• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh keadilan jasa, terhadap word of mouth, kepuasan, dan intensitas pembelian ulang pelanggan: studi kasus atas penanganan keluhan pelanggan PT. AHASS di Ciledug

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh keadilan jasa, terhadap word of mouth, kepuasan, dan intensitas pembelian ulang pelanggan: studi kasus atas penanganan keluhan pelanggan PT. AHASS di Ciledug"

Copied!
154
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KEADILAN JASA, TERHADAP WORD OF

MOUTH, KEPUASAN, DAN INTENSITAS PEMBELIAN

ULANG

(Studi Kasus atas penanganan keluhan pelanggan

PT AHASS di Ciledug)

Oleh

:

INTAN PRASTIANA 106081002431

JURUSAN MANAJEMEN PEMASARAN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

Abstract

The purpose of this research is to know the influence of the effect of perceived interac interactional fairness, procedural fairness, and distributive fairness to word of mouth, satisfaction, and repurchase intentions on customer following complaint handling of PT AHASS on Ciledug by using non probability sampling in respondent selection. Data processing method use path analysis, statistical examination in this research use test R square, t, and f. The result of the research also shows that there is significant influence of interactional fairness, procedural fairness, and distributive fairness variable upon word of mouth variable as shown in R square 51.4%, while the rest 49.6% influenced byunknown other variable. Beside that variable interactional fairness, distributive fairness, and word of mouth also influence to satisfaction, it showed by R square 70% while and the rest 30% of it is explained by other variable. And distributive fairness, procedural fairness, and word of mouth upon repurchase intentions variable as shown in R square 95%, while the rest 5% influenced by unknown other variable.This research acceptable to know variable of interactional fairness, procedural fairness, and distributive fairness as simultan to word of mouth and so as simultant variable interactional fairness, distributive fairness, and word of mouth influenced to satisfaction, and so as simultant variable distributive fairness, procedural fairness, and word of mouth influenced to repurchase intentions. While as partial variable of interaktional fairness, procedural fairness influenced as significant to variable word of mouth, and distributive fairness, word of mouth influenced as significant to variable satisfaction. And distributive fairness, procedural fairness, and word of mouth influenced as significant to variable repurchase intentions.

Key words : Interactional Fairness, Procedural Fairness, Distributive fairness, Word of Mouth, Satisfaction, Repurchase Intentions

(3)

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar pengaruh keadilan interaksional, keadilan prosedural, dan keadilan distributif terhadap komunikasi word of mouth , kepuasan, dan intensitas pembelian ulang pada pasca penanganan keluhan pelanggan PT AHASS di Ciledug, dengan menggunakan metode pengambilan non probability sampling dalam pemilihan responden. Metode pengolahan data menggunakan metode analisis jalur. Pengujian statistik dalam penelitian ini menggunakan uji R square, uji t, dan F.Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa variabel keadilan intearsional, keadilan prosedural, dan keadilan distributif berpengaruh terhadap word of mouth , hal ini ditunjukkan dengan nilai R square sebesar 51.4%, sedangkan sisanya 48.6% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diketahui. Selain itu variabel keadilan distributif dan word of mouth juga berpengaruh pada kepuasan, hal ini ditunjukkan dengan nilai R square sebesar 70%, sedangkan sisanya 30% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diketahui. Dan variabel keadilan distributif, keadilan prosedural, dan word of mouth juga berpengaruh terhadap intensitas pembelian ulang, hal ini ditunjukkan dengan nilai R squre sebesar 95% sedangkan sisanya 5% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diketahui. Dalam penelitian ini diketahui bahwa keadilan interaksional, keadilan prosedural, dan keadilan distributif berpengaruh secara simultan terhadap word of mouth . Dan keadilan interaksional, keadilan distributif dan word of mouth juga berpengaruh secara simultan terhadap kepuasan. Dan variabel keadilan distributive, keadilan procedural, dan word of mouth juga berpengaruh secara simultan terhadap intensitas pembelian ulang. Sedangkan secara parsial variabel keadilan interaksional, keadilan procedural, dan keadilan distributf berpengaruh terhadap word of mouth. Dan variabel keadilan distributive, word of mouth berpengaruh terhadap kepuasan, dan variabel keadilan distributif, keadilan procedural, dan word of mouth berpengaruh secara signifikan terhadap variabel intensitas pembelian ulang.

Kata kunci : Keadilan Interaksional, Keadilan Prosedural, Keadilan Distributif, Word of Mouth, Kepuasan, Intensitas Pembelian Ulang.

(4)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kegagalan pada saat penyampaian jasa merupakan suatu hal yang tidak

dapat diabaikan dan akan terjadi pada hampir seluruh perusahaan penyedia

jasa. Jasa pemeliharaan kendaraan dipercayai sebagai salah satu jenis jasa

yang rentan terhadap kegagalan jasa. Kegagalan jasa yang dapat terjadi antara

lain seperti salah diagnosis kerusakan kendaraan, gagal memperbaiki

kendaraan, dan sebagainya. Sebagian kegagalan yang terjadi dapat berakibat

fatal, sehingga tidaklah mengherankan apabila tingkat keluhan pada jasa ini

termasuk tinggi.

Manajemen keluhan terus menjadi titik utama penelitian pemasaran

sejalan dengan banyaknya perusahaan yang semakin yakin bahwa pemasaran

dengan konsep mempertahankan pelanggan sangatlah menguntungkan.

Keluhan pelanggan dianggap sebagi peluang penting bagi perusahaan untuk

mengetahui reaksi pelanggan atas suatu pelayanan perusahaan, terutama pada

perusahaan jasa (Kim et al,2003 dalam Foedjiawati dan Semuel, 2007:43).

Perusahaan dapat meningkatkan retensi konsumen, dan melindunginya

terhadap penyebaran komentar negatif, dan meminimalkan kerugian dengan

mengelola ketidakpuasan pasca pembelian secara efektif. Konsumen yang

tidak puas akan mengkomunikasikan pengalaman negativenya dengan

(5)

mungkin menurun 10 persen sampai dengan 15 persen (Kim et al,2003 dalam

Foedjiawati dan Semuel, 2007:43).

Ketika seorang pelanggan mengalami pengalaman yang tidak memuaskan

akibat kegagalan jasa, pelanggan tersebut dapat terlibat dalam beberapa

respon. Hal ini menunjukkan bahwa penanganan keluhan merupakan proses

yang dinamis, secara intuitif, aktifitas word of mouth terus berjalan saat proses

penanganan keluhan berlangsung dan suatu pihak dapat mangharapkan

terjadinya peningkatan peluang dari aktifitas word of mouth mulai dari awal

kegagalan jasa sampai ke tiap-tiap langkah penanganan keluhan.

Pentingnya identifikasi dan pemberian respon pada keluhan konsumen

tidak bisa diabaikan, karena perusahaan bisa mengubah perilaku pasca

pembelian konsumen menjadi lebih baik melalui analisis yang dilakukan.

Kebanyakan pelanggan yang tidak puas, dapat dinampakkan melalui perilaku

tidak langsung, seperti komentar negatif word of mouth atau sampai

memutuskan keluar dari pelanggan, daripada menyatakan keluhan secara

langsung kepada perusahaan (Best and Andreasen, 1977 dalam Foedjiawati

dan Semuel, 2007:43). Hal ini mengakibatkan perusahaan menemui kesulitan

menganalisa penyebab ketidakpuasan dan mengidentifikasi peluang-peluang

untuk pengembangan pelayanan yang diberikan.

Penelitian sebelumnya pada permasalahan penanganan keluhan

mengemukakan bahwa keluhan mungkin saja dapat menaikkan tingkat

kepuasan, karena merupakan fasilitas dalam menyatakan ketidakpuasan (Nyer,

(6)

hanya merupakan pemicu naiknya intensi penggunaan kembali, tetapi dapat

juga menurunkan tingkat komunikasi word of mouth yang negatif dan

menaikkan tingkat komunikasi word of mouth yang positif bagi perusahaan.

Konsumen melakukan penggunaan ulang tidak hanya dipengaruhi kualitas

produk, tetapi juga oleh faktor kualitas pelayanan. Pelayanan yang baik akan

memberikan kepuasan konsumen, sehingga mendorong orang untuk

melakukan pembelian ulang. Hal inilah yang dipertahankan oleh PT AHASS

yang berdiri pada tahun 1971 ini memiliki komitmen sebagai bengkel

kepercayaan sepeda motor Honda dalam melakukan perawatan dan perbaikan

sepeda motornya agar tetap aman, nyaman, dan selalu dalam kondisi prima

menemani mobilitas pemakainya. Untuk mewujudkan komitmen tersebut, PT

AHASS selalu mengutamakan kualitas hasil kerja, pelayanan prima, harga

yang transparan dan menjadikan kepuasan pelanggan sebagai prioritas utama,

dan dengan merespon setiap keluhan yang dilakukan pelanggan yang

mengeluh dan berhasil ditangani dengan baik maka semakin positif pula Word

of mouth yang diterima oleh PT AHASS. Terlebih lagi Industri sepeda motor

saat ini merupakan suatu industri yang besar di Indonesia, dan perkembangan

bisnis ini terus berkembang seiring dengan mobilitas kegiatan yang semakin

meningkat.

