• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Dampak Perbedaan Unsur Iklim terhadap Produktivitas Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) pada Dataran Tinggi dan Dataran Rendah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "Kajian Dampak Perbedaan Unsur Iklim terhadap Produktivitas Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) pada Dataran Tinggi dan Dataran Rendah"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

DOI : http://dx.doi.org/10.21776/ub.jpt.2023.008.2.07

Kajian Dampak Perbedaan Unsur Iklim terhadap Produktivitas Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) pada Dataran Tinggi dan Dataran Rendah

Study of the Impact of Climate Elements on the Productivity of Sweet Potato (Ipomoea batatas L.) in Highlands and Lowlands

Mirta Dwi Setyoreni dan Ariffin

Departemen Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya Jl. Veteran, Malang 65145 Jawa Timur, Indonesia

*)Email: mirtareni30@gmail.com

**)Email: ariffin.fp@ub.ac.id

Diterima 20 April 2022 / Disetujui 25 Agustus 2023 ABSTRAK

Ubi jalar (Ipomoea batatas L.) termasuk jenis tanaman palawija penghasil karbohidrat yang berpotensial dan merupakan pengganti bahan makanan pokok. Masalah utama yang dihadapi dalam kegiatan usahatani ubi jalar adalah rendahnya produksi rata-rata per hektar lahan. Ubi jalar memiliki daya adaptasi yang luas baik dari kondisi lahan, lingkungan maupun iklim. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan unsur iklim dan produktivitas ubi jalar, mengetahui hubungan dari unsur iklim terhadap produktivitas ubi jalar serta mengetahui unsur iklim yang paling berperan dalam produktivitas ubi jalar pada dataran tinggi dan dataran rendah. Penelitian dilakukan pada bulan April – Oktober 2021 di Kecamatan Sumberpucung, Kabupaten Malang dan Kecamatan Sawahan Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur dengan menggunakan metode survei. Alat dan bahan yang digunakan yaitu data produktivitas dan unsur iklim tahun 2001-2020 yang dianalisis menggunakan uji korelasi dan uji regresi dengan menggunakan software Microsoft Office Excel 2016 dan SPSS 25. Hasil penelitian ini menunjukkan situasi unsur iklim di dataran rendah dan dataran tinggi di wilayah jawa timur selama kurun waktu dua puluh tahun terakhir (2001-2020) berpengaruh terhadap produktivitas ubi jalar. Unsur iklim curah hujan di dataran rendah dan unsur iklim suhu udara di dataran tinggi memiliki hubungan yang nyata dengan nilai korelasi r mendekati 1 pada taraf 5% terhadap produktivitas ubi jalar. Unsur iklim curah hujan di dataran rendah berpengaruh nyata terhadap produktivitas ubi jalar dengan persamaan hasil regresi Y=

29,439 + 0,040X, ini menunjukkan apabila curah hujan meningkat satu mm akan meningkatkan produktivitas ubi jalar 0,040 ton/ha. dan unsur iklim suhu udara pada dataran tinggi berpengaruh nyata terhadap produktivitas ubi jalar dengan persamaan hasil regresi Y = -40,541 + 3,005X, ini menunjukkan apabila suhu meningkat satu derajat akan meningkatkan produktivitas ubi jalar 3,005 ton/ha. Unsur iklim yang paling berperan terhadap produktivitas ubi jalar dilihat dari nilai korelasinya yaitu unsur iklim suhu udara.

Kata Kunci: Dataran Rendah, Dataran Tinggi, Ubi Jalar, Unsur Iklim.

ABSTRACT

Sweet potato (Ipomoea batatas L.) is a type of secondary food crop that has the potential to produce carbohydrates and is a substitute for staple foods. The main problem faced in sweet potato farming activities is the low average production per hectare of land. Sweet potatoes have a wide adaptability from land, environmental and climatic conditions. This study aims to determine the

(2)

differences in climate elements and sweet potato productivity, to determine the relationship of climate elements to sweet potato productivity and to determine the climate elements that the most role in sweet potato productivity in highlands and lowlands. The research was conducted in April-October 2021 in Sumberpucung District, Malang Regency and Sawahan District, Nganjuk Regency, East Java using a survey method. The tools and materials used are productivity data and climate elements for 2001-2020 which were analyzed using correlation tests and regression tests using Microsoft Office Excel 2016 and SPSS 25 software. The results of this study indicate that the situation of climate elements in the lowlands and highlands in East Java region during the last twenty years (2001-2020) has an effect on the productivity of sweet potatoes. The climate element of rainfall in lowlands and the climate element of air temperature in highlands has a significant correlation at the 5% level on the productivity of sweet potatoes because the correlation value of r is close to 1. The climate element of rainfall in lowlands significantly affects the productivity of sweet potatoes with the regression equation Y= 29.439 + 0.040X, this shows that if the rainfall increases by one milimeters, it will increase the productivity of sweet potatoes by 0.040 tons/ha. The climate element of air temperature in highlands has a significant effect on sweet potato productivity with the regression equation Y = -40,541 + 3.005X, this shows that if the temperature increases by one degree, it will increase the productivity of sweet potato by 3,005 tons/ha.

The climate element that has the most role in sweet potato productivity seen from correlation value is air temperature.

Keywords: Elements of climate, Highlands, Lowlands, Sweet potato.

PENDAHULUAN

Ubi jalar (Ipomoea batatas L.) atau dikenal juga dengan istilah ketela rambat merupakan tanaman yang termasuk ke dalam jenis tanaman palawija. Ubi jalar merupakan salah satu sumber penghasil karbohidrat yang berpotensial dan dapat digunakan sebagai pengganti bahan makanan pokok (selain nasi). Ubi jalar mengandung gizi yang tinggi sehingga memiliki kualitas yang baik sebagai bahan pangan (Ginting et al., 2011). Komoditas ubi jalar mempunyai peranan yang cukup penting karena memiliki banyak manfaat dan nilai tambah. Selain dimanfaatkan dalam bentuk umbi segar, ubi jalar juga dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan pakan dan bahan industri. Nilai tambah dari ubi jalar cukup banyak yang dapat diperoleh dengan cara diolah menjadi tepung, selai, keripik, olahan mie, saos, obat-obatan, manisan kering dan pakan.

