• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Pola Konsumsi Pangan dan Status Sosial Ekonomi KeluargaDengan Pertumbuhan Anak Baru Masuk Sekolah Dasar SD Negeri No.142442 Kota Padangsidimpuan 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Pola Konsumsi Pangan dan Status Sosial Ekonomi KeluargaDengan Pertumbuhan Anak Baru Masuk Sekolah Dasar SD Negeri No.142442 Kota Padangsidimpuan 2014"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN POLA KONSUMSI PANGAN DAN STATUS SOSIAL EKONOMI KELUARGA DENGAN PERTUMBUHAN ANAK BARU MASUK SEKOLAH

DI SD NEGERI NO.142442 KOTA PADANGSIDIMPUAN 2014

SKRIPSI

OLEH:

ADE IRMA HARAHAP NIM: 101000018

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

HUBUNGAN POLA KONSUMSI PANGAN DAN STATUS SOSIAL EKONOMI KELUARGA DENGAN PERTUMBUHAN ANAK BARU MASUK

SEKOLAH DI SD NEGERI NO.142442 KOTA PADANGSIDIMPUAN 2014

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Kesehatan Masyarakat

OLEH:

ADE IRMA HARAHAP NIM: 101000018

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Skripsi : HUBUNGAN POLA KONSUMSI PANGAN DAN

STATUS SOSIAL EKONOMI KELUARGA DENGAN PERTUMBUHAN ANAK BARU MASUK SEKOLAH DI SD NEGERI NO.142442 KOTA PADANGSIDIMPUAN 2014

Nama Mahasiswa : ADE IRMA HARAHAP

No. Induk Mahasiswa : 101000018

Program Studi : Ilmu Kesehatan Masyarakat Pemintan : Gizi Kesehatan Masyarakat Tanggal Lulus : 27 Januari 2015

Disahkan Oleh Komisi Pembimbing

Dosen Pembimbing Skripsi I Dosen Pembimbing Skripsi II

Dr. Ir. Evawany Y. Aritonang, M.Si Dra. Jumirah, Apt, M.Kes NIP.196806161993032003 NIP. 195803151988112001

Medan, November 2015 Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara Dekan

(4)

ABSTRAK

Masa usia sekolah merupakan masa terpenting dalam pembentukan fisik anak selanjutnya. Kualitas fisik tercermin dari pertumbuhan fisik. Perubahan pertumbuhan fisik akan jelas tampak pada saat anak memasuki usia sekolah.

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui hubungan pola konsumsi pangan dan status sosial ekonomi keluarga dengan pertumbuhan anak baru masuk sekolah di SD Negeri No.142442 Padangsidimpuan. Jenis penelitian adalah deskriptif menggunakan desain potong lintang. Populasi adalah seluruh murid kelas satu SD Negeri No.142442 Padangsidimpuan. Sampel sebanyak 54 murid diambil dengan teknik proporsional sampel. Data tentang konsumsi pangan diperoleh melalui wawancara langsung kepada murid yang dibantu oleh ibu murid. Data tinggi badan anak diukur dengan microtoise. Pertumbuhan anak baru masuk sekolah didasarkan dengan Z-Score tinggi badan menurut umur. Selanjutnya, untuk membuktikan hipotesis dilakukakan uji chi-square.

Hasil penelitian menunjukkan 51,9% anak memiliki tinggi badan kategori pendek, 40,7% anak normal dan 7,4% anak tinggi. Hasil analisis uji Chi-square menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pendapatan keluarga (p=0,037), jenis makanan (p=0,038), tingkat kecukupan energi (p=0,027) dan tingkat kecukupan seng (p=0,044) dengan pertumbuhan anak baru masuk sekolah. Variabel tingkat pendidikan ibu, status pekerjaan ibu, tingkat kecukupan vitamin A, tingkat kecukupan iodium, tingkat kecukupan kalsium dan tingkat kecukupan zat besi tidak ada hubungan dengan pertumbuhan anak baru masuk sekolah.

Diharapkan agar para ibu menyediakan makanan yang beraneka ragam untuk anak. Diharapkan agar para ibu memperhatikan tingkat kecukupan gizi dalam makanan yang dikonsumsi anak .

(5)

ABSTRACT

The phase of school age is the most important in the next physical formation of kid. Physical qualities reflected from physical growth. Physical growth change will certainly seemed at the time of kid entered the age of school.

The purpose of the research is to know the corelation between the food consumption patterns and social economic of the family with the growth of new kid entered the age of school in elementary school padangsidimpuan no.142442. The type of research is descriptive using a cross sectional design. The population is all students in the first class of elementary school padang sidimpuan no.142442 . The sample as many as 54 of students taken with the technique of proportional sample. Data about the consumption of food obtained through interviews directly to students who assisted by their mothers. Data of the height of kid measured with microtoise. The growth of new kid entered school based with z-score height by age. Furthermore, to prove the hypothesis the chi-square test is used.

The research showed 51,9% had height with short category, 40,7% normal and 7,4% kids were tall category. The analysis bivariat with chi-square test showing that there are significan relationship between the level of family income(p = 0,037), kinds of food (p = 0,038), the level of energy suffiency (p = 0,027) and the level of zinc suffiency (p = 0,044) with the growth of the new kid enter the school. There was not correlation with the variable of the level of mother’s educational, the level of

mother’s occupation, the level of vitamin A sufficiency, the level of iodium sufficiency, the level of calcium sufficiency and the level of iron sufficiency with the growth of the new kid entered the school.

It is hoped the mothers provide multiform food being for kids. Additionally, mothers should be pay attention to the level of nutrient sufficiency that will be consumed for a kid.

(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Ade Irma Harahap

Tempat/Tanggal Lahir : Padangsidimpuan/15 Juni 1991

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Anak ke : 4 dari 7 bersaudara

Status Perkawinan : Belum Kawin

Alamat Rumah : Jl. Serasi 9 No. 14 Padangsidimpuan

Riwayat Pendidikan :

1. Tahun 1998-2004 : SD Negeri No.200117 Padangsidimpuan

2. Tahun 2004-2007 : SMP Negeri 4 Padangsidimpuan

3. Tahun 2007-2010 : SMA Negeri 6 Padangsidimpuan

4. Tahun 2010-2014 : Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa dan Maha

Pengasih yang telah melimpahkan segala berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis

dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Hubungan Pola Konsumsi Pangan dan

Status Sosial Ekonomi KeluargaDengan Pertumbuhan Anak Baru Masuk Sekolah

Dasar SD Negeri No.142442 Kota Padangsidimpuan 2014” guna memenuhi salah

satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat di Universitas

Sumatera Utara.

Selama penyusunan dan penulisan skripsi ini penulis banyak menemui

kesulitan dan hambatan, namun berkat bimbingan, bantuan dan dorongan moril dari

berbagai pihak akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh sebab itu pada

kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan ucapan terima

kasih yang sedalam-dalamnya kepada :

1. Dr. Drs. Surya Utama, MS, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Ir. Evawany Y Aritonang, MSi, selaku Dosen Pembimbing I dan Dosen Penguji yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan saran,

bimbingan dan arahan dalam penulisan skripsi ini.

3. Dra. Jumirah, Apt, MKes, selaku Dosen Pembimbing II dan Dosen Penguji yang selalu meluangkan waktu untuk memberikan saran, bimbingan dan arahan

(8)

4. Ernawati Nasution, SKM, M.Kes selaku Dosen Penguji I yang telah memberikan masukan dalam perbaikan skripsi ini.

5. Fitri Ardiani, SKM. MPH, selaku Dosen Penguji II yang telah memberikan masukan kepada penulis dalam perbaikan skripsi ini.

6. dr. Devi Nuraini Santi, MKes selaku dosen Pembimbing akademik yang telah memberikan banyak bimbingan dan nasehat selama penulis mengikuti

pendidikan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

7. Bapak Marihot dan seluruh Staf di FKM USU yang telah memberikan bekal ilmu selama penulis mengikuti pendidikan.

8. Terkhusus penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang teramat sangat

buat Orang tua tercinta Ayahanda (Bapak Nasaruddin Harahap), dan Ibunda (Khodijah Lubis, S.Pd), kakanda tersayang dan Adinda tersayang telah banyak memberikan dukungan semangat dan doanya ketika penulis melakukan

penelitian.

9. Sahabat-sahabat tersayang, Irvani Syahrika SKM, Hardianti Meliala SKM, Ina

Yulianti, Indah S.Pd, Erika, dan Silva syahyuni.

10. Teman-teman seperjuangan Gizidi FKM USU, khususnya buat Henrika, Fitri

Maihana, Fadlan, Rosalin, Putri, Joana, Erika, kak Devi, kak Eli yang tak bisa

penulis sebut satu persatu. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat

dan hidayahnya kepada kita semua.

