• Tidak ada hasil yang ditemukan

Etnobotani Tumbuhan Pangan dan Obat Suku Kei Masyarakat Kampung Adat Waur Maluku Tenggara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Etnobotani Tumbuhan Pangan dan Obat Suku Kei Masyarakat Kampung Adat Waur Maluku Tenggara"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

ETNOBOTANI PANGAN DAN OBAT MASYARAKAT

SUKU KEI KAMPUNG ADAT WAUR KEI BESAR

MALUKU TENGGARA

THERESIA MAKARIA FARNEUBUN

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Etnobotani Tumbuhan Pangan dan Obat Masyarakat Suku Kei Kampung Adat Waur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

THERESIA MAKARIA FARNEUBUN. Etnobotani Tumbuhan Pangan dan Obat Masyarakat Suku Kei Kampung Adat Waur Kei Besar Maluku Tenggara. Dibimbing oleh AGUS HIKMAT dan ERVIZAL A M ZUHUD.

Pemanfaatan tumbuhan oleh masyarakat secara tradisional sudah berlangsung lama. Penelitian ini mengidentifikasi keanekaragaman tumbuhan pangan, tumbuhan obat, dan bentuk kearifan tradisional dalam pemanfaatan tumbuhan pangan dan obat oleh masyarakat Suku Kei. Metode yang digunakan adalah observasi lapang, wawancara dan kajian pustaka. Berdasarkan hasil penelitian, teridentifikasi sebanyak 111 spesies tumbuhan obat dari 38 famili dan 94 spesies tumbuhan pangan dari 50 famili dimanfaatkan oleh masyarakat. Fabaceae merupakan famili yang paling banyak dimanfaatkan untuk tumbuhan pangan, sedangkan tumbuhan obat adalah famili Euphorbiaceae. Pohon merupakan habitus tumbuhan pangan yang paling banyak ditemukan, sedangkan pada tumbuhan obat adalah perdu. Bagian tumbuhan yang paling banyak digunakan pada tumbuhan pangan adalah buah dan pada tumbuhan obat adalah daun. Masyarakat Kampung Adat Waur melakukan sistem pertanian ladang berpindah dan memiliki larangan sasi untuk melindungi hutan dan lahan pertanian yang telah dilakukan secara turun temurun.

Kata kunci: etnobotani, kearifan tradisional, tumbuhan obat, tumbuhan pangan

ABSTRACT

THERESIA MAKARIA FARNEUBUN. Food and Madicine Plant Ethnobotany of Community Kai Ethnic Waur Vilage Traditional Southeast Moluccas. Supervised by AGUS HIKMAT and ERVIZAL A M ZUHUD

Utilization of plants by local community has been carried out for long. The objective of this research is to identify the diversity of food and medicinal plants utilized by local community in Waur Traditional village and to identify traditional wisdom of utilizing food and medicinal plant. Data collection method carried out by interview, field observation, literature review. Result showed that total of 94 species of food plants were identified from 50 families and 111 species of medicinal plants from 38 families. Fabaceae was the most frequent food plants family found, while Euphorbiaceae were the most frequent medicinal plants family. Trees was the most frequent habitus of food, while shrubs were the most frequent medicinal plants Waur Traditional Village had implemented shifting cultivation and moratorium system to protect the forest and agricultural land for generations.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

ETNOBOTANI PANGAN DAN OBAT MASYARAKAT

SUKU KEI KAMPUNG ADAT WAUR KEI BESAR

MALUKU TENGGARA

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2014

(6)
(7)

Judul Skripsi : Etnobotani Tumbuhan Pangan dan Obat Suku Kei Masyarakat Kampung Adat Waur Maluku Tenggara

Nama : Theresia Makaria Farneubun NRP : E34090070

Disetujui oleh

Dr Ir Agus Hikmat, MSc F Pembimbing I

Prof Dr Ir Ervizal A M Zuhud, MS Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Sambas Basuni, MS Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2013 ini ialah Etnobotani Pangan dan Obat Masyarakat Suku Kei Kampung Adat Waur Maluku Tenggara.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Agus Hikmat, MSc F dan Bapak Prof Dr Ir Ervizal AM Zuhud, MS selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran dan bimbingan dalam penulisan karya ilmiah ini. Terima kasih juga disampaikan kepada masyarakat Kampung Waur yang telah membantu saya dalam kelancaran penelitian saya. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada sahabat-sahabat terkasih dari kost Puri Riveria-99, keluarga pendamping dan pendampingan, teman-teman KEMAKI, teman-teman PKLP Taman Nasional Way Kambas, juga teman-teman seangkatan KSHE 46 „Anggrek Hitam‟ atas kebersamaan, semangat dan perhatiannya. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada papa, mama, adik serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Bogor, September 2014

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

Manfaat Penelitian 1

METODE 2

Lokasi dan Waktu 2

Alat dan Bahan 2

Objek Penelitian 3

Metode Pengumpulan Data 3

Analisis Data 5

HASIL DAN PEMBAHASAN 6

Kondisi Umum Lokasi Penelitian 6

Karakteristik Responden 10

Keanekaragaman Tumbuhan Pangan 12

Keanekaragaman Tumbuhan Obat 20

Kearifan Masyarakat Tradisional 26

SIMPULAN DAN SARAN 28

Simpulan 28

Saran 28

DAFTAR PUSTAKA 29

(10)

DAFTAR TABEL

1 Jenis data yang dikumpulkan 3

2 Tata guna lahan 10

3 Presentase tumbuhan pangan berdasarkan habitus 18 4 Keanekaragaman tumbuhan obat berdasarkan habitus 22

5 Bagian tumbuhan yang dimanfaatkan 24

6 Kelompok penyakit dan spesies tumbuhan obat 24

7 Cara penggunaan tumbuhan obat 25

DAFTAR GAMBAR

1 Lokasi penelitian 2

2 Sistem kepercayaan masyarakat, woma dan kolkoil 8

3 Wadah makanan rebusan, kabrahan, kamdada 8

4 Alat angkut hasil kebun, seloy 9

5 Sistem kesenian, tari kipas dan tari perang 9

6 Karakteristik responden, umur responden 11

7 Komposisi pendidikan 11

8 Mata pencaharian responden 12

9 Keanekaragaman tumbuhan pangan berdasarkan habitus 13

10 Sumber karbohidrat dan vitamin 14

11 Sumber karbohidrat yang dijadikan cemilan 14

13 Sumber vitamin dan mineral yang berasal dari buah dan sayur 15

14 Tipe habitat tumbuhan pangan 16

15 Komposisi status budidaya tumbuhan pangan 17

16 Teknik pengelolaan makanan sebagai sumber karbohidrat 18

17 Bagian tumbuhan yang dimanfaatkan 19

18 Tumbuhan enmur 20

19 Presentase keanekaragaman famili tumbuhan obat 21 20 Presentase keanekaragaman habitat tumbuhan obat 22

21 Satus budidaya tumbuhan obat 23

22 Sasi berbentuk huwear anyaman daun kelapa 28

DAFTAR LAMPIRAN

1 Spesies tumbuhan pangan yang digunakan oleh masyarakat 31 2 Tipe habitat tumbuhan pangan yang digunakan oleh masyarakat 35 3 Spesies tumbuhan obat yang digunakan oleh masyarakat 39 4 Tipe habitat tumbuhan obat yang dimanfaatkan oleh masyarakat 44

5 Kelompok penyakit dan spesies tumbuhan 50

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sebagian masyarakat Indonesia terutama masyarakat etnis menggantungkan hidupnya pada sumberdaya alam sekitar tempat mereka hidup terutama dalam hal pangan dan kesehatan. Bagi masyarakat kebutuhan pangan dan obat merupakan kebutuhan yang esensial dan terus meningkat seiring dengan pertambahan penduduk. Kebutuhan akan pangan dan obat hampir sepenuhnya tergantung pada tumbuhan, oleh karena itu sejak zaman prasejarah manusia telah melaksanakan pekerjaan seleksi tumbuhan yang dapat dijadikan sebagai tumbuhan pangan (Moeljopawiro dan Manwan 1992).

Pengetahuan dan pemanfaatan tumbuhan pangan dan obat oleh masyarakat etnis diwariskan secara turun- temurun dari generasi ke generasi, hal ini disebut sebagai suatu kearifan lokal. Menurut Soendjoto dan Wahyu (2007) kearifan lokal, dalam terminologi budaya, dapat di interpretasikan sebagai pengetahuan lokal yang berasal dari budaya masyarakat yang unik, mempunyai hubungan dengan alam dalam sejarah yang panjang, beradaptasi dengan sistem ekologi setempat, bersifat dinamis dan selalu terbuka dengan tambahan pengetahuan baru.

Suku Kei, merupakan suku yang mendiami Pulau Maluku Tenggara yang memiliki hutan alami serta adat istiadat dan kebudayaan yang kuat. Suku Kei memanfaatkan hutan sekitar desa untuk memenuhi kebutuhan sehari- hari seperti mengambil kayu bakar, rotan, tumbuhan pangan dan obat, berburu binatang buruan dan berbagai macam hasil hutan lainnya. Namun demikian pemanfaatan tumbuhan untuk keperluan sehari- hari pada masyarakat Suku Kei belum terdokumentasi dengan baik oleh karena itu kajian pemanfaatan tumbuhan (kajian etnobotani), pangan dan obat pada masyarakat Suku Kei perlu dilakukan. Menurut Soekarman dan Riswan (1992), etnobotani adalah ilmu yang mempelajari hubungan langsung manusia dengan tumbuhan dalam kegiatan pemanfaatannya secara tradisional.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi keanekaragaman tumbuhan pangan dan obat yang dimanfaatkan secara tradisional oleh masyarakat Suku Kei Kampung Waur Kecamatan Kei Besar Maluku Tenggara.

