• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi dan strategi pengembangan usaha sapi potong di Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Potensi dan strategi pengembangan usaha sapi potong di Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat"

Copied!
325
0
0

Teks penuh

(1)

POTENSI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA

SAPI POTONG DI KABUPATEN LIMA PULUH KOTA

SUMATERA BARAT

ARFA`I

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul :

POTENSI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA SAPI POTONG DI KABUPATEN LIMA PULUH KOTA

SUMATERA BARAT

Adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir disertasi ini.

Bogor, Pebruari 2009

(3)

of Lima Puluh Kota, West Sumatra. Under the Supervision of Kooswardhono Mudikdjo, Asnath Maria Fuah, and Asep Saefuddin.

The increasing demand for livestock product recently needs proper development of livestock business, and included with cattle business, that has big contribution toward meat commodity. The research objectives were: (1) to analyze the potential natural resources and human resources in the business of beef cattle in the Regency of Lima Puluh Kota; (2) to evaluate the development program of beef cattle and utilization of resources at the farmers’ level, (3) to analyze the efficiency of livestock farming through the application of technology in utilizing agricultural waste for livestock feed, processing livestock waste into organic fertilizers, and (4) to formulate the strategies in the development of beef cattle businesses in the Regency of Lima Puluh Kota for the future.

The study was conducted in four stages: (1) identification and analysis of the potential development of beef cattle in the Regency of Lima Puluh Kota; (2) analysis of the development programs of beef cattle that have been or are being implemented, (3) increasing productivity and income of livestock businesses through improvements in livestock farming or technology, and (4), based on the obtained data, formulating applicable strategies for the development of beef cattle businesses in Regency of Lima Puluh Kota.

The results of study showed that the Regency of Lima Puluh Kota is potential for the development of beef cattle in the future, and is supported by the following aspects: (1) the high capacity for livestock (ruminants) development based on land resources and labor force of the family at 25,481 DT, (2) the existence of base beef production in the four districts (Lareh Sago Halaban, Situjuah Limo Nagari, Luhak, and Bukit Barisan), (3) the Artificial Insemination Center in Sakato Tuah has been functioning in the production of seeds, and (d) the government policies that support the development of beef cattle.

The resources available at the level of livestock farmers have not been used optimally, particularly in the farming pattern of land with the size of ≤ 1 Ha. By applying the technology in processing rice straw into feed and livestock waste into organic fertilizer, the farmer's income can be increased by Rp 544.236.69/head/ months.

Some weaknesses and threats faced in the development of beef cattle are (a) raising as a sideline business, (b) inadequate marketing system of livestock, (c) problems in reproduction and health of livestock, and (d) high frequency in the slaughter of productive female livestock.

Alternative strategies recommended for the development of beef cattle in the Regency of Lima Puluh Kota are: (1) capital increase, (2) application of appropriate farmers-based technology, (3) development of the breeding centers, (4) improvement of business efficiency, and (5) optimization of the group functions.

(4)

ARFA`I. Potensi dan Strategi Pengembangan Usaha Sapi Potong di Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Di bawah bimbingan Kooswardhono Mudikdjo, Asnath Maria Fuah, dan Asep Saefuddin.

Populasi ternak sapi potong di Sumatera Barat menurun dalam lima tahun terakhir (2001-2006), dengan rata-rata penurunan sebesar 0,31 persen per tahun, sementara jumlah pemotongan meningkat rata-rata sebesar 9,35 persen per tahun (BPS Sumatera Barat 2007). Hal ini disebabkan rendahnya produksi dan produkti-vitas ternak sapi potong. Beberapa karakteristik produksi yang belum optimal antara lain rendahnya tingkat kelahiran (< 50%), tingginya angka kematian (> 2%), rendah-nya pertambahan bobot badan (0,4-0,5 kg/ekor/hr), tinggirendah-nya angka pemotongan ternak betina produktif (28%) (Dinas Peterbakan TK I Sumatera Barat, 2007a). Untuk memperbaiki keadaan tersebut diperlukan kontribusi dari berbagai pihak termasuk bantuan pemerintah untuk berupaya mengembangkan sapi potong antara lain melalui program peningkatan produksi dan produktivitas ternak sapi potong, penurunan angka kematian, dan mengendalikan pemotongan ternak betina produktif (Soetirto, 1997).

Menurut laporan Dinas Peternakan TK I Sumatera Barat (2007b), untuk mendukung program P2SDS 2010 telah disusun langkah-langkah sebagai berikut ; (1) optimalisasi IB melalui penambahan akseptor dari 70.660 menjadi 124.795 akseptor, (2) penambahan ternak sapi betina produktif dari luar propinsi Sumatera Barat, (3) penanggulangan penyakit reproduksi, (4) pengawasan pemotongan ternak sapi betina produktif melalui program optimalisasi penguatan modal usaha kelompok, (5) intensifikasi kawin alam melalui pendistribusian pejantan unggul. Disamping peran pemerintah, peran swasta dan masyarakat juga penting dalam upaya peningkatan populasi ternak sapi potong dengan mendatangkan investor baru dan memotivasi masyarakat untuk berinvestasi dibidang ternak sapi.

Tujuan penelitian : (1) menganalisis potensi sumberdaya alam dan sumber-daya manusia usaha sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota; (2) mengevaluasi program pengembangan usaha sapi potong dan pemanfaatan sumberdaya ditingkat petani ternak; (3) menganalisis efisiensi usahatani ternak melalui penerapan teknologi pemanfaatan limbah pertanian untuk pakan ternak, pengolahan limbah ternak menjadi pupuk organik ; dan (4) merumuskan strategi pengembangan usaha sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota untuk masa yang akan datang.

Penelitian ini dilakukan dalam empat tahap : (1) identifikasi dan analisis potensi pengembangan usaha sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota; (2) analisis terhadap program pengembangan usaha sapi potong; (3) peningkatan produksi dan pendapatan usahatani-ternak melalui penerapan teknologi pakan dan pemanfaatan limbah ternak; dan (4) merumuskan strategi pengembangan usaha sapi potong yang dapat diterapkan di kabupaten Lima Puluh Kota.

(5)

Program pengembangan sapi potong melalui program Bantuan Pinjaman Langsung Masyarakat (BPLM) di kabupaten Lima Puluh Kota menunjukkan hasil sebagai berikut : (1) program mulai bergulir pada bulan September 2002, berupa 2 ekor ternak betina induk senilai Rp 12.000.000 sebagai pinjaman yang harus dikembalikan ke kas kelompok dalam 5 tahun dengan suku bunga 6% per tahun; (2) kurang transparannya penetapan anggota penerima bantuan menyebabkan kurang ber-kembangnya perguliran dana bantuan terutama pada kelompok tani-ternak Luak Lalang dan Tunas Baru; (3) teknik budidaya (perbibitan, pemberian pakan, tatalak-sana pemeliharaan, pencegahan dan pengobatan penyakit, pemasaran) sudah diterap-kan oleh peternak, kecuali kegiatan pasca panen (pengolahan hasil dan limbah pertanian/peternakan) belum mendapat perhatian; (4) calving interval cukup panjang (15 bulan), S/C ratio 1,9 masa kosong sekitar 4,5 bulan; dan (5) kegiatan budidaya ternak, kelompok tani-ternak Sikabu Saiyo lebih baik dibandingkan dengan kelompok tani-ternak lainnya, terutama dalam penyediaan sapronak (dikelola kelompok), manajemen usaha, permodalan, pemasaran hasil, dan peran lembaga pendukung seperti petugas penyuluh lapangan dan inseminator.

Sumberdaya yang ada ditingkat petani-ternak belum dimanfaatkan secara optimal terutama pada pola usahatani dengan luas lahan ≤ 1 Ha. Dengan menerapkan teknologi pengolahan jerami padi menjadi pakan dan limbah ternak menjadi pupuk organik, pendapatan peternak dapat ditingkatkan sebesar Rp 544.236,69/ekor/bln.

Kelemahan dan ancaman yang dihadapi peternak dalam pengembangan sapi potong berupa; (a) pola beternak bersifat usaha sambilan, (b) sistem pemasaran ternak belum memadai, (c) gangguan reproduksi dan kesehatan ternak, dan (d) tingginya pemotongan ternak betina produktif.

Strategi yang direkomendasikan untuk pengembangan usaha sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota adalah : (1) peningkatan modal usaha melalui pemberian kredit lunak pada masyarakat peternak, (2) penerapan teknologi tepat guna berbasis petani dalam manajemen pemeliharaan, budidaya reproduksi dan pengolahan limbah ternak, (3) pengembangan kawasan sentra pembibitan sapi potong melalui pengem-bangan sistem kelembagaan kelompok sehingga akan membantu mempercepat pencapaian swa-sembada daging sapi, (4) peningkatan efisiensi melalui peningkatan skala usaha dari 5 ekor menjadi 10 ekor induk per peternak, dan (5) optimalisasi fungsi kelompok melalui penguatan fungsi koperasi dalam penerapan manajemen yang transparan, dan pendampingan yang intensif.

Program yang dapat dilaksanakan terdiri dari; penguatan modal usaha, menjalin kemitraan dengan instansi terkait terutama dalam bidang pemasaran, penguatan lembaga keuangan mikro, peningkatan kualitas SDM dengan mengadakan pelatihan pada peternak, pendamping, petugas teknis, penataan kawasan sentra pembibitan melalui sistem kelembagaan kelompok, penyediaan bibit sapi potong lokal oleh pemerintah, pengembangan teknologi pakan berbasis sumberdaya lokal, pengendalian penyakit reproduksi dan kesehatan ternak, optimalisasi penggunaan sumberdaya, peningkatan sarana dan prasarana pendukung, dan pembinaan kelom-pok.

