• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA TANGERANG JUWARIN PANCAWATI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA TANGERANG JUWARIN PANCAWATI"

Copied!
141
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU

DI KOTA TANGERANG

JUWARIN PANCAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2010

(2)

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU

DI KOTA TANGERANG

JUWARIN PANCAWATI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2010

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau yang dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini

Bogor, Februari 2010

Juwarin Pancawati

(4)

ABSTRACT

JUWARIN PANCAWATI. The Analysis of Green Open Space Requirements in Tangerang City. Under direction of KUKUH MURTILAKSONO and BABA BARUS.

Some places in Tangerang City has small amount of Green Open Space (GOS), whereas the presence of GOS is needed in order to create a comfortable urban environment. This study aims to analyze the suitability of GOS, knowing the public preference for GOS priorities, and constructing the formulation of referrals development for Tangerang City. GOS requirements were calculated based on; a) area (UU No.26/2007), b) population (Regulation of Public Works Minister No.05/PRT/M/2008), c) oxygen needs (Gerarkis method) and d) water needs (Faculty of Forestry IPB method). The analysis of the suitability of GOS was done by comparing the requirements with the existing GOS and the allocation in City’s Spatial Arrangement Plan (RTRW). While public preferences of GOS were analyzed by AHP method. GOS requirements by area (4.935,6 Hectares) and population (3063.3 Hectares) were generally adequate. Meanwhile, requirement that based on the needed oxygen (28.875 Hectares) and needed water (489.443 Hectares) can not be fulfilled. The GOS’s allocation in the Spatial Plan of Tangerang City 2008-2028, is not in accordance with the GOS requirements. The GOS’s referrals development of Tangerang City was; to maintain the GOS area to 5.890,3 Hectares in order to not convert into built up area. This includes GOS for comfort of residents, both existing (261,6 Hectares) and constructed (4.022,6 Hectares), and the non-comfort GOS (1.867,7 Hectares). Most of the comfort GOS is in the form of block and the rest is in corridor form. The form of non-comfort GOS directed as agricultural area that concentrated at District Periuk and the area surrounding the airport.

(5)

RINGKASAN

JUWARIN PANCAWATI. Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Di Kota Tangerang. Dibimbing oleh KUKUH MURTILAKSONO dan BABA BARUS.

Kota Tangerang merupakan kota yang berkembang pesat. Perkembangan tersebut berakibat pada jumlah Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang semakin berkurang. Padahal keberadaan RTH sangat diperlukan di perkotaan agar tercipta lingkungan yang nyaman dan sehat. Penelitian ini bertujuan memberikan rumusan pokok konsep kebutuhan RTH untuk menjaga keseimbangan lingkungan di Kota Tangerang, berupa 1) analisis kecukupan RTH berdasarkan luas wilayah, jumlah penduduk, kebutuhan oksigen, kebutuhan air tanah di Kota Tangerang, 2) analisis preferensi masyarakat terhadap prioritas pengembangan RTH di kota Tangerang, dan 3) rumusan arahan pengembangan RTH

Kebutuhan RTH dihitung dengan pendekatan luas wilayah yang mengacu pada Undang-Undang Penataan Ruang Nomor 26 Tahun 2007 yaitu 30% dari luas administrasi, kebutuhan penduduk akan RTH kenyamanan yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/M/PRT/2008 yaitu 20m2 per jiwa, kebutuhan oksigen yang dihitung menggunakan metode Gerarkis dan kebutuhan air dengan metode Sutisna. Analisis kecukupan RTH dilakukan dengan memperbandingkan ketersediaan RTH eksisting dan alokasi RTH dalam RTRW dengan kebutuhan RTH.

Preferensi masyarakat terhadap bentuk dan fungsi RTH dianalisis menggunakan metode AHP terhadap 31 responden yang terdiri dari kalangan akademisi, pengembang, pemerintah dan tokoh masyarakat. Hasil analisis menunjukan prioritas RTH yang ingin dikembangkan secara berturut-turut adalah RTH berbentuk kawasan, jalur, dan simpul.

Kebutuhan RTH Kota Tangerang berdasarkan luas wilayah, jumlah penduduk, kebutuhan oksigen dan kebutuhan air bersih secara berturut-turut adalah 4.935,6 Hektar, 3.063,3 Hektar, 28.875 Hektar, dan 489.443 Hektar. Kebutuhan RTH berdasarkan kebutuhan oksigen dan air bersih jauh melampaui luas wilayah Kota Tangerang, sehingga sulit dipenuhi. Sedangkan kebutuhan RTH Kota Tangerang berdasarkan luas wilayah dan jumlah penduduk secara umum terpenuhi, kecuali Kecamatan Larangan dan Kecamatan Ciledug. Alokasi RTH dalam Revisi RTRW Kota Tangerang 2008-2028, ruang terbuka secara umum tidak sesuai dengan kebutuhan RTH. Hampir semua Kecamatan di Kota Tangerang kekurangan alokasi RTH, kecuali Kecamatan Tangerang, Karawaci dan Neglasari. Preferensi masyarakat terhadap pengembangan RTH secara berturut-turut adalah berbentuk kawasan, jalur dan simpul

Arahan pengembangan RTH Kota Tangerang dilakukan berdasarkan ketersediaan RTH, alokasi RTH dalam RTRW, dan proyeksi kebutuhan RTH pada tahun 2018 dengan mempertimbangkan preferensi masyarakat terhadap bentuk dan fungsi yang diinginkan. Arahan RTH yang dilakukan adalah mempertahankan RTH seluas 5.890,3 hektar agar tidak terkonversi menjadi lahan terbangun. Termasuk di dalamnya adalah RTH taman baik eksisting maupun yang ditambahkan (4.022,6 hektar) dan RTH non-taman (1.867,7 hektar). RTH taman sebagian besar berbentuk kawasan (sempadan situ, taman kota, hutan kota

(6)

dan lapangan olah raga) dan sebagian lainnya berbentuk jalur hijau tepi jalan dan jalur hijau sempadan sungai. RTH non-taman diarahkan dalam bentuk lahan-lahan pertanian, terutama dipusatkan di kecamatan periuk dan kawasan sekitar bandara. Pada kawasan ini diperlukan pengawasan yang ketat agar tidak terjadi konversi lahan pertanian ke lahan non-pertanian. Cadangan ruang terbangun seluas 2075,4 hektar sebagian besar diarahkan di Kecamatan Cipondoh, Pinang, Jatiuwung dan Benda.

(7)

Judul Tesis : Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Di Kota Tangerang Nama : Juwarin Pancawati

NIM : A 156070261

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, M.S. Ketua

Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc. Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.

(8)
(9)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Allah SWT, salam dan salawat kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw, karena perkenan-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Penelitian ini berjudul Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Di Kota Tangerang. Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Dalam penyusunan penelitian ini penulis mendapat masukan, arahan, petunjuk dan bimbingan serta kritik dan saran dari berbagai pihak. Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, M.S. sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Dr.Ir. Baba Barus, M.Sc. sebagai Anggota Komisi Pembimbing atas pengarahan, bimbingan dan saran yang diberikan. Lebih daripada itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Risnur dan Ibu Mesi Shinta Dewi dari Dinas Tata Kota Tangerang yang telah membantu selama pengumpulan data.

Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada suami dan anak-anak tercinta yang telah memberi semangat, doa, dan kasih sayangnya. Tidak lupa Teman-teman PWD 2007 dan PWL 2007 dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, penulis sampaikan terimakasih atas segala bantuan dan kerjasama yang terjalin selam ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Febuari 2010

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Purwokerto pada tanggal 14 Februari 1975, dari ayah Suyitno Padmowiyoto dan ibu Siti Robi,atun (almh). Menikah dengan M. Irsyad dan dikaruniai tiga orang anak; Iriene Naura Khansa, Muhammad Afif Abiyyuga dan Muhammad Latief Aditya.

Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Purwokerto pada tahun 1993 dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) pada program studi Ilmu Tanah. Tahun 2002 penulis menyelesaikan studi Program Pascasarjana (S2) Ekonomi Manajemen di Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) Purwokerto. Tahun 2007, penulis mendapat kesempatan kembali untuk menimba ilmu di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan mendapatkan Bantuan Pendidikan Pascasarjana (BPPS).

Saat ini penulis bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Sulltan Ageng Tirtayasa di Serang Banten.

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR... xii

DAFTAR LAMPIRAN... xiii

PENDAHULUAN Latar Belakang... 1 Perumusan Masalah... 4 Tujuan Penelitian... 5 Manfaat Penelitian... 5 TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Ruang Terbuka dan Ruang Terbuka Hijau... 6

Fungsi dan Manfaat Ruang Terbuka Hijau... 10

Kebutuhan Luas Ruang Terbuka Hijau... 11

Proses Hierarki Analitik... 13

Peran Masyarakat dalam Penyediaan dan Pemanfaatan RTH... 15

METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian... 17

Metode Penelitian... 18

Pengumpulan Data... 18

Analisis Data... 19

Penyusunan Arahan Pengembangan Ruang Terbuka Hijau... 26

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN Topografi dan Kelerengan... 28

Iklim... 29

Hidrologi... 29

Penggunaan Lahan dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Tangerang 31 Kondisi Perekonomian... 37

Kondisi Sosial Budaya... 38

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Penutupan Lahan Kota Tangerang ... 43

Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Kota Tangerang ... 48

Kecukupan RTH berdasarkan Kondisi Eksisting RTH ... 64

Kesesuaian Rencana Umum Tata Ruang Kota untuk Kawasan Hijau Terhadap Kebutuhan RTH... 77

Preferensi Masyarakat Terhadap Prioritas Pengembangan RTH... 84

(12)

SIMPULAN DAN SARAN... 109

DAFTAR PUSTAKA... 112

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Penyediaan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk... 12

