ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU
DI KOTA TANGERANG
JUWARIN PANCAWATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU
DI KOTA TANGERANG
JUWARIN PANCAWATI
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau yang dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini
Bogor, Februari 2010
Juwarin Pancawati
ABSTRACT
JUWARIN PANCAWATI. The Analysis of Green Open Space Requirements in Tangerang City. Under direction of KUKUH MURTILAKSONO and BABA BARUS.
Some places in Tangerang City has small amount of Green Open Space (GOS), whereas the presence of GOS is needed in order to create a comfortable urban environment. This study aims to analyze the suitability of GOS, knowing the public preference for GOS priorities, and constructing the formulation of referrals development for Tangerang City. GOS requirements were calculated based on; a) area (UU No.26/2007), b) population (Regulation of Public Works Minister No.05/PRT/M/2008), c) oxygen needs (Gerarkis method) and d) water needs (Faculty of Forestry IPB method). The analysis of the suitability of GOS was done by comparing the requirements with the existing GOS and the allocation in City’s Spatial Arrangement Plan (RTRW). While public preferences of GOS were analyzed by AHP method. GOS requirements by area (4.935,6 Hectares) and population (3063.3 Hectares) were generally adequate. Meanwhile, requirement that based on the needed oxygen (28.875 Hectares) and needed water (489.443 Hectares) can not be fulfilled. The GOS’s allocation in the Spatial Plan of Tangerang City 2008-2028, is not in accordance with the GOS requirements. The GOS’s referrals development of Tangerang City was; to maintain the GOS area to 5.890,3 Hectares in order to not convert into built up area. This includes GOS for comfort of residents, both existing (261,6 Hectares) and constructed (4.022,6 Hectares), and the non-comfort GOS (1.867,7 Hectares). Most of the comfort GOS is in the form of block and the rest is in corridor form. The form of non-comfort GOS directed as agricultural area that concentrated at District Periuk and the area surrounding the airport.
RINGKASAN
JUWARIN PANCAWATI. Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Di Kota Tangerang. Dibimbing oleh KUKUH MURTILAKSONO dan BABA BARUS.
Kota Tangerang merupakan kota yang berkembang pesat. Perkembangan tersebut berakibat pada jumlah Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang semakin berkurang. Padahal keberadaan RTH sangat diperlukan di perkotaan agar tercipta lingkungan yang nyaman dan sehat. Penelitian ini bertujuan memberikan rumusan pokok konsep kebutuhan RTH untuk menjaga keseimbangan lingkungan di Kota Tangerang, berupa 1) analisis kecukupan RTH berdasarkan luas wilayah, jumlah penduduk, kebutuhan oksigen, kebutuhan air tanah di Kota Tangerang, 2) analisis preferensi masyarakat terhadap prioritas pengembangan RTH di kota Tangerang, dan 3) rumusan arahan pengembangan RTH
Kebutuhan RTH dihitung dengan pendekatan luas wilayah yang mengacu pada Undang-Undang Penataan Ruang Nomor 26 Tahun 2007 yaitu 30% dari luas administrasi, kebutuhan penduduk akan RTH kenyamanan yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/M/PRT/2008 yaitu 20m2 per jiwa, kebutuhan oksigen yang dihitung menggunakan metode Gerarkis dan kebutuhan air dengan metode Sutisna. Analisis kecukupan RTH dilakukan dengan memperbandingkan ketersediaan RTH eksisting dan alokasi RTH dalam RTRW dengan kebutuhan RTH.
Preferensi masyarakat terhadap bentuk dan fungsi RTH dianalisis menggunakan metode AHP terhadap 31 responden yang terdiri dari kalangan akademisi, pengembang, pemerintah dan tokoh masyarakat. Hasil analisis menunjukan prioritas RTH yang ingin dikembangkan secara berturut-turut adalah RTH berbentuk kawasan, jalur, dan simpul.
Kebutuhan RTH Kota Tangerang berdasarkan luas wilayah, jumlah penduduk, kebutuhan oksigen dan kebutuhan air bersih secara berturut-turut adalah 4.935,6 Hektar, 3.063,3 Hektar, 28.875 Hektar, dan 489.443 Hektar. Kebutuhan RTH berdasarkan kebutuhan oksigen dan air bersih jauh melampaui luas wilayah Kota Tangerang, sehingga sulit dipenuhi. Sedangkan kebutuhan RTH Kota Tangerang berdasarkan luas wilayah dan jumlah penduduk secara umum terpenuhi, kecuali Kecamatan Larangan dan Kecamatan Ciledug. Alokasi RTH dalam Revisi RTRW Kota Tangerang 2008-2028, ruang terbuka secara umum tidak sesuai dengan kebutuhan RTH. Hampir semua Kecamatan di Kota Tangerang kekurangan alokasi RTH, kecuali Kecamatan Tangerang, Karawaci dan Neglasari. Preferensi masyarakat terhadap pengembangan RTH secara berturut-turut adalah berbentuk kawasan, jalur dan simpul
dan lapangan olah raga) dan sebagian lainnya berbentuk jalur hijau tepi jalan dan jalur hijau sempadan sungai. RTH non-taman diarahkan dalam bentuk lahan-lahan pertanian, terutama dipusatkan di kecamatan periuk dan kawasan sekitar bandara. Pada kawasan ini diperlukan pengawasan yang ketat agar tidak terjadi konversi lahan pertanian ke lahan non-pertanian. Cadangan ruang terbangun seluas 2075,4 hektar sebagian besar diarahkan di Kecamatan Cipondoh, Pinang, Jatiuwung dan Benda.
Judul Tesis : Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Di Kota Tangerang
Nama : Juwarin Pancawati
NIM : A 156070261
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, M.S. Ketua
Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr.
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kehadirat Allah SWT, salam dan salawat kepada junjungan kita
Nabi Muhammad saw, karena perkenan-Nya maka penulis dapat menyelesaikan
penelitian ini. Penelitian ini berjudul Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau
Di Kota Tangerang. Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk
menyelesaikan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Dalam penyusunan penelitian ini penulis mendapat masukan, arahan,
petunjuk dan bimbingan serta kritik dan saran dari berbagai pihak. Untuk itu,
dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Kukuh
Murtilaksono, M.S. sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Dr.Ir. Baba Barus,
M.Sc. sebagai Anggota Komisi Pembimbing atas pengarahan, bimbingan dan
saran yang diberikan. Lebih daripada itu, penghargaan penulis sampaikan kepada
Bapak Risnur dan Ibu Mesi Shinta Dewi dari Dinas Tata Kota Tangerang yang
telah membantu selama pengumpulan data.
Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada suami dan anak-anak
tercinta yang telah memberi semangat, doa, dan kasih sayangnya. Tidak lupa
Teman-teman PWD 2007 dan PWL 2007 dan semua pihak yang tidak dapat
disebutkan satu persatu, penulis sampaikan terimakasih atas segala bantuan dan
kerjasama yang terjalin selam ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Febuari 2010
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Purwokerto pada tanggal 14 Februari 1975, dari ayah
Suyitno Padmowiyoto dan ibu Siti Robi,atun (almh). Menikah dengan M. Irsyad
dan dikaruniai tiga orang anak; Iriene Naura Khansa, Muhammad Afif Abiyyuga
dan Muhammad Latief Aditya.
Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 1
Purwokerto pada tahun 1993 dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk
Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri
(UMPTN) pada program studi Ilmu Tanah. Tahun 2002 penulis menyelesaikan
studi Program Pascasarjana (S2) Ekonomi Manajemen di Universitas Jenderal
Soedirman (UNSOED) Purwokerto. Tahun 2007, penulis mendapat kesempatan
kembali untuk menimba ilmu di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
dan mendapatkan Bantuan Pendidikan Pascasarjana (BPPS).