(6)

@Hak cipta milik IPB, tahun 2009

Hak cipta dilindungi

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini Tanpa mencantumkan atau mencantumkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau

(7)

SAPI POTONG DI KABUPATEN LIMA PULUH KOTA

SUMATERA BARAT

A R F A `I

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Ternak

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Penguji pada Ujian Tertutup

: Prof. Dr. Aminuddin Parakkasi, M.Sc

Penguji pada Ujian Terbuka

: Prof. Dr. Tjeppy D. Soedjana, M.Sc

(9)

Barat

Nama Mahasiswa : ARFA`I

N I M : 995053

Program Studi : Ilmu Ternak (PTK)

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Kooswardhono Mudikdjo, M.Sc Ketua

Dr. Ir. Asnath M Fuah, MS Dr. Ir. Asep Saefuddin, M.Sc Anggota Anggota

Mengetahui

Ketua Departemen Ilmu Produksi Dekan Sekolah Pascasarjana dan Teknologi Peternakan

Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S

(10)

Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillah. Puji syukur dipersembahkan kehadirat Allah S.W.T, Tuhan Yang Maha Esa, pemilik segala ilmu, pemberi rahmat dan petunjuk, yang telah

me-limpahkan hidayah Nya, sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Penelitian yang

dilaksanakan sejak bulan Maret 2005 sampai dengan Desember 2005 dengan judul

Potensi dan Strategi Pengembangan Usaha Sapi Potong di Kabupaten Lima Puluh

Kota, Sumatera Barat.

Ucapan terimakasih yang tak terhingga disampaikan kepada Bapak Prof. Dr.

Kooswardhono Mudikdjo, M.Sc; sebagai ketua komisi pembimbing. Ibu Dr. Ir.

Asnath M Fuah, MS, dan Bapak Dr. Ir. Asep Saefuddin, M.Sc sebagai anggota

komi-si pembimbing, atas bimbingan, dorongan semangat dan moril serta nasehat sehingga

penulis dapat menyelesaikan disertasi ini.

Ucapan terimakasih disampaikan pula kepada :

1. Rektor Institut Pertanian Bogor yang telah menerima penulis melanjutkan studi

pada Sekolah Pascasarjana IPB.

2. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB dan seluruh staf pengajar yang telah membekali

dan memperkaya ilmu selama mengikuti pendidikan.

3. Ketua program studi Ilmu Ternak (PTK) Sekolah Pascasarjana IPB yang telah

mengarahkan dan memfasilitasi penulis selama mengikuti pendidikan.

4. Rekan-rekan mahasiswa, khususnya Program Studi Ilmu Ternak Sekolah

Pasca-sarjana IPB yang telah memberikan bantuan dan dorongan semangat dalam

menyelesaikan studi.

Terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya disampaikan kepada

para nara sumber yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu, yang telah

mem-berikan sumbang saran dan masukan yang bermanfaat selama pelaksanaan penelitian

ini.

Doa yang tulus dan ucapan terimakasih penulis sampaikan, khusus untuk

Ayahanda Rauf Kr Mudo (Almarhum), dan bunda Gadijah (Almarhumah), kakanda

tercinta Muchtar Rauf, Sarilam Rauf (Almarhumah), Bainar Rauf, dan Muhammad

Noer Rauf, serta istri tercinta Yuliaty Shafan Nur, ananda Boby Arya Putra, Bayu

(11)

Penulis menyadari bahwa disertasi ini tidak luput dari kekurangan karena

kesempurnaan hanyalah milik Allah semata. Semoga disertasi ini dapat memberikan

sumbangan pemikiran, bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan

masya-rakat.

Bogor, Pebruari 2009

(12)

Penulis dilahirkan di Lubuk Basung, Kabupaten Agam Sumatera Barat pada

tanggal 6 Juni 1960 sebagai anak ke lima dari lima bersaudara dari Bapak Rauf Kari

Mudo (Almarhum) dan ibu Gadijah (Almarhumah). Pendidikan sarjana penulis,

dimulai tahun 1981 pada program studi Produksi Ternak, Jurusan Produksi Fakultas

Peternakan Universitas Andalas Padang, lulus tahun 1986. Pada tahun 1989 penulis

melanjutkan studi program magister pada program studi Ilmu Ternak, Program

Pascasarjana IPB, lulus tahun 1992. Kemudian tahun 1999 diberi kesempatan untuk

melanjutkan ke program doktor pada program studi Ilmu Ternak, Sekolah

Pasca-sarjana IPB, Bogor.

Penulis diterima bekerja sejak tahun 1987 sampai sekarang sebagai staf

pengajar pada program studi Sosial Ekonomi Peternakan, Fakultas Peternakan

(13)

DAFTAR TABEL ………. vi

DAFTAR GAMBAR ………... vii

DAFTAR LAMPIRAN ……… viii

I. PENDAHULUAN ……….……….. 1

1.1. Latar Belakang ………….………... 1

1.2. Tujuan Penelitian ………. 3

1.3. Kegunaan Penelitian ……… 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ……….. 5

2.1. Perkembangan Sapi Potong di Indonesia ………. ………... 5

2.2. Usaha Sapi Potong sebagai Komponen Sistem Usahatani ……….. 8

2.3. Program dan Faktor Pendukung Pengembangan Sapi Potong …… 11

2.3.1. Program Pengembangan Sapi Potong ………. 11

2.3.2. Faktor Pendukung Pengembangan Sapi Potong …………. 13

2.4. Strategi Pengembangan Sapi Potong …..……… 16

III. METODOLOGI PENELITIAN ………. 19

3.1. Tahap Satu Identifikasi dan Analisis Potensi Pengembangan Usaha Sapi Potong di Kabupaten Lima Puluh Kota ………..………. 19

3.1.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ………... 19

3.1.2. Peubah yang Diamati ……….…. 19

3.1.3. Analisis Data ……… 20

3.2. Tahap Dua Menganalisis dan Mengevaluasi Program Pengembang- an Usaha Sapi Potong Kabupaten Lima Puluh Kota ……….. 22

3.2.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ……….. 22

3.2.2. Responden Penelitian ………….……….. 22

3.2.3. Peubah yang Diamati ……… 23

3.2.4. Analisis Data ……… 23

3.3. Tahap Tiga Peningkatan Produktivitas Ternak melalui Penerapan Teknologi Pakan dan Pemanfaatan Limbah Ternak ……… 26

3.3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ….……….. 26

3.3.2. Materi Penelitian on-farm ………….………. 26

3.3.3. Metode Penelitian on-farm ……..……… 27

3.3.4. Peubah yang Diamati ………... 28

3.3.5. Analisis Data ……… 29

3.4. Tahap Empat Merumuskan Strategi Pengembangan Usaha Sapi Potong dalam Sistem Usahatani di Kabupaten Lima Puluh Kota.. 29

3.4.1. Analisis Data ………. 29

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ……… 37

4.1. Potensi Wilayah untuk Pengembangan Usaha Sapi Potong di Kabupaten Lima Puluh Kota ……… 37

4.1.1. Keadaan UmumWilayah ……….. 37

4.1.2. Populasi Ternak ……… 40

(14)

4.2.1. Karakteristik Petani-ternak ………. 43

4.2.2. Sistem Kelembagaan, Sarana dan Prasarana dalam Pengembangan Sapi Potong ………. 47

4.2.3. Manajemen Ternak Sapi Potong ……….. 48

4.2.3.1. Sistem Reproduksi ……… 48

4.2.3.2. Jenis dan Sistem Pemberian Pakan …………... 49

4.2.3.3. Tatalaksana Pemeliharaan Ternak ………. 50

4.2.3.4. Pencegahan dan Pengobatan Penyakit ………. 52

4.2.3.5. Pemasaran Hasil Ternak ……… 52

4.2.3.6. Produktivitas dan Pendapatan Usaha Sapi Po- tong ………... 53

4.2.4. Manajemen Usahatani ………. 55

4.2.4.1. Karakteristik Usahatani ………. 55

4.2.4.2. Sistem Penggunaan Lahan ………. 57

4.2.4.3. Curahan Waktu Kerja ……… 58

4.2.4.4. Penggunaan Input Produksi ……….. 61

4.2.4.5. Modal ……… 62

4.2.4.6. Produktivitas dan Pendapatan Usahatani Tanaman ……… 63

4.2.5. Optimalisasi Usahatani-ternak ………. 64

4.2.5.1. Aktivitas Basis pada Pola Usahatani-ternak op- timal ………. 64

4.2.5.2. Alokasi Sumberdaya pada Pola Usahatani- ternak Optimal ………. 66

4.2.5.3. Tingkat Pendapatan Usahatani-ternak Pola Optimal ……… 69

4.2.6. Kontribusi Pendapatan Usaha Ternak Sapi Potong ……. 69

4.2.7. Analisis Pelaksanaan Program BPLM ………. 70

4.3. Peningkatan Produktivitas Ternak melalui Penerapan Teknologi Pakan dan Pemanfaatan Limbah Ternak ……….. 73

4.3.1. Pemanfaatan Jerami Padi terhadap Produktivitas Ternak. 73

4.3.1.1. Konsumsi Pakan ………. 73

4.3.1.2. Pertambahan Bobot Badan ……….. 74

4.3.1.3. Konversi Pakan ……… 75

4.1.3.4. Produksi Feses………... ………... 75

4.3.2. Pengaruh Pengolahan Limbah Tanaman dan Ternak ter- hadap Usaha Sapi Potong ………... 76

4.4. Strategi Pengembangan Usaha Sapi Potong di Kabupaten Lima Puluh Kota ……….. 77

4.4.1. Metode Pendekatan Sistem ……… 77

4.4.2. Potensi Pengembangan Sapi Potong ……….. 79

4.4.3. Model Pengembangan Usaha Sapi Potong di Kabupaten Lima Puluh Kota ………. 80

4.4.3.1. Pemberdayaan melalui Kelompok ……… 80

4.4.3.2. Pemodalan Usaha ……….. 81

(15)