Ubi jalar merupakan kelompok tanaman pangan lokal yang berpotensi untuk dikembangkan dan menunjang program diversifikasi pangan non beras menuju ketahanan pangan (Litbang Pertanian,

2011). Peranan tanaman ubi jalar memiliki prospek yang baik sebagai komoditas pertanian unggulan tanaman palawija.

Potensi produksinya bisa mencapai ± 25 – 40 ton per hektar. Pulau Jawa masih merupakan sentra produksi ubi jalar. Pada tahun 2007 provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur secara total memberi kontribusi sebesar 37,53% dari produksi Nasional, diikuti provinsi lainnya (Nasir et al., 2008). Masalah utama yang dihadapi dalam kegiatan usaha tani ubi jalar adalah rendahnya produksi rata-rata per hektar lahan. Produksi ubi jalar di Kabupaten Malang pada tahun 2013-2019 fluktuatif berkisar antara 8-20 ton/ha dan di Kabupaten Nganjuk pada tahun 2015-2020 fluktuatif berkisar antara 11-20 ribu ton/ha, masih jauh dari potensi hasil yang bisa mencapai 20-30 ton/ha tergantung dari varietas, asal bibit, sifat tanah, kondisi iklim, pemeliharaannya (BPS, 2020). Iklim di dataran tinggi dan dataran rendah memiliki perbedaan yang nyata seperti, di dataran tinggi memiliki suhu udara yang lebih rendah dibandingkan pada dataran rendah. Meskipun ubi jalar dapat ditanam mulai dari dataran rendah hingga dataran

(3)

tinggi, tetapi pastinya akan memiliki hasil produksi yang berbeda pada kedua wilayah tersebut. Dengan adanya perbedaan iklim di wilayah Indonesia, diduga terdapat perbedaan iklim juga pada Kabupaten Malang dan kabupaten Nganjuk. Menurut Herlina dan Pahlevi (2017) di Kabupaten Malang telah terjadi perubahan iklim selama 20 tahun terakhir.

Perubahan iklim ini terindikasi dari naiknya suhu sebesar 0,1 °C dan kenaikan rata- rata curah hujan bulanan pada dua dekade yaitu pada dekade I (1997-2006) dan dekade II (2007-2016) sebesar 6,7 mm.

Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis dampak dari perbedaan unsur iklim seperti suhu udara, curah hujan, lama penyinaran matahari dan kelembaban udara yang terjadi di dataran tinggi pada Kecamatan Sawahan, Kabupaten Nganjuk dan di dataran rendah pada Kecamatan Sumberpucung, Kabupaten Malang terhadap hasil produktivitas ubi jalar di kedua wilayah tersebut.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan pada bulan April-Oktober 2021 di Kecamatan Sumberpucung, Kabupaten Malang sebagai lokasi dataran rendah dan Kecamatan Sawahan, Kabupaten Nganjuk sebagai lokasi dataran tinggi.

Alat dan bahan yang digunakan yaitu terdiri dari data primer berupa data unsur iklim (suhu udara, kelembaban udara, lama penyinaran matahari, dan curah hujan) tahun 2001 – 2020 dan data produktivitas ubi jalar tahun 2001 – 2020 dari kedua wilayah.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei. Penetepan lokasi dilakukan metode stratified random sampling yaitu diawali pemetaan wilayah dengan memilih daerah sentra produksi.

Kemudian menentukan wilayah yang termasuk dataran rendah yaitu berada pada ketinggian di bawah 400 mdpl dan dataran tinggi berada pada ketinggian diatas 700 mdpl.

Analisis perbedaan iklim yang terjadi pada Kecamatan Sumberpucung, Kabupaten Malang dan Kecamatan Sawahan, Kabupaten Nganjuk dilakukan dengan membandingkan data unsur iklim antara perbedaan curah hujan, suhu udara, kelembaban udara, dan penyinaran matahari dengan rata-rata selama 20 tahun yang disajikan dalam bentuk grafik menggunakan Microsoft Office Excel 2016.

Kemudian melakukan analisis data untuk mengetahui produktivitas Ubi jalar tahunan selama periode 2001-2020 dengan menggunakan model:

𝑃𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘𝑡𝑖𝑣𝑖𝑡𝑎𝑠 = 𝑝𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘𝑠𝑖 (𝑡𝑜𝑛) 𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑝𝑎𝑛𝑒𝑛 (𝐻𝑎) Untuk menganalis hubungan unsur iklim dengan produktivitas ubi jalar selama periode 2001 – 2020 di dataran tinggi dan dataran rendah dilakukan analisis korelasi dan dilanjutkan analisis regresi linear antara curah hujan, suhu udara, lama penyinaran, kelembaban udara dan produktivitas ubi jalar menggunakan software SPSS 25. Penggunaan regresi linear karena dianggap terdapat hubungan linear antara faktor X dan Y, berikut merupakan model persamaan regresi linier:

Y =a + bX

Keterangan:

Y = Variabel terikat X = Variabel bebas

a = intersep (nilai konstanta) b = koefisien regresi

(4)

HASIL DAN PEMBAHASAN Rata-rata Curah Hujan Tahunan Dataran Tinggi dan Dataran Rendah Tahun 2001- 2020

Selama kurun waktu dua puluh tahun, rata-rata curah hujan tahunan pada dataran rendah di Kecamatan Sumberpucung sebesar 378,11 mm. Rata- rata curah hujan tahunan tertinggi berada pada tahun 2002 sebesar 488,40 mm dan terendah pada tahun 2013 sebesar 300,85 mm (Gambar 1.).

Rata-rata curah hujan tahunan pada dataran Tinggi di Kecamatan Sawahan sebesar 237,50 mm. Rata-rata curah hujan tahunan tertinggi berada pada tahun 2016 sebesar 259 mm dan terendah pada tahun 2007 sebesar 211,25 mm (Gambar 2.).

Gambar 1. Rata-rata curah hujan di Kecamatan Sumberpucung

Gambar 2. Rata-rata curah hujan di Kecamatan Sawahan

Tinggi rendahnya curah hujan dapat dipengaruhi oleh ketinggian tempat suatu wilayah, apabila semakin tinggi ketinggian tempat suatu wilayah intensitas curah hujan yang dihasilkan akan semakin rendah. Menurut Marpaung (2010) terdapat beberapa faktor yang berpengaruh terhadap curah hujan baik dalam skala global, regional maupun lokal.

