dan tidak dilakukan secara kontinu.

Artinya aktifitas ini tidak dilakukan setiap hari atau dalam periode tertentu sebagai

mata pencaharian sehingga untuk aktifitas menebang pohon dikategorikan ke

dalam tingkat urgensitas rendah. Informan yang melakukan budidaya pertanian di

lahan kawasan taman nasional sebanyak 10 orang yaitu 33,33 % dari seluruh

informan. Persentase yang lebih besar ini menunjukan bahwa masyarakat lebih

membutuhkan lahan untuk bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan

sehari-hari. Tidak seperti kebutuhan akan kayu yang bersifat temporal (hanya saat belum

memiliki rumah). Begitu juga dengan kegiatan mengambil kayu bakar dan rumput

untuk pakan ternak yang persentasinya lebih besar, hal itu didasarkan pada

kebutuhan sehari-hari masyarakat sehingga urgensitasnya tergolong tinggi.

Kegiatan pemanfaatan tersebut masih dilakukan semata-mata karena

kebutuhan ekonomi masyarakat meskipun di sisi lain masyarakat memahami

bahwa tindakan mereka dapat merusak kelestarian hutan. Seperti dikemukakan

oleh salah satu warga:

“….Kalo dulu masih boleh waktu perhutani yang ngelola neng. Tapi

sekarang mah udah gak boleh nebang pohon, ngegarap. Tapi ya buat

makan sehari-hari jadi ditanamin aja sama padi, sayuran…..”

Pada umumnya masyarakat mengatakan bahwa mereka membutuhkan

pengganti atau kompensasi agar tetap dapat memenuhi kebutuhan mereka

sehari-hari tanpa harus merusak hutan dan melanggar aturan yang dikeluarkan oleh

BTNGHS.

5.2.1 Budidaya Pertanian

Salah satu kegiatan yang dilakukan masyarakat adalah melakukan budidaya

pertanian di lahan kawasan taman nasional. Pada Saat hutan dikelola oleh

Perhutani kegiatan tersebut diperbolehkan, tetapi setelah kawasan ditetapkan

menjadi taman nasional kegiatan tersebut dilarang. Sebagian masyarakat telah

terbiasa menggunakan lahan tersebut dan tidak bisa begitu saja dihentikan

meskipun telah ada larangan yang jelas. Mereka tetap menggarap dan

(36)

Hal itu dilakukan karena beberapa anggota masyarakat tidak memiliki lahan milik

pribadi yang dapat dimanfaatkan sehingga satu-satunya yang bisa digunakan

adalah lahan kawasan taman nasional.

Gambar 4 Budidaya padi di kawasan taman nasional

Gambar 5 Budidaya cabai di kawasan taman nasional

Lahan yang digarap oleh masyarakat adalah hutan yang sebelumnya

dikuasai oleh Perhutani sebagai hutan produksi. Lahan tersebut ditumpangsarikan

dengan tanaman yang mereka butuhkan seperti jagung, hanjeli dan singkong.

Tanaman ditanam di sela-sela tanaman pokok Perhutani disesuaikan dengan jarak

tanam antar pohon sampai lahan tidak memungkinkan lagi untuk

ditumpangsarikan karena tanaman pokoknya telah tumbuh besar hingga

menghalangi jatuhnya cahaya ke tanaman masyarakat. Dengan diberikannya

kesempatan menanam di lahan pengelolaan Perhutani masyarakat merasa cukup

puas karena dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, sehingga tidak ada

keinginan membuka lahan yang sebelumnya ditetapkan sebagai cagar alam.

Setelah alih fungsi kawasan hutan produksi menjadi kawasan taman

(37)

tersebut tidak boleh lagi dijadikan lahan pertanian. Sehingga secara

perlahan-lahan masyarakat diminta untuk menanami perlahan-lahan tersebut dengan tanaman asli

taman nasional dan tidak menumpangsarikan lahan dengan tanaman perkebunan.