2. Mengidentifikasi bentuk kearifan tradisional dalam pemanfaatan tumbuhan pangan dan obat masyarakat Suku Kei.

Manfaat Penelitian

(12)

2

METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi Penelitian di Kampung Waur Kecamatan Kei Besar Kabupaten Maluku Tenggara (Gambar 1) selama 1 bulan yaitu pada bulan Juli 2013-Agustus 2013.

Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

Alat dan Bahan yang digunakan

1. Perlengkapan wawancara : Panduan wawancara (kuisioner), alat tulis menulis, kamera.

2. Perlengkapan eksplorasi tumbuhan : Parang, karung, label, tally sheet.

(13)

3 Objek Penelitian

Objek penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah, spesies tumbuhan pangan dan obat yang digunakan oleh Suku Kei Kampung Waur Kecamatan Kei Besar Kabupaten Maluku Tenggara dan bentuk-bentuk kearifan tradisional dalam pemanfaatannya.

Jenis Data yang Dikumpulkan

Jenis data yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah data yang diperoleh secara langsung dari lokasi penelitian ataupun data penunjang lain. Jenis dan metode pengumpulan data disajikan pada Tabel 1

Tabel 1 Jenis data yang dikumpulkan

Metode Pengambilan Data

Studi Literatur

Kegiatan studi literatur dilakukan untuk mendapatkan data dan informasi mengenai kondisi umum lokasi penelitian (letak, luas, kondisi topografi, geologi, klimatik, hidrologis, potensi flora dan kondisi sosial budaya) .

No Jenis data Uraian Metode

1 Kondisi umum Letak dan luas Studi literatur Iklim

Demografi Sosial ekonomi Budaya

Etnografi Suku Kei 2 Karakteristik Jenis kelamin

responden Umur Wawancara dan

Pendidikan observasi

Mata pencaharian Pendapatan per bulan

4 Pemanfaatan Nama spesies Wawancara dan

tumbuhan pangan Famili Observasi

dan obat Habitus

5 Kearifan tradisional Bentuk- bentuk kearifan Wawancara dan

dalam pemanfaatan tradisional Observasi

(14)

4

Wawancara

Wawancara dilakukan untuk memperoleh data tentang pemanfaatan tumbuhan pangan dan obat oleh masyarakat Kampung Waur Kecamatan Kei Besar Kabupaten Maluku Tenggara. Wawancara yang dilakukan bersifat semi terstruktur yang terdiri dari pertanyaan tertutup dan terbuka. Pemilihan responden diperoleh dengan menggunakan teknik snowball sampling yaitu teknik pemilihan informan berdasarkan rekomendasi informan kunci dalam hal ini dukun atau pengobat tradisional. Informasi tentang calon informan berikutnya didapat dari informan sebelumnya. Wawancara akan dihentikan apabila tidak ditemukan lagi informasi baru dari responden selanjutnya (Sugiyono 2007). Bentuk wawancara yang digunakan yaitu wawancara tertutup yang merupakan wawancara yang berdasarkan pertanyaan yang terbatas jawabannya seperti, wawancara yang menggunakan lembar daftar pertanyaan (kuisioner) dengan jawaban yang telah dipersiapkan untuk dipilih, seperti setuju, tidak setuju, ya, tidak, sangat baik, cukup, kurang.

Observasi Lapang

Survei lapang dilakukan untuk memperoleh verifikasi spesies- spesies tumbuhan pangan dan obat yang dimanfaatkan oleh masyarakat yang diperoleh dari hasil wawancara. Verifikasi dilakukan dengan mencari informasi dari hasil wawancara dan mengidentifikasi tumbuhan agar memperoleh data nama ilmiah atau nama lokal dari spesies-spesies tersebut dan membuat dokumentasi atau membuat contoh spesimen herbarium. Selain itu observasi digunakan juga untuk mendapatkan data tentang tata guna lahan pada Kampung Waur.

Pembuatan Herbarium

Pembuatan herbarium dilakukan ketika ditemukan spesies- spesies yang tidak dapat di identifikasi di lapang atau tumbuhan yang merupakan spesies langka. Herbarium merupakan koleksi spesimen tumbuhan yang diawetkan terdiri dari bagian-bagian tumbuhan yaitu ranting lengkap dengan daun, kalau ada bunga dan buahnya.

Tahapan- tahapan dalam pembuatan herbarium menurut Triharto (1996) yaitu:

1. Pengumpulan tumbuhan dilakukan dengan melakukan eksplorasi di lapangan. Selanjutnya masukkan tumbuhan yang diperoleh kedalam halaman sebuah buku yang tebal.

2. Tumbuhan di masukkan kedalam kertas yang kasar dan kering seperti kertas koran, letakan di beberapa halaman dan sertakan catatan- catatan yang dibuat untuk tumbuhan tersebut atau disertakan etiket gantung yang sesuai dengan catatan lapang.

(15)

5 4. Tempelkan nama pada kertas dengan kertas label. Tuliskan diatas kertas herbarium data mengenai tanggal, tempat ditemukan, tempat mereka tumbuh, nama penemu, catatan khusus, nama famili dan nama spesies.

Analisis Data

Karakteristik Responden

Karakteristik responden disusun dan dikelompokan dalam lima karakteristik umum yaitu umur, pendidikan, jenis kelamin, mata pencaharian dan pendapatan. Karakteristik umur dibedakan menjadi empat kelompok antara lain kelas umur 20-30 tahun, 31-40 tahun, 41-50 tahun dan umur diatas 50 tahun. Persentase bagian yang dimanfaatkan

Presentase tumbuhan obat meliputi bagian yang dimanfaatkan meliputi daun, batang, kulit, buah, bunga dan akar. Menurut Fakhrozi (2009) rumus untuk menghitung presentase bagian yang dimanfaatkan yaitu:

Presentase Habitus

Habitus merupakan perawakan suatu tumbuhan dan penampakan luar dari suatu tumbuhan. Menurut Tjitrosoepomo (1988) berbagai habitus dari spesies tumbuhan sebagai berikut:

1) Pohon yaitu tumbuhan berkayu yang tinggi besar, memiliki satu batang yang jelas dan bercabang jauh dari permukaan tanah.

2) Perdu yaitu tumbuhan berkayu yang tidak terlalu besar dan bercabang dekat dengan permukaan tanah atau di dalam tanah.

3) Semak yaitu tumbuhan berkayu yang hidup mengelompok dengan anggota yang sangat banyak membentuk rumpun dan tumbuh pada permukaan tanah yang tingginya mencapai 1 m.

4) Herba yaitu tumbuhan tidak berkayu dengan batang lunak

5) Liana yaitu tumbuhan berkayu, yang batangnya menjalar pada tumbuhan lain 6) Epifit yaitu tumbuhan yang hidupnya menumpang pada tumbuhan lain.

(16)

6

Presentase Tipe Habitat

Persentase bagian tumbuhan pangan dan obat berdasarkan tipe habitat tumbuhan dapat dihitung berdasarkan jumlah spesies yang dimanfaatkan dari berbagai tipe habitat berupa hutan, kebun, ladang, pekarangan dan lain-lain. Mengitung persentase tipe habitat dapat digunakan persamaan :

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Letak dan Luas

Kampung Waur terletak di bagian selatan kota kecamatan dengan jarak yang ditempuh dari kota kabupaten 120 km/jam. Waktu yang ditempuh untuk sampai ke Kampung Waur dari kota kecamatan sekitar 15 menit dengan mobil atau motor (ojek). Sedangkan waktu yang ditempuh dari kota kabupaten menuju ke Kampung Waur sekitar 1 jam dengan menggunakan alat transportasi laut yaitu kapal cepat (MV Indomas) dan speedboat.

Iklim

Iklim merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan tumbuhan di wilayah ini. Iklim Kampung Waur termasuk dalam daerah sedang panas. Pada musim dingin/penghujan yaitu pada bulan September – Desember bertiup angin timur sedangkan musim panas pada bulan Mei-Agustus bertiup angin Barat.

Etnografi

1. Sosial budaya dan Ekonomi Masyarakat

Jumlah penduduk Kampung Waur dalam data terakhir tahun 2012 sebanyak 271 kepala keluarga dengan jumlah penduduk 1427 jiwa yang terdiri dari 706 laki- laki dan 721 perempuan. Rata- rata setiap keluarga terdiri dari lima anggota keluarga. Secara keseluruhan penduduk Kampung Waur merupakan pemeluk agama Kristen Khatolik.

(17)

7 kehidupan sosial masyarakat Kampung Waur sangat baik hal ini disebabkan oleh hubungan emosional dalam keluarga sangatlah kuat. Prinsip masyarakat Waur, jika ada hajatan keluarga atau ada tetangga yang susah semuanya datang membantu. Ketika masyarakat desa mengunjungi salah satu warga yang sedang hajatan maka mereka akan membawa yelim atau sumbangan berupa makanan dari hasil kebun atau sembako.

Gotong- royong masayarakat Kampung Waur pun dapat terlihat pada saat musim kebun. Jika ada salah seorang masyarakat membuat kebun baru maka tetangganya atau keluarganya membantu dengan memberikan yelim atau uang. Gotong- royong mengerjakan kebun baru, dalam bahasa daerah disebut dengan maren.

2. Asal usul dan Sejarah Masyarakat

Penduduk asli Suku Kei pada umumnya dan penduduk Kampung Waur khusnya tidak diketahui dari mana asal mereka. Berdasarkan wawancara dengan orang kai atau kepala kampung, Suku Kei sudah ada sebelum kapal orang- orang Portugis tiba di tanah Kei, sedangkan penduduk asli orang Waur telah diketahui sejak jaman heman ai (cawat yang terbuat dari kulit kayu). Para leluhur Kampung Waur datang dari beberapa kampung, kelompok-kelompok yang telah membentuk Kampung baru itu selanjutnya membentuk mata rumah atau fam (Marga) diantaranya, Ohoiwirin, Rahanten yang terbagi lagi dari beberapa marga yaitu Kaanubun, Samderubun, Farneubun, Heatubun, Borlak dan Ohoilean. Marga Jangnain yang terdiri dari marga Sikteubun, Horokubun, Lengitubun, Toanubun dan Baranyanan, marga terakhir yaitu marga Ngutra.

