• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Adaptasi terhadap Perubahan Iklim pada Ekowisata di Taman Wisata Alam Telogo Warno Telogo Pengilon dan Nama NIM Sekitarnya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Strategi Adaptasi terhadap Perubahan Iklim pada Ekowisata di Taman Wisata Alam Telogo Warno Telogo Pengilon dan Nama NIM Sekitarnya"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI ADAPTASI TERHADAP PERUBAHAN IKLIM PADA

EKOWISATA DI TAMAN WISATA ALAM TELOGO WARNO

TELOGO PENGILON DAN SEKITARNYA

DINNY FAIQAH

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Strategi Adaptasi terhadap Perubahan Iklim pada Ekowisata di Taman Wisata Alam Telogo Warno Telogo Pengilon dan Sekitarnya adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

DINNY FAIQAH. Strategi Adaptasi terhadap Perubahan Iklim pada Ekowisata di Taman Wisata Alam Telogo Warno Telogo Pengilon dan Sekitarnya. Dibimbing oleh E.K.S. HARINI MUNTASIB dan SITI BADRIYAH RUSHAYATI.

Isu perubahan iklim yang terjadi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir diperkirakan akan berpotensi mempengaruhi kegiatan ekowisata di Taman Wisata Alam Telogo Warno Telogo Pengilon (TWATWTP). Hal ini diperlukan strategi adaptasi oleh pengelola dan masyarakat terhadap perubahan iklim, agar wisata tetap terselenggara. Tujuan penelitian ini adalah menyusun strategi adaptasi terhadap perubahan iklim pada ekowisata di TWATWTP dan sekitarnya. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan studi pustaka, obeservasi lapang dan wawancara. Kemudian data dianalisis menggunakan analisis deskiptif. Fenomena perubahan iklim terjadi di TWATWTP meliputi meningkatnya suhu udara, kelembaban udara dan curah hujan. Strategi adaptasi terhadap perubahan iklim pada ekowisata dapat dilakukan dengan melakukan kerjasama antara BMKG dengan pengelola wisata. Adanya perubahan iklim berdampak pada masyarakat dan wisatawan sehingga dapat dijadikan atraksi wisata yang baru yaitu frost.

Kata kunci: adaptasi, ekowisata, perubahan iklim

ABSTRACT

DINNY FAIQAH. Strategy Adaptation To Climate Change On Ecotourism at Nature in Tourism Telogo Warno Telogo Pengilon Park and Surroundings Areas. Supervised by E.K.S. HARINI MUNTASIB dan SITI BADRIYAH RUSHAYATI.

The issue of climate change has occurred in Indonesian over the last few years is expected to potentially affect ecotourism activities at Nature in Tourism Telogo Warno Telogo Pengilon Park (TWATWTP). These adaptation startegies against climate change are needed by managers and the community, so that tourism remains in this area. The aim of this research was to prepare the adaptation strategy to climate change on ecotourism at TWATWTP and surroundings areas. Data collection in this research used literature study, observations and interview method. Data was analyzed by analysis descriptive. The changing climate on TWATWTP increasing temperature, humidity and rainfall. Strategy for adaptation to climate change can be done by implementing ecotourism cooperation between BMKG and tourism management. The climate change impact on peoples and tourists so that can be used as new tourist attraction which is frost.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

STRATEGI ADAPTASI TERHADAP PERUBAHAN IKLIM PADA

EKOWISATA DI TAMAN WISATA ALAM TELOGO WARNO

TELOGO PENGILON DAN SEKITARNYA

DINNY FAIQAH

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)

Judul Skipsi: Strategi Adaptasi terhadap Perubahn klim pada Ekowisata di Taman Wisata lm Telogo Wno Telogo Pengilon dan

Nama NM

Sekitanya : Dinny Faiqah

: £43100040

Disetujui oleh

Prof Dr E.K.S. Harini MS Pembimbing I

Dr r Siti MSi

Pembimbing II

Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah berjudul Strategi Adaptasi terhadap Perubahan Iklim pada Ekowisata di Taman Wisata Alam Telogo Warno Telogo Pengilon dan Sekitarnya berhasil diselesaikan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr E.K.S Harini Muntasib, MS dan Dr Ir Siti Badriyah Rushayati, MSi sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan banyak masukan serta arahan selama proses penelitian dan penulisan skripsi ini. Penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh dosen Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata yang telah memberikan banyak ilmu dan pemahamannya kepada penulis. Keluarga tercinta yang selalu memberikan doa, kasih sayang dan dukungan dalam bentuk moril maupun materil.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Tengah, Taman Wisata Alam Telogo Warno dan Telogo Pengilon Seksi Konservasi Wilayah II Pemalang Resort Konservasi Wilayah Wonosobo, Dinas Pertanian Kabupaten Wonosobo, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Wonosobo, dan Badan Meteorologi Geofisika dan Klimatologi (BMKG) yang telah membantu dalam pengumpulan data penelitian. Terima kasih juga disampaikan kepada Grup Gengges dan teman-teman KSHE 47 “Nepenthes rafflesiana” yang selalu memberikan semangat dan dukungan selama masa studi di IPB dan dalam penyelesaian tugas akhir. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

Manfaat Penelitian 2

METODE 2

Waktu dan Lokasi Penelitian 2

Alat 3

Metode Pengumpulan Data 3

Analisis data 5

HASIL DAN PEMBAHASAN 5

Kondisi Umum Lokasi Penelitian 5

Inventarisasi Parameter Perubahan Iklim 6

Dampak Perubahan Iklim terhadap Ekowisata 12

Kebutuhan Bidang Ekowisata terhadap Informasi Perubahan Iklim 16 Strategi Adaptasi terhadap Perubahan Iklim pada Ekowisata 17

SIMPULAN DAN SARAN 19

Simpulan 19

Saran 19

(10)

