• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian respon hidrologi akibat perubahan penggunaan lahan pada DAS Separi menggunakan model HEC HMS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian respon hidrologi akibat perubahan penggunaan lahan pada DAS Separi menggunakan model HEC HMS"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

MENGGUNAKAN MODEL HEC-HMS

NUR HARTANTO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Respon Hidrologi Akibat Perubahan Penggunaan Lahan pada DAS Separi Menggunakan Model HEC-HMS adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis.

Bogor, November 2009

(3)

NUR HARTANTO. Study of Hydrological Response as Result of Land Use Change on Separi Watershed using HEC-HMS Model. Supervised by DWI PUTRO TEJO BASKORO as chairman and SURIA DARMA TARIGAN as member of advisory committe.

The research aimed to analyse effect of land use change on hydrological response on Separi Watershed and to determine the best land use in reduc ing runoff. The research was carried out at Separi Watershed, Kutai Kartanegara Regency, East Kalimantan Province. HEC-HMS model was used to predict runofff hydrograph. Hydrograph Model was calibrated using seven rainfall-hydrograph event and data set in 2007. High Nush-Suctliffe coefficient was obtained with values of 0.93 for time to peak, 0.95 for peak flow and 0.84 for runoff volume, respectively. Three different time periods of land use were used to assess the effect of land use change on hydrological response. Model simulation indicated that defforestation of 20 699 ha increased peak flow 49.3 % and runoff volume 52.0%, respectively. Three scenarios of land use were established to propose Separi Watershed management. All those scenarios produced peak flow and runoff volume smaller than existing land use. The best land use scenario for Separi Watershed was scenario based on land cappability. The increase of forest area and agrotechnology improvement in this scenario could reduce the higest peak flow and runoff volume than the other scenario.

(4)

NUR HARTANTO. Kajian Respon Hidrologi akibat Perubahan Penggunaan Lahan pada DAS Separi Menggunakan Model HEC-HMS. Dibimbing oleh DWI PUTRO TEJO BASKORO sebagai ketua, dan SURIA DARMA TARIGAN sebagai anggota komisi pembimbing.

Maraknya penebangan hutan di DAS Separi antara tahun 1991-1998 telah menyebabkan berkurangnya areal hutan seluas 12 330 ha. Sebagian besar areal hutan tersebut berubah menjadi semak belukar dan tanah terbuka yang sampai saat ini belum dimanfaatkan. Alih fungsi hutan yang sangat besar di DAS Separi telah menyebabkan perubahan respon hidrologi yang ditandai dengan meningkatnya intensitas banjir. Oleh karena itu, perbaikan kondisi DAS sangat diperlukan dengan pengelolaan DAS yang sesuai. Penilaian secara cepat, akurat dan menyeluruh terhadap respon hidrologi DAS akibat perubahan penggunaan lahan akan sangat membantu dalam pengelolaan DAS, khususnya dalam perencanaan penggunaan lahan pada kawasan DAS sehingga dampak negatif yang ditimbulkan dapat dikurangi. Tujuan penelitian ini adalah (1) menganalisa pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap respon hidrologi DAS Separi menggunakan model HEC-HMS (2) Mentapkan skenario penggunaan lahan di DAS Separi yang dapat menurunkan aliran permukaan.

(5)

0.93, 0.95 dan 0.84. Nilai koefisien efisiensi yang lebih besar dari 0.7 menunjukkan bahwa parameter yang digunakan dalam model cukup akurat untuk memprediksi aliran permukaan di DAS Separi.

Pola perubahan penggunaan lahan di DAS Separi antara tahun 1991-2001 dan 2001-2007 mengarah kepada alih fungsi hutan menjadi semak belukar. Hasil keluaran model menunjukkan bahwa penurunan luas hutan dari 21 768 ha pada tahun 1991 menjadi 1 069 ha pada tahun 2007 telah meningkatkan debit puncak dan koefisien aliran permukaan masing- masing sebesar 49.3 dan 52.0%.

(6)

@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

MENGGUNAKAN MODEL HEC-HMS

NUR HARTANTO

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Judul Tesis : Kajian Respon Hidrologi akibat Perubahan Penggunaan Lahan pada DAS Separi Menggunakan Model HEC-HMS Nama : Nur Hartanto

NRP : A155070011

Program Studi : Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, M.Sc Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana Daerah Aliran Sungai Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

(9)

Puji Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis ini dapat terselesaikan. Judul tesis ini adalah Kajian Respon Hidrologi akibat Perubahan Penggunaan Lahan pada DAS Separi Menggunakan Model HEC-HMS.

Terimakasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc. selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, M.Sc. selaku anggota komisi pembimbing atas kesediannya memberikan bimbingan pada pelaksanaan dan penulisan tesis ini. Terimakasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, M.Sc. dan bapak/ibu Dosen pada Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terimakasih penulis ucapkan kepada ayahnda H RM. Sumbono, SE., ibunda Hj. Nurul AS, istriku tercinta Hj. Nia Isnani, S.Kom, serta seluruh keluarga atas kesabaran dan doanya kepada penulis.

Semoga hasil penelitian ini bermanfaat.

Bogor, November 2009

(10)

Penulis dilahirkan di Balikpapan Provinsi Kalimantan Timur pada tanggal 14 April 1982 dari ayah RM. Sumbono dan ibu Nurul AS. Penulis merupakan putra bungsu dari tiga bersaudara.

Tahun 2000 penulis lulus dari SMA N 1 Balikpapan. Kemudian melanjutkan pendidikan strata 1 di Program Studi Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Mulawarman dan lulus tahun 2004.

(11)

Halaman

2.3. Perubahan Penggunaan Lahan ... 7

2.4. Model HEC_HMS ... 9

2.5. Bilangan Kurva Aliran Permukaan ... 9

METODOLOGI ... 12

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 12

3.2. Alat dan Bahan ………. 12

3.3. Metode Penelitian ……… 12

3.3.1. Pengumpulan Data ……….. 12

3.3.2. Pembangkitan Parameter Model ………. 14

3.3.3. Pemisahan Hidrograf Aliran ………... 17

3.3.4. Kalibrasi ………... 19

3.3.5. Penyusunan Skenario Penggunaan Lahan ………... 20

3.3.6. Simulasi Model ………... 22

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN ………... 23

4.1. Iklim ... 23

4.2. Karakteristik Morfologi DAS ... 23

4.3. Topografi ... 25

4.4. Tanah ... 26

4.5. Penggunaan Lahan ... 27

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30

5.1. Hidrograf Aliran Model ... 30

5.1.1. Bilangan Kurva Aliran Permukaan ... 30

5.1.2. Waktu Tenggang dan Koefisien Puncak ... 33

5.1.3. Geometeri dan Kekasaran Saluran ... 34

5.1.4. Kalibrasi ... 35

(12)

Hidrologi ... ... 42

5.4. Skenario Penggunaan Lahan ... 45

5.4.1. Proyeksi Penggunaan Lahan Tahun 2013 (Skenario 1)... 45

5.4.2. Kawasan Lindung (Skenario 2) ... 46

5.4.3. Kelas Kemampuan Lahan (Skenario 3) ... 48

5.5. Penggunaan Lahan Terbaik yang Dapat Menurunkan Aliran Permukaan ... 52

KESIMPULAN DAN SARAN... 56

6.1. Kesimpulan ... 56

6.2. Saran ... 56

DAFTAR PUSTAKA ... 57

(13)

Tabel Halaman

1. Alih fungsi penggunaan lahan antara tahun 1991-1998 di DAS Separi….. 3

2. Kriteria klasifikasi kemampuan lahan ... 22

3. Luas kelas lereng untuk masing- masing Sub DAS di DAS Separi ... 25

4. Luas penggunaan lahan pada masing- masing Sub DAS di DAS Separi ... 28

5. Luas Sub DAS, bilangan kurva rata-rata dan abstraksi awal pada AMC II ... 33

6. Nilai L, Lc, S dan Ct untuk masing- masing Sub DAS pada DAS Separi ... 34

7. Nilai Tp dan Cp untuk masing- masing Sub DAS pada DAS Separi ... 34

8. Data Saluran pada masing- masing jangkauan di DAS Separi ... 35

9. Kejadian hujan dan karakterisitk hidrograf pengukuran ... 36

10.Parameter hidrograf hasil model untuk masing- masing kejadian hujan... 36

11.Perbandingan parameter hidrograf aliran permukaan antara model dengan hasil pengukuran ………. 37

12.Perubahan penggunaan lahan DAS Separi tahun 1991/2001 dan 2001/2007 ... 41

13.Bilangan kur va pada penggunaan lahan tahun 1991, 2001 dan 2007... 43

14.Luas penggunaan lahan skenario 1 ... ... 45

15.Distribusi penggunaan lahan eksisting pada kawasan non- lindung dan lindung ... 47

16.Luas penggunaan lahan skenario 2 ... 48

17.Luas penggunaan lahan skenario 3 ... 52

(14)

Gambar Halaman

1. Peta Lokasi DAS Separi ... 13

2. Diagram Alir Penelitian ……… 14

3. Skema Element Network model HEC-HMS untuk DAS Separi... 18

4. Cara Pemisahan Hidrograf Metode Garis Lurus ... 19

5. Kriteria kawasan lindung ... 21

6. Peta DAS Separi ... 24

7. Peta Kelas Lereng DAS Separi ... 26

8. Peta Tanah DAS Separi ... 27

9. Peta Penggunaan Lahan DAS Separi Tahun 2007... 28

10.Peta Bilangan Kurva Standar SCS pada AMC II ... 32

11.Grafik Hubungan antara Parameter Hasil Prediksi dengan Pengukuran pada Masing-Masing Kejadian Hujan ... 38

12.Penggunaan lahan DAS Separi Tahun 1991, 2001 dan 2007 ... 40

13.Perbandingan Hidrograf Aliran Permukaan Model antara Penggunaan Lahan Tahun 1991, 2001 dan 2007 Menggunakan Input Hujan Tanggal 6 Maret 2007... 44

(15)

Lampiran Halaman

1. Bilangan Kurva (CN) Aliran Permukaan untuk Kondisi Berbagai Komplek Tanah-Penutup (Kondisi Kandungan Air Tanah Sebelumnya:

II Dan Ia =0,2S) ... 61

2. Nilai Bilangan Kurva Untuk Kondisi Kandungan Air Tanah Sebelumnya I dan III ………... 63

3. Curah Hujan Untuk Ketiga Kondisi Air Tanah Sebelumnya ……… 63

4. Parameter Kekesaran Saluran Manning untuk Saluran Alami (n) .………… 64

5. Kriteria Kemampuan Lahan ... 65

6. Cakupan Wilayah untuk Masing-Masing Stasiun Hujan Menggunakan Metode Poligon Thiessen ... 67

7. Legenda Peta Tanah dan Karakterisitik Satuan Peta Tanah di DAS Separi ... 68

8. Peta Kelompok Hidrologi Tanah DAS Separi ………. …. 70

9. Perbandingan Hidrograf Hasil Pengukuran dan Keluaran Model Tanggal 6 Maret 2007 ... 71

10.Peta Penggunaan Lahan Skenario 1 ... 72

11.Peta Kawasan Lindung DAS Separi ... 73

12.Peta Penggunaan Lahan Skenario 2 ... 74

13.Peta Sub Kelas Kemampuan Lahan ... ... 75

14.Keterangan Peta Sub Kelas Kemampuan Lahan ... 76

15.Rekomendasi penggunaan dan pengelolaan lahan di DAS Separi Berdasarkan evaluasi kesesuaian penggunaan lahan dengan kelas Kemampuan lahan ... 77

16.Peta Penggunaan Lahan Skenario 3 ... 79

(16)

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembangunan berkelanjutan hanya bisa tercapai apabila kebutuhan manusia dan kapasitas sumberdaya alam dapat seimbang. Adanya pertambahan penduduk menyebabkan kebutuhan bahan pangan dan energi meningkat sehingga memperbesar tekanan terhadap sumberdaya alam khusunya sumberdaya lahan. Persaingan/meningkatnya penggunaan lahan baik untuk keperluan produksi pertanian maupun keperluan lainnya memerlukan pemikiran seksama dalam mengambil keputusan pemanfaatan yang paling menguntungkan dari sumberdaya lahan yang terbatas. Selain itu, dibutuhkan juga tindakan konservasi untuk menjaga kelestarian sumberdaya lahan sehingga dapat digunakan secara berkelanjutan (Sitorus, 2004).

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu usaha untuk mengatur sumberdaya lahan tanpa menyebabkan terjadinya kerusakan DAS (Noy, 2005). Pengelolaan DAS harus dilakukan secara terintegrasi antara berbagai sektor yang berkepentingan/terkait, agar tidak terjadi konflik kepentingan pemanfaatan sumberdaya lahan yang ada di dalam DAS. Selain itu, pengelolaan DAS juga harus dilakukan secara menyeluruh, baik di kawasan hulu, tengah dan hilir. Hal ini penting, mengingat adanya keterkaitan kawasan tersebut dalam suatu sistem hidrologi.

(17)

menyebabkan berkurangnya cadangan air tanah yang cukup besar khususnya pada musim kemarau sehingga menimbulkan bencana kekeringan. Meningkatnya aliran permukaan biasanya diikuti oleh peningkatan jumlah tanah yang tererosi. Hal ini akan meningkatkan jumlah beban sedimentasi pada badan perairan seperti saluran sungai, waduk, dan danau. Peningkatan beban sedimen di bagian hilir akan menyebabkan banjir, menurunan kualitas air dan mengganggu keberlangsungan habitat perairan seperti habitat bentos, nekton dan plankton (McColl & Agget, 2007).

Penilaian secara cepat, akurat dan menyeluruh terhadap respon hidrologi DAS akibat perubahan penggunaan lahan akan sangat membantu dalam pengelolaan DAS. Model komputer dapat digunakan sebagai alat bantu untuk penilaian secara cepat dan cermat terhadap perubahan komponen-komponen yang mempengaruhi respon hidrologi DAS (Sadeghi & Mahdavi, 2004). Salah satu model yang dapat digunakan untuk mensimulasikan aliran permukaan sebagai respon hujan tunggal adalah model HEC-HMS (Hydrologic Engineering Center-Hydrologic Modeling System). Model ini terbukti cukup akurat dalam memprediksi aliran permukaan (Knebl et al., 2005; Garcia et al., 2008).

1.2. Permasalahan

DAS Separi memiliki luas 23 351 ha. Selama kurun waktu tujuh tahun (1991-1998) telah terjadi alih fungsi hutan seluas 12 230 ha (Tabel 1). Maraknya penebangan hutan untuk pegambilan kayu alam telah menyebabkan hutan menjadi gundul. Tidak adanya tindakan reboisasi pada lahan tersebut, menyebabkan hutan berubah menjadi lahan terbuka dan semak belukar. Hal ini nampak dari peningkatan lahan semak belukar dan tanah terbuka yang cukup tinggi. Sampai saat ini, lahan semak belukar dan tanah terbuka tidak dimanfaatkan bahkan cenderung dibiarkan begitu saja.

(18)

hidrologi dapat dilihat dari aspek hasil air total dan daya sangga DAS terhadap debit puncak (pencegahan banjir) pada berbagai skala waktu. Pengelolaan DAS seringkali dihubungkan dengan tingkat penutupan lahan oleh hutan, dengan asumsi bahwa ‘reforestasi’ atau ‘reboisasi’ dapat mengembalikan dampak negatif dari terjadinya deforestasi (penggundulan hutan).

Tabel 1. Alih fungsi penggunaan lahan antara tahun 1991-1998 di DAS Separi.

No Jenis penggunaan lahan Luas (ha)

1991* 1998**

* : sumber peta Rupa Bumi Indonesia tahun 1991. **: sumber Hakim (2008).

Kajian mengenai pengaruh alih fungsi lahan terhadap respon hidrologi DAS perlu dilakukan mengingat alih fungsi lahan di DAS Separi yang cenderung mengarah kepada terjadinya kerusakan DAS. Model hidrologi yang dapat memprediksi pengaruh alih fungsi lahan terhadap respon hidrologi dapat digunakan untuk ekstrapolasi berbagai skenario sistem penggunaan lahan yang akan datang. Sehingga skenario yang dihasilkan dapat digunakan untuk pengelolaan DAS Separi yang lebih baik. Mengingat model HEC-HMS hanya dapat mensimulasikan aliran permukaan, maka pada penelitian ini respon hidrologi yang dikaji hanya berupa aliran permukaan.

1.3. Tujuan

(19)

1.4. Manfaat

(20)

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Daerah Aliran Sungai

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu daerah tertentu yang bentuk dan sifat alamnya sedemikian rupa sehingga merupakan kesatuan dengan anak-anak sungainya yang melalui daerah tersebut dalam fungsinya untuk menampung air yang berasal dari curah hujan dan sumber air lainnya dan kemudian mengalirkannya melalui sungai utama atau outlet (Departemen Kehutanan, 2001). Sedangkan menurut Sinukaban (2007), DAS adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas-batas topografi secara alami sedemikian rupa sehingga setiap air hujan yang jatuh dalam DAS tersebut akan mengalir melalui titik tertentu (titik pengukuran di sungai) dalam DAS tersebut. Pengertian DAS yang terakhir menggambarkan DAS dapat memiliki luas yang bervariasi mulai dari puluhan meter persegi sampai ratusan ribu hektar tergantung dimana titik pengukuran ditempatkan.

Dalam mempelajari sistem DAS, suatu DAS biasanya dibagi menjadi daerah hulu, tengah, dan hilir. Daerah-daerah tersebut me mpunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi. Daerah hulu merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap seluruh DAS khususnya untuk mengatur tata air. Apabila ada kegiatan di bagian hulu suatu DAS, maka kegiatan tersebut dapat mempengaruhi aliran air di bagian hilir baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Oleh karena itu, perencanaan daerah hulu seringkali menjadi fokus perencaanaan untuk pengelolaan DAS (Asdak, 1995).

(21)

berkelanjutan sehingga tidak membahayakan lingkungan. Menurut Sinukaban (2007), salah satu indikator keberhasilan pengelolaan DAS adalah erosi yang terjadi lebih kecil dari erosi yang diperbolehkan. Selain itu, output DAS harus mampu menjamin distribusi air yang merata sepanjang tahun dengan hasil air (water yield) yang cukup tinggi.

2.2. Sistem Hidrologi DAS

DAS dapat dipandang sebagai sebuah sistem hidrologi, dalam artian berfungsi mengalihragamkan masukan (input) yang berupa air hujan menjadi keluaran (output) seperti aliran dan sedimen. Komponen dalam sistem DAS dapat terdiri atas berbagai unsur diantaranya unsur fisik, tataguna lahan dan morfometri. Komponen-komponen tersebut saling berkaitan membentuk satu kesatuan yang teratur. Analisis sistem hidrologi DAS dilakukan untuk memahami perilaku hidrologi suatu sistem DAS. Gunanya adalah untuk menterjemahkan perilaku komponen DAS yang digunakan untuk mengartikan, menetapkan dan memperkirakan besaran-besaran komponen tersebut dalam berbagai keadaan dan rentang waktu tertentu (Harto, 2000).

Proses pengalihragaman masukan menjadi keluaran memiliki bentuk dan sifat tertentu. Peristiwa ini melibatkan banyak proses, meliputi proses yang terjadi pada permukaan lahan, alur sungai, lapisan tanah dan akifer. Aliran yang tercatat pada outlet DAS biasanya disajikan dalam bentuk hidrograf. Hidrograf adalah grafik yang menunjukan fenomena aliran (tinggi muka air dan debit) yang dihub ungkan dengan waktu. Komponen hidrograf aliran terdiri atas aliran permukaan, aliran bawah permukaan, aliran dasar dan hujan yang langsung jatuh di atas sungai (Fakhrudin, 2003).

(22)

dipengaruhi oleh karaktersitik pelepasan dari simpanannya (storage), meliputi pelepasan air dari simpanan pada alur sungai, simpanan pada tanah dan simpanan pada akifer.

