KAJIAN SPASIAL KEBUTUHAN HUTAN KOTA
BERBASIS HIDROLOGI DI KOTA AMBON
CHRISTY CECILIA VERONICA SUHENDY
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Spasial Kebutuhan Hutan Kota Berbasis Hidrologi di Kota Ambon adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, September 2009
Christy C V Suhendy NRP 052070061
CHRISTY C V SUHENDY. Spatial Analysis Hydrology Based for Urban Forest Needs in Ambon City. Under supervision of I NENGAH SURATI JAYA and ENDES N DAHLAN.
This study describes a spatial analysis of urban forest using surface water storage capability approach. The main objective of this study is to estimate the urban forest using surface water in Ambon City. The additional objective is to provide spatial and tabular information on urban forest development plan that might be required either by governmental or non governmental agencies. This research was conducted within 5 districts of Ambon City from February 2009 to April 2009 in Ambon. The variables considered in this approach are population, livestock and industry. Data were collected through observation, literature study and interviews with relevant stakeholders. Those data were processed and analyzed using GIS to provide information on total water needs, total water supplies, capacity of urban forest to absorb water, as well as minimum extent of urban forest required.
CHRISTY C V SUHENDY. Kajian Spasial Kebutuhan Hutan Kota Berbasis Hidrologi di Kota Ambon. Dibimbing oleh I NENGAH SURATI JAYA dan ENDES N DAHLAN.
Air merupakan kebutuhan dasar bagi seluruh makhluk hidup. Tumbuhan berperan penting dalam proses pengaturan air. Di daerah perkotaan dengan segala perkembangannya, keberadaan air sangat diperlukan, namun pembangunan wilayah kota justru membuat lahan bervegetasi untuk penyerapan air semakin sempit. Pengembangan hutan kota merupakan rancangan ideal untuk pemenuhan kebutuhan ruang terbuka hijau di wilayah kota, terutama untuk fungsi peresapan air yang nantinya akan meningkatkan pasokan air tanah. Penelitian ini ditujukan untuk mengestimasi kebutuhan luas hutan kota di Kota Ambon khususnya untuk penyediaan air, dan untuk memberikan informasi bagi suatu perencanaan pengembangan RTH. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Februari 2009 – April 2009 di Kota Ambon. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara dengan instansi terkait dan masyarakat, serta studi pustaka. Data yang dibutuhkan antara lain: jumlah dan laju pertumbuhan penduduk, industri dan ternak, potensi air tanah, kapasitas suplai air PDAM,dan data-data spasial berupa peta tutupan lahan, peta administrasi, dan peta jenis tanah. Keseluruhan data tersebut diolah dan dianalisis sehingga diperoleh informasi kebutuhan air total, suplai air total, kapasitas hutan kota dalam menyerap air, serta luas hutan kota optimal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebutuhan hutan kota selalu meningkat dari tahun ke tahun. Perkiraan kebutuhan hutan kota di Kota Ambon untuk tahun 2010 yaitu 20.286.93 ha, tahun 2015 sebesar 22.691,32 ha, tahun 2020 sebesar 25.398 ha, dan tahun 2025 sebesar 28.444,93 ha. Titik keseimbangan antara kebutuhan dan ketersediaan hutan kota terdapat di pertengahan tahun 2012. Pada tahun tersebut diperkirakan jumlah penduduk Kota Ambon akan mencapai309.065 jiwa dengan kebutuhan air sebesar 15.623.991 m3/tahun.
©
Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
CHRISTY CECILIA VERONICA SUHENDY
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan.
Tesis ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
menyelesaikan program Magister Sains di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor. Tema dari penelitian ini dikaji berdasarkan berbagai pertimbangan khususnya
aspek lingkungan di Kota Ambon.
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. I Nengah
Surati Jaya, M. Agr. selaku ketua komisi pembimbing dan kepada Dr. Ir. Endes N.
Dahlan, M.S. selaku anggota komisi pembimbing yang telah membimbing dan
memberikan masukan yang sangat berarti selama proses penulisan tesis ini. Penulis
juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu
dalam penulisan tesis ini.
Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi pembaca dalam memperluas wacana
dan pengetahuan mengenai hutan kota terutama yang berbasis hidrologi.
Bogor, Agustus 2009
Penulis dilahirkan di Ambon, Maluku pada tanggal 21 Desember 1977 dari ayah Charles Suhendy dan ibu Charlotte Pattinama. Penulis merupakan putri pertama dari tiga bersaudara.
Pada tahun 1995 penulis menyelesaikan pendidikan lanjutan tingkat atas di SMA Negeri 1 Ambon, dan pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan tingkat sarjana di Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon dan lulus pada tahun 2000.
Pada tahun 2007 penulis diterima di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan pada Program Pascasarjana IPB. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen Pendidikan Tinggi Republik Indonesia.
Halaman
DAFTAR TABEL ……….. xiii
DAFTAR GAMBAR ……….. xiv
DAFTAR LAMPIRAN ……….. xvi
I PENDAHULUAN ……….. 1
1.1. Latar Belakang ……….. 1
1.2. Kerangka Pemikiran ………. 4
1.3. Perumusan Masalah ……….. 4
1.4. Tujuan Penelitian ……….. 5
1.5. Manfaat Penelitian ……… 5
II TINJAUAN PUSTAKA ……… 6
2.1. Pengertian Kota ………. 6
2.2. Pengaruh Perkembangan Kota Terhadap Lingkungan ….. 6
2.3. Perlunya Pengembangan Hutan Kota ……… 7
2.4. Pengertian Hutan Kota ……….. 8
2.5. Pengelolaan Hutan Kota ……… 9
2.6. Pengertian Air ……… 12
2.7. Siklus Air ……….. 12
2.8. Kebutuhan Sumberdaya Air ……….. 13
2.8.1. Kebutuhan Air Domestik ……… 13
2.8.2. Kebutuhan Air Industri ………... 14
2.8.3. Kebutuhan Air Ternak ……… 15
2.9. Pengelolaan Vegetasi dan Hasil Air ……….. 15
2.10. Ruang Terbuka Hijau Untuk Peresapan Air ……….. 17
2.11. Ketersediaan Air ……… 17
III METODE PENELITIAN ………... 19
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ………... 19
3.2. Data, Perangkat Lunak, dan Perangkat Keras ……….. 19
3.2.2. Data Sekunder ………. 19
3.2.3. Perangkat Lunak dan Keras ……… 25
3.3. Metode Penelitian ………. 25
3.3.1. Analisis Data Kebutuhan Luas RTH Untuk Ketersediaan Air Kota Ambon ... 26
3.3.1.1. Kebutuhan Air Total ... 27
3.3.1.2. Suplai Air Total ... 28
3.3.1.3. Penentuan Nilai Kemampuan Hutan Dalam Menyimpan Air ... 28
3.3.2. Analisis Spasial Hutan Kota ... 33
3.3.3. Analisis Data Program Pemerintah dan Preferensi Masyarakat Terhadap Prioritas Pengembangan RTH 33 3.3.3.1. Program Pemerintah ... 33
3.3.3.2. Pendapat Masyarakat ... 34
IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 35
4.1. Letak Geografis dan Wilayah Administrasi ... 35
4.2. Kondisi Fisik Dasar ... 35
4.2.1. Topografi ... 35
4.2.2. Geologi dan Tanah ... 36
4.2.3. Iklim ... 37
4.2.4. Hidrologi ... 37
4.2.4.1. Air Permukaan ... 37
4.2.4.2. Air Tanah ... 38
4.2.4.3. Air Bersih ... 39
4.2.5. Penggunaan Lahan ... 39
4.3. Kependudukan ... 40
4.4. Industri dan Perdagangan ... 40
4.5. Peternakan ... 41
4.6. Perkembangan Kota ... 41
4.7. Ruang Terbuka Hijau ... 42
4.7.1. Kawasan Hutan Lindung ... 42
4.7.2. Jalur Hijau ... 43
4.7.4. Lapangan Olah Raga ... 45
4.7.5. Taman Kota Lainnya ... 45
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 47
5.1. Luas Hutan Kota Berbasis Hidrologi dan Analisis Spasial Hutan Kota……… 47
5.1.1. Kebutuhan Air ... 47
5.1.1.1. Kebutuhan Air Domestik ... 47
5.1.1.2. Kebutuhan Air Industri ... 51
5.1.1.3. Kebutuhan Air Ternak ... 53
5.1.1.4. Kebutuhan Air Total Kota Ambon ... 56
5.1.2. Suplai Air Kota Ambon ... 56
5.1.2.1. Suplai Air Tanah ... 56
5.1.2.2. Suplai Air PDAM dan DSA ... 57
5.1.2.3. Suplai Air Simpanan Permukaan (SAtotal) dan Kemampuan Lahan Menyimpan Air (Slahan) ……… 58
5.1.3. Selisih Kebutuhan dan Ketersedian Air Bersih …….. 59
5.1.4. Perkiraan Luas Hutan Kota yang Dibutuhkan Kota Ambon ... 60
5.2. Program Pemerintah dan Pendapat Masyarakat ... 69
5.2.1. Program Pemerintah ... 69
5.2.2. Pendapat Masyarakat ... 73
5.2.2.1. Identitas dan Latar Belakang Responden .. 73
5.2.2.2. Persepsi Masyarakat Tentang Jenis, Bentuk dan Tipe Hutan Kota... 73
