G_U
Q セセQセ@
セ セ ||@
..ANALISIS KERENTANAN PULAU-PULAU KECIL
BERBASIS SPA SIAL DI KA W ASAN SELAT TIWORO
PROVINSI SULAWESI TENGGARA
ABDUL RAHMAN
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini menyatakan bahwa tesis Analisis Kerentanan Pulau-Pulau Kecil
Berbasis Spasial Di Kawasan Selat Tiworo Provinsi Sulawesi Tenggara adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari ォ。イケセ@ yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
ABDUL RAHMAN. Spatial-based Vulnerability Assessment of Small Islands in Tiworo Strait, Southeast Sulawesi Province. Under directions of LUKY ADRIANTO and VINCENTIUS P. SIREGAR.
This research was conducted in Tiworo Strait, Southeast Sulawesi Province, from May through June 2008. The research objectives were to analyze, to determine and to map ecology, economy and hybrid level vulnerability of small islands of Tiworo archipelago. The analysis indicators using vulnerability variable including land characteristic index, human pressure index, sea level rise impact index, exposureness economic index, and remoteness economic index. The primer data was collected through remote sensing and field survey, while secondary data was collected from related institution. Results of analysis showed that composite of vulnerability index (CVI) stayed at value of 0.000 to 0.718 (ecologically), 0.000 to 0.571 (economically) and 0.039 to 0.520 (hybrid). All of nineteenth small islands of Tiworo archipelago showed that ecologically vulnerability level stayed in low vulnerable (26%), low vulnerable (37%), medium vulnerable (32%), highly vulnerable (5%), and extremely vulnerable level (0%). Economically vulnerability level stayed in non vulnerable (52%, low vulnerable (37%), medium vulnerable (11), highly vulnerable (0%), and extremely vulnerable level (0%). Hybrid vulnerability level stayed in non vulnerability (48%), low vulnerability (26%), medium vulnerable (26%), highly and extremely vulnerable level (0%). Vulnerability levels were affected by several variables such as island size, distance to mainland and population density. Smallness, remoteness and overgrowth population ecologically vulnerability level stayed at highness but economically vulnerability level stayed at growth if island size, remoteness and population density were low.
RINGKASAN
ABDUL RAHMAN. Analisis Kerentanan Pulau-Pulau Keeil Berbasis Spasial Di Kawasan Selat Tiworo Provinsi Sulawesi Tenggara. Dibimbing oleh LUKY ADRIANTO dan VINCENTIUS P. SIREGAR.
Pulau-pulau kecil (PPK) merupakan suatu wilayah daratan dengan luas terbatas tanpa adanya perbatasan dengan bidang lahan lainnya. PPK gugus kepulauan Tiworo merupakan salah satu gugus PPK yang ada di Selat Tiworo. Selain memiliki potensi sumberdaya alam danjasa lingkungan yang eukup tinggi, juga cukup berperan dalam proses-proses ekologis di kawasan perairan Selat Tiworo. Untuk mengurangi atau menghilangkan rasa kekhwatiran terhadap dampak pengelolaan dan pembangunan selama ini dikawasan tersebut, diperlukan informasi yang dapat dijadikan aeuan dalam penyusunan strategi pembangunan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan melindungi keberlanjutan sumberdaya dan lingkungan setempat. Olehnya, penelitian analisis kerentanan (potensi timbulnya kerusakan oleh faktor eksternal) bagi PPK di kawasan tersebut menjadi penting memperkecil maupun menghindari resiko dalam pengelolaan dan pembangunannya ke depan.
Metode survey lapangan dan melalui pengolahan data Citra Landsat untuk mendapatkan data primer dilakukan dalam penelitian ini. Pengumpulan data sekunder pendukung penelitian didapat dari berbagai instansi terkait yang ada di Kab. Muna. Analisis data untuk penentuan tingkat kerentanan PPK gugus kepulauan Tiworo dilakukan dengan melibatkan berbagai variable indek-indeks kerentanan: Metode analisis data untuk penilaian kapasitas sistem PPK mengabsorpsi dampak-dampak eksogenous dilakukan dengan menggunakan indeks pantai (coastal index, CI) dan indeks keterisolasian (insularity index, II). Analisis dampak tekanan penduduk dilakukan dengan menggunakan indeks populasi, indeks degradasi lahan terbangun, indeks degradasi terumbu karang, dan indeks degradasi tutupan mangrove. Analisis dampak alamiah (natural disaster) dilakukan dengan menggunakan indeks dampak kenaikan muka laut (sea level rise
index, SLRI). Analisis keterbukaan ekonomi (economic exposureness, EE)
dilakukan dengan menggunakan indeks rasio aktivitas perdagangan eksternal
(external trading index, ETI) dan indeks rasio keuangan ekstemal (external finance
index, EFI). Analisis dampak jarak PPK dari mainland dilakukan dengan
menggunakan indeks keterpeneilan ekonomi (economic remoteness index, ERI). Analisis penentuan tingkat kerentanan PPK dilakukan dengan menggunakan
composite vulnerable index (CVI) sedangkan pemetaan hasil tingkat kerentanan
Nilai PopI memperlihatkan bahwa P. Tasipi merupakan pulau yang mengalami tekanan penduduk berkali-kali lipat lebih tinggi per satuan luas lahannya dibandingkan dengan PPK yang lainnya. Tekanan populasi yang juga cukup tinggi yaitu P. Beromasidi, kemudian diikuti PopI pada P. Mandike, P. Balu, dan P. Santigi. Nilai indeks lahan terbangun juga menunjukkan hasil yang mirip dengan PopI dimana P. Tasipi merupakan PPK yang tertinggi nilai indeks lahan terbangunnya (100%), P. Mandike (43 .21%), P. Beromasidi (42.87%), P. Balu (21.81 %), P. Santigi (18.20%). Indeks degradasi terumbu karang di wilayah PPK Tiworo menunjukkan persentase yang sudah cukup tinggi, dimana di sekitar P. Tiga mencapai 70% sedangkan di P. Indo, P. Lumuna, P. Maloang, P. Sanggaleang, P. Mandike, P. Tasipi, P. Santigi, dan P. Beromasidi mencapai 50% atau lebih. Satu-satunya pulau yang mengalami degradasi terumbu karang yang masih rendah (di bawah 20%) adalah P. Pasipi. Indeks degradasi tutupan mangrove diperoleh P. Kayuangin (23%), P. Belan-belan Besar (15%), P. Balu (13%), P. Santigi (12%), P. Simuang (6%), P. Pasipi (3%), dan P. Maloang (2%). Sebaliknya diperoleh pula bahwa sekitar 50% PPK Tiworo tidak mengalami degradasi tutupan mangrove namun mengalami pertambahan luas tutupan. Basil-hasil indeks di atas meunjukkan tingkatan respon dampak -dampak ekstemal yang berasal dari tekanan antropogenik terhadap ekosistem utama di masing-masing PPK Tiworo.
Persentase nilai dampak SLR yang merupakan nilai index natural disaster diperoleh bahwa terdapat dua buah PPK yang memiliki proyeksi terkena dampak kenaikan muka laut yang cukup tinggi terhadap potensi ekonominya, yaitu P. Santigi (23 .19%), P. Mandike(14.95%) dan PPK lainnya <5%. Sebaliknya dampak SLR terhadap GIP-P, P. Mandike (5.43%) lebih tinggi hampir dua kali lip at dari nilai dampak pada P. Santigi (2.91 %) dan PPK lainnya yang nilai persentasenya kurang dari 2%, bahkan beberapa di antaranya bernilai nol yang umumnya merupakan PPK yang tidak ada nilai aktivitas sosial-ekonomi penduduk. Dampak akumulasi penggenangan lahan PPK akan mengurangi bidang lahan, dimana bagi PPK mayoritas aktivitas perekonomiannya berbasis bidang.
Nilai indeks ketergantungan ekonomi luar PPK gugus kepulauan Tiworo cukup tinggi, dimana nilai perdagangan eksternalnya berkisar >60%-93% dari nilai GIP dasarnya dan sekitar 62%-99% dari GIP perkapitanya. Di antara PPK yang berpenduduk, yang memiliki nilai ET tertinggi terhadap GIP dan GIP_P adalah P. Maloang. Sedangkan pulau yang memiliki tingkat ketergantungan bantuan keuangan Iuar (tunjangan-tunjangan) terhadap GIP dan GIP-P, yang terlihat dari nilaif3 tertinggi adalah P. Indo (48.65 untuk GIP dan 0.0369 untuk GIP-P).
@
Hak cipta milik IPB, tahun 2009
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seZuruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan Zaporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masaZah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
PROVINSI SULAWESI TENGGARA
ABDUL RAHMAN
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
< .
Judul Tesis : Analisis Kerentanan Pulau-Pulau Kecil Berbasis Spasial Di Kawasan Selat Tiworo Provinsi Sulawesi Tenggara
Nama Mahasiswa : Abdul Rahman
N R P : C251060081
Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc. Ketua
セk・エオ。@
Program StudiSumberdaya Pesisir dan Lautan
V:b.
Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA
Tanggal Lulus: 1
B MAY 2G09
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA. Anggota
Diketahui
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya berupa kesehatan dan keluangan waktu sehingga laporan penelitian tesis mengenai "Analisis Kerentanan Pulau-Pulau Kecil Berbasis Spasial Di Kawasan Selat Tiworo Provinsi Sulawesi Tenggara" dapat diselesaikan dengan baik. Laporan tesis ini berisikan hal-hal mengenai analisis kerentanan pulau-pulau keeil (PPK) secara spasial yang meliputi analisis indeks-indeks variabel kerentanan ekologi-ekonomi, penyusunan komposit indeks kerentanan, dan penentuan serta pemetaan kerentanan ekologi-ekonomi PPK gugus kepulauan Tiworo, serta beberapa altematif pengelolaan kerentanan yang dapat dilakukan guna memperkecil resiko bahaya faktor ekstemal di masing-masing PPK gugus kepulauan Tiworo.
Penulis menyadari bahwa tesis ini tidaklah akan sempuma tanpa bantuan berbagai pihak, baik seeara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu pada kesempatan ini, penulis sampaikan ueapan terima kasih dan penghargaan kepada : 1. Bapak Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir.
Vineentius P. Siregar, DEA selaku anggota komisi pembimbing, dimana diseia kesibukannya masih bersedia meluangkan waktu untuk mengarahkan penulis dalam penyusunan dan penyelesaian laporan ilmiah atau tesis ini.
2. Bapak Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc selaku penguji luar komisi dan Bapak Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA selaku penguji dan ketua Program Studi SPL yang telah banyak pula memberikan masukan dan arahan untuk penyempumaan tesis ini.
3. Bapak Rektor Universitas Haluoleo yang telah memberikan izin dan beasiswa melalui Project Management Unit IDB LOAN Universitas Haluoleo, sehingga penulis dapat mengikuti dan menyelesaikan studi di Program Studi SPL-IPB. 4. Bapak Gubernur Provo Sultra, Bapak Prof. Dr. Ir. Laode Muh. AsIan, M.Se
(Dekan FPIK Unhalu), Bapak Dr. Onu La Ola, SE, MS, Bapak Ir. Farid Yasidi, M.Sc yang telah memberikan dukungan materi dalam pelaksanaan penelitian dan penyelesaian tesis ini.
5. Bapak Bupati Muna dan instansi atau dinas-dinas Pemda Kab. Muna yang telah mengizinkan dan memfasilitasi pelaksanaan penelitian penulis di lapangan. 6. PROGRAM MITRA BAHARI - COREMAP II Departemen Kelautan dan
Perikanan yang telah memberikan bantuan dalam penulisan tesis ini.
7. Ternan-ternan Pasca Sarjana IPB, khususnya SPL angkatan 13 atas masukan-masukan dan dukungannya sehingga laporan tesis ini dapat penulis selesaikan. 8. Ungkapan terima kasih juga kepada istriku tercinta, anak-anakku tersayang,
ayahanda (aim.), ibunda, serta seluruh keluarga, atas segal a doa dan kasih sayangnya.
9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah berkontribusi sehingga tesis ini dapat terwujud.
Bogor, Mei 2009
RIWAYATHIDUP
Penulis dilahirkan di Pappa, Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan pada tang gal 01 November 1965 sebagai anak kedua dari pasangan H. Nurdin
Daeng Lurang (aim) dan Hj. Fatima Daeng Mimo. Pendidikan sarjana ditempuh di
Program Studi Budidaya Perikanan, Jurusan Perikanan, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, lulus tahun 1990. Pada tahun 1991 menikah dengan Dra.
Sitti Halidjah Buang dan saat ini telah dikaruniahi tiga orang puteri (Farwi Furwani,
Fine Farhani Muliati, dan Faning Frydayani Murniati) ..
Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Perikanan dan lImu Kelautan Universitas Haluoleo, Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara sejak tahun 1994 hingga sekarang. Tahun 2006 penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan S2 di Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan dan menyelesaikannya pada Apri12009.
Selama mengikuti program S2 penulis selalu aktif mengikuti berbagai seminar-seminar baik itu bersifat lokal, nasional maupun internasional yang berkaitan dengan Perikanan dan Kelautan serta Pertanian. Selain itu, penulis juga
memberikan kontribusinya pada Forum Wacana Pesisir IPB di Bidang Kajian
DAFT AR T ABEL ... ... . ... ... ... .. .. ... ... XIV
DAFT AR GAMBAR .... ... .. .... ... ... ... ... xv
DAFTAR LAMPIRAN .. ... ... .... XVlll I. PENDAHULUAN ... ... ... ... .... ... ... 1
1.1 Latar Belakang ... ... ... ... ... ... ... ... 1
1.2 Perumusan Masalah .. ... ... ... ... .. 4
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian... ... ... 6
1.4 Kerangka Berpikir Penelitian ... ... ... ... ... ... 7
II. TINJAUAN PUSTAKA .. ... ... ... .... 11
2.1 Pengertian Pulau-Pulau Kecil ... .... ... ... 11
2.2 Kerangka Pengelolaan ICM dalam Konteks Pulau-Pulau Kecil... 15
2.3 Karakteristik Pulau-pulau Kecil... ... ... 18
2.4 Konsep dan Kerangka Kerentanan Pulau-pulau Keci!.. ... ... ... 22
2.5 Pemetaan Spasial Kerentanan PPK Berbasis Simtem Informasi Geografis (SIG)... ... ... ... ... 25
2.5.1 Sistem Penginderaan Jauh dan Citra Satelit... ... ... 25
2.5.2 Sistem Informasi Geografis (SIG)... ... ... 28
2.5.3 Struktur Data Raster dan Cell Based modeling ... ... 31
III METODOLOGI PENELITIAN ... 33
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... ... 33
3.2. Mertode Pengumpulan Data ... .... ... 35
3.3. Analisis Data .. ... ... 37
3.3.1 Pengolahan Citra Satelit... ... ... ... .... .. ... ... ... 37
3.3.2 Analisis Variabel Kerentanan Ekologi-Ekonomi ... 41
3.3.2.1 Indeks Karakteristik Lahan (Caracteristic Land Index, CLI) ... ... ... ... ... .... ... ... 41
3.3.2.2 Tekanan Penduduk (Human Impact, HI) ... 43
3.3.2.3 Dampak Kenaikan Muka Laut (Sea Level Rise, SLR)... 45
3.3.2.4 Keterbukaan Ekonomi (Economic Exposure, EE).. ... 48
3.3.2.5 Keterpencilan Ekonomi (Economic Remoteness, ER) .. 49
3.3.3 . Standarisasi dan Komposit Indeks Kerentanan... ... .. .. 50
3.3.4. Penentuan Tingkat Kerentanan dan Pemetaannya secara Spasial... ... ... ... ... ... ... ... 52
IV PROFIL PULAU-PULAU KECIL (PPK) GUGUS KEPULAUAN TIWORO.. .... ... ... ... ... ... .. ... 57
4.1 Letak Geografis dan Administratif ... ... ... .... ... 57
4.2 Kondisi Biofisik Pulau ... ... ... 59
4.2.1 Ukuran Pulau... . ... ... ... ... .. 59
4.2.2 Terumbu Karang.. ... ... ... ... . 61
4.2.3 Tutupan Mangrove ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... 64
4.2.4 Lahan Terbangun... ... ... 66
4.2.5 Kondisi Hidro-oseanografi... 68
4.3. Kondisi Sosial Ekonomi ... 70
4.3.1 Penduduk... ... ... ... 70
4.3.2 Sarana dan Prasarana Umum ... 72
4.3.3 Aktivitas perekonomian... 74
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... ... ... ... ... 79
5.1 Variabel Indeks Kerentanan Ekologi ... 79
5.1.1 Indeks Karakteristik Lahan Pulau ... 79
5.1.1.1 Indeks Pantai (Coastal Index, CI)... ... 79
5.1.1.2 Indeks Keterisolasian (insularity index, II) ... 80
5.1.2 Indeks Tekanan Penduduk Pulau (Human Index = HI) ... 83
5.1.2.1 Dampak Populasi (population index, PopI) ... 83
5.1.2.2 Degradasi Lahan Terbangun... ... ... 85
5.1.2.3 Degradasi Terumbu Karang ... 87
5.1.2.4 Degradasi Tutupan Mangrove ... 90
5.2 Variabel Indeks Kerentanan Ekonomi ... 92
5.2.1 Dampak Kenaikan Muka Laut (sea level rise, SLRI) ... ... 92
5.2.2 Keterbukaan Ekonomi (economic exposure index, EE) ... 96
5.2.3 Keterpencilan Ekonomi (economic remoteness, ER) ... 99
5.3 Komposit Indeks dan Pemetaan Kerentanan... 101
5.3.1 Komposit Indeks dan Peta Kerentanan Ekonomi... 101
5.3.2 Komposit Indeks dan Peta Kerentanan Ekonomi... 106
5.3.3 Komposit Indeks dan Peta Kerentanan Ekologi-Ekonomi ... 113
5.4 Pengelolaan PPK Gugus Kepulauan Tiworo Berbasis Kerentanan.... 119
VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 126
6.1. Kesimpulan ... ... ... ... ... 126
6.2. Saran... ... 127
DAFTARPUSTAKA ... 128
LAMPIRAN ... ... ... 134
Halaman 2.1 Perbandingan umum ciri-ciri pulau oseanik, pulau kontinental dan benua. 14
2.2 Potensi sumberdaya, pemanfaatan dan identifikasi permasalahan