DAFTAR TABEL

1 Informasi pengumpulan data iklim 3

2 Matriks kebutuhan ekowisata penyusunan konsep implementasi

adaptasi perubahan iklim 17

DAFTAR GAMBAR

1 Lokasi penelitian 2

2 Rata-rata suhu udara bulanan pada tahun 2009-2013 6 3 Rata-rata suhu udara maksimum bulanan dan suhu udara minimum

bulanan pada tahun 2009-2013 7

4 Rata-rata suhu tahunan 7

5 Rata-rata kelembaban udara bulanan pada tahun 2009-2013 8 6 Rata-rata kelembaban udara maksimum bulanan dan kelembaban

udara minimum bulanan pada tahun 2009-2013 9

7 Rata-rata kelembaban udara tahunan 9

8 Jumlah hari hujan tahunan 10

9 Rata-rata hari hujan bulanan pada tahun 2000-2013 10 10 Rata-rata curah hujan bulanan pada tahun 2000-2013 11

11 Curah hujan tahunan 11

12 Pemandangan TWATWTP 13

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perubahan iklim merupakan perubahan pada komponen iklim, yaitu suhu, curah hujan, kelembaban, evaporasi, arah dan kecepatan angin, serta awan (Aldrian et al. 2011). Menurut UU No. 31 Tahun 2009 tentang meteorologi, klimatologi dan geofisika, perubahan iklim merupakan berubahnya iklim yang diakibatkan, langsung atau tidak langsung, oleh aktivitas manusia yang menyebabkan perubahan komposisi atmosfer secara global serta perubahan variabilitas iklim alamiah yang teramati pada kurun waktu yang dapat dibandingkan. Perubahan iklim bisa juga dilihat dari adanya pergeseran musim. Menurut Aldrian et al. (2011) pergeseran musim di Indonesia telah diamati, berdasarkan data pengamatan selama 30 tahun yaitu periode tahun 1971-2000 dan periode tahun 2001-2010, pola musim hujan di Jawa Tengah mengalami pergeseran maju sedangkan musim kemarau mengalami pergeseran mundur. Perubahan iklim dapat memberikan dampak serius terhadap kerusakan hutan seperti kebakaran, jika hutan tidak dikelola dengan baik (Hilman 2007). Dampak dari perubahan iklim juga mempunyai keterikatan terhadap sektor pariwisata. Menurut Rosyidie (2004) perubahan iklim memberikan pengaruh yang besar terhadap dunia kepariwisataan, baik itu terhadap preferensi wisatawan akan daerah tujuan wisatanya maupun berubahnya daya tarik wisata yang berakibat juga pada perubahan pengelolaan destinasi pariwisata. Isu mengenai perubahan iklim yang terjadi beberapa tahun terakhir ini juga diperkirakan akan berpotensi mempengaruhi kegiatan ekowisata di Indonesia.

Salah satu potensi ekowisata yang terdapat di Dataran Tinggi Dieng yaitu Taman Wisata Alam Telogo Warno Telogo Pengilon yang menjadi daya tarik wisata akan keindahan alam yang menakjubkan serta kekayaan peninggalan sejarah dan budaya. Hal ini memberikan peluang bagi wisatawan untuk melakukan berbagai kegiatan wisata alam, wisata sejarah maupun wisata budaya. Taman Wisata Alam Telogo Warno Telogo Pengilon (TWATWTP) memiliki objek daya tarik wisata berupa dua buah telaga yang saling berdekatan yakni Telaga Warna dan Telaga Pengilon, kompleks gua, Kawah Sikendang, dan Pesanggrahan Bumi Pertolo. Selain itu, terdapat potensi satwa dan tumbuhan yang bisa dijadikan objek daya tarik wisata.

Adanya potensi ekowisata, sehingga membutuhkan strategi adaptasi oleh pengelola dan masyarakat terhadap perubahan iklim tersebut, agar wisata tetap terselenggara. Menurut Muntasib (2014) tindakan adaptasi bagi penyelenggara wisata adalah upaya untuk mengatasi dampak perubahan iklim sehingga mampu mengurangi dampak negatifnya terhadap penyelenggaraan wisata. Oleh karena itu penelitian ini diperlukan untuk mendapatkan gambaran perubahan iklim yang selama ini terjadi sehingga memperoleh strategi adaptasi terhadap perubahan iklim pada ekowisata oleh pengelola dan masyarakat sekitar TWATWTP.

Tujuan Penelitian

(12)

2

1. Inventarisasi parameter iklim terkait dengan ekowisata secara time series di TWATWTP dan sekitarnya.

2. Menyusun strategi adaptasi terhadap ekowisata berdasarkan kondisi data iklim di TWATWTP dan sekitarnya.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan gambaran mengenai perubahan iklim sehingga menjadi masukan kepada pengelola dan masyarakat untuk melakukan strategi adaptasi terhadap perubahan iklim pada ekowisata di TWATWTP dan sekitarnya.

METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2014 di Taman Wisata Alam Telogo Warno Telogo Pengilon dan sekitarnya, Dataran Tinggi Dieng, Provinsi Jawa Tengah.

(13)

3 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian adalah buku lapang, alat tulis, perekam suara, binokuler, buku panduan pengenalan jenis tumbuhan dan satwaliar (mamalia dan burung), kamera, GPS (Global Positioning System), software ArcGis 9.3, dan panduan wawancara.

Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian berupa studi literatur, observasi lapang dan wawancara (Tabel 1).

Tabel 1 Informasi pengumpulan data iklim No Jenis Data Data yang

dikumpulkan

Metode Pengumpulan

Sumber Data 1. Suhu udara Rata-rata suhu udara

bulanan

Studi pustaka Data time series (2009-2013) Badan Meteorologi

Studi pustaka Data time series (2009-2013) Badan Meteorologi

(14)

4

Studi pustaka

Studi ini dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai data time series parameter iklim di TWATWTP dan sekitarnya. Parameter iklim yang dicari yaitu suhu udara (rata-rata suhu udara bulanan, rata-rata suhu udara maksimum bulanan dan suhu udara minimum bulanan, dan rata-rata suhu tahunan), kelembaban udara (rata-rata kelembaban udara bulanan, rata-rata kelembaban udara maksimum bulanan dan kelembaban udara minimum bulanan, dan rata-rata kelembaban udara tahunan), dan curah hujan (jumlah hari hujan tahunan, rata-rata hari hujan bulanan, rata-rata curah hujan bulanan, dan curah hujan tahunan). Pustaka yang digunakan dapat berasal dari buku, data instansi terkait Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Provinsi Jawa Tengah, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Kabupaten Banjarnegara, Dinas Pertanian Kabupaten Wonosobo, media cetak atau elektronik.

Observasi lapang

Observasi lapang bertujuan untuk memperoleh data hasil pengamatan tumbuhan dan satwaliar yang berkaitan dengan kondisi iklim (suhu udara, kelembaban udara dan curah hujan) di TWATWTP dan juga sebagai bentuk verifikasi berdasarkan studi pustaka. Pengamatan satwaliar dan tumbuhan dilakukan dengan menggunakan rapid assessment.

