commit to user
DISCLOSURE: STUDI EMPIRIS PERBANKAN INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat
untuk Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Akuntansi
Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta
Disusun oleh:
ARYANE DEWI
NIM. F0307001
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
“Maka nikmat Tuhan kamu manakah yang kamu dustakan?”
(QS Ar Rahman)
“Orang yang mudah tersenyum dalam menjalani hidup ini
bukan saja orang yang paling mampu membahagiakan diri sendiri;
tetapi juga orang yang mampu berbuat,
orang yang paling sanggup memikul tanggung jawab,
orang yang paling tangguh menghadapi kesulitan dan memecahkan
persoalan,
serta orang yang paling dapat menciptakan hal-hal yang bermanfaat
bagi dirinya sendiri dan orang lain”
(La Tahzan)
Perubahan yang kecil, tampak tak berarti berlangsung secara terus-menerus dan tanpa henti (Kaizen’s).
Hidup dan nasib, bisa tampak berantakan, misterius, fantastis, dan sporadis. Namun setiap elemennya adalah subsistem keteraturan dari sebuah desain holistic yang sempurna. Menerima kehidupan berarti menerima kenyataan bahwa tak ada hal sekecil apa pun yang terjadi karena kebetulan. Ini fakta penciptaan yang tak terbantahkan.
Diinterpretasikan dari pemikran agung Harun Yahya Dalam buku Sang Pemimpi-Andrea Hirata
commit to user
PERSEMBAHAN
I de dica t e t h is r e se a r ch for
”My Lovely Family”
Thank’s Allah to give me a lovable family
and moreover give me a chance’s to be a part of them
commit to user
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat,
karunia, segala nikmat, dan kekuatan, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Peran Corporate Governance dalam Financial Risk
Disclosure: Studi Empiris Perbankan Indonesia”, sebagai tugas akhir guna
memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar Sarjana Ekonomi Jurusan
Akuntansi Universitas Sebelas Maret.
Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan skripsi ini tidak terlepas
dari dorongan dan bantuan banyak pihak. Oleh karenanya, penulis dengan ini
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Bambang Sutopo, M.Com., Ak., selaku Dekan Fakultas Ekonomi
Universitas Sebelas Maret.
2. Drs. Jaka Winarna M.Si., Ak., selaku Ketua Jurusan Akuntansi Fakultas
Ekonomi Universitas Sebelas Maret.
3. Bapak Drs. Djoko Suhardjanto, M.Com (Hons), Ph.D, Ak. selaku
pembimbing skripsi atas semua kritik, saran, nasihat dan perhatianya yang
sangat membantu penulis untuk mencapai hasil yang terbaik.
4. Bapak-bapak dan ibu-ibu dosen, serta karyawan FE UNS, terimakasih atas
semua ilmu dan pengalaman hidup yang begitu berharga..
5. Keluargaku yang selalu memberikan dukungan, kepercayaan, dan doa-doa
yang selalu terpanjatkan tiada henti. Ibu, Abie dan Bapak yang begitu luar
commit to user
esty, sapta, windu.. ponakanku yang lucu2 (mz fallah, zahra dan najwa).
Nandi dan era, terima kasih untuk pelajaran hidup yang selalu membuat cc
bangga sama kalian, semoga kita sukses ya! Amin... J
Bunda-Ayah & keluarga Lampung, om Agung & keluarga. Ema & mbah
(alm.), mamang & bibi di Jipang.. “Keluarga ini sangat
menyayangi, membutuhkan dan membanggakanmu..”.
Itulah yang selalu membuatku merasa kuat untuk menjalani segalanya..
Dan..inilah salah satu wujud cinta yang ingin ryan persembahkan...
6. Kurniawan Dwi Priyanto, pendengar terbaik segala kesahku setelah Ibu
dan Abie. Pemberi nasihat yang tak pernah menghakimi ketika aku
bersalah. Terima kasih untuk semua hal yang pernah kita lalui bersama..
Tahun depan? Let’s see! Insyaallah..
7. Andin, Diana, & Eliza; kalian sahabat2q tersayang. Makasih udah
sabaaaaarr.. banget ngadepin aku. Makasih buat semua yang qta bagi
bersama. Tawa, tangis, senang, sedih..semuanya.. Maaf sering ngerepotin
dan bikin kalian sebel. Semangat skripsinya!! Ayo jalan lagi,hehe...
8. Temen2 yang udah kaya keluarga... Anna, Nonop, Hesty, Dinna&famz,
desta, lina, opie, Ae, dey&mama, isnaini, azizah, reza, keluarga Paskibra 1
Depok, keluarga teater langit, ka pay, ka tando-timur, ka andika, ka fajri,
kimah, agnes, lisa, de rijal, pendi, nana, wardi, bogel. Bara, mas andry,
sesil, sita, util, resty, nisa, mbok De, bang Eenk & mas haryok.
9. The Djs’s fans (Erna, Fira, Umi dan Mas Sawit), makasiiiihh... banget
commit to user
10.Keluarga besar AGEN 007 FE UNS (andin-ardian, diana, jemblink, endah,
adu, dee, sofi, tia, irma, cuiy, ici, nia, erna, fira, umi, ve, ifa, ira, fajrika,
irla, pu3, ratih, fat, mimin, murdiani, aniz, suci, dela, novi, dewilis, mba
sri, puspa, dewi indrias, silvy, nani, dewok, ana, meldhan, sari, neesya,
made ayu, rina, sanda, asmara, dina, miol, mb opi, ery, ajeng, mike,
aninda, eva, rini, ria, bimo, hafid, sepep, rija, yandi, basri, anang, ndok,
moyo, fitrah, angga, iwak, mek, timo, andri, tafik, adikur, ragil, dedi,
spirtuz, peka, tri, fariz, awang, herman, smuanya.. terima kasih untuk
persahabatan yg begitu besar, hahahaha.. ! thx for all..
11.Temen2 di BAPEMA (mz hevy, mb warih, boy, adhi, ega, deniz, agung,
arif, ciput, angga, nafis, dj, fa, nila, eva, ofa, nunu, intan, ojek, mz anip,
smuanya..) dan KEI FE UNS (retna, fia, mb maya, mb hesty, mb sinta, mz
angga, mz andy, lisa, semuanya...) maaf ga bisa disebutin satu persatu J 12.Keluarga besar kos salita & kos kinasih 2 (mb niken, mb aci, mb era-opa
mimi, mb pe, mb kendi, rahma, agnes, lita, ndi2, nyun2, mb winda, ela).
13.Teman2 yang baik banget, telah memberikan banyak bantuan (ramita,
icha-kecil, ujo, mb dora, mb reisya, mb choir, mb momon, mb lita, mz
feby, mz gilang, mz beta, mb rena, mz barjos, mz isnu, mz muklas, mz
anhan, mb hani, dion).
14.Pak man & pak pur, makasih buat doa2 dan perhatian bapak. Pak timin,
commit to user
15.Terima kasih, kepada diriku sendiri: Aryane Dewi yang hingga kini masih
terus berjuang untuk meraih yang terbaik. Berjuang dan belajarlah tentang
segala hal setiap saat, dimanapun-kapanpun! J
16.Masih banyak lagi orang-orang di sekitar yang memberi warna dalam
hidupku, yang kalo disebutkan satu per satu bisa menjadi sebuah buku
yang lebih tebal dari skripsi ini. Buat yang namanya belum disebutkan,
dengan segenap kerendahan hati izinkan sebuah kata mengalir tulus dari
lubuk terdalam: Terima kasih!
17.Dan terakhir, dengan tanpa menyurutkan arti ucapan terima kasih itu
sendiri, penulis mengucapkan terima kasih untuk...Anda! Anda yang
berinteraksi dengan penulis melalui tulisan ini. Terima kasih atas
kesediaan Anda membaca karya kecil ini.
Penulis menyadari bahwa karya ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu
kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak, penulis harapkan
demi perbaikan yang berkelanjutan.
Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak
yang membutuhkan di kemudian hari. Terima kasih.
Alhamdulillahirobbil’alamin.
Surakarta, Maret 2011
commit to user
1. Annual Report dan Disclosure (Pengungkapan) …...
2. Financial Risk Disclosure ………...…....
3. Corporate Governance ...
4. Dewan Komisaris .………...
5. Komite Audit ...
B. Kaitan Corporate Governance dan Financial Risk
Disclosure ...
