Studi Kasus pada Masyarakat Desa Cipeuteuy,
Kecamatan Kabandungan, Kawasan Taman Nasional Gunung
Halimun Salak, Sukabumi, Jawa Barat
FEBRIANY SAKINA TINAMBUNAN
`
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
PENGETAHUAN MASYARAKAT TENTANG KONSERVASI
SUMBERDAYA HUTAN
Studi Kasus pada Masyarakat Desa Cipeuteuy,
Kecamatan Kabandungan, Kawasan Taman Nasional Gunung
Halimun Salak, Sukabumi, Jawa Barat
FEBRIANY SAKINA TINAMBUNAN
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
Konservasi Sumberdaya Hutan (Studi Kasus pada Masyarakat Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Sukabumi, Jawa Barat). Dibimbing oleh DIDIK SUHARJITO.
Taman Nasional Gunung Halimun sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 282/Kpts-II/1992 tanggal 28 Februari 1992 luasnya 40.000 ha. Pada tahun 2003 kawasan TNGH diperluas menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS))yang ditetapkan dengan SK Menhut No. 175/Kpts-II/2003. Perluasan kawasan TNGHS merubah status hutan produksi menjadi satu kesatuan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak dengan luas kawasan menjadi 113.357 ha.
Fokus penelitian ini adalah pengetahuan masyarakat tentang konservasi yang terwujud dalam larangan-larangan yang ada di dalam masyarakat dan pengaruhnya terhadap aktivitas-aktivitas pemanfaatan masyarakat seperti budidaya pertanian, menebang pohon, mengambil kayu bakar, dan mengambil rumput. Aktivitas masyarakat tersebut dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat. Di sisi lain, status kawasan sebagai taman nasional membatasi akses masyarakat dalam melakukan kegiatan-kegiatan tersebut karena dinilai dapat merusak hutan. Oleh karena itu, perlu mengkaji secara lebih mendalam pengetahuan masyarakat tentang konservasi sumberdaya hutan.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode studi kasus. Informan terdiri dari para tokoh dan warga masyarakat dari lima dusun di Desa Cipeuteuy yang berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan pengelolaan taman nasional. Data yang didapatkan dari hasil observasi lapang dan wawancara mendalam dengan masyarakat diklasifikasikan dan dianalisis. Hasilnya ditampilkan dalam bentuk teks naratif dan gambar, dan dijelaskan secara deskriptif.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam interaksinya dengan hutan, masyarakat Cipeuteuy memiliki aturan-aturan antara lain berupa larangan-larangan. Aturan tersebut muncul sebagai hasil proses belajar dalam kehidupan masyarakat dan hasil interaksinya dengan taman nasional. Sebagian aturan pada masyarakat Cipeuteuy merupakan hasil adopsi peraturan yang dibuat oleh taman nasional. Masyarakat Cipeuteuy masih melakukan aktifitas pemanfaatan di kawasan taman nasional seperti budidaya pertanian, penebangan pohon, pengambilan kayu bakar, dan pengambilan rumput untuk pakan ternak. Pada umumnya masyarakat berusaha menghindari pemanfaatan yang telah dilarang oleh taman nasional berdasarkan peraturan atau Undang-Undang yang berlaku. Karena kondisi masyarakat saat ini yang belum memiliki pengganti sumber mata pencaharian maka masyarakat masih terus melakukan aktivitas-aktivitas tersebut dengan tetap berusaha meminimalkan kerusakan hutan yang ditimbulkan.
SUMMARY
FEBRIANY SAKINA TINAMBUNAN. Community knowledge of Forest Resource Conservation (a Case Study of Cipeuteuy Village community, Kabandungan Sub District, Halimun Salak Mountain National Park Area, Sukabumi, West Java). Supervised by DIDIK SUHARJITO.
Halimun Salak Mountain National Park in accordance with the Decree of Ministry of Forestry No. 282/Kpts-II/1992 covering area of 40.000 ha. TNGH area was enlarged on 2003 become Halimun Salak Mountain National Park (TNGHS) according to the Decree of Ministry of Forestry No. 175/Kpts-II/2003. The extension of TNGHS area changed the status of production forest become one entity of Halimun Salak Mountain National Park area with total area as 113.357 ha.
The focus of this research is community knowledge of conservation thatrealized in prohibition contained in the community and the influence to the utilization activities of community such as agricultural cultivation, tree felling, firewood collecting, and grass taking. Those community activities are conducted in order to meet the economic needs of community. In the other hand, the area status as a national park restricts the community access in conducting those activities because it’s considered can damage the forest. Therefore, it needs to review more deeply the community knowledge about forest resources conservation.
This research was conducted by using case study method. Respondent consist of community leader and community members living in five hamlets of Cipeuteuy village that directly or indirectly involve in managing the National Park. It was conducted in five hamlets on one village. The data from field observation and deep interview with communities was classified and analyzed. The result is shown as narrative text and figure, and explained descriptively.
This research result shown that Cipeuteuy communities have rules on interacting with forest including prohibitions. The rules arose as a result of learning process on community and socialization of regulation by National Park thus the regulation was gradually adopted in the rules of Cipeuteuy communities. In addition, Cipeuteuy communities’ still conduct utilization activity in National Park area such as agricultural cultivation, logging, collecting fuel wood and collecting the grass for animals feed. Generally, the communities try to avoid utilization that has been prohibited by National Park according to existing regulation or statue, but because of they do not have substitute, the community still continue the activities while trying to minimize the forest damage.
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul ”Pengetahuan Masyarakat tentang Konservasi Sumberdaya Hutan (Studi Kasus pada Masyarakat
Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Kawasan Taman Nasional Gunung
Halimun Salak, Sukabumi, Jawa Barat)” adalah benar-benar hasil karya saya
sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan
sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Maret 2011
Hutan (Studi Kasus pada Masyarakat Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Sukabumi, Jawa Barat)
Nama Mahasiswa : Febriany Sakina Tinambunan
NIM : E14050636
Menyetujui : Dosen Pembimbing,
Dr. Ir. Didik Suharjito, MS NIP. 19630401 199403 1 001
Mengetahui:
Ketua Departemen Manajemen Hutan,
Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 16 Februari 1987.
Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara pasangan
Amir Hamzah Tinambunan dan Zuraedah. Jenjang pendidikan
formal yang ditempuh penulis dimulai pada tahun 1993 di SDN
Situ Gintung II Pagi Jakarta Selatan dan lulus pada tahun 1999.
Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan kembali pendidikan formalnya di
MTs Negeri 3 Jakarta Selatan dan lulus pada tahun 2002. Pendidikan formal
penulis kemudian dilanjutkan kembali ke SMA Negeri 47 Jakarta Selatan dan
lulus pada tahun 2005. Pada tahun 2005, penulis diterima di Institut Pertanian
Bogor melalui jalur SPMB sebagai mahasiswa Departemen Manajemen Hutan,
Fakultas Kehutanan.
Selama masa perkuliahan, penulis aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan
diantaranya adalah Sekretaris Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Kehutanan
IPB 2006-2007. Bendahara Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Kehutanan
IPB 2007-2008. Sekretaris Umum Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas
Kehutanan IPB 2008-2009. Pengurus DKM Ibaadurrahmaan Fakultas Kehutanan
IPB 2006-2007.
Pada tahun 2007 penulis mengikuti Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan
(P2EH) di KPH Banyumas dan Cilacap. Pada tahun 2008 penulis mengikuti
Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW).
Kemudian pada tahun 2009 penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapang (PKL) di
PT. Musi Hutan Persada, Palembang, Sumatera Selatan.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, penulis melaksanakan penelitian
dalam bidang sosial kehutanan dengan judul : ”Pengetahuan Masyarakat tentang
Konservasi Sumberdaya Hutan (Studi Kasus pada Masyarakat Desa Cipeuteuy,
Kecamatan Kabandungan, Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak,
KATA PENGANTAR
Teriring puji dan syukur kepada Allah swt yang telah memberikan nikmat
dan karunia yang begitu besar kepada makhluk-makhlukNya. Shalawat dan salam
semoga tercurah kepada Nabi Muhammad saw yang telah menuntun umatnya dari
zaman yang gelap gulita ke zaman yang terang benderang.
Skripsi ini berjudul ”Pengetahuan Masyarakat tentang Konservasi Sumberdaya Hutan (Studi Kasus pada Masyarakat Desa Cipeuteuy, Kecamatan
Kabandungan, Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Sukabumi,
Jawa Barat)” dan dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Penulis
menyadari bahwa di dalam penyusunan skripsi ini banyak terdapat kekurangan
dan kelemahan. Untuk itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun agar menjadi lebih baik. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat tidak
hanya bagi penulis sendiri namun juga bagi para pembaca.
Terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada:
1. Allah swt atas limpahan nikmat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini bisa
penulis selesaikan.
