ELIT
POTITIKLOKAL
DALAM KONFLIK IBUKOTA
DI
KABUPATEN
MOROWALI
Darwis
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tadulako, Palu
Email : darwis@y ahoo.com
ABSTRACT
Conflict in the district capital of Morowali placement lasted about fioe yearc since its establishment as
the new regional autonomy in Indonesia based on Law No. 51/1999. This regulation prouides that the
Central region was the capital of the definitiae Bungku Morowali district. Kolonodale areas that are
designated as temporury capital of less than flae years oztet the functioning of the capital while in
Kolonodale, more accelerated deuelopment in the region, while the Middle Bungku not accelerating
de-aelopment. This is a factor of conflict. ln fact, the split at the letsel of local politicnl elites in both local
gopernment agencies as u:ell as implications
for
the local parliament Morowali communityin
tzao groups of d.ffitent ethnic communities of religious, ethnic Bungku the Muslim maiority and ethnic Mori generally Christian. Conflicts of capital and then rolled into the rcalm of the existence of a se-cond bout of ethnic communities is the result of mass mobilization which is anarchy. Conflict with thediscourse in society is important
for
the transfer of capital into the local political elite to exploit themomentum of mass localization t'acing the 2004 election and the Election of Regent Morowali (Iocal election) 2007.
Keyword: Local political elites, ConJlict
ABSTRAK
Konflik penempalan ibukota di Kabupaten Morowali bulangsung kurang lebih lima tahun sejak ber-diri sebagai daerah otonomi daerah baru di lndonesia berdasarkan undang-undang No' 51/1'999.
Re-gutasi
ini
mengatur bahwa wilayah Bungku Tengah merupakan ibukota definitif KabupatenMoro-wali. Wilayah Kolonodale yang ditetapkan sebagai ibukota sementata Selama kurang lebih lima tahun berfungsinya ibukota sementara di Kolonodale, pembangunan lebih terpacu di wilayah tercebut, se-mentara itu Bungku Tengah tidak mengalami percepatan pembangunan. Hal ini yang menjadi faktor penyebab terjadinya konflik. Bahkan, perpecahan pada
lnel
elit politik loknl baik pada lembagapeme-rintahan daerah maupun di DPRD Kabupaten Morowali berimplikasi terjadinya pembelahan
masya-rakat dalam dua kelompok komunitas etnis yang berbeda agama, yaitu etnis Bungku mayoitas
bera-gama lslam dan etnis Mori pada umumnya bugama Kristen. Konflik ibukota kemudian bergulir ma-suk ke ranah pertarungan eksistensi kedua komunitas etnis tersebut yang mengakibatkan terjadinya mobilisasi massa yang bersifat anarkis. Konflik dimasyarakat dengan wacana pemindahan ibukota menjadi penting bagi elit politik lokal memanfaatkan ffiomentum tersebut melakukan lokalisasi massa
menghadapi Pemilu 2004 dan Pemilihan Bupati Motou:ali (Pilkada) 2007.
Kata kunci: Elit politik lokal, Konflik
Darwis
Elit Politik Lokal Dalam Konflik lbukcta
Di Kabupaten Morowall
)urnal studi Pemerintahon
Volume 2 Namot 2 Agustus 2C11
PENDAHULUAN
Pelaksanaan otonomi daerah pasca rezim Pemerintahan Orde Baru telah memasuki
dasawarsa kedua dengan harapan terjadinya perbaikan penataan manajemen pemerintahan
dan
proses demokratisasiyang lebih baik
pada araspolitik
lokal.
Penataan manajemenpemerintahan dan
politik lokal
rnengalami dinamisasi yang cukup intens sehingga dalamperjalanan rezim kebijakan desentralisasi dihadang dengan beragam problematita.