2. Skala Perbandingan Berpasangan ... 25

3. Ketinggian dan Kemiringan Lahan Kota Tangerang... 28

4. Penggunaan Lahan Kota Tangerang 2007... 32

5. Kebijakan Pengembangan Struktur Ruang Kota Tangerang... 35

6. Rencana Penggunaan Lahan Kota Tangerang 2008-2028... 36

7. Kepadatan Penduduk Kota Tangerang 2008... 39

8. Klasifikasi dan Luas Penutupan Lahan Kota Tangerang... 46

9. Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Kota Tangerang Berdasarkan UUTR No.26 Tahun 2007... 49

10.Kebutuhan RTH Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2008 pada 3 Titik Tahun... 50

11.Kebutuhan Oksigen untuk Manusia di Kota Tangerang pada 3 Titik Tahun... 51

12.Klasifikasi Kendaraan Bermotor Menurut Jenis dan Kebutuhan Oksigen... 52

13.Kebutuhan Oksigen Bagi Kendaraan Bermotor di Kota Tangerang pada 3 Titik Tahun... 53

14.Karakteristik Umum Jalan Utama Kota Tangerang... 54

15.Kebutuhan Oksigen bagi Kendaraan Bermotor untuk Tiap Kecamatan di Kota Tangerang... 55

16.Jumlah Ternak Tahun 2008 dan Karakteristik Kebutuhan Oksigen………..… 56

17.Kebutuhan Oksigen Bagi Ternak di Kota Tangerang pada 3 Titik Tahun... 57

18.Kebutuhan Oksigen Bagi Hewan Ternak Per Kecamatan Pada Tiga Titik Tahun... 58

19.Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau di Kota Tangerang Berdasarkan Kebutuhan Oksigen Golongan Konsumen... 58

20.Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau di Kota Tangerang Berdasarkan Kecamatan... 59

21.Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Kebutuhan Air Bagi Penduduk Kota Tangerang... 64

(14)

Halaman 23.Proyeksi Kecukupan RTH berdasarkan UU No.26/2007 pada Tiga

Titik Tahun………..……….... 67

24.Jumlah Ruang Terbuka Hijau dan Kepadatan Penduduk Kota Tangerang... 68

25.Kecukupan Kebutuhan RTH Taman di Kota Tangerang... 69

26.Kecukupan RTH Berdasarkan Kebutuhan Oksigen Tahun 2008... 71

27.Jumlah Pohon yang Diperlukan untuk Memenuhi Kebutuhan Oksigen Di Kota Tangerang Berdasarkan Golongan Konsumen... 72

28.Jumlah Pohon yang Dibutuhkan untuk Memenuhi Kebutuhan Oksigen Di Kota Tangerang Berdasarkan Kecamatan... 73

29.Jumlah Pohon pada Program GERHAN Kota Tangerang... 74

30.Kecukupan Kebutuhan RTH Berdasarkan Kebutuhan Air Bersih... 75

31.Rencana Ruang Terbuka Hijau Kota Tangerang 2008-2028... 77

32.Kesesuaian RUTRK Ruang Terbuka Hijau Terhadap Kebutuhan RTH Berdasarkan Luas Wilayah Kota Tangerang... 78

33.Kesesuaian RUTRK Ruang Terbuka Hijau Terhadap Kebutuhan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk... 80

34.Kesesuaian RUTRK Ruang Terbuka Hijau Terhadap Kebutuhan RTH Berdasarkan Kebutuhan Air... 82

35.Kesesuaian RUTRK Ruang Terbuka Hijau Terhadap Kebutuhan RTH Berdasarkan Kebutuhan Oksigen... 83

36.Hasil Proses Hierarki Analitik (AHP) untuk Mendapatkan Prioritas Pengembangan Ruang Terbuka Hijau... 85

37.Arahan Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Kota Tangerang... 103

38.Jumlah Pohon Trembesi untuk Memenuhi Kebutuhan Oksigen Kota Tangerang... 107

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Pola RTH yang Mengikuti Pola Tata Ruang (Tim IPB 1993)... 7

2. Letak Geografis Kota Tangerang... 17

3. Hierarki untuk memilih prioritas pengembangan RTH... 25

4. Contoh Bentuk-Bentuk Umum RTH Kota Tangerang... 24

5. Diagram Alir Analisis Penutupan Lahan……….… 27

6. Pembagian Wilayah Pengembangan Kota (WPK) dalam Revisi RTRW 2008-2028……….… 33

7. Komposisi Penutupan Lahan Kota Tangerang Tahun 2007...…… 43

8. Citra Satelit Lokasi Penelitian Kota Tangerang... 44

9. Peta Penutupan Lahan Kota Tangerang... 45

10.Proporsi Ruang Terbuka di Kota Tangerang... 47

11.Kecukupan RTH berdasarkan Luas Wilayah Kota Tangerang... 66

12.Kecukupan Kebutuhan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk Di Kota Tangerang... 68

13.Kebutuhan RTH Berdasarkan Kebutuhan Oksigen Kota Tangerang... 70

14.Kebutuhan RTH berdasarkan Kebutuhan Air Tanah Kota Tangerang... 76

15.Kesesuaian RUTRK Ruang Terbuka Hijau Terhadap Kebutuhan RTH Berdasarkan Luas Wilayah Kota Tangerang... 79

16.Kesesuaian RUTRK Ruang Terbuka Hijau Terhadap Kebutuhan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk... 81

17.Sketsa Arahan Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Kota Tangerang... 91

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Peta Administrasi Kota Tangerang... 116

2. Komponen Perhitungan Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Kebutuhan Air Di Kota Tangerang... 117

3. Hasil Perhitungan Analisis AHP pada Strata Pertama (Prioritas Fungsi RTH)... 118

4. Hasil Perhitungan Analisis AHP pada Strata Kedua (Prioritas Bentuk Ekologi)... 119

5. Hasil Perhitungan Analisis AHP pada Strata Kedua (Prioritas Bentuk Sosial)... 120

6. Hasil Perhitungan Analisis AHP pada Strata Kedua (Prioritas Bentuk Ekonomi)... 121

7. Hasil Perhitungan Analisis AHP pada Strata Kedua (Prioritas Bentuk Estetika)... 122

8. Arahan Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Kota Tangerang... 123

9. Kemampuan Vegetasi Dalam Memproduksi Oksigen... 136

(17)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perkembangan kota sebagai pusat pemukiman, industri dan perdagangan telah mengalami transformasi lingkungan fisik lahan yang semakin padat oleh berbagai infrastruktur sehingga berdampak terhadap kualitas kehidupan masyarakat dan lingkungan. Transformasi lingkungan fisik lahan tersebut apabila tidak diimbangi dengan pertambahan ruang terbuka hijau dapat menyebabkan menurunnya kualitas air dan udara, berkurangnya daerah tangkapan air (catchment area) dan meningkatnya pencemaran lingkungan. Sehingga kota hanya maju secara ekonomi, namun mundur secara ekologi.

Kota Tangerang merupakan salah satu kota di kawasan Jabotabek yang mengalami perkembangan pesat. Selain dikenal sebagai kota industri, Kota Tangerang juga merupakan daerah pengembangan kawasan pemukiman bagi para komuter yang bekerja di Jakarta. Kota Tangerang memiliki luas wilayah 17.729,746 Ha. Dari luas wilayah tersebut pertumbuhan fisik kota ditunjukkan oleh besarnya kawasan terbangun kota, yaitu seluas 10.127,231 Ha (57,12 % dari luas seluruh kota) dengan urutan penggunaan tertinggi sebagai kawasan pemukiman (5.988,2 Ha). Luas kawasan pemukiman diperkirakan akan meningkat pesat mengingat tingginya laju pertumbuhan penduduk Kota Tangerang, yaitu rata-rata diatas 3,0%. Hingga pertengahan tahun 2007 penduduk Kota Tangerang berjumlah 1.575.140 jiwa. Populasi penduduk dalam kurun tahun 1990-2007, telah berkembang menjadi 1,5 kali dibandingkan dengan tahun 1990 yang berjumlah 921.848 jiwa (Dinas Kependudukan Catatan Sipil, 2008).

Jumlah penduduk yang meningkat pesat akan memberikan implikasi pada tingginya tekanan terhadap pemanfaatan ruang. Di banyak perkotaan di Indonesia, tingginya tekanan terhadap pemanfaatan ruang seringkali diiringi menurunnya kualitas dan kuantitas kawasan hijau di kawasan perkotaan. Menurut Widodo (2007), sebagian besar kecamatan di Kota Tangerang, terutama Kecamatan Ciledug dan Kecamatan Larangan, memiliki kawasan hijau kurang dari 10%. Kawasan hijau masih dapat dijumpai di wilayah Kecamatan Pinang, Cipondoh, Neglasari, sebagian kecil Kecamatan Batu Ceper (kawasan bandara)

(18)

2 dan Kecamatan Periuk. Dari kecamatan-kecamatan tersebut, hanya Kecamatan Cipondoh dan Kecamatan Pinang yang masih memiliki kawasan hijau yang memadai, yaitu sekitar 40 % dari masing–masing wilayah kedua kecamatan ini. Walaupun demikian di masa yang akan datang kondisi ini akan cepat berubah mengingat wilayah ini merupakan daerah konsesi para pengembang perumahan. Apabila nanti dikembangkan maka kegersangan mungkin juga akan tidak jauh berbeda dengan Kecamatan Ciledug atau Kecamatan Larangan. Tentu saja ini merupakan kondisi yang perlu diwaspadai mengingat pentingnya keberadaan kawasan hijau bagi masyarakat perkotaan.

Keberadaan ruang terbuka hijau sangat diperlukan bagi wilayah perkotaan seperti Tangerang. Selain menambah nilai estetika dan keasrian kota, ruang terbuka hijau juga berfungsi menciptakan iklim mikro yang lebih sejuk, menjaga keseimbangan oksigen (O2) dan karbon dioksida (CO2), mengurangi polutan, serta membantu mempertahankan ketersediaan air tanah. Menurunnya kualitas dan kuantitas ruang terbuka hijau (RTH), akan mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan seperti udara dan air bersih.

Berdasarkan Undang-Undang Penataan Ruang No.26 Tahun 2007, ruang terbuka hijau minimal menempati 30% luas wilayah perkotaan. Lebih lanjut dipertegas dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 05/PRT/M/2008 tentang pedoman penyediaan dan pemanfaatan RTH di Kawasan Perkotaan, bahwa proporsi tersebut merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, maupun sistem ekologis lain yang dapat meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat kota.