Faktor lokal dari suatu wilayah memiliki pengaruh yang signifikan terhadap curah hujan yang terjadi di wilayah tersebut.

Salah satu faktor lokal yang berperan adalah topografi atau ketinggian tempat.

Semakin tinggi suatu tempat maka kuantitas hujan pun akan semakin rendah karena suhu yang rendah akan mengurangi penguapan di tempat tersebut.

Menurut Gunawan (2009), pola penyebaran secara spasial untuk evapotranspirasi menunjukkan pola sesuai dengan ketinggian, dimana penguapan lebih tinggi terjadi di daerah dataran rendah sedangkan di daerah pegunungan penguapan lebih rendah.

Rata-rata Kelembaban Udara Tahunan Dataran Tinggi dan Dataran Rendah Tahun 2001-2020

Selama kurun waktu dua puluh tahun, rata-rata kelembaban udara tahunan di dataran rendah Kecamatan Sumberpucung sebesar 69,28 %. Rata- rata kelembaban udara tahunan tertinggi berada pada tahun 2012 sebesar 70,7 % dan terendah pada tahun 2015 sebesar 66,1 % (Gambar 3.).

Rata-rata kelembaban udara tahunan di dataran rendah Kecamatan Sawahan sebesar 77,10 %. Rata-rata kelembaban udara tahunan tertinggi berada pada tahun 2016 sebesar 83,71 % dan terendah pada tahun 2014 sebesar 71,27 % (Gambar 4.).

Tinggi rendahnya kelembaban udara disuatu tempat dapat dipengaruhi beberapa faktor yaitu temperatur udara, arah angin, dan penyinaran matahari.

Menurut Haniati et al. (2021), kelembaban

100,00 150,00 200,00 250,00 300,00

2001 2004 2006 2008 2010 2012 2014 2016 2018 2020

Curah Hujan (mm)

Tahun

0,00 100,00 200,00 300,00 400,00 500,00 600,00

2001 2003 2005 2007 2009 2011 2013 2015 2017 2019

Curah hujan (mm)

tahun

(5)

udara dipengaruhi oleh temperatur udara dan tidak berlaku sebaliknya. Naiknya Gambar 3. Rata-rata kelembaban di

Kecamatan Sumberpucung

Gambar 4. Rata-rata kelembaban di Kecamatan Sawahan.

temperatur udara akan menyebabkan defisit tekanan uap meningkat sehingga kapasitas udara dalam menampung uap air meningkat pula yang selanjutnya menyebabkan penurunan kelembaban relatif udara. Temperatur dan kelembaban yang lebih dekat dengan permukaan tanah akan berbeda pada lapisan udara di atasnya.

Rata-rata Lama Penyinaran Matahari Dataran Tinggi dan Dataran Rendah Tahun 2001-2020

Selama kurun waktu dua puluh tahun, presentase rata-rata lama penyinaran matahari pada dataran rendah di Kecamatan Sumberpucung sebesar 46,39%. Rata-rata lama penyinaran matahari tertinggi berada pada tahun 2019

sebesar 59,6% dan terendah pada tahun 2011 sebesar 41% (Gambar 5.).

Presentase rata-rata lama penyinaran matahari pada dataran tinggi di Kecamatan Sawahan sebesar 39,80%.

Rata-rata lama penyinaran matahari tahunan tertinggi berada pada tahun 2006 sebesar 41,9% dan terendah pada tahun 2001 sebesar 36,4% (Gambar 6.).

Peningkatan lama penyinaran matahari dapat disebabkan oleh gas-gas polutan dan debu yang mengisi atmosfer dapat menyebabkan terjadinya peningkatan kekeruhan atmosfer yang akan menahan laju sinar matahari untuk mencapai permukaan bumi melalui proses penyerapan. Menurut Hamdi (2014), peningkatan persentasi lama penyinaran matahari dan penyusutan intensitas radiasi matahari disebabkan oleh efek rumah kaca yang diakibatkan oleh semakin banyaknya gas-gas polutan, serta semakin berkurangnya ruang hijau yang berganti dengan pemukiman dan industri.

Gambar 5. Presentase rata-rata lama penyinaran matahari di Kecamatan Sumberpucung

60,0 64,0 68,0 72,0 76,0 80,0

2001 2003 2005 2007 2009 2011 2013 2015 2017 2019

Kelembaban udara (%)

Tahun

60,00 66,00 72,00 78,00 84,00 90,00

2001 2003 2005 2007 2009 2011 2013 2015 2017 2019

Kelembaban Udara (%)

Tahun

20,0 25,0 30,0 35,0 40,0 45,0 50,0

2001 2003 2005 2007 2009 2011 2013 2015 2017 2019

Lama Penyinaran (%)

Tahun

20,0 30,0 40,0 50,0 60,0 70,0

2001 2003 2005 2007 2009 2011 2013 2015 2017 2019

Lama Penyinaran (%)

Tahun

(6)

Gambar 6. Presentase rata-rata lama penyinaran matahari di Kecamatan Sawahan

Lama penyinaran matahari juga dapat dipengaruhi oleh unsur iklim kelembaban udara, menurut Rifai et al., (2014) bahwa pada dataran rendah menyebabkan kelembaban udara menjadi rendah, sehingga muatan air dalam udara yang berpotensi menyerap radiasi matahari menurun sehingga jumlah intensitas radiasi matahari yang diterima lebih besar begitu juga sebaliknya jika kelembaban udara tinggi, muatan air dalam udara yang berpotensi menyerap radiasi matahari meningkat sehingga jumlah intensitas radiasi matahari yang diterima lebih kecil.

Rata-rata Suhu Udara Tahunan Dataran Tinggi dan Dataran Rendah Tahun 2001- 2020

Selama kurun waktu dua puluh tahun, rata-rata suhu udara tahunan pada dataran rendah di Kecamatan Sumberpucung sebesar 24,07OC. rata-rata suhu udara tahunan tertinggi berada pada tahun 2014 sebesar 25,8 OC dan terendah pada tahun 2012 sebesar 23,6 OC (Gambar 7.). Rata-rata suhu udara tahunan pada dataran tinggi di Kecamatan Sawahan sebesar 18,4OC. Rata-rata suhu udara tahunan tertinggi berada pada tahun 2014 sebesar 20,2OC dan terendah pada tahun 2001 sebesar 16,9OC (Gambar 8.).