Wawancara

Wawancara dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai kondisi cuaca di kawasan TWATWTP dengan menggunakan panduan wawancara. Pengambilan data wawancara ini ditunjukan kepada:

1. Pengelola

Wawancara dilakukan terhadap pihak pengelola, yang terkait dengan strategi adaptasi terhadap kondisi iklim di TWATWTP dan sekitarnya yaitu pengelola TWATWTP (Kepala Resort yang merangkap sebagai Polisi Hutan dan satu orang Pengendali Ekosistem Hutan), Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Wonosobo, dan Dinas Pertanian Wonosobo.

2. Masyarakat

(15)

5 Analisis data

Penentuan tipe iklim menurut Klasifikasi Schmidth-Ferguson (1951) hanya memperhatikan unsur iklim hujan dan memerlukan data hujan bulanan paling sedikit 10 tahun. Kriteria yang digunakan adalah:

Bulan kering (BK) : bulan dengan hujan < 60 mm

Bulan lembab (BL) : bulan dengan hujan antara 60 – 100 mm Bulan basah (BB) : bulan dengan hujan > 100 mm

Penentuan tipe iklim mempergunakan nilai Q yaitu:

Q = Rata-rata Bulan Kering (BK)Rata-rata Bulan Basah (BB) ×100%

Nilai Q (%) untuk menentukan batas-batas tipe iklim dapat diklasifikasikan dalam 8 tipe iklim dari A hingga H sebagai berikut:

A = 0 - 14.3 B = 14.3 - 33.3 C = 33.3 - 60 D = 60 - 100 E = 100 - 167 F = 167 - 300 G = 300 - 700 H = > 700

Data dan informasi yang telah dikumpulkan melalui studi pustaka, observasi lapang, dan wawancara mengenai berbagai adaptasi terhadap perubahan iklim pada ekowisata kemudian diuraikan dan dianalisis secara deskriptif sehingga didapatkan informasi mengenai strategi adaptasi terhadap perubahan iklim dalam kaitannya dengan kegiatan wisata alam di TWATWTP dan sekitarnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

(16)

6

Inventarisasi Parameter Perubahan Iklim

Hasil Penelitian menjukkan bahwa perubahan iklim dirasakan oleh setiap responden, namun sebagian besar responden belum mengerti istilah perubahan iklim, mereka lebih mengenal istilah perubahan cuaca. Hasil wawancara yang dilakukan kepada 90 responden yaitu masyarakat Desa Dieng, Desa Dieng Kulon dan Desa Jojogan menyatakan bahwa 95.6% responden memahami makna perubahan iklim dan 4.4% tidak memahami makna perubahan iklim. Sebagian besar responden memahami yang dimaksud dengan perubahan iklim. Hal ini dibuktikan dengan penjelasan yang diberikan oleh mereka mendekati dengan fenomena-fenomena yang timbul akibat perubahan iklim yaitu berubahnya cuaca dan adanya pergeseran musim selama beberapa tahun terakhir. Hasil wawancara terhadap responden menunjukkan bahwa perubahan iklim yang mereka sadari terjadi pada rentang waktu 1-5 tahun terakhir sebanyak 78.9% responden, lebih dari 5 tahun terakhir sebanyak 3.3% responden dan tidak tahu sebanyak 17.8% responden. Hal ini dikarenakan kejadian yang sudah lama sehingga responden tidak mengetahui waktu tepatnya.

Perubahan iklim mikro yang terjadi di kawasan TWATWTP dan sekitarnya dapat dilihat dalam tiga parameter iklim yaitu suhu udara, kelembaban udara dan curah hujan. Data time series suhu udara dan kelembaban udara bersumber dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Stasiun Geofisika Banjarnegara dalam lima tahun terakhir yaitu pada tahun 2009-2013, sedangkan curah hujan bersumber dari Dinas Pertanian Kabupaten Wonosobo dalam 14 tahun terakhir yaitu pada tahun 2000-2013.

Suhu udara

Suhu merupakan keadaan derajat panas pada suatu tempat. Berdasarkan data dari Stasiun Geofisika Banjarnegara, rata-rata suhu udara bulanan di sekitar kawasan TWATWTP pada periode 2009-2013 berkisar 22.1-24 °C (Gambar 2).

Gambar 2 Rata-rata suhu udara bulanan pada tahun 2009-2013

(17)

7 menggambarkan perubahan pola suhu udara musiman. Berdasarkan data dari Stasiun Geofisika Banjarnegara, suhu udara maksimum bulanan terjadi pada masa pancaroba atau transisi yaitu pada bulan April, sedangkan suhu udara minimum bulanan terjadi pada puncak musim kemarau yaitu pada bulan Agustus (Gambar 3).

Gambar 3 Rata-rata suhu udara maksimum bulanan dan suhu udara minimum bulanan pada tahun 2009-2013

Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa rata-rata suhu udara maksimum bulanan dan suhu udara minimum bulanan pada tahun 2009-2013 di sekitar kawasan TWATWTP cenderung turun naik (fluktuatif). Suhu udara maksimum tertinggi terjadi pada suhu 34.2 °C di bulan April, sedangkan suhu udara maksimum terendah terjadi pada suhu 29.3 °C di bulan Agustus. Suhu udara minimum tertinggi terjadi pada suhu 20.1 °C di bulan Maret, sedangkan suhu udara minimum terendah terjadi pada sihu 16.8 °C di bulan Agustus.

Pada periode 2009-2013 suhu udara tahunan di sekitar kawasan TWATWTP berfluktuasi cenderung meningkat (Gambar 4). Rata-rata suhu udara tahunan di sekitar kawasan TWATWTP berkisar antara 22.8-23.8 °C. Rata-rata Suhu tahunan tertinggi terjadi pada tahun 2013 yakni sebesar 23.8 °C. Sedangkan rata-rata suhu tahunan terendah terjadi pada tahun 2009 yaitu 22.8 °C. Pada tahun selanjutnya 2010 rata-rata suhu tahunan meningkat menjadi 23.4 °C. Pada tahun 2011-2012 rata-rata suhu tahunan sama yaitu 23 °C.

Gambar 4 Rata-rata suhu tahunan

(18)

8

Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, sebanyak 84.4% responden merasakan bahwa telah terjadi peningkatan suhu udara di sekitar kawasan TWATWTP selama beberapa tahun terakhir, sedangkan responden yang berpendapat bahwa suhu udara mengalami penurunan sebanyak 6.7%, dan sisanya 8.9% menyatakan tidak tahu. Berdasarkan data dari Stasiun Geofisika Banjarnegara menunjukkan bahwa telah terjadi fluktuasi suhu udara yang cederung meningkat selama selang waktu 2009-2013. Hal ini menujukkan bahwa, hasil wawancara responden sesuai dengan data yang didapatkan.