5.2.2.3. Persepsi Masyarakat Tentang Pengelolaan Hutan Kota ... 75
VI SIMPULAN DAN SARAN ... 78
6.1. Simpulan ... 78
6.2. Saran ... 78
Halaman
1 Perubahan penggunan lahan Kota Ambon tahun 1980 – 1995 ………. 2
2 Konsumsi air bersih per kapita per hari masyarakat Indonesia ………. 14
3 Klasifikasi industri ……… 14
4 Kebutuhan air industri berdasarkan beberapa proses industri ………... 15
5 Konsumsi air pada beberapa jenis ternak per ekor per hari ………….. 15
6 Data yang digunakan …...……….. 20
7 Bilangan Kurva (CN) untuk berbagai penutup tanah dengan kondisi kandungan air tanah sebelumnya: kondisi II, dan Ia = 0,2 S ………… 31
8 Jumlah dan laju pertumbuhan penduduk Kota Ambon tahun 2000-2007……… 40
9 Jumlah dan jenis industri di Kota Ambon menurut Kecamatan tahun 2007 ………... 41
10 Jumlah dan jenis ternak di Kota Ambon menurut Kecamatan tahun 2007 ……… 41
11 Standar kebutuhan air rumah tangga berdasarkan jenis kota dan jumlah penduduk ………... 48
12 Jumlah dan kebutuhan air penduduk Kota Ambon tahun 2007 ……… 49
13 Rata-rata laju pertumbuhan penduduk Kota Ambon tahun 2003 – 2007 ………... 50
14 Jumlah dan persentase kegiatan industri di Kota Ambon menurut kategori tahun 2004 – 2007……… 51
15 Jumlah dan kebutuhan air ternak berdasarkan jenisnya di Kota Ambon ... 53
16 Estimasi kebutuhan air Kota Ambon tahun 2010, 2015, 2020, dan 2025 ………... 56
17 Suplai Air Tanah Kota Ambon ………. 57
18 Suplai Air PDAM Kota Ambon ……… 57
19 Suplai Air DSA Kota Ambon ………... 58
20 Kebutuhan dan ketersediaan air bersih Kota Ambon ... 59
21 Identitas dan latar belakang responden ………. 73
Halaman
1 Bagan alir kerangka pemikiran ………. 4
2 Organisasi pengelolaan hutan kota ……… 11
3 Citra IKONOS Kota Ambon ... 19
4 Peta administrasi Kota Ambon ……….. 21
5 Peta jenis tanah Kota Ambon ……… 22
6 Peta penggunaan lahan Kota Ambon tahun 2008 ………. 23
7 Peta pola sungai Kota Ambon ………... 24
8 Kawasan Hutan Lindung Gunung Nona ... 44
9 Pattimura Park ... 44
10 TMP Kapahaha ... 44
11 Taman Australia (Australian Cemetery War Park) ... 44
12 Sebaran penduduk dan kebutuhan air di Kota Ambon tahun 2007 ….. 49
13 Perkiraan jumlah penduduk dan kebutuhan air tiap kecamatan di Kota Ambon tahun 2010, 2015, 2020, dan 2025 ………... 50
14 Peta Sebaran Jumlah dan Kebutuhan Air Industri di Kota Ambon Tahun 2007 ………... 52
15 Perkiraan pertambahan jumlah dan kebutuhan air industri per kecamatan di Kota Ambon Tahun 2010, 2015, 2020, dan 2025 ……... 53
16 Sebaran Hewan Ternak di Kota Ambon Tahun 2007 ... 54
17 Peta Sebaran Kebutuhan Air Untuk Ternak di Kota Ambon Tahun 2007 ………... 55
18 Grafik Perkiraan Jumlah Ternak Per Kecamatan di Kota Ambon Tahun 2010, 2015, 2020, dan 2025 ………... 56
19 Kebutuhan dan ketersediaan air bersih kota Ambon …... 59
20 Estimasi kebutuhan luas hutan kota untuk ketersediaan air di Kota Ambon tahun 2010, 2015, 2020, dan 2025 ………... 60
21 Estimasi luas RTH di Kota Ambon tahun 2010, 2015, 2020, dan 2025 61 22 Estimasi kebutuhan dan ketersediaan hutan kota di Kota Ambon ….... 61
23 Peta buffer sungai Kota Ambon tahun 2008 ………... 63
24 Peta topografi Kota Ambon ……….. 64
26 Peta estimasi luas minimum kebutuhan hutan kota Kota Ambon
tahun 2015 ………... 66
27 Peta estimasi luas minimum kebutuhan hutan kota Kota Ambon
tahun 2020 ………... 67
28 Peta estimasi luas minimum kebutuhan hutan kota Kota Ambon
tahun 2025 ………... 68
29 Peta rencana ruang terbuka hijau Kota Ambon ………... 72 30 Jenis tutupan pekarangan rumah responden ………... 74 31 Fungsitanaman yang diinginkan masyarakat untuk ditanami di
Halaman
1 Jumlah dan kebutuhan air domestiktahun 2007, serta proyeksi jumlah penduduk dan kebutuhan air domestik tahun 2010, 2015, 2020, dan
2025 ……….. 82
2 Perkiraan jumlah dan kebutuhan air industri tahun 2010, 2015, 2020,
dan 2025 ……… 85
3 Nilai CN untuk tiap tutupan lahan dan jenis tanah serta hasil Slahan dan
1.1. Latar Belakang
Perubahan penggunaan lahan dari kawasan bervegetasi menjadi kawasan terbangun dapat mengakibatkan keseimbangan ekologi kota terganggu, salah satunya terhadap kebutuhan penduduk kota akan air. Pembangunan yang dilaksanakan pada hakekatnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, oleh karena itu dalam melaksanakan pembangunan, berbagai sumberdaya didayagunakan secara terintegrasi dan terencana.
Kota Ambon sebagai ibukota Propinsi Maluku juga sedang menghadapi proses pembangunan dengan segala permasalahannya. Dalam beberapa tahun terakhir ini pembangunan pemukiman, perdagangan, pariwisata, pendidikan, dan sektor-sektor lainnya di Kota Ambon telah mengalami pertumbuhan yang relatif pesat dibandingkan dengan kawasan lain disekitarnya. Pembangunan tersebut di satu sisi membutuhkan ketersediaan sumberdaya alam seperti lahan dan air, sementara di sisi lain Kota Ambon yang terletak di pulau Ambon merupakan pulau yang relatif kecil dan memiliki ketersediaan sumberdaya lahan dan air yang terbatas baik dalam jumlah maupun sebarannya (Dahuri et al., 1996). Kedua sisi ini tentu saja sering menimbulkan konflik dalam pemanfaatannya, yang berakhir dalam bentuk banyaknya perubahan (konversi) penggunaan lahan.
Konversi penggunaan lahan sangat berkaitan erat dengan kualitas hidrologi. Rona alamiah yang dicirikan oleh keberadaan hutan dan ragam pepohonan beserta lapisan humus (pelapukan dan jasad renik) menentukan potensi dan keberlanjutan sumberdaya air. Tumbuhan sangat bergantung pada air, karena air merupakan salah satu elemen yang diperlukan tumbuhan untuk melakukan fotosintesis. Selain membutuhkan air, tumbuhan juga merupakan agen penting dalam proses hidrologi.
jatuh, melindungi tanah terhadap daya rusak air yang mengalir di permukaan tanah, serta memperbaiki kapasitas infiltrasi tanah dan penahan air yang langsung mempengaruhi besarnya aliran permukaan (Arsyad, 2006).
Sebagian air hujan yang sampai di lapisan permukaan tanah akan diabsorbsi oleh humus, sebagian besar lainnya akan berinfiltrasi dan terus meresap lebih dalam lagi melalui proses perkolasi. Aliran perkolasi itu akhirnya akan mencapai lapisan batuan (aquifer) membentuk persediaan atau kandungan air tanah (ground water) (Kartasapoetra et al., 1991). Aliran air perkolasi juga dapat mengisi sumber mata air, yang akan keluar jika terjadi pertemuan antara lapisan air impermeable dengan permukaan tanah.
Banyaknya konversi lahan yang memperluas permukaan kedap air menyebabkan berkurangnya infiltrasi, menurunnya pasokan air tanah, dan meningkatkan limpasan permukaan (Asdak, 1995). Dampak lain dari konversi lahan adalah meningkatnya pengambilan air tanah yang melebihi daya dukung. Dalam Rencana Induk Kota Ambon tahun 1984, antara lain disebutkan bahwa sesuai dengan fungsi kota, maka pertumbuhan Kota Ambon hingga tahun 2004 lebih diarahkan pada pengembangan tempat tinggal penduduk, tempat usaha dan bekerja, pusat pendidikan tinggi, pemerintahan dan perdagangan. Salah satu kriteria untuk mendukung arahan tersebut adalah tercukupinya ketersediaan air baku.
Tabel 1 Perubahan pengunaan lahan Kota Ambon tahun 1980 - 1995
Data Jenis Penggunaan Lahan
Luas Penggunaan Lahan (ha)
1980 1985 1990 1995
Eksistin g
Pemukiman 437.65 603.61 862.29 1157.41
Tegalan 600.40 587.48 546.52 493.84
Kebun Campur 1385.72 1288.20 1177.52 1066.08
Perkebunan 193.28 193.28 193.28 193.28
Alang-alang 1123.88 1068.92 963.36 835.60 Hutan Belukar 635.44 634.88 633.40 630.16
untuk pemukiman terjadi sebesar +16,45%, tegalan -2,43%, perkebunan -0,21%, kebun campur -7,30%, hutan -0,12%, dan alang-alang -6,59% (Tabel 1).
Keterbatasan pelayanan distribusi air bersih oleh Perusahaan Daerah Air Minum setempat sampai dangan tahun 1996 hanya mampu melayani sekitar 28% (9.803 m3/hari) dari total kebutuhan air bersih sebesar 35.014 m3/hari telah mendorong masyarakat untuk memanfaatkan sumberdaya air tanah sebagai andalan utama dalam memenuhi 72% (25.210 m3/hari) kebutuhan air untuk rumah tangga maupun usaha mereka. Hal ini menyebabkan berkurangnya jumlah air tanah yang ditunjukkan melalui turunnya permukaan air tanah statis sebesar 0,5 - 1,0 meter per tahun dalam kurun waktu 1980 - 1989 (Direktorat Geologi Tata Lingkungan, Bandung, 1989).
