• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PEMIDANAAN PADA PELAKU TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN TERHADAP ANAK OLEH ANGGOTA POLRI (STUDI PUTUSAN: NO.11/Pid/2015/PT.Tjk)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS PEMIDANAAN PADA PELAKU TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN TERHADAP ANAK OLEH ANGGOTA POLRI (STUDI PUTUSAN: NO.11/Pid/2015/PT.Tjk)"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

ANALISIS PEMIDANAAN PADA PELAKU TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN TERHADAP ANAK OLEH ANGGOTA POLRI

(STUDI PUTUSAN: NO.11/Pid/2015/PT.Tjk)

Oleh

Yoya Aktiviany Nalamba

Tindak pidana persetubuhan terhadap anak oleh anggota Polri yang seharusnya menjadi sosok yang melindungi dan mengayomi serta bertanggung jawab atas perlindungan terhadap masyarakatnya, hal itu dapat dilihat dalam putusan perkara Nomor 11/Pid/2015/PT.Tjk. dalam kasus tersebut, terdakwa Adi Utami bin Supardi dinyatakan dengan sengaja melakukan persetubuhan dengannya atau orang lain yakni Nuri Fauziah binti M.Yono yang berumur 17 tahun. Permasalahannya adalah bagaimanakah pemidanaan pada pelaku tindak pidana persetubuhan terhadap anak oleh anggota Polri (studi putusan Nomor 11/Pid/2015/PT.Tjk) dan apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan pada pelaku tindak pidana persetubuhan terhadap anak oleh anggota Polri (studi putusan Nomor 11/Pid/2015/PT.Tjk).

Penelitian digunakan dengan pendekatan secara yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Sumber dan jenis data dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dari studi lapangan dengan melakukan wawancara terhadap Hakim, Jaksa, dan Dosen bagian Pidana Fakultas Hukum. Data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan.

(2)

Yoya Aktiviany Nalamba

menjatuhkan pidana pada pelaku tindak pidana persetubuhan terhadap anak oleh anggota Polri menggunakan teori keseimbangan, teori pendekatan seni dan intuisi, teori pendekatan pengalaman dan teori ratio decidendi serta dilihat dengan teori

keadilan.

Adapun saran yang diberikan penulis adalah mengenai pola pemidanaannya perlu dikaji lebih mendalam terhadap pelaku tindak pidana persetubuhan terhadap anak yang dilakukan anggota Polri, sehingga pelaku dan korban mendapatkan rasa keadilan yang seadil-adilnya. Dan hakim dalam mempertimbangkan putusan pemidanaan harus lebih memberatkan pidana terhadap terdakwa, mengingat bahwa terdakwa adalah seorang anggota Polri yang seharusnya memberikan keamanan, pengayoman, dan perlindungan serta cerminan kepada masyarakatnya.

(3)

ANALISIS PEMIDANAAN PADA PELAKU TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN TERHADAP ANAK OLEH ANGGOTA POLRI

(Studi Putusan No. 11/Pid./2015/PT.Tjk Tahun 2015)

Oleh

YOYA AKTIVIANY NALAMBA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)
(5)
(6)

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

“Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa skripsi ini telah ditulis dengan sungguh-sungguh dan tidak merupakan penjiplakan hasil karya orang lain. Apabila dikemudian hari terbukti bahwa pernyataan ini tidak benar maka saya sanggup menerima hukuman sanksi sesuai peraturan yang berlaku.”

Bandar Lampung, 18 Februari 2016 Penulis

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung, pada Tanggal 19 Februari 1994, yang merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, dari kasih sayang Ibundaku Dra. Yuantini dan Ayahandaku Busroni,BAE (Alm)

(8)

PERSEMBAHAN

Dengan mengucap puji syukur kepada Allah SWT

Kupersembahkan karya sederhana ini melalui jerih payah ku kepada:

Bundaku Yuantini & Ayahku Busroni (Alm)

Atas segala curahan cinta, kasih sayang, doa serta pengorbanan yang takkan pernah terbalas

demi keberhasilan dan kesuksesanku.

Semoga Allah SWT membalas semua tetes keringat, air mata dan doa dalam setiap wujudnya

dengan kebahagian di dunia dan di akhirat.

Adik- adikku Yosela dan Yonada

senantiasa menemaniku dengan keceriaan dan kasih sayang serta akan menjadi imam ku kelak.

Almamaterku tercinta

(9)

MOTO

Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu

sendiri dan jika kamu berbuat jahat maka kejahatan itu untuk dirimu

sendiri.

(QS.Al-Isra’:7)

Sukses tidak perlu mengejar kesempurnaan, karena sukses itu menurut

apa yang anda pikirkan.

(10)

SANWACANA

Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji syukur selalu penulis panjatkan kepada Allah

SWT, atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul “Analisis Pemidanaan Pada Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap Anak Oleh Anggota Polri (Studi Putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang No.11/Pid./2015/PT.Tjk)” sebagai salah satu syarat mencapai gelar sarjana di Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan, bantuan, petunjuk dan saran dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih yang tulus dari lubuk hati yang paling dalam kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung

2. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung dan selaku Dosen Pembahas I yang telah memberikan kritikan, koreksi dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini.

3. Ibu Firganefi, S.H.,M.H., Sekretaris Jurusan Hukum Pidana

(11)

5. Bapak Eko Raharjo, S.H., M.H selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan masukan-masukan, ilmu-ilmu yang bermanfaat, dan saran-saran selama proses perkuliahan dan khususnya dalam penulisan skripsi ini sehingga skripsi ini dapat terselesaikan..

6. Ibu Rini Fatonah, S.H., M.H selaku Dosen Pembahas II yang telah memberikan ilmu-ilmu yang bermanfaat, kritikan, masukan dan saran selama proses perkuliahan dan khususnya dalam penulisan skripsi ini sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

7. M. Rama Erfan, Nirmala Dewita, dan Erna Dewi yang telah menjadi narasumber-narasumber, memberikan izin penelitian, membantu dalam proses penelitian untuk penyusunan skripsi ini.

8. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah mendidik, menempa, dan memberikan ilmu-ilmu yang bermanfaat kepada penulis selama kuliah di Fakultas Hukum Universitas lampung.

9. Teristimewa dan terkhusus kepada kedua orang tuaku tercinta Dra. Yuantini dan H. Busroni,BAE (Alm) yang telah merawat, membimbing, mendidik, dan menyayangiku dari dalam kandungan sampai kapanpun agar penulis dapat menggapai sukses di dunia tanpa meninggalkan dan melupakan akhirat. Skripsi ini adalah persembahan pertama dari putri kalian, semua ini tiada sebanding dengan perjuangan dan pengorbanan yang kalian berikan selama ini, mudah-mudahan ini menjadi langkah awal bagi putri kalian untuk membalas budi baik yang sangat besar yang telah kalian berikan selama ini, Amin.

(12)

mewujudkan cita-cita dan harapan sehingga dapat membanggakan bagi mereka berdua.

11. Seluruh keluarga besarku ( yayik dan oma ) yang telah memberikan doa, dan motivasi, agar penulis dapat menyelesaikan kuliah di Universitas Lampung. 12. Tante ku maksu Ricca Yulisnawati, yang selalu memberikan semangat serta saran

yang berguna dalam penulisan ini.

13. Saudara-saudaraku:ses vira, bang dio, cici anca, zia, raqila yang selalu menjadikan motivasi serta memberikan semangat.

14. Sahabat-Sahabatku di kampus Tira Cakra Indira, Sonya Putri Octavia, Siti Dwi Karuniati, dan Riski Aulia semoga kita akan sukses di masa mendatang dan dapat menjadi wanita-wanita hebat di Indonesia dan Internasional, semoga Allah SWT selalu memberikan jalan dan hidayah pada kita dan persahabatan ini tidak akan ada akhirnya.