Menurut Winarno et al. (2019), suhu udara di daerah dataran tinggi lebih rendah dikarenakan pada daerah ini lebih sedikit masa udara yang menyerap dan menahan panas matahari, dibandingkan dengan di dataran rendah yang lebih banyak menyerap dan menahan panas matahari.

Massa udara yang lebih sedikit juga menyebabkan tekanan udara di dataran tinggi lebih kecil dibandingkan pada

dataran rendah. Pada dataran rendah lebih banyak massa udara yang menyerap dan menyimpan panas matahari dibanding di dataran tinggi dan wilayah pegunungan.

Terjadinya kenaikan maupun penurunan suhu udara dapat disebabkan oleh intensitas matahari, lamanya penyinaran matahari pada suatu wilayah dan ketidakstabilan suhu udara yang dapat dipengaruhi oleh aktivitas manusia.

Menurut pernyataan Sari et al. (2015) penyinaran matahari mempengaruhi naik turunnya temperatur permukaan bumi serta mempengaruhi unsur-unsur cuaca lainnya, selain sebagai pengendali iklim dan cuaca.

Perubahan iklim yang terjadi dengan adanya peningkatan suhu udara juga dijelaskan oleh Jayatilleke et al., (2014) bahwa perubahan iklim secara global telah terjadi, hal ini ditunjukkan dengan adanya peningkatan suhu udara sebesar 0,8OC sejak awal abad ke-20.

Gambar 7. Rata-rata suhu udara di Kecamatan Sumberpucung

20,0 22,0 24,0 26,0 28,0 30,0

2001 2003 2005 2007 2009 2011 2013 2015 2017 2019

Suhu Udara

Tahun

(7)

Gambar 8. Rata-rata suhu udara di Kecamatan Sawahan

Selain itu menurut Puspitasari dan Surendra (2016) perubahan iklim ditandai dengan adanya peningkatan suhu udara secara global, perubahan curah hujan, mencairnya lapisan es dikutub dan perubahan tinggi muka air laut.

Produktivitas Ubi Jalar di Dataran Tinggi dan Dataran Rendah Tahun 2001- 2020.

Produktivitas ubi jalar pada dataran rendah di Kabupaten Malang, Kecamatan Sumberpucung mengalami fluktuasi selama dua Dekade. Produktivtas tertinggi pada dekade I terjadi pada tahun 2006 sebesar 13.90 ton/ha dan produktivitas terendah terjadi pada tahun 2010 sebesar 9.56 ton/ha.

Tabel 1. Produktivitas ubi jalar pada Dataran Rendah Kecamatan Sumberpucung dan Dataran Tinggi Kecamatan Sawahan.

Tahun

Produktivitas Ubi Jalar Kecamatan Sumberpucung

(ton/ha)

Produktivitas Ubi Jalar Kecamatan

Sawahan (ton/ha)

2001 11.062 9.947

2002 10.982 10.248

2003 12.900 11.725

2004 13.434 13.826

2005 13.237 10.860

2006 13.904 11.813

2007 11.780 11.347

2008 12.059 9.761

2009 11.871 10.070

2010 9.560 9.877

2011 9.482 15.704

2012 18.051 23.673

2013 21.267 23.416

2014 19.511 14.297

2015 18.773 15.728

2016 20.170 20.225

2017 12.214 28.824

2018 24.198 15.243

2019 12.171 15.561

2020 12.162 15.562

Total 288.788 297.707

Rata-

Rata 14.439 14.885

Sedangkan pada dekade II produktivitas tertinggi pada tahun 2018 yaitu sebesar 24.19 ton/ha sedangkan produktivitas terendah pada tahun 2011 yaitu sebesar 9.48 ton/ha. Rata-rata produktivitas ubi jalar di Kabupaten Malang selama dua dekade sebesar 14.43 ton/ha tersaji pada Tabel 1. Produktivitas ubi jalar pada dataran tinggi di Kabupaten Nganjuk, Kecamatan Sawahan mengalami fluktuasi selama dua Dekade. Produktivitas tertinggi pada dekade I terjadi pada tahun 2004 sebesar 13.82 ton/ha dan produktivitas terendah terjadi pada tahun 2008 sebesar 9.76 ton/ha. Sedangkan pada dekade II produktivitas tertinggi pada tahun 2017 yaitu sebesar 28.82 ton/ha sedangkan produktivitas terendah pada tahun 2014 yaitu sebesar 14.29 ton/ha. Rata-rata produktivitas ubi jalar di Kabupaten Nganjuk selama dua dekade sebesar 14.88 ton/ha tersaji pada Tabel 1.

Uji Korelasi Antara Unsur Iklim Terhadap Produktivitas Ubi Jalar di Dataran Tinggi dan Dataran Rendah.

Pengujian koefisien korelasi dilakukan untuk mengetahui arah hubungan dan keeratan dari masing- masing unsur iklim terhadap produktivitas ubi jalar. Nilai koefisien korelasi semakin

10,0 15,0 20,0 25,0

2001 2003 2005 2007 2009 2011 2013 2015 2017 2019

Suhu Udara

Tahun

(8)

mendekati 1 semakin kuat hubungan antar variabel.

Pada tabel 2. hasil korelasi curah hujan dengan produktivitas ubi jalar di Kecamatan Sumberpucung memiliki nilai koefisien sebesar r = 0.50, dari hasil tersebut menunjukkan curah hujan memiliki hubungan nyata terhadap produktivitas ubi jalar pada taraf 5%. Hal tersebut didapatkan dari hasil uji T menunjukkan nilai t-hit > t-tabel (2.38 >

1.73) dan hasil pengujian di Kecamatan Sawahan menunjukkan bahwa unsur iklim curah hujan memiliki nilai koefisien sebesar r = 0.24, dari hasil tersebut menunjukkan hubungan tidak nyata karena nilai t-hit < t- tabel (1.03 < 1.73).

