• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji Aktivitas Antiinflamasi Ekstrak Daun Paku Pyrrosia lanceolata (L.) Farw. terhadap Penghambatan Denaturasi Protein secara In Vitro

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Uji Aktivitas Antiinflamasi Ekstrak Daun Paku Pyrrosia lanceolata (L.) Farw. terhadap Penghambatan Denaturasi Protein secara In Vitro"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

i UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

UJI AKTIVITAS ANTIINFLAMASI EKSTRAK

DAUN PAKU

Pyrrosia lanceolata

(L.) Farw. TERHADAP

PENGHAMBATAN DENATURASI PROTEIN SECARA

IN VITRO

SKRIPSI

FINTI MULIATI

1110102000047

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

(2)

ii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

UJI AKTIVITAS ANTIINFLAMASI EKSTRAK

DAUN PAKU

Pyrrosia lanceolata

(L.) Farw. TERHADAP

PENGHAMBATAN DENATURASI PROTEIN SECARA

IN VITRO

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi

FINTI MULIATI

1110102000047

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

(3)
(4)
(5)
(6)

vi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Nama : Finti Muliati

Program Studi : Farmasi

Judul Skripsi :Uji Aktivitas Antiinflamasi Ekstrak Daun Paku

Pyrrosia lanceolata (L.) Farw. terhadap Penghambatan Denaturasi Protein secara In Vitro

Komala (2010) melaporkan bahwa ekstrak etanol tumbuhan paku

Pyrrosia lanceolata (L.) Farw memiliki aktivitas antioksidan dengan nilai IC50

70,55 µg/mL. Di Afrika Selatan Pyrrosia lanceolata (L.) Farw digunakan untuk mengatasi flu dan radang tenggorokan. Senyawa antiioksidan bekerja dengan menghambat radikal bebas, dimana radikal bebas diketahui sebagai inflamasi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas antiinflamasi dari ekstrak n-heksana, etil asetat dan metanol tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata (L) Farw. terhadap penghambatan denaturasi Bovine Serum Albumin secara in vitro. Natrium diklofenak digunakan sebagai kontrol positif. Telah diketahui ekstrak tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata (L.) Farw memiliki aktivitas antiinflamasi terhadap penghambatan denaturasi protein sebesar 21,860 % (konsentrasi 100 ppm ekstrak n-heksana), 30,994 % (konsentrasi 10 ppm ekstrak etil asetat) dan 52,788 % (konsentrasi 10 ppm ekstrak metanol). Data analisa statistik menunjukan bahwa konsentrasi 10 ppm ekstrak n-heksana dan etil asetat berbeda bermakna dan ekstrak metanol tidak berbeda bermakna terhadap natrium diklofenak. Ekstrak n-heksana, etil asetat dan metanol daun tumbuhan paku

Pyrrosia lanceolata berpotensi sebagai obat antiinflamasi karena nilai persentase inhibisi denaturasi protein lebih dari 20 %.

(7)

vii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Name : Finti Muliati

Program Study : Pharmacy

Title : The Antiinflammatory Effect of Extracts

Pyrrosia lanceolata (L) Farw. on the Inhibition of Protein Denaturation in vitro.

Komala (2010) reported that ethanol extract of ferns Pyrrosia lanceolata (L) Farw have antioxidant activity with IC50 value 70.55 µg/mL.In South Africa, Pyrrosia lanceolata used to treat the flu and strep throat. Antioxidant compounds work by inflammatory diseases. The aim of this research is to determine the anti-inflammatory activity of n-hexane, ethyl acetate and methanol extracts of ferns

Pyrrosia lanceolata (L) Farw. on the inhibition of Bovine Serum Albumin denaturation in vitro. Natrium diclofenac was used as positive control. The result showed that Pyrrosia lanceolata (L) Farw. extract has antiinflammatory activity on the inhibition of protein denaturation 21.860% (100 ppm n-hexane extract), 30.994% (10 ppm ethyl acetate extract ) and 52.788% (10 ppm methanol extract). Statistical analysis of the data showed that the concentration of 10 ppm n-hexane extract and ethyl acetate significant difference and methanol ectract was not significant against diclofenac sodium. Extract n-hexane, ethyl acetate and methanol ferns Pyrrosia lanceolata (L) Farw have potency to develope as antiinflammatory drug due to their inhibition of protein denaturation percentage are higher than 20%.

(8)

viii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Puja dan puji syukur senantiasa saya panjatkan kehadirat Ilahi Rabbi, Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat, karunia, hidayah, serta inayah-Nya, saya dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka untuk memenuhi tugas akhir sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Program Studi Farmasi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Saya sepenuhnya menyadari, bahwa tanpa bantuan, arahan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari awal masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit dan penuh rasa tanggung jawab untuk menyelesaikan skripsi ini. oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Ismiarni Komala, M.Sc., Ph. D., Apt. selaku pembimbing pertama dan Ibu Dr. Azrifitria, M.Si., Apt. selaku pembimbing kedua yang telah meluangkan waktu, tenaga, pikiran untuk membimbing dan mengarahkan, memberikan ilmu, masukan dan saran, sejak proposal skripsi, pelaksanaan penelitian sampai pada penyusunan skripsi.

2. Bapak Prof. DR. dr. (hc), M.K Tadjudin Sp.And, selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Drs. Umar Mansur, M.Sc., Apt. selaku Ketua Jurusan Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Segenap Bapak dan Ibu dosen yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan hingga penulis dapat menyelesaikan studi di jurusan Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

(9)

ix UIN Syarif Hidayatullah Jakarta keperluan penelitian.

6. Kedua Orang tua saya, ayahanda Mujiono dan ibunda Sarinah, kakak kandung saya Emi Restu Sayekti serta kakak ipar saya, Rudi Amran dan keluarga besar yang selalu memberikan dorongan moril, materil, spiritual hingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik, semoga segala amal dan jerih payah kalian semua mendapat balasan yang sebaik-baiknya disisi Allah SWT.

7. Kanda Arum Samudra yang selalu membantu dan memberikan motivasi dan saran hingga skripsi ini dapat terselesaikan

8. Teman-teman seperjuangan penelitian tim BSA, Ninik, Ipho, Mirza, dan Hadi serta sahabatku Yanti, Ninik, Riefa, Niswah, Nurul yang telah membantu segala hal dalam penelitian ini.

9. Teman-teman farmasi angkatan 2010 ANDALUSIA yang sama-sama berjuang selama 4 tahun untuk menyelesaikan pendidikan ini.

10. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang turut membantu menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan guna tercapainya kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya, dengan segala kerendahan hati, penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat baik bagi kalangan akademis dan dunia ilmu pengetahuan, khususnya bagi mahasiswa farmasi, serta masyarakat pada umumnya.

(10)
(11)

xi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... DAFTAR ISI...

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...

2.1 Pyrrosia lanceolata (L.) Farw ... 2.1.1 Klasifikasi Tanaman ... 2.5 Vacuum Rotary Evaporator ... 2.6 Inflamasi ...

2.6.1 Definisi ... 2.6.2 Mekanisme Inflamasi Akut ... 2.6.3 Obat-obat Antiinflamasi... 2.7 Bovine Serum Albumin (BSA) ... 2.8 Penapisan Fitokimia ... 2.9 Spektrofotometer UV-Visible ...

BAB III METODE PENELITIAN...

3.1Lokasi dan Waktu Penelitian ...

(12)

xii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3.4.5 Uji In Vitro Aktivitas Antiinflamasi...

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN...

4.1Hasil penelitian... 4.1.1 Ekstrak ... 4.1.2 Penapisan fitokimia... 4.1.3 Uji Aktivitas Antiinflamasi Ekstrak Daun Tumbuhan Paku

Pyrrosia lanceolata terhadap Penghambatan Denaturasi Protein secara In Vitro... 4.1.4 Hasil Perhitungan IC50...

4.1.5 Hasil Analisa Data Statistik... 4.2 Pembahasan ...

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...

(13)

xiii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pyrrosia lanceolata (L.) Farw... Mekanisme Inflamasi Akut ... Jalur Asam Arakhidonat ... Aktivitas antiinflamasi natrium diklofenak... Perbandingan aktivitas antiinflamsi ekstrak n-heksana daun tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata dan Natrium diklofenak... Perbandingan aktivitas antiinflamasi ekstrak etil asetat daun tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata dan Natrium diklofenak... Perbandingan aktivitas antiinflamasi ekstrak metanol daun tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata dan Natrium diklofenak... Perbandingan aktivitas antiinflamasi ekstrak n-heksana, etil

asetat dan metanol daun tumbuhan paku

(14)

xiv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Organoleptik ekstrak n-heksana, etil asetat dan metanol daun tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata... Jumlah ekstrak n-heksana, etil asetat dan metanol tumbuhan paku

Pyrrosia lanceolata... Hasil penapisan fitokimia ekstrak n-heksana, etil asetat dan

metanol daun tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata... Aktivitas antiinflamasi natrium diklofenak... Perbandingan Aktivitas antiinflamasi ekstrak n-heksana, etil asetat dan metanol daun tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata...

