• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Berobat Penderita Tuberkulosis Paru Di Klinik PPTI/Jakarta Respiratory Center (JRC), Tahun 2009

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Berobat Penderita Tuberkulosis Paru Di Klinik PPTI/Jakarta Respiratory Center (JRC), Tahun 2009"

Copied!
124
0
0

Teks penuh

(1)

KLINIK JAKARTA RESPIRATORY CENTRE (JRC)/ PPTI

TAHUN 2009

Skripsi

Diajukkan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep)

Disusun Oleh:

SITI MAESAROH

105104003485

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukkan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas IslamNegeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber referensi yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultass Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, Desember 2009

(3)

ABSTRACT

FACULTY OF MEDICINE AND SCIENCE OF HEALTH NURSING SCIENCE PROGRAM

ISLAMIC STATE UNIVERSITY (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Undergraduate Thesis, December 2009

SITI MAESAROH, NIM: 105104003485

Factors Associated With Medication Adherence in Patients with Pulmonary Tuberculosis Clinic PPTI / Jakarta Respiratory Center (JRC), Year 2009

Xix +90 pages, 3 Appendix, Table 29

In PPTI during 2008, a total of 123 patients from 895 patients revealed DO. Based on data from PPTI above, the authors are interested in performing on the factors associated with treatment adherence in patients with pulmonary TB clinic PPTI / JRC ..

This study aims to know the description of treatment adherence and factors associated with treatment adherence in patients with pulmonary tuberculosis clinic JRC / PPTI in 2009 with a cross-sectional design. Independent variables studied include: education, knowledge, attitudes mother, side effects, distance, transportation, vehicle costs, the role of the PMO, the role of the family, counseling.

The study found that of the 11 variables studied, the attitude of the patient variables significantly associated with pulmonary tuberculosis treatment adherence (P = 0.016). Patients with a good attitude, have a risk to comply with treatment 3 times when compared to patients with unfavorable attitudes (OR = 2.917, 95% CI = 1.289 to 6.600). The other variables are counseling, possess a significant relationship with medication adherence pulmonary TB patients (P = 0.048). Patients who had received counseling at risk for medication adherence by 2.408 times when compared to patients who never received counseling (OR = fixed routine implemented and attended by the patient. Further research needs other factors associated with treatment adherence and factors that influence the attitudes of respondents to treatment.

(4)

ABSTRAK

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Skripsi, Desember 2009

SITI MAESAROH, NIM : 105104003485

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Berobat Penderita Tuberkulosis Paru Di Klinik PPTI/Jakarta Respiratory Center (JRC), Tahun 2009

Xix+90 halaman, 3 Lampiran, 29 Tabel

Di PPTI selama tahun 2008, sebanyak 123 pasien dinyatakan DO dari 895 pasien. Berdasarkan data dari PPTI di atas maka penulis tertarik untuk melakukan terhadap faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan berobat pasien TB paru di klinik PPTI/JRC..

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kepatuhan berobat dan faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan berobat pasien tuberkulosis paru di klinik JRC/PPTI tahun 2009 dengan desain cross sectional. Variabel independen yang diteliti meliputi : pendidikan, pengetahuan, sikap ibu, efek samping, jarak, sarana transportasi, biaya kendaraan, peran PMO, peran keluarga, penyuluhan.

Hasil penelitian didapat bahwa dari 11 variabel yang diteliti, variabel sikap penderita secara signifikan berhubungan dengan kepatuhan berobat penderita TB paru (P=0,016). Penderita dengan sikap baik, mempunyai risiko untuk patuh berobat 3 kali bila dibanding penderita dengan sikap kurang baik (OR = 2,917 (95%CI =1,289-6,600). Variabel lain yaitu penyuluhan, secara signifikan memliki hubungan dengan kepatuhan berobat pasien TB paru (P=0,048). Penderita yang pernah mendapat penyuluhan memiliki risiko untuk patuh berobat sebesar 2,408 kali bila dibanding penderita yang tidak pernah mendapat penyuluhan (OR=2,408, 95%CI=1,081-5,364). Sedangkan pada penelitian ini, variabel lain tidak dapat membuktikan adanya hubungan yang signifikan yaitu variabel pendidikan (p=0,639), pengetahuan (p=0,118), efek samping obat 0,286, jarak (p=0,495), sarana transportasi (p=0,650), peran PMO (p=1), peran keluarga (p=0,654), penyuluhan (p= 0,048)

Penelitian ini menyarankan agar program penyuluhan yang dilaksanakan setiap bulan tetap rutin dilaksanakan dan dihadiri langsung oleh pasien. Perlu dilakukan penelitian lanjutan faktor lain yang berhubungan dengan kepatuhan berobat dan faktor yang mempengaruhi sikap responden terhadap pengobatan.

(5)
(6)
(7)
(8)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : SITI MAESAROH

Tempat, Tanggal Lahir : Tegal, 20 Mei 1985

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Jalan Depsos Raya No. 4 RT 04/ RW 01, Bintaro,

Pesanggrahan, Jakarta Selatan

Alamat Asal : Lembasari, RT 03 RW 01, Kecamatan Jatinegara,

Kabupaten Tegal

Email : sitmae_243sejati@yahoo.com

Latar Belakang Pendidikan

2005-2009 : Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Keshatan

Program Studi Ilmu Keperawatan

2002-2005 : SMA Negeri 1 Slawi

1999-2002 : SMP Negeri 1 Jatinegara

(9)

Skripsi ini

Ku Persembahkan untuk Ibunda dan

Ayahandaku, Kakak dan Adik-adikku, Serta

(10)

PENGANTAR

Bismillahi Rahmani Rahim

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayat-Nya sehigga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Besar kita, Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat, dan umatnya yang tetap istiqomah dan yang Insyaallah akan mendapat safaat dihari akhir. Dengan penuh kesadaran penyusun yakin bahwa masih banyak yang harus diperbaiki dalam penyusunan skrripsi yang berjudul “Faktor-Faktor yang berhubungan dengan Kepatuhan Berobat Pasien Tuberkulosis Paru Di Klinik JRC/ PPTI Kebayoran Lama tahun 2009”.

Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis mendapat banyak banttuan, petunjuk, bimbingan, dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, sudah sepatutnya penulis mengucap rasa syukur sebagai wujud rasa terima kasih kepada:

1. Kedua orang tua tersayang, Bapak Sarip dan Ibu Dibah yang telah

memberikan bantuan moril, materiil, motivasi serta do’a yang tidak pernah putus demi keberhasilan penyusun menghadapi masa depan yang lebih baik.

2. Ahmad Eru S, S.Kp, M.Kep, Sp.Kom dan Bambang P Cadrana, SKM,MKM, sebagai dosen pembimbing yang tyelah memberikan waktu, arahan, dan pengembangan pemikiran kepada penulis demi terselesaikannya penyusunan skripsi ini dengan baik.

3. Prof. Dr (hc). Dr. M.K. Tadjudin, Sp. And sebagai Dekan fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

(11)

5. .Ita Yuanita, S.Kp, M.Kep, Ns. Waras Budi Utomo, S.Kp, MKM yang telah mendedikasikan diri demi membawa Program Studi Ilmu Kperaawatan kea rah yang lebih baik.

6. Irma Nurbaeti, Skp, M.Kep, Sp. Mat, sebagai pembimbing akademik yang telah memberikan arahan kepada penulis.

7. Bapak Wakidi staf PPTi yang telah membantu, memberikan masukan saat penulis melakukan penelitian.

8. Dr. Sudiono sebagai Sekertaris Jendral PPTI , Direktur Kllinik JRC yang telah mengizinkan penulis untukmelakukan penelitian di Klinik PPT? JRC kebayoran Lama.

9. Akhmad Nursujati, SE. yang selalu memberikan motivasi, membantu dan mendampingi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

10.Kaka penulis Sulastri dan Rudi Haseni (ipar), dan adik penulis Fitria Priatin, yang member motivasi kepada penulis.

11.Keluarga besar FKIK dan khususnya seluruh saudara-saudari PSIK, dan teman-teman seperjuangan jurusan Ilmu Keperawatan angkatan ’05 ((Neneng, Tuti, Risma, Fina Tika, Ziah, Herna, Lita, Intan, Ciah, dan masih banyak lagi yang belum disebutkan).