Tetapi hal itu tidak serta merta dilakukan, sebagian masyarakat tetap menanami

lahan tersebut dengan tanaman pertanian. Karena pertambahan jumlah penduduk

maka lahan yang selama ini digunakan oleh masyarakat dirasa kurang sehingga

mereka mulai menggarap lahan di kawasan taman nasional.

Lahan yang digarap masyarakat adalah lahan yang lokasinya dekat dengan

tempat tinggal mereka atau di sekitar batas kawasan taman nasional dan tidak

terlalu jauh masuk ke dalam kawasan. Tidak adanya pal batas yang jelas pada

kawasan taman nasional merupakan salah satu faktor yang menyebabkan

masyarakat menggarap lahan tersebut.

Luas lahan yang digarap biasanya disesuaikan dengan kemampuan fisik

masyarakat dalam membuka lahan. Mereka membuka lahan secara manual tanpa

menggunakan mesin tertentu sehingga lahan yang digarap oleh masing-masing

keluarga biasanya tidak terlalu luas, yaitu sekitar ratusan sampai ribuan meter

persegi. Dari sepuluh informan yang menggunakan lahan di kawasan taman

nasional, rata-rata lahan yang digarap seluas 4.l40 m2/keluarga. Selain didasarkan

pada kesanggupan membuka lahan, luas lahan yang digarap juga didasarkan pada

tingkat kebutuhan masyarakat. Kebutuhan masyarakat yang dimaksud hanya

terbatas pada kebutuhan pangan masyarakat saja.

Alat yang digunakan dalam membuka lahan adalah cangkul, golok dan

parang. Mereka menggunakan alat-alat tersebut karena tidak memiliki alat lain

yang lebih bagus dan modern sehingga pembukaan lahan dilakukan secara manual

dengan alat seadanya. Pembukaan lahan dilakukan secara individu oleh keluarga

yang akan membuka lahan. Pada umumnya dilakukan oleh laki-laki baik itu bapak

ataupun anak dalam satu keluarga. Dalam membuka lahan ritual yang dilakukan

masyarakat adalah membaca doa-doa dan pemberian sesaji/kemenyan yang

dilakukan oleh seorang puun. Puun adalah orang yang dipercaya oleh masyarakat

untuk melakukan ritual-ritual tersebut. Tujuan dilakukan ritual tersebut adalah

untuk memohon izin kepada jin-jin yang dianggap ada oleh masyarakat yang

(38)

Membuka lahan dilakukan dengan membersihkan pohon-pohon, tumbuhan

bawah, rumput dan sampah-sampah yang ada di lahan tersebut. Pembakaran lahan

juga dilakukan untuk membersihkan lahan dan mematikan hama. Tidak ada waktu

khusus dalam mebuka lahan. Masyarakat bisa kapan saja melakukan kegiatan

tersebut, kecuali pada hari Jum’at dimana akan dilaksanakan sholat Jum’at, pada

hari itu masyarakat membuka lahan hanya sampai pukul ll.00 WIB.

Masyarakat menggunakan lahan tersebut untuk dijadikan sawah, kebun atau

huma. Pemilihan sawah, kebun atau huma didasarkan pada kemampuan

masyarakat dalam mengelola lahan. Pada masyarakat yang berkebun, tanaman

yang ditanam di kebun masyarakat adalah jagung, kacang, cabai, dan sayur

mayur. Setelah adanya anjuran dari BTNGHS, sebagian masyarakat menanami

tanaman kayu di lahan kebun, sawah atau huma mereka. Tanaman kayu tersebut

diantaranya adalah puspa dan rasamala, biasanya ditanam di tepi lahan. Mereka

menanami tanaman berkayu untuk dijadikan simpanan dan digunakan jika

sewaktu-waktu dibutuhkan.