Aktivitas antiinflamasi ekstrak metanol daun tumbuhan paku

(15)

xv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata (L.) Farw ... Alur Penelitian... Alur Uji Aktivitas Antiinflamasi terhadap Penghamabatan Denaturasi Protein secara In Vitro... Analisis Statistik Konsentrasi 10 ppm Ekstrak n-heksana, etil asetat dan metanol Ekstrak Daun Paku Pyrrosia lanceolata

terhadap natrium diklofenak... Spesifikasi Natrium Diklofenak... Hasil Determinasi Tumbuhan Paku Pyrrosia lanceolata...

Dokumentasi Pembuatan Ekstrak Daun paku

Pyrrosia lanceolata... Dokumentasi Uji Penapisan Fitokimia Ekstrak Daun tumbuhan Paku Pyrrosia lanceoloata... Dokumentasi Uji Aktivitas Antiinflamasi secara In Vitro... Perhitungan Konsentrasi Ekstrak dan Natrium Diklofenak... Perhitungan Persentase Inhibisi Natrium Diklofenak... Perhitungan Persentase Inhibisi Ekstrak Daun Paku

Pyrrosia lanceolata...

Perhitungan Rendemen Ekstrak Daun Paku

Pyrrosia lanceolata... Data Absorbansi setiap Ekstrak dan Nartium Diklofenak... Perhitungan IC50 Natrium Diklofenak dan Ekstrak Metanol...

(16)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terbesar di dunia. Penggunaan bahan-bahan alami sebagai bahan obat telah dikenal sejak lama dan masyarakat menggunakannya secara turun temurun berdasarkan pengalaman, secara tradisional dan belum banyak diketahui kandungan senyawa dan manfaat lainnya. Bahan-bahan alami ini berasal dari tumbuhan, hewan, mineral maupun bahan campuran dari bahan-bahan tersebut. Sampai terakhir ini tumbuhan masih merupakan sumber bahan obat utama bagi mayoritas masyarakat dunia (Darnaedi, 2000).

Tumbuhan dapat menjadi sumber obat bagi suatu penyakit dengan adanya metabolit sekunder yang terdapat dalam tumbuhan tersebut, dimana metabolit sekunder tersebut memiliki kemampuan sebagai aktivitas biologis. Metabolit sekunder adalah senyawa yang tidak memberi fungsi penting bagi kelangsungan hidup suatu tumbuhan tersebut. Contoh senyawa metabolit sekunder tersebut adalah flavonoid, terpenoid, alkaloid, kumarin dan lain-lain (Vickery, 1981). WHO pada tahun 2008 mencatat bahwa 68% penduduk dunia menggantungkan sitem pengobatan tradisional yang melibatkan tumbuhan untuk menyembuhkan penyakit (Saifudin, Rahayu, & Teruna, 2011) dan Jumlah sediaan obat tradisional yang didaftarkan di Badan POM akhir tahun 2006 adalah 14217 produk (Dewoto, 2007).

Tumbuhan paku (pteridophyta) merupakan salah satu golongan tumbuhan yang hampir dapat dijumpai pada setiap wilayah di Indonesia. Secara taksonomi tumbuhan paku berada diantara tumbuhan tingkat tinggi (gymnosperma dan angiosperma) dan tumbuhan lumut (bryophyta) (Pooja, 2004). Bagi manusia, tumbuhan paku telah banyak dimanfaatkan baik secara tradisional maupun aktivitas biologisnya. Penggunaan tumbuhan paku secara tradisional antara lain sebagai obat batuk, pengobatan sakit ginjal, pengobatan luka lecet, tifus, TBC, sakit tenggorokan (Lai et al., 2011). Tumbuhan paku dapat dimanfaatkan sebagai

(17)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta patung yang diukir, dan bahan kerajinan seperti tempat bunga. Bagian tumbuhan paku yang digunakan yaitu batang kayu yang tumbuh baik dan yang sudah keras (Sastrapradja, Afriastini, Darnaedi dan Widjaja, 1979). Telah dilaporkan beberapa tumbuhan paku memiliki aktivitas biologis antara lain antiinflamasi dan antinosiseptik (Zakaria et al, 2006).

Pyrrosia lanceolata merupakan salah satu tumbuhan paku yang sangat mudah ditemukan di Indonesia yang digunakan sebagai pengobatan penyakit. Di Afrika Selatan Pyrrosia lanceolata digunakan untuk mengatasi flu dan radang tenggorokan (Benjamin dan Manickam, 2007). Pada penelitian sebelumnya (Komala, 2010), telah melaporkan bahwa ekstrak etanol 70% dari tumbuhan paku

Pyrrosia lanceolata yang didapat dari wilayah kampus Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta memiliki aktivitas antioksidan dengan nilai IC50 70,55 µg/mL. Radikal bebas yang berasal dari oksigen

merupakan salah satu mediator terjadinya inflamasi. Radikal bebas ini cenderung menimbulkan kerusakan pada jaringan saat inflamasi (Pringgoutomo, 2002). Oleh karena itu, perlu dilakukan pengujian aktivitas biologis lainnya dari tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata sebagai antiinflamasi.

Tanaman lain yang mempunyai aktivitas sebagai antiinflamasi dan antioksidan ialah Peperomea pellucida (Sheikh et al., 2013), Croton argyratus

(Ali et al., 2012), Hemigraphis colorata (Akhil dan Prabhu, 2013),

Taxandria fragrans (Hammer et al., 2008), Centella asiatica

(Chippada dan Vangalapati, 2011).

Dalam penelitian ini, metode uji antiinflamasi menggunakan metode penghambatan denaturasi protein dengan Bovine Serum Albumin (BSA) (Williams et al., 2008). Denaturasi protein pada jaringan adalah salah satu penyebab penyakit inflamasi dan artritis. Produksi dari antigen-auto pada penyakit artritis dapat mengakibatkan denaturasi protein secara in vivo. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu agen tertentu yang dapat mencegah denaturasi protein yang akan bermanfaat pada pengembangan obat antiinflamasi (Chatterjee et al., 2012).

(18)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta paku Pyrrosia lanceolata secara in-vitro terhadap kemampuan penghambatan denaturasi protein yang menggunakan spektrofotometer UV-Visible.

1.2 Rumusan Masalah Penelitian

Apakah ekstrak n-heksana, etil asetat, dan metanol dari daun paku

Pyrrosia lanceolata memiliki aktivitas antiinflamasi ?

1.3 Tujuan Penelitian

Menguji aktivitas antiinflamasi ekstrak n-heksana, etil asetat, dan metanol dari daun paku Pyrrosia lanceolata.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Aspek Teoritis

Penelitian ini memberikan informasi secara ilmiah tentang aktivitas antiinflamasi dari ekstrak n-heksana, etil asetat, serta metanol dari daun paku

Pyrrosia lanceolata.

1.4.2 Aspek Aplikatif

(19)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB II

TINJAUANPUSTAKA

2.1 Pyrrosia lanceolata (L.) Farw.

Gambar 2.1. Pyrrosia lanceolata (L.) Farw. (Sumber : Koleksi Pribadi, 11 Februari 2014)

2.1.1 Klasifikasi Tanaman (GBIF, 2013)

Kingdom : Plantae

Divisio : Pteredophyta

Class : Polypodiopsida

Order : Polypodiales

Family : Polypodiaceae

Genus : Pyrrosia

Species : Pyrrosia lanceolata (L.) Farw.

2.1.2 Sinonim

Pyrrosia adnascens (Swartz) Ching, Pyrrosia varia (Kaulfuss) Farwell,

Acrostichum lanceolatum L., Candollea lanceolata Mirb. ex Desv. dan

Cyclophorus lanceolatus Alston (Hartini, 2006).

(20)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.1.3 Deskripsi Tanaman

Tumbuhan ini mempunyai akar rimpang setebal 1,2-2,1 mm, menjalar panjang, ditutupi oleh sisik-sisik yang tersebar. Daun dimorfik, tidak jelas sampai jelas bertangkai. Daun fertil tangkainya sampai 9 cm, helaian 3,5-31 cm x 0,3-3,5 cm, bagian pangkal perlahan menyempit, paling lebar di bagian tengah atau di bawahnya, ujung tumpul. Daun steril bertangkai sampai 5 cm, helaian 2-24 cm x 0,3-4,3 cm, paling lebar di bagian tengah atau di atasnya, ujung membundar atau tumpul. Sori berderet di sepanjang tepi daun atau menyebar di seluruh permukaan daun.

Pada umumnya tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata tumbuh secara epifit, kadang epilitik, dan jarang yang terestrial, umumnya ditemukan di berbagai situasi, kebanyakan di dataran rendah (Hartini, 2006).

2.1.4 Penggunaan Tradisional

Di Afrika Selatan Pyrrosia lanceolata digunakan untuk mengatasi flu dan radang tenggorokan. Di Mexico, dibuat teh dari daun digunakan untuk menahan gatal. (Benjamin dan Manickam, 2007).