Penelitian sebelumnya pada permasalahan penanganan keluhan

menunjukkan bahwa penangaan keluhan bukan hanya merupakan pemicu

(7)

komunikasi word of mouth yang negatif dan menaikkan tingkat komunikasi

word of mouth yang positif bagi perusahaan.

Penelitian ini mengacu kepada penelitian terdahulu Davidow (2003:67)

yang berjudul The Effect Of Word Of Mouth On Perceived Justice,

Satisfaction, and Repurchase Intentions Following Complaint Handling.

Dengan kerangka teoritikal dimana komunikasi word of mouth bertindak

sebagai variable mediator antara persepsi keadilan, kepuasan, dan intensi

pembelian ulang pelanggan pasca penanganan keluhan pelanggan.

Berdasarkan latar belakang di atas dan keyakinan bahwa belum banyak

penelitian tentang variabel-variabel yang mempengaruhi intensi penggunaan

ulang pelanggan pada jasa bengkel di jakarta, maka peneliti tertarik untuk

mengangkat permasalahan penanganan keluhan pada PT.AHASS di Jakarta

dengan mempergunakan kerangka teorikal yang diperkenalkan oleh Davidow

(2003:67). Sehingga penelitian ini diberi judul ” Pengaruh Persepsi

Keadilan Jasa terhadap komunikasi word of mouth, Kepuasan dan Intensi Pembelian Ulang Pelanggan: Studi kasus atas penanganan keluhan

pelanggan di PT AHASS Ciledug ”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan pada uraian latar belakang di atas dan untuk mengarahkan

pembahasan maka didapatkan suatu permasalahan yang berkaitan dengan efek

komunikasi word of mouth, persepsi keadilan, kepuasan, dan intensitas

(8)

1. Bagaimana pengaruh keadilan Interaksional, keadilan procedural, dan

keadilan distributive terhadap komunikasi word of mouth?

2. Bagaimana pengaruh Keadilan Interaksional, keadilan distributive, dan

word of mouth terhadap kepuasan?

3. Bagaimana pengaruh keadilan Interaksional, Keadilan procedural, dan

Word of Mouth terhadap Intensitas pembelian ulang?

4. Seberapa besar pengaruh langsung dan tidak langsung Keadilan

Interaksional, Keadilan Prosedural, dan Keadilan Distributif terhadap word

of mouth, kepuasan, dan Intensi pembelian ulang?

C. Tujuan Penelitian

Dari penjabaran perumusan permasalahan-permasalahan maka

dapatdisimpulkan bahwa tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk menganalisis pengaruh keadilan Interaksional, keadilan Procedural,

dan keadilan Distributif terhadap komunikasi word of mouth.

2. Untuk menganalisis pengaruh keadilan Interaksional, Keadilan Distributif,

dan komunikasi word of mouth terhadap Kepuasan.

3. Untuk menganalisis pengaruh pengaruh keadilan Distributif, keadilan

Prosedural, dan terhadap Intensitas pembelian ulang.

4. Untuk menganalisis seberapa besar pengaruh langsung dan tidak langsung

Keadilan Interaksional, Keadilan Prosedural, dan Keadilan Distributif

(9)

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi penulis, penelitian ini merupakan pelatihan intelektual ( intellectual

exercise ) yang diharapkan dapat mempertajam daya pikir ilmiah serta

meningkatkan kompetensi keilmuan dalam disiplin ilmu yang digeluti.

2. Bagi peneliti selanjutnya, penelitian ini juga diharapkan sebagai sumber

informasi dan referensi intuk memungkinkan penelitian selanjutnya

mengenai topik-topik yang berkaitan, baik yang bersifat melanjutkan

(10)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pemasaran Jasa

1. Pengertian jasa

Zethaml and Bitner (2003) dalam Lupiyoadi (2006:5) mengemukakan

definisi jasa adalah “Include all economics activities whose output is not a

physical product or constructions, is generally consumed at the time it is

produced, and provided added value in froms (such as convenience,

amusement, timeliness, comfort, or health) that are essentially intangible

concerns of its first purchaser. Jadi pada dasarnya jasa merupakan semua

aktivitas ekonomi yang hasilnya tidak merupakan prosuk dalam bentuk

fisik atau kontruksi, yang biasanya dikonsumsi pada saat yang sama

dengan waktu yang dihasilkan dan memberikan nilai tambah (seperti

misalnya kenyamanan, hiburan, kesenangan, atau kesehatan) atau

pemecahan atas masalah yang dihadapi konsumen.

Menurut Gronroos (1990) dalam Rambat dan Hamdani (2006:6),

mendefinisikan jasa sebagai berikut: A service is an activity or series of

activities of more or less intangible nature that normally, but not

necessarily, take place in interactions between the customer and service

employees and/or physical resources or good and/or system of the service

provider, which are provided as solutions to customer problem. Jasa

(11)

berwujud) yang biasanya (namun tidak harus selalu) terjadi pada interaksi

antara pelanggan dan karyawan jasa dan atau sumber daya fisik atau

barang dan atau sistem penyedia jasa, yang disediakan sebagai solusi atas

masalah pelanggan.

Jasa pada dasarnya adalah seluruh aktivitas ekonomi dengan output

selain produk dalam pengertian fisik, dikonsumsi, dan diproduksi pada

saat bersamaan, memberikan nilai tambah dan secara prinsip tidak

berwujud bagi pembeli pertamanya. Lovelock (2007:5) jasa adalah

tindakan atau kinerja yang ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak

lainnya. Walaupun prosesnya mungkin terkait dengan produk fisik,

kinerjanya pada dasrnya tidak nyata dan biasanya tidak menghasilkan

kepemilikan atas faktor-faktor produksi. Lalu Lovelock (2007:5) juga

mengatakan bahwa kegiatan ekonomi yang menciptakan dan memberikan

manfaat bagi pelanggan pada waktu dan tempat tertentu, sebagai hasil dari

tindakan mewujudkan perubahan yang diinginkan dalam diri atau atas

nama penerima jasa tersebut.

2. Kareakteristik jasa

Produk jasa memiliki karakteristik yang berbeda dengan barang atau

produk fisik. Terdapat empat karakteristik pokok pada jasa ( Tjiptono,

(12)

a. Tidak Berwujud.

Hal ini menyebabkan konsumen tidak dapat melihat, mencium,

meraba, mendengar, dan merasakan hasilnya sebelum mereka

membelinya. Untuk mengurangi ketidakpastian, konsumen akan

mencari informasi tentang jasa tersebut, seperti lokasi perusahaan, para

penyedia, dan penyalur jasa, peralatan, dan alat komunikasi yang

digunakan serta harga produk jasa tersebut. Beberapa hal yang dapat

dilakukan perusahaan untuk meningkatkan kepercayaan calon

konsumen, yaitu meningkatkan visualisasi jasa yang tidak berwujud,

menekankan pada manfaat yang diperoleh, menciptakan suatu nama

merek (brand) bagi jasa, dan memakai nama orang terkenal untuk

meningatkan kepercayaan konsumen.

b. Tidak terpisahkan ( inseparability ).

Jasa tidak dapat dipisahkan dari sumbernya, yaitu perusahaan jasa

yang menghasilkannya. Jasa diproduksi dan dikonsumsi pada saat

bersamaan. Jika konsumen membeli suatu jasa maka ia akan

berhadapan langsung dengan sumber atau penyedia jasa tersebut,

sehingga penjualan jasa lebih diutamakan untuk penjualan langsung

dengan skala operasi terbatas. Untuk mengatasi masalah ini,

perusahaan dapat menggunakan strategi-strategi, seperti bekerja dalam

kelompok yang lebih besar, bekerja lebih cepat, serta melatih pemberi

(13)

c. bervariasi ( variability ).

Jasa yang diberikan seringkali berubah-ubah tergantung siapa yang

menyajikannya, kapan dan dimana penyajian jasa tersebut dilakukan.

Ini mengakibatkan sulitnya menjaga kualitas jasa berdasarkan suatu

standar. Untuk mengatasi hal tersebut, perusahaan dapat

menggunakan tiga pendekatan dalam pengendalian kualitasnya, yaitu

melakukan investasi dalam seleksi dan pelatihan personil yang baik,

melakukan standarisasi proses produksi jasa, memantau kepuasan

pelanggan melalui sistem saran dan keluhan, survei pelanggan, dan

comparison shopping, sehingga pelayanan yang kurang baik dapat

diperbaharui dan diperbaiki.

d. perishability

Jasa tidak dapat disimpan sehingga tidak dapat dijual pada masa

yang akan datang. Keadaan mudah musnah ini bukanlah suatu

masalah jika permintaannya stabil, karena mudah untuk melakukan

persiapan pelayanan sebelumnya. Jika permintaan berfluktuasi, maka

perusahaan akan menghadapi masalah yang sulit dalam melakukan

persiapan pelayanannya. Untuk itu perlu dilakukan pelayanan produk,

penetapan harga, serta program promosi yang tepat untuk

mengantisipasi ketidaksesuaian antara permintaan dan penawaran jasa.