Kelembaban udara

Kelembaban udara adalah banyaknya kandungan uap air yang terdapat di udara (Sutjahjo dan Gatut 2007). Menurut data dari Stasiun Geofisika Banjarnegara rata-rata kelembaban udara tertinggi periode 2009-2013 di sekitar TWATWTP terjadi pada bulan November yaitu 89%, sedangkan rata-rata kelembaban udara terendah terjadi pada bulan September sebesar 83% (Gambar 5).

Gambar 5 Rata-rata kelembaban udara bulanan pada tahun 2009-2013 Pada Gambar 6 dapat dilihat bahwa rata-rata kelembaban udara maksimum tertinggi sebesar 97% pada bulan Desember, sedangkan rata-rata kelembaban udara maksimum terendah terjadi pada bulan Februari, Agustus dan September sebesar 93%. Rata-rata kelembaban udara minimum tertinggi sebesar 82% pada bulan November, sedangkan rata-rata kelembaban udara minimum terendah sebesar 68% pada bulan September.

83

89

80 82 84 86 88 90

K

el

em

baba

n

udar

a

(%

)

Bulan

(19)

9

Gambar 6 Rata-rata kelembaban udara maksimum bulanan dan kelembaban udara minimum bulanan pada tahun 2009-2013

Rata-rata kelembaban udara tahunan pada rentang waktu 2009-2013 di sekitar kawasan TWATWTP berfluktuasi cenderung meningkat (Gambar 7). Rata-rata kelembaban udara tahunan maksimum terjadi pada tahun 2012 yakni sebesar 87.2%. Sedangkan rata-rata kelembaban udara tahunan minimum terjadi pada tahun 2009 yaitu 85.3%. Pada tahun selanjutnya 2010 rata-rata kelembaban udara tahunan meningkat menjadi 86.9%. Rata-rata kelembaban udara tahunan mengalami penuruan pada tahun 2011 menjadi 86.7%. Selanjutnya pada tahun 2012 rata-rata kelembaban udara tahunan mengalami kenaikan sebesar 87.2%. Kemudian, tahun 2013 rata-rata kelembaban udara tahunan mengalami penurunan kembali hingga 86%.

Gambar 7 Rata-rata kelembaban udara tahunan

Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat Desa Jojogan, Desa Dieng dan Desa Dieng Kulon, responden tidak mengetahui adanya perubahan kelembaban udara. Hal ini karena kurangnya pengetahuan responden mengenai kelembaban udara dan responden sulit untuk merasakan perubahan kelembaban udara.

Curah hujan

Berdasarkan data dari Dinas Pertanian Kabupaten Wonosobo, jumlah hari hujan di sekitar kawasan TWATWTP pada periode 2000-2013 berfluktuasi cenderung meningkat (Gambar 8). Pada tahun 2000 jumlah hari hujan tahunan sama

(20)

10

dengan tahun 2001 yaitu 194 hari hujan. Jumlah hari hujan terus menurun hingga tahun 2003 menjadi 147 dan 136 hari hujan. Namun, pada tahun 2004 jumlah hari hujan meningkat hingga tahun 2005 yaitu 157 dan 178 hari hujan. Pada tahun 2006 jumlah hari hujan menurun menjadi 109 hari hujan. Pada tahun 2007 jumlah hari hujan terus meningkat hingga tahun 2010 yaitu 174, 192, 194, menjadi 230 hari hujan. Namun, pada tahun 2011 hingga 2012 jumlah hari hujan menurun dari 172 menjadi 163 hari hujan. Pada tahun 2013 jumlah hari hujan meningkat menjadi 190 hari hujan.

Gambar 8 Jumlah hari hujan tahunan

Pada Gambar 9 dapat dilihat bahwa rata-rata hari hujan bulanan tertinggi tahun 2000-2013 di sekitar kawasan TWATWTP sebanyak 22 hari hujan terjadi pada bulan Desember, sedangkan rata-rata hari hujan bulanan terendah terjadi pada bulan Agustus sebanyak 3 hari hujan.

Gambar 9 Rata-rata hari hujan bulanan pada tahun 2000-2013

Curah hujan merupakan jumlah air yang turun pada suatu daerah dalam waktu tertentu. Menurut Aldrian dan Susanto (2003) pola curah hujan di kawasan TWATWTP termasuk daerah monsunal (zona A) merupakan pola yang dominan di Indonesia karena melingkupi hampir seluruh wilayah Indonesia. Daerah tersebut memiliki satu puncak pada periode November sampai Maret yang dipengaruhi oleh monsun barat laut yang basah. Di samping itu, zona tersebut juga memiliki satu palung pada bulan Mei hingga September yang dipengaruhi oleh monsun tenggara kering. Akibatnya, terdapat perbedaan yang jelas antara musim kemarau (curah hujan bulanan di bawah 150 mm) dan musim hujan (curah hujan bulanan di atas 150 mm). Berdasarkan data rata-rata curah hujan bulanan pada tahun 2000-2013

194 194

147 136 157 178

109

174 192 194 230 172 163 190

(21)

11 dari Dinas Pertanian Kabupaten Wonosobo (Gambar 10), musim kemarau terjadi pada bulan Juni hingga September, Sedangkan musim hujan terjadi pada bulan Oktober hingga Mei. Adanya perbedaan antara pustaka dan data yang didapatkan, menyebabkan pergeseran musim kemarau dan musim hujan. Hasil wawancara dengan masyarakat sekitar TWATWTP yaitu Desa Jojogan, Desa Dieng dan Desa Dieng Kulon menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran musim hujan dan musim kemarau dalam beberapa tahun terakhir. Musim hujan yang dulu terjadi selama bulan November hingga Maret kini tidak dapat ditentukan lagi.

Gambar 10 Rata-rata curah hujan bulanan pada tahun 2000-2013

Pada Gambar 10 dapat dilihat bahwa rata-rata curah hujan bulanan tertinggi pada periode 2000-2013 sebanyak 450 mm terjadi pada bulan Januari, sedangkan rata-rata curah hujan bulanan terendah sebanyak 39 mm terjadi pada bulan Agustus. Menurut Klasifikasi Schmidth-Ferguson, kawasan TWATWTP memperoleh nilai Q sebesar 30.56%, sehingga termasuk tipe iklim B yang merupakan daerah basah dengan vegetasi masih hutan hujan tropika.

