• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Keragaan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perdagangan Bilateral Indonesia-Chili.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Keragaan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perdagangan Bilateral Indonesia-Chili."

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015 RJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

PERFORMA PERDAGANGAN BILATERAL INDONESIA-PER

ANALISIS KERAGAAN DAN FAKTOR

FAKTOR YANG

MEMPENGARUHI PERDAGANGAN BILATERAL

INDONESIA-CHILI

HI ALIRAN PERDAGANGAN

SAWITRI NURKHOTIMAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Keragaan dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perdagangan Bilateral Indonesia-Chili adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2015

Sawitri Nurkhotimah

NRP H151137274

(4)

RINGKASAN

SAWITRI NURKHOTIMAH. Analisis Keragaan dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perdagangan Bilateral Indonesia-Chili. Dibimbing oleh LUKYTAWATY ANGGRAENI dan YETI LIS PURNAMADEWI.

Secara konseptual perdagangan internasional terjadi karena adanya skala ekonomi dan spesialisasi. Sebagai upaya meningkatkan kinerja ekspor dan perluasan akses pasar ke negara-negara non tradisional, saat ini pemerintah Indonesia tengah mengkaji untuk meningkatkan level kerjasama perdagangan bilateral dengan negara Chili. Kecenderungan untuk mengadakan perdagangan bebas oleh negara-negara di dunia di berbagai kawasan untuk membuka peluang dan mengatasi hambatan perdagangan. Kerjasama dan perdagangan Indonesia-Chili diharapkan dapat membuka potensi yang jauh lebih besar dalam perdagangan kedua negara. Chili sebagai pintu gerbang perdagangan untuk kawasan Amerika Selatan dengan zona perdagangan bebas ZOFRI (Zona Iquaque) sehingga bisa melakukan re-ekspor di kawasan tersebut.

Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis keragaan perdagangan bilateral Chili, mengidentifikasi komoditi unggulan ekspor Indonesia-Chili yang mempunyai daya saing dan derajat integrasinya, serta menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi aliran perdagangan bilateral Indonesia-Chili. Keragaan perdagangan dianalisis secara deskriptif, dimana pertumbuhan ekspor Indonesia ke Chili lebih rendah dibandingkan pertumbuhan impor dari Chili, dengan komoditi yang diperdagangkan adalah non migas. Kedua negara menganut strategi outward looking, dimana kedua negara mengandalkan sektor perdagangan luar negeri sebagai salah satu motor penggerak pembangunan negara. Hasil estimasi nilai Revealed Comparative Advantage (RCA) dan Intra-Industry Trade

(IIT) kedua negara menunjukkan komoditi unggulan ekspor dan impor Indonesia berdaya saing tinggi namun secara keseluruhan berada pada derajat integrasi satu arah (no integration).

Berdasarkan nilai RCA dan indeks IIT maka komoditi unggulan terpilih untuk komoditi ekspor Indonesia ke Chili yaitu Nanas, Karet alam (TSNR), Teh hitam, Alas kaki olah raga, Surface-active prep, Video recording. Sedangkan komoditi unggulan terpilih untuk impor Indonesia adalah Minyak dan lemak ikan, anggur, katoda tembaga, bubur kertas,, dan tepung dan pellet ikan.

Pada model ekspor Indonesia ke Chili, terdapat empat variabel bebas yang berpengaruh signifikansi terhadap ekspor Indonesia ke Chili sesuai dengan tanda yang diharapkan, yaitu GDP per kapita Chili dengan tanda positif, tarif Chili dengan tanda negatif, tanda negatif untuk dummy Sanitary and Phytosanitary Measure (SPS) Chili dan tanda positif untuk dummy Technical Barriers to Trade

(TBT) Chili. Pada model impor terdapat dua variabel bebas yang signifikan mempengaruhi impor Indonesia dari Chili yaitu nilai tukar rill dengan tanda positif dan tanda negatif untuk dummy Sanitary andPhytosanitary Measure (SPS) Indonesia. Kedua model berpengaruh dengan kegiatan perdagangan tahun sebelumnya.

(5)

kebijakan SPS sehingga komoditi yang diekspor sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh kedua negara. Pentingnya fasilitasi dalam kegiatan promosi dan pameran dagang karena komoditi unggulan Indonesia memiliki daya saing tinggi namun nilai ekspornya rendah, sedangkan tingkat integrasi satu arah dapat ditingkatkan dengan meningkatkan investasi. Selain itu, pemerintah diharapkan lebih fokus kepada pembentukan kerjasama yang mengarah pada PTA (Preferential Trade Agreement) sebagai upaya penurunan/penghapusan tarif untuk komoditi unggulan terpilih Indonesia yang berdaya saing di pasar Chili, karena Chili masih menerapkan tingkat tarif rata-rata enam persen. Hasil penelitian ini menjadi penting untuk pemerintah dalam menetapkan kebijakan dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kerjasama perdagangan.

(6)

SUMMARY

SAWITRI NURKHOTIMAH. The Performance Analysis and the Factors Affecting the Bilateral Trade Indonesia-Chile. Supervise by LUKYTAWATY ANGGRAENI and YETI LIS PURNAMADEWI.

Conceptually, international trade occurs because economies of scale and specialization. To improve the performance of exports and expansion of market access to non-traditional countries, the Indonesian government is currently reviewing to increase the level of bilateral trade cooperation with Chile. The tendency to hold free trade by the countries in the world is to seize opportunities and overcome trade barriers. The cooperation between Indonesia and Chile is expected to unlock the potential that is greater in the trade for both countries. Chile is country as a trade gateway to South America with a free trade zone ZOFRI (Zone Iquaque) so that it can carry out the re-export to the region.

The purpose of this study was to analyze the performance of bilateral trade between Indonesia and Chile, identifying commodities exports for Chile and Indonesia that has competitiveness and the degree of integration, as well as to analyze the factors that affect the flow of bilateral trade between Indonesia and Chile. Performance of trades analyzed descriptively, where the growth of Indonesia's exports to Chile is lower than the growth of imports from Chile, with the commodities being traded is a non-oil. Both countries have principles outward looking, its mean trading with the other country is plays an important role in economic growth for this countries. The results of Revealed Comparative Advantage (RCA) and Intra-Industry Trade (IIT)showed that export and import potential commodities has a highly competitive but no integration.

Based on the result of RCA and IIT index, potential commodities for export Indonesia to Chile are Pineapples, Natural Rubber, Black tea, Sports footwear, Surface-active prep, Video recording. On the other side potential commodities for import Indonesia from Chile are Fish fats & oils, Grapes, Copper, Wood pulp unbleached, Wood pulp bleached,, and Flour of fish.

In the model of Indonesia's exports to Chile, there are four independent variables that affect the significance of the Indonesian exports to Chile that equal to the expected sign, the GDP per capita Chile with positif sign, Chilean rates with negative sign, negative sign for dummy Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS) Chile and positive sign for dummy Technical Barriers to Trade (TBT) Chile. On the import model, there are two independent variables that significantly affect Indonesia's imports from Chile that the real exchange rate with positive sign and negative sign for dummy Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS) Indonesia. Both models are influential with the previous year's trade activities.

(7)

focused on the establishment of cooperation that led to the PTA (Preferential Trade Agreement) as an effort to decrease/elimination of tariffs for commodities that has elected Indonesia's competitiveness in the Chilean market, as Chile still apply an average tariff rate of six percent. These results are important to take a trade policy formulation in order to enhance its economic growth and trade cooperation.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi

ANALISIS KERAGAAN DAN FAKTOR

FAKTOR YANG

MEMPENGARUHI PERDAGANGAN BILATERAL

INDONESIA-CHILI

MAKSIMUM TIGA BARIS,

LIMA BELAS KATA TIDAK TERMASUK KATA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2015 SCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(10)
(11)
(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian adalah perdagangan bilateral dalam kerangka perdagangan internasional, dengan judul Analisis Keragaan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perdagangan Bilateral Indonesia-Chili.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Lukytawati Anggraeni, SP, M.Si dan Dr. Ir. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc.Agr selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran demi penyempurnaan tesis ini dari awal sampai selesai. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga disampaikan kepada Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi beserta pengelola Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pascasarjana (SPs) IPB dan semua dosen yang telah mengajar penulis.

Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Kementerian Perdagangan Republik Indonesia yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pascasarjana IPB. Karya ini penulis persembahkan untuk keluarga kecil tercinta, suami Romi Bagus Setia, ananda Raisha Kirana Setia dan Adinda Tsurayya. Terima kasih tanpa batas atas segenap keridhoan, do‟a, dukungan, kasih sayang dan pengertiannya selama ini. Kepada orang tua dan keluarga atas do‟a tulus serta dukungannya. Tidak lupa rekan-rekan kuliah kelas Kementerian Perdagangan S2 IPB Batch 1 dan 2 yang telah membantu dan memberikan semangat hingga selesainya tesis ini. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, September 2015

(13)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN viii

DAFTAR ISI xi

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR LAMPIRAN xii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 6

Tujuan Penelitian 7

Manfaat Penelitian 7

Ruang Lingkup Penelitian 8

2 TINJAUAN PUSTAKA 8

Tinjauan Teori 8

Tinjauan Empiris 19

Kerangka Pemikiran 21

Hipotesis Penelitian 22

3 METODE 23

Jenis dan Sumber Data 23

Metode Analisis Data 23

Spesifikasi Model 25

Definisi Operasional 26

4 KERAGAAN PERDAGANGAN BILATERAL INDONESIA-CHILI 27 Gambaran Umum Perekonomian Indonesia dan Chili 27 Gambaran Umum Keragaan Perdagangan Indonesia-Chili ke Dunia 29 Gambaran Umum Keragaan Perdagangan Bilateral Indonesia-Chili 31

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 34

Analisis Daya Saing Komoditi Unggulan Indonesia-Chili 34 Analisis Tingkat Integrasi Perdagangan Indonesia-Chili 36 Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Aliran Perdagangan

Bilateral Indonesia-Chili 37

6 KESIMPULAN DAN SARAN 42

Kesimpulan 42

Saran 42

DAFTAR PUSTAKA 43

LAMPIRAN 47

RIWAYAT HIDUP 53

(14)

DAFTAR TABEL

1 Pangsa pasar ekspor Indonesia dalam perdagangan

Internasional tahun 2009-2013 1

2 Kontribusi negara-negara kawasan Amerika Selatan terhadap

total ekspor Indonesia tahun 2009-2013 (%) 3 3 Perbandingan makroekonomi Indonesia-Chili tahun 2013 4

4 Jenis dan sumber data 23

5 Klasifikasi dari nilai IIT 24

6 Performa perdagangan bilateral Indonesia-Chili tahun

2001-2013 32

7 Sepuluh komoditi terbesar ekspor dan impor Indonesia

tahun 2013 dan share terhadap total ekspor impor tahun 2013 33 8 Kontribusi enam eksportir terhadap total impor Chili terhadap

enam komoditi ekspor terpilih Indonesia tahun 2013 35

9 Hasil RCA dan IIT komoditi unggulan 37

10 Estimasi parameter dan signifikansi (p-value) variabel penjelas yang diduga mempengaruhi ekspor Indonesia ke Chili

2001-2013 38

11 Estimasi parameter dan signifikansi (p-value) variabel penjelas yang diduga mempengaruhi impor Indonesia dari Chili

2001-2013 40

DAFTAR GAMBAR

1 Negara tujuan ekspor non-migas Indonesia tahun 2014 2

2 Kurva perdagangan internasional 11

3 Ekspansi moneter dalam sistem nilai tukar mengambang 16

4 Dampak pemberlakuan tarif 18

5 Kerangka pemikiran penelitian 22

6 Perbandingan GDP perkapita Indonesia dan Chili 27

7 Nilai tukar dan inflasi Chili 28

8 Nilai tukar dan inflasi Indonesia 28

9 Pertumbuhan ekspor impor Indonesia ke dunia

tahun 2001-2013 30

10 Pertumbuhan ekspor impor Chili ke dunia tahun 2001-2013 30 11 Kinerja ekspor enam komoditi terpilih Indonesia

tahun 2009-2013 35

DAFTAR LAMPIRAN

1 Uji asumsi 47

2 Hasil estimasi model ekspor 50

3 Hasil estimasi model impor 51

4 Daftar tarif rata-rata Indonesia dan Chili 52

(15)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perkembangan perdagangan internasional mengarah pada bentuk perdagangan yang lebih bebas yang disertai dengan berbagai bentuk kerjasama bilateral, regional dan multilateral. Perdagangan bebas (liberalisasi) yang terus diupayakan oleh berbagai negara didasari oleh argumen bahwa perdagangan yang lebih bebas akan memberikan manfaat bagi negara-negara yang terlibat perdagangan dan serta meningkatkan kesejahteraan yang lebih besar dibandingkan tidak ada perdagangan. Selain meningkatkan distribusi kesejahteraan antar negara, perdagangan bebas juga akan meningkatkan kuantitas perdagangan dunia dan meningkatkan efisiensi ekonomi (Hadi 2000). Salah satu tujuan utama perjanjian perdagangan internasional adalah berupaya mengurangi atau menghilangkan hambatan perdagangan.

Kegiatan perdagangan internasional suatu negara adalah dengan meningkatkan ekspor serta mengendalikan impor dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Selama ini tingkat konsumsi sebagai penyumbang utama struktur pendapatan nasional Indonesia, diharapkan dengan perdagangan internasional mampu meningkatkan pendapatan nasional Indonesia dari sisi net ekspor, hal ini berdasarkan prinsip looking forward yang dianut, yakni mengandalkan perdagangan luar negeri sebagai motor penggerak perekonomian. Peningkatan volume ekspor akan berpengaruh terhadap penerimaan devisa dan pengembangan teknologi suatu negara sehingga akan menarik investasi baik dari luar maupun dalam negeri. Pengendalian impor secara umum bertujuan untuk melindungi pasar dan produksi dalam negeri agar mampu bersaing dalam pasar internasional. Ekspor dan impor sangat penting untuk membentuk dan mengendalikan neraca perdagangan (Balance of Payment) di suatu negara. Impor harus dibiayai dengan nilai yang sama dari ekspor untuk mempertahankan keseimbangan neraca perdagangan. Kunci keberhasilan suatu perjanjian perdagangan bilateral tergantung pada skala ekonomi, sistem ekonomi, kebijakan dan komitmen perdagangan masing-masing negara, bebas hambatan yang diberlakukan masing-masing negara, serta komplementaritas dan persaingan ekonomi kedua negara (Kwon 2001).

Tabel 1 Pangsa pasar ekspor Indonesia dalam perdagangan internasional tahun 2009-2013

Tahun Ekspor Indonesia Ekspor Dunia Pangsa Pasar

(US $ Milyar) (US $ Milyar) Indonesia (%)

2009 116,509.99 12,310,033.19 0.95

2010 157,779.10 15,050,924.29 1.05

2011 203,496.62 18,055,465.16 1.13

2012 190,031.84 18,003,055.01 1.06

2013 182,551.75 17,974,395.14 1.02

Trend (%) 11.45 9.81 1.53

Sumber: diolah dari Trademap 2014

(16)

2

Pada Tabel 1 menunjukkan bahwa dalam periode tahun 2009-2013 peluang Indonesia dalam pasar dunia terbuka cukup besar dengan trend eskpor Indonesia ke dunia sebesar 11.45% dan semakin meningkatnya permintaan dunia dengan trend sebesar 9.81%. Berdasarkan data perdagangan internasional tersebut dapat dilihat bahwa trend pangsa pasar Indonesia sebesar 1.53%. Kondisi ini berdasarkan perbandingan besarnya total ekspor Indonesia dengan total ekspor dunia. Perdagangan internasional memberikan implikasi yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi dunia.

Selama ini realisasi perdagangan bilateral Indonesia sangat didominasi oleh lima mitra dagang utama (Gambar 1). Dalam rangka meningkatkan produk ekspor non migas yang akan memacu kinerja perdagangan, Indonesia tengah berusaha meningkatkan penetrasi pasar baru dan diversifikasi pasar non-tradisional, salah satunya dengan upaya kerjasama perdagangan menuju perdagangan bebas dengan Chili. Hal ini juga berdasarkan rekomendasi hasil Studi Kelayakan Perjanjian Perdagangan Bebas dalam Joint Study Group (JSG) pada tahun 2002 dan selesai pada pertemuan ketiga di Bali tahun 2009 (http://www.sice.oas.org/). Senada dengan pernyataan Menteri Perdagangan dalam misi dagang Indonesia ke Amerika Latin yang menargetkan pertumbuhan ekspor ke pasar nontradisional mencapai hingga 25%. Dirjen Kerjasama Perdagangan Internasional (KPI) Kementerian Perdagangan, menyatakan bahwa perjanjian kerjasama ini adalah upaya untuk meningkatkan pangsa pasar barang dan jasa serta investasi Indonesia di Amerika Tengah dan Selatan http://ditjenkpi.kemendag.go.id/).