15. Teman- teman Geng NPM akhir, Teki, Alam, Udin, Rito, Ryo, Wailim, Samuel, Yudha. Terima kasih atas persahabatan, dukungan, dan bantuan selama ini. 16. Teman-teman seperjuanganku, Redo, Fransiska, Occa, dan semua teman-teman

Angkatan 2012 Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tidak dapat penulis sebutkan semuanya. Terima kasih atas pertemanan yang terjalin selama ini. 17. Teman-teman SMP ku Annisya Trivia Utari, Tias Syahputri, Sevi Edelweis,

Indah Iftinandari M. Terima kasih telah menjadi sahabat ku sejauh ini. Semoga pertemanan kita akan terus berjalan sampai kapanpun.

(13)

19. Untuk Almamater Tercinta, Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah menjadi saksi bisu dari perjalanan ini hingga menuntunku menjadi orang yang lebih dewasa dalam berfikir dan bertindak. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, penulis mengucapkan banyak terima kasih.

Semoga Allah SWT memberikan balasan atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk menambah wawasan keilmuan bagi pembaca pada umumnya dan bagi penulis pada khususnya.

Bandar Lampung, 18 Februari 2016

Penulis,

(14)

DAFTAR ISI

Halaman I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pemasalahan dan ruang Lingkup ... 6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 8

E. Sistematika Penulisan ……….. 16

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana ... 18

B. Tindak Pidana Persetubuhan ... 25

C. Pengertian Anak ... 28

D. Pengertian Pemidanaan ... 31

E. Tinjauan Umum Tentang Polri ….………... 32

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 34

B. Sumber dan Jenis Data ... 35

C. Penentuan Narasumber ... 37

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 37

(15)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.Karakteristik Responden ………..40 B.Gambaran Umum Putusan Nomor: 11/Pid/2015/PT.Tjk ……….41 C.Pemidanaan pada Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan terhadap Anak

oleh Anggota Polri (Studi Putusan No: 11/Pid/2015/PT.Tjk) ………..………44 D.Dasar Pertimbangan Hakim dalam Memberikan Putusan Pemidanaan

pada Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan terhadap Anak oleh Anggota

Polri (Studi Putusan No: 11/Pid/2015/PT.Tjk)………..55

V. PENUTUP

A. Simpulan ………...68 B. Saran ……….69

DAFTAR PUSTAKA

(16)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan masyarakat merupakan suatu gejala yang biasa dan bersifat umum

serta merupakan proses penyesuaian masyarakat terhadap kemajuan jaman.

Perkembangan tersebut membawa dampak yang luar biasa yang dapat dirasakan

oleh seluruh anggota masyarakat tersebut termasuk tuntutan hidup, namun tidak

dapat dilupakan juga bahwa di sisi lain dari kemajuan yang ditimbulkan akan

membawa dampak yang buruk terhadap manusia jika semuanya itu tidak

ditempatkan tepat pada tempatnya.

Tindak Pidana yang terjadi bukan saja menyangkut tindak pidana terhadap nyawa,

dan harta benda saja melainkan juga terhadap kesusilaan. Tindak pidana

kesusilaan menurut kamus hukum pengertian kesusilaan diartikan sebagai tingkah

laku, perbuatan percakapan bahwa sesuatu apapun yang berpautan dengan

norma-norma kesopanan yang harus dilindungi oleh hukum demi terwujudnya tata tertib

dan tata susila dalam kehidupan bermasyarakat.1 Kelainan dalam melakukan

hubungan seks ini dalam konsep ilmu kejiwaan dapat digolongkan kepada

abnormalitas seksual (patologi seks). Terjadinya patologi seksual ini karena

individu tidak dapat memenuhi penyalurannya secara wajar.

(17)

Salah satu bentuk tindak pidana yang sangat merugikan dan meresahkan

masyarakat adalah tindak pidana kesusilaan berupa persetubuhan yang dilakukan

terhadap anak. Perkembangan jaman dan kebutuhan akan perlindungan anak yang

semakin besar, memerlukan pemikiran yang lebih akan hak-hak anak, karena di

tangan merekalah, masa depan bangsa tersandang. Dalam menyiapkan generasi

penerus bangsa, anak merupakan aset utama. Tumbuh kembang anak sejak dini

merupakan tanggung jawab keluarga, masyarakat dan negara. Namun tidak dapat

dipungkiri oleh berbagai faktor, baik biologis, sosial, ekonomi maupun kultur,

yang menyebabkan tidak terpenuhinya hak-hak anak.

Untuk kasus tindak pidana kesusilaan yang dilakukan terhadap anak sekarang ini,

modus operandinya pun beraneka ragam, ada yang menggunakan cara membujuk

korban diberi sejumlah uang, membelikan sesuatu yang diinginkan korban atau

memberikan sesuatu yang sangat diharapkan, menjanjikan sesuatu, bahkan

memberikan ancaman yang mungkin ditakuti oleh anak. Dengan modus-modus

tersebut pelaku kemudian melakukan tindak pidana kesusilaan tersebut di tempat

yang dirasa aman bagi pelaku.

Persetubuhan terhadap anak lebih khusus diatur dalam Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak) untuk

melindungi korbannya diatur dalam Pasal 81 yang menentukan bahwa:

(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman

kekerasan,memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan

orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)

(18)

300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp

60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi

setiap orang yang dengan segaja melakukan tipu muslihat, serangkain

kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya

atau orang lain.

Masyarakat harus perlu lebih jeli dan peka terhadap lingkungan, bahwa tindak

pidana dapat dilakukan oleh siapapun dan terhadap siapapun. Salah satu contoh

tindak pidana persetubuhan yang dilakukan oleh oknum anggota polri, yang

dimana seharusnya menjadi sosok yang melindungi dan mengayomi masyarakat

di lingkungan masyarakat serta bertanggung jawab atas perlindungan terhadap

masyarakat. Namun dengan keadaan yang abnormal, seorang oknum anggota polri

ini melampiaskan nafsu kelaminnya terhadap warga sipil yang seharusnya

mendapatkan rasa aman dari oknum anggota polri.2

Pasal 421 KUHP menyebutkan: “Seorang pejabat yang menyalahgunakan

kekuasaan memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan atau

membiarkan sesuatu, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun 8

(delapan) bulan”.

Pejabat yang dimaksud adalah oknum anggota polri yang melakukan tindak

pidana persetubuhan terhadap anak dengan tipu muslihat dan serangkaian

kebohongan terhadap korban. Sebagai contoh kasus persetubuhan yang terjadi di

kota Bandar lampung yaitu terjadinya persetubuhan yang dilakukan oleh oknum

(19)

oleh jaksa penuntut umum dengan pidana 7 tahun yang telah melakukan tindak

pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang RI No. 23

tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri

Tanjung Karang Nomor: 965/Pid.B/2014/PN.Tjk, terdakwa oleh hakim

dinyatakan bersalah dan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan

tindak pidana “dengan sengaja membujuk anak untuk melakukan persetubuhan

dengannya”. Di persidangan Pengadilan Negeri, majelis hakim tingkat pertama

menjatuhkan pidana penjara 5 tahun terhadap terdakwa dan berdasarkan hasil di

pesidangan Pengadilan Tinggi, majelis hakim menjatuhkan pidana penjara 4

tahun.