C. Kerangka Pemikiran ...
D. Penelitian Terdahulu dan Pengembangan Hipotesis...
BAB III. METODE PENELITIAN ………...
A. Desain Penelitian...
B. Populasi, Sampel dan Teknik Sampel...
C. Data dan Metode Pengumpulan Data ...
D. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel ...
E. Teknik Analisis Data ...
BAB IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN ………...
A. Deskriptif Data...
1. Seleksi Sampel...
2. Statistik Deskriptif ...
B. Pengujian Hipotesis dan Pembahasan ...
commit to user
B. Saran ...
C. Keterbatasan ...
D. Rekomendasi ...
DAFTAR PUSTAKA ...
LAMPIRAN ...
76
77
77
commit to user
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
II.1
III.1
IV.1
IV.2
IV.3
IV.
Perbandingan Klasifikasi Risiko ...
Nilai Durbin-Watson ...
Jumlah Populasi dan Sampel Penelitian ...…...
Statistik Deskriptif Financial Risk Disclosure ...
Statistik Deskriptif Variabel Independen ...
Hasil Regresi Berganda ...
17
48
49
51
56
commit to user
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
commit to user
ii
PERAN CORPORATEGOVERNANCE DALAM FINANCIAL RISK
DISCLOSURE: STUDI EMPIRIS PERBANKAN INDONESIA
ABSTRAKSI
ARYANE DEWI
F0307001
Penelitian ini bertujuan untuk menguji peran corporate governance dalam financial risk disclosure pada perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun 2007-2009. Corporate governance direpresentasikan dengan ukuran dewan komisaris, jumlah rapat dewan komisaris, komposisi komisaris independen, komposisi komite audit independen dan jumlah rapat komite audit. Penelitian ini menggunakan leverage dan profitabilitas sebagai variabel kontrol.
Pengukuran tingkat financial risk disclosure dalam penelitian ini menggunakan teknik scoring sesuai penelitian Oorschot (2009) dengan menggunakan item-item yang terdapat dalam Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No.5/21/DPNP/2003. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 60 perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2007-2009. Sampel tersebut dipilih dengan menggunakan teknik purposive sampling.
Rerata tingkat financial risk disclosure sebesar 46,500%. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan perusahaan perbankan di Indonesia dalam mengungkapkan informasi mengenai financial risk ternyata masih rendah mengingat financial risk disclosure adalah salah satu pengungkapan wajib (mandatory disclosure) sesuai dengan PSAK No. 31 (revisi 2000), PBI Nomor: 5/8/PBI/2003, PSAK 50 (2006) dan P3LKEPPBANK (2008). Sesuai dengan tujuan penelitian, hasil pengujian regresi berganda menunjukkan bahwa corporate governance mempengaruhi tingkat financial risk disclosure. Variabel independen (corporate governance) yang mempengaruhi tingkat financial risk disclosure yaitu ukuran dewan komisaris (board size) dan jumlah rapat dewan komisaris. Peran penting dalam melaksanakan corporate governance berada pada dewan komisaris yang berfungsi sebagai pengawas aktifitas dan kinerja bank serta sebagai penasihat direksi dalam memastikan bahwa perusahaan melaksanakan corporate governance yang baik, termasuk financial risk disclosure (Komite Nasional Kebijakan Governance, 2006). Variabel lainnya yaitu komposisi komisaris independen, komposisi komite audit independen dan jumlah rapat komite audit tidak berpengaruh terhadap financial risk disclosure.
commit to user
iii
PERAN CORPORATEGOVERNANCE DALAM FINANCIAL RISK
DISCLOSURE: STUDI EMPIRIS PERBANKAN INDONESIA
ABSTRACT
ARYANE DEWI
F0307001
The purpose of this study is to examine the effect of corporate governance to financial risk disclosures of Indonesian banks. Corporate governance are identified as the board size, the number of board meetings, the proportion of independent commissioners, the proportion of independent audit committee members and number of audit committee meetings. This study also uses leverage and profitability as control variable.
The level of financial risk disclosure is measured based on identified items of Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No.5/21/DPNP/2003. Under purposive sampling, secondary data of 60 annual reports year 2007-2009 of banks in Indonesian Stock Exchange are selected.
The average level of financial risk disclosures is at 46.50%. This number indicates that Indonesian’s banks are not fully compliance to PSAK No. 31 (revised 2000), PBI Nomor: 5/8/PBI/2003, PSAK 50 (revised 2006) and P3LKEPPBANK (2008) since financial risk disclosures is as mandatory matters. In accordance to the purpose of the study, the result of multiple regression shows that corporate governance affects the level of financial risk disclosure through the variable board size and the number of board meetings. Important role in implementing corporate governance is at the board of commissioners who serve as supervisors of activities and performance of banks as well as advisory directors in ensuring that companies implement good corporate governance, including financial risk disclosures (Komite Nasional Kebijakan Governance, 2006). Other variables, the composition of independent commissioner, the composition of independent audit committee members and number of audit committee meetings are not good predictors for level of financial risk disclosures.
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
Bab pertama akan menjelaskan mengenai latar belakang dilakukannya
penelitian, rumusan masalah, tujuan, manfaat dan sistematika penulisan dari
penelitian ini.
A. Latar Belakang
Penelitian ini bertujuan untuk menguji peran corporate governance dalam
financial risk disclosure pada perbankan Indonesia. Corporate governance
direpresentasikan dengan ukuran dewan komisaris, jumlah rapat dewan komisaris,
komposisi komisaris independen, komposisi komite audit independen dan jumlah
rapat komite audit.
Pada tahun 2007, dunia dihadapkan pada krisis keuangan internasional
yang disebut dengan credit crisis (Oorschot, 2009). Krisis keuangan ini
disebabkan karena kegagalan kebijakan kredit yang dilakukan di Amerika Serikat
yang kemudian menjalar ke seluruh dunia. Dampaknya dirasakan oleh industri
perbankan sebagai salah satu penyedia jasa kredit yang ternyata memiliki risiko
besar yang mempengaruhi perekonomian, termasuk di Indonesia.
Risiko merupakan bagian yang tidak dapat dihindari dari setiap kegiatan
bisnis (Amran, Bin dan Hassan 2009). Menurut Peraturan Bank Indonesia (PBI)
Nomor: 5/8/PBI/2003 yang selanjutnya mengalami perubahan menjadi PBI
commit to user
peristiwa (events) tertentu. Dalam konteks perbankan, risiko merupakan suatu
kejadian potensial, baik yang dapat diperkirakan (anticipated) maupun yang tidak
dapat diperkirakan (unanticipated) yang berdampak negatif terhadap pendapatan
dan permodalan bank (Lampiran SE No.5/21/DPNP, 29 September 2003).
Diskusi tentang pengungkapan risiko (risk disclosure) dan tata kelola
perusahaan (corporate governance) terus meningkat sejak awal abad dua puluh
satu karena skandal perusahaan besar seperti Ahold, Enron dan Worldcom
(Oorschot, 2009). Situasi lingkungan eksternal dan internal perbankan yang
mengalami perkembangan pesat akan diikuti dengan semakin kompleksnya risiko
yang dihadapi. Untuk mengimbangi hal tersebut dibutuhkan praktik tata kelola
perusahaan (corporate governance) yang sehat dan fungsi identifikasi,
pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko bank yang baik.
Di Indonesia, kasus bank bermasalah karena praktik perbankan yang tidak
sehat yang mengesampingkan penerapan prinsip corporate governance telah
banyak terjadi (http://grundelanbankcentury.wordpress.com, 2010). Kasus kredit
macet yang menyebabkan likuidasi Bank Summa pada tahun 1992 menjadi salah
satu potret kelam industri perbankan di Indonesia. Kurangnya transparansi yang
dilakukan pihak manajemen bank kepada stakeholder, merupakan salah satu
penyebab utama maraknya kasus bank bermasalah yang terjadi di Indonesia.
Penyebab lainnya, yaitu tugas dan tanggung jawab dewan komisaris selaku
pengawas pelaksanaan corporate governance pada perbankan belum dilaksanakan
commit to user
penyebab yang serupa yaitu likuidasi 16 bank1 pada tahun 1997, skandal laporan
keuangan ganda Bank Lippo pada tahun 2002, kasus L/C (letter of credit) fiktif
Bank BNI tahun 2003, kasus pembekuan usaha Bank Global pada tahun 2004,
kasus Bank Century tahun 2008, dan masih banyak deretan kasus bank
bermasalah lainnya yang membuktikan kurangnya penerapan prinsip corporate
governance pada perbankan di Indonesia.