3. Struktur Organisasi

Struktur dan organisasi kampung sendiri diatur berdasarkan adat dan kebudayaan dan masih digunakan secara turun-temurun. Kampung Waur mempunyai ketua kampung yang disebut orong kai yang diangkat berdasarkan garis keturunan dari marga Rahanten. Kepala kampung dapat dibantu oleh orang soa, seniri atau kepala marga dan marinyo atau pembawa pesan- pesan penting yang dalam bahasa daerah disebut tabaus. Soa dan seniri berperan untuk membantu orong kai dalam peraturan Kampung Waur dalam bidang adat, memberikan pertimbangan kepada pemerintah dan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan Kampung Waur. Masa jabatan orong kai, soa dan seniri adalah enam tahun.

4. Sistem Kepercayaan

Masyarakat Suku Kei yang mendiami Kampung Waur sebagian besar beragama Kristen Khatolik. Menurut wawancara dengan kepala marga atau Seniri dahulu masyarakat Kampung Waur menganut Animisme kemudian datanglah pendatang- pendatang yang beragama muslim dan kristen protestan tetapi tidak diketahui kapan mereka masuk ke Kampung Waur. Sekitar tahun 1906/1907 para leluhur membawa pastor dari desa tetangga untuk membabtis masyarakat sehingga Waur menjadi kampung Khatolik.

(18)
(19)
(20)

10

dilihat dari luas Kampung Waur secara keseluruhan sebesar ± 86.400 ha dengan rincian pemukiman 23 ha, sedangkan pertanian 63. 400 ha. (Tabel 2)

Tabel 2 Tata guna lahan oleh masyarakat

Sumber: Data Dasar Profil Desa Waur (2012)

Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa penggunaan lahan oleh masyarakat Kampung Waur sebagian besar untuk pertanian. Pemanfaatan lahan Kampung Waur terdiri dari pemukiman, pusat desa, pertanian, pekarangan, TPU, dan prasarana umum seperti sekolah, gereja dan pusat kesehatan.

Pusat kegiatan atau pusat desa berada di tengah kampung sebagai pusat adat dan pemerintahan kampung. Terdapat beberapa fasilitas umum yaitu kantor desa dan rumah adat atau Woma.

Areal pertanian berada tidak merata seperti beberapa yang dekat dengan pemukiman. Sebagian besar berkebun di atas gunung dan jauh dari kampung, di belakang TPU atau di belakang rumah dan di pinggir jalan raya. Sektor perkebunan yang dikembangkan di Kampung Waur adalah keladi, kelapa, ubi dan pisang atau kebun campuran pada lokasi yang sama. Pada umumnya kebun campuran ditanami oleh tumbuhan semusim dan tumbuhan tahunan. Selain itu kebun yang dikelola oleh masyarakat merupakan kebun tradisional dimana hasil dan perkembangannya secara alami dan hanya memerlukan perawatan yang minimal dan praktek pengelolaannya pun dilakukan secara sederhana (De foresta et al. 2000). Selain itu masyarakat juga menggunakan pekarangan untuk areal perkebunan yang pada umumnya ditanami sayur, bumbu dapur seperti cabe, serei dan lengkuas atau ditanam tanaman hias. Sedangkan pekarangan belakang rumah digunakan untuk beternak hewan seperti ayam dan babi pada umumnya.

Fasilitas lain seperti beberapa sekolah dasar, SMA, SMP dan PAUD yang berada tersebar di kampung, gereja yang letaknya di pertengahan, posyandu dan TPU berada pada ujung Kampung Waur

Karakteristik Responden

Umur Responden

Umur Responden yang diwawancara beragam mulai dari umur 18-40 tahun sampai diatas 60 tahun. Responden paling tua berumur 97 tahun, hal ini menunjukan bahwa semakin tua usia maka pengetahuan tentang tumbuhan pangan dan obat semakin banyak. Responden yang diwawancara sebanyak 30 dengan kelas umur 18-40 tahun berjumlah 2 orang, 41-60 tahun 17 orang dan diatas 60 tahun 11 orang. Faktor yang mempengaruhi sedikitnya orang muda yang berperan dalam pengetahuan tentang pangan dan obat adalah pendidikan di luar atau perantauan keluar daerah sehingga kurang adanya regenerasi tentang pengetahuan

No Penggunaan lahan Luas (ha)

1 Tanah Pemukiman 23

2 Tanah Pertanian 63.400

(21)

11 tumbuhan obat dan pangan di dalam Kampung Waur sendiri. Karakteristik responden berdasarkan usia dapat dilihat pada Gambar 6.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Kartikawati (2004) pada masyarakat Suku Dayak Meratus, kebanyakan masyarakat yang berumur tua tetapi masih produktif dan tingkat mobilitasnya tinggi karena mereka tergolong sehat dapat dilihat dari makanan yang mereka makan sehari- hari yang kebanyakan adalah sayuran, buah- buahan dan kacang-kacangan yang merupakan hasil kebun yang memiliki kandungan gizi seperti karbohidrat, protein, vitamin, mineral dan sebagainya

Gambar 6 Karakteristik responden berdasarkan usia

Pendidikan

Tingkat pendidikan masyarakat Kampung Waur tergolong baik hal ini dapat dilihat dari responden yang diwawancarai satu orang yang tidak bersekolah sedangkan 11 orang reponden merupakan tamatan SD, 7 orang tamatan SMP, 3 orang tamatan SMA biasa, 5 orang tamatan SPG (sekolah perguruan) dan hanya 2 orang merupakan tamatan S1 (Gambar 7).

Gambar 7 Komposisi pendidikan

Jenis Kelamin

(22)

12

perempuan dan laki- laki pada Kampung Waur sama-sama mempunyai peranan yang penting dalam memenuhi kebutuhan sehari- hari yaitu berkebun, mencari kayu bakar, mengangkut hasil kebun ataupun hasil hutan lainnya tetapi berburu hanya dilakukan oleh laki- laki. Menurut Sajogyo (1987) bahwa beban kerja bagi perempuan pedesaan bukanlah suatu permasalahan dan beban melainkan sebagai hobi dan rasa tanggung jawab terhadap keluarga.

Mata Pencaharian Responden

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan kepada masyarakat Kampung Waur pada umumnya mata pencaharian masyarakat adalah petani (56%), berburu (10%), pedagang (17%), guru/PNS (17%) (Gambar 9). Mata pencaharian pokok adalah petani dan berdagang untuk menunjang kehidupan perekonomian masyarakat.

Gambar 8 Mata pencaharian responden

Selain itu untuk menunjang perekonomian masyarakat menjual hasil hasil pertaniannya. Hasil yang sering dijual untuk memenuhi kebutuhannya adalah sagu (Metroxylon sagu), keladi (Colocasia esculenta) ubi jalar (Ipomoea batatas), enbal (Manihot utilissima) dan cekeh (Syzygium aromaticum).

Intensitas berkebun masyarakat Kampung Waur cukup besar karena setiap keluarga mempunyai kebun masing- masing walaupun telah bekerja sebagai PNS atau pensiunan selain itu juga kebanyakan masyarakat menghabiskan waktu di hutan untuk berkebun sedangkan untuk memenuhi kebutuhan yang lain seperti obat, ikan dan protein hewani masyarakat mengambil dari alam atau membelinya di pasar.

Keanekaragaman Tumbuhan Pangan

Keanekaragam Famili

Berdasarkan hasil yang observasi lapang keanekaragaman famili tumbuhan pangan yang teridentifikasi adalah 38 famili dengan total spesies tumbuhan 94 (Lampiran 1). Famili yang paling banyak ditemukan adalah Fabaceae sebanyak 9 spesies sedangkan yang terbanyak kedua adalah Musaceae

56%

17% 17%

10%

Petani

Guru/PNS

Pedagang

(23)

13 sebanyak 8 spesies dan famili lainnya jumlanya berfariasi antara 1-5 spesies (Gambar 9)

Gambar 9 Jumlah spesies tumbuhan pangan berdasarkan famili

Famili Fabaceae (polong-polongan) memiliki spesies paling banyak diantara famili lainnya. Beberapa spesies dari famili Fabaceae diantaranya buncis (Phaseolus vulgaris), kacang panjang (Vigna unguiculata), kacang hijau (Vigna radiata), kacang tanah (Arachis hypogeae) dan kecipir (Psophocarpus tetragonolobus) dan hampir semua spesies dari famili Fabaceae seperti kacang panjang, kacang hijau, dan buncis di budidaya oleh masyarakat. Sedangkan famili Musaceae dan Cucurbitaceae mempunyai jumlah spesies tinggi kedua hal ini dikarenakan famili Musaceae atau pisang- pisangan dan Cucurbitaceae seperti mentimun (Cucumis sativus), labu manis (Cucurbita moschata) banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai komoditas utama dalam pemenuhan kebutuhan akan buah di kampung waur. Selain itu jumlah famili Musaceae di alam pun melimpah. Sedangkan famili Cucurbitaceae dan Fabaceae pada umumnya merupakan tanaman sayur-sayuran seperti kacang panjang (Vigna unguiculata) dan labu siam (Sechium edule).

