HUBUNGAN POLA KONSUMSI PANGAN DAN STATUS SOSIAL EKONOMI KELUARGA DENGAN PERTUMBUHAN ANAK BARU MASUK SEKOLAH
DI SD NEGERI NO.142442 KOTA PADANGSIDIMPUAN 2014
SKRIPSI
OLEH:
ADE IRMA HARAHAP NIM: 101000018
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
HUBUNGAN POLA KONSUMSI PANGAN DAN STATUS SOSIAL EKONOMI KELUARGA DENGAN PERTUMBUHAN ANAK BARU MASUK
SEKOLAH DI SD NEGERI NO.142442 KOTA PADANGSIDIMPUAN 2014
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat
OLEH:
ADE IRMA HARAHAP NIM: 101000018
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Skripsi : HUBUNGAN POLA KONSUMSI PANGAN DAN
STATUS SOSIAL EKONOMI KELUARGA DENGAN PERTUMBUHAN ANAK BARU MASUK SEKOLAH DI SD NEGERI NO.142442 KOTA PADANGSIDIMPUAN 2014
Nama Mahasiswa : ADE IRMA HARAHAP
No. Induk Mahasiswa : 101000018
Program Studi : Ilmu Kesehatan Masyarakat Pemintan : Gizi Kesehatan Masyarakat Tanggal Lulus : 27 Januari 2015
Disahkan Oleh Komisi Pembimbing
Dosen Pembimbing Skripsi I Dosen Pembimbing Skripsi II
Dr. Ir. Evawany Y. Aritonang, M.Si Dra. Jumirah, Apt, M.Kes NIP.196806161993032003 NIP. 195803151988112001
Medan, November 2015 Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara Dekan
ABSTRAK
Masa usia sekolah merupakan masa terpenting dalam pembentukan fisik anak selanjutnya. Kualitas fisik tercermin dari pertumbuhan fisik. Perubahan pertumbuhan fisik akan jelas tampak pada saat anak memasuki usia sekolah.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui hubungan pola konsumsi pangan dan status sosial ekonomi keluarga dengan pertumbuhan anak baru masuk sekolah di SD Negeri No.142442 Padangsidimpuan. Jenis penelitian adalah deskriptif menggunakan desain potong lintang. Populasi adalah seluruh murid kelas satu SD Negeri No.142442 Padangsidimpuan. Sampel sebanyak 54 murid diambil dengan teknik proporsional sampel. Data tentang konsumsi pangan diperoleh melalui wawancara langsung kepada murid yang dibantu oleh ibu murid. Data tinggi badan anak diukur dengan microtoise. Pertumbuhan anak baru masuk sekolah didasarkan dengan Z-Score tinggi badan menurut umur. Selanjutnya, untuk membuktikan hipotesis dilakukakan uji chi-square.
Hasil penelitian menunjukkan 51,9% anak memiliki tinggi badan kategori pendek, 40,7% anak normal dan 7,4% anak tinggi. Hasil analisis uji Chi-square menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pendapatan keluarga (p=0,037), jenis makanan (p=0,038), tingkat kecukupan energi (p=0,027) dan tingkat kecukupan seng (p=0,044) dengan pertumbuhan anak baru masuk sekolah. Variabel tingkat pendidikan ibu, status pekerjaan ibu, tingkat kecukupan vitamin A, tingkat kecukupan iodium, tingkat kecukupan kalsium dan tingkat kecukupan zat besi tidak ada hubungan dengan pertumbuhan anak baru masuk sekolah.
Diharapkan agar para ibu menyediakan makanan yang beraneka ragam untuk anak. Diharapkan agar para ibu memperhatikan tingkat kecukupan gizi dalam makanan yang dikonsumsi anak .
ABSTRACT
The phase of school age is the most important in the next physical formation of kid. Physical qualities reflected from physical growth. Physical growth change will certainly seemed at the time of kid entered the age of school.
The purpose of the research is to know the corelation between the food consumption patterns and social economic of the family with the growth of new kid entered the age of school in elementary school padangsidimpuan no.142442. The type of research is descriptive using a cross sectional design. The population is all students in the first class of elementary school padang sidimpuan no.142442 . The sample as many as 54 of students taken with the technique of proportional sample. Data about the consumption of food obtained through interviews directly to students who assisted by their mothers. Data of the height of kid measured with microtoise. The growth of new kid entered school based with z-score height by age. Furthermore, to prove the hypothesis the chi-square test is used.
The research showed 51,9% had height with short category, 40,7% normal and 7,4% kids were tall category. The analysis bivariat with chi-square test showing that there are significan relationship between the level of family income(p = 0,037), kinds of food (p = 0,038), the level of energy suffiency (p = 0,027) and the level of zinc suffiency (p = 0,044) with the growth of the new kid enter the school. There was not correlation with the variable of the level of mother’s educational, the level of
mother’s occupation, the level of vitamin A sufficiency, the level of iodium sufficiency, the level of calcium sufficiency and the level of iron sufficiency with the growth of the new kid entered the school.
It is hoped the mothers provide multiform food being for kids. Additionally, mothers should be pay attention to the level of nutrient sufficiency that will be consumed for a kid.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Ade Irma Harahap
Tempat/Tanggal Lahir : Padangsidimpuan/15 Juni 1991
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Anak ke : 4 dari 7 bersaudara
Status Perkawinan : Belum Kawin
Alamat Rumah : Jl. Serasi 9 No. 14 Padangsidimpuan
Riwayat Pendidikan :
1. Tahun 1998-2004 : SD Negeri No.200117 Padangsidimpuan
2. Tahun 2004-2007 : SMP Negeri 4 Padangsidimpuan
3. Tahun 2007-2010 : SMA Negeri 6 Padangsidimpuan
4. Tahun 2010-2014 : Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa dan Maha
Pengasih yang telah melimpahkan segala berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Hubungan Pola Konsumsi Pangan dan
Status Sosial Ekonomi KeluargaDengan Pertumbuhan Anak Baru Masuk Sekolah
Dasar SD Negeri No.142442 Kota Padangsidimpuan 2014” guna memenuhi salah
satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat di Universitas
Sumatera Utara.
Selama penyusunan dan penulisan skripsi ini penulis banyak menemui
kesulitan dan hambatan, namun berkat bimbingan, bantuan dan dorongan moril dari
berbagai pihak akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh sebab itu pada
kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan ucapan terima
kasih yang sedalam-dalamnya kepada :
1. Dr. Drs. Surya Utama, MS, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
2. Dr. Ir. Evawany Y Aritonang, MSi, selaku Dosen Pembimbing I dan Dosen Penguji yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan saran,
bimbingan dan arahan dalam penulisan skripsi ini.
3. Dra. Jumirah, Apt, MKes, selaku Dosen Pembimbing II dan Dosen Penguji yang selalu meluangkan waktu untuk memberikan saran, bimbingan dan arahan
4. Ernawati Nasution, SKM, M.Kes selaku Dosen Penguji I yang telah memberikan masukan dalam perbaikan skripsi ini.
5. Fitri Ardiani, SKM. MPH, selaku Dosen Penguji II yang telah memberikan masukan kepada penulis dalam perbaikan skripsi ini.
6. dr. Devi Nuraini Santi, MKes selaku dosen Pembimbing akademik yang telah memberikan banyak bimbingan dan nasehat selama penulis mengikuti
pendidikan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
7. Bapak Marihot dan seluruh Staf di FKM USU yang telah memberikan bekal ilmu selama penulis mengikuti pendidikan.
8. Terkhusus penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang teramat sangat
buat Orang tua tercinta Ayahanda (Bapak Nasaruddin Harahap), dan Ibunda (Khodijah Lubis, S.Pd), kakanda tersayang dan Adinda tersayang telah banyak memberikan dukungan semangat dan doanya ketika penulis melakukan
penelitian.
9. Sahabat-sahabat tersayang, Irvani Syahrika SKM, Hardianti Meliala SKM, Ina
Yulianti, Indah S.Pd, Erika, dan Silva syahyuni.
10. Teman-teman seperjuangan Gizidi FKM USU, khususnya buat Henrika, Fitri
Maihana, Fadlan, Rosalin, Putri, Joana, Erika, kak Devi, kak Eli yang tak bisa
penulis sebut satu persatu. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat
dan hidayahnya kepada kita semua.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini,
untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak yang sifatnya
membangun untuk penyempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap skripsi ini
dapat bermanfaat bagi kita semua.