2.3. Perubahan Penggunaan Lahan

Pengunaan lahan adalah hasil usaha manusia dalam mengelola sumberdaya yang tersedia untuk memenuhi kebutuhannya, baik materi maupun rohani. Penggunaan lahan dapat dikelompokkan menurut berbagai cara, tetapi secara umum dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yaitu penggunaan pedesaan dan penggunaan lahan perkotaan/industri. Penggunaan lahan pedesaan meliputi pertanian, padang rumput dan kehutanan. Sedangkan penggunaan lahan perkotaan dan industri meliputi kota, industri, tempat rekreasi, jalan raya dan aktivitas pertambangan (Vink, 1975).

Perubahan penggunaan lahan adalah bertambahnya suatu penggunaan lahan dari satu sisi penggunaan diikuti dengan berkurangnya tipe penggunaan lahan yang lain dari suatu waktu ke waktu berikutnya, atau berubahnya fungsi suatu lahan pada kurun waktu yang berbeda. Proses perubahan penggunaan lahan pada dasarnya merupakan bentuk konsekuensi logis adanya pertumbuhan dan transformasi struktur sosial-ekonomi masyarakat yang sedang berkembang. Perkembangan yang dimaksud tercermin dengan adanya pertumbuhan aktivitas pemanfaatan sumberdaya alam akibat meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan per kapita dan adanya pergeseran kontribusi sektor pembangunan dari sektor pertanian dan pengolahan sumberdaya alam ke aktivitas sektor sekunder (manufaktur) dan tersier (jasa) (Hardjowigeno, 1994).

(23)

Perubahan penggunaan lahan mempengaruhi debit aliran khusunya perubahan lahan hutan menjadi hutan (deforestasi) atau perubahan lahan non-hutan menjadi non-hutan (reforestasi). Salwati (2004) melaporkan bahwa telah terjadi peningkatan volume aliran permukaan dan debit puncak aliran akibat perubahan lahan hutan menjadi lahan pertanian dan pemukiman di DAS Cilalawi.

Dampak negatif perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi non-hutan pada suatu DAS adalah berkurangnya tutupan lahan sehingga energi kinetik hujan yang jatuh di atas tanah menyebabkan penutupan pori-pori tanah lapisan atas oleh partikel liat (surface sealing) dan pemadatan tanah (soil crusting). Pemadatan tanah adalah fenomena penting untuk infiltrasi, aliran permukaan dan erosi setelah perubahan penggunaan lahan (Putz et al., 2003). Pemadatan tanah akan menyebabkan permukaan tanah menjadi kedap air (impervious). Hal ini mengakibatkan penurunan kapasitas infiltrasi sehingga meningkatkan aliran permukaan dan menurunkan pengisian air tanah (groundwater). Penurunan pengisian air tanah akan menimbulkan bahaya kekeringan pada musim kemarau.

(24)

2.4. Model HEC-HMS

Model hidrologi merupakan penyederhanaan dari suatu sistem hidrologi yang komplek. Secara umum, model yang ideal seharusnya sederhana namun akurat. Model hidrologi untuk menggambarkan respon terhadap seluruh proses hujan-aliran permukaan pada suatu DAS dapat menggunakan pendekatan parameter lump (lumped parameter) maupun parameter terdistribusi (distributed parameter). Model parameter lump mentransformasikan curah hujan (input) ke aliran permukaan (output) dalam DAS sebagai sebuah unit hidrologi tunggal, artinya semua proses dalam DAS terjadi pada satu titik spasial. Sedangkan model parameter terdistribusi menggambarkan proses dan mekanisme fisik DAS dalam keruangan sehingga dapat diterapkan untuk mempelajari keragaman spasial (Sadeghi & Mahdevi, 2004). Secara umum, penggunaan model parameter terdistribusi lebih memuaskan daripada model parameter lump. Namun, model parameter terdistribusi membutuhkan input parameter yang relatif banyak dan rumit. Hal ini sering menjadi kendala apabila data lapangan terbatas sehingga kesulitan untuk memparameterkan dan memverifikasi model (Garcia et al., 2008).

Model HEC-HMS adalah model parameter lump dengan distribusi spasial melalui pembagian sebuah DAS ke dalam Sub DAS. Model ini menyediakan sejumlah pilihan permodelan, dengan komponen utama penentuan hidrograf aliran permukaan dari Sub DAS dan pelacakan hidrograf (routing) melalui saluran ke outlet yang dipelajari. Karakterisitik hidrograf pada setiap Sub DAS adalah respon aliran permukaan yang khas karena perbedaan sifat-sifat DAS meliputi faktor geologi, geomorfologi, dan antropogenik (Knebl et al., 2004). Model ini cocok digunakan pada DAS dengan pola aliran dendritik. Model ini juga dapat digunakan untuk DAS dengan luasan yang besar.

2.5. Bilangan Kurva Aliran Permukaan

(25)

penggunaan lahan, tanah, kondisi hidrologi dan kandungan air tanah sebelumnya (Knebl et al., 2004).

Metode SCS didasarkan pada keseimbangan air yang bisa digambarkan sebagai persamaan berikut (SCS, 1987 dalam Shi et al., 2009):

(1) (2) dimana P adalah presipitasi (mm), Ia adalah abstraksi awal (mm), F adalah perbedaan antara curah hujan dan aliran permukaan/infiltrasi (mm), Q adalah aliran permukaan (mm) dan S adalah volume simpanan yang tersedia untuk menahan air (mm). Dengan mensubstitusikan persamaan (1) ke dalam persamaan (2) didapatkan persamaan berikut:

(3) Persamaan (3) valid untuk P > Ia, jika tidak Q = 0. Parameter S pada persamaan (3) didefinisikan sebagai:

(4) dimana S dalam mm dan BK adalah bilangan kurva yang menggambarkan tentang hujan lebih yang nilainya bervariasi berdasarkan tiga kondisi kondisi air tanah sebelumnya. SCS telah membuat rasio Ia/S atau ? sebesar 0.2 (Smemoea et al., 2004), dengan demikian hubungan antara Ia dan S menjadi:

Ia = 0.2 S (5)

Nilai BK berkaitan erat dengan penggunaan lahan dan perlakuan tanah. Pada kondisi hidrologi tanah yang sama, penggunaan lahan hutan atau semak belukar memiliki nilai BK yang lebih kecil dibandingkan dengan penggunaan lahan permukiman. Pada penggunaan lahan dan jenis tanah yang sama, perlakuan tanah seperti tindakan konservasi dapat memberikan nilai BK yang lebih kecil dibandingkan dengan tanpa adanya perlakuan tanah. Lahan yang memiliki nilai BK yang besar menunjukkan bahwa aliran permukaan yang dihasilkan dari lahan tersebut tinggi. Sebaliknya, nilai BK yang rendah menunjukkan bahwa aliran permukaan yang dihasilkan dari lahan tersebut rendah. Oleh sebab itu, perubahan

(26)
(27)

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan selama 4 bulan, dimulai dari Bulan Maret sampai Juni 2009. Lokasi yang dipilih adalah DAS Separi, terletak di 00o 04’48’’-00o21’36’’ LS dan 117o07’48’’-117o16’12’’ BT. Menurut administrasi pemerintahan, lokasi studi/DAS Separi sebagian besar terletak di Kabupaten Kutai Kartanegara, Propinsi Kalimantan Timur. Lokasi DAS Separi disajikan pada Gambar 1.

3.2. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta tanah skala 1:50 000, peta Rupa Bumi Indonesia tahun 1991 skala 1:50 000, data DEM (Digital Elevation Model) SRTM (Shuttle Radar Thopography Mission), Citra Landsat TM tahun 2001 dan 2007, GPS (Global Positioning System), clinometer, kompas, meteran, komputer dengan perangkat lunak Erdas Imagine versi 8.6, ArcGIS versi 9.2, WMS versi 7.0 dan HEC-HMS versi 3.0.1.

3.3. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan berdasarkan pada tahap penelitian berikut: 1) pengumpulan data, 2) pembangkitan parameter model HEC-HMS, 3) pemisahan hidrograf aliran, 4) kalibrasi model, 5) penyusunan skenario penggunaan lahan, dan 6) simulasi model. Diagram alir penelitian disajikan pada Gambar 2.

3.3.1. Pengumpulan Data

(28)

Bayur, Marang Kayu dan Tanjung Santan. Sedangkan data tinggi muka air diperoleh dari stasiun pengamat tinggi muka air Separi.

Status penggunaan lahan tahun 1991 diperoleh dari peta rupa bumi tahun 1991, sedangkan status penggunaan lahan tahun 2001 dan 2007 diperoleh melalui klasifikasi citra landsat TM tahun 2001 dan 2007 dengan metode klasifikasi terbimbing.

(29)

Gambar 2. Diagram Alir Penelitian

3.3.2. Pembangkitan Parameter Model

Bilangan Kurva Aliran Permukaan

Bilangan Kurva (BK) merupakan pengaruh bersama penggunaan lahan, tanah, kondisi hidrologi dan kandungan air tanah sebelumnya. Dalam menetapkan bilangan kurva ini, SCS mengelompokkan tanah ke dalam empat kelompok hidrologi (Hydrology Soil Group-HSG) yang ditandai dengan huruf A, B, C dan D. Sifat-sifat tanah yang bertalian dengan keempat kelompok tersebut adalah adalah sebagai berikut:

Peta Tanah, Peta Rupa Bumi Indonesia, citra landsat,

Hidrogra f model Hidrograf aliran permukaan pengamatan

(30)

Kelompok A : Pasir dalam, loess dalam, debu beragregat Kelompok B : loess dangkal, lempung berpasir

Kelompok C : Lempung berliat, lempung berpasir dangkal, tanah berkadar organik rendah, dan tanah-tanah berkadar liat tinggi

Kelompok D : tanah-tanah yang mengembang secara nyata jika basah, liat berat, plastis, dan tanah-tanah saline tertentu.

Kelompok hidrologi tanah tersebut ditentukan oleh sifat-sifat tanah dari peta tanah semi detail skala 1: 50 000.

Selanjutnya BK ditetapkan dengan membuat Hydrology Response Unit

(HRU) yang dihasilkan dari tumpang susun antara peta penggunaan lahan dan peta kelompok hidrologi tanah. Nilai BK untuk masing- masing HRU selanjutnya ditentukan dengan menggunakan tabel BK-SCS (Lampiran 1). Pada tahap ini, dihasilkan peta BK standar SCS.