Setiap hari manusia membutuhkan oksigen sekitar 0,5 kg/hari; tanpanya manusia akan mengalami gangguan kesehatan yang serius. Ruang terbuka hijau disebut sebagai paru-paru kota karena merupakan produsen oksigen yang belum tergantikan fungsinya. Fungsi ini sebenarnya merupakan salah satu aspek berlangsungnya fungsi daur ulang antara gas karbondioksida (CO2) dan oksigen (O2), hasil fotosintesis khususnya pada dedaunan. Proses pembersihan udara oleh tanaman berlangsung secara efektif melalui proses penyerapan (absorpsi) dan penjerapan (adsorpsi) dalam proses fisiologis. Mengingat tingginya jumlah

(19)

3 penduduk, tidak dipungkiri lagi bahwa keberadaan RTH sangat diperlukan untuk menjamin pasokan oksigen bagi penduduk Kota Tangerang.

Kebutuhan prasarana lain yang harus disediakan oleh pemerintah adalah prasarana air bersih. Pelayanan air bersih di Kota Tangerang, baik yang berasal dari sistem perpipaan maupun non perpipaan, terus mengalami peningkatan. Tahun 2004 jumlah rumah tangga terlayani air bersih, baik dari sistem perpipaan maupun non-perpipaan, sebesar 92,31 %, pada tahun 2005 meningkat menjadi 92,34 % dan pada tahun 2006 menjadi 93,15%. Sisanya, sekitar 7% merupakan penduduk yang tidak terlayani air bersih. Namun dari jumlah tersebut (93,15%) pelayanan air bersih dengan sistem perpipaan baru dapat menjangkau 20% dari penduduk kota Tangerang, dan terbatas pada wilayah-wilayah tertentu. Adapun sebagian besar penduduk Kota Tangerang (sekitar 73%) masih mengandalkan pemanfaatan sumber air tanah (sumur gali/sumur pompa) untuk mencukupi kebutuhan air mereka Mengingat besarnya jumlah penduduk yang masih menggunakan air bawah tanah untuk memenuhi kebutuhan mereka, sudah seyogyanya pemerintah berkewajiban untuk menjaga kualitas dan kuantitas air bawah tanah di Kota Tangerang. Salah satu upaya mempertahankan keberadaan air bawah tanah antara lain dapat dilakukan dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas ruang terbuka hijau (Thohir, 1991).

Dalam upaya mewujudkan ruang yang nyaman, produktif dan berkelanjutan, maka sudah saatnya pemerintah memberikan perhatian serius terhadap keberadaan ruang publik, khususnya RTH. Keberhasilan pengembangan RTH selain ditentukan oleh strategi pemerintah juga ditentukan oleh adanya partisipasi masyarakat. Partisipasi merupakan kegiatan yang dilakukan dengan melibatkan masyarakat dalam mengkonsepsikan sesuatu yang disebut baik oleh mereka (Fear, 1990). Pemerintah kota harus dapat mengelola ketersediaan RTH dalam wilayahnya sesuai dengan keinginan masyarakat, juga ketersediaan lahan dan peruntukan tata ruang kota. Wujud dan manfaat RTH yang sesuai dengan harapan dan keinginan warga kota, akan memberikan rasa nyaman, sejahtera, juga rasa bangga dan rasa memiliki akan RTH tersebut (Schmid, 1979). Keterlibatan masyarakat ini, secara langsung maupun tidak langsung, dapat

(20)

4 menciptakan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat untuk menjaga dan memelihara kawasan RTH di lingkungan mereka.

Perumusan Masalah

Berkembangnya Kota Tangerang yang ditandai dengan peningkatan jumlah penduduk dan aktivitasnya, secara tidak langsung mengakibatkan tekanan yang tinggi pada pemanfaatan ruang. Keberadaaan kawasan hijau di perkotaan seringkali dikalahkan oleh kebutuhan lain, seperti pengembangan kawasan pemukiman, pusat perbelanjaan dan aktivitas komersial lain, sehingga kualitas dan kuantitasnya semakin hari semakin berkurang. Di sisi lain, seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, keberadaan akan RTH sebagai penyedia jasa lingkungan semakin dibutuhkan. Kualitas dan kuantitas RTH harus terus disesuaikan dengan perkembangan penduduk agar tercipta Kota Tangerang yang nyaman, produktif dan berkelanjutan.

Penataan ruang ditujukan untuk menghasilkan suatu perencanaan tata ruang yang diinginkan di masa mendatang. Proses perwujudan tata ruang kota biasanya dijabarkan dalam rencana tata ruang kota atau rencana detil tata ruang kota. Selain dilakukan oleh pemerintah Kota Tangerang, proses perencanaan maupun teknis pelaksanaan penyelenggaraan RTH sedapat mungkin melibatkan para-pihak (stakeholder). Dalam upaya penyelenggaraan RTH, kemampuan pemerintah seringkali terbatas, sehingga perlu adanya prioritas dalam pengembangan RTH yang tidak mengesampingkan keinginan masyarakat, terutama terkait dengan manfaat dan bentuk RTH.

Terkait dengan hal tersebut, secara khusus, penelitian ini akan memfokuskan pada pertanyaan penelitian (reserch question) sebagai berikut: 1. Berapa jumlah kebutuhan RTH berdasarkan luas wilayah, jumlah penduduk,

kebutuhan oksigen dan air bersih.

2. Apakah pengembangan ruang terbuka hijau yang ada telah sesuai dengan kebutuhan dan keinginan penduduk Kota Tangerang

(21)

5 Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memberikan rumusan pokok konsep kebutuhan RTH untuk menjaga keseimbangan lingkungan di Kota Tangerang. Adapun secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengkaji jumlah dan kecukupan kebutuhan RTH berdasarkan luas wilayah, jumlah penduduk, kebutuhan oksigen, kebutuhan air tanah di Kota Tangerang. 2. Mengkaji preferensi masyarakat terhadap prioritas pengembangan ruang

terbuka hijau di Kota Tangerang

3. Membuat rumusan arahan pengembangan RTH sesuai dengan kebutuhan, kondisi penutupan lahan, kebijakan tata ruang pemerintah, dengan mempertimbangkan preferensi masyarakat Kota Tangerang terhadap bentuk dan fungsi yang diharapkan.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang kebutuhan RTH di Kota Tangerang, sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan dalam rangka mewujudkan salah satu tujuan pembangunanya, yaitu; mengembangkan pemukiman dengan menekankan pada kelestarian hidup.

(22)

TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian Ruang Terbuka dan Ruang Terbuka Hijau

Ruang Terbuka (RT) terdiri atas Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Ruang Terbuka Non Hijau (RTNH). Dalam perencanaan ruang kota dikenal istilah Ruang Terbuka (open space), yaitu tempat terbuka di lingkungan perkotaan. RT berbeda dengan istilah ruangan luar (exterior space yang merupakan kebalikan dari interior space) yang ada di sekitar bangunan. Ruangan luar merupakan ruangan terbuka yang sengaja dirancang secara khusus untuk kegiatan tertentu, dan digunakan secara intensif, seperti lapangan parkir, lapangan basket, termasuk plaza (piazza) atau square (Gunadi, 1995). Sedangkan ruang hijau (green space), yang dapat berbentuk jalur (path), seperti jalur hijau jalan, tepian air waduk atau danau, bantaran sungai, bantaran kereta api, saluran/jaringan listrik tegangan tinggi, dan berbentuk simpul (nodes), berupa taman rumah, taman lingkungan, taman kota, taman pemakaman, lahan pertanian kota, dan seterusnya, sebagai Ruang Terbuka Hijau.

Ruang terbuka didefinisikan sebagai ruang-ruang di dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk membulat maupun dalam bentuk memanjang/jalur dimana dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka, yang pada dasarnya tanpa bangunan (Instruksi Menteri Dalam Negeri No.14 tahun 1988

dalam Purnomohadi, 2006). Shirvani (1985) mendefinisikan ruang terbuka sebagai keseluruhan lanskap, perkerasan (jalan dan trotoar), taman dan tempat rekreasi di dalam kota. Ruang terbuka tidak harus diisi oleh tumbuhan, atau didalamnya hanya memiliki sedikit tumbuhan. Ruang terbuka dapat berbentuk

man made, yang terjadi akibat teknologi, koridor jalan, bangunan tunggal, bangunan majemuk, atau natural seperti hutan-hutan kota, aliran sungai, serta daerah alamiah lainnya yang memang telah ada sebelumnya (Hakim, 2002)

Ruang terbuka berfungsi sebagai unsur ventilasi kota, pertukaran udara sebagian besar terjadi di areal (ruang) terbuka (Purnomohadi, 2006). Menurut Spreigen (1965) dalam Hakim (2002), ruang terbuka juga memiliki fungsi sebagai penunjang kenyamanan, keamanan, peningkatan kualitas lingkungan dan

(23)

pelestarian alam yang terdiri dari ruang linear atau koridor dan ruang pulau atau oasis sebagai tempat perhentian.

Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah ruang-ruang di dalam kota dimana unsur hijau (vegetasi) yang alami dan sifat ruang terbuka lebih dominan (Hakim, 2002). Pelaksanaan pengembangan RTH dilakukan dengan pengisian tumbuhan pada ruang terbuka, baik secara alami ataupun dengan tanaman budidaya, seperti tanaman komoditi pertanian dalam arti luas, pertamanan, dan sebagainya. Sedangkan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2008, ruang terbuka hijau didefinisikan sebagai area memanjang/jalur dan atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh tanaman secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.