12.Alumni SMA Negeri 1 Slawi angkatan ’05 yang memberikan motivasi kepada penulis.

(12)

Dengan memanjatkan do’a kepada Allahh SAW, penulis berharap semua kebaikan yang telah diberikan mendapat balasan yang lebih baik dari allah SWT.

Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis pribadi dan para pembaca pada umumnya.

Wassalamualaikum warahmatullahi Wabarakatuh

Jakarta, 22 Desember 2009

(13)

LEMBAR PERNYATAAN………... i

ABSTRAK ……….. ii

LEMBAR PERSETUJUAN ……….. iii

RIWAYAT HIDUP ………. v

LEMBAR PERSEMBAHAN ……… x

KATA PENGANTAR ……… xi

DAFTAR ISI ………. xiv

DAFTAR TABEL ……… xvii

DAFTAR BAGAN ……… xvi

DAFTAR LAMPIRAN ………. xvii

DAFTAR SINGKATAN ……… xx

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Pertanyaan Penelitian ... 8

D. Tujuan Penelitian ... 9

E. Manfaat Penelitian ... 10

F. Ruang Lingkup Penelitian ... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tuberculosis Paru ... 12

B. Keadaan dan Masalah Tuberkulosis Paru Saat ini ... 21

C. Program Pemberantasan Tuberkulosis Paru di Indonesia ... 22

D. Konsep Perilaku dan Perilaku Kepatuhan Berobat Pasien Tuberkulosis Paru ... 22

(14)

A. Kerangka Konsep ... 37

B. Variabel Dependen ... 39

C. Variabel Independen ... 39

D. Hipotesis ... 40

E. Definisi Operasional... 42

BAB IV METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian ... 45

B. Lokasi Penelitian ... 45

C. Populasi dan Sampel ... 45

D. Instrumen Penelitian dan Cara Pengumpulan Data ... 47

E. Pengolahan Data... 49

F. Analisa Data ... 50

BAB V HASIL PENELITIAN A. Gambaran Umum PPTI B. Klinik Pusat Penyakit Pernapasan (JRC) ... 55

C. Analisa Univariat ... 56

D. Analisa Bivariat BAB VI PEMBAHASAN A. Keterbatasan Penelitian ... 72 B. Gambaran Kepatuhan Berobat Penderita TB paru di Klinik PPTI . 72 C. Hubungan antara faktor predisposisi, pemungkin, dan penguat

(15)

A. Kesimpulan ... 83

B. Saran ... 85

DAFTAR PUSTAKA ... 86

(16)

halaman

Tabel 2.1 Jenis, Sifat, dan Dosis OAT ……… 21

Tabel 2.2 Efek samping ringan OAT ………. 22

Tabel 2.3 Efek samping berat OAT ……….. 22

Tabel 5.1 Distribusi frekuensi menurut jenis kelamin ……….. 55

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi responden menurut pembagian usia BPS ……… 56

Tabel 5.3 Distribusi frekuensi responden menurut kepatuhan ………. 56

Tabel 5.4 Distribusi frekuensi responden menurut tingkat pendidikan ……… 57

Tabel 5.5 Distribusi frekuensi responden menurut pendidikan responden yang dikategorikan ……… 57

Tabel 5.6 Distribusi frekuensi pengetahuan responden ……… 58

Tabel 5.7 Disribusi frekuensi sikap responden terhadap pengobatan……… 58

Tabel 5.8 Distribusi frekuensi efek samping obat ……… 59

Tabel 5.9 Distribusi frekuensi persepsi jarak klinik dari rumah ……. 59

Tabel 5.10 Distribusi frekuensi kendaraan yang digunakan responden menuju ke klinik ……… 60

Tabel 5.11 Distribusi frekuensi responden menurut biaya kendaraan ……… 60

Tabel 5.12 Distribusi frekuensi responden menurut peran PMO ……… 61

Tabel 5.13 Distribusi frekuensi responden menurut peran keluarga ……….. 62

Tabel 5.14 Distribusi frekuensi responden menurut sikap petugas …… 62

Tabel 5.15 Distribusi frekuensi responden menurut penyuluhan…….. 63

Tabel 5.16 Hubungan antara tingkat pendidikan dengan kepatuhan berobat pasien TB paru ………. 63

(17)

Tabel 5.19 Hubungan antara efek samping obat dengan

kepatuhan berobat pasien TB paru ……….. 65

Tabel 5.20Hubungan antara jarak klinik PPTI

dari tempat tinggal dengan kepatuhan berobat pasien TB……. 66

Tabel 5.21 Hubungan antara sarana transportasi

dengan kepatuhan berobat pasien TB paru ……….. 67 Tabel 5.22 Hubungan antara biaya transportasi

dengan kepatuhan berobat penderita TB paru ………. 67 Tabel 5.23 Hubungan antara peran PMO

dengan kepatuhan berobat pasien TB paru. ……… 68 Tabel 5.24 Hubungan antara peran keluarga

dengan kepatuhan berobat pasien ……….. 69

Tabel 5.25 Hubungan antara sikap petugas

dengan kepatuhan berobat pasien TB paru. ……….. 69 tabel 5.26 Hubungan antara penyuluhan

(18)

Bagan 3.1 Kerangka Konsep Penelitian ……….. 40

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 surat permohonan izin uji coba kuesioner di PPTI Baladewa Lampiran 2 Kuesioner

(19)

Accessibility : ketercapaian Airbone : melalui udara

AIDS : Aquiring Imuno Defisiensi Syndrom Behavior causes : faktor perilaku

Belief : kepercayaan

Bronkiektasis : pelebaran bronkus setempat BTA : Basil Tahan Asam

Compliance : kepatuhan

Depkes : Departemen Kesehatan

DOTS : Directly Observed Treatment Short Course

Dormant : tertidur lama DO : drop out

Droplet : percikan dahak

Hemoptisis : perdarahan dari saluran napas bawah HIV : Human Imunodefisiensi Virus

Ignorance : ketidaktahuan Informed consent : persetujuan

IUALTD : International Union Againts Tuberculosis and Lung Disease

JRC : Jakarta Respiratory Centre KDT : Kombinasi Dosis Tetap MDGs : Millenium Development Goals MDR : Multi Drug Resisten

Miss Conseption : salah duga

Nonbehavior causes : faktor di luar perilaku OAT : obat anti TB

PAS : Para Amino Acid

P2MPL : Pembarantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan P2PL : Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

(20)

TBC/TB : tuberculosis

(21)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit TBC adalah penyakit kronis menular yang masih tetap

merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia.

World Health Organisation ( WHO) dalam anual report on global TB control tahun 2003 menyatakan terdapat 22 negara dikategorikan sebagai

high burden countries terhadap TBC.

Di kawasan Asia Tenggara, data WHO menunjukkan bahwa TBC

membunuh sekitar 2.000 jiwa setiap hari. Dan sekitar 40% dari kasus TBC

di dunia berada di kawasan Asia Tenggara. TBC juga menjadi pembunuh

nomor satu di kawasan ini, dimana jumlahnya dua sampai tiga kali jumlah

kematian yang disebabkan oleh HIV/AIDS yang berada di peringkat

kedua.

Sedangkan di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan

masyarakat. Data WHO (2008) menunjukkan bahwa jumlah penderita

TBC di Indonesia menempati urutan ketiga setelah India dan China.

Jumlah pasien sekitar 500.000 orang per tahun dengan kematian sekitar

175.000 orang per tahun, khususnya daerah pedesaan miskin dan daerah

kumuh perkotaan yang rawan kuman (Depkes RI, 2005). Data

Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) selama tahun

2008, penderita TBC di Indonesia berjumlah 281.910 orang. Profil

(22)

BTA positif per 100.000 penduduk di Indonesia menunjukan

kecenderungan mengalami penurunan selama kurun waktu 2000−2006.

Pada tahun 2006, angka insiden sebesar 104 per 100.000 penduduk.

Jumlah kasus menular TB sepanjang tahun 2007 diperkirakan sebesar

232.358 kasus (Profil Kesehatan RI, 2008).

Pasien TB sekitar 75% adalah kelompok usia yang paling produktif

secara ekonomi (15 sampai 50 tahun). Hal tersebut berakibat pada

kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30% (Depkes

RI, 2008). Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan

dampak buruk lainya secara sosial, stigma bahkan dikucilkan oleh

masyarakat (Depkes RI, 2007).