Menurut Lupiyoadi, (2006:7) mengatakan bahwa Observasi dan

(14)

mengemukakan lima langkah yang dapat dilakukan untuk meraih sukses

didunia jasa, yaitu :

1). Renewing the service offering

2). Localizing the point-of-service system

3). Leveraging the service “contract”

4). Using information power strategically

5). Determining the strategic value of a service business

B. Kegagalan Jasa

Kegagalan jasa merupakan suatu situasi dimana terdapat sesuatu yang

berjalan tidak semestinya. Karakteristik jasa yang tidak dapat dipisahkan dari

tingginya kontak langsung menyebabkan kegagalan jasa umumnya tidak dapat

disamarkan kepada pelanggan. (Boshoff, 1997 dalam Keumaladewi, 2006 : 7).

Menurut Denham (1998) dalam Tjiptono (2007:450) , mengatakan bahwa

secara garis besar masalah-masalah yang dihadapi setiap perusahaan bisa

ditelusuri dari tiga sumber utama, yaitu :

1. Masalah disebabkan oleh perusahaan itu sendiri, misalnya janji yang

berlebihan.

2. Masalah disebabkan karyawan, misalnya perlakuan kasar dan tidak sopan.

3. Masalah disebabkan pelanggan, misalnya tidak teliti membaca instruksi

(15)

Tjiptono (2007:450) mengatakan bahwa kegagalan jasa terjadi pada

berbagai critical incidents dalam service encounters. Setiap service

encounters terbentuk dari sejumlah critical incidents. Atau ”moment of

truth”, yaitu momen interaksi spesifik dan actual antara pelanggan dengan

karyawan penyedia jasa, terutama yang memuaskan dan tidak memuaskan.

Beberapa contoh kegagalan jasa yang terjadi dalam critical incidents jasa

penerbangan antara lain kekeliruan dalam penanganan bagasi, layanan yang

lambat, sikap petugas yang tidak simpatik, dan perubahan skedulpenerbangan

tanpa pemberitahuan.

Renspons karyawan terhadap kegagalan jasa berhubungan langsung

dengan kepuasan atau ketidakpuasan pelanggan. Kegagalan jasa

umunyadikelompokkan ke dalam tiga kategori berikut (Bitner, et al 1990

dalam Tijptono 2007:451) :

1. Respons karyawan terhadap kegagalan sistem penyampaian jasa

Tipe ini merupakan kegagalan dalam penawaran jasa inti perusahaan.

Dalam konteks perusahaan penerbangan, contoh kegagalan semacam itu,

antara lain menghidangkan makanan yang sudah dingin atau tidak segar,

keliru manangani bagasi penumpang , tidak mengumumkan perubahan

skedul penerbangan. Secara garis besar, kegagalan sistem penyampaian

jasa terdiri atas respons karyawan terhadap tiga tipe kegagalan jasa seperti

berikut ini :

a. Ketersediaan jasa (unavailable services ), berkenaan dengan tidak

(16)

b. Layanan yang lambatnya keterlaluan (unreasonably show service ),

yaitu layanan atau karyawan yang dipersepsikan pelanggan sangat

lambat dalam menjalankan fungsi atau tugasnya.

c. Kegagalan jasa inti lainnya (other core service failures ) yang

mencerminkan berbagai jasa inti yang ditawarkan oleh industri yang

berbeda-beda, misalnya makanan yang sudah dingin, pesawat yang

kotor, dan bagasi yang keliru ditangani.

2. Respons karyawan terhadap kebutuhan individual dan permintaan spesial

pelanggan.

Kebutuhan pelanggan bisa implisit maupun eksplisit. Kebutuhan

implisit adalah kebutuhan pelanggan yang tidak diminta secara khusus,

namun sepatutnya diketahui dengan jelas oleh penyedia jasa. Sebaliknya

kebutuhan eksplisit adalah kebutuhan pelanggan yang memang jelas0jelas

diminta. Secara garis besar, kebutuhan dan permintaan pelanggan

mencakup respons karyawan terhadap empat tipe kemungkinan kegagalan

jasa berikut ini.

a. Kebutuhan spesial, yaitu permintaan yang didasarkan pada

pertimbangan medis, religius, psikologis, bahasa, atau sosiologis

khusus pelanggan.

b. Respons karyawan terhadap preferensi pelanggan, menyangkut

kemampuan karyawan memodofikasi sistem penyampaian jasa

sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi preferensi khusus

(17)

bahasa, maupun sosiologis mereka. Contoh tipikal preferensi

pelanggan restorant adalah permintaan mereka agar hidangannya

ditukar atau diganti.

c. Respons karyawan terhadap kesalahan pelanggan, meliputi skenario

dimana kegagalan jasa disebabkan kesalahan pelanggan yang diakui

atau diterima, seperti tiket dan kunci kamar hotel yang hilang.

d. Respons karyawan terhadap disruptive others (pelanggan atau

pihak-pihak tertentu yang mengganggu pengalaman jasa pelanggan lainnya),

berkenaan dengan kemampuan karyawan dalam menenangkan situasi

atau menyelesaikan perselisihan antar pelanggan. Misalnya, meminta

penonton bioskop agar tenang atau diam selama pertunjukkan, dan

meminta perokok agar tidak merokok di ruangan-ruangan restorant

yang tidak boleh ada asap rokok.

3. Tindakan karyawan yang tidak cepat dan tidak diharapkan (unprompted

and unsolicited emplpoyee actions)

Tipe ini menyangkut kejadian dan perilaku karyawan (yang baik

maupun yang jelek) yang sama sekali tidak diharapkan pelanggan.

Tindakan-tindakan ini yang diminta pelanggan dan juga tidak menjadi

(18)

Tabel 2.1

Sumber Penyebab Kegagalan Jasa

KATEGORI DESKRIPSI

1. Layanan Layanan yang tidak tersedia

a. Produk Keliru

b. Harga Keliru

Layanan yang terlalu lambat

a. Menunggu Kelamaan

2. Penyedia jasa Tindakan dan perilaku karyawan yang

tidak sepatutnya

3. Hal-hal diluar kendali penyedia jasa Faktor lingkungan nonmanusia perilaku

organisasi lain.

4. Pelanggan a. Perilaku pelanggan yang tidak bisa

dihindari

b. Perilaku pelanggan yang bisa

dihindari

c. Perilaku pelanggan lain

Sumber : Diadaptasi dari McColl-Kennedy (2003) dalam Tjiptono (2007:453)

Dalam kaitannya dengan komplain, Denham (1998) dalam Tjiptono

(2007:457) mengidentifikasi tiga tipe pelanggan, yakni active complainers,

inactive complainers, dan hyperactive complainers.

1. Active Complainers, yakni mereka yang memahami haknya, asertif,

percaya diri, dan tahu persis cara menyampaikan komplain. Bila

(19)

mereka akan menyampaikan komplainnya ke perusahaan yang

bersangkutan. Tipe pelanggan semacam ini sangat berharga bagi

perusahaan, karena mereka cenderung langsung menginformasikan dan

mencari solusi atas setiap komplain yang mereka rasakan. Dengan

demikian, perusahaan masih berpeluang untuk melakukan perbaikan

dan memuaskan mereka.

2. inactive complainers, yakni mereka yang lebih suka menyampaikan

keluhan kepada orang lain (teman, keluarga, rekan kerja) daripada

langsung kepada perusahaan bersangkutan. Mereka cenderung

langsung berganti pemasok dan tidak pernah kembali ke perusahaan

yang mengecewakan mereka. Dengan demikian, peluang perbaikan

bagi perusahaan praktis tidak ada.

3. hyperactive complainers, yaitu mereka yang selalu komplain terhadap

apapun. Tipe ini bisa disebut pula chronic complainers, yang

kadangkala berlaku kasar dan agresif. Mereka ini hampir tidak

mungkin dipuaskan karena tujuan komplainnya lebih dilatarbelakangi

keinginan untuk mencari untung.

Apabila keluhan ditangani secara baik, maka akan menghasilkan kepuasan

pelanggan, hubungan relasional yang lebih kuat, dan meningkatkan intensi

penggunaan ulang layanan serta loyalitas pada perusahaan (Blodget et al,

(20)

C. Pemulihan Jasa

Konsep pemulihan jasa ( service recovery ) mengalami evolusi dari waktu

ke waktu. Sebelum dekade 1970 dan awal 1980an, istilah ini mengacu pada

upaya memperbaiki kerusakan computer atau alat telekomunikasi, atau

menangani kerusakan setelah terjadinya bencana alam. Mulai awal 1970an

dan berlanjut pada dekade berikutnya, para pemasar mulai menekankan bukan

hanya pada insiden pemulihan jasa dalm konteks reaktif (memecahkan

masalah jasa spesifik), namun juga berfokus pada manfaat pemuluhan dalam

jangka panjang, seperti peningkatan loyalitas pelanggan dan komunikasi

gethok tular yang lebih positif. Artikel klasik yang dipublikasikan Hart, et al

(1990) dalam Tjiptono (2007:465).

Secara garis besar aktivitas yang diperlukan dalam rangka memulihkan

layanan pelanggan, meliputi beberapa hal berikut (Bowen & Johnston, 1999

dalam Tjiptono, 2007:465) :

1. Respons, pengakuan bahwa telah terjadi masalah atau kegagalan jasa,

permohonan maaf, empati, respons yang cepat, keterlibatan manajemen.

2. Informasi, penjelasan atas kegagalan yang terjadi, mendengarkan

pandangan pelanggan terhadap solusi yang diharapkan, menyepakati

solusi, menjamin bahwa masalah yang sama tidak akan terulang lagi,

permohonan maaf tertulis.

