• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keberadaan H2S Pascaaerasi Hipolimnion pada Kawasan Keramba Jaring Apung (KJA) di Danau Lido, Bogor, Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keberadaan H2S Pascaaerasi Hipolimnion pada Kawasan Keramba Jaring Apung (KJA) di Danau Lido, Bogor, Jawa Barat"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2014

KEBERADAAN H2S PASCAAERASI HIPOLIMNION PADA

KAWASAN KERAMBA JARING APUNG (KJA)

DI DANAU LIDO, BOGOR, JAWA BARAT

(2)
(3)
(4)
(5)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Keberadaan H2S Pascaaerasi Hipolimnion pada Kawasan Keramba Jaring Apung (KJA) di Danau Lido, Bogor, Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

(6)
(7)

ABSTRAK

MARTHIN A POLITON. Keberadaan H2S Pascaaerasi Hipolimnion pada Kawasan Keramba Jaring Apung (KJA) di Danau Lido, Bogor, Jawa Barat. Dibimbing oleh SIGID HARIYADI dan NIKEN TUNJUNG MURTI PRATIWI.

Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari keberadaan hidrogen sulfida (H2S) pascaaerasi hipolimnion dengan lokasi penelitian di Danau Lido, Bogor, Jawa Barat. Penelitian dilakukan dari bulan Mei hingga Agustus 2011 dengan pengambilan sampel pada 5 titik yang ditentukan secara purposive sampling berdasarkan arus yang keluar dari outlet alat aerasi, yaitu 0; 1,5; 3; 4,5; dan 8 m. H2S merupakan salah satu bentuk sulfur anorganik yang bersifat racun (toksik) yang dihasikan dari aktivitas biologis bakteri pada kondisi anaerob bahan-bahan organik yang mengandung sulfur serta berasal dari hasil reduksi sulfat (SO42-) di dalam lapisan sedimen. H2S banyak ditemukan di lapisan hipolimnion, karena dalam kondisi oksigen yang sangat rendah akan terjadi akumulasi H2S akibat adanya peningkatan pertumbuhan bakteri anaerob. Aerasi hipolimnion yang dilakukan diharapkan dapat meningkatkan konsentrasi oksigen sehingga proses perombakan bahan organik yang mengandung sulfur tidak menghasilkan H2S yang merugikan bagi kehidupan biota akuatik di dalam danau. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa aerasi yang dilakukan selama 10 jam mampu menurunkan konsentrasi H2S di lapisan hipolimnion Danau Lido, rata-rata sebesar 51,85%. Penurunan terbesar terjadi pada jarak 3 m dari titik outlet aerasi (60%). Setelah aerasi dihentikan konsentrasi hidrogen sulfida mengalami peningkatan, akan tetapi dengan konsentrasi lebih kecil dibandingkan sebelum aerasi dilakukan.

Kata kunci: aerasi hipolimnion, hidrogen sulfida

ABSTRACT

MARTHIN A POLITON. Presence of H2S after Hypolimnetic Aeration on Pond Fish Culture in Lido Lake, Bogor, West Java. Guidanced by SIGID HARIYADI and NIKEN TUNJUNG MURTI PRATIWI.

The aim of this research was to learn about the change of hydrogen sulfide (H2S) after hypolimnetic aeration in Lido Lake, Bogor, West Jawa. The research was conducted in May to August 2011 with 5 purposive sample points along the outflow from the outlet of aeration equipment, which were 0; 1,5; 3; 4,5; dan 8 m in distance. H2S is one of toxic anaerobic decomposition product of sulfuric organic materials or as the result of sulfate reduction process in water sediment. H2S is often present in hypolimnion of waters because of the lack of oxygen concentration and high density of anaerobic bacteria. Hypolimnetic aeration hopefully could increase oxygen concentration that could lead aerobic decomposition and bend production of H2S. The result shows that 10 hours aeration activity could lowered H2S concentration about 51.85% from the previous level, with the highest decreasing at 3 m distance from aeration outlet. When the equipment was stopped after 15 hours operation, the concentration of H2S was increase to a level less than before the aeration started.

(8)

his research is to study about hydrogen sulfide presence after hypolimnetic aeration in Lido Lake, Bogor, West Java. The research is carried out from May to July 2011 with 5 sampling spot which is decided by purposive sampling based on the aeration equipment outflows, consist of 0 m;1,5 m; 3 m; 4,5 m; and 8 m. Hydrogen sulfide is one of dissolved inorganic sulfur form that can be used by algae and aquatic plant directly. The presence of orthophosphate is affected by dissolved oxygen concentration in water. Orthophospate mostly found in hypolimnetic layer, this is happened because orthophosphate can form a bond and precipitation with Fe, Ca, or Al ion in the oxic condition, then fall to the bottom of water. In the other side, in anoxic condition, the bond between orthophospate and Fe, Ca, or Al ion will be released. This research aim to observe the presence of phosphate after hypolimnetic aeration. This aeration is expected to increase the ability of ions to make a bond and do precipitation with orthophosphate.

The research showed that aeration which is done for 10 hours can decrease the orthophosphate concentration in hypolimnetic layer of Lido Lake for 21,05-97,56%. The most slope is occurred in 3 m distance from the outlet of aeration (97.56%). After the aeration, the decrease of orthophosphate concentration still can be maintained for 5 hours. The concentration of orthophosphate begin to increase after 10 hours from the end of aeration.

(9)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan

pada

Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan

KEBERADAAN H2S PASCAAERASI HIPOLIMNION PADA

KAWASAN KERAMBA JARING APUNG (KJA)

DI DANAU LIDO, BOGOR, JAWA BARAT

MARTHIN ALEXANDER POLITON

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(10)
(11)

Judul Skripsi :Keberadaan H2S Pascaaerasi Hipolimnion pada Kawasan Keramba Jaring Apung (KJA) di Danau Lido, Bogor, Jawa Barat

Nama : Marthin Alexander Politon

NIM : C24070069

Program Studi : Manajemen Sumber Daya Perairan

Disetujui oleh

Dr Ir Sigid Hariyadi, MSc Pembimbing I

Dr Ir Niken TM Pratiwi, MSi Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir M. Mukhlis Kamal, MSc Ketua Departemen

(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada TUHAN Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2011 ini ialah kualitas air, dengan judul Keberadaan H2S Pascaaerasi Hipolimnion pada Kawasan Keramba Jaring Apung (KJA) di Danau Lido, Bogor, Jawa Barat.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Sigid Hariyadi, MSc dan Dr Ir Niken Tunjung Murti Pratiwi, MSi selaku pembimbing skripsi atas bimbingannya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Majariana Krisanti, SPi, MSi selaku penguji tamu dan Dr Ir Rahmat Kurnia, MSi selaku perwakilan dari komisi pendidikan Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan yang telah banyak memberi saran. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak dan Ibu Dosen yang telah membimbing dan memberikan ilmu selama perkuliahan serta kepada segenap staf pegawai Tata Usaha Departemen MSP (Mbak Widar dan Mbak Yani). Terima kasih juga diucapkan kepada Ayah (Jackson R. Politon (Alm)) dan Ibu (Esther M. Politon) serta kakak (Michael R. Politon) yang selalu mendoakan, serta kepada teman-teman MSP 44 yang telah memberi dukungan dan membantu baik dari penelitian di lapang hingga analisis di laboratorium yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Rumusan Masalah ... 2

Tujuan ... 2

Manfaat ... 2

METODE PENELITIAN ... 3

Waktu dan Lokasi ... 3

Rancangan Penelitian ... 3

Analisis Data ... 7

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 13

Hipolimnion Kawasan KJA Danau Lido ... 13

Sebaran Hidrogen sulfida Pascaaerasi Hipolimnion ... 14

Sebaran Sulfat Pascaaerasi Hipolimnion ... 15

Faktor yang Mempengaruhi Keberadaan Hidrogen sulfida ... 18

Penurunan Konsentrasi Hidrogen sulfida dan Bahan Organik ... 21

Peningkatan Konsentrasi Oksigen dan Sulfat ... 22

Pembahasan ... 23

KESIMPULAN DAN SARAN ... 27

Kesimpulan ... 27

Saran ... 27

DAFTAR PUSTAKA ... 28

(14)

DAFTAR TABEL

1. Waktu pengamatan pada jarak horizontal ... 8

2. Alat dan metode yang digunakan dalam analisis contoh air parameter penelitian ... 8

3. Tabel sidik ragam bagi RAK ... 10

4. Interval nilai koefisien korelasi (r) dan kekuatan hubungan ... 12

5. Nilai parameter kualitas air pada hipolimnion Danau Lido ... 14

6. Konsentrasi hidrogen sulfida (mg/L) sebelum aerasi, ketika aerasi dan pascaaerasi hipolimnion ... 14

7. Konsentrasi sulfat (mg/L) sebelum aerasi, ketika aerasi dan pascaaerasi hipolimnion ... 15

8. Penurunan konsentrasi hidrogen sulfida dan COD ... 22

9. Peningkatan konsentrasi oksigen terlarut dan sulfat ... 22

DAFTAR GAMBAR

6. Profil kedalaman perairan pada lokasi pengambilan contoh air ... 13

7. Sebaran melintang Hidrogen sulfida di hipolimnion (kedalaman 4 m) ... 16

8. Sebaran melintang Sulfat di hipolimnion (kedalaman 4 m) ... 17

9. Sebaran melintang Oksigen terlarut di hipolimnion (kedalaman 4 m) ... 19

10. Sebaran melintang COD di hipolimnion (kedalaman 4 m) ... 20

11. Keberadaan oksigen, hidrogen sulfida dan bahan organik selama aerasi hipolimnion ... 21

DAFTAR LAMPIRAN

1. Penentuan kedalaman aerasi hipolimnion ... 30

2. Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian ... 31

3. Analisa data penelitian dengan uji-t berpasangan ... 32

4. Analisa data penelitian dengan rancangan acak kelompok (RAK) ... 34

5. Pendugaan waktu aerasi optimal yang dibutuhkan untuk menurunkan konsentrasi hidrogen sulfida (titik pengamatan 0 m dan 3 m) ... 39

