• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Pembimbing Agama dalam penanaman kecerdasan spiritual di Panti Sosial Binat Netra "Tan Miyat" Bekasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peran Pembimbing Agama dalam penanaman kecerdasan spiritual di Panti Sosial Binat Netra "Tan Miyat" Bekasi"

Copied!
162
0
0

Teks penuh

(1)

DI PANTI SOSIAL BINA NETRA

“TAN MIYAT”

BEKASI

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S. Kom.I.)

Oleh

Sri Yulianah NIM: 109052000009

JURUSAN BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

“TAN MIYAT”

BEKASI

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)

Oleh

SRI YULIANAH NIM : 109052000009

Pembimbing

Dra. NASICHAH, MA NIP. 19671126 199603 2 001

JURUSAN BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, Oktober 2013

SRI YULIANAH

(4)

i

Peran Pembimbing Agama dalam Penanaman Kecerdasan Spiritual Di Panti

Sosial Bina Netra “Tan Miyat” Bekasi

Peran pembimbing agama dalam penanaman kecerdasan spiritual bagi disabilitas netra. Menjadi penting karena peran pembimbing agama untuk bisa mengajarkan dan mengarahkan, tentunya dengan cara pengajaran yang berbeda, karena cara belajar disabilitas netra perlu metode khusus, oleh sebab itu peneliti ingin mengetahui peran pembimbing agama dalam menanamkan kecerdasan spiritual untuk bisa membantu disabilitas netra memenuhi kebutuhan dalam hidupnya, membantu disabilitas netra yang merasa inferior, mengisi kekosongan spiritual, membangkitkan semangat mereka untuk mempermudah mereka dalam memaknai hidup yang lebih baik.

Untuk mengkaji penelitian ini, teori-teori yang digunakan dalam penelitian adalah teori peran, teori pembimbing agama oleh Dewa Ketut Sukardi dan H. M Arifin. Kecerdasan spiritual itu sendiri diartikan sebagai kemampuan untuk mengenal dan memecahkan masalah-masalah yang terkait dengan makna dan nilai, menempatkan berbagai kegiatan dan kehidupan dalam konteks yang lebih luas, kaya dan memberikan makna, mengukur atau menilai bahwa salah satu kegiatan atau langkah kehidupan tertentu lebih bermakna dari yang lainnya.

Penelitian ini dilakukan di Panti Sosial Bina Netra “Tan Miyat” Bekasi. Peneliti menjawab Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana peran pembimbing Agama dalam menanamkan kecerdasan spiritual di Panti Sosial

Bina Netra “Tan Miyat” Bekasi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan (field research) menggunakan observasi dan wawancara. Yang menjadi subjek dalam penelitian ini adalah 4 orang pembimbing yang terdiri dari 2 orang pembimbing agama, 1 orang pembimbing mental spiritual dan 1 orang pembimbing anak serta yang menjadi subjeknya adalah disabilitas netra yang berjumlah 6 orang.

(5)

ii Bismillahirrahmanirrahim

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan keridhoan-Nya akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul “Peran

Pembimbing Agama Dalam Penanaman Kecerdasan Spiritual Di Panti Sosial

Bina Netra “Tan Miyat” Bekasi”

Penulis ucapkan banyak terima kasih kepada Orang tua Bapak Mad Yusuf yang telah banyak memberi pelajaran kehidupan pada saya dan Ibu tercinta Ibu

Masitoh yang senantiasa mendo’akan penulis hingga berkat segala support yang diberikan bapak dan ibu dapat menyelesaikan skripsi ini. Dan kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini, baik moril maupun materil, khususnya kepada :

1. Bapak Dr. H. Arief Subhan MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi.

2. Bapak Suparto, M. Ed, P. hD. Selaku Pembantu Dekan Bidang Akademik Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi.

3. Ibu Dra. Rini Laily Prihatini M.Si selaku Ketua Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam.

(6)

iii skripsi ini.

6. Seluruh Dosen dan Civitas Akademik Fakultas Ilmu dakwah & Ilmu Komunikasi yang telah memberikan banyak ilmunya kepada penulis.

7. Pimpinan dan karyawan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah & Ilmu Komunikasi yang telah membantu penulis dalam mendapatkan sumber penulisan skripsi ini. 8. Ibu Kepala Panti Dra. Dewi Rani, M. Si, Bapak Kepala TU Lusinto, Ibu

Prasetiawati, Ibu Tasuah, Bapak Son Haji, Bapak Arimurti, Bapak Itsna Sahma dan segenap pengurus Panti Sosial Bina Netra “Tan Miyat” Bekasi yang telah memberi informasi serta izin dalam melakukan penelitian.

9. Keluarga besar Prodi Bimbingan dan Penyuluhan Islam khususnya rekan-rekan seperjuangan BPI 2009 ( Abir Mu’az, Dede Iskandar, Dini Hayati Nufus, M. Hary Pranata, Kantata Anita M, Mira Humaira A,Sadam Husen, Sri Hesty Hardiyati, Yofie Novera, Zainal Abiddin, Andrian Saputra) terimakasih atas semuanya.

10.Kepada teman-teman Arya Mulyasari, Teteh Warkop Barokah, Ade Nunung, Eis Akmeliani, dan Anak Kosan Annida dan nenggolan.

(7)

iv

Akhirnya kepada-Nya lah penulis serahkan segala urusan ini. Penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan menambah khazanah pengetahuan walaupun belum sepenuhnya optimal.

Ciputat, 30 Oktober 2013

Sri Yulianah

(8)

v

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

D. Metodologi Penelitian ... 10

E. Tinjauan Pustaka ... 14

F. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II LANDASAN TEORI A. Peran ... 19

1. Pengertiam Peran ... 19

B. Pembimbing Agama ... 21

1. Pengertian Pembimbing Agama... 22

2. Tujuan dan Fungsi Pembimbing ... 27

3. Metode Bimbingan ... 31

C. Kecerdasan Spiritual ... 35

(9)

vi

D. Tunanetra... 42

1. Pengertian Tunanetra ... 42

2. Faktor Penyebab Ketunanetraan ... 45

3. Karakter Fisik, Psikis ... 47

4. Klasifikasi Tunanetra ... 49

BAB III GAMBARAN UMUM PANTI SOSIAL BINA NETRA “TAN MIYAT” BEKASI A. Sejarah Berdirinya PSBN “Tan Miyat” ... 54

B. Landasan Hukum ... 55

C. Fungsi Panti PSBN ... 55

D. Visi, Misi, dan Tujuan ... 56

E. Sarana dan Prasarana fisik PSBN "Tan Miyat" Bekasi ... 57

F. Sumber Daya Manusia ... .. 59

G. Struktur Organisasi dan Jumlah Penerima Manfaat... .... 60

H. Proses Pelayanan Rehabilitasi Sosial ... 63

I. Syarat Penerimaan kelayan ... 72

(10)

vii

B. Analisis Peran Pembimbing Agama dalam Penanaman

Kecerdasan Spiritual Pada Disabilitas Netra ... 82 C. Metode Peran Pembimbing Agama dalam Penanaman

Kecerdasan Spiritual Pada Disabilitas Netra ... 92

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 97 B. Saran ... 98

DAFTAR PUSTAKA ... 100

(11)

viii

Lampiran 1. Daftar Wawancara untuk Pengurus PSBN “Tan Miyat” Lampiran 2. Daftar Wawancara dengan Pembimbing PSBN “Tan Miyat” Lampiran 3. Daftar Wawancara dengan Disabilitas Netra

(12)

1 A. Latar Belakang Masalah

Pada zaman globalisasi ini manusia dituntut adanya perubahan yang besar dalam segala aspek kehidupan baik positif maupun negatif. Perubahan negatif yang terjadi akibat globalisasi perlu diantisipasi agar setiap manusia tidak mengalami dehumanisasi. Dituliskan Jalaludin Rahmat dalam buku Islam dan Pluralisme, Fromm menjelaskan dehumanisasi merupakan suatu proses dimana mulai ditinggalkannya nilai-nilai kemanusiaan (etika, moral dan agama) dan digantikannya dengan mendewa-dewakan aspek material semata1. Oleh sebab itu seorang anak perlu diberi pengajaran dan arahan sejak dini agar tidak mengalami dehumanisasi, karena keterlambatan dalam memberikan arahan bisa menyebabkan seorang anak mengalami krisis spiritual.