2. Orang tua tercinta Amir Hamzah Tinambunan dan Zuraedah (mama dan
bapak) yang telah memberikan dukungan dan kasih sayangnya tanpa
kenal lelah.
3. Dr. Ir. Didik Suharjito, MS yang telah membimbing penulis hingga
skripsi ini terselesaikan.
4. Suami tercinta Topan Mai Disyam, S.Hut yang selalu mendampingi
dengan setia.
5. Kepala Balai TNGHS Dr. Ir. Bambang Supriyanto, M.Sc
Akhirnya, penulis ucapkan terima kasih kepada segenap pihak yang
terlibat dalam penelitian ini. Semoga skripsi ini bermanfaat dan berguna bagi
semua pihak.
Bogor, Maret 2011
DAFTAR ISI
2.2Masyarakat Sekitar Hutan ... 5
2.3 Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat ... 6
2.4 Pengetahuan Masyarakat ... 6
2.5 Konservasi Sumberdaya Alam Hayati...6
BAB III METODE PENELITIAN 3.1Waktu dan Tempat Penelitian ... 8
3.2 Metode Pengumpulan Data ... 8
3.3 Metode Pengolahan data ... 8
3.4 Definisi Operasional ... 9
BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1Kondisi Biofisik Taman Nasional Gunung Halimun Salak ... 10
4.2Kondisi Sosial dan Ekonomi Desa Cipeuteuy ... 12
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Gagasan dan Nilai Konservasi ... 18
5.2 Interaksi Masyarakat dengan Hutan ... 22
5.3 Peran Pengetahuan Lokal dalam Pengelolaan Taman Nasional ... 30
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan ... 35
6.2 Saran ... 35
DAFTAR TABEL
No. Halaman
1. Jumlah penduduk menurut umur dan jenis kelamin ... 14
2. Tingkat pendidikan masyarakat Desa Cipeuteuy ... 15
3. Tingkat partisipasi pendidikan ... 15
4. Mata pencarian masyarakat Desa Cipeuteuy ... 16
5. Luas penggunaan lahan Desa Cipeuteuy... 17
6. Aktifitas masyarakat di kawasan TNGHS ... 22
7. Jumlah populasi ternak masyarakat Desa Cipeuteuy...29
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
1. Peta lokasi penelitian………..……..10
2. Papan pemberitahuan batas kawasan pelestarian alam ... 18
3. Peta kawasan Taman Nasional ... 21
4. Budidaya Padi di kawasan Taman Nasional ... 24
5. Budidaya Cabai di kawasan Taman Nasional ... 24
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hutan merupakan salah satu bagian penting bagi kehidupan manusia.
Karena antara hutan dan manusia mempunyai keterikatan yang cukup erat dan
saling mendukung satu sama lain. Masyarakat yang tinggal di sekitar hutan
menggantungkan sebagian besar kebutuhan hidupnya pada hutan. Pengetahuan
masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya hutan sangat beragam.
Banyak peneliti yang menjadikan pengetahuan masyarakat dalam
pengelolaan hutan sebagai fokus utama dalam penelitiannya. Sebagai contoh,
Mainawati (2004) mengkaji tentang partisipasi dan nilai-nilai tradisional oleh
masyarakat Kasepuhan terkait dengan pengelolaan kawasan TNGH. Puspita
(2006) mengkaji pengetahuan masyarakat dan peranannya dalam konservasi
Kedaung. Selanjutnya, Nurhayati (2006) mengkaji pengetahuan tradisional
masyarakat Paser dalam hal pemanfaatan tumbuhan. Pada kasus lain, Asiah
(2009) meneliti tentang pengetahuan lokal dalam pengelolaan hutan rakyat serta
perubahan pengetahuan dan perannya dalam kelestarian ekosistem. Kajian-kajian
tersebut menunjukan kesimpulan yang berbeda-beda. Beberapa penelitian
menyimpulkan bahwa pengetahuan masyarakat merupakan aspek yang cukup
penting dalam menjaga kelestarian hutan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
LSM-LSM lingkungan memperlihatkan bahwa pemanfaatan kawasan hutan dan
taman nasional pada khususnya oleh masyarakat adat tidak terbukti merusak
ekosistem kawasan taman nasional (Mainawati 2004).
Salah satu kawasan yang dijadikan taman nasional oleh pemerintah adalah
Gunung Halimun sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.
282/Kpts-II/1992 tanggal 28 Februari 1992 dengan luas 40.000 ha. Kemudian
pada tahun 2003 kawasan TNGH diperluas menjadi Taman Nasional Gunung
Halimun Salak (TNGHS))melalui SK Menhut No. 175/Kpts-II/2003. Perluasan
tersebut dilakukan dengan tujuan melakukan penyelamatan kawasan konservasi
Halimun Salak akibat adanya desakan pembangunan dan kepentingan masyarakat.
kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak dengan luas kawasan menjadi
113.357 ha.
Dengan beralih fungsinya kawasan hutan produksi menjadi taman nasional
maka aturan yang ada didalamnya pun ikut berubah sesuai dengan aturan taman
nasional. Kebijakan yang langsung berdampak pada aktivitas masyarakat adalah
adanya pembatasan akses dalam pemanfaatan hutan. Perubahan kebijakan di sisi
lain memberikan sumbangan yang cukup besar dalam meningkatkan pengetahuan
masyarakat meskipun bertentangan dengan kebutuhan masyarakat, sehingga untuk
mencapai pengelolaan hutan yang lestari diperlukan adanya kerjasama antar
berbagai pihak yaitu pemerintah dan pengelola TNGHS sebagai pembuat
kebijakan juga masyarakat yang tinggal disekitar hutan yang akan memberikan
dampak baik positif maupun negatif. Hal ini tergantung dari sejauh apa kebijakan
dan aturan yang dibuat oleh pemerintah khususnya TNGHS berkontribusi
terhadap pengetahuan dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNGHS.
Oleh karena itu perlu diadakan penelitian mengenai pengetahuan masyarakat
tentang konservasi dan pengaruhnya terhadap aktivitas-aktivitas pemanfaatan
masyarakat seperti budidaya pertanian, menebang pohon, mengambil kayu bakar,
dan mengambil rumput. Aktivitas masyarakat tersebut dilakukan dalam rangka
memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat.
Penelitian ini penting dilakukan karena pengetahuan tentang konservasi
dapat membantu masyarakat maupun pengelola TNGHS untuk menentukan cara
yang harus dilakukan agar pengelolaan TNGHS dapat berjalan dengan baik, serta
dapat memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar tanpa harus merusak kawsan
konservasi.
1.2 Perumusan Masalah
Fokus penelitian ini adalah menggali pengetahuan masyarakat tentang
konservasi yang terwujud dalam larangan-larangan yang ada di dalam masyarakat
dan pengaruhnya terhadap aktivitas-aktivitas pemanfaatan masyarakat seperti
budidaya pertanian, menebang pohon, mengambil kayu bakar, dan mengambil
rumput. Aktivitas masyarakat tersebut dilakukan dalam rangka memenuhi
nasional membatasi akses masyarakat dalam melakukan kegiatan-kegiatan
tersebut karena dinilai dapat merusak hutan. Oleh karena itu, perlu mengkaji
secara lebih mendalam pengetahuan masyarakat tentang konservasi sumberdaya
hutan dalam pengelolaan kawasan TNGHS.
1.3 Tujuan
a. Mendeskripsikan pengetahuan masyarakat tentang konservasi sumberdaya
hutan dalam pengelolaan TNGHS.
b. Mendeskripsikan bentuk-bentuk pemanfaatan kawasan konservasi pada
TNGHS.
1.4 Manfaat Penelitian
a. Sebagai bahan masukan bagi TNGHS dalam menentukan kebijakan dan
strategi dalam pengelolaan hutan
b. Sebagai bahan acuan untuk bahan penelitian selanjutnya di bidang Kehutanan
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1Taman Nasional
Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Taman Nasional adalah kawasan
pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi
yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahun, pendidikan,
menunjang budaya, pariwisata dan rekreasi.
Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai
ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan
penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan
rekreasi alam (Peraturan Pemerintah No.68 Tahun 1998).
Dalam SK Menteri Kehutanan No. 435/kpts-II/89 memuat ketentuan Taman
Nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang dikelola dengan sistem
zonasi terdiri dari zona inti, zona penyangga, zona pemanfaatan serta zona-zona
lain yang dimanfaatkan untuk tujuan ilmu pengetahuan, pariwisata, rekeasi dan
pendidikan. Meningkatkan pengelolaan kawasan hutan konservasi alam secara
terpadu dalam bentuk Taman Nasional dalam rangka mewujudkan pemeliharaan,
perlindungan, pengawetan, dan pelestarian manfaat sumber daya alam hutan baik
barang maupun jasa, secara terpadu, selaras, seimbang dan lestari.