di sub-wilayah pesisir PPK .. .... ... ... .... ... ... ... .... .. ... ... ... ... ... ... ... .... ... ... 16
2.3 Keterbatasan Ekonomi PPK Terkait dengan Ukuran Fisik (Smallness) ... 21
2.4 Keterbatasan Ekonomi PPK Terkait dengan tingkat insularitas... .. ... 22
2.5 Karakteristik citra satelit Landsat 7 ETM+ .. ... ... . ... ... ... ... ... ... 27
2.6 Beberapa aplikasi integrasi penginderaanjauh dan SIG di wilayah pesisir untuk identiftkasi daerah rawan bencana tsunami ... .... ... ... 30
3.1 Penentuan tingkat kerentanan PPK gugus kepulauan Tiworo... ... .... ... 53
4.1 Nama dan posisi PPK gugus Kepulauan Tiworo... ... ... ... ... .... .. 58
4.2 Ukuran luas dan panjang garis pantai PPK gugus kepulauan Tiworo pada Tahun 2002 dan Tahun 2007... ... ... ... ... ... .... 59
4.3 Luas terumbu karang PPK gugus kepulauan Tiworo Tahun 2002 dan Tahun 2007... ... ... ... ... ... .... .. ... ... ... ... 62
4.4 Luas lahan terbangun dan persentasenya terhadap totalluas masing-rna sing PPK gugus kepulauan Tiworo, Tahun 2002 dan Tahun 2007... 65
4.5 Kondisi beberapa parameter perairan sekitar PPK gugus kepulauan Tiworo .. ... ... ... .... .. .... ... ... ... 68
4.6 Perkembanganjumlah penduduk PPK gugus kepulauan Tiworo, Tahun 2002 - 2007 ... .... ... ... ... 70
4.7 lumlah sarana dan prasarana urnum PPK Gugus Kepulauan Tiworo ... 72
4.8 Persentase rata-rata kontribusi rnasing-masing sektor dalam GIP PPK gugus kepulauan Tiworo ... ... ... ... ... .. . 75
5.1 Nilai keterbukaan ekonomi (external trading, ET dan elastisitas EF,
/3)
terhadap GIP dan GIP-P PPK gugus kepulauan Tiworo... ... 98I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kawasan pulau-pulau keeil memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa
lingkungan yang tinggi dan dapat dijadikan sebagai modal dasar pelaksanaan
pembangunan Indonesia di masa yang akan datang. Kawasan ini menyediakan
sumberdaya alam yang produktif seperti terumbu karang, padang lamun
(seagrass), hutan mangrove, perikanan dan kawasan konservasi. Pulau-pulau keeil
juga memberikan jasa lingkungan yang besar karena keindahan alam yang
dimilikinya yang dapat menggerakkan industri pariwisata bahari (Dahuri 2003). Di
lain pihak, pemanfaatan potensi pulau-pulau keeiI masih belum optimal akibat
perhatian dan kebijakan pemerintah selama ini yang lebih berorientasi ke wilayah
daratan besar. Pada hal menurut Bengen dan Retraubun (2006), penentuan
kebijakan pemanfaatan pulau-pulau keeil merupakan hal yang paling penting,
karena dengan keberadaan pulau-pulau keeil inilah maka keberadaan (eksistensi)
sumberdaya kelautan menjadi strategis.
Pulau-pulau keeil juga memiliki nilai penting dan tergolong unik bila
ditinjau dari sisi sumberdaya alam, geografi, so sial, ekonomi, budaya, politik dan
pertahanan keamanan Indonesia. Seeara ekologis pengembangan pulau-pulau kecil
akan semakin meningkatkan pengelolaan terhadap ekosistem terutarna aneaman
kerusakan akibat faktor alamiah dan atau antropogenik. Potensi sumberdaya hayati
dan nir-hayati yang begitu besar sehingga jika pulau-pulau keeiI berhasil
dikembangkan seeara optimal dan berkelanjutan maka seeara ekonomi akan
menjadi sumber pertumbuhan ekonomi barn. Pengembangan kawasan pulau-pulau
keeil juga akan meningkatkan harkat dan martabat masyarakat yang tinggal di
kawasan pulau-pulau keeil serta dapat mengurangi kesenjangan pembangunan
antar wilayah. Seeara geopolitik, pengembangan pulau-pulau keeil terutama di
kawasan perbatasan akan memudahkan pengawasan kemanan dan ketahanan
wilayah negara oleh aneaman dari negara lain.
Sebagai entitas yang memiliki karakteristik khusus, menurut Adrianto (2005)
dengan pendekatan yang standar dan yang umum digunakan di wilayah daratan
induk lainnya tetapi memerlukan format yang berbeda dengan wilayah regional
lainnya. Dengan karakteristik yang dimiliki oleh pulau-pulau keciI, pengelolaan
secara berkelanjutan bagi entitas ini memerlukan pendekatan yang lebih sistemik
dan lebih spesifIk lokasi (site spesijic) atau dengan perkataan lain dalam
mengembangkan kawasan pulau-pulau kecil, filosofi pendekatan yang digunakan
seharusnya bersifat spesiflk sesuai dengan karakteristik masing-masing pulau kecil
tersebut.
Pulau-pulau kecil sering diisukan sebagai suatu wilayah yang lemah atau
bersifat rentan oleh faktor Iingkungan, faktor ekonomi dan faktor sosial (Pratt et al.
2004). Faktor lingkungan: variabilitas iklim; perubahan iklim dan naiknya
permukaan laut; resiko-resiko gempa bumi; tsunami dan peristiwa vulkanik;
ekosistem-ekosistem rapuh dan keterpencilanlketerasingan. Faktor ekonomi:
ketergantungan ekstemal yang tinggi (bantuan, imp or) dan keterisolasian lemah
terhadap fluktuasi-fluktuasi ekonomi global; peluang yang terbatas untuk
penganeka-ragaman ekonomi; kemampuan pasar kecil; dasar sumber daya kecil
dan ketergantungan tinggi di sumber alam; kemampuan keuangan dan investasi
rendah dan dampak yang tinggi dari ketidakstabilan politis. Faktor sosial:
pertwnbuhan populasi tinggi; migrasi dan emigrasi tinggi berkenaan dengan kota;
kapasitas sumber daya manusia yang terbatas; meningkatkan timbulnya malnutrisi,
kegelisahan atau rasa tidak aman, penyakit-penyakit, dan makanan; dampak dari
modernisasi dan globalisasi ekonomi di masyarakat-masyarakat, kultur-kultur dan
pengetahuan tradisional.
Manajemen lingkungan dapat memainkan suatu peran yang penting di dalam
mengurangi kerentanan ekologi-ekonomi dan meningkatkan resiliensi (ketahanan)
di dalam masyarakat pulau-pulau kecil. Pertalian-pertalian antara kemiskinan dan
penurunan derajat lingkungan telah sering didokumentasikan, namun lebih sedikit
dipahami adalah peran dari manajemen lingkungan di dalam mendukung strategi
lokal. Manajemen perikanan yang lemah, bagaimanapun sudah mengarahkan
kepada peningkatan tekanan terhadap sumberdaya baik oleh penduduk setempat
3
sumberdaya perikanan. Sebagai hasilnya, kelangsungan hidup meneari ikan bagi
masyarakat lokal menghadapi persoalan yang membahayakan oleh kapasitas
manajemen lingkungan. Lembaga atau institusi yang lemah sering dikutip sebagai
yang lain penyebab sifat kerentanan. Lembaga atau institusi manajemen
Iingkungan bahwa termasuk komponen-komponen pemantauan bisa berperanan
dalam menyiagakan para anggota masyarakat lokal dan pembuat keputusan untuk
mengubah resiko-resiko.
Selat Tiworo merupakan suatu kawasan perairan yang terletak di antara
dataran jazirah Sulawesi Tenggara di sisi utara dan Pulau Muna di sisi selatan
(Gambar 3.1). Selat ini juga berhubungan dengan Selat Buton pada sisi ujung
bagian timur dan perairan Teluk Bone di sisi ujung bag ian baratnya. Di dalam
kawasan selat ini terdapat dua puluhan lebih buah pulau berukuran keeil yang
sebagiannnya sudah dihuni oleh penduduk lokal. Dengan tingkat kedalaman
perairannya yang tertinggi hanya sekitar 40 m (Peta LLN-25 Bakosurtanal),
perairan ini kaya akan sumberdaya ikan dan non ikan. Di sekeliling pulau-pulau
yang ada di dalam kawasan selat, terdapat banyak ekosistem terumbu karang.
Vegetasi mangrove yang lebat di sisi utara (pesisir pantai dataran Sulawesi
Tenggara) dan di sepanjang sisi selatan (pantai Pulau Muna) serta juga yang
terdapat di sekeliling pantai pada beberapa pulau, sangat mendukung proses-proses
ekologis di dalam kawasan ini.
Kawasan Selat Tiworo juga merupakan kawasan andalan bagi produksi
perikanan di Sulawesi Tenggara. Kebutuhan perusahaan-perusahaan perikanan dan
kebutuhan konsumsi ikan di kota Kendari sebagian besar berasal dari kawasan
perairan ini. Bahkan berbagai komoditas perikanan yang bernilai ekonomis tinggi
juga telah banyak dieksploitasi dan diperdagangkan hingga ke luar Sulawesi
Tenggara. Banyak pengusaha-pengusaha dari luar Sulawesi Tenggara seperti dari
Makassar dan Surabaya yang masuk ke wilayah ini menjalin kerjasama dengan
nelayan-nelayan pulau guna mengumpulkan komoditas-komoditas perikanan yang
bernilai ekonomis tinggi tersebut.
