• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM PROSES PERADILAN PIDANA KASUS KORUPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM PROSES PERADILAN PIDANA KASUS KORUPSI"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

Derry Rama Putra

ABSTRAK

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM PROSES PERADILAN PIDANA KASUS KORUPSI

Oleh

DERRY RAMA PUTRA

Hukum pidana di Indonesia mengatur tentang kajian saksi berkaitan dengan pembuktian perkara pidana atau hukum pembuktian. Ini berarti cakupan kajiannya terbatas, yakni bagaimana memberikan perlindungan kepada orang yang berhak memberikan kesaksian dalam perkara pidana dari ancaman, intimidasi atau pembalasan yang menyebabkan saksi tidak dapat memberikan kesaksian secara bebas dan benar. Perlindungan saksi akan memberikan jaminan untuk memberikan kesaksian-kesaksian yang benar sebagai wujud dari penegakan hukum dan keadilan, khususnya perlindungan terhadap saksi pelapor. Keberadaan saksi dalam proses pengadilan merupakan alat vital karena putusan pengadilan yang berkualitas tidak lepas dari pertimbangan hukum tentang saksi secara kuantitas dan kualitas baik dalam tahap penyidikan maupun dalam tahap penuntutan selama masa proses peradilan berlangsung. Dalam hal perlindungan saksi korupsi, saksi mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan yang meliputi perlindungan atas keamanan pribadi dan keluarganya dari ancaman fisik atau psikologis, yang berkenaan dengan kesaksian yang akan atau telah diberikan dalam suatu perkara pidana, bantuan hukum, informasi mengenai putusan pengadilan, biaya yang timbul untuk hadir di pengadilan. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana bentuk dan praktek perlindungan hukum yang diberikan kepada saksi dalam proses peradilan pidana korupsi di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung dan Pengadilan Negeri Tanjung Karang, dan faktor-faktor penghambat yang dihadapi oleh aparat di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung dan Pengadilan Negeri Tanjung Karang dalam memberikan perlindungan hukum terhadap saksi dalam proses peradilan pidana kasus korupsi.

(2)

dengan cara memeriksa dan mengoreksi data, setelah itu data diolah dan diadakan analisis secara kualitatif.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, bahwa bentuk dan praktek perlindungan saksi dalam perkara tindak pidana korupsi di Kejaksaan Negeri bandar Lampung dan Pengadilan Negeri Tanjung Karang dalam memberikan perlindungan hukum adalah selalu merujuk pada Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban. Perlindungan diberikan dari tahap penyidikan dimulai hingga dalam proses ditingkat persidangan, perlindungan diberikan tidak hanya terhadap ancaman atau intimidasi kepada saksi saja tetapi perlindungan juga diberikan terhadap keluarga saksi. Diperlukan inisiatif dari jaksa yang dibantu oleh lembaga perlindungan saksi dan aparat keamanan untuk nantinya membaca apakah saksi perlu dilindungi sementara atau sampai identitaasnya dirahasiakan. Inisiatif yang dilakukan jaksa adalah memberikan pengamanan secara fisik terhadap saksi dalam proses persidangan di pengadilan saja, tetapi diluar pengadilan jaksa tidak dapat menjamin saksi sepenuhnya. Dalam proses ditingkat persidangan di pengadilan Hakim tidak dapat berperan langsung, hakim hanya dapat menginstruksikan kepada jaksa untuk melindungi saksi. Hakim hanya menjamin saksi tidak akan mendapatkan intimidasi selama saksi dalam persidangan. Faktor-faktor penghambat yang dihadapi oleh Aparat Kejaksaan Negeri Bandar Lampung dan Pengadilan Negeri Tanjung Karang adalah kurangnya biaya dalam memberikan perlindungan terhadap saksi, kurangnya informasi yang diberikan pihak kepolisian atau penegak hukum lainnya terhadap saksi tentang Peraturan Perundang- undangan yang berkaitan dengan kepentingan saksi, serta kurangnya pemahaman saksi yang berasal dari masyarakat awam tentang keberadaan saksi sendiri.

(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia salah satu dari Negara berkembang yang perlu untuk melaksanakan pembangunan di segala bidang. Pembangunan bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur baik spiritual maupun material yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Untuk mencapai tujuan, maka bangsa Indonesia perlu melakukan pembangunan di segala bidang khususnya bidang hukum meliputi penertiban badan-badan penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenangnya masing-masing, meningkatkan kemampuan dan kewibawaan aparat penegak hukum ke arah tegaknya hukum, ketertiban dan kepastian hukum.

(4)

triliyun. Jumlah tersebut meningkat dibandingkan 2006 yang hanya 125 kasus dan estimasi kerugian Negara rnencapai Rp 5,3 triliyun. Dari fakta tersebut dapat disimpulkan bahwa sepanjang tahun kuantitas kasus korupsi relatip memang tidak banyak berubah tetapi kualitas justru banyak meningkat pesat. Kasus korupsi di Indonesia :

Tabel 1. Tindak Pidana Kasus Korupsi pada tahun 2007 – 2009 di Indonesia Tahun Jumlah kasus Estimasi Kerugian

2007 161 Rp. 14,4 triliyun

2008 182 Rp. 22,3 triliyun

2009 191 Rp. 38,4 triliyun

Sumber; ICW www. Perpustakaan.Bappenas.go.id

Korupsi di Indonesia merupakan masalah yang sangat sentral dalam kurun waktu pembangunan dewasa ini. Korupsi merupakan wabah penyakit masyarakat yang tidak mudah untuk segera dicegah dan diberantas. Memberantas korupsi juga lebih berat dan tidaklah semudah mengatakannya. Hambatan yang paling utama adalah adanya kekuasaan dari pelakunya yang kebanyakan mempunyai kedudukan, jabatan, kewenangan. Tentang hal ini Bambang Pernomo (1984 : 64 ) mengungkapkan sebagai berikut:

(5)

3

Ilham Gunawan ( 1990 : 64 ) memberikan gambaran lebih jelas mengenai korupsi yaitu ;

“Menurut pengertian umum istilah korupsi juga korup apabila seorang pegawai atau pejabat menerima pemberian yang disodorkan kepadanya oleh seorang swasta dengan maksud mempengaruhinya agar memberikan perhatian istimewa kepada kepentingan-kepentingan sang pemberi. Kadang kala perbuatan penawaran pemberian seperti itu atau hadiah lain yang menggoda juga mencakup dalam konsep-konsep tersebut” ( Ilham gunawan, 1990 : 64 ).

UU No. 31 tahun 1999 jo No. 20 tahun 2001 Tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memuat definisi tentang korupsi, yaitu terdapat dalam pasal dua (2) yaitu tentang penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Dan Pasal (3) yaitu pemberantasan tindak pidana korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan pemberantasan tindak pidana korupsi, melalui koordinasi supervise, monitor, penyelidik, penyidik, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Dari berbagai perbuatan yang dilarang dalam korupsi tersebut dapat diperoleh sifat umum bahwa perbuatan pidana korupsi berkaitan dengan beberapa hal :

1. Perbuatan tersebut berkaitan dengan kepercayaan/ amanah yang dipercayakan.

2. Perbuatan tersebut menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain atau korupsi.

(6)

Bentuk tindak pidana korupsi dalam KUHP dimasukan dalam kejahatan jabatan yang diatur dalam BAB XXVIII, antara lain :

a. Kejahatan penyuapan

1) Penyuapan aktif : Pasal 209 dan 210 KUHP 2) Penyuapan pasif : Pasal 418,416,417 KUHP b. Kejahatan penggelapan

c. Kejahatan kerakusan

d. Kejahatan yang berhubungan dengan pemborongan

Di dalam kehidupan sosial masyarakat dijumpai beberapa bentuk korupsi yang antara lain adalah : penyuapan, pemerasan, penggelapan, manipulasi, persekongkolan atau nepotisme. Istilah-istilah diatas menunjuk pada prilaku korupsi yang berbeda yang disertai dengan variasi cara ( tekhnik ) sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang dapat dimanfaatkan bagi prilaku-prilaku korupsi.