Salah satu bentuk hutan konservasi dikelola Taman Nasional yang
merupakan kawasan pelestarian alam dengan pengelolaan berdasarkan zonasi.
Taman Nasional melakukan zonasi untuk menentukan zona mana yang dapat
digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat untuk rekreasi, pendidikan,
penelitian, dan penunjang budidaya (biasanya dinamakan zona pemanfaatan) dan
zona mana yang benar-benar dijaga untuk kelangsungan seluruh komponen
kehidupan. Zona yang dijaga tersebut biasanya disebut dengan zona inti. Agar
tidak terjadi kontak langsung yang merugikan, antara zona inti dengan zona
pemanfaatan pun terdapat zona penyangga (Harmita 2009).
Dalam Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998 disebutkan bahwa suatu
kawasan ditunjuk sebagai Kawasan Taman Nasional, apabila telah memenuhi
a. Kawasan yang ditetapkan mempunyai luas yang cukup untuk menjamin
kelangsungan proses ekologis secara alami.
b. Memiliki sumber daya alam yang khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan
maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan
alami.
c. Memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh.
d. Memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan
e. Sebagai pariwisata alam.
f. Merupakan kawasan yang dapat dibagi ke dalam zona lain yang karena
pertimbangan kepentingan rehabilitasi kawasan, ketergantungan penduduk
sekitar kawasan, dan dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumber
daya hayati dan ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri.
Kawasan ekosistem Halimun merupakan satu-satunya kawasan di Pulau
Jawa bagian barat yang masih memiliki kekayaan ekosistem hutan hujan tropis,
yang juga merupakan salah satu penyangga/pendukung penting sistem kehidupan
mengingat fungsinya sebagai kawasan resapan air (water-catchment area),
terutama yang berhubungan dengan ketersediaan sumber daya air di tiga propinsi
(Jawa Barat, DKI Jakarta dan Propinsi Banten). Kekayaan lainnya adalah
kandungan bahan tambang yang bernilai ekonomi tinggi seperti emas, bentonit,
kapur, dan lain-lain yang dilirik dan diperebutkan banyak pihak sehingga
menimbulkan konflik multipihak (RMI 2009).
2.2Masyarakat Sekitar Hutan
Masyarakat di dalam dan sekitar hutan adalah warga negara yang belum
sepenuhnya menikmati hasil pembangunan. Karena secara geografis, letaknya
sangat terpencil. Dimana jangkauan, akses informasi, pendidikan dan mata
pencahariannya serba terbatas. Dengan kondisi demikian, maka sudah sewajarnya
masyarakat tersebut diberdayakan melalui berbagai kegiatan pembangunan.
Terutama yang terkait dengan pembangunan hutan sebagai sumber daya yang
paling dekat dengan keberadaan mereka. Pernyataannya itu sejalan dengan visi
mensejahterakan masyarakat yang merupakan salah satu bagian penting dalam
pengelolaan hutan dan bagian dari ekosistem hutan (Fenny 2009).
Menurut Mainawati (2004) pengelolaan hutan tidak hanya dilaksanakan
oleh pemerintah melainkan memerlukan peran aktif dari masyarakat yang bisa
berfungsi sebagai kontrol sosial.
Pengalaman menunjukkan bahwa adanya akses masyarakat lokal terhadap
pemanfaatan hutan dan terhadap proses perumusan kebijakan akan mengurangi
banyak permasalahan dalam pengelolaan hutan. Namun dalam prakteknya, terjadi
bias yang sangat besar antara pihak (stakeholders) yang berkepentingan terhadap
hutan. Pengakuan akses masyarakat jarang diterapkan dilapangan dan persoalan
malahan bertambah oleh anggapan mengenai rendahnya tingkat pendidikan
masyarakat lokal, kelembagaan lokal yang tidak berkembang, dan diabaikannya
isu-isu budaya lokal oleh para perencana pembangunan. Meskipun interaksi saling
menguntungkan antara hutan dan masyarakat tersebut dapat dijumpai di banyak
tempat dan dalam berbagai karakter masyarakat lokal, kesempatan yang tersedia
bagi berkembangnya praktek-praktek pengelolaan hutan di tingkat lokal amatlah
sempit, bila tak bisa disebut tidak ada sama sekali (Faisal dan Maskanah 2000).
2.3Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat
Dalam konteks sumberdaya hutan menurut Suharjito et al. (2000)
pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM) adalah sistem pengelolaan hutan
yang dilakukan oleh individu atau kelompok suatu komunitas, pada lahan negara,
lahan komunal, lahan adat atau lahan milik (individual/rumah tangga) untuk
memenuhi kebutuhan rumah tangga dan masyarakat, serta diusahakan secara
komersial ataupun subsisten.
PHBM merupakan suatu instrumen untuk mencapai tujuan pengelolaan
hutan yaitu kelestarian hutan, keseimbangan ekologis dan kesejahteraan
masyarakat. Dengan kata lain adalah suatu kondisi dimana kepentingan para pihak
dapat terpenuhi. Kegiatan pengelolaan hutan oleh masyarakat bermitra dengan
perusahaan HTI memiliki kelebihan antara lain masyarakat mendapat bimbingan
teknis, bantuan modal, jaminan kesempatan kerja dan kepastian pemasaran
2.4Pengetahuan Masyarakat
Pengetahuan merupakan kapasitas manusia untuk memahami dan
menginterpretasikan baik hasil pengamatan maupun pengalaman, sehingga bisa
digunakan untuk meramalkan ataupun sebagai dasar pertimbangan dalam
keputusan. Pengetahuan merupakan keluaran dari proses pemahaman dan
interpretasi yang masuk akal. Namun pegetahuan bukanlah merupakan kebenaran
yang bersifat mutlak. Pengetahuan sendiri tidak mengarah ke suatu tindakan
nyata. (Sunaryo dan Joshi 2003, diacu dalam Asiah 2009).
Pengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia
melalui pengematan inderawi. Pengetahuan muncul ketika seorang menggunakan
indera atau akal budinya untuk menggali benda atau kejadian tertentu yang belum
pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya (Arafah 2002, diacu dalam Asiah 2009).
2.5Konservasi Sumberdaya Alam Hayati
Widada (2006) mengatakan bahwa konservasi sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya adalah pengelolaan sumberdaya alam hayati yang pemanfaatannya
dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya
dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan
nilainya. Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui
tiga kegiatan pokok, yaitu:
1. Perlindungan sistem penyangga kehidupan
2. Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya
III. METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2009 dan bertempat di Desa
Cipeuteuy Kecamatan Kabandungan Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. Desa
Cipeuteuy dipilih karena lokasinya yang berada di sekitar kawasan TNGHS dan
tidak terlalu jauh dengan kantor Balai TNGHS. Selain itu, Desa Cipeuteuy
merupakan salah satu desa Model Kampung Konservasi dan terlibat dalam PEKA
(Peduli Konservasi Indonesia)
3.2 Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini metode penelitian yang digunakan adalah metode studi
kasus. Informan sebanyak 30 orang yang terdiri dari para tokoh masyarakat dan
warga masyarakat di lima dusun di Desa Cipeuteuy yang berhubungan langsung
maupun tidak langsung dengan pengelolaan taman nasional. Jumlah informan di
setiap dusunnya berbeda didasarkan pada kemudahan akses dalam menjangkau
dusun tersebut.
Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer
dikumpulkan melalui wawancara mendalam dan pengamatan langsung dilapangan
(observasi). Data sekunder diperoleh dari Balai TNGHS dan kelurahan Desa
Cipeuteuy. Data yang dikumpulkan yaitu kondisi umum lokasi penelitian dan
kondisi sosial ekonomi yang diambil dari data monografi desa yang terdiri dari
batas wilayah, jumlah penduduk, tingkat pendidikan, mata pencarian, dan luas
pemanfaatan lahan.
3.3 Metode Pengolahan Data
Data yang didapatkan dari hasil observasi lapang dan wawancara mendalam
dengan masyarakat diklasifikasikan, dikelompokan, dan dianalisis. Hasilnya
3.4 Definisi Operasional
1. Pengetahuan masyarakat yang dimaksud terbagi kedalam dua kategori,
yaitu:
a. Pengetahuan masyarakat yang terkait dengan interaksinya terhadap
hutan, yang terbagi dalam bentuk-bentuk pemanfaatan hutan
diantaranya budidaya pertanian, menebang pohon, mengambil kayu
bakar, dan mengambil rumput.
b. Pengetahuan mayarakat yang terkait dengan aturan-aturan taman
nasional berupa larangan-larangan yang tidak boleh dilakukan oleh
masyarakat (pembatasan akses pemanfaatan).