Hasil pengujian korelasi antara unsur iklim kelembaban udara dan produktivitas ubi jalar di Kecamatan Sumberpucung (Tabel 2) memiliki nilai koefisien sebesar r

= 0.21, dari hasil tersebut menunjukkan hubungan tidak nyata karena nilai t-hit < t- tabel (0.92 < 1.73) dan hasil pengujian di Kecamatan Sawahan menunjukkan bahwa unsur iklim kelembaban udara memiliki nilai koefisien sebesar r = 0.24, dari hasil tersebut menunjukkan hubungan tidak nyata karena nilai t-hit < t-tabel (1.05 <

1.73). Pada pengujian korelasi antara unsur iklim lama penyinaran matahari dan produktivitas ubi jalar di Kecamatan Sumberpucung (Tabel 2) memiliki nilai koefisien sebesar r = 0.31, dari hasil tersebut menunjukkan hubungan tidak nyata karena nilai t-hit < t-tabel (1.37 <

1.73) dan hasil pengujian di Kecamatan Sawahan menunjukkan bahwa unsur iklim lama penyinaran matahari memiliki nilai koefisien sebesar r = 0.21, dari hasil tersebut menunjukkan hubungan tidak nyata karena nilai t-hit < t-tabel (0.89 <

1.73).

Hasil pengujian suhu udara dan produktivitas ubi jalar di Kecamatan Sumberpucung (Tabel 2) memiliki nilai koefisien korelasi sebesar r = 0.25 dari hasil tersebut menunjukkan hubungan tidak nyata karena nilai t-hit < t-tabel (1.10

< 1.73) dan hasil pengujian di Kecamatan Sawahan menunjukkan bahwa unsur iklim suhu udara memiliki nilai koefisien sebesar r = 0.61, dari hasil tersebut menunjukkan hubungan nyata karena nilai t-hit > t-tabel (3.30 > 1.73). Pada 4 variabel di masing- masing wilayah tersebut hanya variabel suhu di dataran tinggi dan curah hujan di dataran rendah yang menunjukkan hubungan nyata dengan produktivitas ubi jalar sehingga dapat dilanjutkan dengan uji regresi.

Hasil pengujian korelasi antara curah hujan dengan produktivitas ubi jalar pada dataran rendah menunjukkan hubungan yang nyata dengan nilai r = 0.50. Hal ini menunjukkan bahwa unsur iklim curah hujan berpengaruh terhadap produktivitas ubi jalar. Pada data yang diperoleh di wilayah dataran rendah menunjukkan rata- rata curah hujan yang mendekati syarat tumbuh dan kebutuhan air pada ubi jalar sebesar 500 mm. Menurut Falco et al.

(2010) yang menyatakan bahwa sejumlah tanaman berkorelasi positif dengan curah hujan secara langsung. Hal itu menunjukkan bahwa jika hujan tersedia lebih banyak, maka akan lebih banyak lagi tanaman yang dapat ditumbuhkan, atau areal tanam yang dapat diperluas. Pada dataran tinggi menunjukkan hubungan curah hujan dan produktivitas ubi jalar tidak nyata dengan nilai r = 0.24. Hal ini menunjukkan bahwa unsur iklim curah hujan tidak berpengaruh terhadap produktivitas ubi jalar. Pada data yang diperoleh menunjukkan rata-rata curah

(9)

Tabel 2. Hasil uji korelasi unsur iklim terhadap produktivitas ubi jalar tahun 2001-2020.

Variabel r T hit T tab

Curah Hujan - DT

- DR

0,24 0,50*

1,03 2,38

1,73 Kelembaban

Udara - DT - DR

0,24 -0,21

1,05 -0,92 Penyinaran

- DT - DR

0,21 0,31

0,89 1,37 Suhu Udara

- DT - DR

0,61*

0,25

3,30 1,10

*korelasi nyata pada taraf 0.05

hujan yang rendah bagi pertumbuhan ubi jalar. Jika tanaman kekurangan air akan menghambat pertumbuhan umbi sehingga berpengaruh terhadap hasil. Menurut Prabawardani et al. (2008) fase kritis ubi jalar pada kondisi defisit air adalah pada awal pertumbuhan (1-60 HST). Penurunan bobot tajuk, luas daun dan hasil umbi dapat terjadi pada kondisi tersebut.

Pengujian korelasi antara kelembaban udara dan produktivitas ubi jalar di dataran rendah dan dataran tinggi menunjukkan hubungan yang tidak nyata dengan nilai koefisien korelasi r = 0.21 dan r = 0.24. Hal ini menunjukkan bahwa unsur iklim kelembaban udara tidak berpengaruh terhadap produktivitas ubi jalar pada kedua wilayah. Pada data iklim yang diperoleh menunjukkan bahwa kelembaban udara di kedua wilayah termasuk tinggi, pada tanaman ubi jalar hanya memerlukan kelembaban udara sebanyak 50-60%.

Menurut Setiawati dan Syamsi (2011) kandungan uap air di udara dapat mempengaruhi stomata pada daun yang berpengaruh terhadap laju transpirasi dan respirasi. Apabila kelembaban udara rendah, laju transpirasi meningkat sehingga penyerapan air dan zat-zat

mineral juga meningkat. Sedangkan pada keadaan kelembaban tinggi, laju transpirasi rendah menyebabkan penyerapan unsur hara rendah. Hal tersebut dapat memengaruhi ketersediaan nutrisi pertumbuhan tanaman sehingga pertumbuhan tanaman terhambat.

Pengujian korelasi hubungan antara lama penyinaran matahari dan produktivitas ubi jalar di dataran rendah dan dataran tinggi menunjukkan hubungan yang tidak nyata dengan nilai koefisien korelasi sebesar r = 0.31 dan r = 0.21. Hal ini menunjukkan bahwa unsur iklim lama penyinaran matahari tidak berpengaruh terhadap produktivitas ubi jalar pada kedua wilayah. Pada data iklim yang diperoleh menunjukkan presentase yang rendah yaitu 46% pada dataran rendah dan 39%

pada dataran tinggi. Ubi jalar termasuk tanaman hari pendek yang tumbuh baik di daerah beriklim panas dengan membutuhkan penyinaran 11-12 jam per hari. Menurut Sudomo (2009), ubi jalar merupakan tanaman hari pendek (short day plants) atau biasa disebut tanaman C3 yang memerlukan penyinaran selama maksimal 12 jam agar tanaman tersebut dapat berbunga. Jika intensitas cahaya matahari rendah akan menghasilkan produk fotosintesa yang tidak maksimal sehingga pertumbuhan tanaman terhambat.