Kronologis singkat dari perkara tersebut yaitu terdakwa adalah oknum anggota

polri, dimana korban yang merupakan kekasih terdakwa yang bernama Nuri

Fauziah berumur 17 tahun yang dikenalnya lewat facebook melakukan

persetubuhan pertama di bulan Juni 2013 dan kedua di bulan Agustus 2013

dengan memaksa dan serangkaian kebohongan yang akan bertanggungjawab atas

perbuatannya. Dan hasil visum et repertum tanggal 29 januari 2014 bahwa selaput

dara Nuri Fauziah robek lama arah jarum jam satu, jam tiga, jam lima sampai

dasar, arah jam tujuh, jam Sembilan, jam sebelas tidak sampai dasar. Liang

kemaluan dapat dilewati satu jari tanpa sakit.

Tindak pidana terhadap anak harus diantisipasi dengan memfungsikan instrumen

hukum pidana secara efektif melalui penegakan hukum dengan cara

mengupayakan penanggulangan terhadap perilaku yang melanggar hukum yang

(20)

Salah satu dari pelaksanan hukum yaitu hakim diberi wewenang oleh

undang-undang untuk menerima, memeriksa serta memutus suatu perkara pidana. Oleh

karena itu hakim dalam menangani suatu perkara harus dapat berbuat adil.

Seorang hakim dalam memberikan putusan kemungkinan dipengaruhi oleh hal

yang ada pada dirinya dan sekitarnya karena pengaruh dari faktor agama,

kebudayaan, pendidikan, nilai, norma, dan sebagainya sehingga dapat

dimungkinkan adanya perbedaan cara pandang yang mempengaruhi pertimbangan

dalam memberikan keputusan.

Putusan dari hakim merupakan sebuah hukuman bagi terdakwa pada khususnya

dan menjadi sebuah hukum yang berlaku luas apabila menjadi sebuah

yurisprudensi tetap yang akan diikuti oleh para hakim selanjutnya dan menjadi

pedoman bagi masyarakat, yaitu putusan hakim yang mengandung 2 (dua) unsur

sekaligus, yaitu merupakan penyelesaian atau pemecahan suatu peristiwa konkret

dan merupakan peraturan hukum untuk waktu mendatang.3

Pemidanaan seharusnya memberikan sanksi yang setimpal bagi pelaku kejahatan

tersebut sehingga supremasi hukum benar-benar ditegakkan dan tercipta

ketertiban dalam masyarakat. Disamping itu, sanksi tersebut diharapkan

memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan sehingga tidak akan mengulangi

perbuatannya dimasa mendatang serta mencegah orang lain agar tidak melakukan

kejahatan tersebut karena suatu ancaman sanksi yang cukup berat.

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, penulis tertarik untuk melakukan

penelitian dalam bentuk skripsi berjudul “Analisis Pemidanaan pada Pelaku

(21)

Tindak Pidana Persetubuhan terhadap Anak oleh Anggota Polri (Studi Putusan

Nomor 11/Pid/2015/PT.Tjk)”

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang di atas, maka

yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah:

a. Bagaimanakah pemidanaan pada pelaku tindak pidana persetubuhan terhadap

anak oleh anggota Polri (Studi Putusan 11/Pid/2015/PT.Tjk) ?

b. Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan

pada pelaku tindak pidana persetubuhan terhadap anak oleh anggota Polri

(Studi Putusan 11/Pid/2015/PT.Tjk) ?

2. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dari penelitian ini adalah kajian bidang hukum pidana pada

umumnya dan khususnya mengenai analisis pemidanaan pada pelaku tindak

pidana persetubuhan terhadap anak oleh anggota Polri (studi putusan

11/Pid/2015/PT.Tjk). Penelitian ini akan dilakukan pada lingkup wilayah hukum

(22)

C. Tujuan dan Kegunaan penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui :

a. Pemidanaan pada pelaku tindak pidana persetubuhan terhadap anak oleh

anggota Polri pada Putusan Nomor 11/Pid/2015/PT.Tjk.

b. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan pada

pelaku tindak pidana persetubuhan terhadap anak oleh anggota Polri pada

Putusan Nomor 11/Pid/2015/PT.Tjk.

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Kegunaan teoritis, yaitu berguna sebagai sumbangan pemikiran dalam upaya

pemahaman wawasan di bidang ilmu hukum pidana, khususnya mengenai

pemidanaan pada pelaku tindak pidana persetubuhan terhadap anak oleh

anggota Polri.

b. Kegunaan praktis, yaitu memberikan pengetahuan dan informasi yang

bermanfaat bagi masyarakat mengenai tindak pidana persetubuhan yang

dilakukan oleh anggota Polri dan untuk dipergunakan bagi pihak-pihak yang

berkepentingan sebagai wawasan serta untuk memberikan sumbangan ilmu

pengetahuan dan sebagai referensi bagi para pihak yang ingin meneliti

(23)

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah teori-teori yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran

atau kerangka acuan yang pada dasarnya untuk mengadakan identifikasi terhadap

dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.4

1. Teori Pemidanaan

Pidana pada hakikatnya hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan, maka untuk

itu petama-tama merumuskan tentang tujuan pemidanaan. Dalam mengidentifikasi

tujuan pemidanaan ini, bertolak dari keseimbangan 2 (dua) sasaran pokok, yaitu

perlindungan masyarakat dan perlindungan atau pembinaan individu pelaku

tindak pidana.

Ada tiga golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana yaitu:5

1. Teori Retributive (teori absolut atau teori pembalasan)

Menurut pandangan teori ini, pidana haruslah disesuaikan dengan tindak

pidana yang dilakukan, karena tujuan pemidanaan menurut mereka adalah

memberikan penderitaan yang setimpal dengan tindak pidana yang telah

dilakukan.

2. Teori Utilitarian (teori relatif atau teori tujuan)

Menurut pandangan teori ini, pemidanaan ini harus dilihat dari segi manfaatnya, artinya pemidanaan jangan semata-mata dilihat hanya sebagai pembalasan belaka melainkan harus dilihat pula manfaatnya bagi terpidana di masa yang akan datang. Teori ini melihat dasar pembenaran pemidanaan itu ke depan, yakni pada perbaikan para pelanggar hukum di masa yang akan datang.

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: CV Rajawali, 1984, hlm.116.

(24)

3. Teori Gabungan

Teori ini didasarkan pada tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat. Sehubungan dengan masalah pidana sebagai sarana untuk mencapai tujuan, maka harus dirumuskan terlebih dahulu tujuan pemidanaan yang akan diharapkan akan menunjang tercapainya tujuan tersebut, atas dasar itu kemudian baru dapat ditetapkan cara, sarana atau tindakan apa yang akan digunakan.

2. Teori Dasar Pertimbangan Hakim

Hakim mempunyai peran yang penting dalam pemidanaan, meskipun hakim

memeriksa perkara pidana di persidangan dengan berpedoman dengan hasil

pemeriksaan yang dilakukan pihak kepolisian dan dakwaan yang diajukan oleh

Jaksa Penuntut Umum. Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman mengatur bahwa

hakim bebas dalam menjatuhkan putusan, namun Pasal 50 Undang-Undang

Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan hakim dalam

memberikan putusan harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu,

juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang

bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk

mengadili.

Hakim sebelum menjatuhkan putusan, terlebih dahulu harus mempertimbangkan

mengenai salah tidaknya seseorang atau benar tidaknya suatu peristiwa dan

kemudian memberikan atau menentukan hukumannya. Menurut Sudarto,6 hakim

memberikan keputusannya mengenai hal-hal sebagai berikut:

a. Keputusan mengenai peristiwa ialah apakah terdakwa telah melakukan

perbuatan yang ditujukan padanya;

Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum

(25)

b. Keputusan mengenai hukumannya ialah apakah perbuatan yang dilakukan merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah dan dapat dipidana;

c. Keputusan mengenai pidananya apabila terdakwa memang dapat dipidana.

Masalah pemidanaan sepenuhnya merupakan kekuasaan dari hakim. Hakim dalam

menjatuhkan pidana wajib berpegangan pada alat bukti yang mendukung

pembuktian dan keyakinannya sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP

yaitu: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila

dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan

bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang

bersalah melakukannya.”