Metode BK-SCS dalam perhitungannya tidak melibatkan pengaruh kemiringan terhadap hasil aliran permukaan. Menurut Huang (2006 dalam

Ebrahimian et al., 2009), kemiringan yang lebih dari 5% perlu memasukkan faktor lereng dalam perhitungan BK. Untuk memasukkan faktor kemiringan, dilakukan tumpang susun antara peta kelas lereng dan peta BK. Adapun peta BK-disesuaikan kemiringan diperoleh dengan mengalikan nilai BK dengan konstanta yang diperoleh dari persamaan (6) (Huang, 2006 dalam Ebrahimian et al., 2009):

(6)

dimana K adalah konstanta untuk BK dan αadalah kemiringan lahan (m m-1). Teori di atas memiliki asumsi bahwa BK diperoleh dari tabel standar BK-SCS pada kemiringan 5%. Nilai BK rata-rata setiap Sub DAS dihitung menggunakan persamaan (7):

(7) dimana BK adalah nilai bilangan kurva rata-rata sub DAS, Ai adalah luas setiap poligon, BKi adalah bilangan kurva dari setiap poligon dan A adalah luas Sub DAS.

Setelah memperoleh nilai BK-disesuaikan kemiringan, langkah berikutnya adalah menghitung retensi potensial (S). Nilai S dihitung untuk setiap poligon

(31)

menggunakan persamaan (4). Selanjutnya, abstraksi awal dihitung menggunakan persamaan (5).

Waktu Tenggang (Basin Lag)

Hidrograf aliran setiap sub DAS diperoleh menggunakan metode sintetik unit hidrograf Snyder. Teori Synder didasarkan pada asumsi bahwa pengalihragaman hujan menjadi hidrograf ditentukan oleh beberapa parameter DAS yang dapat diukur dan didasarkan pada kondisi hidrologi DAS. Untuk menghasilkan hidrograf pada setiap sub DAS, dibutuhkan masukan berupa waktu tenggang (Tp) serta koefisien puncak (Cp). Nilai Cp berkisar antara 0.4-0.8 (Harto, 2000).

Tp diperoleh dengan persamaan yang telah dibuat oleh Los Angeles District, USACE (1994 dalam US Army Corps of Engineers-Hydrologic Engineering Center, 2000) seperti berikut:

(8) dimana Tp adalah waktu tenggang (yaitu beda waktu antara tengah-tengah hujan efektif dan debit puncak (jam)); Lc adalah panjang sungai dari titik kontrol (outlet)

sampai titik berat DAS (mil); L adalah panjang sungai dari titik kontrol sampai batas DAS di hulu (mil); Ct adalah koefisien yang tergantung pada unit dan

karakteristik drainase DAS; S adalah kemiringan umum sungai, yang diukur dari titik kosentrasi ke batas drainase DAS; dan N adalah eksponen, biasanya diambil 0,33. Nilai L, Lc danS dibangkitkan dari analisis data DEM SRTM.

Geometri dan Kekekasaran Saluran

Penelusuran aliran adalah cara matematik yang digunakan untuk melacak aliran melewati sistem hidrologi guna memperkirakan perubahan besaran, kecepatan dan gelombang sebagai fungsi waktu di satu atau beberapa titik di sungai (Chow, 1998; Fread, 1993 dalam Harto, 2000). Metode yang digunakan

untuk parameter ini adalah metode gelombang kinematik.

Masukan yang dibutuhkan untuk metode gelombang kinematik adalah panjang saluran/sungai untuk setiap jangkauan (reach), kemiringan saluran, koefisien kekasaran saluran Manning, dan geometri saluran (bentuk, lebar dasar, dan talud). Geometri saluran dan koefisien kekasaran Manning diperoleh dari

(32)

pengukuran dan pengamatan lapangan. Koefisien kekasaran Manning ditentukan dengan menggunakan tabel kekasaran Manning (lampiran 4). Panjang saluran diperoleh dari data jaringan sungai yang diperoleh dari analisis DEM SRTM. Adapun kemiringan saluran dihitung dengan persamaan:

(9) dimana Ss adalah kemiringan saluran (m m-1), Ku adalah ketinggian hulu saluran, Ki adalah ketinggian hilir saluran dan Ls adalah panjang saluran (m).

Untuk mempermudah permodelan, dibuat Element Network model HEC-HMS untuk DAS Separi (Gambar 3).

3.3.3. Pemisahan Hidrograf Aliran

Hidrograf aliran diperoleh dari konversi data tinggi muka air di outlet DAS dengan persamaan kurva lengkung debit (rating curve). Persamaan kurva lengkung debit di outlet DAS Separi telah dibuat oleh Hakim (2008) sebagai berikut:

Q = 10.599 ((5100-HON)/1000)1.4874 (10)

dimana Q adalah debit aliran (m3 detik-1), HON adalah selisih antara AWLR dan tinggi muka air (mm).

Hidrograf aliran dianalisis berdasarkan pasangan data curah hujan dan debit aliran sungai. Komponen hidrograf aliran (aliran sungai) terdiri dari aliran permukaan, aliran antara dan aliran dasar. Dalam penelitian ini, untuk lebih menyederhanakan, ketiga komponen tersebut dijadikan dua komponen, dengan mengandaikan aliran permukaan dan aliran antara menjadi satu komponen, yang disebut aliran permukaan. Dengan asumsi ini, maka hidrograf hanya terdiri dari dua komponen saja, yaitu aliran permukaan dan aliran dasar. Pemisahan hidrograf antara aliran permukaan dan aliran dasar me nggunakan metode garis lurus (straight line method) (Gambar 4).

Langkah- langkah pemisahan hidrograf pada Gambar 4 adalah sebagai berikut:

1) Waktu dan debit aliran sungai diplot ke dalam grafik, dengan sumbu datar adalah waktu dan sumbu tegak adalah debit aliran. Sumbu tegak menggunakan skala logaritmik.

Ls Ki Ku

(33)

2) Titik resesi (B) merupakan akhir hidrograf yang penurunannya konstan yang ditandai dengan ekor hidrograf yang berbentuk garis lurus.

3) Selanjutnya ditarik garis lurus yang menghubungkan titik awal hirograf (A) dengan titk resesi (B). Aliran dasar adalah debit yang berada di bawah garis lurus tersebut.

4) Aliran permukaan diperoleh dari pengurangan aliran sungai dengan aliran dasar.

Gambar 3. Skema Element Network model HEC-HMS untuk DAS Separi.

(34)

s

Gambar 4. Cara Pemisahan Hidrograf Metode Garis Lurus.

3.3.4. Kalibrasi

Kalibrasi model adalah proses penyesuaian nilai paramater model sampai hasil simulasi cocok dengan data pengukuran (Garcia et al., 2008). Kalibrasi model dengan data hasil pengukuran adalah sebuah langkah yang penting dalam membuat representasi DAS yang dapat dipercaya (Knebl et al., 2005). Parameter DAS yang telah dikemukakan sebelumnya mungkin perlu dimodifikasi untuk menghasilkan hidrograf yang paling sesuai antara model dan pengukuran. Metode kalibrasi yang digunakan adalah koefisien efisiensi Nash-Sutcliffe. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut (Nash & Sutcliffe dalam Garcia et al., 2008):

(11)

dimana ESTi adalah aliran permukaan yang dihasilkan oleh model, RECi adalah

(35)

Nilai koefisien efisiensi Nash-Sutctlife menunjukkan tingkat akurasi model, dimana nilai E<0.5 adalah tingkat akurasi rendah, 0.5<E<0.7 adalah tingkat akurasi tinggi dan E>0.7 adalah tingkat akurasi sangat tinggi (Garcia et al., 2008). Model dikalibrasi dengan pasangan data hujan-debit aliran permukaan pada tahun 2007. Parameter hidrograf yang dibandingkan adalah debit puncak, waktu debit puncak dan volume aliran permukaan. Jika model memiliki akurasi yang sangat tinggi, maka bisa digunakan untuk menge valuasi perubahan respon hidrologi disebabkan modifikasi penggunaan lahan.

3.3.5. Penyusunan Skenario Penggunaan Lahan

Proyeksi Penggunaan Lahan Tahun 2013 (Skenario 1)

Pada skenario 1 alokasi penggunaan lahan disusun berdasarkan status perubahan penggunaan lahan dari tahun 1991/2001 dan tahun 2001/2007. Analisis trend dilakukan untuk memperoleh pola perubahan setiap jenis penggunaan lahan. Selanjutnya, dilakukan proyeksi penggunaan lahan di DAS Separi untuk tahun 2013. Skema alokasi penggunaan lahan skenario 1 adalah penambahan luas suatu penggunaan lahan proporsional dengan penurunan luas penggunaan lahan lainnya. Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung (Skenario 2)

Pada skenario 2 alokasi penggunaan lahan disusun berdasarkan Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang Pengalolaan Kawasan Lindung. Gambar 5 menyajikan penentuan kawasan lindung berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut.

Langkah pertama dalam penentuan kawasan lindung adalah standarisasi nilai untuk menghilangkan perbedaan satuan yang dimiliki oleh kriteria-kriteria tersebut. Area yang memiliki kriteria yang harus dilindungi diberi nilai 1 dan area lain di luarnya diberi nilai 0. Langkah kedua, seluruh kriteria yang telah distandarisasi ditumpang susun menggunakan metode weigted overlay. Hasil dari tumpang susun tersebut adalah peta kawasan lindung.

(36)

berada pada kawasan lindung. Skema alokasi penggunaan lahan skenario 2 adalah kawasan semak belukar, alang-alang dan tanah terbuka yang berada pada kawasan lindung dirubah menjadi hutan. Sehingga pada skenario ini terjadi penambahan luas hutan yang proporsional dengan penurunan luas semak belukar, alang-alang dan tanah terbuka.

Gambar 5. Kriteria kawasan lindung berdasarkan Keppres No 32 tahun 1990 Tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.