2.1.5 Penggunaan Medis

Daun dibuat menjadi pasta dengan lada dan diminum untuk mengobati sakit tenggorokan dan gatal-gatal (Sekar et al., 2011).

2.1.6 Kandungan Kimia

(21)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta senyawa fenolik (derivat fenilpropanoid), golongan alkaloid dan flavonoid (Ho, 2011).

2.2 Simplisia

Simplisia adalah bahan alam yang digunakan sebagai bahan obat dan belum mengalami pengolahan apapun, kecuali dinyatakn lain, berupa bahan yang telah dikeringkan. Simplisia dibedakan menjadi simplisia nabati, simplisia hewani dan simplisia pelikan (mineral). Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tumbuhan utuh, bagian tumbuhan atau eksudat tumbuhan. Eksudat tumbuhan ialah isi sel yang secara spontan keluar dari tumbuhan atau isi sel yang dengan cara tertentu dipisahkan dari tumbuhannnya dan belum berupa senyawa kimia murni (Depkes RI, 2000).

2.3 Ekstrak dan Ekstraksi

Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Depkes, 2010).

Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair, dibuat dengan menyari simplisia nabati atau hewani menurut cara yang sesuai diluar pengaruh cahaya matahari langsung (Tiwari et al., 2011).

Adapun faktor yang mempengaruhi pada mutu ekstrak yaitu faktor biologi dan faktor kimia (Depkes, 2010) :

a. Faktor Biologi

 Lokasi tumbuhan asal, hal ini merupakan faktor eksternal, yaitu

lingkungan (tanah dan atmosfer) dimana tumbuhan berinteraksi berupa energi (temperatur, cahaya, air).

 Periode pemanenan hasil tumbuhan merupakan dimensi waktu dari proses

(22)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

 Penyimpanan bahan tumbuhan merupakan faktor eksternal yang dapat

diatur karena dapat berpengaruh pada stabilitas bahan serta adanya kontaminasi (biotik dan abiotik).

 Umur tumbuhan dan bagian yang digunakan. b. Faktor Kimia

 Faktor internal, meliputi jenis senyawa aktif dalam bahan, komposisi

kualitatif dan kuantitatif senyawa aktif.

 Faktor Eksternal, meliputi metode ekstraksi, ukuran, kekerasan dan

keringanan bahan, pelarut yang digunakan dalam ekstraksi, kandungan logam berat serta kandungan pestisida.

Macam-macam perbedaan metode ekstraksi yang akan mempengaruhi kuantitas dan kandungan metabolit sekunder dari ekstrak, antara lain:

a. Tipe ekstraksi b. Waktu ekstraksi c. Suhu ekstraksi d. Konsentrasi pelarut

Ekstraksi adalah proses penyarian senyawa kimia yang terdapat dalam tumbuhan atau bahan alam lainnya. Ada beberapa metode ekstraksi yang dikenal. Beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut dibagi menjadi dua cara, yaitu cara panas dan cara dingin (DepKes, 2000).

2.3.1 Ekstraksi Cara Dingin

a. Maserasi

(23)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tertentu dapat terlarut. Metode ini paling cocok digunakan untuk senyawa yang termolabil (Tiwari et al., 2011).

b. Perkolasi

Perkolasi merupakan ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai penyarian sempurna yang umunya dilakukan pada temperatur ruang (Depkes RI, 2000). Satu-satuya peralatan yang diperlukan untuk melakukan ekstraksi dengan cara perkolasi adalah kontainer perkolasi atau dikenal dengan nama perkolator. Dengan perkolator aliran pelarut dapat diatur sedemikian rupa sehingga tetesan pelarut akan turun sedikit demi sedikit. Perkolasi adalah proses ekstraksi yang berkesinambungan. Pelarut yang telah jenuh harus digantikan dengan pelarut yang segar (Silva,1998).

2.3.2 Ekstraksi Cara Panas

a. Sokletasi

Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru, dengan menggunakan alat soklet sehingga terjadi ekstraksi kontinyu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Depkes RI, 2000).

Keuntungan penggunaan cara sokletasi adalah penyarian yang dilakukan secara terus menerus secara automatis dan pelarut yang dibutuhkan sedikit. Pada cara ini pelarut yang digunakan untuk mengekstraksi dipanaskan sehingga uap nantinya akan turun membasahi sampel yang diletakkan terpisah dari pelarut. Proses ini terjadi berulang-ulang sampai proses ekstraksi selesai. Kelemahannya adalah karena menggunakan pemanasan maka bisa saja senyawa kimia yang dikandung oleh sampel tumbuhan telah rusak (Silva, 1998).

b. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Depkes RI, 2000).

c. Infusa

(24)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mendidih, temperatur yang digunakan (96-980C) selama waktu tertentu (15-20 menit ) (Depkes RI, 2000). Cara ini menghasilkan larutan encer dari komponen yang mudah larut dari simplisia (Tiwari et al., 2011).

d. Dekok

Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (lebih dari 30 menit) dan temperatur sampai titik didih air (Depkes RI, 2000). Dekok adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur 900C selama 30 menit. Metode ini digunakan untuk ekstraksi konstituen yang larut dalam air dan kontituen yang stabil terhadap panas (Tiwari et al., 2011).

e. Digesti

Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinyu) pada temperatur lebih tinggi dari temperatur suhu kamar, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-500C (Depkes RI, 2000).

Digesti merupakan maserasi dengan pengadukan kontinyu pada temperatur lebih tinggi dari temperatur ruang (umumnya 25-30oC). Ini adalah jenis ekstraksi

maserasi dimana suhu sedang digunakan selama proses ekstraksi (Tiwari et al., 2011).

2.4 Pelarut

Pelarut adalah zat yang digunakan sebagai media untuk melarutkan zat lain. Kesuksesan penentuan senyawa biologis aktif dari bahan tumbuhan sangat tergantung pada jenis pelarut yang digunakan dalam prosedur ekstraksi (Ncube et al., 2008). Sifat pelarut yang baik untuk ekstraksi yaitu toksisitas dari pelarut yang rendah, mudah menguap pada suhu yang rendah, dapat mengekstraksi komponen senyawa dengan cepat (Tiwari et al., 2011).

Berbagai pelarut yang digunakan dalam prosedur ekstraksi antara lain :

a. Air

(25)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

b. Aseton

Aseton melarutkan beberapa komponen senyawa hidrofilik dan lipofilik dari tumbuhan. Keuntungan pelarut aseton yaitu dapat bercampur dengan air, mudah menguap dan memiliki toksisitas rendah (Tiwari et al., 2011).

c. Alkohol

Aktivitas antioksidan yang lebih tinggi dari ekstrak etanol dibandingkan dengan ekstrak air dapat dikaitkan dengan adanya jumlah polifenol yang lebih tinggi pada ekstrak etanol dibandingkan dengan ekstrak air. Konsentrasi yang lenih tinggi dari senyawa flavonoid terdeteksi dengan etanol 70% karena polaritasnya yang kebih tinggi daripada etanol murni (Tiwari et al., 2011).

Etanol lebih mudah untuk menembus membran sel untuk mengekstrak sel untuk mengekstrak bahan intraseluler dari bahan tumbuhan. Metanol lebih polar dibanding etanol.

d. Kloroform

Terpenoid lakton telah diperoleh dengan ekstraksi berturut-turut menggunakan n-heksan, kloroform dan metanol dengan konsentrasi aktivitas tertinggi terdapat dalam fraksi kloroform. Kadang-kadang tanin dan terpenoid ditemukan dalam fase air, tetapi lebih sering diperoleh dengan pelarut semipolar (Tiwari et al., 2011).

e. Eter

Eter umumnya digunakan secara selektif untuk ekstraksi kumarin dan asam lemak (Tiwari et al., 2011).

f. n-heksan

n-heksan mempunyai karakteristik sangat tidak polar, volatil, mempunyai bau khas yang dapat menyebabkan pingsan. Berat molekul n-heksan adalah 86,2 gram/mol dengan titik leleh 94,3-95,30C. Titik didih n-heksan pada tekanan 760 mmHg adalah 66-710C (Daintith, 1994). n-heksan biasanya digunakan sebagai pelarut untuk ekstraksi minyak nabati.

g. Etil Asetat

(26)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.5 Vacuum Rotary Evaporator

Vacuum Rotary Evaporator merupakan alat yang berfungsi untuk memisahkan suatu larutan dari pelarutnya sehingga dihasilkan ekstrak dengan kandungan kimia tertentu sesuai yang diinginkan. Cairan yang ingin diuapkan biasanya ditempatkan dalam suatu labu yang kemudian dipanaskan dengan bantuan penangas, dan diputar. Uap cairan yang dihasilkan didinginkan oleh suatu pendingin (kondensor) dan ditampung pada suatu tempat (receiver flask). Setelah pelarutnya diuapkan, akan dihasilkan ekstrak yang dapat berbentuk padatan atau cairan (Nugroho et al., 1999).