Kecepatan pemanfaatan (outflow) dan pengisian kembali (inflow) terhadap air bawah tanah yang tidak seimbang selain mengakibatkan kelangkaan air, juga berpeluang terhadap terjadinya intrusi air laut ke dalam air tanah terutama pada kawasan pesisir. Kota Ambon yang terletak di bagian Selatan Pulau Ambon merupakan pulau yang relatif kecil dan memiliki ketersediaan air bawah tanah yang sangat terbatas. Hasil survey Dinas Pertambangan Propinsi Maluku tahun 1991 menunjukkan bahwa luas daerah tangkapan air di wilayah ini sekitar 1.975 ha. Dengan curah hujan rata-rata tahunan sebesar 2.991 mm per tahun serta tingkat kelulusan rata-rata curah hujan untuk menjadi air tanah sebesar 10,93%, maka dapat diperkirakan jumlah air hujan yang masuk menjadi air tanah sebesar 6.493.812,4 m3 per tahun. Jika jumlah ini dibandingkan dengan tingkat kebutuhan air per tahun untuk wilayah Kota Ambon, maka dapat dipastikan bahwa peluang terjadinya kelangkaan air dan intrusi air laut di wilayah ini sangat besar.
Berdasarkan latar belakang sebagaimana telah diuraikan, maka perlu dilakukan suatu penelitian untuk mengetahui kebutuhan hutan kota untuk memenuhi kebutuhan air di Kota Ambon, Maluku.
1.2. Kerangka Pemikiran
Gambar 1 Bagan alir kerangka pemikiran
1.3. Perumusan Masalah
Terbatasnya ketersediaan lahan di satu sisi serta tuntutan kebutuhan pembangunan kawasan Kota Ambon di sisi lain telah menyebabkan perubahan atau pergeseran terhadap penggunaan lahan yang ada, dan menunjukkan indikasi terjadinya dampak negatif terhadap keseimbangan air yang ada. Jika pelaksanaan pembangunan di kawasan ini terus meningkat tanpa mempertimbangkan
Kota sebagai pusat aktivitas manusia
Pembangunan yang terus meningkat
Meningkatnya jumlah penduduk
Perlunya suatu pengelolaan lingkungan hidup perkotaan
Berkurangnya lahan bervegetasi untuk
menyerap air Terjadinya alih
fungsi lahan
Fasilitas dan sarana prasarana kota
Perencanaan pembangunan hutan kota
pengelolaan yang baik terhadap ruang hidrologi yang ada, maka dikhawatirkan akan berdampak serius terhadap kelestarian lingkungan hidrologi, yang pada akhirnya akan mempengaruhi keberlanjutan dari pembangunan itu sendiri.
Beberapa permasalahan yang memerlukan kajian penelitian dalam rangka pengembangan ruang terbuka hijau yang berfungsi untuk penyediaan air di Kota Ambon, yaitu:
1. Apakah hutan kota yang ada di Kota Ambon telah dapat mencukupi kebutuhan kota, baik untuk masa sekarang maupun untuk beberapa tahun yang akan datang?
2. Berapa luas minimal hutan kota yang diperlukan untuk ketersediaan air bagi masyarakat Kota Ambon?
1.4. Tujuan Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengestimasi kebutuhan luas hutan kota di Kota Ambon khususnya untuk penyediaan air. Tujuan khusus penelitian adalah mengidentifikasi keseimbangan kebutuhan hutan kota untuk penyediaan air di Kota Ambon dalam suatu kurun waktu tertentu.
1.5. Manfaat Penelitian
Diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat sebagai:
1. Suatu landasan dan acuan bagi para perencana dan pembuat kebijakan pembangunan kota, dalam hal ini Pemerintah Kota Ambon, dalam merencanakan pengembangan hutan kota untuk ketersediaan air di Kota Ambon.
2.1. Pengertian Kota
Kota merupakan suatu kesatuan yang tertutup dan merupakan pusat aktivitas ekonomi, sosial, politik, dan kebudayaan, terletak pada posisi geografis tertentu dan merupakan otak dari daerah sekelilingnya (Richarson, 1977 dalam Affandi, 1994). Kota adalah suatu permukiman dengan kepadatan penduduk yang lebih besar dari kepadatan penduduk nasional, dengan struktur mata pencaharian non agraris dan tata guna yang beraneka serta kerapatan pembangunan yang tinggi. Kota juga merupakan suatu kebulatan tatanan dari lingkungan sistem fisik, biologi, sosial dan ekonomi yang saling berintegrasi secara sederhana. Soeriaatmaja (1977) mengemukakan bahwa kota merupakan suatu sistem yang sifatnya sementara dan sewaktu-waktu sulit untuk dikontrol.
Kota dipandang sebagai suatu kesatuan yang tertutup dan merupakan pusat aktivitas ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan serta mempunyai otoritas tertentu dalam suatu Negara, terletak pada posisi geografis tetap dan merupakan pusat dari daerah sekitarnya. Kota dapat dipelajari melalui berbagai fungsinya yang terorganisir dalam skala waktu dan ruang yang tertentu dalam alam. Kota yang baik merupakan suatu kesatuan organis yang diterapkan sesuai dengan keadaan kondisi teknologi dan cita-cita serta didasarkan pada masa lalu dan berorientasi masa depan. Kota pada akhirnya akan mati atau mundur apabila tidak merupakan suatu organisasi yang dapat berfungsi dan berkembang serta dapat menyediakan kebutuhan sumberdaya alam seperti air minum, listrik, sarana transportasi, sistem pembuangan sampah serta regenerasi kota bagi kesejahteraan penduduknya.
2.2. Pengaruh Perkembangan Kota terhadap Lingkungan
perubahan lingkungan yang menyebabkan terganggunya kenyamanan penduduk perkotaan (Tarsoen, 1991 dalam Affandi, 1994).
2.3. Perlunya Pengembangan Hutan Kota
Adanya berbagai kegiatan di perkotaan yang memberikan limbah dalam bentuk padat, cair, gas maupun debu yang mencemarkan udara menyebabkan kualitas lingkungan hidup di kota semakin lama semakin menurun. Pembangunan jalan dan pemukiman yang memberikan dampak penurunan kemampuan tanah untuk menyerap dan menampung air, transportasi yang memberikan gas karbondioksida, sulfurdioksida, serta kebisingan suara. Untuk memperbaiki mutu lingkungan hidup di kota dapat secara efektif dan efisien dilakukan melalui pengembangan hutan kota.
Adapun faktor-faktor dasar lingkungan alami dalam wilayah perkotaan yang harus diperhatikan (Purnomohadi, 1987), antara lain yaitu:
1. Kualitas udara yang sangat dipengaruhi oleh pola lalu lintas kota, adanya ruang terbuka yang relatif luas sehingga memungkinkan adanya sirkulasi udara bagi setiap kelompok bangunan. Aliran udara berupa hembusan angin akan melindungi kualitas udara.
2. Perlunya pengelolaan air, terutama air permukaan pada daerah-daerah penampungan air, sungai, kanal, waduk dan rawa dalam suatu sistem, termasuk penyediaan air bersih, penampungan air buangan yang kemudian dapat diproses melalui instalasi pemurnian air buangan.
3. Pengelolaan limbah padat di tempat yang khusus dan harus dipertimbangkan pula yang dapat menjadi sumber bahan mentah dari buangan-buangan tadi. 4. Diharapkan terciptanya derajat kebisingan yang serendah mungkin dengan
mengenali faktor yang mempengaruhinya seperti lalu lintas, kepadatan penduduk serta penumpukan fasilitas kota.
5. Adanya kehidupan alami dalam habitat ciptaan maupun alami bagi berbagai satwa yang tidak berbahaya.
2.4. Pengertian Hutan Kota
Definisi hutan kota menurut Sekretariat Jendral Departemen Kehutanan bekerjasama dengan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (1987) adalah lapangan yang ditumbuhi vegetasi berkayu di wilayah perkotaan yang memberikan manfaat lingkungan sebesar-besarnya kepada penduduk kota dalam kegunaan-kegunaan proteksi, rekreasi dan kegunaan khusus.
Menurut Suwardi (1987) hutan kota adalah suatu hutan yang keberadaannya ada di dalam kota, di sekitar pinggiran kota atau di dalam daerah-daerah pusat pemukiman yang berkembang karena proses urbanisasi. Hutan kota merupakan cabang khusus dari hutan yang pengelolaannya melalui pendekatan multi disiplin dan dikembangkan secara intensif di dalam daerah perkotaan untuk keuntungan dan kepentingan warga lota.
Hutan kota merupakan suatu cara pendekatan dan penerapan salah satu atau beberapa fungsi hutan dalam kelompok vegetasi di perkotaan untuk mencapai tujuan proteksi, rekreasi, estetika, dan kegunaan khusus lainnya bagi kepentingan penduduk perkotaan. Oleh karena itu, hutan kota tidak hanya berarti hutan (menurut Undang-undang Pokok Kehutanan, UUPK No. 5 Tahun 1967) yaitu lapangan yang ditumbuhi pohon-pohon yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup dengan alam lingkungannya dan mempunyai luas areal minimal 0,25 Ha berada di kota, tetapi juga dapat tersusun dari komponen hutan dan kelompok vegetasi lainnya yang berada di kota seperti taman, jalur hijau, serta kebun dan pekarangan (Fakuara, 1987).
Haeruman (1987) mengemukakan bahwa hutan kota juga terletak jauh di luar batas kota, sepanjang interaksi yang intensif antara penduduk sebuah kota dengan hutan tersebut berlangsung terus-menerus. Ekosistem hutan kota dapat dibangun sedemikian sehingga secara ekologis sesuai dengan lingkungan perkotaan, artinya terdiri dari tegakan yang belapis-lapis dimana masing-masing fungsinya meniru hutan alami. Pemeliharaan relatif sedikit dibandingkan misalnya dengan lapangan olahraga dan taman-taman umum dengan skala luas yang sama.
sosial, serta sebagai cadangan untuk pengembangan Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota dalam pembangunan kota jangka panjang (Purnomohadi, 1987).