Kegiatan pengelolaan pulau-pulau keeil menghadapi berbagai aneaman baik
penurunan kualitas lingkungan, seperti pence maran, perusakan ekosistem dan
penangkapan ikan yang berlebihan (overfishing), sedangkan indikator ekonomi
yaitu rendahnya aksesibilitas dan pendapatan masyarakat lokal. Bentuk ancaman
lainnya yang seeara alami adalah dampak kenaikan muka laut atau sea level rise
(SLR), bencana alam (angin kencang, taupan, gempa bumi, gelombang pantai dan
tsunami). Oleh karena itu, di dalam mengantisipasi perubahan-perubahan dan
ancaman-ancaman tersebut, pengelolaan pulau-pulau keeil harus dilakukan secara
kornprehensif dan terpadu.
Berkaitan dengan uraian di atas maka untuk kepentingan pengelolaan
lingkungan dan sumberdaya pesisir di kawasan Selat Tiworo, perlu dikaji secara
baik sehingga tindakan-tindakan dalam pengelolaannya dapat bermanfaat secara
baik dan berkelanjutan. Telah banyak kejadian-kejadian pengelolaan suatu
kawasan menjadi mubasir dan atau tidak berkelanjutan serta akhirnya justeru
menimbulkan kerugian dan kerusakan lingkungan dan sumberdaya karena tidak
kuatnya landasan acuan dalam pengelolaannya. Untuk itu dalam hubungan dengan
pengembangan kawasan pesisir Selat Tiworo, penelitian mengenai analisis
kerentanan ekologi-ekonomi pulau-pulau keeil yang ada di dalamnya menjadi
demikian penting.
1.2 Perumusan Masalah
Kawasan Selat Tiworo yang didalamnya terdapat lebih dari dua puluh buah
pulau-pulau kecil dengan potensi sumberdaya bahari yang cukup tinggi,
merupakan suatu kawasan yang punya peranan ekologis dan ekonomis yang eukup
penting bagi keberlanjutan pembangunan di Sulawesi Tenggara. Secara khusus,
kawasan selat ini sangat berarti kontribusinya bagi pembangunan pada tiga
kabupaten yang membagi wilayah atau kawasan Selat Tiworo yaitu Kabupaten
Muna (wilayah selatan), Kabupaten Bombana (wilayah barat), dan Kabupaten
Konawe Selatan (wilayah utara).
Berkaitan dengan gambaran potensi sumberdaya perairan Selat Tiworo
yang eukup tinggi dan upaya-upaya dalam pengeksploitasiannya yang cukup
intensif oleh masyarakat sebagaimana diuraikan sebelumnya maka kawasan ini
5
pengendalian yang tidak berimbang dalam pengelolaan sumberdaya tersebut, tidak
menutup kemungkinan suatu 8aat keberlanjutan pengelolaannya akan bermasalah.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam pengelolaan suatu sumberdaya akan
membawa dampak pada penurunan kualitas lingkungannya. Bilamana dampak
yang ditimbulkan tersebut diluar batas daya dukung lingkungannya maka pada
akhirnya akan menganeam keberlanjutan pengelolaan itu sendiri.
Pulau-pulau keeil yang ada di dalam Selat Tiworo menjadi titik sentral bagi
pengelolaan di kawasan ini sebab aktivitas pengelolaan sumberdaya kawasan sangat dipengaruhi oleh kondisi di masing-masing pulau yang ada di dalamnya.
Tekanan-tekanan yang seeara antropogenik pada lingkungan yang di Iuar batas
kewajaran tentunya akan merupakan aneaman yang berbahaya, yang mungkin saat
ini belum terasa namun suatu waktu dapat menimbulkan kerugian yang lebih besar,
baik pada sistem ekologis maupun ekonomis.
Bentuk aneaman lainnya terhadap pembangunan pulau-pulau keeil adalah
potensi kerusakan yang diakibatkan oleh faktor-faktor alamiah. Perubahan ikIim
seeara global memieu terjadinya ketidak stabilan alamo Semakin meningkatnya
suhu permukaan bumi seeara linier misalnya, akan semakin menaikkan ketinggian
muka laut yang biasa disebut sea level rise (SLR), angin bad ai, gelombang badai, elnino/kekeringan, erosi dan banjir. Faktor alamiah lainnya yang juga rawan terjadi
di Indonesia adalah aktivitas geologi seperti, gempa bumi, tsunami, dan gunung
berapi. Bagi pulau-pulau keeil seperti yang ada di kawasan Selat Tiworo yang
rata-rata berukuran keeil dan kerendahan, mungkin saja ada di antara faktor-faktor
alamiah tersebut menjadi indikator aneaman serius yang membahayakan bagi
kestabilan proses ekologis dan keberlanjutan pembangunan ekonomi seeara
keseluruhan di dalam kawasan tersebut.
Keterbatasan pengetahuan di dalam memperhitungkan seeara baik atas
faktor-faktor resiko yang akan timbul di kemudian hari di suatu tempat hingga saat
ini masih sangat terbatas. Potensi aneaman yang berbahaya dan bersifat laten, baik
yang oleh faktor alamiah maupun oleh dampak perkembangan dan pertumbuhan
populasi di tempat mana pun pasti ada. Cepat atau lambatnya muneul ke
kecilnya potensi terkena ancaman (vulnerability) tersebut dan ketahanan
(resilience) lingkungannya.
Tersedianya informasi yang berkenaan dengan potensi yang dapat
menganeam kehidupan mahluk hidup dan lingkungannya serta kebijakan
pengelolaannya, akan lebih mudah untuk melakukan tindakan peneegahan maupun
tindakan dalam mempersiapkan penyelamatan atau mitigasi bilamana dalam hal
terjadi beneana. Pereneanaan untuk penanggulangan terhadap kerusakan ekologi
dan kerugian ekonomi dan juga mempertinggi resiliensi demi keberlanjutan
pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dapat dilakukan secara
baik. Begitu pula di dalam hal persiapan menghadapi bencana yang terjadi dapat
dilakukan seperti melakukan mitigasi bene ana alam terhadap bahaya tsunami,
gempa bumi, badai, global warming dan sea level rise, serta lainnya.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
a. Menganalisis variabel-variabel kerentanan pulau-pulau kecil (PPK) di
Selat Tiworo khususnya PPK yang ada dalam gugus kepulauan Tiworo
baik berdasarkan kondisi sifat fisik pulau maupun pressure/shock yang
membahayakannya.
b. Menganalisis dan menyusun indeks-indeks kerentanan PPK gugus
kepulauan Tiworo berdasarkan indeks kerentanan ekologi, indeks
kerentanan ekonomi, dan indeks kerentanan gabungan ekologi-ekonomi
pada masing-masing PPK tersebut.
c. Menentukan tingkat kerentanan masing-masing PPK gugus kepulauan
Tiworo, baik secara ekologi, ekonomi, maupun gabungan keduanya
( ekologi-ekonomi).
d. Memetakan tingkat kerentanan masing-masing PPK gugus kepulauan
Tiworo seeara spasial dengan metode Cell Based Modelling.
Manfaat penelitian :
a. Dihasilkannya peta informasi tingkatan bahaya-bahaya yang dialami dan
7
bahan evaluasi kegiatan pembangunan masa lalu maupun saat ini di
gugus kepulauan tersebut.
b. Menjadi salah satu bahan pertimbangan dalam penyusunan strategi
pembangunan PPK di gugus kepulauan Tiworo ke depan yang lebih baik
dan berkelanjutan seeara ekologi dan sosial-ekonomi, oleh pihak-pihak
terkait (stakeholders).
e. Merupakan pula sumber bahan informasi bagi penelitian-penelitian
selanjutnya yang berkaitan dengan masalah kerentanan PPK dan
wilayahlkawasan lainnya.
1.4 Kerangka Berpikir Penelitian
Setelah Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) yang
diselenggarakan di Rio de Jeneiro, Brazil pada tahun 1982 dan Johannesburg
(Afrika Selatan) Tahun 2002 lalu, paradigma pembangunan telah beralih dari
paradigma konvensional yang menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi
semata, yang pada akhirnya membuat eksploitasi sumberdaya alam dan jasa-jasa
lingkungan semakin tidak terkendali, menjadi paradigma baru pembangunan
berkelanjutan (sustainable development). Paradigma ini pada intinya mengajak
seluruh pengelola negara untuk membangun negaranya tanpa melupakan
kepentingan yang sama, yaitu pengelolaan sumberdaya alam dan jasa-jasa
lingkungan bagi generasi selanjutnya.
Kawasan perairan Selat Tiworo, khususnya pada kawasan gugus Kepulauan
Tiworo tergolong ke dalam salah satu wilayah pesisir di Sulawesi Tenggara yang
eukup potensial sehingga sangat perIu dikelola seeara berkelanjutan. Dengan
demikian salah satu unsur penting yang harus diperhatikan adalah bagaimana
menempatkan komponen lingkungan sebagai faktor penyeimbang dari berbagai
kegiatan pengembangan yang telah dan akan dilakukan. Pengembangan
pulau-pulau keeil yang didasarkan pada kondisi faktor lingkungan, baik yang bersifat
menghambat maupun yang bersifat menunjang merupakan awal kesuksesan dalam
upaya meneapai pembangunan yang berkelanjutan.