Berdasarkan referensi dan pengertian tentang eksistensi nyata sehari-hari, maka RTH adalah: (1) suatu lapangan yang ditumbuhi berbagai tumbuhan, pada berbagai strata, mulai dari penutup tanah, semak, perdu dan pohon (tanaman tinggi berkayu); (2) ”Sebentang lahan terbuka tanpa bangunan yang mempunyai ukuran, bentuk dan batas geografis tertentu dengan status penguasaan apapun, yang didalamnya terdapat tumbuh-tumbuhan hijau berkayu dan tahunan (perenial woody plants) dengan pepohonan sebagai tumbuhan penciri utama dan tumbuhan lainnya (perdu, semak, rerumputan dan tumbuhan penutup tanah lainnya), sebagai tumbuhan pelengkap dan penunjang fungsi RTH yang bersangkutan” (Purnomohadi, 1995)

Penyelenggaraan ruang terbuka hijau di wilayah perkotaan, ditujukan untuk tiga hal, yaitu: 1) menjaga ketersediaan lahan sebagai kawasan resapan air, 2) menciptakan aspek planologis perkotaan melalui keseimbangan antara lingkungan alam dan lingkungan binaan yang berguna bagi kepentingan masyarakat, dan 3) meningkatkan keserasian lingkungan perkotaan sebagai sarana pengaman lingkungan yang aman, nyaman, segar, indah dan bersih (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2008).

Dalam perencanaan dan pengembangan fisik RTH kota untuk dapat mencapai fungsi dan tujuan yang diinginkan, ada empat hal utama yang harus diperhatikan, yaitu 1) luas minimum yang diperlukan, 2) lokasi lahan kota yang

(24)

potensial dan tersedia untuk RTH, 3) bentuk yang dikembangkan (Gambar 1), dan 4) distribusinya dalam kota (Tim IPB, 1993).

Anderson (1975) dalam Grey dan Deneke (1978) mengemukakan bahwa kawasan hijau terdiri dari barisan pepohonan sepanjang jalan, gerombolan vegetasi di taman-taman, terasuk jalur hijau di pinggir kota, menyambung ke daerah hutan. Menurut Grey dan Deneke (1978) ruang terbuka hijau akan disebut sebagai hutan kota jika memiliki luas minimum 0,4 ha, atau jika memiliki bentuk jalur lebarnya minimum 30 meter1. Ruang tebuka hijau meliputi semua vegetasi yang tumbuh di daerah taman, tepi jalan, jalur tol, jalur kereta api, bangunan, lahan terbuka, kawasan padang rumput, kawasan industri, kawasan pemukiman, kawasan perdagangan dan kawasan luar kota.

Bentuk RTH beragam, dan dapat dikategorikan berdasarkan jenis vegetasi yang berada dalam RTH, fungsi, bentuk dan struktur fungsional, dan kepentingan khusus atau tertentu lainnya (Nurisyah, 1996). Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2008, RTH dikelompokkan menjadi 4 jenis

1

Sedangkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 05/PRT/M/2008 menetapkan hutan kota dapat berbentuk bergerombol/menumpuk dengan berbentuk jumlah vegetasi minimal 100 pohon dengan jarak rapat tidak beraturan, atau menyebar tidak beraturan dengan luas minimum 2500 m2, atau berbentuk jalur dengan lebar minimal 30 m.

Konsentris

Gambar 1. Pola RTH yang Mengikuti Pola Tata Ruang (Tim IPB 1993)

Terdistribusi Hierarkis

(25)

yakni: RTH pekarangan, RTH taman dan hutan kota, RTH jalur hijau jalan, dan RTH fungsi tertentu (termasuk didalamnya RTH sempadan badan air dan pemakaman).

Berbeda dengan Nurisyah, Fandeli (2004) mengklasifikasikan RTH berdasarkan status kawasan, bukan berdasarkan bentuk dan struktur vegetasinya. Menurutnya, kawasan hijau kota terdiri atas kawasan pertamanan kota, kawasan hijau hutan kota, kawasan hijau rekreasi kota, kawasan hijau kegiatan olah raga, dan kawasan hijau pekarangan.

Djamal Irwan (1994) mengelompokkan ruang terbuka hijau berdasarkan fungsi lingkungan terkait dengan suhu, kelembaban, kebisingan dan debu. Bentuk RTH dapat dikelompokkan menjadi tiga bentuk:

a. Bergerombol atau menumpuk, yaitu ruang terbuka hijau dengan komunitas vegetasi terkonsentrasi pada suatu areal dengan jumlah vegetasinya minimal 100 pohon dengan jarak tanam rapat dan tidak beraturan.

b. Menyebar, yaitu ruang terbuka hijau yang tidak memiliki pola tertentu, dengan komunitas vegetasinya tumbuh menyebar terpencar-pencar dalam bentuk rumpun atau gerombol kecil

c. Bentuk jalur, yaitu komunitas vegetasinya tumbuh pada lahan yang berbentuk jalur lurus atau melengkung, mengikuti bentukan sungai, jalan, pantai, saluran dan sebagainya.

Sedangkan Nurisjah (2005) membedakan bentuk ruang terbuka hijau berdasarkan kesesuaian fungsionalnya terhadap ruang-ruang kota. Ruang terbuka hijau dikelompokkan menjadi dua:

a. Bentuk mengelompok, dibedakan lagi berdasarkan ukuran-fungsionalnya, yaitu kawasan yang berbentuk mengelompok, relatif luas ukurannya, serta dapat digunakan untuk berbagai aktivitas sosial dan rekreatif masyarakat serta memiliki manfaat ekologis yang tinggi, dan simpul untuk bentuk mengelompok yang relatif kecil ukurannya dan lebih mendukung aspek estetika ruang kota tetapi kurang dapat digunakan untuk beraktivitas masyarakat kota dan kurang bermanfaat secara ekologis.

(26)

b. Bentuk jalur dikategorikan lagi berdasarkan peruntukan fungsionalnya, yaitu bentuk jalur hijau jalan raya, jalur hijau lintas kereta, jalur hijau tepi sungai, jalur hijau tepi kota dan sebagainya.

Fungsi dan Manfaat Ruang Terbuka Hijau

Ruang terbuka hijau merupakan bagian dari kawasan kota yang memberikan kontribusi utama dalam meningkatkan kualitas lingkungan yang baik (Roslita, 1997 dalam Nurisjah, 2005). RTH tidak hanya berfungsi sebagai pengisi ruang dalam kota, namun juga harus dapat berfungsi sebagai penjaga keseimbangan ekosistem kota untuk kelangsungan fungsi ekologis dan berjalannya fungsi kota yang sehat dan wajar (Crowe, 1981). Bertnatzky (1978) menggambarkan suatu model RTH sebagai ventilasi kota, yang menjadi sumber udara segar dan bersih, yang disusun mengelilingi dan struktur kota yang masif, dan akan membentuk ruang-ruang ventilasi yang dapat mengeluarkan udara tercemar dari dalam kota dan mengalirkan udara bersih.

Ruang terbuka hijau memiliki fungsi sebagai pencipta kenyamanan bagi manusia melalui faktor iklim, yaitu suhu, radiasi matahari, curah hujan dan kelembaban. Vegetasi dapat menyerap panas dari radiasi matahari dan memantulkannya sehingga dapat menurunkan suhu mikroklimat. Vegetasi juga dapat mengurangi kecepatan angin tergantung pada derajat keefektifan tanaman dan teknik peletakkannya. Selain itu, ruang terbuka hijau dapat melembutkan suasana keras dan struktur fisik bangunan, membantu menurunkan tingkat kebisingan, udara panas dan polusi sekitarnya serta membentuk kesatuan ruang (Carpenter et al., 1975).

Menurut Simonds (1983) RTH dapat membentuk karakter kota, memberikan kenyamanan dan menjaga kelangsungan hidupnya. Secara lebih spesifik dijelaskan bahwa RTH memiliki fungsi sebagai 1) penjaga kualitas lingkungan, 2) penyumbang ruang bernafas yang segar dan indah, 2) paru-paru kota, 4) penyangga sumber air tanah, 5) mencegah erosi, serta 6) sebagai unsur dan sarana pendidikan.

Menurut Purnomosidi (2006), kemudian dikukuhkan dan disempurnakan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2008, fungsi RTH

(27)

memiliki fungsi utama (intrinsik) sebagai fungsi ekologis, yaitu memberikan jaminan pengadaaan RTH menjadi bagian dari sistem sirkulasi udara (paru-paru kota), pengatur iklim mikro, peneduh, produsen oksigen, penyerap polusi dan air hujan, penyedia habitat satwa dan penahan angin. Sedangkan fungsi tambahan (ekstrinsik) dari RTH adalah:

1) fungsi sosial, dan budaya yang mampu menggambarkan ekspresi budaya lokal, media komunikasi warga kota, tempat rekreasi, serta sebagai wadah dan objek pendidikan, penelitian, dan pelatihan dalam mempelajari alam,

2) fungsi ekonomi, yang merupakan sumber produk yang bisa dijual seperti tanaman bunga, daun, sayur dan buah, serta bisa menjadi bagian dari usaha pertanian, perkebunan, kehutanan dan sebagainya.

3) fungsi estetika yaitu meningkatkan kenyamanan dan keindahan lingkungan kota, sehingga dapat menstimulus kreativitas dan produktivitas warga kota, serta menciptakan suasana serasi dan seimbang antara area terbangun dan tidak terbangun.

Kebutuhan Luas Ruang Terbuka Hijau

Hingga saat ini, formula rumusan penentuan luas kebutuhan RTH untuk memenuhi syarat lingkungan kota yang berkelanjutan, masih terbatas pada penentuan luas secara kuantitatif. Luas RTH tersebut masih harus disesuaikan dengan faktor penentu lainnya, seperti geografis, iklim, jumlah dan kepadatan penduduk, luas kota, kebutuhan akan oksigen, rekreasi dan sebagainya.

Perhitungan luas minimum kebutuhan RTH perkotaan secara kuantitatif dapat didasarkan pada: 1) luas wilayah, yaitu minimal 30% dari total luas wilayah yang terdiri dari 20% RTH publik dan 10% RTH privat, 2) jumlah penduduk, yakni 20m2 per kapita yang didistribusikan pada berbagai tingkat hierarki (Tabel 1), dan/atau 3) kebutuhan fungsi tertentu (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2008). Kebutuhan fungsi tertentu biasanya dikaitkan dengan isu-isu penting di suatu wilayah perkotaan antara lain kebutuhan oksigen, ketersediaan air, atau pencemaran udara.