5.2.2 Menebang Pohon

Penebangan pohon dilakukan oleh sebagian warga masyarakat untuk bahan

pembuatan rumah. Masyarakat menebang pohon karena mahalnya harga bahan

bangunan dan harga kayu jika membeli kayu secara legal. Sementara pendapatan

masyarakat pada umumnya tidak mencukupi, di sisi lain mereka sangat

membutuhkan tempat tinggal. Penebangan pohon untuk pembuatan rumah telah

dilakukan sejak dahulu hingga sekarang. Mereka terbiasa memanfaatkan apa yang

dihasilkan hutan untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Masyarakat menebang pohon hanya sebatas kebutuhan mereka. Biasanya

kebutuhan kayu untuk membuat rumah sekitar 4 sampai 5 meter kubik. Kayu

yang dijadikan bahan baku pembuatan rumah diantaranya jenis Puspa, Waru,

Huru, Sengon, Manii, dan Rasamala. Jenis-jenis tersebut dipilih karena jenis

tersebut tersedia di hutan.

Penebangan pohon dilakukan secara individu oleh orang/keluarga yang

membutuhkan. Sebelum penebangan dilakukan, biasanya mereka meminta

(39)

pohon tersebut tidak mengganggu proses penebangan. Dalam proses menebang

pohon, biasanya mereka menentukan arah rebah terlebih dahulu. Pohon yang

rebah diarahkan pada tempat atau lahan yang aman agar tidak menimbulkan

kerusakan pada tanaman lain di sekitarnya. Penentuan arah rebah ini juga

didasarkan pada arah angin dan arah tajuk pohon agar penebangan dapat

dilakukan dengan lebih mudah. Setelah itu dibuat takik rebah dan takik balas pada

pohon yang akan ditebang kira-kira 40-60 cm di atas permukaan tanah dengan

tujuan mempermudah proses penebangan. Alat yang biasa digunakan masyarakat

untuk menebang kayu adalah golok dan kapak. Masyarakat tidak pernah

menggunakan chainsaw karena harganya yang relatif mahal, selain itu

penebangan pohon juga relatif jarang dilakukan kecuali jika masyarakat

membutuhkan kayu untuk membuat rumah.

Masyarakat yang menebang kayu relatif lebih sedikit jika dibandingkan

dengan beberapa tahun yang lalu, hal ini terjadi setelah pembatasan dari BTNGHS

diperketat dan sanksi yang telah dibuat,. Terlebih setelah ada beberapa kasus

seperti penangkapan penduduk yang tertangkap memiliki kayu ilegal. Penduduk

yang tertangkap menebang atau memiliki kayu ilegal diserahkan kepada yang

berwajib untuk diproses secara hukum.

Menurut Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam

(PHKA) Departemen Kehutanan (Arman Mallolongan), dari data empiris

menunjukan bahwa kawasan TNGHS seluas 113.357 hektar telah mengalami

penurunan kualitas dan degradasi hutan seluas 22.000 hektar atau 19,4 %.

Penutupan lahan tersebut terjadi disebabkan oleh adanya kegiatan illegal logging,

penambangan emas liar dan perambahan hutan yang telah memasuki kawasan

hutan konservasi (Veto News 25 Januari 2011)

5.2.3 Mengambil Kayu Bakar

Pengambilan kayu untuk kebutuhan bahan bakar rumah tangga dilakukan

sesuai dengan kebutuhan rumah tangga masing-masing. Saat ini tidak semua

rumah tangga masih memakai kayu bakar karena pada umumnya mereka sudah

menggunakan gas sebagai bahan bakar. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa

(40)

penduduk mengambil kayu bakar di dalam hutan. Tetapi biasanya mereka

mengutamakan mengambil kayu yang telah mati dan tidak menebang kayu yang

masih hidup. Jenis kayu yang dijadikan kayu bakar oleh penduduk Cipeuteuy

adalah Kaliandra. Kaliandra dipilih karena dinilai bagus dan merupakan jenis

kayu yang mudah tumbuh lagi. Biasanya masyarakat mengambil kaliandra di talut

hutan atau sungai. Jika kaliandra ditebang, maka tunasnya semakin tumbuh

banyak. Sehingga penebangan Kaliandra ditalut hutan/sungai diyakini masyarakat

dapat manjaga atau melindungi hutan.