Medan, Januari 2015 Penulis
DAFTAR ISI
2.2. Tinggi Badan Anak Baru Masuk Sekolah (TBABS) ... 9
2.2.1. Alasan Pengukuran TBABS ... 12
2.2.2. Survey Nasional TBABS ... 13
2.3. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi PertumbuhanAnak Baru Masuk Sekolah ... 16
2.3.2.2. Status Pekerjaan Orangtua... 23
2.3.2.3. Tingkat Pendapatan Keluarga ... 25
2.4. Kerangka Konsep ... 30
BAB III METODE PENELITIAN ... 32
3.1. Jenis Penelitian ... 32
3.2.1 Lokasi Penelitian ... 32
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 41
4.1.1. Kondisi geografis ... 41
4.2. Deskripsi Karakteristik Anak ... 41
4.3. Status Sosial Ekonomi Keluarga... 42
4.3.1.Tingkat Pendidikan Ibu... 42
4.3.2. Tingkat Pendapatan Keluarga ... 43
4.4. Pola Konsumsi Pangan ... 44
4.5.1.Jenis dan Frekuensi Makan ... 44
4.5.2.Jumlah Zat Gizi ... 48
4.6.Pertumbuhan Anak Baru Masuk Sekolah ... 50
4.7.Hubungan Status Sosial Ekonomi Keluarga Dengan Pertumbuhan ... 51
4.7.1.Hubungan Tingkat Pendidikan Ibu Dengan TB/U Anak ... 51
4.7.2.Hubungan Status Pekerjaan Ibu Dengan Pertumbuhan Anak ... 52
4.7.3.Hubungan Tingkat Pendapatan Keluarga Dengan Pertumbuhan Anak ... 52
4.8.Hubungan Pola Konsumsi Pangan Dengan Pertumbuhan Anak Baru Masuk Sekolah... 53
4.8.1.Hubungan Jenis Makanan Dengan Pertumbuhan Anak ... 53
4.8.2.Hubungan Jumlah Zat Gizi Dengan Pertumbuhan Anak ... 54
BAB V PEMBAHASAN ... 56
5.1. Hubungan Status Sosial Ekonomi Keluarga Dengan Pertumbuhan Anak Baru Masuk Sekolah ... 57
5.1.1.Hubungan Tingkat Pendidikan Ibu Dengan Pertumbuhan Anak ... 58
5.1.2.Hubungan Status Pekerjaan Ibu Dengan Pertumbuhan Anak ... 59
5.1.3.Hubungan Tingkat Pendapatan Keluarga Dengan Pertumbuhan Anak ... 60
5.2.1.Hubungan Jenis Makanan Dengan Pertumbuhan Anak ... 62
5.2.2.Hubungan Jumlah Zat Gizi Dengan Pertumbuhan Anak ... 63
5.2.2.1.Tingkat Kecukupan Energi Dengan Pertumbuhan Anak ... 64
5.2.2.2.Tingkat Kecukupan Protein Dengan Pertumbuhan Anak ... 65
5.2.2.3.Tingkat Kecukupan Vitamin A Dengan Pertumbuhan Anak ... 66
5.2.2.4.Tingkat Kecukupan Iodium Dengan Pertumbuhan Anak ... 68
5.2.2.5.Tingkat Kecukupan Kalsium Dengan Pertumbuhan Anak ... 69
5.2.2.6.Tingkat Kecukupan Zat Besi Dengan Pertumbuhan Anak ... 70
5.2.2.1.Tingkat Kecukupan Seng Dengan Pertumbuhan Anak ... 71
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 72
6.1. Kesimpulan ... 72
6.2. Saran ... 72
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Distribusi Berdasarkan Karakteristik Anak Di SD Negeri No.142442 Padangsidimpuan 2014.
Tabel 4.2 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat pendidikan Ibu siswa SD Negeri No.142442 Kota Padangsidimpuan.
Tabel 4.3 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan Keluarga siswa SD Negeri No.142442 Kota Padangsidimpuan.
Tabel 4.4 Distribusi Berdasarkan Jenis Bahan Makanan Pokok dan Frekuensi Makan Siswa SD Negeri No.142442 Kota Padangsidimpuan.
Tabel 4.5 Distribusi Berdasarkan Jenis Bahan Makanan Lauk Pauk dan Frekuensi Makan Siswa SD Negeri No.142442 Kota Padangsidimpuan.
Tabel 4.6 Distribusi Berdasarkan Jenis Bahan Makanan Sayuran dan Frekuensi Makan Siswa SD Negeri No.142442 Kota Padangsidimpuan.
Tabel 4.7 Distribusi Berdasarkan Jenis Bahan Makanan Buah dan Frekuensi Makan Siswa SD Negeri No.142442 Kota Padangsidimpuan.
Tabel 4.8 Distribusi Berdasarkan Jenis Bahan Makanan Lain –lain (Makanan dan minuman) dan Frekuensi Makan Siswa SD Negeri No.142442 Kota Padangsidimpuan.
Tabel 4.9 Distribusi Berdasarkan Jenis Bahan Makanan Siswa SD Negeri No.142442 Kota Padangsidimpuan.
Tabel 4.10 Distribusi Berdasarkan Jumlah Zat Gizi Siswa SD Negeri No.142442 Kota Padangsidimpuan.
Tabel 4.11 Hubungan Jenis Kelamin Dengan Pertumbuhan Anak Baru Masuk Sekolah SD Negeri No.142442 Kota Padangsidimpuan.
Tabel 4.12 Hubungan Tingkat Pendidikan Ibu dengan Pertumbuhan Anak Baru Masuk Sekolah di SD Negeri No.142442 Kota Padangsidimpuan.
Tabel 4.14 Hubungan Tingkat Pendapatan Keluarga dengan Pertumbuhan Anak Baru Masuk Sekolah di SD Negeri No.142442 Kota Padangsidimpuan.
Tabel 4.15 Hubungan Jenis Makan dengan Pertumbuhan Anak Baru Masuk Sekolah di SD Negeri No.142442 Kota Padangsidimpuan.
Tabel 4.16 Hubungan Tingkat Kecukupan Energi dengan Pertumbuhan Anak Baru Masuk Sekolah di SD Negeri No.142442 Kota Padangsidimpuan.
Tabel 4.17 Hubungan Tingkat Kecukupan Protein dengan Pertumbuhan Anak Baru Masuk Sekolah di SD Negeri No.142442 Kota Padangsidimpuan.
Tabel 4.18 Hubungan Tingkat Kecukupan Vitamin A dengan Pertumbuhan Anak Baru Masuk Sekolah di SD Negeri No.142442 Kota Padangsidimpuan.
Tabel 4.19 Hubungan Tingkat Kecukupan Iodium dengan Pertumbuhan Anak Baru Masuk Sekolah di SD Negeri No.142442 Kota Padangsidimpuan.
Tabel 4.20 Hubungan Tingkat Kecukupan Kalsium dengan Pertumbuhan Anak Baru Masuk Sekolah di SD Negeri No.142442 Kota Padangsidimpuan.
Tabel 4.21 Hubungan Tingkat Kecukupan Zat Besi dengan Pertumbuhan Anak Baru Masuk Sekolah di SD Negeri No.142442 Kota Padangsidimpuan.
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I
: Master Data
Lampiran II
: Gambar
Lampiran III
: Output
ABSTRAK
Masa usia sekolah merupakan masa terpenting dalam pembentukan fisik anak selanjutnya. Kualitas fisik tercermin dari pertumbuhan fisik. Perubahan pertumbuhan fisik akan jelas tampak pada saat anak memasuki usia sekolah.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui hubungan pola konsumsi pangan dan status sosial ekonomi keluarga dengan pertumbuhan anak baru masuk sekolah di SD Negeri No.142442 Padangsidimpuan. Jenis penelitian adalah deskriptif menggunakan desain potong lintang. Populasi adalah seluruh murid kelas satu SD Negeri No.142442 Padangsidimpuan. Sampel sebanyak 54 murid diambil dengan teknik proporsional sampel. Data tentang konsumsi pangan diperoleh melalui wawancara langsung kepada murid yang dibantu oleh ibu murid. Data tinggi badan anak diukur dengan microtoise. Pertumbuhan anak baru masuk sekolah didasarkan dengan Z-Score tinggi badan menurut umur. Selanjutnya, untuk membuktikan hipotesis dilakukakan uji chi-square.
Hasil penelitian menunjukkan 51,9% anak memiliki tinggi badan kategori pendek, 40,7% anak normal dan 7,4% anak tinggi. Hasil analisis uji Chi-square menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pendapatan keluarga (p=0,037), jenis makanan (p=0,038), tingkat kecukupan energi (p=0,027) dan tingkat kecukupan seng (p=0,044) dengan pertumbuhan anak baru masuk sekolah. Variabel tingkat pendidikan ibu, status pekerjaan ibu, tingkat kecukupan vitamin A, tingkat kecukupan iodium, tingkat kecukupan kalsium dan tingkat kecukupan zat besi tidak ada hubungan dengan pertumbuhan anak baru masuk sekolah.
Diharapkan agar para ibu menyediakan makanan yang beraneka ragam untuk anak. Diharapkan agar para ibu memperhatikan tingkat kecukupan gizi dalam makanan yang dikonsumsi anak .