6. Fluktuasi keberadaan oksigen (DO), hidrogen sulfida (H2S) dan bahan organik (COD) selama aerasi hipolimnion ... 43

7. Pendugaaan waktu aerasi untuk mendapatkan konsentrasi oksigen sebesar 3 mg/L ... 45

8. Biaya pembuatan dan operasional alat aerasi hipolimnion, serta pendugaan biaya operasional alat aerasi berdasarkan waktu aerasi optimal ... 47

(15)

16

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Danau Lido adalah salah satu danau buatan yang terletak di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Selain sebagai kawasan wisata, Danau Lido juga dimanfaatkan untuk perikanan budidaya dengan sistem keramba jaring apung (KJA). Budidaya ikan di KJA menghasilkan buangan bahan organik berupa sisa pakan, sisa metabolisme (feses) ikan, dan jasad organisme yang mati. Buangan bahan organik pada kawasan KJA menyebabkan permasalahan kualitas air seperti berkurangnya oksigen serta timbulnya senyawa-senyawa beracun seperti hidrogen sulfida (H2S) pada lapisan bawah dan dasar perairan yang dapat membahayakan kelangsungan hidup ikan saat terjadi umbalan pada musim-musim tertentu. Hal ini dikarenakan adanya peningkatan konsumsi oksigen dalam proses penguraian (dekomposisi) bahan-bahan organik tersebut. Dekomposisi sangat ditentukan oleh beberapa faktor utama, yaitu oksigen (O2), bahan organik, dan dekomposer (organisme pengurai).

Hidrogen sulfida adalah salah satu bentuk sulfur anorganik yang bersifat racun (toksik), hasil dari aktivitas biologis bakteri dalam menguraikan bahan-bahan organik yang mengandung sulfur (dekomposisi protein). Selain itu, H2S juga dapat terbentuk dari reduksi anion-anion sulfat (SO42-) di dalam lapisan sedimen dasar yang kemudian berpindah ke kolom perairan. Proses-proses pembentukan H2S tersebut terjadi pada keadaan tanpa oksigen (anaerob).

Lapisan hipolimnion (lapisan bawah) perairan umumnya memiliki konsentrasi oksigen yang rendah (Novotny dan Olem 1994; Goldman dan Horne 1983). Rendahnya konsentrasi oksigen terjadi karena tidak ada cahaya di lapisan ini, sehingga fotosintesis tidak dapat dilakukan. Oksigen di lapisan hipolimnion hanya bersumber dari transfer oksigen lapisan epilimnion (lapisan atas) yang produktif dalam menghasilkan oksigen hasil fotosintesis fitoplankton dan difusi udara. Penumpukan bahan organik di lapisan hipolimnion tanpa ketersediaan oksigen memicu dekomposisi berlangsung secara anaerob. Hal ini menyebabkan terjadinya akumulasi H2S karena adanya peningkatan pertumbuhan bakteri anaerob serta penyebarannya mulai dari dasar hingga permukaan danau.

(16)

2 Rumusan Masalah

Kegiatan budidaya ikan di KJA Danau Lido menghasilkan limbah bahan organik seperti sisa pakan, feses ikan dan organisme mati atau bangkai ikan. Bahan-bahan organik tersebut berpotensi mengalami dekomposisi secara anaerob di lapisan hipolimnion danau. Defisit oksigen di lapisan hipolimnion mampu memicu tingginya konsentrasi hidrogen sulfida (H2S). Aerasi hipolimnion dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan konsentrasi oksigen di perairan (lapisan hipolimnion). Keberadaan H2S pascaaerasi hipolimnion penting untuk dipelajari karena adanya perubahan konsentrasi oksigen di lapisan hipolimnion. Peningkatan konsentrasi oksigen diharapkan mampu menghambat pembentukan H2S serta memicu proses-proses perubahan sulfur organik menjadi bahan-bahan yang tidak berbahaya bagi kehidupan biota akuatik di dalam danau (Gambar 1).

Gambar 1. Skema pendekatan permasalahan

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat penurunan H2S akibat proses aerasi hipolimnion di Danau Lido, Bogor, Jawa Barat.

Manfaat

(17)

3

METODE PENELITIAN

Waktu dan Lokasi

Penelitian dilakukan di Danau Lido, Bogor, Jawa Barat, yang terletak pada koordinat 106°48’26”-106°48’50” BT dan 6°44’30”-6°44’58” LS. Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2011 hingga Agustus 2011, dengan dua pembagian tahapan penelitian yaitu kegiatan di lapangan dan kegiatan di laboratorium. Kegiatan di lapangan meliputi penelitian pendahuluan dan penelitian utama, berupa pengambilan contoh air. kegiatan di laboratorium berupa analisa contoh air. Analisa contoh air dilaksanakan di Laboratorium Fisika-Kimia Perairan, Bagian Produktivitas dan Lingkungan Perairan, Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan, Fakultas perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Rancangan Penelitian

Penentuan Stasiun Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada kawasan kegiatan budidaya perikanan keramba jaring apung (KJA). Penentuan tersebut dilakukan atas pertimbangan bahwa lokasi ini mengalami tekanan yang lebih besar dibandingkan dengan lokasi lainnya dalam hal masukan bahan organik allochtonous berupa limbah kegiatan KJA seperti pakan ikan (pelet) dan sisa-sisa organisme (sisa metabolisme dan bangkai ikan). Besarnya masukan bahan organik menyebabkan lokasi ini terancam mengalami kondisi anoksik pada hipolimnion sehingga terjadi akumulasi senyawa-senyawa toksik seperti hidrogen sulfida. Penelitian dilakukan di satu unit KJA aktif milik Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) Sempur Bogor,

dengan posisi koordinat 106°48’42,6” BT dan 6°44’30,3” LS di Danau Lido

(Gambar 2).

Penelitian Pendahuluan

(18)

4

Gambar 2. Peta lokasi penelitian di KJA Danau Lido

(19)

5 Penentuan kedalaman aerasi juga mempertimbangkan waktu dan lokasi kritis nilai konsentrasi oksigen terlarut di perairan. Oleh karena itu, dilakukan pengamatan konsentrasi oksigen terlarut selama 24 jam pada kedalaman 0-4,25 m di stasiun penelitian. Berdasarkan Gambar 3, diperoleh informasi bahwa kedalaman 4,25 m memiliki konsentrasi oksigen terlarut paling rendah, dengan kisaran 0,65-1,57 mg/L, sedangkan untuk lapisan di atasnya (0-1,6 m) memiliki konsentrasi oksigen terlarut lebih besar, dengan kisaran 3,48-7,67 mg/L. Lapisan oksik perairan (konsentrasi oksigen terlarut 3 mg/L) hanya sampai kedalaman kurang dari 3 m. Hal ini menggambarkan bahwa berlangsungnya proses fotosintesis, yang merupakan salah satu sumber oksigen bagi kolom perairan, tidak memiliki pengaruh yang besar di kedalaman lebih dari 3 m sehingga konsentrasi oksigen terlarut rendah.

Meskipun telah diketahui bahwa kandungan oksigen terlarut di kedalaman 3 m telah kurang dari 3 mg/L, aerasi tidak dilakukan di kedalaman ini. Hal ini dikarenakan jaring pada unit KJA yang digunakan mencapai kedalaman 3 m dari permukaan perairan, sehingga dikhawatirkan pengoperasian alat aerasi dan proses pengambilan contoh air yang dilakukan dapat mengganggu kegiatan budidaya ikan yang tengah berlangsung. Oleh karena itu, kedalaman 4 m dipilih sebagai kedalaman hipolimnion yang diberi aerasi. Pemilihan kedalaman 4 m juga diperkuat oleh informasi bahwa konsentrasi oksigen terlarut di kedalaman 4 m tidak berbeda nyata pada berbagai waktu pengamatan (Uji F, dengan p>0,05) (Lampiran 1). Hal ini mengindikasikan bahwa pengaruh fotosintesis di kedalaman 4 m pada waktu siang hari sangat kecil bahkan tidak ada.

Penelitian Utama

Penelitian utama dilakukan dengan menerapkan alat aerasi hipolimnion (Gambar 4). Keberadaan hidrogen sulfida diamati pada 5 titik yang menyebar secara horizontal mulai dari titik outlet alat aerasi, yaitu pada jarak 0 m, 1,5 m, 3 m, 4,5 m, dan 8 m dari titik outlet aerasi dengan mempertimbangkan arah arus danau. Titik-titik pengamatan secara horizontal tersebut ditentukan berdasarkan hasil penelitian Nursandi (2011), yang menunjukkan bahwa sebaran oksigen terlarut pengaruh aerasi pada kedalaman 4 m berkurang pada jarak 8 m dari titik outlet aerasi. Untuk memudahkan dalam proses pengambilan contoh air, dipilih jarak pengamatan dengan selang 1,5 m. Sementara pengamatan pada jarak 8 m dilakukan untuk melihat keberadaan hidrogen sulfida yang kurang bahkan tidak mendapat pengaruh dari areasi. Selain itu, untuk melihat respon keberadaan hidrogen sulfida terhadap proses aerasi dilakukan pengamatan secara temporal yang dibagi menjadi tiga periode pengamatan, yaitu pengamatan sebelum aerasi, pengamatan pada saat alat aerasi beroperasi dan pengamatan pascaaerasi hipolimnion (Tabel 1).