Pada awal tahun 1990an WHO dan International Union Against

Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) telah mengembangkan strategi

penanggulangan TB yang dikenal sebagai strategi Directly Observed

Treatment Short Course (DOTS) dengan tujuan menemukan dan

menyembuhkan pasien, terutama pasien tipe menular (Depkes RI, 2008).

Di Indonesia menurut Riskesdas provinsi DKI Jakarta (2008),

penyakit ini termasuk salah satu prioritas nasional untuk program

pengendalian penyakit karena berdampak luas terhadap kualitas hidup dan

ekonomi, serta menimbulkan kematian. Milleniun Development Goals

(MDGs) dalam Profil Kesehatan 2008 juga menjadikan penyakit TB paru

sebagai salah satu penyakit yang menjadi target untuk diturunkan.

Penanggulangan TBC di Indonesia sudah berlangsung sejak zaman

(23)

1969 penanggulangan dilakukan secara nasional melalui Puskesmas

(Depkes RI, 2008). Upaya pencegahan dan pemberantasan TB Paru

dilakukan dengan pendekatan DOTS atau pengobatan TB Paru dengan

pengawasan langsung oleh pengawas menelan obat (PMO). Kegiatan ini

meliputi upaya penemuan penderita dengan pemeriksaan dahak di sarana

kesehatan yang ditindaklanjuti dengan paket pengobatan (Profil Kesehatan

RI, 2008).

Sejak tahun 1995, Indonesia mulai melaksanakan program

penanggulangan TB dengan strategi DOTS yang direkomendasikan oleh

WHO (Depkes RI, 2008). Program penanggulangan TBC dengan strategi

DOTS secara operasional telah dilaksanakan dan pencapaian angka

indikator-indikator program dari tahun ke tahun terus menunjukkan trend

yang meningkat (Fahrudda, 2008). Meskipun demikian dalam

pelaksanaannya dijumpai permasalahan utama yaitu adanya kegagalan

pengobatan penderita dan masih rendahnya penemuan penderita TBC baru

(Fahrudda, 2008).

Masih belum tingginya cakupan pengobatan TBC atau masih

rendahnya penemuan penderita adalah karena masih kurangnya jejaring

pengobatan atau kerja sama di sektor kesehatan sendiri khususnya pemberi

pelayanan kesehatan atau unit pelayanan kesehatan (UPK). Selain itu

masih kurangnya sosialisasi program pada masyarakat (Fahrudda, 2008).

Salah satu penyebab utama ketidakberhasilan pengobatan adalah

karena ketidakpatuhan berobat penderita masih tinggi. Oleh karena itu,

(24)

merupakan prioritas paling penting (Murtiwi, 2006). Ketidakmampuan

pasien menyelesaikan regimen self-administered, akan menyebabkan terjadinya kegagalan pengobatan, kemungkinan kambuh penyakitnya,

resisten terhadap obat, dan akan terus-menerus mentransmisikan infeksi

(Vijay, Balasangameswara, Jagannatha, Saroja, dan Kumar, 2003,

Murtiwi, 2006). Ketidateraturan minum obat terutama sebagai akibat dari

peran pengawas minum obat (PMO) yang kurang efektif, disamping

penyebab lainnya misalnya timbulnya efek samping, menderita penyakit

penyerta, kerterjangkauan terhadap pelayanan kesehatan yang sulit, tingkat

pengetahuan penderita yang masih kurang sehingga kurang memahami

pentingnya berobat secara teratur dan sikap petugas kesehatan dalam

memberikan pelayanan yang diberikan oleh fasilitas kesehatan (Ansarul,

2008). Selain itu menurut penelitian Susanti (2008) disimpulkan bahwa

pengetahuan, sikap, dan motivasi berhubungan dengan keteraturan

berobat.

Faktor penunjang kelangsungan berobat adalah pengetahuan

penderita mengenal bahaya penyakit TB paru yang gampang menular ke

sisi rumah, terutama pada anak, motivasi keluarga baik saran dan perilaku

keluarga kepada penderita untuk menyelesaikan pengobatannya dan

penjelasan petugas kesehatan kalau pengobatan gagal akan diobati dari

awal lagi. Oleh karena itu pemahaman dan pengetahuan penderita

memegang peranan penting dalam keberhasilan pengobatan TB paru

(25)

Data P2PL selama tahun 2008, penderita TB paru di DKI Jakarta

mencapai 8482 orang dengan BTA positif, 14845 orang dengan BTA

negatif/rontgent positif, pasien kambuh 605 orang, pasien Drop Out (DO) 197 orang. Angka kesembuhan pasien TB pada tahun 2006 sebesar

84,97% dan pada tahun 2007 mengalami penurunan menjadi 84,04 %

(PPTI), 2007). Data dari PPTI 2007 pada tahun 2006 penderita TB pada

klinik Jakarta Respiratory Centre (JRC) Kebayoran Lama berjumlah 216 orang yang terdiri dari 202 orang penderita baru dan 14 orang penderita

kambuh. Jumlah pasien TB dan angka DO setiap triwulan semakin

meningkat sedangkan pasien yang sembuh mengalami penurunan

(PPTI,2008).

Data PPTI diatas menunjukkan angka kesembuhan masih rendah

sedangkan angka DO masih cukup tinggi. Tingginya angka DO

menunjukkan kepatuhan pasien yang masih rendah. Berdasarkan

kesimpulan di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

terhadap faktor−faktor yang berhubungan dengan kepatuhan berobat

pasien TB paru di klinik Jakarta Respiratory Centre (JRC)/PPTI.

Tingginya angka pasien yang DO/tidak patuh terhadap pengobatan

merupakan pekerjaan besar bagi pemerintah, masyarakat, keluarga pasien,

pasien dan petugas kesehatan. Petugas kesehatan merupakan tim kesehatan

terdiri dari dokter umum, perawat komunitas dan tenaga kesehatan lain.

Peranan petugas kesehatan adalah memberi pelayanan kesehatan

kepada masyarakat. Petugas kesehatan sebagai pengelola dalam program

(26)

mikroskopis. Hubungan antara petugas kesehatan dan penderita sangat

berpengaruh terhadap keberhasilan pengobatan (Fleischhacker, 2003,

Gielen, 1997, Pender, 2002, Murtiwi, 2005). Murtiwi (2005), mengatakan

bahwa salah satu determinan perilaku kepatuhan berobat TBC paru adalah

dukungan petugas kesehatan selama pengobatan TBC paru.

Praktik keperawatan profesional adalah tindakan mandiri perawat

profesional dengan menggunakan pengetahuan teoritik yang mantap dan

kokoh mencakup ilmu dasar dan ilmu keperawatan sebagai landasan dan

menggunakan proses keperawatan sebagai pendekatan dalam melakukan

asuhan keperawatan (Helwiah, 2004).

Peran perawat dalam penanggulangan penyakit menular khususnya

penyakit tuberkulosis (TBC/TB) salah satunya dengan menerapkan asuhan

keperawatan menggunakan model Community As Partner. Model ini

diterapkan karena menyediakan struktur intervensi keperawatan yang

komprehensif, memberikan wawasan profesi lain dalam memberikan

pelayanan yang lebih menyeluruh (Mendrofa, 2008). Namun dalam

pelaksanaannya ada beberapa masalah keperawatan komunitas yang dapat

muncul pada populasi dengan masalah TBC yaitu: risiko tinggi terjadi

penularan TBC pada anggota masyarakat, risiko tinggi terjadi kegagalan

pengobatan dan risiko tinggi terjadinya gangguan nutrisi (Mendrofa,

2008).

Perawat komunitas berupaya dengan berbagai cara memfasilitasi

tanpa bersifat instruksi memberdayakan individu dan keluarga. Upaya ini

(27)

keluarga agar mampu mengidentifikasi masalah kesehatannya (Murtiwi,

2005).