Kelebihan dari alat Vacuum Rotary Evaporator adalah diperoleh kembali pelarut yang diuapkan. Penggunaan Vacuum Rotary Evaporator meningkatkan presentase pelarut yang terevaporasi dibandingkan dengan menggunakan

waterbath (Mutairi dan Jasser, 2012). Prinsip kerja alat ini didasarkan pada titik didih pelarut dan adanya tekanan yang menyebabkan uap dari pelarut terkumpul, serta adanya kondensor yang menyebabkan uap ini mengembun dan akhirnya jatuh ke tabung penerima (receiver flask).

2.6 Inflamasi

2.6.1 Definisi

Peradangan adalah reaksi jaringan terhadap cedera, infeksi atau iritasi. Enzim lisosomal dilepaskan selama peradangan menghasilkan berbagai gangguan yang mengarah ke cedera jaringan yang merusak makromolekul dan peroksidasi lipid membran yang dianggap bertanggung jawab untuk kondisi patologis tertentu sebagai serangan jantung, guncangan septik dan arthritis rheumatoid. Aktivitas selular enzim ini dikatakan berhubungan dengan peradangan akut atau kronis (Chippada, et al., 2011).

(27)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta proses inflamasi berlangsung, terjadi reaksi vaskular dimana cairan, elemen-elemen darah, sel darah putih dan mediator kimia berkumpul pada tempat cidera jaringan atau infeksi.

Adapun tanda-tanda pokok peradangan:

a. Rubor (kemerahan) ini merupakan hal pertama saat mengalami peradangan, karena banyak darah mengalir ke dalam mikrosomal lokal pada tempat peradangan.

b. Kalor (panas) dikarenakan lebih banyak darah yang disalurkan pada tempat peradangan dari pada yang disalurkan ke daerah normal. Fenomena panas lokal ini tidak terlihat pada tempat peradangan jauh di dalam tubuh karena jaringan sudah mempunyai suhu 370C.

c. Dolor (rasa sakit) dikarenakan pembengkakan jaringan mengakibatkan peningkatan tekanan lokal dan juga karena ada pengeluaran zat histamin dan zat kimia bioaktif lainnya.

d. Tumor (pembengkakan) pengeluaran ciran-cairan ke jaringan interstisial. e. Fungsio laesa (perubahan fungsi) adalah reaksi peradangan yang telah

dikenal, tetapi tidak diketahui secara mendalam dengan cara apa fungsi jaringan yang meradang itu terganggu (Taufik, 2008).

2.6.2 Mekanisme Inflamasi Akut

(28)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Adapun mekanisme akut inflamasi sebagai berikut :

Gambar 2.2. Mekanisme Inflamasi Akut

(Sumber: Katzung, 2002)

Adapun jalur asam arakhidonat sebagai berikut :

(29)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.6.3 Obat-obat Antiinflamasi

Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat antiinflamasi terbagi ke dalam golongan :

a. Antiinflamasi Steroid

Obat golongan ini bekerja dengan cara menghambat fosfolipase, suatu enzim yang bertanggung jawab terhadap pelepasan asam arakidonat dari membran lipid. Termasuk golongan obat ini adalah : prednison, hidrokortison, deksametason, dan betametason (Katzung, 2006).

b. Antiinflamasi Non Steroid (AINS)

Obat AINS bekerja menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakidonat menjadi prostaglandin menjadi terganggu. Termasuk golongan obat ini adalah : aspirin, ibuprofen, indometasin, diklofenak, fenilbutazon dan pirosikam (Katzung, 2006).

Satu diantara obat golongan AINS yang sering digunakan untuk mengatasi inflamasi dan nyeri adalah natrium diklofenak. AINS derivat fenil asetat ini, memiliki aktivitas analgesik dan antipiretik serta memiliki potensi efek antiinflamasi kuat dengan efek samping iritasi terhadap saluran cerna yang lebih rendah jika dibandingkan dengan indometasin, naproxen dan piroxicam. Obat natrium diklofenak ini sering digunakan untuk mengatasi radang pada penyakit karena arthritis (Health Professions Division, 1996).

2.7 Bovine Serum Albumin (BSA)

(30)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta rendah agregasi juga diharapkan terjadi, tetapi pada tingkat yang relatif lebih lambat (www.sigma-aldrich.com )

Bovine Serum Albumin (BSA) digunakan untuk stabilisasi enzim selama penyimpanan dan untuk reaksi enzimatik (Thermo Fisher Scientific, 2012).

2.8 Penapisan Fitokimia

Penapisan fitokimia merupakan suatu tahap pemeriksaan awal untuk mendeteksi keberadaan golongan senyawa kimia yang terdapat yang terdapat pada suatu bahan baik yang berasal dari tumbuhan, hewan ataupun mikroorganisme.

Penapisan fitokimia dimulai dengan pengumpulan sampel sebanyak mungkin. Oleh karena kegiatan ini memakan waktu cukup lama maka penapisan fitokimia memegang peranan terbesar dari kegiatan kimia bahan alam. Sekalipun kegiatan ini bertitik tolak pada daya tarik kimiawi, hal ini tidaklah mengurangi manfaat hasil penelitian. Spesies-spesies yang telah dianalisis secara fitokimia akan diinventarisasi untuk ditelaah lebih lanjut mengenai struktur kimia senyawa-senyawa aktifnya (Farnswort, 1996). Senyawa metabolit sekunder yang biasanya dilakukan penapisan fitokimia pada tumbuhan biasanya antara lain alkaloid, flavonoid, kumarin, saponin, tannin, terpenoid dan steroid.

2.9 Spektrofotometer UV-Visible

Spektrum serapan kandungan tumbuhan dapat diukur dalam larutan yang sangat encer dengan pembanding blanko pelarut serta menggunakan spektrofotometer yang merekam otomatis. Senyawa tanpa warna diukur pada jangka 200-400 nm, senyawa warna pada jangka 200-700 nm. Prinsip kerja Spektrofotometer UV-Visible ialah interaksi sinar ultraviolet atau tampak dengan molekul sampel. Energi cahaya akan mengeksitasi elektron terluar molekul ke orbital lebih tingggi (Harbone, 1987).

Spektra UV-Visible dapat digunakan untuk informasi kualitatif dan sekaligus dapat digunakan untuk analisis kuantitatif .

1. Aspek Kualitatif (Sudjadi, 2007)

(31)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta cara lain seperti spektroskopi infra merah, resonansi magnet inti, dan spektroskopi massa, maka dapat digunakan untuk maksud identifikasi atau analisis kualitatif suatu senyawa tersebut. Data yang diperoleh dari spektroskopi UV dan Visible

adalah panjang gelombang maksimal, intensitas, efek pH, dan pelarut; yang kesemuanya itu dapat diperbandingkan dengan data yang sudah dipublikasikan.

2. Aspek Kuantitatif (Sudjadi, 2007)

(32)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Januari - Juni 2014 dan bertempat di Laboratorium Farmakognosi dan Fitokimia serta Laboratorium Penelitian I Program Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.

3.2 Alat dan Bahan

3.2.1 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: blender, timbangan analitik (AND), pH meter (HORIBA), vortex, termometer, waterbath (EYELA), alumunium foil, kertas saring, kapas, labu ukur 1000 ml, 100 ml, 10 ml dan 5 ml (IWAKI PYREX), beker gelas (Schott Duran), gelas ukur 100 ml (YZ), corong (Schott Duran), erlenmeyer 1000 ml (Schott Duran), pipet tetes, tabung reaksi (IWAKI PYREX), rak tabung reaksi, batang pengaduk, kaca arloji, spatula, plat tetes, seperangkat alat vacuum rotary evaporator (EYELA), melting point, mikropipet, botol kaca gelap.

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah spektrofotometer UV-Visible (HITACHI).

3.2.2 Bahan

Sampel tumbuhan yang digunakan adalah daun tumbuhan paku

Pyrrosia lanceolata yang diperoleh di wilayah kampus Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang selanjutnya dideterminasi di Herbarium Bogoriense (LIPI), Cibinong, Bogor.

Media uji yang digunakan adalah Bovine Serum Albumin (BSA) yang diperoleh dari Sigma-Aldrich (PT. ELO KARSA UTAMA Jakarta).

Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : n-heksana, etil asetat, metanol, aquades, NaCl, Tris base dan Tris buffer saline. Reagen kimia antara lain : dragendrof, mayer, asam sulfat, natrium hidroksida, asam asetat glasial, klorofom, ferri klorida, asam klorida, asam asetat anhidrat.

(33)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Standar obat kimia yang digunakan sebagai kontrol positif adalah Natrium Diklofenak (Dipharma).