(20)
(21)

16

(22)

2

(23)
(24)

26 Air yang telah mengalami kontak dengan udara dikembalikan ke lapisan hipolimnion sumber air semula. Efektivitas dari proses aerasi hipolimnion tergantung pada laju aliran (flow rate) dan volume air yang dapat diaerasi. Semakin banyak air yang diaerasi, maka semakin besar kemungkinan terjadinya peningkatan konsentrasi oksigen terlarut pada lapisan hipolimnion. Pada penelitian ini, volume air yang dialirkan ke talang aerasi adalah 120 liter selama 5 menit, sehingga didapatkan laju aliran air yang diaerasi sebanyak 24 liter/menit. Laju aliran air sangat tergantung pada ukuran talang dan kekuatan pompa.

Pengambilan contoh air dilakukan dengan menggunakan vanDorn water sampler. Air contoh yang diambil kemudian dipindahkan ke dalam botol air contoh untuk selanjutnya dianalisis di laboratorium. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian disajikan pada Lampiran 3.

Tabel 1. Waktu pengamatan pada jarak horizontal

Waktu Pengamatan Pukul

Sebelum aerasi 08.00 wib

Mulai aerasi 09.00 wib

5 jam aerasi 14.00 wib

10 jam aerasi 19.00 wib

5 jam pascaaerasi 00.00 wib

10 jam pascaaerasi 05.00 wib

15 jam pascaaerasi 10.00 wib

Analisis Contoh Air

Parameter utama yang diukur dalam penelitian ini adalah hidrogen sulfida (H2S), sulfat (SO42-) dan oksigen terlarut (DO). Parameter pendukung yang berpengaruh terhadap parameter utama juga diamati, yaitu suhu, pH dan COD (Chemical Oxygen Demand). Analisis parameter penelitian dilakukan secara in situ dan ex situ sesuai dengan sifat masing-masing parameter. Alat dan metode yang digunakan dalam analisis contoh air disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Alat dan metode yang digunakan dalam analisis contoh air parameter penelitian

Parameter Satuan Alat/Metode* Penanganan

contoh Keterangan

COD mg/L Titrasi/Reflux,Titimetri K2Cr2O7 Pendinginan Ex situ Sulfida

(H2S)

mg/L Spektrofotometer/biru metilen

= 670 nm Pendinginan Ex situ

Sulfat (SO4

2-) mg/L Spektrofotometer/Turbidimetri Pendinginan Ex situ *Sumber: Eaton et al. (2005)

(25)

3 Analisis Data

Uji t

Uji t berpasangan digunakan untuk mengetahui perbedaan konsentrasi parameter kualitas air dipengaruhi aerasi hipolimnion. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut (Walpole 1993):

̅ √

dengan: t = nilai t hitung,

̅ = rata-rata selisih nilai parameter (praaerasi dan pascaaerasi),

Nilai t-hitung dan t-tabel diperoleh dengan menggunakan perangkat lunak MS. Excel (Data Analysist test paired two samples for means).

Persentase perubahan nilai parameter kualitas air

Persentase perubahan konsentrasi parameter kualitas air dihitung untuk mengetahui besarnya perubahan parameter pengamatan yang terjadi pada pengamatan aerasi dan pascaaerasi dibandingkan dengan kondisi praaerasi hipolimnion. Adapun perhitungan konsentrasi parameter kualitas air dilakukan sebagai berikut:

dan

dengan: a = nilai parameter kualitas air sebelum dilakukan aerasi hipolimnion,

b = nilai parameter kualitas air setelah dilakukan aerasi hipolimnion.

Rancangan Acak Kelompok

(26)

4 aerasi sebagai kelompok. Rumus umum rancangan acak kelompok adalah sebagai berikut (Mattjik dan Sumertajaya 2000):

dengan:

Yi j

= Nilai respon pada faktor perlakuan waktu pengamatan taraf ke-i, faktor kelompok jarak horizontal taraf ke-j,

µ = Rataan umum populasi,

αi = Pengaruh perlakuan waktu pengamatan taraf ke-i,

βj = Pengaruh kelompok jarak horizontal taraf ke-j, dan

ε

ij = Pengaruh acak pada faktor perlakuan waktu pengamatan taraf ke-i, faktor kelompok jarak horizontal taraf ke-j.

Analisis data menggunakan RAK disajikan dalam bentuk tabel sidik ragam (Tabel 3). Pengaruh perlakuan lamanya aerasi terhadap perubahan konsentrasi parameter penelitian yang diukur dapat diketahui dengan uji hipotesis antara lain:

Pengaruh perlakuan

H0: α1

=

α2

=

...

=

αi

=

0

(perlakuan waktu pengamatan tidak berpengaruh terhadap perubahan konsentrasi parameter kualitas air), dan

H1: setidaknya ada satu i dengan αi

0

(perlakuan waktu pengamatan berpengaruh terhadap perubahan konsentrasi parameter kualitas air).

Pengaruh kelompok

H0: β1

=

β2

=

...

=

βi

=

0

(kelompok jarak horizontal tidak berpengaruh terhadap perubahan konsentrasi parameter kualitas air), dan

H1: setidaknya ada satu i dengan βi

0

(kelompok jarak horizontal berpengaruh terhadap perubahan konsentrasi parameter kualitas air).

Tabel 3. Tabel sidik ragam bagi RAK

(27)

5 Kesimpulan yang dapat diambil dari tabel sidik ragam bagi RAK adalah sebagai berikut:

(1) Jika F hitung < F tabel maka gagal tolak H0, berarti perlakuan atau kelompok tidak memberikan pengaruh terhadap perubahan konsentrasi parameter pada selang kepercayaan 95%.

(2) Jika F hitung > F tabel maka Tolak H0, berarti minimal ada satu perlakuan atau kelompok yang memberikan pengaruh terhadap perubahan konsentrasi parameter pada selang kepercayaan 95%.

Untuk melihat perlakuan dan kelompok yang memberikan pengaruh berbeda nyata, maka dilakukan uji lanjut BNT (Beda Nyata Terkecil).

Uji lanjut BNT (Beda Nyata Terkecil)

Meskipun perbedaan dapat terlihat melalui hasil uji F, akan tetapi hal itu tidak memberi informasi mengenai perlakuan atau kelompok yang memberikan pengaruh terhadap parameter sehingga parameter memiliki karakteristik paling berbeda. Diperlukan uji lanjutan untuk mengetahui hal tersebut, yaitu dengan uji beda rerata pengaruh perlakuan (Boer 2001). Uji BNT hanya dapat digunakan jika nilai F yang diperoleh berdasarkan tabel sidik ragam nyata. Nilai BNT dinyatakan dengan rumus:

Kriteria pengambilan keputusannya adalah jika beda absolut dari dua perlakuan (d) lebih besar dari nilai BNT, maka dapat disimpulkan bahwa kedua

perlakuan tersebut berbeda nyata pada taraf nyata α (tolak H0).

Regresi

(28)

6 pasangan variabel yang mempunyai kecenderungan hubungan linier dan regresi polinomial untuk sejumlah pasangan variabel yang mempunyai kecenderungan berupa kurva lengkung. Secara umum, model regresi polinomial ditulis dalam bentuk:

̂ ; i = 1, 2, 3,... dengan: ̂ = nilai dugaan yang dihasilkan garis regresi,

= intersep atau perpotongan dengan sumbu tegak, dan

= koefisien-koefisien regresi = peubah bebas

= residual yang tidak dapat dijelaskan oleh model regresi Dalam regresi dikenal istilah koefisien korelasi Pearson (r) yang digunakan untuk mengukur derajat hubungan dari dua peubah. Kisaran nilai r yang menyatakan kekuatan hubungan antara peubah disajikan pada Tabel 4. Koefisien korelasi Pearson dirumuskan sebagai berikut:

∑ ∑ ∑

√ ∑

dengan: r = koefisien korelasi Pearson, X = peubah bebas,

Y = peubah terikat, dan n = jumlah pasangan data.

Tabel 4. Interval nilai koefisien korelasi (r) dan kekuatan hubungan

Interval Nilai Kekuatan Hubungan

r = 0,0 Tidak ada

0,0 < r ≤ 0,4 Rendah atau lemah tetapi pasti

0,4 < r ≤ 0,7 Cukup berarti atau sedang

0,7 < r ≤ 1,0 Tinggi atau kuat, dapat diandalkan

r =1,0 Sempurna

Sumber: Hasan (2004)

(29)

7

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Hipolimnion Kawasan KJA Danau Lido

Budidaya ikan dalam KJA merupakan teknologi budidaya ikan yang dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya perairan danau atau waduk. Pembudidaya ikan di Danau Lido umumnya menggunakan satu petak jaring apung berukuran 2 x 2 x 3 m3. Komoditas ikan yang umum dibudidayakan adalah ikan mas (Cyprinus carpio) dan ikan nila (Oreochromis niloticus). Profil kedalaman dari titik-titik pengamatan pada lokasi penelitian berada pada kisaran 4,5-8 m (Gambar 6). Kedalaman minimum dari dasar perairan terhadap titik pengamatan (0,5 m) terdapat pada jarak horizontal 8 m, karena titik pengamatan tersebut berdekatan dengan outlet danau dan daratan sehingga berpeluang menjadi muara bagi endapan material tersuspensi baik organik maupun anorganik.