Ketidakpatuhan berobat merupakan masalah perilaku. Green

(1980) dalam Notoatmojo (2007) mengidentifikasi tiga faktor yang

mempengaruhi perilaku kesehatan yaitu faktor predisposisi, faktor

pemungkin, faktor penguat. Yang termasuk faktor predisposisi antara lain

adalah pengetahuan, sikap, keyakinan, nilai persepsi. Yang termasuk

faktor pemungkin adalah ketersedian sumber daya, keterjangkauan petugas

dan rujukan. Sedangkan yang termasuk faktor penguat antara lain adalah

sikap dan perilaku petugas kesehatan dan petugas lain teman, majikan, dan

orang tua (Notoatmojo, 2007).

B. Rumusan Masalah

Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh mycobacterium tuberculosis (Depkes RI, 2008). Data WHO (2008) menunjukan bahwa jumlah penderita TBC di Indonesia menempati urutan ketiga setelah India

dan China. Tiap tahun ada 9 juta penderita TBC baru dan 75% kasus

kematian dan kesakitan di masyarakat diderita oleh orang−orang pada usia

produktif (15 sampai 50 tahun). Hal tersebut berakibat terhadap penurunan

jumlah pendapatan tahunan rumah tangganya.

Penyebab utama meningkatnya beban masalah TB antara lain :

Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, kegagalan program TB

selama ini, dampak pandemi HIV (Depkes RI, 2005). Salah satu penyebab

(28)

penderita yang masih tinggi. Hal ini dibuktikan pada triwulan ketiga di

Klinik JRC dari 204 orang penderita, 28 orang sembuh dan 43 orang putus

berobat. Ketidakmampuan pasien menyelesaikan pengobatan, akan

menyebabkan terjadinya gagal pengobatan, kemungkinan kambuhnya

penyakit, resisten terhadap obat dan akan terus menerus mentransmisikan

infeksi (Vijay, Balasangameswara, Jagannatha, Saroja, dan Kumar, 2003,

Murtiwi, 2006). Ketidakteraturan minum obat terutama akibat dari peran

pengawas minum obat (PMO) yang kurang efektif, disamping penyebab

lainnya misalnya timbul efek samping, menderita penyakit penyerta,

keterjangkauan terhadap pelayanan kesehatan yang sulit, tingkat

pengetahuan penderita yang masih kurang sehingga memahami pentingnya

berobat secara teratur dan sikap petugas kesehatan dalam memberikan

pelayanan yang diberikan oleh fasilitas kesehatan (Ansarul, 2008).

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti

faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan berobat pasien TBC paru di

Klinik JRC Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, sebagai salah satu masukan

informasi demi upaya penanggulangan penyakit TB di wilayah Kebayoran

Lama, Terutama di Klinik JRC. Dalam penelitian ini peneliti

menggunakan pendekatan cross sectional.

C. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya bahwa

masalah TBC paru merupakan masalah nasional maka masalah penelitian

(29)

1. Apakah ada hubungan antara faktor predisposisi (tingkat pendidikan,

pengetahuan tentang penyakit Tb paru, sikap penderita, efek samping

obat) dengan kepatuhan berobat pasien tuberculosis paru di klinik JRC

Kebayoran Lama Utara?

2. Apakah ada hubungan antara faktor pemungkin (jarak Klinik JRC dari

tempat tinggal, sarana transportasi, biaya transportasi) dengan

kepatuhan berobat pasien Tb paru di klinik JRC kebayoran Lama

Utara?

3. Apakah ada hubungan antara faktor penguat (peran PMO, peran

keluarga, sikap petugas, penyuluhan) dengan kepatuhan berobat pasien

Tb paru di klinik JRC kebayoran Lama Utara ?

D. Tujuan Penelitian

 Tujuan Umum

Mengetahui faktor−faktor yang berhubungan dengan kepatuhan

berobat pasien TBC paru di Klinik JRC/PPTI Kebayoran Lama, tahun

2009.

 Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah :

a. Mengidentifikasi gambaran faktor predisposisi (tingkat

pendidikan, pengetahuan tentang penyakit TB paru, sikap

penderita, efek samping obat) di Klinik JRC/PPTI Kebayoran

(30)

b. Mengidentifikasi gambaran faktor enabling (pemungkin) yaitu

jarak Klinik JRC dari tempat tinggal, sarana transportasi, biaya

transportasi, di Klinik JRC/PPTI Kebayoran Lama.

c. Mengidentifikasi gambaran faktor reinforcing

(penguat/pendorong) yaitu peran PMO, peran keluarga, sikap

petugas, penyuluhan di Klinik JRC/PPTI kebayoran Lama.

d. Mengidentifikasi hubungan antara faktor predisposisi (tingkat

pendidikan, pengetahuan tentang TB paru, keluhan efek samping

obat) dengan kepatuhan berobat pasien tuberculosis paru di klinik

JRC Kebayoran Lama.

e. Mengidentifikasi hubungan antara faktor pemungkin (jarak dari

tempat nnnktinggal ke JRC, sarana transportasi, biaya transportasi)

dengan kepatuhan berobat pasien TB paru di klinik JRC

kebayoran Lama.

f. Mengidentifikasi hubungan antara faktor penguat (peran PMO,

peran keluarga, sikap petugas, penyuluhan) dengan kepatuhan

berobat pasien TB paru di klinik JRC kebayoran Lama.

E. Manfaat Penelitian

1. Bagi Klinik JRC PPTI

Sebagai tambahan informasi mengenai tingkat kepatuhan berobat

pasien TBC, sehingga dapat dilakukan evaluasi penyebab

ketidakpatuhan.

(31)

Sebagai tambahan dan referensi untuk penelitian khususnya dalam

pengobatan TBC.

3. Bagi petugas kesehatan

Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan untuk meningkatkan

penanggulangan dan kepatuhan berobat pasien TBC.

4. Bagi penulis penelitian sebagai pengalaman pertama dalam penelitian

dan dapat digunakan sebagai refensi untuk penelitian selanjutnya.

F. Ruang Lingkup

Penelitian ini dilakukan di kliniK JRC/ PPTI Jl. Sultan Iskandar

Muda no. 66A, Kebayoran Lama Utara, Jakarta Selatan, terhadap

penderita TBC paru BTA positif yang telah mengikuti program

pengobatan jangka pendek dan minum obat secara teratur selama 2 bulan.

Penelitian ini diarahkan pada dimensi perilaku masalah dalam

upaya kesehatan khususnya pemberantasan penyakit TB paru yang

diketahui dapat dipengaruhi oleh hambatan faktor−faktor non medik.

Penelitian ini dibatasi hanya tentang aspek perilaku kesehatan terutama

perilaku kepatuhan berobat dan faktor−faktor yang mempengaruhinya.

Penelitian ini hanya membahas tentang faktor predisposisi (tingkat

pendidikan, pengetahuan, sikap penderita, efek samping obat), faktor

pemungkin (jarak ke pelayanan kesehatan, sarana transportasi, biaya

(32)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tuberkulosis Paru 1. Definisi

TBC atau TB adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh

bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini merupakan bakteri basil yang sangat kuat sehingga memerlukan waktu lama untuk

mengobatinya. Bakteri ini lebih sering menginfeksi organ paru-paru

dibandingkan bagian lain tubuh manusia(Price, 2006).

2. Etiologi

Penyebab penyakit TBC adalah bakteri Mycobacterium tuberculosis dan Mycobacterium bovis. Kuman tersebut mempunyai

ukuran 0,5 mikron x 0,3−0,6 mikron dengan bentuk batang tipis, lurus

atau agak bengkok, bergranular atau tidak mempunyai selubung, tetapi

mempunyai lapisan luar tebal yang terdiri dari lipoid (terutama asam

mikolat) (Widoyono, 2008).

Bakteri ini dapat bertahan terhadap pencucian warna dengan asam

alkohol, sehingga sering disebut basil tahan asam (BTA), serta tahan

terhadap zat kimia dan fisik. Kuman TBC juga tahan dalam keadaan

(33)

3. Cara Penularan dan Pencegahan Tuberkulosis Paru a. Cara Penularan

Penyakit TB biasanya menular melalui udara yang tercemar

dengan bakteri Mycobakterium Tuberculosa yang dilepaskan pada

saat penderita TB batuk. Bakteri ini bila sering masuk dan terkumpul

di dalam paruparu akan berkembang biak menjadi banyak terutama

pada orang−orang dengan daya tahan tubuh yang lemah dan dapat

menyebar melalui pembuluh darah dan kelenjar getah bening.

Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif khususnya TB

paru (Depkes RI, 2005).