Kelas Kemampuna Lahan (Skenario 3)

Pada Skenario 3 penggunaan lahan disusun berdasarkan evaluasi kemampuan lahan. Untuk menentukan kelas kemampuan, pertama-tama dibuat peta satuan lahan homogen (SLH). SLH diperoleh dengan melakukan tumpang susun peta tanah dan peta kelas lereng. Tahap selanjutnya, menentukan kelas kemampuan lahan untuk masing- masing SLH menggunakan kriteria yang dikembangkan oleh Klingebiel dan Montgometru yang dimodifikasi oleh Arsyad (2006). Kriteria klasifikasi kemampuan lahan disajikan pada tabel 2 dan penjelasan kriteria tersebut disajikan pada La mpiran 5. Pada penelitian ini, hanya ditekankan pada enam faktor penghambat yang digunakan, yaitu lereng, tekstur lapisan atas, kepekaan erosi, kedalaman tanah, drainase dan permeabilitas.

Selanjutnya, dilakukan evaluasi kemampuan lahan terhadap penggunaan lahan tahun 2007. Evaluasi kemampuan lahan bertujuan untuk mengetahui kesesuaian antara penggunaan lahan yang ada di DAS Separi dengan kelas

Kesesuaian lahan untuk kawasan lindung

Slope Elevasi Tanah Sempadan

(37)

kemampuan lahan. Dari hasil evaluasi kemampuan lahan tersebut, disusun skema alokasi penggunaan lahan untuk skena rio 3.

Tabel 2. Kriteria klasifikasi kemampuan lahan (Arsyad, 2006). No Faktor Penghambat Kelas Kemampuan lahan

I II III IV V VI VII VIII

Keterangan: (*) : dapat mempunyai sembarang sifat faktor penghambat dari kelas yang lebih rendah.

(**) : tidak berlaku

3.3.6. Simulasi Model

Simulasi (uji sensitifitas) dilakukan apabila model HEC-HMS telah memiliki akurasi yang tinggi untuk DAS Separi. Analisis perubahan penggunaan lahan terhadap respon hidrologi DAS (tujuan pertama) dilakukan dengan simulasi model berdasarkan kondisi penggunaan lahan tahun 1991, 2001 dan 2007. Selanjutnya, hidrograf hasil model pada penggunaan lahan pada tahun 2007 dan 2001 dibandingkan dengan hidrograf hasil model pada penggunaan lahan tahun 1991.

(38)

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4.1. Iklim

Stasiun hujan yang terdapat di DAS Separi adalah stasiun hujan Separi. Mempertimbangkan luas DAS Separi yang besar, penggunaan stasiun hujan ini dirasa masih belum memenuhi standar. Oleh sebab itu, digunakan stasiun hujan lainnya yang lokasinya berdekatan dengan DAS Separi, yaitu stasiun hujan Bayur, Marangkayu dan Tanjung Santan. Rata-rata curah hujan wilayah untuk DAS Separi diperoleh menggunakan metode poligon thiessen berdasarkan empat stasiun hujan tersebut. Asumsi yang digunakan adalah tidak terdapat pengaruh orografik terhadap distribusi curah hujan dari masing- masing stasiun. Hal ini dikarenakan elevasi di daerah ini tidak terlalu berbeda, dengan elevasi tertinggi sebesar <250 m dpl.

Berdasarkan data hujan tahun 2001-2005, tipe iklim menurut klasifikasi Schmitd-Ferguson (1951) pada stasiun Separi dan Tanjung Santan adalah tipe B (basah), stasiun Marangkayu adalah tipe A (sangat basah). Penyebaran bulan basah (>100 mm) adalah pada Bulan Januari sampai Juni dan September sampai Desember, sedangkan bulan kering (<60 mm) terjadi pada Bulan Agustus. Rata-rata hujan tahunan sebesar 1 979 mm. Rata-Rata-rata hari hujan sebanyak 148 hari dan rata-rata curah hujan harian sebesar 14.55 mm.

4.2. Karakteristik Morfologi DAS

Beberapa karakteristik morfologi DAS yang mempengaruhi respon hidrologi DAS adalah luas, bentuk DAS, panjang sungai utama, kerapatan jaringan sungai dan pola aliran sungai (drainase) (Wilson, 1993). DAS Separi memiliki luas 233.51 km2 dan keliling 109.91 km. DAS ini memiliki indeks Gravelius 2.03. Indeks Gravelius ini menunjukan bahwa DAS Separi merupakan DAS yang berbentuk memanjang. DAS ini memiliki panjang aliran sungai utama 29.05 km. Pola aliran sungainya menyerupai percabangan pohon atau dendritik (Gambar 6).

(39)

Gambar 6. Peta DAS Separi

(40)

kejadian hujan sama) (Wilson, 1993). Selain itu, pola aliran dendritik juga berkontribusi terhadap penurunan debit puncak dan peningkatan waktu puncak aliran dibandingkan dengan DAS yang memiliki pola aliran radial maupun rectangular.

4.3. Topografi

Topografi merupakan perbedaan tinggi atau bentuk wilayah suatu daerah yang termasuk di dalamnya perbedaan kecuraman dan bentuk lereng. Hasil analisis peta Rupa Bumi Indonesia skala 1:50 000 lembar Marangkayu, Buanajaya dan Air Putih (BAKOSURTANAL, 1991), menunjukkan bahwa DAS Separi memiliki topografi yang bervariasi mulai dari datar sampai berbukit, bentuk lahan (landform) bukit-bukit kecil serta dibatasi oleh punggung-punggung bukit yang curam. Kelas lereng mulai dari datar sampai sangat curam. Penyebaran kelas lereng di DAS Separi disajikan pada Tabel 3. Sedangkan peta kelas lereng DAS Separi disajikan pada Gambar 7.

Secara umum, kondisi topografi DAS Separi yang didominasi oleh dataran pada daerah hulu dan bergelombang pada bagian tengah menyebabkan semakin lama waktu puncak hidrograf pada outle t DAS Separi, sebaliknya debit puncaknya semakin rendah. Kaitannya dengan banjir yang tejadi di DAS Separi, menurut Hakim (2008) bukan dipengaruhi oleh topografi tetapi oleh alih fungsi penggunaan lahan dan menurunnya kapasitas tampung sungai akibat erosi dan sedimentasi.

Tabel 3. Luas kelas lereng untuk masing- masing Sub DAS di DAS Separi.

Sub DAS

Luas Kelas Lereng (ha) Total

(41)

Gambar 7. Peta Kelas Lereng DAS Separi.

4.4. Tanah

Jenis tanah di lokasi penelitian diperoleh dari peta tanah skala 1:50 000 (PUSLITANAK, 1994). Berdasarkan peta tersebut, terdapat 27 SPT di DAS Separi, dimana jenis tanahnya terbagi menjadi 3 ordo yaitu : 1) Ultisols 2) Inceptisols dan 3) Entisols.

Ultisols terdiri dari Sub Grup Typic Plintudults, Typic Paleudults, Typic Hapludults, Psammentic Hapludults dan Plintic Paleudults, memiliki tekstur mulai dari lempung berpasir, lempung liat berpasir, lempung berliat dan liat. Penyebaran ultisols yang memiliki tekstur lempung berpasir sampai lempung liat berpasir adalah di Sub DAS 1, 2, 4, 6, 9, 10 dan 11. Penyebaran ultisols yang memiliki tekstur lempung berliat adalah di Sub DAS 3, 4, 7, 9 dan 11. Sedangkan ultisols yang memiliki tekstur liat terdapat di Sub DAS 1, 3, 4, 6, 7, 9, 10 dan 11.

Inceptisols terdiri dari Sub Grup Typic Dystropepts, Typic Eutropepts, Oxyaquic Dystropepts, Typic Tropaquepts, Aquic Dystropept dan Typic Plinthaquepts, tekstur mulai dari pasir sampai liat. Inceptisol yang memiliki tekstur pasir terdapat di Sub DAS 1, 2, 10 dan 11. Penyebaran inceptisols yang memiliki tektur lempung berpasir dan lempung liat berpasir dominan di Sub DAS

(42)

5, 6, 7, 9, 10 dan 11. Inceptisols yang memiliki tekstur lempung berdebu, lempung berliat dan liat berdebu dominan di Sub DAS 3, 4, 5, 9, 10. Sedangkan yang memiliki tekstur liat dominan di Sub DAS 5, 7 dan 11.

Entisols yang terdapat di DAS Separi adalah Sub Grup Typic Tropaquents, memiliki tekstur liat, terdapat di sepanjang dasar lembah yang merupakan daerah sekitar aliran sungai utama maupun anak sungai, sehingga cakupannya meliputi seluruh Sub DAS. Sebaran Satuan Peta Tanah di DAS Separi disajikan pada Gambar 8 dan keterangan Satuan Peta Tanah tersebut dapat dilihat pada Lampiran 5.

Gambar 8. Peta Tanah DAS Separi.

4.5. Penggunaan Lahan

(43)

dan 0.75%. Adapun luas penggunaan lahan pada masing- masing Sub DAS di DAS Separi disajikan pada Tabel 4.

Gambar 9. Peta Penggunaan Lahan DAS Separi Tahun 2007.

Tabel 4. Luas penggunaan lahan pada masing- masing Sub DAS di DAS Separi Tahun 2007.

Sub DAS

Luas Penggunaan Lahan (ha)

Total

(44)

mendominasi adalah jenis paku-pakuan. Tumbuhan jenis pohon didominasi jenis mahang (Macaranga sp) dengan kerapatan yang rendah sehingga lahan yang tertutup oleh tajuk pohon tidak terlalu banyak dan seresah yang dihasilkan juga sedikit. Kondisi ini menyebabkan penggunaan lahan semak belukar memiliki potensi aliran permukaan yang besar lebih besar dibandingkan dengan hutan skunder.

(45)

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Hidrograf Aliran Model

5.1.1. Bilangan Kurva Aliran Permukaan

Pendugaan volume aliran permukaan menggunakan metode Bilangan Kurva-SCS. Jenis penggunaan tanah/perlakuan/kondisi hidrologi untuk komplek penutupan tanah di DAS Separi sesuai dengan tabel Bilangan Kurva (BK)-SCS (lampiran 1) adalah sebagai berikut:

1. Permukiman termasuk ke dalam perumahan petani.

2. Sawah yang ditanami padi secara terus- menerus tanpa pergiliran tanaman setara dengan padi-padian menurut kontur-buruk.