(7)

5

Perihal Suap ini juga diatur dalam UU No. 11 tahun 1980 tentang tindak Pidana Suap-menyuap. Eksistensi Undang-undang ini adalah untuk memperkuat kejahatan jabatan sebagaimana dimuat dalam KUHP. Berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang ini baik yang menyuap dan menerima suap dapat dipidana sehingga sangat sulit membuktikan telah terjadi suatu tindak pidana suap karena yang menerima suap takut melaporkan. Sedangkan dalam sistem peradilan telah berkembang dan dianut eksistensi Lembaga Perlindungan Saksi dimana saksi pelapor wajib dilindungi secara hukum.

Kajian tentang saksi berkaitan dengan pembuktian perkara pidana atau hukum pembuktian. Ini berarti cakupan kajiannya terbatas, yakni bagaimana memberikan perlindungan kepada orang yang berhak memberikan kesaksian dalam perkara pidana dari ancaman, intimidasi atau pembalasan yang menyebabkan saksi tidak dapat memberikan kesaksian secara bebas dan benar. Perlindungan saksi akan memberikan jaminan untuk memberikan kesaksiankcsaksian yang benar sebagai wujud dari penegakan hukum dan keadilan. Khususnya perlindungan terhadap saksi pelapor. Keberadaan saksi dalam proses pengadilan merupakan alat vital karena putusan pengadilan yang berkualitas tidak lepas dari pertimbangan hukum tentang saksi secara kuantitas dan kualitas.

(8)

ayat (1)). Adapun yang disebut sebagai saksi pelapor adalah orang yang memberikan informasi kepada penegak hukum mengenai suatu tindak pidana.

Dalam Pasal 2 Undang-Undang No.13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban menyebutkan bahwa Perlindungan pada saksi dan korban diberikan dalam tahap proses peradilan pidana dalam lingkungan peradilan.

Perlindungan saksi korupsi dalam pasal 15 UU No 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan bahwa KPK berkewajiban memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan atau memberikan keterangan mengenai tindak pidana korupsi. Perlindungan itu meliputi pemberian jaminan keamanan dengan meminta bantuan dari kepolisian atau mengganti identitas pelapor atau melakukan evakuasi termasuk melakukan perlindungan hukum.

(9)

7

Di Indonesia sudah terealisasi Undang-Undang yang mengatur lebih jelas dan tegas tentang perlindugan saksi dan korban, tetapi seringkali dilapangan status hukumnya kurang diakui. Banyak saksi dari kasus Korupsi melapor namun kemudian dapat dituntut balik sehingga saksi berubah status hukumnya menjadi tersangka. Saksi kerap mendapat ancaman keselamatan dan keamanan fisik yang lebih serius. Nasib para saksi ternyata tidak lebih baik dari mereka yang dilaporkan. Undang - undang tentang saksi telah di undangkan tetapi belum tersosialisasi dikalangan masyarakat luas/umum.

Dengan adanya lembaga perlindungan saksi, seharusnya saksi tidak dapat dituntut lagi. Pasal - pasal tentang perlindungan saksi hanya indah didengar saja. Belum ada realisasi yang tegas dan jelas dalam prakteknya.

Permasalahan di atas menarik untuk diteliti. Karenanya penulis tertarik melakukan penelitian tentang: “Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Dalam Proses Peradilan Pidana Kasus Korupsi”

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut permasalahan yang akan di teliti sebagai berikut :

(10)

2. Apakah faktor penghambat yang dihadapi oleh aparat dalam memberikan perlindungan hukum terhadap saksi dalam proses peradilan pidana kasus korupsi (di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung dan Pengadilan Negeri Tanjung Karang) ?

2. Ruang Lingkup

Berdasarkan permasalahan yang diajukan, agar tidak terjadi kerancuan dan meluasnya permasalahan, maka ruang lingkup penulisan skripsi ini dibatasi pada bagaimanakah proses perlindungan hukum yang diberikan terhadap saksi dalam proses peradilan pidana kasus korupsi di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung dan Pengadilan Negeri Tanjung Karang.

C. Tuiuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada latar belakang dan Rumusan yang telah penulis uraikan diatas, Penelitian ini bertujuan:

a. Untuk mengetahui bentuk dan praktek perlindungan hukum yang diberikan kepada saksi dalam proses peradilan pidana kasus korupsi di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung dan Pengadilan Negeri Tanjung Karang.

(11)

9

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis : a. Secara Teoritis

Menambah dan mendalami ilmu pengetahuan serta sebagai sumbangsih pemikiran dalam pengembangaan ilmu hukum pada umumnya dan hukum pidana secara khususnya, tentang perlindungan hukum terhadap saksi dalam proses peradilan pidana kasus korupsi.

b. Secara Praktis

1. Untuk memperluas pengetahuan mengenai perlindungan saksi dalam proses peradilan pidana kasus korupsi yang juga dapat dijadiakan sumber bacaan dan informasi bagi masyarakat yang ingin mengetahui lebih dekat tentang perlindungan Saksi dan Korban.

2. Berguna sebagai salah satu syarat akademis agar dapat memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Lampung

D. Kerangka teoritis dan konseptual

1. Kerangka Teoritis

Teori merupakan tujuan akhir dari ilmu pengetahuan. Hal tersebut dapat dimaklumi, karena batasan dan sifat hakikat suatu teori adalah “... seperangkat

konstruk ( konsep ), batsan, dan proposisi yang menyajikan suatu pandangan sistematis tentang fenomena dengan merinci hubungan – hubungan antar variabel, dengan tujuan menjelaskan dan memprediksikan gejala itu”. ( Fred N. Kerlinger,

(12)

Kerangka teoritis adalah kerangka - kerangka yang sebenar - benarnya merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan kesimpulan terhadap dimensi - dimensi sosial yang relevan untuk penelitian ( Soerjono Soekanto, 1986 : 124 ).

Setiap penelitian selalu disertai dengan pemikiran - pemikiran teoritis. Hal ini karena adanya hubungan timbal balik yang kuat antara teori dengan kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis, dan konstruksi data.

Saksi sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 26 KUHP dalam memberikan keterangan di muka pengadilan wajib mendapatkan perlindungan saksi. Perlunya saksi dan korban mendapatkan perlindungan baik dari aspek keamanan, medis, sosial, psikologis, serta pinansial tidak terbantahkan.

Kebutuhan perlindungan saksi sebenarnya sudah direspon dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia khususnya dalam Pasal 34 yang menentukan bahwa saksi dan korban pelanggaran HAM berat berhak mendapatkan perlindungan fisik dan mental dari ancaman gangguan teror, dan kekerasan dari penegak hukum dan aparat keamanan secara cuma-cuma. Sebagai tindak lanjut dari ketentuan tersebut dikeluarkan pula peraturan pelaksanaan dalam bentuk Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang tata cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi Pelanggaran Hak Asasi Manusia berat.

(13)

11

Undang - Undang Perlindungan Saksi dan Korban yaitu Undang - Undang No.13 tahun 2006 yang sisi substansinya sudah memasukkan aspek - aspek teknis kelembagaan dan prosedur untuk melaksanakan perlindungan saksi dan korban.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang - Undang No. 13 Tahun 2006 tentang perlindungan Saksi dan Korban ditentukan bahwa setiap aparat penegak hukum atau instansi terkait wajib memberikan perlindungan saksi dalam perkara pidana. Dalam hal ini Penyidik ( Polisi ), Penuntut Umum ( Jaksa ), dan Pengadilan (Hakim ) dituntut untuk bisa memberikan perlindungan terhadap saksi.

Bentuk - bentuk perlindungan yang diberikan terhadap saksi sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang - Undang Perlindungan Saksi dan Korban adalah :

a. Perlindungan atas keamanan pribadi dan keluarganya dari ancaman fisik atau psikologis, yang berkenaan dengan kesaksian yang akan atau telah diberikan dalm suatu perkara pidana.

b. Bantuan hukum

c. Informasi mengenai putusan pengadilan d. Biaya yang timbul untuk hadir di pengadilan

(14)

saksi, serta kurangnya pemahaman saksi secara umum atau saksi yang berasal dari masyarakat awam tentang keberadaan saksi sendiri.