Cara penularan (transmisi) TB dapat: 1) Bersifat langsung melalui

droplet (percikan dahak) dalam jarak dekat ketika batuk/bersin, 2)

Airborne (melalui udara) ketika droplet yang mengandung kuman di udara terhirup ke saluran napas. Droplet yang mengandung kuman

tersebut dapat bertahan di udara bersuhu kamar selama beberapa jam

(Depkes RI, 2008).

b. Pencegahan Tuberkulosis Paru

Menurut Misnadiarly (2006), mencegah penularan TBC

adalah dengan menjalankan pola hidup sehat, yaitu : 1) Menutup

mulut waktu batuk dan bersin, 2) Tidak meludah di sembarang

tempat, 3) Ventilasi rumah yang baik agar udara dan sinar matahari

masuk dalam ruangan. Tidur dan istirahat yang cukup, 4) Tidak

merokok dan minum minuman beralkohol, 5) Berolah raga teratur,

(34)

4. Patofisiologi Tuberkulosis

Sebagian besar orang yang telah terinfeksi (80−90%) belum

menjadi sakit. Untuk sementara kuman yang ada dalam tubuh mereka

tersebut bisa berada dalam keadaan dormant (tidur) dan keberadaan

kuman dormant tersebut dapat diketahui hanya dengan tes tuberculin.

Mereka yang menjadi sakit disebut penderita TB, biasanya waktu

paling cepat sekitar 3−6 bulan setelah terjadi infeksi. Mereka yang

tidak menjadi sakit tetap mempunyai risiko untuk menjadi penderita

TB sepanjang sisa hidup mereka (Depkes RI, 1996, Sujudi 1996,

Asnawi 2002).

5. Riwayat Terjadinya Tuberkulosis a. Infeksi Primer

Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali

dengan kuman TBC. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya,

sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus, dan

terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan menetap disana.

Infeksi dimulai saat kuman TBC berhasil berkembang biak dengan

cara pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan peradangan di

dalam paru. Saluran limfe akan membawa kuman TBC ke kelenjar

limfe di sekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer.

Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks

primer adalah sekitar 4−6 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan

(35)

Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari

banyaknya kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan

tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh

tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TBC. Meskipun

demikian, ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman

persisten atau dormant. Kadang−kadang daya tahan tubuh tidak

mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam

beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi penderita TBC.

Masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai

menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan.

b. Tuberkulosis Pasca Primer

TBC pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan

atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh

menurun.

6. Komplikasi Penderita TBC

Komplikasi berikut sering terjadi pada penderita stadium lanjut :

a. Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau

tersumbatnya jalan napas.

b. Kolaps dari lobus akibat retraksi bronchial.

c. Bronkiektasis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis

(pembentukan jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif)

(36)

d. Pneumotorak (adanya udara didalam rongga pleura) spontan: kolaps

spontan karena kerusakan jaringan paru.

e. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang persendian,

ginjal, dan sebagainya.

Penderita TBC paru dengan kerusakan jaringan luas yang

telah sembuh (BTA negatif) masih bisa mengalami batuk darah.

Keadaan ini sering kali dikelirukan kasus kambuh. Pada kasus

seperti ini pengobatan dengan OAT tidak diperlukan, tapi cukup

diberikan pengobatan simptomatis. Bila perdarahan berat, penderita

harus dirujuk ke unit spesialistik (Depkes RI, 2008).

7. Gejala Klinis TBC Paru

Gejala utama pasien TBC paru adalah batuk berdahak selama 2−3

minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu

dahak bercampur darah, batuk darah, sesak napas, badan lemas, nafsu

makan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik,

demam, meriang lebih dari satu bulan (Depkes RI,2007). Berat badan

menurun, kurang enak badan (Misnadiarly, 2006).

8. Diagnosa TBC Paru

a. Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam 2 hari, yaitu

sewaktu− pagi−sewaktu (SPS).

b. Diagnosis TB paru pada orang dewasa ditegakkan dengan

ditemukan kuman TB (BTA). Pada program TB nasional,

penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopik

(37)

biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang

diagnosis sesuai dengan indikasinya.

c. Tidak benar jika diagnosis hanya ditegakan berdasarkan

pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan

gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi over

diagnosis.

d. Gambaran kelainan radiologi paru tidak selalu menunjukkan

aktivitas penyakit (Depkes RI, 2008).

9. Klasifikasi Pasien TBC a. TBC Paru BTA positif.

1) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA

positif.

2) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada

menunjukkan gambaran TBC.

3) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman

TB positif.

4) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen

dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif

dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

b. TBC Paru BTA negatif

Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:

1) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif

2) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.

(38)

4) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi

pengobatan.

10. Prinsip Pengobatan Tuberkulosis

a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat,

dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori

pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi).

Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih

menguntungkan dan sangat dianjurkan.

b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan

pengawasan langsung DOT oleh seorang PMO (Depkes RI, 2008).

11. Tahap Pengobatan Tuberkulosis a. Tahap awal (intensif)

1) Pada tahap awal (intensif) pasien mendapat obat setiap hari dan

perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya

resistensi obat.

2) Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,

biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun

waktu 2 minggu.

3) Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif

(konversi) dalam 2 bulan.

b. Tahap Lanjutan

1) Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit,

(39)

2) Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister

sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

12. Perjalanan Alamiah TBC yang Tidak Diobati

Tanpa pengobatan, setelah 5 tahun, 50% dari penderita TBC

akan meninggal, 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh

tinggi, dan 25% sebagai kasus kronik yang tetap menular (WHO,

1996, Depkes RI, 2005).

13. Pengobatan Tuberkulosis Paru

Obat TBC diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa

jenis, dalam jumlah cukup, dan dosis tepat selama 6−8 bulan, supaya

semua kuman (termasuk kuman persister) dapat dibunuh. Dosis tahap

intensif dan dosis tahap lanjutan ditelan sebagai dosis tunggal,

sebaiknya pada saat perut kosong (Depkes RI, 2008).

a. Paduan OAT dan Tata Laksana Pengobatan Tabel 2.1

Jenis, Sifat, dan Dosis OAT

Jenis OAT Sifat

Dosis yang direkomendasikan (mg/kg)

Harian 3xseminggu

Isoniazid (H) Bakterisid 5

(4−6) (8−12)10

Rifampicin (R) Bakterisid 10

(8−12) (8−12)10

Pyrazinamide (Z) Bakterisid 25

(20−30) (30−40)35

Streptomycin (S) Bakterisid 15

(12−18) (12−18)15

Ethambutol (E) Bakteriostatik 15

(40)

b. Efek Samping

Tabel 2.2

Efek samping ringan OAT

Efek samping Penyebab Penatalaksanaan

Tidak ada nafsu makan, mual, sakit perut

Rifampicin Semua OAT diminum malam sebelum tidur

Nyeri sendi Pirazinamid Beri aspirin

Kesemutan sampai rasa terbakar dikaki

INH Beri vitamin B6 (pirydxn) 100 mg per hari Warna kemerahan pada

air seni (urin)

Rifampicin Tidak perlu diberi apa−apa, tapi perlu penjelasan kepada pasien Sumber : Depkes RI, 2008

Tabel 2.3

Efek samping berat OAT

Efek samping Penyebab Penatalaksanaan

Tuli Semua jenis OAT Ikuti petunjuk penatalaksaan Gangguan

keseimbangan

Streptomycin Streptomycin dihentikan ganti dengan etambutot Ikterus tanpa

penyebab lain

Hampir semua OAT

Hentikan semua OAT sampai ikterus menghilang Bingung dan

muntah−muntah

Hampir semua OAT

Hentikan semua OAT, segera lakukan tes fungsi hati Gangguan

penglihatan

Etambutol Hentikan etambutol

Purpura dan renjatan (syok)

Rifampicin Hentikan rifampicin

Sumber : Depkes RI

B. Keadaan dan Masalah Tuberkulosis Paru Saat Ini

Menurut Depkes RI tahun 2007, munculnya pandemi HIV/AIDS di

dunia menambah permasalahan TB. Koinfeksi dengan HIV akan

meningkatkan risiko kejadian TB secara signifikan. Pada saat yang sama,

kekebalan ganda kuman TB terhadap obat anti TB multidrug resistence

(41)

disembuhkan. Keadaan tersebut pada akhirnya akan menyebabkan

terjadinya epidemi TB yang sulit ditangani.