ABSTRACT
The phase of school age is the most important in the next physical formation of kid. Physical qualities reflected from physical growth. Physical growth change will certainly seemed at the time of kid entered the age of school.
The purpose of the research is to know the corelation between the food consumption patterns and social economic of the family with the growth of new kid entered the age of school in elementary school padangsidimpuan no.142442. The type of research is descriptive using a cross sectional design. The population is all students in the first class of elementary school padang sidimpuan no.142442 . The sample as many as 54 of students taken with the technique of proportional sample. Data about the consumption of food obtained through interviews directly to students who assisted by their mothers. Data of the height of kid measured with microtoise. The growth of new kid entered school based with z-score height by age. Furthermore, to prove the hypothesis the chi-square test is used.
The research showed 51,9% had height with short category, 40,7% normal and 7,4% kids were tall category. The analysis bivariat with chi-square test showing that there are significan relationship between the level of family income(p = 0,037), kinds of food (p = 0,038), the level of energy suffiency (p = 0,027) and the level of zinc suffiency (p = 0,044) with the growth of the new kid enter the school. There was not correlation with the variable of the level of mother’s educational, the level of
mother’s occupation, the level of vitamin A sufficiency, the level of iodium sufficiency, the level of calcium sufficiency and the level of iron sufficiency with the growth of the new kid entered the school.
It is hoped the mothers provide multiform food being for kids. Additionally, mothers should be pay attention to the level of nutrient sufficiency that will be consumed for a kid.
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Masa usia sekolah merupakan masa terpenting dalam pembentukan fisik anak
selanjutnya. Oleh karena itu anak usia sekolah perlu mendapat perhatian secara
seksama, pembinaan dan pengawasan yang sedini mungkin agar menghasilkan
kualitas fisik, mental dan sosial yang baik. Kualitas fisik dapat tercermin dari
pertumbuhan fisik, perubahan pertumbuhan fisik akan jelas tampak pada saat anak
memasuki usia sekolah, dimana pertumbuhan fisik usia sekolah merupakan refleksi
keadaan gizi pada masa bayi dan balita.
Salah satu indikator gizi untuk menilai peningkatan kualitas sumber daya
manusia adalah ukuran pertumbuhan fisik yang dapat dilakukan melalui pengukuran
Tinggi Badan Anak Baru Sekolah (TBABS). TBABS dapat merupakan salah satu
indikator status gizi dan kesehatan masyarakat suatu daerah, yang erat pula
hubungannya dengan tingkat sosial ekonomi masyarakat di daerah yang bersangkutan
(Desmita, 2005).
Stunting merupakan keadaan tubuh yang pendek dan sangat pendek sehingga
melampaui defisit -2 SD di bawah median panjang atau tinggi badan. Pada keadaan
stunting, tinggi badan anak tidak memenuhi tinggi badan normal menurut umurnya.
Anak yang pendek berkaitan erat dengan kondisi yang terjadi dalam waktu yang lama
seperti kemiskinan, perilaku hidup bersih dan sehat yang kurang, kesehatan
pendidikan. Oleh karena itu masalah balita pendek merupakan cerminan dari keadaan
sosial ekonomi masyarakat. Karena masalah gizi pendek diakibatkan oleh keadaan
yang berlangsung lama, maka ciri masalah gizi yang ditunjukkan oleh anak pendek
adalah masalah gizi yang sifatnya kronis (Depkes 2009). Faktor yang berperan dalam
menentukan status kesehatan seseorang yang berimplikasi pada kondisi pertumbuhan
adalah tingkat sosial ekonomi yang terdiri dari pendapatan keluarga, pendidikan dan
pekerjaan orang tua serta budaya dan lain-lain (Notoatmodjo, 2007). Menurut
Soejtiningsih (2004) pekerjaan atau pendapatan keluarga, pendidikan orang tua,
jumlah saudara, serta budaya mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan dan
perkembangan anak. Salah satu ukuran standar ekonomi keluarga adalah tingkat
pendapatan total yang diterima keluarga atau jumlah pengeluaran totalnya, meliputi
pengeluaran atas pangan dan non pangan (Suhardjo, 2003).
Beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan fisik anak adalah faktor
genetis, faktor makanan dan keadaan status sosial ekonomi keluarga. Faktor genetik
dikaitkan dengan adanya kemiripan anak-anak dengan orangtuanya dalam hal bentuk
tubuh,proporsi tubuh dan kecepatan perkembangan. Faktor makanan berhubungan
dengan keseimbangan konsumsi gizi dengan kecukupan gizi dan pola konsumsi
pangan anak tersebut. Beberapa faktor gizi yang juga berpengaruh terhadap
pertumbuhan tinggi badan yaitu kalori, protein, Iodium dan zat gizi mikro seperti
vitamin A, zink (zn). Pola konsumsi pangan adalah susunan jenis dan jumlah pangan
sosial ekonomi keluarga meliputi pendidikan, pekerjaan serta pendapatan (Baliwati,
2004).
Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup
sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau
masyarakat untuk menyerap informasi dan mengimplementasikan dalam perilaku dan
gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi (Depkes RI, 2004).
Oleh karena itu, tingkat pendidikan ibu akan mempengaruhi sikap dan tindakan ibu
dalam memberi makanan anak. Begitu dominannya peranan ibu bagi kesehatan anak
terutama dalam pemberian gizi yang cukup pada anak, menuntut ibu harus
mengetahui dan memahami akan kebutuhan gizi pada anak.
Pekerjaan ibu dapat mempengaruhi keadaan gizi keluarga khususnya anak
balita dan usia sekolah. Bila seorang ibu bekerja dari pagi hingga sore hari akan
menyebabkan tersitanya waktu untuk anak dan keluarganya, kurangnya waktu yang
dicurahkan untuk memperhatikan anak baik dalam merawat, mengasuh maupun
dalam memberikan makanan anak. Ibu yang bekerja mempunyai peran ganda yaitu
sebagai ibu rumah tangga dan wanita pekerja. Walaupun demikian ibu memiliki
tanggungjawab dalam mengurus rumah tangga. Hal ini dapat berdampak pada kondisi
kesehatan keluarga khususnya keadaan gizi anak balita, anak usia sekolah dan
anggota keluarga lainnya. Ibu kurang memiliki waktu yang cukup untuk
memperhatikan makanan anak (Adisasmito, 2007).
Tingkat pendapatan keluarga menentukan jenis dan jumlah pangan yang akan
penduduknya berstatus sosio ekonomi rendah. Banyak keluarga terutama yang
berstatus ekonomi rendah beranggapan bahwa menu makanan yang sehat dan bergizi
itu harganya mahal, padahal tidak selamanya makanan yang sehat dan bergizi itu
mahal. Perubahan pendapatan keluarga dapat mempengaruhi perubahan pola asuh
gizi yang secara langsung berpengaruh terhadap konsumsi pangan anak.
Meningkatnya pendapatan berarti memperbesar peluang untuk membeli pangan
dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik. Sebaliknya penurunan pendapatan
akan menyebabkan penurunan dalam hal kualitas dan penurunan kuantitas pangan
yang dibeli (Baliwati, 2004).
Di Kenya, malnutrisi kronis merupakan masalah nasional dengan rata – rata
33,3% (TB/U) yang menjelaskan satu orang anak mewakili tiga anak pendek
khususnya pada anak dengan keadaan gizi yang buruk (WHO, 2008). Hasil survey
TBABS yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Kampar (2003)
menemukan 22,1% anak baru masuk sekolah dasar mengalami gangguan
pertumbuhan (Hadi, 2005). Pada tahun 2010 Dinas Kesehatan Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta melakukan pengukuran TBABS diketahui bahwa 12,16% anak
baru masuk sekolah dalam kategori pendek dan 1,44% sangat pendek.
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2010 untuk
daerah Sumatera Utara, prevalensi anak yang pendek pada anak umur 6-12 tahun
sebesar 43,2% yang terdiri dari 20,6% sangat pendek dan 22,6% pendek. Sedangkan
hasil RISKESDAS tahun 2013, prevalensi anak yang pendek pada umur 5-12 tahun
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yunida E, pada tahun 2005 di
Medan menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan
ibu, dan status pekerjaan ibu dengan BB/U anak, dan status pekerjaan ibu dan tingkat
pendapatan keluarga mempunyai hubungan yang signifikan terhdap TB/U sedangkan,
Tingkat pendapatan mempunyai hubungan yang signifikan terhdap BB/TB anak.