(28)

Tabel 1. Penyediaan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk No Unit Lingkungan Tipe RTH Luas Minimal/ unit(m2) Luas Minimal/ kapita (m2) Lokasi

1 250 jiwa Taman RT 250 1,0 Ditengah lingkungan RT 2 2500 jiwa Taman RW 1.250 0,5 Dipusat kegiatan RW 3 30.000 jiwa Taman

kelurahan 9.000 0,3

Dikelompokkan dengan sekolah/ pusat kelurahan 4 120.000 jiwa Taman kecamatan 24.000 0,2 Dikelompokkan dengan sekolah/pusat kelurahan

Pemakaman disesuaikan 1,2 tersebar

5 480.000 jiwa

Taman kota 144.000 0,3 Di pusat wilayah/kota Hutan kota disesuaikan 4,0 Di dalam/ kawasan pinggiran Untuk

fungsi-fungsi tertentu disesuaikan 12,5

Disesuaikan dengan kebutuhan

Sumber: Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2008

Kebutuhan oksigen di wilayah perkotaan, dapat menggunakan metode Gerarkis (Wisesa, 1988). Perhitungan ini tidak hanya didasarkan pada jumlah konsumsi oksigen oleh penduduk kota, namun juga memperhitungkan jumlah oksigen yang dikonsumsi oleh ternak dan kendaraan bermoor. Kebutuhan oksigen untuk manusia dihitung dengan asumsi bahwa manusia mengoksidasi 3000 kalori per hari dari makanan dan menggunakan sekitar 600 liter oksigen dan memproduksi 480 liter CO2. Untuk menghitung konsumsi oksigen oleh kendaraan bermotor, terlebih dahulu perlu diketahui jumlah dan jenis kendaraan bermotor. Jenis kendaraan bermotor dibedakan menjadi kendaraan penumpang, kendaraan beban, kendaraan bis dan sepeda motor

Proses Hierarki Analitik (Analytical Hierarcchy Process)

Proses Hierarki Analitik lebih dikenal dengan istilah Analytical Hierarchy Process (AHP), diperkenalkan oleh Thomas L Saaty dalam bukunya "The Analytic Hierarchy Process" (1990). AHP merupakan salah satu dari beberapa

(29)

model pendakatan Multi-Attribute Decision Modelling (MADM). AHP adalah prosedur yang berbasis matematis yang sangat baik dan sesuai untuk kondisi evaluasi atribut-atribut kualitatif. Atribut-atribut tersebut secara matematik dikuantitatifkan dalam satu set perbandingan berpasangan.

Kelebihan AHP dibandingkan dengan yang lain karena adanya struktur yang berhierarki, sebagai konsekuensi dari kriteria yang dipilih, sampai kepada sub-sub kriteria yang paling mendetil. Prosedur ini memperhitungkan validitas sampai dengan batas toleransi inkonsistensi berbagai kriteria dan alternatif yang dipilih oleh para pengambil keputusan. Karena menggunakan input persepsi manusia, model ini dapat mengolah data yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Sehingga kompleksitas permasalahan yang ada disekitar kita dapat didekati dengan baik oleh model AHP ini. Selain itu, AHP memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah yang multi-objektif atau multi-kriteria yang didasarkan pada perbandingan preferensi dari tiap elemen dalam hierarki. Jadi model ini merupakan suatu model pengambilan keputusan yang komprehensif.

Langkah paling awal dalam penggunaan proses analisis hierarki adalah merinci permasalahan ke dalam komponen-komponennya. Selanjutnya mengatur bagian-bagian dari komponen-komponen tersebut ke dalam bentuk hierarki. Hierarki yang paling atas diturunkan ke dalam beberapa elemen unit lain, sehingga akhirnya terdapat elemen-elemen yang spesifik atau elemen-elemen yang dapat dikendalikan dicapai dalam situasi konflik.

Dalam menyelesaikan persoalan dengan AHP ada prinsip-prinsip AHP yang harus dipahami, diantaranya adalah: decomposition, comparatif judgement, syntesis of priority, dan logical consistency.

1) Decomposition. Setelah persoalan didefinisikan, maka perlu didekomposisi, yaitu dengan cara memecah persoalan yang utuh menjadi unsur-unsurnya. Jika ingin mendapatkan hasil yang akurat, pemecahan juga dilakukan terhadap unsur-unsur sampai tidak mungkin dilakukan pemecahan lebih lanjut, sehingga didapatkan beberapa tingkatan persoalan. Karena alasan ini, maka proses analisis ini dinamakan hierarki (hierarchy).

2) Comparative Judgment. Prinsip ini berarti membuat penilaian tentang kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkatan tertentu dalam kaitannya

(30)

dengan tingkatan diatasnya. Penilaian ini merupakan inti dari AHP, karena ia akan berpengaruh terhadap prioritas elemen-elemen. Hasil penilaian ini akan lebih mudah disajikan dalam bentuk matriks pairwise comparison. Agar diperoleh skala yang bermanfaat, ketika membandingkan dua elemen seseorang yang akan memberi jawaban perlu memiliki pengertian yang menyeluruh tentang elemen-elemen yang dibandingkan dan relevansinya terhadap kriteria atau tujuan yang dipelajari.

3) Synthesis of priority. Dari setiap matriks pairwise comparison dicari

eigenvector-nya untuk mendapatkan local priority. Karena matriks pairwise comparison terdapat pada setiap tingkat, maka untuk mendapatkan global priority harus dilakukan sintesa diantara local priority. Prosedur melakukan sintesa akan berbeda-beda menurut bentuk hierarki. Pengurutan elemen-elemen menurut kepentingan relatif melalui prosedur sintesa, yang dinamakan

priority setting.

4) Logical consistency. Konsistensi memiliki dua makna. Pertama adalah bahwa objek-objek yang serupa dapat dikelompokkan sesuai dengan keseragaman dan relevansi (misalnya, anggur dan kelereng dapat dikelompokkan dalam himpunan yang seragam jika bulat adalah kriterianya). Kedua adalah menyangkut tingkat hubungan antar objek-objek yang didasarkan pada kriteria tertentu; misalnya, jika A>B dan B>C, maka seharusnya A>C.

Peran Masyarakat dalam Penyediaan dan Pemanfaatan RTH

Peran masyarakat dalam penyediaan dan pemanfaatan RTH diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2008. Partisipasi masyarakat merupakan upaya melibatkan masyarakat, swasta, lembaga badan hukum dan atau perseorangan dalam penataan ruang, baik pada tahapan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian. Upaya ini dimaksudkan untuk menjamin hak masyarakat dan swasta, untuk memberikan kesempatan akses dan mencegah terjadinya penyimpangan pemanfaatan ruang dari rencana tata ruang yang telah ditetapkan, melalui pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang oleh masyarakat dan swasta dalam pengelolaan RTH.

(31)

Prinsip-prinsip yang digunakan dalam pengembangan RTH di wilayah perkotaan adalah: 1) menempatkan masyarakat sebagai pelaku yang sangat menentukan dalam pengembangan ruang terbuka hijau, 2) memposisikan pemerintah sebagai fasilitator dalam proses pengembangan RTH, 3) menghormati hak yang dimiliki masyarakat serta menghargai kearifan lokal dan keberagaman sosial budaya, 4) menjunjung tinggi keterbukaan dan semangat tetap menegakkan etika, serta 5) memperhatikan perkembangan teknologi dan bersikap profesional.

(32)

METODOLOGI

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di wilayah administrasi Kota Tangerang, Propinsi Banten. Proses penelitian dimulai dengan pengumpulan data, analisis dan diakhiri dengan penyusunan laporan, pada bulan Mei hingga Desember 2009.

Kota Tangerang secara geografis terletak antara 6º6' Lintang Utara sampai dengan 6º13’ Lintang Selatan dan 106º36' Bujur Timur sampai dengan 106º42' Bujur Timur. Batas-batas wilayah penelitian adalah:

ƒ Sebelah utara, berbatasan dengan Kecamatan Teluknaga dan Kecamatan Sepatan Kabupaten Tangerang.

ƒ Sebelah selatan, berbatasan dengan Kecamatan Curug Kabupaten Tangerang, dan Kecamatan Serpong dan Kecamatan Pondok Aren Kota Tangerang Selatan.

ƒ Sebelah timur berbatasan dengan DKI Jakarta.

ƒ Sebelah Barat, berbatasan dengan Kecamatan Cikupa Kabupaten Tangerang. Secara rinci, posisi geografis wilayah Kota Tangerang disajikan pada Gambar 2.

(33)

Metode Penelitian

Metode dalam penelitian ini meliputi pengumpulan data-data dan informasi yang dibutuhkan, serta menganalisis data sesuai dengan kebutuhan. Adapun tahapan penelitian yang akan dilakukan meliputi :

Pengumpulan Data

Pengumpulan data diperlukan untuk menganalisis kebutuhan ruang terbuka hijau di kota Tangerang. Data yang dikumpulkan berupa data primer yang diperoleh langsung melalui pengamatan di lapangan serta wawancara dengan narasumber, terutama untuk menentukan preferensi masyarakat terhadap bentuk dan fungsi RTH yang diinginkan. Sedangkan data sekunder diperoleh dengan cara studi pustaka dari literatur dan dokumen yang ada.

Data yang digunakan dalam penelitian ini mencakup data administrasi, data fisik dan biofisik, data sosial demografi, data ekonomi dan data lainnya yang digunakan untuk analisis lebih lanjut. Adapun rincian data tersebut adalah sebagai berikut:

• Peta Administrasi Kota Tangerang

• Citra Ikonos tahun 2007 yang diolah untuk memperoleh informasi penutupan lahan, diakses dari BPLH Kota Tangerang.

• Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Tangerang tahun 2008-2028 (Draft sementara, yang di-up date pada September 2009)

• Peraturan-perundangan yang terkait dengan RTH

• Luas wilayah, jumlah penduduk, jenis dan jumlah kendaraan, jenis dan jumlah ternak, jumlah dan distribusi air minum oleh PDAM, dan jumlah air tanah Kota Tangerang yang digunakan untuk menghitung luas kebutuhan RTH. Luas wilayah diperoleh dari BPS, jumlah penduduk diperoleh dari BPS, jenis dan jumlah kendaraan dari Kantor Samsat Kota Tangerang, jenis dan jumlah ternak dari Dinas Pertanian Kota Tangerang, sedangkan jumlah dan distribusi air minum diperoleh dari PDAM Kerta Raharja dan PDAM Tirta Benteng.

(34)

Analisis Data

Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau

Sebagai upaya menyelesaikan permasalahan dilakukan perhitungan dan analisis terhadap kebutuhan RTH, analisis penutupan lahan, analisis kesesuaian RTH, dan analisis terhadap preferensi masyarakat terhadap prioritas pengembangan ruang terbuka hijau di Kota Tangerang.

Kebutuhan RTH Berdasarkan Luas Wilayah. Luas kebutuhan RTH didasarkan pada Undang-Undang Tata Ruang nomor 26 Tahun 2007, yang mensyaratkan luas RTH minimal 30% dari total luas wilayah kota. Proporsi RTH berdasarkan kepemilikan adalah 20% RTH publik dan 10% RTH privat.

Kebutuhan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk. Untuk menentukan luas RTH dilakukan dengan mengalikan antara jumlah penduduk dengan standar luas RTH per penduduk. Kebutuhan RTH kota per penduduk ditetapkan berdasarkan pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan Dan Pemanfaatan RTH di Kawasan Perkotaan, yaitu 20m2/penduduk. Kebutuhan RTH Berdasarkan Kebutuhan Oksigen Kota Tangerang. Luas kebutuhan RTH dihitung berdasarkan kebutuhan oksigen dapat dilakukan dengan metode Gerarkis (Fakultas Kehutanan IPB 1987), yang dimodifikasi dalam Wisesa (1988). Perhitungan tersebut menggunakan data sosial budaya seperti jumlah penduduk, jumlah ternak dan jumlah kendaraan bermotor. Rumus dari metode Gerarkis adalah sebagai berikut:

( ) (

54

0

,

9375

)

m

2

T

K

P

L

t t t t

×

+

+

=

Dimana:

Lt adalah luas RTH kota pada tahun ke t (m2)

Pt adalah jumlah kebutuhan oksigen bagi penduduk pada tahun ke t

Kt adalah jumlah kebutuhan oksigen bagi kendaraan bermotor pada tahun ke t

Tt adalah jumlah kebutuhan bagi ternak pada tahun ke t

54 adalah tetapan yang menunjukkan bahwa 1 m2 luas lahan menghasilkan 54 gram berat kering tanaman per hari

(35)

0,9375 merupakan konstanta yang menunjukkan bahwa 1 gram berat kering tanaman adalah setara produksi oksigen 0,9375 gram

Asumsi yang digunakan dalam perhitungan ini:

ƒ Kebutuhan oksigen per hari tiap penduduk adalah sama, yaitu 600 liter/hari ƒ Pengguna oksigen adalah manusia, kendaraan bermotor dan ternak,

sedangkan hewan dan pengguna lain diabaikan dalam perhitungan.

ƒ Jumlah kendaraan yang keluar dan masuk dalam wilayah Kota Tangerang dianggap sama setiap hari

ƒ Jumlah kendaraan yang beredar di Kota Tangerang sebanding dengan jumlah kepemilikan kendaraan penduduk yang tercatat di Kantor Samsat Kota Tangerang.

ƒ Kesejahteraan penduduk meningkat setiap tahun sehingga mampu membeli kendaraan bermotor

Guna memprediksikan jumlah penduduk pada tahun mendatang (2013 dan 2018) dapat digunakan rumus bunga berganda:

x t x t

P

r

P

+

=

(

1

+

)

Dimana:

Pt+x Jumlah penduduk pada tahun t+x Pt Jumlah penduduk pada tahun t

r Rata-rata persentase pertambahan jumlah penduduk x selisih tahun

Rumus bunga berganda dapat digunakan untuk memprediksikan jumlah hewan ternak dan kendaraan bermotor berdasarkan jenisnya dengan menggunakan data perkembangan jumlah pada tahun sebelumnya.

Kebutuhan RTH Berdasarkan Kebutuhan Air Bagi Penduduk Kota Tangerang.

Kebutuhan air dalam kota bergantung pada faktor; kebutuhan air bersih per tahun, jumlah yang dapat disediakan oleh PAM, potensi air saat ini, kemampuan ruang terbuka hijau menyimpan air. Faktor tersebut dapat ditulis dalam persamaan :

(36)

(

)

z Pa PAM C R K P La t o + − − − = . 1 Dimana:

La adalah luas RTH yang diperlukan untuk mencukupi kebutuhan air (Ha) Po adalah jumlah penduduk pada tahun ke 0

K adalah konsumsi air per kapita (liter/hari)

R adalah laju peningkatan pemakaian air (biasanya seiring dengan laju pertumbuhan penduduk kota setempat)

C adalah faktor koreksi; tergantung upaya pemerintah untuk menurunkan laju pertumbuhan penduduk (%)

PAM adalah kapasitas suplai air oleh PAM (dalam m3/tahun) t adalah tahun ke

Pa adalah potensi air tanah saat ini (m3/tahun)

z adalah kemampuan RTH dalam menyimpan air (m3/ha/tahun) Asumsi:

ƒ Potensi air tanah tersebar merata di seluruh kawasan

ƒ Sumber air berasal dari kota Tangerang dan tidak ada suplai dari daerah lain ƒ Standar kebutuhan konsumsi air bersih 300 liter/orang/hari hanya bersumber

dari PDAM1 dan air tanah dengan kapasitas suplai air bersih tetap

ƒ Jenis vegetasi yang digunakan memiliki kemampuan yang sama dalam meresapkan air

ƒ Laju pertambahan penduduk 10 tahun yang akan datang relatif tetap Analisis Penutupan Lahan

Analisis penutupan lahan dilakukan untuk memperoleh informasi penutupan lahan eksisting. Informasi daerah yang bervegetasi diperlukan untuk mengetahui kecukupan vegetasi dalam memenuhi standar kebutuhan ruang terbuka hijau yang dihasilkan. Bahan yang digunakan adalah citra Ikonos wilayah Tangerang tahun 2007. Langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut :

1

(37)

1) Pemotongan citra, atau cropping dilakukan untuk membatasi daerah penelitian. Pemotongan citra menggunakan peta digital Kota Tangerang, mencakup seluruh wilayah administratif Kota Tangerang.

2) Citra kemudian didigitasi sesuai dengan jenis penutupan lahannya. Adapun jenis penutupan lahan dikelaskan menjadi; 1) ruang terbangun, 2) lahan bervegetasi pohon, 3) lahan bervegetasi semak, rumput, perdu dan tanaman pertanian semusin, dan 4) lahan kosong (tanpa vegetasi).

3) Pengecekan lapang. Pengecekan ini dilakukan untuk memperoleh informasi dan kondisi Kota Tangerang terkini secara nyata. Perubahan penggunaan lahan yang terjadi dicatat koordinatnya, untuk kemudian dilakukan koreksi pada peta penutupan lahan yang akan dihasilkan.

Analisis Kesesuaian Ruang Terbuka Hijau

Analisis kesesuaian ruang terbuka hijau digunakan untuk mengetahui kecukupan kondisi eksisting RTH dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Tangerang terhadap kebutuhan RTH berdasarkan luas wilayah, jumlah penduduk, kebutuhan oksigen dan kebutuhan air tanah bagi penduduk Kota Tangerang.

Preferensi Masyarakat Terhadap Prioritas Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Di Kota Tangerang

Penelitian ini menggunakan metode Analysis Hierarchy Process (Saaty, 1993), untuk mengetahui preferensi masyarakat terhadap prioritas pengembangan RTH berdasarkan bentuk dan manfaatnya. Penilaian preferensi masyarakat dilakukan melalui kuisioner yang diisi oleh responden dengan penilaian skala perbandingan berpasangan. Responden berjumlah 31 orang terdiri dari empat para-pihak (stakeholder), yaitu kalangan akademisi, pemerintahan, swasta dan tokoh masyarakat.

Langkah-langkah Analysis Hierarchy Process (AHP) yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Penyusunan hierarki.

Persoalan yang ada didekomposisikan menjadi unsur-unsur, yaitu kriteria dan alternatifnya. Unsur-unsur tersebut kemudian disusun menjadi struktur

(38)

hierarki. Hal yang ingin diketahui adalah bentuk dan fungsi ruang terbuka hijau yang sesuai dengan preferensi masyarakat. Bentuk dan pemanfaatan ruang terbuka hijau yang menjadi preferensi tertinggi akan menjadi prioritas dalam pengembangan RTH di Kota Tangerang.

Kriteria untuk mengambil keputusan adalah berdasarkan fungsi ruang terbuka hijau (ekologis, sosial, ekonomi dan estetika). Fungsi-fungsi tersebut selanjutnya dinyatakan dalam tiga bentuk fisik RTH yang terkait dengan kesesuaian fungsionalnya dan merupakan bentuk umum yang banyak dijumpai di Kota Tangerang, yaitu kawasan, simpul dan jalur (Gambar 4).

a). Kawasan berbentuk non-linier, zonal atau areal, dengan luas minimal satu hektar, seperti taman kota, hutan kota, kawasan konservasi, lapangan bola, alun-alun kota, dan sebagainya.

b). Simpul berbentuk non-linier, zonal atau areal dengan luas kurang dari satu hektar, seperti pekarangan, taman RT, Taman RW, traffic islands, pocket park, dan sebagainya

c). Jalur berbentuk koridor, linier, memanjang. Termasuk dalam RTH ini adalah jalur hijau jalan raya, jalur hijau lintas kereta, jalur hijau sempadan sungai, jalur pengaman listrik tegangan tinggi.