3. Kompensasi, token compensation, kompensasi ekuivalen atau

(21)

Proses pemulihan jasa yang efektif dan komprehensif terdiri atas empat tahap

utama (Fandy Tjiptono, 2007:466), yakni:

1. Mengidentifikasi kegagalan jasa ( service failure )

2. Memecahkan masalah pelanggan

3. Mengkomunikasikan dan mengklasifikasikan kegagalan jasa

4. Mengintegrasikan data dan menyempurnakan jasa keseluruhan

D. Aplikasi teori keadilan jasa

Teori keadilan adalah suatu teori yang berakar dari ilmu hukum. Saat ini

teori keadilan telah dikembangkan dalam konteks jasa untuk mengukur

keadilan dari penyampaian jasa. Berry dan Seiders (1998) dalam

Keumaladewi (2006:15), mendefinisikan keadilan dalam konteks jasa sebagai

berikut ”Justice, a customer’s perception of fairness of the overall outcome of

a service encounter” adalah penting untuk mengkonseptualisasikan hubungan

antara pelanggan dengan perusahaan dalam suatu timbangan keadilan.

Hubungan yang terjadi haruslah seimbang. Dalam perspektif pelanggan,

pelanggan telah mengeluarkan biaya untuk mendapatkan jasa, maka

perusahaan haruslah menyediakan jasa yang telah dibayar oleh pelanggan

tersebut. Apabila pertukaran yang terjadi adil, maka timabangan akan

seimbang, dan semuanya berjalan baik. Namun apabila perusahaan tidak

menyampaikan jasa seperti yang dijanjikan , pelanggan akan merasa

menderita kerugian, sebagai hasil dari ketidakadilan. Saat itu terjadi, tugas

perusahaan adalah untuk menyeimbangkan timbangan kembali, dan merubah

(22)

Keadilan adalah pengakuan dan perlakuan yang seimbang antara hak dan

kewajiban. Atau dengan kata lain keadilan pada dasarnya terletak pada

keseimbangan atau keharmonisan antara penuntutan hak dan menjalankan

kewajiban. Sebagai contoh, bila kita mengakui hak hidup kita, sudah

sewajarnyalah kita mempertahankan hak hidup kita dengan bekerja keras

tanpa merugikan orang lain. Sebab orang lain juga mempunyai hak dan

kewajiban hidup yang sama dengan kita. Berdasarkan segi etis, manusia

diharapkan untuk tidak hanya menuntut hak dan melupakan atau tidak

melaksanakan kewajibannya sama sekali. Sikap dan tindakan manusia yang

semata-mata hanya menuntut haknya tanpa melaksanakan kewajibannya akan

mengarah pada pemerasan atau perbudakan terhadap orang lain.

Keadilan merupakan suatu hal yang penting diperhatikan dalam hal

pencapaian kepuasan pelanggan karena setiap individu ingin diperlakukan

secara adil (Walster, dan Berscheid, 1978) dalam Keumaladewi (2006:16),

Mowen dan Groove (1983) dalam Keumaladewi (2006:16).

Dalam penelitiannya Davidow (2003:69) telah mengembangkan prinsip

keadilan untuk mengukur keadilan prosedural, distributive, dan interaksional

dalam suatu penelitian mengenai kegagalan dan pemulihan jasa. Dan juga

penelitian Hema Malini (2003:5) yang telah menguji ketiga konsep teori

keadilan yang diterimanya dari perusahaan, yaitu keadilan interaksional,

keadilan prosedural, dan keadilan distributif terhadap kepuasan mengenai

(23)

1. Keadilan Interaksional

Dalam penelitian Hema Malini (2003:11), keadilan interaksional

adalah perlakuan interpersonal yang diterima pelanggan selama prosedur

pengaduan berlangsung. Keadilan interaksional ini menggambarkan aspek

dari kesopanan, kepedulian, dan kejujuran selama proses pengaduan,

seperti menyediakan penjelasan dan usaha yang berarti dalam mencairkan

konflik yang terjadi. Tax, Brown dan Chandrashekaran (1998) dalam

Hema Malini (2003:11) menjelaskan bahwa faktor interaksional

membantu menjelaskan mengapa seseorang merasa diperlakukan tidak

adil, meskipun mereka akan menggambarkan prosedur pengambilan

keputusan dan hasil yang adil.

Keadilan interaksional sebagai persepsi keadilan di dalam interaksi

antara individu saat penyampaian jasa. Keadilan interaksional juga

didefinisikan sebagai kualitas interaksi antara dua pihak yang terlibat di

dalam suatu konflik. Keadilan interaksional timbul dari bagian

interpersonal dari suatu transaksi. Keadilan interaksional merupakan suatu

bagian yang intangible dari suatu pengalaman jasa yang terbentuk dari

penilaian keadilan yang berhubungan dengan kejujuran, keramahan, usaha,

empati, dan penjelasan (Keumaladewi, 2006:18). Kesdilan interpersonal

ini menggambarkan aspek kesopanan, kepedulian, dan kejujuran selama

proses pengaduan, seperti menyediakan penjelasan dan usaha yang berarti

(24)

Lebih lanjut dijelaskan dalam penelitian Hama Malini (2003:12),

penelitian marketing mengenai perilaku organisasi dan psikologi sosial

memberikan pengetahuan tentang lima elemen penting dalam keadilan

interaksional, yaitu :

a. Kejelasan (explanation )

b. Kejujuran (honesty)

c. Kesopanan (politeness)

d. Usaha (effort)

e. Kepedulian (empathy)

Keadilan interpersonal menggambarkan aspek kesopanan, kepedulian,

kejujuran, selama proses pengaduan, seperti menyediakan penjelasan dan

usaha yang berarti dalam menyelesaikan konflik atau perselisihan yang

terjadi. Tax dan Brown (1998) dalam Hama Malini (2003:12) mengatakan

bahwa keadilan interaksional berpengaruh positif terhadap kepuasan atas

penanganan keluhan.

2. Keadilan Prosedural

Dalam penelitian Hema Malini (2003:13) mendefinisikan keadilan

prosedural sebagai keadilan yang dapat dirasakan pelanggan sebagai

proses dimana pada akhirnya permasalahan dapat diselesaikan. Konsep

(25)

menceritakan permasalahan yang dihadapi dan perusahaan memberikan

penjelasan yang dapat diterima oleh pelanggan. Keadilan prosedural ini

sangat penting karena bertujuan untuk menyelesaikan konflik, sebagai cara

untuk mendorong kelanjutan hubungan produktif diantara pihak-pihak

yang berselisih terutama pada saat hasilnya tidak memuaskan bagi satu

pihak ataupun bagi kedua pihak.

Menurut Davidow (2003:69) Keadilan prosedural berkaitan dengan

keadilan yang digunakan dalam pengambilan keputusan. Dalam penelitian

prosedur, pelanggan membuat suatu penilaian subjektif mengenai proses

yang dilakukan penanganan kegagalan jasa. Atribut-atribut dari penilaian

tersebut adalah tanggung jawab, waktu dan kecepatan, kenyamanan, tindak

lanjut, process control, kefleksibelan, dan pengetahuan mengenai proses.

Keadilan prosedural merupakan prediksi penting dan berpengaruh

signifikan terhadap kepuasan.

Menurut Tax, Brown dan Chandrashekaran (1998) dalam Hema

Malini (2003:13) menggambarkan lima elemen penting pada keadilan

prosedural yang diidentifikasikan dalam bidang hukum, pemasaran,

psikologi, dan literatur organisasi yang merupakan bagian penting untuk

mengevaluasi keluhan. Lima elemen yang digunakan dalam penelitiannya

adalah :

1. Kontrol proses ( proses control )

(26)

3. Kecepatan ( timing atau speed)

4. Kemudahan menyesuaikan (flexibility)

Berbagai elemen itu secara bersama-sama menyatakan bahwa prosedur

penanganan keluhan yang adil adalah harus mudah diakses, menyediakan

unsur kontrol bagi para pelanggan yang menyampaikan keluhan, fleksibel

dan diselesaikan dengan cara yang pantas dan tepat waktu. Menurut

Sweeny (1992) dalam Hema Malini (2003:14) berdasarkan hasil

penelitiannya mengatakan bahwa keadilan prosedural merupakan prediksi

penting dan berpengaruh signifikan terhadap kepuasan, kinerja

perusahaan, dan komitmen perusahaan. Lebih lanjut lagi dijelaskan oleh

Smith, Bolton dan Wagner (1999:366) berdasarkan hasil penelitiannya

juga mengatakan bahwa keadilan prosedural yang diberikan oleh

perusahaan dapat mempengaruhi kepuasan pelayanan encounter yang

diterima oleh pelanggan.

