ABSTRAK
ANALISIS PEMIDANAAN PADA PELAKU TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN TERHADAP ANAK OLEH ANGGOTA POLRI
(STUDI PUTUSAN: NO.11/Pid/2015/PT.Tjk)
Oleh
Yoya Aktiviany Nalamba
Tindak pidana persetubuhan terhadap anak oleh anggota Polri yang seharusnya menjadi sosok yang melindungi dan mengayomi serta bertanggung jawab atas perlindungan terhadap masyarakatnya, hal itu dapat dilihat dalam putusan perkara Nomor 11/Pid/2015/PT.Tjk. dalam kasus tersebut, terdakwa Adi Utami bin Supardi dinyatakan dengan sengaja melakukan persetubuhan dengannya atau orang lain yakni Nuri Fauziah binti M.Yono yang berumur 17 tahun. Permasalahannya adalah bagaimanakah pemidanaan pada pelaku tindak pidana persetubuhan terhadap anak oleh anggota Polri (studi putusan Nomor 11/Pid/2015/PT.Tjk) dan apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan pada pelaku tindak pidana persetubuhan terhadap anak oleh anggota Polri (studi putusan Nomor 11/Pid/2015/PT.Tjk).
Penelitian digunakan dengan pendekatan secara yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Sumber dan jenis data dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dari studi lapangan dengan melakukan wawancara terhadap Hakim, Jaksa, dan Dosen bagian Pidana Fakultas Hukum. Data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan.
Yoya Aktiviany Nalamba
menjatuhkan pidana pada pelaku tindak pidana persetubuhan terhadap anak oleh anggota Polri menggunakan teori keseimbangan, teori pendekatan seni dan intuisi, teori pendekatan pengalaman dan teori ratio decidendi serta dilihat dengan teori
keadilan.
Adapun saran yang diberikan penulis adalah mengenai pola pemidanaannya perlu dikaji lebih mendalam terhadap pelaku tindak pidana persetubuhan terhadap anak yang dilakukan anggota Polri, sehingga pelaku dan korban mendapatkan rasa keadilan yang seadil-adilnya. Dan hakim dalam mempertimbangkan putusan pemidanaan harus lebih memberatkan pidana terhadap terdakwa, mengingat bahwa terdakwa adalah seorang anggota Polri yang seharusnya memberikan keamanan, pengayoman, dan perlindungan serta cerminan kepada masyarakatnya.
ANALISIS PEMIDANAAN PADA PELAKU TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN TERHADAP ANAK OLEH ANGGOTA POLRI
(Studi Putusan No. 11/Pid./2015/PT.Tjk Tahun 2015)
Oleh
YOYA AKTIVIANY NALAMBA
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM
Pada
Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
“Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa skripsi ini telah ditulis dengan sungguh-sungguh dan tidak merupakan penjiplakan hasil karya orang lain. Apabila dikemudian hari terbukti bahwa pernyataan ini tidak benar maka saya sanggup menerima hukuman sanksi sesuai peraturan yang berlaku.”
Bandar Lampung, 18 Februari 2016 Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandar Lampung, pada Tanggal 19 Februari 1994, yang merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, dari kasih sayang Ibundaku Dra. Yuantini dan Ayahandaku Busroni,BAE (Alm)
PERSEMBAHAN
Dengan mengucap puji syukur kepada Allah SWT
Kupersembahkan karya sederhana ini melalui jerih payah ku kepada:
Bundaku Yuantini & Ayahku Busroni (Alm)
Atas segala curahan cinta, kasih sayang, doa serta pengorbanan yang takkan pernah terbalas
demi keberhasilan dan kesuksesanku.
Semoga Allah SWT membalas semua tetes keringat, air mata dan doa dalam setiap wujudnya
dengan kebahagian di dunia dan di akhirat.
Adik- adikku Yosela dan Yonada
senantiasa menemaniku dengan keceriaan dan kasih sayang serta akan menjadi imam ku kelak.
Almamaterku tercinta
MOTO
Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu
sendiri dan jika kamu berbuat jahat maka kejahatan itu untuk dirimu
sendiri.
(QS.Al-Isra’:7)
Sukses tidak perlu mengejar kesempurnaan, karena sukses itu menurut
apa yang anda pikirkan.
SANWACANA
Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji syukur selalu penulis panjatkan kepada Allah
SWT, atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul “Analisis Pemidanaan Pada Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap Anak Oleh Anggota Polri (Studi Putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang No.11/Pid./2015/PT.Tjk)” sebagai salah satu syarat mencapai gelar sarjana di Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan, bantuan, petunjuk dan saran dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih yang tulus dari lubuk hati yang paling dalam kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung
2. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung dan selaku Dosen Pembahas I yang telah memberikan kritikan, koreksi dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini.
3. Ibu Firganefi, S.H.,M.H., Sekretaris Jurusan Hukum Pidana
5. Bapak Eko Raharjo, S.H., M.H selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan masukan-masukan, ilmu-ilmu yang bermanfaat, dan saran-saran selama proses perkuliahan dan khususnya dalam penulisan skripsi ini sehingga skripsi ini dapat terselesaikan..
6. Ibu Rini Fatonah, S.H., M.H selaku Dosen Pembahas II yang telah memberikan ilmu-ilmu yang bermanfaat, kritikan, masukan dan saran selama proses perkuliahan dan khususnya dalam penulisan skripsi ini sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
7. M. Rama Erfan, Nirmala Dewita, dan Erna Dewi yang telah menjadi narasumber-narasumber, memberikan izin penelitian, membantu dalam proses penelitian untuk penyusunan skripsi ini.
8. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah mendidik, menempa, dan memberikan ilmu-ilmu yang bermanfaat kepada penulis selama kuliah di Fakultas Hukum Universitas lampung.
9. Teristimewa dan terkhusus kepada kedua orang tuaku tercinta Dra. Yuantini dan H. Busroni,BAE (Alm) yang telah merawat, membimbing, mendidik, dan menyayangiku dari dalam kandungan sampai kapanpun agar penulis dapat menggapai sukses di dunia tanpa meninggalkan dan melupakan akhirat. Skripsi ini adalah persembahan pertama dari putri kalian, semua ini tiada sebanding dengan perjuangan dan pengorbanan yang kalian berikan selama ini, mudah-mudahan ini menjadi langkah awal bagi putri kalian untuk membalas budi baik yang sangat besar yang telah kalian berikan selama ini, Amin.
mewujudkan cita-cita dan harapan sehingga dapat membanggakan bagi mereka berdua.
11. Seluruh keluarga besarku ( yayik dan oma ) yang telah memberikan doa, dan motivasi, agar penulis dapat menyelesaikan kuliah di Universitas Lampung. 12. Tante ku maksu Ricca Yulisnawati, yang selalu memberikan semangat serta saran
yang berguna dalam penulisan ini.
13. Saudara-saudaraku:ses vira, bang dio, cici anca, zia, raqila yang selalu menjadikan motivasi serta memberikan semangat.
14. Sahabat-Sahabatku di kampus Tira Cakra Indira, Sonya Putri Octavia, Siti Dwi Karuniati, dan Riski Aulia semoga kita akan sukses di masa mendatang dan dapat menjadi wanita-wanita hebat di Indonesia dan Internasional, semoga Allah SWT selalu memberikan jalan dan hidayah pada kita dan persahabatan ini tidak akan ada akhirnya.