Gambar 1 Negara tujuan ekspor non-migas Indonesia tahun 2014

Sumber: Kementerian Perdagangan

(17)

3 Potensi kerjasama di bidang ekonomi di kawasan Amerika Selatan cukup besar namun belum termanfaatkan dengan baik oleh Indonesia. Kondisi ini dikarenakan belum ada satupun kerjasama bilateral Indonesia dengan negara-negara di kawasan Amerika Selatan. Chili adalah negara pertama yang melakukan inisiasi perdagangan dengan Indonesia, kemudian disusul Peru yang baru saja menyelesaikan studi kelayakan kerjasama pada tahun 2014 yang dimulai sejak tahun 2006. Volume ekspor Indonesia ke negara-negara Amerika Selatan untuk periode tahun 2013 mencapai US $ 2.53 milyar atau 1,38% dari total ekspor Indonesia. Sedangkan total ekspor Indonesia ke dunia pada tahun 2013 mencapai US$. 182.551.754 ribu. Pada Tabel 2 menunjukkan kontribusi ekspor Indonesia ke kawasan Amerika Selatan terhadap total ekspor selama tahun 2009-2013. Pada tahun 2013 2 kontribusi negara-negara kawasan Amerika Selatan terhadap total ekspor Indonesia tahun 2013 sebesar 1.39% kondisi lebih baik dibandingkan pada tahun 2012 yang hanya 1.34%.Berdasarkan data kontribusi tersebut diperkirakan pada tahun 2015 Chili menempati urutan keempat terbesar terhadap total ekspor Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa Chili mempunyai peluang yang cukup besar sebagai negara tujuan ekspor dalam rangka diversifikasi pasar Indonesia dimana pada tahun 2013 nilai total ekspor Indonesia ke Chili sebesar US$ 170.767 ribu.

Tabel 2 Kontribusi negara-negara kawasan Amerika Selatan terhadap total ekspor Indonesia tahun 2009-2013 (%) Sumber : diolah dari Trademap 2014

(18)

4

perdagangan barang, yang nantinya disusul bidang jasa dan investasi. Hal ini sebagai tindak lanjut kesepakatan kedua kepala negara dalam KTT APEC 2012. Pada bulan Mei 2014 tercapai langkah maju dengan negosiasi pertama dalam perundingan ke-1 Trade in Goods (TIGs) di Santiago, guna membahas Persetujuan Kemitraan Ekonomi Komprehensif atau Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) dalam upaya mencapai kesepakatan kerja sama di bidang perdagangan dan investasi. Perundingan petama ini sebagai peletakan landasan untuk perundingan substantive (request and offer). Semangat menemukan peluang untuk meningkatkan perdagangan kedua negara yang mendasari upaya kerja sama bilateral ini, dimana potensi perdagangan mencapai US$ 400 juta, dengan nilai ekspor Indonesia ke Chili berpotensi naik US$ 93,8 juta, sementara impor Indonesia dari Chili meningkat US$ 91,4 juta (JSG 2009).

Pemilihan Chili sebagai mitra dagang oleh Indonesia didasarkan pada pertimbangan bahwa Chili merupakan negara dengan perekonomian terbuka yang aktif mengadakan perjanjian perdagangan bebas, baik secara multilateral, regional maupun bilateral dengan negara-negara di dunia. Chili sebagai anggota WTO dan tercatat sebagai anggota Asia Pacific Economic Cooperation (APEC). Chili juga bergabung dalam blok perdagangan Amerika Selatan the Southern Common Market (MERCOSUR) dan anggota aliansi “Trans Pacific Strategic Economic Partnership Agreement”. Adapun secara bilateral, Chili telah mengadakan perjanjian perdagangan bebas dengan beberapa negara di kawasan Amerika Latin (Kolombia, Venezuela, Equador, Costa Rika), Kanada, Meksiko, Amerika Serikat, Korea Selatan, China, Jepang, Malaysia, Vietnam, Thailand dan perjanjian regional dengan Uni Eropa dan negara-negara CAMS (Costa Rica, El Savador, Honduras, Guatemala, Nikaragua).

Berdasarkan data tahun 2013 seluruh penduduk kawasan Amerika Selatan berjumlah sekitar 91 juta jiwa, sedangkan Chili jumlah penduduknya sekitar 17 juta sehingga menjadi negara yang tergantung pada impor. Jumlah penduduk Chili terus meningkat dengan pertumbuhan mencapai 0.9% dalam lima tahun terakhir. Chili disebut sebagai pintu masuk, karena dengan infrastruktur yang mapan dan keberadaan dua daerah bebas pajak, yaitu ZOFRI (Zona Franca Iquique dan Zona Franca Punta Arenas) merupakan pintu masuk bagi Indonesia untuk meningkatkan perdagangan dengan negara tetangga di wilayah Amerika Latin, seperti Peru, Bolivia, Argentina, Brazil, Paraguay dan Uruguay. Secara geografis, posisi Chili menjadi pasar potensial, karena sangat strategis untuk re-ekspor ke pasar lain di kawasan Amerika Selatan, hal ini menjadi potensi yang lebih besar dan menguntungkan bagi Indonesia karena mempermudah masuknya produk Indonesia ke Amerika Latin dan Chili pada khususnya.

Tabel 3 Perbandingan makroekonomi Indonesia-Chili tahun 2013

Faktor Satuan Chili Indonesia

(19)

5 Perbandingan data makroekonomi kedua negara pada Tabel 3 menunjukkan bahwa dari sisi GDP perkapita Chili lebih besar daripada Indonesia. GDP perkapita yang tinggi merupakan signal adanya potensi pasar yang mengindikasikan tingkat daya beli yang tinggi. Dalam lima tahun terakhir GDP perkapita Chili menunjukkan trend yang terus naik. Kebijakan pasar bebas dan terbuka telah menjadikan Chili sebagai negara yang relatif stabil perekonomiannya di kawasan Amerika Selatan. Pada tahun 2006 Chili mencapai GDP per kapita tertinggi di Amerika Latin. Hal ini harus dapat dimanfaatkan oleh Indonesia sebagai pangsa pasar baru tujuan ekspor, dimana mengharuskan Indonesia mempunyai daya saing dalam komoditi ekspornya.

Melihat peta persaingan Indonesia di pasar Chili, mitra dagang utama Chili adalah Amerika Serikat dengan persentase sebesar 23%, kemudian China sebesar 18%, dan yang ketiga terbesar adalah Brasil dengan persentase sebesar 6.4%. Untuk jajaran negara ASEAN, Thailand merupakan negara pesaing Indonesia yang harus diperhitungkan dimana pada tahun 2011 total ekspor Thailand ke Chili bernilai US$ 619 juta jika dibandingkan dengan tahun 2010 naik 15.7 % atau US$ 45.2 juta hal ini menjadikan Thailand adalah negara ASEAN terbesar yang memasok produknya ke pasar Chili, menempati urutan ke-20 terbesar dengan persentase 0.92%. Indonesia berada pada posisi kedua, sedangkan Malaysia dan Vietnam masing-masing berada pada posisi ketiga dan keempat dengan perolehan masing- masing devisa sebesar US$ 155.1 juta dan 149.9 juta. Disusul Singapura dengan ekspornya bernilai US$ 68.2 juta dan Philipina US$ 44.7 juta (ITPC Chili, 2012).

Negara pesaing Indonesia semakin berkembang dan eksis dipasar Chili, bukan hanya FTA yang dilakukan oleh negara pesaing di Chili, namun promosi besar-besaran mereka lakukan di Chili. Secara periodik setiap tahun pesaing Indonesia seperti China, Thailand, Malaysia, Taiwan, India membawa misi dagang dan mengadakan pertemuan bisnis sebagai upaya promosi produk-produk baru maupun untuk mempertahankan pasar yang telah ada agar tetap eksis di Chili. Dalam rangka memperkuat perdagangan antara Indonesia dan Chili pada tahun 2009 Kementerian Perdagangan Indonesia telah resmi membuka Indonesia Trade Promotion Center (ITPC) di Santiago yang bertujuan untuk mempromosikan produk-produk andalan ekspor Indonesia dan membantu masalah-masalah yang dihadapi para pengusaha Chile yang melakukan hubungan dagang dengan para pengusaha Indonesia.

Kegiatan perdagangan didominasi komoditi non migas untuk kedua negara. Komoditi ekspor utama Indonesia ke Chili pada tahun 2013 adalah footwear, upper of leather, sebesar US $ 27.003 ribu, sedangkan komoditi utama impor Indonesia adalah tembaga (Iron ores & concentrates; including roasted iron pyrites) yang merupakan komoditas unggulan ekspor Chili yang belum dapat disubstitusikan oleh negara lain dengan nilaiUS $ 108.290 ribu.

(20)

6

menguntungkan Indonesia yaitu berupa FTA (Free Trade Agreement) ataupun PTA (Preferential Trade Agreement).

Perumusan Masalah

Chili adalah negara pertama di bagian Amerika Latin yang mengimplementasikan dan/atau mengadopsi kebijakan ekonomi berdasarkan kompetisi/daya saing dan prinsip-prinsip pasar dengan membangun sistem ekonomi. Tercatat dalam Global Competitiveness Report pada tahun 2013-2014 menempati rangking ke-34 sebagai negara yang paling kompetitif di dunia dan yang pertama di Amerika Latin. Kebijakan ekonomi domestik Chili fokus pada reformasi makroekonomi, stabilitas fiskal, merombak sistem dana pensiun nasional, privatisasi kepemilikan nasional, reformasi pasar capital, dan revisi hukum ketenagakerjaan. Bidang perdagangan, Chili mempunyai tujuan kebebasan dan keterbukaan kebijakan perdagangan dengan struktur ekonomi dan industri yang maju dengan tingkat assesibility yang tinggi ke pasar dunia serta berorientasi tinggi pada ekspor. Pembangunan pondasi struktur ekonomi yang terbuka ini, akan menjadikan Chili seperti negara Singapura di Amerika Latin.