Pada jaman dahulu, terdapat aturan dari nenek moyang secara turun

temurun yang melarang pengambilan kayu bakar pada hari Sabtu di dalam hutan.

Masyarakat meyakini pada hari tersebut di daerah-daerah yang rawan banyak

binatang buas dan makhluk halus yang akan mengganggu masyarakat. Akan tetapi

saat ini masyarakat dapat dengan bebas mengambil kayu bakar di hari apapun.

Kaliandra yang diambil adalah yang sudah cukup besar batang kayunya.

Cara mengambilnya yaitu dengan ditebas batangnya di atas permukaan tanah

sekitar 40-60 cm kemudian batang kayunya dipotong-potong sekitar satu meter

agar mudah dibawa ke rumah, sedangkan daun-daunnya di biarkan saja tanpa

dibersihkan untuk dijadikan pupuk sehingga dapat menyuburkan tanah.

Pada umumnya pengambilan kayu bakar dilakukan oleh laki-laki.

Masyarakat mengambil kayu bakar dengan menggunakan golok secara individu

untuk kebutuhan rumah tangganya masing-masing. Mereka mengambil kayu

bakar sebanyak satu pikul dan satu kali selama seminggu. Kayu bakar diangkut

dengan menggunakan kendaraan seperti motor atau sepeda atau dengan dipikul di

atas punggung bagi yang tidak memiliki kendaraan.

Lahan-lahan garapan dan lahan milik masyarakat sudah banyak ditanami

kaliandra untuk kebutuhan bahan bakar. Masyarakat tidak selamanya harus masuk

ke dalam hutan untuk memenuhi kebutuhan kayu bakar. Hal ini memudahkan

masyarakat karena pengambilan kayu bakar dilakukan berbarengan dengan

kegiatan bersawah atau berkebun sehingga jarak yang mereka tempuh menjadi

(41)

5.2.4 Mengambil Rumput

Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak (BTNGHS) telah melarang

masyarakat mengambil rumput di dalam kawasan hutan. Akan tetapi pengambilan

rumput untuk pakan ternak terus dilakukan oleh sebagian warga masyarakat,

terlebih lagi tidak ada penerapan sanksi yang dilakukan oleh BTNGHS terhadap

warga yang memasuki hutan hanya untuk mengambil rumput untuk ternak

mereka. Binatang ternak penduduk Cipeuteuy yang memakan rumput dapat dilihat

pada Tabel 7.

Tabel 7 Jumlah populasi ternak masyarakat Desa Cipeuteuy

Jenis

Sumber: Profil Desa/Kelurahan Desa Cipeuteuy 2008

Pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa jumlah populasi ternak yang

membutuhkan rumput untuk pakan mencapai 1.789 ekor. Jika pengambilan

rumput di dalam kawasan hutan dilakukan terus menerus tanpa memperhatikan

aspek konservasi, maka dalam jangka panjang akan menyebabkan degradasi lahan

yang mengakibatkan kerusakan kawasan hutan.

Masyarakat mengambil rumput pada pagi atau sore di setiap harinya. Alat

yang digunakan pada umunya adalah sabit dan parang. Tidak ada ritual tertentu

dalam proses mengambil rumput karena hal tersebut dianggap kegiatan yang biasa

oleh masyarakat setempat. Saat ini kegiatan mengambil rumput dilakukan oleh

siapa saja baik itu laki-laki maupun perempuan, anak kecil atau orang tua.

Sebagian warga masyarakat menggunakan kendaraan bermotor atau sepeda saat

mengangkut rumput untuk dibawa pulang, karena sebagian besar masyarakat

sudah memiliki kendaraan bermotor. Motor menjadi sangat penting untuk

masyarakat karena jarangnya angkutan umum yang lewat, terlebih beberapa jalan

tidak bisa dilewati mobil atau angkutan umum dan hanya bisa dilalui oleh

kendaran bermotor. Sebagian warga berjalan kaki dalam mengangkut rumput

dengan memikul rumput yang telah diikat di atas punggung. Biasanya, mereka

(42)

rumput. Hal itu didasarkan pada kebutuhan pakan ternak mereka untuk satu atau

dua hari.