Menurut Mackenzei, ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan

oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam suatu perkara,

yaitu:7

1. Teori Keseimbangan

Yang dimaksud dengan teori keseimbangan adalah keseimbangan antara

syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan

pihak-pihak yang berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya

keseimbangan yang berkaitan dengan masyarakat, kepentingan terdakwa dan

kepentingan korban.

2. Teori Pendekatan Seni dan Intuisi

Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari

hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan hakim menyesuaikan

dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana,

(26)

hakim akan melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam

perkara pidana.

3. Teori Pendekatan Keilmuan

Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim. Pendekatan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi sesemata-mata, tetapi harus dilengkapidengan ilmu pengetahuan dan wawasan keilmuan dalam menghadapi perkara yang harus diputuskannya.

4. Teori Pendekatan Pengalaman

Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya

dalam menghadapi perkara-perkara yang ada setiap hari. Dengan pengalaman

yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui dampak dari putusan yang

dijatuhkan dalam suatu perkara pidana yang berkaitan dengan pelaku, korban

maupun masyarakat.

5. Teori Ratio Decidendi

Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar yang

mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang

disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang

relevan dengan pokok perkara sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan

untuk menegakkan hukum dan keadilan bagi para pihak yang berperkara.

6. Teori Kebijaksanaan

(27)

Hakim dalam putusanya harus member rasa keadilan, menelaah terlebih dahulu

kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya kemudian menghubungkan dengan

hukum yang berlaku. Hakim dalam menjatuhkan putusannya harus berdasar pada

penafsiran hukum yang sesuai dengan rasa keadilan yang tumbuh, hidup dan

berkembang dalam masyarakat, juga factor lain yang mempengaruhi seperti factor

budaya, sosial, ekonomi, dan politik.

3. Teori Keadilan

Keadilan menurut Barda Nawawi Arief adalah perlakuan yang adil, tidak berat

sebelah, tidak memihak dan berpihak kepada yang benar. Keadilan menurut kajian

filsafat adalah apabila dipenuhi dua prinsip yaitu: pertama tidak merugikan

seseorang dan kedua perlakuan kepada tiap-tiap manusia apa yang menjadi

haknya. Jika kedua prinsip ini dapat dipenuhi barulah itu dikatakan adil. Pada

hakikatnya, permaknaan keadilan dalam penanganan sengketa-sengketa hukum

ternyata masih dapat diperdebatkan. Banyak pihak merasakan dan menilai bahwa

lembaga pengadilan kurang adil karena terlalu syarat dengan prosedur, formalitas,

kaku, dan lamban dalam memberikan putusan terhadap suatu sengketa. Factor

tersebut tidak lepas dari cara pandang hakim terhadap hukum yang kaku dan

normatife-prosedural dalam melakukan konkretisasi hukum.8

Keadilan substantif dimaknai keadilan yang diberikan sesuai dengan aturan-aturan

hukum substantif, dengan tanpa melihat kesalahan-kesalahan proseduraal yang

tidak berpengaruh pada hak-hak substantive penggugat. Ini berarti bahwa apa

yang secara formal-prosedural benar bisa saja disalahkan secara materiil dan

!"# #

(28)

substansinya melanggar keadilan. Demikian sebaliknya, apa yang secara formal

salah bisa saja dibenarkan jika secara jika materiil dan substansinya sudah cukup

adil (hakim dapat menoleransi pelanggaran procedural asalkan tidak melanggar

sunstansi keadilan). Dengan kata lain, keadilan substantif bukan berarti hakim

harus selalu mengabaikan bunyi undang-undang yang tidak memberi rasa

keadilan, tetapi tetap berpedoman pada formal-prosedural undang-undang yang

sudah member rasa keadilan sekaligus menjamin kepastian hukum. Artinya,

hakim dituntut untuk memiliki keberanian mengambil keputusan yang berbeda

dengan ketentuan normative undang-undang, sehingga keadilan substansial selalu

saja sulit diwujudkan melalui putusan hakim pengadilan, karena hakim dan

lembaga pengadilan hanya akan memberikan keadilan formal.9

2. Konseptual

Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara

konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dalam arti-arti yang berkaitan

dengan istilah yang ingin tahu akan diteliti.10 Hal ini dilakukan agar tidak terjadi

kesalah pahaman dalam melakukan penelitian, maka akan dijelaskan terlebih

dahulu tentang pengertian pokok yang dijadikan konsep penelitian, sehingga akan

memberikan batasan yang tetap dalam penafsiran terhadap beberapa istilah.

Istilah-istilah yang dimaksud adalah sebagai berikut:

*+ # '()

(29)

a. Analisis adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan

penelaahan bagian itu tersendiri serta hubungan antar bagian untuk

memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan.11

b. Pemidanaan adalah suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh

hakim. Maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup

keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang mengatur bagaimana hukum

pidana itu ditegakkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhkan sanksi

pidana.12

c. Pelaku menurut Pasal 55 KUHP adalah mereka yang melakukan, yang

menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan, mereka yang

memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau

martabat, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana

atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan

perbuatan.

d. Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan

diancam dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan tersebut.13

e. Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya

manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa,

yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus,

memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin

pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi,

Tim Penyusun Kamus, Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1997, hlm.32

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Bina aksara, 1993,hlm.9

13

(30)

selaras, dan seimbang.14 Menurut UU No. 23 Tahun 2003 tentang

Perlindungan anak, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun,

termasuk anak yang masih dalam kandungan.

f. Persetubuhan menurut R. Soesilo adalah perpaduan antara kelamin laki-laki

dan kelamin perempuan yang biasanya dijalankan untuk mendapatkan anak,

yaitu anggota kemaluan laki-laki harus masuk ke dalam anggota kemaluan

perempuan sehingga mengeluarkan air mani.15

g. Polri merupakan alat negara yang bertugas memelihara keamanan dan

ketertiban masyarakat, memberikan pengayoman, dan memberikan

perlindungan kepada masyarakat.16

h. Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat

tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau

orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang

menderita.17

14

Tri Andrisman, Hukum Peradilan Anak, Bandar Lampung, 2013, hlm.1

15

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, 1995, hlm. 209.

16

Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum (Suatu Tinjauan Sosiologis), Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, hlm. 111.

(31)

E. Sistematika Penulisan

Sistematika suatu penulisan memudahkan maksud dari penelitian ini serta dapat

dipahami, maka penulis membaginya ke dalam V (lima) Bab secara berurutan dan

saling berhubungan yaitu sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Bab ini memuat uraian dari latar belakang masalah, perumusan permasalahan

dan ruang lingkup penelitian, tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teoritis

dan konseptual serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini merupakan pengantar pemahaman ke dalam pengertian-pengertian

umum serta pokok bahasan. Dalam uraian bab ini lebih bersifat teoritis yang

nantinya digunakan sebagai bahan studi perbandingan antara teori yang

berlaku dengan kenyataannya yang berlaku dalam praktek.

III.METODE PENELITIAN

Bab ini menguraikan tentang metode penelitian yang akan digunakan dalam

penulisan skripsi ini yaitu menjelaskan tentang langkah-langkah yang

digunakan dalam penelitian yang memuat tentang pendekatan masalah, data

dan sumber data, penentuan populasi dan sampel, prosedur pengumpulan data

(32)

IV.HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini memuat pokok bahasan mengenai hasil penelitian yang terdiri dari

karakteristik responden, pemidanaan pada pelaku tindak pidana persetubuhan

terhadap anak oleh anggota Polri dan dasar pertimbangan hakim dalam

memberikan putusan pemidanaan pada pelaku tindak pidana persetubuhan

terhadap anak oleh anggota Polri pada wilayah hukum Pengadilan Tinggi

Tanjung Karang.