Gambar 6. Profil kedalaman perairan pada lokasi pengambilan contoh air (dengan arah mengikuti arus air danau)

(30)

8 Tabel 5. Nilai parameter kualitas air pada hipolimnion (kedalaman 4 m) Danau

Lido

Parameter Satuan Baku mutu*

Baku mutu kualitas air menurut PP RI No. 82 Tahun 2001 kelas III

Sebaran Hidrogen sulfida (H2S) Pascaaerasi Hipolimnion

Penerapan aerasi hipolimnion merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas air. Aerasi yang dilakukan diharapkan mampu menurunkan konsentrasi hidrogen sulfida di perairan. Konsentrasi hidrogen sulfida (mg/L) pada hipolimnion Danau Lido ditunjukkan pada Tabel 6. Berdasarkan Tabel 6, konsentrasi hidrogen sulfida mengalami penurunan pada seluruh titik pengamatan (jarak horizontal 0-8 m) ketika aerasi dilakukan selama 5 jam sampai 10 jam. Namun, konsentrasinya kembali meningkat ketika aerasi dihentikan.

Hasil uji t (Lampiran 4a) menunjukkan bahwa ketika aerasi dilakukan selama 5 jam, konsentrasi hidrogen sulfida mengalami penurunan yang signifikan (p<0,05). Penurunan konsentrasi hidrogen sulfida mengalami peningkatan secara signifikan ketika aerasi dilakukan selama 10 jam (p<0,05). Peningkatan konsentrasi hidrogen sulfida mulai terjadi pada 5 jam pascaaerasi sampai 10 jam pascaaerasi. Konsentrasi hidrogen sulfida cenderung lebih rendah pada saat 15 jam pascaaerasi dibandingkan dengan saat sebelum aerasi dilakukan pada masing-masing jarak pengamatan (p<0,05).

Tabel 6. Konsentrasi hidrogen sulfida (mg/L) sebelum aerasi, ketika aerasi dan pascaaerasi hipolimnion

Jarak Sebelum Aerasi Pascaaerasi

Horizontal (m) Aerasi 5 jam 10 jam 5 jam 10 jam 15 jam

(31)

9 hidrogen sulfida diharapkan tidak secara langsung meningkat karena diasumsikan di perairan masih tersedia cadangan oksigen terlarut. Konsentrasi hidrogen sulfida mulai mengalami peningkatan yang hampir seragam hingga jarak horizontal 8 m pada pengamatan 5 jam pascaaerasi, dengan peningkatan terbesar terjadi pada jarak horizontal 3 m. Akan tetapi pada pengamatan 15 jam pascaaerasi, konsentrasi hidrogen sulfida terlihat kembali menurun di masing-masing jarak horizontalnya.

Berdasarkan hasil uji F (Lampiran 5a) diperoleh informasi bahwa perbedaan waktu pengamatan memberi pengaruh terhadap konsentrasi hidrogen sulfida (p<0,05). Waktu pengamatan yang berpengaruh nyata berdasarkan uji lanjut BNT adalah sebelum aerasi dan 5 jam aerasi (penurunan konsentrasi hidrogen sulfida), sebelum aerasi dan 10 jam aerasi (penurunan konsentrasi hidrogen sulfida), 5 jam aerasi dan 10 jam pascaaerasi (peningkatan konsentrasi hidrogen sulfida), serta 10 jam aerasi dan 10 jam pascaaerasi (peningkatan konsentrasi hidrogen sulfida). Kelompok jarak horizontal tidak memberi pengaruh terhadap konsentrasi hidrogen sulfida (p>0,05).

Sebaran Sulfat (SO42-) Pascaaerasi Hipolimnion

Nilai konsentrasi sulfat (mg/L) di hipolimnion Danau Lido disajikan pada Tabel 7. Aerasi yang dilakukan selama 10 jam berdampak pada penurunan konsentrasi sulfat (p<0,05). Konsentrasi sulfat mulai meningkat setelah aerasi selama 10 jam selesai dioperasikan (p<0,05) (Lampiran 4a).

Tabel 7. Konsentrasi sulfat (mg/L) sebelum aerasi, ketika aerasi dan pascaaerasi hipolimnion

Jarak Sebelum Aerasi Pascaaerasi

Horizontal (m) Aerasi 5 jam 10 jam 5 jam 10 jam 15 jam awalnya menyebabkan penurunan konsentrasi sulfat. Konsentrasi sulfat menurun selama aerasi dilakukan (10 jam aerasi) terutama pada titik outlet aerasi. Peningkatan konsentrasi sulfat baru terjadi ketika aerasi dihentikan, yaitu pada 5 jam pascaaerasi hingga 15 jam pascaaerasi. Akan tetapi sebaran konsentrasinya tidak lebih besar daripada konsentrasi awal sebelum aerasi.

(32)
(33)

1

(34)

2

(35)
(36)

26 Hasil uji F (Lampiran 5b) menunjukkan adanya perbedaan waktu pengamatan yang berpengaruh terhadap konsentrasi sulfat (p<0,05), sedangkan kelompok jarak horizontal tidak memberi pengaruh terhadap konsentrasi sulfat (p>0,05). Berdasarkan uji BNT, waktu pengamatan yang memberi pengaruh nyata bagi penurunan konsentrasi sulfat adalah antara sebelum aerasi dan 10 jam aerasi, 5 jam aerasi dan 10 jam aerasi, sebelum aerasi dan 10 jam pascaaerasi. Peningkatan konsentrasi sulfat diperoleh pada 10 jam aerasi dan 5 jam pascaaerasi, 10 jam aerasi dan 15 jam pascaaerasi.

Faktor yang mempengaruhi keberadaan hidrogen sulfida

Penurunan konsentrasi hidrogen sulfida selama pengoperasian aerasi hipolimnion diduga merupakan dampak dari adanya perubahan yang terjadi pada nilai konsentrasi parameter-parameter lain seperti oksigen terlarut, bahan organik (COD), suhu dan pH. Pada penelitian ini, kondisi suhu hipolimnion yang diamati relatif stabil dengan kisaran 25,5 sampai 26 oC. Nilai pH yang diamati selama penelitian berkisar antara 6,81 sampai 7,10.

Penyebaran konsentrasi oksigen terlarut secara horizontal disajikan pada Gambar 9. Konsentrasi oksigen mengalami peningkatan selama aerasi dioperasikan. Pada jarak horizontal 0 m dan 1,5 m peningkatan konsentrasi oksigen terjadi seketika mulai dari aerasi dioperasikan selama 5 jam. Pada jarak horizontal 3 m, aerasi selama 5 jam belum cukup untuk meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut. Peningkatan konsentrasi oksigen baru terjadi setelah aerasi dilakukan selama 10 jam (p<0,05). Setelah pengoperasian aerasi dihentikan, konsentrasi oksigen terlarut tampak mengalami penurunan hingga 15 jam pascaaerasi. Walaupun begitu, sebaran konsentrasi oksigen terlarut masih lebih besar dibandingkan dengan konsentrasi awal sebelum dilakukannya aerasi (p<0,05) (Lampiran 4b). Berdasarkan hasil uji F (Lampiran 5c), diperoleh informasi bahwa perbedaan waktu pengamatan dan kelompok jarak horizontal memberi pengaruh terhadap konsentrasi oksigen terlarut di perairan (p<0,05). Uji lanjut BNT menunjukkan bahwa waktu yang berpengaruh nyata adalah sebelum aerasi dan aerasi 10 jam (peningkatan oksigen terlarut). Kelompok jarak horizontal yang berpengaruh nyata antara lain adalah 0 m dan 3 m, 0 m dan 4,5 m, 0 m dan 8 m.

Faktor lain yang turut berperan penting dalam perubahan konsentrasi hidrogen sulfida selama dilakukannya aerasi hipolimnion adalah bahan organik yang diwakili oleh parameter COD. Sebaran konsentrasi COD secara horizontal disajikan pada Gambar 10. Konsentrasi COD mengalami penurunan pada jarak 1,5 m, 3m, dan 4,5 m (p<0,05). Sementara aerasi selama 10 jam menyebabkan penurunan konsentrasi COD hingga jarak horizontal 8 m dari outlet aerasi. Akan tetapi setelah aerasi dihentikan (5 jam hingga 15 jam pascaaerasi), konsentrasi COD meningkat dengan nilai yang sama seperti kondisi awal sebelum aerasi (p<0,05) (Lampiran 4b). Hasil uji F (Lampiran 5d) menunjukkan bahwa perbedaan waktu pengamatan memberi pengaruh terhadap konsentrasi COD di perairan (p<0,05). Melalui uji BNT diperoleh informasi bahwa waktu pengamatan yang berpengaruh nyata adalah sebelum aerasi dan aerasi 10 jam (penurunan konsentrasi COD)

(37)

17

(38)

18

(39)

19 aerasi 5 jam dan pascaaerasi (peningkatan konsentrasi COD), aerasi 10 jam dan pascaaerasi (peningkatan konsentrasi COD). Kelompok jarak horizontal tidak memberi pengaruh terhadap konsentrasi bahan organik di perairan (p<0,05).

Keberadaan hidrogen sulfida, oksigen terlarut dan bahan organik (COD) selama aerasi hipolimnion berdasarkan persentase konsentrasinya masing-masing disajikan pada Gambar 11 (Lampiran 6). Berdasarkan Gambar 11, konsentrasi oksigen terlarut mulai meningkat ketika aerasi mulai dioperasikan hingga 10 jam aerasi. Peningkatan konsentrasi oksigen terlarut terjadi seiring dengan penurunan konsentrasi COD dan hidrogen sulfida. Begitupun sebaliknya, penurunan konsentrasi oksigen terlarut mulai terjadi setelah aerasi dihentikan (pascaaerasi) dengan diiringi peningkatan konsentrasi COD dan hidrogen sulfida.