Bank merupakan lembaga yang dikenal sebagai risk taking entities
(Oorschot, 2009). Kegiatan usaha bank agar dapat menghasilkan profit selalu
dihadapkan pada pengambilan risiko yang besar, seperti dalam aktifitas
pendanaan, perkreditan dan treasuri. Pengungkapan risiko dalam laporan
keuangan menjadi penting karena dapat mengurangi asimetri informasi yang
menyebabkan kerugian bagi stakeholder, terutama investor dan penabung.
Bagaimanapun laporan keuangan dan pengungkapannya sangat penting dan
berarti bagi manajemen sebagai sarana untuk mengkomunikasikan tata kelola dan
kinerja perusahaan kepada stakeholder (Healy dan Palepu, 2001).
Meek, Roberts, dan Gray (1995) menyatakan bahwa informasi yang
diungkapkan dalam laporan tahunan dikelompokkan menjadi 2 (dua) jenis yaitu
pengungkapan wajib (mandatory disclosure) dan pengungkapan sukarela
(voluntary disclosure). Pengungkapan wajib merupakan pengungkapan informasi
yang diharuskan oleh peraturan yang berlaku. Pengungkapan sukarela merupakan
commit to user
pilihan bebas manajemen perusahaan untuk pembuatan keputusan oleh para
pengguna laporan tahunannya. Menurut Oorschot (2009), beberapa tahun lalu
pengungkapan risiko masih bersifat voluntary, khususnya yang berkaitan dengan
financial instrument. Di Indonesia, ketentuan mengenai persyaratan
pengungkapan risiko oleh perbankan secara eksplisit dapat ditemukan di PSAK
No. 31 (revisi 2000) tentang Akuntansi Perbankan yang secara efektif mulai
diterapkan tahun 2001. Dengan kata lain, pengungkapan risiko oleh perbankan di
Indonesia, bukan merupakan pengungkapan sukarela (voluntary disclosure), tetapi
sudah merupakan pengungkapan wajib (mandatory disclosure).
Ketentuan mengenai wajibnya pengungkapan risiko oleh perbankan di
Indonesia diperkuat dengan berlakunya PBI Nomor: 5/8/PBI/2003 yang telah
mengalami perubahan menjadi PBI Nomor: 11/25/PBI/2009, mewajibkan bank
untuk menerapkan dan mengungkapkan risiko yang dihadapi dalam menjalankan
usahanya. Pengungkapan tersebut mencakup delapan jenis risiko, yaitu: (a) risiko
kredit; (b) risiko pasar; (c) risiko likuiditas; (d) risiko operasional; (e) risiko
hukum; (f) risiko reputasi; (g) risiko strategik; dan (h) risiko kepatuhan.
Sejak tahun 2001 studi empiris mengenai disclosure dan hubungannya
dengan karakteristik spesifik perusahaan telah banyak dilakukan (Amran et al,
2009). Linsley, Shrives dan Crumpton (2006) mengungkapkan ada asosiasi positif
antara tingkat pengungkapan risiko dan bank size. Lebih spesifik, Helbok dan
Wagner (2006) meneliti luas pengungkapan risiko operasional dalam laporan
keuangan dari 59 bank komersial di Nord-America, Asia dan Eropa pada rentang
commit to user
keuangan dengan profitabilitas yang lebih rendah mengungkapkan penilaian dan
pengelolaan risiko operasional dengan lebih luas. Penelitian lainnya dilakukan
oleh Hossain (2008) yang dilakukan pada perbankan di India. Hasil dari penelitian
tersebut menunjukkan bahwa board compositions yang diukur dengan komposisi
komisaris independen secara signifikan berpengaruh positif terhadap tingkat
pengungkapan. Amran et al (2009) melakukan penelitian pada perusahaan publik
di Malaysia dan hasilnya menunjukkan adanya hubungan positif antara size dan
pengungkapan risiko. Selanjutnya, Oorschot (2009) melakukan penelitian
mengenai tingkat pengungkapan risiko pada perbankan di Jerman. Sedangkan di
Indonesia sendiri, penelitian terkait pengungkapan risiko finansial pada perbankan
belum pernah dilakukan.
Penelitian ini bertujuan untuk menguji peran corporate governance dalam
financial risk disclosure pada perbankan Indonesia. Corporate governance
direpresentasikan dengan ukuran dewan komisaris, jumlah rapat dewan komisaris,
komposisi komisaris independen, komposisi komite audit independen dan jumlah
rapat komite audit. Variabel tersebut dipilih karena merupakan elemen penting
dalam terlaksananya corporate governance yang baik.
Forum for Corporate Governance in Indonesia atau FCGI (2001)
menyatakan corporate governance bertujuan menciptakan nilai tambah bagi
semua pihak yang berkepentingan. Organization for Economic Corporation and
Development atau OECD (2004), menyebutkan prinsip dasar corporate
governance adalah kewajaran (fairness), akuntabilitas (accountability),
commit to user
dalam melaksanakan corporate governance berada pada dewan komisaris yang
berfungsi sebagai pengawas aktifitas dan kinerja bank serta sebagai penasihat
direksi dalam memastikan bahwa perusahaan melaksanakan corporate covernance
yang baik (Komite Nasional Kebijakan Governance, 2006). Nasution dan
Setiawan (2007) menyatakan bahwa ukuran dewan komisaris yang besar lebih
efektif jika dibandingkan dengan ukuran dewan komisaris yang kecil. Variabel
lain yang sering digunakan untuk menguji pengaruh corporate governace
terhadap disclosure compliance yaitu jumlah rapat dewan komisaris dan
komposisi komisaris independen. Rapat dewan komisaris merupakan media
komunikasi dan koordinasi diantara anggota dewan komisaris dalam menjalankan
tugasnya sebagai pengawas manajemen. Vafeas (2003) menyatakan bahwa jumlah
rapat yang diselenggarakan dewan komisaris akan meningkatkan kinerja
perusahaan dan pengungkapan. Keefektifan peran pengawasan oleh dewan
komisaris didukung oleh keberadaan komisaris independen dalam komposisi
dewan komisaris (Permatasari, 2009). Ettredge et al (2010) menunjukkan terdapat
pengaruh positif komposisi komisaris independen terhadap kepatuhan
pengungkapan wajib.
Menurut FCGI (2001), komponen lain yang mendukung terlaksananya
corporate governance yang baik, yaitu komite audit. Suhardjanto dan Permatasari
(2009) menyatakan bahwa komite audit merupakan komite yang dibentuk untuk
membantu tugas dan fungsi dewan komisaris. Komite audit dipandang sebagai
alat untuk menghindari kecurangan dalam pelaporan keuangan dan memonitoring
commit to user
diharapkan semakin meningkatkan kepatuhan terhadap financial risk disclosure.
Dalam melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab yang menyangkut sistem
pelaporan keuangan, komite audit perlu mengadakan rapat tiga sampai empat kali
dalam setahun (FCGI, 2001). Hasil penelitian Ettredge et al (2010) menunjukkan
bahwa semakin banyak rapat yang dilakukan oleh komite audit maka semakin
mendorong kepatuhan terhadap pengungkapan wajib
Penelitian ini penting dilakukan karena beberapa hal, pertama fokus
penelitian dilakukan pada perbankan yang merupakan perusahaan keuangan
(financial) yang highly regulated. Selain itu, penelitian mengenai peran corporate
governance dalam financial risk disclosure untuk perbankan di Indonesia belum
pernah dilakukan. Studi empiris diperlukan untuk membangun pendekatan dalam
mengukur kualitas dari pengungkapan risiko (Oorschot, 2009). Kedua, sejak
terjadinya krisis keuangan tahun 2007, perhatian terhadap pengungkapan risiko
sebagai bentuk pengawasan dan transparansi informasi dalam industri perbankan
mengalami peningkatan sehingga penelitian ini menjadi relevan untuk dilakukan
karena dapat memberikan kontribusi sebagai sound basis literature untuk
penelitian selanjutnya terkait dengan financial risk disclosure di Indonesia.