2. Berdasarkan sanksi yang diberikan larangan-larangan tersebut
dikategorikan menjadi dua:
a. Larangan dengan sanksi keras; Larangan keras merupakan bentuk
larangan yang apabila tetap dilakukan diberikan sanksi berupa proses
hukum dan diserahkan kepada pihak yang berwajib (pihak kepolisian)
b. Larangan dengan sanksi ringan; Larangan ringan merupakan bentuk
larangan yang apabila dilakukan diberikan teguran oleh petugas
BTNGHS atau hanya dibiarkan tanpa proses hukum dan tanpa sanksi
sosial dari masyarakat.
3. Berdasarkan jangka waktunya, larangan dikategorikan menjadi dua yaitu:
a. Larangan yang berlaku selama periode waktu tertentu.
b. Larangan yang berlaku selamanya.
4. Bentuk pemanfaatan masyarakat dikategorikan menjadi dua berdasarkan
tingkat urgensitas/kebutuhan
a. Tingkat urgensitas/kebutuhan rendah yaitu bentuk pemanfaatan yang
dilakukan secara temporal dan bukan merupakan kebutuhan sehari-hari
masyarakat.
b. Tingkat urgensitas/kebutuhan tinggi yaitu bentuk pemanfaatan yang
dilakukan secara terus menerus dan merupakan kebutuhan sehari-hari
IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Kondisi Biofisik Taman Nasional Gunung Halimun Salak 4.1.1 Letak
Secara geografis Taman Nasional Gunung Halimun Salak terletak pada
106012’58’’ BT-106045’50’’ BT dan 06032’14’’ LS-06055’12’’ LS. Secara
administratif wilayah kerja Taman Nasional Gunung Halimun Salak termasuk
dalam tiga wilayah administratif pemerintahan tingkat kabupaten, yaitu
Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Lebak (BTNGHS 2007).
Kantor Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak dapat dijangkau
dengan kendaraan darat. Perjalanan dari Jakarta menempuh waktu 3 jam dengan
jarak 125 km melalui rute perjalanan Jakarta-Bogor-Parungkuda-Kabandungan,
sedangkan dari Bandung dapat ditempuh dalam 4 jam dengan jarak 152 km
melalui rute perjalanan Bandung-Sukabumi-Parungkuda-Kabandungan.
4.1.2 Tanah
Geologi kawsan TNGHS merupakan bagian dari deretan pegunungan
Sumatera. Sebagian besar kawasan tersusun atas batuan vulkanik breksi, basaltik
dan lava andesit dari periode Pleistosin dan beberapa strata dictic dari periode
Prepleiosin (sekitar 10-20 juta tahun yang lalu). Berdasarkan peta tanah tinjau
Jawa Barat, jenis tanah di daerah ini terdiri atas asosiasi andosol coklat dan
regosol coklat, asosiasi latosol coklat dan latosol coklat kekuningan, latosol coklat
kemerahan dan latosol coklat, asosiasi latosol coklat kemerahan dan laterit,
komplek latosol coklat kemerahan dan lithosol, asosiasi latosol coklat dan regosol
kelabu (LP Tanah, 1966). Bahkan Gunung Salak sampai saat ini masih berstatus
gunung berapi gunung berapi strato type A dan tercatat terakhir meletus tahun
1938. Gunung Salak memiliki kawah yang masih aktif dan dikenal dengan nama
Kawah Ratu (Mirmanto at al. 2008).
4.1.3 Topografi
Kawasan TNGHS mempunyai ketinggian tempat berkisar 500-2.211 mdpl.
Topografinya bergelombang, berbukit dan bergunung-gunung. Di sekitar kawasan
TNGHS terdapat bukit memanjang mulai dari Gunung Endut (di sebelah barat)
melintas Gunung Kendeng (di kawasan baduy) kemudian perlahan menurun
sampai ke Gunung Honje dan semenanjung Ujung Kulon. Sedangkan di sebelah
timur berhubungan dengan Gunung Gede Pangrango yang dipisahkan oleh Sungai
Citatih, Sungai Cisadane dan jalan Propinsi Ciawi-Sukabumi (Mirmanto at al.
2008).
4.1.4 Iklim dan Curah Hujan
Menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson (1951) iklim di daerah kawasan
TNGHS termasuk tipe A, dengan curah hujan tahunan sebesar 4.000 – 6.000 mm.
Rata-rata curah hujan bulanan selalu > 100 mm, dengan bulan terkering (+ 200
mm) pada Juni sampai Septermber dan terbasah (+500 mm) antara
Oktober-Maret, sehingga dapat digolongkan beriklim selalu basah (Kartawinata, 1975)
dengan kelembaban udara rata-rata 88%. Suhu rata-rata bulanan 31,50C dengan
4.1.5 Flora
Lebih dari 700 jenis tumbuhan berbunga hidup di hutan alam di dalam
TNGHS, yang meliputi 391 marga dari 119 suku. Tipe hutan alam di kawasan
TNGHS dibagi menjadi hutan hujan dataran rendah (100-1.000 mdpl) yang
didominasi oleh Zona Collin (500-1.000 mdpl), hutan hujan pegunungan bawah
atau sub montana (ketinggian 1.000-1.500 mdpl) dan hutan hujan pegunungan
tengah atau hutan montana (ketinggian 1.500-1.929 mdpl). Pada ketinggian
1.400-1.929 mdpl banyak dijumpai jenis-jenis Gimnospermae seperti jamuju
(Dacrycapus imbricatus), kiputri (Podocarpus neriifolius) dan kibima (P. amara).
Sedangkan pada ketinggian 1.000-1.200 mdpl terdapat pohon-pohon yang
tingginya mencapai 40-45 m dengan diameter 120 cm, jenis-jenisnya antara lain
rasamala (Altingia excelsa), saninten (Castanopsis argentea), pasang (Quercus
sp.) dan huru (Litsea sp.). pada ketinggian 600-700 mdpl beberapa jenis anggota
Suku Dipterocarpaceae yang merupakan ciri hutan hujan dataran rendah dapat
ditemukan dikawasan Gunung halimun, yaitu: Dipterocarpus trinervis, D.
Gracillis dan D. Hasseltii.
Didaerah perluasan ditemukan hutan tanaman , terutama di areal yang
dulunya berstatus sebagai hutan produksi dan hutan lindung yang dikelola Perum
Perhutani, antara lain hutan tanaman rasamala (Altingia excelsa), pinus (Pinus
merkusii), damar (Agathis sp.) dan puspa (Schima wallichii) (BTNGHS 2007).
4.1.6 Fauna
TNGHS memiliki keanekaragaman satwa liar yang tinggi, diantaranya 244
jenis burung atau setara dengan 50% dari jumlah jenis burung yang hidup di Jawa
dan Bali, 61 jenis mamalia, 27 jenis amfibi, 50 jenis reptilia, berbagai jenis
serangga, diantaranya 26 jenis capung. Jenis penciri (Flagship Species) TNGHS
adalah owa jawa (Hylobates moloch), macan tutul (Panthera pardus melas) dan
elang jawa (Spizaetus bartelsi), serta kukang (Nycticebus coucang) (BTNGHS
4.2 Kondisi Sosial dan Ekonomi Desa Cipeuteuy 4.2.1 Administrasi Pemerintahan
Dalam administrasi pemerintahan Desa Cipeuteuy terletak di Kecamatan
Kabandungan, Kabupaten Sukabumi. Desa Cipeuteuy terbagi ke dalam 5 dusun
yaitu Dusun Cipeuteuy, Dusun Cisalimar, Dusun Lewiwaluh, Dusun Arendah,
dan Dusun Cisarua. Pemerintahan Desa Cipeuteuy dipimpin oleh Kepala Desa dan
dibantu oleh perangkat desa. Secara administratif batas-batas Desa Cipeuteuy
adalah sebagai berikut:
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Purwabakti, Kecamatan Pamijahan,
Kabupaten Bogor.
2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Cihamerang, Kecamatan
Kabandungan, Kabupaten Sukabumi.
3. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Kabandungan, Kecamatan
Kabandungan, Kabupaten Sukabumi.
4. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Malasari, Kecamatan Nanggung,
Kabupaten Bogor.
Sumber: Profil Desa/Kelurahan Desa Cipeuteuy 2008
4.2.2 Demografi
Jumlah penduduk Desa Cipeuteuy yang tercatat dalam profil desa tahun
2008 sebanyak 6.654 jiwa yang terdiri dari 3.369 laki-laki (50,63 %) dan 3.285
perempuan (49,37 %). Jumlah kepala keluarga di Desa Cipeuteuy sebanyak 1.654
KK. Kepadatan penduduknya mencapai 562 jiwa/Km2. Sedangkan tahun
sebelumnya, jumlah penduduk Desa Cipeuteuy sebanyak 6.352 jiwa yang terdiri
dari 3.236 laki-laki dan 3.116 perempuan. Terdapat pertambahan penduduk
sebanyak 302 jiwa (4,75 %) yang terdiri dari 133 orang laki-laki dan 169
perempuan.