Pulau-pulau kecil dengan lahan yang terbatas di dalam wilayah perairan
mengembangkannya. Keterbatasan ukuran fisik lahan dan relatif jauhnya dari
mainland merupakan atribut kerentanan yang bersifat endogenous (Fors et at.
2007). Selain karakteristik tersebut, juga berbagai pressure/shock lainnya yang
bersifat exogenous, baik oleh faktor alamiah maupun faktor antropogenik yang
merupakan pula masalah utama dalam pengelolaan pulau-pulau kecil. Berbagai
sumber tekanan (pressure) eksternal yang dapat mengancam keberlanjutan sistem
ekologi-ekonomi PPK adalah gejala alamiah, tekanan penduduk, keterbukaan
ekonomi, dan keterpencilan ekonomi (Briguglio 1995; Adrianto and Matsuda
2002;2004).
Tekanan oleh fenomena alamiah seperti danlpak kenaikan muka laut,
badai, angin kencang, golombang tinggi, tsunami, dan lainnya merupakan salah
satu ancaman serius terhadap keberlanjutan sistem ekologi-ekonomi di PPK secara
umum. Fenomena alamiah tersebut dapat terjadi secara spontan maupun perlahan
yang mengakibatkan dampak kerusakan atau penurunan kualitas sumberdaya dan
lingkungan di PPK.
Tekanan lain yang bersumber dari kependudukanjuga merupakan ancaman
terhadap lingkungan dan sumberdaya alam di pulau-pulau kecil. Kecenderungan
(trend) pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat dan proporsi aktivitas
yang berbasis bidang yang tinggi, merupakan ancaman yang semakin menekan dan
akhirnya semakin menurunkan daya dukung lingkungan. Di dalam kehidupan
manusia, kegiatan ekonomi dan so sial, selalu akan menggunakan lingkungan,
mengkonversi sumberdaya alam dan jasa lingkungan untuk mendukungnya.
Permasalahannya adalah bahwa dinamika tersebut dapat merusak' eksploitasi yang
berlebihan, dan bahkan menghalangi tercapainya kebutuhan akan jasa lingkungan.
Pembangunan yang berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat akan sangat
bergantung pada kondisi lingkungan, sistem so sial, dan ekonomi yang sehat,
produktif, dan aman (protective).
Pengembangan ekonomi bagi pulau-pulau kecil juga merupakan hal yang
tergo]ong cukup sulit. Tingkat keterbukaan ekonomi dalam hal perdagangan
(exposureness) dan kedudukan ekonomi pulau yang terpencil (remoteness) adalah
9
pengelolaan pulau-pulau keeil seeara terpadu dan berkelanjutan, bukan
semata-mata ditujukan untuk kepentingan kelestarian sumberdaya alam sesemata-mata, tapi lebih
dari itu adalah untuk keberlanjutan komunitas (masyarakat) pulau-pulau keeil,
karena keduanya merupakan bagian dari sistem ekologi dan sistem sosial-ekonomi
pulau-pulau keeil yang penting.
Untuk mengembangkan pulau-pulau keeil seeara terpadu dan berkelanjutan
serta berbasis mitigasi, diperlukan suatu informasi yang representative sesuai
kondisi lokasi masing-masing pulau. Informasi potensi ancaman terhadap
pengembangan dan keberlanjutannya, dapat dihasilkan melalui pendekatan indeks
kerentanan yang bersumber dari masing-masing indikator kerentanan. Untuk lebih
SMALL ISLAND VULNERABILITY
II. TINJAUAN
PUS TAKA
2.1 Pengertian Pulau-pulau Kecil
Defmisi mengenai pulau-pulau keeil hingga saat ini belum ada kesepakatan
seeara pasti sebagai akibat masih adanya pertentangan pendapat dan beragamnya
pandangan, argumen, dan eontoh yang dikemukakan oleh masing-masing pihak.
Nunn (1994) mengkritik bahwa walaupun pulau telah dibiearakan selarna
berabad-abad, narnun definisi lengkap tentang sebuah pulau masih sulit ditemukan. Defmisi
paling mudah adalah bahwa pulau merupakan daratan yang dikelilingi oleh laut
atau saat kita berada di tengah laut yang luas bila terlihat segundukan massa
daratan muneul ke permukaan, maka serta merta orang mengatakannya sebagai
pulau. Dengan demikian seluruh daratan (termasuk kontinen) di dunia ini adalah
pulau karena struktur alarn bumi memang hanya terdiri dari daratan dan air.
Dalarn konteks pulau keeil, ada beberapa defmisi pulau kecil yang
digunakan dalam berbagai studi tentang pulau-pulau keeH di dunia. Fors (2007)
mengartikan pulau keeil merupakan suatu wilayah daratan dengan luas terbatas
tanpa adanya perbatasan dengan bidang lahan lainnya. Batasan lebih spesifIk
mengenai pulau keeil dikemukakan Towle (1979) yang diacu Debanee (1999)
menggunakan defmisi pulau kecil yaitu pulau yang memiliki luas kurang dari 10
000 km2 dan penduduk kurang dari 500000 jiwa. Batasan ini juga digunakan oleh
Hess (1990) dan UNESCO dalam sekuel Man and the Biosphere-nya yang ke-5
yaitu Sustainable Development and Environmental Management of Small Islands
(Beller et al. 1990). Definisi-defmisi lainnya yang berdasarkan kriteria luasan
pulau dan jumlah penduduk yang menghuninya seperti Brookfiel (1986),
menyebutnya pulau kecil adalah pulau yang mempunyai luas kurang dari 800 km2
dengan jumlah penduduk kurang atau sama dengan 100 000 jiwa. Berdasarkan
Kepmen DKP No. 4112000, Pulau yang mempunyai luas kurang dari atau sarna
dengan 10 000 km2 dengan jumlah penduduk kurang atau sarna dengan 200 000
Jlwa.
Batasan pulau kedl juga dikemukakan pada pertemuan
esc,
1984 yangSetelah itu batasan pulau keeil mengalami diskusi yang hangat, terutama sejak
International Hydrological Programme IHP-III UNESCO. Dengan berlandaskan
pada kepentingan hidrologi (ketersediaan air tawar), para ilmuan menetapkan
batasan pulau keeil adalah pulau dengan ukuran kurang dari 1.000 km2 atau
lebarnya kurang dari 10 km (Diaz and Huertas, 1986). Namun demikian, ternyata
banyak pulau yang berukuran antara 1 000 - 2 000 km2 memiliki karakteristik dan
permasalahan yang sama dengan pulau yang berukuran huang dari 1 000 km2,
sehingga diputuskan oleh UNESCO (1991) bahwa batasan pulau keeil adalah
pulau yang luasnya kurang atau salna dengan 2 000 km2
• Batasan luasan ini dengan
jumlah penduduk kurang atau sama dengan 20 000 orang, juga yang digunakankan
oleh Bengen dan Retraubun (2006).
Perbedaan lebih jauh juga dilakukan antara pulau kecil dan pulau sangat
kecil, dimana perbedaan ini didasarkan pada keterbatasan sumberdaya air tawar
baik air tanah maupun air permukaan, sehingga UNESCO (1991) menetapkan
bahwa pulau dengan ukuran tidak lebih besar dari 100 km2 atau lebarnya tidak
lebih besar dari 3 km dikategorikan sebagai pulau sangat kecil. Sementara itu,
Nunn (1994) juga menyatakan bahwa ukuran pulau keeil menjadi sangat penting
ketika membiearakan mengenai pulau-pulau oseanik. Ukuran yang terlalu keeil
dan juga yang terlalu besar memiliki relevansi yang kurang signifikan bagi
pembiearaan tentang pengelolaan pulau-pulau keeil (Adrianto 2005). Dengan
menggunakan beberapa eontoh pengelolaan pulau keeil di dunia, Nunn (1994)
kemudian mendefmisikan pulau keeil berdasarkan konstektual setiap pulau bahwa
pulau-pulau dengan ukuran maksimal 1 000 km2 merupakan pulau yang relatif
memiliki kaitan yang signifIkan terhadap pentingnya pengelolaan pulau-pulau
kecil.
Berdasarkan karakteristik pulau-pulau keeil juga diartikan sebagai wilayah
daratan yang terbentuk seeara alamiah yang dikelilingi oleh air laut dan selalu
berada diatas permukaan air pada waktu air pasang (UNCLOS 1982). Sedangkan
menurut Kelman (2001), satu konsep intuit if dari suatu luas wilayah seeara
komparatif keeil, seeara umum tanpa satu jaringan transportasi lahan yang eukup
13
dari pulau besar, dapat membentuk satu gugus pulau atau berdiri sendiri, lebih
banyak dipengaruhi oleh faktor hidro-klimat laut, rentan terhadap perubahan alam
atau karena ulah manusia, substrat pulau kecil bergantung pada jenis biota yang
ada disekitar pulau. Briguglio (1995), karakteristik pulau-pulau kecil adalah secara
ekologis terpisah dari pulau induknya (mainland island), memiliki batas fisik yang
jelas dan terpencil dari habitat pulau induk, sehingga bersifat insular; mempunyai
sejumlah besar jenis endemik dan keanekaragaman yang tipikal dan bernilai tinggi;
tidak mampu mempengaruhi hidroklimat; memiliki daerah tangkapan air
(catchment area) relatif kecil sehingga sebagian besar aliran air permukaan dan
sedinlen masuk ke laut serta dari segi so sial, ekonomi dan budaya masyarakat
pulau-pulau kecil bersifat khas dibandingkan dengan pulau induknya. Secara
sosial-budaya dan ekonomi, pulau berpenghuni dan tidak berpenghuni, memiliki
budaya dan kondisi sosial ekonomi yang khas, kepadatan penduduk
terbatas/rendah, ketergantungan ekonomi lokal pada perkembangan ekonomi luar
pulau, keterbatasan kualitas SDM, aksesibitas rendah (Bass 1993; Adrianto and
Matsuda 2002; 2004; Adrianto 2004;2005).