Gambar 6 Kegiatan mengambil rumput oleh masyarakat

5.3 Peran Pengetahuan Lokal dalam Pengelolaan Taman Nasional

Pengetahuan yang dimiliki masyarakat sangat penting bagi kelestarian

kawasan taman nasional. Penanaman tanaman berkayu di lahan garapan

masyarakat awalnya adalah anjuran dari pihak BTNGHS yang ingin

mengembalikan lahan garapan menjadi hutan dengan tanaman asli taman

nasional. Akan tetapi masyarakat enggan melakukannya karena mereka masih

membutuhkan lahan untuk bertani. Di sisi lain sebagian masyarakat juga

menanami lahan mereka dengan tanaman berkayu yang ditanam di pinggir-pinggir

lahan pertanian. Tanaman berkayu tersebut ditanam karena diyakini dapat

menyuburkan tanah dan mencegah erosi. Selain itu sebagian masyarakat

menanam tanaman berkayu sebagai simpanan untuk ditebang dan dijual jika suatu

saat membutuhkannya.

Pengetahuan lokal masyarakat dalam membuka lahan yaitu pembakaran

semak belukar, ranting, dan daun dengan tujuan membersihkan lahan dan

mematikan hama penyakit. Menebang pohon dilakukan dengan memperhatikan

arah rebah pohon dan arah angin. Arah rebah ditentukan agar tidak mengenai dan

merusak pohon lain yang mungkin terkena saat proses penebangan berlangsung.

Hal tersebut juga dilakukan untuk menghindari kerusakan yang timbul pada kayu

akibat penebangan.

Pemilihan kaliandra oleh masyarakat sebagai kayu bakar karena kaliandra

merupakan tanaman yang mudah tumbuh. Masyarakat biasanya mengambil

(43)

ditebang, maka tunasnya semakin tumbuh banyak, sehingga pengambilan

kaliandra di talut sungai atau kali dapat mencegah terjadinya erosi.

Pengambilan rumput selain untuk pakan ternak juga dapat membantu

membersihkan lahan pertanian. Saat ini pengambilan rumput jarang dilakukan di

kawasan taman nasional karena terlalu jauh. Sebagian warga masyarakat biasanya

mengambil rumput langsung di lahan milik pribadi atau di lahan garapan mereka.

Tabel 8 Peran pengetahuan lokal dalam pengelolaan taman nasional

No Kegiatan Pengetahuan Peran pengetahuan local

1 Budidaya

-Penanaman tanaman berkayu di lahan pertanian

masyarakat dapat membantu menjaga kesuburan

tanah

-membuka lahan

dengan membakar

semak belukar

-Dilakukan untuk membersihkan lahan dari semak

belukar dan dapat mematikan hama

2 Menebang

pohon

-menentukan arah

rebah pohon

- Pohon rebah diarahkan pada tempat atau lahan

yang aman agar tidak menimbulkan kerusakan

pada tanaman lain disekitarnya

3 Mengambil

kayu bakar

-mengambil kayu

yang telah mati

-menghindari pengambilan kayu yang masih hidup

-mengambil kayu

Kaliandra

-Kaliandra merupakan kayu yang cocok untuk

kayu bakar dan merupakan jenis yang mudah

tumbuh lagi

-Keadaan lahan menjadi bersih dari rumput liar

sehingga air hujan yang jatuh dapat cepat diserap

tanah dan memelihara kesuburan tanah

5.4 Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Taman Nasional

Partisipasi masyarakat Cipeuteuy dalam pengelolaan kawasan taman

nasional diantaranya dilakukan dengan membatasi interaksi mereka dengan hutan.

Pembatasan yang dilakukan diantaranya pembatasan penebangan pohon,

pembatasan pengambilan kayu bakar dan pembatasan mengambil rumput

(44)

atau memperluas lahan garapan. Masyarakat dapat melakukan pembatasan

tersebut karena adanya perubahan pola pikir masyarakat sedikit demi sedikit.