Pembagian umur masyarakat terbagi menjadi beberapa klasifikasi. Kelas
umur 0-4 tahun tergolong kedalam kriteria bayi dan balita. Umur 5-14 tahun
tergolong kriteria anak-anak dan usia sekolah. Umur 15-55 tahun merupakan usia
produktif manusia yaitu yang termasuk ke dalam angkatan kerja. Umur 56 ke atas
Tabel 1 Jumlah penduduk menurut umur dan jenis kelamin
Sumber: Profil Desa/Kelurahan Desa Cipeuteuy 2008
Dilihat dari Tabel 1, jumlah usia tidak produktif masyarakat Cipeuteuy
sebanyak 2.782 orang (1.410 orang laki-laki dan 1.372 orang perempuan). Jumlah
usia produktifnya sebanyak 3.872 orang (1.959 orang laki-laki dan 1.913 orang
perempuan), sehingga tingkat ketergantungan masyarakat Desa Cipeuteuy
mencapai 71,84 %.
4.2.3 Tingkat Pendidikan
Jumlah penduduk Desa Cipeuteuy sebagian besar menamatkan
pendidikannya ditingkat SD yaitu sebanyak 2.139 laki-laki (82,2%) dan 1.808
perempuan (89,5%). Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat Desa Cipeuteuy
selain karena penghasilan mereka yang dibawah rata-rata sehingga tidak mampu
membiayai pendidikan sampai ke jenjang yang tinggi juga karena penduduk Desa
Cipeuteuy kurang memahami pentingnya pendidikan untuk masa depan. Terlebih
Tabel 2 Tingkat pendidikan masyarakat Desa Cipeuteuy
Sumber: Profil Desa/Kelurahan Desa Cipeuteuy 2008
Tabel 3 Tingkat partisipasi pendidikan
Partisipasi pendidikan Jumlah
Sumber: Profil Desa/Kelurahan Desa Cipeuteuy 2008
4.2.4 Mata Pencaharian
Sebagian besar penduduk bermata pencaharian sebagai petani, sehingga
biasanya setiap satu kepala keluarga memiliki lahan untuk diolah baik itu lahan
milik sendiri maupun lahan garapan bekas pengelolaan Perhutani. Untuk
penduduk yang tidak memiliki lahan baik itu lahan pribadi maupun garapan dan
tidak memiliki keahlian lain, biasanya mereka bekerja menjadi buruh tani di
lahan-lahan milik tetangganya sendiri. Sebagian penduduk Desa Cipeuteuy bertani
dengan cara berkebun. Tanaman yang ditanam di lahan tersebut adalah tanaman
sayur mayur seperti sawi, bayam, cabe, tomat, terong, dan tanaman buah-buahan
seperti pisang, pepaya, dan lain-lain. Ada juga petani yang menjadikan lahannya
Tabel 4 Mata pencaharian masyarakat Desa Cipeuteuy
Jenis Pekerjaan Laki-Laki Perempuan Total Persentase (%)
Petani 655 537 1192 62,7
Sumber: Profil Desa/Kelurahan Desa Cipeuteuy 2008
4.2.5 Luas Lahan Menurut Penggunaan
Luas penggunaan lahan di Desa Cipeuteuy dapat dilihat pada tabel 5.
Tabel 5 Luas penggunaan lahan di Desa Cipeuteuy
No Jenis Penggunaan Lahan Luas (ha)
1 Pemukiman 4,650
Sumber: Profil Desa/Kelurahan Desa Cipeuteuy 2008
Penggunaan lahan yang paling luas selain lahan hutan, dijadikan sebagai
perkebunan dan persawahan. Sesuai dengan kondisi masyarakat yang sebagian
pemukiman tidak terlalu besar, hanya seluas 4,65 ha. Sisanya dijadikan sebagai
V.
nya dengan hutan, masyarakat Cipeuteuy memi
n-larangan. Aturan tersebut muncul sebagai ha
pan masyarakat. Sosialisasi peraturan dari Ba
imun Salak (BTNGHS) kepada masyarakat juga me
untuk mengadopsi peraturan tersebut. Aturan-atu
pa larangan-larangan tersebut diantaranya adalah:
ki kawasan yang semula ditetapkan sebagai cagar
masih berstatus cagar alam yaitu pada tahun 1
ngetahui adanya larangan memasuki kawasan c
yang tidak tertulis dalam masyarakat untuk memb
kawasan cagar alam. Ada beberapa tempat di da
ki masyarakat. Tempat tersebut dianggap tempa
khluk gaib dan tidak boleh dijamah sama s
kat meyakini bahwa akan terjadi hal-hal y
ya jika memasuki dan merusak tempat kerama
a sanksi yang diterapkan masyarakat kepada w
ran tersebut. Masyarakat tidak memasuki
n untuk melindungi dirinya sendiri dari ancaman
da. Masyarakat beranggapan bahwa sanksi akan
k gaib yang tinggal di dalam hutan.
2. Larangan menebang pohon
Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak (BTNGHS) telah melarang
masyarakat menebang pohon yang terdapat di dalam kawasan TNGHS dan
mensosialisasikannya kepada masyarakat. Akan tetapi masih ada masyarakat yang
menebang pohon di dalam kawsan TNGHS untuk dijual. Sejauh ini, sudah
beberapa kali terjadi kasus penangkapan yang dilakukan petugas terhadap warga
yang diketahui menebang pohon di kawasan taman nasional, namun masyarakat
Cipeuteuy belum menerapkan sanksi apapun untuk warganya yang diketahui
menebang pohon walaupun pihak BTNGHS telah menerapkan sanksi berupa
proses hukum bagi masyarakat yang melakukan penebangan pohon.
3. Larangan menggarap lahan
Pada tahun 2003 telah terjadi pengalihan fungsi kawasan yang semula hutan
produksi Perum Perhutani menjadi kawasan Taman Nasional Gunung Halimun
Salak. Sejak saat itu masyarakat Cipeuteuy tidak lagi diperbolehkan menggarap
lahan hutan produksi tersebut. Saat dikelola oleh Perum Perhutani, masyarakat
bekerja sama dengan pihak Perhutani dalam mengelola hutan produksi.
Masyarakat diperbolehkan menggarap lahan tersebut dengan menanami lahan
dengan tanaman lain seperti tanaman pangan dan perkebunan selain tanaman
pokok Perhutani. Saat ini masyarakat belum bisa melepaskan lahan garapannya
meskipun telah ada aturan yang jelas dari BTNGHS yang melarang masyarakat
menggarap lahan. BTNGHS belum memberikan sanksi apapun bagi masyarakat
yang tetap menggunakan lahan garapan tetapi memberikan himbaun agar
masyarakat mau menanami lahan garapannya dengan tanaman asli taman nasional
seperti puspa dan tanaman kayu lainnya tanpa ditebang atau dipanen kembali.
Tetapi pada umumnya masyarakat tidak melakukan himbauan yang telah
diberikan karena mereka menyadari tidak akan dapat bercocok tanam dengan
tanaman lain di lahan tersebut jika tanaman kayu yang ditanam telah tumbuh
besar. Beberapa warga hanya menanam tanaman kayu dipinggir-pinggir lahan
4. Larangan menjual hasil hutan.
Aturan tidak boleh menjual hasil hutan datang dari BTNGHS sebagai pihak
pengelola hutan. Masyarakat Cipeuteuy lebih banyak mengambil hasil hutan dan
memanfaatkannya untuk pemenuhan kebutuhan sendiri, hal tersebut timbul dari
kesadaran diri sendiri bahwa hutan tidak boleh dieksploitasi dengan mengambil
banyak hasil hutan lalu menjualnya ke pihak lain. Masyarakat dengan sendirinya
melakukan pembatasan terhadap penggunaan hasil hutan sebagai bentuk upaya
dalam melestarikan hutan. Sama halnya dengan beberapa larangan di atas, tidak
ada sanksi yang diterapkan oleh masyarakat bagi warganya yang menjual hasil
hutan. Sanksi yang diterapkan hanya sanksi dari pihak BTNGHS berupa proses
hukum dengan diserahkan kepada pihak kepolisian.