Pengujian korelasi menunjukkan bahwa hubungan antara suhu udara dan produktivitas ubi jalar di dataran rendah menunjukkan tidak nyata dengan nilai koefisien korelasi sebesar r = 0.25. Hal ini menunjukkan bahwa unsur iklim suhu udara tidak berpengaruh terhadap produktivitas ubi jalar. Pengujian hubungan antara suhu udara dan produktivitas ubi jalar di dataran tinggi menunjukkan nyata dengan nilai koefisien korelasi sebesar r =

(10)

0,61. Hal ini menunjukkan bahwa unsur iklim suhu udara berpengaruh terhadap produktivitas ubi jalar. Menurut Raharjeng (2015), suhu mempengaruhi tanaman apabila suhu yang dihasilkan tinggi. Suhu udara erat kaitannya dengan laju penguapan dari jaringan tumbuhan ke udara. Jika semakin tinggi suhu udara, maka laju transpirasi akan semakin tinggi.

Jika suhu berada di luar batas toleransi, maka kegiatan metabolisme tumbuhan akan terganggu atau malah terhenti.

Model Pendugaan Unsur Iklim Terhadap Produktivitas Ubi Jalar pada Dataran Tinggi dan Dataran Rendah.

Hasil pengujian korelasi menunjukkan bahwa variabel unsur iklim berupa curah hujan di dataran rendah dan suhu udara di dataran tinggi mempunyai korelasi yang nyata terhadap produktivitas ubi jalar, sehingga dilakukan analisis regresi. Dalam penelitian ini dilakukan regresi sederhana terhadap variabel unsur iklim terhadap produktivitas ubi jalar.

Hasil dari pengujian regresi linier antara unsur curah hujan terhadap produktivitas ubi jalar di dataran rendah didapatkan nilai R square sebesar 0,24 yang berarti perubahan iklim curah hujan mempengaruhi produktivitas ubi jalar sebesar 24% dan nilai t hitung > t tabel (2.38 > 1.73) yang berarti hubungannya nyata. Hasil dari pengujian regresi linier didapatkan persamaan Y= 29.439 + 0,040X. Hasil regresi ini menunjukkan apabila curah hujan meningkat satu mm akan meningkatkan produktivitas ubi jalar 0,040 ton/ha. Pada dataran tinggi didapatkan nilai R square sebesar 0.056 dengan nilai t hitung < t tabel (1.03 < 1.73) yang berarti iklim curah hujan tidak nyata dan tidak mempengaruhi produktivitas ubi jalar. Hasil dari pengujian regresi linier

didapatkan persamaan Y = -4.789 + 0.083 X. Hasil regresi ini menunjukkan apabila curah hujan meningkat satu mm akan meningkatkan produktivitas ubi jalar 0.083 ton/ha.

Hasil dari pengujian regresi linier antara unsur iklim kelembaban terhadap produktivitas ubi jalar di dataran rendah didapatkan nilai R square sebesar 0,045 dengan nilai t hitung < t tabel (-0.92 < 1.73) yang berarti iklim kelembaban udara tidak nyata dan tidak mempengaruhi produktivitas ubi jalar. Hasil dari pengujian regresi linier didapatkan persamaan Y = 70.470 + (-0.809) X. Hasil regresi ini menunjukkan apabila kelembaban meningkat satu persen akan menurunkan produktivitas ubi jalar 0,809 ton/ha. Pada dataran rendah didapatkan nilai R square sebesar 0,058 dengan nilai t hitung < t tabel (1.05 < 1.73) yang berarti iklim kelembaban udara tidak nyata dan tidak mempengaruhi produktivitas ubi jalar. Hasil dari pengujian regresi linier didapatkan persamaan Y = - 15.933 + 0.400 X. Hasil regresi ini menunjukkan apabila kelembaban udara meningkat satu persen akan menurunkan produktivitas ubi jalar 40 kg/ha.

Hasil dari pengujian regresi linier antara unsur iklim suhu terhadap produktivitas ubi jalar di dataran rendah didapatkan nilai R square sebesar 0,38 dan t hitung > t tabel (3.03 > 1.73) yang berarti iklim suhu udara nyata dan mempengaruhi produktivitas ubi jalar sebesar 38%. Hasil dari pengujian regresi linier didapatkan persamaan Y = -40.541 + 3.005 X. Hasil regresi ini menunjukkan apabila suhu meningkat satu derajat akan meningkatkan produktivitas ubi jalar 3.005 ton/ha. Pada dataran tinggi didapatkan nilai R square sebesar 0.063 dengan nilai t hitung < t tabel (1.10 < .173) yang berarti iklim suhu udara tidak nyata dan tidak mempengaruhi

(11)

produktivitas ubi jalar. Hasil dari pengujian regresi linier didapatkan persamaan Y = - 44.659 + 2.456 X. Hasil regresi ini menunjukkan apabila suhu meningkat satu derajat akan meningkatkan produktivitas ubi jalar 2.456 ton/ha.

Hasil dari pengujian regresi linier antara unsur iklim lama penyinaran matahari terhadap produktivitas ubi jalar di dataran rendah didapatkan nilai R square sebesar 0,094 dengan nilai t hitung < t tabel (1.37 < 1.73) yang berarti iklim lama penyinaran matahari tidak nyata dan tidak mempengaruhi produktivitas ubi jalar. Hasil dari pengujian regresi linier didapatkan

persamaan Y = 0.867 + 0.292 X. Hasil regresi ini menunjukkan apabila penyinaran meningkat satu persen akan meningkatkan produktivitas ubi jalar 0.292 ton/ha. Pada dataran tinggi didapatkan nilai R square sebesar 0,042 dengan nilai t hitung < tabel (0.89 < 1.73) yang berarti iklim lama penyinaran matahari tidak nyata dan tidak mempengaruhi produktivitas ubi jalar. Hasil dari pengujian regresi linier didapatkan persamaan Y = -8.876 + 0.597 X. Hasil regresi ini menunjukkan apabila penyinaran meningkat satu persen akan meningkatkan produktivitas ubi jalar 0.597 ton/ha.