V. PENUTUP

Bab ini merupakan penutup dari penulisan skripsi yang berisikan secara

singkat hasil pembahasan dari penelitian dan beberapa saran dari peneliti

sehubungan dengan masalah yang dibahas, memuat lampiran-lampiran, serta

saran-saran yang berhubungan dengan penulisan dan permasalahan yang

dibahas bagi aparat penegak hukum yang terkait.

(33)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Pengertian tindak pidana yang dimuat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP) oleh pembentuk undang- undang sering disebut dengan

strafbaarfeit. Para pembentuk undang- undang tersebut tidak memberikan

penjelasan lebih lanjut mengenai strafbaarfeit itu, maka dari itu terhadap maksud

dan tujuan mengenai strafbaarfeit tersebut sering digunakan oleh pakar hukum

pidana dengan istilah tindak pidana, perbuatan pidana, peristiwa pidana, serta

delik.

Istilah “strafbaar feit” sendiri yang merupakan bahasa Belanda tersebut terdiri

atas tiga kata, yaitu straf yang berarti hukuman (pidana), baar yang berarti dapat

(boleh), dan feit yang berarti tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan. Jadi

istilah strafbaarfeit adalah peristiwa yang dapat dipidana atau perbuatan yang

dapat dipidana.17

17

(34)

Menurut Pompe yang dikutip Bambang Poernomo, pengertian Strafbaar feit

dibedakan menjadi :

a. Definisi menurut teori adalah suatu pelanggaran terhadap norma yang

dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk

mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.

b. Definisi menurut hukum positif adalah suatu kejadian/feit yang diancam

pidana.18

Sementara kata “delik” berasal dari bahasa Latin, yakni delictum. Dalam bahasa

Jerman disebut delict, dalam bahasa Prancis disebut delit, dan dalam bahasa

belanda disebut delict. Sementara dalam kamus besar bahasa Indonesia19 arti delik

diberi batasan yaitu : “perbuatan yang dapat dikenakan hukum karena merupakan

pelanggaran terhadap undang-undang; tindak pidana”.

Beberapa pendapat pakar hukum dari barat (Eropa) mengenai pengertian strafbaar

feit, antara lain sebagai berikut:

1. Simons, memberi batasan pengertian strafbaar feit adalah suatu tindakan

melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja oleh seseorang yang

dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-

undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.20

2. Pompe, strafbaar feit adalah suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap

tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun dengan tidak sengaja telah

18

Bambang Poernomo, Pertumbuhan Hukum Penyimpangan di luar KodifikasHukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1997, hlm.86.

Ledeng Marpaung, Asas- Teori- Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm. 7.

20

(35)

dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku

tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum.21

3. Hasewinkel Suringa, strafbaar feit yang bersifat umum yakni suatu perilaku

manumur yang pada suatu saat tertentu telah ditolak di dalam suatu pergaulan

hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh

hukum pidana dengan menggunakan sarana- sarana yang bersifat memaksa

yang terdapat didalam undang-undang.22

Beberapa pendapat pakar hukum Indonesia mengenai Strafbaar feit, antara lain

sebagai berikut:

1. Bambang Poernomo, menyatakan bahwa strafbaar feit adalah hukum sanksi.

Definisi ini diberikan berdasarkan ciri hukum pidana yang membedakan dengan lapangan hukum yang lain, yaitu bahwa hukum pidana sebenarnya tidak mengadakan norma sendiri melainkan sudah terletak pada lapangan hukum yang lain, dan sanksi pidana diadakan untuk menguatkan ditaatinya norma-norma di luar hukum pidana.

2. Roeslan Saleh, mengartikan istilah strafbaar feit sebagai suatu perbuatan

yang bertentangan dengan tata atau ketentuan yang dikehendaki oleh hukum,

dimana syarat utama dari adanya perbuatan pidana adalah kenyataan bahwa

ada aturan yang melarang.

3. Moeljatno menerjemahkan istilah “strafbaar feit” dengan perbuatan pidana.

Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu suatu aturan

hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu,

bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut.23

4. Teguh Prasetyo merumuskan bahwa : “Tindak pidana adalah perbuatan yang

oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana.Pengertian perbuatan

21 Ibid

, hlm.35.

22 Ibid, hlm.185. 23

(36)

di sini selain perbuatan yang bersifat aktif (melakukan sesuatu yang

sebenarnya dilarang oleh hukum) dan perbuatan yang bersifat pasif (tidak

berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum).

5. Wirjono Prodjodikoro mempergunakan istilah tindak pidana adalah tetap

dipergunakan dengan istilah tindak pidana atau dalam Bahasa Belanda

Strafbaar feit yaitu suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan

hukuman pidana dan pelakunya ini dapat dikatakan merupakan "subyek"

tindak pidana.24

Menurut Wirjono Prodjodikoro, tindak pidana dapat digolongkan 2 (dua)

bagian, yaitu:

1) Tindak pidana materil

Pengertian tindak pidana materil adalah, apabila tindak pidana yang dimaksud

dirumuskan sebagai perbuatan yang menyebabkan suatu akibat tertentu, tanpa

merumuskan wujud dari perbuatan itu.

2) Tindak pidana formil.

Pengertian tindak pidana formal yaitu apabila tindak pidana yang dimaksud,

dirumuskan sebagai wujud perbuatan tanpa menyebutkan akibat yang

disebabkan oleh perbuatan itu.

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Unsur tindak pidana dibedakan dari dua sudut pandang yakni pandangan monistis

dan pandangan dualistis, sebagai berikut:

24

(37)

1. Pandangan monistis adalah suatu pandangan yang melihat syarat, untuk

adanya pidana harus mencakup dua hal yakni sifat dan perbuatan.25

Unsur-unsur tindak pidana menurut pandangan monistis meliputi:26

a. Ada perbuatan

b. Ada sifat melawan hukum;

c. Tidak ada alasan pembenar;

d. Mampu bertanggungjawab;

e. Kesalahan;

f. Tidak ada alasan pemaaaf.

2. Pandangan dualistis yaitu pandangan yang memisahkan antara perbuatan

pidana dan pertanggungjawaban pidana. Oleh karena itu, untuk menyatakan

sebuah perbuatan sebagai tindak pidana cukup dengan adanya perbuatan yang

dirumuskan oleh undang-undang yang memiliki sifat melawan hokum tanpa

adanya suatu dsar pembenar.

Unsur- unsur tindak pidana menurut pandangan dualistis meliputi: 27

a. Adanya perbuatan yang mencocoki rumusan delik

b. Ada sifat melawan hokum

c. Tidak ada alasan pembenar

Selanjutnya unsur- unsur pertanggungjawaban pidana meliputi:28

a. Mampu bertanggungjawab

b. Kesalahan

c. Tidak ada alasan pemaaf

Unsur- unsur tindak pidana, antara lain:

1. Ada Perbuatan yang Mencocoki Rumusan Delik

Perbuatan manusia dalam arti luas adalah menenai apa yang dilakukan, apa

yang diucapkan, dan bagaimana sikapnya terhadap suatu hal atau kejadian.

Oleh karena itu, mencocoki rumusan delik yaitu mencocoki unsur-unsur yang

25

Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana, Rangkang Education Yogyakarta & PuKAP- Indonesia, Yogyakarta, 2012, hlm. 38.

26Ibid.,

hlm.43.

27

(38)

ada dalam pasal yang didakwakan, termasuk unsure perbuatan maupun

pertanggungjawaban pidananya.