Berdasarkan uraian tersebut, maka judul penelitian2 ini adalah : “Peran Corporate
Governance dalam Financial Risk Disclosure: Studi Empiris Perbankan
Indonesia”.
2
commit to user B. Rumusan Masalah
Mengacu pada penelitian terdahulu, maka permasalahan yang ingin dikaji
dalam penelitian ini adalah apakah corporate governance yang direpresentasikan
dengan ukuran dewan komisaris, jumlah rapat dewan komisaris, komposisi
komisaris independen, komposisi komite audit independen dan jumlah rapat
komite audit berpengaruh terhadap tingkat financial risk disclosure?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menguji peran corporate governance yang
direpresentasikan dengan ukuran dewan komisaris, jumlah rapat dewan komisaris,
komposisi komisaris independen, komposisi komite audit independen dan jumlah
rapat komite audit dalam financial risk disclosure.
D. Manfaat Penelitian
a. Bagi akademisi, menjadi referensi bagi penelitian tentang manajemen
risiko, khususnya financial risk disclosure pada perbankan di Indonesia.
b. Bagi industri perbankan dan praktisinya, bermanfaat untuk memberikan
pengetahuan tentang praktik manajemen risiko, khususnya financial risk
disclosure yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan manajemen
dalam praktik penerapan financial risk disclosure.
c. Bagi stakeholder dan pihak-pihak yang berkepentingan, dapat dijadikan
commit to user
pengawasan terhadap pengelolaan perusahaan, terutama dalam
pengelolaan dan financial risk disclosure.
d. Bagi regulator yang meliputi bank sentral, menteri keuangan, bursa efek,
dan Ikatan Akuntan di Indonesia dapat menggunakan penelitian ini untuk
menetapkan regulasi terkait pengungkapan di Indonesia dalam hal praktik
risk disclosure, khususnya financial risk disclosure.
E. Sistematika Penulisan
BAB I : Pendahuluan
Berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II : Tinjauan Pustaka
Bab ini menguraikan tinjauan pustaka yang memuat literatur
terkait dengan topik penelitian; kaitan variabel independen
dengan variabel dependen; kerangka pemikiran;
pengembangan hipotesis.
BAB III : Metode Penelitian
Bab ini berisi tentang desain penelitian; populasi, sampel, dan
teknik pengambilan sampel; data dan metode pengumpulan
data; variabel penelitian dan pengukurannya; dan metode
analisis data yang terdiri dari statistik deskriptif, uji asumsi
commit to user BAB IV : Analisis dan Pembahasan
Bab ini menguraikan analisis deskriptif data; pengujian
hipotesis dan pembahasan hasil analisis.
BAB V : Penutup
Bab ini membahas kesimpulan mengenai obyek yang diteliti
berdasarkan hasil analisis data, menjelaskan mengenai
keterbatasan penelitian dan memberikan saran bagi pihak yang
commit to user BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Setelah membahas pendahuluan di Bab I, Bab II akan menjelaskan
mengenai tinjauan pustaka dan kaitan corporate governance dengan financial risk
disclosure, kerangka pemikiran, serta pengembangan hipotesis dalam penelitian
ini.
A. Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka ini menjelaskan literatur yang mendasari komponen
maupun variabel penelitian.
1. Annual Report dan Disclosure (Pengungkapan)
Laporan tahunan (annual report) adalah media utama untuk
mengkomunikasikan informasi keuangan dan informasi lainnya dari pihak
manajemen kepada pihak di luar perusahaan (Suhardjanto dan Miranti, 2009).
Menurut Wardhani (2009), annual report merupakan media manajemen
perusahaan untuk melaporkan kinerja mereka atas tanggung jawab yang diberikan
oleh stakeholder. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa annual report
merupakan jendela informasi yang memungkinkan pihak-pihak di luar manajemen
mengetahui kondisi perusahaan. Sejauh mana informasi yang dapat diperoleh
akan sangat bergantung pada tingkat pengungkapan (disclosure) dari annual
commit to user
Terdapat berbagai definisi mengenai pengungkapan (disclosure). Na’im
dan Rakhman (2000) menyatakan bahwa pengungkapan secara sederhana dapat
diartikan sebagai pengeluaran informasi. Definisi lain menurut Owusu-Ansah
(1998), pengungkapan merupakan komunikasi informasi ekonomi, baik finansial
maupun nonfinansial mengenai kinerja dan posisi keuangan perusahaan. Informasi
tersebut harus lengkap, jelas dan dapat menggambarkan secara tepat kejadian
ekonomi yang berpengaruh terhadap hasil operasi unit usaha tersebut.
Meek, Roberts, dan Gray (1995) dan Suwardjono (2005) menyatakan
terdapat dua jenis pengungkapan, yaitu: pengungkapan yang bersifat wajib
(mandatory disclosure) dan pengungkapan yang bersifat sukarela (voluntary
disclosure). Pengungkapan wajib merupakan pengungkapan minimun yang
disyaratkan oleh standar akuntansi yang berlaku (Suwardjono, 2005). Jika
perusahaan tidak bersedia untuk mengungkapkan informasi secara sukarela,
pengungkapan wajib akan memaksa perusahaan untuk melakukannya. Sedangkan
pengungkapan sukarela berisi pengungkapan yang dilakukan perusahaan selain
apa yang diwajibkan oleh standar atau badan pengawas.
Di Indonesia, pengungkapan dalam laporan keuangan secara umum telah
diatur dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No.1 tentang
Penyajian Laporan Keuangan. Selain itu, pemerintah melalui Keputusan Ketua
Bapepam No. SE-02/PM/2002 juga telah mengatur mengenai pengungkapan
informasi dalam laporan keuangan tahunan perusahaan di Indonesia, namun
commit to user
Tujuan pemerintah mengatur pengungkapan informasi adalah untuk
melindungi kepentingan para investor dari ketidakseimbangan informasi antara
manajemen dengan investor karena adanya kepentingan manajemen. Pedoman ini
dimaksudkan untuk memberikan suatu panduan penyajian dan pengungkapan
yang terstandarisasi berdasarkan pada prinsip pengungkapan penuh (full
disclosure) sehingga dapat memberikan kualitas informasi keuangan bagi para
pengguna. Pelaporan risiko, sebagai salah satu bentuk pengungkapan wajib dapat
mengurangi asimetri informasi yang akan meningkatkan efektivitas manajemen
perusahaan dan membantu investor untuk mengelola portofolionya.
2. Financial Risk Disclosure
Menurut PBI Nomor: 5/8/PBI/2003, manajemen risiko didefinisikan
sebagai serangkaian metodologi dan prosedur yang digunakan untuk
mengidentifikasi, mengukur, memantau dan mengendalikan risiko yang timbul
dari seluruh kegiatan usaha bank. Dalam menjalankan kegiatan usahanya, bank
selalu dihadapkan dengan berbagai risiko. Risiko finansial (financial risk)
merupakan salah satu risiko yang dihadapi perusahaan. Amran et al (2009)
mengungkapkan bahwa dari beberapa diskusi, financial risk merupakan risiko
yang paling sering diungkapkan oleh perusahaan. Financial risk didefinisikan
sebagai:
commit to user
Dari definisi tersebut dapat dilihat bahwa, financial risk berkaitan dengan
suatu kemungkinan (possible) perubahan yang terkait dengan instrumen finansial
seperti suku bunga, financial instrument price, commodity price, nilai tukar,
indeks harga dan tingkat kredit yang akan terjadi di masa depan. Pengguna
menginginkan informasi mengenai financial risk yang merupakan risiko utama
yang dihadapi perusahaan. Informasi tersebut penting untuk menilai risiko dan
ketidakpastian terkait dengan arus kas masa depan dan hasil operasi.
Financial risk disclosure berkaitan dengan pengungkapan mengenai
keberadaan risiko, manajemen risiko dan arah kebijakan risiko finansial.
Financial risk disclosure dalam laporan keuangan harus mencakup transparansi
kondisi keuangan perusahaan baik di masa sekarang maupun kemungkinan di
masa depan (Peraturan Bank Indonesia Nomor: 11/25/PBI/2009).