2. Konseptual

Konseptual adalah gambaran tentang hubungan antara konsep – konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang berkaitan dengan istilah yang hendak diteliti ( Soerdjono Soekanto, 1986 : 132 ).

Untuk menghindari kesalapahaman dalam penulisan skripsi ini penulis akan memberikan beberapa batasan konsep yang bertujuan untuk menjelaskan istilah yang digunakan dalam penulisan skripsi ini. Adapun definisi konseptual atau istilah – istilah yang digunakan :

a. Analisis, yaitu usaha untuk meneliti, memahami dan mempelajari pokok masalah tertentu serta membuat kesimpulan dari kegiatan tersebut (Soerdjono Soekanto, 1984 : 31 )

b. Saksi adalah seseorang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri ( Pasal 1 angka 26 KUHAP ). c. Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan

untuk memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini ( Pasal 1 ayat ( 6 ) Undang – Undang Nomor 13 Tahun

(15)

13

d. Penyelidikan adalalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara -cara yang diatur dalam undang-undang ini ( Pasal 1 butir 5 Kitab Undang –

undang Hukum Acara Pidana ).

e. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (Pasal 1 butir 2 Kitab Undang –

undang Hukum Acara Pidana ).

f. Tindak Pidana Korupsi adalah setiap orang yang secara sadar melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara ( Pasal 2 UU No. 31 tahun 1999).

(16)

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini memuat uraian secara keseluruhan yang akan disajikan dengan tujuan agar pembaca dapat dengan mudah memahami dan memperoleh gambaran menyeluruh tentang skripsi ini. Sistematika tersebut dapat diperinci sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan gambaran umum tentang arah, maksud, dan tujuan dari penulisan skripsi ini, yang terdiri dari latar belakang penulisan skripsi ini, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan skripsi.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab tinjauan pustaka ini penulis memberikan tinjauan umum tentang Tindak Pidana korupsi dengan fokus pembahasan berkaitan dengan Keberadaan saksi dalam hal perlindungan fisik dan mental.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini menguraikan metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini, yaitu langkah – langkah atau cara yang dipakai dalam penelitian yang memuat tentang pendekatan masalah, sumber dan jenis data, populasi dan sample, metode pengumpulan dan pengolahan data serta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

(17)

15

Dalam Peradilan Pidana Kasus Korupsi, Praktek Perlindungan Saksi Dalam perkara Kasus Korupsi, Tata Cara Perlindungan Saksi Menurut Per uu,. Tata Cara Perlindungan yang diberikan pada Saksi dan korban menurut UUPS serta hambatan-hambatan Yang dihadapi Kejaksaan Tinggi Lampung, Pengadilan Tinggi Lampung, Dalam Memberikan Perlindungan pada Saksi Terhadap Kasus Korupsi, sub bab ini merupakan Hasil temuan penulis berdasarkan wawancara, dokumen dan data pendukung lainya yang berkaitan dengan berbagai upaya dan faktor pendukung factor serta penghambat dalam mengembalikan uang Negara. Kemudian data-data tersebut dianalisis sebagai pembahasan.

V. PENUTUP

(18)

DAFTAR PUSTAKA

Hamzah, Andi. 2001. Hukum Acara Pidana. Sinar Grafika. Jakarta Poernomo, Bambang. 1984. Pertumbuhan Hukum Penyimpangan di luar

Kodifikasi Hukum Pidana. PT. Bina Aksaara. Jakarta

Moertokusumo, Sudikno. 1998. Hukum Acara Perdata Indonesia. Liberty. Yogyakarta

Subekti. 1983. Hukum Pembuktian. Prayada Paramita. Jakarata

Supramono, Gatot. 1997. Tindak Pidana Korupsi di Bidang Perkeriditan. Alumni. Bandung

Nasution, Karim. 1975. Masalah Hukum dalam Proses Pidana. Rajawali Press. Jakarta

(19)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Saksi Sebagai Alat Bukti dan perlindungan Hukumnya

1. Pengertian Saksi

Selanjutnya dapat dikemukakan adanya batasan nilai suatu kesaksian yang berdiri sendiri dari seorang saksi yang disebut unus testis nullua testis (satu saksi

bukan saksi). Hal ini dapat dibaca pada Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang

menyatakan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.

Dalam Pasal 1 angka 26 KUHAP menyatakan:

“Saksi adalah seseorang dapat memberikan keterangan guna kepentingan

penyidikan, penuntutan dan peradilan suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”.

(20)

Saksi sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 26 KUHAP dalam memberikan keterangan dimuka pengadilan wajib diberikan perlindungan saksi. Perlunya saksi dan korban mendapatkan perlindungan baik dari aspek keamanan, medis, sosial, psikologis, serta finansial agaknya sudah tidak terbantahkan.

Kebutuhan perlindungan saksi sebenarnya sudah direspon dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia khususnya dalam pasal 34 yang menentukan bahwa saksi dan korban pelanggaran HAM berat berhak mendapatkan perlindungan fisik dan mental dari ancaman gangguan teror, dan kekerasan dari penegak hukum dan aparat keamanan secara cuma-cuma. Sebagai tindak lanjut dari ketentuan tersebut dikeluarkan pula peraturan pelaksanaan dalam bentuk Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi Pelanggaran Hak Asasi Manusia berat.

Pada umumnya semua orang dapat menjadi saksi, kecuali mereka yang tercantum dalam Pasal 186 KUHAP, yaitu:

a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.

b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka mempunyai hubungan perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sarnpai derajat ketiga.

(21)

19

Pasal 171 KUHAP menambahkan pengecualian dengan:

1. Anak dibawah umur belum cukup umur dan belum pernah kawin.

2. Orang yang sakit ingatannya atau sakit jiwa meskipun ingatannya baik kembali.

Mereka ini tidak dapat dipertanggung jawabkan secara sempurna dalam hukum. Keterangan karena hanya dipakai sebagai petunjuk saja.

Ketentuan diatas adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang. Untuk dapat menjatuhkan hukuman diisyaratkan terpenuhi dua syarat, yaitu:

1. Alat bukti yang sah ( WETTIGE BEWIJSMIDDELEN ) 2. Keyakinan Hakim ( OVERTUIGING DES RECHTERS )

Pertama dan kedua satu sama lain berhubungan sedemikian rupa, dalam arti bahwa yang disebut terakhir adalah dilahirkan dari yang pertama yaitu adanya keyakinan yang sah atau keyakimn yang diperoleh dari alat-alat bukti yang sah.

Karim Nasution menyatakan bahwa jika hakim atas dasar alat-alat bukti yang sah telah yakin bahwa pengakaman dan keadaan telah dapat diterima, bahwa tindak pidana benar-benar telah terjadi dan terdakwa dalam hal tersebut bersalah, maka terdapatlah bukti yang sempurna, yaitu bukti sah dan meyakinkan.

(22)

Alat bukti didalam yang dimaksud dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah sebagai berikut:

Alat bukti yang sah adalah: a. Keterangan saksi

b. Keterangan ahli c. Surat

d. Petunjuk

e. Keterangan terdakwa

Seperti diketahui dalam pembuktian tidaklah mungkin dan dapat tercapai kebenaran mutlak (absolut). Semua pengetahuan kita hanya bersifat relatif, yang didasarkan pengalaman, penglihatan dan pemikiran yang tidak selalu pasti benar. Keterangan saksi adalah merupakan satu dari lima alat bukti yang dibutuhkan dalam mengungkapkan perkara pidana. Dalam Pasal 185 KUHAP menyebutkan: “Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang

pengadilan”.

Keterangan saksi harus diberikan atau dibacakan dimuka persidangan agar hakim dapat menilai bahwa keterangan yang diberikan oleh saksi tidak keterangan palsu.

(23)

21

atau instansi terkait wajib memberikan perlindungan saksi dalam perkara pidana.