Perbedaan yang nyata dengan unsur terbuka hijau yang lain adalah bahwa tegakan pepohonan dan semak belukar dalam hutan dikelola sesuai dengan sifat hutan, yaitu tidak berdiri sendiri, hingga satu kelompok tegakan dengan yang lainnya terjadi dalam suatu komunitas yang sesuai atau, paling tidak, mirip dengan ekosistem hutan alami. Namun sesuai dengan nilai-nilai "urbanity" maka ada keterbatasan dalam pembentukan hutan kota tersebut seirama dengan perkembangan kota yang terjadi serta berbagai aspek kehidupan yang menyangkut kehidupan penduduk kota. Tanaman yang ada harus asosiatif, dimana akan terdapat saling interaksi dalam mencapai suatu keseimbangan. Oleh karena itu perlu ditentukan berapa jenis minimum vegetasi yang tumbuh, baru dapat disebut sebagai hutan kota. Tanaman dalam pot tidak dapat dikatakan hutan kota, karena jika tidak ada manusia, tanaman pot itu akan mati. Hutan kota harus berinteraksi langsung dengan lingkungannya, yaitu tanah, air, dan air tanah.
2.5. Pengelolaan Hutan Kota
Program hutan kota adalah kegiatan khusus kehutanan yang bertujuan mengelola vegetasi kayu (pohon) bagi kepentingan kesejahteraan fisiologis, sosial dan ekonomi masyarakat perkotaan. Tercakup dalam rumusan tersebut ialah program komperhensif untuk mendidik penduduk kota tentang peranan vegetasi berkayu (pohon) di dalam lingkungan perkotaan. Dalam pengertian yang lebih luas lagi, program tersebut merupakan sistem pengelolaan dan kegunaan yang mencakup daerah-daerah perkotaan, silvikultur, dan produksi kayu serat (Society of American Foresters, 1974).
masyarakat, pelaksanaannya diserahkan kepada masyarakat, dan jika lahan milik individu, maka pelaksanaannya dilaksanakan oleh individu dengan bimbingan teknis dari pemerintah agar dapat terlaksana secara benar (Fakuara, 1986).
Menurut Grey dan Deneke (1978) ada tiga macam kegiatan dalam pengelolaan hutan kota, yaitu:
1. Penanaman
Penanaman harus mempunyai prioritas tertinggi, terutama setelah kegiatan penebangan pohon-pohon yang sudah tua / mati. Kegiatan penanaman ini harus memperhatikan komposisi jenis, lokasi, dan desain.
2. Pemeliharaan
Pemeliharaan hutan kota dapat didefinisikan sebagai penerapan kebutuhan-kebutuhan praktis bagi kesehatan yang layak, kekuatan, dan sesuai dengan lingkungan perkotaan. Kegiatan pemeliharaan meliputi pengendalian pertumbuhan, perusakan, serta serangga dan penyakit.
3. Pembersihan
Kegiatan pembersihan meliputi penyingkiran pohon-pohon yang mati dan membahayakan baik secara fisik berupa posisi yang tidak menguntungkan, maupun karena merupakan sumber penyakit, serta pohon-pohon yang terlalu berdesakan.
Dalam studi kajian perencanaan aspek yang diteliti meliputi: lokasi, fungsi dan pemanfaatan, aspek teknik silvikultur,arsitektur lansekap, sarana dan prasarana, teknik pengelolaan lingkungan. Bahan informasi yang dibutuhkan dalam studi meliputi: (1) Data fisik (letak, wilayah, tanah, iklim, dan lain-lain); (2) Sosial ekonomi (aktivitas di wilayah bersangkutan dan kondisinya); (3) Keadaan lingkungan (lokasi dan sekitarnya); (4) Rencana pembangunan wilayah (RUTR, RTK, RTH); serta (5) Bahan-bahan penunjang lainnya (Dahlan,1992).
Hasil studi berupa Rencana Pembangunan Hutan Kota terdiri dari tiga bagian (Dahlan, 1992), yakni:
1. Rencana jangka panjang, yang memuat gambaran tentang hutan kota yang dibangun, serta target dan tahapan pelaksanaannya.
3. Rencana tahun pertama kegiatan, meliputi rencana fisik dan biayanya.
Sumber: Fakultas Kehutanan IPB (dalam Dahlan, 1992)
Gambar 2 Organisasi pengelolaan hutan kota
Organisasi pembangunan dan pengelolaan hutan kota sangat bergantung kepada perangkat yang ada dan keperluannya. Sistem pengorganisasian pembangunan dan pengelolaan hutan kota dapat dilihat pada Gambar 2. Walikota atau Bupati sebagai kepala wilayah bertanggung jawab atas pembangunan dan pengembangan hutan kota di wilayahnya. Bidang perencanaan pengendalian dipegang oleh Bappeda Tingkat II yang dibantu oleh tim pembina yang terdiri dari
Penanggung Jawab • Kepala Wilayah
(Walikota / Bupati)
Pelaksana • Dinas Tata Kota
• Dinas Pertamanan
• Dinas Perkebunan
• Dinas Kehutanan
• Perusahaan Negara
• Swasta
• Perorangan
Pembina
• Bapedalda Dibantu oleh:
• Kanwil Dephut
• Kanwil Deptan
• Kanwil Depkes
• Kanwil Dep. PU
• Instansi Agraria
• BKLH
Perencanaan • Bappeda
Kanwil Departemen Kehutanan, Kanwil Departemen Pertanian dan Perkebunan, Kanwil Departemen Pekerjaan Umum, Kanwil Departemen Kesehatan, Biro Kependudukan dan Lingkungan Hidup, dan yang lainnya menurut kebutuhan masing-masing kota dan daerah. Untuk pelaksanaannya dapat ditunjuk dinas-dinas yang berada di wilayahnya.
Pengelolaan hutan kota pada areal yang dibebani hak milik diserahkan kepada pemiliknya, namun dalam pelaksanaannya harus memperhatikan petunjuk dari bidang perencanaan dan pengendalian. Guna memperlancar pelaksanannya perlu dipikirkan jasa atau imbalan apa yang dapat diberikan oleh pemerintah kepada yang bersangkutan.
2.6. Pengertian Air
Air merupakan suatu elemen dalam lanskap. Air dipandang sebagai tapak untuk tanaman dan jalan dengan median jalan, rumah institusi, resor hotel, dan usaha komersial lainnya. Air berguna bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya seperti untuk mandi, makan, minum, mencuci, irigasi, industri, dan lainnya. Air juga sangat penting sebagai moderator iklim dunia. Uap air di atmosfer dan bentuk kondensasinya (awan) memantulkan dan menyerap bagian radiasi matahari yang masuk pada siang hari, dan membersihkan aliran energi yang terus menerus ke permukaan dalam bentuk radiasi gelombang panjang (Lee, 1988 dalam Yullyarty, 2004).
Banyaknya volume air yang mengalir di permukaan bumi sehingga tidak terserap oleh saluran-saluran baik alami maupun buatan yang ada akan mengakibatkan banjir. Fenomena banjir banyak menimpa daerah perkotaan (urban). Daerah perkotaan memiliki karakteristik yang khas, dimana lebih dari 30% permukaannya merupakan permukaan kedap air (atap bangunan, jalan, jembatan, perkerasan dan lainnya).
2.7. Siklus Air
berhubungan dengan air. Secara skematik, siklus hidrologi dapat dijelaskan sebagai berikut (Asdak, 1995):
1. Presipitasi, merupakan curah hujan, yaitu jatuhnya air ke permukaan tanah. Presipitasi terjadi akibat naiknya uap air di atmosfir hingga mencapai suhu dingin dan terkondensasi.
2. Intersepsi, yaitu tertahannya air hujan oleh tajuk vegetasi sebelum mencapai permukaan tanah, untuk selanjutnya diuapkan kembali atau diserap oleh vegetasi tersebut.
3. Evaporasi, merupakan penguapan air dari permukaan air, tanah dan bentuk permukaan vegetasi oleh proses fisik. Unsur utama yang penting adalah energi matahari dan air.
4. Transpirasi, merupakan penguapan air dan cabang tanaman melalui pori-pori daun karena proses biologi. Sedangkan total air yang dikembalikan lagi ke atmosfer dari permukaan tanah, badan air dan vegetasi karena faktor iklim dan fisiologis vegetasi disebut Evapotranspirasi.
5. Infiltrasi, merupakan proses penetrasi air ke dalam tanah akibat gaya kapiler atau gerakan arah vertikal. Sedangkan air yang tidak terserap akan tertampung sementara dalam cekungan permukaan tanah, yang selanjutnya mengalir ke tempat yang lebih rendah, lalu masuk ke sungai.
2.8. Kebutuhan Sumberdaya Air
2.8.1.Kebutuhan air domestik
Tabel 2 Konsumsi air bersih per kapita per hari masyarakat Indonesia
Keperluan Konsumsi
(liter/orang/hari) Presentase (%)
Mandi, cuci, kakus 12 8,7
Minum 2 1,4
Masak 10,7 7,7
Cuci pakaian 31,4 22,7
Kebersihan rumah 11,8 8,5
Taman 21,1 15,2
Cuci kendaraan 16,2 11,7
Wudlu 21,7 15,7
Lain-lain 11,6 8,4
TOTAL 138,5 100 Sumber: Gupta (1989) dalam Adriyanto (2007)
2.8.2.Kebutuhan air industri
Kegiatan industri dalam prosesnya membutuhkan air untuk membantu kelangsungan proses produksi maupun kebutuhan domestik karyawannya. Penggunaan air untuk industri diantaranya sebagai bahan mentah, pendingin, penggelontor kotoran, serta penggunaan lainnya (Sugiarto, 1995). Untuk menentukan jumlah air yang dibutuhkan, industri terlebih dahulu harus diklasifikasikan. Klasifikasi Industri menurut dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Klasifikasi industri
Jumlah Tenaga Kerja Klasifikasi Industri
1 - 4 orang Rumah Tangga
5 - 19 orang Kecil
20 - 99 orang Sedang
> 100 orang Besar
Sumber: Pedoman Konstruksi dan Bangunan, Dep. PU, 2005.