Berdasarkan survei pendahuluan di SD Negeri No.142442 kota
Padangsidimpuan. Survei yang dilakukan kepada 15 murid sebagai data awal
menunjukkan 9 orang anak di kategorikan pendek, 2 orang anak tinggi dan 4 orang
anak yang tinggi badannya normal, dan rata – rata pekerjaan orangtua murid adalah
wiraswasta dan bertani serta rata – rata pendidikan terakhir orangtua siswa adalah
SMA, sedangkan untuk penghasilan keluarga ± Rp.1.500.000 perbulan. Maka dengan
ini penulis ingin mengetahui hubungan konsumsi pangan dan status sosial ekonomi
keluarga dengan pertumbuhan anak baru masuk sekolah di SD Negeri NO.142442
Kota Padangsidimpuan Tahun 2014.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka perumusan masalah dalam penelitian
ini adalah bagaimana hubungan pola konsumsi pangan dan status sosial ekonomi
keluarga dengan pertumbuhan anak baru masuk sekolah dasar di SD Negeri
1.3. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui hubungan pola konsumsi pangan dan status sosial ekonomi
keluarga dengan pertumbuhan anak baru masuk sekolah dasar di SD Negeri
NO.142442 Kota Padangsidimpuan Tahun 2014.
1.4. Manfaat Penelitian
Dapat memberikan informasi atau masukan bagi orang tua dan sekolah
tentang gambaran pertumbuhan anak yaitu tinggi badan anak baru masuk sekolah SD
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pertumbuhan Anak Sekolah dasar
Usia sekolah dasar (6-12) merupakan puncak pertumbuhan tertinggi kedua
setelah 0-3 tahun atau disebut dengan Adolescent Growth Spurt, hal ini merupakan
masa terpenting dalam pembentukan kualitas fisik orang dewasa. Seiring dengan itu
jika dilihat dari kebutuhan zat-zat gizi akan meningkat dengan pesat sehingga suatu
kondisi difesiensi/kekurang gizi pada usia ini akan berpengaruh terhadap
pertumbuhan anak tersebut (Soetjiningsih, 1995). Dapat dikatakan pada dasarnya
pertumbuhan anak merupakan dasar kehidupan berlangsung secara
berkesinambungan, dalam arti setiap tahap ditentukan oleh tahap sebelumnya dan
akan menentukan tahp berikutnya. Begitu juga halnya pertumbuhan tinggi badan anak
laki-laki dan anak perempuan berbeda.
Pertumbuhan merupakan parameter kesehatan dan gizi yang cukup untuk
menilai kesehatan anak. Pertumbuhan (growth) berkaitan dengan masalah perubahan
dalam besar, jumlah, ukuran atau dimensi tingkat sel organ maupun individu, yang
bisa di ukur dengan ukuran berat (gram, kilogram), ukuran panjang (cm, meter), umur
tulang dan keseimbangan metabolik (retensi kalsium dan nitrogen tubuh)
(Soetjiningsih, 1995).
Pertumbuhan dapat diukur dengan berbagai cara, salah satu yang paling
umum adalah dengan metode antropometri. Pengukuran antropometri tampaknya
menimbang berat badan dan mengukur tinggi badan dan sebagainya. Siapa sajapun
dapat melakukan kegiatan ini hanya melakukan latihan-latihan sederhana. Namun
dari segi ilmiah dan demi ketepatan perencanaan program gizi banyak masalah teknis
yang perlu diperhatikan terutama tentang cara-cara pengukuran. Kesalahan teknis
pengukuran menyebabkan akurasi data tidak dapat dipertanggung jawabkan dan
masalah ini dapat menimbulkan keracunan. Di Indonesia jenis antropometri yang
banyak digunakan dalam kegiatan penelitian dan program adalah berat badan dan
tinggi badan. Diperlukan ketelitian pengukuran oleh karena kesalahan pengukuran
akan mengakibatkan kesalahan data yang pada akhirnya akan mempengaruhi
penilaian status gizi (Supariasa, 2001).
Indeks antropometri yang umum dikenal dan dapat digunakan untuk
pertumbuhan usia anak sekolah yaitu, tinggi badan menurut umur (TB/U).
2.1.1. Tinggi Badan menurut Umur (TB/U)
Tinggi badan memberikan gambaran pertumbuhan tulang yang sejalan dengan
pertumbuhan umur. Berbeda dengan berat badan, tinggi badan tidak banyak
dipengaruhi oleh keadaan yang mendadak. Tinggi badan pada suatu waktu
merupakan hasil pertumbuhan secara kumulatif semenjak lahir dan karena itu
memberikan gambaran riwayat status gizi masa lalu. Tinggi badan merupakan indeks
yang sangat baik digunakan untuk mengevaluasi dampak gizi berbagai program dan
memantau perubahan status gizi jangka panjang. Sehingga dapat memberikan
gambaran anak pendek, stabil dan tidak terpengaruh oleh perubahan status gizi yang
Pertumbuhan tinggi badan menurut umur (TB/U) yang pendek salah satu
penyebab yang dianggap normal adalah faktor keturunan dari salah satu orangtuanya.
Berdasarkan faktor keturunan, seseorang bertubuh pendek karena dia mungkin
memang mempunyai bakat pendek, atau dalam masa dan pola pertumbuhannya
mengalami suatu penundaan yang cukup lama, yaitu karena kekurangan salah satu
atau lebih dari hormon-hormon pertumbuhan. Anak laki-laki agaknya terpengaruh
terhadap keadaan hormon dibanding anak perempuan (Aritonang, 1996).
Indeks TB/U lebih menggambarkan status gizi masa lau. Keadaan TB anak
pada usia sekolah (7 tahun) misalnya, menggambarkan status gizi pada masa balita
mereka (Basumi, 1988).
Indek TB/U sebagai indikator status memiliki kelebihan dan kekurangan.
Kelebihannya adalah:
1. Baik untuk menilai status gizi masa lampau
2. Ukuran panjang dapat dibuat sendiri, murah dan mudah dibawa.
Kekurangannya adalah:
1. Tinggi badan tidak cepat naik, bahkan tidak mungkin turun.
2.2. Tinggi Badan Anak Baru Masuk Sekolah (TBABS)
Salah satu indikator gizi untuk menilai peningkatan kualitas sumber daya
manusia adalah ukuran pertumbuhan fisik yang dapat dilakukan melalui pengukuran
Tinggi Badan Anak Baru Sekolah (TBABS). Dengan penilaian pencapaian tinggi
badan secara periodik khususnya pada anak baru masuk sekolah, akanmemberikan
informasi yang sangat penting bagi para penentu kebijakan setempat, dalam
perencanaan dan intervensi upaya peningkatan status gizi, juga sebagai indikator
pembangunan (Depkes, 1999).
Manfaat pengukuran TBABS menurut Abunain (1988) antara lain : 1) cukup
teliti digunakan sebagai suatu alat untuk memperoleh gambaran status gizi pada
tingkat kabupaten /kota dan tingkat kecamatan; 2) Data TBABS dapat digunakan
sebagai dasar untuk pemetaan daerah menurut status gizi dan sekaligus juga member
gambaran perbedaan sosial ekonomi antar wilayah; 3) Pengukuran TBABS dapat
merupakan alternatif alat pemantau status gizi masyarakat dengan biaya relatif murah
dan sederhana, sehingga dapat dikembangkan secara luas (nasional, atau regional).
TBABS dapat memberi gambaran tentang pertumbuhan yang diderita anak
bersangkutan pada umur-umur sebelumnya. Keadaan tinggi badan anak pada usia
sekolah 7 tahun dapat menggambarkan status gizi pada masa balita mereka (Atmarita,
2004). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada penderita kurang kalori protein
(KKP) terutama KKP berat yang bersifat menahun selalu terlihat gangguan
mengejar ketinggalan pertumbuhannya dalam waktu singkat guna mencapai tinggi
normal sesuai dengan umurnya (Desmita, 2005).
TBABS di suatu wilayah yang ada di bawah baku pada tingkat tertentu dapat
memberi petunjuk adanya gangguan pertumbuhan pada anak sebagai gambaran taraf
kesehatan dan gizi penduduk di wilayah bersangkutan. Ada korelasi yang baik antara
tinggi badan anak sekolah dengan keadaan sosial ekonomi masyarakat daerah yang
bersangkutan. TBABS tersebut merupakan refleksi pertumbuhan anak pada umur di
bawah lima tahun dan sekaligus menjadi petunjuk bagi perbaikan kesehatan dan gizi
dalam masa tersebut (Abunain, 1988).
TBABS dapat merupakan salah satu indikator status gizi dan kesehatan
masyarakat suatu daerah, yang erat pula hubungannya dengan tingkat sosial ekonomi
masyarakat di daerah yang bersangkutan. Hal ini disebabkan perubahan dalam status
gizi dan kesehatan berkaitan erat dengan perubahan dalam tingkat sosial ekonomi
penduduk. Oleh karena itu pengukuran TBABS sebaiknya dilakukan secara berkala,
misalnya setiap 3 – 5 tahun sekali, sehingga perubahan-perubahan kualitas fisik dan
keadaan sosial ekonomi masyarakat di berbagai daerah dapat dipantau secara
berkesinambungan (Jahari, 1999).