(9)

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini,

untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak yang sifatnya

membangun untuk penyempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap skripsi ini

dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Januari 2015 Penulis

(10)

DAFTAR ISI

2.2. Tinggi Badan Anak Baru Masuk Sekolah (TBABS) ... 9

2.2.1. Alasan Pengukuran TBABS ... 12

2.2.2. Survey Nasional TBABS ... 13

2.3. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi PertumbuhanAnak Baru Masuk Sekolah ... 16

2.3.2.2. Status Pekerjaan Orangtua... 23

2.3.2.3. Tingkat Pendapatan Keluarga ... 25

2.4. Kerangka Konsep ... 30

BAB III METODE PENELITIAN ... 32

3.1. Jenis Penelitian ... 32

(11)

3.2.1 Lokasi Penelitian ... 32

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 41

4.1.1. Kondisi geografis ... 41

4.2. Deskripsi Karakteristik Anak ... 41

4.3. Status Sosial Ekonomi Keluarga... 42

4.3.1.Tingkat Pendidikan Ibu... 42

4.3.2. Tingkat Pendapatan Keluarga ... 43

4.4. Pola Konsumsi Pangan ... 44

4.5.1.Jenis dan Frekuensi Makan ... 44

4.5.2.Jumlah Zat Gizi ... 48

4.6.Pertumbuhan Anak Baru Masuk Sekolah ... 50

4.7.Hubungan Status Sosial Ekonomi Keluarga Dengan Pertumbuhan ... 51

4.7.1.Hubungan Tingkat Pendidikan Ibu Dengan TB/U Anak ... 51

4.7.2.Hubungan Status Pekerjaan Ibu Dengan Pertumbuhan Anak ... 52

4.7.3.Hubungan Tingkat Pendapatan Keluarga Dengan Pertumbuhan Anak ... 52

4.8.Hubungan Pola Konsumsi Pangan Dengan Pertumbuhan Anak Baru Masuk Sekolah... 53

4.8.1.Hubungan Jenis Makanan Dengan Pertumbuhan Anak ... 53

4.8.2.Hubungan Jumlah Zat Gizi Dengan Pertumbuhan Anak ... 54

BAB V PEMBAHASAN ... 56

5.1. Hubungan Status Sosial Ekonomi Keluarga Dengan Pertumbuhan Anak Baru Masuk Sekolah ... 57

5.1.1.Hubungan Tingkat Pendidikan Ibu Dengan Pertumbuhan Anak ... 58

5.1.2.Hubungan Status Pekerjaan Ibu Dengan Pertumbuhan Anak ... 59

5.1.3.Hubungan Tingkat Pendapatan Keluarga Dengan Pertumbuhan Anak ... 60

(12)

5.2.1.Hubungan Jenis Makanan Dengan Pertumbuhan Anak ... 62

5.2.2.Hubungan Jumlah Zat Gizi Dengan Pertumbuhan Anak ... 63

5.2.2.1.Tingkat Kecukupan Energi Dengan Pertumbuhan Anak ... 64

5.2.2.2.Tingkat Kecukupan Protein Dengan Pertumbuhan Anak ... 65

5.2.2.3.Tingkat Kecukupan Vitamin A Dengan Pertumbuhan Anak ... 66

5.2.2.4.Tingkat Kecukupan Iodium Dengan Pertumbuhan Anak ... 68

5.2.2.5.Tingkat Kecukupan Kalsium Dengan Pertumbuhan Anak ... 69

5.2.2.6.Tingkat Kecukupan Zat Besi Dengan Pertumbuhan Anak ... 70

5.2.2.1.Tingkat Kecukupan Seng Dengan Pertumbuhan Anak ... 71

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 72

6.1. Kesimpulan ... 72

6.2. Saran ... 72

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Distribusi Berdasarkan Karakteristik Anak Di SD Negeri No.142442 Padangsidimpuan 2014.

Tabel 4.2 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat pendidikan Ibu siswa SD Negeri No.142442 Kota Padangsidimpuan.

Tabel 4.3 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan Keluarga siswa SD Negeri No.142442 Kota Padangsidimpuan.

Tabel 4.4 Distribusi Berdasarkan Jenis Bahan Makanan Pokok dan Frekuensi Makan Siswa SD Negeri No.142442 Kota Padangsidimpuan.

Tabel 4.5 Distribusi Berdasarkan Jenis Bahan Makanan Lauk Pauk dan Frekuensi Makan Siswa SD Negeri No.142442 Kota Padangsidimpuan.

Tabel 4.6 Distribusi Berdasarkan Jenis Bahan Makanan Sayuran dan Frekuensi Makan Siswa SD Negeri No.142442 Kota Padangsidimpuan.

Tabel 4.7 Distribusi Berdasarkan Jenis Bahan Makanan Buah dan Frekuensi Makan Siswa SD Negeri No.142442 Kota Padangsidimpuan.

Tabel 4.8 Distribusi Berdasarkan Jenis Bahan Makanan Lain –lain (Makanan dan minuman) dan Frekuensi Makan Siswa SD Negeri No.142442 Kota Padangsidimpuan.

Tabel 4.9 Distribusi Berdasarkan Jenis Bahan Makanan Siswa SD Negeri No.142442 Kota Padangsidimpuan.

Tabel 4.10 Distribusi Berdasarkan Jumlah Zat Gizi Siswa SD Negeri No.142442 Kota Padangsidimpuan.

Tabel 4.11 Hubungan Jenis Kelamin Dengan Pertumbuhan Anak Baru Masuk Sekolah SD Negeri No.142442 Kota Padangsidimpuan.

Tabel 4.12 Hubungan Tingkat Pendidikan Ibu dengan Pertumbuhan Anak Baru Masuk Sekolah di SD Negeri No.142442 Kota Padangsidimpuan.

(14)

Tabel 4.14 Hubungan Tingkat Pendapatan Keluarga dengan Pertumbuhan Anak Baru Masuk Sekolah di SD Negeri No.142442 Kota Padangsidimpuan.

Tabel 4.15 Hubungan Jenis Makan dengan Pertumbuhan Anak Baru Masuk Sekolah di SD Negeri No.142442 Kota Padangsidimpuan.

Tabel 4.16 Hubungan Tingkat Kecukupan Energi dengan Pertumbuhan Anak Baru Masuk Sekolah di SD Negeri No.142442 Kota Padangsidimpuan.

Tabel 4.17 Hubungan Tingkat Kecukupan Protein dengan Pertumbuhan Anak Baru Masuk Sekolah di SD Negeri No.142442 Kota Padangsidimpuan.

Tabel 4.18 Hubungan Tingkat Kecukupan Vitamin A dengan Pertumbuhan Anak Baru Masuk Sekolah di SD Negeri No.142442 Kota Padangsidimpuan.

Tabel 4.19 Hubungan Tingkat Kecukupan Iodium dengan Pertumbuhan Anak Baru Masuk Sekolah di SD Negeri No.142442 Kota Padangsidimpuan.

Tabel 4.20 Hubungan Tingkat Kecukupan Kalsium dengan Pertumbuhan Anak Baru Masuk Sekolah di SD Negeri No.142442 Kota Padangsidimpuan.

Tabel 4.21 Hubungan Tingkat Kecukupan Zat Besi dengan Pertumbuhan Anak Baru Masuk Sekolah di SD Negeri No.142442 Kota Padangsidimpuan.

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I

: Master Data

Lampiran II

: Gambar

Lampiran III

: Output

(16)

ABSTRAK

Masa usia sekolah merupakan masa terpenting dalam pembentukan fisik anak selanjutnya. Kualitas fisik tercermin dari pertumbuhan fisik. Perubahan pertumbuhan fisik akan jelas tampak pada saat anak memasuki usia sekolah.

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui hubungan pola konsumsi pangan dan status sosial ekonomi keluarga dengan pertumbuhan anak baru masuk sekolah di SD Negeri No.142442 Padangsidimpuan. Jenis penelitian adalah deskriptif menggunakan desain potong lintang. Populasi adalah seluruh murid kelas satu SD Negeri No.142442 Padangsidimpuan. Sampel sebanyak 54 murid diambil dengan teknik proporsional sampel. Data tentang konsumsi pangan diperoleh melalui wawancara langsung kepada murid yang dibantu oleh ibu murid. Data tinggi badan anak diukur dengan microtoise. Pertumbuhan anak baru masuk sekolah didasarkan dengan Z-Score tinggi badan menurut umur. Selanjutnya, untuk membuktikan hipotesis dilakukakan uji chi-square.

Hasil penelitian menunjukkan 51,9% anak memiliki tinggi badan kategori pendek, 40,7% anak normal dan 7,4% anak tinggi. Hasil analisis uji Chi-square menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pendapatan keluarga (p=0,037), jenis makanan (p=0,038), tingkat kecukupan energi (p=0,027) dan tingkat kecukupan seng (p=0,044) dengan pertumbuhan anak baru masuk sekolah. Variabel tingkat pendidikan ibu, status pekerjaan ibu, tingkat kecukupan vitamin A, tingkat kecukupan iodium, tingkat kecukupan kalsium dan tingkat kecukupan zat besi tidak ada hubungan dengan pertumbuhan anak baru masuk sekolah.

Diharapkan agar para ibu menyediakan makanan yang beraneka ragam untuk anak. Diharapkan agar para ibu memperhatikan tingkat kecukupan gizi dalam makanan yang dikonsumsi anak .

(17)

ABSTRACT

The phase of school age is the most important in the next physical formation of kid. Physical qualities reflected from physical growth. Physical growth change will certainly seemed at the time of kid entered the age of school.