Dituliskan Jalaludin Rahmat dalam buku Islam dan Pluralisme, Clinebell menegaskan bahwa anak memiliki kebutuhan dasar spiritual yang harus dipenuhi agar bisa membawa anak dalam keadaan yang tentram, aman, damai dalam menjalani hidup2. Jika kebutuhan tersebut tidak dipenuhi, maka bisa menyebabkan kecemasan neurotis dan kekosongan spiritual dalam diri anak. Kekosongan spiritual (spiritual-emptiness) akan menyebabkan penyakit

1

Jalaluddin Rahmat, Islam dan pluralisme: akhlak Quran menyikapi perbedaan,

(Jakarta: Serambi, 2006), Cet ke-2, h. 146

2

Jalaluddin Rahmat, Islam dan pluralisme: akhlak Quran menyikapi perbedaan,

(13)

ketidak bermaknaan spiritual (spiritual-meaningless) dalam diri anak. Dalam kondisi yang demikian, anak akan mudah terpengaruh dan terombang-ambing oleh pengaruh lingkungan sekitarnya karena si anak tidak punya benteng yang cukup, kehilangan pegangan hidup, kehilangan keimanan dan mudah untuk putus asa (hopeless) 3. Maka dari penjelasan di atas setiap orang mempunyai tanggung jawab yang sama untuk memberikan pengajaran dan arahan untuk bisa mencegah terjadinya krisis keimanan atau kekososngan spiritual, dan cara membantu pengarahan tersebut bisa dilakukan dengan bimbingan yang baik dari orang tua maupun dari lingkungannya. Bimbingan yang diberikan kepada anak dalam menanamkan pemahaman spiritualnya dapat membantu tumbuh kembang si anak secara optimal. Karena itu bimbingan sangat di perlukan untuk bisa memberikan pengajaran dan arahan, agar anak tersebut tidak mengalami perkembangan yang negatif.

Pengertian bimbingan itu sendiri adalah menunjukkan, memberikan jalan, atau menuntun orang lain ke arah tujuan bermanfaat bagi hidupnya di masa kini, dan masa mendatang. Pendapat yang sejalan dengan pendapat tersebut adalah D. Ketut Sukardi yang menjelaskan bahwa bimbingan merupakan proses bantuan yang diberikan kepada seseorang agar mampu memperkembangkan potensi, (bakat, minat dan kemampuan) yang dimiliki, mengenai dirinya sendiri, mengatasi persoalan-persoalan sehingga mereka

3

Jalaluddin Rahmat, Islam dan pluralisme: akhlak Quran menyikapi perbedaan,

(14)

menentukan sendiri jalan hidupnya serta bertanggung jawab tanpa tergantung kepada orang lain4.

Bimbingan yang diberikan kepada seorang anak yang normal mungkin tidak terlalu sulit. Namun, bagaimana memberikan bimbingan agama kepada anak yang memiliki disabilitas (kecacatan), disinilah bimbingan sangat dibutuhkan baik dari orang tua maupun lingkungannya, karena disabillitas bukan penghalang untuk seseorang mendapatkan pengajaran yang layak, baik normal maupun tidak normal mereka sama-sama menginginkan pengajaran agar bisa mengetahui apa yang menjadi landasan hidupnya dan apa yang menjadi tujuan hidupnya.

Kecerdasan spiritual juga sangat penting dalam membentengi seorang anak menghadapi perubahan sosial yang semakin deras. Dengan adanya kecerdasan spiritual ini menyebabkan anak menjadi tangguh dalam menghadapi tantangan dan hambatan sehingga tidak mudah mengalami stress/ kecemasan serta kekosongan spiritual.

Kecerdasan merupakan perihal cerdas, kesempurnaan dan perkembangan akal budi pekerti seperti kepandaian dan ketajaman pikiran, sedangkan untuk pengertian spiritual adalah kejiwaan, rohani, bathin, mental dan moral. Dan pada tahap selanjutnya Kecerdasan spiritual (yang dikenal dengan istilah SQ) Danah Zohar dan Ian Marshal menjelaskan bahwa Kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas

4

(15)

dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan hidup seseorang lebih bermakna dengan yang lain5.

Sedangkan Ary Ginandjar Agustian mengatakan bahwa Kecerdasan spiritual merupakan kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap prilaku dan kegiatan melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia seutuhnya (Kamil) dan memiliki pola pemikiran tauhidi (integralistik) serta berpotensi hanya kepada Allah6.

Bagi orang normal yang memiliki kesempurnaan fisik dan mental mungkin akan lebih mudah untuk menanamkan kecerdasan spiritual. Namun, bagi orang yang tidak normal atau disabilitas, dengan keadaan yang mereka alami kadang membuat mereka kehilangan semangat, bahkan ketika nikmat penglihatan mereka pertama kali diambil, bagi mereka tidak ada lagi harapan baginya. Untuk itu, pemberian Penanaman kecerdasan spiritual bagi mereka amatlah penting, terlebih lagi pendampingan bagi mereka agar tetap berjalan dalam jalur Islam, karena mereka juga rentan dengan krisis iman bahkan

konversi agama7 mengingat adanya kaum missionaris8 yang juga

menggiurkan mereka dengan berbagai bantuan yang mereka tawarkan.

Seseorang yang memiliki disabilitas fisik seperti tunanetra, yang tentunya menemui kendala tertentu ketika mereka ingin mencukupi

5

Danar Zohar dan Ian Marshall, SQ; Memanfaatkan kecerdasan spiritual dalam berpikir Integralistik dan Holistik untuk memaknai kehidupan, (Bandung: Mizan, 2000), h. 3-4.

6

Agustian, Ary Ginanjar, ESQ POWER Sebuah Inner Journey Melalui Al-Ihsan, (Jakarta: ARGA, 2003), h. 217

7

Konversi agama menurut etimologi yaitu kata kata konversi berasal dari kata lain

convernio” yang berarti tobat, pindah, dan berubah (agama). Selanjutnya, fakta tersebut dipakai

dalam bahasa Inggris “conversion” yang mengandung pengertian : berubah dari suatu keadaan atau dari suatu agama ke agama lain (change from one state, or from one religion to another).

8

(16)

kebutuhannya dalam hal beragama. Kalangan tunanetra misalnya, mereka kesulitan untuk mendapat akses yang sesuai dengan keterbatasan yang mereka alami. Al-Qur’an dan Hadits yang menjadi pedoman pokok bagi kaum muslim, tidak bisa dicermati dengan mudah karena keterbatasan penglihatan mereka. Hal ini berpengaruh pada kualitas keimanan mereka yang notabene adalah seorang muslim.

Berdasarkan data yang ada di Dinas Sosial, populasi tunanetra di Indonesia adalah sebesar 1,5% dari total penduduk Indonesia, maka diperkirakan sejumlah 3.000.000 (tiga juta) orang, delapan puluh persen dari mereka adalah adalah muslim, atau sekitar 2,4 juta orang adalah kaum muslim9. Hal ini harus menjadi perhatian pemerintah Indonesia dalam menangani kaum tunanetra di Indonesia.

Disabilitas pada diri seseorang merupakan hambatan dan gangguan di dalam aktivitas bagi penyandangnya. Hal tersebut dapat menghambat perluasan pengalamannya, gangguan emosionalnya, dan perkembangan intelegasinya. Selain itu, cacat mental maupun fisik juga merupakan salah satu kendala dalam mengerjakan Ibadah. Jika seseorang memiliki cacat tubuh mungkin aktifitas yang mereka lakukan tidak jauh berbeda dengan orang normal lainnya, karena mereka masih bisa melihat dan mendengar dengan baik, cara memberikan bimbinganpun tidak terlalu sulit. Namun, bagaimana dengan tuna netra yang terlahir tanpa penglihatan memungkinkan tidak bisa merespon maupun melaksanakan salah satu kegiatan yang ada di alam raya

9“Definisi Tunanetra”, Artikel diakses pada 20 Maret 2013 d

(17)

ini, bagaimana cara kita membimbing anak-anak yang memiliki disabilitas netra.

Alasan mengapa penelitian ini penting bagi penulis, karena memiliki kecerdasan spiritual merupakan hal yang penting bagi setiap orang khususnya bagi disabilitas netra, orang yang paham dan mengerti akan agamanya akan bisa membantu mereka mengendalikan diri dan memiliki kualitas hidup yang baik. Selain itu, disabilitas netra kerap mengisolirkan diri karena perasaan inferior. Perasaan lemah, tidak berdaya bagi lingkungannya, dan perbedaan fisik yang membuat disabilitas netra merasa hidupnya tidak berarti lagi. Disabilitas netra sangat tergantung sekali dengan orang lain, untuk memenuhi kebutuhannya sendiripun mereka kurang mampu, oleh sebab itu disabilitas netra banyak yang pesimis untuk mencapai kebahagiaan di hidupnya. Karena mereka memiliki kekosongan spiritual yang menyebabkan mereka menjadi lebih sensitif dan sering kali berputus asa.