Selain MDR TBC yang telah terjadi selama ini, ternyata kita juga

mulai dihadapkan pada keadaan yang disebut extensively drug−resistent

(XDR) TBC. XDR TBC disebabkan oleh strain Mycobacterium tuberculosis yang resisten terhadap isoniazid dan rifampicin (MDR TBC)

ditambah dengan fluorokuinolon dan sekurang−kurangnya salah satu obat:

kapreomicin, kanamisin, dan amikasin. TBC XDR juga merupakan

masalah akibat pengobatan pasien dengan HIV karena sebagian besar

pasien HIV diduga menderita TBC juga (Prasenohadi, 2008).

C. Program Pemberantasan Tuberkulosis Paru di Indonesia

Penanggulangan TBC Indonesia sudah berlangsung sejak zaman

penjajahan Belanda namun terbatas pada kelompok tertentu. Setelah

perang kemerdekaan, TB ditanggulangi melalui Balai Pengobatan Penyakit

Paru (BP−4). Sejak tahun 1969 penanggulangan dilakukan secara nasional

melalui Puskesmas. Obat anti TBC (OAT) yang digunakan adalah panduan

standar INH, Para Amino Acid (PAS), dan Streptomycin selama satu

sampai dua tahun. PAS kemudian diganti dengan pirazinamid. Sejak 1977 mulai digunakan panduan OAT jangka pendek yang terdiri dari INH,

Rifampicin, dan Ethambutol selama 6 bulan.

Sejak tahun 1995, program nasional penanggulangan TB mulai

melaksanakan strategi DOTS dan menerapkannya pada Puskesmas secara

(42)

dan melaksanakan strategi DOTS yang diintegrasikan dalam pelayanan

kesehatan dasar (Depkes RI, 2007).

D. Konsep Perilaku dan Perilaku Kepatuhan Berobat Tuberkulosis Paru 1. Konsep Perilaku

Menurut Suryani (2003) yang dikutip dari Machfoedz (2007),

perilaku adalah aksi dari individu terhadap reaksi dari hubungan dengan

lingkungannya. Menurut Skinner (1938) dalam Notoatmodjo (2003)

dikutip dari Machfoed (2007), menegaskan bahwa perilaku itu

merupakan respons atau reaksi orang terhadap rangsangan atau stimulus

dari luar. Menurut Fishben dan Ajzen (1975), perilaku seseorang

ditentukan oleh niatnya untuk melakukan perilaku itu, dan niat itu

sendiri ditentukan oleh sikap seseorang yaitu perasaan suka atau tidak

suka seseorang terhadap suatu objek atau benda, tindakan atau

peristiwa. Sikap seseorang juga ditentukan oleh kepercayaan terhadap

hasil dari melakukan perilaku itu (Asnawi, 2002).

Notoatmodjo (2007), menyimpulkan bahwa perilaku kesehatan

adalah suatu respons organism (seseorang) terhadap stimulus atau objek

yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan,

makanan, dan minuman, serta lingkungan.

Green (1980) dalam Notoatmodjo (2007), menyatakan bahwa

kesehatan seseorang dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yakni faktor

(43)

causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari

3 faktor.

a. Faktor−faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai−nilai, dan

sebagainya.

b. Faktor−faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam

lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas−fasilitas

atau sarana–sarana kesehatan.

c. Faktor – faktor pendorong (reinforcing factors) yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain yang

merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.

2. Konsep perilaku kepatuhan.

Sackett (1976) dikutip dari Niven, (2000), kepatuhan adalah

sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan

oleh profesional kesehatan.

Safarino (1990) seperti dikutip dalam Smet (1994)

mendefinisikan „kepatuhan‟ (atau „ketaatan‟) (compliance atau

adherence) sebagai : “Tingkat pasien melaksanakan cara pengobatan

dan perilaku yang disarankan oleh dokternya atau oleh yang lain”.

Menurut Haynes (1979) dalam Murtiwi (2005) compliance (kepatuhan) dapat didefinisikan secara sederhana sebagai perluasan perilaku

individu yang berhubungan dengan minum obat, mengikuti diet dan

(44)

La Greca & Stone (1985) dalam Smet (1994), menyatakan

bahwa mentaati rekomendasi pengobatan yang dianjurkan dokter

merupakan masalah yang sangat penting. Tingkat ketidaktaatan terbukti

cukup tinggi dalam seluruh populasi medis yang kronis. Safarino

(1990) mengatakan bahwa tingkat ketaatan keseluruhan adalah 60%.

3. Kepatuhan Penderita TBC terhadap pengobatan

Kepatuhan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi

kesembuhan disamping faktor individu, komunitas, strategi pengobatan,

infeksi HIV, dan keadaan khusus merokok, alkohol, tunawisma

(Masniari, 2007).

Perilaku kepatuhan berobat TBC paru merupakan perilaku

promosi kesehatan individu. Perubahan perilaku seseorang dipengaruhi

oleh pengetahuan tentang TBC paru, sikap individu terhadap TBC paru,

persepsi manfaat dan hambatan terhadap pengobatan TBC paru,

persepsi self−efficacy atau kemampuan individu untuk menentukan dirinya sendiri, termasuk berobat atas kemauan sendiri dan tetap

melanjutkan pengobatan walau ada keluhan merasa mual atau pusing

akibat pengobatan merupakan penguat untuk tetap patuh minum obat

TBC paru (Fleschhacker, 2003; Gielen, 1997; Pender, 2002; Murtiwi,

2005).

Menurut Becker & Kyngas (2000) dalam Murtiwi (2005),

kepatuhan dalam pengobatan TBC paru merupakan perilaku peran sakit

(45)

aturan pengobatan (medical regimen) bagi pasien TBC paru sangat

penting untuk mencapai kesembuhan yang optimal, sehingga penularan

kepada masyarakat dapat dihindari. Sedangkan kepatuhan dalam

pengobatan TBC menurut Ditjen P2M−PL tahun 2001 adalah

keteraturan pasien TBC dalam mengikuti tata cara tahapan proses

pengobatan. Tata cara tahapan proses pengobatan didasarkan aturan

(regimen) pengobatan yang ditetapkan dalam buku petunjuk

pengobatan ke dalam kategori patuh dan tidak patuh (Murtiwi, 2005).

Ketidakpatuhan berobat mengakibatkan penderita TB dapat

kambuh dengan kuman yang resisten terhadap OAT, sehingga menjadi

sumber penularan kuman resisten dan gagal pengobatan. Hal itu

mengakibatkan pengobatan ulang TB lebih sulit, waktu pengobatan

lebih lama dan dana yang dikeluarkan lebih besar. Kepatuhan penderita

TB untuk berobat teratur sulit diprediksi dan dipertahankan dengan

bertambahnya waktu (Amril, 2003).

4. Faktor−Faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Berobat a. Tingkat pendidikan

Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku

seseorang atau kelompok orang dalam usaha pengajaran dan latihan

(KBBI, 1988). Sedangkan menurut Asnawi (2002) tingkat

pendidikan merupakan jenjang pendidikan formal terakhir yang

pernah diikuti seseorang sampai didiagnosis TB paru (Asnawi,

2002). Pendidikan merupakan faktor yang berhubungan erat dengan

(46)

tingkat pendidikannya semakin menyadari pentingnya hidup sehat.

Oleh karena itu seseorang yang berpendidikan akan lebih patuh

berobat secara teratur dibandingkan orang yang berpendidikan

rendah. Orang yang berpendidikan rendah tidak akan menyadari

dampak dari penyakit sehingga cenderung untuk mengabaikan

kepatuhan (Daud, 2001).

Zubair (1980) dalam Daud (2001) mengatakan bahwa

rendahnya pendidikan dari sebagian besar pasien menyebabkan

kurangnya pengertian pasien terhadap penyakit berbahaya,

berkurang atau hilangnya gejala penyakit sudah merupakan ukuran

kesembuhan bagi pasien. Oleh karena itu kesamaan persepsi,

pengulangan dan penekanan pada pasien yang dianggap penting

untuk diketahui pasien perlu mendapat perhatian, agar tercapai

tujuan yang optimal.

b. Pengetahuan

Menurut Kurnia (2002) dalam Purwanto (2007) pengetahuan

adalah suatu ilmu tentang suatu bidang yang disusun secara

bersistem menurut metode−metode tertentu yang dapat digunakan

untuk menerangkan gejala−gejala tertentu dibidang pengetahuan itu.