Saat ini penulis bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Pertanian
DAFTAR ISI Pengertian Ruang Terbuka dan Ruang Terbuka Hijau... 6
Fungsi dan Manfaat Ruang Terbuka Hijau... 10
Kebutuhan Luas Ruang Terbuka Hijau... 11
Proses Hierarki Analitik... 13
Peran Masyarakat dalam Penyediaan dan Pemanfaatan RTH... 15
METODOLOGI
KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN Topografi dan Kelerengan... 28
Iklim... 29
Hidrologi... 29
Penggunaan Lahan dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Tangerang 31 Kondisi Perekonomian... 37
Kondisi Sosial Budaya... 38
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Penutupan Lahan Kota Tangerang ... 43
Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Kota Tangerang ... 48
Kecukupan RTH berdasarkan Kondisi Eksisting RTH ... 64
Kesesuaian Rencana Umum Tata Ruang Kota untuk Kawasan Hijau Terhadap Kebutuhan RTH... 77
Preferensi Masyarakat Terhadap Prioritas Pengembangan RTH... 84
SIMPULAN DAN SARAN... 109
DAFTAR PUSTAKA... 112
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Penyediaan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk... 12
2. Skala Perbandingan Berpasangan ... 25
3. Ketinggian dan Kemiringan Lahan Kota Tangerang... 28
4. Penggunaan Lahan Kota Tangerang 2007... 32
5. Kebijakan Pengembangan Struktur Ruang Kota Tangerang... 35
6. Rencana Penggunaan Lahan Kota Tangerang 2008-2028... 36
7. Kepadatan Penduduk Kota Tangerang 2008... 39
8. Klasifikasi dan Luas Penutupan Lahan Kota Tangerang... 46
9. Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Kota Tangerang Berdasarkan UUTR No.26 Tahun 2007... 49
10.Kebutuhan RTH Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2008 pada 3 Titik Tahun... 50
11.Kebutuhan Oksigen untuk Manusia di Kota Tangerang pada 3 Titik Tahun... 51
12.Klasifikasi Kendaraan Bermotor Menurut Jenis dan Kebutuhan Oksigen... 52
13.Kebutuhan Oksigen Bagi Kendaraan Bermotor di Kota Tangerang pada 3 Titik Tahun... 53
14.Karakteristik Umum Jalan Utama Kota Tangerang... 54
15.Kebutuhan Oksigen bagi Kendaraan Bermotor untuk Tiap Kecamatan di Kota Tangerang... 55
16.Jumlah Ternak Tahun 2008 dan Karakteristik Kebutuhan Oksigen………..… 56
17.Kebutuhan Oksigen Bagi Ternak di Kota Tangerang pada 3 Titik Tahun... 57
18.Kebutuhan Oksigen Bagi Hewan Ternak Per Kecamatan Pada Tiga Titik Tahun... 58
19.Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau di Kota Tangerang Berdasarkan Kebutuhan Oksigen Golongan Konsumen... 58
20.Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau di Kota Tangerang Berdasarkan Kecamatan... 59
21.Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Kebutuhan Air Bagi Penduduk Kota Tangerang... 64
Halaman 23.Proyeksi Kecukupan RTH berdasarkan UU No.26/2007 pada Tiga
Titik Tahun………..……….... 67
24.Jumlah Ruang Terbuka Hijau dan Kepadatan Penduduk Kota Tangerang... 68
25.Kecukupan Kebutuhan RTH Taman di Kota Tangerang... 69
26.Kecukupan RTH Berdasarkan Kebutuhan Oksigen Tahun 2008... 71
27.Jumlah Pohon yang Diperlukan untuk Memenuhi Kebutuhan Oksigen Di Kota Tangerang Berdasarkan Golongan Konsumen... 72
28.Jumlah Pohon yang Dibutuhkan untuk Memenuhi Kebutuhan Oksigen Di Kota Tangerang Berdasarkan Kecamatan... 73
29.Jumlah Pohon pada Program GERHAN Kota Tangerang... 74
30.Kecukupan Kebutuhan RTH Berdasarkan Kebutuhan Air Bersih... 75
31.Rencana Ruang Terbuka Hijau Kota Tangerang 2008-2028... 77
32.Kesesuaian RUTRK Ruang Terbuka Hijau Terhadap Kebutuhan RTH Berdasarkan Luas Wilayah Kota Tangerang... 78
33.Kesesuaian RUTRK Ruang Terbuka Hijau Terhadap Kebutuhan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk... 80
34.Kesesuaian RUTRK Ruang Terbuka Hijau Terhadap Kebutuhan RTH Berdasarkan Kebutuhan Air... 82
35.Kesesuaian RUTRK Ruang Terbuka Hijau Terhadap Kebutuhan RTH Berdasarkan Kebutuhan Oksigen... 83
36.Hasil Proses Hierarki Analitik (AHP) untuk Mendapatkan Prioritas Pengembangan Ruang Terbuka Hijau... 85
37.Arahan Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Kota Tangerang... 103
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Pola RTH yang Mengikuti Pola Tata Ruang (Tim IPB 1993)... 7
2. Letak Geografis Kota Tangerang... 17
3. Hierarki untuk memilih prioritas pengembangan RTH... 25
4. Contoh Bentuk-Bentuk Umum RTH Kota Tangerang... 24
5. Diagram Alir Analisis Penutupan Lahan……….… 27
6. Pembagian Wilayah Pengembangan Kota (WPK) dalam Revisi RTRW 2008-2028……….… 33
7. Komposisi Penutupan Lahan Kota Tangerang Tahun 2007...…… 43
8. Citra Satelit Lokasi Penelitian Kota Tangerang... 44
9. Peta Penutupan Lahan Kota Tangerang... 45
10.Proporsi Ruang Terbuka di Kota Tangerang... 47
11.Kecukupan RTH berdasarkan Luas Wilayah Kota Tangerang... 66
12.Kecukupan Kebutuhan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk Di Kota Tangerang... 68
13.Kebutuhan RTH Berdasarkan Kebutuhan Oksigen Kota Tangerang... 70
14.Kebutuhan RTH berdasarkan Kebutuhan Air Tanah Kota Tangerang... 76
15.Kesesuaian RUTRK Ruang Terbuka Hijau Terhadap Kebutuhan RTH Berdasarkan Luas Wilayah Kota Tangerang... 79
16.Kesesuaian RUTRK Ruang Terbuka Hijau Terhadap Kebutuhan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk... 81
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Peta Administrasi Kota Tangerang... 116
2. Komponen Perhitungan Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Kebutuhan Air Di Kota Tangerang... 117
3. Hasil Perhitungan Analisis AHP pada Strata Pertama (Prioritas Fungsi RTH)... 118
4. Hasil Perhitungan Analisis AHP pada Strata Kedua (Prioritas Bentuk Ekologi)... 119
5. Hasil Perhitungan Analisis AHP pada Strata Kedua (Prioritas Bentuk Sosial)... 120
6. Hasil Perhitungan Analisis AHP pada Strata Kedua (Prioritas Bentuk Ekonomi)... 121
7. Hasil Perhitungan Analisis AHP pada Strata Kedua (Prioritas Bentuk Estetika)... 122
8. Arahan Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Kota Tangerang... 123
9. Kemampuan Vegetasi Dalam Memproduksi Oksigen... 136
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perkembangan kota sebagai pusat pemukiman, industri dan perdagangan
telah mengalami transformasi lingkungan fisik lahan yang semakin padat oleh
berbagai infrastruktur sehingga berdampak terhadap kualitas kehidupan
masyarakat dan lingkungan. Transformasi lingkungan fisik lahan tersebut apabila
tidak diimbangi dengan pertambahan ruang terbuka hijau dapat menyebabkan
menurunnya kualitas air dan udara, berkurangnya daerah tangkapan air
(catchment area) dan meningkatnya pencemaran lingkungan. Sehingga kota hanya maju secara ekonomi, namun mundur secara ekologi.
Kota Tangerang merupakan salah satu kota di kawasan Jabotabek yang
mengalami perkembangan pesat. Selain dikenal sebagai kota industri, Kota
Tangerang juga merupakan daerah pengembangan kawasan pemukiman bagi para
komuter yang bekerja di Jakarta. Kota Tangerang memiliki luas wilayah
17.729,746 Ha. Dari luas wilayah tersebut pertumbuhan fisik kota ditunjukkan
oleh besarnya kawasan terbangun kota, yaitu seluas 10.127,231 Ha (57,12 % dari
luas seluruh kota) dengan urutan penggunaan tertinggi sebagai kawasan
pemukiman (5.988,2 Ha). Luas kawasan pemukiman diperkirakan akan
meningkat pesat mengingat tingginya laju pertumbuhan penduduk Kota
Tangerang, yaitu rata-rata diatas 3,0%. Hingga pertengahan tahun 2007 penduduk
Kota Tangerang berjumlah 1.575.140 jiwa. Populasi penduduk dalam kurun
tahun 1990-2007, telah berkembang menjadi 1,5 kali dibandingkan dengan tahun
1990 yang berjumlah 921.848 jiwa (Dinas Kependudukan Catatan Sipil, 2008).
Jumlah penduduk yang meningkat pesat akan memberikan implikasi pada
tingginya tekanan terhadap pemanfaatan ruang. Di banyak perkotaan di
Indonesia, tingginya tekanan terhadap pemanfaatan ruang seringkali diiringi
menurunnya kualitas dan kuantitas kawasan hijau di kawasan perkotaan. Menurut
Widodo (2007), sebagian besar kecamatan di Kota Tangerang, terutama
Kecamatan Ciledug dan Kecamatan Larangan, memiliki kawasan hijau kurang
dari 10%. Kawasan hijau masih dapat dijumpai di wilayah Kecamatan Pinang,
2 dan Kecamatan Periuk. Dari kecamatan-kecamatan tersebut, hanya Kecamatan
Cipondoh dan Kecamatan Pinang yang masih memiliki kawasan hijau yang
memadai, yaitu sekitar 40 % dari masing–masing wilayah kedua kecamatan ini.
Walaupun demikian di masa yang akan datang kondisi ini akan cepat berubah
mengingat wilayah ini merupakan daerah konsesi para pengembang perumahan.
Apabila nanti dikembangkan maka kegersangan mungkin juga akan tidak jauh
berbeda dengan Kecamatan Ciledug atau Kecamatan Larangan. Tentu saja ini
merupakan kondisi yang perlu diwaspadai mengingat pentingnya keberadaan
kawasan hijau bagi masyarakat perkotaan.
Keberadaan ruang terbuka hijau sangat diperlukan bagi wilayah perkotaan
seperti Tangerang. Selain menambah nilai estetika dan keasrian kota, ruang
terbuka hijau juga berfungsi menciptakan iklim mikro yang lebih sejuk, menjaga
keseimbangan oksigen (O2) dan karbon dioksida (CO2), mengurangi polutan, serta
membantu mempertahankan ketersediaan air tanah. Menurunnya kualitas dan
kuantitas ruang terbuka hijau (RTH), akan mengakibatkan menurunnya kualitas
lingkungan seperti udara dan air bersih.
Berdasarkan Undang-Undang Penataan Ruang No.26 Tahun 2007, ruang
terbuka hijau minimal menempati 30% luas wilayah perkotaan. Lebih lanjut
dipertegas dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 05/PRT/M/2008
tentang pedoman penyediaan dan pemanfaatan RTH di Kawasan Perkotaan,
bahwa proporsi tersebut merupakan ukuran minimal untuk menjamin
keseimbangan ekosistem kota, maupun sistem ekologis lain yang dapat
meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat kota.