Dalam lima tahun terakhir periode tahun 2009-2013, neraca perdagangan menunjukkan Indonesia mengalami defisit terhadap Chili dimana trend ekspor Indonesia -0.46% dengan total ekspor US $ 919,431 ribu, sedangkan trend impor sebesar 0.84% dengan total impor US $ 1,318,418 ribu (Kementerian Perdagangan, 2014). Hal ini dikarenakan impor tembaga sebagai bahan baku industri di Indonesia masih sangat tergantung impor dari Chili dan belum bisa disubstitusi dari negara lain. Meskipun Indonesia sebagai salah satu negara penghasil tembaga, namun hanya mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri sebesar 30% dan sisanya adalah impor. Defisit perdagangan untuk Indonesia mengindikasikan bahwa perdagangan yang selama ini terjadi belum memberikan benefit untuk Indonesia, sehingga menarik untuk dikaji apakah terjadi kesesuaian komoditi ekspor dan impor antara Indonesia dan Chili. Kebijakan perdagangan Indonesia juga belum efektif terkait komoditi unggulan ekspor dan untuk mengembangkannya.

Berdasarkan fakta perdagangan yang terjadi, menarik untuk diteliti bagaimana potensi kinerja perdagangan Indonesia dengan Chili dalam rangka pembentukan perdagangan bebas menuju perdagangan dua arah yang adil. Secara umum tujuan Indonesia dalam hubungan kerjasama ini adalah untuk meningkatkan kinerja ekspor dengan impor bahan baku yang lebih murah, sedangkan Chili bertujuan agar produk holtikultura dapat masuk di pasar Indonesia, karena pangsa pasar di Indonesia yang sangat besar. Ekspor Indonesia harus bersaing dengan negara lain yang telah lebih dahulu memasuki pasar Chili, sehingga perlu menganalisis daya saing perdagangan bilateral Indonesia dengan Chili. Untuk itu perlu diketahui komoditas apa saja yang mempunyai daya saing di pasar Chili, sehingga dapat menjadi acuan Indonesia dalam melakukan negosiasi untuk memperluas pasar dan membuka akses pasar baru dengan menjadikan Chili sebagai salah satu negara tujuan ekspor utama produk-produk unggulan Indonesia.

(21)

7 Jalil (2012) dalam perdagangan Indonesia ke Uni Eropa yang menyimpulkan terdapat 10 komoditi dengan nilai ekspor tertinggi namun hanya produk minyak sawit, karet, kopi, alas kaki serta produk elektronik yang masuk dalam program pemerintah dalam meningkatkan target ekspor. Klasifikasi kelompok 10 komoditi utama yakni tekstil dan produk tekstil, elektronik, karet dan produk karet, sawit, produk hasil hutan, alas kaki, otomotif, udang, kakao, kopi. Sedangkan kelompok 10 komoditi potensial adalah kulit dan produk kulit, peralatan medis, tanaman obat, makanan olahan, minyak atsiri, ikan dan produk perikanan, kerajinan, perhiasan, rempah-rempah, peralatan kantor (Kementerian Perdagangan, 2014). Oleh karena itu, Indonesia harus bersiap dan bersaing mencari celah pasar untuk meningkatkan ekspor baik komoditi unggulan dan komoditi potensial.

Secara unilateral Chili telah mengurangi tarif impor. Pemerintah Chili memberlakukan tingkat tarif umum, dimana diberlakukan persentase yang sama untuk semua produk. Sejak tahun 1999, tingkat tarif telah diturunkan dengan satu poin persen per tahun. Rata-rata tarif pada 8% dan turun menjadi 6% pada tahun 2003. Chili adalah salah satu dari beberapa negara berkembang yang berjanji untuk tidak goyah mendukung WTO’ s General Agreement on Trade in Services

(GATS) dan Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS).

Untuk meningkatkan kinerja ekspor Indonesia dan juga mengatasi hambatan-hambatan perdagangan Indonesia-Chili, pemerintah Indonesia tengah melakukan negosiasi untuk pembentukan FTA (Free Trade Agreement) ataupun PTA (Preferential Trade Agreement) agar tercapai. Pencapaian kesepakatan kerjasama Indonesia-Chili masih dalam negosiasi, namun diharapkan Indonesia mampu mengantisipasi berbagai dampak serta mempersiapkan diri dalam menghadapi FTA Indonesia-Chili yang mungkin segera terwujud. Rumusan permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah keragaan perdagangan bilateral antara Indonesia dan Chili. 2. Apakah komoditi unggulan ekspor serta bagaimana tingkat daya saing dan

derajat integrasi perdagangan bilateral Indonesia-Chili.

3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi aliran perdagangan bilateral Indonesia-Chili.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan tersebut, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengkaji keragaan perdagangan dalam perdagangan bilateral Indonesia-Chili. 2. Mengidentifikasi komoditi ekspor unggulan serta daya saing dan derajat

integrasi perdagangan bilateral Indonesia-Chili.

3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi aliran perdagangan bilateral Indonesia-Chili.

Manfaat Penelitian

(22)

8

Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan oleh pengambil kebijakan sebagai alternatif kebijakan nasional untuk meningkatkan daya saing dalam rangka meninngkatkan kinerja ekspor sekaligus mempersiapkan faktor-faktor yang mempengaruhi aliran dan keterkaitan perdagangan Indonesia-Chili. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi peneliti lain sebagai salah satu referensi yang dapat mendukung suatu penelitian yang lebih mendalam mengenai keterkaitan perdagangan, baik bilateral, multilateral ataupun regional.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan berdasarkan ruang lingkup yang ditentukan agar dapat mencapai hasil yang diharapkan. Ruang lingkup penelitian ini yaitu :

1. Analisis deskriptif untuk melihat gambaran keragaan perdagangan yang meliputi kinerja perdagangan bilateral Indonesia-Chili.

2. Analisis perdagangan Indonesia dan Chili dan menggunakan data time series 2009-2013 terkait keunggulan komparatif serta daya saing kedua negara dengan nilai RCA rata-rata.

3. Menganalisis komoditi ekspor Indonesia ke Chili dan impor Indonesia dari Chili untuk menguji faktor-faktor yang mempengaruhi perdagangan bilateral Indonesia-Chili dengan menggunakan data tahun 2001-2013 dengan kode

Harmonize System (HS) 6 digit.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Liberalisasi Perdagangan

Liberalisasi perdagangan salah satunya dikemukakan oleh Shafaeddin (2005) dalam United Nation Conference on Trade and Development, bahwa liberalisasi perdagangan adalah setiap tindakan yang akan membuat rezim perdagangan yang lebih netral, lebih dekat dengan sistem perdagangan bebas dari intervensi pemerintah. Liberalisasi perdagangan terjadi karena semakin bebasnya pergerakan arus barang dan jasa serta arus modal antar negara karena fenomena ekonomi global. Liberalisasi perdagangan telah menyebabkan perkembangan dan re-orientasi sektor industri sesuai dengan keunggulan komparatif. Singkatnya, tidak ada keraguan bahwa liberalisasi perdagangan sangat penting ketika suatu industri mencapai tingkat kematangan tertentu, asalkan dilakukan secara selektif dan bertahap.

Peran liberalisasi perdagangan dapat dilihat dari fungsinya yang memfasilitasi dan mempromosikan globalisasi sebagai proses substansi dari berkembangnya teknologi dan ekonomi yang melihat pada keterbukaan dan keintegrasian di seluruh dunia ke dalam satu sistem ekonomi. Semenjak seluruh negara memerlukan perdagangan eksternal, dan negara-negara di Asia yang biasanya tergantung pada pertumbuhan „export-led‟, hubungan perdagangan

(23)

9 mengkonsumsi lebih besar dari kemampuannya berproduksi karena terdapat perbedaan harga relative dalam proses produksi yang mendorong spesialisasi. Perbedaan harga relative disebabkan perbedaan penguasaan sumber daya.

Liberalisasi perdagangan diperkirakan akan dapat mendorong peningkatan arus perdagangan barang dan jasa serta arus investasi antar negara terutama jika didukung oleh perdagangan yang lebih fair dan adil. Karena itulah penganut paham liberalis sangat berkeyakinan bahwa liberalisasi perdagangan dunia akan dapat meningkatkan kemakmuran bagi semua negara yang terlibat. Pentingnya peran liberalisasi perdagangan sebagai faktor pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang dinyatakan oleh Berg dalam “World Economic Outlook” (2002), dimana menggunakan cross-country econometric work, country case study dan industry and firm-level analysis, menjelaskan bahwa perdagangan bebas di negara-negara berkembang mempunyai peran yang signifikan dalam pertumbuhan perekonomian, peningkatan produkstifitas dan pendapatan per kapita.