Tabel 3. Hasil uji korelasi unsur iklim terhadap produktivitas ubi jalar tahun 2001-2020

Variabel R2 a b T hitung T Tabel

Curah Hujan -Dataran rendah -Dataran tinggi

0.240 0.056

29.439 -4.789

0.040X 0.083X

2.38*

1.03

1.73 Suhu Udara

-Dataran rendah -Dataran tinggi

0.377 0.063

-40.541 -44.659

3.005X 2.456X

3.03*

1.10 Penyinaran

-Dataran rendah -Dataran tinggi

0.094 0.042

0.867 -8.876

0.292X 0.597X

1.37 0.89 Kelembaban Udara

-Dataran rendah -Dataran tinggi

0.045 0.058

70.470 -15.933

-0.809X 0.400X

-0.92 1.05

*Regresi nyata pada taraf 0.05, Keterangan: R2 = Koefisien determinasi, a = Nilai konstanta, b = Koefisien regresi.

Dari hasil regresi yang didapat pada dataran rendah iklim curah hujan mempengaruhi produktivitas ubi jalar sebesar 24%, dan pada dataran tinggi iklim curah hujan tidak berpengaruh terhadap produktivitas ubi jalar. Selain faktor iklim terdapat faktor lain yang dapat mempengaruhi produktivitas ubi jalar.

Menurut Andriani et al., (2015), Faktor lain yang dapat mempengaruhi produksi ubi jalar adalah luas lahan, jumlah bibit, pengolahan dan herbisida yang digunakan.

Jika dilihat dari rata-rata curah hujan pada dataran rendah, hal ini memberikan dampak yang positif terhadap produktivitas

ubi jalar dikarenakan yang paling mendekati rata-rata optimal. Menurut Sukerta (2020), rata-rata curah hujan yang sesuai pada tanaman ubi jalar optimalnya antara 500-1500 mm/tahun.

Dari hasil regresi yang didapat pada dataran tinggi dan dataran rendah unsur iklim kelembaban udara tidak mempengaruhi produktivitas ubi jalar.

Menurut Dobermann dan Fairhurst (2002) yang menyatakan ubi jalar dapat tumbuh di dataran rendah maupun dataran tinggi.

Faktor yang berpengaruh pada pertumbuhan tanaman ubi jalar adalah temperatur, kelembaban udara, curah

(12)

hujan, penyinaran matahari, keadaan angin, keadaan tanah, letak geografi tanah, tofografi tanah dan sifat tanah.

Kelembaban udara merupakan banyaknya uap air yang berada di udara. Menurut Karamina et al. (2018) kelembaban udara berhubungan erat dengan kondisi air dalam tanah, tersedianya air tanah penting dalam melarutkan ion-ion unsur hara untuk diserap oleh tanaman.

Dari hasil regresi yang didapat pada dataran rendah iklim suhu udara mempengaruhi produktivitas ubi jalar sebesar 38% dan pada dataran tinggi iklim suhu udara tidak mempengaruhi produktivitas ubi jalar. Suhu sangat berperan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman khususnya tanaman palawija. Menurut Mudakir (2004), suhu rendah menguntungkan pada proses pertumbuhan tanaman, suhu sedang menguntungkan bagi proses pemanjangan batang dan perkembangan buah, suhu tinggi menguntungkan pada proses pembungaan. Menurut penelitian Demagante & van der Zaag (1988), bahwa suhu tinggi menghambat pembentukan umbi, memicu terbentuknya bunga dan cabang sekunder, meningkatkan jumlah cabang dan jumlah nodus batang, serta menyebabkan tanaman lebih tinggi.

Dari hasil regresi yang didapat pada dataran rendah dan dataran tinggi, iklim lama penyinaran matahari tidak memiliki pengaruh terhadap produktivitas ubi jalar.

Ubi jalar termasuk jenis tanaman yang memerlukan penyinaran hari pendek, sekitar 11 – 12 jam per hari. Ubi jalar merupakan tanaman yang sangat efisien dalam mengubah energi matahari ke bentuk energi kimia berupa karbohidrat.

Menurut Lingga (1992), hal ini ditunjukkan dengan tingginya kalori yang diasimilasikan persatuan luas dan waktu,

yakni mencapai 215 kg/kal/ha/hari.

Sedangkan tanaman-tanaman lainnya hanya bisa mencapai 150 kg/kal/ha/hari.

Sehingga para ahli menyebutkan ubi jalar sebagai tanaman yang paling efisien dalam menyimpan energi matahari dalam bentuk bahan makanan.

KESIMPULAN

Terdapat perbedaan produktivitas ubi jalar pada dataran tinggi produktivitas ubi jalar lebih rendah daripada dataran rendah dengan nilai rata-rata 14.885 ton/ha dan 14.439 ton/ha.

Unsur iklim curah hujan di dataran rendah dengan nilai korelasi r = 0,50 dan unsur iklim suhu udara di dataran tinggi dengan nilai korelasi r = 0,61 memiliki hubungan yang nyata pada taraf 5%

terhadap produktivitas ubi jalar dikarenakan nilai korelasi r mendekati 1 yang artinya semakin mendekati angka 1, maka pengaruh unsur iklim akan semakin kuat terhadap produktivitas ubi jalar.

Unsur iklim curah hujan pada dataran rendah berpengaruh nyata terhadap produktivitas ubi jalar sebesar 24% dan unsur iklim suhu udara pada dataran tinggi berpengaruh nyata terhadap produktivitas ubi jalar sebesar 38%. Unsur iklim kelembaban udara dan unsur iklim lama penyinaran matahari tidak berpengaruh nyata terhadap produktivitas ubi jalar.

DAFTAR PUSTAKA

Andriani, M., E. Kernalis dan Y. Damayanti.

2015. Analisa faktor-faktor yang mempengaruhi produksi ubi jalar (Ipomoea batatas l.) di Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci. Jurnal Sosio Ekonomika Bisnis 18 (2): 90 – 98.

Badan Litbang Pertanian. 2011. Pedoman umum model kawasan rumah pangan lestari. Kementerian Pertanian.

(13)

Badan Pusat Statistik Kabupaten Malang.

2020. Luas panen, produktivitas dan produksi ubi jalar menurut Kecamatan di Kabupaten Malang, 2013-2019. Kabupaten Malang.