5.1.1 Klasifikasi Larangan
5.1.1.1 Berdasarkan Tingkat Sanksi
Dari keempat bentuk larangan yang ada dalam masyarakat Cipeuteuy, hanya
satu larangan yang merupakan aturan yang tumbuh dalam masyarakat dengan
sendirinya, yaitu larangan memasuki wilayah cagar alam. Tiga larangan lainnya
merupakan proses adopsi masyarakat dari aturan yang telah disosialisasikan oleh
BTNGHS. Dilihat dari tingkat sanksinya larangan tersebut terbagi dua, yaitu
larangan dengan sanksi keras dan larangan dengan sanksi ringan. Larangan yang
termasuk ke dalam sanksi keras yaitu larangan menebang pohon dan menjual hasil
hutan. Sanksi bagi larangan tersebut adalah dengan diserahkan kepada pihak
berwajib/kepolisian untuk diproses secara hukum, sedangkan yang termasuk
larangan kedalam sanksi ringan adalah larangan memasuki kawasan cagar alam
dan larangan menggarap lahan. Saat ini masyarakat telah jarang yang tertangkap
memasuki kawasan yang semula ditetapkan sebagai cagar alam karena lokasinya
yang relatif jauh dan karena kebutuhan masyarakat telah dapat terpenuhi tanpa
harus masuk ke dalam kawasan tersebut. Bagi masyarakat yang menggarap lahan
tidak diberikan sanksi apapun. BTNGHS hanya memberikan himbauan untuk
5.1.1.2 Berdasarkan Jangka Waktu
Dilihat dari jangka waktunya, larangan tersebut ada yang berlaku selama
periode waktu tertentu dan ada yang berlaku selamanya. Untuk larangan yang
berlaku selama periode waktu tertentu adalah larangan menggarap lahan. Sesuai
dengan himbauan dan sosialisasi yang telah dilakukan oleh BTNGHS, masyarakat
diperbolehkan menggarap lahan bersamaan dengan menanam tanaman berkayu.
Sehingga apabila tanaman berkayu tersebut telah tumbuh dan lahan tidak
memungkinkan lagi untuk ditumpangsarikan maka masyarakat dengan sendirinya
diharapkan meninggalkan lahan garapan tersebut.
5.1.1.3 Berdasarkan Tempat
Gambar 3 Peta kawasan taman nasional
Pada Gambar 3 dapat dilihat lokasi Desa Cipeuteuy berada di sekitar zona
inti TNGHS yaitu zona yang berwarna merah. Berdasarkan Peraturan Menteri
Kehutanan P. 56 /Menhut-II/2006 tentang pedoman zonasi taman nasional, fungsi
zona inti yaitu untuk perlindungan ekosistem, pengawetan flora dan fauna khas
beserta habitatnya yang peka terhadap gangguan dan perubahan, sumber plasma
pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya, maka tidak
boleh terdapat aktivitas pemanfaatan apapun yang dilakukan oleh masyarakat.
Pemanfaatan yang boleh dilakukan oleh masyarakat hanya pada zona khusus yang
memiliki fungsi untuk kepentingan aktivitas kelompok masyarakat yang tinggal di
wilayah tersebut sebelum ditunjuk dan ditetapkan sebagai taman nasional dan
sarana penunjang kehidupannya, serta kepentingan yang tidak dapat dihindari
berupa sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi dan Iistrik.
5.2 Interaksi Masyarakat dengan Hutan
Berbagai bentuk pemanfaatan kawasan hutan yang dilakukan masyarakat
diantaranya adalah (l) Budidaya pertanian, (2) Mengambil kayu bakar, (3)
Mengambil rumput untuk pakan ternak, (4) Menebang pohon untuk membuat
rumah.
Tabel 6 Aktivitas masyarakat di kawasan TNGHS
Kegiatan
Masyarakat Cipeuteuy mengetahui bahwa hutan memberikan manfaat yang
besar dalam memenuhi kebutuhan hidup. Hal itu terlihat dari interaksi mereka
terhadap hutan yang disajikan pada Tabel 6. Mereka memiliki keyakinan bahwa
hutan harus dijaga agar manfaat yang dapat mereka rasakan tidak hilang. Bentuk
pemanfaatan masyarakat dikategorikan menjadi dua berdasarkan tingkat
urgensitas/kebutuhan. Tingkat urgensitas/kebutuhan rendah yaitu bentuk
pemanfaatan yang dilakukan secara temporal dan bukan merupakan kebutuhan
sehari-hari masyarakat. Tingkat urgensitas/kebutuhan tinggi yaitu bentuk
pemanfaatan yang dilakukan secara terus menerus dan merupakan kebutuhan
sehari-hari masyarakat. Dapat dilihat bahwa aktivitas penebangan pohon lebih
%. Hal ini karena penebangan pohon oleh masyarakat dilakukan hanya untuk
memenuhi kebutuhan rumah masyarakat dan tidak dilakukan secara kontinu.
Artinya aktifitas ini tidak dilakukan setiap hari atau dalam periode tertentu sebagai
mata pencaharian sehingga untuk aktifitas menebang pohon dikategorikan ke
dalam tingkat urgensitas rendah. Informan yang melakukan budidaya pertanian di
lahan kawasan taman nasional sebanyak 10 orang yaitu 33,33 % dari seluruh
informan. Persentase yang lebih besar ini menunjukan bahwa masyarakat lebih
membutuhkan lahan untuk bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Tidak seperti kebutuhan akan kayu yang bersifat temporal (hanya saat belum
memiliki rumah). Begitu juga dengan kegiatan mengambil kayu bakar dan rumput
untuk pakan ternak yang persentasinya lebih besar, hal itu didasarkan pada
kebutuhan sehari-hari masyarakat sehingga urgensitasnya tergolong tinggi.
Kegiatan pemanfaatan tersebut masih dilakukan semata-mata karena
kebutuhan ekonomi masyarakat meskipun di sisi lain masyarakat memahami
bahwa tindakan mereka dapat merusak kelestarian hutan. Seperti dikemukakan
oleh salah satu warga:
“….Kalo dulu masih boleh waktu perhutani yang ngelola neng. Tapi
sekarang mah udah gak boleh nebang pohon, ngegarap. Tapi ya buat
makan sehari-hari jadi ditanamin aja sama padi, sayuran…..”
Pada umumnya masyarakat mengatakan bahwa mereka membutuhkan
pengganti atau kompensasi agar tetap dapat memenuhi kebutuhan mereka
sehari-hari tanpa harus merusak hutan dan melanggar aturan yang dikeluarkan oleh
BTNGHS.
5.2.1 Budidaya Pertanian
Salah satu kegiatan yang dilakukan masyarakat adalah melakukan budidaya
pertanian di lahan kawasan taman nasional. Pada Saat hutan dikelola oleh
Perhutani kegiatan tersebut diperbolehkan, tetapi setelah kawasan ditetapkan
menjadi taman nasional kegiatan tersebut dilarang. Sebagian masyarakat telah
terbiasa menggunakan lahan tersebut dan tidak bisa begitu saja dihentikan
meskipun telah ada larangan yang jelas. Mereka tetap menggarap dan
Hal itu dilakukan karena beberapa anggota masyarakat tidak memiliki lahan milik
pribadi yang dapat dimanfaatkan sehingga satu-satunya yang bisa digunakan
adalah lahan kawasan taman nasional.
Gambar 4 Budidaya padi di kawasan taman nasional
Gambar 5 Budidaya cabai di kawasan taman nasional
Lahan yang digarap oleh masyarakat adalah hutan yang sebelumnya
dikuasai oleh Perhutani sebagai hutan produksi. Lahan tersebut ditumpangsarikan
dengan tanaman yang mereka butuhkan seperti jagung, hanjeli dan singkong.
Tanaman ditanam di sela-sela tanaman pokok Perhutani disesuaikan dengan jarak
tanam antar pohon sampai lahan tidak memungkinkan lagi untuk
ditumpangsarikan karena tanaman pokoknya telah tumbuh besar hingga
menghalangi jatuhnya cahaya ke tanaman masyarakat. Dengan diberikannya
kesempatan menanam di lahan pengelolaan Perhutani masyarakat merasa cukup
puas karena dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, sehingga tidak ada
keinginan membuka lahan yang sebelumnya ditetapkan sebagai cagar alam.
Setelah alih fungsi kawasan hutan produksi menjadi kawasan taman
tersebut tidak boleh lagi dijadikan lahan pertanian. Sehingga secara
perlahan-lahan masyarakat diminta untuk menanami perlahan-lahan tersebut dengan tanaman asli
taman nasional dan tidak menumpangsarikan lahan dengan tanaman perkebunan.
Tetapi hal itu tidak serta merta dilakukan, sebagian masyarakat tetap menanami
lahan tersebut dengan tanaman pertanian. Karena pertambahan jumlah penduduk
maka lahan yang selama ini digunakan oleh masyarakat dirasa kurang sehingga
mereka mulai menggarap lahan di kawasan taman nasional.
Lahan yang digarap masyarakat adalah lahan yang lokasinya dekat dengan
tempat tinggal mereka atau di sekitar batas kawasan taman nasional dan tidak
terlalu jauh masuk ke dalam kawasan. Tidak adanya pal batas yang jelas pada
kawasan taman nasional merupakan salah satu faktor yang menyebabkan
masyarakat menggarap lahan tersebut.