Free Trade Area (FTA) dan Integrasi Ekonomi

Kegiatan ekonomi internasional memiliki kecenderungan untuk membentuk organisasi perdagangan multinasional. Organisasi ini dibentuk dari kumpulan negara berdekatan yang mempunyai kebijakan perdagangan bersama untuk menghadapi negara lain dalam bidang tarif dan akses pasar. Alasan umum pembentukan grup ini adalah menjamin pertumbuhan ekonomi dan bermanfaat bagi negara anggota. Contoh organisasi yang terkenal sekarang antara lain

European Union (EU) dan North American Free Trade Agreement (NAFTA). Pengaruh keberadaan dan pertumbuhan organisasi multinasional ini secara tidak langsung bagi negara peserta adalah untuk menjaga persaingan secara global. Secara luas, pengelompokan regional dibentuk sebagai usaha pemerintah untuk meningkatkan integrasi ekonomi global.

FTA adalah salah satu bentuk respon dari kehadiran globalisasi, kegagalan sistem perdagangan multilateral dan liberalisasi yang berimplikasi pada pengurangan dan penghapusan berbagai hambatan perdagangan baik hambatan tarif maupun hambatan non tarif. Akan tetapi masing-masing negara anggota bebas menentukan tingkat tarif individu dengan negara yang bukan anggota. FTA berimplikasi pada pengurangan dan penghapusan berbagai hambatan dalam kegiatan perdagangan baik hambatan tarif (tarrief barrier) maupun hambatan non tarif (non-tarrif barier=NTB). Dengan kata lain, ”internal tariff” antara negara

anggota menjadi 0 persen, sedangkan masing-masing negara memiliki “external tariff” yang berbeda. Menurut Salvatore (1997), integrasi ekonomi adalah suatu kebijakan komersial yang secara diskriminatif mengurangi atau bahkan menghapus hambatan-hambatan perdagangan hanya kepada para negara anggota kesepakatan. Kesepakatan penurunan atau penghapusan hambatan perdagangan hanya akan berlaku bagi negara-negara yang saling sepakat dan tidak berlaku atau diterapkan bagi negara-negara di luar itu. Contohnya AFTA (ASEAN Free Trade Area) yang diawali dengan CEPT (Common Effective Preferential Tariff) yang mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 1993 serta ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area) yang telah diberlakukan 1 Januari 2010.

(24)

10

perdagangan dan kerja sama dalam bidang ekonomi, seperti industri dan investasi antar negara anggota, yang pada akhirnya meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan di wilayah tersebut. Dua indikator ekonomi makro yang dapat digunakan untuk melihat apakah tujuan tersebut tercapai adalah laju peningkatan volume perdagangan antar negara anggota (intra-trade) dan laju pertumbuhan PDB, baik masing-masing negara anggota secara individu atau PDB regional (jumlah kenaikan PDB dari semua negara anggota) setelah terbentuknya integrasi ekonomi antar negara.

Berdasarkan teori tahapan integrasi regional dari Bela Balassa (1960) maka proses tahapan kerja sama ekonomi dan integrasi regional adalah sebagai berikut:

1. TPA atau Trade Preferency Arrangement, bentuk kerja sama ekonomi regional yang masing-masing anggotanya memberikan preferensi dalam bentuk tarif dan nontarif untuk produk orisinal masing-masing negara anggota.

2. FTA atau Free Trade Area, suatu bentuk kerja sama ekonomi regional yang perdagangan produk-produk orisinal negara-negara anggotanya tidak dipungut bea masuk atau bebas bea masuk. Free Trade Area (FTA) adalah kerjasama formal antara dua atau lebih negara untuk mengurangi hambatan tarif dan non tarif diantara negara anggota. FTA atau Free Trade Area adalah suatu bentuk kerjasama ekonomi regional yang memperdagangkan produk-produk orisinal negara-negara anggotanya tidak dipungut bea masuk atau bebas bea masuk.

3. CU atau Customs Union, bentuk kerja sama ekonomi regional dengan “internal tariff” untuk produk-produk orisinal dari/ ke masing-masing negara anggota yang besarnya 0% atau dibebaskan dari bea masuk, dan “external tariff” untuk produk yang berasal dari negara bukan anggota untuk seluruh negara anggota adalah sama. Custom Union. Anggota

Custom Union tidak hanya mampu mengurangi atau menghilangkan tarif antara anggota, tapi juga mereka mempunyai tarif eksternal bersama terhadap negara yang bukan anggota Custom Union. Hal ini mencegah negara yang bukan anggota mengekspor ke negara anggota yang mempunyai tarif eksternal rendah.

4. CM atau Common Market, suatu bentuk kerja sama ekonomi regional yang memiliki kebebasan bergerak untuk faktor produksi, khususnya tenaga kerja (SDM) dari/ ke masing-masing anggota. Common Market. Jika kerja sama meningkat di antara negara Custom Union, maka dapat terbentuk Common Market. Common Market menghilangkan semua tarif dan hambatan lain dalam perdagangan antara anggota, mengadopsi seperangkat tarif eksternal bersama pada negara bukan anggota, dan menghilangkan batasan-batasan pada aliran modal dan tenaga kerja antar negara anggota.

5. EU atau Economic Union, bentuk kerja sama ekonomi regional yang memiliki kesatuan atau persamaan peraturan dalam bidang perpajakan, tenaga kerja, jaminan sosial, dan lain-lain. Economic Union karena juga melakukan harmonisasi kebijakan ekonomi negara anggota, seperti pajak, kebijakan moneter dan kebijakan fiskal.

(25)

11

Union berada pada level integrasi keempat dengan satu mata uang bersama antar negara. Contohnya Negara anggota European Union menggunakan mata uang bersama, Euro.

Teori Perdagangan Internasional

Konsep perdagangan bebas untuk pertama kali diperkenalkan oleh Adam Smith pada awal abad ke-19. Perdagangan internasional dapat didefinisikan sebagai transaksi dagang antara subyek ekonomi negara yang satu dengan subyek ekonomi negara lain, baik mengenai barang ataupun jasa. Hampir tidak ada satu negarapun yang tidak melakukan hubungan dengan negara lain (Dumairy 1997). Dalam perdagangan domestik para pelaku ekonomi bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari aktivitas ekonomi yang dilakukannya. Demikian halnya dengan perdagangan internasional. Setiap negara yang melakukan perdagangan bertujuan mencari keuntungan dari perdagangan tersebut. Adapun subyek ekonomi yang dimaksud adalah penduduk yang terdiri dari warga negara biasa, perusahaan ekspor, perusahaan impor, perusahaan industri, perusahaan negara ataupun departemen pemerintah yang dapat dilihat dari neraca perdagangan (Sobri, 2001).

Alasan utama terjadinya perdagangan internasional seperti yang dikemukakan oleh Krugman (2000), yaitu:

1. Negara-negara berdagang karena mereka mempunyai hasil produksi yang berbeda satu sama lain.

2. Negara-negara melakukan perdagangan dengan tujuan untuk mencapai skala ekonomi (economics of scale).

Berdasarkan pengertian dan tujuan dari terbentuknya FTA, maka pembentukan kawasan perdagangan bebas akan memberikan pengaruh kepada ekspor dan impor negara-negara tersebut. Kegiatan ini dapat terjadi karena adanya perbedaan permintaan dan penawaran akibat adanya spesialisasi serta adanya perbedaan tingkat harga antar negara-negara tersebut.

Gambar 2 Kurva perdagangan internasional

Sumber : Salvatore 1997

(26)

12

domestik negara Indonesia (sebelum terjadinya perdagangan internasional) relatif lebih rendah yakni sebesar PA bila dibandingkan dengan harga domestik Chili. Struktur harga yang terjadi di Indonesia lebih rendah karena produksi domestiknya lebih besar daripada konsumsi domestiknya sebesar QA sehingga di Indonesia terjadi excesssupply sebesar X disebabkan Indonesia mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif sehingga mampu berspesialisasi pada komoditi tersebut, dan jumlah inilah yang akan diekspor. Dengan demikian, Indonesia mempunyai kesempatan menjual kelebihan produksinya ke negara lain. Dilain pihak, di Chili terjadi kekurangan supply dimana konsumsi domestiknya sebesar QB lebih besar daripada produksi domestiknya (excess demand) sehingga harga yang terjadi di Chili lebih tinggi sebesar PB. Chili akan membeli/impor komoditi tersebut dari negara lain yang relatif lebih murah sebesar M. Jika kemudian terjadi komunikasi antara Indonesia dengan Chili, maka akan terjadi perdagangan antar keduanya dengan harga yang diterima oleh kedua negara sama yakni pada titik ekuilibrium harga sebesar P* dengan jumlah sebanyak Q*.