4.4.4.1. Faktor Internal ………. 81

4.4.4.2. Faktor Eksternal ……….. 83

4.4.4.3. Evaluasi Faktor Internal dan Eksternal ……... 83

4.4.5. Alternatif Strategi Pengembangan Sapi Potong di Kabupaten Lima Puluh Kota ……… 84

4.4.6. Prioritas Strategi Pengembangan Sapi Potong ………. 85

4.4.7. Program dan Kegiatan Pengembangan Sapi Potong di Kabupaten Lima Puluh Kota ……..………... 89

4.4.8. Implementasi Program dan Kegiatan Pengembangan Sapi Potong di Kabupaten Lima Puluh Kota …………. 94

V. KESIMPULAN DAN SARAN ……….. 96

5.1. Kesimpulan ………... 96

5.2. Saran ………... 97

DAFTAR PUSTAKA ……… 98

(16)

Nomor Teks Halaman

1. Populasi ternak sapi potong di Indonesia dari th 2001-2006 ……. 5

2. Jumlah pemotongan ternak sapi potong di Indonesia dari th 2001-

2006 ……….. 5

3. Perkembangan populasi sapi potong di Sumatera Barat th 2001-

2006 ……….. 8

4. Skala AHP dan definisinya ……….. 32

5. Luas Kabupaten Lima Puluh Kota berdasarkan kecamatan dan

jumlah penduduk ... 37

6. Ketinggian tempat masing-masing kecamatan yang ada di Kabu-

paten Lima Puluh Kota ……….. 38

7. Sistem penggunaan lahan di daerah penelitian ……… 39

8. Komposisi penduduk berdasarkan kelompok umur ……… 39

9. Sebaran penduduk yang bekerja berdasarkan lapangan usaha utama 40

10. Sebaran populasi ternak masing-masing kecamatan di kabupaten

Lima Puluh Kota ……… 40

11. Wilayah basis ternak sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota … 41

12. Nilai KPPTR masing-masing kecamatan kabupaten Lima Puluh

Kota ………... 43

13. Karakteristik kelompok tani-ternak penerima dana BPLM ……….. 44

14. Karakteristik responden penelitian ……… 45

15. Motivasi dan prilaku peternak peserta program dan non program … 46

16. Karateristik reproduksi usaha sapi potong program pengembangan.. 49

17. Tatalaksana pemeliharaan ternak sapi program pengembangan ….. 51

18. Struktur populasi ternak sapi potong di daerah penelitian ………... 53

19. Produktivitas sapi potong di daerah penelitian ………. 54

20. Rataan pendapatan usaha ternak sapi potong di daerah penelitian ... 55

21. Karakteristik usahatani-ternak peserta program dan non program ... 56

22. Pola usahatani yang dipertimbangkan masuk dalam model peren-

canaan Optimal ……… 57

23. Sumberdaya lahan yang dikuasai oleh responden penelitian ……. 58

24. Ketersediaan tenaga kerja keluarga per bulan responden penelitian. 59

25. Kegiatan budidaya tanaman yang dilakukan responden ……… 59

(17)

28. Aktivitas basis pada pola usahatani-ternak optimal ………... 65

29. Penggunaan tenaga kerja pola usahatani-ternak optimal …………... 67

30. Penggunaan modal pada pola usahatani-ternak optimal ……… 68

31. Perbandingan pendapatan antara petani-ternak pola aktual dan pola optimal ………... 69

32. Kontribusi pendapatan usaha ternak sapi potong ………... 70

33. Kinerja pelaksanaan program BPLM ………. 70

34. Rataan konsumsi bahan kering ransum ……….. 73

35. Rataan bobot badan masing-masing perlakuan ……….. 74

36. Rataan konversi ransum penelitian ………. 75

37. Rataan produksi feses masing-masing perlakuan ……… 75

38. Analisis partial budget pemeliharaan sapi dengan teknologi pengo- lahan limbah dan pemeliharaan sapi tanpa pengolahan limbah …….. 76

39. Kelembagaan agribisnis kelompok usaha perbibitan ……….. 82

40. Matrik evaluasi faktor internal pengembangan sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota ……….. 83

41. Matrik evaluasi faktor eksternal pengembangan sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota ……….. 84

42. Alternatif strategi pengembangan usaha sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota ………. 85

(18)

Nomor Teks Halaman

1. Pola pola usahatani tanaman ternak di kabupaten Sleman

Yogyakarta ……… 10

2. Lay out penelitian on-farm ……… 27

3. Dekomposisi masalah ……… 33

4. Tahapan sistematis kegiatan penelitian ………. 36

5. Integrasi budidaya tanaman dan ternak sapi ……….. 42

6. Jenis sapi Simental yang dipelihara peternak ………..…….. 49

7. Lahan hijauan yang dimiliki peternak ……….. 50

8. Kandang ternak sapi milik peternak program pengembangan ……. 51

9. Pupuk kandang yang sudah siap digunakan ……….. 52

10. Mekanisme pemasaran sapi potong di daerah penelitian ………….. 53

11. Penggunaan lahan pola optimal program lahan sawah ≤ 1 Ha …….. 66

12. Penggunaan lahan pola optimal program lahan sawah > 1 Ha …….. 66

13. Penggunaan lahan pola optimal non program lahan sawah ≤ 1 Ha ... 66

14. Penggunaan lahan pola optimal non program lahan sawah > 1 Ha ... 66

15. Tahapan Analisis Sistem ……… 78

16. Diagram input output system perencanaan pengembangan usaha sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota ………. 79

(19)

Nomor Teks Halaman

1a. Peta kabupaten Lima Puluh Kota ……….... 105

b. Location quation ternak sapi potong per kecamatan di kabupaten Lima Puluh Kota ……….. 106

c. Nilai KPPTR per kecamatan kabupaten Lima Puluh Kota ……….. 107

d. Nilai KPPTR berdasarkan kategori tinggi, sedang, dan rendah per kecamatan ……… 108

e. Kontribusi lahan garapan terhadap produksi hijauan makanan ternak 109

f. Produksi pakan hijauan, limbah pertanian berdasarkan luas panen.. 110

g. Total produksi HMT per kecamatan kabupaten Lima Puluh Kota ... 111

h. Jumlah penduduk, luas wilayah dan jumlah KK petani per keca- matan di kabupaten Lima Puluh Kota ……….. 111

i. Ketentuan menghitung kapasitas tamping ternak ruminansia berda- sarkan metode Nell dan Rollinson ……… 112

2a. Rataan penggunaan bibit tanaman per musim tanam ………... 113

b. Ketersediaan bibit tanaman permusim tanam ……… 113

c. Rataan penggunaan pupuk per musim tanam didaerah penelitian…. 114

d. Rataan ketersediaan pupuk per musim tanam di daerah penelitian .. 115

e. Penggunaan obat-obatan per musim tanam ……….. 115

f-1 Rataan produksi usahatani program luas lahan ≤ 1 Ha ………. 116

f-2 Rataan produksi usahatani program luas lahan > 1 Ha ………. 116

f-3 Rataan produksi usahatani non program luas lahan ≤ 1 Ha ……….. 116

f-4 Rataan produksi usahatani non program luas lahan > 1 Ha ……….. 116

g-1 Rataan pendapatan usahatani program kepemilikan lahan sawah ≤ 1 Ha…. ………. 117

g-2 Rataan pendapatan usahatani program kepemilikan lahan sawah > 1 Ha ………. 118

g-3 Rataan pendapatan usahatani non program kepemilikan lahan sa- wah ≤ 1 Ha ………... 119

g-4 Rataan pendapatan usahatani non program kepemilikan lahan sa- wah > 1 Ha ……... 120

h. Aktivitas petani peserta program dengan pemilikan lahan ≤ 1 Ha. 121

(20)

k. Aktivitas basis (dalam kondisi optimal) petani peserta program

dengan pemilikan lahan ≤ 1 Ha ……… 124

l. Aktivitas petani peserta program dengan pemilikan lahan > 1 Ha.. 124

m. Kendala yang dipertimbangkan dalam model program linier petani peserta program dengan pemilikan lahan ≤ 1 Ha ……… 125

n. Model usahatani optimal petani peserta program dengan pemilikan lahan > 1 Ha ………. 126

o. Aktivitas basis (dalam kondisi optimal) petani peserta program dengan pemilikan lahan > 1 Ha ……… 128

p. Aktivitas petani non-program dengan pemilikan lahan ≤ 1 Ha …… 128

q. Kendala yang dipertimbangkan dalam model program linier petani non-program dengan pemilikan lahan ≤ 1 Ha ……… 129

r. Model usahatani optimal petani non-program dengan pemilikan lahan ≤ 1 Ha ……… 130

s. Aktivitas basis (dalam kondisi optimal) petani non-program dengan pemilikan lahan ≤ 1 Ha ………. 132

t. Aktivitas petani non-program dengan pemilikan lahan > 1 Ha …. 132

u. Kendala yang dipertimbangkan dalam model program linier petani non-program dengan pemilikan lahan > 1 Ha ……… 133

v. Model usahatani optimal petani non-program dengan pemilikan lahan > 1 Ha ……… 134

w. Aktivitas basis (dalam kondisi optimal) petani non-program dengan pemilikan lahan > 1 Ha ………. 135

x. Penggunaan bibit tanaman pola usahatani-ternak optimal ……….. 136

y. Penggunaan pupuk pada pola usahatani-ternak optimal …………. 137

3a. Rataan konsumsi bahan kering ransum (kg/ekor/hr) ………. 138

b. Rataan pertambahan bobot badan (kg/ekor/hr) ……….. 139

c. Rataan konversi ransum ………. 140

d. Hasil uji lanjut menggunakan uji jarak berganda Duncan …………. 141

e. Rataan konsumsi bahan kering ransum (dalam % BB) ………. 142

f. Bobot badan awal dan akhir sapi PO penelitian periode pertumbuh- an ………... 142

g. Pupuk organik yang dihasilkan (kg basah) ………... 143

h. Biaya pembuatan pupuk organik ……….. 144

(21)

5. Kuesioner program pengembangan usaha sapi potong di kabupaten

Lima Puluh Kota ………... 155

6. Kuesioner strategi internal dan eksternal ……….. 166

7. Kuesioner AHP pengembangan sapi potong di kabupaten Lima Pu-

(22)

1.1 Latar Belakang

Sejalan dengan pertambahan penduduk, peningkatan pendapatan dan status

ekonomi masyarakat Indonesia, permintaan terhadap produk asal ternak terutama

daging sapi juga meningkat. Hal ini ditandai dengan trend peningkatan konsumsi daging di Indonesia, yang tergambar dari peningkatan laju pemotongan ternak sapi

dalam lima tahun terakhir (2001-2006) sebesar 0,31 persen per tahun. Sementara itu

laju pertambahan populasi menurun sebesar 0,43 persen per tahun, sehingga impor

sapi meningkat secara nyata. Pada tahun 2006 impor sapi bakalan mencapai 265.700

ekor, sapi bibit 6.200 ekor dan daging 25.949,2 ton (Ditjen Peternakan 2007a).

Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk merespons situasi ini,

melalui beberapa program seperti program swa-sembada daging 2010 yakni

mening-katkan produksi daging sapi dalam negeri sebesar 90-95 persen dan impor sebesar

5-10 persen (Ditjen Peternakan 2005); dan Percepatan Pencapaian Swa-sembada

Da-ging Sapi 2010 (Ditjen Peternakan 2007b). Program-program ini pada intinya

meng-upayakan peningkatan produksi daging dalam negeri untuk mengatasi kesenjangan

antara demand dan suplay, namun hasil yang diperoleh belum signifikan.

Diwyanto dan Priyanti (2006) menyatakan bahwa, beberapa permasalahan

dalam pengembangan usaha sapi potong di Indonesia yakni : (1) produktivitas ternak

masih rendah, (2) ketersediaan bibit unggul lokal terbatas, (3) sumberdaya manusia

kurang produktif dan tingkat pengetahuan yang rendah, (4) ketersediaan pakan tidak

kontinu terutama pada musim kemarau, (5) sistem usaha peternakan belum optimal,

dan (6) pemasaran hasil belum efisien. Menurut Tawaf dan Kuswaryan (2006),

rendahnya produktivitas ternak dan terbatasnya ketersediaan bibit unggul lokal

disebabkan oleh : (1) sumber-sumber perbibitan masih didominasi oleh peternak

rakyat yang menyebar secara luas dengan kepemilikan rendah (1-4 ekor), (2)

kelembagaan perbibitan yang ada (kelompok usaha perbibitan) belum berkembang ke

arah usaha yang profesional, (3) lemahnya daya jangkau layanan UPT perbibitan

karena sebaran ternak yang luas, dan (4) tingginya pemotongan ternak betina

produktif sebagai akibat dari permintaan yang tinggi terhadap daging sapi.

Sudrajat (2003) menyarankan beberapa kebijakan untuk mencapai

(23)

mencapai 28%), (2) pengendalian penyakit reproduksi, dan (3) melakukan impor sapi

bibit. Dalam pedoman Ditjen Peternakan (2007b), kebijakan utama dalam

pencapai-an swa-sembada daging sapi 2010 yakni : (1) penambahpencapai-an induk sapi potong melalui

pemanfaatan induk lokal dengan cara tunda potong sapi betina produktif, dan impor

sapi induk, (2) penyediaan pakan ternak ruminansia secara kontinu, dan (3) program

pembibitan, pengendalian penyakit, pengembangan usaha, pemasaran dan pengolahan

tetap diperlukan.

Upaya peningkatan produksi dan populasi ternak sapi potong memerlukan

ke-tersediaan pakan yang cukup banyak, terutama yang memiliki sumber serat yang

cukup. Saat ini usaha peternakan untuk menghasilkan sapi bakalan dalam negeri

(cow-calf operation) 99% dilakukan oleh peternak rakyat, ternak sapi dipelihara dalam suatu sistem yang terintegrasi dengan usahatani tanaman. Adanya keterkaitan

antara usahatani tanaman dan usaha ternak dapat meningkatkan efisiensi usahatani

sehingga dapat meningkatkan produktivitas dan pendapatan (Diwyanto 2002).

Kabupaten Lima Puluh Kota sebagai salah satu sentra produksi sapi potong di

Sumatera Barat memiliki potensi pengembangan dimasa datang. Populasi sapi potong

tahun 2006 sebesar 57.236 ekor tersebar pada 17.720 RTP, mata pencaharian utama

masyarakat dibidang pertanian (62%), yang mendukung dalam penyediaan pakan

baik berupa hijauan maupun limbah pertanian; terdapatnya BPT/HMT Padang

Mengatas sebagai transformasi teknologi; dan letak wilayah yang strategis karena

berbatasan dengan propinsi Riau sebagai konsumen terbesar produk sapi potong asal

Sumatera Barat. Rata-rata pertumbuhan ternak sapi potong di kabupaten Lima Puluh

Kota dalam periode 5 (lima) tahun terakhir (2001-2006) adalah sebesar 9,36% per

tahun, sementara rata-rata jumlah ternak yang dipotong dalam periode yang sama

meningkat sebesar 35,71% (BPS Kabupaten Lima Puluh Kota 2007). Ketidak

se-imbangan ini merupakan masalah yang apabila tidak ditangani secara serius akan

mengakibatkan penurunan populasi dari tahun ketahun.

Pemerintah daerah kabupaten Lima Puluh Kota telah melakukan usaha-usaha

yang menunjang perkembangan sapi potong seperti program pemberian bantuan

kredit melalui dana APBN maupun APBD. Akan tetapi hasil yang diperoleh masih

belum seperti yang diharapkan karena produktivitas yang dicapai masih rendah

(angka kelahiran di bawah 50% dan mortalitas anak di atas 2%), peran lembaga

(24)

dan pengadaan sarana produksi, dan pemasaran), sistem pemasaran belum efisien,

dan pemanfaatan sumberdaya belum optimal (Dinas Peternakan Kabupaten Lima

Puluh Kota 2005).

Beberapa permasalahan yang dapat diidentifikasikan meliputi :

(1). Produksi dan produktivitas ternak sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota

masih rendah dan belum mampu mengimbangi meningkatnya jumlah

per-mintaan.

(2). Manajemen pemeliharaan sapi potong masih merupakan pola peternakan rakyat

yang bersifat sambilan.

(3). Kelembagaan ditingkat petani-ternak belum berkembang ke arah usaha yang

profesional, disebabkan beberapa kendala teknis maupun non teknis

(4) Sistem pemasaran belum efisien sehingga tingkat pendapatan petani-ternak

ren-dah.

1.2 Tujuan Penelitian

Diperlukan upaya yang serius dari berbagai pihak dalam mengatasi

perma-salahan yang dihadapi untuk pengembangan sapi potong dalam rangka peningkatan

produksi, produktivitas, dan pendapatan peternak dengan memanfaatkan sumberdaya

lokal secara optimum. Dalam melakukan pengembangan usaha sapi potong berbagai

informasi tentang potensi wilayah, program dan kegiatan yang sudah dilakukan, perlu

dikaji dan dianalisis sehingga dapat diketahui secara tepat kondisi peternakan yang

ada pada saat ini. Untuk menghasilkan alternatif solusi yang dapat menjawab

permasalahan yang ada telah dilakukan suatu penelitian dengan judul Potensi dan Strategi Pengembangan Usaha Sapi Potong di Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat.

Penelitian ini bertujuan untuk :

(1). Menganalisis potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia

pengembang-an usaha sapi potong di kabupaten Lima Puluh Kota.

(2). Mengevaluasi program pengembangan usaha sapi potong dan pemanfaatan

sum-berdaya ditingkat petani ternak.

(3). Menganalisis efisiensi usahatani-ternak melalui penerapan teknologi

pemanfaat-an limbah pertpemanfaat-anipemanfaat-an untuk pakpemanfaat-an ternak, dpemanfaat-an pengolahpemanfaat-an limbah ternak sebagai

(25)

(4). Merumuskan strategi pengembangan usaha sapi potong di kabupaten Lima

Pu-luh Kota.

1.3 Kegunaan Penelitian

Hasil yang diperoleh diharapkan dapat bermanfaat sebagai informasi atau

acuan ilmiah yang dapat digunakan oleh pihak terkait untuk :

(1). Merumuskan program dan kegiatan-kegiatan pengembangan sapi potong di

kabupaten Lima Puluh Kota.

(2). Merumuskan kebijakan pengembangan sapi potong berbasis sumberdaya lokal

(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perkembangan Sapi Potong di Indonesia

Ternak sapi potong merupakan sumber daging bagi masyarakat Indonesia, di

samping produk daging yang berasal dari ternak lain seperti kerbau, kambing, domba,

kuda, babi dan ternak unggas. Secara proporsional 66% daging ternak ruminansia

dihasilkan oleh ternak sapi, 14% dari domba, dan 8% dari kerbau (Makka 2004).

Data populasi dan jumlah pemotongan ternak sapi potong di Indonesia dalam lima

tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2.