2. Syarat-syarat kesaksian sebagai alat bukti

Ada beberapa syarat yang harus melekat pada keterangan itu supaya dapat mempunyai nilai sebagai alat bukti yang sah. Seandainya syarat-syarat itu telah terpenuhi, barulah keterangan itu mempunyai nilai sebagai alat bukti.

Agar suatu kesaksian mempunyai kekuatan sebagai alat bukti, maka harus mempunyai syarat-syarat sebagai berikut:

a. Syarat Obyektif:

1) Tidak boleh bersama-sama sebagai terdakwa 2) Tidak boleh ada hubungan keluarga

3) Mampu bertanggung jawab, yakni berumur 15 tahun atau sudah pernah kawin atau tidak sakit ingatan.

b. Syarat Formal:

1) Kesaksian harus diucapkan dalam sidang

2) Kesaksian tersebut harus diucapakan di bawah sumpah 3) Tidak dikenai asas unus testis nullus testis

c. Syarat Subyektif/material:

1) Saksi menerangkan apa yang ia dengar, ia lihat dan yang ia alami sendiri 2) Dasar-dasar atau alasan mengapa saksi tersebut melihat, mendengar dan

(24)

Pasal 170 KUHAP menyebutkan bahwa mereka karena pekerjaan, harkat, martabat, atau jabatannya diwujudkan menyimpan rahasia dapat mengajukan permintaan untuk dibebaskan dari kewajiban memberikan keterangan sebagai saksi. Menurut penjelasan pasal tersebut, pekerjaan atau jabatan yang menentukan adanya kewajiban menyimpan rahasia ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.

Dalam Pasal 171 KUHAP ditambahkan pengecualian untuk memberikan kesaksian dibawah sumpah ialah:

a. Anak yang belum cukup lima belas tahun (15) dan belum pernah kawin.

b. Orang yang sakit ingatannya atau sakit jiwa meskipun ingatannya baik kembali.

Dalam Pasal 160 ayat (3) KUHAP dikatakan bahwa sebelum memberikan keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menumt agamanya masing-masing bahwa ia memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dan tidak lain dari yang sebenar-benarnya.

Pengucapan sumpah itu merupakan syarat mutlak, dapat dibaca dalam Pasal 161 ayat (1) dan (2) KUHAP sebagai berikut:

“Dalam hal saksi atau ahli tanpa alasan yang sah menolak untuk bersumpah atau

(25)

23

“Dalam hal tenggang waktu penyanderaan tersebut telah lampau dan saksi atau

ahli tidak mau disumpah atau mengucapkan jauji, maka keterangan yang telah diberikan merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim” (ayat

(2)).

Penjelasan Pasal 161 ayat (2) menunjukkan bahwa pengucapan sumpah merupakan syarat mutlak:

“Keterangan saksi atau ahli yang tidak disumpah atau mengucapkan janji tidak

dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah, tetapi hanyalah merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim”.

Ini berarti tidak merupakan kesaksian menurut Undang-undang, bahkan juga tidak merupakan petunjuk, karena hanya dapat memperkuat keyakinan hakim. Sedangkan kesaksian atau alat bukti yang lain merupakan sumber atau dasar keyakinan hakim.

Agak lain bunyi Pasal 165 ayat (7) KUHAP yang menyatakan “keterangan saksi

yang tidak disumpah meskipun sesuai dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti yang sah yang lain”.

(26)

3. Perlindungan Hukumnya

Perlindungan Hukum menurut UU No 13 tahun 2006 Tentang perlindungan Saksi dan korban. Beberapa tahun ini telah dirasakan perlunya sistem perlindungan terhadap saksi. Masalah ini terutama dilatar belakangi kesulitan yang dialami penegak Hukum dalam menentukan dan mencari penjelasan tentang tindak pidana yang terjadi karena tidak dapat menghadiri saksi disebabkan adanya ancaman, baik fisik maupu fisikis dari pihak tertentu. Selain itu juga didasari pemikiran bahwa selama ini tidak disediakan hak-hak untuk saksi sebagaimana tersangka atau terdakwa diberikan hak-hak tersendiri. Didalam praktekpun ada masalah mengenai pihak mana yang bertanggung jawab atas keselamatan saksi. UU No 13 tahun 2006 Pasal 28 Bab IV Tentang Syarat dan Tata Cara Perlindungan dan Bantuan. Pasal 28 Menyebutkan perjanjian Perlindungan LPSK terhadap saksi dan / atau korban tindak pidana sebagai mana dimaksud dalam Pasal V Ayat (2) diberikan dengan pertimbangan Syarat sebagai berikut :

a. Sifat pentingnya keterangan saksi dan/ atau korban;

b. Tingkat ancaman yang membahayakan saksi dan/atau korban

c. Hasil Analisis tim medis atau psikolog terhadap saksi dan/ atau korban d. Rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan oleh saksi dan/atau korban

Tata cara memperoleh perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sebagai berikut;

(27)

25

b. LPSK segera melakukan pemeriksaan terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada hurup a;

c. Keputusan LPSK diberikan secara tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari sejak permohonan diajukan.

Dalam hal LPSK menerima permohonan saksi dan /atau korban sebagaimana dimaksud dalam pasal 29, saksi dan/atau korban menandatangani pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan saksi dan korhan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 (satu) memuat :

a. Kesediaan saksi dan atau korban untuk memberikan kesaksian dalam proses peradilan;

b. Kesediaan saksi dan/atau korban untuk menaati aturan yang berkenaan dengan keselamatanya.

c. Kesediaan saksi dan/atau korban untuk tidak berhubungan dengan cara apapun dengan orang lain atas persetujuan LPSK, selama ia berada dalam perlindungan LPSK;

d. Kewajiban saksi dan / atau korban untuk tidak memberitahukan kepada siapa pun mengenai keberadaanya dibawah perlindungan LPSK; dan

e. Hal-hal yang dianggap perlu oleh LPSK

(28)

a. Saksi dan/ atau korban meminta agar perlindungan terhadapnya dihentikan dalam hal permohonan diajukan atas inisiatif sendiri;

b. Atas permintaan pejabat yang berwenang dalam hal permintaan perlindungan terhadap saksi dan/atau korban berdasarkan atas permintaan pejabat yang barsangkutan

c. Saksi dan/atau korban melanggar ketentuan sebagaimana tertulis dalam perjanjian; atau

d. LPSK berpendapat bahwa saksi dan/atau korban tidak lagi memerlukan perlindungan berdasarkan bukti-bukti yang menyakinkan.

Penghentian perlindungan keamanan seorang saksi dan/atau korban harus dilakukan secara tertulis. Bantuan sebagaimana dimaksud diberikan kepada seorang saksi dan/korban atas permintaan tertulis dari yang bersangkutan ataupun orang yang mewakilinya kepada LPSK. LPSK menentukan kelayakan diberikannya bantuan kepada para saksi dan/atau korban, dalam hal saksi dan/atau korban layak diberi bantuan, LPSK menentukan jangka waktu dan besaran biaya yang diperlukan ketentuan lebih lanjut mengenai kelayakan sebagaimana dimaksud serta jangka waktu dan besaran biaya sebagaimana dimaksud diatur dengan peraturan pemerintah.

(29)

27

bantuan sebagaimana dimaksud pada instansi terkait sesuai dengan kewenangan wajib melaksanakan keputusan LPSK sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU ini.

B. Proses Peradilan Pidana Kasus Korupsi

Proses peradilan pidana maksudnya adalah proses peradilan pidana yang melibatkan 3 (tugas) tahap, yaitu:

a. Penyidik (Polisi dan Kejaksaan) b. Penuntut Umum (jaksa)

c. Pengadilan

1. Penyelidikian ( INQUIRY )

Pengertian “Penyelidikan” dimuat pada Pasal 1 butir 5, yang bunyinya sebagai berikut:

“Penyelidikan adalalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara-cara yang diatur dalam undang-undang ini”.