2.2.1. Alasan Pengukuran TBABS
Abunain (1988) menyebutkan beberapa alasan digunakannya pengukuran tinggi
badan anak baru sekolah (TBABS) adalah atas dasar :
1. Tinggi badan merupakan indikator yang paling baik untuk pertumbuhan tubuh dan
2. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa penderita KKP, terutama KKP berat dan
yang bersifat menahun, selalu ditandai oleh gangguan pertumbuhan.
3. Tinggi badan pada umur tertentu merupakan hasil kumulatif pertumbuhan
semenjak lahir, sehingga menggambarkan riwayat status gizi di masa lalu.
4. Tinggi badan tidak mudah dipengaruhi oleh perubahan keadaan-keadaan yang
terjadi dalam waktu singkat seperti halnya ukuran-ukuran yang berhubungan
dengan massa jaringan.
5. Tinggi badan pada umur masuk sekolah dasar dapat merupakan refleksi status gizi
pada umur-umur sebelumnya atau pada masa balita. Anak-anak dengan riwayat
KKP berat dan menahun sukar mengejar ketinggalan pertumbuhan guna mencapai
tinggi normal sesuai dengan umur mereka. Karena itu TBABS di suatu daerah
dapat memberi gambaran prevalensi gangguan pertumbuhan yang dialami
anakanak di daerah tersebut.
6. Anak baru masuk Sekolah Dasar relatif mudah dicapai dibandingkan dengan anak
balita atau golongan rawan gizi lain. Dengan demikian pengukuran dalam skala
luas dapat dilakukan serentak di semua tempat.
7. Anak sekolah merupakan sasaran penduduk, yang dapat memberi gambaran status
kesehatan dan gizi penduduk, yang secara operasional dapat dicapai dengan mudah
dalam jumlah besar dan dapat mencakup wilayah luas dalam waktu relatif singkat.
8. Pengukuran tinggi badan di sekolah-sekolah bukanlah merupakan hal baru di
9. Alat ukur tinggi badan relatif cukup teliti, dapat diperoleh dengan mudah dalam
jumlah banyak dengan harga relatif murah dibanding harga timbangan berat badan.
10. Pengukuran dapat dilakukan oleh guru dan dapat dilakukan dengan menggunakan
buku petunjuk yang sudah diuji tanpa melakukan pelatihan secara khusus.
11. Penelitian menunjukkan adanya korelasi yang baik antara tinggi badan anak
sekolah dengan keadaan sosial ekonomi penduduk daerah yang bersangkutan.
12. Jika pengukuran tinggi badan anak baru masuk SD dilakukan secara periodik,
akan dapat diamati perubahan-perubahan dalam tinggi badan anak pada umur
yang sama dan perbaikan pertumbuhan anak juga merupakan petunjuk
peningkatan status kesehatan dan gizi serta sekaligus memberi gambaran
perbaikan dalam bidang sosial ekonomi masyarakat setempat.
2.2.2. Survei Nasional TBABS
Di Indonesia pengukuran TBABS pertama kali dilakukan pada
tahun1986/1987 oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi Bogor bekerja sama
dengan Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Jakarta di tiga
Propinsi : Sumatera Barat, Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Barat, meliputi 3450
sekolah dasar (652 kecamatan). Pengukuran tinggi badan dilakukan guru sekolah
yang bersangkutan berdasarkan buku pedoman. Hasil penelitian menunjukkan
pengukuran TBABS dengan cara tersebut memberi harapan untuk dilaksanakan
secara luas, dapat digunakan untuk pemetaan gangguan pertumbuhan anak, status
analisis data potensi desa bahwa TBABS dapat digunakan sebagai indikator tingkat
sosial ekonomi penduduk antar wilayah (Abunain, 1988).
Pada tahun 1994, untuk pertama kalinya dilaksanakan pemantauan TBABS di
seluruh Indonesia, yang memberikan gambaran rata-rata tinggi badan dan prevalensi
gangguan pertumbuhan anak usia sekolah. Secara nasional rata-rata TBABS adalah
114,9 cm (91,0% terhadap standar WHO – NCHS) untuk laki-laki, sementara untuk
anak perempuan 114,0 cm (90,6 % terhadap standar WHO-NCHS). Adapun n
prevalensi gangguan pertumbuhan adalah 32% untuk wilayah pedesaan, dan 18%
untuk wilayah perkotaan. Prevalensi gizi kurang menurut tinggi badan anak usia 6 – 9
tahun anak pendek adalah 38,8 %. Informasi ini dapat dijadikan sebagai data dasar
evaluasi kecenderungan pertumbuhan berikutnya (Depkes, 1999).
Pada tahun 1999 pengukuran TBABS secara nasional kedua dilakukan. Hasil
penelitian menunjukkan tidak terlihat perubahan perbaikan gizi yang bermakna dari
hasil pengukuran tersebut. Prevalensi hasil pengukuran TBABS menjadi 36,1 %
Rata-rata TBABS hasil survey tahun 1999 adalah :
1. umur 6 tahun, laki-laki 108,9 cm; perempuan 107,8cm
2. umur 7 tahun, laki-laki 111,0 cm; perempuan 110,0 cm
3. umur 8 tahun, laki-laki 113,2; perempuan 112,1 cm
4. umur 9 tahun, laki-laki 116,1 cm; perempuan 115,2 cm (LIPI, 2004)
Hasil penelitian TBABS tahun 1999 menyimpulkan bahwa anak Indonesia
yang baru masuk sekolah keadaan gizinya masih jauh dibandingkan dengan rujukan.
10 % anak dikategorikan sangat pendek. Hanya sedikit sekali peningkatan status gizi
yang terjadi (Atmarita, 2004)
Rata-rata tinggi badan anak baru masuk sekolah (umur 7 – 9 tahun) hasil
perhitungan 2003 yang dilakukan Abbas Basuni Jahari dan Idrus Jus’at dari berbagai
literatur dan hasil penelitian TBABS untuk penentuan AKG 2004 adalah perempuan
118,1 cm (SD : 4,86); laki-laki 119,2 cm (SD : 3,95) (Jahari, 2004). Dalam
menginterpretasikan hasil pengukuran TBABS,dipakai baku rujukan WHO-NCHS
yang membedakan jenis kelamin. Cutt off point (ambang batas) untuk klasifikasi
status gizi berdasarkan TB/U adalah:Baku rujukan WHO-NCHS , dengan cara % dari
median. Klasifikasi : Normal jika Ӌ 90 % median; Stunted/malnutrisi kronis jika ӊ
90 % median. Dengan cara Standar Deviasi (SD) : Klasifikasi : Normal jika Ӌ-2 SD
TB/U; Stunted/pendek jika < -2 SD TB/U.
2.3. Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Anak Baru Masuk Sekolah
Di seluruh dunia, penyebab tersering dari postur tubuh pendek adalah
kemiskinan dan efek – efeknya. Jadi nutrisi yang buruk, higine yang buruk dan
kesehatan yang buruk berefek pada pertumbuhan baik sebelum ataupun sesudah
dilahirkan. Sering terdapat perbedaan postur tubuh antara kelas – kelas social dari
kelompok etnis yang sama di area geografi yang sama akibat pengaruh – pengaruh
tersebut. Prinsip – prinsip ini telah dibuktikan pada tinggi badan orang – orang
Jepang di Amerika yang bertinggi badan lebih tinggi dibandingkan dengan tinggi
ekonomi sama, perbedaan tinggi rata – rata antara bermacam – macam kelompok
etnik hanya disebabkan factor genetik saja (Styne, 2000).
Faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi pertumbuhan antara lain,
pendapatan atau penghasilan, pendidikan dan pekerjaan orangtua. Ada hubungan
yang erat antara pendapatan dan gizi. Tingkat pendapatan menentukan pola konsumsi
pangan dan apa yang dibeli baik kualitas maupun kuantitasnya. Pendapatan yang
meningkat mendorong pengaruh yang menguntungkan bagi perbaikan gizi keluarga.
Martorell et al.cit dalam Soekirman (2000), sosial ekonomi ini langsung berpengaruh
terhadap kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan akan makanan, sehingga
mempengaruhi pertumbuhan dan pemeliharaan tubuh serta mencegah penyakit
infeksi.
2.3.1. Pola Konsumsi Pangan
Pola konsumsi pangan adalah berbagai informasi yang memberikan gambaran
mengenai jenis, frekuensi dan jumlah bahan pangan yang dimakan tiap hari oleh satu
orang atau merupakan ciri khas untuk sesuatu kelompok masyarakat tertentu
(Santoso, 2004).