Setiap hari manusia membutuhkan oksigen sekitar 0,5 kg/hari; tanpanya
manusia akan mengalami gangguan kesehatan yang serius. Ruang terbuka hijau
disebut sebagai paru-paru kota karena merupakan produsen oksigen yang belum
tergantikan fungsinya. Fungsi ini sebenarnya merupakan salah satu aspek
berlangsungnya fungsi daur ulang antara gas karbondioksida (CO2) dan oksigen
(O2), hasil fotosintesis khususnya pada dedaunan. Proses pembersihan udara oleh
tanaman berlangsung secara efektif melalui proses penyerapan (absorpsi) dan
3 penduduk, tidak dipungkiri lagi bahwa keberadaan RTH sangat diperlukan untuk
menjamin pasokan oksigen bagi penduduk Kota Tangerang.
Kebutuhan prasarana lain yang harus disediakan oleh pemerintah adalah
prasarana air bersih. Pelayanan air bersih di Kota Tangerang, baik yang berasal
dari sistem perpipaan maupun non perpipaan, terus mengalami peningkatan.
Tahun 2004 jumlah rumah tangga terlayani air bersih, baik dari sistem perpipaan
maupun non-perpipaan, sebesar 92,31 %, pada tahun 2005 meningkat menjadi
92,34 % dan pada tahun 2006 menjadi 93,15%. Sisanya, sekitar 7% merupakan
penduduk yang tidak terlayani air bersih. Namun dari jumlah tersebut (93,15%)
pelayanan air bersih dengan sistem perpipaan baru dapat menjangkau 20% dari
penduduk kota Tangerang, dan terbatas pada wilayah-wilayah tertentu. Adapun
sebagian besar penduduk Kota Tangerang (sekitar 73%) masih mengandalkan
pemanfaatan sumber air tanah (sumur gali/sumur pompa) untuk mencukupi
kebutuhan air mereka Mengingat besarnya jumlah penduduk yang masih
menggunakan air bawah tanah untuk memenuhi kebutuhan mereka, sudah
seyogyanya pemerintah berkewajiban untuk menjaga kualitas dan kuantitas air
bawah tanah di Kota Tangerang. Salah satu upaya mempertahankan keberadaan
air bawah tanah antara lain dapat dilakukan dengan meningkatkan kualitas dan
kuantitas ruang terbuka hijau (Thohir, 1991).
Dalam upaya mewujudkan ruang yang nyaman, produktif dan
berkelanjutan, maka sudah saatnya pemerintah memberikan perhatian serius
terhadap keberadaan ruang publik, khususnya RTH. Keberhasilan pengembangan
RTH selain ditentukan oleh strategi pemerintah juga ditentukan oleh adanya
partisipasi masyarakat. Partisipasi merupakan kegiatan yang dilakukan dengan
melibatkan masyarakat dalam mengkonsepsikan sesuatu yang disebut baik oleh
mereka (Fear, 1990). Pemerintah kota harus dapat mengelola ketersediaan RTH
dalam wilayahnya sesuai dengan keinginan masyarakat, juga ketersediaan lahan
dan peruntukan tata ruang kota. Wujud dan manfaat RTH yang sesuai dengan
harapan dan keinginan warga kota, akan memberikan rasa nyaman, sejahtera,
juga rasa bangga dan rasa memiliki akan RTH tersebut (Schmid, 1979).
4 menciptakan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat untuk menjaga dan
memelihara kawasan RTH di lingkungan mereka.
Perumusan Masalah
Berkembangnya Kota Tangerang yang ditandai dengan peningkatan
jumlah penduduk dan aktivitasnya, secara tidak langsung mengakibatkan tekanan
yang tinggi pada pemanfaatan ruang. Keberadaaan kawasan hijau di perkotaan
seringkali dikalahkan oleh kebutuhan lain, seperti pengembangan kawasan
pemukiman, pusat perbelanjaan dan aktivitas komersial lain, sehingga kualitas dan
kuantitasnya semakin hari semakin berkurang. Di sisi lain, seiring dengan
peningkatan jumlah penduduk, keberadaan akan RTH sebagai penyedia jasa
lingkungan semakin dibutuhkan. Kualitas dan kuantitas RTH harus terus
disesuaikan dengan perkembangan penduduk agar tercipta Kota Tangerang yang
nyaman, produktif dan berkelanjutan.
Penataan ruang ditujukan untuk menghasilkan suatu perencanaan tata
ruang yang diinginkan di masa mendatang. Proses perwujudan tata ruang kota
biasanya dijabarkan dalam rencana tata ruang kota atau rencana detil tata ruang
kota. Selain dilakukan oleh pemerintah Kota Tangerang, proses perencanaan
maupun teknis pelaksanaan penyelenggaraan RTH sedapat mungkin melibatkan
para-pihak (stakeholder). Dalam upaya penyelenggaraan RTH, kemampuan pemerintah seringkali terbatas, sehingga perlu adanya prioritas dalam
pengembangan RTH yang tidak mengesampingkan keinginan masyarakat,
terutama terkait dengan manfaat dan bentuk RTH.
Terkait dengan hal tersebut, secara khusus, penelitian ini akan
memfokuskan pada pertanyaan penelitian (reserch question) sebagai berikut: 1. Berapa jumlah kebutuhan RTH berdasarkan luas wilayah, jumlah penduduk,
kebutuhan oksigen dan air bersih.
2. Apakah pengembangan ruang terbuka hijau yang ada telah sesuai dengan
5 Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memberikan rumusan pokok
konsep kebutuhan RTH untuk menjaga keseimbangan lingkungan di Kota
Tangerang. Adapun secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengkaji jumlah dan kecukupan kebutuhan RTH berdasarkan luas wilayah,
jumlah penduduk, kebutuhan oksigen, kebutuhan air tanah di Kota Tangerang.
2. Mengkaji preferensi masyarakat terhadap prioritas pengembangan ruang
terbuka hijau di Kota Tangerang
3. Membuat rumusan arahan pengembangan RTH sesuai dengan kebutuhan,
kondisi penutupan lahan, kebijakan tata ruang pemerintah, dengan
mempertimbangkan preferensi masyarakat Kota Tangerang terhadap bentuk
dan fungsi yang diharapkan.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang
kebutuhan RTH di Kota Tangerang, sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan
dalam pengambilan kebijakan dalam rangka mewujudkan salah satu tujuan
pembangunanya, yaitu; mengembangkan pemukiman dengan menekankan pada
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Ruang Terbuka dan Ruang Terbuka Hijau
Ruang Terbuka (RT) terdiri atas Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Ruang
Terbuka Non Hijau (RTNH). Dalam perencanaan ruang kota dikenal istilah
Ruang Terbuka (open space), yaitu tempat terbuka di lingkungan perkotaan. RT berbeda dengan istilah ruangan luar (exterior space yang merupakan kebalikan dari interior space) yang ada di sekitar bangunan. Ruangan luar merupakan ruangan terbuka yang sengaja dirancang secara khusus untuk kegiatan tertentu,
dan digunakan secara intensif, seperti lapangan parkir, lapangan basket, termasuk
plaza (piazza) atau square (Gunadi, 1995). Sedangkan ruang hijau (green space), yang dapat berbentuk jalur (path), seperti jalur hijau jalan, tepian air waduk atau danau, bantaran sungai, bantaran kereta api, saluran/jaringan listrik tegangan
tinggi, dan berbentuk simpul (nodes), berupa taman rumah, taman lingkungan, taman kota, taman pemakaman, lahan pertanian kota, dan seterusnya, sebagai
Ruang Terbuka Hijau.
Ruang terbuka didefinisikan sebagai ruang-ruang di dalam kota atau wilayah
yang lebih luas, baik dalam bentuk membulat maupun dalam bentuk
memanjang/jalur dimana dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka, yang pada
dasarnya tanpa bangunan (Instruksi Menteri Dalam Negeri No.14 tahun 1988
dalam Purnomohadi, 2006). Shirvani (1985) mendefinisikan ruang terbuka sebagai keseluruhan lanskap, perkerasan (jalan dan trotoar), taman dan tempat
rekreasi di dalam kota. Ruang terbuka tidak harus diisi oleh tumbuhan, atau
didalamnya hanya memiliki sedikit tumbuhan. Ruang terbuka dapat berbentuk
man made, yang terjadi akibat teknologi, koridor jalan, bangunan tunggal, bangunan majemuk, atau natural seperti hutan-hutan kota, aliran sungai, serta
daerah alamiah lainnya yang memang telah ada sebelumnya (Hakim, 2002)
Ruang terbuka berfungsi sebagai unsur ventilasi kota, pertukaran udara
sebagian besar terjadi di areal (ruang) terbuka (Purnomohadi, 2006). Menurut
pelestarian alam yang terdiri dari ruang linear atau koridor dan ruang pulau atau
oasis sebagai tempat perhentian.
Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah ruang-ruang di dalam kota dimana
unsur hijau (vegetasi) yang alami dan sifat ruang terbuka lebih dominan (Hakim,
2002). Pelaksanaan pengembangan RTH dilakukan dengan pengisian tumbuhan
pada ruang terbuka, baik secara alami ataupun dengan tanaman budidaya, seperti
tanaman komoditi pertanian dalam arti luas, pertamanan, dan sebagainya.
Sedangkan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2008, ruang
terbuka hijau didefinisikan sebagai area memanjang/jalur dan atau mengelompok,
yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang
tumbuh tanaman secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.