Luas lahan yang digarap biasanya disesuaikan dengan kemampuan fisik
masyarakat dalam membuka lahan. Mereka membuka lahan secara manual tanpa
menggunakan mesin tertentu sehingga lahan yang digarap oleh masing-masing
keluarga biasanya tidak terlalu luas, yaitu sekitar ratusan sampai ribuan meter
persegi. Dari sepuluh informan yang menggunakan lahan di kawasan taman
nasional, rata-rata lahan yang digarap seluas 4.l40 m2/keluarga. Selain didasarkan
pada kesanggupan membuka lahan, luas lahan yang digarap juga didasarkan pada
tingkat kebutuhan masyarakat. Kebutuhan masyarakat yang dimaksud hanya
terbatas pada kebutuhan pangan masyarakat saja.
Alat yang digunakan dalam membuka lahan adalah cangkul, golok dan
parang. Mereka menggunakan alat-alat tersebut karena tidak memiliki alat lain
yang lebih bagus dan modern sehingga pembukaan lahan dilakukan secara manual
dengan alat seadanya. Pembukaan lahan dilakukan secara individu oleh keluarga
yang akan membuka lahan. Pada umumnya dilakukan oleh laki-laki baik itu bapak
ataupun anak dalam satu keluarga. Dalam membuka lahan ritual yang dilakukan
masyarakat adalah membaca doa-doa dan pemberian sesaji/kemenyan yang
dilakukan oleh seorang puun. Puun adalah orang yang dipercaya oleh masyarakat
untuk melakukan ritual-ritual tersebut. Tujuan dilakukan ritual tersebut adalah
untuk memohon izin kepada jin-jin yang dianggap ada oleh masyarakat yang
Membuka lahan dilakukan dengan membersihkan pohon-pohon, tumbuhan
bawah, rumput dan sampah-sampah yang ada di lahan tersebut. Pembakaran lahan
juga dilakukan untuk membersihkan lahan dan mematikan hama. Tidak ada waktu
khusus dalam mebuka lahan. Masyarakat bisa kapan saja melakukan kegiatan
tersebut, kecuali pada hari Jum’at dimana akan dilaksanakan sholat Jum’at, pada
hari itu masyarakat membuka lahan hanya sampai pukul ll.00 WIB.
Masyarakat menggunakan lahan tersebut untuk dijadikan sawah, kebun atau
huma. Pemilihan sawah, kebun atau huma didasarkan pada kemampuan
masyarakat dalam mengelola lahan. Pada masyarakat yang berkebun, tanaman
yang ditanam di kebun masyarakat adalah jagung, kacang, cabai, dan sayur
mayur. Setelah adanya anjuran dari BTNGHS, sebagian masyarakat menanami
tanaman kayu di lahan kebun, sawah atau huma mereka. Tanaman kayu tersebut
diantaranya adalah puspa dan rasamala, biasanya ditanam di tepi lahan. Mereka
menanami tanaman berkayu untuk dijadikan simpanan dan digunakan jika
sewaktu-waktu dibutuhkan.
5.2.2 Menebang Pohon
Penebangan pohon dilakukan oleh sebagian warga masyarakat untuk bahan
pembuatan rumah. Masyarakat menebang pohon karena mahalnya harga bahan
bangunan dan harga kayu jika membeli kayu secara legal. Sementara pendapatan
masyarakat pada umumnya tidak mencukupi, di sisi lain mereka sangat
membutuhkan tempat tinggal. Penebangan pohon untuk pembuatan rumah telah
dilakukan sejak dahulu hingga sekarang. Mereka terbiasa memanfaatkan apa yang
dihasilkan hutan untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Masyarakat menebang pohon hanya sebatas kebutuhan mereka. Biasanya
kebutuhan kayu untuk membuat rumah sekitar 4 sampai 5 meter kubik. Kayu
yang dijadikan bahan baku pembuatan rumah diantaranya jenis Puspa, Waru,
Huru, Sengon, Manii, dan Rasamala. Jenis-jenis tersebut dipilih karena jenis
tersebut tersedia di hutan.
Penebangan pohon dilakukan secara individu oleh orang/keluarga yang
membutuhkan. Sebelum penebangan dilakukan, biasanya mereka meminta
pohon tersebut tidak mengganggu proses penebangan. Dalam proses menebang
pohon, biasanya mereka menentukan arah rebah terlebih dahulu. Pohon yang
rebah diarahkan pada tempat atau lahan yang aman agar tidak menimbulkan
kerusakan pada tanaman lain di sekitarnya. Penentuan arah rebah ini juga
didasarkan pada arah angin dan arah tajuk pohon agar penebangan dapat
dilakukan dengan lebih mudah. Setelah itu dibuat takik rebah dan takik balas pada
pohon yang akan ditebang kira-kira 40-60 cm di atas permukaan tanah dengan
tujuan mempermudah proses penebangan. Alat yang biasa digunakan masyarakat
untuk menebang kayu adalah golok dan kapak. Masyarakat tidak pernah
menggunakan chainsaw karena harganya yang relatif mahal, selain itu
penebangan pohon juga relatif jarang dilakukan kecuali jika masyarakat
membutuhkan kayu untuk membuat rumah.
Masyarakat yang menebang kayu relatif lebih sedikit jika dibandingkan
dengan beberapa tahun yang lalu, hal ini terjadi setelah pembatasan dari BTNGHS
diperketat dan sanksi yang telah dibuat,. Terlebih setelah ada beberapa kasus
seperti penangkapan penduduk yang tertangkap memiliki kayu ilegal. Penduduk
yang tertangkap menebang atau memiliki kayu ilegal diserahkan kepada yang
berwajib untuk diproses secara hukum.
Menurut Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
(PHKA) Departemen Kehutanan (Arman Mallolongan), dari data empiris
menunjukan bahwa kawasan TNGHS seluas 113.357 hektar telah mengalami
penurunan kualitas dan degradasi hutan seluas 22.000 hektar atau 19,4 %.
Penutupan lahan tersebut terjadi disebabkan oleh adanya kegiatan illegal logging,
penambangan emas liar dan perambahan hutan yang telah memasuki kawasan
hutan konservasi (Veto News 25 Januari 2011)
5.2.3 Mengambil Kayu Bakar
Pengambilan kayu untuk kebutuhan bahan bakar rumah tangga dilakukan
sesuai dengan kebutuhan rumah tangga masing-masing. Saat ini tidak semua
rumah tangga masih memakai kayu bakar karena pada umumnya mereka sudah
menggunakan gas sebagai bahan bakar. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa
penduduk mengambil kayu bakar di dalam hutan. Tetapi biasanya mereka
mengutamakan mengambil kayu yang telah mati dan tidak menebang kayu yang
masih hidup. Jenis kayu yang dijadikan kayu bakar oleh penduduk Cipeuteuy
adalah Kaliandra. Kaliandra dipilih karena dinilai bagus dan merupakan jenis
kayu yang mudah tumbuh lagi. Biasanya masyarakat mengambil kaliandra di talut
hutan atau sungai. Jika kaliandra ditebang, maka tunasnya semakin tumbuh
banyak. Sehingga penebangan Kaliandra ditalut hutan/sungai diyakini masyarakat
dapat manjaga atau melindungi hutan.
Pada jaman dahulu, terdapat aturan dari nenek moyang secara turun
temurun yang melarang pengambilan kayu bakar pada hari Sabtu di dalam hutan.
Masyarakat meyakini pada hari tersebut di daerah-daerah yang rawan banyak
binatang buas dan makhluk halus yang akan mengganggu masyarakat. Akan tetapi
saat ini masyarakat dapat dengan bebas mengambil kayu bakar di hari apapun.
Kaliandra yang diambil adalah yang sudah cukup besar batang kayunya.
Cara mengambilnya yaitu dengan ditebas batangnya di atas permukaan tanah
sekitar 40-60 cm kemudian batang kayunya dipotong-potong sekitar satu meter
agar mudah dibawa ke rumah, sedangkan daun-daunnya di biarkan saja tanpa
dibersihkan untuk dijadikan pupuk sehingga dapat menyuburkan tanah.
Pada umumnya pengambilan kayu bakar dilakukan oleh laki-laki.
Masyarakat mengambil kayu bakar dengan menggunakan golok secara individu
untuk kebutuhan rumah tangganya masing-masing. Mereka mengambil kayu
bakar sebanyak satu pikul dan satu kali selama seminggu. Kayu bakar diangkut
dengan menggunakan kendaraan seperti motor atau sepeda atau dengan dipikul di
atas punggung bagi yang tidak memiliki kendaraan.