Keanekaragaman Spesies

Spesies tanaman pangan yang didapatkan di Kampung Waur berdasarkan hasil observasi lapang sebanyak 94 spesies dari 38 famili. Spesies yang merupakan makanan pokok dan sumber karbohidrat berasal dari famili Arecaceae seperti keladi (Colocasia esculenta), sagu (Metroxylon sagu) dan enbal (Manihot utilissima) selain itu famili yang mendominasi yaitu Musaceae yang merupakan jenis pisang- pisangan seperti pisang ambon (Musa sapientum), pisang kepok (Musa paradisiaca), pisang abu-abu (Musa acuminata), pisang susu (Musa ducasse), pisang raja (Musa textilia), pisang tongka langit (Musa fehi) sedangkan famili Cucurbitaceae dan Fabaceae yaitu labu siam (Sechium edule), labu manis (Cucurbita moschata), papari (Momordica charantia), patola ular (Luffa acutangula) pateka (Citrullus lanatus), dan kelilihan (Lablab purpureus).

(24)
(25)

15 c. Sumber Vitamin dan Mineral

Vitamin dan mineral berperan penting bagi tubuh manusia, mineral berfungsi sebagai proses pertumbuhan, pengaturan dan perbaikan fungsi tubuh sedangkan fungsi dari vitamin sendiri bermacam- macam seperti meningkatkan daya tahan tubuh, meningkatkan stamina, mencukupi kebutuhan gizi dan sebagainya. Sumber vitamin dan mineral yang berasal dari sayur- sayuran dan buah- buahan yang dikonsumsi oleh masyarakat. Tumbuhan sebagai sumber vitamin dan mineral yang dimanfaatkan oleh masyarakat Kampung Waur antara lain sayur-sayuran seperti ganemo (Gnetum gnemon), lab ke roan (Diplazium esculentum), sawi hijau (Brassica rapa), kangkung (Ipomoea reptans) dan buah- buahan seperti pepaya (Carica papaya), pisang (Musa sp), alpukat (Persea americana) (Gambar 13). Pada umumnya tumbuhan sayur dan buah telah di budidayakan oleh masyarakat dan ditanam di pekarangan rumah dan di kebun.

(a) (b)

Gambar 13 Sumber vitamin dan mineral yang berasal dari sayur dan buah: (a) Sawi hijau (Brassica rapa); (b) Pisang ambon (Musa sapientum)

b. Sumber Protein

Sumber protein hewani dimanfaatkan oleh masyarakat berasal dari ikan laut, telur ikan, dan hewan ternak seperti ayam dan babi. Sedangkan sumber protein nabati yang dimanfaatkan oleh masyarakat merupakan tumbuhan kacang- kacangan seperti kacang tanah (Arachis hypogeae), kacang panjang (Vigna unguiculata), kacang merah (Vigna angularis), kelilihan (Lablab purpureus) dan kacang hijau (Vigna radiata) (Gambar 12).

(26)

16

Keanekaragaman Tipe Habitat

Masyarakat Kampung Waur pada umunya menggunakan hutan, kebun dan pekarangan rumah untuk menanam tumbuhan pangan. Tipe habitat yang paling banyak ditemukan tumbuhan pangan adalah kebun dengan penggunaan lahan sebanyak 52%, pekarangan 42% dan hutan 6% (Gambar 14). Tipe habitat tumbuhan pangan secara lengkap tersaji pada Lampiran 2.

Gambar 14 Tipe habitat tumbuhan pangan

Hal ini karena masyarakat Kampung Waur sebagian besar berkebun untuk memenuhi kebutuhan sehari- hari. Fungsi pekarangan juga sangat penting bagi masyarakat karena sebagian besar tumbuhan pangan juga dibudidayakan di pekarangan agar memudahkan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan ketika mereka tidak dapat mengambil hasil makanan dari kebun. Menurut Sumarnie et al. (1993) fungsi pekarangan di daerah pedesaan sebagai penghasil bahan makanan dan tambahan pendapatan sehari-hari.

Tumbuhan yang belum dibudidayakan atau liar biasanya diambil dari hutan seperti bambu (Gigantochloa apus) dan lab ke roan (Diplazium esculentum). Penyediaan pangan yang berasal dari hutan sudah terjadi sejak lama. Pemanfaatan hutan untuk sumber pangan selain produk dan jasa kehutanan sudah dilakukan oleh masyarakat di dalam dan di sekitar hutan secara tradisional dan turun temurun. Kontribusi kehutanan melalui fungsi hutan sebagai penyedia pangan dilakukan melalui pemanfaatan langsung plasma nutfah flora dan fauna untuk pemenuhan kebutuhan pangan, sandang, papan dan obat-obatan (Kementerian Kehutanan 2009)

Tumbuhan pangan yang terdapat di Kampung Waur menurut status budidayanya tergolong kedalam tumbuhan budidaya, semi budidaya dan liar. Tumbuhan pangan pada Kampung Waur sebagian besar telah di budidayakan yaitu sebanyak 75% selain itu ada beberapa tumbuhan yang telah dibudidaya tetapi masih tumbuh liar atau tumbuhan semi budidaya yang merupakan tumbuhan yang sudah di budidayakan dan ada yang tumbuh secara liar di hutan yaitu masing- masing sebanyak 14% dan 11%. (Gambar 15).

(27)

17

Gambar 15 Komposisi status budidaya tumbuhan pangan

Sistem pertanian di Kampung Waur masih sederhana yaitu dengan cara nomaden atau ladang berpindah. Pada proses persiapan lahan untuk berkebun rumput liar dan pohon- pohon kecil pada lahan tersebut dibabat habis atau yang disebut oleh masyarakat sebagai pemiri setelah itu baru dibakar. Lahan yang telah dibakar dibiarkan selama sebulan agar serasah- serasah yang dibakar tercampur dengan tanah menjadi pupuk kemudian barulah ditanami hal ini dinamakan kebun baru atau dalam bahasa daerah disebut maren. Ketika lahan tidak lagi produktif pemilik kebun akan berpindah ke lahan yang baru. Menurut hasil wawancara lahan kebun mempunyai masa produktif 5-6 tahun. Makanan pokok masyarakat Kampung Waur ada 2 macam yaitu sagu dan enbal selain itu kedua tumbuhan ini yang sering ditanami oleh masyarakat untuk dijual dipasar. Tumbuhan sagu dan enbal atau singkong dapat ditemukan berbagai tipe habitat seperti hutan, pekarangan dan kebun sehingga mudah ditanam oleh masyarakat dan mudah dijumpai.

Sagu merupakan makanan pokok yang tumbuh liar di hutan tetapi dalam status budidaya sehingga termasuk dalam kelompok semi budidaya. Pohon sagu yang siap untuk dipanen pada umur 10-11 tahun dengan tanda tunas muda atau kuncup bunga mulai muncul. Sagu yang telah siap dipanen, ditebang dan dibersihkan bagian batangnya agar mudah untuk dibelah. Untuk mempermudah dalam pengerukan pati, batang sagu tersebut dibelah menjadi dua bagian. Batang yang telah dibelah menjadi dua kemudian dibelah lagi secara melintang barulah dikeruk bagian dalamnya atau disebut pangkur sagu. Alat untuk pangkur sagu disebut leb Setelah dipangkur, dicampur dengan air dan diperas setelah itu dibiarkan selama dua hari sehingga patinya telah mengendap. Pati yang telah mengendap dibuang airnya sehingga yang diambil merupakan padatannya yang seperti tepung. Padatan dari sari pati sagu tersebut dimasukan kedalam wadah yang telah dibuat dari daun sagu disebut dengan tumang.

Ketela pohon atau enbal juga merupakan makanan pokok bagi masyarakat Kampung Waur. Pengelolaan enbal tidak begitu rumit seperti pengelolaan sagu. Pertama-tama enbal dibersihkan kulitnya, setelah itu diparut dengan menggunakan alat parut atau mesin. Hasil dari proses pemarutan di bungkus kedalam karung yang telah dibersihkan kemudian di tindih dengan batu atau kayu agar airnya keluar atau kering dan hasilnya seperti tepung. (Gambar 16).

11%

14% 75%

(28)

18

(a) (b)

Gambar 16 Teknik pengelolaan makanan pokok yang menjadi sumber karbohidrat: (a) Pangkur sagu; (b) Enbalditindih dengan kayu

Spesies liar yang sering dimanfaatkan sebagai pangan oleh masyarakat Waur adalah kelilihan (Lablab purpureus). Tumbuhan ini tidak hanya hidup di satu tipe habitat tetapi hidup liar di beberapa tipe habitat. Kelilihan hidup liar di lahan yang kering atau tanah kurang subur. Hal ini sama seperti yang diungkapkan oleh Heriyanto dan Rozi (2002) bahwa secara tradisional kelilihan ditanam di daerah kering, buahnya digunakan sebagai bahan sayuran sedangkan bijinya yang sudah cukup tua biasanya dimanfaatkan sebagai makanan ringan (cemilan).

Keanekaragaman Habitus

Habitus merupakan perawakan dari setiap tumbuhan yang didasarkan oleh karakteristik tumbuhan. Keanekaragaman habitus tumbuhan pangan yang dimanfaatkan oleh masyarakat terdiri dari 5 habitus yaitu pohon, herba, semak, liana, epifit dan perdu.

Pohon merupakan habitus yang paling banyak dimanfaatkan oleh masyarakat (Tabel 3) yaitu sebanyak 39% dengan jumlah spesies 38 hal ini karena sebagian besar habitus pohon merupakan jenis buah- buahan yang sering dikonsumsi oleh masyarakat.