Tabel 4 Kebutuhan air industri berdasarkan beberapa proses industri
Jenis Industri Jenis Proses Industri Kebutuhan Air (liter/hari)
Industri rumah tangga Belum ada, rekomendasi dapat disesuaikan dengan kebutuhan air rumah tangga.
Industri kecil
Industri sedang Minuman ringan 1.600 - 11.200
Industri es 18.000 - 67.000
Kecap 12.000 - 97.000
Industri besar Minuman ringan 65.000 – 7.800.000
Industri pembekuan ikan
225.000 – 1.350.000 dan biota perairan lainnya
Industri tekstil Proses pengolahan tekstil 400 – 700 liter/kapita/hari
Sumber: Pedoman Konstruksi dan Bangunan, Dep. PU, 2005.
Untuk pekerja industri, kebutuhan air merupakan kebutuhan air domestik yang telah disesuaikan dengan kebutuhan pekerja pabrik. Adapun kebutuhan air tersebut adalah 60 liter/pekerja/hari.
2.8.3.Kebutuhan air ternak
Kebutuhan air ternak merupakan tingkat kebutuhan air yang diperlukan untuk pengoperasian peternakan, yang meliputi pemberian air minum untuk ternak, tempat makan ternak, dan kebutuhan lainnya (Purwanto, 2006). Kebutuhan air untuk ternak berdasarkan jenisnya dapat dilihat pada Tabel 5:
Tabel 5 Konsumsi air pada beberapa jenis ternak per ekor per hari
Jenis Ternak Intake air (liter/ekor/hari)
Sapi, Kerbau, Kuda 40
Domba dan Kambing 5
Babi 6
Unggas (Ayam, Itik, dll) 0,6
Sumber: Technical Report National Water Policy, 1992.
2.9. Pengelolaan Vegetasi dan Hasil Air
kegiatan ekonomi masyarakat setempat, maka pengelolaan tersebut diharapkan dapat mengantisipasi permasalahan yang mungkin terjadi.
Kegiatan tataguna lahan yang bersifat merubah tipe atau jenis penutup lahan, seringkali dapat memperbesar atau memperkecil hasil air. Perubahan dari satu jenis vegetasi ke jenis vegetasi lainnya adalah umum dalam suatu pengelolaan sumberdaya alam. Penebangan hutan, peladangan berpindah, atau perubahan tataguna lahan hutan menjadi areal perkebunan, padang rumput atau pemukiman adalah contoh kegiatan yang sering dijumpai pada wilayah yang sedang bertumbuh. Terjadinya perubahan tataguna lahan dan jenis vegetasi tersebut dalam skala besar dan bersifat permanen akan dapat mempengaruhi ketersediaan air.
Kebanyakan persoalan sumberdaya air berkaitan dengan waktu dan penyebaran aliran air. Kekeringan dan banjir adalah dua contoh klasik yang kontras tentang perilaku aliran air sebagai akibat perubahan kondisi tataguna lahan dan faktor meteorologi, terutama curah hujan. Hasil penelitian jangka panjang yang telah dilakukan di berbagai penjuru dunia menunjukkan bahwa pengaruh tataguna lahan dan aktivitas lain terhadap perilaku aliran air dapat terjadi dengan cara (Hibbert, 1983; Bosch and Hewlett, 1982 dalam Asdak, 1995): (1) Penggantian atau konversi vegetasi dengan transpirasi atau intersepsi tahunan tinggi menjadi vegetasi dengan transpirasi atau intersepsi rendah dapat meningkatkan volume aliran air dan mempercepat waktu yang diperlukan untuk mencapai debit puncak. Mekanisme peningkatan volume aliran air ini terjadi ketika hujan turun, kelembaban tanah awal cenderung meningkat dan karenanya daya tampung air dalam tanah menjadi berkurang.
2.10. Ruang Terbuka Hijau Untuk Peresapan Air
Ruang terbuka hijau kota sedikit banyak dapat mengatasi masalah limpasan air hujn. Ruang terbuka hijau memiliki derajat kerembesan tanah yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jenis permukaan lainnya. Permukaan tanah yang tertutup oleh tanaman memiliki kapasitas infiltrasi yang tinggi. Hal ini disebabkan tanah yang tertutup oleh tanaman memiliki rongga-rongga tanah atau jalur-jalur yang lebar sehingga air mudah masuk, dan udara mudah keluar (Thohir, 1991 dalam Muis, 2005).
Rongga tersebut terbentuk selama bertahun-tahun dari pembusukan akar tanaman maupun pergerakan hewan dalam tanah yang ikut hidup dalam ekosistem bersama pepohonan yang tumbuh di ruang terbuka hijau. Sering ketika hujan deras terjadi, saluran drainase dan sungai mendapatkan beban air limpasan yang terlampau tinggi sehingga melampaui ambang kapasitasnya. Debit air pada saluran drainase dan sungai pada umumnya dipengaruhi oleh 3 komponen utama, yaitu intensitas hujan, keadaan permukaan tanah, dan luas daerah pengaliran.
Berfungsinya RTH sebagai peresapan air ke dalam tanah dipengaruhi oleh sifat-sifat hujan, sifat fisik kawasan dan pengelolaannya. Pengalihan fungsi lahan di perkotaan cenderung ke arah penutupan tanah dengan bahan-bahan semen yang tidak tembus air (impervious), sehingga mengakibatkan terganggunya keseimbangan hidrologi. Hidrologi kota seringkali menjadi masalah yang pelik bagi ahli hidrologi, karena urbanisasi meningkatkan luasan permukaan yang tertutup semen, paving, aspal, sehingga air hujan tercegah untuk masuk ke dalam tanah dan menjadi limpasan permukaan (Urbanos, 1992).
2.11. Ketersediaan Air
Kebutuhan manusia akan sumberdaya air menjadi sangat nyata bila dikaitkan dengan empat hal, yaitu pertambahan penduduk, pertumbuhan pangan, peningkatan industrialisasi dan perlindungan ekosistem terhadap teknologi. Diketahui bahwa jumlah air di bumi tetap, perubahannya hanya mengikuti siklus hidrologi yang berputar sepanjang masa. Padahal penduduk dunia selalu bertambah dan kehidupannya semakin maju, sehingga keperluan air semakin bertambah banyak (Soerjani dkk, 1987).
Sugiharto (1983) menyatakan bahwa untuk mencukupi kebutuhan air sehari-hari adalah sejalan dengan tingkat kemajuan masyarakat. Selain jumlahnya yang cukup, air untuk keperluan rumah tangga juga harus memenuhi syarat kesehatan. Hal ini karena selain air dapat dicemari oleh zat-zat yang bersifat racun, juga merupakan media dari berbagai kuman penyakit.
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Kota Ambon, Propinsi Maluku selama 3 bulan,
[image:35.612.118.505.199.466.2]mulai Februari 2009 hingga Mei 2009.
Gambar 3 Citra KONOS Kota Ambon
3.2. Data, Perangkat Lunak, dan Perangkat Keras
3.2.1. Data Primer
Data primer dalam penelitian ini diperoleh dari hasil wawancara dengan
pihak-pihak terkait yang terlibat dalam pengelolaan hutan kota di Kota Ambon,
seperti BAPPEDA Kota Ambon, Dinas Kehutanan, Dinas Tata Ruang, serta Dinas
Kebersihan dan Pertamanan Kota Ambon. Selain itu data primer juga akan
diperoleh dari hasil wawancara masyarakat.
3.2.2.Data Sekunder
Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah Citra IKONOS
Kota Ambon, peta administrasi Kota Ambon, peta tata guna lahan Kota Ambon,
kondisi biofisik dan klimatologis Kota Ambon, Rencana Umum Tata Ruang
(RUTR) dan Rencana Ruang Terbuka Hijau (RRTH) Kota Ambon dari data
instansi terkait. Data, sumber data dan analisis data yang digunakan pada
[image:36.612.101.512.177.663.2]penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Data yang digunakan
Jenis Kegiatan
Jenis Data Sumber Analisis
Pengumpulan Data
Jumlah penduduk BPS Kota
Ambon 2004, 2005, 2006, 2007, 2008.
KA domestik
Jumlah ternak KA ternak
Jumlah industri KA industri
Suplai air PDAM dan
DSA Kota Ambon
Suplai air yang tersedia
Kondisi Fisik BAPPEDA Kota Ambon 2008 Kemampuan lahan untuk menyimpan air Jenis Tanah Topografi Penggunaan Lahan Peta BAPPEDA Kota Ambon 2008 Spasial Jenis Tanah Penggunaan Lahan Administratif Observasi Lapangan
Keadaan eksisting RTH
Wawancara
Program Pemerintah Instansi terkait Deskriptif
Rencana
pengembangan wilayah Kota Ambon
Rencana pembangunan hutan kota di Kota Ambon
Jenis vegetasi yang ada di taman kota
Keadaan RTH di Kota Ambon
Persepsi Masyarakat Masyarakat Deskriptif
Manfaat hutan kota
21
22
23
24
3.2.3.Perangkat Lunak dan Keras
Perangkat lunak yang digunakan untuk pengolahan data berupa ARC View
GIS Versi 3.2 untuk analisis data citra, pengolahan database dan produksi peta, Sementara itu, perangkat keras yang digunakan yaitu satu set komputer (monitor, CPU, keyboard, mouse, CD), digital camera, printer dan scanner.