Menurut Notoatmodjo (2007), pengetahuan merupakan hasil

dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan

terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca

(47)

rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh

melalui mata dan telinga.

Basar N (1989) dalam Misnadiarly (1994), menyimpulkan

hal−hal yang mempengaruhi keteraturan berobat TB paru antara lain:

pengetahuan responden mengenai penyebab, cara penularan dan

gejala dini yang masih rendah.

Daud (2001), menyatakan pengetahuan penderita TB paru

erat kaitannya dengan kepatuhan berobat. Suliha (1991) dalam

Hamdi (2001) menyatakan bahwa pengetahuan berpengaruh

terhadap perilaku kepatuhan datang berobat, sikap jawaban setuju

mengambil obat ke sarana pelayanan kesehatan sesuai ketentuan,

cenderung penderita tidak pernah berobat. Sedangkan menurut

Niven (2007), mengatakan bahwa seseorang dapat tidak mematuhi

suatu instruksi karena kesalahpahamannya terhadap instruksi yang

diberikan.

Aditama (2000), mengatakan bahwa pengetahuan penderita

tentang penyakit TB paru masih kurang memadai. Masih cukup

banyak penderita menjawab penyakit TB paru disebabkan pikiran

dan turunan, juga ada yang menyatakan bahwa penyakit ini menular

melalui makanan dan minuman.

Pengetahuan tentang TBC paru dapat menimbulkan persepsi

ancaman sakit TBC paru, sehingga individu akan melakukan

(48)

pengobatan (Fleischhacker, 2003, Gielen 1997, Pender, 2002,

Murtiwi, 2005).

c. Efek Samping

Efek samping adalah keluhan yang dirasakan penderita akibat

efek samping obat anti TB dan atau keluhan tersebut telah ada

sebelum menjalani pengobatan dan bertambah berat selama

menjalani pengobatan (Asnawi, 2002). Sedangkan menurut Hinchliff

efek samping adalah setiap perubahan fisiologi yang tidak

dikehendaki sebagai akibat dari penggunaan obat. Istilah efek

samping juga meliputi berbagai reaksi obat yang tidak dikehendaki.

Safarino (1990) dalam Asnawi (2002), mengatakan

ketidakpatuhan dalam menelan obat dapat menurunkan efek samping

obat, ini dapat diartikan ketidakpatuhan dalam menelan obat bisa

berawal dari adanya efek samping obat yang dirasakan. Sementara

PPTI (1995) dalam Asnawi (2002), menyebutkan tingginya dosis

pemakaian obat menyebabkan penderita TB paru berkurang atau

hilang kepatuhannya, karena efek samping yang ditimbulkannya.

Menurut WHO (2000) Hamdi (2001), efek samping akibat

pengobatan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi

kepatuhan selain kompleksitas regimen pengobatan, durasi

pengobatan, kegagalan pengobatan sebelumnya, toksisitas, dan

sebagainya. Sebagian besar penderita dapat menyelesaikan

pengobatan tanpa efek samping. Namun sebagian kecil dapat

(49)

efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan.

Pemantauan ini dapat dilakukan dengan cara menjelaskan kepada

penderita tanda−tanda efek samping pada waktu penderita

mengambil OAT.

Rasyid (1992) dalam Asnawi (2002), menyatakan bahwa

pemakaian obat anti TB yang berbulan−bulan dapat menimbulkan

efek samping obat. Hal yang sama dikemukakan oleh Nawas (1992)

yang mengatakan bahwa efek samping obat dapat saja terjadi pada

setiap penderita dan penanganannya tergantung pada efek yang

ditimbulkan, dapat berhenti berobat, dapat terus minum obat dengan

pemberian obat simptomatik (Asnawi, 2002).

d. Sikap

Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus

atau objek tertentu yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi

yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju,

baik-tidak baik, dan sebagainya) (Notoatmodjo, 2005, Susanti, 2008).

Sikap adalah pandangan seseorang tentang suatu hal atau

obyek yang sebelumnya tidak didapat informasikan. Sikap seseorang

menggambarkan suka atau tidak suka seseorang mengenai obyek

yang sering diperoleh dari pengalaman sendiri atau orang lain

(Sutisna, 1993, Purwanto, 2002). Sedangkan menurut Notoatmodjo

(2007), sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup

(50)

Suliha (1990) dalam Marzuki (2002), menyatakan bahwa

penderita yang sikapnya negatif terhadap pengobatan TB paru akan

tidak patuh berobat sesuai dengan lama masa pengobatan. Terjadinya

sikap positif dan negatif terhadap kepatuhan berobat kemungkinan

dipengaruhi oleh faktor lain seperti umur, pendidikan, jenis kelamin,

pekerjaan, jarak transportasi, ketersediaan obat, waktu dan dukungan

keluarga.

e. Jarak

Jarak adalah angka yang menunjukkan seberapa jauh suatu

benda dengan benda lainnya melalui suatu lintasan tertentu.

Nadjib.M (1999) dalam Asnawi (2002), mengatakan jarak

dari tempat tinggal ke fasilitas pelayanan kesehatan juga merupakan

faktor penentu lain untuk aksesibilitas pelayanan kesehatan. Dalam

penelitiannya di Jawa Tengah, akses ke pelayanan kesehatan hanya

dijangkau penduduk yang bertempat tinggal kurang dari 3 km,

sedangkan penduduk yang tinggal jauh tidak dapat memanfaatkan

pelayanan yang ada.

f. Sarana Transportasi

Sarana menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988)

adalah segala sesuatu dapat dipakai sebagai alat dalam mencapai

maksud dan tujuan. Sedangkan transportasi merupakan

pengangkutan barang oleh berbagai jenis kendaraan sesuai dengan

(51)

segala jenis kendaraan yang digunakan sebagai alat dalam mencapai

maksud dan tujuan.

Menurut Sarwono (1993) dalam Marzuki (2000)

menyebutkan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi

pencapaian kesehatan individu/masyarakat adalah faktor

keterjangkauan sarana pelayanan kesehatan. Disini dinyatakan

bahwa sarana transportasi bukan merupakan faktor penghambat

dalam kepatuhan berobat TB paru.

g. Biaya Transportasi

Menurut Jajal (2000) dalam Asnawi (2002), salah satu faktor

yang berhubungan dengan kepatuhan berobat TB paru adalah biaya

transportasi. Keterjangkauan biaya adalah persepsi penderita

terhadap mahal atau murahnya biaya yang dikeluarkan untuk

transportasi dari rumah penderita ke pelayanan kesehatan (Oesman,

2000).

h. Peran PMO

PMO adalah orang pertama yang selalu berhubungan dengan

pasien sehubungan pengobatannya. PMO yang mengingatkan untuk

minum obat, mengawasi sewaktu menelan obat, membawa pasien ke

dokter untuk control berkala, dan menolong pada saat ada efek

samping (Depkes RI, 2005, Murtiwi, 2005).

Sesuai dengan strategi DOTS, setiap pasien yang baru

ditemukan dan mendapatkan pengobatan harus diawasi menelan

(52)

kekebalan obat atau resistensi. Sebelum pengobatan pertama kali

dimulai, pasien dan PMO harus diberi penyuluhan secara singkat

tentang perlunya pengawasan menelan obat setiap hari. Penyuluhan

tersebut meliputi gejala−gejala TBC, tanda−tanda efek samping

obat, dan mengetahui cara mengatasi bila ada efek samping, cara

merujuknya, kegunaan pemeriksaan sputum ulang, serta cara

memberi penyuluhan TBC (WHO, 1998, Murtiwi, 2005).

Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT

jangka pendek dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin

kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung

(DOT) oleh seorang PMO yang sebaiknnya datang dari masyarakat,

bukan kalangan kesehatan yang jumlahnya terbatas (Aditama, 2000).

PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK,

atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga (Depkes RI,

2006).

Persyaratan PMO: 1) seseorang yang dikenal, dipercaya, dan

disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun penderita, selain itu

harus disegani dan dihormati oleh penderita. 2) seseorang yang

tinggal dekat dengan penderita. 3) bersedia membantu penderita

dengan sukarela. 4) bersedia untuk dilatih dan atau mendapat

penyuluhan bersama−sama dengan penderita (Depkes RI, 2005).