Gambar 11. Fluktuasi keberadaan oksigen (DO), hidrogen sulfida (H2S) dan bahan organik (COD) selama aerasi hipolimnion

Penurunan konsentrasi hidrogen sulfida dan bahan organik (COD) dipengaruhi aerasi hiolimnion

(40)

320 Tabel 8.Penurunan konsentrasi hidrogen sulfida dan COD

Parameter Lama Nilai rata-rata Nilai rata-rata Penurunan

aerasi sebelum aerasi (mg/L) saat aerasi (mg/L) (%)

Hidrogen sulfida 5 jam 0,091 0,057 37,04

10 jam 0,091 0,044 51,85

COD 5 jam 53,69 34,63 35,51

10 jam 53,69 30,11 43,92

Peningkatan konsentrasi oksigen terlarut dan sulfat dipengaruhi aerasi hipolimnion

Oksigen merupakan parameter yang sangat dibutuhkan bagi kelangsungan hidup organisme akuatik, karena selain dimanfaatkan untuk respirasi oksigen juga diperlukan untuk proses perombakan bahan organik di perairan. Aerasi yang dilakukan pada penelitian ini berhasil meningkatkan konsentrasi oksigen. Peningkatan konsentrasi oksigen terlarut dan konsentrasi sulfat hingga jarak horizontal 3 m selama aerasi hipolimnion disajikan pada Tabel 9. Aerasi selama 5 jam mampu meningkatkan konsentrasi rata-rata oksigen terlarut hingga 70% dengan puncak peningkatan konsentrasi tertinggi pada jarak 0 m dari outlet aerasi (85,7%). Peningkatan rata-rata konsentrasi oksigen terlarut yang lebih besar terjadi ketika pengoperasian aerasi selama 10 jam, yaitu sebesar 86,36%. Hal ini menunjukkan bahwa semakin lama aerasi dilakukan, peningkatan konsentrasi oksigen terlarut di perairan akan semakin besar. Di sisi lain, peningkatan rata-rata konsentrasi sulfat terjadi pada awal pengoperasian aerasi (5 jam aerasi) dan setelah aerasi selesai dilakukan (5 jam pascaaerasi, 10 jam pascaaerasi dan 15 jam pascaaerasi). Hal ini mengindikasikan bahwa aerasi yang dilakukan pada penelitian ini tidak mempengaruhi konsentrasi sulfat di perairan, karena perubahan konsentrasi sulfat yang terjadi tidak lebih besar dari konsentrasi sulfat sebelum aerasi.

(41)

321 Pembahasan

Danau Lido merupakan danau semi alami yang terbentuk ketika dibendungnya Sungai Ciletuh guna pembangunan jalan raya yang menghubungkan Bogor-Sukabumi pada abad ke 18. Danau Lido terletak di sebelah selatan Kota Bogor, termasuk ke dalam wilayah Desa Wates Jaya, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Sejak tahun 1978, Balai Penelitian Perikanan Air Tawar, Direktorat Jendral Perikanan Bogor telah melakukan kegiatan perikanan budidaya dengan menggunakan keramba jaring apung (KJA) (Basmi 1991). Setelah itu diikuti pengusaha dan penduduk setempat yang juga membuka usaha perikanan dengan penggunaan jaring apung di danau tersebut. Kegiatan tersebut berlangsung sampai sekarang dan berpusat di bagian timur (dekat outlet) danau.

Seiring dengan berjalannya waktu, kegiatan perikanan budidaya dengan KJA diduga telah menyebabkan penurunan kualitas perairan yang pada akhirnya akan menurunkan daya guna perairan baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Salah satu indikasi penurunan kualitas perairan adalah rendahnya konsentrasi oksigen terlarut yang mampu memicu akumulasi bahan toksik seperti hidrogen sulfida (H2S). Penurunan kualitas air yang terjadi di Danau Lido sebelumnya pernah dikaji oleh Amalia (2010) yang menyatakan bahwa kawasan badan air yang menjadi tempat kegiatan budidaya menggunakan KJA memiliki kualitas air yang lebih rendah dibandingkan kawasan badan air yang tidak menjadi tempat budidaya dalam KJA (non KJA). Hal ini dapat dilihat dari konsentrasi oksigen terlarut pada kawasan non KJA yang berkisar antara 5,51-7,94 mg/L, sementara pada kawasan KJA berkisar antara 2,06-4,19 mg/L.

Berdasarkan hasil penelitian, konsentrasi oksigen terlarut di lapisan hipolimnion (kedalaman 4 m) pada kawasan KJA diketahui sangat kecil, yaitu 0,1 mg/L. Rendahnya konsentrasi oksigen terlarut di lapisan hipolimnion disebabkan sedikitnya intensitas cahaya matahari yang dapat menembus kedalaman perairan sehigga proses fotosintesis tidak berjalan dengan baik, akibatnya oksigen yang dihasilkan pun rendah dan bahkan tidak ada. Sumber oksigen di lapisan hipolimnion hampir tidak ada, kecuali jika terjadi pembalikan massa air (upwelling). Menurut Cornett dan Rigler (1987) in Pratiwi (2009), konsentrasi oksigen di lapisan hipolimnion merupakan hasil bersih dari sisa dekomposisi bahan organik di sedimen dasar dan respirasi biota perairan ditambah oksigen yang berasal dari hasil fotosintesis biota pelagis dan bentik serta transfer oksigen secara vertikal karena turbulensi.

(42)

322 terbentuk dari reduksi anion-anion sulfat (SO42-) yang terjadi pada lapisan sedimen dasar yang kemudian berpindah ke kolom perairan. Proses-proses pembentukan H2S terjadi dalam keadaan anaerob. Ketika oksigen berkurang (deplesi) akibat bakteri aerob di dalam sedimen dasar dan lapisan hipolimnion perairan, nitrat (NO3) dan SO42- menjadi akseptor elektron alternatif yang digunakan oleh bakteri anaerob dalam mendekomposisi bahan-bahan organik yang tersisa. Jika NO3 telah habis digunakan atau tidak tersedia, bakteri akan menggunakan SO42- untuk memenuhi kebutuhan oksigennya, menyisakan ion-ion bisulfida (S2-) yang kemudian bergabung dengan ion hidrogen lalu membentuk H2S (Goldman dan Horne 1988; Bagarinao 1992). Chen dan Morris (1972) menyatakan bahwa H2S yang dihasilkan dari reduksi SO42- akan bereaksi dengan Fe2+ untuk membentuk mineral pyrite (FeS).

Penerapan aerasi hipolimnion merupakan salah satu upaya untuk memperbaiki kualitas air (Hartoto 1993). Aerasi yang dilakukan diharapkan mampu menurunkan konsentrasi H2S di perairan. Swisctock et al. (2001) menyatakan bahwa aerasi (Aeration) merupakan salah satu cara yang paling memungkinkan untuk diterapkan jika dibandingkan dengan cara lain yang telah diaplikasikan, seperti Continous Chlorination and Filtration, Continous Potassium Permanganate with Filtration, Oxidizing Filters, Ion Exchange, Carbon Filtration dan Shock Chlorination. Selain tidak menggunakan penambahan bahan kimia ke perairan yang tentunya dapat menimbulkan efek membahayakan bagi kualitas air, biaya pemeliharaan alat aerasi juga terhitung lebih terjangkau. Berdasarkan hasil penelitian, aerasi selama 5 jam dan 10 jam yang dilakukan di lapisan hipolimnion Danau Lido menyebabkan penurunan konsentrasi H2S berturut-turut 37,04% dan 51,85%. Penurunan terbesar ketika aerasi dilakukan selama 5 jam terjadi pada jarak 1,5 m dari titik outlet aerasi, yaitu sebesar 50% dan penurunan terkecil terjadi pada jarak 4,5 m dari titik outlet aerasi, yaitu sebesar 22,2%. Sedangkan ketika aerasi dilakukan selama 10 jam, penurunan terbesar konsentrasi H2S terjadi pada jarak 3 m dari titik outlet aerasi, yaitu sebesar 60% dan penurunan terkecil terjadi pada jarak 8 m dari titik outlet aerasi, yaitu sebesar 16% (Gambar 7).

(43)

323 ion bisulfida (S2-) lebih mendominasi. H2S dalam bentuk tak terionisasi (unionized) merupakan bentuk yang paling toksik dan mampu berdifusi secara bebas melewati membran (Boyd 1982; Bagarinao 1992; Dodds 2003).

Penurunan konsentrasi H2S secara biologi merupakan dampak dari peningkatan konsentrasi oksigen terlarut yang diharapkan mampu memicu proses dekomposisi tetap dalam keadaan aerob. Berdasarkan hasil penelitian, aerasi yang dilakukan selama 10 jam mampu meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut hingga 86,63%, yaitu dari 0,1 mg/L menjadi 1,0 mg/L. Konsentrasi oksigen hasil penerapan aerasi masih tergolong rendah dan belum memenuhi baku mutu kualitas perairan bagi kegiatan perikanan (3 mg/L). Meskipun konsentrasi oksigen terlarut masih relatif rendah, peningkatannya yang lebih dari 50% tersebut mampu menyebabkan penurunan bahan organik yang tergambarkan oleh konsentrasi COD hingga 43,92%, dengan penurunan terbesar pada jarak 1,5 m dari titik outlet, yaitu sebesar 61,2%. Penurunan konsentrasi COD mengindikasikan telah terjadinya proses perombakan bahan organik secara aerob di lapisan hipolimnion oleh mikroba dekomposer (Henny 2009). Peningkatan oksigen terlarut di lapisan hipolimnion mengakibatkan distribusi bakteri aerob semakin meningkat sehingga proses dekomposisi bahan organik berjalan secara aerob dan tidak menghasilkan H2S. H2S beracun (toksik) bagi tumbuhan, hewan dan manusia (Kawahara et al. 2008). Rianto (2003) menyatakan bahwa masuknya sulfida dalam tubuh biota akuatik akan menimbulkan kelumpuhan dan kerusakan pada organ pernapasan, kerusakan tersebut disebabkan oleh sulfida sangat sedikit diekskresikan dan sebagian besar senyawa sulfida akan menempel pada insang sehingga mengganggu fungsi alat pernapasan. Selain itu, H2S juga dikenal memiliki sifat toksik terhadap tumbuhan (phytotoxin). Koch et al. (1990) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa H2S dapat menghambat kemampuan tumbuhan air untuk memperoleh nutrien sehingga pertumbuhannya menjadi lambat atau bahkan mati.