Adapun struktur hierarki persoalan ini digambarkan sebagai berikut:

Gambar 3. Hierarki untuk memilih prioritas pengembangan RTH Prioritas

Pengembangan RTH

Ekologis Sosial Ekonomi Estetika

(39)

RTH bentuk mengelompok: kawasan

RTH bentuk mengelompok: simpul

RTH bentuk jalur: jalur hijau lintas kereta, jalur hijau jalan raya, jalur hijau listrik tegangan tingi, jalur hijau tepi sungai

Lapangan PT. Kumatex

Jl. Veteran

Jl. Daan Mogot

Tanah tinggi Jl Pengayoman

Pintu Air Sepuluh Cisadane

Taman Kota Cisadane

Cipondoh Indah

Perintis Kemerdekaan

(40)

2) Penilaian Kriteria dan Alternatif

Penilaian kriteria dan alternatif dilakukan dengan penilaian skala perbandingan berpasangan. Skala yang digunakan adalah 1-9 dengan nilai dan definisi pendapat kualitatif dari Saaty, seperti yang dikemukakan Marimin (2004) berikut:

Tabel 2. Skala Perbandingan Berpasangan

Nilai Keterangan 1 Kriteria/Alternatif A sama penting dengan kriteria/alternatif B 3 A sedikit lebih penting dari B

5 A jelas lebih penting dari B 7 A sangat jelas lebih penting dari B 9 Mutlak lebih penting dari B

2,4,6,8 Apabila ragu-ragu antara dua nilai yang berdekatan

3) Penentuan Kriteria.

Untuk setiap kriteria dan alternatif, perlu dilakukan perbandingan berpasangan (pairwise comparisons). Nilai-nilai perbandingan relatif kemudian diolah untuk menentukan peringkat relatif dari seluruh alternatif. Kriteria-kriteria kualitatif yang ada dapat dibandingkan sesuai dengan judgement yang telah ditentukan untuk menghasilkan bobot dan prioritas. Bobot atau prioritas dihitung dengan manipulasi matriks atau melalui penyelesaian persamaan matematik

4) Konsistensi Logis

Semua elemen kemudian dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten sesuai dengan suatu kriteria yang logis.

Analisis ini dilakukan dengan bantuan software Expert Choice 2000.

Penyusunan Arahan Pengembangan Ruang Terbuka Hijau untuk Kota Tangerang

Sesuai dengan tujuan penelitian, maka sebagai hasil akhir penelitian dibuat rumusan arahan pengembangan ruang terbuka hijau untuk Kota Tangerang. Arahan pengembangan RTH yang dilakukan didasarkan pada hasil analisis penutupan lahan, RUTR Kota Tangerang, dan proyeksi kebutuhan RTH pada tahun 2018, dengan mempertimbangkan preferensi masyarakat terhadap bentuk dan fungsi RTH yang diharapkan. Arahan pengembangan berupa arahan sebaran luas, bentuk dan fungsi RTH pada tiap kecamatan.

(41)

Arahan pengembangan RTH dilakukan untuk memenuhi kebutuhan RTH maksimum yang masih mungkin dicapai berdasarkan kondisi penutupan lahan

eksisting, RUTR dal luas wilayah pada masing-masing kecamatan. Sebaran kebutuhan RTH berdasarkan luas wilayah digunakan untuk melihat kebutuhan RTH kota secara total pada wilayah Kota Tangerang yang berupa ruang terbuka yang didominasi oleh hijauan (vegetasi) dalam bentuk apapun. Sebaran RTH menurut kebutuhan penduduk ditujukan untuk meningkatkan kenyamanan penduduk yang berbentuk taman umum, jalur hijau, hutan kota, dan/atau kawasan perlindungan setempat (selanjutnya disebut RTH kenyamanan). Kebutuhan RTH berdasarkan kebutuhan oksigen digunakan untuk melihat kebutuhan RTH yang berupa tegakan-tegakan pohon yang diasumsikan dapat menghasilkan oksigen. Sedangkan kebutuhan RTH berdasarkan kebutuhan air digunakan untuk melihat kebutuhan RTH berupa lahan-lahan resapan air.

Ruang terbuka hijau yang telah tertata tetap dipertahankan. Kekurangan luasan RTH selanjutnya dipenuhi dengan menjadikan RTH eksisting menjadi RTH tertata. Proses akuisisi ini diorientasikan pada lahan-lahan yang direncanakan pemerintah dalam RTRW 2008-2028 dan lahan-lahan yang masih berupa RTH.

Bentuk RTH disesuaikan dengan ketersediaan lahan yang ada, namun sebisa mungkin mengakomodasikan preferensi masyarakat. Bila ketersediaan lahan di suatu kecamatan tidak mencukupi, maka pemenuhan kebutuhan diperoleh dari subsidi dari kecamatan lain. Pada prinsipnya seluruh RTH ditujukan untuk menyangga ekologi Kota Tangerang, namun beberapa diantaranya perlu ditekankan pada fungsi tertentu. Fungsi estetika antara lain ditekankan pada RTH taman dan jalur hijau tepi jalan. Fungsi ekologi ditekankan pada hutan kota, kawasan resapan air, kawasan sempadan situ dan jalur hijau sempadan sungai. Sedangkan kawasan pertanian menekankan pada fungsi ekonomi.

Adapun rangkaian tahapan penelitian hingga diperoleh rumusan arahan pengembangan RTH disajikan dalam Gambar 5.

(42)

Gambar 5. Diagram Alur Penelitian

Perkembangan Kota Tangerang

RTRW Kota Tangerang Kondisi umum RTH Eksisting Analisis Kebutuhan RTH Kebutuhan Oksigen

& Air Bersih Kondisi Fisik,

Biofisik, Sosial-Budaya , Ekonomi

Standar Kebutuhan RTH

Ruang Terbuka Hijau

Preferensi masyarakat Arahan Pengembangan RTH Kota Tangerang Luas wilayah Jumlah Penduduk Peraturan Menteri PU No 05/PRT/M/2008

Luas dan sebaran RTH Analisis Penutupan Lahan Analisis Kecukupan dan Kesesuaian RTH RUTRK Kawasan Hijau

(43)

43 HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Penutupan Lahan Kota Tangerang

Analisis penutupan lahan dilakukan untuk mengetahui luas ketersediaan RTH, lokasi dan penyebarannya. Hasil analisis tersebut akan digunakan sebagai dasar analisis selanjutnya, serta sebagai dasar dalam melakukan penyusunan arahan pengembangan RTH.

Berdasarkan kenampakan citra Ikonos dan survei lapang, penutupan lahan di Kota Tangerang dapat dikelompokkan menjadi 4 kelas (Gambar 5), yaitu:

1. Lahan bervegetasi pohon atau tanaman keras (6%)

2. Lahan bervegetasi semak, rumput, dan tanaman musiman (sawah/ladang) (39%)

3. Lahan kosong atau tidak bervegetasi (1%)

4. Lahan terbangun, baik berupa pemukiman, bangunan industri, bangunan infrastuktur, dan bentuk lainnya (54%)

Lahan terbangun 54% semak, rumput, tanaman semusim 39% Lahan kosong 1% Vegetasi Pohon 6%

Gambar 7. Komposisi Penutupan Lahan Kota Tangerang Tahun 2007

Kawasan hijau di Kota Tangerang secara umum membentuk pola terdistribusi tidak merata. Lahan bervegetasi pohon, yang dicirikan oleh tekstur yang kasar dan berwarna hijau tua sebagian membentuk pola memanjang (jalur) di sepanjang sungai, dan sebagian lainnya membentuk gerombol-gerombol kecil yang tidak saling terhubung. Lahan hijau yang lainnya berupa lahan bervegetasi semak, rumput, dan tanaman pertanian semusim membentuk pola menyebar atau terdistribusi secara tidak merata (Gambar 8 dan 9).

(44)

44 Gambar 8. Citra Satelit Lokasi Penelitian Kota Tangerang

(45)
(46)

Kegiatan pertanian di Kota Tangerang pada umumnya tidak dilakukan secara intensif. Kegiatan bercocok tanam lebih sering dilakukan pada saat musim penghujan saja, bahkan pada lahan yang berstatus sawah irigasi teknis. Sehingga lahan-lahan tersebut lebih sering tidak tergarap, ditumbuhi rumput dan belukar. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, lahan pertanian tidak diklasifikasikan secara khusus. Adapun hasil analisis penutupan lahan secara rinci disajikan pada Tabel 8 dan Gambar 10 berikut.

Tabel 8. Klasifikasi dan Luas Penutupan Lahan Kota Tangerang

Kecamatan

Klasifikasi Penutupan Lahan (hektar)

Bervegetasi Pohon Semak, rumput, tnm.semusim dan tnm sejenisnya Lahan kosong Lahan terbangun Jumlah RTH (1) +(2) (1) (2) (3) (4) (5) Ciledug 0,6 205,4 22,6 654,7 206,0 Larangan 5,9 101,8 37,8 668,3 107,6 Karang Tengah 67,5 259,6 42,2 640,3 327,0 Cipondoh 310,1 541,9 10,9 830,6 852,1 Pinang 222,1 1.321,9 17,9 818,7 1.544,1 Tangerang 188,4 510,0 - 859,1 698,4 Karawaci 39,4 465,6 2,5 716,3 505,0 Cibodas - 367,6 - 515,0 367,6 Jatiuwung 7,0 701,9 - 776,9 708,9 Periuk 5,2 452,9 - 666,8 458,1 Neglasari 30,8 631,8 18,3 889,6 662,7 Batuceper 44,7 374,0 15,6 469,8 418,7 Benda 52,0 584,4 45,1 382,1 636,3 Total 973,6 6.518,9 212,8 8.888,2 7.492,5

(47)

Gambar 10. Proporsi Ruang Terbuka di Kota Tangerang

Pada Gambar 9 dan 10 dapat terlihat bahwa kawasan yang relatif masih memiliki banyak vegetasi nampak terlihat di sekitar Situ Cipondoh, di sekitar kawasan industri Jatiuwung, dan di sekitar Neglasari. Kawasan hijau di sekitar Situ Cipondoh, meliputi Kecamatan Pinang (1.544,07 Hektar) dan Kecamatan Cipondoh (852,06 Hektar). Berdasarkan analisis visual, kawasan hijau ini masih didominasi oleh lahan pertanian. Kegiatan pertanian di daerah ini ditunjang dengan oleh adanya Situ Cipondoh dan dataran banjir yang ada disekitarnya. Selain itu di daerah ini masih banyak dijumpai pepohonan (tanaman berkayu) yang biasanya merupakan kebun atau pekarangan penduduk setempat. Pepohonan juga terlihat di beberapa tempat di sepanjang aliran Sungai Cisadane. RTH ini tidak membentuk jalur namun lebih membentuk gerombol yang terpisah-pisah

Kawasan hijau lainnya banyak ditemukan di daerah Jatiuwung dan Periuk. Di daerah ini, kawasan hijau berada di sekitar kawasan industri. Lahan hijau yang terdapat di dalam areal pabrik umumnya tidak terkelola dengan baik. Lahan-lahan

(48)

terbuka sebagian besar merupakan bagian dari lokasi pabrik ataupun kavling-kavling pabrik yang belum terbangun. Lahan ini umumnya dibiarkan begitu saja sehingga ditumbuhi alang-alang dan semak belukar. Luas lahan ini hampir mencapai 1.200 Hektar.