3. Kebun campuran tanpa menerapkan teknik konservasi tanah dan air setara dengan leguminosa ditanam rapat menurut lereng-buruk.

4. Tegalan yang ditanami jagung secara monokultur tanpa menggunakan teknik konservasi tanah dan air setara dengan tanaman semusim dalam baris menurut lereng-buruk.

5. Hutan sekunder dengan penutupan kanopi yang cukup tinggi, vegetasi bawah dan serasah yang banyak setara dengan hutan-sedang.

6. Belukar dengan penutupan kanopi yang sedang-rendah, vegetasi bawah yang sedang dan seresah yang sedikit setera dengan hutan-buruk.

7. Alang-alang setara dengan padang rumput pengembalaan-buruk.

8. Tanah terbuka tanpa ditumbuhi vegetasi setara dengan bera- larikan menurut lereng.

Adapun kelompok hidrologi tanah untuk masing- masing SPT yang ada di DAS Separi adalah sebagai berikut:

1. Kelompok hidrologi A yang meliputi SPT 18.

2. Kelompok hidrologi B yang meliputi SPT 14, 17, 19 dan 26.

3. Kelompok hidrologi C yang meliputi SPT 1, 2, 5, 6, 7, 9, 10, 12, 15, 20, 22, 23, 24, 25 dan 27.

4. Kelompok hidrologi D yang meliputi SPT 3, 4, 8, 11, 13, 16 dan 21.

(46)

masing-masing HRU diperoleh dari tabel BK-SCS. Peta BK yang diperoleh dari langkah di atas belum memasukkan faktor kemiringan. Selanjutnya, untuk memasukkan faktor kemiringan, peta HRU ditumpang susun dengan peta lereng, kemudian BK pada masing- masing HRU dikalikan dengan konstanta BK untuk memperoleh nilai BK yang disesuaikan kemiringan.

Hubungan antara BK yang dihitung dari tabel standar SCS dan BK yang disesuaikan kemiringan menghasilkan BK yang lebih tinggi pada lahan yang memiliki kemiringan >5%, karena nilai konstanta BK semakin besar dengan bertambahnya kemiringan. Sebaliknya, terjadi penurunan nilai BK pada lahan yang memiliki kemiringan <5%. Adapun rata-rata peningkatan nilai BK DAS Separi karena faktor lereng sebesar 0.03%. Peningkatan nilai BK tertinggi sebesar 0.83% terjadi pada Sub DAS 10, sedangkan penurunan tertinggi sebesar 0.15% terjadi pada Sub DAS 2. Nilai BK terbesar (95.91) terdapat pada penggunaan lahan tanah terbuka dengan kelas kimiringan 45-60%.

Peta BK yang disesuaikan kemiringan disajikan pada Gambar 10. Peta BK bisa dilihat sebagai mosaik BK karena perbedaan penggunaan lahan. Penggunaan lahan yang memiliki BK terkecil adalah hutan, yaitu 36 sampai 79, sedangkan yang tertinggi adalah tanah terbuka, yaitu 86 sampai 94. Komposisi nilai BK sebagaimana Gambar 10 adalah sebagai berikut: nilai BK 80-90 (53.49%), 70-80 (23.68%), 60-70 (15.63%), 90-100 (6.33%). Adapun nilai BK 30-40, 40-50 dan 50-60 sebarannya sangat kecil (0.87%) sehingga nilai BK tersebut dijadikan selang 30-60.

Sub DAS yang memiliki nilai BK rata-rata tertinggi adalah Sub DAS 10 (90.32) dan terendah adalah Sub DAS 4 (75.02) (Tabel 5). Nilai ini menunjukkan bahwa Sub DAS 10 menghasilkan tebal aliran permukaan yang tertinggi, sedangkan Sub DAS 4 menghasilkan tebal aliran permukaan yang terendah.

(47)

Gambar 10. Peta Bilangan Kurva DAS Separi pada AMC II

(48)

rendah. Senada dengan ha l tersebut, Shi et al. (2009) telah melakukan pengujian terhadap dua puluh sembilan kejadian hujan yang dianalisis sesuai dengan proses hujan-aliran permukaan, dan menemukan bahwa rasio Ia/S bervariasi mulai dari 0.01 sampai 0.153 dengan nilai tengah 0.05. Sehingga rasio Ia/S yang digunakan di DAS Separi adalah 0.05. Hal ini diakibatkan oleh karakteristik hujan di DAS Separi yang memiliki durasi hujan yang lama sehingga intensitasnya tidak terlalu tinggi.

Tabel 5. Luas Sub DAS, BK rata-rata dan abstraksi awal pada AMC II. Sub DAS Luas (Ha) BK Rata-Rata* Ia (mm)

Keterangan: BK yang disesuaikan kemiringan.

5.1.2. Waktu Tenggang dan Koefisien Puncak

Dari analisis data DEM SRTM, diperoleh panjang sungai dari titik kontrol sampai batas DAS di hulu (L) sebesar 3.45 sampai 6.95 mil, panjang sungai dari titik kontrol sampai titik berat DAS (Lc) sebesar 1.83 sampai 4.78 mil dan kemiringan umum sungai (S) sebesar 0.003 sampai 0.025 m m-1 (Tabel 6). Nilai Ct berkisar antara 1.45 sampai 1.8. Hasil perhitungan waktu tenggang (Tp) yang diperoleh dari persamaan (8) disajikan pada Tabel 7.

(49)

dengan debit puncak yang lebih rendah bila dibandingkan dengan DAS yang memiliki waktu tenggang yang hampir sama pada setiap Sub DAS-nya.

Tabel 6. Nilai L, Lc, S dan Ct untuk masing- masing Sub DAS pada DAS Separi. Sub DAS L (mil) Lc (mil) Ss (m m-1) Ct

Masukan lainnya untuk metode Snyder adalah koefisien puncak (Cp) yang nilainya dihasilkan melalui kalibrasi. Acuan yang digunakan adalah semakin besar nilai Ct maka semakin kecil nilai Cp (Wilson, 1993). Dari hasil kalibrasi, diperoleh nilai Cp berkisar antara 0.32 sampai 0.38 (Tabel 7).

Tabel 7. Nilai Tp dan Cp untuk masing- masing Sub DAS pada DAS Separi.

Sub DAS Tp (jam) Cp

5.1.3. Geometri dan Kekasaran Saluran

(50)

Berdasarkan kriteria kekasaran Manning, nilai kekasaran saluran tersebut berkisar antara 0.04 sampai 0.045 (Tabel 8).

Lebar dasar saluran dan talud pada daerah hulu dan tengah diperoleh dari pengukuran penampang melintang beberapa penggalan sungai, sedangkan pada daerah hilir diperoleh dari pengukuran yang dilakukan oleh Departemen PU Dirjen Pengairan (1998). Lebar dasar saluran pada daerah hulu, tengah dan hilir masing- masing berkisar antara 7.5 sampai 10 m, 12 sampai 18.4 m dan 18.6 sampai 19.7 m. Talud berkisar antara 0.7 sampai 1.2 m m-1.

Tabel 8. Data Saluran pada masing- masing jangkauan di DAS Separi. Jangkauan Panjang

Ss: kemiringan saluran, , W : lebar bawah, Z : talud dan N : kekasaran saluran Manning * : Sumber Departemen PU Dirjen Pengairan (1998).

5.1.4. Kalibrasi

Tujuh pasangan kejadian hujan- hidrograf penguk uran dengan interval satu jam digunakan dalam penelitian ini. Data hujan digunakan sebagai masukan komponen time series data manager pada model HEC-HMS sedangkan hidrograf pengukuran digunakan untuk kalibrasi. Spesifikasi hujan yang digunakan memiliki kedalam antara 13.2 sampai 88.6 mm (Tabel 9).

(51)

Tabel 9. Kejadian hujan dan karakteristik hidrograf pengukuran.

Hidrograf aliran model (hasil prediksi) yang dihasilkan dari masukan tujuh kejadian hujan dan parameter model HEC-HMS adalah sebagai berikut: waktu puncak sebesar 17 sampai 86 jam, debit puncak 7.2 sampai 60.1 m3 det-1 dan volume aliran permukaan 953.7 103 sampai 11 507.1 103 m3 (Tabel 10).

Tabel 10. Parameter hidrograf hasil model untuk masing- masing kejadian hujan.

No Tanggal

Koefisien efisiensi (E) yang dihasilkan dari kalibrasi antara parameter hidrograf hasil prediksi dengan hidrograf pengukuran untuk waktu puncak, debit puncak dan volume aliran permukaan berturut-turut sebesar 0.93, 0.95 dan 0.84. Menurut kriteria Nash-Sutcliffe, nilai E yang lebih dari 0.7 tergolong sangat tinggi. Tabel 11 menyajikan perbandingan parameter hidrograf hasil prediksi model dengan hasil pengukuran. Perbandingan hidrograf pengukuran dan model tanggal 6 Maret 2007 disajikan pada Lampiran 9.

(52)

nilai-nilai parameter yang digunakan dalam model HEC-HMS cukup akurat untuk memprediksi aliran permukaan di DAS Separi.

Tabel 11. Perbandingan parameter hidrograf aliran permukaan antara model dengan hasil pengukuran.

No Tanggal Hujan

Secara umum, hidrograf hasil prediksi cocok dengan hidrograf pengukuran, walaupun cenderung memiliki waktu puncak yang lebih cepat pada curah hujan yang berdurasi panjang. Menurut Irianto (2000), adanya penyimpangan terhadap waktu puncak disebabkan karena penyederhanaan DAS, yang menyebabkan adanya perbedaan kemiringan sungai, panjang sungai dan faktor- faktor lain yang mempengaruhi waktu puncak.

Selain itu, volume aliran permukaan hasil prediksi juga cenderung lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil pengukuran. Hal ini diduga disebabkan oleh dua faktor, yaitu (1) distribusi masukan (hujan) tidak merata di DAS Separi dan (2) kurang akuratnya metode bilangan kurva-SCS dalam memperkirakan volume aliran permukaan.