Setelah aerasi dihentikan, pasokan oksigen terlarut ke lapisan hipolimnion dari proses aerasi terhenti dan secara langsung menyebabkan penurunan konsentrasi oksigen terlarut di perairan (Garrel et al. 1977). Hal ini juga berdampak pada peningkatan konsentrasi COD seperti kondisi awal sebelum aerasi dan bahkan lebih besar (p<0,05). Peningkatan konsentrasi COD pascaaerasi juga memberi pengaruh terhadap peningkatan konsentrasi H2S (p<0,05). Pernyataan tersebut juga diperkuat oleh persamaan regresi yang diperoleh H2S = –

0,0006COD2 + 0,0443COD – 0,7304 ; r = 1. Berdasarkan nilai b yang positif dalam persamaan tersebut, dapat diduga bahwa peningkatan konsentrasi COD akan menyebabkan peningkatan konsentrasi H2S di perairan. Bahan organik di dasar Danau Lido yang dapat berupa sisa pakan ikan, sisa metabolisme dan jasad organisme yang mati banyak mengandung protein yang mengandung senyawa sulfur yaitu aginin dan sistein, yang bila tereduksi secara anaerobik akan menghasilkan ion sulfida (Sugiarti et al. 2011).

Hubungan penurunan konsentrasi H2S dengan peningkatan konsentrasi oksigen terlarut pada saat aerasi hipolimnion dapat diduga menggunakan persamaan H2S = –0,037DO2 – 0,003DO + 0,091 ; r = 1 pada titik pengamatan 0

m dan persamaan H2S = -0,134DO + 0,094 ; r = 0,76 pada titik pengamatan 3 m.

(44)

324 berturut-turut sebesar 1,55 mgO2/L (Lampiran 5a) dan 0,69 mgO2/L (Lampiran 5c). Untuk menduga lamanya waktu aerasi yang perlu dilakukan guna mengupayakan peningkatan oksigen terlarut menjadi optimal dan memenuhi baku mutu kualitas perairan bagi kegiatan perikanan (3 mg/L), digunakan persamaan hubungan antara lamanya waktu aerasi dan peningkatan konsentrasi oksigen terlarut, dengan persamaan DO = 0,09(taerasi) + 0,15 ; r = 0,98 pada titik

pengamatan 0 m serta persamaan DO = 0,03(taerasi) + 0,05 ; r = 0,87. Berdasarkan

persamaan-persamaan tersebut, pendugaan lamanya waktu aerasi yang optimal adalah 15 jam 34 menit untuk titik pengamatan 0 m (Lampiran 5b) dan 21 jam 26 menit untuk titik pengamatan 3 m (Lampiran 5d).

Akan tetapi pendugaan lamanya waktu aerasi belum sepenuhnya dapat dijadikan acuan bagi penerapan aerasi di Danau Lido karena berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa setelah aerasi dihentikan (pascaaerasi), konsentrasi oksigen terlarut, COD dan H2S kembali ke kondisi awal sebelum aerasi. Hal ini menunjukkan bahwa beban bahan organik dan anorganik di hipolimnion Danau Lido cukup besar karena aktivitas budidaya ikan di KJA telah berlangsung sejak tahun 1978 (Basmi 1991).

Aerasi hipolimnion yang dilakukan tidak memberikan pengaruh bagi parameter pendukung seperti pH, suhu dan sulfat (SO42-). Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa lapisan hipolimnion merupakan lapisan kolom air yang tidak mendapatkan pengaruh cahaya matahari sehingga suhu cenderung rendah dan stagnan. Meskipun terjadi perubahan konsentrasi SO42- setelah aerasi dilakukan selama 5 jam, akan tetapi penurunan konsentrasi SO42- yang teramati tidak signifikan (p>0,05). Konsentrasi SO42- pascaaerasi hipolimnion cenderung sama besarnya seperti kondisi awal sebelum aerasi dilakukan (p<0,05). Hal ini mengindikasikan bahwa kandungan SO42- yang terdapat pada kolom air Danau Lido tidak banyak, atau diduga kandungan SO42- lebih banyak terdapat pada sedimen dasar perairan. Menurut Weiner (2008), kandungan konsentrasi SO42- di perairan yang melebihi 60 mg/L dengan pH <6 merupakan kondisi yang memicu pembentukan H2S yang berasal dari proses reduksi SO42- oleh bakteri anaerob. Langmuir (1997) menyatakan bahwa kandungan SO42- di perairan danau selain bersumber dari kegiatan pertanian yang ada di sekitar danau, juga berasal dari pelapukan batuan atau erosi tanah dimana senyawa SO42- yang terkandung di dalamnya berikatan dengan logam-logam seperti barium (Ba2+) sehingga tidak larut dalam air. Senyawa SO42- juga dapat berasal dari proses oksidasi yang dimediasi oleh mikroorganisme heterotrof dengan S2- sebagai reaktannya. Mikroorganisme heterotrof, baik aerobik maupun anaerobik, memiliki peranan yang sangat penting dalam proses mineralisasi bahan organik yang melibatkan H2S dan SO42- di setiap perubahannya (Krevš dan Kučinskienė 2009).

(45)

325 kehidupan biota budidaya yang hidup di permukaan perairan. H2S dapat terangkat ke permukaan perairan terutama karena peristiwa termodinamik, yaitu dengan adanya perbedaan suhu yang ekstrim pada lapisan permukaan dan dasar perairan. Peristiwa demikian biasanya terjadi sesudah hujan lebat dimana suhu di permukaan lebih rendah dibandingkan dengan suhu di dasar perairan. Keadaan demikian mengakibatkan massa air yang ada di permukaan perairan menjadi lebih berat dan akan turun ke dasar peraiaran. Massa air yang turun tersebut akan mendesak massa air yang ada di dasar danau untuk naik ke permukaan. Dengan demikian bahan organik dan anorganik serta gas-gas beracun akan terangkat dan terdistribusi ke permukaan perairan (Basmi 1991). Terlebih lagi Tambunan (2010) menjelaskan bahwa water retention time (waktu tinggal air) Danau Lido relatif lama, yaitu 163 hari. Dalam kurun waktu tersebut, bahan toksik H2S akan terus terakumulasi di lapisan sedimen dasar danau.

Secara umum, teknologi aerasi hipolimnion yang diterapkan dalam penelitian ini dapat digunakan di KJA Danau Lido untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas perairan danau. Peningkatan lapisan oksik yang disebabkan aerasi hipolimnion berpotensi memperluas ruang hidup ikan di KJA, sehingga berdampak positif bagi produksi ikan budidaya. Dampak positif dari penerapan teknologi aerasi hipolimnion dapat ditingkatkan dengan tidak menambah jumlah beban masukan bahan organik di perairan, yaitu dengan tidak melakukan penambahan unit KJA di Danau Lido serta adanya pengendalian dalam pemberian pakan sesuai dengan biomassa ikan yang dipelihara di unit KJA.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Konsentrasi hidrogen sulfida di hipolimnion Danau Lido sebelum aerasi hipolimnion berada pada kisaran 0,051-0,101 mg/L. Aerasi hipolimnion yang dilakukan selama 10 jam mampu menurunkan konsentrasi hidrogen sulfida di hipolimnion Danau Lido rata-rata sebesar 51,85%. Penurunan terbesar diperoleh pada jarak 3 m dari titik outlet aerasi (60%), sedangkan penurunan terkecil diperoleh pada jarak 8 m dari titik outlet aerasi (16%). Setelah aerasi dihentikan, konsentrasi hidrogen sulfida kembali mengalami peningkatan.

Saran

Upaya yang dilakukan untuk mencapai konsentrasi oksigen terlarut dan hidrogen sulfida hingga memenuhi baku mutu kualitas perairan bagi kegiatan perikanan (PPRI No. 82 Tahun 2001) hingga jarak 3 m dari outlet alat aerasi adalah dengan melakukan aerasi hipolimnion selama 21 jam 26 menit dengan alat aerasi yang sama (flow rate = 24 liter/menit). Peningkatan jangkauan aerasi dapat dilakukan dengan meningkatkan flow rate dari alat aerasi.

(46)

326

DAFTAR PUSTAKA

Amalia FJ. 2010. Pendugaan status kesuburan Danau Lido, Bogor, Jawa Barat melalui beberapa pendekatan [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. xiii + 82 hlm.

Bagarinao T. 1992. Sulfide as an environmental factor and toxicant: tolerance and adaptations in aquatic organism. Aqua. Tox. 24: 21-62.

Basmi J. 1991. Pola distribusi dan peran bahan organik terhadap kualitas air pada zona eufotik di sekitar perikanan net apung di Danau Lido-Jawa Barat [tesis]. Program Studi Ilmu Perairan, Program Pascasarjana, Insititut Pertanian Bogor. Bogor. xv + 124 hlm.