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang sangat penting dan tidak
dapat tergantikan oleh kebutuhan yang lainnya. Terpenuhinya kebutuhan pangan
merupakan hak asasi bagi setiap orang. Negara berkewajiban mewujudkan ketahanan
pangan bagi setiap warga negara yaitu menyediakan pangan yang cukup, aman,
beragam, bergizi, merata, terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama,
Keadaan kesehatan tergantung dari tingkat konsumsi. Tingkat konsumsi
ditentukan oleh kualitas serta kuantitas hidangan. Kuantitas hidangan menunjukan
adanya semua zat gizi yang diperlukan tubuh di dalam susunan hidangan dan
perbandingannya yang satu terhadap yang lain. Kuantitas menunjukan jumlah
masing-masing zat gizi terhadap kebutuhan tubuh. Jika susunan hidangan memenuhi
kebutuhan tubuh, baik dari sudut kualitas maupun kuantitasnya, maka tubuh akan
mendapat kondisi kesehatan gizi yang sebaik-baiknya. Konsumsi yang menghasilkan
kesehatan gizi yang sebaik-baiknya disebut konsumsi adekuat. Bila konsumsi baik
kuantitasnya dan dalam jumlahnya melebihi kebutuhan tubuh dinamakan konsumsi
berlebih, maka akan terjadi suatu keadaan gizi lebih. (Sediaoetama, 2004).
Pola konsumsi pangan penduduk di suatu wilayah dipengaruhi oleh
aspek-aspek tersebut di atas. Agar dapat dikonsumsi penduduk, suatu komoditas pangan
harus tersedia cukup baik melalui produksi pangan maupun melalui impor. Namun,
tersedianya pangan belum mencukupi tanpa diikuti oleh adanya akses yang memadai
terhadap pangan. Aksesibiltas penduduk terhadap pangan ditentukan oleh tingkat
daya beli yang dalam hal ini menggambarkan tingkat kesejahteraan penduduk. Selain
kedua hal tersebut, pola konsumsi pangan juga dipengaruhi oleh faktor sosial budaya
2.3.1.1. Frekuensi Makan
Frekuensi makan adalah jumlah makan sehari – hari baik kualitatif dan
kuantitatif. Secara alamiah makanan diolah dalam tubuh melalui alat – alat
pencernaan mulai dari mulut samapai usus halus. Lama makanan dalam lambung
tergantung sifat dan jenis makanan. Jika dirata – rata, umumnya lambung kosong
antara 3 – 4 jam.
2.3.1.2. Jenis makanan
Jenis makanan adalah variasi bahan makanan yang kalau dimakan, dicerna
dan diserap akan menghasilkan paling sedikit susunan sehat dan seimbang. Jenis
makan yang dikonsumsi seseorang dapat dibedakan menjadi dua yaitu makanan
utama dan makanan selingan (Sediaotama, 2004).
1. Makanan Pokok
Makan pokok adalah yang dianggap memegang peran penting dalam
susunan makanan. Pada umumnya makanan pokok berfungsi sebagai
sumber energy (kalori) dalam tubuh dan member rasa kenyang. Makanan
pokok yang bisa di konsumsi yaitu nasi, roti dan mie atau bihun.
2. Lauk pauk
Lauk pauk berfungsi sebagai teman makan dari makanan pokok. Lauk
pauk terdiri dari lauk pauk hewani dan nabati. Keduan jenis produk ini
mempunyai protein hewani dan nabati yang mempunyai fungsi antara lain
membangun sel – sel yang rusak dan membentuk zat pengatur seperti
Lauk pauk hewani mencakup semua bahan makanan yang berasal dari
hewan terutama dari hewan ternak, unggas, ikan, susu, telur dan daging.
Sedangkan lauk pauk nabati merupakan bahan makanan yang bersumber
dari protein nabati. Bahan makanan ini tergolong dari kacang – kacangan
dan hasil olahannya sperti tempe dan tahu.
3. Sayur – sayuran
Sayuran merupakan sebutan umum bagi bahan pangan yang berasal
dari tumbuhan yang biasanya mengandung kadar air tinggi dan
dikonsumsi dalam keadaan segar atau setelah di olah secara minimal,
misalnya sawi, bayam dan brokoli.
4. Buah
Buah merupakan jenis hidangan yang dimakan sebagai cuci mulut
yaitu dimakan setelah makan nasi. Berupa buah masak segar seperti
semangka, melon, pisang, durian dapat juga berupa masakan berupa buah
cocktail, sale, setup dan sebagainya. Buah-buahan berfungsi sebagai
sumber vitamin dan mineral tetapi pada buah-buah tertentu yang
menghasilkan banyak energi.
5. Makanan selingan
Makanan selingan juga perlu diperkenalkan dan dapat diberikan
diantara makan pagi dan makan siang serta diantara makan siang dan
makan malam. Makanan selingan dapat membantu jika anak tidak cukup
makanan selingan sehat misalnya, buah – buahan, bubur kacang hijau dan
biskuit.
2.3.1.3. Jumlah Zat Gizi
Jumlah zat gizi merupakan jumlah kandungan gizi yang terdapat dalam
makanan yang dikonsumsi pada tiap kali makan (Sediaoetama, 2004).
Penelitian yang dilakukan oleh Nanik (2005) menyatakan bahwa rendahnya
TB/U anak dikarenakan rendahnya masukan atau asupan konsumsi energy dan
protein yang tentunya ditunjang oleh konsumsi yodium dan seng dimana ini
dipengaruhi oleh pola konsumsi anak yang tidak seimbang. Sama halnya dengan
penelitian yang dilakukan oleh Erni (2013) menyatakan bahwa ada hubungan pola
konsumsi pangan anak dengan status gizi (BB/U, TB/U, BB/TB) anak dikarenakan
rendahnya konsumsi anak.
2.3.2. Status Sosial Ekonomi Keluarga
Beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan fisik anak adalah faktor
genetis, beberapa hormon yang mempengaruhi hormon pertumbuhan dan penyakit
akut atau kronis. Selain factor tersebut terdapat pula factor makanan dan status sosial
ekonomi keluarga, factor sosial ekonomi keluarga antara lain yang berhubungan
dengan pendidikan, pekerjaan dan pendapatan keluarga, dan lain – lain (Soetjiningsih,
1995).
Dan hasil penelitian Myrnawati (1993) yang mengajukan beberapa variabel
pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua, dan pendapatan orangtua dan lain- lain
(Anwar 2000)
2.3.2.1. Tingkat Pendidikan Ibu
Pendidikan sebagai usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan
kemampuan di dalam dan di luar sekolah yang berlangsung seumur hidup.
Pendidikan menuju pada suatu perubahan perubahan tingkah laku
individu/masyarakat, meningkatkan pengetahuan/pengertian, menimbulkan sikap
positif serta memberikan dan meningkatkan keterampilan tentang aspek-aspek yang
bersangkutan sehingga tercapai suatu masyarakat yang berkembang (GBHN).
Angka melek huruf ibu merupakan salah satu indikator penting yang
membawa pengaruh positif terhadap anak. Hal ini dapat memudahkan ibu untuk
memperoleh dan menyerap informasi yang ada khususnya dalam hal kesehatan dan
gizi anak. Pendidikan gizi ibu bertujuan untuk meningkatkan penggunaan sumber
daya makanan yang tersedia. Dari hal terebut dapat diasumsikan bahwa tingkat
kecukupan energi dan zat gizi pada balita relatif tinggi bila pendidikan gizi ibu tinggi
(Kemenkes RI, 2013).
Ibu yang pendidikannya lebih rendah atau tidak berpendidikan biasanya
mempunyai anak yang lebih banyak dibandingkan dengan yang berpendidikan lebih
tinggi. Selain itu, ibu yang berpendidikan rendah lebih susah diajak untuk
mendapatkan dan menyerap informasi yang ada. Ibu yang mempunyai pengetahuan
baik tentang pangan dan gizi, maka dalam hal pemilihan makanan keluarga akan
yang diperoleh akan memberikan sikap yang menguntungkan bagi dirirnya, keluarga
dan masyarakat (Adisasmito, 2007).
Pola pengasuhan anak berupa sikap dan perilaku ibu dalam hal kedekatannya
dengan anak, memberikan makan, merawat, kebersihan, memberi kasih sayang.
Kesemuanya itu berhubungan dengan keadaan ibu dalam hal kesehatan (fisik dan
mental), status gizi, pendidikan umum, pengetahuan dan keterampilan tentang
pengasuhan anak yang baik,dan juga pekerjaan ibu (Adisasmito, 2007).
2.3.2.2. Status Pekerjaan Orangtua a. Status Pekerjaan Ibu
Menurut Masri Singarimbun, ada istilah dalam membagi wanita dalam dua
kategori, yaitu “pekerja” dan “bukan pekerja”. Dari ketentuan tersebut, pekerjaan
sering didefenisikan sebagai tugas – tugas yang dilakukan oleh laki – laki, sehingga
pekerjaan diluar rumah tangga dianggap bukan suatu pekerjaan. Ibu yang mempunyai
kegiatan diluar rumah tangga disebut dengan wanita pekerja.