Panti Sosial adalah lembaga pelayanan kesejahteraan sosial yang memiliki tugas dan fungsi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan memberdayakan penyandang masalah kesejahteraan sosial kearah kehidupan normatif secara fisik, mental dan sosial. Panti Sosial Bina Netra adalah salah satu lembaga yang berperan aktif dalam memperhatikan kehidupan beragama dan sekaligus aspek kehidupan sosial bagi penyandang

(18)

hanya menyentuh aspek kehidupan sosial saja, seperti mengupayakan akses informasi untuk para disabilitas netra, tetapi juga membantu para disabilitas netra untuk mempelajari ilmu agama Islam. Juga membantu disabilitas netra untuk melancarkan dalam membaca Al-Qur’an, dan sempat pula ada salah satu penyandang tunanetra yang memenangkan kejuaraan MTQ di Bekasi10.

PSBN “Tan Miyat” juga salah satu lembaga yang turut memperjuangkan kepentingan kegiatan yang mereka lakukan sehingga disabilitas netra bisa meneruskan hidup serta bisa memenuhi kebutuhan kaum disabilitas netra. Yaitu melalui berbagai macam kegiatan tanpa adanya penyesalan dengan kondisi yang terbatas. Pemberian penanaman spiritual secara bertahap dan sistematis merupakan metode yang diterapkan oleh Panti ini. Metode ini terbilang sesuai dengan keadaan tunanetra, hal ini terbukti dengan perilaku beragama para penyandang tunanetra yang mengalami pendewasaan dalam berpikir tentang kebutuhan beragama di tengah krisis kepercayaan diri yang pernah mereka alami serta tercermin dalam kehidupan sehari-hari mereka yang mampu hidup mandiri dengan segala keterbatasan yang mereka miliki bahkan mereka mampu untuk belajar khazanah keilmuan agama Islam untuk memperoleh pendalaman ajaran agama Islam.

Pertanyaan yang timbul dari seorang penulis bagaimana seorang pembimbing agama memberikan arahan pada proses sosial penyandang tunanetra, penanaman nilai-nilai agama, pemahaman tentang

10

Arti Tan Miyat” Artikel diakses pada 20 Maret 2013 dari

(19)

spiritual/religius, dan mengajarkan sistem pengendalian/pengontrolan diri dan semua tercakup pada penanaman spiritual.

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengetahui

bagaimana peran pembimbing Agama di Panti Sosial Bina Netra “Tan Miyat”

Bekasi dalam sebuah bentuk karya ilmiah skripsi yang diberi judul:

“ Peran Pembimbing Agama Dalam Penanaman Kecerdasan

Spiritual Di Panti Sosial Bina Netra “Tan Miyat” Bekasi”

B. Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Agar penelitian ini dapat memperjelas masalah dalam penelitian, maka perlu adanya pembatasan untuk lebih mengarah pada titik poin yang diharapkan. Untuk itu, penulis hanya membatasi masalah pada peran pembimbing agama dalam memberikan penanaman kecerdasan spiritual, melalui penanaman nilai-nilai agama, pengendalian diri pada disabilitas netra di Panti Sosial Bina Netra “Tan Miyat” Bekasi.

2. Rumusan Masalah

Dari batasan masalah di atas, maka penulis merumuskan sebagai berikut :

(20)

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Bertolak dari latar belakang masalah dan rumusan masalah yang telah diungkapkan diatas, penelitian ini bertujuan untuk:

a. Mengetahui peran pembimbing agama dalam penanaman kecerdasan

spiritual di Panti Sosial Bina Netra “Tan Miyat”.

2. Manfaat Penelitan

a. Akademis

Penelitian ini membantu pembaca untuk lebih mengetahui pemaparan teori mengenai peran pembimbing agama dan penanaman kecerdasan spiritual kepada penyandang tunanetra. Dapat menjadi masukan Untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang Bimbingan dan Penyuluhan Islam, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

b. Praktis

Penulis berharap hasil penelitian ini bisa memberikan manfaat yang besar kepada kami khususnya, dapat menjadi masukan

bagi Panti Sosial Bina Netra “Tan Miyat” atau lembaga lainnya dan

(21)

D. Metodologi Penelitan

1. Pendekatan dan Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Adapun pengertian dari penelitian kualitatif adalah menurut Bagdan dan Taylor (1975) seperti yang dikutip Lexy J. Moleong dalam bukunya ialah bahwa penelitian kualitatif adalah sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.11 Memberikan gambaran terhadap subjek dan objek penelitian lapangan. Bentuk penulisan tugas ini adalah penelitian lapangan, dimana penulis melakukan penelitian langsung ke lapangan guna mendapatkan data yang dibutuhkan selama penulisan, disini penulis menguraikan serta mendeskripsikan bagaimana peran pembimbing dalam penanaman kecerdasan spiritual penyandang tunanetra. Pendekatan kualitatif ini menitik beratkan pada data-data penelitian yang akan dihasilkan melalui pengamatan, wawancara, dan studi dokumentasi.

2. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data

a. Teknik Pengumpulan Data

1) Observasi

Yaitu mengadakan kunjungan dan pengamatan secara langsung terhadap objek (penyandang tunanetra) yang akan diteliti serta pencatatan yang sistematis. Melalui observasi,

11

(22)

peneliti belajar tentang perilaku, dan makna dari perilaku tersebut12. Guna memperoleh gambaran yang jelas tentang pelaksanaan bimbingan dalam menanamkan kecerdasan spiritual melalui bimbingan spiritual/agama dari kegiatan setiap harinya di Panti tersebut.

2) Wawancara

Merupakan suatu alat pengumpulan data informasi langsung tentang beberapa jenis data. Wawancara, merupakan bentuk komunikasi antara dua orang, melibatkan seseorang yang ingin mendapatkan informasi dengan seorang lainnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, berdasarkan tujuan tertentu13. Dalam penelitian ini penulis langsung mewawancarai peran pembimbing agama dalam rangka penanaman kecerdasan spiritual disabilitas netra di Panti Sosial Bina Netra “Tan Miyat” Bekasi

3) Dokumentasi

Yaitu suatu cara yang digunakan untuk mengambil data dari berbagai dokumen, baik merupakan pembukuan ataupun yang lainnya. Dari dokumentasi tersebut, nantinya penulis gunakan untuk mengumpulkan data dengan mempelajari bahan tertulis sehingga dapat membantu penulis dalam mencari

12

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D, (Bandung: ALFABETA, 2007), Cet ke-3, h. 226

13

(23)

informasi yang terkait dengan permasalan penelitian. Dan memperluas pemahaman dan pengetian pada teori yang akan digunakan selama penelitian.

b. Teknik Analisis Data

Analisa data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data kedalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun kedalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain14.

Untuk menganalisis data, penulis menjelaskan bagaimana menjalankan peran sebagai pembimbing agama, dan menganalisa penyandang tunanetra yang mendapatkan bimbingan spiritual, penyandang tunanetra diklasifikasi menjadi: buta sejak lahir, buta karena penyakit, dan buta karena kecelakaan.

Penulis melaporkan data dengan memberi gambaran mengenai proses bimbingan agama dalam program penanaman kecerdasan spiritual. Sebagai sumber data, penulis melakukan observasi langsung dan tidak langsung, seperti wawancara dengan pembimbing dan penyandang tunanetra di panti tersebut. Data yang diperoleh dari observasi dan wawancara akan dideskriptifkan secara

14

(24)

kualitatif dengan didukung data-data yang didapat dari berbagai dokumen, literatur serta data-data yang berhubungan dengan pembahasan skripsi ini. Maka, penulis mendapatkan jawaban penelitian dengan menganalisa data berdasarkan informasi-informasi yang diperoleh dari hasil wawancara, observasi dan studi dokumentasi dengan mengacu pada kerangka teori.

3. Subjek dan Objek Penelitian

a. Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah menjelaskan makna perilaku dengan menafsirkan apa yang orang lakukan15. Atau tempat dimana bisa mendapatkan sumber data/keterangan. Sumber data adalah mereka yang dapat memberikan informasi tentang objek penelitian. Dalam penelitian ini menjadi subjek utama adalah pembimbing diantaranya 2 orang pembimbing Agama yaitu ustadz Son Haji dan Ustadzah Tasuah, 1 Orang Pembimbing metal spiritual yaitu Ibu Prasetiawati, 1 orang peksos (pekerja sosial) anak yaitu Ibu Putri, serta para disabilitas netra yaitu Lukman, Arina, Tuti, Andry, Ismi, Faizal.

b. Objek Penelitian

Objek penelitian dalam penelitian kualitatif terdiri atas tiga komponen yaitu, place atau tempat dimana interaksi dalam situasi sosial berlangsung, actor (pelaku) atau orang-orang yang sedang

15

(25)

memainkan peran tertentu, activity atau kegiatan yang dilakukan oleh aktor dalam situasi sosial yang sedang berlangsung16. Dalam penelitian ini objek penelitian penulis adalah peran pembimbing agama dalam menanamkan kecerdasan spiritual yang dilaksanakan di Panti Sosial Bina Netra “Tan Miyat” Bekasi.