Jumlah curah hujan di sekitar kawasan TWATWTP dari tahun 2000-2013 berfluktuasi cenderung meningkat (Gambar 11). Pada tahun 2000 jumlah curah hujan sebanyak 4 303 mm. Jumlah curah hujan tertinggi terjadi pada tahun 2010 yakni sebanyak 4 529 mm, sedangkan jumlah curah hujan terendah terjadi pada tahun 2006 yakni sebanyak 1 654 mm.

Gambar 11 Curah hujan tahunan

Pada tahun 2001 dan 2002 jumlah curah hujan di sekitar kawasan TWATWTP mengalami penurunan menjadi 3 684 mm dan 2 355 mm. Pada tahun berikutnya jumlah curah hujan meningkat menjadi 3 051 mm tahun 2003, 3 234 mm tahun 2004, dan 3 495 mm tahun 2005. Pada tahun 2006, jumlah curah hujan

(22)

12

kembali menurun menjadi 1 654 mm. Pada tahun berikutnya jumlah curah hujan meningkat lagi menjadi 3 088 mm tahun 2007, 3 322 mm tahun 2008, 3 725 mm tahun 2009, dan 4 529 mm tahun 2010. Pada tahun 2011 jumlah curah hujan menurun hingga 2 782 mm. Pada tahun 2012 dan 2013 jumlah curah hujan kembali meningkat menjadi 3 029 mm dan 3 203 mm.

Berdasarkan hasil wawancara, sebanyak 77.8% responden merasakan bahwa telah terjadi peningkatan curah hujan di sekitar kawasan TWATWTP selama beberapa tahun terakhir, sedangkan responden yang berpendapat bahwa curah hujan mengalami penurunan sebanyak 1.1% dan sisanya 21.1% menyatakan tidak tahu. Berdasarkan data dari Dinas Pertanian Kabupaten Wonosobo menunjukkan bahwa telah terjadi kenaikan curah hujan selama selang waktu 2000-2013 yang berfluktuasi cenderung meningkat. Hal ini menujukkan bahwa, hasil wawancara dengan responden sesuai dengan data yang didapatkan.

Dampak Perubahan Iklim terhadap Ekowisata

Laporan The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC 2007) menyatakan bahwa suhu permukaan global meningkat sebesar 0.74 ± 0.32 °C selama abad ke-20. Kejadian cuaca ekstrim seperti gelombang panas, kekeringan, dan banjir diprediksi akan terus meningkat, demikian juga temperatur minimal yang lebih tinggi dan semakin sedikit hari-hari yang dingin. Perubahan iklim menyebabkan terjadinya pergeseran musim dan peningkatan curah hujan sehingga hujan tidak bisa lagi diprediksi waktunya. Hal ini berdampak terhadap sektor ekowisata.

Taman Wisata Alam Telogo Warno Telogo Pengilon berada pada kawasan Dataran Tinggi Dieng dengan ketinggian ± 2 100 mdpl. Kawasan ini mempunyai topografi datar sampai dengan curam dengan kemiringan mencapai 40% atau lebih (BKSDA 2012). Sebagian besar jalan menuju TWATWTP cenderung curam yang terletak dipinggir tebing. Mayoritas masyarakat bertani kentang sehingga dapat membahayakan pengguna jalan terutama pada wisatawan, apabila wisatawan tidak berhati-hati dan rawan terhadap longsor.

(23)

13 Taman Wisata Alam Telogo Warno Telogo Pengilon memiliki daya tarik keunikan alam berupa dua buah telaga yang saling berdampingan. Telogo Warno merupakan telaga dengan air yang memiliki kandungan mineral berupa belerang sedangkan Telogo Pengilon merupakan telaga dengan air tawar. Apabila Telogo Warno terkena sinar matahari lalu dibiaskan sehingga mengakibatkan telaga tersebut nampak berwarna-warni. Warna tersebut dapat berubah-ubah tergantung cuaca, waktu dan tempat untuk melihatnya. Warna yang dapat dilihat yaitu hijau, putih, merah, dan hitam. Untuk menikmati keindahan TWATWTP, maka harus dilihat dari tempat yang tinggi, salah satunya Bukit Sidengkeng (Gambar 12a) dan Batu Pandang yang terletak di sekitar Dieng Plateau Theater (Gambar 12b).

(a) (b)

Gambar 12 Pemandangan TWATWTP (a) dari Bukit Sidengkeng (b) dari Batu Pandang

Pada musim kemarau (Gambar 10) yaitu bulan Agustus (bulan kering) masyarakat di sekitar kawasan TWATWTP tidak mengalami kesulitan air untuk kebutuhan rumah tangga, namun kesulitan dalam mengairi lahan pertanian. Masih terdapat mesin penyedot air yang beroperasi di TWATWTP pada musim kemarau. Hal ini menyebabakan berkurangnya debit air di Telaga Pengilon. Selain itu, suara mesin penyedot menimbulkan suara yang dapat mengganggu kenyamanan satwa dan mengganggu kenyamanan pengunjung untuk menikmati kegiatan wisata di TWATWTP.

Ketika curah hujan dengan intensitas rendah (< 100 mm/bulan) terjadi pada bulan Juli sampai dengan bulan September di sekitar kawasan TWATWTP sering terjadi frost. Frost merupakan embun pagi yang membeku sehingga membentuk kristal-kristal es seperti salju, sehingga masyarakat mengenalnya dengan sebutan embun upas. Menurut wawancara dengan Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Wonosobo, pada hari itu ada tiupan angin yang suhu udaranya mendadak turun hingga 0 °C, sehingga embun yang menempel ditanaman membeku kemudian dari kejauhan terlihat seperti embun yang seperti kapas. Menurut Handoko (1993) embun dan ibun putih merupakan hasil kondensasi pada permukaan yang dingin karena pancaran radiasi gelombang panjang pada malam hari dengan langit cerah dan angin lemah. Kristal-kristal es yang terbentuk karena butir air lewat dingin menyentuh benda dingin sehingga terjadi frost.

(24)

14

yang terjadi pada bulan Juli-September. Menurut Handoko (1993) jika kelembaban kecil diperlukan penurunan suhu yang besar untuk mencapai suhu titik embun. Hal ini dapat berpotensi terjadinya embun upas dan juga terjadi peningkatan frekuensi embun upas dalam beberapa tahun terakhir di sekitar kawasan TWATWTP.