The purpose of the research is to know the corelation between the food consumption patterns and social economic of the family with the growth of new kid entered the age of school in elementary school padangsidimpuan no.142442. The type of research is descriptive using a cross sectional design. The population is all students in the first class of elementary school padang sidimpuan no.142442 . The sample as many as 54 of students taken with the technique of proportional sample. Data about the consumption of food obtained through interviews directly to students who assisted by their mothers. Data of the height of kid measured with microtoise. The growth of new kid entered school based with z-score height by age. Furthermore, to prove the hypothesis the chi-square test is used.

The research showed 51,9% had height with short category, 40,7% normal and 7,4% kids were tall category. The analysis bivariat with chi-square test showing that there are significan relationship between the level of family income(p = 0,037), kinds of food (p = 0,038), the level of energy suffiency (p = 0,027) and the level of zinc suffiency (p = 0,044) with the growth of the new kid enter the school. There was not correlation with the variable of the level of mother’s educational, the level of

mother’s occupation, the level of vitamin A sufficiency, the level of iodium sufficiency, the level of calcium sufficiency and the level of iron sufficiency with the growth of the new kid entered the school.

It is hoped the mothers provide multiform food being for kids. Additionally, mothers should be pay attention to the level of nutrient sufficiency that will be consumed for a kid.

(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Masa usia sekolah merupakan masa terpenting dalam pembentukan fisik anak

selanjutnya. Oleh karena itu anak usia sekolah perlu mendapat perhatian secara

seksama, pembinaan dan pengawasan yang sedini mungkin agar menghasilkan

kualitas fisik, mental dan sosial yang baik. Kualitas fisik dapat tercermin dari

pertumbuhan fisik, perubahan pertumbuhan fisik akan jelas tampak pada saat anak

memasuki usia sekolah, dimana pertumbuhan fisik usia sekolah merupakan refleksi

keadaan gizi pada masa bayi dan balita.

Salah satu indikator gizi untuk menilai peningkatan kualitas sumber daya

manusia adalah ukuran pertumbuhan fisik yang dapat dilakukan melalui pengukuran

Tinggi Badan Anak Baru Sekolah (TBABS). TBABS dapat merupakan salah satu

indikator status gizi dan kesehatan masyarakat suatu daerah, yang erat pula

hubungannya dengan tingkat sosial ekonomi masyarakat di daerah yang bersangkutan

(Desmita, 2005).

Stunting merupakan keadaan tubuh yang pendek dan sangat pendek sehingga

melampaui defisit -2 SD di bawah median panjang atau tinggi badan. Pada keadaan

stunting, tinggi badan anak tidak memenuhi tinggi badan normal menurut umurnya.

Anak yang pendek berkaitan erat dengan kondisi yang terjadi dalam waktu yang lama

seperti kemiskinan, perilaku hidup bersih dan sehat yang kurang, kesehatan

(19)

pendidikan. Oleh karena itu masalah balita pendek merupakan cerminan dari keadaan

sosial ekonomi masyarakat. Karena masalah gizi pendek diakibatkan oleh keadaan

yang berlangsung lama, maka ciri masalah gizi yang ditunjukkan oleh anak pendek

adalah masalah gizi yang sifatnya kronis (Depkes 2009). Faktor yang berperan dalam

menentukan status kesehatan seseorang yang berimplikasi pada kondisi pertumbuhan

adalah tingkat sosial ekonomi yang terdiri dari pendapatan keluarga, pendidikan dan

pekerjaan orang tua serta budaya dan lain-lain (Notoatmodjo, 2007). Menurut

Soejtiningsih (2004) pekerjaan atau pendapatan keluarga, pendidikan orang tua,

jumlah saudara, serta budaya mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan dan

perkembangan anak. Salah satu ukuran standar ekonomi keluarga adalah tingkat

pendapatan total yang diterima keluarga atau jumlah pengeluaran totalnya, meliputi

pengeluaran atas pangan dan non pangan (Suhardjo, 2003).

Beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan fisik anak adalah faktor

genetis, faktor makanan dan keadaan status sosial ekonomi keluarga. Faktor genetik

dikaitkan dengan adanya kemiripan anak-anak dengan orangtuanya dalam hal bentuk

tubuh,proporsi tubuh dan kecepatan perkembangan. Faktor makanan berhubungan

dengan keseimbangan konsumsi gizi dengan kecukupan gizi dan pola konsumsi

pangan anak tersebut. Beberapa faktor gizi yang juga berpengaruh terhadap

pertumbuhan tinggi badan yaitu kalori, protein, Iodium dan zat gizi mikro seperti

vitamin A, zink (zn). Pola konsumsi pangan adalah susunan jenis dan jumlah pangan

(20)

sosial ekonomi keluarga meliputi pendidikan, pekerjaan serta pendapatan (Baliwati,

2004).

Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup

sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau

masyarakat untuk menyerap informasi dan mengimplementasikan dalam perilaku dan

gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi (Depkes RI, 2004).

Oleh karena itu, tingkat pendidikan ibu akan mempengaruhi sikap dan tindakan ibu

dalam memberi makanan anak. Begitu dominannya peranan ibu bagi kesehatan anak

terutama dalam pemberian gizi yang cukup pada anak, menuntut ibu harus

mengetahui dan memahami akan kebutuhan gizi pada anak.

Pekerjaan ibu dapat mempengaruhi keadaan gizi keluarga khususnya anak

balita dan usia sekolah. Bila seorang ibu bekerja dari pagi hingga sore hari akan

menyebabkan tersitanya waktu untuk anak dan keluarganya, kurangnya waktu yang

dicurahkan untuk memperhatikan anak baik dalam merawat, mengasuh maupun

dalam memberikan makanan anak. Ibu yang bekerja mempunyai peran ganda yaitu

sebagai ibu rumah tangga dan wanita pekerja. Walaupun demikian ibu memiliki

tanggungjawab dalam mengurus rumah tangga. Hal ini dapat berdampak pada kondisi

kesehatan keluarga khususnya keadaan gizi anak balita, anak usia sekolah dan

anggota keluarga lainnya. Ibu kurang memiliki waktu yang cukup untuk

memperhatikan makanan anak (Adisasmito, 2007).

Tingkat pendapatan keluarga menentukan jenis dan jumlah pangan yang akan

(21)

penduduknya berstatus sosio ekonomi rendah. Banyak keluarga terutama yang

berstatus ekonomi rendah beranggapan bahwa menu makanan yang sehat dan bergizi

itu harganya mahal, padahal tidak selamanya makanan yang sehat dan bergizi itu

mahal. Perubahan pendapatan keluarga dapat mempengaruhi perubahan pola asuh

gizi yang secara langsung berpengaruh terhadap konsumsi pangan anak.

Meningkatnya pendapatan berarti memperbesar peluang untuk membeli pangan

dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik. Sebaliknya penurunan pendapatan

akan menyebabkan penurunan dalam hal kualitas dan penurunan kuantitas pangan

yang dibeli (Baliwati, 2004).

Di Kenya, malnutrisi kronis merupakan masalah nasional dengan rata – rata

33,3% (TB/U) yang menjelaskan satu orang anak mewakili tiga anak pendek

khususnya pada anak dengan keadaan gizi yang buruk (WHO, 2008). Hasil survey

TBABS yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Kampar (2003)

menemukan 22,1% anak baru masuk sekolah dasar mengalami gangguan

pertumbuhan (Hadi, 2005). Pada tahun 2010 Dinas Kesehatan Provinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta melakukan pengukuran TBABS diketahui bahwa 12,16% anak

baru masuk sekolah dalam kategori pendek dan 1,44% sangat pendek.

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2010 untuk

daerah Sumatera Utara, prevalensi anak yang pendek pada anak umur 6-12 tahun

sebesar 43,2% yang terdiri dari 20,6% sangat pendek dan 22,6% pendek. Sedangkan

hasil RISKESDAS tahun 2013, prevalensi anak yang pendek pada umur 5-12 tahun

(22)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yunida E, pada tahun 2005 di

Medan menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan

ibu, dan status pekerjaan ibu dengan BB/U anak, dan status pekerjaan ibu dan tingkat

pendapatan keluarga mempunyai hubungan yang signifikan terhdap TB/U sedangkan,

Tingkat pendapatan mempunyai hubungan yang signifikan terhdap BB/TB anak.

Berdasarkan survei pendahuluan di SD Negeri No.142442 kota

Padangsidimpuan. Survei yang dilakukan kepada 15 murid sebagai data awal

menunjukkan 9 orang anak di kategorikan pendek, 2 orang anak tinggi dan 4 orang

anak yang tinggi badannya normal, dan rata – rata pekerjaan orangtua murid adalah

wiraswasta dan bertani serta rata – rata pendidikan terakhir orangtua siswa adalah

SMA, sedangkan untuk penghasilan keluarga ± Rp.1.500.000 perbulan. Maka dengan

ini penulis ingin mengetahui hubungan konsumsi pangan dan status sosial ekonomi

keluarga dengan pertumbuhan anak baru masuk sekolah di SD Negeri NO.142442

Kota Padangsidimpuan Tahun 2014.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka perumusan masalah dalam penelitian

ini adalah bagaimana hubungan pola konsumsi pangan dan status sosial ekonomi

keluarga dengan pertumbuhan anak baru masuk sekolah dasar di SD Negeri

(23)

1.3. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui hubungan pola konsumsi pangan dan status sosial ekonomi

keluarga dengan pertumbuhan anak baru masuk sekolah dasar di SD Negeri

NO.142442 Kota Padangsidimpuan Tahun 2014.