Distribusi hujan yang tidak merata disebabkan karena hujan mengandung variabilitas ruang dan waktu yang sangat tinggi. Menurut Made (1987 dalam

(53)

0

2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000

Volume Pengukuran (1000 m3)

Volume Prediksi (1000 m3)

Gambar 11. Grafik Hubungan antara Parameter Hasil Prediksi dengan Pengukuran pada Masing-Masing Kejadian Hujan : Waktu Puncak (A), Debit

(54)

Selain hujan, faktor lainnya adalah penggunaan metode Bilangan Kurva dalam model HEC-HMS. Seperti diutarakan sebelumnya, BK digunakan untuk memperkirakan jumlah hujan yang menjadi aliran permukaan. Kaitannya dengan hal ini, Chahinian et al. (2004) telah melakukan pengujian tiga metode infiltrasi yaitu Horton, Phillips dan Morel Sytoux’s dan metode Bilangan Kurva-SCS terhadap kejadian banjir menggunakan 28 kejadian hujan. Hasilnya menunjukan bahwa metode Bilangan Kurva memberikan akurasi yang paling rendah bila dibandingkan dengan ketiga metode lainnya. Selain itu, metode infiltrasi secara umum baik dalam memperkirakan aliran permukaan selama kejadian hujan (event) sedangkan metode Bilangan Kurva lebih banyak digunakan untuk memperkirakan aliran permukaan dalam satuan hari (Kottegoda et al., 2000). Walaupun metode infiltrasi memberikan hasil yang lebih akurat daripada metode Bilangan Kurva, terdapat penambahan parameter untuk metode infiltrasi (Smemoea et al., 2004). Oleh sebab itu, metode Bilangan Kurva lebih banyak digunakan dalam memprediksi volume aliran permukaan (Irianto, 2000; Fakhrudin, 2003; Knebl et al., 2005; McColl & Agget, 2007).

5.2. Perubahan Penggunaan Lahan DAS Separi

Berdasarkan hasil deleniasi Peta RBI tahun 1991, terdapat enam jenis penggunaan lahan di DAS Separi, yaitu: permukiman, sawah, tegalan, hutan, semak belukar dan tanah terbuka (Gambar 12 (A)). Jenis penggunaan lahan yang paling dominan pada tahun 1991 adalah hutan (93.22%), diikuti oleh semak belukar (3.62%), tanah terbuka (1.80%), tegalan (0.92%), sawah (0.42%) dan permukiman (0.02%).

(55)

Perubahan penggunaan lahan yang terjadi di DAS Separi didominasi oleh peningkatan luas semak belukar. Pada tahun 1991 lahan semak belukar seluas 845 ha, meningkat menjadi 15 686 ha pada tahun 2001 (Tabel 12). Dengan demikian, selama sepuluh tahun telah terjadi penambahan lahan semak belukar seluas 14 841 ha atau rata-rata 1 484 ha tahun-1. Begitu juga antara tahun 2001/2007, terjadi peningkatan lahan semak belukar seluas 4 929 ha atau rata-rata 821 ha tahun-1. Bedasarkan analisis data secara spasial, diketahui bahwa peningkatan areal semak belukar terjadi akib at konversi lahan terutama hutan.

Antara tahun 1991/2001, terjadi penurunan luas hutan sebesar 16 720 ha atau rata-rata 1 672 ha tahun-1. Sedangkan antara tahun 2001/2007, luas hutan terus mengalami penyusutan sebesar 3 979 ha atau rata-rata 663 ha tahun-1. Penurunan luas hutan disebabkan oleh maraknya kegiatan penebangan pohon di kawasan hutan tanpa diikuti oleh tindakan reboisasi. Apabila pola perubahan penggunaan lahan seperti ini terus terjadi tanpa dilakukan usaha untuk mengantisipasnya, luas hutan di DAS Separi akan semakin berkurang.

(56)

Tabel 12. Perubahan penggunaan lahan DAS Separi tahun 1991/2001 dan

% perubahan 1991/2001= (luas 2001- luas1991)/luas Das x 100% % perubahan 2001/2007 = (luas 2007- luas 2001)/luas DAS x 100%

Lahan permukiman merupakan penggunaan lahan yang terus mengalami peningkatan, namum persentase luas lahan permukiman terhadap luas DAS sampai tahun 2007 belum signifikan. Peningkatan areal permukaan antara tahun 1991/2001 seluas 26 ha. Adapun peningkatan areal permukiman antara tahun 2001/2007 seluas 8 ha. Jumlah penduduk di DAS Separi dan sekitarnya yang masih sedikit (kepadatan penduduk rendah) merupakan salah satu faktor penyebab rendahnya penambahan areal permukiman. Kepadatan penduduk di Kecamatan Tenggarong Seberang yang merupakan wilayah administratif DAS Separi pada tahun 2007 sebesar 113.03 jiwa km-2 (BAPPEDA, 2008).

Penggunaan lahan sawah merupakan penggunaan lahan yang juga terus mengalami peningkatan. Antara tahun 1991/2001, terjadi peningkatan areal sawah seluas 126 ha atau rata-rata 12.6 ha tahun-1.Sedangkan antara tahun 2001/2007, terjadi peningkatan areal sawah seluas 10 ha atau rata-rata 1.7 ha tahun-1.Seperti halnya permukiman, peningkatan areal sawah terhadap luas DAS masih tergolong rendah.

(57)

yang berupa perladangan berpindah. Dimana, lahan ini tidak ditanam secara terus-menurus (indeks pertanaman rendah) sehingga pada periode tertentu (bera) lahan tersebut ditumbuhi alang-alang atau semak belukar. Penggunaan lahan budidaya pertanian lainnya yaitu kebun campuran. Penggunaan lahan ini cenderung mengalami peningkatan walaupun masih belum signifikan bila dibandingkan dengan luas DAS.

Perubahan penggunaan lahan alang-alang dan tanah terbuka cenderung berfluktuatif. Antara tahun 1991/2001, areal alang-alang dan tanah terbuka mengalami peningkatan masing- masing seluas 1 075 dan 711 ha atau rata-rata 108 dan 71 ha tahun-1. Sedangkan antara tahun 2001/2007 penggunaan lahan alang-alang dan semak belukar mengalami penurunan masing- masing seluas 724 dan 351 ha atau rata-rata 145 dan 70 ha tahun-1.

Mellese dan Shih (2002 dalam Ebrahimean et al., 2009) menunjukkan bahwa adanya perubahan penggunaan lahan dapat merubah nilai bilangan kurva sehingga dapat merubah respon hidrologi dengan peningkatan atau penurunan volume aliran permukaan. Dimana, berkurangnya luas lahan pertanian dalam dua dekade pada lahan yang memiliki nilai BK yang lebih besar dari 90 bertambah sebesar 2.2%.

Begitu juga perubahan penggunaan lahan yang terjadi di DAS Separi, dimana perubahan lahan hutan menjadi semak belukar telah meningkatkan nilai BK. Hutan dengan kondisi baik memiliki nilai BK 25 sampai 77, sedangkan semak belukar memiliki BK yang lebih tinggi, yaitu 45 sampai 88. Meningkatnya nilai BK menandakan jumlah pengisian ulang ke dalam sistem DAS semakin berkurang. Dengan demikian, dapat meningkatkan aliran permukaan.

5.3. Dampak Perubahan Penggunaan Lahan terhadap Aliran Permukaan

(58)

total hujan sebesar 67.8 mm, durasi hujan selama 17 jam dan intensitas hujan maksimum sebesar 17.9 mm/jam.

Tabel 13. Bilangan kurva pada penggunaan lahan tahun 1991, 2001 dan 2007. Sub DAS Bilangan Kurva pada Penggunaan Lahan Tahun

1991 2001 2007

Perbandingan hidrograf hasil simulasi dari penggunaan lahan tahun 1991, 2001 dan 2007 disajikan pada Gambar 13. Waktu puncak yang dihasilkan dari penggunaan lahan tahun 1991, 2001 dan 2007 adalah sama, yaitu 25 jam. Dengan demikian, perubahan penggunaan lahan di DAS Separi tidak berpengaruh terhadap waktu puncak aliran permukaan. Hal ini mungkin disebabkan oleh karakteristik model HEC-HMS yang tidak sensitif terhadap perubahan penggunaan lahan khususnya untuk waktu puncak hidrograf. Hal ini berlawanan dengan yang dikemukakan Hakim (2008), dimana peningkatan hutan dan pengurangan semak belukar dan lahan terbuka di DAS Separi dapat memperlambat waktu puncak hidrograf.

Debit puncak yang dihasilkan oleh penggunaan lahan tahun 1991, 2001 dan 2007 masing- masing sebesar 38.1, 49.2 dan 56.9 m3 det-1. Dengan demikian, penggunaan lahan tahun 2001 menghasilkan debit puncak lebih tinggi 11.1 m3 det-1 (29.1%) dari pada penggunaan laha n tahun 1991, dan penggunaan lahan tahun 2007 menghasilkan debit puncak lebih tinggi 18.8 m3det-1 (49.3%) dari pada penggunaan lahan tahun 1991.

(59)

0

penggunaan lahan tahun 1991, 2001 dan 2007 masing- masing sebesar 17.2, 22.2 dan 25.7 mm. Adapun koefisien aliran permukaan (perbandingan antara tebal aliran permukaan dengan tebal hujan) untuk penggunaan lahan tahun 1991, 2001 dan 2007 masing- masing sebesar 0.25, 0.33 dan 0.38. Dengan demikian, terjadi peningkatan koefisien aliran permukaan pada penggunaan lahan tahun 2001 dan 2007 dibandingkan penggunaan lahan tahun 1991 masing- masing sebesar 0.08 (32%) dan 0.13 (52%).

Gambar 13. Perbandingan Hidrograf Aliran Permukaan Model antara Penggunaan Lahan Tahun 1991, 2001 dan 2007 Menggunakan Input Hujan Tanggal 6 Maret

2007.

Dibandingkan dengan penggunaan lahan tahun 1991, peningkatan debit puncak sebesar 29.1% dan koefisien aliran permukaan sebesar 32.0% pada tahun 2001 disebabkan karena konversi hutan seluas 16 720 ha menjadi semak belukar, alang-alang dan tanah terbuka. Ketiga penggunaan lahan ini memiliki nilai BK yang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai BK hutan terutama lahan terbuka yang nilai BK-nya sebesar 77 sampai 94. Adapun peningkatan debit puncak dan koefisien aliran permukaan pada tahun 2007 hanya disebabkan oleh konversi hutan menjadi semak belukar. Sedangkan perubahan penggunaan lahan lainnya (permukiman, sawah, kebun campuran dan tegalan) memberikan andil yang sangat kecil terhadap peningkatan aliran permukaan.