4. Dasar Penetapan Lokasi Penelitian

Adapun tempat yang dijadikan objek penelitian adalah Panti Sosial Bina Netra (PSBN) Tan Miyat Bekasi yang beralamat Jl. H. Moeljadi Djojomartono No. 19 Bekasi Timur, Nomor Telp Kantor: 021-8800478, Email: psbntanmiyat@depsos.go.id, Website: http://tanmiyat.depsos.go.id. Sedangkan waktu pelaksanaan penelitian mulai tanggal 27 Mei 2013 sampai dengan 26 Juli 2013.

5. Pedoman Penulisan

Penulisan dalam penelitian ini menggunakan teknik yang mengacu pada buku pedoman penulisan karya ilmiah (skripsi, tesis, dan disertasi) karya Hamid Nasuhi dkk yang diterbitkan oleh CeQDA (Center For Quality Development and Assurance) Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

E. Tinjauan Pustaka

Dalam penelitian ini, diambil referensi dari beberapa pustaka dan menggunaskan pendekatan teori tertentu untuk memperkuat dan

16

(26)

mempertajam analisa. Penelitian dengan judul “ Peran Pembimbing Agama

Dalam Penanaman Kecerdasan Spiritual Di Panti Sosial Bina Netra

“Tan Miyat” Bekasi” ini terinspirasi dari beberapa skripsi yang telah ada

sebelumnya.

Pertama, skripsi karya Ina Nurul Lestari, mahasiswi Bimbingan Penyuluhan Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan 2003 dengan judul “Pelaksanaan Bimbingan Agama Dalam

Mengembangkan Kecerdasan Spiritual Anak Sekolah Alam Depok ”,

yang membahas bagaimana pelaksanaan bimbingan agama di sekolah. Ina Mengangkat masalah bagaimana pelaksanaan bimbingan agama di sekolah bisa mengupayakan pengembangan kecerdasan spiritual anak, sedangkan penulis lebih menitik beratkan penanaman kecerdasan spiritual melalui peran pembimbing agama.

Kedua, skripsi karya Yuyun Rahmawati, mahasiswa Bimbingan Penyuluhan Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah jakarta angkatan 2003 dengan judul “Peran Bimbingan Agama Terhadap Mental Disorder Penyandang Tunanetra Di Panti Sosial Bina Netra “Tan Miyat” Bekasi”, yang membahas bagaimana peran bimbingan agama

(27)

Ketiga, skripsi karya Arie Mutya Wulan Sari, mahasiswi Bimbingan Penyuluhan Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah jakarta angkatan 2000 dengan judul “Pelaksanaan Bimbingan Islam Dalam

Mengembangkan Kecerdasan Spiritual Kaum Dhuafa Di Yayasan

IRTIQO Kebajikan Ciputat Tanggerang”, yang membahas bagaimana

pelaksanaan bimbingan islam terhadap kaum dhuafa. Arie mengangkat masalah bagaimana pelaksanaan bimbingan islam bisa mengembangkan kecerdasan spiritual kaum dhuafa, sedangkan penulis lebih menitik beratkan bagaimana peran pembimbing agama dalam mengupayakan penanaman kecerdasan spiritual penyandang tunanetra.

Keempat, Skripsi Karya Komari, mahasiswa Bimbingan Penyuluhan Islam Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang Angakatan 2006

dengan judul “Peran Bimbingan Agama Islam Dalam Meningkatkan Motivasi Beragama Bagi Penyandang Tunanetra Di Yayasan Sahabat

Mata Mijen Semarang”, yang membahas bagaimana peran bimbingan

agama untuk memotivasi dalam beragama. Komari mengangkat masalah Bagaimana peran pelaksanaan bimbingan agama Islam terhadap penyandang tunanetra dalam meningkatkan motivasi beragama, sedangkan penulis lebih menitik beratkan pada peran pembimbing agama dalam penanaman kecerdasan spiritual penyandang tunanetra.

(28)

Spiritual Di Panti Sosial Bina Netra “Tan Miyat” Bekasi” belum pernah diteliti sebelumnya. Meskipun penulis terinspirasi dari keempat skripsi sebelumnya yang telah disebutkan di atas, namun seluruh skripsi ini memiliki objek dan subjek penelitian yang berbeda, meski tak bisa disangkal skripsi di atas memberikan banyak masukan untuk penulisan dalam melakukan penelitian.

Selain skripsi-skripsi di atas, buku Syamsu Yusuf LN, dan A. Juntika Nurihsan, Landasan Bimbingan dan Konseling, M. Lutfi, Dasar-dasar Bimbingan dan Penyuluhan (Konseling) Islam, Zohar dan Ian Marshall,

Danah, SQ; Memanfaatkan kecerdasan spiritual dalam berpikir Integralistik dan Holistik untuk memaknai kehidupan, dan buku-buku lain yang memberi

sumbangan besar dalam ide penulisan skripsi ini. Pemaparan mengenai berbagai hal tentang memberikan pemahaman akan tugas pembimbing dan pelayanan apa saja yang diberikan pembimbing dalam proses penanaman kecerdasan spiritual penyandang tunanetra.

F. Sistematika Penulisan

Untuk mengetahui secara global tentang penulisan ini, maka sistematika penulisan karya ilmiah ini adalah sebagai berikut:

(29)

BAB II : Berisi kajian teori yang terdiri dari: pengertian peran, pengertian pembimbing, pengertian kecerdasan spiritual, pengertian Penyandang Tunanetra, ciri-ciri, prinsip-prinsip dan pandangan dasar.

BAB III : Gambaran umum tentang Panti Sosial Bina Netra “Tan Miyat” Bekasi, meliputi sejarah singkat berdirinya, visi dan misi, serta tujuan, kondisi fisik, sarana dan prasarana, sasaran garapan penerima dan pelayanan Panti tersebut.

BAB IV : Temuan lapangan dan Analisis data, meliputi data-data informan, peran pembimbing agama dalam penanaman kecerdasan spiritual pada penyandang tunanetra, serta analisis peran pembimbing agama dalam penanaman kecerdasan spiritual pada penyandang tunanetra.

(30)

19

LANDASAN TEORI

A. Peran Pembimbing Agama

1. Pengertian Peran

Teori peran muncul ketika para ilmuwan sosial menganggap serius wawasan bahwa kehidupan sosial dapat dibandingkan dengan teater, di mana aktor memainkan peran diprediksi. Dituliskan Sarlito Wirawan Sarwono dalam buku Teori-Teori Psikologi Sosial, Ralph Linton (antropolog) mengemukakan bahwa teori peran ini merupakan sarana untuk menganalisis sistem sosial, dan peran yang dipahami sebagai aspek dinamis dari posisi sosial societally diakui (atau status).1 Dituliskan Sarlito Wirawan Sarwono dalam buku Teori-Teori Psikologi Sosial membagi istilah dalam teori peran dalam 4 golongan, yaitu istilah-istilah yang menyangkut:

a. Orang-orang yang mengambil bagian dalam interaksi sosial. b. Perilaku yang muncul dalam interaksi tersebut.

c. Kedudukan orang-orang dan perilaku. d. Kaitan antara orang dan perilaku.2

George Herbert Mead (seorang filsuf sosial) dilihat peran sebagai strategi penanganan yang berkembang bahwa individu saat mereka berinteraksi dengan orang lain, dan berbicara tentang perlunya

1

Sarlito Wirawan Sarwono, Teori-Teori Psikologi Sosial, (Jakarta: Rajawali, 1984), Cet Ke-1, h.234.

2

(31)

pemahaman orang lain (peran mengambil) sebagai syarat untuk efektif interaksi sosial. Dan bila melihat peran sebagai, kebiasaan kadang-kadang berbahaya, taktik yang diadopsi oleh orang-orang dalam hubungan primer, dan berpendapat bahwa perilaku meniru (role playing) adalah strategi yang berguna untuk belajar peran baru.3

Dituliskan Sarlito Wirawan Sarwono dalam buku Teori-Teori Psikologi Sosial bahwa Kozier Barbara menerangkan peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai kedudukannya dalam, suatu system. Peran dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari dalam maupun dari luar dan bersifat stabil. Peran adalah bentuk dari perilaku yang diharapkan dari seesorang pada situasi sosial tertentu.4

Sedangkan, Abu Ahmadi mendefinisikan peran sebagai suatu kompleks pengharapan manusia terhadap caranya individu harus bersikap dan berbuat dalam situasi tertentu berdasarkan status dan fungsi sosialnya.5

Peran (role) merupakan aspek yang dinamis dari kedudukan (status) artinya, seseorang telah menjalankan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka orang tersebut telah melaksanakan sesuatu peran. Keduanya tak dapat dipisahkan karena satu dengan yang lain saling tergantung, artinya tidak ada peran tanpa status

3“Teori Peran”. Artikel Ini diakses Pada 21 Desember 2012 Dari

Http://Www.Scribd.Com/Doc/84673783/TEORI-PERANAN-2

4

Sarlito Wirawan Sarwono, Teori-Teori Psikologi Sosial, (Jakarta: Rajawali, 1984), Cet Ke-1, h. 234

5

(32)

dan tidak ada status tanpa peran. Peran sangat penting karena dapat mengatur perilaku seseorang, di samping itu peran menyebabkan seseorang dapat meramalkan perbuatan orang lain pada batas-batas tertentu, sehingga seseorang dapat menyesuaikan perilakunya sendiri dengan perilaku orang-orang sekelompoknya. Suatu peran paling sedikit mencakup 3 hal, yaitu6:

a. Peran meliputi norma-norma yang dihubungan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat.

b. Peran adalah suatu konsep ikhwal apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat.

c. Peran dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.