1.4. Manfaat Penelitian

Dapat memberikan informasi atau masukan bagi orang tua dan sekolah

tentang gambaran pertumbuhan anak yaitu tinggi badan anak baru masuk sekolah SD

(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pertumbuhan Anak Sekolah dasar

Usia sekolah dasar (6-12) merupakan puncak pertumbuhan tertinggi kedua

setelah 0-3 tahun atau disebut dengan Adolescent Growth Spurt, hal ini merupakan

masa terpenting dalam pembentukan kualitas fisik orang dewasa. Seiring dengan itu

jika dilihat dari kebutuhan zat-zat gizi akan meningkat dengan pesat sehingga suatu

kondisi difesiensi/kekurang gizi pada usia ini akan berpengaruh terhadap

pertumbuhan anak tersebut (Soetjiningsih, 1995). Dapat dikatakan pada dasarnya

pertumbuhan anak merupakan dasar kehidupan berlangsung secara

berkesinambungan, dalam arti setiap tahap ditentukan oleh tahap sebelumnya dan

akan menentukan tahp berikutnya. Begitu juga halnya pertumbuhan tinggi badan anak

laki-laki dan anak perempuan berbeda.

Pertumbuhan merupakan parameter kesehatan dan gizi yang cukup untuk

menilai kesehatan anak. Pertumbuhan (growth) berkaitan dengan masalah perubahan

dalam besar, jumlah, ukuran atau dimensi tingkat sel organ maupun individu, yang

bisa di ukur dengan ukuran berat (gram, kilogram), ukuran panjang (cm, meter), umur

tulang dan keseimbangan metabolik (retensi kalsium dan nitrogen tubuh)

(Soetjiningsih, 1995).

Pertumbuhan dapat diukur dengan berbagai cara, salah satu yang paling

umum adalah dengan metode antropometri. Pengukuran antropometri tampaknya

(25)

menimbang berat badan dan mengukur tinggi badan dan sebagainya. Siapa sajapun

dapat melakukan kegiatan ini hanya melakukan latihan-latihan sederhana. Namun

dari segi ilmiah dan demi ketepatan perencanaan program gizi banyak masalah teknis

yang perlu diperhatikan terutama tentang cara-cara pengukuran. Kesalahan teknis

pengukuran menyebabkan akurasi data tidak dapat dipertanggung jawabkan dan

masalah ini dapat menimbulkan keracunan. Di Indonesia jenis antropometri yang

banyak digunakan dalam kegiatan penelitian dan program adalah berat badan dan

tinggi badan. Diperlukan ketelitian pengukuran oleh karena kesalahan pengukuran

akan mengakibatkan kesalahan data yang pada akhirnya akan mempengaruhi

penilaian status gizi (Supariasa, 2001).

Indeks antropometri yang umum dikenal dan dapat digunakan untuk

pertumbuhan usia anak sekolah yaitu, tinggi badan menurut umur (TB/U).

2.1.1. Tinggi Badan menurut Umur (TB/U)

Tinggi badan memberikan gambaran pertumbuhan tulang yang sejalan dengan

pertumbuhan umur. Berbeda dengan berat badan, tinggi badan tidak banyak

dipengaruhi oleh keadaan yang mendadak. Tinggi badan pada suatu waktu

merupakan hasil pertumbuhan secara kumulatif semenjak lahir dan karena itu

memberikan gambaran riwayat status gizi masa lalu. Tinggi badan merupakan indeks

yang sangat baik digunakan untuk mengevaluasi dampak gizi berbagai program dan

memantau perubahan status gizi jangka panjang. Sehingga dapat memberikan

gambaran anak pendek, stabil dan tidak terpengaruh oleh perubahan status gizi yang

(26)

Pertumbuhan tinggi badan menurut umur (TB/U) yang pendek salah satu

penyebab yang dianggap normal adalah faktor keturunan dari salah satu orangtuanya.

Berdasarkan faktor keturunan, seseorang bertubuh pendek karena dia mungkin

memang mempunyai bakat pendek, atau dalam masa dan pola pertumbuhannya

mengalami suatu penundaan yang cukup lama, yaitu karena kekurangan salah satu

atau lebih dari hormon-hormon pertumbuhan. Anak laki-laki agaknya terpengaruh

terhadap keadaan hormon dibanding anak perempuan (Aritonang, 1996).

Indeks TB/U lebih menggambarkan status gizi masa lau. Keadaan TB anak

pada usia sekolah (7 tahun) misalnya, menggambarkan status gizi pada masa balita

mereka (Basumi, 1988).

Indek TB/U sebagai indikator status memiliki kelebihan dan kekurangan.

Kelebihannya adalah:

1. Baik untuk menilai status gizi masa lampau

2. Ukuran panjang dapat dibuat sendiri, murah dan mudah dibawa.

Kekurangannya adalah:

1. Tinggi badan tidak cepat naik, bahkan tidak mungkin turun.

(27)

2.2. Tinggi Badan Anak Baru Masuk Sekolah (TBABS)

Salah satu indikator gizi untuk menilai peningkatan kualitas sumber daya

manusia adalah ukuran pertumbuhan fisik yang dapat dilakukan melalui pengukuran

Tinggi Badan Anak Baru Sekolah (TBABS). Dengan penilaian pencapaian tinggi

badan secara periodik khususnya pada anak baru masuk sekolah, akanmemberikan

informasi yang sangat penting bagi para penentu kebijakan setempat, dalam

perencanaan dan intervensi upaya peningkatan status gizi, juga sebagai indikator

pembangunan (Depkes, 1999).

Manfaat pengukuran TBABS menurut Abunain (1988) antara lain : 1) cukup

teliti digunakan sebagai suatu alat untuk memperoleh gambaran status gizi pada

tingkat kabupaten /kota dan tingkat kecamatan; 2) Data TBABS dapat digunakan

sebagai dasar untuk pemetaan daerah menurut status gizi dan sekaligus juga member

gambaran perbedaan sosial ekonomi antar wilayah; 3) Pengukuran TBABS dapat

merupakan alternatif alat pemantau status gizi masyarakat dengan biaya relatif murah

dan sederhana, sehingga dapat dikembangkan secara luas (nasional, atau regional).

TBABS dapat memberi gambaran tentang pertumbuhan yang diderita anak

bersangkutan pada umur-umur sebelumnya. Keadaan tinggi badan anak pada usia

sekolah 7 tahun dapat menggambarkan status gizi pada masa balita mereka (Atmarita,

2004). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada penderita kurang kalori protein

(KKP) terutama KKP berat yang bersifat menahun selalu terlihat gangguan

(28)

mengejar ketinggalan pertumbuhannya dalam waktu singkat guna mencapai tinggi

normal sesuai dengan umurnya (Desmita, 2005).

TBABS di suatu wilayah yang ada di bawah baku pada tingkat tertentu dapat

memberi petunjuk adanya gangguan pertumbuhan pada anak sebagai gambaran taraf

kesehatan dan gizi penduduk di wilayah bersangkutan. Ada korelasi yang baik antara

tinggi badan anak sekolah dengan keadaan sosial ekonomi masyarakat daerah yang

bersangkutan. TBABS tersebut merupakan refleksi pertumbuhan anak pada umur di

bawah lima tahun dan sekaligus menjadi petunjuk bagi perbaikan kesehatan dan gizi

dalam masa tersebut (Abunain, 1988).

TBABS dapat merupakan salah satu indikator status gizi dan kesehatan

masyarakat suatu daerah, yang erat pula hubungannya dengan tingkat sosial ekonomi

masyarakat di daerah yang bersangkutan. Hal ini disebabkan perubahan dalam status

gizi dan kesehatan berkaitan erat dengan perubahan dalam tingkat sosial ekonomi

penduduk. Oleh karena itu pengukuran TBABS sebaiknya dilakukan secara berkala,

misalnya setiap 3 – 5 tahun sekali, sehingga perubahan-perubahan kualitas fisik dan

keadaan sosial ekonomi masyarakat di berbagai daerah dapat dipantau secara

berkesinambungan (Jahari, 1999).

2.2.1. Alasan Pengukuran TBABS

Abunain (1988) menyebutkan beberapa alasan digunakannya pengukuran tinggi

badan anak baru sekolah (TBABS) adalah atas dasar :

1. Tinggi badan merupakan indikator yang paling baik untuk pertumbuhan tubuh dan

(29)

2. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa penderita KKP, terutama KKP berat dan

yang bersifat menahun, selalu ditandai oleh gangguan pertumbuhan.

3. Tinggi badan pada umur tertentu merupakan hasil kumulatif pertumbuhan

semenjak lahir, sehingga menggambarkan riwayat status gizi di masa lalu.

4. Tinggi badan tidak mudah dipengaruhi oleh perubahan keadaan-keadaan yang

terjadi dalam waktu singkat seperti halnya ukuran-ukuran yang berhubungan

dengan massa jaringan.