15. Teman- teman Geng NPM akhir, Teki, Alam, Udin, Rito, Ryo, Wailim, Samuel, Yudha. Terima kasih atas persahabatan, dukungan, dan bantuan selama ini. 16. Teman-teman seperjuanganku, Redo, Fransiska, Occa, dan semua teman-teman
Angkatan 2012 Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tidak dapat penulis sebutkan semuanya. Terima kasih atas pertemanan yang terjalin selama ini. 17. Teman-teman SMP ku Annisya Trivia Utari, Tias Syahputri, Sevi Edelweis,
Indah Iftinandari M. Terima kasih telah menjadi sahabat ku sejauh ini. Semoga pertemanan kita akan terus berjalan sampai kapanpun.
19. Untuk Almamater Tercinta, Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah menjadi saksi bisu dari perjalanan ini hingga menuntunku menjadi orang yang lebih dewasa dalam berfikir dan bertindak. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, penulis mengucapkan banyak terima kasih.
Semoga Allah SWT memberikan balasan atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk menambah wawasan keilmuan bagi pembaca pada umumnya dan bagi penulis pada khususnya.
Bandar Lampung, 18 Februari 2016
Penulis,
DAFTAR ISI
Halaman I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pemasalahan dan ruang Lingkup ... 6
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 8
E. Sistematika Penulisan ……….. 16
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana ... 18
B. Tindak Pidana Persetubuhan ... 25
C. Pengertian Anak ... 28
D. Pengertian Pemidanaan ... 31
E. Tinjauan Umum Tentang Polri ….………... 32
III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 34
B. Sumber dan Jenis Data ... 35
C. Penentuan Narasumber ... 37
D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 37
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.Karakteristik Responden ………..40 B.Gambaran Umum Putusan Nomor: 11/Pid/2015/PT.Tjk ……….41 C.Pemidanaan pada Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan terhadap Anak
oleh Anggota Polri (Studi Putusan No: 11/Pid/2015/PT.Tjk) ………..………44 D.Dasar Pertimbangan Hakim dalam Memberikan Putusan Pemidanaan
pada Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan terhadap Anak oleh Anggota
Polri (Studi Putusan No: 11/Pid/2015/PT.Tjk)………..55
V. PENUTUP
A. Simpulan ………...68 B. Saran ……….69
DAFTAR PUSTAKA
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan masyarakat merupakan suatu gejala yang biasa dan bersifat umum
serta merupakan proses penyesuaian masyarakat terhadap kemajuan jaman.
Perkembangan tersebut membawa dampak yang luar biasa yang dapat dirasakan
oleh seluruh anggota masyarakat tersebut termasuk tuntutan hidup, namun tidak
dapat dilupakan juga bahwa di sisi lain dari kemajuan yang ditimbulkan akan
membawa dampak yang buruk terhadap manusia jika semuanya itu tidak
ditempatkan tepat pada tempatnya.
Tindak Pidana yang terjadi bukan saja menyangkut tindak pidana terhadap nyawa,
dan harta benda saja melainkan juga terhadap kesusilaan. Tindak pidana
kesusilaan menurut kamus hukum pengertian kesusilaan diartikan sebagai tingkah
laku, perbuatan percakapan bahwa sesuatu apapun yang berpautan dengan
norma-norma kesopanan yang harus dilindungi oleh hukum demi terwujudnya tata tertib
dan tata susila dalam kehidupan bermasyarakat.1 Kelainan dalam melakukan
hubungan seks ini dalam konsep ilmu kejiwaan dapat digolongkan kepada
abnormalitas seksual (patologi seks). Terjadinya patologi seksual ini karena
individu tidak dapat memenuhi penyalurannya secara wajar.
Salah satu bentuk tindak pidana yang sangat merugikan dan meresahkan
masyarakat adalah tindak pidana kesusilaan berupa persetubuhan yang dilakukan
terhadap anak. Perkembangan jaman dan kebutuhan akan perlindungan anak yang
semakin besar, memerlukan pemikiran yang lebih akan hak-hak anak, karena di
tangan merekalah, masa depan bangsa tersandang. Dalam menyiapkan generasi
penerus bangsa, anak merupakan aset utama. Tumbuh kembang anak sejak dini
merupakan tanggung jawab keluarga, masyarakat dan negara. Namun tidak dapat
dipungkiri oleh berbagai faktor, baik biologis, sosial, ekonomi maupun kultur,
yang menyebabkan tidak terpenuhinya hak-hak anak.
Untuk kasus tindak pidana kesusilaan yang dilakukan terhadap anak sekarang ini,
modus operandinya pun beraneka ragam, ada yang menggunakan cara membujuk
korban diberi sejumlah uang, membelikan sesuatu yang diinginkan korban atau
memberikan sesuatu yang sangat diharapkan, menjanjikan sesuatu, bahkan
memberikan ancaman yang mungkin ditakuti oleh anak. Dengan modus-modus
tersebut pelaku kemudian melakukan tindak pidana kesusilaan tersebut di tempat
yang dirasa aman bagi pelaku.
Persetubuhan terhadap anak lebih khusus diatur dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak) untuk
melindungi korbannya diatur dalam Pasal 81 yang menentukan bahwa:
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan,memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan
orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi
setiap orang yang dengan segaja melakukan tipu muslihat, serangkain
kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya
atau orang lain.
Masyarakat harus perlu lebih jeli dan peka terhadap lingkungan, bahwa tindak
pidana dapat dilakukan oleh siapapun dan terhadap siapapun. Salah satu contoh
tindak pidana persetubuhan yang dilakukan oleh oknum anggota polri, yang
dimana seharusnya menjadi sosok yang melindungi dan mengayomi masyarakat
di lingkungan masyarakat serta bertanggung jawab atas perlindungan terhadap
masyarakat. Namun dengan keadaan yang abnormal, seorang oknum anggota polri
ini melampiaskan nafsu kelaminnya terhadap warga sipil yang seharusnya
mendapatkan rasa aman dari oknum anggota polri.2
Pasal 421 KUHP menyebutkan: “Seorang pejabat yang menyalahgunakan
kekuasaan memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan atau
membiarkan sesuatu, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun 8
(delapan) bulan”.
Pejabat yang dimaksud adalah oknum anggota polri yang melakukan tindak
pidana persetubuhan terhadap anak dengan tipu muslihat dan serangkaian
kebohongan terhadap korban. Sebagai contoh kasus persetubuhan yang terjadi di
kota Bandar lampung yaitu terjadinya persetubuhan yang dilakukan oleh oknum
oleh jaksa penuntut umum dengan pidana 7 tahun yang telah melakukan tindak
pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang RI No. 23
tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri
Tanjung Karang Nomor: 965/Pid.B/2014/PN.Tjk, terdakwa oleh hakim
dinyatakan bersalah dan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana “dengan sengaja membujuk anak untuk melakukan persetubuhan
dengannya”. Di persidangan Pengadilan Negeri, majelis hakim tingkat pertama
menjatuhkan pidana penjara 5 tahun terhadap terdakwa dan berdasarkan hasil di
pesidangan Pengadilan Tinggi, majelis hakim menjatuhkan pidana penjara 4
tahun.