Berbeda dengan tindak pidana umum yang data awal diperoleh dari laporan atau pengaduan, tindak pidana korupsi data awal diperoleh, antara lain dari: 1. Menteri/Irjen/Irwailprop/Irwilkop;

2. Wakil Presiden melalui PO. BOX-5000; 3. BPKP;

4. Aparat Intelijen;

(30)

Setelah adanya data awal maka diterbitkan “Surat Perintah Penyelidikan untuk

mengetahui ada atau tidaknya tindak pidana korupsi yang terjadi, dengan diperolehnya “bukti permulaan yang cukup”. Tetapi dengan diterbitkan Surat

Perintah Penyelidikan, banyak orang berprasangka bahwa telah terjadi tindak pidana korupsi. Hal demikian merupakan suatu kekeliruan karena ada kalanya tidak diperoleh bukti permulaan yang cukup.

“Diperoleh bukti permulaan yang cukup” atau “tidak diperoleh bukti permulaan

yang cukup”, diputuskan setelah dilakukan pra-pemaparan (pra ekspose).

Jika “tidak diperoleh bukti permulaan yang cukup” maka penyelidikan tersebut

berakhir. Sedang jika ditemukan bukti permulaan yang cukup, maka penyelidikan ditingkatkan ke tahap penyidikan, dan selanjutnya diterbitkan Surat Perintah Penyidikan.

2. Penyidikan ( INVESTIGATION )

Pengertian “Penyidikan” dimuat pada Pasal 1 butir 2 KUHAP yang bunyinya sebagai berikut:

“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”.

Aparat penyidik yang mengemban tugas dalam Surat Perintah Penyidikan, setelah menerima surat perintah tersebut, segera membuat “Rencana Penyidikan”

(Rendik) seraya mempelajari/memahami hasil penyelidikan dan peraturan-

(31)

29

dan bukti-bukti yang mendukung penyimpangan tersebut agar dengan demikian akan dapat ditentukan “modus operandi”.

Tidak semua perkara tindak pidana korupsi yang disidik dapat ditingkatkan ke tahap penuntutan. Jika ada salah satu unsur, tidak didukung alat bukti dan adanya alasan-alasan pemaaf berdasarkan yurisprudensi, antara lain karena sifat melawan hukum tidak terbukti, maka perkara tersebut diterbitkan Surat Perintah Pemberhentian Penyidikan (SP3).

Jika perkara yang disidik didukung alat bukti maka penyidikan dilanjutkan ke tahap penuntutan. Umunmya, sebelum ditentukan suatu perkara ditingkatkan ke tahap penuntutan atau di SP3-kan, dilakukan pemaparan (ekspose). Pada pemaparan tersebut akan.jelas tampak hasil-hasil penyidikan. Sebaiknya sebelum

ekspose, telah disiapkan materi ringkas (matrik) yang membantu para peserta pemaparan untuk dengan mudah dapat memahami hasil-hasil penyidikan karena dengan matrik tersebut, dapat dilihat setiap unsur dan semua alat bukti yang ada dan yang telah dihimpun.

3. Tahap Penuntutan

(32)

Penuntut umum dengan penuntut umum pengganti melakukan penelitian dengan cermat, khususnya terhadap semua unsur tindak pidana yang didakwakan, apakah telah didukung alat-alat bukti, serta syarat formil. Jika menurut pendapatnya masih ada kekurangan maka dapat dilengkapi sendiri atau dikembalikan kepada penyidik untuk dilengkapi.

Jika setelah diadakan penyempurnaan ternyata ada unsur yang tidak terbukti atau ada hal-hal yang menunjukkan bahwa tersangka tidak dapat dipersalahkan maka diterbitkan Surat Ketetapan Pemberhentian Penuntutan (SKPP).

Akhir-akhir ini dipermasalahkan tentang pencabutan SP3/SKPP karena tidak diatur dalam KUHAP sehingga ada yang berpendapat bahwa SP3/SKPK tidak dicabut dengan alasan bahwa pencabutan tersebut tidak diatur dalam KUHAP. Alasan tersebut tersebut, tidak cukup kuat karena baik SP3/SKPP belum merupakan hasil pemeriksaan persidangan sehingga perbuatan tersangka belum diadili.

Selain daripada itu, masih sering terdapat penggunaan kata “terdakwa” yang kurang tepat. Kata “terdakwa” sesuai dengan Pasal 1 butir 15 KUHAP, yang berbunyi: “Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan”.

(33)

31

Ada kalanya meskipun perbuatan tersangka tidak didukung oleh bukti yang cukup atau perbuatan tersebut tidak dapat dipersalahkan padanya, tetapi Penuntut Umum tidak menerbitkan SKPP melainkan diajukan ke pengadilan dengan maksud akan dituntut bebas. Penuntutan bebas oleh Penuntut Umum sering ditafsirkan kurang tepat. Pendapat tersebut tidak beralasan karena Penuntut Umum mengajukan tuntutannya berdasarkan pemeriksaan persidangan demi menegakkan keadilan berdasarkan kebenaran. Tuntutan bebas yang diajukan Penuntut Umum tidak dapat diterima masyarakat disebabkan, antara lain, selain dari cenderung curiga terhadap Penuntut Umum, juga sejak semula masyarakat telah cenderung menghukum selain dari pada itu, masyarakat memendam suatu dendam terhadap korupsi yang dianggap telah memelaratkan masyarakat.

Ketentuan tersebut diatas pada undang-undang Nomor 1 Tahun 1999, tidak dimuat sehingga dalam hal itu, KUHAP diberlakukan.

Jika diamati Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, maka ada beberapa perubahan atau pembaharuan, antara lain: a. Saksi

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 memuat sanksi: 1. Adanya saksi minimum dan maksimum;

2. Sanksi denda yang cukup berat.

(34)

dikorupsi tidak seberapa, misalnya Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah) maka sanksi minimum adalah 1 (satu) tahun penjara dan denda.

Selain daripada itu, pembayaran uang pengganti sebagai pidana tambahan (Pasal 18 ayat (1) huruf b), sesuai dengan rumusan Pasal 18 ayat (3) maka jika tidak dibayar atau terpidana tidak mempunyai harta benda, diganti dengan pidana penjara. Dalam hal ini, Penuntut Umum dalam mengajukan requisitor, jika membuat pidana tambahan berupa uang pengganti, harus membuat permintaan/tuntutan bahwa jika uang pengganti tidak dibayar, diganti dengan pidana penjara yang lamanya ditentukan. Dengan demikian, hal tersebut dimuat dalam putusan.

Mengenai saksi, meskipun ditentukan bahwa korpoeasi dimuat sebagai subyek dalam tindak pidana korupsi tetapi pengenaan saksi hanya dapat dijatuhi hukum denda.

b. Peranan Jaksa Agung

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, secara khusus memuat wewenang Jaksa Agung, sebagai berikut:

- Melakukan koordinasi tim gabungan, jika tindak pidana korupsi, sulit pembuktiannya (Pasal 27);

(35)

33

c. Pembuktian terbalik

Dalam hal tindak pidana korupsi ada 2 (dua) hal yang pembuktian berbeda dengan acara pidana yakni:

- Terdakwa berhak membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, namun PU wajib membuktikan dakwaannya;

- Terdakwa wajib menerangkan tentang harta bendanya, harta benda istri dan anaknya. Ketidak seimbangan penghasilan dengan harta bendanya, menjadi petunjuk tentang kesalahannya.

d. Tersangka/Terdakwa meninggal dunia

Dalam hal tersangka/terdakwa meninggal dunia, perlu dipahami ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, antara lain:

- Jika tersangka meninggal dunia pada tahap penyidikan, sedang secara nyata ada kerugian keuangan negara, maka berkas perkara tersebut diserahkan kepada Jaksa Pengacara Negara atau kepada instansi yang telah dirugikan;

- Jika ada barang-barang yang disita, barang tersebut juga diserahkan, agar kelak pada pengajuan perdata dapat dimohonkan agar dirampas/dilelang untuk mengganti kerugiannya yang telah timbul dari perbuatan tersangka.