Embun upas hanya terjadi beberapa hari, rata-rata frekuensi sekitar 3-5 kali dalam sebulan, namun munculnya embun upas tidak menentu sehingga tidak bisa diprediksi. Tanda-tanda terjadinya embun upas yaitu pada siang hari udara lebih panas, namun ketika malam hari udara terasa lebih dingin sehingga menyebabkan air dingin sekali, menjelang malam hari angin tenang seperti tidak ada angin, menjelang malam hari terdapat kabut tebal yang muncul di atas permukaan tanah setinggi 1-2 m, dan langit cerah. Jam 3 subuh mulai terjadi embun upas dan jam 7 pagi biasanya upas sudah mencair. Menurut responden, wisatawan ingin tahu untuk merasakan langsung kejadian embun upas. Namun adanya embun upas tidak begitu berpengaruh terhadap peningkatan wisatawan karena belum pasti hari atau tanggal embun upas itu akan terjadi. Wisatawan ramai pada bulan Agustus karena bertepatan dengan acara tahunan dieng yaitu Dieng Culture Festival. Suhu udara yang dingin menyebabkan pendapatan pedagang di sekitar kawasan TWATWTP meningkat. Hal ini karena wisatawan ramai untuk membeli penghangat seperti kaus kaki, syal, topi, dan sarung tangan.

Berdasarkan wawancara dengan masyarakat dan Dinas Pertanian Kabupaten Wonosobo, lokasi yang terkena embun upas tidak merata dan bisa berpindah-pindah, dalam satu lokasi antara 3-5 ha tetapi bisa lebih dari satu lokasi dalam saat yg bersama. Embun upas terjadi pada tanah pertanian yang datar atau lapang dan dekat dengan cekungan lembah sehingga kebun yang disekitar lembah bisa terkena. Di Taman Wisata Alam Telogo Warno Telogo Pengilon potensi terkena upas yaitu jalan menuju gua dan di sekitar telaga Pengilon, sedangkan potensi terkena upas di sekitar kawasan TWATWTP yaitu di area pertanian yang datar, sepanjang jalan dan komplek candi. Embun upas yang terdapat di rerumputan memberikan sebuah pemandangan yang indah sehingga bisa dijadikan daya tarik bagi wisatawan. Di Pulau Jawa, fenomena embun upas ini hanya terjadi di Kawasan TWATWTP dan sekitarnya. Adanya lokasi titik potensi embun upas dapat dijadikan daya tarik wisata sehingga bisa dibuat sebuah atraksi wisata yang baru terhadap iklim ekstrem (Gambar 13).

(25)

15

Gambar 13 Titik potensi embun upas

Aktifitas ekowisata sangat terkait dengan sumberdaya alam hayati. Oleh karena itu sangat penting mengetahui perubahan iklim terhadap sumberdaya alam hayati sebagai daya tarik ekowisata, agar ekowisata dapat berjalan dengan optimal, efisien dan efektif (Muntasib 2014). Menurut MacKinnon et al. (2010) pada akhir musim hujan ketika air mencapai level tertinggi, burung air membuat sarang di atas pohon yang tumbuh di dalam air sehingga aman. Sehingga, ketika cuaca cerah (Gambar 10) yaitu pada bulan lembab (Juli dan September) dan bulan kering (Agustus) wisatawan dengan mudah dapat melihat satwa terutama burung air di Telaga Warna dan Telaga Pengilon yaitu kareo padi (Amaurornis phoenicurus), itik gunung (Anas superciliosa), dan mandar batu (Gallinula chloropus). Burung-burung tersebut mudah dijumpai ketika pagi hari karena Burung-burung (terkecuali Burung-burung malam) adalah satwa yang paling aktif pada pagi hari (MacKinnon et al. 2010). Amaurornis phoenicurus memiliki kebiasaan mengendap-endap dalam semak yang lembab dan tinggal di pinggir danau, tepi sungai, hutan mangrove, dan sawah bila tempat itu cukup rapat untuk bersembunyi (MacKinnon et al. 2010). Anas superciliosa mencari makan di permukaan air dan juga Gallinula chloropus kebanyakan hidup di air, berenang perlahan-lahan dan pada pagi hari dan sore hari datang ke daerah terbuka untuk mencari makan (MacKinnon et al. 2010). Hal tersebut menyebabkan wisatawan dapat menjumpai burung-burung air sedang berenang dan juga mencari makan di penggir Telaga warna dan Telaga Pengilon.

(26)

16

menyukai habitat yang memiliki vegetasi lebat, spesies ini juga toleran terhadap gangguan lingkungan.

Taman Wisata Alam Telogo Warno Telogo Pengilon memiliki suhu yang rendah dengan kelembaban yang tinggi dan juga curah hujan yang tinggi sehingga tanaman bawah didominasi oleh jenis paku dan pakis-pakisan yaitu paku cakar ayam (Selaginella plana), pakis jebul (Crypteronia peniculata), pakis galar (Cyathea contaminant), pakis haji (Cycas rumphii), pakis emas (Ciboium barometz), pakis andam (Dicranopteris dichotoma), pakis jangan (Pleocnemia irregularis), dan pakis urang (Dryopteris pteroides). Menurut (Hoshizaki dan Moran 2001) tumbuhan paku yang tumbuh di daerah tropis pada umumnya menghendaki kisaran suhu 21-27 °C untuk pertumbuhannya dan kelembaban relatif yang baik bagi pertumbuhan tumbuhan paku pada umumnya berkisar antara 60-80%. Di Kawasan Taman Wisata Alam Telogo Warno Telogo Pengilon memiliki suhu udara dengan kisaran 22.1-24.0 °C (Gambar 2) dan kelembaban udara 83-89% (Gambar 5). Hal ini meyebabkan di kawasan TWATWTP cocok untuk tumbuhan paku karena kisaran suhu udara dan kelembaban udara tersebut merupakan suhu udara dan kelembaban udara yang baik untuk pertumbuhan paku.