3. Keadilan Distributif

Keadilan distributif ialah keadilan yang berhubungan dengan jasa,

kemakmuran, atau keberadaan menurut kerja, kemampuan, dan

kondisi/keberadaan seseorang (Saifudiens, 2009). Keadilan distributif

merupakan persepsi keadilan dari hasil yang terlihat (tangible) dari suatu

(27)

malini (2003:5) mengatakan bahwa keadilan distributif adalah keadilan

yang berhubungan dengan hasil keputusan penyelesaian atas penanganan

keluhan pelanggan. Keadilan ini menggambarkan aspek dari, koreksi pada

harga (corrections of charges), penggantian biaya (refund), perbaikan

(repairs), kredit (credit), penggantian barang (replacement), dan

permintaan maaf (apologies). Menurut Reis (2000) dalam Hema Malini

(2003:15), terdapat sekurang-kurangnya 17 standard peraturan dari

keadilan distributif yang telah dicatat ke dalam leteratur. Hal-hal yang

khusus diantaranya adalah prinsip : equity, equality dan need. Menurut

Oliver dan Swan (1999) dalam Hema Malini (2003:15), kebanyakan dari

penelitian marketing memfokuskan pada prinsip equity dan beberapa

penelitian mengatakan bahwa equity berpengaruh terhadap kepuasan

konsumen, disamping itu pembelian ulang keputusan dari word of mouth

juga berpengaruh.

Tax, Brown dan Chandrashekaran (2001) dalam Hema Malini

(2003:16), mengemukakan bahwa perusahaan-perusahaan yang

menjanjikan untuk memberikan kepuasan akan menciptakan harapan pada

pelanggan. Hal ini berarti berbagai keluhan yang diberikan akan ditangani

dalam kerangka yang mengacu pada aturan kebutuhan. Mereka yang

mengajukan keluhan dan mengetahui penyelesaian keluhan orang lain juga

berharap mendapatkan perlakuan yang sama. Oleh karena itu, pelanggan

akan mengevaluasi kelayakan kompensasi secara berbeda-beda yang

(28)

bersangkutan maupun perusahaan lain, pengetahuan akan penyelesaian

yang diperoleh pelanggan lain dan persepsi dari kerugian-kerugian yang

dialami. Hal ini menyatakan bahwa keadilan distributif paling tepat

dilakukan untuk penanganan keluhan yang diberlakukan dalam kerangka

umum, seperti apakah hasil penanganan keluhan adalah seperti sesuai

dengan yang seharusnya yaitu dapat memnuhi kebutuhan dan keadilan dari

pelanggan.

Dalam penelitian Hema malini (2003:16) mengatakan bahwa keadilan

distributif merupakan prediksi penting dan berpengaruh secara signifikan

terhadap kepuasan. Keadilan distributif ini meliputi alokasi kompensasi

(diskon, penggantian biaya, pemberian kupon, dan penggantian barang),

hal ini adalah respon perusahaan atas perbaikan kegagalan pelayanan yang

diberikannya. Kepuasan pelayanan encounter dipengaruhi secara positif

oleh keadilan distributif yang diberikan oleh perusahaan. Berdasarkan

hasil penelitiannya, perhitungan keadilan distributif mempunyai persentasi

nilai yang paling besar dari keseluruhan efek keadilan pada kepuasan

pelanggan.

Penelitian-penelitian empiris telah mendukung peranan keadilan

distributif dalam pemulihan jasa, suatu keadilan distributif berhasil dicapai

di dalam suatu pemulihan jasaapabila setidaknya pelanggan menerima apa

(29)

Kelley, Hoffman dan Davis (1993) dalam Hema malini (2003:15)

mengemukakan bahwa dalam penanganan keluhan, distribusi dan hasil

akhir penyelesaian dapat dilihat dari :

1. Penggantian biaya (refunds)

2. Perbaikan (repairs)

3. Koreksi (corrections)

4. Permintaan maaf ( apologies )

E. Word of mouth

Silverman (2001) dalam Keumaladewi (2006:18) mendefinisikan Word of

Mouth (WOM) sebagai berikut: Word of Mouth is communication about

products and services between people who are perceived to be independent of

the company providing the product or services, in a medium perceived to be

independent of the company.

Menurut John C Mowen Jilid II terjemahan Dwi Kartini (2002:180)

mengatakan bahwa komunikasi word of mouth mengacu pada pertukaran

komentar, pemikiran, atau ide-ide di antara dua konsumenatau lebih, yang tak

satupun merupakan sumber pemasaran. Komunikasi word of mouth

mempunyai pengaruh yang sangat kuat etrhadap perilaku pembelian

konsumen. Studi lainnya mendapatkan bahwa pengaruh komunikasi word of

(30)

efektif dari surat kabar dan majalah. Word of mouth diartikan sebagai suatu

bentuk komunikasi mengenai produk barang dan jasa antara orang-orang yang

independen, bukan merupakan bagian dari perusahaan penyedia produk

tersebut, yang terjadi melalui medium yang juga diyakini independen.

Komunikasi Word of Mouth dapat dianggap sebagai salah satu bentuk

tradisional dari komunikasi pemasaran. Word of Mouth merupakan

komunikasi interpersonal yang bersifat informal dengan pelakunya konsumen

sendiri bukan tenaga pemasaran. Word of mouth dianggap sebagai bentuk

iklan yang paling kredibel. Implikasinya terhadap para pemasar antara lain

mereka akan berfokus kepada kepuasan pelanggan. Perkembangan teknologi

pun membuat konsumen semakin cekatan dalam menghindari periklanan

tradisional. Word Of Mouth adalah sebuah konsep paling sederhana dalam

marketing namun juga sebuah konsep marketing yang tidak akan hilang

ditelan ombak. Kini para pemasar mengadopsi kembali konsep Word Of

Mouth. Ini karena melihat kenyataan bahwa pembelian bukan sebagai respons

dari iklan, namun sebagai respons dari apa yang mereka dengar sebelumnya

dari sumber-sumber yang dipercayai ( Syafrizalrahadian, 2009 ).

Dalam Dian Kamalia ( 2006:20 ), dampak pemasaran Word of Mouth

hampir selalu besar, bahkan lebih besar dari komunikasi personal, massa, atau

langsung. Menurut Harrison ( 2001 ) dalam Yusuf (2010:23) Intensitas Word

of Mouth lebih dihasilkan melalui kepuasan, kepuasan menghasilkan sebuah

(31)

sebuah pesan Word of Mouth. Informasi Word of Mouth menawarkan solusi

pada masalah ketidakpastian layanan yang ditawarkan sebelum menggunakan,

sehingga konsumen mencari informasi Word of Mouth dari sumber yang telah

berpengalaman dalam pemakaian suatu produk atau barang atau jasa,

(Cristiani, 2007:18 )

Dalam banyak industri (terutama sektor jasa), pendapat atau opini positif

dari teman atau keluarga jauh lebih persuasif dan kredibel dari pada iklan.

Oleh sebab itu, banyak perusahaan yang tidak hanya meneliti kepuasan total,

namun juga menelaah sejauh mana pelanggan bersedia merekomendasikan

produk perusahaan kepada orang lain. Word of mouth negatif bisa merusak

reputasi dan citra perusahaan. Pelanggan yang tidak puas bisa mempengaruhi

sikap dan penilaian negative rekan atau keluarganya terhadap barang dan jasa

perusahaan. Word of mouth negatif biasanya tersebar jauh lebih cepat dari

pada Word of Mouth positif. Bahkan biasanya dikatakan bahwa gossip

negative bisa menyebar secepat virus. Apalagi ada kecenderungan bahwa

lebih besar kemungkinan seorang pelanggan yang tidak puas menceritakan

pengalaman buruknya kepada orang lain dari pada pelanggan yang puas

menyampaikan pengalaman positifnya. Belum lagi ada kecenderungan orang

suka melebih-lebihkan cerita pengalamannya. Itulah sebabnya banyak

perusahaan yang mengadopsi program kepuasan pelanggan (Fandy Tjiptono,

(32)

Walker (2001:60) menyatakan bahwa terdapat dua konstruk untuk

pengukuran komunikasi Word of Mouth yakni Word of Mouth activity dan

Word of Mouthpraise. Word of Mouth activity dalam hal ini berkaitan dengan

tingkat penyebaran Word of Mouth. Dan Word of Mouth praise berkaitan

dengan valensi Word of Mouth.

1. Tingkat Penyebaran Word of Mouth

Davidow (2003:71), mengatakan bahwa penyebaran word of mouth

adalah aktifitas melakukan komunikasi word of mouth, kecenderungan

pelanggan untuk menceritakan pengalaman keluhannya. Tingkat

penyebaran Word of Mouth dapat dilihat dari seberapa sering seorang

individu terlibat di dalam komunikasi Word of Mouth dan juga dari

banyaknya kontak yang dilakukan. Dichter (1966) dalam Keumaladewi

(2006:20), mengatakan bahwa Frekuensi keterlibatan seseorang yang

tinggi terhadap produk barang ataupun jasa akan mengakibatkan terjadinya

pikiran-pikiran ataupun emosi yang berlebih yang dapat dengan mudah

dilekuarklan melalui komunikasi Word of Mouth, yang terkadang

dilakukan dengan sengaja, dengan tujuan untuk melepaskan ketegangan

atau pengalaman. Keterlibatan yang intens dengan suatu advertising

messages , juga menciptakan keinginan untuk terlibat dalam komunikasi

Word of Mouth mengenai pesan ataupun produk tersebut.

Holmes dan Lett (1977) dalam Keumaladewi (2006:21), menemukan

(33)

memiliki hubungan yang positif dengan perilaku penyebaran Word of

Mouth.

Penyebaran melalui mulut (word of mouth) ini tidak dapat dibendung.