Jadi peran yang di maksud disini adalah tingkah laku seseorang yang diharapkan dalam interaksi sosial, atau seseorang yang menjadi panutan dalam ucapan maupun tindakannya di lingkungan masyarakat.

B. Pembimbing Agama

Sebelum kita memasuki kegiatan Pembimbing Agama, terlebih dahulu kita perlu memahami, apa arti dari Pembimbing dan Agama itu sebenarnya, dan serta pengertian umum dari Pembimbing Agama.

6

J. Dwi Narwoko, Dan Bagong Suyanto, Sosiologi: Teks Pengantar Dan Terapan,

(33)

1. Pembimbing

Menurut kamus bahasa indonesia pembimbing adalah orang yang membimbing atau menuntun.7 Pengertian harfiyyah bimbingan adalah menunjukkan, memberikan jalan, atau menuntun orang lain ke arah tujuan bermanfaat bagi hidupnya di masa kini, dan masa

mendatang. Istilah bimbingan merupakan terjemah dari kata bahasa

inggris GUIDANCE yang berasal dari kata kerja to guide yang berarti mengarahkan, memandu, mengelola, menyetir.8

Dalam buku Samsul Munir Amin Bimbingan Dan Konseling

Islam Menurut pendapat Crow dan Crow: “Guidance is assistance made

available by personality qualified and adequately trained man or woman to an individual of any age to help him manage his own life activities, develop his point of view, make his own decisions and carry his own burdens.9 Bimbingan adalah bantuan yang diberikan oleh seseorang baik pria maupun wanita yang memiliki kepribadian yang baik dan pendidikan yang memadai kepada seseorang individu dari setiap usia untuk menolongnya mengemudikan kegiatan-kegiatan hidupnya sendiri, membuat pilihannya sendiri, memikul beban sendiri.”

Pendapat yang sejalan dengan pendapat di atas adalah D. Ketut Sukardi, yaitu: Bimbingan ialah proses bantuan yang diberikan kepada seseorang agar mampu memperkembangkan potensi, (bakat, minat dan kemampuan) yang dimiliki, mengenai dirinya sendiri, mengatasi persoalan-persoalan sehingga mereka menentukan sendiri jalan hidupnya serta bertanggung jawab tanpa tergantung kepada orang lain.10

(Jakarta: Golden Terayon,1982), Cet Ke-1, h. 1

9

Samsul Munir Amin, Bimbingan Dan Konseling Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), Cet Ke-1, h. 4-5

10

(34)

Dalam buku Samsul Munir Amin Bimbingan Dan Konseling Islam Menurut Failor, salah seorang ahli bimbingan dan konseling di

lingkungan sekolah mengartikan bimbingan:

“Guidance services assist the individual in the process of self understanding and self acceptance, appraisal of his present and possible future socio-economic environment and in integrating these two variables by choices and adjusments that further both personal satisfaction and socio-economic effectiveness. Bimbingan adalah bantuan kepada seseorang dalam proses pemahaman dan penerimaan terhadap kenyataan yang ada pada dirinya sendiri serta penilaian terhadap lingkungan sosio-ekonominya masa sekarang dan kemungkinan masa mendatang dan bagaimana mengintegrasikan kedua hal tersebut melalui pemilihan-pemilihan serta penyesuaian-penyesuaian diri yang membawa kepada kepuasan hidup pribadi dan kedayagunaan hidup ekonomi sosial11.”

Sedangkan H. Abu Ahmadi dan Akhmad Rohani memberikan batasan bimbingan, sebagai berikut:

“Bimbingan adalah suatu proses pemberian bantuan yang terus menerus dan sistematis kepada individu dalam memecahkan masalah yang dihadapinya, agar tercapai kemampuan untuk mengarahkan dirinya sesuai dengan potensi atau kemampuannya dalam penyesuaian diri dengan lingkungan baik keluarga sekolah maupun masyarakat.12”

2. Agama

Menurut Harun Nasution pengertian agama berdasarkan asal kata, yaitu al-din, religi (relegere, religare) dan agama. Al-din (semit) berarti undang-undang atau hukum. Kemudian, dalam bahasa arab, kata ini mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, kebiasaan, dll. Adapun dari kata religi (latin) atau relegere berarti mengumpulkan dan membaca. Kemudian, religare berarti mengikat. Adapun kata agama

11

Samsul Munir Amin, Bimbingan Dan Konseling Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), Cet Ke-1, h. 5

12Herianto, “Peranan Bimbingan Dan Penyuluhan Agama Islam Disekolah Umum.”

(35)

terdiri dari a= tak; gam= pergi mengandung arti tak pergi, tetap di tempat atau diwariskan turun-temurun.13 Secara definitif, menurut Harun Nasution, agama adalah:

1) Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi.

2) Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia.

3) Mengikat diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia dan yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia.

4) Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu.

5) Suatu sistem tingkah laku yang berasal dari kekuatan gaib. 6) Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini

bersumber pada suatu kekuatan gaib.

7) Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia.

8) Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul. 14

Selanjutnya, Harun Nasution merumuskan empat unsur yang terdapat dalam agama, yaitu:

a. Kekuatan gaib, yang diyakini berada di atas kekuatan manusia.

13

Bambang Syamsul Arifin, Psikologi Agama, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal. 15

14

(36)

b. Keyakinan terhadap kekuatan gaib sebagai penentu nasib baik dan nasib buruk manusia.

c. Respons yang bersifat emosional dari manusia. d. Paham akan adanya yang kudus dan suci.15

Apapun bentuk kepercayaan yang dianggap sebagai agama, tampaknya memang memiliki ciri umum yang hampir sama, baik dalam agama-agama primitif (nonteistik) maupun agama monotestik (teistik). Namun menurut Harun Nasution, fakta menunjukan bahwa agama berpusat pada tuhan atau dewa-dewa sebagai ukuran yang menentukan dan tak boleh diabaikan.16 Dalam istilahnya, ia menyebutkan sebagai keyakinan (tentang dunia lain).

Pengertian agama juga dibagi menjadi 2 aspek:

a. Aspek subjektif (pribadi manusia). Agama mengandung pengertian tentang tingkah laku manusia, yang dijiwai oleh nilai-nilai keagamaan, berupa getaran batin, yang dapat mengatur, dan mengarahkan tingkah laku tersebut, kepada pola hubungan dengan masyarakat, serta alam sekitarnya. Dari aspek inilah manusia dengan tingkah lakunya itu, merupakan perwujudan (manisfestasi) dari pola hidup yang telah membudayakan dalam batinnya, dimana nilai-nilai keagamaan telah membentuknya menjadi rujukan (referensi) dari sikap, dan orientasi hidup sehari-hari.

15

Bambang Syamsul Arifin, Psikologi Agama, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal. 14-15

16

H. M. Arifin. M.Ed. pedoman pelaksanaan bimbingan dan penyuluhan agama.

(37)

b. Aspek objektif (doktrinair). Agama dalam pengertian ini mengandung nilai-nilai ajaran tuhan yang bersifat menuntun manusia ke arah tujuan yang sesuai dengan kehendak ajaran tersebut. Agama dalam pengertian ini belum masuk ke dalam batin manusia, atau belum membudaya dalam tingakah laku manusia, karena masih punya doktrin (ajaran) yang objektif berada diluar diri manusia. Oleh karena itu, secara formal, agama dilihat dari aspek objektif dapat diartikan sebagai peraturan yang bersifat illahi (dari tuhan) yang menuntun orang-orang berakal budi kearah ikhtiar untuk mencapai kesejahteraan hidup di dunia, dan memperoleh kebahagian hidup di akhirat.17

Dengan demikian, maka Bimbingan Agama dapat diartikan sebagai usaha pemberian bantuan kepada seseorang yang mengalami kesulitan atau permasalahan, baik lahir dan batin, yang meyangkut kehidupan saat ini maupun yang akan datang. Jadi peran pembimbing agama yaitu tingkah laku atau perbuatan seseorang yang berusaha memberikan bantuan dalam memecahkan segala permasalahan atau kesulitan, yang menyakut kehidupan beragama.