Selain bekerja diluar rumah, wanita tidak terlepas dari kodratnya sebagai ibu
rumah tangga. Dalam hal ini dituntut tanggungjawabnya kepada suami, anak dan
anggota keluarga lainnya. Gambaran tersebut menunjukkan betapa pentingnya fungsi
seorang ibu dalam membina keluarga khususnya memelihara anak, sehingga seoarang
ibu berhasil berperan ganda sebagai ibu rumah tangga dan wanita pekerja.
(Singarimbun, 1988)
Didaerah kota banyak ibu – ibu yang bekerja dari pagi hingga sore, sehingga
demikian dapat mempengaruhi keadaan gizi keluarga khususnya anak balita dan anak
usia sekolah. Ibu – ibu yang bekerja tidak cukup waktu untuk memperhatikan
makanan anak yang sesuai dengan kebutuhan dan kecukupannya serta kurangnya
perhatian dan pengasuhan kepada anak. Bahkan tak jarang tuntutan pekerjaan dapat
mempengaruhi perilaku ibu – ibu, dimana perhatian dan pemenuhan makanan untuk
keluarga khususnya anak lebih bersifat praktis. (Berg, 1986)
Selama bekerja ibu cenderung mempercayakan bayi mereka kepada pembantu
atau kepada anak yang lebih besar, sehingga pola pengasuhan dapat menjadi kurang
diutamakan. Tidak terdapatnya undang – undang yang mengatur waktu untuk
menyusui bayinya pada jam kerja mendorong ibu pekerja tidak menyususkan bayinya
bahkan beralih kepada pemberian susu botol ataupun mempercepat waktu
penyapihan. Makanan sapihan yang tidak sesuai serta pemberian susu botol
merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya kekurangan gizi pada bayi dan pada
umur selanjutnya, hal ini akan mempengaruhi fisik anak nantinya (Abunain, 1978).
b. Status Pekerjaan Ayah
Penelitian Hartil (2001) menunjukkan bahwa pekerjaan ayah yang bekerja dalam
kategori swasta mempunyai konsumsi makanan keluarga yang lebih baik
dibandingkan ayah yang bekerja sebagai buruh dan hasil uji statistiknya menunjukkan
hubungan yang bermakna antara keduanya. Begitu pula dengan penelitian Alibbirwin
(2001) menemukan hubungan yang bermakna antara pekerjaan ayah dengan status
besar mempunyai anak kurang gizi dibandingkan dengan balita yang ayahnya bekerja
wiraswasta.
Proporsi ayah yang bekerja sebagai PNS/Swasta cenderung memiliki anak
dengan status gizi baik dibandingkan ayah dengan pekerjaan lainnya (Sukmadewi,
2003). Hal ini didukung dengan penelitian Sihadi (1999) yang menyatakan ayah yang
bekerja sebagai buruh memiliki balita dengan proporsi status gizi buruk terbesar yaitu
53%.
2.3.2.3. Tingkat Pendapatan Keluarga
Salah satu penyebab tidak langsung dari gizi kurang adalah status sosial
ekonomi keluarga. Masalah kesehatan dan keadaan gizi di negara berkembang
sebagian besar penduduknya berstatus sosio ekonomi rendah. Banyak keluarga
terutama yang berstatus ekonomi rendah beranggapan bahwa menu makanan yang
sehat dan bergizi itu harganya mahal, padahal tidak selamanya makanan yang sehat
dan bergizi itu mahal. Perubahan pendapatan keluarga dapat mempengaruhi
perubahan pola asuh gizi yang secara langsung berpengaruh terhadap konsumsi
pangan balita. Meningkatnya pendapatan berarti memperbesar peluang untuk
membeli pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik. Sebaliknya
penurunan pendapatan akan menyebabkan penurunan dalam hal kualitas dan
penurunan kuantitas pangan yang dibeli (Farida B, 2004).
Standar hidup layak dihitung dari pendapatan per kapita (tingkat ekonomi).
Pendapatan keluarga merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas dan
dibeli. Status sosial ekonomi dipengaruhi oleh tingkat pendidikan karena orang
dengan pendidikan tinggi semakin besar peluangnya untuk mendapatkan penghasilan
yang cukup supaya bisa berkesempatan untuk hidup dalam lingkungan yang baik dan
sehat,sedangkan pekerjaan yang lebih baik orang tua selalu sibuk bekerja sehingga
tidak tertarik untuk memperhatikan masalah yang dihadapi anak-anaknya, padahal
sebenarnya anak-anak tersebut benar-benar menbutuhkan kasih sayang orangtua
(Adriani, 2012).
Status sosial ekonomi juga sangat dipengaruhi oleh tingkat pendapatan
keluarga, apabila akses pangan ditingkat rumah tangga terganggu, terutama akibat
kemiskinan, maka penyakit kurang gizi (malnutrisi) pasti akan muncul. Bagi
negara-negara yang sedang mengalami trasnsisi gizi seperti Indonesia, masalah yang
dihadapi juga mencakup kegemukan yang dialami anak-anak sekolah akibat
kemakmuran orangtuanya (Khomsan,2002).
Pada kondisi ekonomi terbatas biasanya pemenuhan gizi pada anak jadi
terabaikan. Namun, pada negara-negara maju masyarakatnya lebih mengonsumsi
kalori dan lemak jenuh melebihi kebutuhan tubuh disebabkan tingkat pendapatan
yang tinggi. Hal tersebut dapat menyebabkan kegemukan, kegemukan sangat terkait
dengan pola makan dan gaya hidup. Penghasilan yang cukup ketika diimbangi
dengan pengetahuan gizi yang memadai, dan pemanfaatan pangan yang
baik,kebutuhan gizinya akan terpenuhi secara kualitas maupun kuantitas. Keluarga
yang tingkat pendapatannya meningkat tidak selalu membelanjakan untuk kebutuhan
sosial.Banyak terdapat anak dengan status gizi kurang pada ayah dan ibu yang secara
ekonomi seharusnya dapat mencukupi kebutuhan makanan yang bergizi
(Sediaoetama, 2004).
Menurut Berg (1986), pola perbelanjaan keluarga yang ekonomi rendah dan
yang tingkat ekonomi yang berstatus menengah ke atas memiliki perbedaan. Pada
keluarga kurang mampu biasanya akan membelanjakan sebagian besar pendapatan
tambahannya untuk membeli makanan terutama beras, sedangkan keluarga kaya
sudah tentu akan lebih kurang dari jumlah itu. Bagian untuk makan padi-padian akan
menurun dan untuk makanan yang dibuat dari susu akan bertambah jika keluarga
beranjak kependapatan menengah ke atas, pada keluarga yang mampu semakin tinggi
pendapatan semakin bertambah pula persentase pertambahan perbelanjaan termasuk
untuk buah-buahan, sayu-sayuran, dan jenis makanan lainnya (Nugraheni,2003).
2.4. Status Sosial Ekonomi Keluarga dan Pola Konsumsi Pangan
Faktor-faktor yang ikut menentukan pola konsumsi keluarga antara lain tingkat
pendapatan keluarga, ukuran keluarga, pendidikan kepala keluarga dan status kerja
wanita. Untuk mendukung pernyataan tersebut, telah banyak penelitian dilakukan
untuk mengetahui hubungan antara tingkat pendapatan dan pola konsumsi keluarga.
Teori Engel’s yang menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan keluarga
semakin rendah persentasi pengeluaran untuk konsumsi makanan (Sumarwan, 1993).
Berdasarkan teori klasik ini, maka keluarga bisa dikatakan lebih sejahtera bila
persentasi pengeluaran untuk makanan jauh lebih kecil dari persentasi pengeluaran
semakin kecil dengan bertambahnya pendapatan keluarga, karena sebagian besar dari
pendapatan tersebut dialokasikan pada kebutuhan non pangan.
Jumlah anggota keluarga atau ukuran keluarga juga mempengaruhi pola
konsumsi. Hasil Survei Biaya Hidup (SBH) tahun 1989 membuktikan bahwa semakin
besar jumlah anggota keluarga semakin besar proporsi pengeluaran keluarga untuk
makanan dari pada untuk bukan makanan. Ini berarti semakin kecil jumlah anggota
keluarga, semakin kecil pula bagian pendapatan untuk kebutuhan makanan
(Sumarwan, 1993). Selebihnya, keluarga akan mengalokasikan sisa pendapatannya
untuk konsumsi bukan makanan. Dengan demikian, keluarga dengan jumlah anggota
sedikit relatif lebih sejahtera dari keluarga dengan jumlah anggota besar.
Selain jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan formal kepala keluarga juga
berpengaruh terhadap pola konsumsi keluarga. Pendidikan dapat merubah sikap dan
prilaku seseorang dalam memenuhi kebutuhannya. Makin tinggi tingkat pendidikan
seseorang maka makin mudah ia dapat menerima informasi dan inovasi baru yang
dapat merubah pola konsumsinya. Disamping itu makin tinggi tingkat pendidikan
formal maka kemungkinannya akan mempunyai tingkat pendapatan yang relatif lebih
tinggi (Sumarwan, 1993).