5. Tinggi badan pada umur masuk sekolah dasar dapat merupakan refleksi status gizi

pada umur-umur sebelumnya atau pada masa balita. Anak-anak dengan riwayat

KKP berat dan menahun sukar mengejar ketinggalan pertumbuhan guna mencapai

tinggi normal sesuai dengan umur mereka. Karena itu TBABS di suatu daerah

dapat memberi gambaran prevalensi gangguan pertumbuhan yang dialami

anakanak di daerah tersebut.

6. Anak baru masuk Sekolah Dasar relatif mudah dicapai dibandingkan dengan anak

balita atau golongan rawan gizi lain. Dengan demikian pengukuran dalam skala

luas dapat dilakukan serentak di semua tempat.

7. Anak sekolah merupakan sasaran penduduk, yang dapat memberi gambaran status

kesehatan dan gizi penduduk, yang secara operasional dapat dicapai dengan mudah

dalam jumlah besar dan dapat mencakup wilayah luas dalam waktu relatif singkat.

8. Pengukuran tinggi badan di sekolah-sekolah bukanlah merupakan hal baru di

(30)

9. Alat ukur tinggi badan relatif cukup teliti, dapat diperoleh dengan mudah dalam

jumlah banyak dengan harga relatif murah dibanding harga timbangan berat badan.

10. Pengukuran dapat dilakukan oleh guru dan dapat dilakukan dengan menggunakan

buku petunjuk yang sudah diuji tanpa melakukan pelatihan secara khusus.

11. Penelitian menunjukkan adanya korelasi yang baik antara tinggi badan anak

sekolah dengan keadaan sosial ekonomi penduduk daerah yang bersangkutan.

12. Jika pengukuran tinggi badan anak baru masuk SD dilakukan secara periodik,

akan dapat diamati perubahan-perubahan dalam tinggi badan anak pada umur

yang sama dan perbaikan pertumbuhan anak juga merupakan petunjuk

peningkatan status kesehatan dan gizi serta sekaligus memberi gambaran

perbaikan dalam bidang sosial ekonomi masyarakat setempat.

2.2.2. Survei Nasional TBABS

Di Indonesia pengukuran TBABS pertama kali dilakukan pada

tahun1986/1987 oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi Bogor bekerja sama

dengan Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Jakarta di tiga

Propinsi : Sumatera Barat, Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Barat, meliputi 3450

sekolah dasar (652 kecamatan). Pengukuran tinggi badan dilakukan guru sekolah

yang bersangkutan berdasarkan buku pedoman. Hasil penelitian menunjukkan

pengukuran TBABS dengan cara tersebut memberi harapan untuk dilaksanakan

secara luas, dapat digunakan untuk pemetaan gangguan pertumbuhan anak, status

(31)

analisis data potensi desa bahwa TBABS dapat digunakan sebagai indikator tingkat

sosial ekonomi penduduk antar wilayah (Abunain, 1988).

Pada tahun 1994, untuk pertama kalinya dilaksanakan pemantauan TBABS di

seluruh Indonesia, yang memberikan gambaran rata-rata tinggi badan dan prevalensi

gangguan pertumbuhan anak usia sekolah. Secara nasional rata-rata TBABS adalah

114,9 cm (91,0% terhadap standar WHO – NCHS) untuk laki-laki, sementara untuk

anak perempuan 114,0 cm (90,6 % terhadap standar WHO-NCHS). Adapun n

prevalensi gangguan pertumbuhan adalah 32% untuk wilayah pedesaan, dan 18%

untuk wilayah perkotaan. Prevalensi gizi kurang menurut tinggi badan anak usia 6 – 9

tahun anak pendek adalah 38,8 %. Informasi ini dapat dijadikan sebagai data dasar

evaluasi kecenderungan pertumbuhan berikutnya (Depkes, 1999).

Pada tahun 1999 pengukuran TBABS secara nasional kedua dilakukan. Hasil

penelitian menunjukkan tidak terlihat perubahan perbaikan gizi yang bermakna dari

hasil pengukuran tersebut. Prevalensi hasil pengukuran TBABS menjadi 36,1 %

Rata-rata TBABS hasil survey tahun 1999 adalah :

1. umur 6 tahun, laki-laki 108,9 cm; perempuan 107,8cm

2. umur 7 tahun, laki-laki 111,0 cm; perempuan 110,0 cm

3. umur 8 tahun, laki-laki 113,2; perempuan 112,1 cm

4. umur 9 tahun, laki-laki 116,1 cm; perempuan 115,2 cm (LIPI, 2004)

Hasil penelitian TBABS tahun 1999 menyimpulkan bahwa anak Indonesia

yang baru masuk sekolah keadaan gizinya masih jauh dibandingkan dengan rujukan.

(32)

10 % anak dikategorikan sangat pendek. Hanya sedikit sekali peningkatan status gizi

yang terjadi (Atmarita, 2004)

Rata-rata tinggi badan anak baru masuk sekolah (umur 7 – 9 tahun) hasil

perhitungan 2003 yang dilakukan Abbas Basuni Jahari dan Idrus Jus’at dari berbagai

literatur dan hasil penelitian TBABS untuk penentuan AKG 2004 adalah perempuan

118,1 cm (SD : 4,86); laki-laki 119,2 cm (SD : 3,95) (Jahari, 2004). Dalam

menginterpretasikan hasil pengukuran TBABS,dipakai baku rujukan WHO-NCHS

yang membedakan jenis kelamin. Cutt off point (ambang batas) untuk klasifikasi

status gizi berdasarkan TB/U adalah:Baku rujukan WHO-NCHS , dengan cara % dari

median. Klasifikasi : Normal jika Ӌ 90 % median; Stunted/malnutrisi kronis jika ӊ

90 % median. Dengan cara Standar Deviasi (SD) : Klasifikasi : Normal jika Ӌ-2 SD

TB/U; Stunted/pendek jika < -2 SD TB/U.

2.3. Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Anak Baru Masuk Sekolah

Di seluruh dunia, penyebab tersering dari postur tubuh pendek adalah

kemiskinan dan efek – efeknya. Jadi nutrisi yang buruk, higine yang buruk dan

kesehatan yang buruk berefek pada pertumbuhan baik sebelum ataupun sesudah

dilahirkan. Sering terdapat perbedaan postur tubuh antara kelas – kelas social dari

kelompok etnis yang sama di area geografi yang sama akibat pengaruh – pengaruh

tersebut. Prinsip – prinsip ini telah dibuktikan pada tinggi badan orang – orang

Jepang di Amerika yang bertinggi badan lebih tinggi dibandingkan dengan tinggi

(33)

ekonomi sama, perbedaan tinggi rata – rata antara bermacam – macam kelompok

etnik hanya disebabkan factor genetik saja (Styne, 2000).

Faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi pertumbuhan antara lain,

pendapatan atau penghasilan, pendidikan dan pekerjaan orangtua. Ada hubungan

yang erat antara pendapatan dan gizi. Tingkat pendapatan menentukan pola konsumsi

pangan dan apa yang dibeli baik kualitas maupun kuantitasnya. Pendapatan yang

meningkat mendorong pengaruh yang menguntungkan bagi perbaikan gizi keluarga.

Martorell et al.cit dalam Soekirman (2000), sosial ekonomi ini langsung berpengaruh

terhadap kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan akan makanan, sehingga

mempengaruhi pertumbuhan dan pemeliharaan tubuh serta mencegah penyakit

infeksi.

2.3.1. Pola Konsumsi Pangan

Pola konsumsi pangan adalah berbagai informasi yang memberikan gambaran

mengenai jenis, frekuensi dan jumlah bahan pangan yang dimakan tiap hari oleh satu

orang atau merupakan ciri khas untuk sesuatu kelompok masyarakat tertentu

(Santoso, 2004).

Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang sangat penting dan tidak

dapat tergantikan oleh kebutuhan yang lainnya. Terpenuhinya kebutuhan pangan

merupakan hak asasi bagi setiap orang. Negara berkewajiban mewujudkan ketahanan

pangan bagi setiap warga negara yaitu menyediakan pangan yang cukup, aman,

beragam, bergizi, merata, terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama,

(34)

Keadaan kesehatan tergantung dari tingkat konsumsi. Tingkat konsumsi

ditentukan oleh kualitas serta kuantitas hidangan. Kuantitas hidangan menunjukan

adanya semua zat gizi yang diperlukan tubuh di dalam susunan hidangan dan

perbandingannya yang satu terhadap yang lain. Kuantitas menunjukan jumlah

masing-masing zat gizi terhadap kebutuhan tubuh. Jika susunan hidangan memenuhi

kebutuhan tubuh, baik dari sudut kualitas maupun kuantitasnya, maka tubuh akan

mendapat kondisi kesehatan gizi yang sebaik-baiknya. Konsumsi yang menghasilkan

kesehatan gizi yang sebaik-baiknya disebut konsumsi adekuat. Bila konsumsi baik

kuantitasnya dan dalam jumlahnya melebihi kebutuhan tubuh dinamakan konsumsi

berlebih, maka akan terjadi suatu keadaan gizi lebih. (Sediaoetama, 2004).