Di Indonesia, ketentuan mengenai wajibnya pengungkapan risiko oleh
perbankan secara eksplisit dapat ditemukan dalam PSAK No. 31 (revisi 2000)
tentang Akuntansi Perbankan. Serta diperkuat dengan berlakunya PBI Nomor:
5/8/PBI/2003 yang saat ini telah mengalami perubahan menjadi PBI Nomor:
11/25/PBI/2009. Risiko yang harus tercakup dalam pengungkapan laporan
keuangan menurut PBI Nomor: 11/25/PBI/2009 adalah:
a. Risiko kredit adalah risiko akibat kegagalan debitur dan/atau pihak lain dalam memenuhi kewajiban kepada bank.
commit to user
- Risiko suku bunga adalah risiko akibat perubahan harga instrumen keuangan dari posisi trading book atau akibat perubahan nilai ekonomis dari posisi banking book, yang disebabkan oleh perubahan suku bunga.
- Risiko nilai tukar adalah risiko akibat perubahan nilai posisi trading book dan banking book yang disebabkan oleh perubahan nilai tukar valuta asing atau perubahan harga emas.
- Risiko komoditas adalah risiko akibat perubahan harga instrumen keuangan dari posisi trading book dan banking book yang disebabkan oleh perubahan harga komoditas.
- Risiko ekuitas adalah risiko akibat perubahan harga instrumen keuangan dari posisi trading book yang disebabkan oleh perubahan harga saham.
c. Risiko likuiditas adalah risiko akibat ketidakmampuan bank untuk memenuhi kewajiban yang jatuh tempo dari sumber pendanaan arus kas dan/atau dari aset likuid berkualitas tinggi yang dapat diagunkan, tanpa mengganggu aktivitas dan kondisi keuangan bank.
d. Risiko operasional adalah risiko akibat ketidakcukupan dan/atau tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem, dan/atau adanya kejadian-kejadian eksternal yang mempengaruhi operasional bank.
e. Risiko kepatuhan adalah risiko akibat bank tidak mematuhi dan/atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku.
f. Risiko hukum adalah risiko akibat tuntutan hukum dan/atau kelemahan aspek yuridis.
g. Risiko reputasi adalah risiko akibat menurunnya tingkat kepercayaan stakeholder yang bersumber dari persepsi negatif terhadap bank.
h. Risiko strategi adalah risiko akibat ketidaktepatan dalam pengambilan dan/atau pelaksanaan suatu keputusan strategi serta kegagalan dalam mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis.
Berdasarkan PBI Nomor: 11/25/PBI/2009, bank diwajibkan menerapkan
dan mengungkapkan seluruh risiko yang ada dalam annual report-nya. Regulasi
lain yang mengatur pengungkapan risiko bagi perusahaan di Indonesia secara
umum yaitu PSAK No. 50 (revisi 2006)-Instrumen Keuangan: Penyajian dan
Pengungkapan yang selanjutnya direvisi menjadi PSAK No. 50 (revisi
2010)-Instrumen Keuangan: Penyajian dan PSAK No. 60 (revisi 2010)-2010)-Instrumen
commit to user
Pengungkapan Laporan Keuangan Emiten atau Perusahaan Publik Industri
Perbankan (P3LKEPPBANK) yang dikeluarkan oleh Badan Pengawas Pasar
Modal (BAPEPAM) pada tahun 2008 dan PSAK No. 60 (revisi 2010) merupakan
adopsi dari IFRS 7-Financial Instrument: Disclosure, dengan beberapa modifikasi
yang diperlukan.
Tujuan pengungkapan yang diatur dalam PSAK No. 50 (revisi 2006)
adalah untuk menyediakan informasi guna meningkatkan pemahaman mengenai
signifikansi instrumen keuangan terhadap posisi keuangan, kinerja dan arus kas
entitas, serta membantu penilaian jumlah, waktu dan tingkat kepastian arus kas
masa depan yang terkait dengan instrumen tersebut. Entitas mengungkapkan
informasi yang memungkinkan pengguna laporan keuangan untuk mengevaluasi
sifat dan tingkat risiko yang timbul dari instrumen keuangan di mana entitas
terpengaruh pada akhir periode pelaporan. Pengungkapan yang disyaratkan
memfokuskan pada risiko yang timbul dari instrumen keuangan dan bagaimana
risiko tersebut dikelola. Risiko ini umumnya meliputi risiko kredit, risiko
likuiditas, risiko pasar, dilengkapi dengan risiko mata uang asing, risiko suku
bunga, dan risiko harga (PSAK No. 50, revisi 2006).
Perbandingan klasifikasi risiko menurut PBI Nomor: 5/8/PBI/2003, PSAK
50 ( revisi 2006)3, P3LKEPPBANK (2008) dan IFRS 7 (2008):
3
commit to user
(revisi 2006) P3LKEPPBANK (2008) IFRS 7 (2008)
Risiko umum
- Risiko harga Risiko solvabilitas
Risiko obligasi rekapitalisasi pemerintah Risiko teknologi sistem informasi Risiko ketergantungan kepada pemerintah Risiko tidak dilanjutkannya program penjaminan pemerintah
Risiko ketergantungan pada deposito berjangka
Sumber: PBI Nomor: 5/8/PBI/2003, PSAK 50 (2006), P3LKEPPBANK (2008) dan IFRS 7 (2008) Area penelitian
Berdasarkan tabel perbandingan risiko di atas, maka klasifikasi financial
risk dalam penelitian ini adalah:
1. Risiko kredit
2. Risiko likuiditas
3. Risiko pasar: risiko suku bunga dan risiko nilai tukar.
Klasifikasi financial risk tersebut mengacu pada PBI Nomor:
5/8/PBI/2003, PSAK 50 (2006) dan P3LKEPPBANK (2008). Peraturan tersebut
dipilih karena sampel yang digunakan dalam penelitian adalah perbankan yang
listing di Bursa Efek Indonesia tahun 2007-2009. Menurut Oorschot (2009) sejak
commit to user
pada perbankan mengalami peningkatan. Pemilihan tahun sampel (tahun
2007-2009) bertujuan untuk mengetahui sejauh mana tingkat kepatuhan pengungkapan
risiko pada perbankan di Indonesia sejak terjadinya krisis keuangan hingga setelah
krisis terjadi.
PBI Nomor: 5/8/PBI/2003 merupakan landasan utama yang mengatur
pelaksanaan pengungkapan risiko bagi perbankan di Indonesia. Bank Indonesia
merupakan lembaga yang bertugas mengatur dan mengawasi bank-bank di
Indonesia, oleh karena itu setiap peraturan yang dikeluarkan oleh BI harus
dipatuhi dan dilaksanakan oleh bank-bank di Indonesia. Sedangkan
P3LKEPPBANK (2008) yang dikeluarkan oleh BAPEPAM mengatur mengenai
Pedoman Penyajian dan Pengungkapan Laporan Keuangan Emiten atau
Perusahaan Publik Industri Perbankan yang di dalamnya memuat beberapa
ketentuan mengenai pengungkapan risiko-risiko apa saja yang wajib dilakukan
oleh bank-bank yang listing di BEI seperti yang telah dijelaskan dalam Tabel II.1.
Peraturan tersebut merupakan salah satu bentuk perluasan dari PBI Nomor:
5/8/PBI/2003 karena di dalamnya memuat poin-poin yang sama terkait
pengungkapan risiko bank. Selanjutnya, dalam PSAK 50 (2006) Instrumen
Keuangan: Penyajian dan Pengungkapan dijelaskan bahwa perusahaan yang go
public, termasuk bank diwajibkan mengungkapkan risiko yang dihadapi dalam
usahanya pada annual report.
Dalam peraturan di atas tidak dijelaskan secara spesifik mengenai item apa
saja yang harus diungkapkan. Didukung oleh Devilin (2009) yang menyatakan
commit to user
mengenai pengungkapan risiko secara spesifik. Hal tersebut menjadikan
penafsiran yang berbeda antar satu bank dengan bank lainnya mengenai item apa
saja yang harus diungkapkan dalam annual report. Oleh karena itu, item
pengungkapan dalam penelitian ini menggunakan item pedoman penerapan
manajemen risiko bagi bank umum yang ada pada Lampiran Surat Edaran Bank
Indonesia No.5/21/DPNP/2003.