Tugas seorang PMO: 1) Mengawasi penderita TBC agar

menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan. 2) Memberi

(53)

Mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak pada waktu yang

telah ditentukan. 4) Memberi penyuluhan kepada anggota keluarga

penderita TBC yang mempunyai gejala−gejala tersangka TBC untuk

segera memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan (Depkes RI,

2005).

Penilaian sikap PMO oleh penderita sangat dipengaruhi oleh

status PMO itu berasal dari keluarganya atau PMO itu seorang

petugas kesehatan Puskesmas. PMO yang berasal dari keluarganya

sendiri lebih banyak mempunyai waktu untuk memantau/mengawasi

penderita pada saat minum obat, sedangkan PMO petugas lebih

sering tidak mengawasi penderita minum obat (Iriyanto, 2001).

i. Peran Keluarga

Niven (2000), mengatakan bahwa keluarga dapat menjadi

faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan

nilai kesehatan individu serta dapat juga menentukan program

pengobatan yang dapat mereka terima. Sedangkan Bambang T.

(1990) dalam Misnadiarly (1994), mengemukakan bahwa keluarga

dapat merupakan faktor pendukung atau penghambat untuk penderita

teratur berobat sampai sembuh (Daud, 2001).

Penilaian sikap keluarga oleh penderita merupakan faktor

penguat untuk tetap berperilaku patuh dalam menjalankan

pengobatan, dimana sikap keluarga merupakan motivasi untuk

(54)

mendukung perilaku kepatuhan berobat penderita demi kesembuhan

penyakitnya (Iriyanto, 2001).

E. Kerangka Teoritis

Bagan 2.1

Teori Perilaku L.Green (1980) dalam Asnawi (2002)

Pada teori model Green (1980), dapat dilihat timbulnya perilaku individu

disebabkan oleh tiga faktor. Ketiga faktor tersebut dikelompokkan dalam :

faktor predisposisi, faktor pemungkin, faktor penguat.

Faktor predisposisi merupakan faktor antesenden terhadap perilaku yang menjadi dasar atau motivasi bagi perilaku. Yang termasuk ke dalam

Faktor pemungkin :

 Ketersediaan sumber daya kesehatan

 Prioritas & komitmen masyarakat/ pemerintah terhadap kesehatan

 Keterampilan yang

berkaitan dengan

(55)

faktor ini adalah pengetahuan, sikap, keyakinan, dan nilai. Faktor

pemungkin adalah faktor anteseden terhadap perilaku yang memungkinkan suatu motivasi atau aspirasi terlaksana. Termasuk di dalamnya

keterampilan dan sumber daya pribadi di samping sumber daya komuniti.

yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya

fasilitas−fasilitas atau sarana–sarana kesehatan. Faktor penguat

merupakan faktor penyerta (yang datang sesudah) perilaku yang

memberikan ganjaran, insentif, atau hukuman perilaku dan berperan bagi

menetap atau lenyapnya perilaku itu. Yang termasuk faktor ini adalah

sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain yang merupakan

kelompok referensi dari perilaku masyarakat (Notoatmodjo, 2007).

(56)

BAB III

KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS, DEFINISI OPERASIONAL

A. Kerangka Konsep

Berdasarkan uraian pada bagian pendahuluan dan tinjauan pustaka

maka perilaku kepatuhan berobat penderita TB paru dapat dijelaskan

melalui pendekatan teori perilaku yang dikemukakan oleh Laurence W.

Green (1980, Notoatmodjo 2007).

B. Variabel Dependen

Kepatuhan berobat penderita Tuberkulosis paru di Klinik

JRC/PPTI Kebayoran Lama Utara, Jakarta Selatan Tahun 2009.

C. Variabel Independen

Variabel independen pada penelitian ini terdiri dari: faktor

predisposisi (tingkat pendidikan, pengetahuan tentang penyakit Tb paru,

sikap penderita, efek samping obat), faktor pemungkin (jarak klinik JRC

dari tempat tinggal, sarana transportasi, biaya transportasi), faktor

(57)

Variabel Independen Variabel Dependen

Bagan 3.1

Kerangka Konsep Penelitian

D. Hipotesis

1. Ada hubungan antara faktor predisposisi (tingkat pendidikan,

pengetahuan tentang TBC, sikap penderita, efek samping obat) dengan

kepatuhan berobat penderita tuberculosis paru di klinik JRC PPTI

Kebayoran Lama.

2. Ada hubungan antara faktor pendukung (jarak klinik JRC dari tempat

tinggal, ketersediaan alat transportasi, biaya transportasi) dengan

kepatuhan berobat penderita TBC paru di Klinik JRC PPT Kebayoran

lama.

Faktor Predisposisi:

 Tingkat pendidikan

 Pengetahuan

 Sikap penderita

 Efek samping obat

Faktor pendukung:

 Jarak klinik JRC dari tempat tinggal

 Sarana transportasi

 Biaya transportasi

Kepatuhan berobat penderita Tb paru

Faktor pendorong:

 Peran PMO

 Peran keluarga

(58)

3. Ada hubungan antara faktor pendorong (peran PMO, peran keluarga,

penyuluhan langsung perorangan) dengan kepatuhan berobat penderita

(59)

E. Definisi Operasional

N

o Variabel Definisi Alat ukur Cara ukur Hasil ukur Skala

(60)

yang pernah ditamatkan saat didiagnosis sebagai penderita TBC paru

No.5 1. Tinggi

tanda−tanda sakit dan penyebab.

0. Kurang baik (bila skor < 36)

1. Kendaraan tidak bermotor

0. Mahal (bila biaya

≥ Rp 5000) 1. Murah (bila biaya

< Rp 5000)

(61)

(Hamdi, 2001)

(62)

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan studi kuantitatif menggunakan rancangan

Cross Sectional dimana pengukuran variabel independen dan dependen

(kepatuhan berobat pasien TB paru) dilakukan secara bersama−sama pada

saat penelitian.

B. Lokasi dan waktu penelitian

Sebelum penelitian dilaksanakan dilakukan uji coba di Klinik PPTI

Baladewa, Jl. Baladewa no.34 Tanah Tinggi, Senen, Jakarta Pusat, pada

awal bulan Juli 2009 dengan jumlah sampel sebanyak 30 sampel.

Penelitian yang sebenarnya dilakukan di Klinik JRC/PPTI

Kebayoran Lama Jakarta Selatan pada bulan September-November 2009

dengan jumlah sampel sebanyak 128 orang.

C. Populasi dan Sampel 1. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari obyek atau

subyek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang

ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik

Gambar

Tabel 5.18Hubungan antara sikap pasien dengan
gambaran faktor
gambaran faktor
gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi over
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan berobat penderita TB paru pada Puskesmas Sentani bulan Agustus 2016.. Metode:

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kepatuhan berobat pada penderita TB di Rumah Sakit Paru Surabaya. Faktor yang

Margono Soekarjo Purwokero sedangkan Karakteristik pasien diantaranya jenis kelamin, umur, dan status pernikahan tidak berhubungan kepatuhan berobat pada penderita TB paru

Berdasarkan hasil analisis diperoleh koefisien korelasi parsial sebesar = -0,099 dengan p= 0,227 karena p &gt; 0,05; maka disimpulkan tidak ada pengaruh yang signifikan antara

Berdasarkan hasil analisis diperoleh koefisien korelasi parsial sebesar = -0,099 dengan p= 0,227 karena p &gt; 0,05; maka disimpulkan tidak ada pengaruh yang signifikan antara

Faktor yang berhubungan dengan putus berobat pada penderita TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Harapan Raya adalah umur, tidak ada PMO, dan kunjungan

penelitian Jojor tentang faktor yang mempengaruhi ketidakteraturan berobat penderita TB paru di Puskesmas Kota Binjai tahun 2004 menunjukkan bahwa pengetahuan, biaya,

vi ABSTRAK Katrin Dora Fransz ANALISIS FAKTOR EKOLOGIS YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEPATUHAN MINUM OBAT PASIEN TUBERKULOSIS PARU DI KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA NTT XVII + 137 Halaman +