Berdasarkan referensi dan pengertian tentang eksistensi nyata sehari-hari,
maka RTH adalah: (1) suatu lapangan yang ditumbuhi berbagai tumbuhan, pada
berbagai strata, mulai dari penutup tanah, semak, perdu dan pohon (tanaman
tinggi berkayu); (2) ”Sebentang lahan terbuka tanpa bangunan yang mempunyai
ukuran, bentuk dan batas geografis tertentu dengan status penguasaan apapun,
yang didalamnya terdapat tumbuh-tumbuhan hijau berkayu dan tahunan (perenial woody plants) dengan pepohonan sebagai tumbuhan penciri utama dan tumbuhan lainnya (perdu, semak, rerumputan dan tumbuhan penutup tanah lainnya), sebagai
tumbuhan pelengkap dan penunjang fungsi RTH yang bersangkutan”
(Purnomohadi, 1995)
Penyelenggaraan ruang terbuka hijau di wilayah perkotaan, ditujukan untuk
tiga hal, yaitu: 1) menjaga ketersediaan lahan sebagai kawasan resapan air, 2)
menciptakan aspek planologis perkotaan melalui keseimbangan antara lingkungan
alam dan lingkungan binaan yang berguna bagi kepentingan masyarakat, dan 3)
meningkatkan keserasian lingkungan perkotaan sebagai sarana pengaman
lingkungan yang aman, nyaman, segar, indah dan bersih (Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2008).
Dalam perencanaan dan pengembangan fisik RTH kota untuk dapat
mencapai fungsi dan tujuan yang diinginkan, ada empat hal utama yang harus
potensial dan tersedia untuk RTH, 3) bentuk yang dikembangkan (Gambar 1), dan
4) distribusinya dalam kota (Tim IPB, 1993).
Anderson (1975) dalam Grey dan Deneke (1978) mengemukakan bahwa kawasan hijau terdiri dari barisan pepohonan sepanjang jalan, gerombolan
vegetasi di taman-taman, terasuk jalur hijau di pinggir kota, menyambung ke
daerah hutan. Menurut Grey dan Deneke (1978) ruang terbuka hijau akan disebut
sebagai hutan kota jika memiliki luas minimum 0,4 ha, atau jika memiliki bentuk
jalur lebarnya minimum 30 meter1. Ruang tebuka hijau meliputi semua vegetasi
yang tumbuh di daerah taman, tepi jalan, jalur tol, jalur kereta api, bangunan,
lahan terbuka, kawasan padang rumput, kawasan industri, kawasan pemukiman,
kawasan perdagangan dan kawasan luar kota.
Bentuk RTH beragam, dan dapat dikategorikan berdasarkan jenis vegetasi
yang berada dalam RTH, fungsi, bentuk dan struktur fungsional, dan kepentingan
khusus atau tertentu lainnya (Nurisyah, 1996). Berdasarkan Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2008, RTH dikelompokkan menjadi 4 jenis
1
Sedangkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 05/PRT/M/2008 menetapkan hutan kota dapat berbentuk bergerombol/menumpuk dengan berbentuk jumlah vegetasi minimal 100 pohon dengan jarak rapat tidak beraturan, atau menyebar tidak beraturan dengan luas minimum 2500
m2, atau berbentuk jalur dengan lebar minimal 30 m.
Konsentris
Gambar 1. Pola RTH yang Mengikuti Pola Tata Ruang (Tim IPB 1993)
Terdistribusi Hierarkis
yakni: RTH pekarangan, RTH taman dan hutan kota, RTH jalur hijau jalan, dan
RTH fungsi tertentu (termasuk didalamnya RTH sempadan badan air dan
pemakaman).
Berbeda dengan Nurisyah, Fandeli (2004) mengklasifikasikan RTH
berdasarkan status kawasan, bukan berdasarkan bentuk dan struktur vegetasinya.
Menurutnya, kawasan hijau kota terdiri atas kawasan pertamanan kota, kawasan
hijau hutan kota, kawasan hijau rekreasi kota, kawasan hijau kegiatan olah raga,
dan kawasan hijau pekarangan.
Djamal Irwan (1994) mengelompokkan ruang terbuka hijau berdasarkan
fungsi lingkungan terkait dengan suhu, kelembaban, kebisingan dan debu. Bentuk
RTH dapat dikelompokkan menjadi tiga bentuk:
a. Bergerombol atau menumpuk, yaitu ruang terbuka hijau dengan komunitas vegetasi terkonsentrasi pada suatu areal dengan jumlah vegetasinya minimal
100 pohon dengan jarak tanam rapat dan tidak beraturan.
b. Menyebar, yaitu ruang terbuka hijau yang tidak memiliki pola tertentu, dengan komunitas vegetasinya tumbuh menyebar terpencar-pencar dalam bentuk
rumpun atau gerombol kecil
c. Bentuk jalur, yaitu komunitas vegetasinya tumbuh pada lahan yang berbentuk jalur lurus atau melengkung, mengikuti bentukan sungai, jalan, pantai, saluran
dan sebagainya.
Sedangkan Nurisjah (2005) membedakan bentuk ruang terbuka hijau
berdasarkan kesesuaian fungsionalnya terhadap ruang-ruang kota. Ruang terbuka
hijau dikelompokkan menjadi dua:
a. Bentuk mengelompok, dibedakan lagi berdasarkan ukuran-fungsionalnya, yaitu kawasan yang berbentuk mengelompok, relatif luas ukurannya, serta dapat digunakan untuk berbagai aktivitas sosial dan rekreatif masyarakat serta
memiliki manfaat ekologis yang tinggi, dan simpul untuk bentuk mengelompok yang relatif kecil ukurannya dan lebih mendukung aspek
estetika ruang kota tetapi kurang dapat digunakan untuk beraktivitas
b. Bentuk jalur dikategorikan lagi berdasarkan peruntukan fungsionalnya, yaitu bentuk jalur hijau jalan raya, jalur hijau lintas kereta, jalur hijau tepi sungai,
jalur hijau tepi kota dan sebagainya.
Fungsi dan Manfaat Ruang Terbuka Hijau
Ruang terbuka hijau merupakan bagian dari kawasan kota yang memberikan
kontribusi utama dalam meningkatkan kualitas lingkungan yang baik (Roslita,
1997 dalam Nurisjah, 2005). RTH tidak hanya berfungsi sebagai pengisi ruang dalam kota, namun juga harus dapat berfungsi sebagai penjaga keseimbangan
ekosistem kota untuk kelangsungan fungsi ekologis dan berjalannya fungsi kota
yang sehat dan wajar (Crowe, 1981). Bertnatzky (1978) menggambarkan suatu
model RTH sebagai ventilasi kota, yang menjadi sumber udara segar dan bersih,
yang disusun mengelilingi dan struktur kota yang masif, dan akan membentuk
ruang-ruang ventilasi yang dapat mengeluarkan udara tercemar dari dalam kota
dan mengalirkan udara bersih.
Ruang terbuka hijau memiliki fungsi sebagai pencipta kenyamanan bagi
manusia melalui faktor iklim, yaitu suhu, radiasi matahari, curah hujan dan
kelembaban. Vegetasi dapat menyerap panas dari radiasi matahari dan
memantulkannya sehingga dapat menurunkan suhu mikroklimat. Vegetasi juga
dapat mengurangi kecepatan angin tergantung pada derajat keefektifan tanaman
dan teknik peletakkannya. Selain itu, ruang terbuka hijau dapat melembutkan
suasana keras dan struktur fisik bangunan, membantu menurunkan tingkat
kebisingan, udara panas dan polusi sekitarnya serta membentuk kesatuan ruang
(Carpenter et al., 1975).
Menurut Simonds (1983) RTH dapat membentuk karakter kota, memberikan
kenyamanan dan menjaga kelangsungan hidupnya. Secara lebih spesifik
dijelaskan bahwa RTH memiliki fungsi sebagai 1) penjaga kualitas lingkungan, 2)
penyumbang ruang bernafas yang segar dan indah, 2) paru-paru kota, 4)
penyangga sumber air tanah, 5) mencegah erosi, serta 6) sebagai unsur dan sarana
pendidikan.
Menurut Purnomosidi (2006), kemudian dikukuhkan dan disempurnakan
memiliki fungsi utama (intrinsik) sebagai fungsi ekologis, yaitu memberikan
jaminan pengadaaan RTH menjadi bagian dari sistem sirkulasi udara (paru-paru
kota), pengatur iklim mikro, peneduh, produsen oksigen, penyerap polusi dan air
hujan, penyedia habitat satwa dan penahan angin. Sedangkan fungsi tambahan
(ekstrinsik) dari RTH adalah:
1) fungsi sosial, dan budaya yang mampu menggambarkan ekspresi budaya lokal, media komunikasi warga kota, tempat rekreasi, serta sebagai wadah dan objek
pendidikan, penelitian, dan pelatihan dalam mempelajari alam,
2) fungsi ekonomi, yang merupakan sumber produk yang bisa dijual seperti tanaman bunga, daun, sayur dan buah, serta bisa menjadi bagian dari usaha
pertanian, perkebunan, kehutanan dan sebagainya.
3) fungsi estetika yaitu meningkatkan kenyamanan dan keindahan lingkungan kota, sehingga dapat menstimulus kreativitas dan produktivitas warga kota,
serta menciptakan suasana serasi dan seimbang antara area terbangun dan
tidak terbangun.
Kebutuhan Luas Ruang Terbuka Hijau
Hingga saat ini, formula rumusan penentuan luas kebutuhan RTH untuk
memenuhi syarat lingkungan kota yang berkelanjutan, masih terbatas pada
penentuan luas secara kuantitatif. Luas RTH tersebut masih harus disesuaikan
dengan faktor penentu lainnya, seperti geografis, iklim, jumlah dan kepadatan
penduduk, luas kota, kebutuhan akan oksigen, rekreasi dan sebagainya.