Hal ini akan memberikan pengaruh yang tidak kecil terhadap produk atau

pelayanan atau jasa yang dimaksud. Hasil penelitian Octovate Consulting

Group tentang penyebaran Word of Mouth ini menyebutkan bahwa 89%

konsumen akan membeli barang berdasarkan rekomendasi orang lain atau

dapat menggunakan jasa pelayanan yang direkomendasikan oleh orang

lain, melalui penyebaran komunikasi Word of Mouth ini.

Istilah Word of Mouth digunakan untuk mendefinisikan komunikasi

verbal baik bersifat positif maupun negatif. Komunikasi ini dapat

berupaperbincangan antara dua orang atau lebih, atau sekedar

penyampaian testimonial secara satu arah. Medianya dapat berupa

pertemuan tatap muka, telepon, e-mail, listgroup, atau komunikasi lainnya.

Word of Mouth positif diyakini sebagai sarana yang sangat berharga dalam

mempromosikan produk barang dan jasa perusahaan.

Kotler dalam Cristiani, 2007 memberikan penjelasan bahwa ada 2

manfaat dari Word of Mouth, yakni :

1. Sumber Word of Mouth adalah meyakinkan, artinya Word of

Mouth adalah metode promosi dari konsumen oleh konsumen dan

untuk konsumen. Mempunyai konsumen yang loyal merupakan

(34)

mengulangi pembelian, tetapi mereka juga bercerita kepada orang

lain.

2. Sumber Word of Mouth mempunyai biaya rendah, artinya selalu

mempertahankan hubungan dengan konsumen yang puas dengan

produk yang dibelinya dan membuat konsumen menjadi penyebar

informasi bagi produk yang berbiaya kecil.

2. Valensi Word of Mouth

Dalam penelitiannya Davidow (2003:71) mengatakan bahwa valensi

word of mouth adalah tingkat kepositifan dari komunikasi word of mouth

yang telah dilakukan pelanggan. Dari perspektif pemasaran, Word of

Mouth dapat dipandang sebagai suatu valensi ( positif atau negatif ).

Positif Word of Mouth terjadi saat berita baik dan endorsement yang

diinginkan perusahaan diucapkan. Hal ini dapat terjadi berdasarkan atas

pengalaman pribadi, ataupun pengaruh dari komunikasi yang dilakukan

pihak ketiga. Negatif Word of Mouth merupakan kebalikannya. Hal ini

berati bahwa hal negatif dari sudut pandang perusahaan dapat dianggap

positif dari sudut pandang pelanggan.

Geoffrey ( 2003:332), menemukan bahwa kecenderungan untuk

melakukan negative Word of Mouth adalah positif dengan ketidakpuasan

dan berhubungan negative dengan persepsi pelanggan.

(35)

Negatif Positif

Menurut Kotler ( 1994 ) dalam Dion Kamalia ( 2006 ), konsumen

menerima dan menanggapi Word of Mouth pada kondisi dan situasi :

1. Konsumen kurang dapat informasi yang cukup untuk membantu

dalam melakukan pilihan.

2. Produknya sangat kompleks dan sulit dinilai dengan menggunakan

penilaian konteks.

3. Seseorang kurang mampu untuk dapat menilai produk, tidak

penting bagaimana informasi disebarkan dan ditujukan.

4. Sumber lain mempunyai kredibilitas rendah.

5. Pengaruh orang lain lebih mudah dijangkau dari pada sumber lain,

dan karena dapat dikonsultasikan dengan menghemat waktu, dan

tenaga.

6. Kuatnya ikatan sosial yang ada antar penyebar dan penerima

informasi.

Word of Mouth lebih efektif apabila digunakan dalam hal promosi

produk jasa dibandingkan barang karena produk jasa memiliki

karakteristik yang intangible ( tidak nyata )sehingga lebih beresiko

(36)

konsumen produk jasa akan lebih membutuhkan rekomendasi dari orang

lain mengenai produk jasa tersebut.

Elemen yang terpenting adalah bahwa Word of Mouth terjadi dari atau

di antara orang-orang yang dipersepsikan tidak memiliki kepentingan

komersial dalam mendorong orang lain untuk menggunakan produk

tertentu. Ini berarti tidak terdapat insentif tertentu yang menyebebkan

disampaikannya informasi yang salah atau tidak benar.

Word of Mouth dianggap juga sebagai sarana komunikasi yang sangat

powerful” dan dalam beberapa literatur dikatakan bahwa penyebabnya

adalah konsumen lebih percaya pada sumber-sumber informasi personal

atau informal dalam membuat keputusan pembelian suatu produk,

dibandingkan dengan sumber-sumber formal seperti iklan (Bansal dan

Voyer, 2000:169).

F. Kepuasan Pelanggan

Definisi kepuasan pelanggan menurut Brown (1992) The state in which

customer neesds, wants and expectation throughout the product on services

life are met or exceeded resulting in repeat purchase, loyalty and favorable

word of mouth. Definisi tersebut mengandung arti bahwa kepuasan pelanggan

adalah suatu kondisi dimana kebutuhan, dan keinginan pelanggan dan harapan

konsumen terhadap sebuah produk dan jasa sesuai atau terpenuhi dengan

tampilan dari produk dan jasa tersebut. Konsumen yang puas akan

(37)

konsumen loyal terhadap produk dan jasa tersebut dan senang hati

mempromosikan produk dan jasa tersebut dari mulut ke mulut.

Kepuasan berkaitan dengan evaluasi subyektif terhadap perasaan

seseorang. Perasaan yang timbul merupakan sebuah fungsi diskonfirmasi dan

outputnya relatif terhadap input. Hasil akhir dari evaluasi ini berupa perasaan

akan pemenuhan yang positif atau negatif. Menurur Kotler (2004:17),

“Satisfaction is a person’s feelings of pleasure or disapointment resulting

from comparing a product perceived performance (or outcome) in relation to

his or her expectations”.

Kepuasan pelanggan adalah sejauh mana tanggapan kinerja produk

memenuhi harapan pembeli. Bila kinerja produk lebih rendah ketimbang

harapan pelanggan, maka pembelinya tidak puas. Bila presentasi sesuai atau

melebihi harapan maka pelanggan merasa puas.

Menurut Kotler Jilid II (2005:70) Perasaan senang atau kecewa seseorang

yang muncul setelah membandingkan antara kinerja (hasil) produk atau jasa

terhadap kinerja yang diharapkan. Jika kinerka memenuhi harapan, maka

pelanggan akan puas. Kepuasan merupakan penilaian mengenai ciri atau

keistimewaan produk atau jasa itu sendir, yang berkaitan dengan pemenuhan

kebutuhan konsumsi konsumen.

Kepuasan pelanggan sebagai respon pelanggan terhadap evaluasi

ketidaksesuaian yang dipersepsikan antara harapan awal sebelum pembelian

(38)

pemakaiannya (Day dalam Rino Desanto, 2008:7). Kepuasan pelanggan

sebagai tanggapan emosional pada evaluasi terhadap pengalaman konsumsi

suatu produk atau jasa, dikutip oleh Setiawan, 2004 dalam Rino

Desanto(2008:7).

Tjiptono (2007:348) mengatakan bahwa kepuasan pelanggan berkontribusi

pada sejumlah aspek krusial, seperti terciptanya loyalitas pelanggan,

meningkatnya reputasi perusahaan, berkurangnya elastisitas harga,

berkurangnya biaya transaksi masa depan, dan meningkatnya efisiensi dan

produktivitas karayawan.

Kepuasan pelanggan adalah sebuah peringkat kepuasan yang dapat

diuraikan sebagai suatu kesesuaian pilihan produk dengan pemanfaatannya.

Kepuasan pelanggan adalah adalah suatu fenomena yang multidimensial,

seperti perceived quality atas jasa dalam mempertahankan pelanggan.

Menurut Hoffman dan Bateson (dalam Fitri Rahmayuni, 2006:29),

mengatakan bahwa ada 3 bentuk untuk menilai kepuasan dan ketidakpuasan

pelanggan, yaitu :

1. Diskonfirmasi Positif, yaitu apabila kinerja lebih baik dari yang

diharapkan.

2. Diskonfirmasi Sederhana, yaitu apabila kinerja sama dengan yang

(39)

3. Diskonfirmasi Negatif, yaitu apabila kinerja kurang dari yang

diharapkan.

Tingkat kepuasan pelanggan mencakup perbedaan antara tingkat

kepentingan dan kinerja atau hasil yang dirasakan. Menurut Freddy Rangkuti

(2006:24) mengatakan bahwa pengertian tersebut dapat diterapkan dalam

penelitian kepuasan atau ketidakpuasan terhadap satu perusahaan tertentu

karena keduanya berkaitan erat dengan konsep kepuasan konsumen.

Gambar 2.1

Konsep Kepuasan Pelanggan

Tujuan Perusahaan Kebutuhan dan keinginan pelanggan

Produk / Jasa

Pelanggan nilai produk / Tingkat Kepuasan Harapan Jasa bagi pelanggan Pelanggan terhadap produk

Sumber : Freddy Rangkuti (2006) measuring customer satisfaction. Jilid III, hal 24

Freddy Rangkuti (2006:24) mengatakan bahwa Tujuan utama

perusahaan adalah menciptakan kepuasan pelanggan, namun jika harus

menurunkan harga atau meningkatkan jasa mereka yang kemudia terjadi

adalah penurunan keuntungan. Untuk mengetahui bagaimana mengenai

(40)

dapat mengukur kepuasan pelanggan dengan beberapa metode. Menurut

(Cravens dalam Jum’i, 2007:31 ), tingkat kepuasan pelanggan dipengaruhi

oleh 3 hal, yaitu :

1. Citra (Image )

Suatu citra dari perusahaan atau merek merupakan suatu hal yang

juga dapat memberikan keunggulan kompetitif karena hal tersebut

akan mempengaruhi tingkat kepuasan konsumen.