Jadi, Peran Pembimbing Agama yaitu Bimbingan yang dimaksud akan memiliki peran sebagai pengatur bagi kaum penyandang tunanetra dalam kehidupan sehari-hari baik dalam kehidupan beragama maupun sosial. Peran disini diartikan sebagai hal yang bisa mengatur

17

H. M. Arifin. M.Ed. pedoman pelaksanaan bimbingan dan penyuluhan agama.

(38)

perilaku seseorang. Peranan menyebabkan seseorang pada batas-batas tertentu dapat memprediksi perbuatan orang lain, orang bersangkutan akan dapat menyesuaikan perilaku dirinya sendiri dengan perilaku orang-orang sekelompoknya. Hubungan-hubungan sosial yang ada dalam masyarakat merupakan hubungan antara peranan-peranan individu dalam masyarakat. Peranan diatur oleh norma-norma yang berlaku.18

2. Tujuan dan Fungsi Pembimbing

a. Tujuan Pembimbing

Secara umum dan luas, program bimbingan dilaksanakan dengan tujuan sebagai berikut:

1) Membantu individu dalam mencapai kebahagiaan hidup pribadi. 2) Membantu individu dalam mencapai kehidupan yang efektif dan

produktif dalam masyarakat.

3) Membantu individu dalam mencapai hidup bersama dengan individu-individu yang lain.

4) Membantu individu dalam mencapai harmoni antara cita-cita dan kemampuan yang dimilikinya.19

Tujuan dari Bimbingan Agama adalah Memberi bantuan kepada anak bimbing agar mampu memecahkan kesulitan yang dialami dengan kemampuan sendiri atas dorongan dari keimanan dan ketaqwaannya kepada Tuhan. Karena bimbingan keagamaan ini relevan dengan

18

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta : PT Raja Grafinda Persada, 2006), h. 213

19

(39)

pendidikan agama, maka menurut Zakiyah Darajat bimbingan keagamaan itu bertujuan Membimbing remaja agar menjadi muslim sejati, beriman, teguh, beramal sholeh, dan berakhlaq mulia, serta berguna bagi masyarakat, agama dan negara.20

Tujuan pokok dari Pembimbing Agama adalah Memberi bantuan kepada anak bimbing agar mampu memecahkan kesulitan yang dialami dengan kemampuan sendiri atas dorongan dari keimanan dan ketaqwaannya kepada Tuhan. Demikian pula tujuan bimbingan dan konseling juga merupakan tujuan dari dakwah islam.

(40)

bimbingan dan cara-cara pendekatan dan pemahaman terhadap sasaran metoda seperti wawancara, angket, test psikologi, sosiometri, dan lain sebagainya.22

2. Fungsi Bimbingan

Menurut Dewa Ketut Sukardi menyebutkan bahwa fungsi bimbingan adalah:

1) Menyalurkan, ialah fungsi bimbingan dalam membantu klien mendapat lingkungan yang sesuai dengan keadaan dirinya. 2) Mengadaptasikan, ialah fungsi bimbingan dalam membantu

klien di lingkungan tertentu untuk mengadaptasikan dengan keadaan atau orang-orang yang ada di lingkungan tersebut. 3) Menyesuaikan, ialah fungsi bimbingan dalam rangka membantu

klien untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan.

4) Pencegahan, ialah fungsi bimbingan dalam membantu klien menghindari kemungkinan terjadinya hambatan.

5) Perbaikan, ialah fungsi bimbingan dalam membantu klien untuk memperbaiki kondisi klien yang dipandang kurang baik/memadai.

6) Pengembangan, ialah fungsi bimbingan dalam membantu klien untuk melampaui proses dan fase perkembangan secara teratur.23

22

H. M. Arifin. M.Ed. Pedoman Pelaksanaan Bimbingan Dan Penyuluhan Agama. (Jakarta: Golden Terayon,1982), Cet Ke-1, h. 43

23

(41)

fungsi dari bimbingan agama berada dalam ruang lingkup sebagai berikut:

a. Menjadi penunjang dari pelaksanaan program pendidikan agama dilembaga-lemabaga pendidikan baik maupun lembaga lain. b. Menjadi pendorong bagi siswa dalam melaksanakan proses

belajar-mengajar.

c. Menjadi pemantap (stabilisator), dan penggerak (dianmisator) bagi anak bimbing dalam melakukan kegiatan mensukseskan jalannya pendidikan, dan pengajaran di lembaga pendidikan maupun lembaga lain. Sehingga tujuan institusional, kurikuler, instruksional dapat lebih mudah di capai. Atas dasar motivasi ajaran agama, maka segala tugas dapat dilaksanakan dengan baik, yang semata-mata sebagaimna menjalankan ibadah kepada Tuhan semesta alam.

d. Menjadi pengarah (direktif) bagi pelaksanaan program pendidikan agama di lembaga pendidikan maupun lembaga lain yang bersangkutan. Sehingga dalam pelaksanaan program tersebut, kemungkinan terjadinya penyimpangan dapat dihindari. 24

Dari aspek tersebut, maka bimbingan agama sebenarnya adalah usaha untuk menciptakan suasana kegiatan kependidikan agama yang bersifat mengarahkan bagi terwujudnya kelancaran proses

24

(42)

mengajar, yang dilandasi oleh semangat, atau perasaan pengabdian kepada tuhan, masyarakat, negara, dan bangsa.

3. Metode Bimbingan Agama

Secara umum ada dua metode dalam pelayanan Bimbingan Agama, yaitu: pertama, metode dalam pelayanan bimbingan kelompok dan kedua, metode bimbingan individual. 25

a. Metode Bimbingan Kelompok (Group Guidance)

Penyelenggaraan bimbingan kelompok antara lain dimaksudkan untuk membantu mengatasi masalah bersama atau membantu seorang individu yang menghadapi masalah dengan menepatkannya dalam suatu kehidupan kelompok. Beberapa jenis metode bimbingan kelompok yang bisa diterapkan dalam pelayanan bimbingan kelompok adalah: 1) program home room, 2) diskusi kelompok, 3) kegiatan kelompok. 26

1) Program Home Room

Tujuan program ini adalah agar konselor dapat mengenal kliennya secara lebih dekat sehingga dapat membantunya secara efisien. Dalam praktiknya, konselor mengadakan tanya jawab dengan klien, menampung pendapat, merencanakan suatu kegiatan, dan lain sebagainya.

25

Tohirin, Bimbingan dan Konseling di Sekolah dan Madrasah (Berbasis Integrasi), (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2007), h. 289

26

(43)

2) Diskusi Kelompok

Diskusi kelompok merupakan suatu cara di mana klien memperoleh kesempatan untuk memecahkan masalah secara bersama-sama. Setiap klien memperoleh kesempatan untuk mengemukakan pikirannya masing-masing dalam memecahkan suatu masalah. Dalam melakukan diskusi para klien diberi peran-peran tertentu seperti pimpinan diskusi (moderator) dan notulis. Tugas pimpinan diskusi adalah memimpin jalannya diskusi sehingga diskusi tidak menyimpang, sedangkan tugas notulis adalah mencatat hasil-hasil diskusi. Klien yang lain menjadi perserta atau anggota. Dengan demikian akan timbul rasa tanggung jawab dan harga diri.

3) Kegiatan Kelompok

(44)

kesempatan untuk memimpin teman-temannya dalam membuat pekerjaan bersama, sehingga kepercayaan dirinya tumbuh dan karenanya ia memperoleh harga diri.

b. Metode Bimbingan Individual (Konseling Individual)

Apabila menunjukan kepada teori-teori konseling, setidaknya ada tiga cara konseling yang biasa dilakukan yaitu: 1) directive counseling, 2) non directive counselling, dan 3) eclective counselling.27

1) Konseling Direktif (directive counselling)

Konseling yang menggunakan metode ini, dalam prosesnya yang aktif atau paling berperan adalah konselor. Dalam praktiknya konselor berusaha mengarahkan klien sesuai dengan masalahnya. Selain itu, konselor juga memberikan saran, anjuran dan nasihat kepada klien.

Praktik konseling dalam dunia islam di mana para nabi khususnya Nabi Muhammad Saw. Umumnya menerapkan cara-cara di atas yaitu memberikan saran-saran, anjuran dan nasihat kepada klien.

2) Konseling Nondirektif (non directive counselling)

Konseling nondirektif atau konseling yang berpusat pada kllien muncul akibat kritik terhadap konseling direktif (konseling berpusat pada konselor). Konseling nondirektif dikembangkan berdasarkan teori

27

(45)

client centered (konseling yang berpusat pada klien). Dalam praktik konseling nondirektif, konselor hanya menampung pembicaraan, yang berperan adalah konselor. Klien atau konseli bebas berbicara sedangkan konselor menampung dan mengarahkan. Metode ini tentu sulit diterapkan untuk klien yang bersifat tertutup (introvert), karena klien dengan kepribadian tertutup biasanya pendiam dan sulit diajak berbicara.