Kronologis singkat dari perkara tersebut yaitu terdakwa adalah oknum anggota
polri, dimana korban yang merupakan kekasih terdakwa yang bernama Nuri
Fauziah berumur 17 tahun yang dikenalnya lewat facebook melakukan
persetubuhan pertama di bulan Juni 2013 dan kedua di bulan Agustus 2013
dengan memaksa dan serangkaian kebohongan yang akan bertanggungjawab atas
perbuatannya. Dan hasil visum et repertum tanggal 29 januari 2014 bahwa selaput
dara Nuri Fauziah robek lama arah jarum jam satu, jam tiga, jam lima sampai
dasar, arah jam tujuh, jam Sembilan, jam sebelas tidak sampai dasar. Liang
kemaluan dapat dilewati satu jari tanpa sakit.
Tindak pidana terhadap anak harus diantisipasi dengan memfungsikan instrumen
hukum pidana secara efektif melalui penegakan hukum dengan cara
mengupayakan penanggulangan terhadap perilaku yang melanggar hukum yang
Salah satu dari pelaksanan hukum yaitu hakim diberi wewenang oleh
undang-undang untuk menerima, memeriksa serta memutus suatu perkara pidana. Oleh
karena itu hakim dalam menangani suatu perkara harus dapat berbuat adil.
Seorang hakim dalam memberikan putusan kemungkinan dipengaruhi oleh hal
yang ada pada dirinya dan sekitarnya karena pengaruh dari faktor agama,
kebudayaan, pendidikan, nilai, norma, dan sebagainya sehingga dapat
dimungkinkan adanya perbedaan cara pandang yang mempengaruhi pertimbangan
dalam memberikan keputusan.
Putusan dari hakim merupakan sebuah hukuman bagi terdakwa pada khususnya
dan menjadi sebuah hukum yang berlaku luas apabila menjadi sebuah
yurisprudensi tetap yang akan diikuti oleh para hakim selanjutnya dan menjadi
pedoman bagi masyarakat, yaitu putusan hakim yang mengandung 2 (dua) unsur
sekaligus, yaitu merupakan penyelesaian atau pemecahan suatu peristiwa konkret
dan merupakan peraturan hukum untuk waktu mendatang.3
Pemidanaan seharusnya memberikan sanksi yang setimpal bagi pelaku kejahatan
tersebut sehingga supremasi hukum benar-benar ditegakkan dan tercipta
ketertiban dalam masyarakat. Disamping itu, sanksi tersebut diharapkan
memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan sehingga tidak akan mengulangi
perbuatannya dimasa mendatang serta mencegah orang lain agar tidak melakukan
kejahatan tersebut karena suatu ancaman sanksi yang cukup berat.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dalam bentuk skripsi berjudul “Analisis Pemidanaan pada Pelaku
Tindak Pidana Persetubuhan terhadap Anak oleh Anggota Polri (Studi Putusan
Nomor 11/Pid/2015/PT.Tjk)”
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang di atas, maka
yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah:
a. Bagaimanakah pemidanaan pada pelaku tindak pidana persetubuhan terhadap
anak oleh anggota Polri (Studi Putusan 11/Pid/2015/PT.Tjk) ?
b. Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan
pada pelaku tindak pidana persetubuhan terhadap anak oleh anggota Polri
(Studi Putusan 11/Pid/2015/PT.Tjk) ?
2. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dari penelitian ini adalah kajian bidang hukum pidana pada
umumnya dan khususnya mengenai analisis pemidanaan pada pelaku tindak
pidana persetubuhan terhadap anak oleh anggota Polri (studi putusan
11/Pid/2015/PT.Tjk). Penelitian ini akan dilakukan pada lingkup wilayah hukum
C. Tujuan dan Kegunaan penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui :
a. Pemidanaan pada pelaku tindak pidana persetubuhan terhadap anak oleh
anggota Polri pada Putusan Nomor 11/Pid/2015/PT.Tjk.
b. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan pada
pelaku tindak pidana persetubuhan terhadap anak oleh anggota Polri pada
Putusan Nomor 11/Pid/2015/PT.Tjk.
2. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Kegunaan teoritis, yaitu berguna sebagai sumbangan pemikiran dalam upaya
pemahaman wawasan di bidang ilmu hukum pidana, khususnya mengenai
pemidanaan pada pelaku tindak pidana persetubuhan terhadap anak oleh
anggota Polri.
b. Kegunaan praktis, yaitu memberikan pengetahuan dan informasi yang
bermanfaat bagi masyarakat mengenai tindak pidana persetubuhan yang
dilakukan oleh anggota Polri dan untuk dipergunakan bagi pihak-pihak yang
berkepentingan sebagai wawasan serta untuk memberikan sumbangan ilmu
pengetahuan dan sebagai referensi bagi para pihak yang ingin meneliti
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis adalah teori-teori yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran
atau kerangka acuan yang pada dasarnya untuk mengadakan identifikasi terhadap
dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.4
1. Teori Pemidanaan
Pidana pada hakikatnya hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan, maka untuk
itu petama-tama merumuskan tentang tujuan pemidanaan. Dalam mengidentifikasi
tujuan pemidanaan ini, bertolak dari keseimbangan 2 (dua) sasaran pokok, yaitu
perlindungan masyarakat dan perlindungan atau pembinaan individu pelaku
tindak pidana.
Ada tiga golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana yaitu:5
1. Teori Retributive (teori absolut atau teori pembalasan)
Menurut pandangan teori ini, pidana haruslah disesuaikan dengan tindak
pidana yang dilakukan, karena tujuan pemidanaan menurut mereka adalah
memberikan penderitaan yang setimpal dengan tindak pidana yang telah
dilakukan.
2. Teori Utilitarian (teori relatif atau teori tujuan)
Menurut pandangan teori ini, pemidanaan ini harus dilihat dari segi manfaatnya, artinya pemidanaan jangan semata-mata dilihat hanya sebagai pembalasan belaka melainkan harus dilihat pula manfaatnya bagi terpidana di masa yang akan datang. Teori ini melihat dasar pembenaran pemidanaan itu ke depan, yakni pada perbaikan para pelanggar hukum di masa yang akan datang.
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: CV Rajawali, 1984, hlm.116.
3. Teori Gabungan
Teori ini didasarkan pada tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat. Sehubungan dengan masalah pidana sebagai sarana untuk mencapai tujuan, maka harus dirumuskan terlebih dahulu tujuan pemidanaan yang akan diharapkan akan menunjang tercapainya tujuan tersebut, atas dasar itu kemudian baru dapat ditetapkan cara, sarana atau tindakan apa yang akan digunakan.
2. Teori Dasar Pertimbangan Hakim
Hakim mempunyai peran yang penting dalam pemidanaan, meskipun hakim
memeriksa perkara pidana di persidangan dengan berpedoman dengan hasil
pemeriksaan yang dilakukan pihak kepolisian dan dakwaan yang diajukan oleh
Jaksa Penuntut Umum. Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman mengatur bahwa
hakim bebas dalam menjatuhkan putusan, namun Pasal 50 Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan hakim dalam
memberikan putusan harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu,
juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang
bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk
mengadili.
Hakim sebelum menjatuhkan putusan, terlebih dahulu harus mempertimbangkan
mengenai salah tidaknya seseorang atau benar tidaknya suatu peristiwa dan
kemudian memberikan atau menentukan hukumannya. Menurut Sudarto,6 hakim
memberikan keputusannya mengenai hal-hal sebagai berikut:
a. Keputusan mengenai peristiwa ialah apakah terdakwa telah melakukan
perbuatan yang ditujukan padanya;
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum
b. Keputusan mengenai hukumannya ialah apakah perbuatan yang dilakukan merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah dan dapat dipidana;
c. Keputusan mengenai pidananya apabila terdakwa memang dapat dipidana.