Kawasan Neglasari berada dekat dengan “Pintu Air Sepuluh” yang dahulu dibangun pemerintahan Belanda untuk keperluan irigasi. Sampai saat ini saluran irigasi di kawasan ini sebagian masih berfungsi dengan baik. Sebagian besar kawasan hijau di wilayah ini merupakan areal persawahan. Berdasarkan catatan Dinas Pertanian, pada tahun 2007, lahan irigasi teknis di Kota Tangerang berjumlah 585,0 Hektar, dan yang terluas berada di Kecamatan Neglasari (301,0 Hektar) dan Kecamatan Benda (166,0 Hektar). Namun seiring dengan perkembangan penduduk Kota Tangerang, lahan-lahan sawah di daerah ini banyak yang mulai dikonversi menjadi pemukiman.

Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Kota Tangerang Kebutuhan RTH Berdasarkan Luas Wilayah

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menetapkan bahwa proporsi RTH pada wilayah perkotaan adalah sebesar minimal 30% yang terdiri dari 20% RTH publik dan 10% RTH privat. Berdasarkan standar tersebut maka wilayah Kota Tangerang, yang memiliki luas 16.452,1 Hektar, harus memiliki RTH minimum seluas 4.935,6 Hektar, dengan luas RTH publik seluas 3.290,4 Hektar. Kebutuhan ini relatif tetap di tahun-tahun yang mendatang, kecuali terjadi perubahan luas wilayah administrasi. Secara rinci, sebaran Kebutuhan RTH berdasarkan luas kecamatan dapat dilihat pada Tabel 9.

(49)

Tabel 9. Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Kota Tangerang Berdasarkan UUTR No.26 Tahun 2007

Kecamatan Luas (ha)

Kebutuhan RTH (Ha) Tahun 2008 Publik (20%) Privat (10%) Total (30%) Ciledug 876,9 175,4 87,7 263,1 Larangan 937,9 187,6 93,8 281,4 Karang Tengah 1.047,4 209,5 104,7 314,2 Cipondoh 1.791,0 358,2 179,1 537,3 Pinang 2.159,0 431,8 215,9 647,7 Tangerang 1.578,5 315,7 157,9 473,6 Karawaci 1.347,5 269,5 134,8 404,3 Cibodas 961,1 192,2 96,1 288,3 Jatiuwung 1.440,6 288,1 144,1 432,2 Periuk 954,3 190,9 95,4 286,3 Neglasari 1.607,7 321,5 160,8 482,3 Batuceper 1.158,3 231,7 115,8 347,5 B e n d a* 998,9 199,8 99,9 299,7 Kota Tangerang 16.452,1 3.290,4 1.645,2 4.935,6 * Tidak termasuk luas Bandara Internasional Soekarno-Hatta = 1.969,31 hektar ** Sumber: Dinas Tata Kota Tangerang Tahun 2008 (diolah).

Kebutuhan RTH berdasarkan Jumlah Penduduk

Berdasarkan ketentuan yang tersirat dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2008, standar kebutuhan ruang terbuka hijau berdasarkan jumlah penduduk adalah 20 m2/kapita. Data Biro Pusat Statistik menunjukkan jumlah penduduk Kota Tangerang pada tahun 2008 adalah 1.531.666 jiwa Sehingga pada tahun 2008 Kota Tangerang membutuhkan RTH seluas 3.063,3 Hektar.

Rata-rata laju pertumbuhan penduduk 5 tahun terakhir adalah 1,75% per tahun (BPS, 2008). Sejauh ini tidak ada program khusus dari pemerintah yang ditujukan untuk menekan laju pertumbuhan penduduk. Proyeksi jumlah penduduk untuk tahun 2013 dan 2018 dilakukan dengan menggunakan rumus bunga berganda, dan diperoleh perkiraan jumlah penduduk pada tahun 2013 adalah 1.670.656 jiwa, dan tahun 2018 adalah 1.822.258 jiwa. Jumlah penduduk yang meningkat akan diiringi dengan peningkatan kebutuhan RTH. Pada tahun

(50)

2013 dan 2018 kebutuhan RTH diproyeksikan meningkat menjadi 3.341,3 Hektar dan 3.644,5 Hektar (Tabel 10). Sesuai dengan jumlah penduduk pada tiap kecamatan, kebutuhan RTH tertinggi dimiliki oleh Kecamatan Karawaci, sedangkan yang terendah adalah Kecamatan Benda .

Tabel 10. Kebutuhan RTH Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2008 pada 3 Titik Tahun

Kecamatan Jumlah Penduduk (jiwa) Kebutuhan RTH (Ha)

2008 2013 2018 2008 2013 2018 Ciledug 108.780 118.651 129.418 217,6 237,3 258,8 Larangan 137.621 50.109 163.731 275,2 300,2 327,5 Karang Tengah 101.488 110.697 120.743 203,0 221,4 241,5 Cipondoh 162.419 177.158 193.234 324,8 354,3 386,5 Pinang 133.743 145.879 159.117 267,5 291,8 318,2 Tangerang 129.489 141.239 154.056 259,0 282,5 308,1 Karawaci 163.195 178.004 194.157 326,4 356,0 388,3 Cibodas 131.373 143.294 156.297 262,7 286,6 312,6 Jatiuwung 117.688 128.368 140.016 235,4 256,7 280,0 Periuk 108.482 118.326 129.064 217,0 236,7 258,1 Neglasari 91.346 99.635 108.676 182,7 199,3 217,4 Batuceper 79.535 86.752 94.625 159,1 173,5 189,2 B e n d a 66.507 72.542 79.125 133,0 145,1 158,2 Kota Tangerang 1.531.666 1.670.656 1.822.258 3.063,3 3.341,3 3.644,5 Sumber: BPS (2009) dan Hasil Analisis

Kebutuhan RTH Berdasarkan Kebutuhan Oksigen di Kota Tangerang

Ruang Terbuka Hijau di daerah perkotaan merupakan paru-paru kota. Tanaman, sebagai unsur utama RTH, merupakan produsen oksigen yang sangat dibutuhkan oleh berbagai aktivitas kehidupan perkotaan. Oksigen yang dihasilkan kemudian akan dikonsumsi oleh manusia dan hewan, serta dipergunakan dalam proses pembakaran mesin kendaraan bermotor. Dengan demikian, kebutuhan akan RTH dapat ditentukan dengan pendekatan kebutuhan oksigen.

Besarnya RTH yang dibutuhkan diperhitungkan berdasarkan kontribusi oksigen oleh tanaman dengan melihat kebutuhan akan oksigen yang digunakan oleh manusia, hewan ternak, dan kendaraan bermotor. Metode perhitungan kebutuhan RTH ini menggunakan rumus Gerarkis (Tim Fahutan IPB, 1987) yang mengasumsikan kontribusi oksigen hanya dari tanaman.

Gambar

Tabel 1.  Penyediaan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk  No  Unit  Lingkungan  Tipe RTH  Luas  Minimal/  unit(m 2 )  Luas  Minimal/ kapita (m2 )  Lokasi
Gambar 4.  Contoh Bentuk-Bentuk Umum RTH Kota Tangerang
Gambar 9.  Peta Penutupan Lahan Kota Tangerang
Tabel 9.  Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Kota Tangerang Berdasarkan UUTR  No.26 Tahun 2007
+7

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

  Perubahan   morfologi  tersebut  dianalisa  berdasarkan  hasil  penjalaran  serta  transpor  sedimen  berupa   perubahan  profil  pantai,  kemunduran  garis

Dari sisi pengeluaran, pada Triwulan II-2017, pertumbuhan tertinggi terjadi pada komponen konsumsi LNPRT yang tumbuh sebesar 7,41 persen, kemudian diikuti oleh

Barat negara adalah pelindung dari apa yang disebut Thomas Hobbes “hutan rimba dimana yang kuat akan menindas yang lemah.” Konsep filosofi inilah yang membedakan Barat dan Timur,

[r]

Berdasarkan hasil plot tersebut yang di overlay dengan type curve Ganesh Thakur, maka dapat dilihat bahwa hasil plot berhimpitan dengan type curve nomor 2,

Penelitian studi kasus ini menggunakan desain penelitian deskriptif bertujuan untuk melakukan penerapan intervensi manajemen halusinasi terhadap tingkat agitasi pada

Kecemasan diri yang sifatnya abstrak akan sulit jika divisualkan secara langsung tanpa ditampilkan secara simbolik. Maka dari itu ungkapan secara simbolik digunakan

(1) Perpanjangan studi bagi mahasiswa program magister yang belum dapat menyelssaikan belajarnya dalam kurun waktu 2 (dua) tahun akademik atau 4 (empat) semester sebagaimana