3) Konseling eklektif (eclective counselling)

Apabila terhadap siswa tertentu tidak bisa diterapkan metode direktif, maka mungkin bisa diterapkan metode nondirektif begitu juga sebaliknya. Atau apabila mungkin adalah dengan cara menggabungkan kedua metode tersebut. Penggabungan kedua metode konseling disebut metode eklektif (eclective counselling).

Penerapan metode dalam konseling adalah dalam keadaan tertentu konselor menasihati dan mengarahkan konseli sesuai dengan masalahnya, dan dalam keadaan yang lain konselor memberikan kebebasan kepada konseli untuk berbicara sedangkan konselor mengarahkan saja.

C. Kecerdasan Spiritual

Dalam buku Taufiq Pasiak REVOLUSI IQ/EQ/SQ: Menyikapi

Rahasia Kecerdasan Berdasarkan Al-Qur’an Dan Neurosains Mutakhir

(46)

penggunaan atau berfungsinya IQ secara efektif. EQ dibangun oleh saraf-saraf emosi di otak manusia, dan saraf-saraf emosi bila tidak berkembang dengan baik. Akibatnya, seseorang kehilangan daya empati dan daya sosialisasi diri. Menurut Goleman EQ (emotional quotient) merupakan indikator kunci bagi kesuksesan zaman modern, dicirikan oleh manusia-manusia yang kehilangan emosi.28 Hal ini nampak pada saat bagian otak yang memfasilitasi fungsi-fungsi perasaan terganggu, maka seseorang tidak dapat berpikir secara efektif. Baru-baru ini, yaitu di akhir abad ke-20 ditemukan Q yang ketiga, yaitu SQ, meskipun data ilmiahnya belum begitu mantap. Dengan ditemukan SQ (spiritual Quotion) semakin lengkaplah gambaran kecerdasan manusia secara penuh.29

Jauh sebelum Zohar, Pesinger, Deloux, dan Damasio, Psikolog Erich Fromm telah menyebut kulit otak sebagai dasar kesadaran diri manusia. Menurut Fromm, Orientasi hidup manusia, yang antara lain termaktub

dalam ajaran agama, sesungguhnya bersumber dari otak tersebut.30

Pernyataan tersebut menguatkan pendapat Zohar bahwa kecerdasan Spiritual mempunyai tempat di otak manusia, dan menandakan bahwa manusia mempunyai 3 kecerdasan yaitu, IQ, EQ, SQ yang saling berhubungan.31

28

Taufiq Pasiak, REVOLUSI IQ/EQ/SQ: Menyikapi Rahasia Kecerdasan Berdasarkan

Al-Qur’an Dan Neurosains Mutakhir, (Bandung: Mizan, 2002), h. 23-24

29

Syamsyu Yusuf, LN, Dan A. Juntika Nurihsan, Landasan Bimbingan Dan Konseling, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), Cet Ke-2, h. 241-242

30

Taufiq Pasiak, REVOLUSI IQ/EQ/SQ: Menyikapi Rahasia Kecerdasan Berdasarkan

Al-Qur’an Dan Neurosains Mutakhir, (Bandung: Mizan, 2002), h. 30

31

Taufiq Pasiak, REVOLUSI IQ/EQ/SQ: Menyikapi Rahasia Kecerdasan Berdasarkan

(47)

1. Pengertian Kecerdasan Spiritual

Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, untuk menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks makna yang lebih luas. Kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibanding dengan yang lain.32 SQ adalah suara hati ilahiyah yang memotivasi seseorang untuk berbuat atau tidak berbuat. Kalau EQ berpusat di hati, SQ berpusat pada hati nurani (fuad). Kebenaran suara fuad tidak perlu diragukan.

“dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan

anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)", (QS. Al-A’raaf 7:172.)

Ketiga kecerdasan itu (IQ, EQ, dan SQ) dipandang sebagai tiga proses psikologis dalam diri seseorang. EQ merupakan proses primer yang didasarkan kepada jaringan syaraf asosiatif dalam otak, IQ merupakan proses skunder yang didasarkan kepada jaringan syaraf serial dalam otak, dan SQ merupakan proses tertier yang didasarkan kepada

32“Definisi Dan Pengertian Kecerdasan Spiritual “,

(48)

sistem syaraf ketiga dalam otak, yaitu syaraf synchronous, yang menyatukan data dalam otak secara menyeluruh.33

Dalam buku Triantoro Safaria, Spiritual Intelligence (metode pengembangan kecerdasan spiritual anak) Menurut Marsha Sinetar

kecerdasan spiritual adalah kecerdasan ini diilhami oleh dorongan dan efektivitas, keberadaan atau hidup ilahiah yang mempersatukan kita sebagai makhluk ciptaan Allah SWT. Sebagai sumber utama kegairahan yang memiliki eksistensi tanpa asal, kekal, abadi lengkap pada diri dan daya kreatifnya. Kecerdasan ini melibatkan kemampuan unruk menghidupkan kebenaran yang paling dalam. Yang berarti mewujudkan hal terbaik, utuh dan paling manusiawi dalam batin.34

Dalam buku Triantoro Safaria, Spiritual Intelligence (metode pengembangan kecerdasan spiritual anak) Michael Levin menjelaskan

bahwa kecerdasan spiritual adalah sebuah perspekrif “spirituality is a perspective” artinya mengarahkan cara berpikir kita menuju kepada hakekat terdalam kehidupan manusia, yaitu penghambaan diri pada sang Maha Suci dan Maha Meliputi. Menurut Levin kecerdasan spiritual tertinggi hanya bisa dilihat jika individu mencerminkan penghayatannya akan kebijakan dan kebijaksanaan yanag mendalam, sesuai dengan jalan suci menuju pada sang pencipta.35

33

Syamsyu Yusuf, LN, Dan A. Juntika Nurihsan, Landasan Bimbingan Dan Konseling, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), Cet Ke-2, h. 242

34

Triantoro Safaria, Spiritual Intelligence (metode pengembangan kecerdasan spiritual anak), (Jakarta: Graha Ilmu, 2007), Cet ke-1, h. 15.

35

(49)

Dalam Al-Qur’an, beberapa ayat-ayat Al-Qur’an yang mengulas

tentang dinamika jiwa manusia, spiritualitas dicapai melalui ta’wil dan tafsir. Ta’wil mengacu pada pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an dengan memperhatikan implikasi-implikasi yang tersembunyi di bawah atau dibalik makna harfiahnya. Sedangkan tafsir adalah ulasan yang didasarkan atas apa yang diturunkan, diwariskan kepada kita lewat tradisi budaya (keislaman). Perspektif Al-Qur’an memandang jiwa manusia mempunyai dua kecendrungan yang saling bertentangan. Yaitu kecenderungan pada sifat-sifat ketuhanan (kecenderungan positif) dan kecenderungan sifat-sifat kesyaitanan (kecenderungan negatif). bisa juga dikatakan bahwa jiwa manusia seperti dua sisi mata uang. Yang satu cenderung kepada kebajikan dan sisi lainnya cenderung pada kejahatan. 36

Seperti yang dijelaskan dalam firman Allah SWT

Demi jiwa dan penyempurnaannya, sesungguhnya Allah mengilhamkan

kepada jiwa itu (cenderung pada) keburukan dan kebaikannya ” (Q.S. Asy Syams : 7-8).

Untuk mencapai tingkat kepribadian yang sehat, manusia dituntut untuk selalu mengikuti kecenderungan jiwanya pada kebajikan (Positif). Manusia dituntut juga untuk mampu mengaktualkan sifat-sifat Tuhan yang terdapat dalam dirinya. Untuk itu manusia harus mampu mengendalikan dan menghancurkan kecenderungan kejahatan (Negatif),

36

(50)

dalam jiwanya.37 Untuk itulah manusia dituntut untuk selalu mensucikan jiwanya, agar manusia memperoleh keberuntungan. Seperti firman Allah SWT

sesunggunya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan rugilah orang-orang yang mengotori jiwa itu” (Q.S. 91 : 9-10).

SQ ini dapat diartikan sebagai kemampuan untuk

a. mengenal dan memecahkan masalah-masalah yang terkait dengan makna dan nilai.

b. menempatkan berbagai kegiatan dan kehidupan dalam konteks yang lebih luas, kaya dan memberikan makna.

c. mengukur atau menilai bahwa salah satu kegiatan atau langkah kehidupan tertentu lebih bermakna dari yang lainnya.