Perdagangan internasional seharusnya akan meningkatkan kesejahteraan negara-negara yang melakukan perdagangan bebas, karena melalui perdagangan bebas akan terjadi peningkatan efisiensi penggunaan sumberdaya domestik dan akses pasar ke negara lain (Stephenson 1994). Namun demikian, secara umum terdapat beberapa variabel ekonomi dunia yang meningkat seperti investasi global barang-barang kapital, volume perdagangan dunia, dan indeks harga perdagangan dunia. Peningkatan arus perdagangan sebagai akibat dibukanya tarif seluas-luasnya mengakibatkan peningkatan aliran barang-barang kapital untuk investasi volume perdagangan dunia. Peningkatan investasi global ternyata diikuti dengan tingkat pengembalian kapital yang negatif sehingga secara keseluruhan akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan dunia.

Teori Keunggulan Komparatif

Teori keunggulan komparatif (theory of comparative advantages)

merupakan penyempurnaan dari teori keunggulan absolut Adam Smith yang dikemukakan oleh David Ricardo (1817). David Ricardo dalam Salvatore (2007) mengatakan bahwa keunggulan komparatif akan tercapai jika suatu negara mampu memproduksi barang dan jasa dengan biaya yang lebih murah daripada negara lain. Hal ini dikenal sebagai Hukum Keunggulan Komparatif (Law of Comparative Advantage). Keunggulan komparatif dibedakan atas cost comparative advantage (labor efficiency) dan production comparative advantage

(labor productivity).

Menurut Salvator (2007) Asumsi Teori Keunggulan Komparatif yang mendasari adalah:

a. Hanya terdapat dua negara dan dua komoditi b. Perdagangan bersifat bebas

c. Terdapat mobilitas tenaga kerja yang sempurna di dalam negara namun tidak ada mobilitas antara dua negara.

d. Biaya produksi konstan

e. Tidak terdapat biaya transportasi f. Tidak ada perubahan teknologi

(27)

13 spesialisasi produksi dan mengekspor barang di mana negara tersebut dapat berproduksi lebih efisien serta mengimpor barang di mana negara tersebut berproduksi relatif kurang atau tidak efisien. Dengan kata lain, cost comparative

menekankan bahwa keunggulan komparatif akan tercapai jika suatu negara memproduksi suatu barang yang membutuhkan sedikit jumlah jam tenaga kerja dibandingkan negara lain sehingga terjadi efisiensi produksi.

Berdasarkan analisis production comparative advantage (labor productivity) dapat dikatakan bahwa suatu negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional jika melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang di mana negara tersebut berproduksi lebih produktif serta mengimpor barang di mana negara tersebut berproduksi relatif kurang atau tidak produktif.

Production comparative menekankan bahwa keunggulan komparatif akan tercapai jika seorang tenaga kerja di suatu negara dapat memproduksi lebih banyak suatu barang/jasa dibandingkan negara lain sehingga tidak memerlukan tenaga kerja yang lebih banyak. Dengan demikian keuntungan perdagangan diperoleh jika negara melakukan spesialisasi pada barang yang memiliki cost comparative advantage dan production advantage. Atau dengan mengekspor barang yang keunggulan komparatifnya tinggi dan mengimpor barang yang keunggulan komparatifnya rendah.

Teori Keunggulan Kompetitif

Keunggulan kompetitif digunakan untuk mengukur daya saing suatu aktivitas dan keuntungan privat berdasarkan harga pasar dan nilai tukar uang resmi yang berlaku atau dengan kata lain melakukan analisa finansial terhadap aktivitas tersebut. Konsep keunggulan kompetitif didasarkan pada asumsi bahwa perekonomian yang tidak mengalami distorsi sama sekali yang sulit ditemukan dalam dunia nyata.

Teori keunggulan kompetitif adalah teori yang menjelaskan bahwa untuk dapat meraih sukses internasionalnya maka suatu negara harus dapat memperkuat industri dalam negerinya. Menurut Porter (1990) menyatakan ada empat atribut utama yang menentukan mengapa industri tertentu dalam suatu negara dapat mencapai sukses internasional, keempat atribut tersebut meliputi: kondisi faktor produksi, kondisi permintaan dan tuntutan mutu dalam negeri, eksistensi industri pendukung , dan kondisi persaingan strategi dan struktur perusahaan dalam negeri Negara yang sukses dalam skala internasional pada umumnya didukung oleh kondisi faktor yang baik, permintaan dan tuntutan mutu dalam negara yang tinggi, industri hulu / hilir yang maju dan persaingan domestik yang ketat. Keunggulan kompetitif yang hanya didukung oleh satu atau dua atribut saja biasanya tidak akan dapat bertahan, sebab keempat atribut saling berinteraksi positif dalam negara yang sukses.

(28)

14

Keunggulan Kompetitif yang dikemukakan Porter juga mengatakan bahwa salah satu faktor yang turut mempengaruhi perdagangan internasional suatu negara dapat unggul dibanding negara lain adalah pemerintah.

Suatu komoditi mungkin saja mempunyai keunggulan komparatif sekaligus keunggulan kompetitif. Hal ini menunjukkan bahwa komoditi tersebut sangat menguntungkan untuk diproduksi. Di samping itu, ada juga komoditi yang mempunyai keunggulan komparatif tetapi tidak memiliki keunggulan kompetitif, sehingga dapat diperkirakan ada distorsi pasar yang tidak menguntungkan produksi komoditi tersebut. Oleh karena itu, pemerintah perlu kiranya untuk melakukan deregulasi terhadap faktor-faktor yang dapat menghambat produksi komoditi tersebut.

Teori Heckhser Ohlin (H-O)

Teori klasik Ricardo tersebut selanjutnya dikembangkan oleh Heckscher- Ohlin (H-O) dengan The Theory of Factor Proportions (1949 – 1977). Model H-O mengatakan bahwa walaupun tingkat teknologi yang dimiliki sama, perdagangan internasional akan tetap terjadi bila ada perbedaan kepemilikan faktor produksi (factor endowment) diantara masing-masing negara. Satu negara dengan kepemilikan kapital berlebih akan berspesialisasi dan mengekspor komoditi padat kapital (capital-intensive goods), dan sebaliknya negara dengan kepemilikan tenaga kerja berlebih akan memproduksi dan mengekspor komoditi padat tenaga kerja (labor-intensive goods). Perbedaan opportunity cost tersebut dapat menimbulkan terjadinya perdagangan internasional. Negara-negara yang memiliki faktor produksi relatif banyak/murah dalam memproduksinya akan melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barangnya. Sebaliknya, masing-masing negara akan mengimpor barang tertentu jika negara tersebut memiliki faktor produksi yang relatif langka/mahal dalam memproduksinya (Salvatore, 1997).

Teori H-O disebut juga teori faktor proporsional (factor proportion) atau teori ketersediaan faktor (factor endowment). Menurut teori ini perdagangan internasional terutama digerakkan oleh perbedaan sumber daya yang melimpah di dalam suatu negara. Teori ini menekankan pada saling keterkaitan antara perbedaan proporsi faktor-faktor produksi antar negara dan perbedaan proporsi penggunaannya dalam memproduksi barang-barang, dengan cara pandang dari sisi penawaran.

Teori Perdagangan Internasional Pasca Teori H-O

Perkembangan berikutnya dalam teori perdagangan internasional adalah munculnya teori oleh seorang ekonom Swedia bernama Staffan Burenstam Linder pada tahun 1961 yang disebut The Linder Theory. Perbedaan yang mencolok bila dibandingkan dengan teori H-O adalah bahwa Linder melihat komposisi perdagangan internasional dari sisi permintaan (demand side) dan hanya menekankan pada barang-barang manufaktur. Teori ini menyatakan tetap terjadi antar negara yang memiliki keunggulan komparatif yang relatif sama, namun perdagangan intra industri lebih didasarkan pada diferensiasi produk dan economies

of scale serta mencakup perdagangan dua arah dalam industri yang sama. Pertukaran

(29)

15

industri (intra industry trade). Sedangkan pertukaran antara produk manufaktur dan makanan disebut perdagangan antar industri (inter industry trade).

Perdagangan intra industri menjadi penting ketika hambatan tarif dan non tarif dihapuskan pada arus perdagangan antar negara. Perdagangan intra industri memberikan keuntungan (gain) yang lebih besar, diantaranya adalah konsumen mempunyai lebih banyak pilihan dengan adanya differensiasi produk dan harga yang lebih murah karena meningkatnya economies of scale. Perdagangan intra industri dimungkinkan karena adanya skala ekonomis yang berarti biaya produksi rata-rata menjadi lebih murah. Dengan demikian, output dapat lebih tinggi dibandingkan bila tidak ada perdagangan intra industri. Skala ekonomis dan spesialisasi dalam suatu industri tertentu akan mendorong inovasi dalam perusahaan. Inovasi akan membuat biaya produksi menjadi lebih rendah.

Teori Permintaan dan Penawaran

Secara teoritis ekspor suatu barang dipengaruhi oleh suatu penawaran

(supply) dan permintaan (demand). Dalam teori perdagangan internasional disebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor dapat dilihat dari sisi permintaan dan sisi penawaran (Krugman dan Obsfield, 2000; Salvator , 2004). Dari sisi permintaan, ekspor dipengaruhi oleh harga ekspor, nilai tukar riil, pendapatan dunia dan kebijakan devaluasi. Sedangkan dari sisi penawaran, ekspor dipengaruhi oleh harga ekspor, harga dometik, nilai tukar riil, kapasitas produksi yang bisa diproksi melalui investasi , impor bahan baku dan kebijakan deregulasi.