Masalah pemidanaan sepenuhnya merupakan kekuasaan dari hakim. Hakim dalam
menjatuhkan pidana wajib berpegangan pada alat bukti yang mendukung
pembuktian dan keyakinannya sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP
yaitu: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan
bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang
bersalah melakukannya.”
Menurut Mackenzei, ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan
oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam suatu perkara,
yaitu:7
1. Teori Keseimbangan
Yang dimaksud dengan teori keseimbangan adalah keseimbangan antara
syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan
pihak-pihak yang berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya
keseimbangan yang berkaitan dengan masyarakat, kepentingan terdakwa dan
kepentingan korban.
2. Teori Pendekatan Seni dan Intuisi
Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari
hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan hakim menyesuaikan
dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana,
hakim akan melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam
perkara pidana.
3. Teori Pendekatan Keilmuan
Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim. Pendekatan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi sesemata-mata, tetapi harus dilengkapidengan ilmu pengetahuan dan wawasan keilmuan dalam menghadapi perkara yang harus diputuskannya.
4. Teori Pendekatan Pengalaman
Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya
dalam menghadapi perkara-perkara yang ada setiap hari. Dengan pengalaman
yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui dampak dari putusan yang
dijatuhkan dalam suatu perkara pidana yang berkaitan dengan pelaku, korban
maupun masyarakat.
5. Teori Ratio Decidendi
Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar yang
mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang
disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang
relevan dengan pokok perkara sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan
untuk menegakkan hukum dan keadilan bagi para pihak yang berperkara.
6. Teori Kebijaksanaan
Hakim dalam putusanya harus member rasa keadilan, menelaah terlebih dahulu
kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya kemudian menghubungkan dengan
hukum yang berlaku. Hakim dalam menjatuhkan putusannya harus berdasar pada
penafsiran hukum yang sesuai dengan rasa keadilan yang tumbuh, hidup dan
berkembang dalam masyarakat, juga factor lain yang mempengaruhi seperti factor
budaya, sosial, ekonomi, dan politik.
3. Teori Keadilan
Keadilan menurut Barda Nawawi Arief adalah perlakuan yang adil, tidak berat
sebelah, tidak memihak dan berpihak kepada yang benar. Keadilan menurut kajian
filsafat adalah apabila dipenuhi dua prinsip yaitu: pertama tidak merugikan
seseorang dan kedua perlakuan kepada tiap-tiap manusia apa yang menjadi
haknya. Jika kedua prinsip ini dapat dipenuhi barulah itu dikatakan adil. Pada
hakikatnya, permaknaan keadilan dalam penanganan sengketa-sengketa hukum
ternyata masih dapat diperdebatkan. Banyak pihak merasakan dan menilai bahwa
lembaga pengadilan kurang adil karena terlalu syarat dengan prosedur, formalitas,
kaku, dan lamban dalam memberikan putusan terhadap suatu sengketa. Factor
tersebut tidak lepas dari cara pandang hakim terhadap hukum yang kaku dan
normatife-prosedural dalam melakukan konkretisasi hukum.8
Keadilan substantif dimaknai keadilan yang diberikan sesuai dengan aturan-aturan
hukum substantif, dengan tanpa melihat kesalahan-kesalahan proseduraal yang
tidak berpengaruh pada hak-hak substantive penggugat. Ini berarti bahwa apa
yang secara formal-prosedural benar bisa saja disalahkan secara materiil dan
!"# #
substansinya melanggar keadilan. Demikian sebaliknya, apa yang secara formal
salah bisa saja dibenarkan jika secara jika materiil dan substansinya sudah cukup
adil (hakim dapat menoleransi pelanggaran procedural asalkan tidak melanggar
sunstansi keadilan). Dengan kata lain, keadilan substantif bukan berarti hakim
harus selalu mengabaikan bunyi undang-undang yang tidak memberi rasa
keadilan, tetapi tetap berpedoman pada formal-prosedural undang-undang yang
sudah member rasa keadilan sekaligus menjamin kepastian hukum. Artinya,
hakim dituntut untuk memiliki keberanian mengambil keputusan yang berbeda
dengan ketentuan normative undang-undang, sehingga keadilan substansial selalu
saja sulit diwujudkan melalui putusan hakim pengadilan, karena hakim dan
lembaga pengadilan hanya akan memberikan keadilan formal.9
2. Konseptual
Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara
konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dalam arti-arti yang berkaitan
dengan istilah yang ingin tahu akan diteliti.10 Hal ini dilakukan agar tidak terjadi
kesalah pahaman dalam melakukan penelitian, maka akan dijelaskan terlebih
dahulu tentang pengertian pokok yang dijadikan konsep penelitian, sehingga akan
memberikan batasan yang tetap dalam penafsiran terhadap beberapa istilah.
Istilah-istilah yang dimaksud adalah sebagai berikut:
*+ # '()
a. Analisis adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan
penelaahan bagian itu tersendiri serta hubungan antar bagian untuk
memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan.11
b. Pemidanaan adalah suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh
hakim. Maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup
keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang mengatur bagaimana hukum
pidana itu ditegakkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhkan sanksi
pidana.12
c. Pelaku menurut Pasal 55 KUHP adalah mereka yang melakukan, yang
menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan, mereka yang
memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau
martabat, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana
atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan
perbuatan.
d. Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan
diancam dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan tersebut.13
e. Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya
manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa,
yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus,
memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin
pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi,
Tim Penyusun Kamus, Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1997, hlm.32
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Bina aksara, 1993,hlm.9
13
selaras, dan seimbang.14 Menurut UU No. 23 Tahun 2003 tentang
Perlindungan anak, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan.
f. Persetubuhan menurut R. Soesilo adalah perpaduan antara kelamin laki-laki
dan kelamin perempuan yang biasanya dijalankan untuk mendapatkan anak,
yaitu anggota kemaluan laki-laki harus masuk ke dalam anggota kemaluan
perempuan sehingga mengeluarkan air mani.15
g. Polri merupakan alat negara yang bertugas memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat, memberikan pengayoman, dan memberikan
perlindungan kepada masyarakat.16
h. Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat
tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau
orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang
menderita.17
14
Tri Andrisman, Hukum Peradilan Anak, Bandar Lampung, 2013, hlm.1
15
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, 1995, hlm. 209.
16
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum (Suatu Tinjauan Sosiologis), Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, hlm. 111.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika suatu penulisan memudahkan maksud dari penelitian ini serta dapat
dipahami, maka penulis membaginya ke dalam V (lima) Bab secara berurutan dan
saling berhubungan yaitu sebagai berikut :
I. PENDAHULUAN
Bab ini memuat uraian dari latar belakang masalah, perumusan permasalahan
dan ruang lingkup penelitian, tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teoritis
dan konseptual serta sistematika penulisan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini merupakan pengantar pemahaman ke dalam pengertian-pengertian
umum serta pokok bahasan. Dalam uraian bab ini lebih bersifat teoritis yang
nantinya digunakan sebagai bahan studi perbandingan antara teori yang
berlaku dengan kenyataannya yang berlaku dalam praktek.