2. Ciri-ciri Kecerdasan Spiritual

Dalam buku Syamsyu Yusuf, LN, Dan A. Juntika Nurihsan Landasan Bimbingan Dan Konseling Menurut Danar Zohar, Marshall

orang yang memiliki SQ tinggi ditandai dengan beberapa ciri atau indikator sebagai berikut:

a. Bersifat Fleksibel, yaitu mampu beradaptasi secara aktif dan spontan.

b. Memiliki kesadaran (self-awareness) yang tinggi.

c. Memiliki kemampuan untuk menghadapi penderitaan dan mengambil hikmah darinya.

d. Memiliki kemampuan untuk menghadapi dan mengatasi rasa sakit.

e. Memiliki kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai.

37

(51)

f. Enggan melakukan sesuatu yang menyebabkan kerugian atau kerusakan.

g. Cenderung melihat hubungan antar berbagai yang berbeda menjadi suatu yang holistik.

h. Cenderung untuk bertanya mengapa atau apa dan mencari jawaban-jawaban yang fundamental.

i. Bertanggungjawab untuk menebarkan visi dan nilai-nilai kepada orang lain dan menunjukan cara menggunakannya. Dengan kata lain, dia adalah orang pemberi inspirasi kepada orang lain.38

Dalam buku Triantoro Safaria, Spiritual Intelligence (metode pengembangan kecerdasan spiritual anak) Marsha Sinetar menjelaskan ada beberapa ciri dari anak-anak yang memiliki potensi kecerdasan spiritual yang tinggi. Karakteristik ini biasanya sudah mulai tampak ketika anak mulai beranjak menuju remaja dan akan menjadi mapan ketika dia di mencapai masa dewasa. Adapun karakteristiknya tersebut yaitu:

a. Kesadaran diri yang mendalam, intuisi yang tajam, kekuatan keakuan (ego-strenght), dan memiliki otoritas bawaan. Contohnya seorang anak memiliki kemampuan untuk memahami dirinya sendiri serta memahami emosi-emosi yang muncul, sehingga mampu berempati dengan apa yang terjadi pada orang lain.

b. Anak memiliki pandangan luas terhadap dunia dan alam.

c. Moral tinggi, pendapat yang kokoh, kecenderungan untuk merasa gembira, mengalami pengalaman-pengalaman puncak, atau bakat-bakat estesis.

38

(52)

d. Pemahaman tentang tujuan hidupnya.

e. Kelaparan tak terpuaskan akan hal-hal selektif yang diminati. f. Gagasan-gagasan yang segar dan memiliki rasa humor dewasa. g. Pandang pragmatis dan efesien tentang realistas.39

3. Fungsi Kecerdasan Spiritual

SQ (Spiritual Quotion) sebagai proses tertier psikologis berfungsi untuk:

a. Mengintegrasikan dan mentransformasikan bahan-bahan yang berasal dari proses primer (EQ) dan Proses sekunder (IQ). b. Memfasilitasi suatu dialog antara pikiran dengan perasaan, atau

antara jiwa dengan raga.

c. Menempatkan self sebagai pusat keaktifan (kegiatan), penyatuan, dan pemberian makna.40

Dewasa ini telah berkembang isu tentang pentingnya meaning (makna). Banyak penulis mengatakan bahwa krisis sentral saat ini adalah pencarian makna. Dalam berbagai kesempatan ditemukan bahwa orang-orang dewasa ini banyak membicarakan kembali masalah tuhan, makna, visi, nilai, yang menunjukan adanya kerinduan terhadap aspek spiritual.

39

Triantoro Safaria, Spiritual Intelligence (metode pengembangan kecerdasan spiritual anak), (Jakarta: Graha Ilmu, 2007), Cet ke-1, h. 26-28

40

(53)

D. Tunanetra

1. Pengertian Tunanetra

Dari segi etimologi tunanetra ialah tuna sama dengan rusak, netra sama dengan netra, atau disebut juga cacat mata.41 Jadi secara umum tunanetra berarti rusak penglihatan. Tunanetra berarti buta, tetapi buta belum tentu sama sekali gelap atau sama sekali tidak dapat melihat. Ada anak buta yang sama sekali tidak ada penglihatan,anak semacam ini biasanya disebut buta total. Disamping buta total,masih ada juga anak yang mempunyai sisa penglihatan tetapi tidak dapat dipergunakan untuk membaca dan menulis huruf biasa. Istilah buta ini mencakup pengertian yang sama dengan istilah tunanetra atau istilah asingnya blind.

Untuk memberikan pengertian di atas yang tepat tentang kebutaan, perlu dirumuskan pengertian sebagai berikut: Menurut Slamet

Riadi adalah “Seseorang dikatakan buta jika ia tidak dapat mempergunakan penglihatannya untuk pendidikan “(Slamet Riadi , 1984,

hal. 23). Menurut Pertuni (Persatuan Tunanetra Indonesia) tunanetra adalah mereka yang tidak memiliki penglihatan sama sekali (buta total) hingga mereka yang masih memiliki sisah penglihatan, tetapi tidak mampu menggunakan penglihatanya untuk membaca tulisan biasa berukuran 12 point dalam keadaan cahaya normal meski pun dibantu dengan kacamata (kurang awas).42

41

Anton M. Moeliono, Dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Depdikbud: Balai Pustaka), h. 971

42“Pengertian Tunanetra”, Artikel ini diakses pada 18 maret 2013 dari

(54)

Tunanetra menurut Soedjadi S. (tth:23): Berdasarkan pandangan paedagogis, mereka ini kurang atau sama sekali tidak dapat menggunakan penglihatannya dalam melaksanakan tugas yang diberikan dalam pendidikan.43

Berdasarkan definisi World Health Organization (WHO), seseorang dikatakan Low Vision apabila:

a. Memiliki kelainan fungsi penglihatan meskipun telah dilakukan pengobatan, misalnya operasi dan atau koreksi refraksi standart (kacamata atau lensa).

b. Mempunyai ketajaman penglihatan kurang dari 6/18 sampai dapat menerima persepsi cahaya.

c. Luas penglihatan kurang dari 10 derajat dari titik fiksasi

d. Secara potensial masih dapat menggunakan penglihatannya untuk perencanaan dan atau pelaksanaan suatu tugas.44

Tunanetra berasal dari kata tuna dan netra, yang masing-masing berarti rusak/tidak memiliki dan mata/penglihatan, jadi tunanetra berarti rusak penglihatan. Sedangkan pengertian tunanetra dilihat dari kacamata

pendidikan : menurut Barraga N (1983:25) adalah “Individu yang

mengalami gangguan fungsi penglihatan untuk mengikuti belajar dan

mencapai prestasi secara maksimal”.45

43

(55)

Daniel P Hallahan dan James M Kauffman memberikan batasan mengenai tunanetra sebagai berikut:

“For educational purposes, the blind person is one whose sight is so severaly impaired that he or she must be taught to read by Braille or by aural methods (audiotapes and records). The partially sighted person can read print even though magnifying devices or large-print books may be needed.”46

Pengertian tersebut dapat diartikan bahwa untuk kepentingan pendidikan, anak tunanetra yang mengalami kelainan yang sangat berat harus diajar membaca dengan menggunakan huruf Braille atau dengan metode pendengaran seperti menggunakan audiotape atau alat perekam lain, sedangkan anak yang mengalami gangguan penglihatan sebagian baru dapat membaca tulisan apabila dibantu dengan menggunakan alat pembesar atau buku yang hurufnya diperbesar.

Menurut White Confrence pengertian tunanetra adalah sebagai berikut.

a. Seseorang dikatakan buta baik total maupun sebagian (low vision); dari ke dua matanya sehingga tidak memungkinkan lagi baginya untuk membaca sekalipun dibantu dengan kacamata. b. Seseorang dikatakan buta untuk pendidikan bila mempunyai

Gambar

Gambaran umum tentang Panti Sosial Bina Netra “Tan Miyat”
gambaran klinik berupa peninggian tekanan bola mata,
GAMBARAN UMUM PANTI SOSIAL BINA NETRA “TAN MIYAT”

Referensi

Dokumen terkait

Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research), pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Pengumpulan data menggunakan metode

Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research) karena data yang dianggap utama adalah data yang diperoleh dari hasil observasi dan wawancara dilapangan,

Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research) dengan pendekatan kuantitatif untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu. Sampel penelitian ini

Jenis penelitian ini adalah kualitatif lapangan (field research) yaitu penelitian yang mengharuskan peneliti berangkat ke “lapangan” untuk mengadakan pengamatan

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Field research (Studi lapangan). Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara, dan

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan jenis penelitian, penelitian lapangan (field research) dengan subjek penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) yang dilakukan secara kualitatif deskriptif, metode yang digunakan untuk pengumpulan data adalah observasi, wawancara

Penelitian ini menggunakan pendekatan lapangan ( field research) dengan metode kualitatif. Teknik pengumpulan data adalah observasi, wawancara, dan dokumentasi. Subjek