Doberman, A and T. H. Fairhust. 2002.

Rice straw management. Better corps international. Journal Special Suplemen. 16: 7 – 11.

Falco, D. S., M. Bezabih and M. Yesuf.

2010. Seeds for livelihood: crop biodiversity and food production in Ethiopia. Journal Ecological Economics. 69 (8): 1695 – 1702.

Ginting, E.U., S. Joko, R. Yulifianti dan M.

Jusuf. 2011. Potensi ubi jalar ungu sebagai pangan fungsional. Iptek Tanaman Pangan 6 (1): 116-138.

Gunawan, D. 2009. Kajian hidro- klimatologi daerah Cirebon- Indramayu-Majalengka-Kuningan (Ciayu Majakuning). Jurnal Biologi Indonesia. 5 (3): 355-361.

Hamdi, S. 2014. Mengenal lama penyinaran matahari sebagai salah satu parameter klimatologi. Jurnal Berita Dirgantara. 15 (1): 7-16.

Haniati, P. R., I. Harliyaningtyas dan Supriyadi. 2021. Pengaruh temperatur dan kelembaban terhadap produktivitas tembakau voor-oogst kasturi di Kabupaten Jember. Journal Agropross: National Conference Proceedings of Agriculture. 5: 1–9.

Herlina, N. dan R. A. Pahlevi. 2017.

Evaluasi dampak perubahan iklim terhadap produktivitas padi (Oriza sativa l.) di Kabupaten Malang. Pros.

Semnas. Pembangunan Pertanian II.

Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya dan Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia.

Malang

Jayatilleke, S. Bandara and Y. Cai. 2014.

The impact of climate change on food crop productivity, food prices and food security in South Asia.

Economic Analysis and Policy. 4 (1):

451 – 465.

Karamina, H., W. Fikrinda dan A.T. Murti.

2017. Kompleksitas pengaruh temperatur dan kelembaban tanah terhadap nilai pH tanah di perkebunan jambu biji varietas kristal (Psidium guajava l.) Bumiaji, Kota Batu. Jurnal Kultivasi. 16 (3): 430 – 434.

Lingga, P. 1992. Bertanamn umbi-umbian.

Penebar swadaya. Jakarta.

Marpaung, S. 2010. Identifikasi curah hujan ekstrem enam kota besar di pulau Jawa, Prosiding Seminar Penerbangan dan Antariksa Nasional, Serpong – Jawa Barat.

Nasir, S. A. Rahayuningsih dan Y. Widodo.

2008. Profil dan peluang pengembangan ubi jalar untuk mendukung ketahanan pangan dan agroindustri. Buletin Palawija 15: 21 – 30.

Prabawardani, S., A. Sarungallo, Y.

Mustamu dan F. Luhulima. 2008.

Tanggap klon lokal ubi jalar papua terhadap cekaman kekeringan.

Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. 27 (2) :113 – 119.

Raharjeng, A.R.P. 2015. Pengaruh faktor abiotik terhadap hubungan kekerabatan tanaman Sansevieria Trifasciata L. Jurnal Biota. 1 (1): 33 – 41.

Rifai, L.D., S.H.J. Tongkukut, dan S.S.

Raharjo. 2014. Analisis intensitas radiasi matahari di Manado dan Maros. Jurnal MIPA Unsrat Online. 3 (1): 49-52.

Sari, M.B., Yulkifli dan Z. Kamus. 2015.

Sistem pengukuran intensitas dan durasi penyinaran matahari realtime pc berbasis ldr dan motor stepper.

Jurnal Oto. Ktrl. Inst (J. Auto. Ctrl.

Inst).7 (1): 37 – 52.

Setiawati, T. dan I. F. Syamsi. 2019.

Karakteristik stomata berdasarkan estimasi waktu dan perbedaan intensitas cahaya pada daun hibiscus tiliaceus linn. Di Pangandaran, Jawa Barat. Jurnal Pro-Life. 6 (2): 148-159.

(14)

Sudomo, A. 2009. Pengaruh naungan terhadap pertumbuhan dan mutu bibit manglid (manglieta glauca bi).

Jurnal Tekno Hutan Tanaman. 2 (2):

59 – 66.

Sukerta, I, M. 2020. Pengembangan pertanian tumpangsari pada lahan kering di Bali Selatan. CV. Noah Aletheia. Bali.

Surendra, O dan N. Puspitasari. 2016.

Analisis tren perubahan suhu udara minimum dan maksimum serta curah hujan sebagai akibat perubahan iklim di Provinsi. Jurnal Sains. 16 (2): 66 – 72.

Winarno, G. D., H. S. Prayitno dan T.

Santoso. 2019. Klimatologi pertanian. Pusaka Media. Bandar Lampung.

Referensi

Dokumen terkait

Analisis uji regresi linear sederhana digunakan untuk menguji korelasi faktor iklim antara lain curah hujan, suhu udara, kelembaban udara, dan lama penyinaran matahari terhadap

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui fluktuasi beberapa unsur iklim (suhu udara, kelembaban udara, intensitas cahaya, dan curah hujan) di Hutan Pendidikan

Berdasarkan permasalahan tersebut, maka penelitian ini diarahkan untuk mengkaji bagaimanakah unsur-unsur perubahan iklim yaitu curah hujan, suhu dan kelembaban

Analisis uji regresi linear sederhana digunakan untuk menguji korelasi faktor iklim antara lain curah hujan, suhu udara, kelembaban udara, dan lama penyinaran matahari terhadap

Hasil analisis regresi linear berganda menunjukkan bahwa terdapat pengaruh antara iklim (curah hujan, suhu, kelembaban, radiasi matahari terhadap produktivitas tanaman

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui fluktuasi beberapa unsur iklim (suhu udara, kelembaban udara, intensitas cahaya, dan curah hujan) di Hutan Pendidikan

Indikator dampak perubahan iklim antara lain peningkatan curah hujan, suhu, kelembapan, intensitas cahaya matahari, angin. Perubahan iklim mempengaruhi sektor

KESIMPULAN Unsur iklim tidak memiliki hubungan yang nyata terhadap produktivitas ubi kayu di Kabupaten Malang, dengan nilai koefisien korelasi curah hujan r = 0,234, suhu r = - 0,431