(36)

e. Kepentingan pihak ketiga yang beritikad baik

Ada kalanya barang pihak ketiga, ikut disita atau dirampas. Dalam hal tersebut, dimuat ketentuan untuk melindungi pihak ketiga yang beritikad baik, sebagai berikut:

 Diajukan keberatan kepada pengadilan yang menjatuhkan putusan, paling

lambat 2 (dua) bulan setelah putusan diucapkan (Pasal 19). Atas putusan/penetapan terhadap keberatan tersebut, dapat diajukan kasasi.

 Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan atau in

absentia, maka keberatan dapat diajuka dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak Pengumuman Putusan/Penetapan. Dalam hal ini, ada ketentuan bahwa terhadap patusan keberatan, tidak diperkenankan banding tetapi tidak dilarang untuk kasasi.

f. Keikutsertaan masyarakat

Keikutsertaan masyarakat diatur dalam Pasal 41 dan Pasal 42. hal ini sangat baik namun tidak adanya saksi jika hak-hak pelapor diabaikan, merupakan kelemahan ketentuan tersebut. Misalnya, hak untuk memperoleh jawaban paling lama 30 (tiga puluh) hari. Bagaimana jika hal tersebut tidak dapat dipenuhi?

(37)

35

DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Karim. 1975. Masalah Hukum dalam Proses Pidana. Rajawali Press. Jakarta

(38)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden

Sebelum penulis menguraikan hasil penelitian dan pembahasan, terlebih dahulu penulis akan menguraikan data mengenai karakteristik dari para responden. Hal ini bertujuan akan memberikan gambaran mengenai objek yang dijadikan responden, sehingga dapat menimbulkan keyakinan bahwa hasil dari penelitian ini adalah benar-benar dari sumber yang dapat dipercaya kebenarannya.

Adapun responden dalam penelitian ini adalah : 1. Nama : Jesden Purba, S.H

Jenis Kelamin : Laki - laki

Pekerjaan : Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang Pangkat/ NIP : 4 B / 040049654

2. Nama : Sahlan Efendi, S.H Jenis Kelamin : Laki - laki

(39)

44

3. Nama : Elis Mustika, S.H Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Kasubsi Penyidikan Kejaksaan Negeri Bandar Lampung

Pangkat/ NIP : Jaksa Pratama / 1973042419932002 4. Nama : Aries Kurniawan, S.H

Jenis Kelamin : Laki - laki

Pekerjaan : Jaksa Fungsional Kejaksaan Negeri Bandar Lampung

Pangkat/ NIP : Ajun Jaksa / 198104012002121007

B. Bentuk dan Praktek Perlindungan Saksi Dalam Proses Peradilan Pidana Kasus Korupsi ( di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung dan Pengadilan Negeri Tanjung Karang )

Perlindungan saksi dan korban diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban. Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan / atau ia alami sendiri.

(40)

Dalam kenyaataannya posisi saksi dan korban rentan terhadap teror dan intimidasi, tidak terlindungi oleh hukum dan terisolir dari masyarakat luas. Itulah sebabnya, saksi maupun korban cenderung tidak mau bicara atau memberikan keterangannya terhadap kasus yang telah terjadi, ini dikarenakan posisi publiknya justru dapat menempatkan dirinya sebagai korban untuk yang kedua kalinya, karena pengungkapan peristiwa yang sedang dialami, didengar maupun diketahuinya.

Para saksi dan korban hanya akan bersedia mengungkapkan kejadian yang mereka alami jika mereka merasa terlindungi dari bahaya serangan balasan, kekerasaan fisik, intimidasi, stigmatisasi, dan juga jika mereka percaya pada sistem peradilan yang berjalan efektif. Berdasarkan pengalaman negara-negara lain dan mengacu pada aturan tribunal internasional, ada tiga model perlakuan terhadap saksi dan korban yang perlu difasilitasi secara serentak terkait dalam pengembangan suatu sistem yang memiliki peran penting dalam upaya megungkapkan kebenaran, yakni perlindungan terhadap saksi, pemberian dukungan dan pemberdayaan saksi dan korban, serta perubahan sistem peradilan itu sendiri.

(41)

46

1. Bentuk dan Praktek Perlindungan Saksi di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung

Perlindungan terhadap saksi harus dilakukan sedini mungkin, yaitu dari tahap penyidikan dimulai, ini untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan korban dalam memberikan keterangan. Dalam hal ini Kejaksaan dituntut untuk bisa memberikan hak-hak perlindungan terhadap saksi korupsi. Perlindungan tidak diberikan terhadap ancaman atau intimidasi kepada saksi saja tetapi perlindungan juga diberikan kepada keluarga saksi. Menurut Elis Mustika, Kasubsi Penyidikan kejaksaan Negeri Bandar Lampung : bahwa dalam prakteknya harus ada inisiatif dari jaksa sendiri yang dibantu oleh lembaga Perlindungan Saksi dan Aparat Keamanan untuk nantinya membaca apakah saksi perlu dilindungi sementara atau sampai identitasnya dirahasiakan. Hanya saja perlindungan tersebut sulit dilaksanakan.

Inisiatif yang dilakukan jaksa adalah memberikan pengamanan secara fisik terhadap saksi dalam proses persidangan di pengadilan saja. Pengawalan dilakukan oleh polisi selama dalam sidang. Saksi tidak akan mendapatkan intimidasi dari siapapun juga. Tetapi diluar pengadilan jaksa tidak dapat menjamin saksi sepenuhnya.

(42)

penuntutan. Apabila saksi menginginkan identitasnya dirahasiakan maka jaksa akan merahasiakannya.

Merahasiakan identitas saksi dilakukan dengan tidak memunculkan saksi dipersidangan. Saksi hanya memberikan keterangan pada tahap penyidikan saja. Selain dari merahasiakan identitas saksi, jaksa tidak dapat melakukan apa-apa tanpa bantuan penegak hukum lainnya. Jaksa hanya akan memberikan suatu masukan kepada saksi untuk sementara waktu tidak muncul kemuka umum, untuk menghindari adanya intimidasi dari terdakwa.

Jaksa meminta bantuan pengamanan kepada kepolisian untuk memberikan perlindungan. Perlindungan yang diberikanpun hanya sebatas pengamanan fisik saja yang didasarkan pengamanan oleh jaksa. Apabila jaksa berpendapat bahwa kasus yang dilaporkan saksi merupakan kasus yang besar, dan menurut jaksa saksi akan menghadapi halangan yang berat maka jaksa meminta bantuan kepolisian untuk melakukan perlindungan.

Berdasarkan hasil penelitian di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, maka dapat di analisis bahwa hak-hak perlindungan terhadap saksi belum sepenuhnya terpenuhi, Sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang- Undang No. 13 Tahun 2006 menyebutkan Seorang saksi dan korban berhak :

a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.

(43)

48

c. Memberikan keterangan tanpa tekanan. d. Mendapat penerjemah

e. Bebas dari pernyataan yang menjerat

f. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus g. Mendapatkan informasi mengenai keputusan

h. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan i. Mendapat identitas baru

j. Mendapatkan kediaman baru k. Mendapat nasihat hukum

l. Memperoleh bantuan biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan.

Penulis beranggapan bahwa belum terpenuhinya hak-hak saksi tersebut karena kurangnya inisiatif dan peran serta jaksa selaku penyidik dan penuntut pada perkara pidana kasus korupsi dalam membaca perlu adanya perlindungan terhadap saksi tersebut. Sehingga bentuk dan praktek perlindungan saksi di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung masih dirasakan kurang maksimal dalam memberikan rasa aman kepada saksi. Selain itu faktor keterbatasan biaya, personel serta fasilitas menyebabkan pihak Kejaksaan belum maksimal memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban.

2. Bentuk dan Praktek Perlindungan Saksi di Pengadilan Negeri Tanjung Karang

(44)

yang berlaku, sehingga saksi akan memberikan kesaksian secara jujur. Menurut Jesden Purba : bahwa hakim dapat memerintahkan jaksa untuk memberikan perlindungan.