Berdasarkan tipe dan asal pembentukannya, pulau-pulau keeil dibedakan
menjadi pulau benua, pulau vulkanik dan pulau karang. Hehanussa (1988),
menggolongkan pulau-pulau keeil dalam lima tipe berdasarkan proses geologinya
yaitu pulau benua (continental island), pulau vulkanik (vulcanic island), pulau
karang timbul (raised coral island), pulau dataran rendah (low island), dan pulau
atol (atolls). Masing-masing tipe pulau tersebut memiliki kondisi lingkungan
biofisik yang khas, sehingga perlu menjadi pertimbangan dalam kajian dan
penentuan pengelolaannya agar berkelanjutan. Hal ini akan berpengaruh pula
terhadap pola permukinlan yang berkembang di pulau-pulau keeil berdasarkan
aktivitas yang sesuai dengan kondisi lingkungan biofisik tersebut, misalnya
tipologi pulau kecil lebih dominan ke arah pengembangan budidaya perikanan,
maka kemungkinan besar pola permukiman yang berkembang adalah masyarakat
nelayan (Bengen dan Retraubun 2006).
Berdasarkan morfogenesa dan potensi sumberdaya air, pulau-pulau keeil
kelompok pulau berbukit (Hehanussa 1988; Hehanussa dan Haryani 1998;
Hehanussa dan Bakti 2005). Secara topografi pulau dataran yang terdiri dari 3
(tiga) kelompok: pulau aluvium, pulau karang atau koral dan pulau atol, tidak
memperlihatkan tonjolan morfologi yang berarti. Sedangkan kelompok pulau
berbukit, terdiri dari 5 (lima) kelompok yaitu pulau vulkanik, pulau tektonik, pulau
teras terangkat, pulau petabah dan pulau genesis campuran, umumnya
memperlihatkan morfologi dengan lereng yang lebih besar dad 10° dan elevasi
lebih besar dari 100 m di atas permukaan laut.
Tabel2.1 Perbandingan umum ciri-ciri pulau oseanik, pulau kontinental dan benua
Pulau Oseanik
• Jauh dari benua
• Dikelilingi oleh Iaut dalam, dan luas
• Luas daratan kecil • Suhu udara stabil
• Iklim sering berbeda dari pulau besar terdekat
• Geologi umumnya karang atau vulkanik
• Sedikit mineral penting • Tanah porous
• Keanekaragaman hayati
rendah
• Pergantian spesies tinggi
• Kejadian pemijahan
vertebrata laut tinggi
• Sedikit sumberdaya daratan
• SDA laut > SDA darat
• Jauh dari market
Pulau Kontinental
Karakteristik Geografis
• Dekat dari benua
• Dikelilingi oleh laut dangkal, dan relatif sempit
• Luas daratan besar • Suhu udara berfluktuasi • Iklim mirip pulau besar
(benua) terdekat
Karakteristik Geologi
• Geologi umumnya sedimen (endapan) atau metamorf
• Ada beberapa mineral
penting
• Tanah beragam
Karakteristik Biologi
• Keanekaragaman hayati
sedang
• Pergantian spesies sedang
• Kejadian pemijahan
vertebrata Iaut sering
Karakteristik Ekonomi
• SDA darat cukup luas
Benua
• Area daratan sangat besar
• Suhu udara
bervariasi • Iklim musiman
• Sedimen atau
metamorf
• Beberapa mineral
penting
• Tanah beragam • Keanekaragaman
hayati tinggi
• Pergantian spesies
rendah
• Kejadian pemijahan
vertebrata laut
sedikit Garang) • SDA darat luas
• SDA Iaut > penting
darat
SDA • SDA Iaut < penting
SDAdarat
• Lebih dekat dengan market • Pasar tersedia mudah
Sumber : (Salm et a/. 2000, diacu dalam Bengen dan Retraubull 2006)
Berdasarkan posisinya terhadap benua (Tabel 2.1), Salm et al. (2000) diacu
15
kelompok, yaitu: pulau oseanik (Pulau yang posisinya jauh dari benua, dikelilingi
oleh laut yang dalam atau bahkan samudera) dan pulau kontinental (pulau yang
posisinya dekat dengan henua, dikelilingi oleh Iaut yang relatif dangkal). Sebagian
hesar pulau kecil adalah pulau oseanik, yang memiliki ciri-ciri yang herbeda
dengan pulau kontinental, terlebih dengan benua, baik dilihat dari posisinya
maupun stabilitas dan penggunaannya.
2.2 Kerangka Pengelolaan ICM dalam Konteks Pulau-Pulau Keeil
Isu dan permasalahan pulau-pulau kecil (PPK) yang spesiflk memberikan
tantangan kepada para pengambil keputusan tentang bagaimana mengelola PPK
secara herkelanjutan. Pembangunan fisik oleh manusia maupun peru
bahan-perubahan alam seperti bencana alam menjadi salah satu penyebab utama dari
menurunnya kualitas lingkungan di PPK (Debance 1999).
Strategi pengelo1aan lingkungan di PPK sudah sejak lama dilakukan secara
parsial dan individualistik. Straregi pengelolan seperti ini gagal memahami bahwa
seluruh komponen kegiatan di PPK terkait satu sarna lain (inextricably linked) dan
bahwa interaksi dan hasil dari seluruh kegiatan di PPK dapat menciptakan reaksi
herganda sekaligus berantai (multiple chain reactions) dari persoalan dan tekanan
terhadap ekosistem dan komunitas di PPK (Cicin-Sain 1993). Selanjutnya
dikatakan bahwa PPK adalah wilayah pesisir dan seluruh kegiatan sosial ekonomi
Human activities
Inextncably linked
Gambar 2.1 Interaksi yang tak terpisahkan antar komponen PPK (Debance
masyarakat PPK memiliki dampak lang sung terhadap lingkungan daratan dan Iaut
PPK. Di samping itu, PPK sangat rentan terhadap bene ana alam seperti angin
topan, gempa bumi dan kenaikan permukaan laut (sea level rise). Dalam konteks
ini, maka Charles (2001) menganjurkan bahwa strategi pengelolaan PPK harus
dapat mengkaitkan seluruh kegiatan dan stakeholders yang ada di PPK dengan
menggunakan pendekatan yang terkoordinasi. Interaksi antar komponen dalam
sistem PPK menurut Debanee (1999) yang diaeu Adrianto (2004), disajikan pada
Gambar 2.1 .
Tabe12.2 Potensi sumberdaya, pemanfaatan dan identifikasi permasalaban di sub·wilayah pesisir PPK
No.
1
2
3
Sub-Wilayah
Perairan Lepas
Pantai (constal offshore zone)
Potensi Sumberdaya dan Pemanfaatan • Sumberdaya
perikanan • Wisata Bahari • Navigasi
• Pembuangan limbah
Pantai zone)
(beach • Ekstraksi pasir
Dataran rendah pesisir (coastal lawland zone)
• Rekreasi • Pemukiman • Reklamasi laban • Pembangunan
pelabuhan
• Habitat banyak spesies
• Pembuangan limbah • Reklamasi laban
4 Pesisir pedalaman • Sumberdaya laban (inland zone) • untuk industri,
perurnahan • Rekreasi
• Infrastruktur dan kegiatan
pembangunan lainnya.
Sumber: (Debance 1999, diacu dalam Adrianto (2004; 2005).
Potensi Persoalan
• Eksploitasi
sumberdaya perikanan • Polusi
• Kerusakan Iingkungan akibat proses
pembangunan • Kerusakan habitat
pesisir akibat Pembangunan fisik • Degradasi
perlindungan alami banjir
• Konflik spasial • Penurunan kualitas
lingkungan pesisir • Degradasi kawasan
habitat
• peSISIr
• Polusi
• Konflik spasial • Degradasi kualitas
laban
[image:29.595.82.503.254.758.2]17
Dari Gambar 2.1 tersebut dapat diidentifIkasi bahwa dalam sistem PPK
paling tidak terdapat 5 (lima) proses yaitu proses alam, proses so sial, proses
ekonomi, perubahan iklim dan proses pertemuan antara daratan dan laut (Debance
1999, diacu dalam Adrianto 2005). Proses-proses tersebut masing-masing
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari 3 (tiga) komponen PPK yaitu sistem
lingkungan daratan, sistem lingkungan laut dan sistem aktivitas manusia.