3.3 Rancangan Penelitian

Penelitian ini bersifat eksperimental untuk menguji aktivitas antiinflamasi dari ekstrak tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata terhadap kemampuan penghambatan denaturasi protein secara in vitro. Terdapat tiga perlakuan kelompok uji aktivitas antiinflamasi yaitu kelompok kontrol negatif, kontrol positif (Natrium Diklofenak) dan larutan uji (ekstrak n-heksana, etil asetat dan metanol dari tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata). Kelompok perlakuan uji aktivitas antiinflamasi ini akan diperjelaskan dalam tabel 3.1:

Tabel 3.1 Rancangan Penelitian

No. Kelompok Perlakuan Parameter

1. Kontrol negatif 50 µL pelarut (metanol/etil konsentrasi Natrium diklofenak dalam metanol dan larutan 0,2% n-heksana, etil asetat

dan metanol

tumbuhan paku

Pyrrosia lanceolata)

50 µL dari masing-masing seri konsentrasi ekstrak dalam pelarut ekstrak (metanol/etil asetat/n-heksana) dan larutan 0,2% BSA hingga volume campuran larutan 5 mL.

Denaturasi protein

(34)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3.4 Prosedur Kerja

3.4.1 Determinasi Tumbuhan

Untuk memastikan kebenaran simplisia yang digunakan dalam penelitian ini, maka dilakukan determinasi di Pusat Penelitian Herbarium Bogoriense, LIPI, Cibinong, Bogor.

3.4.2 Penyiapan Simplisia

Bahan yang digunakan sebagai simplisia dalam penelitian ini adalah semua daun tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata yang diperoleh dari halaman kampus Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Sampel daun tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata sebanyak 1,1 kg disortasi basah dan dilakukan pencucian dengan meggunakan air mengalir hingga bersih. Selanjutnya sampel dikering anginkan. Sampel yang telah kering, disortasi kering kemudian dihaluskan dengan menggunakan blender. Serbuk simplisia disimpan dalam wadah tertutup rapat dan terhindar dari cahaya matahari.

3.4.3 Pembuatan Ekstrak

Prosedur ekstraksi menggunakan metode ekstraksi cara dingin yaitu dengan teknik maserasi. Pelarut yang digunakan antara lain metanol, etil asetat, dan n-heksana. Serbuk simplisia 161,0584 gram dimasukkan ke dalam wadah gelap sehingga terhindar dari cahaya matahari. Selanjutnya melakukan maserasi bertingkat dengan terlebih dahulu maserasi dengan pelarut non polar, semi polar, hingga pelarut polar (n-heksana, etil asetat, dan metanol) ke dalam wadah yang berisi serbuk simplisia hingga serbuk terendam ±3 cm di atas permukaan simplisia yang diukur dengan penggaris.

(35)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3.4.4 Penapisan Fitokimia

a. Uji Alkaloid (Tiwari et al., 2011)

Ekstrak n-heksana, etil asetat dan metanol dari tumbuhan paku

Pyrrosia lanceolata dilarutkan dalam larutan HCl encer kemudian disaring dan filtrat yang dihasilkan dilakukan pengujian dengan tes Mayer dan tes Dragendrof.

 Tes Mayer : filtrat dimasukkan ke dalam tabung reaksi kemudian ditambahkan reagen Mayer (Potassium Mercuri Iodide). Terbentuk endapan kuning mengindikasikan adanya senyawa alkaloid.

 Tes Dragendrof : filtrat dimasukkan ke dalam tabung reaksi kemudian ditambahkan reagen Dragendrof (larutan Potassium Bismuth Iodide) terbentuknya endapan berwarna merah mengindisikan adanya senyawa alkaloid.

b. Uji Flavonoid (Tiwari et al., 2011)

Ekstrak n-heksana, etil asetat dan metanol dari tumbuhan paku

Pyrrosia lanceolata diletakkan di dalam plat tetes lalu beberapa tetes NaOH. Terbentuknya kuning intens yang jika ditambahkan dengan larutan asam, warna kuning akan memudar, hal ini menunjukkan adanya senyawa flavonoid.

c. Uji Fenol (Tiwari et al., 2011)

Ekstrak n-heksana, etil asetat dan metanol dari tumbuhan paku

Pyrrosia lanceolata dilakukan pengujian dengan tes Ferric Chloride. Ekstrak ditambahkan 3 - 4 tetes larutan FeCl3 akan terbentuknya warna hitam kebiruan

yang mengindikasikan senyawa fenol.

d. Uji Steroid dan Terpenoid

 Tes Salkowski : Ekstrak Pyrrosia lanceolata dilarutkan dalam kloroform dan disaring. Kemudian filtrat ditambahkan beberapa tetes asam sulfat dan dikocok. Terbentuknya warna merah kecoklatan yang mengindikasikan senyawa terpenoid (Ayoola et al., 2008).

(36)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta e. Uji tanin (Ayoola et al., 2008)

Ekstrak n-heksana, etil asetat dan metanol dari tumbuhan paku

Pyrrosia lanceolata sebanyak 0,5 gram di didihkan dalam 10 ml air di dalam tabung reaksi dan kemudian disaring. Tambahkan beberapa tetes FeCl3 0,1% lalu

diamati. Jika terjadi perubahan warna hijau kecoklatan atau biru kehitaman menunjukkan adanya senyawa tanin.

f. Uji Saponin (Tiwari et al., 2011)

Ekstrak n-heksana, etil asetat dan metanol dari tumbuhan paku

Pyrrosia lanceolata dilakukan pengujian dengan tes Foam dengan melarutkan ekstrak ke dalam 2 ml aquades di dalam tabung reaksi, kemudian larutan dikocok. Terbentuknya foam tidak kurang dari 10 menit menunjukkan adanya senyawa saponin.

3.4.5 Uji In Vitro Aktivitas Antiinflamasi (Williams et al., 2008)

Pengujian aktivitas antiinflamasi ekstrak n-heksana, etil asetat dan metanol dari tanaman paku Pyrrosia lanceolata (L.) Farw secara in vitro meliputi tahapan-tahapan yang diawali dengan pembuatan larutan TBS (Tris Buffer Salline) sebanyak 1000 mL pH 6,2 – 6,5, pembuatan larutan 0,2% BSA (Bovine Serum Albumin) sebanyak 100 mL, pembuatan larutan kontrol negatif sebanyak 5 mL, pembuatan larutan konsentrasi uji (ekstrak n-heksana, etil asetat dan metanol), pembuatan larutan konsentrasi kontrol positif, pengukuran aktivitas antiinflamasi, perhitungan persentase penghambatan denaturasi protein dan perhitungan presentase nilai IC50. Tahapan-tahapan ini dijelaskan sebagai berikut :

1. Pembuatan Larutan TBS (Tris Buffer Saline)

(37)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Pembuatan 0,2% BSA (Bovine Serum Albumin)

Sebanyak 0,2 gram BSA (Bovine Serum Albumin) dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL. Kemudian ditambahkan dengan larutan TBS (Tris Buffer Saline) hingga volume 100 mL (William et al., 2008).

3. Pembuatan Larutan Kontrol Negatif

Sebanyak 50 µL pelarut metanol/etil asetat/n-heksana lalu ditambahkan larutan 0,2% BSA ke labu ukur hingga volume mencapai 5 mL.

4. Pembuatan Larutan Uji (Ekstrak n-heksana, etil asetat dan metanol)

Sebanyak 500 mg ekstrak tumbuhan Pyrrosia lanceolata (L.) Farw. dilarutkan dalam pelarut ekstrak (metanol/etil asetat/n-heksana) di dalam labu ukur 25 mL, kemudian dicukupkan dengan pelarut sampai volume 25 mL, sehingga didapatkan konsentrasi 20.000 ppm sebagai larutan induk. Larutan dengan konsentrasi 20.000 ppm dibuat seri konsentrasi, sehingga menjadi larutan uji dengan konsentrasi 10000 ppm, 1000 ppm dan 100 ppm untuk setiap ekstrak.

5. Pembuatan Larutan Kontrol Positif

Sebanyak 100 mg Natrium Diklofenak kemudian dilarutkan dengan metanol ke dalam labu ukur 25 mL dan dicukupkan dengan metanol sampai 25 mL, sehingga didapatkan larutan dengan konsentrasi 4000 ppm yang dijadikan sebagai larutan induk. Dari larutan induk 4000 ppm ini, selanjutnya dibuat seri konsentrasi larutan kontrol positif menjadi 4.000 ppm, 2.000 ppm, 1.000 ppm, 500 ppm, 250 ppm dan 130 ppm.

6. Pengukuran Aktivitas Antiinflamasi

(38)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta konsentrasi natrium diklofenak. Kemudian diinkubasi pada suhu 250C selama 30 menit kemudian dipanaskan selama 5 menit pada suhu 720C, lalu didiamkan selama 25 menit pada suhu 230C. Setelah dingin, larutan divortex dan dilakukan pengukuran absorbansi dengan spektrofotometri Uv-Visible pada panjang gelombang 660 nanometer. Uji aktivitas antiinflamasi dilakukan sebanyak tiga kali (triplo).

7. Perhitungan Persentase Penghambatan Denaturasi Protein

Presentase penghambatan denaturasi protein diukur dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

% inhibisi =

x 100%

Senyawa yang menghambat denaturasi protein lebih besar dari 20% dianggap memiliki sifat antiinflamasi dan dapat digunakan sebagai nilai acuan untuk pengembangan obat (Williams et al., 2008).