2. Kinerja karyawan (employee performance)

Kinerja suatu produk dan sistem pengantoran tergantung kepada

seberapa baik keseluruhan fungsi organisasi dalam usaha memuaskan

kepuasan konsumen. Sehingga semua pihak dalam organisasi akan

mempengaruhi konsumen termasuk karyawan.

3. Persaingan ( Competition )

Kekuatan dan kelemahan pesaing juga akan mempengaruhi

kepuasan kosumen dan memberikan peluang untuk mendapatkan

keunggulan kompetitif. Menemukan kesenjangan antara kebutuhan

konsumen dengan yang ditawarkan pesaing akan memberikan peluang

untuk meningkatkan kepuasan konsumen.

Tjiptono (2007: 356) menerangkan tentang model kepuasan

(41)

disconfirmation model), equity theory, experientially based affective

feeling, assimililation contrast theory, ooponent process theory, serta

model anteseden dan konsekuensi kepuasan pelanggan.

1. expectancy disconfirmation model

Bedasarkan konsumsi atau pemakaian produk atau merek

tertentu dan juga merek lainnya dalam kelas produk yang sama,

pelanggan membentuk harapannya mengenai kinerja dari merek

bersangkutan. Harapan atas kinerja ini dibandingkan dengan

kinerja aktual produk (yakni persepsi terhadap kualitas).

2. Equity Theory

Model trasdisional Equity Theory (dikenal pula dengan

istilah keadilan distributif dalam leteratur sosiologi) berusaha

mengoperasionalkan prinsip utama ”pertukaran” ( exchange).

Menurut Homans dikutip dalam Tjiptono (2007:358), reward yang

didapatkan seseorang dari pertukarannya dengan orang lain harus

proporsional dengan investasinya.

3. Attribution Theory

Attribution Theory mengidentifikasi proses yang dilakukan

seseorang dalam menentukan penyebab aksi / tindakan dirinya,

orang lain, dan objek tertentu. Atribusi yang dilakukan seseorang

(42)

atau jasa tertentu, karena atribusi memoderasi perasaan puas atau

tidak puas.

4. Experientally based affective feelings

Pendekatan eksperiensial berpandangan bahwa tingkat

kepuasan pelanggan dipengaruhi perasaan positif dan negatif yang

diasosiakan pelanggan dengan barang atau jasa tertentu setelah

pembeliannya. Dengan kata lain, selain pemahaman kognitif

mengenai diskonfirmasi harapan, perasaan yang timbul dalam

proses purnabeli juga mempengaruhi perasaan puas atau tidak puas

terhadap produk yang dibeli.

5. Assimilation Contrast Theory

Menurut teori ini, konsumen mungkin menerima

penyimpangan (deviasi ) dari ekspektasinya dalam batas tertentu.

Apabila produk atau jasa yang dibeli dan dikonsumsi tidak terlalu

berbeda dengan apa yang diharapkan pelanggan, maka kinerja

produk atau jasa tersebut akan diasimilasi atau diterima dan produk

atau jasa bersangkutan akan dievaluasi secara positif.

(43)

Teori ini berusaha menjelaskan mengapa pengalaman

konsumen yang pada mulanya sangat memuaskan cenderung

dievaluasi kurang memuaskan pada kejadian atau kesempatan

berikutnya. Dasar pemikirannya adalah pandangan bahwa

organisme akan beradaptasi dengan stimuli di lingkungannya,

sehingga stimuli berkurang intensitasnya sepanjang waktu

7. Model anteseden dan konsekuensi pelanggan

Model anteseden dan konsekuensi kepuasan pelanggan.

Dalam model tersebut anteseden kepuasan pelanggan meliputi,

ekspektasi pelanggan, diskonfirmasi ekspektasi, kinerja, affect,

equity (penilaian konsumen terhadap keadilan interaksional,

prosedural dan distributif). Sedangkan konsekuensi kepuasan

pelanggan diklasifikasikan menjadi 3 kategori, yaitu perilaku

(44)

Gambar 2.2

Model Anteseden dan Konsekuensi Kepuasan Pelanggan

Ekspektasi

Affect

Equity / keadilan diatributif

Perilaku komplain

Minat pembelian Ulang Word of mouth Kepuasan

Kinerja Diskonfirmasi

Sumber : Szmanski dan Henard (2001) dalam Tjiptono (2007:353)

Tjiptono (2007:366) mengemukakan enam konsep cara mengukur

kepuasan pelanggan, yaitu :

1. Kepuasan pelanggan keseluruhan (Overall Customer Satisfaction )

Cara yang paling sederhana untuk mengukur kepuasan pelanggan

adalah langsung menanyakan kepada pelanggan seberapa puas mereka

dengan produk atau jasa spesifik tertentu. Biasanya ada dua bagian dalam

proses pengukurannya. Pertama, mengukur tingkat kepuasan pelanggan

(45)

membandingkannya dengan tingkat kepuasan pelanggan keseluruhan

terhadap produk dan jasa para pesaing.

2. Dimensi kepuasan pelanggan

Berbagai penelitian memilah kepuasan pelanggan ke dalam

komponen-komponennya. Umumnya, proses semacam ini terdiri atas

empat langkah. Pertama, mengidentifikasi dimensi-dimensi kunci

kepuasan pelanggan. Kedua, meminta pelanggan menilai produk dan jasa

perusahaan berdasarkan item-item spesifik, seperti kecepatan layanan,

fasilitas layanan, atau keramahan staf layanan pelanggan. Ketiga,

meminta pelanggan menilai produk dan jasa pesaing berdasarkan

item-item spesifik yang sama. Dan keempat, meminta para pelanggan untuk

menentukan diemnsi-dimensi yang menurut mereka paling penting dslam

menilai kepuasan pelanggan keseluruhan.

3. Konfirmasi Harapan ( Confirmation of Expectations)

Dalam konsep ini, kepuasan tidak diukur langsung , namun

disimpulkan berdasarkan kesesuaian atau ketidaksesuaian antara harapan

pelanggan dengan kinerja actual produk perusahaan pada sejumlah atribut

(46)

4. Minat pembelian ulang ( Repurchase intent )

Kepuasan pelanggan diukur secara behavioral dengan jalan

menanyakan apakah pelanggan akan berbelanja atau menggunakan jasa

perusahaan lain.

5. Kesediaan untuk merekomendasi (Willingness to recommend )

Dalam kasus produk yang pembelian ulangnya relative lama atau

bahkan hanya terjadi satu kali pembelian (seperti pembelian mobil, broker

rumah, asuransi jiwa, tur keliling dunia, dan sebagainya), kesediaan

pelanggan untuk merekomendasikan produk kepada teman atau

keluarganya menjadi ukuran yang penting untuk dianalisis dan

ditindaklanjuti.

6. Ketidakpuasan pelanggan (Customer Dissatisfaction)

Beberapa macam aspekk yang sering ditelaah guna mengetahui

ketidakpuasan pelanggan, meliputi komplain, retur atau pengembalian

produk, biaya garansi, product recall (penarikan kembali produk dari

pasar), gethok tular negative, dan defections (konsumen yang beralih ke

pesaing ).

G. Intensitas Penggunaan Ulang Pelanggan

Perusahaan jasa harus dapat memberikan secara konsisten jasa yang

(47)

penyedia jasa dengan membandingkan pelayanan yang dirasakan (perceived

services) dengan yang diharapkan (expected services). Jika pelayanan yang

dirasakan berada dibawah yang diharapkan, maka timbul suatu ketidakpuasan

pelanggan, rasa kepercayaan pelanggan terhadap penyedia jasa menjadi

berkurang atau hilang sama sekali. Sebaliknya jika pelayanan yang dirasakan

sama atau lebih besar dari yang diharapkan, maka pelanggan merasa puas.

Mereka akan menggunakan kembali jasa tersebut dan memberitahukan kepada

yang lain, sehingga menjadi alat promosi yang efektif, dan kelangsungan

hidup perusahaan menjadi lebih terjamin.

Intensitas penggunaan ulang menunjukkan keinginan pelanggan untuk

melakukan penggunaan ulang pelanggan untuk waktu yang akan datang.

Intensi adalah kecenderungan untuk melakukan tindakan terhadap objek

(Assael dalam Rino Desanto, 2008:9). Intensi pembelian adalah hasil proses

evaluasi terhadap merek. Tahapan terakhir dari pengembalian keputusan

secara komplek termasuk membeli merek yang diinginkan, mengevaluasi

merek tersebut saat dikonsumsi dan menyimpan informasi ini untuk digunakan

dimasa yang akan datang. Ketika seorang konsumen mengevaluasi terhadap

merek, mereka cenderung untuk membeli merek yang memberikan kepuasan

tinggi. Persepsi kualitas pelayanan dan kepuasan secara bersama-sama

berpengaruh secara signifikan terhadap intensi pembelian ( Wijaya, 2004

(48)

Penelitian-penelitian terdahulu menghubungkan kepuasan dengan intensi

penggunaan ulang. Kepuasan diidentifikasikan memiliki pengaruh yang

positif terhadap intensi penggunaan ulang sendiri didefinisikan sebagai suatu

penilaian individu mengenai penggunaan ulang suatu jasa dari perusahaan

yang sama, penilaian ini berdasarkan atas situasi saat ini dan kemungkinan

situasi yang terjadi (Sitaniapessy, 2008 ).