Sebagai wilayah pesisir, PPK merupakan wilayah yang memiliki
karakteristik tambahan seperti (1) relatif terisolir (sifat insularitas), (2) memiliki
keterbatasan secara geografIs (smallness); (3) keanekaragaman yang terbatas, dan
(4) secara ekonomis maupun ekologis rentan terhadap faktor eksternal (Singh,
1992). Dalam perspektif ekosistem wilayah pesisir, PPK dapat dibagi menjadi
beberapa sub-wilayah (sub-zone) yaitu (1) wilayah perairan lepas pantai (constal
offshore zone); (2) wilayah pantai (beach zone); (3) wilayah dataran rendah pesisir
(coastal lawland zone); (4) wilayah pesisir pedalaman (inland zone). Potensi,
pemanfaatan dan permasalahan yang terjadi di masing-masing sub-wilayah dan
umum terjadi untuk kasus PPK sebagaimana yang tersajikan dalam Tabel 2.2.
THE OFFSHORE ZONE THE BEACH ZONE
Social
MANAGEMENT
[image:30.599.86.515.59.764.2]THE INLAND ZONE THE LOWLAND ZONE
Dalam konteks keterpaduan, pendekatan berbasis keberlanjutan bagi sistem
wilayah pesisir di PPK menjadi sebuah syarat mutlak. Dengan kata lain,
pengelolaan lingkungan wilayah pesisir di PPK harus mempertimbangkan faktor
keterpaduan antar komponen yang seeara riel tidak dapat dipisahkan satu sarna
lain. Keterpaduan ini akan menjadi salah satu motor bagi tereapainya keberlanjutan
pembangunan dan pengelolaan wilayah pesisir dan laut dalam konteks PPK.
Menm-ut Debanee (1999) yang diaeu Adrianto (2005) dapat digarnbarkan
sebagaimana pada Gambar 2.2 bahwa interkorelasi antar sub-wilayah dalam
wilayah pesisir dan laut PPK yang memiliki tujuan akhir kepada pengelolaan
wilayah PPK seeara berkelanjutan.
2.3 Karakteristik Pulau-pulau Kecil
Pulau-pulau keeil (PPK) sudah dikenal sebagai wilayah yang memiliki
karakeristik khas seperti luas daratannya yang kecil, relatif jauh dari daratan induk
(mainland), relatif peka dalarn konteks ekonomi maupun lingkungan (Srinivas
1998). Dalam konteks faktor lingkungan, Hall (1999) membagi persoalan
lingkungan di PPK menjadi dua kategori yaitu 1) persoalan lingkungan secara
umum (common environmental problems) dan 2) persoalan lingkungan lokal (local
environmental problems).
Persoalan lingkungan secara umum didefmisikan oleh Hall (1999) sebagai
persoalan yang tejadi di harnpir seluruh pulau-pulau kecil di dunia (commons).
Persoalan ini mencakup limbah lokal, persoalan perikanan, kehutanan, penggunaan
lahan dan persoalan hak ulayat pulau. Persoalan limball terutarna dihasilkan dari
kegiatan manusia yang menjadi penduduk pulau keci!. Tergantung pada
kemampuan setiap pulau, ada beberapa pulau yang telah melengkapi wilayalmya
dengan fasilitas IP AL (instalasi pengolahan limbah). Narnun di Indonesia saat ini,
fasilitas IP AL belum menjadi fasilitas standar bagi pengelolaan PPK. Sementara
itu, untuk persoalan yang menyangkut kegiatan perikanan, penangkapan ikan
berlebih dan merusak telah menjadi indikasi umum dari tejadinya kerusakan
kualitas sumberdaya perikanan dan lingkungan Iaut di PPK. Banyak terjadi
ekosistem PPK seperti terumbu karang rusak karena kegiatan konstruksi,
19
atau karena aktifitas penangkapan ikan yang merusak seperti pemboman dan
peraeunan ikan.
Seperti halnya dengan sumberdaya kelautan, sumberdaya lahan daratan
seperti hutan juga merupakan persoalan lingkungan yang secara luas terjadi di PPK
global. Adrianto (2005), memaparkan eontoh-contoh persoalan umum lainnya
yang kerap terjadi di PPK di antaranya penebangan pohon yang tidak terkendali,
kebakaran hut an dan beberapa dampak turunan seperti erosi dan hilangnya
keanekaragaman hayati hutan merupakan salah satu karakeristik persoalan ini.
Selain itu, persoalan tata guna lahan dan hak ulayat juga tergolong dalam persoalan
lingkungan yang secara luas terjadi di PPK. Karena memiliki karakteristik yang
keeil dalam konteks fisik, maka pemanfaatan lahan harus diperhatikan sedemikian
rupa sehingga tidak sampai melebihi daya dukung lingkungan dari PPK tersebut.
Pengaturan penggunaan lahan secara komprehensif dan tepat sesuai dengan
peruntukannya merupakan prasyarat utama bagi pengelolaan lahan PPK seeara
berkelanjutan.
Kategori persoalan lingkungan lainnya di PPK adalah persoalan lokal (local
environmental problems) yang terdiri dari hilangnya tanah (soil loss) baik secara
fisik maupun kualitas, kekurangan air (water shortage), limbah padat dan bahan
kimia beracun dan problem spesies langka. Kehilangan tanah baik dalam arti fisik
maupun kualitas (kesuburan) terjadi karena erosi lahan yang juga terjadi di berbagai
wilayah lainnya. Narnun karena PPK memiliki luas wilayah yang relatif sempit
sehingga dampaknya akan sangat teras a bagi masyarakat petani dan penggarap lahan
di PPK.
Demikian juga dengan persoalan air bersih, banyak PPK tidak memiliki
cadangan air bersih yang cukup sehingga dalam beberapa hal perlu dilakukan
teknik desalinisasi dari air laut ke air tawar (Adrianto 2005). Limbah padat
khususnya yang terkait dengan konsumsi penduduk pulau juga menjadi salah
persoalan umum di PPK. Limbah padat seperti bekas mobil, sepeda motor atau
barang-barang lainnya menjadi persoalan ketika lahan pembuangan limbah
menjadi terbatas karena sifat PPK yang keeil dalam konteks luas wilayah.
Karakteristik lain adalah bahwa PPK sangat rentan terhadap bencana alam
Adrianto and Matsuda 2002; 2004). Dalam kacamata ekonomi, dampak bencana
alam terhadap ekonomi PPK tidak jarang sangat besar sehingga menyebabkan
tingkat resiko di PPK menjadi tinggi pUla.
Menurut Hein (1990), karakteristik khusus PPK khususnya yang terkait
dengan ukuran luas lahan (smallness) dan insularitas (insularity) dapat secara
bersama-sama memiliki efek terhadap kebijakan ekonomi pembangunan wilayah
PPK. Terkait dengan karakteristik ukuran luas fisik PPK memiliki peluang
ekonomi yang terbatas khususnya ketika berbicara soal skala ekonomi (economics
of scale). Agar kegiatan ekonomi di PPK mendapatkan skalanya yang sesuai maka
pengembangan sektor perdagangan menjadi diperlukan, wdaupun tergantung pula
kepada infrastruktur yang ada di PPK tersebut (Hein 1990). Selain itu, karena
karakteristiknya yang keeil secara fisik, maka kegiatan ekonomi yang mungkin
adalah kegiatan ekonomi yang terspesialisasi dan sesuai dengan daya dukung
lingkungannya. Dengan kata lain, kegiatan ekonomi di PPK memerlukan tingkat
spesialisasi yang lebih tinggi dibanding wilayah lain yang lebih besar. Sebagai
ilustrasi, menurut Adrianto and Matsuda (2002; 2004), gugusan Kepulauan Amami
di selatan Jepang memiliki spesialisasi kegiatan ekonomi yang berbeda antar
pulau-pulaunya. Pulau Okinoerabu (93 .6 km2), misalnya memiliki spesialisasi pada
pulau produsen hortilikultura (bunga potong). Sedangkan pulau tetangganya yaitu
Pulau Y oron (20.5 km2) memiliki spesialisasi sebagai produsen ikan khususnya
cumi (squids) bagi pasar regional Kepulauan Amami atau daratan induk
Kagoshima. Dalam beberapa hal, specialized economy seperti yang terjadi untuk
PPK berefek positif khususnya yang terkait dengan konsep skala ekonomi. Dengan
keanekaragaman spesialisasi ekonomi dari sebuah pulau keeil maka semakin
meningkat pula tingkat ketahanan ekonomi dari pulau tersebut dari faktor eksternal
sepanjang pengelolaan kegiatan ekonomi tersebut memperhitungkan pula tingkat
daya dukung pulau secara umum (Hein 1990; McKee and Tisdell 1990).
Karakteristik ekonomi lain dari PPK adalah tingkat ketergantungan yang
tinggi dari bantuan atau subsidi dari pihak luar yang dalam konteks negara
kepulauan adalah dari pemerintah pusat atau dalam konteks SIDS (small islands
21
masuk dalam kategori the Commonwealth. Karakteristik ini membuat subsidi per
kapita dari PPK menjadi lebih tinggi dibandingkan wilayah lain. Sebagai ilustrasi,
pada tahun 1984 negara-negara pulau (SIDS) menerima subsidi sebesar US$ 248
per kapita dari ODA, lebih besar dibandingkan dengan negara-negara berkembang
yang sebesar US$ 14 per kapita dan US$ 21.8 per kapita untuk: the least
development countries (Hein 1990). Pengurangan sarna sekali tingkat bantuan atau
subsidi untuk PPK merupakan hal yang dipandang tidak realistik meskipun dalam
jangka panjang. Karena PPK memiliki banyak keterbatasan baik dalam konteks
ekonomi maupun ekosistem, maka pemberian subsidi yang tepat saSaran masih
merupakan strategi yang diperlukan bagi pengelolaan ekonomi PPK. Beberapa hal
lain yang menjadi ciri keterbatasan ekonomi wilayah PPK terkait dengan ukuran
fisik (smallness) disajikan pada TabeI2.3.