2. Ada Sifat Melawan Hukum

Sifat melawan hukum dapat dibedakan menjadi 4 (empat) jenis, yaitu:

a. Sifat melawan hukum umum

Diartikan sebagai syarat umum untuk dapat dipidana dalam rumusan

pengertian perbuatan pidana. Perbuatan pidana adalah kelakuan manusia

yang termasuk dalam rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat

dicela.

b. Sifat melawan hukum khusus

Sifat melawan hukum yang menjadi bagian tertulis dari rumusan delik

dinamakan: sifat melawan hukum khusus. Juga dinamakan “sifat melawan

hukum facet”.

c. Sifat melwan hukum formal

Istilah ini berarti: semua bagian yang tertulis dari rumusan delik telah

dipenuhi (jadi semua syarat tertulis untuk dapat dipidana).

d. Sifat melawan hukum materil

Berarti melanggar atau membahayakan kepentingan hukum yang hendak

dilindungi oleh pembentuk undang-undang dalam rumusan delik tertentu.

3. Tidak Ada Alasan Pembenar

Alasan pembenar menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, artinya

meskipun perbuatan itu telah memenuhi rumusan delik sebagaimana

ditentukan dalam undang-undang, dengan lain perkataan alasan pembenar

(39)

Hal-hal yang dapat menjadi alasan pembenar, antara lain:

a. Daya paksa absolut

Daya paksa absolut diatur dalam Pasal 48 KUHP yang menyatakan bahwa barang siapa melakukan perbuatan karena terpaksa oleh sesuatu kekuasaan yang tidak dapat dihindarkan tidak boleh dihukum. Dalam penjelasanya, Jonkers mengatakan daya paksa dikatakan bersifat absolute jika seseorang tidak dapat berbuat lain. Ia mengalami sesuatu yang sama sekali tidak dapat mengelakkannya dan tidak mungkin memilih jalan lain.

b. Pembelaan terpaksa

Perihal pembelaan terpaksa dirumuskan dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP

sebagai berikut:

“Barangsiapa melakukan perbuatan, yang terpaksa dilakukanya untuk mempertahankan dirinya atau diri orang lain, mempertahankan kehormatan atau harta benda sendiri atau kepunyaan orang lain, dari pada serangan yang melawan hukum hak dan mengancam dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum”.

Pembelaan harus seimbang dengan serangan atau ancaman. Hal ini sesuai

dengan asas keseimbangan.selain itu, juga dianut asas subsidaritas, artinya

untuk mempertahankan kepentingan hukumnya yang terancam pembelaan

itu harus mengambil upaya yang paling rinagn akibatnya bagi orang lain.

c. Menjalankan ketentuan undang-undang

Dasar alasan pembenar karena menjalankan ketentuan undang-undang

dirumuskan dalam Pasal 50 KUHP sebagai berikut:

“Barangsiapa yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang tidak dipidana”.

(40)

d. Menjalankan perintah jabatan yang sah

Pasal 51 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut:

“Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana”.

Suatu perintah dikatakan sah, apabila perintah itu berdasarkan tugas,

wewenang, atau kewajiban yang didasarkan kepada suatu peraturan.

Disamping itu, antara orang yang diperintah dengan yang memberi

perintah harus ada hubungan jabatan dan subordinasi.

B. Tindak Pidana Persetubuhan

Perbuatan persetubuhan merupakan tindak pidana kesusilaan, menurut kamus

hukum pengertian kesusilaan diartikan sebagai tingkah laku, perbuatan

percakapan bahwa sesuatu apapun yang berpautan dengan norma-norma

kesopanan yang harus dilindungi oleh hukum demi terwujudnya tata tertib dan

tata susila dalam kehidupan bermasyarakat.29

Pengertian persetubuhan menurut R. Soesilo adalah perpaduan antara kelamin

laki-laki dan kelamin perempuan yang biasanya dijalankan untuk mendapatkan

anak, jadi anggota kemaluan laki-laki harus masuk ke dalam anggota kemaluan

perempuan sehingga mengeluarkan air mani.30

Persetubuhan diatur dalam KUHP Buku II dengan Titel tindak pidana kesusilaan.

Dalam Pasal 285 KUHP dirumuskan bahwa :

(41)

“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar pernikahan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.

Selanjutnya pasal yang mengatur masalah persetubuhan adalah Pasal 286 KUHP,

yang mengatur sebagai berikut:

“Barangsiapa bersetubuh dengan seseorang wanita di luar pernikahan, padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”.

Pasal berikutnya adalah Pasal 287 KUHP yang korbannya disyaratkan adalah

anak yang belum berusia 15 tahun dan antara korban dan pelaku tidak terdapat

hubungan pernikahan.

Selain pasal-pasal di atas, pasal berikutnya yang mengatur masalah persetubuhan

adalah Pasal 288 KUHP, yang menyatakan bahwa dimana korban dan pelaku

tidak terikat oleh hubungan pernikahan atau merupakan suami istri, korban harus

berusia belum 15 tahun dan karena persetubuhan tersebut korban menderita

luka-luka, luka berat ataupun meninggal dunia.

Tindak pidana persetubuhan terhadap anak lebih khusus diatur dalam

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam undang-

undang tersebut, pengaturan tentang persetubuhan terhadap anak diatur dalam

Pasal 81, yang menentukan bahwa:

(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman

kekerasan,memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan

orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)

tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp

300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp

(42)

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi

setiap orang yang dengan segaja melakukan tipu muslihat, serangkaian

kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya

atau orang lain.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 diatas dan pasal yang ada dalam KUHP

terlihat adanya rumusan baru tentang persetubuhan terhadap anak, yaitu

memasukkannya unsur tipu muslihat dan serangkaian kebohongan pada dasarnya

merupakan sesuatu yang bersifat menipu atau isinya tidak benar, namun

menimbulkan kepercayaan bagi orang lain. Sekilas orang menganggap bahwa

antara tipu muslihat dan serangkaian kebohongan adalah satu hal yang sama,

namun sebenarnya keduanya memiliki perbedaan yang prinsipil, yaitu dalam tipu

muslihat lebih diartikan kepada perbuatan yang menimbulkan kepercayaan pada

sesuatu yang sebenarnya tidak benar. Sementara serangkaian kebohongan lebih

diartikan kepada perkataan- perkataan pelaku. Dalam rangkaian kebohongan ini

terdapat tiga unsur, yaitu:

a. Perkataan yang isinya tidak benar;

b. Lebih dari satu kebohongan;

(43)

C. Pengertian Anak

Anak dipahami sebagai individu yang belum dewasa. Dewasa dalam arti anak

belum memiliki kematangan rasional, emosional, moral, dan sosial seperti orang

dewasa pada umumnya.

Beberapa pengertian tentang anak yang dikatakan belum dewasa:

1. Pengertian anak menurut Hukum Pidana. KUHP tidak merumuskan secara

eksplisit tentang pengertian anak, tetapi dapat dijumpai antara lain pada Pasal

45 dan Pasal 72 yang memakai batasan usia maksimal adalah 16 (enam belas)

tahun. Pasal ini sudah tidak berlaku lagi karena pasal ini telah dicabut oleh

Undang- undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang pengadilan anak.

2. Pengertian anak menurut Hukum Perdata. Dalam Kitab Undang Hukum

Perdata Pasal 330 ayat (1) didefenisikan bahwa anak yang belum dewasa

adalah anak yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan pernah

kawin sebelumnya.

3. Pengertian anak menurut Hukum Islam. Dalam hukum Islam batasan anak di

bawah umur terdapat perbedaan penentuan. Seseorang yang dikatakan baliq

atau dewasa apabila telah memenuhi satu dari sifat di bawah ini :

a. Telah berumur 15 (lima belas) tahun;

b. Telah keluar air mani bagi laki-laki;

c. Telah datang haid bagi perempuan;

batasan itu berdasarkan hitungan usia, tetapi sejak ada tanda- tanda perubahan

badaniah baik bagi anak laki- laki, demikian pula bagi anak perempuan.