Pola konsumsi pangan penduduk di suatu wilayah dipengaruhi oleh

aspek-aspek tersebut di atas. Agar dapat dikonsumsi penduduk, suatu komoditas pangan

harus tersedia cukup baik melalui produksi pangan maupun melalui impor. Namun,

tersedianya pangan belum mencukupi tanpa diikuti oleh adanya akses yang memadai

terhadap pangan. Aksesibiltas penduduk terhadap pangan ditentukan oleh tingkat

daya beli yang dalam hal ini menggambarkan tingkat kesejahteraan penduduk. Selain

kedua hal tersebut, pola konsumsi pangan juga dipengaruhi oleh faktor sosial budaya

(35)

2.3.1.1. Frekuensi Makan

Frekuensi makan adalah jumlah makan sehari – hari baik kualitatif dan

kuantitatif. Secara alamiah makanan diolah dalam tubuh melalui alat – alat

pencernaan mulai dari mulut samapai usus halus. Lama makanan dalam lambung

tergantung sifat dan jenis makanan. Jika dirata – rata, umumnya lambung kosong

antara 3 – 4 jam.

2.3.1.2. Jenis makanan

Jenis makanan adalah variasi bahan makanan yang kalau dimakan, dicerna

dan diserap akan menghasilkan paling sedikit susunan sehat dan seimbang. Jenis

makan yang dikonsumsi seseorang dapat dibedakan menjadi dua yaitu makanan

utama dan makanan selingan (Sediaotama, 2004).

1. Makanan Pokok

Makan pokok adalah yang dianggap memegang peran penting dalam

susunan makanan. Pada umumnya makanan pokok berfungsi sebagai

sumber energy (kalori) dalam tubuh dan member rasa kenyang. Makanan

pokok yang bisa di konsumsi yaitu nasi, roti dan mie atau bihun.

2. Lauk pauk

Lauk pauk berfungsi sebagai teman makan dari makanan pokok. Lauk

pauk terdiri dari lauk pauk hewani dan nabati. Keduan jenis produk ini

mempunyai protein hewani dan nabati yang mempunyai fungsi antara lain

membangun sel – sel yang rusak dan membentuk zat pengatur seperti

(36)

Lauk pauk hewani mencakup semua bahan makanan yang berasal dari

hewan terutama dari hewan ternak, unggas, ikan, susu, telur dan daging.

Sedangkan lauk pauk nabati merupakan bahan makanan yang bersumber

dari protein nabati. Bahan makanan ini tergolong dari kacang – kacangan

dan hasil olahannya sperti tempe dan tahu.

3. Sayur – sayuran

Sayuran merupakan sebutan umum bagi bahan pangan yang berasal

dari tumbuhan yang biasanya mengandung kadar air tinggi dan

dikonsumsi dalam keadaan segar atau setelah di olah secara minimal,

misalnya sawi, bayam dan brokoli.

4. Buah

Buah merupakan jenis hidangan yang dimakan sebagai cuci mulut

yaitu dimakan setelah makan nasi. Berupa buah masak segar seperti

semangka, melon, pisang, durian dapat juga berupa masakan berupa buah

cocktail, sale, setup dan sebagainya. Buah-buahan berfungsi sebagai

sumber vitamin dan mineral tetapi pada buah-buah tertentu yang

menghasilkan banyak energi.

5. Makanan selingan

Makanan selingan juga perlu diperkenalkan dan dapat diberikan

diantara makan pagi dan makan siang serta diantara makan siang dan

makan malam. Makanan selingan dapat membantu jika anak tidak cukup

(37)

makanan selingan sehat misalnya, buah – buahan, bubur kacang hijau dan

biskuit.

2.3.1.3. Jumlah Zat Gizi

Jumlah zat gizi merupakan jumlah kandungan gizi yang terdapat dalam

makanan yang dikonsumsi pada tiap kali makan (Sediaoetama, 2004).

Penelitian yang dilakukan oleh Nanik (2005) menyatakan bahwa rendahnya

TB/U anak dikarenakan rendahnya masukan atau asupan konsumsi energy dan

protein yang tentunya ditunjang oleh konsumsi yodium dan seng dimana ini

dipengaruhi oleh pola konsumsi anak yang tidak seimbang. Sama halnya dengan

penelitian yang dilakukan oleh Erni (2013) menyatakan bahwa ada hubungan pola

konsumsi pangan anak dengan status gizi (BB/U, TB/U, BB/TB) anak dikarenakan

rendahnya konsumsi anak.

2.3.2. Status Sosial Ekonomi Keluarga

Beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan fisik anak adalah faktor

genetis, beberapa hormon yang mempengaruhi hormon pertumbuhan dan penyakit

akut atau kronis. Selain factor tersebut terdapat pula factor makanan dan status sosial

ekonomi keluarga, factor sosial ekonomi keluarga antara lain yang berhubungan

dengan pendidikan, pekerjaan dan pendapatan keluarga, dan lain – lain (Soetjiningsih,

1995).

Dan hasil penelitian Myrnawati (1993) yang mengajukan beberapa variabel

(38)

pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua, dan pendapatan orangtua dan lain- lain

(Anwar 2000)

2.3.2.1. Tingkat Pendidikan Ibu

Pendidikan sebagai usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan

kemampuan di dalam dan di luar sekolah yang berlangsung seumur hidup.

Pendidikan menuju pada suatu perubahan perubahan tingkah laku

individu/masyarakat, meningkatkan pengetahuan/pengertian, menimbulkan sikap

positif serta memberikan dan meningkatkan keterampilan tentang aspek-aspek yang

bersangkutan sehingga tercapai suatu masyarakat yang berkembang (GBHN).

Angka melek huruf ibu merupakan salah satu indikator penting yang

membawa pengaruh positif terhadap anak. Hal ini dapat memudahkan ibu untuk

memperoleh dan menyerap informasi yang ada khususnya dalam hal kesehatan dan

gizi anak. Pendidikan gizi ibu bertujuan untuk meningkatkan penggunaan sumber

daya makanan yang tersedia. Dari hal terebut dapat diasumsikan bahwa tingkat

kecukupan energi dan zat gizi pada balita relatif tinggi bila pendidikan gizi ibu tinggi

(Kemenkes RI, 2013).

Ibu yang pendidikannya lebih rendah atau tidak berpendidikan biasanya

mempunyai anak yang lebih banyak dibandingkan dengan yang berpendidikan lebih

tinggi. Selain itu, ibu yang berpendidikan rendah lebih susah diajak untuk

mendapatkan dan menyerap informasi yang ada. Ibu yang mempunyai pengetahuan

baik tentang pangan dan gizi, maka dalam hal pemilihan makanan keluarga akan

(39)

yang diperoleh akan memberikan sikap yang menguntungkan bagi dirirnya, keluarga

dan masyarakat (Adisasmito, 2007).

Pola pengasuhan anak berupa sikap dan perilaku ibu dalam hal kedekatannya

dengan anak, memberikan makan, merawat, kebersihan, memberi kasih sayang.

Kesemuanya itu berhubungan dengan keadaan ibu dalam hal kesehatan (fisik dan

mental), status gizi, pendidikan umum, pengetahuan dan keterampilan tentang

pengasuhan anak yang baik,dan juga pekerjaan ibu (Adisasmito, 2007).

2.3.2.2. Status Pekerjaan Orangtua a. Status Pekerjaan Ibu

Menurut Masri Singarimbun, ada istilah dalam membagi wanita dalam dua

kategori, yaitu “pekerja” dan “bukan pekerja”. Dari ketentuan tersebut, pekerjaan

sering didefenisikan sebagai tugas – tugas yang dilakukan oleh laki – laki, sehingga

pekerjaan diluar rumah tangga dianggap bukan suatu pekerjaan. Ibu yang mempunyai

kegiatan diluar rumah tangga disebut dengan wanita pekerja.

Selain bekerja diluar rumah, wanita tidak terlepas dari kodratnya sebagai ibu

rumah tangga. Dalam hal ini dituntut tanggungjawabnya kepada suami, anak dan

anggota keluarga lainnya. Gambaran tersebut menunjukkan betapa pentingnya fungsi

seorang ibu dalam membina keluarga khususnya memelihara anak, sehingga seoarang

ibu berhasil berperan ganda sebagai ibu rumah tangga dan wanita pekerja.