Partisipasi masyarakat Desa Cipeuteuy juga dapat dilihat dari penerapan

nilai-nilai tradisional yang dimiliki oleh masyarakat. Nilai tersebut berupa

larangan memasuki kawasan cagar alam. Selain itu terdapat larangan menebang

pohon, larangan menggarap lahan, dan larangan menjual hasil hutan.

Larangan-larangan tersebut muncul akibat adanya peraturan dari BTNGHS yang dilebur

dengan aturan masyarakat Cipeuteuy, sehingga secara tidak langsung hal tersebut

membangun kesadaran dan kesediaan masyarakat untuk ikut serta dalam menjaga

dan melestarikan kawasan hutan.

Hal lain yang merupakan bentuk partisipasi masyarakat terhadap

pengelolaan TNGHS yaitu kerjasama warga masyarakat dengan BTNGHS.

Kerjasama tersebut yaitu dengan membentuk tim patroli hutan. Patroli hutan

dilakukan untuk menjaga kawasan TNGHS dari perburuan, penebangan,

penjarahan dan pencurian kayu. Kerjasama dengan masyarakat dilakukan karena

petugas BTNGHS tidak dapat bekerja sendiri dalam menjaga kawasan taman

nasional yang luasnya mencapai 113.357 hektar. Untuk itu peran nyata

masyarakat sangat diperlukan. Dari 30 penduduk yang diwawancarai sebanyak 4

orang atau 13,33 % ikut melakukan patroli hutan bersama petugas, sedangkan 26

orang menyatakan tidak atau sangat jarang. Masyarakat yang ikut dalam kegiatan

patroli yaitu masyarakat yang memiliki kedekatan atau hubungan langsung

dengan pihak BTNGHS.

5.4.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Taman Nasional

5.4.1.1Faktor Pengetahuan

Pengetahuan yang dimiliki masyarakat secara langsung maupun tidak

langsung mempengaruhi perilaku masyarakat terhadap apa yang ditemuinya.

Pengetahuan masyarakat mengenai konservasi dan pentingnya melakukan

konservasi membuat masyarakat Cipeuteuy membatasi penggunaan hasil hutan.

Pengetahuan masyarakat akan bahaya yang ditimbulkan oleh kerusakan hutan

Gambar

Gambar 1  Peta lokasi penelitian
Tabel 1  Jumlah penduduk menurut umur dan jenis kelamin
Tabel 3  Tingkat partisipasi pendidikan
Tabel 5  Luas penggunaan lahan di Desa Cipeuteuy
+7

Referensi

Dokumen terkait

Perbedaannya terletak pada kajiannya, yaitu penulis lebih membahas pada bagaimana objektivitas Hakim Mahkamah Konstitusi dalam melakukan judicial review terhadap

3. Peneliti memberikan tes karakteristik kemampuan berpikir lntuitif kepada siswa gaya tipe juding. Peneliti memberi kesempatan kepada subjek untuk menyelesaikan lembar

Setelah melakukan penelitian di SMP PGRI Tambun Selatan mengenai sistem informasi pembayaran biaya pendidikan siswa, maka dihasilkan sebuah aplikasi yang merupakan bentuk dari

Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian untuk mengetahui pengaruh content, bentuk, dan media komunikasi terhadap kesuksesan proyek IT di Bank ABC

Hasil pengujian tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Purwanti (2010) yang menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi sorbitol yang ditambahkan pada

Dari beberapa teori konseling eksistensial dari para tokoh, proses intervesi atau tekonik konseling yang bisa dilakukan konselor untuk mengatasi perilaku klitih pada

Program latihan beban yang baik harus dilakukan hati-hati, progresif, bersifat individual, beban disesuaikan, berkelanjutan, menghindari bagian tubuh yang lemah,

Diharapkan data me- ngenai karakteristik dan tingkat kepatuhan peda- gang minuman es di Kota Bogor dapat digunakan sebagai dasar ilmiah bagi pihak yang bertang- gung