H. Penelitian Terdahulu

Penelitian tentang hubungan variabel-variabel yang mempengaruhi intensi

penggunaan ulang jasa sebelumnya telah dilakukan oleh Davidow (2003:67)

yang berjudul The Effect of Word of Mouth on Perceived Justice, Satisfaction,

and Repurchase Intentions Following Complaint Handling. Dalam studinya,

Davidow (2003:67) menguji efek yang diberikan oleh komunikasi Word of

mouth sebagai variabel mediator antara persepsi keadilan, kepuasan, dan

intensi penggunaan ulang pelanggan. Studi tersebut menguji dimensi-dimensi

persepsi keadilan dalam penentuan perilaku pasca keluhan. Persepsi keadilan

dalam hal ini adalah keadilan Interaksional, keadilan prosedural, dan keadilan

distributif. Keterlibatan pelanggan didalam aktifitas word of mouth dapat

memberikan dampak pada penilaian kepuasan dan perilaku selanjutnya.

Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa ketiga dimensi keadilan

memiliki hubungan yang kuat dan signifikan terhadap word of mouth

(Penyebaran word of mouth dan valensi word of mouth). Keadilan distributif

(49)

keadilan. Selain itu Davidow (2003) pun berhasil membuktikan bahwa word

of mouth merupakan sebuah faktor kunci mediator hubungan antara persepsi

keadilan terhadap respon perusahaan dengan kepuasan dan Intensi pembelian

ulang

Pada penelitian Hema Malini (2003:78) yang diberi judul ”Pengaruh

Keadilan Interaksional, Keadilan Prosedural, dan Keadilan Distributif

terhadap kepuasan pada penanganan keluhan pelanggan” mengatakan bahwa

ketiga dimensi keadilan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap

Kepuasan atas penanganan keluhan, bahwa tinggi rendahnya tingkat kepuasan

atas penanganan keluhan pelanggan dipengaruhi oleh tinggi rendahnya tingkat

keadilan Interaksional, Keadilan Prosedural, dan Keadilan Distributif yang

dilakukan oleh perusahaan.

Pada penelitian Rino Desanto (2008:26) yang berjudul ”Pengaruh Kualitas

Pelayanan, dan Kepuasan Konsumen Terhadap Intensi Hunian Ulang Hotel

Merdeka Madiun”, mengatakan bahwa nilai tabel dengan tingkat signifikansi

5%, derajat bebas (2,97), didapat angka 3,1. oleh karena nilai F hitung > nilai

F tabel ( 17.399 > 3,1), maka Ho ditolak, artinya kualitas pelayanan dan

kepuasan konsumen secara bersama-sama berpengaruh secara signifikan

terhadap intensi hunian ulang pelanggan. Demikian juga dilihat dari

probabilitasnya < 0,05, berarti koefisien regresi berganda signifikan. Jadi

kepuasan konsumen berpengaruh secara signifikan terhadap intensi hunian

(50)

Dalam Penelitian Lori Molinari, et al (2008:368) yang berjudul

Satisfaction, Quality and Value and Effeects on Repurchase and Positive

Word of Mouth Behavioral Intentions in B2B Services Context” mengatakan

Kepuasan memiliki hubungan yang positif dengan Intensi Pembelian Ulang,

dengan nilai t 3.030 dan niali p 0,0164 dan koefisien jalur sebesar 0,23. Dan

Word of Mouth memiliki hubungan yang positif dengan kepuasan, dan Intensi

Pembelian Ulang,

Dalam penelitian Wijaya ( 2004 ) yang berjudul pengaruh persepsi kualitas

pelayanan dan kepuasan konsumen terhadap keinginan membeli, mengatakan

bahwa persepsi kualitas pelayanan dan kepuasan secara bersama-sama

berpengaruh secara signifikan terhadap intensitas pembelian ulang.

I. Kerangka Pemikiran

Dalam penelitian ini akan diteliti tentang bagaimana efek komunikasi word

of mouth berpengaruh sebagai mediator antara persepsi keadilan dan kepuasan

serta dampaknya terhadap intensitas pembelian ulang pelanggan pada pasca

penanganan keluhan pelanggan PT.Astra Honda di Ciledug dengan mengacu

pada penelitian Davidow ( 2003:67) dan penelitian-penelitian sebelumnya.

Davidow (2003:68) menyatakan bahwa Ketiga variabel keadilan, yaitu

keadilan prosedural, distributif, dan interaksional mempengaruhi word of

mouth (Valensi word of mouth dan penyebaran word of mouth ) kepuasan dan

intensitas pembelian ulang pelanggan. keterlibatan pelanggan didalam

(51)

penilaian kepuasan dan perilaku selanjutnya, oleh karena itu Davidow

(2003:68) beranggapan bahwa daripada menjadi suatu hasil keluaran,

komunikasi Word of mouth dapat menjadi variabel mediator yang

mempengaruhi kepuasan dan intensi penggunaan ulang pelanggan. Juga

menjelaskan adanya hubungan yang positif antara persepsi keadilan dengan

kepuasan , dan menunjukkan adanya hubungan yang positif antara persepsi

keadilan dengan intensitas pembelian ulang.

Davidow (2003:69) berpendapat bahwa pelaku keluhan menilai aktifitas

komunikasi word of mouth mereka dan kemudian menentukan kepuasan dan

intensitas pembelian ulang mereka. Dengan kata lain, aktivitas komunikasi

word of mouth akan mempengaruhi tingkat kepuasan atau intensi pembelian

ulang. Davidow ( 2003:76) juga berhasil membuktikan bahwa word of mouth

merupakan sebuah faktor kunci mediator hubungan antara persepsi terhadap

kepuasan dan intensi penggunaan ulang. Ditemukan pula bahwa word of

mouth merupakan variabel yang paling kuat mempengaruhi intensi

penggunaan ulang pelanggan. Selain word of mouth dibuktikan juga kepuasan

merupakan variabel mediator lainnya yang juga memiliki pengaruh kuat dalam

hubungan dengan intensi penggunaan ulang pelanggan. Word of mouth

berpengaruh terhadap kepuasan dan intensi penggunaan ulang.

Penelitian-penelitian terdahulu menghubungkan kepuasan dengan intensi

penggunaan ulang. Kepuasan diidentifikasikan memiliki pengaruh yang

(52)

jasa. Intensias penggunaan ulang sendiri didefinisikan sebagai suatu penilaian

individu mengenai penggunaan ulang suatu jasa dari perusahaan yang sama

(Hellier et al.,2003:1762).

Davidow (2000) menemukan bahwa service quality (kualitas pelayanan),

yang terdiri dari timeliness (kecepatan merespon), apology (permintaan maaf),

redress (perbaikan), facilitation (pemfasilitasan), creadibility (kreadibilitas),

dan attentiveness (perhatian) dapat mempengaruhi satisfaction (kepuasan),

dan kepasan ini mempengaruhi keinginan untuk melakukan repurchase

(pembelian ulang) pelanggan.

Anderson ( 1998 ) dalam Davidow (2003:69)Komunikasi Word of mouth

(penyebaran dan valensi ) diasumsikan mempengaruhi kepuasan dan intensi

penggunaan ulang, dengan menggunakan prinsip konsistensi san self

perception theory untuk mendukung asumsi ini. Dengan kata lain, apabila

seorang konsumen telah membuat keputusan, ia akan mendapatkan tekanan

internal untuk berperilaku konsisten dengan komitmennya tersebut. Dengan

kata lain, aktivitas komunikasi Word of mouth akan mempengaruhi tingkat

kepuasan atau intensi penggunaan ulang.

Keumaladewi (2006:29) mengatakan bahwa ketiga persepsi keadilan

memiliki hubungan yang positif dengan word of mouth, dan kepuasan.

Adanya hubungan yang positif antara persepsi keadilan dengan kepuasan

ditunjukkan oleh penelitian Bowman dan Narayandas (2001) dalam

Gambar

Gambar 2.1
Gambar 2.2
Gambar 2.3 Persamaan analisis jalur struktur I,II,III
tabel model summaryb dan tertulis R square yang sudah disesuaikan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh customer relationship management dan kualitas layanan terhadap pembelian ulang melalui word of mouth sebagai variabel

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis Pengaruh Word of Mouth Communication Terhadap Keputusan Pembelian Konsumen terhadap Artline Studio Gallery

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh persepsi harga (X1), kualitas produk (X2), citra merek (X3) dan word of mouth (X4) terhadap keputusan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar pengaruh komunikasi word of mouth terhadap munculnya brand awareness produk makanan Blue Sky Mantau pada

Keywords: Electronic Word of Mouth, Brand Image, Online Purchase Intention ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh citra merek dalam

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh word of mouth dan lokasi terhadap proses keputusan pembelian survei pada konsumen kopi skuter6666.. Serta