III.METODE PENELITIAN
Bab ini menguraikan tentang metode penelitian yang akan digunakan dalam
penulisan skripsi ini yaitu menjelaskan tentang langkah-langkah yang
digunakan dalam penelitian yang memuat tentang pendekatan masalah, data
dan sumber data, penentuan populasi dan sampel, prosedur pengumpulan data
IV.HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini memuat pokok bahasan mengenai hasil penelitian yang terdiri dari
karakteristik responden, pemidanaan pada pelaku tindak pidana persetubuhan
terhadap anak oleh anggota Polri dan dasar pertimbangan hakim dalam
memberikan putusan pemidanaan pada pelaku tindak pidana persetubuhan
terhadap anak oleh anggota Polri pada wilayah hukum Pengadilan Tinggi
Tanjung Karang.
V. PENUTUP
Bab ini merupakan penutup dari penulisan skripsi yang berisikan secara
singkat hasil pembahasan dari penelitian dan beberapa saran dari peneliti
sehubungan dengan masalah yang dibahas, memuat lampiran-lampiran, serta
saran-saran yang berhubungan dengan penulisan dan permasalahan yang
dibahas bagi aparat penegak hukum yang terkait.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tindak Pidana
1. Pengertian Tindak Pidana
Pengertian tindak pidana yang dimuat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) oleh pembentuk undang- undang sering disebut dengan
strafbaarfeit. Para pembentuk undang- undang tersebut tidak memberikan
penjelasan lebih lanjut mengenai strafbaarfeit itu, maka dari itu terhadap maksud
dan tujuan mengenai strafbaarfeit tersebut sering digunakan oleh pakar hukum
pidana dengan istilah tindak pidana, perbuatan pidana, peristiwa pidana, serta
delik.
Istilah “strafbaar feit” sendiri yang merupakan bahasa Belanda tersebut terdiri
atas tiga kata, yaitu straf yang berarti hukuman (pidana), baar yang berarti dapat
(boleh), dan feit yang berarti tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan. Jadi
istilah strafbaarfeit adalah peristiwa yang dapat dipidana atau perbuatan yang
dapat dipidana.17
17
Menurut Pompe yang dikutip Bambang Poernomo, pengertian Strafbaar feit
dibedakan menjadi :
a. Definisi menurut teori adalah suatu pelanggaran terhadap norma yang
dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk
mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.
b. Definisi menurut hukum positif adalah suatu kejadian/feit yang diancam
pidana.18
Sementara kata “delik” berasal dari bahasa Latin, yakni delictum. Dalam bahasa
Jerman disebut delict, dalam bahasa Prancis disebut delit, dan dalam bahasa
belanda disebut delict. Sementara dalam kamus besar bahasa Indonesia19 arti delik
diberi batasan yaitu : “perbuatan yang dapat dikenakan hukum karena merupakan
pelanggaran terhadap undang-undang; tindak pidana”.
Beberapa pendapat pakar hukum dari barat (Eropa) mengenai pengertian strafbaar
feit, antara lain sebagai berikut:
1. Simons, memberi batasan pengertian strafbaar feit adalah suatu tindakan
melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja oleh seseorang yang
dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-
undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.20
2. Pompe, strafbaar feit adalah suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap
tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun dengan tidak sengaja telah
18
Bambang Poernomo, Pertumbuhan Hukum Penyimpangan di luar KodifikasHukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1997, hlm.86.
Ledeng Marpaung, Asas- Teori- Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm. 7.
20
dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku
tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum.21
3. Hasewinkel Suringa, strafbaar feit yang bersifat umum yakni suatu perilaku
manumur yang pada suatu saat tertentu telah ditolak di dalam suatu pergaulan
hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh
hukum pidana dengan menggunakan sarana- sarana yang bersifat memaksa
yang terdapat didalam undang-undang.22
Beberapa pendapat pakar hukum Indonesia mengenai Strafbaar feit, antara lain
sebagai berikut:
1. Bambang Poernomo, menyatakan bahwa strafbaar feit adalah hukum sanksi.
Definisi ini diberikan berdasarkan ciri hukum pidana yang membedakan dengan lapangan hukum yang lain, yaitu bahwa hukum pidana sebenarnya tidak mengadakan norma sendiri melainkan sudah terletak pada lapangan hukum yang lain, dan sanksi pidana diadakan untuk menguatkan ditaatinya norma-norma di luar hukum pidana.
2. Roeslan Saleh, mengartikan istilah strafbaar feit sebagai suatu perbuatan
yang bertentangan dengan tata atau ketentuan yang dikehendaki oleh hukum,
dimana syarat utama dari adanya perbuatan pidana adalah kenyataan bahwa
ada aturan yang melarang.
3. Moeljatno menerjemahkan istilah “strafbaar feit” dengan perbuatan pidana.
Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu suatu aturan
hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu,
bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut.23
4. Teguh Prasetyo merumuskan bahwa : “Tindak pidana adalah perbuatan yang
oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana.Pengertian perbuatan
21 Ibid
, hlm.35.
22 Ibid, hlm.185. 23
di sini selain perbuatan yang bersifat aktif (melakukan sesuatu yang
sebenarnya dilarang oleh hukum) dan perbuatan yang bersifat pasif (tidak
berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum).
5. Wirjono Prodjodikoro mempergunakan istilah tindak pidana adalah tetap
dipergunakan dengan istilah tindak pidana atau dalam Bahasa Belanda
Strafbaar feit yaitu suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan
hukuman pidana dan pelakunya ini dapat dikatakan merupakan "subyek"
tindak pidana.24
Menurut Wirjono Prodjodikoro, tindak pidana dapat digolongkan 2 (dua)
bagian, yaitu:
1) Tindak pidana materil
Pengertian tindak pidana materil adalah, apabila tindak pidana yang dimaksud
dirumuskan sebagai perbuatan yang menyebabkan suatu akibat tertentu, tanpa
merumuskan wujud dari perbuatan itu.
2) Tindak pidana formil.
Pengertian tindak pidana formal yaitu apabila tindak pidana yang dimaksud,
dirumuskan sebagai wujud perbuatan tanpa menyebutkan akibat yang
disebabkan oleh perbuatan itu.
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Unsur tindak pidana dibedakan dari dua sudut pandang yakni pandangan monistis
dan pandangan dualistis, sebagai berikut:
24
1. Pandangan monistis adalah suatu pandangan yang melihat syarat, untuk
adanya pidana harus mencakup dua hal yakni sifat dan perbuatan.25
Unsur-unsur tindak pidana menurut pandangan monistis meliputi:26
a. Ada perbuatan
b. Ada sifat melawan hukum;
c. Tidak ada alasan pembenar;
d. Mampu bertanggungjawab;
e. Kesalahan;
f. Tidak ada alasan pemaaaf.
2. Pandangan dualistis yaitu pandangan yang memisahkan antara perbuatan
pidana dan pertanggungjawaban pidana. Oleh karena itu, untuk menyatakan
sebuah perbuatan sebagai tindak pidana cukup dengan adanya perbuatan yang
dirumuskan oleh undang-undang yang memiliki sifat melawan hokum tanpa
adanya suatu dsar pembenar.
Unsur- unsur tindak pidana menurut pandangan dualistis meliputi: 27
a. Adanya perbuatan yang mencocoki rumusan delik
b. Ada sifat melawan hokum
c. Tidak ada alasan pembenar
Selanjutnya unsur- unsur pertanggungjawaban pidana meliputi:28
a. Mampu bertanggungjawab
b. Kesalahan
c. Tidak ada alasan pemaaf
Unsur- unsur tindak pidana, antara lain:
1. Ada Perbuatan yang Mencocoki Rumusan Delik
Perbuatan manusia dalam arti luas adalah menenai apa yang dilakukan, apa
yang diucapkan, dan bagaimana sikapnya terhadap suatu hal atau kejadian.
