• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEDUDUKAN SAKSI DALAM MENCIPTAKAN PERADILAN PIDANA YANG BEBAS KORUPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KEDUDUKAN SAKSI DALAM MENCIPTAKAN PERADILAN PIDANA YANG BEBAS KORUPSI"

Copied!
1
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal ANTI KORUPSI – Vol. 2 No. 2 Nopember 2012 – PUKAT FHUJ

~ 41 ~

KEDUDUKAN SAKSI DALAM MENCIPTAKAN PERADILAN PIDANA

YANG BEBAS KORUPSI

Oleh: Dr. Nurul Ghufron, S.H., M.H.

Dosen Bagian/Jurusan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Jember

Abstrak

Saksi dalam sistem peradilan pidana dipandang secara fungsional yaitu keterangannya merupakan alat bukti hukum. Pandangan ini terlihat sejak KUHP hingga Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban. Kenyataanya saksi hingga saat ini masih tidak cukup terlindungi. Intimidasi bahkan serangan hukum balik banyak dialami saksi. Ketidakterlinduginya saksi menyebabkan peradilan pidana tidak dapat mengungkapkan kebenaran materiil yang diharapkan untuk memberikan keadilan. Bahkan peradilan pidana banyak jatuh pada peradilan yang korup. Selain secara fungsional perlu juga dikaji secara struktural. Dengan pendekatan masalah bagaimana kedudukan saksi dalam sistem peradilan pidana Indonesia dan konsep apa yang sebaiknya digunakan kedepan. Diharapkan dengan menemukan kedudukan saksi selayaknya dengan konnsekwensi hukum sesuai kedudukan tersebut. Sehingga secara aplikatif dapat dijadikan dasar untuk memberikan perlindungan bagi saksi dan peradilan pidana dapat mencapai kebenaran materiil. Sehingga secara filosofis penelitian ini berkontribusi dalam menciptakan peradilan yang adil dan menghindarkan dari penyelewengan. Penelitian ini dilakukan dengan metode normatif berdasarkan konstitusi, peraturan perundang-undangan dan praktek diperadilan. Serta dengan membandingkan dengan sistem peradilan pidana negara lain dan perkembangan sistem hukum internasional.

Kedudukan saksi dalam sistem peradilan pidana Indonesia sesungguhnya berkonfigurasi dari hanya sebagai adalah supporting sistem yaitu sebagai alat bukti sampai sebagai partisipasi warga negara dalam penegakan hukum. Hal ini terjadi karena rentang pengaturan yang relatif panjang mulai zaman revolusi industri hingga zaman globalisasi dewasa ini. Sehingga dalam praktek keberadaan saksi menjadi ambigu utamanya terhadap serangan hukum sangat tidak terlindungi. Dimasa yang akan datang semestinya saksi dikuatkan dalam kedudukannya sebagai partispasi warga negara penyandang hak dan kewajiban. Partisipasi menghendaki kesamaan posisi yang artinya saksi selayaknya menjadi bagian dari sistem peradilan pidana, dengan posisi demikian diharapkan dari saksi akan terungkap keterangan lebih obyektif. Hal ini berkonsekwensi merubah pandangan bahwa bersaksi adalah wajib menjadi keseimbangan antara berhak atas keadilan dan berkewajiban berparsipasi dalam sistem peradilan pidana sesuai konsep negara hukum Pancasila yang demokratis. Pendekatan pendekatan kriminalisasi juga diganti menuju penghargaan. Konsekuensinya bagi seorang saksi yang juga tersangka (whistleblower) antara sanksi pidana yang seharusnya ia tanggung dapat dipertukarkan dengan penghargaan yang seharusnya ia terima. Hal ini dapat dijadikan landasan yuridis untuk memberikan pembebasan bagi saksi tersangka yang membongkar kejahatannya. Berbeda dengan konsep protection of cooperating person di Amerika dan PBB yang dilandasi dengan dasar konsep “melepas teri untuk menangkap kakap” yang menempatkan saksi sebagai umpan.

Kata Kunci: saksi, kebenaran, partispasi.

I.

Pendahuluan

1.1

Latar Belakang

Referensi

Dokumen terkait

1. Bentuk dan Praktek Perlindungan Hukum yang diberikan pada saksi dalam Perkara tindak Pidana Korupsi di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Pengadilan Negeri

1. Bentuk dan Praktek Perlindungan Hukum yang diberikan pada saksi dalam Perkara tindak Pidana Korupsi di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Pengadilan Negeri

1. Bentuk dan Praktek Perlindungan Hukum yang diberikan pada saksi dalam Perkara tindak Pidana Korupsi di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Pengadilan Negeri

(3) Kendala penggunaan saksi: (a) Kendala pada Terdakwa yang tidak bersedia menjadi saksi mahkota, karena takut perbuatannya akan terungkap di pemeriksaan pengadilan; (b)

11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), kedudukan anak dapat dibagi ke dalam tiga golongan, yaitu anak yang berkonflik dengan hukum (anak

Putusan tersebut juga menimbulkan beberapa dampak dalam hukum acara pidana di Indonesia, jika ternyata saksi adalah tidak harus orang yang melihat, mendengar, dan

Tim Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta, Mewujudkan Perlindungan Saksi dan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia, LPSK.Gedung Perintis Kemerdekaan,

Tim Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta, Mewujudkan Perlindungan Saksi dan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana Di.. Indonesia , LPSK.Gedung Perintis Kemerdekaan,