Tabel 3 Presentasi tumbuhan pangan berdasarkan habitus

No Habitus Tumbuhan Jumlah(spesies) Presentase (%)

1 Pohon 38 39

2 Herba 24 26

3 Semak 9 10

4 Liana 11 12

5 Perdu 8 9

6 Epifit 4 4

(29)

19 Bagian yang digunakan

Keanekaragaman tumbuhan pangan berdasarkan bagian tumbuhan yang digunakan dikelompokan kedalam 6 bagian yang meliputi daun, buah, batang, bunga, biji dan rimpang. Bagian tumbuhan pangan yang paling banyak digunakan adalah buah sebanyak 64% (61 spesies) dan yang paling sedikit yaitu bunga sebanyak 2% (2 spesies) sedangkan yang lain yaitu daun 20 spesies, batang 9 spesies, biji 3 spesies, rimpang 3 spesies dan umbi 5 spesies (Gambar 17).

Gambar 17 Bagian tumbuhan pangan yang dimanfaatkan

Pola Konsumsi

Masyarakat Kampung Waur pada umumnya mempunyai pola konsumsi yang teratur dengan makan 3 kali sehari yaitu pada pagi hari sebelum berangkat ke kebun, siang pada waktu istirahat dan malam. Menu yang dikonsumsi masyarakat sehari- hari dari pagi hingga malam yaitu pisang, sagu, keladi enbal dan petatas sebagai sumber karbohidrat sedangkan sebagai sumber protein hewani masyarakat menkonsumsi ikan, kerang, siput, telor ikan dan hasil ternak yaitu babi dan ayam. Masyarakat mengkonsumsi sayur-sayuran sebagai protein seperti daun kasbi, ganemo, terong, pare, bunga pepaya, rebung dan yang lainnya. Makanan yang masyarakat konsumsi tidak ada perbedaan antara pagi, siang dan malam.

Pagi hari masyarakat melakukan sarapan dengan nasi, sagu, rebusan umbi- umbian seperti singkong rebus, petatas rebus atau dengan gorengan pisang dan keladi. Sedangkan sayur yang mereka konsumsi seperti rebusan daun singkon atau sir- sir yang merupakan sayur tradisional masyarakat Pulau Kei, khususnya Kampung Waur sendiri yaitu tumisan daun singkong dicampur dengan bunga papaya (Gambar 18). Sarapan pagi dilakukan masyarakat karena mereka yang bekerja seharian di kebun agar mempunyai banyak tenaga untuk bekerja.

Ketika siang masyarakat yang berada di kebun tidak pulang ke rumah karena mereka telah menyiapkan bekal makan siang mereka sedangkan makan malam mereka lakukan di rumah masing-masing. Menurut Hardinsyah dan Tambunan (2004) setidaknya terdapat 10 syarat tentang pola makan yang sehat. Syarat tersebut di antaranya selalu diawali dengan sarapan, makan pada waktunya, memperhatikan ragam jenis dan jumlah pangan, cukup karbohidrat dan lauk pauk, batasi gula (manis), lemak (gorengan) dan garam (asin), banyak mengkonsumsi buah dan sayur, berhenti sebelum kenyang, sesuai dengan kemampuan, nikmati

(30)

20

dan pilih yang aman.Selain itu masyarakat juga mengkonsumsi buah- buahan seperti jeruk bali (Citrus grandis), pisang ambon (Musa sapientum), belimbing manis (Averrhoa carambola), jambu air (Syzygium aqueum) dan buah- buah lainnya yang dihasilkan dari hasil kebun atau ditanam di pekarangan.

Berdasarkan pengamatan pola konsumsi pangan pada masyarakat Suku Kei Kampung Adat Waur sangat beragam, selain itu pemanfaatan bahan baku agar dijadikan makanan pula beragam oleh karena itu dapat dikatakan bahwa masyarakat telah melaksanakan diversifikasi pangan.

Keanekaragaman Tumbuhan Obat

Keanekaragaman Spesies

Sebanyak 111 spesies tumbuhan obat dari 50 famili yang ditemukan berdasarkan hasil wawancara dan observasi lapang. Spesies tumbuhan obat secara lengkap tersaji pada Lampiran 3. Salah satu tumbuhan obat yang sering digunakan masyarakat yaitu enmur (Phyllanthus niruri) (Gambar 20). Tumbuhan enmur sering digunakan oleh masyarakat kampung Waur sebagai obat demam dan kencing batu.

Gambar 20 Tumbuhan Enmur (Phyllantus niruri)

Menurut Subarnas dan Sidik (1993) pemanfaatan tumbuhan Phyllanthus niruri sendiri sebagai obat tradisonal telah diketahui oleh masyarakat Indonesia yang digunakan sebagai obat bagi penyakit kencing batu, demam, sakit perut, batuk dan sakit gigi. Selain itu Phyllanthus niruri memiliki khasiat sebagai obat antivirus. Senyawa yang ditemukan pada Phyllanthus niruri antara lain triterpenoid, avonoid, tanin, alkaloid, dan asam fenolat.

(31)

21

Keanekaragaman Famili

Keanekaragaman famili di Suku Kei Kampung Adat Waur berdasarkan hasil wawancara dan hasil observasi lapang ditemukan 50 famili yang dimanfaatkan oleh masyarakat dari 111 spesies tumbuhan. Famili terbanyak yang ditemukan adalah Euphorbiaceae yaitu sebanyak 7 spesies, sedangkan yang terbanyak selanjutnya yaitu Zingiberaceae setelah itu Malvaceae dan masing- masing sebanyak 6 dan 5 spesies (Gambar 19).

Gambar 19 Presentase keanekaragaman famili tumbuhan obat

Famili Euphorbiaceae merupakan suku terbesar keempat dari lima suku tumbuhan berpembuluh dikawasan Malesia yang mewadahi 1354 jenis dari 91 marga (Whitmore 1995). Berdasarkan hasil studi referensi yang dilakukan oleh Djawarningsih (2007) bahwa berdasarkan data yang pernah muncul terdapat 148 jenis tumbuhan yang berpotensi sebagai obat tradisional dari suku Euphobiaceae.

Tumbuhan dari famili Euphorbiaceae yang digunakan adalah dang- dang roan (Acalypha wilkesiana), enmur (Phyllantus niruri) dan jarak pagar (Jatropha curcas) masing-masing kegunaannya untuk mengobati sakit badan dan demam. Tumbuhan dari famili Solanaceace yang digunakan sebagai tumbuhan obat antara lain cabe rawit (Capsicum frutescens) untuk mengobati bisul raja dengan cara daun dari cabe rawit di rauh pada bara api kemudian ditempelkan pada bisul raja. Ceplukan (Physalis minima) dimanfaatkan untuk mengobati penyakit malaria dengan cara direbus daunnya dan diminum air rebusan tersebut. Tumbuhan dari famili Mytaceace yaitu cengkeh (Syzygium aromaticum) yang digunakan oleh dukun beranak untuk pengobatan setelah melahirkan bagian yang digunakan adalah bunganya. Bunganya direbus dan digunakan untuk mandi oleh wanita yang baru melahirkan sedangkan tumbuhan dengan famili Zingiberaceace seperti gelobak (Hornstedtia scottiana) untuk mengobati panas dalam, kunyit (Curcuma domestica) untuk penyakit maagh dan meningkatkan nafsu makan pada anak dan pacing (Costus speciosus) untuk mengobati penyakit kencing batu. Pada umumnya tumbuhan dari famili Myrtaceace dan Zingiberaceace merupakan

(32)

22

tumbuhan domestikasi atau banyak budidayakan oleh masyarakat sebagai bumbu masakan.

Keanekaragaman Habitus

Tumbuhan obat yang dimanfaatkan sebagai obat di manfaatkan oleh masyarakat Suku Kei Kampung Adat Waur dikelompokkan menjadi 6 habitus yaitu pohon, herba, semak, liana, epifit dan perdu. Habitus yang paling banyak dimanfaatkan oleh masyarakat yaitu perdu sebanyak 26% (28 spesies) sedangkan kedua terbanyak yang dimanfaatkan yaitu herba sebanyak 22% (25 spesies) dan yang paling sedikit yaitu epifit sebanyak 1% (1 spesies) (Tabel 4)

Tabel 4 Keanekaragaman habitus tumbuhan obat

Tipe Habitat

Tumbuhan obat yang dimanfaatkan oleh masyarakat paling banyak ditemukan di beberapa tipe habitat yaitu pekarangan sebanyak 60%, kebun 26%, hutan 35% dan Tempat Pemankaman Umum (TPU) 3% (Gambar 21). Tipe habitat tumbuhan obat secara lengkap tersaji pada Lampiran 4.

Gambar 21 Presentase keanekaragaman tipe habitat tumbuhan obat Pekarangan merupakan tipe habitat yang paling banyak ditemui tumbuhan obat karena pekarangan merupakan lahan yang dekat dengan rumah masyarakat sehingga mudah dalam mendapatkan tumbuhan obat daripada mencari di hutan.

Pekarangan, 60%

Kebun, 26% Hutan, 35%

TPU, 3%

No Habitus Jumlah (Spesies) Presentase (%)

1 Perdu 28 26

2 Herba 25 22

3 Semak 23 21

4 Pohon 19 17

5 Liana 14 13

6 Epifit 1 1

(33)

23 Tumbuhan obat yang ditanam di pekarangan yaitu tumbuhan yang sering digunakan oleh masyarakat ketika sakit seperti biana (Stachytarpheta indica) untuk mengobati kaki bengkak atau demam, giawas (Psidium guajava) mengobati diare dan jarak pagar (Jatropha curcas) untuk mengobati demam pada anak- anak. Tumbuhan- tumbuhan ini sering digunakan untuk mengobati penyakit yang sering diderita oleh masyarakat sendiri seperti demam, batuk dan diare.