Menurut PBI Nomor: 5/8/PBI/2003 dan Lampiran Surat Edaran Bank
Indonesia No.5/21/DPNP/2003, bank wajib menerapkan manajemen risiko secara
efektif. Untuk item penerapan financial risk yang lebih detail dapat dilihat di
Lampiran I. Penerapan financial risk sekurang-kurangnya mencakup:
a. Definisi
b. Pengawasan aktif dewan komisaris dan direksi.
c. Kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit manajemen risiko.
d. Kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan
pengendalian risiko serta sistem informasi manajemen risiko.
e. Sistem pengendalian intern yang menyeluruh.
Agar pengungkapan manajemen risiko dalam laporan tahunan mencukupi
kebutuhan informasi para stakeholders dan sesuai dengan peraturan yang ada,
maka diperlukan adanya perbaikan praktik corporate governance. Sejalan dengan
pendapat Solomon, Norton dan Joseph (2000) yang menyatakan bahwa
commit to user
3. Corporate Governance
Dalam menjalankan sebuah perusahaan diperlukan corporate governance
yang baik agar perusahaan tetap survive dalam menjalankan aktifitasnya. Terdapat
definisi yang berbeda mengenai corporate governance. Forum for Corporate
Governance in Indonesia (2001: 1) mendefinisikan corporate governance
sebagai:
“Seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau dengan kata lain suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan.”
Ho dan Wong (2001) mendefinisikan corporate governance sebagai cara
yang efektif untuk menggambarkan hak dan tanggungjawab masing-masing
kelompok stakeholder dalam sebuah perusahaan dimana transparansi merupakan
indikator utama standar corporate governance dalam sebuah ekonomi. Definisi
lain diungkapkan oleh OECD (2004) yang melihat corporate governance sebagai
suatu sistem dimana sebuah perusahaan atau entitas bisnis diarahkan dan diawasi.
Sejalan dengan itu, maka struktur corporate governance menjelaskan distribusi
hak-hak dan tanggung jawab dari masing-masing pihak yang terlibat dalam
sebuah bisnis, yaitu dewan komisaris dan direksi, manajer, pemegang saham, serta
pihak-pihak lain yang terkait sebagai stakeholders.
Dari beberapa definisi mengenai corporate governance, maka dapat
disimpulkan corporate governance merupakan sistem (struktur dan mekanisme)
yang baik untuk mengendalikan dan mengelola suatu perusahaan dengan tujuan
commit to user
yang berkepentingan dengan perusahaan seperti kreditur, pemasok, asosiasi bisnis,
konsumen, karyawan, pemerintah dan masyarakat luas. Dengan melakukan
corporate governance maka tujuan perusahaan dan pemantauan kinerjanya dapat
dipertangungjawabkan dan dilakukan dengan baik (Tim Studi Pengkajian
Penerapan Prinsip-Prinsip OECD 2004 dalam Peraturan Bapepam mengenai
Corporate Governance, 2006).
Secara umum, corporate governance diperlukan untuk mendorong
terciptanya pasar yang efisien, transparan dan konsisten dengan peraturan
perundang-undangan yang berlandaskan pada beberapa prinsip dasar. Menurut
FCGI (2001) prinsip-prinsip dasar corporate governance adalah sebagai berikut:
1. Pertanggungjawaban (responsibility). Tanggung jawab perusahaan
tidak hanya diberikan kepada pemegang saham tetapi juga kepada
stakeholders. Perusahaan harus mematuhi peraturan
perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat
dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha
dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good
corporate citizen (KNKG, 2006).
2. Transparansi (transparency). Transparansi yaitu keterbukaan dalam
melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam
mengemukakan informasi materiil dan relevan mengenai perusahaan
(KNKG, 2006). Perusahaan harus menyediakan informasi yang
material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami
commit to user
3. Akuntabilitas (accountability). Akuntabilitas dapat diartikan sebagai
kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban organ sehingga
pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif (Stephanie, 2009).
Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara
transparan dan wajar.
4. Kesetaraan dan kewajaran (fairness). Perusahaan harus memperhatikan
kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lain
berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan. Fairness juga mencakup
adanya kejelasan hak-hak pemodal, sistem hukum dan penegakan
peraturan untuk melindungi hak-hak investor, khususnya pemegang
saham minoritas dari berbagai bentuk kecurangan (Mintara, 2008)
5. Independensi (independency). Untuk melancarkan pelaksanaan asas
tata kelola perusahaan yang baik, perusahaan harus dikelola secara
independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling
mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain (KNKG,
2006). Para komisaris, direktur ataupun manajer dalam melaksanakan
peran dan tanggung jawabnya harus bebas dari segala benturan yang
mungkin akan muncul.
Isu mengenai corporate governance ini mulai mengemuka, khususnya di
Indonesia, setelah Indonesia mengalami masa krisis yang berkepanjangan sejak
tahun 1998. Abeysekera (2008) menyatakan bahwa corporate governance terdiri
dari pihak-pihak yang melakukan pengawasan terhadap manajemen, seperti
commit to user
ini akan menguji pengaruh corporate governance yang direpresentasikan dengan
ukuran dewan komisaris, jumlah rapat dewan komisaris, komposisi komisaris
independen, komposisi komite audit independen dan jumlah rapat komite audit
terhadap financial risk disclosure.
4. Dewan Komisaris
Peran penting dalam melaksanakan corporate governance berada pada
dewan komisaris yang berfungsi sebagai pengawas aktifitas dan kinerja bank serta
sebagai penasihat direksi dalam memastikan bahwa perusahaan melaksanakan
corporate covernance yang baik (Komite Nasional Kebijakan Governance, 2006).
Dewan komisaris merupakan inti dari corporate governance yang ditugaskan
untuk menjamin pelaksanaan strategi perusahaan, mengawasi manajemen dalam
mengelola perusahaan, serta mewajibkan terlaksananya akuntabilitas (FCGI,
2001). Nasution dan Setiawan (2007) menyatakan secara umum dewan komisaris
ditugaskan dan diberi tanggung jawab atas pengawasan kualitas informasi yang
terkandung dalam laporan keuangan. Pada intinya, dewan komisaris merupakan
suatu mekanisme pengawasan dan mekanisme untuk memberikan petunjuk dan
arahan pada pengelola perusahaan.
Menurut Herwidayatmo (2000), Indonesia menganut two tier boards
system, artinya bahwa komposisi dewan pengurus perseroan terdiri dari fungsi
eksekutif yaitu dewan direksi dan fungsi pengendalian yaitu dewan komisaris.
Berdasarkan kerangka hukum yang ada, fungsi independent (non-executive)
commit to user
komisaris pada two tier board system. Oleh karena itu, sistem pengawasan yang
ada pada perusahaan di Indonesia terletak pada dewan komisaris.
Jumlah anggota dewan komisaris yang optimum akan lebih efektif
daripada jumlah yang kecil (Dalton et al, 1999). Selain itu, menurut Andres,
Azofra dan Lopez (2005) jumlah anggota dewan komisaris sangat mempengaruhi
aktivitas pengendalian dan pengawasan. Kusumawati dan Riyanto (2005) dalam
penelitiannya membuktikan bahwa variabel karakteristik dewan yang berupa
jumlah komisaris terbukti berhubungan dengan nilai perusahaan. Hasil penelitian
Abeysekera (2008) menyatakan bahwa corporate governance yang
direpresentasikan dengan ukuran dewan komisaris berpengaruh terhadap
intellectual capital disclosure. Jumlah dewan komisaris yang besar diharapkan
memunculkan perpaduan skill antar anggotanya sehingga berpengaruh terhadap
kualitas informasi yang disampaikan perusahaan termasuk juga berkaitan dengan
financial risk.
Dalam menjalankan tugasnya, dewan komisaris biasanya mengadakan
pertemuan rutin melalui rapat dewan komisaris. Menurut Peraturan Bank
Indonesia (PBI) Nomor: 8/14/PBI/2006 dewan komisaris wajib
menyelenggarakan rapat secara berkala sekurang-kurangnya empat kali dalam
setahun. Hasil penelitian yang dilakukan Vafeas (2003) menunjukkan bahwa
jumlah rapat yang diselenggarakan dewan komisaris akan meningkatkan kinerja
perusahaan dan pengungkapan. Sejalan dengan hasil penelitian Vafeas (2003),
commit to user
semakin banyak frekuensi rapat yang diselenggarakan dewan komisaris maka
akan meningkatkan kinerja perusahaan.