3.3. Metode Penelitian
Penelitian ini dibatasi sampai pada penentuan luas kebutuhan RTH
berdasarkan ketersediaan air dan preferensi masyarakat Kota Ambon. Tahapan
penelitian ini terdiri dari beberapa kegiatan, yaitu:
1. Inventarisasi
Tahap inventarisasi berupa pengumpulan data yang diperlukan untuk
kebutuhan luas RTH di Kota Ambon. Data yang dikumpulkan terdiri dari data
primer, yang diperlukan dalam proses analisis kebutuhan RTH, dan data sekunder
yang merupakan pendukung untuk pembuatan konsep pengusulan pengambilan
kebijakan oleh Pemerintah Daerah.
Pengumpulan data yang dilakukan dalam bentuk deskripsi dan peta yang
dibutuhkan untuk penentuan luas RTH dan ketersediaan air nantinya. Data
tersebut diperoleh dengan beberapa cara, yaitu:
a. Studi Pustaka
Studi pustaka berupa pengambilan informasi yang diperlukan mengenai
keadaan umum lokasi penelitian, keberadaan RTH dan rencana pengembangan
areal. Informasi tersebut diperoleh dari instansi-instansi terkait, seperti
BAPPEDA Kota Ambon, Dinas Kebersihan dan Pertamananan Kota Ambon,
Biro Pusat Statistik, Dinas Bina Marga, Dinas Pengairan, Perusahaan Daerah
Air Minum (PT. PDAM (Persero)) Kota Ambon, dan lainnya.
b. Wawancara
Wawancara dilakukan dengan pihak Pemda Kota Ambon, BAPPEDA, Dinas
Lingkungan Hidup, Dinas Kebersihan dan Pertamanan, swasta, dan tokoh
masyarakat, di wilayah Kota Ambon.
Mencatat keadaan lokasi tapak melalui data dari instansi-instansi terkait yang
telah diperoleh.
Data yang dibutuhkan dan dikumpulkan terdiri dari data spasial berupa peta,
dan data lainnya, yaitu data mengenai kondisi umum dan administrasi Kota
Ambon, keadaan fisik dan biofisik, keadaan ekonomi, sosial, budaya, serta data
lainnya yang mendukung penelitian ini.
2. Tinjauan Tapak
Kegiatan survey langsung ke lapangan dengan tujuan melihat secara
langsung kondisi RTH saat ini (existing condition) berupa jenis vegetasi, luas RTH, sumber air, dan intensitas pemeliharaannya.
3. Analisis
Analisis data merupakan tahap proses pemanfaatan potensi sumberdaya
alam dan sumberdaya manusia sebagai upaya penyelesaian permasalahan yang
terjadi di Kota Ambon. Analisis yang dilakukan adalah menentukan luas RTH
berdasarkan ketersediaan air, serta menilai preferensi masyarakat terhadap
pengembangan pembangunan RTH di Kota Ambon.
Analisis tersebut diuraikan dengan beberapa pendekatan rumus dan metode
sebagai berikut:
3.3.1. Analisis data kebutuhan luas RTH untuk ketersediaan air Kota Ambon
Untuk menganalisis peningkatan ketersediaan air bersih di wilayah Kota
Ambon dilakukan dengan menggunakan pendekatan metode Fahutan IPB (1987)
yang telah disesuaikan dengan tujuan penelitian, yaitu:
z
P
PAM
c
r
K
P
La
=
0.
(
1
+
−
)
−
−
a...(3-1)
Keterangan:
La : Luas RTH yang diperlukan untuk mencukupi kebutuhan air (ha)
P0 : Jumlah penduduk kota pada tahun ke 0 (jiwa)
K : Konsumsi air per kapita (liter/hari)
r : Laju kebutuhan air bersih; sama dengan laju pertambahan penduduk (%)
c : Faktor pengendali; upaya Pemda menurunkan laju pertambahan penduduk
(%)
z : Kemampuan RTH menyimpan air (m3/ha/tahun) Persaman (3-1) tersebut dapat disederhanakan menjadi :
lahan total total
S
SA
KA
La
=
−
...(3-2)
Keterangan:
KAtotal : Kebutuhan air total (m3/tahun)
SAtotal : Suplai air total (m3/tahun)
Shutan : Kemampuan lahan untuk menyimpan air (m3/ha/tahun)
3.3.1.1. Kebutuhan Air Total
Kebutuhan air total diperoleh dengan cara menjumlahkan seluruh kebutuhan
air untuk kebutuhan domestik, industri, dan ternak. Persamaan yang dapat
digunakan adalah:
KAtotal = KAdomestik + KAindustri + KAternak ...(3-3)
Untuk persamaan (3-3), dapat dibuat persamaan untuk menghitung
kebutuhan air masing-masing variabel, yaitu:
a. Kebutuhan air domestik. Jumlah kebutuhan air setiap individu bervariasi, yang
dipengaruhi oleh faktor usia, agama, dan tingkat kesejahteraan, tapi dalam
penelitian ini faktor-faktor tersebut tidak diperhitungkan. Persamaan untuk
menghitung kebutuhan air domestik adalah:
KAdomestik = 365 hari (Nt(138,5/1000)) ...(3-4)
Dimana:
Nt = Np(1+r)t ...(3-5)
Keterangan :
Nt : Jumlah penduduk pada tahun ke t (jiwa)
Np : Jumlah penduduk pada tahun dasar hitungan (jiwa)
r : Laju pertumbuhan penduduk
t : Selisih tahun antara tahun proyeksi dengan tahun dasar
hitungan
b. Kebutuhan air industri.
KAindustri = 365 hari(Nind x Uind) ...(3-6)
Dimana:
Nind : Jumlah industri (unit)
c. Kebutuhan air ternak.
KAternak = 365 hari (Nternak x Uternak) ...(3-7)
3.3.1.2. Suplai Air Total
Pada penelitian ini diasumsikan bahwa suplai air hanya berasal dari
wilayah Kota Ambon, dan tidak menerima dari daerah lain. Suplai air total
merupakan jumlah dari suplai air PDAM, suplai air tanah, dan suplai air simpanan
permukaan.
SAtotal = PAM – (Pa + SP)
...(3-8)
3.3.1.3. Penentuan Nilai Kemampuan Hutan Dalam Menyimpan Air
Hujan (P) merupakan aliran masuk dari atmosfer ke permukaan bumi yang
dapat mengisi badan air permukaan, seperti waduk, sungai, dan danau, atau
meresap menjdi air tanah (ground water). Setiap tipe tutupan lahan memiliki
kapasitas penyerapan yang berbeda, yang juga dipengaruhi oleh kondisi tanahnya.
Arsyad (2006) menyatakan bahwa, prediksi jumlah volume aliran
permukaan (Q) akan berguna dalam menentukan volume simpanan air. Salah satu
metode untuk menentukan kapasitas hutan dalam menyimpan air adalah metode
Dinas Konservasi Tanah Amerika Serikat atau yang dikenal dengan metode SCS
(Soil Conservation Service). Kerangka pemikiran metode tersebut adalah:
• Volume aliran permukaan (Q) besarnya tergantung pada curah hujan (P) dan
volume simpanan yang tersedia untuk menahan air (S). Penahan (retensi)
aktual (F) adalah perbedaan antara curah hujan dan aliran permukaan.
Selanjutnya, suatu volume air hujan pada permulaan hujan, yang disebut
abstraksi awal (Ia) tidak akan menjadi aliran permukaan. SCS mengasumsikan
hubungan curah hujan dan aliran permukaan dalam persamaan:
a
I P
Q S
F
−
=
...(3-9)
• Retensi aktual (F) dengan memperhitungkan abstraksi aktual awal (Ia) adalah:
F = (P – Ia) – Q ...(3-10)
a a I P Q S Q I P − = − − ) ( ...(3-11)
Yang selanjutnya dapat diubah menjadi:
S I P I P Q a a + − − = ) ( ) ( 2 ...(3-12)
• Abstraksi awal (Ia) merupakan air hujan yang tidak akan menjadi aliran
permukaan, tergantung pada penggunaan tanah, perlakuan, dan kondisi
hidrologi, dan kandungan air tanah sebelumnya. Nilai Ia ternyata dapat diduga
dengan baik menggunakan persamaan:
Ia = 0,2 S ...(3-13)
Penelitian yang dilakukan sejak persamaan (3-13) dikembangkan
menunjukkan bahwa persamaan (3-13) mungkin tidak dapat digunakan untuk
semua keadaan, akan tetapi masih dapat digunakan sampai penelitian yang lebih
koperhensif dikembangkan. Dengan mensubtitusi persamaan (3-13) ke dalam
persamaan (3-12), diperoleh persamaan berikut:
) 8 , 0 ( ) 2 , 0 ( 2 S P S P Q + −
=
...(3-14)
Dari penelitian empirik, diperoleh bahwa nilai S dapat diduga dengan
menggunakan persamaan: 254 25400 − ⎥⎦ ⎤ ⎢⎣ ⎡ = CN S ...(3-15)
Dimana CN merupakan bilangan kurva (curve number) yang nilainya
berkisar antara 1 – 100.
Nilai CN ditentukan untuk setiap jenis tutupan lahan pada suatu kelompok
hidrologi tanah. Untuk suatu kawasan yang terdiri dari beberapa kelompok
hidrologi tanah, maka nilai CN ditentukan dengan metode rata-rata berbobot.
Prinsip dasar metode tersebut adalah menghitung nilai rata-rata secara
proporsional, dimana setiap variasi berkontribusi sebanding dengan bobotnya.