Selain lahan pekarangan banyak juga tumbuhan obat yang ditemukan liar di hutan seperti aman farihin (Pouzolzia zeylanica) yang dan gelobak (Hornstedtia scottiana) yang berkhasiat untuk mengobati penyakit panas dalam, batuk dan amandel. Sedangkan tumbuhan obat ditemukan dikebun biasanya juga yang dimanfaatkan sebagai pangan seperti halia (Zingibers officinale), kelapa (Cocos nucifera) atau pinang (Areca catechu)

Tumbuhan obat menurut status budidayanya terbagi menjadi dua yaitu tumbuhan obat yang dibudidaya dan tumbuhan obat yang hidup liar atau belum dibudidaya. Tumbuhan obat yang hidup liar presentasenya sebesar 56% dan yang dibudidayakan sebesar 44% (Gambar 22). Tumbuhan obat dibudidayakan di pekarangan rumah masyarakat seperti kumis kucing (Orthosiphon stamineus), kunyit (Curcuma domestica) dan kembang sepatu (Hibiscus rosasinensis) tetapi ada juga tumbuhan obat yang ditemukan liar di pekarangan rumah masyarakat seperti kanker roan (Vernonia cinerea) untuk mengobati penyakit dalam, lili (Hymenocallis litthoralis) batangnya dapat mengobati penyakit malaria dan daun kaca-kaca (Peperomia pellucid) untuk mengobati demam pada anak kecil.

Gambar 22 Status budidaya tumbuhan obat

Tumbuhan obat liar yang dimanfaatkan oleh masyarakat diambil dari dalam hutan. Hal ini dapat di indikasikan bahwa intensitas masyarakat untuk mengambil tumbuhan obat dari hutan cukup besar. Menurut Soekarman dan Riswan (1992), baru sekitar 3-4% tumbuhan bermanfaat yang ada di Indonesia sudah dibudidayakan dan ditanam, sementara sisanya masih tumbuh liar di hutan-hutan.

Bagian yang digunakan

Tumbuhan obat yang dimanfaatkan oleh masyarakat Kampung Waur dibagi menjadi 11 bagian yang dimanfaatkan yaitu daun, bunga, buah, batang, akar, kulit batang, pucuk, getah, air, rimpang dan umbi. Bagian yang paling banyak dimanfaatkan yaitu daun sebesar 76 spesies (68%) dan yang paling rendah

56% 44%

Liar

(34)

24

yaitu bunga, kulit batang, getah, air dan rimpang, masing-masing yaitu 1 %, banyaknya bagian tumbuhan yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 5.

Menurut Lestari (2011) penggunaan daun banyak dilakukan oleh masyarakat karena mereka percaya bahwa di dalam daun tersimpan berbagai macam zat mineral tumbuhan yang dibawa dari akar menuju batang dan berakhir di daun.

Berdasarkan wawancara penyakit yang paling banyak diderita oleh masyarakat yaitu demam, darah tinggi, batu ginjal, batuk dan penyakit otot dan persendian. Kelompok penyakit yang paling sering diderita masyarakat serta spesies tumbuhan obat yang digunakan disajikan dalam Tabel 6 secara lengkap tersaji pada Lampiran 5.

Tabel 6 Kelompok penyakit dan spesies tumbuhan obat

No Kelompok penyakit Spesies

1 Demam Bunga ular (Cissus discolor), daun kaca- kaca

(Peperomia pellucid), kubang dit (Datura metel) 2 Penyakit darah tinggi Alpukat (Persea americana), labu siam (Sechium

edule), pandan wangi (Pandanus amarillifolius) 3 Penyakit ginjal Uru-ruak (Spatholottis plicata), bunga lilin

(Stachytarpheta indica), enmur (Phyllantus niruri)

4 Penyakit malaria Kumis kucing (Orthosiphon stamineus), pepaya

(Carica papaya)

5 Penyakit pernapasan

(Batuk dan asma)

Wang roan (Kleinhovia hospita), jambu hutan (Eugenia boerlagei), bawang putih (Allium sativum) 6 Penyakit otot dan

persendian

(35)

25 Berdasarkan jumlah spesies yang paling banyak digunakan untuk mengobati penyakit demam, malaria dan kencing batu yaitu jarak pagar (Jatropha curcas), daun kaca-kaca (Peperomia pellucid) dan kumis kucing (Orthosiphon stamineus). Beberapa tumbuhan obat yang paling banyak digunakan untuk penyakit demam daun kaca- kaca (Peperomia pellucid) yang sering digunakan oleh masyarakat dalam pengobatan karena mudah ditemukan dan cepat sembuh jika menggunakan tumbuhan ini. Menurut Heyne (1987), herba tumbuhan kaca-kaca digunakan oleh masyarakat Indonesia untuk mengobati pusing kepala yang disebabkan demam, dan hasil perasan daunnya digunakan untuk pengobatan penyakit perut. Sedangkan berdasarkan hasil penelitian Wijaya dan Monica (2004) daun dan batang tumbuhan kaca-kaca (Peperomia pellucida) mempunyai zat kandungan yang berupa Saponin dan polifenol sebagai efek anti inflamasi.

Cara Penggunaan Tumbuhan Obat

Terdapat berbagai macam cara penggunaan tumbuhan obat oleh masyarakat Kampung Waur sendiri baik berbentuk ramuan maupun obat tunggal seperti direbus, dikunyah, diremas, ditumbik, diparut, dibakar maupun yang langsung dimakan, seperti yang tersaji pada Lampiran 6. Cara penggunaan tumbuhan obat yang paling banyak adalah dengan cara direbus sebanyak 53 spesies, sedangkan ditumbuk dan disaring sebanyak 16 spesies, ditumbuk dan dikeringkan sebanyak 10 spesies dan diremas sebanyak 7 spesies. Cara penggunaan tumbuhan obat disajikan dalam Tabel 7.

Tabel 7 Cara penggunaan tumbuhan obat

Tumbuhan yang digunakan dengan cara direbus dan diminum airnya yaitu gelobak (Hornstedtia scottiana) untuk menyembuhkan panas dalam, kumis kucing (Orthosiphon stamineus) menyembuhkan malaria sedangkan tumbuhan yang direbus dan airnya digunakan untuk merendam bagian tubuh yang sakit seperti siri (Piper betle) untuk penyakit mata merah dan dang- dang roan (Acalypha wilkesiana) menurunkan bengkak akhibat terkilir atau terjatuh dimana daunnya direbus dan ditempel pada bagian yang bengkak. Pada umumnya cara penggunaan dengan cara direbus ada takarannya yaitu rebus bagian tumbuhan yang akan digunakan dengan 3 gelas air sehingga kira-kira menjadi 1 gelas air dan

(36)

26

diminum. Tumbuhan yang telah direbus dapat digunakan lagi 2 sampai tiga kali dalam sehari.

Penggunaan tumbuhan obat yang sering digunakan dengan cara ditumbuk adalah yang paling banyak setelah digunakan dengan cara direbus. Tumbuhan obat yang digunakan dengan cara ditumbuk lalu disaring airnya untuk diminum dan yang digunakan dengan cara ditumbuk dan dibalut ke bagian tubuh yang sakit digunakan untuk mengobati bisul, luka, gatal-gatal, panu atau menghilangkan kutu kepala yang disebut dengan penyakit kar-karit yang menyebabkan luka- luka pada kulit kepala. Spesies tumbuhan tersebut yaitu bulensin (solidago virgaurea) untuk mengobati penyakit kar-karit, biayana (Stachytarpheta indica), enmur (Phyllantus niruri), haruv (Abroma augustum). Ada pula penggunaan tumbuhan dengan cara ditumbuk dan disemburkan kepada bayi yang sering menangis, dipercaya oleh masyarakat Kampung Waur bahwa bayi atau balita yang sering menangis diganggu oleh roh- roh jahat sehingga untuk mengobatinya digunakan tumbuhan halia (Zingibers officinale). Halia ditumbuk dan disemburkan pada bayi atau balita tersebut untuk mengusir roh- roh jahat yang mengganggu.

Penggunaan tumbuhan dengan cara di parut dan disaring airnya seperti kunyit (Curcuma domestica) untuk mengobati penyakit maagh dan penambah nafsu makan pada anak- anak atau ketimun (Cucumis sativus) untuk mengobati darah tinggi selain itu juga tumbuhan ada tumbuhan yang langsung digunakan seperti kencur (Kaempferia galanga) untuk mengobati penyakit perempuan dengan cara langsung dikunyah dan ditelan airnya, adapula tumbuhan war sarli (Bauhinia sp) yang digunakan untuk anak- anak yang susah bicara atau belum lancar bicara, daun dari tumbuhan war sarli disobek sekali di dalam mulut anak. Adapun penggunaan tumbuhan obat dengan cara di kikis kulit batangnya seperti kelor (Moringa oleifera) dan dicampur dengan minyak gosok untuk mengobati sakit punggung.