Oleh karena itu, mencocoki rumusan delik yaitu mencocoki unsur-unsur yang
25
Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana, Rangkang Education Yogyakarta & PuKAP- Indonesia, Yogyakarta, 2012, hlm. 38.
26Ibid.,
hlm.43.
27
ada dalam pasal yang didakwakan, termasuk unsure perbuatan maupun
pertanggungjawaban pidananya.
2. Ada Sifat Melawan Hukum
Sifat melawan hukum dapat dibedakan menjadi 4 (empat) jenis, yaitu:
a. Sifat melawan hukum umum
Diartikan sebagai syarat umum untuk dapat dipidana dalam rumusan
pengertian perbuatan pidana. Perbuatan pidana adalah kelakuan manusia
yang termasuk dalam rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat
dicela.
b. Sifat melawan hukum khusus
Sifat melawan hukum yang menjadi bagian tertulis dari rumusan delik
dinamakan: sifat melawan hukum khusus. Juga dinamakan “sifat melawan
hukum facet”.
c. Sifat melwan hukum formal
Istilah ini berarti: semua bagian yang tertulis dari rumusan delik telah
dipenuhi (jadi semua syarat tertulis untuk dapat dipidana).
d. Sifat melawan hukum materil
Berarti melanggar atau membahayakan kepentingan hukum yang hendak
dilindungi oleh pembentuk undang-undang dalam rumusan delik tertentu.
3. Tidak Ada Alasan Pembenar
Alasan pembenar menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, artinya
meskipun perbuatan itu telah memenuhi rumusan delik sebagaimana
ditentukan dalam undang-undang, dengan lain perkataan alasan pembenar
Hal-hal yang dapat menjadi alasan pembenar, antara lain:
a. Daya paksa absolut
Daya paksa absolut diatur dalam Pasal 48 KUHP yang menyatakan bahwa barang siapa melakukan perbuatan karena terpaksa oleh sesuatu kekuasaan yang tidak dapat dihindarkan tidak boleh dihukum. Dalam penjelasanya, Jonkers mengatakan daya paksa dikatakan bersifat absolute jika seseorang tidak dapat berbuat lain. Ia mengalami sesuatu yang sama sekali tidak dapat mengelakkannya dan tidak mungkin memilih jalan lain.
b. Pembelaan terpaksa
Perihal pembelaan terpaksa dirumuskan dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP
sebagai berikut:
“Barangsiapa melakukan perbuatan, yang terpaksa dilakukanya untuk mempertahankan dirinya atau diri orang lain, mempertahankan kehormatan atau harta benda sendiri atau kepunyaan orang lain, dari pada serangan yang melawan hukum hak dan mengancam dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum”.
Pembelaan harus seimbang dengan serangan atau ancaman. Hal ini sesuai
dengan asas keseimbangan.selain itu, juga dianut asas subsidaritas, artinya
untuk mempertahankan kepentingan hukumnya yang terancam pembelaan
itu harus mengambil upaya yang paling rinagn akibatnya bagi orang lain.
c. Menjalankan ketentuan undang-undang
Dasar alasan pembenar karena menjalankan ketentuan undang-undang
dirumuskan dalam Pasal 50 KUHP sebagai berikut:
“Barangsiapa yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang tidak dipidana”.
d. Menjalankan perintah jabatan yang sah
Pasal 51 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut:
“Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana”.
Suatu perintah dikatakan sah, apabila perintah itu berdasarkan tugas,
wewenang, atau kewajiban yang didasarkan kepada suatu peraturan.
Disamping itu, antara orang yang diperintah dengan yang memberi
perintah harus ada hubungan jabatan dan subordinasi.
B. Tindak Pidana Persetubuhan
Perbuatan persetubuhan merupakan tindak pidana kesusilaan, menurut kamus
hukum pengertian kesusilaan diartikan sebagai tingkah laku, perbuatan
percakapan bahwa sesuatu apapun yang berpautan dengan norma-norma
kesopanan yang harus dilindungi oleh hukum demi terwujudnya tata tertib dan
tata susila dalam kehidupan bermasyarakat.29
Pengertian persetubuhan menurut R. Soesilo adalah perpaduan antara kelamin
laki-laki dan kelamin perempuan yang biasanya dijalankan untuk mendapatkan
anak, jadi anggota kemaluan laki-laki harus masuk ke dalam anggota kemaluan
perempuan sehingga mengeluarkan air mani.30
Persetubuhan diatur dalam KUHP Buku II dengan Titel tindak pidana kesusilaan.
Dalam Pasal 285 KUHP dirumuskan bahwa :
“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar pernikahan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.
Selanjutnya pasal yang mengatur masalah persetubuhan adalah Pasal 286 KUHP,
yang mengatur sebagai berikut:
“Barangsiapa bersetubuh dengan seseorang wanita di luar pernikahan, padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”.
Pasal berikutnya adalah Pasal 287 KUHP yang korbannya disyaratkan adalah
anak yang belum berusia 15 tahun dan antara korban dan pelaku tidak terdapat
hubungan pernikahan.
Selain pasal-pasal di atas, pasal berikutnya yang mengatur masalah persetubuhan
adalah Pasal 288 KUHP, yang menyatakan bahwa dimana korban dan pelaku
tidak terikat oleh hubungan pernikahan atau merupakan suami istri, korban harus
berusia belum 15 tahun dan karena persetubuhan tersebut korban menderita
luka-luka, luka berat ataupun meninggal dunia.
Tindak pidana persetubuhan terhadap anak lebih khusus diatur dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam undang-
undang tersebut, pengaturan tentang persetubuhan terhadap anak diatur dalam
Pasal 81, yang menentukan bahwa:
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan,memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan
orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi
setiap orang yang dengan segaja melakukan tipu muslihat, serangkaian
kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya
atau orang lain.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 diatas dan pasal yang ada dalam KUHP
terlihat adanya rumusan baru tentang persetubuhan terhadap anak, yaitu
memasukkannya unsur tipu muslihat dan serangkaian kebohongan pada dasarnya
merupakan sesuatu yang bersifat menipu atau isinya tidak benar, namun
menimbulkan kepercayaan bagi orang lain. Sekilas orang menganggap bahwa
antara tipu muslihat dan serangkaian kebohongan adalah satu hal yang sama,
namun sebenarnya keduanya memiliki perbedaan yang prinsipil, yaitu dalam tipu
muslihat lebih diartikan kepada perbuatan yang menimbulkan kepercayaan pada
sesuatu yang sebenarnya tidak benar. Sementara serangkaian kebohongan lebih
diartikan kepada perkataan- perkataan pelaku. Dalam rangkaian kebohongan ini
terdapat tiga unsur, yaitu:
a. Perkataan yang isinya tidak benar;
b. Lebih dari satu kebohongan;
C. Pengertian Anak
Anak dipahami sebagai individu yang belum dewasa. Dewasa dalam arti anak
belum memiliki kematangan rasional, emosional, moral, dan sosial seperti orang
dewasa pada umumnya.
Beberapa pengertian tentang anak yang dikatakan belum dewasa:
1. Pengertian anak menurut Hukum Pidana. KUHP tidak merumuskan secara
eksplisit tentang pengertian anak, tetapi dapat dijumpai antara lain pada Pasal
45 dan Pasal 72 yang memakai batasan usia maksimal adalah 16 (enam belas)
tahun. Pasal ini sudah tidak berlaku lagi karena pasal ini telah dicabut oleh
Undang- undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang pengadilan anak.