(Singarimbun, 1988)

Didaerah kota banyak ibu – ibu yang bekerja dari pagi hingga sore, sehingga

(40)

demikian dapat mempengaruhi keadaan gizi keluarga khususnya anak balita dan anak

usia sekolah. Ibu – ibu yang bekerja tidak cukup waktu untuk memperhatikan

makanan anak yang sesuai dengan kebutuhan dan kecukupannya serta kurangnya

perhatian dan pengasuhan kepada anak. Bahkan tak jarang tuntutan pekerjaan dapat

mempengaruhi perilaku ibu – ibu, dimana perhatian dan pemenuhan makanan untuk

keluarga khususnya anak lebih bersifat praktis. (Berg, 1986)

Selama bekerja ibu cenderung mempercayakan bayi mereka kepada pembantu

atau kepada anak yang lebih besar, sehingga pola pengasuhan dapat menjadi kurang

diutamakan. Tidak terdapatnya undang – undang yang mengatur waktu untuk

menyusui bayinya pada jam kerja mendorong ibu pekerja tidak menyususkan bayinya

bahkan beralih kepada pemberian susu botol ataupun mempercepat waktu

penyapihan. Makanan sapihan yang tidak sesuai serta pemberian susu botol

merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya kekurangan gizi pada bayi dan pada

umur selanjutnya, hal ini akan mempengaruhi fisik anak nantinya (Abunain, 1978).

b. Status Pekerjaan Ayah

Penelitian Hartil (2001) menunjukkan bahwa pekerjaan ayah yang bekerja dalam

kategori swasta mempunyai konsumsi makanan keluarga yang lebih baik

dibandingkan ayah yang bekerja sebagai buruh dan hasil uji statistiknya menunjukkan

hubungan yang bermakna antara keduanya. Begitu pula dengan penelitian Alibbirwin

(2001) menemukan hubungan yang bermakna antara pekerjaan ayah dengan status

(41)

besar mempunyai anak kurang gizi dibandingkan dengan balita yang ayahnya bekerja

wiraswasta.

Proporsi ayah yang bekerja sebagai PNS/Swasta cenderung memiliki anak

dengan status gizi baik dibandingkan ayah dengan pekerjaan lainnya (Sukmadewi,

2003). Hal ini didukung dengan penelitian Sihadi (1999) yang menyatakan ayah yang

bekerja sebagai buruh memiliki balita dengan proporsi status gizi buruk terbesar yaitu

53%.

2.3.2.3. Tingkat Pendapatan Keluarga

Salah satu penyebab tidak langsung dari gizi kurang adalah status sosial

ekonomi keluarga. Masalah kesehatan dan keadaan gizi di negara berkembang

sebagian besar penduduknya berstatus sosio ekonomi rendah. Banyak keluarga

terutama yang berstatus ekonomi rendah beranggapan bahwa menu makanan yang

sehat dan bergizi itu harganya mahal, padahal tidak selamanya makanan yang sehat

dan bergizi itu mahal. Perubahan pendapatan keluarga dapat mempengaruhi

perubahan pola asuh gizi yang secara langsung berpengaruh terhadap konsumsi

pangan balita. Meningkatnya pendapatan berarti memperbesar peluang untuk

membeli pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik. Sebaliknya

penurunan pendapatan akan menyebabkan penurunan dalam hal kualitas dan

penurunan kuantitas pangan yang dibeli (Farida B, 2004).

Standar hidup layak dihitung dari pendapatan per kapita (tingkat ekonomi).

Pendapatan keluarga merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas dan

(42)

dibeli. Status sosial ekonomi dipengaruhi oleh tingkat pendidikan karena orang

dengan pendidikan tinggi semakin besar peluangnya untuk mendapatkan penghasilan

yang cukup supaya bisa berkesempatan untuk hidup dalam lingkungan yang baik dan

sehat,sedangkan pekerjaan yang lebih baik orang tua selalu sibuk bekerja sehingga

tidak tertarik untuk memperhatikan masalah yang dihadapi anak-anaknya, padahal

sebenarnya anak-anak tersebut benar-benar menbutuhkan kasih sayang orangtua

(Adriani, 2012).

Status sosial ekonomi juga sangat dipengaruhi oleh tingkat pendapatan

keluarga, apabila akses pangan ditingkat rumah tangga terganggu, terutama akibat

kemiskinan, maka penyakit kurang gizi (malnutrisi) pasti akan muncul. Bagi

negara-negara yang sedang mengalami trasnsisi gizi seperti Indonesia, masalah yang

dihadapi juga mencakup kegemukan yang dialami anak-anak sekolah akibat

kemakmuran orangtuanya (Khomsan,2002).

Pada kondisi ekonomi terbatas biasanya pemenuhan gizi pada anak jadi

terabaikan. Namun, pada negara-negara maju masyarakatnya lebih mengonsumsi

kalori dan lemak jenuh melebihi kebutuhan tubuh disebabkan tingkat pendapatan

yang tinggi. Hal tersebut dapat menyebabkan kegemukan, kegemukan sangat terkait

dengan pola makan dan gaya hidup. Penghasilan yang cukup ketika diimbangi

dengan pengetahuan gizi yang memadai, dan pemanfaatan pangan yang

baik,kebutuhan gizinya akan terpenuhi secara kualitas maupun kuantitas. Keluarga

yang tingkat pendapatannya meningkat tidak selalu membelanjakan untuk kebutuhan

(43)

sosial.Banyak terdapat anak dengan status gizi kurang pada ayah dan ibu yang secara

ekonomi seharusnya dapat mencukupi kebutuhan makanan yang bergizi

(Sediaoetama, 2004).

Menurut Berg (1986), pola perbelanjaan keluarga yang ekonomi rendah dan

yang tingkat ekonomi yang berstatus menengah ke atas memiliki perbedaan. Pada

keluarga kurang mampu biasanya akan membelanjakan sebagian besar pendapatan

tambahannya untuk membeli makanan terutama beras, sedangkan keluarga kaya

sudah tentu akan lebih kurang dari jumlah itu. Bagian untuk makan padi-padian akan

menurun dan untuk makanan yang dibuat dari susu akan bertambah jika keluarga

beranjak kependapatan menengah ke atas, pada keluarga yang mampu semakin tinggi

pendapatan semakin bertambah pula persentase pertambahan perbelanjaan termasuk

untuk buah-buahan, sayu-sayuran, dan jenis makanan lainnya (Nugraheni,2003).

2.4. Status Sosial Ekonomi Keluarga dan Pola Konsumsi Pangan

Faktor-faktor yang ikut menentukan pola konsumsi keluarga antara lain tingkat

pendapatan keluarga, ukuran keluarga, pendidikan kepala keluarga dan status kerja

wanita. Untuk mendukung pernyataan tersebut, telah banyak penelitian dilakukan

untuk mengetahui hubungan antara tingkat pendapatan dan pola konsumsi keluarga.

Teori Engel’s yang menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan keluarga

semakin rendah persentasi pengeluaran untuk konsumsi makanan (Sumarwan, 1993).

Berdasarkan teori klasik ini, maka keluarga bisa dikatakan lebih sejahtera bila

persentasi pengeluaran untuk makanan jauh lebih kecil dari persentasi pengeluaran

(44)

semakin kecil dengan bertambahnya pendapatan keluarga, karena sebagian besar dari

pendapatan tersebut dialokasikan pada kebutuhan non pangan.

Jumlah anggota keluarga atau ukuran keluarga juga mempengaruhi pola

konsumsi. Hasil Survei Biaya Hidup (SBH) tahun 1989 membuktikan bahwa semakin

besar jumlah anggota keluarga semakin besar proporsi pengeluaran keluarga untuk

makanan dari pada untuk bukan makanan. Ini berarti semakin kecil jumlah anggota

keluarga, semakin kecil pula bagian pendapatan untuk kebutuhan makanan

(Sumarwan, 1993). Selebihnya, keluarga akan mengalokasikan sisa pendapatannya

untuk konsumsi bukan makanan. Dengan demikian, keluarga dengan jumlah anggota

sedikit relatif lebih sejahtera dari keluarga dengan jumlah anggota besar.

Selain jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan formal kepala keluarga juga

berpengaruh terhadap pola konsumsi keluarga. Pendidikan dapat merubah sikap dan

prilaku seseorang dalam memenuhi kebutuhannya. Makin tinggi tingkat pendidikan

seseorang maka makin mudah ia dapat menerima informasi dan inovasi baru yang

dapat merubah pola konsumsinya. Disamping itu makin tinggi tingkat pendidikan

formal maka kemungkinannya akan mempunyai tingkat pendapatan yang relatif lebih

tinggi (Sumarwan, 1993).

Penelitian yang dilakukan oleh Yunida (2005) menyatakan bahwa status sosial

ekonomi yang rendah akan berdampak kepada status gizi anak terutama tingkat

pendapatan keluarga yang rendah. Penelitian ini juga dilakukan oleh Wulansari

(45)

ekonomi yaitu tingkat pendapatan keluarga dan pengetahuan ibu sangat

mempengaruhi status gizi anak terutama pada komposisi tubuh anak.

2.5. Pola Konsumsi Pangan dan Status Gizi Anak

Pada masa usia sekolah, anak membutuhkan lebih banyak zat gizi untuk

pertumbuhan dan beraktivitas. Hal ini disebabkan karena pada masa ini terjadi

pertumbuhan fisik, mental, intelektual, dan sosial secara cepat, sehingga golongan ini

perlu mendapat perhatian khusus. Faktor kecukupangizi ditentukan oleh kecukupan

konsumsi pangan dan kondisi keluarga. Unicef dan Johnson (1992) membuat model

interelasi tumbuh kembang anak dengan melihat penyebab langsung, sebab tidak

langsung dan penyebab dasar. Sebab langsung adalah kecukupan makanan dan

keadaan kesehatan.Penyebab tidak langsung meliputi ketahanan makanan keluarga,

asuhan bagi ibu dan anak, sanitasi lingkungan dan pemanfaatan pelayanan

kesehatan.Penyebab yang paling mendasar dari tumbuh kembang anak adalah

masalah struktur politik dan ideologi serta struktur ekonomi yang dilandasi oleh

potensi sumber daya. Fakor-faktor tersebut berinteraksi satu dengan yang lainnya

sehingga dapat mempengaruhi masukan zat gizi dan infeksi pada anak. Pada akhirnya

ketersediaan zat gizi pada tingkat seluler rendah dan mengakibatkan pertumbuhan

terganggu (Supariasa, 2001).