Tabel 1 Populasi ternak sapi potong di Indonesia dari th 2001-2006

No Tahun Populasi

(ekor) Perubahan Populasi (%) 1 2 3 4 5 6 2001 2002 2003 2004 2005 2006 11.137.000 10.436.300 10.504.128 10.532.889 10.569.312 10.875.125 -- -6,29 0,65 0,27 0,35 2,89 Rataan -0,43 Sumber : Ditjen Peternakan (2007a)

Rata-rata penurunan populasi sapi potong di Indonesia selama lima tahun

ter-akhir (2001-2006) sebesar 0,43 persen per tahun, sementara pada periode yang sama

jumlah pemotongan meningkat sebesar 0,31 persen per tahun. Hal ini disebabkan

masih rendahnya produktivitas ternak sapi dan terbatasnya ketersediaan bibit unggul

lokal, karena : (1) sumber-sumber perbibitan masih didominasi oleh peternak rakyat

yang menyebar dengan kepemilikan rendah (1-4 ekor), (2) kelembagaan perbibitan

Tabel 2 Jumlah pemotongan ternak sapi potong di Indonesia dari th 2001-2006

No Tahun Pemotongan

(27)

yang ada (kelompok usaha perbibitan) belum berkembang ke arah usaha yang

profesional, (3) lemahnya daya jangkau UPT perbibitan karena sebaran ternak yang

luas, dan (4) tingginya pemotongan ternak betina produktif (jumlahnya mencapai

28%) sebagai akibat dari permintaan yang tinggi terhadap daging sapi (Tawaf dan

Kuswaryan 2006). Diperlukan impor sapi potong dalam jumlah yang cukup besar

untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap daging, pada tahun 2006 impor sapi

bakalan mencapai 265.700 ekor, sapi bibit 6.200 ekor dan daging 25.949,2 ton (Ditjen

Peternakan 2007a). Salah satu penyebab menurunnya populasi ternak adalah

menu-runnya daya dukung lahan untuk usaha ternak karena konversi lahan pertanian

menjadi lahan non pertanian sehingga ketersediaan pakan terbatas (Haryanto 2004).

Manajemen reproduksi yang belum efisien dan jumlah pemotongan yang tidak

ter-kontrol di samping faktor pakan, juga merupakan faktor yang berkontribusi terhadap

penurunan kuantitas dan kualitas sapi potong yang ada (Soetirto 1997).

Pemerintah melalui Direktorat Jendral Peternakan telah menetapkan Program

Kecukupan Daging 2010 (PKD 2010), sebelumnya bernama program swa-sembada

daging, mengacu pada salah satu program Departemen Pertanian yaitu program

Keta-hanan Pangan. Dalam PKD 2010 diharapkan produksi dalam negeri mampu

memberikan kontribusi kecukupan daging sebesar 90 – 95 persen dan sisanya 5 – 10

persen dari impor (Tawaf dan Kuswaryan 2006). Tahun 2005 pemerintah telah

mencanangkan Revitalisasi Pertanian Perikanan dan Kehutanan (RPPK) yang

meli-batkan unsur-unsur Pemerintah, Dunia Usaha, Perguruan Tinggi, Profesional, LSM,

dan masyarakat untuk : (1) meningkatkan kesejahteraan petani dan mengurangi

kemiskinan, (2) menciptakan kesempatan usaha dan kerja baru, (3) membangun

ketahanan pangan dan kebutuhan pokok lain, (4) meningkatkan daya saing, (5)

melestarikan lingkungan, dan (6) membangun daerah (Krisnamurti 2006).

Menurut Soedjana (2007), dalam rangka mewujudkan swa-sembada daging

dipandang perlu melakukan revitalisasi atau restrukturisasi peternakan, yakni menata

ulang industri peternakan (baik hulu, budidaya, dan hilir). Industri ternak potong

di-harapkan akan berbasis sumberdaya lokal, dan tingkat swa-sembada akan tercapai

secara sustainable, untuk itu perlu langkah-langkah peningkatan populasi dan produk-tivitas serta perbaikan kelembagaan meliputi ; (1) memacu kegiatan IB melalui

optimalisasi akseptor, (2) penjaringan dan penyelamatan betina produktif, (3)

(28)

melalui distribusi pejantan unggul dan sertifikasi pejantan pemacek, (5)

pengem-bangan dan pemanfaatan pakan lokal, (6) pengempengem-bangan SDM dan kelembagaan, dan

(7) penyediaan induk/bibit.

Dalam buku pedoman Ditjen Peternakan (2007b), dijelaskan bahwa untuk

mempercepat pencapaian swa-sembada daging sapi 2010, pemerintah menetapkan

program Percepatan Pencapaian Swa-sembada Daging Sapi 2010 (PSDS 2010), yang

dimulai pada tahun 2008-2010 melalui tujuh langkah operasional yakni ; (1)

optima-lisasi akseptor, dan kelahiran melalui Inseminasi Buatan (IB) dan kawin alam; (2)

pengembangan Rumah Potong Hewan (RPH) dan pengendalian pemotongan sapi

betina produktif; (3) perbaikan mutu dan penyediaan bibit; (4) penanganan gangguan

reproduksi dan kesehatan hewan; (5) Intensifikasi kawin alam; dan (6) pengembangan

pakan lokal, serta (7) pengembangan SDM dan kelembagaan. Pelaksanaan P2SDS

difokuskan di 18 provinsi yang dikelompokkan dalam tiga daerah prioritas

ber-dasarkan potensi sumberdaya (lahan, ternak, SDM, teknologi, sarana pendukung, pola

budidaya, dan pasar) yaitu : (1) daerah prioritas IB yaitu propinsi Jawa Barat, Jawa

Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur dan Bali; (2) daerah campuran Inseminasi

Buatan (IB) dan Kawin Alam (KA) yaitu propinsi NAD, Sumatera Utara, Sumatera

Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Nusa

Tenggara Barat, Sulawesi Selatan dan Gorontalo; (3) daerah prioritas Kawin Alam

(KA) yaitu propinsi Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara.

Program-program ini pada intinya mengupayakan peningkatan produksi daging dalam

negeri untuk mengatasi kesenjangan antara demand dan suplay.

Perkembangan populasi sapi potong di Sumatera Barat tidak jauh berbeda

dengan perkembangan sapi potong secara nasional, hal ini dapat dilihat pada Tabel 3.

Rata-rata pertumbuhan ternak sapi potong di Sumatera Barat dalam lima tahun

terakhir menurun sebesar 1,31% per tahun, sementara rata-rata jumlah ternak yang

dipotong meningkat sebesar 9,35% per tahun (BPS Sumatera Barat 2007).

Rendahnya produksi dan produktivitas ternak sapi potong di Sumatera Barat

disebabkan masih rendahnya tingkat kelahiran (angka kelahiran di bawah 50%),

tingginya angka kematian (angka kematian anak di atas 2%), pertambahan bobot

badan yang belum optimal (pertambahan bobot badan sapi lokal 0,4-0,5 kg/hr), dan

tingginya inseminasi berulang di daerah kawasan sentra ternak pembibitan (Dinas

(29)

dan bantuan pemerintah untuk mengembangkan sapi potong melalui program

peningkatan kapasitas reproduksi (IB), penurunan angka kematian, dan peningkatan

produktivitas sapi potong (Soetirto 1997).

Tabel 3 Perkembangan populasi sapi potong di Sumatera Barat th 2001 - 2006 No Tahun Populasi

(ekor) Kenaikan/ Penurunan (%) Pemotongan (ekor) Kenaikan/ Penurunan (%) 1 2 3 4 5 6 2001 2002 2003 2004 2005 2006 501.356 546 862 583.850 597.294 419.352 440.461 -- 9,08 6,77 2,30 -29,79 5,03 58.300 58.134 57.274 63.889 66.108 88.062 - 0,28 -1,48 11,55 3,47 33,51

Rataan -1,31 9,35

Sumber : BPS Sumatera Barat (2007)

Menurut Dinas Peternakan TK I Sumatera Barat (2007b), untuk mendukung

program P2SDS 2010 telah disusun langkah-langkah sebagai berikut ; (1)

optimali-sasi IB melalui penambahan akseptor dari 70.660 menjadi 124.795 akseptor, (2)

penambahan ternak sapi betina produktif dari luar propinsi Sumatera Barat, sejumlah

3.876 ekor (2006), dan 5.636 ekor (2007), (3) penanggulangan penyakit reproduksi,

telah dimulai semenjak tahun 2006 sebanyak 500 ekor, 4.000 ekor tahun 2007, tahun

2008, 2009, 2010 direncanakan dicapai 5.000, 6.000, 7.000 ekor, (4) pengawasan

pemotongan ternak sapi betina produktif melalui optimalisasi penguatan modal usaha

kelompok, (5) intensifikasi kawin alam pada kawasan-kawasan yang sulit untuk

penerapan IB melalui distribusi pejantan unggul. Disamping peran pemerintah, peran

swasta dan masyarakat juga penting dalam peningkatan populasi ternak sapi potong

dengan mendatangkan investor baru dan memotivasi masyarakat untuk berinvestasi

dibidang usaha ternak sapi.

2.2 Usaha Sapi Potong sebagai Komponen Sistem Usahatani

Konsep pertanian terpadu yang melibatkan tanaman dan ternak telah

dikem-bangkan dibeberapa negara Asia seperti Thailan, Filipina, Vietnam, RRC dan

Indone-sia. Di Indonesia integrasi antara tanaman dan ternak sudah diterapkan oleh petani di

pedesaan, namun sistem pengelolaan masih bersifat tradisional tanpa

memperhitung-kan nilai ekonomi (Diwyanto et al. 2002).

Sistem usahatani terpadu yang didasarkan penelitian dan pengkajian mulai

(30)

di Bogor. Penelitian ini diberi nama “on station multiple cropping“ mengacu pada pola Internatioal Rice Research Institute (IRRI) (Manwan 1989). Sejak saat itu kajian dan inovasi penerapan pertanian terpadu terus dikembangkan seperti ; pola

tanam (cropping pattern), pola usahatani (cropping system), sistem usahatani

(farming system), dan terakhir adalah Sistem Integrasi Tanaman Ternak terjemahan

dari Crop Livestock System (CLS). Selain CLS masih ada beberapa pola sejenis antara lain pertanian dengan perikanan dan lainnya (Diwyanto et al. 2002).