2. Pengertian anak menurut Hukum Perdata. Dalam Kitab Undang Hukum
Perdata Pasal 330 ayat (1) didefenisikan bahwa anak yang belum dewasa
adalah anak yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan pernah
kawin sebelumnya.
3. Pengertian anak menurut Hukum Islam. Dalam hukum Islam batasan anak di
bawah umur terdapat perbedaan penentuan. Seseorang yang dikatakan baliq
atau dewasa apabila telah memenuhi satu dari sifat di bawah ini :
a. Telah berumur 15 (lima belas) tahun;
b. Telah keluar air mani bagi laki-laki;
c. Telah datang haid bagi perempuan;
batasan itu berdasarkan hitungan usia, tetapi sejak ada tanda- tanda perubahan
badaniah baik bagi anak laki- laki, demikian pula bagi anak perempuan.
Menurut Hukum Islam, anak disebut orang yang belum baliq atau belum
Selanjutnya beberapa pengertian beberapa pengertian anak menurut peraturan
perundang- undangan yang berlaku di Indonesia mengenai anak, sebagai berikut :
1. Di dalam Undang- undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
pengertian anak tercantum dalam Pasal 1 angka 1 yang menyatakan bahwa :
“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan.”
2. Di dalam Undang- undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, pengertian anak tercantum dalam Pasal 1 angka 1 sebagai berikut : ”Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (Delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan
belum pernah kawin”.31 Selanjutnya Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan
bahwa batas bahwa usia anak yang bisa dimintai pertanggungjawaban pidana adalah 12 tahun. Usia 12 tahun secara relatif sudah memiliki kecerdasan emosional, dan intelektual yang stabil sesuai psikologi anak dan budaya bangsa Indonesia. Karenanya, batas umur 12 tahun lebih menjamin hak anak untuk tumbuh berkembang dan mendapatkan perlindungan sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) Undang- Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
3. Di dalam Undang- undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak,
pengertian anak tercantum dalam Pasal 1 angka 2 sebagai berikut : Anak
adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan
belum pernah menikah.
4. Menurut Undang- undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia.Anak didefinisikan dalam Pasal 1 angka 5 bahwa anak adalah setiap
manusia yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah,
termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi
kepentingannya.
5. Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1988 tentang Usaha Kesejahteraan Anak
bagi anak yang mempunyai masalah. Menurut ketentuan ini, anak adalah
seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.
6. Pengertian anak menurut kenvensi tentang hak-hak anak ( Convention on The
Right of The Child) Pengertian anak menurut konvensi ini, tidak jauh berbeda
dengan pengertian anak menurut beberapa perundang- undangan lainnya.
Anak menurut konvensi hak anak sebagai berikut :
“anak adalah setiap manusia di bawah umur 18 (delapan belas) tahun kecuali menurut undang- undang yang berlaku pada anak. Kedewasaan dicapai lebih awal”. Sedangkan pengertian anak sebagai korban kejahatan adalah anak yang menderita mental, fisik, dan sosial akibat perbuatan jahat (tindak pidana menurut Kitab Undang- Undang Hukum Pidana) orang lain mencari pemenuhan kepentingan diri yang bertentangan dengan hak dan kewajiban pihak korban misalnya menjadi korban perlakuan salah, penelantaran, perdagangan anak, pelacuran, penganiayaan, pemerkosaan dan sebagainya oleh ibu, bapak, dan saudaranya serta anggota masyarakat disekitarnya”.
Dengan demikan apabila ditinjau dari berbagai pengertian di atas, anak diartikan
sebagai orang yang belum dewasa, orang yang belum berusia 18 tahun dan belum
menikah termasuk dalam kandungan.32
Ada beberapa peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum
perlindungan anak, yaitu :
1. Konvensi Hak Anak (Convention on The Right of The Child). Hak anak merupakan bagian integral dari hak asasi manusia dan konvensi hak anak merupakan instrumen internasional. Konvensi hak anak merupakan instrumen yang berisi rumusan prinsip- prinsip universal dan ketentuan norma hukum mengenai hak-hak anak yang merupakan sebuah perjanjian internasional mengenai hak asasi manusia yang memasukkan unsur-unsur hak-hak sipil, politik serta hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.
2. Menurut Pasal 1 angka 2 Undang- undang Nomor 23 Tahun 2002 juncto Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
anak dan hak- haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.33
Ketentuan pidana dalam Undang-Undang Perlindungan Anak diatur dalam Bab
XII yaitu mulai Pasal 77 sampai dengan Pasal 90.
D. Pengertian Pemidanaan
Pemidanaan ialah suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh
hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar undang- undang hukum
pidana.
Ada tiga teori pemidanaan yang dikenal dalam hukum pidana yaitu : 34
1. Teori Absolut atau Teori Pembalasan
Teori ini memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan sehingga berorientasi pada perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori ini mengedepankan bahwa sanksi dalam hukum pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan sesuatu kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga sanksi bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan.
2. Teori Utilitarian (Teori Relatif atau Teori Tujuan)
Berdasarkan teori ini bahwa pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku tetapi sarana mencapai tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat. Sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan, maka bukan bertujuan untuk pemuasan absolut atas keadilan. Dari teori ini muncul tujuan pemidanaan yang sebagai sarana pencegahan, baik pencegahan khusus yang ditujukan kepada pelaku maupun pencegahan umum yang ditujukan kemasyarakat.
Teori relatif berasas pada 3 (tiga) tujuan utama pemidanaan yaitu preventif, detterence, dan reformatif. Tujuan preventif (prevention) untuk melindungi masyarakat dengan menempatkan pelaku kejahatan terpisah dari masyarakat. Tujuan menakuti (detterence) untuk menimbulkan rasa takut melakukan kejahatan yang bisa dibedakan untuk individual, publik dan jangka panjang.
Bambang Waluyo,Viktimologi Perlindungan Saksi Dan Korban, Sinar Grafika: Jakarta, 2011, hlm.7
Ada dua macam prevensi yang dikenal yaitu prevensi khusus dan prevensi umum. Keduanya berdasarkan atas gagasan, bahwa sejak mulai dengan ancaman akan pidana sampai kemudian dengan dijatuhkannya pidana, orang akan takut menjalankan kejahatan. Dalam prevensi khusus, suatu hukuman atau ancaman pidana ditujukan kepada si penjahat agar si penjahat tajut melakukan kejahatan, sedangkan dalam prevensi umum suatu hukuman atau ancaman pidana dimaksudkan agar semua oknum takut melakukan kejahatan.
3. Teori Gabungan
Teori Gabungan, pertama kali diajukan oleh Pellegrino Rossi (1787-1884). Teori ini memandang bahwa tujuan pemidanaan bersifat plural, karena menggabungkan antara prinsip-prinsip relatif (tujuan) dan retributif sebagai satu kesatuan. Teori ini bercorak ganda, dimana pemidanaan mengandung karakter retributif sejauh pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik moral dalam menjawab tindakan yang salah. Sedangkan karakter utilitariannya terletak pada ide bahwa tujuan kritik moral tersebut ialah suatu reformasi atau perubahan perilaku terpidana di kemudian hari.