8. Perhitungan Presentase Nilai IC50

Nilai IC50 dihitung dengan membuat persamaan regresi linear antara

konsentrasi (X) dengan % inhibisi (Y). Sehingga didapatkan nilai IC50 dari

ekstrak Pyrrosia lanceolata (L.) Farw. dan Natrium Diklofenak.

9. Analisa Data Statistik

(39)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

4.1.1 Ekstrak

Daun tumbuhan paku yang diperoleh dari wilayah kampus Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dilakukan determinasi di Pusat Penelitian Bogoriense (LIPI), Cibinong, Bogor, yang bertujuan untuk mengetahui keaslian tumbuhan yang akan digunakan dalam penelitian ini. Hasilnya adalah tumbuhan yang diperoleh merupakan tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata (L.) Farw (Lampiran 6). Sebanyak 1,1 gram daun Pyrrosia lanceolata dikering anginkan selama ±30 hari, diperoleh serbuk simplisia sebanyak 161,058 gram dilakukan ekstraksi dengan metode maserasi bertingkat. Organoleptik dari ekstrak n-heksana, etil asetat dan metanol dapat dilihat pada tabel 4.1. Ekstrak kental dari tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata

dapat dilihat dari tabel 4.2 yang :

Tabel 4.1 Organoleptik ekstrak n-heksana, etil asetat dan metanol daun tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata

Organoleptik

Warna Kuning kehijauan Hijau kehitaman Hijau kehitaman

Bentuk Kental pasta Kental pasta Kental

Bau/aroma Khas Khas Khas

Tabel 4.2. Jumlah ekstrak n-heksana, etil asetat dan metanol daun tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata

Total Simplisia (gram)

(40)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4.1.2 Penapisan Fitokimia

Dari tiga ekstrak yang diperoleh yaitu ekstrak n-heksana, etil asetat dan metanol dari daun tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata dilakukan penapisan fitokimia, senyawa yang terdapat dalam ekstrak n-heksana, etil asetat dan metanol daun tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata dapat dilihat pada tabel 4.3 :

Tabel 4.3 Hasil penapisan fitokimia ekstrak n-heksana, etil asetat dan metanol tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata

Berdasarkan tabel 4.3 bahwa ekstrak n-heksana memiliki senyawa terpenoid. Sedangkan ekstrak etil asetat dan metanol memiliki senyawa tanin dan flavonoid.

4.1.3 Uji Aktivitas Antiinflamasi Ekstrak Daun Tumbuhan Paku

Pyrrosia lanceolata terhadap Penghambatan Denaturasi Protein

secara In Vitro

Ekstrak n-heksana, etil asetat dan metanol daun tumbuhan paku

Pyrrosia lanceolata dilakukan uji aktivitas antiinflamasi terhadap penghambatan denaturasi protein. Natrium diklofenak digunakan sebagai kontrol positif yang memiliki aktivitas antiinflamasi. Aktivitas antiinflamasi dari natrium diklofenak beserta ekstrak n-heksana, etil asetat dan metanol daun tumbuhan paku

(41)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4.1.3.1Hasil aktivitas antiinflamasi dari natrium diklofenak terhadap

penghambatan denaturasi protein secara in vitro

Natrium diklofenak dengan variasi konsentrasi 40 ppm, 20 ppm, 10 ppm, 5 ppm, 2,5 ppm dan 1,3 ppm kemudian dilakukan uji aktivitas antiinflamasi terhadap penghambatan denaturasi protein. Hasil aktivitas antiinflamasi dari natrium diklofenak dapat dilihat pada tabel 4.4 :

Tabel 4.4 Aktivitas antiinflamasi natrium diklofenak

Konsentrasi (ppm) Absorbansi±SD % inhibisi

Kontrol Negatif 1,626±0,036 0,000

1,3 1,519±0,097 6,554

Gambar 4.1 Aktivitas antiinflamasi natrium diklofenak

(42)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4.1.3.2Hasil aktivitas antiinflamasi ekstrak n-heksana daun tumbuhan paku

Pyrrosia lanceolata terhadap penghambatan denaturasi protein secara

in vitro

Ekstrak n-heksana daun tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata dilakukan uji aktivitas antiinflamasi dengan konsentrasi ekstrak n-heksana yaitu 1 ppm, 10 ppm dan 100 ppm. Hasil aktivitas antiinflamasi ekstrak n-heksana dapat dilihat pada tabel 4.5 :

Tabel 4.5 Aktivitas antiinflamasi ekstrak n-heksana daun tumbuhan paku

Pyrrosia lanceolata

Konsentrasi (ppm) Absorbansi±SD % inhibisi

Kontrol Negatif 0,430±0,021 0,000

1 0,345±0,074 19,767

10 0,346±0,065 19,535

100 0,336±0,033 21,860

Gambar 4.2 Perbandingan aktivitas antiinflamsi ekstrak n-heksana daun tumbuhan paku

Pyrrosia lanceolata dan Natrium diklofenak

Aktivitas antiinflamasi ekstrak n-heksana pada konsentrasi 1 ppm dan 10 ppm persentase inhibisi denaturasi protein kurang dari 20% sedangkan pada konsentrasi 100 ppm persentase inhibisi denaturasi protein sebesar 21,860%.

19,767 19,535 21,860

Perbandingan Aktivitas Antiinflamsi Ekstrak n-heksana Daun Tumbuhan Paku Pyrrosia lanceolata dan Natrium diklofenak

n-heksana

(43)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4.1.3.3Hasil aktivitas antiinflamasi ekstrak etil asetat daun tumbuhan paku

Pyrrosia lanceolata terhadap penghambatan denaturasi protein secara

in vitro

Ekstrak etil asetat daun tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata dilakukan uji aktivitas antiinflamasi dengan konsentrasi ekstrak etil asetat yaitu 1 ppm, 10 ppm dan 100 ppm. Hasil aktivitas antiinflamasi ekstrak etil asetat terdapat pada tabel 4.6 :

Tabel 4.6 Aktivitas antiinflamasi ekstrak etil asetat daun tumbuhan paku

Pyrrosia lanceolata

Konsentrasi (ppm) Absorbansi±SD % inhibisi

Kontrol Negatif 0,855±0,020 0,000

1 0,661±0,062 22,690

10 0,590±0,027 30,994

100 0,992±0,053 -16,023

Gambar 4.3 Perbandingan aktivitas antiinflamasi ekstrak etil asetat daun tumbuhan paku

Pyrrosia lanceolata dan natrium diklofenak

Aktivitas antiinflamasi ekstrak etil asetat pada konsentrasi 1 ppm dan 10

Perbandingan aktivitas antiinflamasi ekstrak etil asetat daun tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata dan natrium diklofenak

etil asetat

(44)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4.1.3.4Hasil aktivitas antiinflamasi ekstrak metanol daun tumbuhan paku

Pyrrosia lanceolata terhadap penghambatan denaturasi protein secara

in vitro

Ekstrak metanol daun tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata dilakukan uji aktivitas antiinflamasi dengan konsentrasi ekstrak metanol yaitu 1 ppm, 10 ppm dan 100 ppm. Hasil aktivitas antiinflamasi ekstrak metanol terdapat pada tabel 4.7:

Tabel 4.7 Aktivitas antiinflamasi ekstrak metanol daun tumbuhan paku

Pyrrosia lanceolata

Konsentrasi (ppm) Absorbansi±SD % inhibisi

Kontrol Negatif 0,538±0,001 0,000

1 0,486±0,001 9,665

10 0,254±0,003 52,788

100 0,650±0,007 -20,818

Gambar 4.4 Perbandingan Aktivitas antiinflamasi ekstrak metanol daun tumbuhan paku

Pyrrosia lanceolata dan Natrium Diklofenak

Aktivitas antiinflamasi ekstrak metanol pada konsentrasi 1 ppm kurang dari 20% yaitu sebesar 9,665%. Pada konsentrasi 10 ppm persentase inhibisi denaturasi protein lebih besar dari 20% yaitu 52,788% dan pada konsentrasi 100 ppm (-21,818%).