Menurut Hukum Islam, anak disebut orang yang belum baliq atau belum

(44)

Selanjutnya beberapa pengertian beberapa pengertian anak menurut peraturan

perundang- undangan yang berlaku di Indonesia mengenai anak, sebagai berikut :

1. Di dalam Undang- undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,

pengertian anak tercantum dalam Pasal 1 angka 1 yang menyatakan bahwa :

“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,

termasuk anak yang masih dalam kandungan.”

2. Di dalam Undang- undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, pengertian anak tercantum dalam Pasal 1 angka 1 sebagai berikut : ”Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (Delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan

belum pernah kawin”.31 Selanjutnya Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan

bahwa batas bahwa usia anak yang bisa dimintai pertanggungjawaban pidana adalah 12 tahun. Usia 12 tahun secara relatif sudah memiliki kecerdasan emosional, dan intelektual yang stabil sesuai psikologi anak dan budaya bangsa Indonesia. Karenanya, batas umur 12 tahun lebih menjamin hak anak untuk tumbuh berkembang dan mendapatkan perlindungan sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) Undang- Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

3. Di dalam Undang- undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak,

pengertian anak tercantum dalam Pasal 1 angka 2 sebagai berikut : Anak

adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan

belum pernah menikah.

4. Menurut Undang- undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia.Anak didefinisikan dalam Pasal 1 angka 5 bahwa anak adalah setiap

manusia yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah,

termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi

kepentingannya.

(45)

5. Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1988 tentang Usaha Kesejahteraan Anak

bagi anak yang mempunyai masalah. Menurut ketentuan ini, anak adalah

seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.

6. Pengertian anak menurut kenvensi tentang hak-hak anak ( Convention on The

Right of The Child) Pengertian anak menurut konvensi ini, tidak jauh berbeda

dengan pengertian anak menurut beberapa perundang- undangan lainnya.

Anak menurut konvensi hak anak sebagai berikut :

“anak adalah setiap manusia di bawah umur 18 (delapan belas) tahun kecuali menurut undang- undang yang berlaku pada anak. Kedewasaan dicapai lebih awal”. Sedangkan pengertian anak sebagai korban kejahatan adalah anak yang menderita mental, fisik, dan sosial akibat perbuatan jahat (tindak pidana menurut Kitab Undang- Undang Hukum Pidana) orang lain mencari pemenuhan kepentingan diri yang bertentangan dengan hak dan kewajiban pihak korban misalnya menjadi korban perlakuan salah, penelantaran, perdagangan anak, pelacuran, penganiayaan, pemerkosaan dan sebagainya oleh ibu, bapak, dan saudaranya serta anggota masyarakat disekitarnya”.

Dengan demikan apabila ditinjau dari berbagai pengertian di atas, anak diartikan

sebagai orang yang belum dewasa, orang yang belum berusia 18 tahun dan belum

menikah termasuk dalam kandungan.32

Ada beberapa peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum

perlindungan anak, yaitu :

1. Konvensi Hak Anak (Convention on The Right of The Child). Hak anak merupakan bagian integral dari hak asasi manusia dan konvensi hak anak merupakan instrumen internasional. Konvensi hak anak merupakan instrumen yang berisi rumusan prinsip- prinsip universal dan ketentuan norma hukum mengenai hak-hak anak yang merupakan sebuah perjanjian internasional mengenai hak asasi manusia yang memasukkan unsur-unsur hak-hak sipil, politik serta hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.

2. Menurut Pasal 1 angka 2 Undang- undang Nomor 23 Tahun 2002 juncto Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak

(46)

anak dan hak- haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.33

Ketentuan pidana dalam Undang-Undang Perlindungan Anak diatur dalam Bab

XII yaitu mulai Pasal 77 sampai dengan Pasal 90.

D. Pengertian Pemidanaan

Pemidanaan ialah suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh

hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar undang- undang hukum

pidana.

Ada tiga teori pemidanaan yang dikenal dalam hukum pidana yaitu : 34

1. Teori Absolut atau Teori Pembalasan

Teori ini memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan sehingga berorientasi pada perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori ini mengedepankan bahwa sanksi dalam hukum pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan sesuatu kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga sanksi bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan.

2. Teori Utilitarian (Teori Relatif atau Teori Tujuan)

Berdasarkan teori ini bahwa pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku tetapi sarana mencapai tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat. Sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan, maka bukan bertujuan untuk pemuasan absolut atas keadilan. Dari teori ini muncul tujuan pemidanaan yang sebagai sarana pencegahan, baik pencegahan khusus yang ditujukan kepada pelaku maupun pencegahan umum yang ditujukan kemasyarakat.

Teori relatif berasas pada 3 (tiga) tujuan utama pemidanaan yaitu preventif, detterence, dan reformatif. Tujuan preventif (prevention) untuk melindungi masyarakat dengan menempatkan pelaku kejahatan terpisah dari masyarakat. Tujuan menakuti (detterence) untuk menimbulkan rasa takut melakukan kejahatan yang bisa dibedakan untuk individual, publik dan jangka panjang.

Bambang Waluyo,Viktimologi Perlindungan Saksi Dan Korban, Sinar Grafika: Jakarta, 2011, hlm.7

(47)

Ada dua macam prevensi yang dikenal yaitu prevensi khusus dan prevensi umum. Keduanya berdasarkan atas gagasan, bahwa sejak mulai dengan ancaman akan pidana sampai kemudian dengan dijatuhkannya pidana, orang akan takut menjalankan kejahatan. Dalam prevensi khusus, suatu hukuman atau ancaman pidana ditujukan kepada si penjahat agar si penjahat tajut melakukan kejahatan, sedangkan dalam prevensi umum suatu hukuman atau ancaman pidana dimaksudkan agar semua oknum takut melakukan kejahatan.

3. Teori Gabungan

Teori Gabungan, pertama kali diajukan oleh Pellegrino Rossi (1787-1884). Teori ini memandang bahwa tujuan pemidanaan bersifat plural, karena menggabungkan antara prinsip-prinsip relatif (tujuan) dan retributif sebagai satu kesatuan. Teori ini bercorak ganda, dimana pemidanaan mengandung karakter retributif sejauh pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik moral dalam menjawab tindakan yang salah. Sedangkan karakter utilitariannya terletak pada ide bahwa tujuan kritik moral tersebut ialah suatu reformasi atau perubahan perilaku terpidana di kemudian hari.

E. Tinjauan Umum Tentang Polri

Dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia dalam Pasal 1 ayat(1) dijelaskan bahwa Kepolisian adalah segala

hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan

perundang-undangan. Istilah kepolisian dalam Undang-undang ini mengandung

dua pengertian, yakni fungsi polisi dan lembaga polisi. Dalam Pasal 2

Undang-undang No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, fungsi

kepolisian sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara dibidang pemeliharaan

keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, pelindung, pengayom

dan pelayan kepada masyarakat. Sedangkan lembaga kepolisian adalah organ

pemerintah yang ditetapkan sebagai suatu lembaga dan diberikan kewenangan

menjalankan fungsinya berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya Pasal 5 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian

(48)

(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat Negara yang

berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,

menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan

pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan

dalam negeri.

(2) Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional yang

merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1).

Dari tugas-tugas polri tersebut dapat dikemukakan bahwa pada dasarnya tugas

polri ada dua yaitu tugas untuk memelihara keamanan, ketertiban, menjamin dan

memelihara keselamatan negara, orang, benda dan masyarakat serta

mengusahakan ketaatan warga Negara dan masyarakat terhadap peraturan negara.