Perhitungan luas minimum kebutuhan RTH perkotaan secara kuantitatif
dapat didasarkan pada: 1) luas wilayah, yaitu minimal 30% dari total luas wilayah
yang terdiri dari 20% RTH publik dan 10% RTH privat, 2) jumlah penduduk,
yakni 20m2 per kapita yang didistribusikan pada berbagai tingkat hierarki (Tabel
1), dan/atau 3) kebutuhan fungsi tertentu (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
No.05/PRT/M/2008). Kebutuhan fungsi tertentu biasanya dikaitkan dengan
isu-isu penting di suatu wilayah perkotaan antara lain kebutuhan oksigen,
Tabel 1. Penyediaan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk
No Unit
Lingkungan Tipe RTH
Luas
kelurahan 9.000 0,3
Dikelompokkan
kecamatan 24.000 0,2
Dikelompokkan dengan sekolah/pusat kelurahan
Pemakaman disesuaikan 1,2 tersebar
5 480.000
jiwa
Taman kota 144.000 0,3 Di pusat wilayah/kota
Hutan kota disesuaikan 4,0 Di dalam/ kawasan pinggiran
Untuk
fungsi-fungsi tertentu disesuaikan 12,5
Disesuaikan dengan kebutuhan
Sumber: Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2008
Kebutuhan oksigen di wilayah perkotaan, dapat menggunakan metode
Gerarkis (Wisesa, 1988). Perhitungan ini tidak hanya didasarkan pada jumlah
konsumsi oksigen oleh penduduk kota, namun juga memperhitungkan jumlah
oksigen yang dikonsumsi oleh ternak dan kendaraan bermoor. Kebutuhan
oksigen untuk manusia dihitung dengan asumsi bahwa manusia mengoksidasi
3000 kalori per hari dari makanan dan menggunakan sekitar 600 liter oksigen dan
memproduksi 480 liter CO2. Untuk menghitung konsumsi oksigen oleh
kendaraan bermotor, terlebih dahulu perlu diketahui jumlah dan jenis kendaraan
bermotor. Jenis kendaraan bermotor dibedakan menjadi kendaraan penumpang,
kendaraan beban, kendaraan bis dan sepeda motor
Proses Hierarki Analitik (Analytical Hierarcchy Process)
model pendakatan Multi-Attribute Decision Modelling (MADM). AHP adalah prosedur yang berbasis matematis yang sangat baik dan sesuai untuk kondisi
evaluasi atribut-atribut kualitatif. Atribut-atribut tersebut secara matematik
dikuantitatifkan dalam satu set perbandingan berpasangan.
Kelebihan AHP dibandingkan dengan yang lain karena adanya struktur yang
berhierarki, sebagai konsekuensi dari kriteria yang dipilih, sampai kepada sub-sub
kriteria yang paling mendetil. Prosedur ini memperhitungkan validitas sampai
dengan batas toleransi inkonsistensi berbagai kriteria dan alternatif yang dipilih
oleh para pengambil keputusan. Karena menggunakan input persepsi manusia,
model ini dapat mengolah data yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif.
Sehingga kompleksitas permasalahan yang ada disekitar kita dapat didekati
dengan baik oleh model AHP ini. Selain itu, AHP memiliki kemampuan untuk
memecahkan masalah yang multi-objektif atau multi-kriteria yang didasarkan
pada perbandingan preferensi dari tiap elemen dalam hierarki. Jadi model ini
merupakan suatu model pengambilan keputusan yang komprehensif.
Langkah paling awal dalam penggunaan proses analisis hierarki adalah
merinci permasalahan ke dalam komponen-komponennya. Selanjutnya mengatur
bagian-bagian dari komponen-komponen tersebut ke dalam bentuk hierarki.
Hierarki yang paling atas diturunkan ke dalam beberapa elemen unit lain,
sehingga akhirnya terdapat elemen-elemen yang spesifik atau elemen-elemen
yang dapat dikendalikan dicapai dalam situasi konflik.
Dalam menyelesaikan persoalan dengan AHP ada prinsip-prinsip AHP yang
harus dipahami, diantaranya adalah: decomposition, comparatif judgement, syntesis of priority, dan logical consistency.
1) Decomposition. Setelah persoalan didefinisikan, maka perlu didekomposisi, yaitu dengan cara memecah persoalan yang utuh menjadi unsur-unsurnya.
Jika ingin mendapatkan hasil yang akurat, pemecahan juga dilakukan
terhadap unsur-unsur sampai tidak mungkin dilakukan pemecahan lebih lanjut,
sehingga didapatkan beberapa tingkatan persoalan. Karena alasan ini, maka
proses analisis ini dinamakan hierarki (hierarchy).
dengan tingkatan diatasnya. Penilaian ini merupakan inti dari AHP, karena ia
akan berpengaruh terhadap prioritas elemen-elemen. Hasil penilaian ini akan
lebih mudah disajikan dalam bentuk matriks pairwise comparison. Agar diperoleh skala yang bermanfaat, ketika membandingkan dua elemen
seseorang yang akan memberi jawaban perlu memiliki pengertian yang
menyeluruh tentang elemen-elemen yang dibandingkan dan relevansinya
terhadap kriteria atau tujuan yang dipelajari.
3) Synthesis of priority. Dari setiap matriks pairwise comparison dicari
eigenvector-nya untuk mendapatkan local priority. Karena matriks pairwise comparison terdapat pada setiap tingkat, maka untuk mendapatkan global priority harus dilakukan sintesa diantara local priority. Prosedur melakukan sintesa akan berbeda-beda menurut bentuk hierarki. Pengurutan
elemen-elemen menurut kepentingan relatif melalui prosedur sintesa, yang dinamakan
priority setting.
4) Logical consistency. Konsistensi memiliki dua makna. Pertama adalah bahwa objek-objek yang serupa dapat dikelompokkan sesuai dengan keseragaman
dan relevansi (misalnya, anggur dan kelereng dapat dikelompokkan dalam
himpunan yang seragam jika bulat adalah kriterianya). Kedua adalah
menyangkut tingkat hubungan antar objek-objek yang didasarkan pada kriteria
tertentu; misalnya, jika A>B dan B>C, maka seharusnya A>C.
Peran Masyarakat dalam Penyediaan dan Pemanfaatan RTH
Peran masyarakat dalam penyediaan dan pemanfaatan RTH diatur dalam
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2008. Partisipasi masyarakat
merupakan upaya melibatkan masyarakat, swasta, lembaga badan hukum dan atau
perseorangan dalam penataan ruang, baik pada tahapan perencanaan, pemanfaatan
dan pengendalian. Upaya ini dimaksudkan untuk menjamin hak masyarakat dan
swasta, untuk memberikan kesempatan akses dan mencegah terjadinya
penyimpangan pemanfaatan ruang dari rencana tata ruang yang telah ditetapkan,
melalui pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang oleh masyarakat dan
Prinsip-prinsip yang digunakan dalam pengembangan RTH di wilayah
perkotaan adalah: 1) menempatkan masyarakat sebagai pelaku yang sangat
menentukan dalam pengembangan ruang terbuka hijau, 2) memposisikan
pemerintah sebagai fasilitator dalam proses pengembangan RTH, 3) menghormati
hak yang dimiliki masyarakat serta menghargai kearifan lokal dan keberagaman
sosial budaya, 4) menjunjung tinggi keterbukaan dan semangat tetap menegakkan
METODOLOGI
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di wilayah administrasi Kota Tangerang, Propinsi
Banten. Proses penelitian dimulai dengan pengumpulan data, analisis dan
diakhiri dengan penyusunan laporan, pada bulan Mei hingga Desember 2009.
Kota Tangerang secara geografis terletak antara 6º6' Lintang Utara
sampai dengan 6º13’ Lintang Selatan dan 106º36' Bujur Timur sampai dengan
106º42' Bujur Timur. Batas-batas wilayah penelitian adalah:
Sebelah utara, berbatasan dengan Kecamatan Teluknaga dan Kecamatan
Sepatan Kabupaten Tangerang.
Sebelah selatan, berbatasan dengan Kecamatan Curug Kabupaten Tangerang,
dan Kecamatan Serpong dan Kecamatan Pondok Aren Kota Tangerang
Selatan.
Sebelah timur berbatasan dengan DKI Jakarta.
Sebelah Barat, berbatasan dengan Kecamatan Cikupa Kabupaten Tangerang.
Secara rinci, posisi geografis wilayah Kota Tangerang disajikan pada Gambar 2.
Metode Penelitian
Metode dalam penelitian ini meliputi pengumpulan data-data dan
informasi yang dibutuhkan, serta menganalisis data sesuai dengan kebutuhan.
Adapun tahapan penelitian yang akan dilakukan meliputi :
Pengumpulan Data
Pengumpulan data diperlukan untuk menganalisis kebutuhan ruang terbuka
hijau di kota Tangerang. Data yang dikumpulkan berupa data primer yang
diperoleh langsung melalui pengamatan di lapangan serta wawancara dengan
narasumber, terutama untuk menentukan preferensi masyarakat terhadap bentuk
dan fungsi RTH yang diinginkan. Sedangkan data sekunder diperoleh dengan
cara studi pustaka dari literatur dan dokumen yang ada.