Lahan-lahan garapan dan lahan milik masyarakat sudah banyak ditanami
kaliandra untuk kebutuhan bahan bakar. Masyarakat tidak selamanya harus masuk
ke dalam hutan untuk memenuhi kebutuhan kayu bakar. Hal ini memudahkan
masyarakat karena pengambilan kayu bakar dilakukan berbarengan dengan
kegiatan bersawah atau berkebun sehingga jarak yang mereka tempuh menjadi
5.2.4 Mengambil Rumput
Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak (BTNGHS) telah melarang
masyarakat mengambil rumput di dalam kawasan hutan. Akan tetapi pengambilan
rumput untuk pakan ternak terus dilakukan oleh sebagian warga masyarakat,
terlebih lagi tidak ada penerapan sanksi yang dilakukan oleh BTNGHS terhadap
warga yang memasuki hutan hanya untuk mengambil rumput untuk ternak
mereka. Binatang ternak penduduk Cipeuteuy yang memakan rumput dapat dilihat
pada Tabel 7.
Tabel 7 Jumlah populasi ternak masyarakat Desa Cipeuteuy
Jenis
Sumber: Profil Desa/Kelurahan Desa Cipeuteuy 2008
Pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa jumlah populasi ternak yang
membutuhkan rumput untuk pakan mencapai 1.789 ekor. Jika pengambilan
rumput di dalam kawasan hutan dilakukan terus menerus tanpa memperhatikan
aspek konservasi, maka dalam jangka panjang akan menyebabkan degradasi lahan
yang mengakibatkan kerusakan kawasan hutan.
Masyarakat mengambil rumput pada pagi atau sore di setiap harinya. Alat
yang digunakan pada umunya adalah sabit dan parang. Tidak ada ritual tertentu
dalam proses mengambil rumput karena hal tersebut dianggap kegiatan yang biasa
oleh masyarakat setempat. Saat ini kegiatan mengambil rumput dilakukan oleh
siapa saja baik itu laki-laki maupun perempuan, anak kecil atau orang tua.
Sebagian warga masyarakat menggunakan kendaraan bermotor atau sepeda saat
mengangkut rumput untuk dibawa pulang, karena sebagian besar masyarakat
sudah memiliki kendaraan bermotor. Motor menjadi sangat penting untuk
masyarakat karena jarangnya angkutan umum yang lewat, terlebih beberapa jalan
tidak bisa dilewati mobil atau angkutan umum dan hanya bisa dilalui oleh
kendaran bermotor. Sebagian warga berjalan kaki dalam mengangkut rumput
dengan memikul rumput yang telah diikat di atas punggung. Biasanya, mereka
rumput. Hal itu didasarkan pada kebutuhan pakan ternak mereka untuk satu atau
dua hari.
Gambar 6 Kegiatan mengambil rumput oleh masyarakat
5.3 Peran Pengetahuan Lokal dalam Pengelolaan Taman Nasional
Pengetahuan yang dimiliki masyarakat sangat penting bagi kelestarian
kawasan taman nasional. Penanaman tanaman berkayu di lahan garapan
masyarakat awalnya adalah anjuran dari pihak BTNGHS yang ingin
mengembalikan lahan garapan menjadi hutan dengan tanaman asli taman
nasional. Akan tetapi masyarakat enggan melakukannya karena mereka masih
membutuhkan lahan untuk bertani. Di sisi lain sebagian masyarakat juga
menanami lahan mereka dengan tanaman berkayu yang ditanam di pinggir-pinggir
lahan pertanian. Tanaman berkayu tersebut ditanam karena diyakini dapat
menyuburkan tanah dan mencegah erosi. Selain itu sebagian masyarakat
menanam tanaman berkayu sebagai simpanan untuk ditebang dan dijual jika suatu
saat membutuhkannya.
Pengetahuan lokal masyarakat dalam membuka lahan yaitu pembakaran
semak belukar, ranting, dan daun dengan tujuan membersihkan lahan dan
mematikan hama penyakit. Menebang pohon dilakukan dengan memperhatikan
arah rebah pohon dan arah angin. Arah rebah ditentukan agar tidak mengenai dan
merusak pohon lain yang mungkin terkena saat proses penebangan berlangsung.
Hal tersebut juga dilakukan untuk menghindari kerusakan yang timbul pada kayu
akibat penebangan.
Pemilihan kaliandra oleh masyarakat sebagai kayu bakar karena kaliandra
merupakan tanaman yang mudah tumbuh. Masyarakat biasanya mengambil
ditebang, maka tunasnya semakin tumbuh banyak, sehingga pengambilan
kaliandra di talut sungai atau kali dapat mencegah terjadinya erosi.
Pengambilan rumput selain untuk pakan ternak juga dapat membantu
membersihkan lahan pertanian. Saat ini pengambilan rumput jarang dilakukan di
kawasan taman nasional karena terlalu jauh. Sebagian warga masyarakat biasanya
mengambil rumput langsung di lahan milik pribadi atau di lahan garapan mereka.
Tabel 8 Peran pengetahuan lokal dalam pengelolaan taman nasional
No Kegiatan Pengetahuan Peran pengetahuan local
1 Budidaya
-Penanaman tanaman berkayu di lahan pertanian
masyarakat dapat membantu menjaga kesuburan
tanah
-membuka lahan
dengan membakar
semak belukar
-Dilakukan untuk membersihkan lahan dari semak
belukar dan dapat mematikan hama
2 Menebang
pohon
-menentukan arah
rebah pohon
- Pohon rebah diarahkan pada tempat atau lahan
yang aman agar tidak menimbulkan kerusakan
pada tanaman lain disekitarnya
3 Mengambil
kayu bakar
-mengambil kayu
yang telah mati
-menghindari pengambilan kayu yang masih hidup
-mengambil kayu
Kaliandra
-Kaliandra merupakan kayu yang cocok untuk
kayu bakar dan merupakan jenis yang mudah
tumbuh lagi
-Keadaan lahan menjadi bersih dari rumput liar
sehingga air hujan yang jatuh dapat cepat diserap
tanah dan memelihara kesuburan tanah
5.4 Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Taman Nasional
Partisipasi masyarakat Cipeuteuy dalam pengelolaan kawasan taman
nasional diantaranya dilakukan dengan membatasi interaksi mereka dengan hutan.
Pembatasan yang dilakukan diantaranya pembatasan penebangan pohon,
pembatasan pengambilan kayu bakar dan pembatasan mengambil rumput
atau memperluas lahan garapan. Masyarakat dapat melakukan pembatasan
tersebut karena adanya perubahan pola pikir masyarakat sedikit demi sedikit.
Partisipasi masyarakat Desa Cipeuteuy juga dapat dilihat dari penerapan
nilai-nilai tradisional yang dimiliki oleh masyarakat. Nilai tersebut berupa
larangan memasuki kawasan cagar alam. Selain itu terdapat larangan menebang
pohon, larangan menggarap lahan, dan larangan menjual hasil hutan.
Larangan-larangan tersebut muncul akibat adanya peraturan dari BTNGHS yang dilebur
dengan aturan masyarakat Cipeuteuy, sehingga secara tidak langsung hal tersebut
membangun kesadaran dan kesediaan masyarakat untuk ikut serta dalam menjaga
dan melestarikan kawasan hutan.
Hal lain yang merupakan bentuk partisipasi masyarakat terhadap
pengelolaan TNGHS yaitu kerjasama warga masyarakat dengan BTNGHS.
Kerjasama tersebut yaitu dengan membentuk tim patroli hutan. Patroli hutan
dilakukan untuk menjaga kawasan TNGHS dari perburuan, penebangan,
penjarahan dan pencurian kayu. Kerjasama dengan masyarakat dilakukan karena
petugas BTNGHS tidak dapat bekerja sendiri dalam menjaga kawasan taman
nasional yang luasnya mencapai 113.357 hektar. Untuk itu peran nyata
masyarakat sangat diperlukan. Dari 30 penduduk yang diwawancarai sebanyak 4
orang atau 13,33 % ikut melakukan patroli hutan bersama petugas, sedangkan 26
orang menyatakan tidak atau sangat jarang. Masyarakat yang ikut dalam kegiatan
patroli yaitu masyarakat yang memiliki kedekatan atau hubungan langsung
dengan pihak BTNGHS.
5.4.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Taman Nasional
5.4.1.1Faktor Pengetahuan
Pengetahuan yang dimiliki masyarakat secara langsung maupun tidak
langsung mempengaruhi perilaku masyarakat terhadap apa yang ditemuinya.
Pengetahuan masyarakat mengenai konservasi dan pentingnya melakukan
konservasi membuat masyarakat Cipeuteuy membatasi penggunaan hasil hutan.
Pengetahuan masyarakat akan bahaya yang ditimbulkan oleh kerusakan hutan