Pola CLS merupakan salah satu kegiatan pertanian organik (organic farming)

berbasis teknologi, dengan memanfaatkan sumberdaya lokal yang didaur ulang secara

efektif (Sutanto 2002). Upaya peningkatan produktivitas lahan dan efisiensi usahatani

dilakukan melalui penerapan teknologi inovatif, optimalisasi sumberdaya lahan dan

tenaga kerja, serta membangun kelembagaan usaha bersama (Prasetyo et al. 2001). Sistem ini melibatkan tiga jenis kegiatan usahatani yang saling berkaitan yaitu : (1)

budidaya ternak, (2) budidaya padi, serta (3) pengolahan limbah pertanian dan ternak.

Ruang lingkup budidaya ternak mencakup pengandangan ternak, sistem pemberian

pakan, pengolahan hasil dan limbah, serta pemanfaatan kompos untuk tanaman

pertanian. Budidaya tanaman merupakan teknologi pengolahan produk, penyimpanan

dan peningkatan kualitas limbah tanaman sebagai pakan ternak. Pengomposan adalah

proses mengubah limbah organik menjadi pupuk dengan tujuan mengurangi bahan

organik yang dikandung bahan limbah, menekan timbulnya bau, membunuh gulma

dan organisme yang bersifat pathogen, produknya berupa pupuk organik yang sesuai

untuk diaplikasikan pada lahan pertanian (Sutanto 2002).

Dalam sistem usahatani ternak, interaksi yang terjadi akan mendorong

terjadi-nya efisiensi produksi, pencapaian produksi yang optimal, peningkatan diversifikasi

usaha dan peningkatan daya saing produk pertanian yang dihasilkan, sekaligus

mempertahankan dan melestarikan sumberdaya lahan (Diwyanto dan Handiwirawan

2004). Sumberdaya manusia, modal, sumberdaya alam, dan proses pengelolaannya

dilakukan secara optimal menggunakan teknologi aplikasi sehingga berdampak pada

peningkatan keuntungan (Prodjodihardjo 1988).

Hasil kajian sistem integrasi usahatani tanaman padi sapi potong di kabupaten

Sleman Yogyakarta oleh Wardhani dan Musofie (2004) menunjukkan bahwa, dalam

melaksanakan usahatani petani melibatkan ternak, sumberdaya lahan, tenaga kerja

(31)

terkait, terpadu dan saling tergantung, pola usahatani integrasi tanaman-ternak dapat

dilihat pada Gambar 1.

Pasar

Tenaga kerja non-farm

Ternak

RUMAH Konsentrat

TANGGA Obat hewan

Pupuk Insektisida

Tenaga kerja Manajemen

Tenaga kerja

TANAMAN TERNAK

Padi, Kedelai Limbah

Kacang tanah Tanaman

[image:31.612.115.515.136.409.2]

Pupuk tenaga kerja ternak

Gambar 1 Pola usahatani tanaman-ternak di kabupaten Sleman Yogyakarta

Kegiatan usahatani tanaman menghasilkan sisa tanaman (jerami), dedak dan

hijauan lain sebagai input untuk usaha ternak, kegiatan usaha ternak menyerap tenaga

kerja manusia dan sumberdaya lain yang dapat menghasilkan produk peternakan.

Ternak menghasilkan pupuk organik yang dapat digunakan untuk tanaman, dengan

sistem integrasi usahatani tanaman padi sapi potong mampu memberikan nilai tambah

pada masing-masing sektor usaha. Dalam pola ini petani mengurangi penggunaan

input luar, tenaga kerja diusahakan berasal dari dalam keluarga, sarana produksi

sedapat mungkin didapat dari produk masing-masing kegiatan yang saling terkait.

Sudaryanto (2006) menyatakan bahwa, pengembangan integrasi padi sapi (SIPT)

bertujuan : (1) mendukung upaya peningkatan kandungan bahan organik lahan

melalui penyediaan pupuk organik; (2) meningkatkan produktivitas padi sawah dan

penyediaan daging, dan (3) peningkatan populasi ternak sapi dan pendapatan petani.

Menurut Diwyanto (2001), ada delapan keuntungan penerapan integrasi usaha

(32)

(b) mengurangi terjadinya resiko, (c) efisiensi penggunaan tenaga kerja, (d) efisiensi

penggunaan komponen produksi, (e) mengurangi ketergantungan sumberdaya lain

dari luar usaha, (f) sistem ekologi lebih lestari, tidak menimbulkan polusi, (g)

meningkatkan output, dan (h) mengembangkan rumah tangga petani yang lebih stabil.

Hasil penelitian Kasman et al, (2004) tentang Kontribusi kotoran sapi dalam sistem usahatani padi sawah irigasi di Sulawesi Selatan didapatkan bahwa

pemanfaatan pupuk organik (kompos) dapat mengefisienkan penggunaan pupuk

an-organik dan meningkatkan produksi gabah kering panen.

2.3 Program dan Faktor Pendukung Pengembangan Sapi Potong 2.3.1 Program Pengembangan Sapi Potong

Secara umum ada tiga faktor penting dalam pengembangan sapi potong di-

suatu wilayah yaitu pertimbangan teknis, sosial, dan ekonomis. Pertimbangan teknis

mengarah kepada kesesuaian pada sistem produksi yang berkesinambungan,

ditun-jang oleh kemampuan manusia dan kondisi agroekologis. Pertimbangan sosial

meli-puti penerimaan masyarakat terhadap keberadaan ternak tanpa menimbulkan konflik

sosial. Pertimbangan ekonomis mengandung arti bahwa ternak yang dipelihara harus

menghasilkan nilai tambah bagi perekonomian daerah serta bagi pemeliharanya

sen-diri. Selanjutnya dikatakan bahwa di samping ketiga faktor tersebut di atas terdapat

faktor lain yang mempengaruhi perkembangan peternakan secara eksternal di

antara-nya infra struktur, keterpaduan dan koordinasi lintas sektoral, perkembangan

pendu-duk, serta kebijakan pengembangan wilayah (Soehadji 1999).

Pengembangan usaha ternak ditujukan untuk meningkatkan ketahanan pangan

dan peningkatan daya beli masyarakat melalui perbaikan pendapatan. Agar dapat

mencapai tujuan tersebut strategi yang dipakai adalah meningkatkan partisipasi

masyarakat secara aktif, mendorong investasi usaha ternak di pedesaan serta

pember-dayaan masyarakat petani-ternak (Sudaryanto dan Jamal 2000). Untuk mengatasi

perihal permodalan bagi masyarakat petani, pemerintah telah mengimplementasikan

model pemberdayaan masyarakat petani-ternak melalui program Bantuan Pinjaman

Langsung Masyarakat (Yuwono et al. 2006).

Tujuan dari Program Bantuan Pinjaman Langsung Masyarakat (BPLM)

adalah untuk ; (1) memperkuat modal usaha kelompok dalam mengembangkan usaha,

(2) meningkatkan produksi dan produktivitas usaha, (3) mengembangkan usaha

(33)

dan kerjasama kelompok, serta mendorong berkembangnya Lembaga Keuangan

Mikro (LKM) agribisnis dan kelembagaan ekonomi pedesaan lainnya. Sedangkan

sasaran yang ingin dicapai yakni ; (1) model pengembangan kawasan peternakan

yang diintroduksi dapat berjalan dengan baik, (2) usaha peternakan dapat

berkem-bang dengan baik, (3) proses pembelajaran peternak menjadi lebih mantap untuk

dapat melepas ketergantungan pada bantuan pemerintah (Ditjen Peternakan 2004).

Pemberdayaan masyarakat agribisnis melalui penguatan modal kelompok

me-liputi beberapa aspek yaitu : (1) aspek kelembagaan berupa; perkembangan kelompok

dan anggota yang menerima perguliran, perkembangan jumlah kepemilikan ternak,

perkembangan partisipasi anggota kelompok dalam mengambil keputusan,

mengako-modir aspirasi anggota, kerjasama kelompok dengan stakeholder lainnya; (2) aspek

usaha berupa ; peningkatan peran masyarakat dalam mengembangkan usaha dan

peluang usaha, peningkatan kerjasama anggota dalam menanggulangi resiko usaha,

perkembangan dalam permodalan kelompok, peningkatan kemampuan kelompok

dalam melakukan analisa, perencanaan dan memonitor sendiri kegiatan yang

dilaku-kan; (3) aspek teknis usaha; optimasi pemanfaatan sarana produksi, peningkatan

produksi dan produktivitas ternak melalui peningkatan kelahiran dan berkurangnya

resiko kematian (Ditjen Peternakan 2002).

Dana program BPLM berasal dari Anggaran Pembangunan dan Belanja

Negara (APBN), penggunaan dana didasarkan pada kepentingan anggota yang

dike-lola oleh kelompok melalui kesepakatan anggota. Anggota kelompok yang menerima

dana bantuan diwajibkan mengembalikan modal pokok pinjaman kepada kelompok

selanjutnya digulirkan pada anggota lain yang belum menerima (Nugroho, 2006).

Format dari BPLM adalah anggaran dekonsentrasi, yakni pendanaan dan rencana

dirancang dari pusat, pengaturan pelaksanaannya diserahkan pada masing-masing

provinsi. Dana bantuan yang telah ditransfer pada rekening kelompok selanjutnya

diperuntukan bagi pembelian sapi potong bibit yang akan dikembang biakan untuk

menghasilkan pedet (Yuwono et al. 2006).