Ekspor merupakan bentuk yang paling sederhana dalam system perdagangan internasional dan merupakan suatu srategi dalam memasarkan produksi ke luar negeri. Faktor-faktor seperti pendapatan negara yang dituju dan populasi penduduk merupakan dasar pertimbangan dalam pengembangan ekspor (Kotler dan Amstrong, 1996). Penjelasan lebih lanjut mengenai variabel-variabel yang biasanya digunakan dalam menganalisis permintaan ekspor impor pada bagian berikut.

Nilai Ekspor dan Impor

Ekspor adalah proses transportasi atau menjual barang atau komoditi dari suatu negara ke negara lain. Ekspor terjadi terutama karena kebutuhan akan barang dan jasa sudah tercukupi di dalam negeri atau karena barang dan jasa tersebut memiliki daya saing baik dalam harga maupun mutu dengan produk sejenis di pasar internasional. Impor adalah kondisi sebaliknya, dimana permintaan lebih besar dari pada ketersediaan suatu barang, sehingga membeli dari negara lain. Dengan demikian ekspor merupakan komponen penting dalam pertumbuhan perekonomian suatu negara dimana memberikan pemasukan devisa bagi negara yang bersangkutan yang kemudian akan digunakan untuk membiayai kebutuhan impor maupun pembiayaan program pembangunan di dalam negeri.

Gross Domestic Product (GDP)

(30)

16

ukuran mengenai besarnya kemampuan suatu negara untuk menghasilkan barang dan jasa dalam suatu tahun tertentu (Blanchard, 2004).

Aliran perdagangan bilateral antar dua negara dapat diasumsikan proporsional dengan tingkat GDP. Hal ini berdasarkan fakta bahwa semakin tinggi pendapatan ekonomi memiliki kecenderungan adanya diferensiasi produk dan spesialisasi sehingga perdagangan lebih banyak dilakukan (Fujimura dan Edmons 2006). Menurut Bergstrand (1989), dalam mengestimasi ekspor perdagangan bilateral untuk produk yang spesifik maka variabel GDP per kapita digunakan dalam model gravity.

Semakin besar GDP suatu negara maka semakin besar jenis barang yang ditawarkan dalam perdagangan sehingga volume dalam perdagangan bilateral diasumsikan akan semakin besar. Dipilihnya GDP per kapita sebagai variabel independen yang terpisah dari GDP digunakan sebagai indikator tingkat perkembangan. Permintaan impor negara berkembang lebih bervariasi dan biasanya terkait dengan barang-barang superior.

Perbedaaan GDP per kapita antara negara eksportir dan negara importir menjadi salah satu variabel yang digunakan untuk menjelaskan aliran perdagangan. Variabel perbedaaan GDP per kapita tersebut untuk melihat hipotesis Heckscher-Ohlin atau hipotesis Linder yang lebih mendominasi dalam perdagangan antara negara (Rahman 2009 ; Zarzoso dan Lehman 2003). Hipotesis Heckscher-Ohlin

Nilai Tukar

Kurs (exchange rate) diantara dua negara adalah harga dimana penduduk kedua negara saling melakukan perdagangan. Para ekonom membedakan antara dua kurs, yaitu kurs nominal dan kurs riil. Jika kita mengacu pada kurs diantara dua negara maka biasanya kita mengartikan kurs nominal dengan definisi sebagai harga relatif dari mata uang negara (Mankiw 2000). Sedangkan nilai tukar riil adalah nilai tukar nominal yang sudah dikoreksi dengan harga relatif yaitu harga-harga di dalam negeri dibandingkan dengan harga-harga-harga-harga di luar negeri. Peningkatan atau perbaikan nilai tukar perdagangan disuatu negara biasanya dianggap menguntungkan bagi negara itu sendiri, karena harga yang diperolehnya dari ekspornya akan meningkat secara relatif terhadap harga-harga yang harus dibayarnya untuk memperoleh produk-produk impor (Salvatore 1997).

Gambar 3 Ekspansi moneter dalam sistem nilai tukar mengambang

Sumber : Mankiw 2000

(31)

17 maupun impor. Pergeseran kurva dari LM1 ke LM2 adalah kebijakan moneter dengan meningkatnya money supply, yang mengakibatkan menurunkan nilai tukar (depresiasi). Jika kurs mengalami depresiasi, yaitu nilai mata uang dalam negeri secara relatif terhadap mata uang asing menurun, volume ekspor akan menaik. Dengan kata lain, apabila nilai kurs dollar menguat, maka volume ekspor juga akan meningkat (Sukirno, 2004).

Kebijakan Perdagangan Internasional

Menurut Hady (2000), kebijakan perdagangan internasional diartikan sebagai tindakan dan peraturan yang dijalankan suatu negara, baik secara langsung dan tidak langsung, yang akan mempengaruhi struktur, komposisi, dan arah perdagangan internasional dari/ke negara tersebut. Peran dan kebijakan ekonomi negara-negara maju dalam perekonomian dunia sangat berpengaruh terhadap perkembangan perekonomian negara-negara berkembang. Hal ini disebabkan negara-negara maju dan negara industry utama menjadi pasar tujuan ekspor komoditi bagi negara berkembang termasuk Indonesia. Kebijakan ekonomi negara maju akan sangat berdampak terhadap ekspor negara berkembang. Dalam Todaro (2000) hambatan utama perkembangan ekspor negara berkembang, baik komoditi primer maupun produk manufaktur adalah adanya berbagai macam hambatan perdagangan yang dikenakan oleh pemerintahan negara maju terhadap barang-barang ekspor utama negara berkembang.

Adapun kebijakan perdagangan internasional diantaranya: 1. Kebijakan ekspor

Kebijakan perdagangan internasional di bidang ekspor dikelompokkan menjadi dua macam kebijakan, yaitu:

1) Kebijakan ekspor dalam negeri, berupa kebijakan perpajakan, fasilitas kredit perbankan yang murah, pemberian subsidi ekspor, dan sebagainya. 2) Kebijakan ekspor luar negeri, berupa pembentukan International Trade

Promotion Center (ITPC), pemanfaatan General System of Preferency

(GSP), menjadi anggota Commodity Association of Producer seperti OPEC, dan sebagainya.

2. Kebijakan Impor

Kebijakan perdagangan internasional di bidang impor dikelompokkan menjadi dua macam kebijakan, yaitu:

1) Kebijakan tariff barrier.

Kebijakan ini berupa pembebasan bea masuk/tarif rendah antara 0% - 5% untuk bahan kebutuhan pokok vital seperti beras, mesin-mesin vital; tarif sedang antara > 5% - 20% untuk barang setengah jadi dan barang belum cukup diproduksi di dalam negeri; tarif tinggi diatas 20% untuk barang-barang mewah. Konsep tarif bea masuk adalah suatu pembebanan terhadap barang impor berdasarkan klasifikasi barang yang disusun oleh InternationalConvention in the Harmonized Commodity and Coding System dari World Custom Organization (WCO).

Tarif bea masuk merupakan salah satu instrument fiskal yang mengatur: a. Penetapan besaran pembebanan tarif bea masuk impor berdasarkan

(32)

18

b. Pemberlakuan tata niaga impor yang mencakup larangan impor dan atau pemberian fasilitas khusus kepada importir tertentu yang dapat mengimpor barang yang diatur tata niaganya.

Efek kebijakan ini terlihat langsung pada kenaikan harga barang. Dengan pengenaan bea masuk yang besar, pendapatan negara akan meningkat sekaligus membatasi permintaan konsumen terhadap produk impor dan mendorong konsumen menggunakan produk domestik. Dampak dari kebijakan tarif dapat digambarkan pada Gambar 4. Dx adalah kurva permintaan dan Sx melambangkan kurva penawaran komoditi X. Jika negara A sama sekali tidak mengadakan hubungan perdagangan internasional maka negara A akan mengalami keseimbangan di titik E yang merupakan titik perpotongan antara Dx dan Sx. Selanjutnya jika negara A melakukan hubungan perdagangan internasional maka ia akan menikmati harga yang jauh lebih murah (P1) sehingga konsumsi meningkat (X4). Kemudian jika negara A memberlakukan tarif ad valorem yang menyebabkan harga yang harus dipikul konsumen A meningkat (P2) dan akan menurunkan konsumsi penduduknya (X3) sedangkan dari sisi produksi dari dalam negeri akan meningkat dari X1 menjadi X2. Pemerintah mendapatkan pemasukan sebesar AB + CD (Salvatore, 1997).