Gizi kurang yang terjadi pada anak-anak, dapat menghambat pertumbuhan,

rentan terhadap penyakit infeksi dan rendahnya tingkat kecerdasan anak.

(46)

“mempersiapkan” sebagian mereka menjadi generasi yang hilang karena

terbentuknya potensi intelektual dan produktivitas yang tidak mampu menghadapi

kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Notoadmojo, 2003).

Status gizi kurang atau status gizi lebih, merupakan suatu gangguan gizi yang

disebabkan oleh faktor primer dan faktor sekunder. Faktor primer adalah apabila

susunan makanan seseorang salah dalam kualitas maupun kuantitasnya, yang

merupakan akibat dari kurangnya penyediaan pangan, kemiskinan, ketidaktahuan,

kebiasaan makan yang salah dan sabagainya. Sedangkan faktor sekunder meliputi

semua faktor yang menyebabkan zat-zat gizi tidak sampai ke sel-sel tubuh setelah

makanan dikonsumsi. Begitu pentingnya faktor gizi sehingga pembentukan kebiasaan

makan yang baik harus ditanamkan sejak dini, karena hal ini sangat menentukan

kebiasaan makannya pada saat remaja dan dewasa (Utomo, 1998).

Berdasarkan penelitian Simanjuntak (2012) menyatakan bahwa ada hubungan

yang sidnifikan antara pola konsumsi pangan dengan status gizi, hal ini juga

didukung oleh penelitian Maulina (2013) yang menyatakan bahwa pola konsumsi

pangan sangat berpengaruh terhadap status gizi balita.

2.6. Kerangka Konsep

Pola konsumsi dan status sosial ekonomi keluarga dihubungkan dengan

pertumbuhan anak baru masuk sekolah dilihat dari indikator TB/U. Dengan demikian

(47)

Gambar 1: Kerangka Konsep

Keterangan:

Tidak dianalisa

Dianalisa

Hipotesis Penelitian

1. Ho :Tidak ada hubungan status sosial ekonomi keluarga dengan TB/U

Ha :Ada hubungan status sosial ekonomi keluarga dengan TB/U

2. Ho :Tidak ada hubungan pola konsumsi pangan dengan TB/U.

Ha :Ada hubungan pola konsumsi pangan dengan TB/U.

Status sosial ekonomi keluarga

- Tingkat pendidikan orangtua

- Status pekerjaan orangtua

- Tingkat pendapatan

keluarga Pertumbuhan:

TB/U

Pola Konsumsi pangan

(48)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah bersifat deskriptif yaitu menggambarkan hubungan

pola konsumsi pangan dan status ekonomi keluarga dengan pertumbuhan anak baru

masuk sekolah dasar sekaligus menganalisa hubungan variabel-variabel yang diteliti.

Desain/rancangan penelitian yang digunakan adalah studi potong lintang (cross

sectional).

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di SD Negeri No.142442 Kota Padangsidimpuan. Lokasi

ini dipilih berdasarkan pertimbangan sekolah tersebut merupakan salah satu sekolah

dasar yang berada di Kota Padangsidimpuan dan berdasarkan survei pendahuluan di

sekolah ini terdapat murid yang tergolong pendek dimana dari 15 orang anak terdapat

9 orang anak bertubuh pendek.

3.2.2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober tahun 2014. Penelitian ini

dimulai dengan melakukan pengumpulan data sampai kepada penulisan hasil

(49)

3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh murid kelas satu SD Negeri

No.142442 Kota Padangsidimpuan. Kelas satu terdiri dari tiga kelas yaitu kelas IA

dengan jumlah 39 orang, kelas IB dengan jumlah 38 orang dan kelas IC dengan

jumlah 38 orang, maka populasi seluruhnya berjumlah 115 orang.

3.2.1 Sampel

Sampel dalam penelitian ini yaitu sebagian murid kelas I SD Negeri

No.142442. Dimana penghitungan sampel dilakukan dengan menggunakan rumus

Tara Yamane dan besar sampel dapat diketahui:

n = �

1+�(�2)

n = 115

1+115 0,1(0,1)

n = 54

Keterangan :

N : besar populasi

n : besar sampel

d : tingkat penyimpangan yang bisa ditolerir yaitu 10% (0,1).

N kelas IA: 39

115�54 = 18,31 = 18

N kelas IB: 38

115�54 = 17,84 = 18

N kelas IC: 38

(50)

Dari hasil perhitungan diperoleh besar sampel sebanyak 54 murid.

Pengambilan sampel dilakukan dengan cara teknik proporsional sampling.Teknik ini

menghendaki cara pengambilan sampel dari setiap sub populasi dengan

memperhitungkan besar kecilnya sub populasi tersebut. Cara ini dapat memberi

landasan generalisasi yang lebih dapat dipertanggung jawabkan dari pada tanpa

memperhitungkan besar kecilnya sub populasi dan setiap sub populasi, sedangkan

yang menjadi responden penelitian adalah ibu murid.

3.4. Metode Pengumpulan Data 3.4.1. Data Primer

Data primer diperoleh melalui wawancara langsung kepada ibu murid dan

hasil pengukuran antropometri yaitu tinggi badan anak baru masuk sekolah.

3.4.2. Data sekunder

Data sekunder mencakup data gambaran umum SD Negeri No.142442 Kota

Padangsidimpuan.

3.5. Instrumen Penelitian

1. Formulir Food Recall

2. Formulir Food Frequency

3. Alat Ukur tinggi badan (Microtoise)

(51)

3.6. Defenisi Operasional

1. Tinggi badan adalah ukuran panjang tubuh siswa yang ditentukan dengan cara

pengukuran menggunakan alat ukur microtois dalam satuan centimeter (cm).

2. Pola konsumsi pangan adalah susunan frekuensi, jenis dan jumlah zat gizi

yang dikonsumsi siswa pada waktu tertentu.

3. Frekuensi makan adalah seberapa sering siswa mengkonsumsi jenis makanan

tertentu dalam satu hari atau satu minggu: 1 x sehari, 2-3 x sehari, 1-3 x

seminggu, 1-2 x sebulan atau tidak pernah sama sekali.

4. Jenis makan adalah macam makanan yang dikonsumsi dalam satu hari

mencakup makanan pokok, lauk-pauk, sayuran, buah dan susu

.

5. Jumlah zat gizi adalah banyaknya asupan energi, protein, vitamin A, iodium,

kalsium dan seng yang diperoleh siswa/i dari makanan dalam sehari.

6. Status sosial ekonomi keluarga adalah gambaran tentang tingkat pendidikan

orangtua, status pekerjaan orangtua dan tingkat pendapatan keluarga.

7. Tingkat pendidikan orangtua adalah jenjang pendidikan formal tertinggi yang

pernah ditempuh selama orangtua siswa menduduki bangku sekolah atau

kuliah dan mendapat ijazah atau surat tanda tamat belajar.

8. Status pekerjaan orangtua adalah keadaan yang dapat memberikan gambaran

Gambar

Gambar 1: Kerangka Konsep
Tabel 4.2 Distribusi responden berdasarkan Tingkat pendidikan Ibu siswa SD Negeri No.142442 Kota Padangsidimpuan
Tabel 4.3 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan Keluarga siswa SD Negeri No.142442 Kota Padangsidimpuan
Tabel 4.5 Distribusi Berdasarkan Jenis Bahan Makanan Lauk Pauk dan Frekuensi Makan Siswa SD Negeri No.142442 Kota Padangsidimpuan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Skripsi ini ksmm atas bimbingan, dukmgan dan doa yang begitu besar dari kedua orang hra dan keluarga Ucapan h i m a kasih juga ingin penulis. sampaikan atas

Namun dari hasil penelitian ini tidak semua anak-anak korban perceraian mengalami trauma, itu dikarenakan faktor dari individu dan latar belakang orangtua yang mampu

Hasil penelitian menunjukan bahwa hasil indikator pemeriksaan oleh BPK-RI tentang kelemahan sistem pengendalian intern Pemerintahan daerah tidak berpengaruh terhadap

PLN (Persero) Distribusi Jawa Tengah dan DIY harus memiliki lingkungan kerja yang kondusif agar dapat mendorong aktivitas dan kreativitas karyawan, dengan begitu

Skripsi PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI SIFAT FISIKA ..... ADLN Perpustakaan

Penelitian merupakan penelitian dengan jenis kualitatif dan menggunakan pendekatan fenomenologi yang bertujuan untuk mengkaji rendahnya tarif jasa sewa Red Planet Solo Hotel di

Fear appeal dengan high threat tidak signifikan mangubah persepsi fear appeal perokok mahasiswa UPI Bandung; penelitian ini memperoleh temuan bahwa, fear appeal dengan

‘I knew who you were,’ he’d insisted, ‘I just couldn’t remember your name.’ Trix had doubted that, but pointing out the fact that he’d shoved her away from him didn’t seem