Hasil penelitian Basuno dan Suhaeti (2007) tentang analisis BPLM di provinsi

Sulawesi Selatan sebagai berikut ; 1) kinerja kelompok cukup bervariasi, beberapa

kelompok cukup mempunyai prospek untuk berkembang sedangkan yang lainnya

dinilai sulit berkembang; 2) sistem distribusi bantuan dilakukan secara transparan

(34)

budidaya sudah dikuasai oleh peternak baik dari aspek kesehatan hewan, pemberian

pakan, reproduksi, maupun sistem perkandangan; dan 4) perlu adanya pembinaan

kader lokal sebagai perpanjangan tangan dinas dalam rangka penguatan kelompok

dimasa datang. Rahayu dan Kuswaryan (2006) melaporkan hasil pelaksanaan

program BPLM untuk usaha ternak sapi pembibitan di kecamatan Parigi, Kabupaten

Ciamis Jawa Barat sebagai berikut : 1) program BPLM digulirkan pada bulan

Agustus 2004, dengan memberikan bantuan berupa 2 ekor sapi betina induk senilai

Rp 12.000.000,- dengan target waktu pengembalian 5 tahun, dan bunga 6% per tahun;

2) rata-rata skala usaha 2,73 UT yang terdiri dari 2,06 UT betina 0,36 UT sapi muda

dan 0,31 UT pedet; 3) calving interval yang di peroleh relatif panjang (15 bulan), S/C ratio 2,12 dan masa kosong 4,5 bulan; dan 4) peternak baru bisa melunasi

pinjaman bantuan setelah 8 tahun. Hasil yang diperoleh Yuwono et al. (2006) tentang program BPLM pada berbagai kelompok tani-ternak sapi potong di Jawa

Tengah meliputi : 1) pola perguliran dan kinerja reproduksi menunjukkan variasi

antar kabupaten, dan 2) pelaksanaan program masih belum didukung teknologi yang

memadai, sehingga pada pengembangan programan lebih lanjut perlu adanya

pen-damping teknologi untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan peternak.

2.3.2 Faktor Pendukung Pengembangan Usaha Sapi Potong

Sumberdaya atau faktor-faktor produksi dalam usahatani terdiri dari : 1)

la-han, 2) tenaga kerja, 3) modal, dan 4) manajemen (Soekartawi 1993). Mosher (1991)

menambahkan input faktor produksi berupa bibit, pupuk dan obat-obatan. Menurut

Tejojuwono (1997), dengan semakin sempitnya luas lahan yang dimiliki petani

pedesaan diperlukan adanya kebijakan pemilikan lahan minimal untuk usahatani

ternak agar petani ternak dapat hidup layak.

Tenaga kerja dalam usahatani berasal dari tenaga kerja : manusia (pria,

wani-ta, dan anak-anak), ternak, dan mekanik. Tenaga kerja manusia disetarakan ke dalam

Tenaga Kerja Setara Pria (TKSP), satu tenaga kerja pria dewasa dihitung satu TKSP, satu tenaga kerja wanita dihitung 0,8 TKSP, dan satu tenaga kerja anak-anak

dihitung 0,5 TKSP. Satu hari kerja setara pria (HKP/HOK) adalah satu tenaga kerja

pria yang bekerja selama delapan jam, dan 25 hari kerja per bulan (Hernanto 1996).

Penggunaan modal dalam usahatani-ternak dapat dibedakan menjadi modal tetap

yang sering disebut sebagai modal investasi, dan modal tidak tetap atau modal kerja

(35)

menentukan, mengorganisir, dan mengkoordinasikan faktor-faktor produksi yang

di-kuasai dan mampu memberikan produksi sebagaimana yang diharapkan. Ukuran dari

keberhasilan manajemen adalah produktivitas dari setiap faktor produksi yang

digu-nakan dalam usahatani-ternak yang dijalankan (Hernanto 1996).

Setiawan (2000) mengemukakan konsep LEISA (Low External Input Suisti-nable Agriculture) yang menekankan keterpaduan antar berbagai komponen dengan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia secara efisien, ekonomis dan ramah

ling-kungan, aplikasi secara sederhana menjadi Integrated Farming System (IFS). Konsep ini melibatkan petani-ternak, pendekatan optimalisasi penggunaan bahan

baku yang terdapat di lingkungan sekitar secara terpadu. Salah satu perusahaan yang

sudah mempromosikan dan melaksanakan konsep ini secara komersial adalah CV

Lembah Hijau Multifarm yang melibatkan komoditas ternak sapi sebagai penghasil

pupuk dan Starbio. Penggunaan sumberdaya ditekankan pada efisiensi untuk

meningkatkan pendapatan petani-ternak. Hasil penerapan IFS secara nyata

mening-katkan penggunaan sumberdaya lokal, seperti jerami padi, pucuk tebu, kulit buah

kakao, kulit buah kopi, serat sawit sebagai pakan ternak melalui proses fermentatif

agar mempunyai nilai guna yang lebih baik.

Atmaja dan Atmadilaga (1980) melakukan kajian penggunaan sumberdaya

usahatani-ternak ruminansia di enam kecamatan di daerah pengairan Jati Luhur,

hasil-nya menunjukkan bahwa ternak ruminansia memegang peranan penting dalam

mem-perluas kesempatan kerja dan meningkatkan pendapatan keluarga. Kontribusi usaha

ternak terhadap pendapatan total petani sebesar Rp 195.070, adalah 24.5% per kepala

keluarga per tahun dan dari kegiatan non-usahatani besarnya 23.9%. Kontribusi

pendapatan keluarga dari usaha ternak sebesar 24,5%, dari no-usahatani sebesar

23,9%, dan dari usahatani tanaman sebesar 51,5% dari total pendapatan keluarga per

tahun. Tenaga kerja yang dapat diserap oleh kegiatan usaha ternak sebesar 13%, dari

kegiatan non-usahatani sebesar 11%, dan dari kegiatan usahatani tanaman sebesar

12%.

Penggunaan sumberdaya pemeliharaan ternak sapi dalam sistem usahatani

pada berbagai topografi lahan di kabupaten Agam Sumatera Barat menunjukkan

bahwa, pemanfaatan sumberdaya di tingkat petani belum optimal. Untuk dataran

rendah kepemilikan lahan >0.5 ha penerapan pola usahatani solusi optimal mampu

(36)

konvensional. Untuk dataran tinggi kepemilikan lahan >0.5 ha, pola usahatani solusi

optimal, pendapatan petani-ternak dapat ditingkatkan sebesar 197.2%. Untuk daerah

pegunungan kepemilikan lahan >0.5 ha, pendapatan petani-ternak dapat ditingkatkan

sebesar 181.4% dari pola usahatani yang biasa dijalankan dibandingkan pola

usaha-tani konvensional (Boyon dan Arfa`i 1996).

Faktor-faktor yang menjadi pendorong bagi pengembangan sapi potong

ada-lah; (1) permintaan pasar terhadap daging sapi yang semakin meningkat, (2)

keter-sediaan biomasa yang berasal dari limbah pertanian maupun perkebunan cukup besar,

(3) tersedianya padang pangonan umum berupa savana, stepa dan tundra diluar Jawa,

(4) tersedianya pulau-pulau yang masih kosong ternak dan potensial untuk

pengem-bangan, dan (5) ketesediaan sumberdaya genetik ternak lokal yang sudah beradaptasi

sangat baik dalam lingkungan lembab tropis. Kendala dan peluang pengembangan

peternakan pada suatu wilayah dapat digunakan sebagai acuan dalam menentukan

strategi pengembangan sapi potong diwilayah tersebut (Diwyanto et al. 2005).

Menurut Tawaf dan Kuswaryan (2006), hambatan dalam pengembangan

peternakan sapi potong rakyat antara lain adalah produktivitas yang sangat rendah

yang ditunjukkan oleh : (1) kenaikan berat badan rendah berkisar 0,4 – 0,5 kg/ekor/hr,

(2) skala usaha kecil (berkisar 2 – 4 ekor/petani), (3) pola pemeliharaan masih

tradisional dengan input yang rendah (belum berorientasi ekonomi), dan (4) masih

terkonsentrasi di daerah padat penduduk (pulau Jawa dan Bali). Diwyanto dan

Priyanti (2006) melaporkan bahwa, ada beberapa kelemahan yang cukup mendasar

dalam pengembangan sapi potong antara lain ; sumberdaya manusia yang kurang

produktif dengan tingkat pendidikan yang rendah sehingga kurang mampu

mengadopsi teknologi inovatif serta sulit untuk mengembangkan kelembagaan dan

jaringan bisnis.

Menurut Yusdja et al. (2004), swasembada daging yang dicanangkan tahun 2000 dan berakhir 2004 tidak berhasil, disebabkan oleh beberapa kendala antara lain :

(1) kebijakan program yang dirumuskan tidak disertai dengan rencana operasional

yang rinci, (2) program dan kegiatan yang dibuat bersifat top-down dan berskala kecil dibandingkan dengan sasaran yang ingin dicapai, (3) strategi implementasi program

tidak memperhatikan wilayah unggulan, tetapi lebih berorientasi komoditas unggulan,

(37)

dampak program, dan (5) program dan kegiatan tidak secara jelas memberikan

dam-pak pada pertumbuhan populasi secara nasional.

2.4 Strategi Pengembangan Sapi Potong

Menurut Nawawi (2000), Strategik dalam manajemen diartikan sebagai kiat, cara dan taktik utama yang dirancang secara sistematik dalam melaksanakan

fungsi-fungsi manajemen yang terarah pada tujuan organisasi. Rancangan yang bersifat

strategik dilingkungan sebuah organisasi disebut dengan Perencanaan Strategik. Menurut David (2002) bahwa terdapat tiga tahapan dalam manajemen strategis yaitu:

(1) perumusan strategi meliputi pengembangan potensi, pengenalan peluang dan

ancaman eksternal, menetapkan kekuatan dan kelemahan internal, menetapkan

tujuan, menghasilkan strategi alternatif, dan memilih strategi tertentu untuk

dilaksa-nakan; (2) implementasi strategi, memobilisasi unsur dalam organisasi untuk

melaksanakan apa yang telah dirumuskan; dan (3) evaluasi strategi, terdapat tiga

aktivitas dalam evaluasi strategi : (a) meninjau faktor internal dan eksternal yang

menjadi dasar strategi, (b) mengukur prestasi, dan (c) mengambil tindakan korektif.