(60)

menjadi semak belukar, karena luas hutan yang dikonversi dari tahun 1991 sampai 2007 sangat besar, yaitu 20 699 ha. Dibandingkan hutan, semak belukar memiliki kemampuan mengintersepsi, menginfiltrasi dan menyerap air hujan yang lebih rendah dibandingkan dengan vegetasi hutan pada umumnya. Selain itu, serasah yang dihasilkan dari vegetasi semak belukar tidak sebanyak vegetasi hutan sehingga retensi permukaan menjadi menurun.

Menurut Noordwijk et al. (2004) serapan air oleh pohon diantara kejadian hujan akan mempengaruhi jumlah air yang dapat disimpan dari kejadian hujan berikutnya, sehingga selanjutnya akan mempengaruhi proses infiltrasi dan aliran permukaan. Selain itu, seresah hutan yang lebih tinggi dapat melindungi tanah dari pukulan air hujan yang dapat menghancurkan agregat tanah. Hancuran partikel tanah akan menyebabkan penyumbatan pori tanah makro sehingga menghambat infiltrasi air tanah, akibatnya aliran permukaan akan meningkat.

5.4. Skenario Penggunaan Lahan

5.4.1. Proyeksi Penggunaan Lahan Tahun 2013 (Skenario 1)

Persamaan trend setiap jenis penggunaan lahan di DAS Separi disajikan pada Tebel 14. Dari persamaan tersebut, dihitung luas masing- masing penggunaan lahan untuk proyeksi tahun 2013. Komposisi penggunaan lahan tahun 2013 adalah terjadi peningkatan semak belukar, sawah, tegalan dan kebun campuran sedangkan hutan, tanah terbuka dan alang-alang mengalami penurunan (Tabel 14). Peta penggunaan lahan skenario 1 disajikan pada Lampiran 9.

Tabel 14. Luas penggunaan lahan skenario 1.

No Penggunaan

(61)

Bila menggunakan persamaan untuk semak belukar, maka penggunaan lahan semak belukar pada tahun 2013 seluas 29 855 ha. Mengingat luas DAS Separi hanya 23 351 ha, dan juga masih terdapat penggunaan lahan lainnya yang membutuhkan alokasi di DAS Separi, maka pertumbuhan lahan semak belukar dibatasi, yaitu luas DAS dikurangi luas penggunaan lahan lainnya (permukiman, sawah, ladang, kebun campuran dan hutan).

Kesulitan yang diperoleh dalam memprediksi trend perubahan penggunaan lahan di DAS Separi adalah jumlah data (tahun penggunaan lahan) yang sangat sedikit (3 titik). Selain itu, pertumbuhan luas permukiman juga tidak mempertimbangkan faktor pertambahan jumlah pendudukan sehingga persamaan yang dihasilkan mungkin tidak mempresentasikan kondisi yang sesungguhnya.

5.4.2. Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung (Skenario 2)

Berdasarkan lima faktor fisik yang menjadi kriteria kawasan lindung sesuai dengan Keppres No. 32 tahun 1990, maka diperoleh luas kawasan lindung sebesar 5 702 ha atau 24.4% dari luas DAS, sementara itu sisanya seluas 17 649 ha (75.6%) merupakan kawasan non- lindung. Penyebaran kawasan lindung sebagian besar terdapat di Sub DAS 8, 10 dan 11 (Lampiran 11).

(62)

Tabel 15. Distribusi penggunaan lahan eksisting pada kawasan non-lindung dan

Hutan lindung mempunyai fungsi perlindungan/penyangga terhadap aliran air ke daerah hilir. Fungsi ini dapat mengurangi debit puncak pada kejadian hujan. Fungsi penyangga dapat ditingkatkan dengan jalan meningkatkan penggunaan air dan mempertahankan struktur tanah pada daerah perbukitan (hillslope). Fungsi perlindungan pada daerah hulu sebenarnya dapat diberikan oleh tutupan dari berbagai macam vegetasi, selama sistem tersebut mampu dalam: (a) mempertahankan lapisan seresah di permukaan tanah, (b) mencegah terbentuknya parit-parit akibat erosi dan (c) menyerap air untuk evapotranspirasi (Noordwijk et al., 2004). Kaitannya dengan hal ini, penerapan sistem agroforestri pada lahan pertanian yang berada pada kawasan lindung dapat menjadi alternatif pengganti fungsi hutan dalam menjaga tata air DAS. Agroforestri diartikan sebagai sistem penggunaan lahan (usahatani) yang mengkombinasikan pepohonan dengan tanaman pertanian untuk meningkatkan keuntungan, baik secara ekonomis maupun lingkungan (Ruijter & Agus, 2004). Melalui kombinasi ini yang menciptakan komunitas tanaman dengan berbagai strata tajuk, sehingga tidak saja dapat meminimumkan aliran permukaan, juga dapat mengurangi erosi, mencegah hilangnya unsur hara dari lahan tersebut dan memaksimumkan penggunaan energi sinar matahari.

(63)

kawasan lindung tetap dipertahankan sebagai hutan b) semak belukar, tanah terbuka dan alang-alang yang berada di kawasan lindung dirubah menjadi hutan c) sawah yang berada di kawasan lindung tidak dirubah kembali menjadi hutan, namun dilakukan perbaikan agroteknologi seperti penerapan tindakan konservasi, d) kebun campuran yang berada di kawasan lindung dijadikan agroforestri dengan sistem multi strata, e) tegalan yang berada di kawasan lindung dijadikan agroforestri dengan sistem pertanaman lorong dan f) permukiman yang terdapat di kawasan lindung tetap dijadikan permukiman karena permukiman merupakan penggunaan lahan permanen.

Dengan demikian, pada skenario ini terjadi penambahan luas hutan yang proporsional dengan penurunan luas tanah terbuka, alang-alang dan semak belukar. Adapun penambahan luas agroforestri proporsional dengan penurunan luas kebun campuran dan tegalan. Luas penggunaan lahan untuk skenario 2 disajikan pada Tabel 16. Peta penggunaan lahan untuk skenario 2 disajikan pada Lampiran 11.

Tabel 16. Luas penggunaan lahan skenario 2.

No Penggunaan Lahan Luas (ha) Persentase (%)

5.4.3. Kelas Kemampuan Lahan (Skenario 3)

(64)

Hasil klasifikasi kemampuan lahan terhadap unit lahan menunjukkan bahwa terdapat tujuh kelas kemampuan lahan di DAS Separi (Lampiran 12 dan Lampiran 13). Hasil evaluasi antara kelas kemampuan lahan dengan penggunaan lahan eksisting menunjukkan bahwa masih terdapat penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kelas kemampuannya. Seperti, kebun campuran yang berada pada kelas VI dan VII, dan tegalan yang berada pada kelas V dan VI.

Uraian mengenai kelas kemampuan lahan yang ada di DAS Separi adalah sebagai berikut:

Kelas I. Kelas ini memiliki luas 1 024 ha (4.4%). Lahan pada kelas ini memiliki sedikit hambatan yang membatasi penggunaannya. Lahan ini terletak pada daerah yang datar, memiliki drainase yang baik dan permeabilitas sedang. Lahan ini sesuai untuk berbagai penggunaan. Penggunaan lahan yang terdapat pada kelas ini adalah permukiman, sawah, tegalan dan semak belukar. Kelas ini tidak memiliki sub kelas.

Kelas II. Kelas ini memiliki luas 1 930 ha (8.3%). Lahan pada kelas ini memiliki beberapa hambatan atau ancaman kerusakan yang mengurangi pilihan penggunaannya. Hambatan yang ditemukan adalah lereng yang tidak datar (landai) dan drainase sedang. Lahan ini sesuai untuk tanaman semusim, tanaman tahunan, padang rumput, hutan produksi dan hutan lindung. Tanah-tanah dalam kelas ini membutuhkan sistem pertanian konservasi jika digunakan untuk tanaman semusim. Tindakan konservasi tersebut dapat berupa salah satu atau kombinasi dari tindakan-tindakan berikut: guludan, penanaman dalam strip, pengolahan menurut kontur, pergiliran tanaman dengan rumput dan leguminosa, mulsa. Penggunaan lahan yang terdapat pada kelas ini adalah permukiman, sawah, tegalan, kebun campuran, semak belukar, hutan dan tanah terbuka. Kelas ini terdiri dari dua sub kelas yaitu sub kelas IIe dan IIw.

Gambar

Tabel
Gambar
Gambar 1. Peta Lokasi DAS Separi.
Gambar 2. Diagram Alir Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam hal terdapat perbedaan data antara DIPA Petikan dengan database RKA-K/L-DIPA Kementerian Keuangan maka yang berlaku adalah data yang terdapat di dalam database

Sistem Informasi Produksi merupakan salah satu kompo- nen dari Sistem Informasi Manajemen yang khusus dirancang untuk meliput semua informasi produksi dan menjawab semua

Menyatakan Pasal 6A Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 56 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Tambrauw Di Provinsi

mg/dL) b) Gangguan kesehatan masyarakat khususnya pekerja dengan indikator kadar Pb dalam darah telah melebihi nilai ambang batas normal (40,87 mg/dL, Nilai ambang batas Normal

Seperti pada kecernaan NDF dan ADF perlakuan A yang memakai inokulum cairan rumen juga menunjukkan kecernaan PK yang lebih tinggi dari pada perlakuan lain, B, C,

Additionally, We noted a number of plant species arround the habitat which were widespread in montain forest of Lore Lindu National Park such as Xanthomyrtus

Bangunan tradisional di Kampung Adat Keputihan masih relatif asli, walaupun sudah ada perubahan misalnya atap yang seharusnya menggunakan bahan dari dedaunan

Pada alur awal film ini, interaksi komunikasi antaretnik yang berbeda dapat dilihat pada scene 00:20, dimana pada scen tersebut memperlihatkan Ratu Victoria, seorang