Kearifan Tradisional Masyarakat dalam Pemanfaatan Tumbuhan

(37)

27 Sistem Pertanian

Dalam beratani masyarakat Kampung Waur menggunakan lading berpindah (shifting cultivation) hal telah dilakukan secara turun-temurun dari nenek moyang masyarakat Waur hingga saat ini. Sistem pertanian ladang berpindah merupakan sistem yang cocok bagi hutan hujan tropis. Hal ini menjadi kearifan tradisional masyarakat Kampung Waur. Pada bulan Juli-September masyarakat sudah membuka area perladangan dengan cara membersihkan semak belukar dan pancang pada suatu area hutan kemudian dibiarkan hingga kering, setelah kering lahan tersebut dibakar kegiatan ini disebut dengan mareen. Dalam kegiatan mareen sendiri masyarakat saling gotong- royong untuk membuka kebun baru. Setelah itu pada bulan oktober masyarakat mengadakan penanaman pada lahan yang sudah siap untuk ditanam. Biasanya masyarakat akan menggundang teman-teman dan sanak-saudaranya untuk datang membantu. Saat penanaman akan ada nyanyian- nyanyian dan tarian- tarian adat yang dilakukan oleh masyarakat sambil menanam tumbuhan tersebut hal ini dilakukan terima kasih kepada rohnenek moyang yang telah menjaga tanah tersebut. Sedangkan saat panen yang disebut dengan masohi (pesta kebun) masyarakat pun melakukan hal yang sama pada saat penanaman upacara ini telah dilakukan secara turun- temurun sebagai suatu adat dan kebudayaan bagi masyarakat Kampung Waur sendiri. Menurut Stanis et al (2007) kerifan lokal yang dimiliki oleh suatu masyarakat dapat menciptakan suasana kekerabatan dan gotong royong. Kearifan lokal dapat juga diartikan sebagai suatu pranata norma yang dapat mengatur eksistensi kehidupan manusia dan eksistensi kehidupan lainnya

Sistem Sasi

Masyarakat Adat Waur mempunyai aturan sendiri dalam perlindungan lahan hutan atau kebun yang disebut dengan sistem sasi (moratorium) yaitu larangan untuk tidak mengambil sesuatu di lahan yang bukan milik sendiri dan untuk menjaga kawasan tersebut dalam jangka waktu. Pelaksanaan sasi biasanya akan diawali oleh pemberitahuan dari pembawa pesan pada suatu kampung yaitu marinyo yang diberitahukan kepada seluruh masyarakat kampung yang akan diadakan sasi tersebut. Sasi dilakukan dengan upacara adat oleh orang- orang yang memegang adat di Kampung Waur bersama dengan pemilik lahan atau kebun. Mereka membawa sirih, pinang dan uang logam untuk dipersembahkan kepada roh nenek moyang dan didoakan agar mereka menjaga lahan tersebut sehingga subur dan memberikan hasil yang melimpah. Setelah didoakan para pemegang adat dan masyarakat yang mempunyai lahan atau kebun memasang tanda larangan yang berupa walut ukiran batu, tatau kayu yang dibentuk atau huwear anyaman dari kelapa, untuk di tanam pada lahan tempat sasi. (Gambar 23) Pada umumnya ada beberapa bentuk hukum sasi seperti sasi tetauw untuk melindungi suatu pohon sehingga tidak ada yang mengambil hasil dari pohon tersebut pada waktu yang ditentukan, sasi walut merupakan sasi untuk melindungi dusun sagu, sasi umum (huwear) sasi ini diberlakukan untuk melindungi hasil alam tertentu. Tanda sasi ini yaitu berupa anyaman daun kelapa putih pada sebatang tiang yang sudah ditanam.

(38)

28

(lela) dan mas putih. Jika tidak orang yang melanggar tidak membayar maka dipercaya bahwa orang tersebut akan sakit sampai meninggal dunia.

Dalam pandangan manusia pada masa itu, alam itu besar dan sakral oleh karena itu harus dipelihara sehingga tidak terjadi kerusakan alam dan berakibat negatif bagi manusia itu sendiri. Dalam merealisasikan gagasan itu manusia menciptakan pamali-pamali atau etika bertindak dan bertingkah laku terhadap alam. Hampir sebagian besar etnis di negara ini memiliki aturan-aturan dimaksud yang disebut sebagai kearifan lingkungan.

Gambar 23 Sasi berbentuk huwear anyaman daun kelapa

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Masyarakat Suku Kei Kampung Adat Waur memanfaatkan berbagai tumbuhan pangan dan obat untuk memenuhi kebutuhan dalam hal gizi, kesehatan dan ekonomi. Tumbuhan pangan yang dimanfaatkan oleh masyarakat Kampung Adat Waur sebanyak 94 spesies dari 38 famili dan tumbuhan obat sebanyak 111 spesies dari 50 famili. Hasil yang didapatkan menunjukan bahwa kawasan Kampung Waur yang merupakan hutan hutan dataran rendah masih dalam kondisi yang alami.

2. Sistem pertanian masyarakat Kampung Adat Waur yaitu dengan perladangan berpindah (shifting cultivation) menujukan bahwa masyarakat selalu menjaga budaya yang telah dilaksanakan secara turun temurun oleh nenek moyang dan sebagai wujud kearifan lokal yang harus dipertahankan. Masyarakat juga mempunyai hukum sasi dalam menjaga dan melindungi hutan dan kebun hal ini berarti masyarakat telah melakukan tindakan-tindakan konservasi dalam menjaga sumberdaya alam.

Saran

(39)

29 serta tumbuhan obat tradisional yang berpotensi enmur (Phyllantus niruri), tumbuhan kaca-kaca (Peperomia pellucid) dan wang roan (Kleinhovia hospita).

DAFTAR PUSTAKA

Badan Planologi Kehutanan. 2009. Identifikasi Desa dalam Kawasan Hutan. Jakarta(ID): Pusat Rencana dan Statistik Departemen Kehutanan, bekerjasama dengan Direktorat Statistik Pertanian, Badan Pusat Statistik. De Foresta HA, Kusworo G, Michon, WA, Djatmiko. 2000. Ketika Kebun

Berupa Hutan. Agroforest Khas Indonesia. Sebuah Sumbangan Masyarakat. ICRAF, Bogor.249 pp.

Duke. 1983. Handbook of Legumes of World Economic Importance. Plenum Press, New York.

Djawarningsih T. (2007). Jenis-Jenis Euphorbiaceae (Jarak-Jarakan yang Berpotensi sebagai Obat Tradisional. Puslit Biologi-LIPI. Cibinong. Fakhrozi I. 2009. Etnobotani masyarakat Suku Melayu Tradisional di sekitar

Taman Nasional Bukit Tiga Puluh: Studi kasus di Desa Rantau Langsat Kec. Batang Gangsal, Kab. Indragiri Hulu, provinsi Riau [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor, Fakultas Kehutanan.

Hardinsyah, Tambunan V. 2004. Angka Kecukupan Energi, Protein, Lemak dan Serat Makanan. Dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII

“Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi”.

Jakarta(ID): 17-19 Mei 2004.

Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia III. Jakarta(ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan. Yayasan Sarana Wana Jaya.

Heriyanto R. 2002. Pengembangan Komoditas Kacang-kacangan Potensial Sebagai Komoditas Unggulan dalam Pengembangan Kacang-kacangan Potensial Mendukung Ketahanan Pangan. Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Hlm 43-54. Kabupaten Belu, Propinsi Nusa Tenggara Timur) [skripsi]. Bogor(ID): Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Katikawati SM. 2004. Pemanfaatan Sumberdaya Tumbuhan oleh Masyarakat Dayak Meratus di Kawasan Hutan Pegunungan Meratus Kabupaten Hulu Sungai Tengah [Tesis]. Bogor(ID): Sekolah Pascasarjana IPB.

Lawrence GHM. 1959. Taxonomi of Vascular Plant. New York: The Macmillan Co.

Lestari R. 2011. Kajian etnobotani masyarakat Suku Kerinci di sekitar Hutan Adat Bukit Tinggai Desa Sungai Deras, Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor, Fakultas Kehutanan.

(40)

30

Nababan A. 1995. Kearifan Tradisional dan Pelestarian Lingkungang Hidup di

Indonesia. Analisis CSIS. TH. XXIV, No.6 Edisi November – Desember.

Hlm: 421-435

Rahayu S. 2013. Pemanfaatan tumbuhan pangan dan obat oleh masyarakat Kampung Snarwangi di sekitar hutan Gunung Salak Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor, Fakultas Kehutanan

Raflizar, Sihombing M. 2009. Dekok Daun Paliasa (Kleinhovia hospita Linn) Sebagai Obat Radang Hati Akut. Jurnal Ekologi Kesehatan 8(2). Hlm: 984-993. Peneliti pada Puslitbang Biomedis dan Farmasi Badan Litbangkes Depkes RI.

Sajogyo P. 1987. Pengembangan Peranan Wanita Khususnya di Pedesaan yang Sedang Berubah dari Masyarakat Pertanian ke Industri di Indonesia 1981-1987. Seminar Fungsi Sosial Ekonomi Wanita Indonesia.

Stanis S, Supriharyono NB, Azis. 2007. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Melalui Pemberdayaan Kearifan Lokal di Kabupaten Lembata Propinsi Nusa Tenggara Timur. Jurnal Pasir Laut 2 (2) : 67-82.

Subarnas A, Sidik. 1993. Phyllanthus niruri L. kimia, farmakologi dan penggunaannya sebagai obat tradisional. Prosiding Seminar Meniran dan Kedawung. Bagian I:Meniran, Phyllanthus niruri L. Surabaya:13-14 Agustus. Kelompok Kerja Nasional Tumbuhan Obat Indonesia.

Sumarni, Priyono, Harahap R, Komarudin E. 1993. Peningkatan Produktivitas Pekarangan di Desa Gambirmanis, Kec. Pracimantoro, Kab. Wonogiri Jawa Tengah. Bogor (ID) : Balitbang Botani dan Puslitbang Biologi-LIPI

Soekarman, Riswan S. 1992. Status Pengetahuan Etnobotani di Indonesia. Prosiding seminar dan Lokakarya Nasional Etnobotani. Bogor (ID) : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen Pertanian dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Soendjoto MA, Wahyu. 2007. Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Pemberdayaan Masyarakat dalam Perspektif Budaya dan Kearifan Lokal. Banjarmasin(ID) : Univeritas Lambug Mangkurat Press.

Sugiyono. (2007). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung(ID): CV. Alfabeta

Tjitrosoepomo G. 1988. Morfologi Tumbuhan. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada Universitas Press.

Triharto A. 1996. Dasar-dasar perlindungan Tanaman. Yogyakatra (ID): Universitas Gajah Mada press

Wijaya S, Monica W. 2004. Uji Efek Antiinflamasi Ekstrak Herba Suruhan pada Tikus Putih Jantan. Hlm 9: 115-118.

(41)

31

1.