Dalam perhitungan nilai CN, menggunakan bobot setiap variasi tanah, sehingga
diperoleh persamaan:
W m,i = Am,i / Ai ...(3-17)
Dimana:
CN i : Nilai CN rata-rata berbobot untuk tipe tutupan lahan i
W m,i : Perbandingan luas tipe tanah m dengan luas total areal tutupan lahan i
CN m,i : Nilai CN pada tipe tanah m pada areal tutupan lahan i
A m,i : Luas tipe tanah m pada areal tutupan lahan i (ha)
A i : Luas total areal tutupan lahan i (ha)
Menurut Arsyad (2006), tipe tanah, penggunaan tanah, dan kondisi
hidrologi penutup tanah adalah sifat-sifat daerah aliran yang mempunyai pengaruh
paling penting dalam menduga volume aliran permukaan.
a. Klasifikasi kelompok tanah
Soil Conservation Service (SCS) telah mengembangkan sistem klasifikasi
tanah berdasarkan sifat tanah yang mengelompokkan tanah ke dalam empat
kelompok hidrologi (McQueen, 1982 dalam Lokolo, 2002):
Kelompok A : Dalam keadaan basah, tanah ini memiliki tingkat infiltrasi
relatif tinggi, sehingga potensi air limpasan di permukaan
menjadi sangat kecil. Susunan tanah ini biasanya terdiri dari
pasir dan kerikil yang memiliki tingkat kelulusan air sangat
baik. Kemampuan mentransmisi air ke dalam tanah yang
besar ditunjukkan melalui tingkat infiltrasi tanah diatas 0,3
inci/jam.
Kelompok B : Dalam keadaan basah tanah ini memiliki tingkat infiltrasi
sedang, atau lebih kecil jika dibandingkan kelompok A.
Biasanya terdiri dari tanah bertekstur kasar yang memiliki
tingkat kelulusan air baik dengan potensi untuk melimpaskan
air permukaan sedang. Kemampuan mentransmisi air
kedalam tanah ditunjukkan melalui tingkat infiltrasi yang
berkisar antara 0,15 - 0,20 inci/jam.
Kelompok C : Dalam keadaan basah tanah ini memiliki tingkat infiltrasi
rendah, atau lebih kecil jika dibandingkan dengan kelompok
B. Pada umumnya berupa tanah yang memiliki tekstur halus
baik. Kemampuan mentransmisi ke dalam tanah yang rendah
diperlihatkan melalui tingkat infiltrasi yang berkisar antara
0,05 – 0,15 inci/jam.
Kelompok D : Potensi tanah ini untuk melimpaskan air sangat besar, hal ini
dapat ditunjukkan dengan sangat rendahnya tingkat infiltrasi
jika dibandingkan dengan kelompok A, B, dan C. Pada
umumnya berupa tanah lempung atau tanah liat yang
memiliki tekstur sangat rapat dan tinggi muka air tanah yang
permanen, sehingga kemampuan untuk mentransmisi air ke
dalam tanah menjadi sangat rendah.
b. Kandungan air tanah sebelumnya
Kandungan air tanah sebelumnya mempengaruhi volume dan laju aliran
permukaan. Mengingat pentingnya pengaruh faktor ini, maka SCS menyusun
tiga kondisi kandungan air sebelumnya, yakni:
Kondisi I : Tanah dalam keadaan kering, tetapi tidak sampai pada titik
layu, telah / pernah ditanami dengan hasil memuaskan.
Kondisi II : Keadaan rata-rata.
Kondisi III : Hujan lebat atau ringan dan temperatur rendah, tanah jenuh
air.
c. Matriks penentuan CN
Penentuan nilai CN dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Bilangan Kurva (CN) untuk berbagai penutup tanah dengan kondisi kandungan air tanah sebelumnya : Kondisi II, dan Ia = 0,2 S.
No. Penggunaan Tanah / Perlakuan / Kondisi Hidrologi
Kelompok Hidrologi Tanah
A B C D
1
Pemukiman Luas Kapling Persentase
kedap air
< 500 m2 65 77 85 90 92
1000 m2 38 61 75 83 87
1300 m2 30 57 72 81 86
2000 m2 25 54 70 80 85
4000 m2 20 51 68 79 84
2 Tempat parkir di aspal, atap, jalan aspal,
dll 98 98 98 98
3 Jalan umum
Tabel 7 (lanjutan)
No. Penggunaan Tanah / Perlakuan / Kondisi Hidrologi
Kelompok Hidrologi Tanah
A B C D
3 - Kerikil 76 98 89 91
- Tanah 72 85 87 89
4 Daerah perdagangan dan pertokoan 89 92 94 95
5 Daerah industri 81 88 91 93
6
Tempat terbuka, padang rumput yang dipelihara, taman, lapangan golf, kuburan, dan lain-lain:
- Kondisi baik: 75% atau lebih tertutup
rumput 39 61 74 80
- Kondisi sedang: 50-75% tertutup rumput 49 69 79 84
7 Tanah kosong Menurut lereng 77 86 91 94
8 Tanaman
Semusim
Menurut lereng Buruk 72 81 88 91
Menurut lereng Baik 67 78 85 89
Menurut kontur Buruk 70 79 84 88
Menurut kontur Baik 65 75 82 86
Kontur & teras Buruk 66 74 80 82
Kontur & teras Baik 62 71 78 81
9 Padi-padian
Menurut lereng Buruk 65 76 84 88
Menurut lereng Baik 63 75 83 87
Menurut kontur Buruk 63 74 82 85
Menurut kontur Baik 61 73 81 84
Kontur & teras Buruk 61 72 79 82
Kontur & teras Baik 59 70 78 81
10
Leguminosa ditanam rapat atau pergiliran tanaman
Menurut lereng Buruk 66 77 85 89
Menurut lereng Baik 58 72 81 85
Menurut kontur Buruk 64 75 83 85
Menurut kontur Baik 55 69 78 83
Kontur & teras Buruk 63 73 80 83
Kontur & teras Baik 51 67 76 80
11 Padang rumput
penggembalaan
Menurut lereng Buruk 68 79 86 89
Menurut lereng Sedang 49 69 79 84
Menurut lereng Baik 39 61 74 80
Menurut kontur Buruk 47 67 81 88
Menurut kontur Sedang 25 59 75 83
Menurut kontur Baik 6 35 70 79
12 Padang rumput Baik 30 58 71 78
13 Hutan
Buruk 45 66 77 83
Sedang 36 60 73 79
Baik 25 55 70 77
14 Perumahan
Sumber:Soil Conservation Service (1973) dalam Arsyad (2006)
3.3.2. Analisis Spasial Hutan Kota
Pengolahan data spasial dilakukan dengan menggunakan software ArcView
GIS 3.2. Untuk permodelan spasial pengembangan hutan kota diperlukan data
tabular berupa jumlah penduduk, jumlah industri dan jumlah ternak, selain itu
diperlukan data spasial berupa peta administrasi kecamatan, peta tutupan lahan,
peta sungai, peta jalan, peta tanah dan citra IKONOS.
Kelas-kelas penutupan lahan dalam penelitian ini diklasifikasikan menjadi
beberapa kelas, sesuai dengan penutupan lahan yang terdapat di Kota Ambon.
Selanjutnya peta tutupan lahan akan di overlay dengan peta tanah, yang akan
menghasilkan kelas tutupan lahan berdasarkan jenis tanah. Dari hasil tersebut
dapat diketahui nilai kurva (curve number) yang selanjutnya akan digunakan
untuk menghitung kemampuan lahan untuk menyimpan air (Slahan). Nilai dari
Slahan ini nantinya akan digunakan untuk menghitung kebutuhan luas hutan kota
berdasarkan kebutuhan air.
3.3.3. Analisis data proram Pemerintah dan preferensi masyarakat terhadap prioritas pengembangan RTH
3.3.3.1. Program Pemerintah
Wawancara terhadap instansi terkait akan dilakukan dengan pihak
BAPPEDA Kota Ambon, Dinas Kehutanan, Dinas Tata Ruang, serta Dinas
Kebersihan dan Pertamanan Kota Ambon untuk memperoleh informasi mengenai
keadaan hutan kota di Kota Ambon, dan juga bagaimana perhatian Pemerintah
Daerah terhadap hutan kota tersebut. Selain itu pengumpulan data juga dilakukan
melalui laporan-laporan yang diperoleh dari instansi-instansi tersebut.
Informasi yang ingin diperoleh dari hasil wawancara dan laporan-laporan
dari instansi terkait tersebut diantaranya mengenai:
1. Rencana pengembangan wilayah Kota Ambon
2. Rencana pengembangan hutan kota di Kota Ambon
3. Jenis vegetasi yang ada di Hutan Kota Ambon
3.3.3.2. Pendapat Masyarakat
Untuk mengetahui pendapat dan perhatian masyarakat terhadap keberadaan
dan pengembangan hutan kota di Kota Ambon, maka dilakukan wawancara
terhadap masyarakat yang pemilihan respondennya dilakukan dengan cara
Purpossive Random Sampling, dimana jumlah responden ditetapkan dari 5
kecamatan, dipilih 5 kelurahan secara acak sehingga domisili responden berada
pada 25 wilayah administrasi kelurahan. Dari 25 kelurahan tersebut kemudian
diambil 5 orang responden, sehingga responden masyarakat berjumlah 125 orang
responden. Pemilihan kecamatan didasarkan pada: kepadatan penduduk, daerah
terbangun, dan ruang terbuka hijau.
Data yang diperoleh dari hasil wawancara masyarakat akan dianalisis secara
deskriptif.
4. Sintesis
Sintesis adalah tahap mengajukan program kebutuhan luas RTH
berdasarkan ketersediaan air, serta pengusulan prioritas utama dan alternatif
berdasarkan preferensi masyarakat terhadap pembangunan di Kota Ambon.