Data yang digunakan dalam penelitian ini mencakup data administrasi, data
fisik dan biofisik, data sosial demografi, data ekonomi dan data lainnya yang
digunakan untuk analisis lebih lanjut. Adapun rincian data tersebut adalah
sebagai berikut:
• Peta Administrasi Kota Tangerang
• Citra Ikonos tahun 2007 yang diolah untuk memperoleh informasi penutupan lahan, diakses dari BPLH Kota Tangerang.
• Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Tangerang tahun 2008-2028 (Draft
sementara, yang di-up date pada September 2009)
• Peraturan-perundangan yang terkait dengan RTH
• Luas wilayah, jumlah penduduk, jenis dan jumlah kendaraan, jenis dan jumlah
ternak, jumlah dan distribusi air minum oleh PDAM, dan jumlah air tanah
Kota Tangerang yang digunakan untuk menghitung luas kebutuhan RTH.
Luas wilayah diperoleh dari BPS, jumlah penduduk diperoleh dari BPS, jenis
dan jumlah kendaraan dari Kantor Samsat Kota Tangerang, jenis dan jumlah
ternak dari Dinas Pertanian Kota Tangerang, sedangkan jumlah dan distribusi
Analisis Data
Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau
Sebagai upaya menyelesaikan permasalahan dilakukan perhitungan dan
analisis terhadap kebutuhan RTH, analisis penutupan lahan, analisis kesesuaian
RTH, dan analisis terhadap preferensi masyarakat terhadap prioritas
pengembangan ruang terbuka hijau di Kota Tangerang.
Kebutuhan RTH Berdasarkan Luas Wilayah. Luas kebutuhan RTH didasarkan pada Undang-Undang Tata Ruang nomor 26 Tahun 2007, yang mensyaratkan luas
RTH minimal 30% dari total luas wilayah kota. Proporsi RTH berdasarkan
kepemilikan adalah 20% RTH publik dan 10% RTH privat.
Kebutuhan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk. Untuk menentukan luas RTH dilakukan dengan mengalikan antara jumlah penduduk dengan standar luas RTH
per penduduk. Kebutuhan RTH kota per penduduk ditetapkan berdasarkan pada
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman
Penyediaan Dan Pemanfaatan RTH di Kawasan Perkotaan, yaitu 20m2/penduduk.
Kebutuhan RTH Berdasarkan Kebutuhan Oksigen Kota Tangerang. Luas kebutuhan RTH dihitung berdasarkan kebutuhan oksigen dapat dilakukan dengan
metode Gerarkis (Fakultas Kehutanan IPB 1987), yang dimodifikasi dalam Wisesa (1988). Perhitungan tersebut menggunakan data sosial budaya seperti
jumlah penduduk, jumlah ternak dan jumlah kendaraan bermotor. Rumus dari
metode Gerarkis adalah sebagai berikut:
( ) (
54
0
,
9375
)
m
2Pt adalah jumlah kebutuhan oksigen bagi penduduk pada tahun ke t
Kt adalah jumlah kebutuhan oksigen bagi kendaraan bermotor pada tahun ke t
Tt adalah jumlah kebutuhan bagi ternak pada tahun ke t
54 adalah tetapan yang menunjukkan bahwa 1 m2 luas lahan menghasilkan 54
0,9375 merupakan konstanta yang menunjukkan bahwa 1 gram berat kering
tanaman adalah setara produksi oksigen 0,9375 gram
Asumsi yang digunakan dalam perhitungan ini:
Kebutuhan oksigen per hari tiap penduduk adalah sama, yaitu 600 liter/hari
Pengguna oksigen adalah manusia, kendaraan bermotor dan ternak,
sedangkan hewan dan pengguna lain diabaikan dalam perhitungan.
Jumlah kendaraan yang keluar dan masuk dalam wilayah Kota Tangerang
dianggap sama setiap hari
Jumlah kendaraan yang beredar di Kota Tangerang sebanding dengan
jumlah kepemilikan kendaraan penduduk yang tercatat di Kantor Samsat
Kota Tangerang.
Kesejahteraan penduduk meningkat setiap tahun sehingga mampu membeli
kendaraan bermotor
Guna memprediksikan jumlah penduduk pada tahun mendatang (2013 dan
2018) dapat digunakan rumus bunga berganda:
x t
x
t
P
r
P
+=
(
1
+
)
Dimana:
Pt+x Jumlah penduduk pada tahun t+x
Pt Jumlah penduduk pada tahun t
r Rata-rata persentase pertambahan jumlah penduduk
x selisih tahun
Rumus bunga berganda dapat digunakan untuk memprediksikan jumlah
hewan ternak dan kendaraan bermotor berdasarkan jenisnya dengan menggunakan
data perkembangan jumlah pada tahun sebelumnya.
Kebutuhan RTH Berdasarkan Kebutuhan Air Bagi Penduduk Kota Tangerang.
Kebutuhan air dalam kota bergantung pada faktor; kebutuhan air bersih per
tahun, jumlah yang dapat disediakan oleh PAM, potensi air saat ini, kemampuan
ruang terbuka hijau menyimpan air. Faktor tersebut dapat ditulis dalam
(
)
La adalah luas RTH yang diperlukan untuk mencukupi kebutuhan air (Ha)
Po adalah jumlah penduduk pada tahun ke 0
K adalah konsumsi air per kapita (liter/hari)
R adalah laju peningkatan pemakaian air (biasanya seiring dengan laju
pertumbuhan penduduk kota setempat)
C adalah faktor koreksi; tergantung upaya pemerintah untuk menurunkan laju
pertumbuhan penduduk (%)
PAM adalah kapasitas suplai air oleh PAM (dalam m3/tahun)
t adalah tahun ke
Pa adalah potensi air tanah saat ini (m3/tahun)
z adalah kemampuan RTH dalam menyimpan air (m3/ha/tahun)
Asumsi:
Potensi air tanah tersebar merata di seluruh kawasan
Sumber air berasal dari kota Tangerang dan tidak ada suplai dari daerah lain
Standar kebutuhan konsumsi air bersih 300 liter/orang/hari hanya bersumber
dari PDAM1 dan air tanah dengan kapasitas suplai air bersih tetap
Jenis vegetasi yang digunakan memiliki kemampuan yang sama dalam
meresapkan air
Laju pertambahan penduduk 10 tahun yang akan datang relatif tetap
Analisis Penutupan Lahan
Analisis penutupan lahan dilakukan untuk memperoleh informasi penutupan
lahan eksisting. Informasi daerah yang bervegetasi diperlukan untuk mengetahui kecukupan vegetasi dalam memenuhi standar kebutuhan ruang terbuka hijau yang
dihasilkan. Bahan yang digunakan adalah citra Ikonos wilayah Tangerang tahun
2007. Langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut :
1
1) Pemotongan citra, atau cropping dilakukan untuk membatasi daerah penelitian. Pemotongan citra menggunakan peta digital Kota Tangerang,
mencakup seluruh wilayah administratif Kota Tangerang.
2) Citra kemudian didigitasi sesuai dengan jenis penutupan lahannya. Adapun
jenis penutupan lahan dikelaskan menjadi; 1) ruang terbangun, 2) lahan
bervegetasi pohon, 3) lahan bervegetasi semak, rumput, perdu dan tanaman
pertanian semusin, dan 4) lahan kosong (tanpa vegetasi).
3) Pengecekan lapang. Pengecekan ini dilakukan untuk memperoleh informasi
dan kondisi Kota Tangerang terkini secara nyata. Perubahan penggunaan
lahan yang terjadi dicatat koordinatnya, untuk kemudian dilakukan koreksi
pada peta penutupan lahan yang akan dihasilkan.
Analisis Kesesuaian Ruang Terbuka Hijau
Analisis kesesuaian ruang terbuka hijau digunakan untuk mengetahui
kecukupan kondisi eksisting RTH dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Tangerang terhadap kebutuhan RTH berdasarkan luas wilayah, jumlah
penduduk, kebutuhan oksigen dan kebutuhan air tanah bagi penduduk Kota
Tangerang.
Preferensi Masyarakat Terhadap Prioritas Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Di Kota Tangerang
Penelitian ini menggunakan metode Analysis Hierarchy Process (Saaty, 1993), untuk mengetahui preferensi masyarakat terhadap prioritas pengembangan
RTH berdasarkan bentuk dan manfaatnya. Penilaian preferensi masyarakat
dilakukan melalui kuisioner yang diisi oleh responden dengan penilaian skala
perbandingan berpasangan. Responden berjumlah 31 orang terdiri dari empat
para-pihak (stakeholder), yaitu kalangan akademisi, pemerintahan, swasta dan tokoh masyarakat.
Langkah-langkah Analysis Hierarchy Process (AHP) yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Penyusunan hierarki.
Persoalan yang ada didekomposisikan menjadi unsur-unsur, yaitu kriteria
hierarki. Hal yang ingin diketahui adalah bentuk dan fungsi ruang terbuka hijau
yang sesuai dengan preferensi masyarakat. Bentuk dan pemanfaatan ruang
terbuka hijau yang menjadi preferensi tertinggi akan menjadi prioritas dalam
pengembangan RTH di Kota Tangerang.
Kriteria untuk mengambil keputusan adalah berdasarkan fungsi ruang
terbuka hijau (ekologis, sosial, ekonomi dan estetika). Fungsi-fungsi tersebut
selanjutnya dinyatakan dalam tiga bentuk fisik RTH yang terkait dengan
kesesuaian fungsionalnya dan merupakan bentuk umum yang banyak dijumpai di
Kota Tangerang, yaitu kawasan, simpul dan jalur (Gambar 4).
a). Kawasan berbentuk non-linier, zonal atau areal, dengan luas minimal satu hektar, seperti taman kota, hutan kota, kawasan konservasi, lapangan bola,
alun-alun kota, dan sebagainya.
b). Simpul berbentuk non-linier, zonal atau areal dengan luas kurang dari satu hektar, seperti pekarangan, taman RT, Taman RW, traffic islands, pocket park, dan sebagainya
c). Jalur berbentuk koridor, linier, memanjang. Termasuk dalam RTH ini adalah jalur hijau jalan raya, jalur hijau lintas kereta, jalur hijau sempadan sungai,
jalur pengaman listrik tegangan tinggi.