E. Tinjauan Umum Tentang Polri
Dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia dalam Pasal 1 ayat(1) dijelaskan bahwa Kepolisian adalah segala
hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Istilah kepolisian dalam Undang-undang ini mengandung
dua pengertian, yakni fungsi polisi dan lembaga polisi. Dalam Pasal 2
Undang-undang No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, fungsi
kepolisian sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara dibidang pemeliharaan
keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, pelindung, pengayom
dan pelayan kepada masyarakat. Sedangkan lembaga kepolisian adalah organ
pemerintah yang ditetapkan sebagai suatu lembaga dan diberikan kewenangan
menjalankan fungsinya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya Pasal 5 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat Negara yang
berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,
menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan
dalam negeri.
(2) Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional yang
merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
Dari tugas-tugas polri tersebut dapat dikemukakan bahwa pada dasarnya tugas
polri ada dua yaitu tugas untuk memelihara keamanan, ketertiban, menjamin dan
memelihara keselamatan negara, orang, benda dan masyarakat serta
mengusahakan ketaatan warga Negara dan masyarakat terhadap peraturan negara.
Tugas ini dikategorikan sebagai tugas preventif dan tugas yang kedua adalah tugas
represif. Tugas ini untuk menindak segala hal yang dapat mengacaukan keamanan
III. METODE PENELITIAN
Upaya untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam melakukan penelitian
dibutuhkan metode ilmiah yang merupakan suatu cara yang digunakan dalam
pelaksanaan suatu penelitian untuk mendapatkan data yang objektif dan akurat,
dalam mengolah dan menyimpulkan serta memecahkan suatu masalah.
Dalam melakukan kegiatan penelitian, penulis melakukan kegiatan yang terdiri
dari beberapa langkah, yaitu :
A. PendekatanMasalah
Upaya menganalisa permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini, penulis
melakukan dua pendekatan masalah yaitu pendekatan yuridis normatif dan
pendekatan yuridis empiris guna untuk mendapaatkan suatu hasil penelitian yang
benar dan objektif.
1. Pendekatan Yuridis Normatif
Pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan dengan cara studi kepustakaan
(library research) yaitu menelaah kaidah-kaidah hukum, peraturan,
undang-undang, dan berbagai literatur yang kemudian dibaca, dikutip dan dianalisis.
2. Pendekatan Yuridis Empiris
Pendekatan yuridis empiris yaitu pendekatan dengan meneliti serta
mengumpulkan data primer yang telah diperoleh secara langsung melalui
observasi dan wawancara dengan responden atau narasumber ditempat objek
penelitian yang berhubungan dengan permaslahan yang akan dibahas dalam
penelitian ini.36
B. Sumber dan Jenis Data
Jenis data dapat dilihat dari sumbernya, dapat dibedakan antara data yang
diperoleh langsung dari masyarakat dan data yang diperoleh dari bahan pustaka.
Data yang dipergunakan dalam penelitian ini bersumber pada dua jenis, yaitu:
1. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari hasil penelitian di
lapangan yang berkaitan dengan pokok penulisan, yang diperoleh melalui
kegiatan wawancara langsung dengan informan atau narasumber.
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh penulis
melalui penelusuran literatur atau kepustakaan, peraturan
perundang-undangan, buku-buku, dokumen-dokumen, arsip-arsip yang berhubungan
dengan pokok materi pembahasan yang terdiri dari:
Data sekunder terdiri dari 3 (tiga) bahan hukum, yaitu :
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mengikat sifatnya.Dalam
penelitian ini, bahan hukum primer yang digunakan adalah :
1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 juncto Undang-UndangNomor
73 Tahun1958 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP).
2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana(KUHAP)
3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak
5) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang erat hubungannya
dengan bahan hukum primer dan dapat membantu dalam menganalisa
serta memahami bahan hukum primer, seperti literatur dan norma-norma
hukum yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dalam skripsi
ini.Bahan hukum sekunder penelitian ini yaitu Putusan Pengadilan Tinggi
Tanjung Karang Nomor: 11/Pid./2015/PT.TJK.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan yang berguna untuk memberikan
informasi, petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
massa, artikel, majalah, paper, jurnal, yang berkaitan dengan masalah yang
dibahas dalam skripsi ini.
C. Penentuan Narasumber
Metode penentuan sample menggunakan metode purposive sampling. Metode
purposive sampling adalah suatu metode pengambilan sample yang dalam
penentuan dan pengambilan anggota sample berdasarkan atas pertimbangan
maksud dan tujuan penelitian.
Narasumber adalah orang yang member informasi yang kita inginkan. Kita dapat
memberikan tanggapan terhadap informasi yang diberikan narasumber dalam
penelitian ini yang menjadi penentuan narasumber adalah sebagai berikut :
a. Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang = 1 (satu) orang
b. Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung = 1 (satu) orang
c. Dosen bagian Hukum Pidana Universitas Lampung = 1 (satu) orang
Jumlah = 3 (tiga) orang
D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data
1. Prosedur Pengumpulan Data
Untuk melengkapi data guna pengujian penelitian ini, digunakan prosedur
pengumpulan data yang terdiri dari :
a. Data Sekunder
Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara mengadakan studi
mempelajari, mengutip, dan menelaah literatur-literatur maupun peraturan
perundang-undangan, serta bahan hukum lainnya yang menunjang dan
berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas.
b. Data Primer
Pengumpulan data primer dilakukan melalui riset langsung di lapangan atau
studi lapangan yang dilakukan melalui :
1) Observasi (pengamatan)
Observasi adalah pengumpulan data secara langsung terhadap objek
penelitian, untuk memperoleh data yang benar dan objektif dilakukan
penelitian di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Pengadilan Negeri
Tanjung Karang, dan dosen bagian hukum pidana.
2) Wawancara (interview)
Pengumpulan data dengan mengadakan wawancara secara langsung
dengan menggunakan daftar pertanyaan yang bersifat terbuka dimana
wawancara tersebut dilakukan terhadap pihak-pihak yang berkaitan
dengan permasalahan dalam penelitian ini antara lain dengan Jaksa pada
Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Hakim pada Pengadilan Negeri
Tanjung Karang dan dosen bagian hukum pidana yang dapat memberikan
penjelasan yang berkaitan dengan permaslahan dalam penelitian.
2. Prosedur Pengolahan Data
Setelah data terkumpul, baik studi kepustakaan maupun studi lapangan, maka data
1) Editing data, yaitu memeriksa lagi kelengkapan, kejelasan, dan relevansi
dengan penelitian.
2) Klasifikasi data, yaitu mengklasifikasikan/mengelompokkan data yang
diperoleh menurut jenisnya untuk memudahkan dalam menganalisis data.
3) Sistematisasi data, yaitu melakukan penyusunan dan penempatan data pada
setiap pokok secara sistematis sehingga mempermudah interpretasi data dan
tercipta keteraturan dalam menjawab permasalahan.
E. Analisis Data
Data yang diperoleh, baik secara data primer maupun data sekunder diuraikan dan
dianalisis secara kualitatif yang artinya hasil penelitian ini dideskripsikan dalam
bentuk penjelasan dan uraian kalimat-kalimat yang mudah dibaca dan dimengerti
untuk di interpretasikan dan ditarik kesimpulan mengenai pertimbangan hakim
dalam menjatuhkan putusan pemidanaan pada pelaku tindak pidana persetubuhan
terhadap anak oleh anggota Polri. Dari hasil analisis dilanjutkan dengan menarik
kesimpulan induktif, yaitu cara berfikir dalam mengambil kesimpulan secara
umum yang didasarkan atas fakta-fakta yang bersifat khusus dan selanjutnya dari