Boer M. 2001. Perancangan Percobaan, Edisi 1. Laboratorium Manajemen Sumberdaya Perikanan, Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 52 hlm. Boyd CE. 1982. Water quality management for pond fish culture. Elsevier Science

Publishers Company Inc. New York.

Canfield DE, Raiswell R. 1999. The evolution of the sulfur cycle. Ameri. Jour. Sci. 299: 697-723.

Chen KY, Morris JC. 1972. Kinetics of oxidation of aqueous sulfide by O2. Env. Sci. Tech. 6: 529-537.

Cole GA. 1983. Textbook of Limnology, 3rd ed. Waveland Press Inc. Illinois. xii + 401 p.

Dodds WK. 2003. Freshwater ecology: concepts and environmental applications. 3rd ed. Academic Press. San Diego, California. xii, 345 p.

Eaton AD, Clesceri LS, Greenberg AE. 2005. Standard methods for the examination of water and waste water. 19th ed. APHA, AWWA (American Water Work Association) and WEF (Water Enviromental Federation). New York, USA. xvi, 464 p.

Garrel MH, Confer JC, Kirschner D, Fast AW. 1977. Effects of hipolimnetic aeration on nitrogen and phosphorus in a eutropic lake. Wat. Resourc. Res. 13(2): 343-347.

Goldman CR & Horne AJ. 1983. Limnology. McGraw-Hill, Inc. Tokyo.

Hartoto DI. 1993. Experimental aeration with Limnotek 3.1, impacts to dissolved oxygen level. Limnotek. 1(1): 33-38.

Hasan I. 2004. Analisis data penelitian dengan statistik. Bumi Aksara. Jakarta. Henny C. 2009. Dynamics of biogeochemistry of sulfur in lake Maninjau.

Limnotek. 16(2): 74-78.

Kawahara N, Shigematsu K, Miura S, Miyadai T, Kondo R. 2008. Distribution of sulfate-reducing bacteria in fish farm sediments on the coast of southern Fukui Perfecture, Japan. Plank. Bent. Res. 3(1): 42-45.

Krevs A, Kucinskiene A. 2009. Microbial mineralization of organic matter in bottom sediments of small anthropogenised lakes. Ekologija 5(2): 127-132. Koch MS, Mendelssohn IA, McKee KL. 1990. Mechanism for the hydrogen

(47)

327 Langmuir D. 1997. Aqueous environmental geochemistry. Prentice Hall, Inc. New

Jersey.

Lukman dan Hidayat. 2002. Pembebanan dan distribusi bahan organik di Waduk Cirata. Jur. Tek. Ling. P3TL – BPPT. 3(2): 129-135.

Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2000. Perancangan percobaan dengan aplikasi SAS dan Minitab. IPB Press. Bogor. 282 hlm.

Novotny V, Olem H. 1994. Water quality, prevention, identification, and management of diffuse pollution. Van Nostrand Reinhold. New York.

Nursandi J. 2011. Peningkatan oksigen terlarut dengan metode aerasi hipolimnion di daerah keramba jaring apung Danau Lido, Bogor [tesis]. Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. xxii + 56 hlm.

PPRI No.82 Thn.2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air Dan Pengendalian Pencemaran Air.

Pratiwi A. 2009. Pengaruh pencampuran massa air terhadap ketersediaan oksigen terlarut pada lokasi keramba jaring apung di waduk Ir. H. Juanda, Purwakarta [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. xiii + 70 hlm.

Sugiarti, Sutamihardja RTM, Citroreksoko P. 2011. Distribusi spasial sulfida total di kolom air danau maninjau Sumatera Barat. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. 37(1): 139-154.

Swistock BR, Sharpe WE, Robillard PD. 2001. Hydrogen sulfide (rotten egg odor) in pennsylvania groundwater wells. PSU 1st ed. Department of Agricultural and Biological Engineering. Pennsylvania State University. Tambunan F. 2010. Kajian daya dukung perairan berkaitan dengan budidaya ikan

sistem keramba jaring apung di Danau Lido [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. xiii + 67 hlm.

Walpole RE. 1993. Pengantar statistika, ed ke-3. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Weiner ER. 2008. Applications of environmental aquatic chemistry: a practical guide. 2nd ed. CRC Press. Taylor and Francis Group, New York, USA. Wetzel RG. 2001. Limnology: lake and river ecosystems, 3rd ed. Academic Press.

San Diego, California. 1006 p.

(48)

328 Lampiran 1. Penentuan kedalaman aerasi hipolimnion (penelitian pendahuluan) Lapisan hipolimnion ditentukan dengan melihat sebaran suhu perairan secara melintang di kedalaman 0 m sampai 7 m, pada waktu pagi, siang, dan sore hari. Kedalaman

Selain itu, dilakukan juga pengamatan rata-rata konsentrasi oksigen (mg/L) secara melintang selama 24 jam. terhadap konsentrasi oksigen terlarut di kedalaman 4,25 m

Sumber

Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa nilai F hitung < F tabel  Gagal tolak Ho. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi oksigen terlarut pada kedalaman 4,25 m tidak dipengaruhi oleh perbedaan waktu pengamatan.

Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan, ditetapkan bahwa aerasi hipolimnion di KJA Danau Lido dilakukan pada kedalaman 4 m.

Perbedaan suhu relatif kecil

[O2] rendah,

yaitu < 3 mg/L

(49)

31 Lampiran 2. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian

Alat aerasi hipolimnion Generator System Van Dorn water sampler

DO meter Spektrofotometer Botol sampel

Botol COD Cool box Gelas piala

Tabung reaksi Erlenmeyer Pipet Gelas ukur Buret

(50)

32 Lampiran 3a. Analisa data penelitian dengan uji t berpasangan

Taraf nyata α = 5%

Hipotesis H0 : D = d0 (nilai parameter sebelum dan sesudah aerasi sama). H1 : D≠ d0 (nilai parameter sebelum dan sesudah aerasi berbeda).

Hasil uji t 1) Hidrogen sulfida

Variabel Uji t Stat t Critical one-tail

P (T≤t)

one-tail Keputusan

SA dan 5 A 5.715 2.132 0.002 Tolak H0

SA dan 10 A 2.197 2.132 0.046 Tolak H0

10 A dan 5 PA -1.416 2.132 0.115 Gagal Tolak H0

10 A dan 10 PA -1.853 2.132 0.069 Gagal Tolak H0 10 A dan 15 PA -0.510 2.132 0.318 Gagal Tolak H0

SA dan 5 PA 0.688 2.132 0.265 Gagal Tolak H0

SA dan 10 PA 0.000 2.132 0.500 Gagal Tolak H0

SA dan 15 PA 2.236 2.132 0.045 Tolak H0

2) Sulfat

Variabel Uji t Stat t Critical one-tail

P (T≤t)

one-tail Keputusan

SA dan 5 A 0.590 2.132 0.293 Gagal Tolak H0

SA dan 10 A 4.438 2.132 0.006 Tolak H0

10 A dan 5 PA -1.108 2.132 0.165 Gagal Tolak H0 10 A dan 10 PA -0.879 2.132 0.215 Gagal Tolak H0 10 A dan 15 PA -1.629 2.132 0.089 Gagal Tolak H0

SA dan 5 PA 0.551 2.132 0.306 Gagal Tolak H0

SA dan 10 PA 4.438 2.132 0.006 Tolak H0

SA dan 15 PA 0.591 2.132 0.293 Gagal Tolak H0

(51)

33 Lampiran 3b. Analisa data penelitian dengan uji t berpasangan (lanjutan)

(52)

34 Lampiran 4a. Analisa data penelitian dengan rancangan acak kelompok (RAK) 1. Hidrogen sulfida (mg/L) perlakukan waktu pengamatan diperoleh nilai F hitung > F tabel  tolak H0. Hal ini menunjukkan bahwa minimal ada satu perlakuan waktu pengamatan yang memberikan pengaruh terhadap perubahan konsentrasi hidrogen sulfida pada selang kepercayaan 95%.

- Untuk mengetahui perlakuan waktu pengamatan mana yang memberikan pengaruh berbeda nyata, maka dilakukan uji lanjut BNT (Beda Nyata Terkecil).

Uji BNT bagi perlakuan waktu pengamatan

(53)

35 Lampiran 4b. Analisa data penelitian dengan RAK (lanjutan)

2. Sulfat (mg/L) Rata-rata 19,012 18,645 15,452 17,977 16,596 18,365

Tabel sidik ragam pada α = 0,05 perlakukan waktu pengamatan diperoleh nilai F hitung > F tabel  tolak H0. Hal ini menunjukkan bahwa minimal ada satu perlakuan waktu pengamatan yang memberikan pengaruh terhadap perubahan konsentrasi sulfat pada selang kepercayaan 95%.

- Untuk mengetahui perlakuan waktu pengamatan mana yang memberikan pengaruh berbeda nyata, maka dilakukan uji lanjut BNT (Beda Nyata Terkecil).

Uji BNT bagi perlakuan waktu pengamatan

(54)

36 Lampiran 4c. Analisa data penelitian dengan RAK (lanjutan)

3. Oksigen terlarut (mg/L) perlakukan waktu pengamatan dan kelompok jarak horizontal diperoleh nilai F hitung > F tabel  tolak H0. Hal ini menunjukkan bahwa minimal ada satu perlakuan waktu pengamatan dan kelompok jarak horizontal yang memberikan pengaruh terhadap perubahan konsentrasi oksigen terlarut pada selang kepercayaan 95%.

- Untuk mengetahui perlakuan waktu pengamatan mana yang memberikan pengaruh berbeda nyata, maka dilakukan uji lanjut BNT (Beda Nyata Terkecil).