5. Rekomendasi Kebutuhan RTH Kota Ambon
Langkah terakhir adalah pembuatan rekomendasi luas RTH berdasarkan
ketersediaan air dengan pertimbangan kriteria kebutuhan RTH dan preferensi
masyarakat serta diselaraskan dengan tujuan dan Rencana Tata Ruang Wilayah
4.1. Letak Geografis dan Wilayah Administrasi
Letak Kota Ambon berada sebagian di dalam wilayah Pulau Ambon. Secara geografis Kota Ambon berada pada 3o – 4o Lintang Selatan dan 128o – 129o Bujur Timur, dimana pada bagian utara berbatasan dengan petuanan Desa Hitu, Hila dan Kaitetu (Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah), sebelah Timur berbatasan dengan petuanan Desa Suli (Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah), sebelah Barat berbatasan dengan petuanan Desa Hatu (Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah), dan sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Banda.
Kota Ambon mencakup wilayah seluas 377 Km2 dengan luas wilayah daratan 359,45 Km2 yang membujur di sepanjang pantai mengelilingi perairan Teluk Ambon dan Teluk Dalam.
Secara administratif, Kota Ambon terdapat di Provinsi Maluku, berdasarkan Peraturan Daerah Kota Ambon Nomor 2 Tahun 2006, terdiri dari 5 (lima) Kecamatan, yaitu Kecamatan Nusaniwe, Kecamatan Sirimau, Kacamatan Leitimur Selatan, Kecamatan Teluk Ambon Baguala, dan Kecamatan Teluk Ambon yang meliputi 20 Kelurahan dan 30 desa.
4.2. Kondisi Fisik Dasar
4.2.1. Topografi
Kota Ambon mempunyai wilayah yang sebagian besar terdiri dari daerah berbukit yang berlereng terjal dengan kemiringan di atas 20% seluas kurang lebih 186,9 Km2 atau 73%, dan daerah datar dengan kemiringan sekitar 10% seluas kira-kira 55 Km2 atau 17% dari luas seluruh wilayah daratannya. Kondisi topografi Kota Ambon dikelompokkan dalam 7 lokasi, yaitu:
° Pusat Kota dan sekitarnya (sebagian petuanan Desa Amahusu sampai Desa Latta) dengan areal ketinggian 0 – 50 m dan kemiringan 3,36o seluas 13,5 Km2 atau 5,44%.
° Rumah Tiga dan sekitarya dengan areal ketinggian 0 – 50 m dan kemiringan
° Passo dan sekitarnya dengan areal ketinggian 0 – 50 m dan kemiringan 3,3o seluas 14,75 Km2 atau 4,74%.
° Laha dan sekitarnya dengan areal ketinggian 0 – 50 m dan kemiringan 3,93o seluas 4,25 Km2 atau 6,18%.
° Hutumuri dan sekitarnya dengan areal ketinggian 0 – 50 m dan kemiringan 6,16o
seluas 4,25 Km2 atau 9,70%.
° Kilang dan sekitarnya dengan areal ketinggian 0 – 50 . dan kemiringan 5,66o seluas 3,5 Km2 atau 9,91%, sedangkan untuk ketinggian 5 – 250 m dengan kemiringan 6,56o seluas 3,25 Km2 atau 10,3%.
° Latuhalat dan sekitarnya dengan areal ketinggian 0 – 50 m dan kemiringan 5,4o seluas 4 Km2 atau 8,57%.
Di Kota Ambon terdapat 10 gunung, dan yang tertinggi adalah Gunung Nona, yaitu 600 m diatas permukaan laut, serta dialiri oleh 15 buah sungai, dan sungai yang terpanjang adalah Sungai Sikula (Way Sikula), yaitu sepanjang 15,5 Km.
4.2.2. Geologi dan Tanah
Berdasarkan peta Geologi dan Topografi Pulau Ambon oleh Veerbek dan Van Bos yang dibuat tahun 1898, jazirah Leitimur tersusun oleh dua bahan induk, yaitu Alluvium dengan luas 61,55 Ha atau 30,87% dari luas jasirah Leitimur, dan Koralkalk dengan luas 10,10 Ha atau 5,06%.
Di jasirah Leitimur terdapat dua bahan asal, yaitu Alluvial dan Denudasional yang terbagi menjadi dataran alluvial, perbukitan denudasional terkikis kecil, perbukitan denudasional terkikis sedang, dan perbukitan denudasional terkikis kuat.
Dataran alluvial merupakan bentuk lahan yang terdapat diantara daerah pantai dan daerah perbukitan.Formasi alluvium dan batu gamping merupakan bahan induk yang menyusun daerah ini dengan asosiasi jenis tanah serperti alluvial, regosol, rensina, podsolik, dan brunizem.
4.2.3. Iklim
Iklim di Kota Ambon adalah iklim laut tropis dan iklim musim, karena letak Pulau Ambon yang dikelilingi oleh laut. Oleh karena itu iklim disini sangat dipengaruhi oleh lautan dan berlangsung bersamaan dengan iklim musim di daerah ini, yaitu musim Barat atau Utara, dan musim Timur atau Tenggara. Kedua musim ini dikelilingi oleh musim pancaroba yang merupakan musim transisi dari kedua musim tersebut.
Musim Barat pada umumnya berlangsung dari bulan Desember sampai dengan bulan Maret, sedangkan bulan April adalah masa transisi ke musim Timur. Musim Timur berlangsung dari bulan Mei sampai dengan bulan Oktober disusul oleh masa pancaroba pada bulan November yang merupakan transisi ke musim Barat.
Berdasarkan data curah hujan, maka dalam tahun 2001 – 2005, curah hujan tertinggi terjadi pada tahun 2001 yaitu sebesar 3.674 mm dengan 208 hari hujan. Mengacu pada rata-rata curah hujan bulanan dalam 5 tahun terakhir, maka bulan basah (musim hujan) dengan curah hujan di atas 200 mm terjadi pada bulan April hingga Juli seiring dengan berlangsungnya Musim Timur, sedangkan bulan kering (musim panas) dengan curah hujan dibawah 200 mm terjadi dari bulan Oktober hingga Februari seiiring dengan berlangsungnya Musim Barat.
Sementara itu berdasarkan data Stasiun Meteorologi Ambon tahun 2001 – 2005, maka rata-rata temperatur di Kota Ambon adalah 26,6oC dengan kisaran suhu minimum adalah 23,8oC dan suhu maksimum 30,4oC; rata-rata kelembaban nisbi sekitar 76,6%; rata-rata lama penyinaran matahari adaah 53,6% dan rata-rata tekanan udara adalah 76,6 MB. Kecepatan angin rata-rata 3 knot dan terbanyak bertiup dari arah Barat Laut dan Tenggara, dengan kecepatan terbesar adalah 20 knot.
4.2.4. Hidrologi
4.2.4.1.Air Permukaan
Banyak diantara sungai-sungai tersebut yang sudah mengalami pendangkalan akibat endapan pasir, yang sebagian diakibatkan oleh penggunaan lahan non pertanian di kawasan penyangga dan kawasan lindung yang kurang hati-hati sehingga mengakibatkan sedimentasi. Selain itu akibat berubahnya fungsi kawasan resapan air maka fluktuasi debit sungai pada musim kemarau dan musim hujan cukup besar, sehingga pada kawasan tertentu sering mengalami banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau.
Penduduk yang bermukim di sepanjang jalur sungai tersebut pada awalnya memanfaatkan sungai untuk keperluan mandi dan cuci, namun dengan semakin menurunnya kualitas air sungai, pemanfaatan tersebut semakin berkurang. Saat ini sungai lebih banyak digunakan sebagai saluran drainase dan tempat pembuangan limbah rumah tangga, yang jika tidak dikendalikan akan semakin memperburuk kualitas air sungai.
Sumber air baku yang sudah dimanfaatkan oleh PDAM Kota Ambon adalah mata air dan sumur dalam. Di Kota Ambon telah termanfaatkan 8 sumber mata air, yaitu: sumber air Wainitu, Air Keluar (Kusu-kusu), Air Besar (Soya), Air Panas Wainiu I dan Wainiu II, Air Besar (Halong), Wainitu, dan Waipompa.
Sumber air yang potensial adalah sumber air Wainitu terletak di Kelurahan Wainitu Kecamatan Nusaniwe untuk daerah pelayanan sekitar Pusat Kota, dan sumber air Waipompa yang terletak di Desa Halong Kecamatan Teluk Ambon Baguala, untuk daerah pelayanan sekitar Desa Halong dan Desa Hative Kecil. Selain itu terdapat beberapa mata air lain dengan kualitas fisik yang relatif bagus. Debit mata air-mata air tersebut fluktuatif antara musim hujan dan musim kemarau, dimana pada musim kemarau debitnya hanya sekitar 60% dari debitnya pada musim hujan.
4.2.4.2.Air Tanah
tercemar oleh limbah rumah tangga. Sementara untuk air tanah dalam banyak terdapat pada kedalaman lebih dari 50 meter dengan kualitas yang cukup baik.
4.2.4.3.Air Bersih
Kota Ambon sudah terlayani oleh jaringan air bersih PDAM. Dari 9 deep weel yang ada, baru 7 yang beroperasi dengan kapasitas rata-rata 5 liter/detik, kecuali di Hative Kecil yang kapasitasnya 15 liter/detik, Rumah Tiga dengan kapasitas 10 liter/detik, serta untuk sumber dari mata air Waipompa di Halong Atas dengan kapasitas 25 liter/detik. Sambungan air bersih yang berasal dari PDAM berupa sambungan rumah tangga maupun sambungan non rumah tangga (sarana sosial, perniagaan, kantor pemerintah).
4.2.5. Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan di Kota Ambon sangat bervariasi dari yang mesih berupa hutan sampai kegiatan permukiman yang bercirikan perkotaan. Tercatat bahwa kawasan hutan dan belukar merupakan jenis penggunaan yang paling dominan yaitu mencapai 49% atau sekitar 17.685,60 ha. Sedangkan penggunaa