Keefektifan peran pengawasan oleh dewan komisaris ini didukung dengan
keberadaan komisaris independen dalam komposisi dewan komisarisnya
(Permatasari, 2009). Komisaris independen adalah anggota dewan komisaris yang
tidak terafiliasi dengan manajemen, anggota dewan komisaris lainnya dan
pemegang saham pengendali, serta bebas dari hubungan bisnis atau hubungan
lainnya yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen
atau bertindak semata-mata demi kepentingan perusahaan (KNKG, 2006).
Komisaris independen ditetapkan sebagai seseorang yang independen dari posisi
manajemen eksekutif atau fungsi manajemen lainnya dalam perusahaan dan bebas
dari hubungan apapun yang dapat mempengaruhi keputusan mereka (Hegazy dan
Hegazy, 2010). Untuk lebih memantapkan efektifitas komisaris independen,
keberadaan komisaris independen telah diatur dalam PBI Nomor: 8/14/PBI/2006
pasal 5 yang menetapkan bahwa komposisi komisaris independen
sekurang-kurangnya berjumlah 50% dari jumlah anggota dewan komisaris.
Memasukkan independent directors ke dalam susunan dewan diharapkan
dapat meningkatkan pengawasan dan mencegah manajer membuat keputusan
yang tidak efisien (Ho dan Wong, 2001). Siallagan dan Machfoedz (2006)
menggunakan proporsi komisaris independen untuk mengetahui pengaruhnya
terhadap kualitas laba dan nilai perusahaan. Hasil penelitian mereka menunjukan
bahwa proporsi komisaris independen berpengaruh secara positif terhadap nilai
commit to user
menemukan hubungan signifikan antara independent diectors dengan intellectual
capital disclosure. Menurut Nurkhin (2009), komposisi komisaris independen
terbukti berpengaruh secara positif signifikan terhadap pengungkapan tanggung
jawab sosial perusahaan.
5. Komite Audit
Komponen penting lain yang mendukung terlaksananya corporate
governance yang baik, yaitu komite audit (FCGI, 2001). Sesuai dengan Keputusan
Ketua BAPEPAM Nomor: kep. 29/PM/2004, komite audit adalah komite yang
dibentuk oleh dewan komisaris untuk melakukan tugas pengawasan dan
pengelolaan perusahaan. Menurut Herwidayatmo (2000), syarat untuk menjadi
anggota komite audit adalah independen atau tidak memiliki hubungan usaha
maupun afiliasi dengan perusahaan, direktur, komisaris, maupun pemegang saham
utama. Berdasarkan PBI Nomor: 8/4/PBI/2006, keanggotaan komite audit
sekurang-kurangnya terdiri dari 3 (tiga) orang anggota, seorang diantaranya
merupakan komisaris independen perusahaan yang sekaligus merangkap sebagai
ketua komite audit, sedangkan dua anggota lainnya merupakan pihak ekstern yang
independen dimana satu diantaranya memiliki keahlian dibidang keuangan atau
akuntansi dan yang lainnya memiliki keahlian di bidang hukum atau perbankan.
Abeysekera (2008) menyatakan bahwa komite audit merupakan
mekanisme untuk memastikan tidak ada tindakan manajemen yang merugikan
stakeholder. Menurut Ho dan Wong (2001) komite audit independen berpengaruh
commit to user
dan Setiawan (2007) menunjukan bahwa anggota komite audit yang independen
pada perbankan akan meningkatkan transparansi pengungkapan laporan keuangan
yang dilakukan oleh pihak manajemen. Penelitian lain yang dilakukan oleh Cety
dan Suhardjanto (2010) menunjukkan bahwa komposisi komite audit independen
berpengaruh positif terhadap environmental performance. Selain itu, komposisi
komite audit independen juga berpengaruh positif terhadap pengungkapan (Li et
al, 2008).
Komite audit dibentuk oleh komisaris dan bertanggungjawab kepada
komisaris. Berdasarkan Komite Nasional Kebijakan Governance (2006), komite
audit bertugas membantu dewan komisaris untuk memastikan bahwa:
a. Laporan keuangan disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi
yang berlaku umum,
b. Struktur pengendalian internal perusahaan dilaksanakan dengan baik,
c. Pelaksanaan audit internal maupun eksternal dilaksanakan sesuai dengan
standar audit yang berlaku,
d. Tindak lanjut temuan hasil audit dilaksanakan oleh manajemen.
Adapun tugas komite audit adalah memberikan pendapat profesional yang
independen kepada dewan komisaris terhadap laporan atau hal-hal yang
disampaikan oleh direksi (Herwidayatmo, 2000). Menurut pasal 43, PBI Nomor:
8/4/PBI/2006 tugas dan tanggung jawab komite audit adalah memantau dan
mengevaluasi perencanaan dan pelaksanaan audit serta pemantauan atas tindak
lanjut hasil audit dalam rangka menilai kecukupan pengendalian internal termasuk
commit to user
audit dalam membantu dewan komisaris dapat berjalan secara efektif, komite
audit minimal mengadakan rapat tiga sampai empat kali dalam satu tahun (FCGI,
2001). Menurut Li et al (2008) frekuensi rapat komite audit berpengaruh positif
terhadap disclosure. Hal ini sejalan dengan Ettredge et al (2010), semakin sering
komite audit melakukan rapat maka semakin mendorong tingkat kepatuhan
pengungkapan wajib.
B. Kaitan antara Corporate Governance dan Financial Risk Disclosure
Situasi lingkungan eksternal dan internal perbankan yang berkembang
pesat akan diikuti dengan semakin kompleksnya risiko yang dihadapi. Untuk
mengimbangi hal tersebut dibutuhkan praktik tata kelola perusahaan (corporate
governance) yang sehat dan fungsi identifikasi, pengukuran, pemantauan dan
pengendalian risiko bank yang baik. Corporate governance merupakan faktor
yang penting dalam kepatuhan pengungkapan (Ettredge et al, 2010). Penerapan
corporate governance memiliki pengaruh terhadap luas pengungkapan informasi
perusahaan (Ho dan Wong, 2001). Khomsiyah (2003) menemukan bukti bahwa
semakin baik implementasi corporate governance, maka semakin banyak pula
informasi yang diungkapkan oleh perusahaan dalam laporan tahunan, termasuk
financial risk disclosure.
Ettredge et al (2010) dalam penelitiannya menemukan bukti bahwa
kualitas corporate governance memiliki hubungan positif dengan kualitas
kepatuhan pengungkapan wajib. Penemuan tersebut sesuai dengan pernyataan
commit to user
menandakan kurangnya integritas dan lemahnya praktik corporate governance
dalam perusahaan tersebut.
Peran penting dalam melaksanakan corporate governance berada pada
dewan komisaris yang berfungsi sebagai pengawas aktifitas dan kinerja bank serta
sebagai penasihat direksi dalam memastikan bahwa perusahaan melaksanakan
corporate covernance yang baik (Komite Nasional Kebijakan Governance, 2006).
Jumlah anggota dewan komisaris sangat mempengaruhi aktivitas pengendalian
dan pengawasan (Andres et al 2005). Menurut Peraturan Bank Indonesia (PBI)
Nomor: 8/14/PBI/2006 dewan komisaris wajib menyelenggarakan rapat secara
berkala sekurang-kurangnya empat kali dalam setahun. Kinerja dan tugas dewan
komisaris untuk mengawasi jalannya perusahaan akan efektif apabila
masing-masing anggota dewan secara aktif hadir dalam pertemuan dewan komisaris baik
secara fisik maupun teknologi konferensi (PBI Nomor: 8/14/PBI/2006). Dengan
demikian, semakin banyak rapat yang dilakukan oleh dewan komisaris maka akan
mendorong tingkat kepatuhan pengungkapan wajib, termasuk financial risk
disclosure.
Variabel lain yang sering digunakan untuk menguji pengaruh corporate
governance terhadap disclosure yaitu komposisi komisaris independen karena
keefektifan peran pengawasan oleh dewan komisaris didukung oleh keberadaan
komisaris independen dalam komposisi dewan komisaris (Permatasari, 2009).
Menurut Ettredge et al (2010) komisaris independen berpengaruh positif secara
commit to user
Menurut Herwidayatmo (2000), peran pengawasan sekaligus akuntabilitas
dewan komisaris pada perusahaan di Indonesia pada umumnya belum memadai.