Hasil aktivitas antiinflamasi dari ketiga ekstrak daun tumbuhan paku

Pyrrosia lanceolata yaitu ekstrak n-heksana, etil asetat dan metanol yang digambarkan pada tabel 4.8 :

9,665

Perbandingan aktivitas antiinflamasi ekstrak metanol daun tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata dan Natrium diklofenak

metanol

(45)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tabel 4.8 Perbandingan aktivitas antiinflamasi ekstrak n-heksana, etil asetat dan

metanol daun tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata Larutan uji % Inhibisi

Konsentrasi Ekstrak n-heksana 19,767 19,535 21,860 Ekstrak Etil asetat 22,690 30,994 -16,023

Ekstrak Metanol 9,665 52,788 -20,818

Natrium Diklofenak - 55,290 -

Gambar 4.5 Perbandingan Aktivitas antiinflamasi ekstrak n-heksana, etil asetat dan metanol daun

tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata

Ekstrak n-heksana, etil asetat dan metanol daun tumbuhan paku

Pyrrosia lanceolata memiliki aktivitas antiinflamasi. Aktivitas antiinflamasi tertinggi terdapat pada ekstrak metanol, sehingga pada ekstrak metanol dilakukan perluasan konsentrasi uji yang terdapat pada tabel 4.9:

Tabel 4.9 Aktivitas antiinflamasi ekstrak metanol daun tumbuhan paku

Pyrrosia lanceolata dengan perluasan konsentrasi uji

Konsentrasi (ppm) Absorbansi±SD % inhibisi

Kontrol Negatif 0,651±0,003 0,000

5 0,442±0,054 32,104

Perbandingan Aktivitas Antiinflamasi Ekstrak Daun Tumbuhan Paku Pyrrosia lanceolata

n-heksana

etil asetat

metanol

(46)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gambar. 4.6 Perbandingan Aktivitas Antiinflamasi Ekstrak Metanol Daun Tumbuhan Paku

Pyrrosia lanceolata dan Natrium diklofenak

Persentase inhibisi denaturasi protein dari uji kedua ekstrak metanol pada konsentrasi 5 ppm sebesar 32,104 %, konsentrasi 20 ppm sebesar 64,209% dan konsentrasi 40 ppm memicu denaturasi (-15,514%). Persentase inhibisi denaturasi protein ekstrak metanol tertinggi pada konsentrasi 20 ppm (64,209%).

4.1.4 Hasil Perhitungan IC50

Persamaan regresi linear antara konsentrasi (X) dan % inhibisi (Y) sehinggan didapat nilai IC50 natrium diklofenak dan ekstrak metanol.

Gambar 4.7 Grafik regresi linear aktivitas antiinflamasi natrium diklofenak

Berdasarkan perhitungan probit pada konsentrasi 10 ppm aktivitas antiinflamasi natrium diklofenak (55,206%) telah melebihi 50% aktivitas antiinflamasi, sehingga dihitung nilai IC50. Natrium diklofenak memiliki nilai

IC50 sebesar 8,966 µg/ml (lampiran 15).

9,665

Perbandingan Aktivitas Antiinflamasi Ekstrak Metanol Daun Tumbuhan Paku Pyrrosia lanceolata & Natrium diklofenak

(47)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gambar 4.8 Grafik regresi linear aktivitas antiinflamasi ekstrak metanol

Pada konsentrasi 10 ppm aktivitas antiinflamasi metanol (52,786%) telah melebihi 50% aktivitas antiinflamasi, sehingga dihitung nilai IC50 didapat nilai

IC50 ekstrak metanol sebesar 10,144 µg/ml (lampiran 15).

4.1.5 Hasil Analisa Data Statistik

Persentase inhibisi denaturasi protein konsentrasi 10 ppm ekstrak n-heksana, etil asetat dan metanol daun tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata

dibandingkan dengan konsentrasi 10 ppm natrium diklofenak dilakukan analisa data statistik menggunakan SPSS 16 Kruskal-Wallis test dengan P (signifikansi)

ditetapkan jika ≤ 0,05 menunjukkan perbedaan bermakna dari masing-masing kelompok. Ekstrak n-heksana dan etil asetat pada konsentrasi 10 ppm berbeda bermakna terhadap kontrol positif (natrium diklofenak) artinya aktivitas antiinflamasi kedua ekstrak ini lebih rendah dari kontrol positif. Sebaliknya ekstrak metanol tidak berbeda bermakna dengan kontrol positif sehingga aktivitas antiinflamasi ekstrak metanol menyerupai kontrol positif.

(48)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4.1 Pembahasan

Tumbuhan paku yang diperoleh dari wilayah kampus Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dilakukan determinasi tanaman untuk memastikan keaslian dari tumbuhan paku ini, hasil determinasi menyatakan bahwa benar tumbuhan paku ini adalah

Pyrrosia lanceolata (L.) Farw.

Daun tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata yang diperoleh sebanyak 1,1 kg disortasi untuk memisahkan antara tumbuhan dengan kotoran yang terdapat pada tumbuhan tersebut. Proses pengeringan dilakukan dengan cara diangin-anginkan yang bertujuan untuk meminimalisir pemanasan yang dapat merusak senyawa-senyawa yang terdapat dalam tumbuhan tersebut.

Penghalusan dilakukan untuk memperkecil ukuran partikel tumbuhan, yang bertujuan untuk memaksimalkan dalam proses ekstraksi, karena semakin

kecil atau halus serbuk simplisia maka proses ekstraksi makin efektif (Depkes RI, 2000). Dari 1,1 kg daun tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata

diperoleh 161,0584 gram simplisia kering yang selanjutnya simplisia disimpan dalam wadah tertutup rapat untuk menghindari cemaran oleh mikroba dan mikroorganisme lainnya.

Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan ekstraksi cara dingin, yaitu dengan metode maserasi. Metode ekstraksi dengan cara dingin dipilih untuk meminimalisir terjadinya pemanasan yang dapat menyebabkan kerusakan terhadap senyawa yang tidak tahan panas. Pada teknik maserasi ini menggunakan teknik maserasi bertingkat dengan pelarut yang memiliki tingkat kepolaran yang berbeda yaitu n-heksana yang merupakan pelarut non polar, etil asetat yang merupakan pelarut semi polar dan metanol yang merupakan pelarut polar. Alasannya menggunakan teknik maserasi bertingkat ialah untuk memaksimalkan proses ekstraksi. Dari proses maserasi, diperoleh 3 ekstrak kental, yaitu ekstrak dari pelarut n-heksana yang memiliki bobot 3,034 gram, ekstrak etil asetat yang memiliki bobot 3,889 gram dan ekstrak metanol yang memiliki bobot 16,336 gram.

(49)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang terdapat dalam ekstrak n-heksana adalah senyawa terpenoid sedangkan senyawa yang terdapat dalam ekstrak etil asetat dan ekstrak metanol daun tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata adalah senyawa tanin dan flavonoid.

Kontrol negatif terdiri dari larutan 0,2% BSA dan pelarut n-heksana/etil asetat/metanol dan kontrol positif terdiri dari natrium diklofenak dengan konsentrasi 1,3 ppm, 2,5 ppm, 5 ppm, 10 ppm, 20 ppm dan 40 ppm. Larutan uji terdiri dari ekstrak n-heksana, etil asetat dan metanol dari daun tumbuhan paku

Pyrrosia lanceolata dengan konsentrasi 1 ppm, 10 ppm dan 100 ppm. Kemudian masing-masing kontrol negatif, kontrol positif dan larutan ekstrak tersebut dilakukan uji aktivitas antiinflamasi terhadap penghambatan denaturasi protein. Larutan kontrol negatif, larutan uji (ekstrak n-heksana, etil asetat dan metanol daun tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata) dan kontrol positif (natrium diklofenak) diinkubasi selama 30 menit pada suhu 250C kemudian dipanaskan pada suhu 720C selama 5 menit didalam waterbath kemudian didiamkan dalam suhu 230C selama 25 menit. Sebelumnya telah dilakukan optimasi terhadap lama waktu perlakuan dan suhu yang digunakan. Menurut Williams et al., (2008) bahwa senyawa atau ekstrak yang beraktivitas sebagai antiinflamasi dengan metode penghambatan denaturasi protein jika persentase inhibisi denaturasi protein lebih besar dari 20 persen.

(50)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta konsentrasi untuk mengetahui pada konsentrasi berapa ekstrak metanol aktivitas antiinflamasinya menurun. Pada uji aktivitas ekstrak metanol yang kedua didapatkan hasil persentase inhibisi sebesar 32,104% (konsentrasi 5 ppm), 64,209% (konsentrasi 20 ppm) dan -15,514% (konsentrasi 40 ppm). Nilai persentase inhibisi denaturasi protein tertinggi ekstrak metanol terdapat pada konsentrasi 20 ppm (64,209%) yang dapat dilihat pada gambar 4.6. Aktivitas antiinflamasi ekstrak metanol berada pada rentang konsentrasi 10 ppm – 20 ppm dan pada konsentrasi 40 ppm persentase inhibisi denaturasi protein ekstrak metanol menurun.

Aktivitas antiinflamasi penghambatan denaturasi protein natrium diklofenak pada konsentrasi 1,3 ppm (6,554%), 2,5 ppm (8,823%), 5 ppm (33,242%), 10 ppm (55,290%), 20 ppm (64,790%) dan 40 ppm (84,315%). Terlihat pada konsentrasi 10 ppm persentase inhibisinya sudah mencapai nilai 55,290%, yang berarti telah melewati nilai IC50. Ekstrak metanol pada konsentrasi

10 ppm dengan persentase inhibisinya sebesar 52,788%, yang berarti telah melewati nilai IC50. Perhitungan nilai IC50 dengan memplot konsentrasi dengan

persen inhibisi memberikan nilai IC50 sebesar 8,966 µg/mL untuk natrium

diklofenak dan 10,144 µg/mL untuk ekstrak metanol.