(55)

37 Lampiran 4c. Analisa data penelitian dengan RAK (lanjutan)

- Untuk mengetahui kelompok jarak horizontal mana yang memberikan pengaruh berbeda nyata, maka dilakukan uji lanjut BNT (Beda Nyata Terkecil).

Uji BNT bagi kelompok jarak horizontal tα/2 = 2,179

BNT = 0,283

1,5 m 3 m 4,5 m 8 m

0 m 0,24 0,41 * 0,45 *

0,50 *

1,5 m 0,17 0,21 0,25

3 m 0,04 0,08

4,5 m 0,04

*beda nyata

(56)

38 Lampiran 4d. Analisa data penelitian dengan RAK (lanjutan)

4. COD (Chemical Oxygen Demand) (mg/L) Jarak perlakukan waktu pengamatan diperoleh nilai F hitung > F tabel  tolak H0. Hal ini menunjukkan bahwa minimal ada satu perlakuan waktu pengamatan yang memberikan pengaruh terhadap perubahan konsentrasi COD pada selang kepercayaan 95%.

- Untuk mengetahui perlakuan waktu pengamatan mana yang memberikan pengaruh berbeda nyata, maka dilakukan uji lanjut BNT (Beda Nyata Terkecil).

(57)

39 Lampiran 5a. Pendugaan lama waktu aerasi optimal yang dibutuhkan untuk

menurunkan konsentrasi hidrogen sulfida (Titik Pengamatan 0 m) Hidrogen sulfida dan oksigen terlarut

Berdasarkan persamaan grafik regresi di atas dapat diketahui konsentrasi oksigen terlarut yang dibutuhkan untuk mendapatkan konsentrasi hidrogen sulfida yang diinginkan sebesar 0,002 mg/L.

Berdasarkan hasil perhitungan di atas diketahui bahwa konsentrasi oksigen terlarut optimal untuk mendapatkan konsentrasi hidrogen sulfida sebesar 0,002 mg/L adalah 1,55 mg/L (titik pengamatan 0 m).

(58)

310 Lampiran 5b. (lanjutan)

Oksigen Terlarut dan Waktu Pengamatan Aerasi

Pendugaan waktu aerasi untuk mendapatkan konsentrasi oksigen terlarut optimal sebesar 1.55 mg/L (titik pengamatan 0 m) dapat dihitung menggunakan persamaan regresi dari grafik hubungan antara konsentrasi oksigen terlarut dan waktu pengamatan aerasi.

(59)

311 Lampiran 5c. Pendugaan lama waktu aerasi optimal yang dibutuhkan untuk

menurunkan konsentrasi hidrogen sulfida (Titik Pengamatan 3 m) Hidrogen sulfida dan oksigen terlarut

Berdasarkan persamaan grafik regresi di atas dapat diketahui konsentrasi oksigen terlarut yang dibutuhkan untuk mendapatkan konsentrasi hidrogen sulfida yang diinginkan sebesar 0,002 mg/L.

Berdasarkan hasil perhitungan di atas diketahui bahwa konsentrasi oksigen terlarut optimal untuk mendapatkan konsentrasi hidrogen sulfida sebesar 0,002 mg/L adalah 0,69 mg/L (titik pengamatan 3 m).

(60)

312 Lampiran 5d. (lanjutan)

Oksigen Terlarut dan Waktu Pengamatan Aerasi

Pendugaan waktu aerasi untuk mendapatkan konsentrasi oksigen terlarut optimal sebesar 0,69 mg/L (titik pengamatan 3m) dapat dihitung menggunakan persamaan regresi dari grafik hubungan antara konsentrasi oksigen terlarut dan waktu pengamatan aerasi.

(61)

313 Lampiran 6. Fluktuasi keberadaan oksigen (DO), hidrogen sulfida (H2S) dan bahan organik (COD) selama aerasi hipolimnion (dalam persentase konsentrasinya masing-masing)

0 m 0,091 0,071 0,051 0,061 0,101 0,061

1,5 m 0,081 0,040 0,040 0,081 0,071 0,071

3 m 0,101 0,061 0,040 0,101 0,091 0,071

4,5 m 0,091 0,071 0,101 0,071 0,071 0,051

8 m 0,051 0,030 0,042 0,071 0,081 0,061

Rata-rata 0,083 0,055 0,055 0,077 0,083 0,063

Persentase (%) 100 66 66 93 99 76

Rata-rata 0,1 0,24 0,48 0,32 0,34 0,3

(62)

314

0 m 34,63 43,66 28,61 31,62 48,17 58,71

1,5 m 73,76 31,62 28,61 31,62 60,21 46,67

3 m 52,69 28,61 33,12 78,27 31,62 49,68

4,5 m 55,70 28,61 42,15 48,17 42,15 81,28

8 m 39,14 52,69 25,60 48,17 88,81 67,74

Rata-rata 51,18 37,03 31,62 47,57 54,19 60,81

(63)

315 Lampiran 7. Pendugaaan Waktu Aerasi untuk Mendapatkan Konsentrasi Oksigen

(64)

316 Lampiran 7. (lanjutan)

Pendugaan waktu aerasi untuk mendapatkan konsentrasi oksigen terlarut sebesar 3 mg/L dapat dihitung menggunakan persamaan dari grafik hubungan antara oksigen terlarut dan waktu pengamatan.

Titik pengamatan 0 meter Titik pengamatan 1,5 meter

= =

= =

keterangan:

keterangan:

=

=

= =

= =

= =

Titik pengamatan 3 meter

=

= keterangan:

=

=

= =

(65)

317 Lampiran 8. Biaya pembuatan dan operasional alat aerasi hipolimnion, serta pendugaan biaya operasional alat aerasi berdasarkan waktu aerasi optimal

Biaya pembuatan alat aerasi hipolimnion

No Jenis Barang Jumlah Barang Harga

1 Pompa air Panasonic GP-29 JXY 1 buah Rp. 480.000

2 Pipa paralon ¾ inch 10 buah Rp. 200.000

3 Talang air 5 buah Rp. 20.000

4 Lem paralon 2 buah Rp. 20.000

5 Selotip 2 buah Rp. 10.000

6 Klep pompa 1 buah Rp. 25.000

7 Ember cat 20 liter 1 buah Rp. 30.000

8 Keni 20 buah Rp. 50.000

9 Kayu reng 5 buah Rp. 50.000

10 Lem aibon 2 buah Rp. 20.000

11 Paku ¼ kg Rp. 10.000

12 Tali rafia 1 gulung Rp. 15.000

13 Tali karet 10 buah Rp. 20.000

Total biaya pembuatan alat aerasi Rp. 1.130.000

Biaya operasional alat aerasi hipolimnion

Biaya yang dibutuhkan dalam penerapan aerasi hipolimnion adalah biaya listrik untuk menjalankan pompa air. Dalam penelitian ini listrik yang digunakan bersumber dari generator system berbahan bakar bensin. Aerasi selama 10 jam membutuhkan bensin sebanyak 4 liter dengan harga bensin Rp. 5.000,00/liter (Tahun 2011). Dengan demikian, biaya yang dibutuhkan adalah Rp 2.000,00/jam.

Waktu Aerasi Bahan Bakar yang dibutuhkan Biaya

Lama Aerasi: 10 jam 4 liter Rp. 20.000,-

Waktu Aerasi Bahan Bakar yang dibutuhkan Biaya Parameter: Hidrogen Sulfida

Titik pengamatan: 3 m Waktu aerasi optimal: 21 jam 26 menit

8,57 liter Rp. 42.850,-

(66)

318 Lampiran 9a. Kondisi Lokasi Penelitian dan Spesifikasi Alat Aerasi Hipolimnion Kondisi Lokasi Penelitian

Petak KJA di Danau Lido Eceng gondok dijumpai di lokasi KJA

Ikan nila merah yang dibudidayakan Aktivitas pemberian pakan ikan di lokasi KJA

a. Susunan talang aerasi

Talang disusun bertingkat dengan sudut kemiringan 20-25° agar air dapat mengalir dengan optimal dari talang paling atas hingga talang paling bawah. Waktu tempuh air dari talang paling atas ke talang paling bawah adalah 5 menit dengan debit air 24 liter/menit.

Jumlah talang : 4 buah

Dimensi talang : Panjang (4 meter), lebar (15 cm), tinggi (10 cm) Ketinggian air di talang : 5 cm

Gambar

Gambar 1. Skema pendekatan permasalahan
Gambar 2. Peta lokasi penelitian di KJA Danau Lido
Gambar 4. Alat aerasi hipolimnion
Gambar 5. Mekanisme aerasi hipolimnion
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Belajar ada dalam hubungan antara manusia dan lingkungan Tujuan pendidikan Menghasil-kan perubahan perilaku ke arah yang dikehendaki Mengembang- kan kapasitas dan

[r]

Penelitian ini bermaksud mengungkapkan bentuk tindak tutur ilokusi dan fungsi tindak tutur ilokusi yang digunakan pada kolom olahraga di surat kabar Solopos edisi Juni-Juli

Perbuatan yang dikriminalisasi dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE merupakan bentuk penanggulangan tindak pidana penipuan online yaitu untuk mengatur perbuatan yang

Hasil pengujian dengan teknik Wilcoxon Match Pairs menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan pada perilaku personal hygiene anak pra sekolah TK ABA

Penulisan skripsi ini penulis memilih judul: PENERAPAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA MENURUT PASAL 340 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (STUDI KASUS

Aceh dapat dikatakan sebagai daerah yang memiliki pengalaman sejarah seperti yang telah disebutkan di atas dalam penyesuaiannya sudah relatif sangat lentur dengan budaya lokal dan