Potensi sumberdaya yang tersedia seperti ketersediaan lahan dan pakan,

tenaga kerja, dan ternak yang akan dikembangkan perlu dianalisis dalam

pengem-bangan ternak di suatu daerah. Potensi ini ditentukan oleh tersedianya tanah

perta-nian, kesuburan tanah, iklim, topografi, ketersediaan air, dan pola pertanian yang ada

(Santosa, 2001).

Menurut Gurnadi (1998), untuk mencapai tujuan pengembangan ternak dapat

dilakukan tiga pendekatan, yaitu: (1) pendekatan teknis, meningkatkan kelahiran,

menurunkan angka kematian, mengontrol pemotongan ternak, dan perbaikan genetik,

(2) pendekatan terpadu, menerapkan teknologi produksi, manajemen, pertimbangan

sosial budaya yang tercakup dalam “sapta usaha peternakan” serta pembentukan

kelompok peternak yang bekerja sama dengan instansi-instansi terkait, (3) pendekatan

agribisnis, yang bertujuan untuk mempercepat pengembangan peternakan melalui

integrasi dari ke empat aspek yaitu input produksi (lahan, pakan, plasma nutfah, dan

sumberdaya manusia), proses produksi, pengolahan hasil, dan pemasaran.

Pembangunan peternakan pada masa yang akan datang diharapkan mampu

merubah pandangan peternak dari sistem produksi menjadi sistem agribisnis.

Agribisnis merupakan suatu konsep bahwa pembangunan peternakan merupakan

(38)

hulu (up-stream agribusiness), kegiatan ekonomi yang menghasilkan sapronak (industri pembibitan, industri pakan); (2) sub-sistem agribisnis usaha peternakan (on-farm agribusiness), kegiatan budidaya ternak; (3) sub-sistem agribisnis hilir (down-stream agribusiness), kegiatan ekonomi yang mengolah komoditas peternakan primer menjadi produk olahan (industri pengolahan dan pemasaran); dan (4)

sub-sistem jasa penunjang agribisnis (supporting system), kegiatan yang menyediakan jasa bagi ketiga sub-sistem agribisnis lainnya (Saragih 2000). Dalam konsep PKD

2010 komitmen dasarnya adalah strategi peningkatan produksi dan kesejahteraan

peternak dalam penyediaan pangan, bukannya ketersediaan pangan yang mendukung

peningkatan produksi untuk kesejahteraan peternak. Komitmen ini mengandung

makna bahwa peningkatan produksi dan kesejahteraan peternak merupakan strategi

kunci (Tawaf dan Kuswaryan 2006).

Laporan Ditjen Peternakan (2007b), berisi strategi yang digunakan untuk

pe-ningkatan populasi, produksi dan produktivitas ternak sapi dalam upaya percepatan

pencapaian swasembada daging 2010 adalah : (1) pengembangan sentra pembibitan

dan penggemukan, (2) revitalisasi kelembagaan dan SDM fungsional dilapangan, (3)

dukungan sarana dan prasarana, (4) dukungan finansial, dan (5) pengembangan

wila-yah.

Hasil penelitian Noer (2002), tentang strategi pengembangan agribisnis sapi

potong di kawasan sentra produksi Koto Hilalang kabupaten Agam Sumatera Barat,

menunjukkan beberapa kekuatan sebagai berikut : (1) kawasan dikenal sebagai sentra

pembibitan sapi potong, (2) ketersediaan pos IB, petugas IB dan minat peternak

terhadap IB, (3) tersedianya sarana dan prasarana infra struktur pendukung, (4)

ter-sedianya rumput unggul, lahan yang subur atau hasil sampingan produk tanaman

pangan, (5) iklim dan kondisi yang menunjang, dan (6) umumnya peternak mampu

mendeteksi penyakit cacing dan demam pada ternak sapi. Kelemahan yang ada

berupa : (1) jumlah inseminator dan layanan kurang, (2) tenaga kerja pengelola dan

pengolah lahan terbatas, (3) beternak sebagai usaha sambilan dengan modal terbatas,

(4) peternak tidak mampu mendeteksi penyakit ngorok dan lemah tungkai, (5)

penentuan harga tawar-menawar dan pemasaran rendah, dan (6) inovasi dan inisiatif

lokal belum berkembang. Disamping itu peluang dan ancaman terhadap sapi potong

sebagai berikut, peluang berupa : (1) akses langsung pada BIB, memiliki bibit sapi

(39)

pengawetan hijauan makanan ternak, (3) tambahan jumlah ternak sapi, (4) terjamin

tenaga kesehatan dan obat-obatan, (5) dapat menaksir berat sapi dan kuat dalam

pemasaran, dan (6) sinergi dengan program lain dalam otonomi kebijakan pemerintah

nagari. Ancaman berupa : (1) tidak stabilnya penyediaan bibit dan layanan IB, (2)

stabilitas penyediaan pakan jangka panjang, (3) tenaga kerja dan pengelola terampil

terbatas dengan teknologi sederhana, (4) antisipasi cuaca dan kerjasama dengan

sta-siun BMG tidak ada, (5) persaingan dari daerah lain, dan (6) aturan akses lahan milik

kaum/nagari. Untuk mengatasi masalah ini dirumuskan beberapa strategi

pengem-bangan berupa : (1) investasi/modal usaha terus dikembangkan, (2) memperkuat

kerjasama kelompok peternak sapi potong yang ada di kawasan, (3) peningkatan

keterampilan dan pengetahuan peternak, (4) peningkatan bargaining position peter-nak dalam pemasaran, dan (5) diversivikasi lahan HMT.

Hasil penelitian Dedih (2002), tentang strategi pengembangan ternak sapi

berorientasi agribisnis dalam rangka meningkatkan ketahanan pangan di propinsi

Riau, menunjukkan bahwa, kekuatan yang dimiliki adalah : (1) sesuai dengan budaya

masyarakat, (2) tersedianya rumput dan limbah pertanian, (3) peternak yang terampil,

(4) daya dukung lahan, (5) letak geografis, dan (6) tersedianya teknologi IB. Namun

ada beberapa kelemahan yang perlu diantisipasi berupa : (1) modal terbatas, (2)

produktivitas ternak sapi rendah, (3) bibit sapi (semen beku) tidak terlalu tersedia, (4)

sarana dan prasarana kurang, (5) usaha sambilan, dan (6) lokasi ternak menyebar.

Peluang yang ada berupa : (1) adanya otonomi daerah, (2) dukungan Pemda (kredit),

(3) konsumsi daging naik, (4) harga daging sapi tinggi, (5) pasar lokal dan ekspor,

dan (6) perkembangan teknologi. Ancaman yang dihadapi oleh pengembangan

ter-nak sapi berupa : (1) wabah penyakit menular, (2) produk luar/impor, (3) kondisi POLKAM, (4) pemotongan ternak betina produktif, (5) berlakunya pasar bebas, dan

(6) pemulihan ekonomi. Rumusan strategi pengembangan adalah : (1)

pengembang-an sentra produksi budidaya ternak sapi, (2) melakukpengembang-an pembinapengembang-an terpadu, (3)

membangun sarana dan prasarana usaha, (4) pengembangan sentra penggemukan

ternak sapi, (5) penyediaan modal usaha, dan (6) melakukan kerjasama regional dan

internasional. Supriyadi (2004), menambahkan aspek SDM dan teknologi sebagai

faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pengembangan ternak sapi potong berbasis

(40)

III.

METODOLOGI PENELITIAN

Secara keseluruhan, penelitian ini dilakukan dalam empat tahap, tahap

perta-ma adalah melakukan identifikasi dan analisis potensi pengembangan usaha sapi

potong di kabupaten Lima Puluh Kota. Tahap ke dua, analisis program

pengem-bangan usaha sapi potong. Tahap ke tiga, peningkatan produksi dan pendapatan

usahatani-ternak melalui penerapan teknologi pakan dan pemanfaatan limbah ternak.

Gambar

Gambar 1   Pola usahatani tanaman-ternak di kabupaten Sleman Yogyakarta
Gambar  3    Dekomposisi masalah
Gambar 4   Tahapan sistematis kegiatan penelitian
Tabel  5   Luas kabupaten Lima Puluh Kota berdasarkan kecamatan dan jumlah                 penduduk
+7

Referensi

Dokumen terkait

Struktur Hirarki Strategi Pengembangan Sapi Potong di Kabupaten Gorontalo Lembaga Pembiayaan DKPP Kab.Gorontalo Peternak Motivasi Usaha Kebijakan Pemerintah Karakteristik

Strategi yang dapat dilakukan dalam usaha pengembangan sapi potong - integrasi dengan perkebunan kelapa sawit adalah memanfaatkan pabrik kelapa sawit untuk mengolah limbah

P enelitian ini bertujuan untuk “ Menganalisis perkembangan usaha pembibitan sapi potong kelompok Tani – Ternak Setia Kawan setelah menerima pinjaman KKPE dan menganalisis

Strategi Pengembangan Usaha Peternakan Sapi Potong Dengan Paradigma Agribisnis?. Universitas

Dalam usaha penggemukan sapi potong, produksi didekati berdasarkan pertambahan bobot badan sapi, sedangkan faktor-faktor produksi yang diduga mem- pengaruhi

Hasil analisis menunjukkan bahwa alternatif strategi utama yang dapat diterapkan dalam mengembangkan usaha penggemukan sapi potong yaitu mengoptimalkan dan mengembangkan

Dalam usaha penggemukan sapi potong, produksi didekati berdasarkan pertambahan bobot badan sapi, sedangkan faktor-faktor produksi yang diduga mem- pengaruhi

Untuk meningkatkan status keberlanjutan kawasan di wilayah basis peternakan di Kabupaten Lima Puluh Kota adalah skenario progesif-optimistik dengan melakukan