Karakteristik penting lain dari PPK yang terkait dengan pengembangan
ekonomi wilayah adalah tingkat insularitas. PPK memiliki tingkat insularitas yang
tinggi karena sebagian besar jauh dari daratan induknya. Persoalan ekonomi PPK
jarang terkait dengan karakteristik insularitas ini terutama yang terkait dengan
persoalan transportasi dan komunikasi, lingkungan ekonomi yang cenderung
monopolistik, melimpahnya sumberdaya kelautan dan dominasi sektor jasa
(Adrianto 2005).
Tabel 2.3 Keterbatasan Ekonomi PPK Terkait dengan Ukuran Fisik (Smallness)
No. Keterbatasan
1 Terbatasnya sumberdaya alam dan ketergantungan terhadap
komponen impor yang tinggi
2 Terbatasnya substitusi impor bagi ekonomi pulau
3 Kecilnya pasar domestik dan ketergantungan terhadap ekspor untuk
menggerakkan ekonomi pulau.
4 Ketergantungan terhadap produk-produk dengan tingkat spesialisasi
Tinggi
5 Terbatasnya kemampuan untuk mempengaruhi harga lokal
6 Terbatasnya kemarnpuan untuk menentukan skala ekonomi
7 Terbatasnya kompetisi local
8 Persoalan yang terkait dengan administrasi publik
Transportasi di PPK merupakan persoalan yang khas mengingat tingkat
insularitas mengakibatkan biaya transportasi yang relatif mahal per jarak tertentu
dibanding wilayah lain yang lebih dekat dengan daratan induk. Apalagi bila sistem
transportasi antar pulau belum terbentuk dengan baik. sehingga membuat biaya
transportasi menjadi semakin mahal. Skala yang tidak ekonomis untuk sektor
transportasi ini juga dipengaruhi oleh sulitnya membangun jaringan di pulau-pulau
oseanik. Berbeda dengan kawasan kontinental yang mampu membangun jaringan
transportasi terkait antar wilayah. kasus untuk PPK menjadi sulit karena tidak
jarang jarak antar pulau sangat jauh dan pembangunan jaringan antar pulau
menjadi sangat mahal (Hein 1990).
Terkait dengan persoalan transportasi. terdapat tendensi adanya sistem
monopoli dan oligopoli di wilayah PPK (Hein 1990; McKee and Tisdell 1990). Hal
ini terkait dengan industri perdagangan di mana karena terbatasnya pilihan
terhadap suplai sehingga cenderung menjadi monopoli. Tabel 2.4 menyajikan
karakteristik PPK dUihat dari sifat insularitas seperti yang disampaikan oleh
Briguglio (1995); Cross and Nutley (1999), diacu dalam Adrianto (2005).
Tabel2.4 Keterbatasan ekonomi PPK terkait dengan tingkat insularitas
No. Keterbatasan
1 Biaya transportasi per unit produk
2 Ketidakpastian suplai
3 Volume stok yang besar
4 Ketergantungan terhadap produk-produk dengan tingkat spesialisasi
tinggi
5 Terbatasnya kemampuan untuk mempengaruhi harga lokal
6 Terbatasnya kemampuan untuk menentukan skala ekonomi
7 Terbatasnya kompetisi lokal
8 Persoalan yang terkait dengan administrasi publik
Sumber : Briguglio (1995); Cross and Nutley, (1999), diacu dalam Adrianto (2005)
2.4 Konsep dan Kerangka Kerentanan Pulau-pulau Keeil
Selain punya potensi yang besar. pulau-pulau kecil juga mengadung potensi
23
Berbagai potensi kerusakan yang dianggap berbahaya adalah resiko-resiko seeara
anthropogenic dan seeara alamiah. Resiko-resiko adalah suatu kejadian dan
proses-proses bahwa dapat dengan kurang baik mempengaruhi integritas biologi atau
kesehatan dari ekosistem-ekosistem. Itu diharapkan bahwa karena pulau-pulau
bersifat kedl, manusia dan lingkungan alami sudah membatasi kapasitas untuk
menyerap goneangan-goneangan yang kapasitasnya keeil. Semakin besar tingkat
kerentanan pada pulau-pulau keeil, pada gilirannya akan merupakan pengahalang
yang lebih besar kepada pembangunan berkelanjutan (Adrianto and Matsuda 2002).
Seeara luas dikenal bahwa pulau-pulau atau pulau-pulau yang lebih keeil
seeara rinei mengandung berbagai banyak permasalahan dan kebutuhan dengan
bidang-bidang kontinental tertentu untuk proses pengembangannya (Brookfield
1990). Pulau-pulau keeil di dalam banyak hal menghadapi kerugian-kerugian
khusus yang berhubungan dengan ukurannya yang keeil, kedudukan yang rendah,
keterpencilan dan keeenderungan tinggi oleh pengaruh bencana alamo
Faktor-faktor ini menjurus kepada peran pulau-pulau keeil sebagai hal yang rapuh dalam
sistem ekologi dan sistem ekonomi mereka yang lemahlrentan (Beller et al. 1990;
Briguglio 1995). Lebih dari itu, dari segi pandangan lingkungan, McLean (1980)
sudah menunjukkan bahwa ada beberapa pengakuan di mana pulau-pulau keeil
khusus yang terbuka bagi samudra luas pada semua sisi, eenderung sangat
berbahaya bagi aktivitas di laut. Pulau-pulau keeil juga mempunyai suatu
catchment area yang keeil sehingga suatu proporsi yang tinggi atas bahan-bahan
yang kritis biasanya hilang ke dalam laut. Lebih lanjut, ini juga seeara luas
diketahui bahwa pulau-pulau keeil lebih eenderung terpengaruh oleh bene
ana-bene ana lingkungan alami dibanding pulau-pulau yang lebih besar atau tanah
daratan. Selain itu, seeara ekonomis pulau-pulau keeil memiliki tingkat
ketergantungan yang tinggi pada ekonomi luar (Beller 1990; Adrianto and Matsuda
2004).
Dari perspektif ekonomi, pulau-pulau keeil di samping banyak
kelemahannya, juga mempunyai kelebihan-kelebihan. Keuntungan-keuntungan
kemampuan untuk menghasilkan barang dan jasa-jasa khususnya seperti di bidang
perikanan dan turisme. Sebagai tambahan, bagi negara sangat berarti sebagai alat
untuk melindungi kedaulatan dengan menggunakannya sebagai basis militer
(Briguglio 1995). Sebaliknya, sejumlah kerugian-kerugian ekonomi untuk
pulau-pulau kecil dapat dikenali terse but mereka lebih dihubungkan dengan skala,
keterbelakangan dan keterpeneilan ekonomi. Bahkan pada pulau yang ukuran kecil
dan sendirian bukanlah tidak berguna, karena produsen dan konsumen bersifat
lokal (Brookfield 1990). Masih ada beberapa kerugian-kerugian ekonomi
sehubungan dengan hal skala, (1) sumber alam yang terbatas dan impor tinggi, (2)
pembatasan di berbagai kemungkinan penggantian impor, (3). pasar dan
ketergantungan domestik keeil di bidang ekspor/penjualan, dan lainnya (Briguglio
1995; Adrianto and Matsuda 2002). Permasalahan keterpeneilan atau kedudukan
pulau adalah juga penting untuk kebijakan-kebijakan pengembangan pulau keeil
(Cross dan Nutley 1999). Dari faktor
ini,
beberapa keterlibatan-keterlibatanekonomi dapat ditunjukkan termasuk (1) masalah transportasi dan komunikasi
yang spesifik, (2) permasalahan monopoli lingkungan, (3) peran yang penting dari
industrijasa, dan lain-lain (Hein 1990).
Sementara itu, pulau-pulau keeil juga memiliki ketergantungan keuangan
pada pemerintah pusat dan atau pemerintah daerah (mainland'). Hal ini dapat
diperlakukan sebagai faktor penting lain yang meneerminkan kemampuan mereka
tergantung pada faktor-faktor eksternal (Briguglio 1995; Hein 1990). Dalam hal
ini, pulau-pulau kecil adalahjuga berbahaya atau bersifat lemah seeara ekonomis.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut, kebutuhan akan strategi khusus untuk
meneapai pembangunan berkelanjutan di dalam pulau-pulau keeil menjadi
pertimbangan yang sangat penting (Bel et al. 1990). Mengenai ketahanan, kita
dapat menggunakan satu konsep yang penting yakni konsep resiliensi (Holling
1973; Perrings 1998). Menurut Perrings (1998), ada dua definisi-defmisi yang agak
berbeda menyangkut resiliensi. Definisi yang pertama mengacu pada beberapa
sistim dekat keseimbangan stabil, dan yang kedua, yang dipromosikan oleh
Holling (1973), yang menggambarkan sebagian gangguan dapat diserap sebelum
25
Menggunakan konsep yang kedua dari resiliensi, kita