Berdasarkan hasil data analisa statistik ekstrak n-heksana dan etil asetat pada konsentrasi 10 ppm berbeda bermakna terhadap kontrol positif (natrium diklofenak) artinya aktivitas antiinflamasi kedua ekstrak ini lebih rendah dari kontrol positif. Sebaliknya ekstrak metanol tidak berbeda bermakna dengan kontrol positif sehingga aktivitas antiinflamasi ekstrak metanol menyerupai kontrol positif.

Ekstrak n-heksana, etil asetat dan metanol daun tumbuhan paku

(51)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai antiinflamasi (Verma et al., 2011). Protein dalam tubuh rentan untuk mengalami denaturasi yang disebabkan oleh pembentukan radikal bebas yang menyebabkan mekanisme peradangan (inflamasi) dengan merangsang pelepasan mediator inflamasi (Verma et al., 2011). Denaturasi protein adalah sebuah proses dimana protein kehilangan struktur tersier dan struktur sekunder oleh senyawa eksternal, seperti asam kuat atau basa kuat, garam anorganik, pelarut organik dan pemanasan (Verma et al., 2011). Kemungkinan adanya interaksi atau ikatan antara molekul yang terdapat dalam Bovine Serum Albumin (BSA) terhadap molekul yang terdapat pada masing-masing ekstrak dari daun tumbuhan paku

Pyrrosia lanceolata sehingga ekstrak dapat menghambat terjadinya denaturasi protein.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semua ekstrak daun tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata mempunyai aktivitas antiinflamasi dan ekstrak metanol mempunyai aktivitas antiinflamasi yang tertinggi terhadap penghambatan denaturasi protein secara in vitro dengan persentase inhibisi

(52)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui adanya aktivitas antiinflamasi pada ekstrak n-heksana, etil asetat dan metanol dari daun tumbuhan paku

Pyrrosia lanceolata terhadap penghambatan denaturasi protein secara in vitro. Dapat disimpulkan bahwa:

a. Ekstrak n-heksana, etil asetat dan metanol daun tumbuhan paku

Pyrrosia lanceolata memiliki aktivitas antiinflamasi terhadap penghambatan denaturasi protein secara in vitro sebesar 21,860 % (100 ppm ekstrak n-heksana), 30,994 % (10 ppm ekstrak etil aseatat), dan 52,788 % (10 ppm ekstrak metanol).

b. Berdasarkan analisis data statistik, ekstrak n-heksana dan etil asetat pada konsentrasi 10 ppm berbeda bermakna terhadap kontrol positif (natrium diklofenak) artinya aktivitas antiinflamasi kedua ekstrak ini lebih rendah dari kontrol positif. Sebaliknya ekstrak metanol tidak berbeda bermakna dengan kontrol positif sehingga aktivitas antiinflamasi ekstrak metanol menyerupai kontrol positif.

c. Ekstrak metanol mempunyai aktivitas antidenaturasi protein tertinggi dari ekstrak n-heksana dan etil asetat secara in vitro (antiinflamasi).

5.2 Saran

a. Dapat dilakukan uji aktivitas antiinflamasi dari ekstrak daun tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata (L.) Farw. secara in vivo serta mengukur kadar air dan uji homogenitas ekstrak.

b. Dapat dilakukan uji aktivitas lainnya dari daun tumbuhan paku

Pyrrosia lanceolata (L.) Farw. selain sebagai antioksidan dan antiinflamasi dari daun tumbuhan paku Pyrrosia lanceolata (L.) Farw.

(53)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

DAFTAR PUSTAKA

Akhil TT dan Prabhu P. (2013). Evaluation of Anti-Oxidant, Anti-Inflammatory and Cytotoxicity Potential of Hemigraphis colorata. International Journal of Pharmaceutical Sciences and Research; Vol. 4(9): 3477-3483.

Ali et al., (2012). Phytochemical Screening, Antioxidant and Analgesic Activities of Croton argyratus Ethanolic Extracts. Journal of Medicinal Plants Research Vol. 6(21), pp. 3724-3731.

Ayoola et al., (2008). Phytochemical Screening and Antioxidant Activities of Some Selected Medicinal Plants Used for Malaria Therapy in Southwestern Nigeria. Tropical Journal of Pharmaceutical Research, September; 7 (3): 1019-1024.

Benjamin A, Manickam V.S. (2007). Medicinal Pteridophytes from The Western Ghats. Indian Journal of Traditional Knowledge. Vol. 6(4), pp. 611-618. BSA (Bovine Serum Albumin). Product Information by Sigma.

www.sigma-aldrich.com . Diakses pada tanggal 29/03/2014, 19.20 WIB.

Chatterjee. P, Chandra. S, Dey. P, Bhattacharya. S. (2012). Evaluation of anti-inflammatory effects of green tea and black tea: A comparative in vitro study. J. Adv. Pharm. Tech. Res.

Chippada SC and Vangalapati. (2011). Antioxidant, an anti-inflammatory and anti-arthritic activity of Centella asiatica extracts. J. Chem. Bio. Phy. Sci., Vol.1, No.2, Sec. B, 260– 269.

Chippada SC, Volluri SS, Bammidi SR and Vangalapati M. (2011). In Vitro Anti Inflammatory Activity of Methanolic Extract of Centella asiatica by HRBC Membrane Stabilisation. Rasayan J.Chem. Vol.4, No.2, 457-460.

Daintith, J. (1994). Kamus Lengkap Kimia. Jakarta: Erlangga.

Dalimartha, S. (1999). Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid 2. Jakarta : Trubus Agriwidya.

(54)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Darnaedi, Dedy. (2000). Keanekaragaman Hayati Konservasi dan Pemanfaatan

yang Berkelanjutan. Bogor: LIPI.

DEPKES. (2010). Farmakope Indonesia Edisi 4.

DEPKES RI. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat.

Farnsworth, N.R. (1996). Biological and Phytochemical Screnning of Plants. J. Pharm.

Harbone, J.B. (1987). Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Penerjemah: Kosasih P., Soediro Iwang. Bandung: Penerbit ITB.

Hariana, H.A. (2006). Tumbuhan Obat dan Khasiatnya Seri 3. Depok: Penebar Swadaya.

Hartini, S. (2006). Tumbuhan Paku di Cagar Alam Sago Malintang, Sumatera Barat dan Aklimatisasinya di Kebun Raya Bogor. Biodiversitas. 7 (3): 230-236.

Health Professions Division. (1996). Goodman & Gilman’s The Pharmacological

Basis of Therapeutics, 9th edition. USA: McGraw-Hill,637.

Ho, R. Teai T. Bianchini J-P. Lafont R., Raharivelomanana, P. (2011). Fren: From Traditional Uses to Pharmaceutical Development, Chemical Identification of Active Principles in Working with Fren. Spinger.

Hammer et al., (2008). Antimicrobial and Anti-inflammatory Activity of Five Taxandria fragrans Oils in vitro. Microbiol Immunol; 52: 522–530.

Katzung, B. G. (2002) Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi II. Jakarta: Salemba Medika.

Katzung, Bertram G. (2006). Basic and Cinical Pharmacology, 10th Edition. McGraw Hill Lange.

Komala, I. (2010). Laporan Penelitian Individu, Uji Aktivitas Antioksida Tumbuhan Paku Indonesia. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

Gambar

Gambar 2.1 Pyrrosia lanceolata (L.) Farw..................................................
Tabel 3.1 Rancangan Penelitian......................................................................
Gambar 2.1. Pyrrosia lanceolata (L.) Farw.
Gambar 2.2. Mekanisme Inflamasi Akut
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil pengujian antibakteri terhadap jamur Saprolegnia sp.; (a) ekstrak dengan pelarut n-heksana (b) ekstrak dengan pelarut metanol (c) ekstrak dengan pelarut etil asetat

Hasil uji aktivitas antimikroba ekstrak metanol, etil asetat dan n-heksana biji alpukat (Persea americana Mill.) menunjukkan adanya penghambatan pertumbuhan mikroba patogen Candida

Ekstrak heksana, etil asetat dan etanol daun ekor kucing memiliki aktivitas sebagai antibakteri, dimana ekstrak etanol memiliki aktivitas antibakteri yang paling

Hasil Skrining Fitokimia Ekstrak Metanol Dan Etil Asetat Daun Pirdot Terhadap Uji Terpenoid. Ekstrak Metanol Eksrak

Berdasarkan hasil pengujian yang telah dilakukan diperoleh hasil pada ekstrak metanol, fraksi n-heksana dan fraksi etil asetat memiliki aktivitas antijamur

Hasil uji aktivitas antibakteri menunjukkan bahwa ekstrak n-heksana, ekstrak pekat metanol fraksi etil asetat dan ekstrak padat metanol memberikan diameter zona

Perhitungan pengenceran ekstrak metanol, etil asetat dan n -heksan daun

Keenam perlakuan tersebut yaitu perlakuan tanpa menggunakan ekstrak, ekstrak tanaman uji dengan pelarut air, metanol, etil asetat dan n-heksana serta fungisida sintetik berbahan