Gambar 4 Dampak pemberlakuan tarif

Sumber : Salvatore 1997

2) Kebijakan non tariff barrier (NTB)

Sesuai dengan kesepakatan WTO (World Trade Organization) yang tertuang dalam GATT (General Agreement on Tariff and Trade) pada tahun 1994 dimana negara anggota WTO menyetujui dilaksanakannya perdagangan bebas untuk negara maju dimulai pada tahun 2010 dan negara berkembang tahun 2020. Hambatan non tariff adalah campur tangan pemerintah dalam rangka melindungi kepentingan ekonomi nasional, industri dalam negeri, dan lapangan kerja serta menjaga stabilitas ekonomi nasional. Hambatan non tarif lebih sulit untuk diprediksi karena bisa mengandung rintangan dengan angka yang besar selain tarif seperti kebijakan, peraturan, prosedur yang mengubah perdagangan.

NTB terdiri atas beberapa bagian yaitu:

(33)

19 kebudayaan, perizinan impor/import licenses; embargo; dan hambatan pemasaran seperti VER (Voluntary Export Restraint), OMA (Orderly Marketing Agreement).

b. Peraturan Bea Cukai (Custom Administration Rules), terdiri dari tatalaksana impor tertentu; penetapan harga pabean; penetapan

forres rate (kurs valas) dan pengawasan devisa; consultan formalities; packaging/labelling regulation; documentation hended; quality and testing standard; pungutan administrasi (fees); dan tariff classification.

c. Partisipasi pemerintah, terdiri dari kebijakan pengadaan pemerintah; subsidi dan insentif ekspor; countervailing duties;

domestic assistance programs; dan trade-diverting.

d. Import charges, terdiri dari import deposits ; supplementary duties

; dan variable levies. berupa pembatasan spesifik seperti larangan impor secara mutlak, pembatasan impor atau quota system; peraturan bea cukai; government participation; import charges.

Tinjauan Empiris

Haider et al. (2011) dengan judul Estimation of Import and Export Demand Functions Using Bilateral Trade Data: The Case of Pakistan. Studi ini untuk melihat dinamika perdagangan Pakistan dari tahun 1973-2008 dengan mengestimasi elastistas ekspor dan impor dalam perdagangan Pakistan dengan mitra dagangnya. Metode yang digunakan adalah metode regresi OLS. Hasil regresi menunjukkan bahwa pendapatan (GDP) dan nilai tukar adalah faktor penentu dalam ekspor dan impor. Ekspor Pakistan terkointegrasi dengan Jepang dan Amerika, sementara impornya terkointegrasi dengan UAE dan Amerika. Untuk ekspor dan impor terkointegrasi dengan Banglades dan Sri Lanka, tetapi tidak dengan India dan China.

Penelitian yang menganalisis feasibility study Free Trade Agreement

(FTA) India dan Jepang yang dilakukan oleh Kalirajan dan Bhattacarya (2007) yaitu dengan cara mengukur trade intensity indices untuk mengetahui dampak FTA dengan berbagai hambatan perdagangan dan simulasi dampak FTA terhadap arus perdagangan India dan Jepang dengan analisis gravity model. Hasil analisis menunjukkan bahwa GDP, populasi dan nilai tukar berpengaruh positif sedangkan jarak dan tarif berpengaruh negatif terhadap perdagangan bilateral India-Japan. Kedua negara dapat meningkatkan ekspor mereka sekitar 36-40 persen dengan menghilangkan hambatan perdagangan. Hasil secara keseluruhan bahwa India akan mengalami kerugian pada saat short run. Setiap pengurangan tarif di pasar India secara signifikan akan meningkatkan ekspor Jepang, karena India masih menerapkan tingkat tarif yang tinggi.

(34)

20

jarak, populasi mitra dagang, FDI kedua negara perdagangan dan pengiriman uang dari mitra dagang.

Atmo (2009) menganalisis hubungan perdagangan bilateral Indonesia-India dengan alat analisis estimasi OLS dan data time series tahun 1980-2006 setelah perjanjian kerjasama antara ASEAN dan India pada tahun 2001. Dimana variabel GDP berpengaruh positif untuk ekspor dan impor kedua negara, nilai tukar positif untuk ekspor dan negatif untuk impor, tarif berpengaruh negatif untuk pertumbuhan perdagangan Indonesia dan India, variabel kerjasama diantara kedua negara berpengaruh negatif untuk ekspor dan positif untuk impor. Hasil penelitian Yuniarti (2007) menyatakan determinan perdagangan global Indonesia dengan sampel 10 mitra dagang menunjukkan pendapatan nasional mitra dagang baik eksportir maupun importir, populasi importir, dan kesamaan ukuran ekonomi berpengaruh positif terhadap perdagangan bilateral. Jarak mitra dagang berpengaruh negatif dan perbedaan faktor endowment dan keanggotaan dalam perdagangan tidak berpengaruh terhadap perdagangan bilateral.

Siwi (2013) meneliti hubungan perdagangan bilateral Indonesia-China dalam kerangka ACFTA dimana berdasarkan pada neraca perdagangan yang menunjukan defisit untuk Indonesia dan anggapan membawa dampak negatif bagi perekonomian Indonesia, namun tetap dilaksanakan Indonesia. Kesimpulan penelitian ACFTA menciptakan interaksi perdagangan bebas antara Indonesia dengan China (bilateral free trade) dengan prinsip perdagangan bebas yang semakin memudahkan kegiatan ekspor impor kedua negara dengan pemberlakuan tarif khusus mengenai ekspor dan impor barang yang melintasi masing-masing negara.

Khan et al. (2013) melakukan analisis empiris perdagangan bilateral Pakistan menggunakan gravity model. Hasil yang didapat GDP dan GDP Per Kapita berpengaruh positif terhadap volume perdagangan, tetapi jarak dan variabel dummy untuk kesamaan budaya menunjukkan hubungan negatif terhadap volume perdagangan. Hasil penelitian juga menemukan bahwa Jepang, Turki, Malaysia, India, dan Iran mempunyai potensi perdagangan yang besar dengan Pakistan.

Dalam penelitian Cheong et al. (2013) terkait efek kebijakan perdagangan tarif dan non tarif dalam kerangka kerjasama Preferential Trade Agreement (PTA) dimana menyatakan bahwa dampak pengurangan tarif dan non tarif akan meningkatkan margin negara anggota dan margin produk perdagangannya. Hal ini sejalan dengan tujuan awal dibentuknya PTA yakni mengurangi tarif. Margin perdagangan lebih cepat direspon dengan penurunan tarif, karena lebih mudah dan jelas diterapkan daripada non tarif. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa non-tarif mempunyai efek yang berbeda karena posisi tawar yang berbeda untuk tiap negara.

Disdier et al. (2008) meneliti dampak regulasi dari perdagangan sektor pertanian terkait dengan hambatan non tarif SPS dan TBT dengan menggunakan model Gravity. Hasilnya menyimpulkan bahwa SPS dan TBT secara signifikan mengurangi ekspor negara-negara berkembang ke negara-negara OECD tapi tidak mempengaruhi arus perdagangan antara negara anggota OECD. Terkait hambatan non-tarif, Boza (2013) mengkonfirmasi bahwa seiring diturunkannya hambatan tarif, namun meningkatkan hambatan non-tarif, yakni technical barriers to trade

Gambar

Tabel 1 Pangsa pasar ekspor Indonesia dalam perdagangan internasional tahun   2009-2013
Gambar 1 Negara tujuan ekspor non-migas Indonesia tahun 2014  Sumber: Kementerian Perdagangan
Tabel 2 Kontribusi negara-negara kawasan Amerika Selatan terhadap total ekspor Indonesia tahun 2009-2013 (%)
Tabel 3  Perbandingan makroekonomi Indonesia-Chili tahun 2013
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil buku dan beberapa skripsi di atas, dapat diketahui yang menjadi perbandingan dengan penelitian saya adalah perkembangan fisik Kota dari tahun 1993-2018,

Guru memberikan pengayaan bagi siswa yang telah mencapai kompetensi sebelum waktu yang telah ditetapkan dengan memberikan beberapa kegiatan terkait masalah

Mereka memahami bahwa pola umum di Kota Singaraja adalah pola egaliter yang ditandai oleh penggunaan kode biasa , tetapi ada juga sekelompok penutur tertentu

Dengan mengucapkan syukur alhamdulillah atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah dan inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

Apakah gaya hidup (lifestyle) berpengaruh secara parsial dilihat dari Aktivitas, Minat, Opini terhadap komitmen pelanggan dalam menggunakan jasa fitnes pada The Body Art

Keselamatan dan kesehatan kerja adalah suatu program yang dibuat bagi pekerja/buruh maupun pengusaha sebagaiupaya pencegahan (preventif) bagi timbulnya kecelakaan

Sesuai yang disampaikan oleh Bernard (Sadirman, 2010: 76), minat tidak secara spontan atau tiba-tiba, melainkan timbul akibat partisipasi, pengalaman dan kebiasaan pada

Hasil Penelitian : Dari hasil uji hipotesis menggunakan uji korelasi spearman rank pada tingkat kepercayaan 99% (α = 0,01), dimana nilai rho(correlation coeffisient) sebesar