Selain itu, terdapat jenis tumbuhan yang berpotensi untuk objek daya tarik wisata sebagai keindahan di TWATWTP yaitu panca warna (Hydrangea macrophylla), kecubung (Datura metel), cemara gunung (Casuarina junghuniana), gelagah (Saccharum spontaneum), dan puspa (Schima noronhae). Wisatawan dapat menikmati keindahan tanaman-tanaman tersebut pada musim tansisi antara musim hujan dan musim kemarau. Hal ini karena pada musim itu tanaman mulai berbunga. Menurut (Pinyopusarerk dan Williams 2005) Casuarina junghuniana toleran terhadap kebakaran dan meningkatkan kesuburan tanah. Cemethi (Salix babylonica) dan Tengsek (Dodonea viscusa) merupakan tumbuhan khas yang memiliki mitos dan nilai ekonomi yang dapat dijadikan cinderamata (keris, gantungan kunci dan wayang) sehingga dapat dibudidayakan agar tetap lestari.

Kebutuhan Bidang Ekowisata terhadap Informasi Perubahan Iklim Kebutuhan setiap sektor tentang informasi perubahan ikim tentu saja berbeda-beda, karena sesuai dengan kegiatan serta tugas yang dijalankan oleh sektor tersebut (Muntasib 2014). Adapun matriks kebutuhan ekowisata terhadap informasi perubahan iklim dengan mengacu Muntasib (2014) dapat dilihat pada Tabel 2.

Untuk bidang ekowisata di TWATWTP dan sekitarnya, terdapat tiga jenis informasi yang dibutuhkan. Informasi tersebut dapat disampaikan sebelum kegiatan wisata dilakukan yaitu bisa sampai satu tahun sebelum kegiatan, enam bulan atau tiga bulan sebelumnya (Muntasib 2014). Agar wisata sudah mulai dipromosikan dan dijual kepada wisatawan.

1. Suhu udara

Informasi suhu udara (rata-rata, maksimum dan minimum) dibutuhkan untuk semua pengelola wisata dan wisatawan karena berpengaruh terhadap kenyamanan berwisata. Hal itu juga terkait dengan pakaian serta sarana wisata yang akan disarankan oleh pengelola kegiatan kepada wisatawan.

(27)

17

Informasi kelembaban udara (rata-rata, maksimum dan minimum) dibutuhkan untuk merencanakan kegiatan wisata pada lokasi yang mempunyai kelembaban tinggi.

3. Curah hujan

Informasi curah hujan penting bagi pengelola wisata dan wisatawan karena pada umumnya wisatawan menghindari hujan. Pengelola wisata diharapkan lebih dahulu sudah mengetahui kondisi curah hujan sehingga menyampaikan kepada wisatawan untuk mempunyai persiapan terlebih dahulu atau pengelola tidak menawarkan kegiatan wisatanya apabila terjadi curah hujan ekstrem.

Tabel 2 Matriks kebutuhan ekowisata penyusunan konsep implementasi adaptasi perubahan iklim

No Bentuk Mekanisme

Diseminasi

Manfaat 1. Informasi tren perubahan

suhu udara

2. Peta lokasi dan dinamika kelembaban udara

3. Informasi tren curah hujan

Strategi Adaptasi terhadap Perubahan Iklim pada Ekowisata

(28)

18

melakukan tindakan strategi adaptasi agar wisata tetap terselenggara. Adapun Strategi Adaptasi yang sudah dilakukan oleh pengelola TWATWTP yaitu:

1. Untuk wilayah Jawa Tengah setiap tahun diselenggarakan apel siaga yaitu bagaimana teknik-teknik menghadapi kebakaran hutan. Pembentukan tim SAR di Dieng sudah terbentuk, namun untuk pembentukan dari BKSDA belum terbentuk. Untuk alat-alat pemadam kebakaran, dahulu ada pengadaan namun tidak sesuai dengan kondisi di lapangan, contohnya pemukul api yang terbuat dari besi sehingga kesulitan untuk penggunaan.

2. Pada bulan Agustus (bulan kering), pengelola membuat sekat bakar di daerah rawan kebakaran namun tidak dibuat permanen yaitu daerah rumput dari perbatasan Telaga Warna sampai Telaga Pengilon dan juga dari perbatasan daerah Kawah Sikidang dibersihkan. Pembuatan sekat bakar dilakukan, apabila terjadi kebakaran tidak menjalar ke area yang lebih luas.

Tindakan adaptasi dilakukan sebagai antisipasi terhadap dampak yang timbul karena perubahan iklim. Adapun strategi adaptasi terhadap perubahan iklim pada ekowisata yang dapat dilakukan yaitu:

1. Pengelola TWATWTP bersama pemerintah daerah dan BMKG bekerja sama untuk melakukan program pengurangan resiko bahaya dengan menyampaikan informasi iklim (suhu udara, kelembaban udara dan curah hujan) seawal mungkin kepada para pelaku wisata maupun masyarakat daerah apabila terjadi kondisi ekstrem. Sehingga penyebarluasan informasi iklim dan cuaca dapat tersampaikan secara cepat, tepat dan aktual.

2. Pengelola TWATWTP bersama pemerintah daerah dan BMKG bekerja sama untuk mengidentifikasi waktu dan tempat terjadinya embun upas dengan melakukan pemantauan areal yang sering terkena bencana akibat perubahan iklim secara berkala. Sehingga bisa dijadikan sebuah atraksi wisata untuk ditawarkan kepada wisatawan.

3. Pengelola TWATWTP bersama pemerintah daerah dan BMKG bekerja sama untuk melakukan sosialisasi terhadap para pelaku wisata untuk memanfaatkan informasi iklim dan cuaca sehingga dapat menyusun kalender even wisata untuk melakukan promosi wisata.

4. Masyarakat secara periodik mendapatkan informasi tentang cuaca terutama menjelang musim hujan atau musim kemarau sehingga masyarakat bisa mengantisipasi kondisi cuaca. Pembinaan masyarakat untuk menghadapi perubahan iklim terhadap usaha wisata dan pertanian.

(29)

19 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Fenomena perubahan iklim terjadi di Taman Wisata Alam Telogo Warno Telogo Pengilon dan sekitarnya yang meliputi suhu udara, kelembaban udara, dan curah hujan yang berfluktuasi cenderung meningkat.

2. Strategi adaptasi terhadap perubahan iklim dilakukan agar wisata tetap terselenggara yaitu pengelola TWATWTP bersama pemerintah daerah dan BMKG bekerja sama untuk mengidentifikasi informasi terhadap cuaca, sehingga dapat dilakukan program pengurangan resiko bahaya dengan menyampaikan informasi seawal mungkin. Informasi cuaca juga dapat dijadikan sebagai pedoman bagi kegiatan wisata agar tetap terselenggara. 3. Salah satu bentuk perubahan iklim yaitu meningkatnya frost (embun upas)

sehingga berdampak negatif pada pertanian masyarakat sekitar kawasan TWATWTP. Namun, fenomena frost bisa menjadi daya tarik wisata untuk dijadikan sebuah atraksi wisata yang baru.