Lampiran 1 Spesies tumbuhan pangan yang digunakan oleh masyarakat Kampung Adat Waur

No Nama Lokal Nama ilmiah Famili Habitus Status budidaya Kegunaan Bagian yang

digunakan

1 Daun bawang Allium fistulosum L. Alliacece Herba Budidaya Bumbu Daun, batang

2 Bayam Amaranthus sp Amarantaceae Perdu Budidaya Sayur Daun, batang

3 Jambu monyet Anacardium occidentale L. Anacardiaceae Pohon Liar Buah Biji

4 Kedodong Spondias dulcis Soland. Anacardiaceae Pohon Budidaya Buah Buah

5 Mangga Mangifera indica L. Anacardiaceae Pohon Budiaya Buah Buah

6 Ketumbar Coriandrum sativum L. Apiaceae Herba Budiaya Bumbu Biji

7 Wortel Daucus carota L. Apiaceae Herba Budiaya Sayur Umbi

8 Buah nona Annona squamosa L. Annonaceae Pohon Budiaya Buah Buah

9 Nangka belanda Annona muricata L. Annonaceae Pohon Budiaya Buah Buah

10 Keladi Colocasia esculenta Schott. Araceae Herba Semi budidaya Karbohidrat Umbi

11 Salak Salacca zalacca (Gaertn.) Arecaceae Pohon Semi budidaya Buah

12 Kelapa Cocos nucifera L. Arecaceae Pohon Semi budidaya Buah Buah

13 Pinang Areca catechu L. Arecaceae Pohon Budidaya Buah Buah

14 Sagu Metroxylon sagu Rottboell Arecaceae Pohon Semi budidaya Karbohidrat Batang

15 Lab ke roan Diplazium esculentum

(Retz.) Sw.

Athyriaceae Herba Liar Sayur Daun

16 Kol Brassica oleracea L. Brassicaceae Perdu Budidaya Sayur Daun

17 Sawi hijau Brassica rapa L. Brassicaceae Herba Budidaya Sayur Daun

18 Sawi putih Brassica juncea L. Brassicaceae Herba Budidaya Sayur Daun

19 Nenas Ananas comosus (L.)

Merr.

Bromeliaceae Herba Budiaya Buah Buah

20 Kenari Canarium commune L. Burseraceae Pohon Liar Buah Buah

21 Pepaya Carica papaya L. Caricaceae Herba Budiaya Buah, sayur Buah

22 Ketapang Terminalia catappa L. Combretaceae Pohon Liar Buah Buah

23 Petatas Ipomea batatas L. Convolvulaceae Herba Budiaya Karbohidrat Umbi

24 Kangkung Ipomoea reptana Poir Convolvulaceae Herba Budidaya Sayur Daun

(42)

32

32

No Nama Lokal Nama ilmiah Famili Bagian yang

digunakan

Status budidaya Kegunaan Habitus

25 Labu siam Sechium edule SW. Cucurbitaceae Buah Budidaya Sayur Herba

26 Labu manis Cucurbita maschata Duch.ex Cucurbitaceae Buah Budidaya Sayur Epifit

27 Mentimun Cucumis sativus L. Cucurbitaceae Buah Budidaya Sayur Epifit

28 Pepari Momordica charantia L. Cucurbitaceae Buah Budidaya Sayur Epifit

29 Patola ular Luffa acutangula (L.) Roxb. Cucurbitaceae Buah Budidaya Sayur Liana

30 Pateka Citrullus lanatus (Thunb.) Cucurbitaceae Buah Budidaya Sayur Liana

31 Labu cina Lagenariae siceraria

(Molina) Standl.

Cucurbitaceae Buah Budidaya Sayur Liana

32 Cermelak Phyllanthus acidus (L) Skeels Euphorbiaceae Buah Semi budidaya Buah Pohon

33 Enbal Manihot utilisima Pohl Euphorbiaceae Umbi Budidaya Karbohidrat Perdu

34 Katok Sauropus androgynus L. Euphorbiaceae Daun Budidaya Sayur Semak

35 Kemiri Aleurites moluccana L. Euphorbiaceae Buah Budidaya Bumbu Pohon

36 Asam jawa Tamarindus indica L. Fabaceae Buah Semi budidaya Bumbu Pohon

37 Kacang panjang Vigna unguiculata(L.) Verdc. Fabaceae Buah Budidaya sayur Liana

38 Kacang merah Vigna angularis L. Fabaceae Buah Budidaya Protein Liana

39 Kelilihan Lablab purpureus L. Fabaceae Buah Liar Protein Herba

40 Kacang hijau Phaseolus aureus Roxb. Fabaceae Biji Budidaya Protein Liana

41 Kacang tanah Arachis hypogeae L Fabaceae Buah Budidaya Protein Perdu

42 Kecipir Psophocarpus tetragonolubus

DC.

Fabaceae Buah Budidaya Sayur Liana

43 Kacang gude Cajanus cajan (L.) Mill sp. Fabaceae Buah Liar Protein Pohon

44 Buncis Phaseolus vulgaris L. Fabaceae Buah Budidaya Sayur Epifit

45 Bengkoang Pachyrhizus erosus L Fabaceae Buah Semi budidaya Buah Pohon

46 Ganemo Gnetum gnemon L. Gnetaceae Daun Budiaya Sayur Pohon

47 Kumangi Ocimum basilicum L. Lamiaceae Daun Budiaya Bumbu Herba

48 Alpukat Persea americana P. Mill. Lauraceae Buah Budidaya Buah Pohon

49 Delima Punica granatum L. Lythraceae Buah Budiaya Buah Pohon

(43)

33

33

Lampiran 1 Spesies tumbuhan pangan yang digunakan oleh masyarakat Kampung Adat Waur (lanjutan)

No Nama Lokal Nama ilmiah Famili Bagian yang

digunakan

Status budidaya

Kegunaan Habitus

50 Cokelat Teobroma cacao L. Malvaceae Buah Budidaya Buah Pohon

51 Gedi Abelmoschus manihot

(L.) Medik

Malvaceae Daun Budidaya Sayur Semak

52 Langsat Lansium domesticum Corrêa Meliaceae Buah Semi budidaya Buah Pohon

53 Nangka Artocarpus heterophyllus Lamk. Moraceae Buah Budidaya Buah Pohon

54 Sukun Artocarpus altilis (parkinson) Moraceae Buah Budidaya Buah Pohon

55 Kelor Moringa oleifera, Gaertn. Moringaceae Daun Semi budidaya Sayur Perdu

56 Pala Myristica fragrans Houtt Myristicaceae Buah Budidaya Buah Pohon

57 Giawas Psidium guajava L. Myrtaceae Buah Budiaya Buah Pohon

58 Jambu air Syzygium aqueum Burm Myrtaceae Buah Budidaya Buah Pohon

59 Salam Syzygium polyanthum (Wight.) Myrtaceae Daun Budidaya Bumbu Pohon

60 Jambu hutan Syzygium cumini L. Myrtaceae Buah Liar Buah Pohon

61 Cengkeh Syzygium aromaticum L. Myrtaceae Bunga Budidaya Bumbu Pohon

62 Pisang tongka

langit

Musa fehi L. Musaceae Buah Budidaya Buah Herba

63 Pisang Ambon Musa sapientum L. Kunt Musaceae Buah Budidaya Buah Herba

64 Pisang kapok Musa x paradisiaca L. Musaceae Buah Budidaya Buah Herba

65 Pisang abu- abu Musa acuminata Colla Musaceae Buah Budidaya Buah Herba

66 Pisang susu Musa ducasse L. Musaceae Buah Budidaya Buah Herba

67 Pisang raja Musa textilia L. Musaceae Buah Budidaya Buah Herba

68 Pisang jarum Tidak teridentifikasi Musaceae Buah Budidaya Buah Herba

69 Belimbing

manis

Averrhoa carambola L. Oxalidaceae Buah Budidaya Buah Pohon

70 Belimbing asam Averrhoa bilimbi L. Oxalidaceae Buah Budidaya Bumbu Pohon

71 Pandan wangi Pandanus amaryllifolius Roxb Pandanaceae Daun Budidaya Penyedap Herba

72 Sirih Piper betle L. Piperaceae Buah,daun Budidaya Buah Liana

Gambar

Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian
Tabel 1  Jenis data yang dikumpulkan
Gambar 7  Komposisi pendidikan
Gambar 9 Jumlah spesies tumbuhan pangan berdasarkan  famili
+7

Referensi

Dokumen terkait

Faktor perilaku masyarakat yaitu tidur tanpa kelambu, tinggal dengan penderita filariasis, kebiasaan keluar rumah pada malam hari, tidak memakai baju dan celana

Pengaruh yang sangat besar dalam perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.. 268| Rahardja, Lufiani, Harahap, Wijayanti – iLearning: Metode Pembelajaran Inovatif di……… yang

Perilaku-perilaku ini dapat dikelompokan ke dalam tiga kelompok indikator atau penanda, yakni indikator intelektual, indikator kreativitas, dan indikator motivasi

‛Saya merasa terbantu dengan adanya rescheduling ini, setidaknya angsuran saya menjadi lebih ringan dalam artian ada selisih antara angsuran awal saya dengan angsuran saya

Peraturan yang mengatur mengenai penggunaan senjata api oleh polisi diatur dalam PerkaPolri No.8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pihak pengelola objek wisata alam Curug Muarajaya Kabupaten Majelengka untuk dapat lebih

Limit switch adalah salah satu sensor yang akan bekerja jika pada bagian actuator nya tertekan suatu benda, baik dari samping kiri ataupun kanan, mempunyai micro switch

Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2014 sampai dengan Januari 2015 di delapan mata air (PraNyolo, Ngenep, Umbulan, Langgar, Balittas, Lowoksari, Leses dan Soko) yang