Keanggotaan dewan komisaris selama ini dipilih lebih berdasarkan kedudukan
dan kekerabatan sehingga menyebabkan mekanisme check and balance terhadap
direksi tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. PBI Nomor: 8/4/PBI/2006,
pasal 12 mewajibkan dewan komisaris membentuk sekurang-kurangnya komite
audit, komite pemantau risiko dan komite remunerasi dan nominasi untuk
mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya. Sesuai dengan
kep. 29/PM/2004, komite audit adalah komite yang dibentuk oleh dewan
komisaris untuk melakukan tugas pengawasan pengelolaan perusahaan. Dengan
dibentuknya komite audit diharapkan dapat meningkatkan akuntabilitas dewan
komisaris. Menurut FCGI (2001), komite audit sekurang-kurangnya terdiri dari
tiga anggota. Salah satu dari anggota tersebut merupakan komisaris independen
yang sekaligus merangkap sebagai ketua, sedangkan anggota lainnya merupakan
pihak eksternal yang independen. Komite audit independen tidak terafiliasi
dengan perusahaan dan terlepas dari kegiatan manajemen sehari-hari (FCGI,
2001) sehingga kinerjanya dalam membantu dewan komisaris dapat dipercaya.
Menurut Ho dan Wong (2001) komite audit independen berpengaruh positif
terhadap luasnya disclosure. Menurut Li et al (2008) frekuensi rapat komite audit
berpengaruh positif terhadap disclosure. Hal ini sejalan dengan Ettredge et al
(2010), yang menyatakan bahwa semakin sering komite audit melakukan rapat
commit to user C. Kerangka Pemikiran
Kerangka mengenai hubungan antar masing-masing variabel dapat dilihat
dalam gambar di bawah ini:
Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, dapat diketahui bahwa model
penelitian ini hanya terdiri dari satu arah yaitu untuk menjelaskan pengaruh
corporate governance yang direpresentasikan dengan ukuran dewan komisaris,
jumlah rapat dewan komisaris, komposisi komisaris independen, komposisi
komite audit independen, dan jumlah rapat komite audit. Selain menguji pengaruh
commit to user
variabel independen terhadap variabel dependen, penelitian ini juga menyertakan
leverage dan profitabilitas sebagai variabel kontrol.
D. Penelitian Terdahulu dan Pengembangan Hipotesis
Untuk membangun hipotesis, penulis menggunakan beberapa acuan dari
penelitian terdahulu yang akan dijelaskan dalam bagian ini.
1. Pengaruh ukuran dewan komisaris terhadap tingkat financial risk disclosure
Dewan komisaris merupakan inti dari corporate governance yang
ditugaskan untuk menjamin pelaksanaan strategi perusahaan, mengawasi
manajemen dalam mengelola perusahaan, serta mewajibkan terlaksananya
akuntabilitas (FCGI, 2000). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Abeysekera
(2008) jumlah dewan komisaris yang dinilai efektif berada pada rentang lebih dari
5 (lima) orang dan kurang dari 14 orang. Selain itu, jumlah dewan komisaris
sangat mempengaruhi aktivitas pengendalian dan pengawasan (Andres et al,
2005).
Nasution dan Setiawan (2007) menyatakan secara umum dewan komisaris
ditugaskan dan diberi tanggung jawab atas pengawasan kualitas informasi yang
terkandung dalam laporan keuangan. Aktifnya peran dewan komisaris dalam
melaksanakan tugasnya sangat tergantung pada lingkungan yang diciptakan oleh
perusahaan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sembiring (2005) menunjukkan
bahwa ukuran dewan komisaris yang diproksikan dengan jumlah anggota dewan
komisaris berpengaruh positif dan signifikan terhadap pengungkapan tanggung
commit to user
dibandingkan dengan ukuran dewan komisaris yang kecil (Dalton et al, 1999;
Nasution dan Setiawan, 2007; dan Abeysekera, 2008). Oleh karena itu, jumlah
dewan komisaris yang besar diharapkan dapat meningkatkan kualitas
pengungkapan informasi, termasuk financial risk disclosure. Berdasarkan uraian
tersebut, maka dapat dikembangkan hipotesis:
H1: Ukuran dewan komisaris berpengaruh positif terhadap tingkat
financial risk disclosure.
2. Pengaruh jumlah rapat dewan komisaris terhadap tingkat financial risk
disclosure
Dalam menjalankan tugasnya, dewan komisaris biasanya mengadakan
pertemuan rutin melalui rapat dewan komisaris. Dewan komisaris harus memiliki
jadwal rapat tetap dan dapat dilakukan rapat tambahan sesuai dengan kebutuhan
serta dilakukan pada saat yang tepat. Rapat tersebut dilakukan untuk mengetahui
apakah operasi perusahaan telah sesuai dengan strategi dan kebijakan perusahaan.
Menurut Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor: 8/14/PBI/2006 dewan komisaris
wajib menyelenggarakan rapat secara berkala sekurang-kurangnya empat kali
dalam setahun. Semakin banyak rapat yang dilakukan dewan komisaris akan
semakin meningkatkan kinerja perusahaan.
Penelitian yang dilakukan oleh Vafeas (2003) dan Brick dan Chidambaran
(2007) menunjukkan bahwa semakin banyak frekuensi rapat yang
diselenggarakan dewan komisaris maka akan meningkatkan kinerja perusahaan.
Sejalan dengan penelitian Vafeas (2003) dan Brick dan Chidambaran (2007),
commit to user
komisaris maka semakin mendorong kepatuhan pengungkapan wajib.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dikembangkan hipotesis:
H2: Jumlah rapat dewan komisaris berpengaruh positif terhadap tingkat
financial risk disclosure.
3. Komposisi komisaris independen terhadap tingkat financial risk disclosure
Dewan komisaris sebagai puncak dari sistem pengelolaan internal
perusahaan memiliki peranan terhadap aktivitas pengawasan (Siallagan dan
Machfoedz, 2006). Keefektifan peran pengawasan oleh dewan komisaris
didukung dengan keberadaan komisaris independen dalam komposisi dewan
komisaris (Permatasari, 2009). Selain itu, komisaris independen dapat
meningkatkan reputasi berkaitan dengan pengendalian yang lebih efektif sehingga
berpengaruh secara signifikan terhadap kepatuhan pengungkapan informasi
perusahaan (Abeysekera, 2008; Permatasari, 2009; dan Ettredge et al, 2010).
Cerbioni dan Parbonetti (2007) menemukan asosiasi yang positif
signifikan antara proporsi independent directors terhadap intellectual capital
disclosure. Hossain (2008), melakukan penelitian pada perbankan di India. Hasil
dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa board compositions yang diukur
dengan komposisi komisaris independen secara signifikan berpengaruh positif
terhadap tingkat pengungkapan. Hasil penelitian Nurkhin (2009) menyatakan
bahwa komposisi komisaris independen terbukti berpengaruh secara positif dan
signifikan terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Oleh karena
commit to user
financial risk disclosure. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dikembangkan
hipotesis:
H3: Komposisi komisaris independen berpengaruh positif terhadap
tingkat financial risk disclosure.
4. Pengaruh komposisi komite audit independen terhadap tingkat financial risk
disclosure
Menurut Herwidayatmo (2000) peran pengawasan yang dilakukan oleh
dewan komisaris perusahaan di Indonesia belum memadai. Oleh karena itu,
diperlukan komite audit untuk membantu dewan komisaris. Menurut FGCI
(2001), komite audit memiliki tugas terpisah dalam membantu dewan komisaris
untuk memenuhi tanggung jawabnya dalam memberikan pengawasan secara
menyeluruh. Sesuai dengan Keputusan Ketua BAPEPAM Nomor: kep.
29/PM/2004, komite audit adalah komite yang dibentuk oleh dewan komisaris
untuk melakukan tugas pengawasan dan pengelolaan perusahaan. Dari aspek
pengendalian, keberadaan komite audit yang efektif penting dalam rangka
meningkatkan kualitas pengelolaan perusahaan (Herwidayatmo, 2000). Komite
audit dipandang sebagai alat untuk menghindari kecurangan dalam pelaporan
keuangan dan memonitoring kinerja manajemen.
Nasution dan Setiawan (2007), Li et al (2008), dan Cety dan Suhardjanto
(2010) mengungkapkan bahwa anggota komite audit yang independen
berpengaruh positif terhadap kinerja perusahaan, termasuk dalam pengungkapan