Pada saat memberikan keterangan, saksi harus dapat memberikan k eterangan yang sebenar-benarnya. Untuk itu, saksi harus merasa aman dan bebas saat diperiksa di persidangan tidak boleh merasa ragu-ragu menjelaskan peristiwa yang sebenarnya.

Pasal 173 KUHAP memberikan kewenangan kepada majelis hakim untuk memungkinkan seorang saksi memberikan keterangan tanpa kehadiran terdakwa. Ada upaya lain yang bisa dilakukan agar saksi tidak perlu muncul di persidangan, yaitu misalnya dengan memberikan kesaksian melalui media elektronik sehingga saksi disumpah terlebih dahulu pada saat memberikan keterangan saksi di depan penyidik sehingga saksi tidak perlu muncul di persidangan.

(45)

50

Dalam PP No.71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksana Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 5 ayat 2 menyebutkan:

“Perlindungan mengenai status hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak diberikan apabila dari penyelidikan dan penyidikan terdapat bukti yang cukup yang memperkuat keterlibatan pelapor dalam tindak pidana korupsi yang dilaporkan.”

Menurut Sahlan Efendi, Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang: harus ada kriteria saksi yang pantas mendapatkan perlindungan. Kriteria yang paling utama adalah bahwa saksi tidak terlibat langsung dalam tindak pidana tersebut. Terlibat atau tidaknya saksi dapat diketahui dari proses pengembangan penyidikan oleh penegak hukum. Apabila kemudian ternyata saksi terlibat langsung maka perlindungan terhadap saksi tidak dapat diberikan dalam bentuk apapun. Hak-hak yang diperoleh saksi akan dicabut.

Berdasarkan hasil penelitian di Pengadilan Negeri Tanjung Karang, maka dapat di analisis bahwa wujud dari perlindungan terhadap saksi yang dapat diberikan pengadilan adalah hakim dapat memberikan persetujuan kepada saksi untuk memberikan keterangan tanpa harus hadir di persidangan apabila saksi merasa dirinya terancam. Sebagaimana juga di atur dalam Pasal 9 ayat 1 Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 bahwa :

(46)

Penulis beranggapan hakim tidak dapat memberikan perlindungan hukum secara langsung, hakim hanya dapat menginstruksikan kepada jaksa untuk melindungi saksi.

C. Faktor penghambat yang dihadapi oleh aparat dalam memberikan perlindungan hukum terhadap saksi dalam proses peradilan pidana kasus korupsi ( di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung dan Pengadilan Negeri Tanjung Karang)

Dalam upaya perlindungan terhadap saksi aparat sering menghadapi faktor-faktor yang menjadi hambatan dalam memberikan perlindungan terhadap saksi. Menurut Elis Mustika, Kasubsi Penyidikan Kejaksaan Negeri Bandar Lampung bahwa saksi akan mendapatkan halangan dalam pemberian perlindungan karena belum dijalankannya secara konsekuen dan perundang-undangan saksi sering diabaikan dan cenderung melakukan tekanan terhadap saksi dan kurangnya pemahaman masyarakat dan aparat penegak hukum terhadap perlindungan saksi masih sangat kurang dan bagaimana bentuk perlindungan yang diberikan, oleh siapa dan sampai berapa lama. Hal inilah yang menjadi kendala dalam pemberian perlindungan saksi.

Menurut Jesden Purba, Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang: sampai saat ini yang menjadi kendala pemberian perlindungan saksi adalah perlu memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang perundangan saksi ini sendiri.

(47)

52

memberikan perlindungan adalah polisi, kepolisisan kekurangan personilnya untuk melakukan perlindungan tersebut, untuk itu dibutuhkan sumber daya manusia lebih banyak lagi untuk membantu polisi dalam melakukan perlindungan terhadap saksi.

Dengan demikian faktor penghambat yang ditemui dalam pemberian perlindungan saksi adalah :

1. Kurangnya biaya/materi, yang menjadi hambatan kemudian adalah masalah biaya, Semua bentuk perlindungan yang diperlukan kepada saksi memerlukan dana ekstra yang harus dikeluarkan oleh saksi sendiri untuk meminta perlindungan atas dirinya. Oleh karenanyalah pemerintah harus, memberikan ekstra biaya untuk perlindungan saksi ini. Pembiayaan ini akan dipegang oleh lembaga perlindungan saksi terdekat. Misalnya biaya untuk pcmanggilan saksi, biaya untuk relokasi, biaya untuk ganti rugi dan lain-lain.

2. Kurangnya informasi yang diberikan oleh pihak kepolisian atau penegak hukum lainya terhadap saksi tentang Peraturan dan Perundang-undangan yang berkaitan dengan kepentingan saksi, sehingga keberadaan saksi sangat rawan.

3. Kurangnya pemahaman saksi secara umum atau saksi yang berasal dari masyarakat awam tentang keberadaan saksi itu sendiri.

(48)

delik dengan ancaman pidana tersendiri. Salah satu hal yang penting dalam kedua Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban ini adalah dicantumkannya pidana bagi setiap orang yang menyebabkan saksi atau keluarganya kehilangan pekerjaan karena memberikan kesaksian sebenarnya. Hal ini merupakan salah satu tindak lanjut perlindungan setelah proses pemeriksaan. Saksi selain menghadapi ancaman fisik maupun psikis karena kesaksiannya yang diberikannya ada kalanya juga mengahadapi kemungkinan kehilangan pekerjaan terutama bila pihak yang dirugikan kesaksiannya merupakan atasannya atau orang yang memiliki kekuasaan ekonomi atas dirinya. Dengan adanya pasal yang dimaksud diatas dasar hukum yang jelas bagi saksi yang kehilangan pekerjaan karena bersaksi untuk menuntut haknya kembali.

5. Perencanaan dan pembentukan produk hukum harus mempunyai pengaruh terhadap pembangunan aparat penegak hukum. Dimana perencanaan dan pembentukan produk hukum harus diselenggarakan secara terpadu dan demokratis antara instansi dan departemen terkait. Pembentukan produk hukum harus jelas rumusannya. Pembentukan produk hukum harus sampai pada tingkat pelaksanaannya. Pembentukan produk hukum harus mempunyai kekuatan filosofis, sosiologis dan yuridis. Produk hukum harus mengatur kepentingan masyarakat yang berintikan keadilan (Normgerechtigheit). Serta dalam merumuskan produk hukum jangan didasarkan pada kasuistis.

(49)

54

(50)

DAFTAR PUSTAKA

Ashshofa, Burhan. 2007. Metode Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta Hamzah, Andi. 2001. Hukum Acara Pidana. Sinar Grafika. Jakarta

Kansil, SH. 1979. Pengantar ilmu hukum dan tata hukum Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta.

Format Penulisan Karya Ilmiah Universitas Lampung. 2006. Bandar Lampung Syatriya, Abd. Kodrat .2008. Analisis Perlindungan Saksi Pelapor dalam Perkara

Tindak Pidana Korupsi Pasca di Sahkannya UU No.13 Tahun2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. (Skripsi Sarjana tidak diterbitkan), Fakultas Hukum Universitas Lampung. Bandar lampung Koalisi Perlindungan Saksi. 2008. Pokok-Pokok Pikiran Penyusunan Cetak Biru

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.The Asia Foundation dan Danida. Jakarta

Nasution, Karim. 1975. Masalah Hukum dalam Proses Pidana. Rajawali Press. Jakarta

Undang-Undang RI No.8 Tahun 1981 KUHAP

Undang-Undang RI No.13 Tahun 2006 Tentang Perlilndungan Saksi dan Korban Undang-Undang RI No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

(51)

54

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah dilakukan analisis atau pembahasan data dan informasi yang penulis dapatkan dari penelitian, maka sebagai penutup dari pembahasan terhadap permasalahan skripsi ini. Penulis mencoba menarik beberapa kesimpulan dan saran sebagai berikut :

(52)

hakim hanya dapat menginstruksikan kepada jaksa untuk melindungi saksi. Hakim hanya menjamin saksi tidak akan mendapatkan intimidasi selama saksi dalam persidangan.