Penelitian yang dilakukan oleh Yunida (2005) menyatakan bahwa status sosial
ekonomi yang rendah akan berdampak kepada status gizi anak terutama tingkat
pendapatan keluarga yang rendah. Penelitian ini juga dilakukan oleh Wulansari
ekonomi yaitu tingkat pendapatan keluarga dan pengetahuan ibu sangat
mempengaruhi status gizi anak terutama pada komposisi tubuh anak.
2.5. Pola Konsumsi Pangan dan Status Gizi Anak
Pada masa usia sekolah, anak membutuhkan lebih banyak zat gizi untuk
pertumbuhan dan beraktivitas. Hal ini disebabkan karena pada masa ini terjadi
pertumbuhan fisik, mental, intelektual, dan sosial secara cepat, sehingga golongan ini
perlu mendapat perhatian khusus. Faktor kecukupangizi ditentukan oleh kecukupan
konsumsi pangan dan kondisi keluarga. Unicef dan Johnson (1992) membuat model
interelasi tumbuh kembang anak dengan melihat penyebab langsung, sebab tidak
langsung dan penyebab dasar. Sebab langsung adalah kecukupan makanan dan
keadaan kesehatan.Penyebab tidak langsung meliputi ketahanan makanan keluarga,
asuhan bagi ibu dan anak, sanitasi lingkungan dan pemanfaatan pelayanan
kesehatan.Penyebab yang paling mendasar dari tumbuh kembang anak adalah
masalah struktur politik dan ideologi serta struktur ekonomi yang dilandasi oleh
potensi sumber daya. Fakor-faktor tersebut berinteraksi satu dengan yang lainnya
sehingga dapat mempengaruhi masukan zat gizi dan infeksi pada anak. Pada akhirnya
ketersediaan zat gizi pada tingkat seluler rendah dan mengakibatkan pertumbuhan
terganggu (Supariasa, 2001).
Gizi kurang yang terjadi pada anak-anak, dapat menghambat pertumbuhan,
rentan terhadap penyakit infeksi dan rendahnya tingkat kecerdasan anak.
“mempersiapkan” sebagian mereka menjadi generasi yang hilang karena
terbentuknya potensi intelektual dan produktivitas yang tidak mampu menghadapi
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Notoadmojo, 2003).
Status gizi kurang atau status gizi lebih, merupakan suatu gangguan gizi yang
disebabkan oleh faktor primer dan faktor sekunder. Faktor primer adalah apabila
susunan makanan seseorang salah dalam kualitas maupun kuantitasnya, yang
merupakan akibat dari kurangnya penyediaan pangan, kemiskinan, ketidaktahuan,
kebiasaan makan yang salah dan sabagainya. Sedangkan faktor sekunder meliputi
semua faktor yang menyebabkan zat-zat gizi tidak sampai ke sel-sel tubuh setelah
makanan dikonsumsi. Begitu pentingnya faktor gizi sehingga pembentukan kebiasaan
makan yang baik harus ditanamkan sejak dini, karena hal ini sangat menentukan
kebiasaan makannya pada saat remaja dan dewasa (Utomo, 1998).
Berdasarkan penelitian Simanjuntak (2012) menyatakan bahwa ada hubungan
yang sidnifikan antara pola konsumsi pangan dengan status gizi, hal ini juga
didukung oleh penelitian Maulina (2013) yang menyatakan bahwa pola konsumsi
pangan sangat berpengaruh terhadap status gizi balita.
2.6. Kerangka Konsep
Pola konsumsi dan status sosial ekonomi keluarga dihubungkan dengan
pertumbuhan anak baru masuk sekolah dilihat dari indikator TB/U. Dengan demikian
Gambar 1: Kerangka Konsep
Keterangan:
Tidak dianalisa
Dianalisa
Hipotesis Penelitian
1. Ho :Tidak ada hubungan status sosial ekonomi keluarga dengan TB/U
Ha :Ada hubungan status sosial ekonomi keluarga dengan TB/U
2. Ho :Tidak ada hubungan pola konsumsi pangan dengan TB/U.
Ha :Ada hubungan pola konsumsi pangan dengan TB/U.
Status sosial ekonomi keluarga
- Tingkat pendidikan orangtua
- Status pekerjaan orangtua
- Tingkat pendapatan
keluarga Pertumbuhan:
TB/U
Pola Konsumsi pangan
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah bersifat deskriptif yaitu menggambarkan hubungan
pola konsumsi pangan dan status ekonomi keluarga dengan pertumbuhan anak baru
masuk sekolah dasar sekaligus menganalisa hubungan variabel-variabel yang diteliti.
Desain/rancangan penelitian yang digunakan adalah studi potong lintang (cross
sectional).
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di SD Negeri No.142442 Kota Padangsidimpuan. Lokasi
ini dipilih berdasarkan pertimbangan sekolah tersebut merupakan salah satu sekolah
dasar yang berada di Kota Padangsidimpuan dan berdasarkan survei pendahuluan di
sekolah ini terdapat murid yang tergolong pendek dimana dari 15 orang anak terdapat
9 orang anak bertubuh pendek.
3.2.2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober tahun 2014. Penelitian ini
dimulai dengan melakukan pengumpulan data sampai kepada penulisan hasil
3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh murid kelas satu SD Negeri
No.142442 Kota Padangsidimpuan. Kelas satu terdiri dari tiga kelas yaitu kelas IA
dengan jumlah 39 orang, kelas IB dengan jumlah 38 orang dan kelas IC dengan
jumlah 38 orang, maka populasi seluruhnya berjumlah 115 orang.
3.2.1 Sampel
Sampel dalam penelitian ini yaitu sebagian murid kelas I SD Negeri
No.142442. Dimana penghitungan sampel dilakukan dengan menggunakan rumus
Tara Yamane dan besar sampel dapat diketahui:
n = �
1+�(�2)
n = 115
1+115 0,1(0,1)
n = 54
Keterangan :
N : besar populasi
n : besar sampel
d : tingkat penyimpangan yang bisa ditolerir yaitu 10% (0,1).
N kelas IA: 39
115�54 = 18,31 = 18
N kelas IB: 38
115�54 = 17,84 = 18
N kelas IC: 38
Dari hasil perhitungan diperoleh besar sampel sebanyak 54 murid.
Pengambilan sampel dilakukan dengan cara teknik proporsional sampling.Teknik ini
menghendaki cara pengambilan sampel dari setiap sub populasi dengan
memperhitungkan besar kecilnya sub populasi tersebut. Cara ini dapat memberi
landasan generalisasi yang lebih dapat dipertanggung jawabkan dari pada tanpa
memperhitungkan besar kecilnya sub populasi dan setiap sub populasi, sedangkan
yang menjadi responden penelitian adalah ibu murid.
3.4. Metode Pengumpulan Data 3.4.1. Data Primer
Data primer diperoleh melalui wawancara langsung kepada ibu murid dan
hasil pengukuran antropometri yaitu tinggi badan anak baru masuk sekolah.
3.4.2. Data sekunder
Data sekunder mencakup data gambaran umum SD Negeri No.142442 Kota
Padangsidimpuan.
3.5. Instrumen Penelitian
1. Formulir Food Recall
2. Formulir Food Frequency
3. Alat Ukur tinggi badan (Microtoise)
3.6. Defenisi Operasional
1. Tinggi badan adalah ukuran panjang tubuh siswa yang ditentukan dengan cara
pengukuran menggunakan alat ukur microtois dalam satuan centimeter (cm).
2. Pola konsumsi pangan adalah susunan frekuensi, jenis dan jumlah zat gizi
yang dikonsumsi siswa pada waktu tertentu.
3. Frekuensi makan adalah seberapa sering siswa mengkonsumsi jenis makanan
tertentu dalam satu hari atau satu minggu: 1 x sehari, 2-3 x sehari, 1-3 x
seminggu, 1-2 x sebulan atau tidak pernah sama sekali.
4. Jenis makan adalah macam makanan yang dikonsumsi dalam satu hari
mencakup makanan pokok, lauk-pauk, sayuran, buah dan susu
.
5. Jumlah zat gizi adalah banyaknya asupan energi, protein, vitamin A, iodium,
kalsium dan seng yang diperoleh siswa/i dari makanan dalam sehari.
6. Status sosial ekonomi keluarga adalah gambaran tentang tingkat pendidikan
orangtua, status pekerjaan orangtua dan tingkat pendapatan keluarga.
7. Tingkat pendidikan orangtua adalah jenjang pendidikan formal tertinggi yang
pernah ditempuh selama orangtua siswa menduduki bangku sekolah atau
kuliah dan mendapat ijazah atau surat tanda tamat belajar.
8. Status pekerjaan orangtua adalah keadaan yang dapat memberikan gambaran