Adapun struktur hierarki persoalan ini digambarkan sebagai
berikut:
Gambar 3. Hierarki untuk memilih prioritas pengembangan RTH Prioritas
Pengembangan RTH
Ekologis Sosial Ekonomi Estetika
RTH bentuk mengelompok: kawasan
RTH bentuk mengelompok: simpul
RTH bentuk jalur: jalur hijau lintas kereta, jalur hijau jalan raya, jalur hijau listrik tegangan tingi, jalur hijau tepi sungai
Lapangan PT. Kumatex
Jl. Veteran
Jl. Daan Mogot
Tanah tinggi Jl Pengayoman
Pintu Air Sepuluh Cisadane
Taman Kota Cisadane
Cipondoh Indah
Perintis Kemerdekaan
2) Penilaian Kriteria dan Alternatif
Penilaian kriteria dan alternatif dilakukan dengan penilaian skala
perbandingan berpasangan. Skala yang digunakan adalah 1-9 dengan nilai dan
definisi pendapat kualitatif dari Saaty, seperti yang dikemukakan Marimin
(2004) berikut:
Tabel 2. Skala Perbandingan Berpasangan
Nilai Keterangan 1 Kriteria/Alternatif A sama penting dengan kriteria/alternatif B
3 A sedikit lebih penting dari B
5 A jelas lebih penting dari B
7 A sangat jelas lebih penting dari B
9 Mutlak lebih penting dari B
2,4,6,8 Apabila ragu-ragu antara dua nilai yang berdekatan
3) Penentuan Kriteria.
Untuk setiap kriteria dan alternatif, perlu dilakukan perbandingan berpasangan
(pairwise comparisons). Nilai-nilai perbandingan relatif kemudian diolah untuk menentukan peringkat relatif dari seluruh alternatif. Kriteria-kriteria
kualitatif yang ada dapat dibandingkan sesuai dengan judgement yang telah ditentukan untuk menghasilkan bobot dan prioritas. Bobot atau prioritas
dihitung dengan manipulasi matriks atau melalui penyelesaian persamaan
matematik
4) Konsistensi Logis
Semua elemen kemudian dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan
secara konsisten sesuai dengan suatu kriteria yang logis.
Analisis ini dilakukan dengan bantuan software Expert Choice 2000.
Penyusunan Arahan Pengembangan Ruang Terbuka Hijau untuk Kota Tangerang
Sesuai dengan tujuan penelitian, maka sebagai hasil akhir penelitian dibuat
rumusan arahan pengembangan ruang terbuka hijau untuk Kota Tangerang.
Arahan pengembangan RTH yang dilakukan didasarkan pada hasil analisis
penutupan lahan, RUTR Kota Tangerang, dan proyeksi kebutuhan RTH pada
tahun 2018, dengan mempertimbangkan preferensi masyarakat terhadap bentuk
dan fungsi RTH yang diharapkan. Arahan pengembangan berupa arahan sebaran
Arahan pengembangan RTH dilakukan untuk memenuhi kebutuhan RTH
maksimum yang masih mungkin dicapai berdasarkan kondisi penutupan lahan
eksisting, RUTR dal luas wilayah pada masing-masing kecamatan. Sebaran kebutuhan RTH berdasarkan luas wilayah digunakan untuk melihat kebutuhan
RTH kota secara total pada wilayah Kota Tangerang yang berupa ruang terbuka
yang didominasi oleh hijauan (vegetasi) dalam bentuk apapun. Sebaran RTH
menurut kebutuhan penduduk ditujukan untuk meningkatkan kenyamanan
penduduk yang berbentuk taman umum, jalur hijau, hutan kota, dan/atau kawasan
perlindungan setempat (selanjutnya disebut RTH kenyamanan). Kebutuhan RTH
berdasarkan kebutuhan oksigen digunakan untuk melihat kebutuhan RTH yang
berupa tegakan-tegakan pohon yang diasumsikan dapat menghasilkan oksigen.
Sedangkan kebutuhan RTH berdasarkan kebutuhan air digunakan untuk melihat
kebutuhan RTH berupa lahan-lahan resapan air.
Ruang terbuka hijau yang telah tertata tetap dipertahankan. Kekurangan
luasan RTH selanjutnya dipenuhi dengan menjadikan RTH eksisting menjadi RTH tertata. Proses akuisisi ini diorientasikan pada lahan-lahan yang
direncanakan pemerintah dalam RTRW 2008-2028 dan lahan-lahan yang masih
berupa RTH.
Bentuk RTH disesuaikan dengan ketersediaan lahan yang ada, namun
sebisa mungkin mengakomodasikan preferensi masyarakat. Bila ketersediaan
lahan di suatu kecamatan tidak mencukupi, maka pemenuhan kebutuhan diperoleh
dari subsidi dari kecamatan lain. Pada prinsipnya seluruh RTH ditujukan untuk
menyangga ekologi Kota Tangerang, namun beberapa diantaranya perlu
ditekankan pada fungsi tertentu. Fungsi estetika antara lain ditekankan pada RTH
taman dan jalur hijau tepi jalan. Fungsi ekologi ditekankan pada hutan kota,
kawasan resapan air, kawasan sempadan situ dan jalur hijau sempadan sungai.
Sedangkan kawasan pertanian menekankan pada fungsi ekonomi.
Adapun rangkaian tahapan penelitian hingga diperoleh rumusan arahan
Gambar 5. Diagram Alur Penelitian Perkembangan Kota Tangerang
RTRW Kota Tangerang Kondisi umum
RTH Eksisting
Analisis Kebutuhan RTH Kebutuhan Oksigen
& Air Bersih Kondisi Fisik,
Biofisik, Sosial-Budaya , Ekonomi
Standar Kebutuhan RTH
Ruang Terbuka Hijau
Preferensi masyarakat
Arahan Pengembangan RTH Kota Tangerang
Luas wilayah
Jumlah Penduduk
Peraturan Menteri PU No 05/PRT/M/2008
Luas dan sebaran RTH
Analisis Penutupan
Lahan
Analisis Kecukupan dan Kesesuaian RTH
43 HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Penutupan Lahan Kota Tangerang
Analisis penutupan lahan dilakukan untuk mengetahui luas ketersediaan
RTH, lokasi dan penyebarannya. Hasil analisis tersebut akan digunakan sebagai
dasar analisis selanjutnya, serta sebagai dasar dalam melakukan penyusunan
arahan pengembangan RTH.
Berdasarkan kenampakan citra Ikonos dan survei lapang, penutupan lahan di
Kota Tangerang dapat dikelompokkan menjadi 4 kelas (Gambar 5), yaitu:
1. Lahan bervegetasi pohon atau tanaman keras (6%)
2. Lahan bervegetasi semak, rumput, dan tanaman musiman (sawah/ladang)
(39%)
3. Lahan kosong atau tidak bervegetasi (1%)
4. Lahan terbangun, baik berupa pemukiman, bangunan industri, bangunan
infrastuktur, dan bentuk lainnya (54%)
Lahan terbangun 54%
semak, rumput, tanaman semusim 39%
Lahan kosong 1% Vegetasi Pohon
6%
Gambar 7. Komposisi Penutupan Lahan Kota Tangerang Tahun 2007
Kawasan hijau di Kota Tangerang secara umum membentuk pola
terdistribusi tidak merata. Lahan bervegetasi pohon, yang dicirikan oleh tekstur
yang kasar dan berwarna hijau tua sebagian membentuk pola memanjang (jalur) di
sepanjang sungai, dan sebagian lainnya membentuk gerombol-gerombol kecil
yang tidak saling terhubung. Lahan hijau yang lainnya berupa lahan bervegetasi
semak, rumput, dan tanaman pertanian semusim membentuk pola menyebar atau
Kegiatan pertanian di Kota Tangerang pada umumnya tidak dilakukan
secara intensif. Kegiatan bercocok tanam lebih sering dilakukan pada saat musim
penghujan saja, bahkan pada lahan yang berstatus sawah irigasi teknis. Sehingga
lahan-lahan tersebut lebih sering tidak tergarap, ditumbuhi rumput dan belukar.
Oleh karena itu, dalam penelitian ini, lahan pertanian tidak diklasifikasikan secara
khusus. Adapun hasil analisis penutupan lahan secara rinci disajikan pada Tabel 8
dan Gambar 10 berikut.
Tabel 8. Klasifikasi dan Luas Penutupan Lahan Kota Tangerang
Gambar 10. Proporsi Ruang Terbuka di Kota Tangerang
Pada Gambar 9 dan 10 dapat terlihat bahwa kawasan yang relatif masih
memiliki banyak vegetasi nampak terlihat di sekitar Situ Cipondoh, di sekitar
kawasan industri Jatiuwung, dan di sekitar Neglasari. Kawasan hijau di sekitar
Situ Cipondoh, meliputi Kecamatan Pinang (1.544,07 Hektar) dan Kecamatan
Cipondoh (852,06 Hektar). Berdasarkan analisis visual, kawasan hijau ini masih
didominasi oleh lahan pertanian. Kegiatan pertanian di daerah ini ditunjang
dengan oleh adanya Situ Cipondoh dan dataran banjir yang ada disekitarnya.