Saran

Sosialisasi mengenai perubahan iklim kepada pelaku wisata dan masyarakat secara cepat, tepat dan aktual, agar mereka dapat memahami dan mampu beradaptasi dalam merespon dampak perubahan iklim serta tanggap terhadap resiko bahaya. Pengelola TWATWTP, pemerintah daerah bersama BMKG Mulai mengidentifikasi waktu terjadinya frost.

DAFTAR PUSTAKA

[BKSDA] Balai Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Tengah. 2012. Rencana Pengelolan Jangka Panjang Taman Wisata Alam Telogo Warno Telogo Pengiloin Periode 2013 sampai 2022. Jawa Tengah (ID): BKSDA Jawa Tengah.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Kecamatan Kejajar dalam Angka 2014. Wonosobo (ID): Badan Pusat Statistik Kabupaten Wonosobo.

[IPCC]. 2007. Climate Change 2007. The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change [Solomon S, D Qin, M Manning, Z Chen, M Marquis, KB Averyt, M Tignor and HL Miller (eds)]. New York (USA): Cambridge University Press.

Aldrian E, Budiman, Karmin M. 2011. Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim di Indonesia. Jakarta (ID): Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara Kedeputian Badan Klimatologi.

(30)

20

Guilford JP, Fruchter B. 197l8. Fundamental Statistics in Psychology and Education. London (UK): McGraw-Hill.

Handoko. 1993. Klimatologi Dasar. Bogor (ID): Pustaka Jaya.

Hilman M. 2007. Rencana Aksi Nasional Dalam Menghadapi Perubahan Iklim. Jakarta (ID): Kementerian Negara Lingkungan Hidup.

Hoshizaki BJ, Moran RC. 2001. Fern Grower‟s Manual. Portland (US): Timber Press. 604 p.

MacKinnon J, Phillipps K, Balen BV. 2010. Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan (Termasuk Sabah, Serawak dan Brunei Darussalam). Bogor (ID): LIPI.

Maryanto I, Noerdjito M, Partomihardjo T. 2012. Ekologi Gunung Slamet Geologi, Klimatologi, Biodiversitas Dan Dinamika Sosial. Universitas Jenderal Sudirman (ID): Pusat Penelitian Biologi-Lipi.

Muntasib EKSH. 2014. Konsep Implementasi Adaptasi Sektoral Perubahan Iklim: Kebutuhan Layanan Iklim di Sektor Pariwisata. Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. Jakarta (ID). Halaman 251-271.

Pinyopusarerk, Williams. 2005. Variations In Growth And Morphological Characteristic Of Casuarina Junghuhniana Provenances Grown In Thailand. Bangkok (TH): Royal Forest Departemen.

Rosyidie A. 2004. Dampak Perubahan Iklim terhadap Sektor Pariwisata [Laporan Penelitian]. Bandung (ID): Institut Teknologi Bandung.

Schmidth FH, Ferguson JH. 1951. Rainfall Types Based on Wet and Dry Period for Indonesia with Western New Guinea. Djakarta (ID): Kementrian perhubungan Djawatan Meteorologi dan Geofisika.

Sutjahjo H, Gatut S. 2007. Akankah Indonesia Akan Tenggelam Akibat Pemanasan Global?. Jakarta (ID): Penebar Plus.

(31)

21 RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 27 November 1992 dari Bapak Miftahudin dan Ibu Juhairiah. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Penulis menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 85 Srengseng pada tahun 2007-2010 dan melanjutkan S1 di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2010.

Selama menempuh kuliah di IPB, penulis mengikuti beberapa organisasi seperti menjadi anggota Biro Sosial dan Lingkungan Himpunan Mahasiswa Konservasi (Himakova) serta ikut dalam Kelompok Pemerhati Ekowisata 2011-2012. Bersama Himakova, penulis mengikuti kegiatan ekspedisi Eksplorasi Fauna, Flora dan Ekowisata Indonesia (RAFFLESIA) di Taman Wisata Alam Sukawayana (2012) dan Cagar Alam Bojonglarang Jayanti (2013). Penulis pernah menjadi asisten Pendidikan Konservasi (2013-2014) dan Interpretasi Alam (2014-2015). Penulis juga pernah melaksanakan kegiatan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Taman Nasional Gunung Ciremai dan KPH Indramayu tahun 2012, Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat tahun 2013, serta Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Wisata Alam Telogo Warno Telogo Pengilon tahun 2014.

Gambar

Gambar 1  Lokasi penelitian
Tabel 1  Informasi pengumpulan data iklim
Gambar 2  Rata-rata suhu udara bulanan pada tahun 2009-2013
Gambar 4  Rata-rata suhu tahunan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Untuk menganalisis strategi apa yang dapat diterapkan di Taman Wisata Alam Gunung Tampomas (TWAGT) dalam mengembangkannya sebagai kawasan Ekowisata.. Terciptanya

Pada kawasan tersebut diamati iklim mikro (suhu udara, kelembaban udara dan kecepatan angin) taman kota berdasarkan jenis pohon peneduh yang ada di Kelurahan

Penelitian ini merupakan studi ekologi atau studi korelasi populasi tentang hubungan unsur iklim (suhu udara rata-rata, kelembaban nisbi, indeks curah hujan, kecepatan

Pada penelitian ini menggunakan data dari BMKG berupa data unsur-unsur iklim yang terdiri dari: kelembaban udara, tekanan udara, curah hujan, lamanya penyinaran

Gas Rumah Kaca Emisi Perubahan Iklim Perubahan Iklim Perubahan Iklim Perubahan Iklim Kejadian alam ekstrem Kenaikan muka air laut Perubahan temperatur Perubahan Curah hujan

Demam Berdarah Dengue semakin menyebar seiring dengan perubahan iklim seperti tingginya curah hujan di bulan-bulan tertentu sepanjang tahun, suhu udara optimum, kelembaban

Penelitian ini merupakan studi ekologi atau studi korelasi populasi tentang hubungan unsur iklim (suhu udara rata-rata, kelembaban nisbi, indeks curah hujan, kecepatan

Penelitian ini bertujuan yaitu untuk mengetahui pengaruh suhu udara, suhu tanah, kelembaban udara, intensitas cahaya dan curah hujan terhadap pertumbuhan stroberi di