Tugas ini dikategorikan sebagai tugas preventif dan tugas yang kedua adalah tugas

represif. Tugas ini untuk menindak segala hal yang dapat mengacaukan keamanan

(49)

III. METODE PENELITIAN

Upaya untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam melakukan penelitian

dibutuhkan metode ilmiah yang merupakan suatu cara yang digunakan dalam

pelaksanaan suatu penelitian untuk mendapatkan data yang objektif dan akurat,

dalam mengolah dan menyimpulkan serta memecahkan suatu masalah.

Dalam melakukan kegiatan penelitian, penulis melakukan kegiatan yang terdiri

dari beberapa langkah, yaitu :

A. PendekatanMasalah

Upaya menganalisa permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini, penulis

melakukan dua pendekatan masalah yaitu pendekatan yuridis normatif dan

pendekatan yuridis empiris guna untuk mendapaatkan suatu hasil penelitian yang

benar dan objektif.

1. Pendekatan Yuridis Normatif

Pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan dengan cara studi kepustakaan

(library research) yaitu menelaah kaidah-kaidah hukum, peraturan,

undang-undang, dan berbagai literatur yang kemudian dibaca, dikutip dan dianalisis.

(50)

2. Pendekatan Yuridis Empiris

Pendekatan yuridis empiris yaitu pendekatan dengan meneliti serta

mengumpulkan data primer yang telah diperoleh secara langsung melalui

observasi dan wawancara dengan responden atau narasumber ditempat objek

penelitian yang berhubungan dengan permaslahan yang akan dibahas dalam

penelitian ini.36

B. Sumber dan Jenis Data

Jenis data dapat dilihat dari sumbernya, dapat dibedakan antara data yang

diperoleh langsung dari masyarakat dan data yang diperoleh dari bahan pustaka.

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini bersumber pada dua jenis, yaitu:

1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari hasil penelitian di

lapangan yang berkaitan dengan pokok penulisan, yang diperoleh melalui

kegiatan wawancara langsung dengan informan atau narasumber.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh penulis

melalui penelusuran literatur atau kepustakaan, peraturan

perundang-undangan, buku-buku, dokumen-dokumen, arsip-arsip yang berhubungan

dengan pokok materi pembahasan yang terdiri dari:

Data sekunder terdiri dari 3 (tiga) bahan hukum, yaitu :

(51)

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mengikat sifatnya.Dalam

penelitian ini, bahan hukum primer yang digunakan adalah :

1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 juncto Undang-UndangNomor

73 Tahun1958 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP).

2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana(KUHAP)

3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak

5) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang erat hubungannya

dengan bahan hukum primer dan dapat membantu dalam menganalisa

serta memahami bahan hukum primer, seperti literatur dan norma-norma

hukum yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dalam skripsi

ini.Bahan hukum sekunder penelitian ini yaitu Putusan Pengadilan Tinggi

Tanjung Karang Nomor: 11/Pid./2015/PT.TJK.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan yang berguna untuk memberikan

informasi, petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan

(52)

massa, artikel, majalah, paper, jurnal, yang berkaitan dengan masalah yang

dibahas dalam skripsi ini.

C. Penentuan Narasumber

Metode penentuan sample menggunakan metode purposive sampling. Metode

purposive sampling adalah suatu metode pengambilan sample yang dalam

penentuan dan pengambilan anggota sample berdasarkan atas pertimbangan

maksud dan tujuan penelitian.

Narasumber adalah orang yang member informasi yang kita inginkan. Kita dapat

memberikan tanggapan terhadap informasi yang diberikan narasumber dalam

penelitian ini yang menjadi penentuan narasumber adalah sebagai berikut :

a. Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang = 1 (satu) orang

b. Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung = 1 (satu) orang

c. Dosen bagian Hukum Pidana Universitas Lampung = 1 (satu) orang

Jumlah = 3 (tiga) orang

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Untuk melengkapi data guna pengujian penelitian ini, digunakan prosedur

pengumpulan data yang terdiri dari :

a. Data Sekunder

Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara mengadakan studi

(53)

mempelajari, mengutip, dan menelaah literatur-literatur maupun peraturan

perundang-undangan, serta bahan hukum lainnya yang menunjang dan

berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas.

b. Data Primer

Pengumpulan data primer dilakukan melalui riset langsung di lapangan atau

studi lapangan yang dilakukan melalui :

1) Observasi (pengamatan)

Observasi adalah pengumpulan data secara langsung terhadap objek

penelitian, untuk memperoleh data yang benar dan objektif dilakukan

penelitian di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Pengadilan Negeri

Tanjung Karang, dan dosen bagian hukum pidana.

2) Wawancara (interview)

Pengumpulan data dengan mengadakan wawancara secara langsung

dengan menggunakan daftar pertanyaan yang bersifat terbuka dimana

wawancara tersebut dilakukan terhadap pihak-pihak yang berkaitan

dengan permasalahan dalam penelitian ini antara lain dengan Jaksa pada

Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Hakim pada Pengadilan Negeri

Tanjung Karang dan dosen bagian hukum pidana yang dapat memberikan

penjelasan yang berkaitan dengan permaslahan dalam penelitian.

2. Prosedur Pengolahan Data

Setelah data terkumpul, baik studi kepustakaan maupun studi lapangan, maka data

(54)

1) Editing data, yaitu memeriksa lagi kelengkapan, kejelasan, dan relevansi

dengan penelitian.

2) Klasifikasi data, yaitu mengklasifikasikan/mengelompokkan data yang

diperoleh menurut jenisnya untuk memudahkan dalam menganalisis data.

3) Sistematisasi data, yaitu melakukan penyusunan dan penempatan data pada

setiap pokok secara sistematis sehingga mempermudah interpretasi data dan

tercipta keteraturan dalam menjawab permasalahan.

E. Analisis Data

Data yang diperoleh, baik secara data primer maupun data sekunder diuraikan dan

dianalisis secara kualitatif yang artinya hasil penelitian ini dideskripsikan dalam

bentuk penjelasan dan uraian kalimat-kalimat yang mudah dibaca dan dimengerti

untuk di interpretasikan dan ditarik kesimpulan mengenai pertimbangan hakim

dalam menjatuhkan putusan pemidanaan pada pelaku tindak pidana persetubuhan

terhadap anak oleh anggota Polri. Dari hasil analisis dilanjutkan dengan menarik

kesimpulan induktif, yaitu cara berfikir dalam mengambil kesimpulan secara

umum yang didasarkan atas fakta-fakta yang bersifat khusus dan selanjutnya dari

Referensi

Dokumen terkait

[r]

terhadap hasil heading kaki sejajar dan 4) untuk mengetahu hasil yang signifikan, antara kelentukan togok, kekuatan otot leher dan kekuatan otot perut terhadap hasil heading

Jika nilai piksel pada citra lebih besar dari nilai threshold yang ditentukan maka nilai piksel tersebut akan diubah menjadi warna putih dan diinisialkan dengan

[r]

Kemudian terdapat kesalahan kata yang ditulis, seperti ejaan, penggunaan huruf kapital dan tanda baca.Peserta didik juga melakukan kesalahan dalam membuat kalimat

Hal ini dapat dilihat pada perlakuan pemberian cuka kayu 2% (B4) pada biomas sengon, diperoleh total kandungan karbon pada akar, batang dan daun paling tinggi yaitu 11.029,92 g,

Sesi pertemuan minggu ke-28 merupakan topik dan kajian baru yakni terkait dengan perkembangan jaringan keilmuan (Islam) di Nusantara. Pada pertemuan minggu-minggu sebelumnya

Bagian A merupakan modus latihan dengan komponen F0 adalah layer input yang berfungsi melakukan normalisasi sampel training sehingga diperoleh gelombang pulsa yang sama panjang,