2. Faktor-faktor penghambat yang dihadapi oleh Aparat Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Pengadilan Negeri Tanjung Karang dalam memberikan perlindungan Hukum Terhadap saksi dalam kasus Korupsi adalah sebagai berikut :

1) Kurangnya biaya / materi. Semua bentuk perlindungan yang diperlukan pada saksi memerlukan dana exstra yang harus dikeluarkan oleh pemerintah. Tidak mungkin dana dikeluarkan oleh saksi sendiri untuk meminta perlindungan atas dirinya. Oleh karenanyalah Pemerintah harus, memberikan exstra biaya untuk perlindungan saksi ini. Pembayaran ini akan dipegang oleh lembaga perlindungan saksi terdekat. Misalnya biaya untuk pemanggilan saksi, biaya untuk relokasi, biaya untuk pemanggilan saksi, biaya untuk relokasi, biaya untuk ganti rugi, dan lain-lain.

2) Kurangnya informasi yang diberikan oleh pihak kepolisian atau penegak hukum lainya terhadap saksi tentang Peraturan dan Perudang-undangan yang berkaitan dengan kepentingan saksi, sehingga keberadaan saksi sangat rawan.

(53)

56

B. Saran

Berdasarkan beberapa hasil kesimpulan sebagaimana yang telah dikemukan oleh penulis, maka selanjutnya dapat diajukan beberapa saran sebagai berikut :

1. Berbagai penyempurnaan sistem perlindungan bagi saksi dan korban tentulah akan memecahkan hambatan-hambatan yang selama ini masih mengganjal di masyarakat. Salah satu upayanya adalah diterbitkannya Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban, walau Undang-undang tersebut sudah diterbitkan tetapi masih adanya prosedur perlindungan yang membuat para saksi diluar sana masih enggan untuk mengajukan dirinya dalam program perlindungan, salah satunya pada Pasal 28 Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban. Pasal tersebut merupakan syarat yang mungkin sedikit memberatkan bagi para saksi dalam tindak pidana lainnya (umum). Ini membuat keraguan bagi para saksi, bahwa apakah saksi tersebut termasuk dalam kriteria saksi yang mendapatkan perlindungan, sehingga perlu sekali untuk mengkaji ulang atau menambahkan penjelasan dalam Pasal 28 UU RI No.13 Tahun 2006.

(54)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM PROSES PERADILAN PIDANA KASUS KORUPSI

Oleh

Derry Rama Putra

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

UNIVERSITAS LAMPUNG FAKULTAS HUKUM BANDAR LAMPUNG

(55)

DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 7

C. Tujuan dan Kegunaan penelitian ... 8

D. Kerangka Teoristis dan Konseptual ... 9

E. Sistematika Penulisan ... 14

DAFTAR PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Saksi Sebagai alat bukti dan Perlindungan Hukumnya ... 17

B. Proses Peradilan pidana Kasus Korupsi ... 27

DAFTAR PUSTAKA III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 36

B. Sumber dan Jenis Data ... 37

C. Penentuan Populasi dan Sampel... 39

D. Prosedur Pengumpulan Data ... 40

E. Analisis Data ... 41

(56)

C. Faktor penghambat yang dihadapi oleh aparat dalam memberikan perlindungan hukum terhadap saksi dalam proses peradilan Pidana kasus korupsi ( di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung dan Pengadilan Negeri Tanjung Karang) ... 51 DAFTAR PUSTAKA

V. PENUTUP

A. Kesimpulan ... 54 B. Saran ... 56

(57)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Shafruddin, S.H., M.H. ………..

Sekretaris/Anggota : Firganefi, S.H.,M.H. ………..

Penguji Utama : Tri Andrisman, S.H., M.H ………..

2. Dekan Fakultas Hukum

Hi. Adius Semenguk, S.H., M.S. NIP 19560901 198103 1 003

(58)

Judul Skripsi : Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Dalam Proses Peradilan Pidana Kasus Korupsi

Nama Mahasiswa : Derry Rama Putra Nomor Pokok Mahasiswa : 0442011280

Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

Shafruddin, S.H., M.H Firganefi, S.H., M.H NIP 196002071986031001 NIP 196312171988032003

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

(59)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM PROSES PERADILAN PIDANA KASUS KORUPSI

(Skripsi)

Oleh

Derry Rama Putra

UNIVERSITAS LAMPUNG FAKULTAS HUKUM BANDAR LAMPUNG

(60)

MOTTO

Agar dapat membahagiakan seseorang, isilah tangannya dengan kerja,

hatinya dengan kasih sayang, pikirannya dengan tujuan, ingatannya dengan

ilmu yang bermanfaat, masa depannya dengan harapan, dan perutnya

dengan makanan.

(Frederick E. Crane)

To truly shape the future you must first posses the past

(Shet)

Jangan jadi penghayal, jadilah pengejar mimpi

(61)

PERSEMBAHAN

Bismillahirrahmannirrohim

Karya Kecil ini kupersembahkan dengan penuh cinta kepada:

ALLAH SWT yang telah memberikan kesehatan melimpah hingga terselesaikannnya

karya penulisan skripsiku ini.

Paling terdalam Cintaku Ayahanda Thamrin Sujak, S.H yang membesarkan dan

mendidik dengan tulus dan penuh cinta.

Paling terdalam Sayangku Ibunda Zahroni yang tiada henti-hentinya berdoa di setiap

sholat dan sujudnya berharap keberhasilanku.

Paling terdekat dan terbaik kakak- kakakku Aidil Fitri, S.E, Ria Maulidya, S.H, dan

Andi Wijaya, S.E yang telah memberikan dukungan dalam setiap waktu.

Paling terdekat dan terbaik keponakkanku Kandida Putri yang menjadi penghilang

lelahku dalam penulisan skripsi ini.

Teramat tulus Monica Bunga Saputri yang telah membantu

dengan kasih sayangnya dalam perjuanganku salama ini dan doa harapan untuk

menjadi pendampingku kelak.

(62)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung, pada tanggal 15 Desember 1986, sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara, dari pasangan Bapak Thamrin Sujak, S.H dan Ibu Zahroni.

Pendidikan Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SD Negeri 2 Perumnas Way Halim Bandar Lampung selesai tahun 1998, Sekolah Lanjut Tingkat Pertama (SLTP) di SLTP Negeri 2 Bandar Lampung selesai tahun 2001, dan Sekolah Menengah Umum (SMU) di SMU Negeri 9 Bandar Lampung selesai tahun 2004.

Gambar

Tabel 1.   Tindak Pidana Kasus Korupsi pada tahun 2007 – 2009 di Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

Maka dalam hal ini hipotesis yang menyatakan ada pengaruh strategi pembelajaran Preview, Question, Read, Reflect, Recite, Review (PQ4R) terhadap hasil belajar

Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pelaksanaan pembelajaran KTSP dengan pendekatan kontekstual pada mata diklat kewirausahaan siswa kelas X Tata

Menerapkan ilmu yang didapat penulis dari bangku perkuliahan dan menambah wawasan tentang pengetahuan ilmu bahan khususnya material baja bagi pembaca. Bidang

Saran yang berkaitan dengan hasil penelitian ini yaitu: KSP GRADISKA Bawen Kabupaten Semarang dalam menyusun tata ruang kantor sebaiknya menerapkan asas penggunaan

Adapun masalah dalam penelitian ini adalah apakah dengan menggunakan metode tanya jawab dapat meningkatkan hasil belajar siswa khususnya dalam menyimak wacana pada

Trapesium adalah segi empat yang tepat sepasang sisi berhadapan saling sejajar, sedangkan pasangan sisi yang lain tidak sejajar. Berdasarkan pengertian tersebut jelas

Hubungan Tingkat konsumsi energi dan zat gizi dengan kejadian anemia pada ibu hamil trimester III di Desa Jatiguwi Kecamatan Sumberpucung Kabupaten Malang.. Buku Panduan Lengkap

Dua diantara prinsip belajar menurut teori Gestalt yaitu (1) belajar berdasarkan keseluruhan; dan (2) terjadi transfer. Prinsip belajar berdasarkan keseluruhan