Selain itu di daerah ini masih banyak dijumpai pepohonan (tanaman berkayu)
yang biasanya merupakan kebun atau pekarangan penduduk setempat. Pepohonan
juga terlihat di beberapa tempat di sepanjang aliran Sungai Cisadane. RTH ini
tidak membentuk jalur namun lebih membentuk gerombol yang terpisah-pisah
Kawasan hijau lainnya banyak ditemukan di daerah Jatiuwung dan Periuk.
Di daerah ini, kawasan hijau berada di sekitar kawasan industri. Lahan hijau yang
terbuka sebagian besar merupakan bagian dari lokasi pabrik ataupun
kavling-kavling pabrik yang belum terbangun. Lahan ini umumnya dibiarkan begitu saja
sehingga ditumbuhi alang-alang dan semak belukar. Luas lahan ini hampir
mencapai 1.200 Hektar.
Kawasan Neglasari berada dekat dengan “Pintu Air Sepuluh” yang dahulu
dibangun pemerintahan Belanda untuk keperluan irigasi. Sampai saat ini saluran
irigasi di kawasan ini sebagian masih berfungsi dengan baik. Sebagian besar
kawasan hijau di wilayah ini merupakan areal persawahan. Berdasarkan catatan
Dinas Pertanian, pada tahun 2007, lahan irigasi teknis di Kota Tangerang
berjumlah 585,0 Hektar, dan yang terluas berada di Kecamatan Neglasari (301,0
Hektar) dan Kecamatan Benda (166,0 Hektar). Namun seiring dengan
perkembangan penduduk Kota Tangerang, lahan-lahan sawah di daerah ini
banyak yang mulai dikonversi menjadi pemukiman.
Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Kota Tangerang
Kebutuhan RTH Berdasarkan Luas Wilayah
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
menetapkan bahwa proporsi RTH pada wilayah perkotaan adalah sebesar minimal
30% yang terdiri dari 20% RTH publik dan 10% RTH privat. Berdasarkan
standar tersebut maka wilayah Kota Tangerang, yang memiliki luas 16.452,1
Hektar, harus memiliki RTH minimum seluas 4.935,6 Hektar, dengan luas RTH
publik seluas 3.290,4 Hektar. Kebutuhan ini relatif tetap di tahun-tahun yang
mendatang, kecuali terjadi perubahan luas wilayah administrasi. Secara rinci,
Tabel 9. Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Kota Tangerang Berdasarkan UUTR No.26 Tahun 2007
Kecamatan Luas (ha)
Kebutuhan RTH (Ha) Tahun 2008 Publik
* Tidak termasuk luas Bandara Internasional Soekarno-Hatta = 1.969,31 hektar
** Sumber: Dinas Tata Kota Tangerang Tahun 2008 (diolah).
Kebutuhan RTH berdasarkan Jumlah Penduduk
Berdasarkan ketentuan yang tersirat dalam Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum No.05/PRT/M/2008, standar kebutuhan ruang terbuka hijau berdasarkan
jumlah penduduk adalah 20 m2/kapita. Data Biro Pusat Statistik menunjukkan
jumlah penduduk Kota Tangerang pada tahun 2008 adalah 1.531.666 jiwa
Sehingga pada tahun 2008 Kota Tangerang membutuhkan RTH seluas 3.063,3
Hektar.
Rata-rata laju pertumbuhan penduduk 5 tahun terakhir adalah 1,75% per
tahun (BPS, 2008). Sejauh ini tidak ada program khusus dari pemerintah yang
ditujukan untuk menekan laju pertumbuhan penduduk. Proyeksi jumlah
penduduk untuk tahun 2013 dan 2018 dilakukan dengan menggunakan rumus
bunga berganda, dan diperoleh perkiraan jumlah penduduk pada tahun 2013
adalah 1.670.656 jiwa, dan tahun 2018 adalah 1.822.258 jiwa. Jumlah penduduk
2013 dan 2018 kebutuhan RTH diproyeksikan meningkat menjadi 3.341,3 Hektar
dan 3.644,5 Hektar (Tabel 10). Sesuai dengan jumlah penduduk pada tiap
kecamatan, kebutuhan RTH tertinggi dimiliki oleh Kecamatan Karawaci,
sedangkan yang terendah adalah Kecamatan Benda .
Tabel 10. Kebutuhan RTH Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2008 pada 3 Titik Tahun
Kecamatan Jumlah Penduduk (jiwa) Kebutuhan RTH (Ha)
2008 2013 2018 2008 2013 2018
Kota Tangerang 1.531.666 1.670.656 1.822.258 3.063,3 3.341,3 3.644,5
Sumber: BPS (2009) dan Hasil Analisis
Kebutuhan RTH Berdasarkan Kebutuhan Oksigen di Kota Tangerang
Ruang Terbuka Hijau di daerah perkotaan merupakan paru-paru kota.
Tanaman, sebagai unsur utama RTH, merupakan produsen oksigen yang sangat
dibutuhkan oleh berbagai aktivitas kehidupan perkotaan. Oksigen yang dihasilkan
kemudian akan dikonsumsi oleh manusia dan hewan, serta dipergunakan dalam
proses pembakaran mesin kendaraan bermotor. Dengan demikian, kebutuhan
akan RTH dapat ditentukan dengan pendekatan kebutuhan oksigen.
Besarnya RTH yang dibutuhkan diperhitungkan berdasarkan kontribusi
oksigen oleh tanaman dengan melihat kebutuhan akan oksigen yang digunakan
oleh manusia, hewan ternak, dan kendaraan bermotor. Metode perhitungan
a. Kebutuhan Oksigen untuk Manusia
Menurut White, Handler dan Smith (1959) dalam Wisesa (1988), manusia mengoksidasi 3000 kalori per hari dari makanannya, menggunakan 600 liter
oksigen dan menghasilkan sekitar 450 liter karbondioksida. Secara normal,
manusia membutuhkan 600 liter oksigen atau setara dengan 864 gram oksigen
setiap hari.
Menggunakan metode proyeksi jumlah penduduk pada pembahasan
sebelumnya, diketahui jumlah penduduk Kota Tangerang pada tahun 2013 adalah
1.670.656 jiwa, dan tahun 2018 adalah 1.822.258 jiwa. Dengan menggandakan
jumlah penduduk dengan standar kebutuhan oksigen per jiwa, maka jumlah
kebutuhan oksigen untuk manusia di Kota Tangerang dapat diketahui. Tahun
2008 kebutuhan oksigen manusia di Kota Tangerang adalah 1.531.666 jiwa dikali
0,864 kg/jiwa/hari, atau sama dengan 1.323.359 kilogram/hari. Seiring dengan
laju pertumbuhan penduduk, kebutuhan oksigen pada tahun 2013 dan 2018,
meningkat menjadi 1.443.447 dan 1.574.431 kilogram/hari. Tabel 11 menyajikan
data lengkap proyeksi jumlah kebutuhan oksigen yang dibutuhkan oleh manusia
berdasarkan kecamatan di Kota Tangerang.
Tabel 11. Kebutuhan Oksigen untuk Manusia di Kota Tangerang pada 3 Titik Tahun
Kecamatan Jumlah Penduduk (jiwa) Kebutuhan oksigen (kg/hari)
2008 2013 2018 2008 2013 2018
Kota Tangerang 1.531.666 1.670.656 1.822.258 1.323.359 1.443.447 1.574.431
b. Kebutuhan Oksigen bagi Kendaraan Bermotor
Kendaraan bermotor merupakan salah satu konsumen oksigen perkotaan
yang menggunakan oksigen dalam jumlah yang besar. Proses pembakaran yang
terjadi saat kendaraan dioperasikan membutuhkan oksigen, yang jumlah
kebutuhannya tergantung dari jenis bahan bakar yang digunakan. Pada Tabel 12
disajikan jenis kendaraan bermotor dan kebutuhan oksigen.
Tabel 12. Klasifikasi Kendaraan Bermotor Menurut Jenis dan Kebutuhan Oksigen
Sumber: Wisesa (1988)
Secara rinci penjelasan dari Tabel 12 adalah sebagai berikut :
1. Sepeda motor, yaitu kendaraan berbahan bakar bensin dan kebutuhan bahan
bakarnya 0,21 kg/PS jam dengan daya minimal 1 PS. Terdiri dari sepeda
motor biasa, sepeda motor automatic dan scooter. Kebutuhan oksigen tiap 1 kg bahan bakar adalah 2,77 kg.
2. Kendaraan penumpang, yaitu kendaraan berbahan bakar bensin dengan
kebutuhan bahan bakar 0,21 kg/PS jam dengan daya minimal 20 PS. Terdiri
dari berbagai jenis seperti sedan, jeep, station wagon, ambulance dan mobil jenazah. Kendaraan jenis ini membutuhkan oksigen tiap 1 kg bahan bakar
adalah 2,77 kg.
3. Kendaraan beban terdiri dari beban ringan dan beban berat, yaitu kendaraan
berbahan bakar diesel dengan kebutuhan bahan bakarnya 0,16 kg/PS jam
dengan daya minimal 50 PS. Kendaraan ini terdiri dari jenis truk, pick up,
tracktor, pemadam kebakaran, mobil tangki, mobil derek, dan mobil kontainer,
dengan kebutuhan oksigen tiap 1 kg bahan bakar adalah 2,86 kg.
4. Kendaraan bus, yaitu kendaraan berbahan bakar diesel dengan kebutuhan
bahan bakar 0,16 kg/PS jam dengan daya minimal 100 PS. Terdiri dari
jenis-Jenis Kendaraan Bahan