Dinamika
pelaksanaan
otonomi
daerah
diwamai
dengan
munculnya
eforia masyarakatlokal untuk
melakukan pemekaran daerah. Pemekaran daerah telah menjadisarana berhimpunnya berbagai kekuatan masyaraket lokal yang bernuansa ekris, agama dan
budaya
untuk
bersama-sama berjuang dalam mewujudkan daerah baru. Salah satu aktoryang
rnemiliki
peran penting dalam perhimpunan kekuatan tersebut adalahelit
lokal. EIitpoitik
lokal
memiliki
berbagai kelebihan
dan
ker.rnggulanterutama dengan
mudahmendapatkan akses
terhadap
kekuasaan danmemiliki
dana (finance) yang memadai. Olehkarena
itu, elit
politik lokal
sulit
menafikan kehadirannya dalam konstruksi
prosespemekaran daerah dewasa
ini,
meskipun merekaterlibat
dengandominasi
kepentinganpolitik.
Dengan dasar kepentinganpolitik elit politik lokal inilah
yang menjadi salah satuproblem dalam mewujudkan
berjalannyaotonomi
daerahyang lebih
baik
dan
dapat meningkatkan kesejahteraan warganya. Bahkan, tidak jarang daerah yang telah dimekarkandidera konflik yang
berkepanjangan. Masalah-masalahyang dialami
daerah pemekaranpada
umumnya
berupakonllik
perbatasan,konllik
ibukot4
masalah utang-piutang danserah terima asset-asset daerah (Tri Rahrawati, 2010). Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
menegaskan sikapnya bahwa moratorium pemekaran daerah tetap ditanjutkan, karena 80%
dari
205 daerah pernekaran baru selama 10 tahun terakhirdinilai
kurang berhasil. Daerahotonom baru ini justru menimbulkan banyak masalah (Kompas, 15
luli
20101.Kabupaten
Morowali
sejakberdiri
sebagai daerah otonomi baru pada 5 Oktober 1999 berdasarkanUndang-Undang
No.
51/1999 bersamaandengan Kabupaten
Buol
danKabupaten Banggai Kepulauan
di
wilayah
administratif Provinsi
SuJawesi Tengahmengalami
konJlik
ibukota
yang
berkepanjangan. Undang-Undang
No.
57/1999 merekomendasikanbahwa
ibukota
definitif
Kabupaten
Morowali
adalah
Kecamatan Bungku Tengahdan wilayah
Kolonodale sebagaiibukota
sementara dalam batas waktumaksimal lima tahun. Kolonodale ditetapkan sebagai ibukota sementara sehubungan
untuk
Darwis
Jurno! Studi Pemerintohon
Volume 2 Nomor 2 Agustus 2011
mempersiapkan infrastruktur, sarana perkantoran dan pelayanan
publik
lainnya di wilayahBungku
Tengah.Oleh
karenaitu, elit
politik
lokal yang
beradapada wilayah
otoritaskekuasaan baik di eksekutif maupun legislatif lokal sebagai pemangku pengambil kebijakan
publik
hendaknya mengindahkan undang-undang tersebut.Namun
kenyataannya, justru KabupatenMorowali telah dua
kali
pergantianbupati
pembangunanlebih banyak
ter konsentrasi di Kolonodale. Malah para anggota DPRD Kabupaten Morowali yang berjumlah25
orang
mengalami perpecahaninternal menjadi
dua kubu
sehinggatidak
mampu mengontrolftrngsi
pemerintah daerah. Perpecahandi
level
elit
politik
lokal
kemudianberimplikasi
terjadinya pembelahan masyarakat secarakultural menjadi dua
komunitasbesar,
yaitu
komunitas etnis Bungku yang mayoritas Islam dan komr:nitas etorisMori
yangpada umumnya Kristen.
Konflik ibu
kotadi
KabupatenMorowali
yang berlangsung kurang lebihlima
tahun darikurun waktu
2001 hingga 2006 yang mengakibatkan masyarakat terbentuk dalam duakub4
yaitu
kubu Bungku dan kubu Kolonodale dengan kepentingan yang berbeda. KubuBungku berjuang untuk memindahkan ibukota dengan argumen bahwa selama interval lima
tahun ibukota
sementara beradadi
Kolonodale kebijakan pembangr.rnanlebih
banyak terkonsentrasidi
Kolonodale dan sekitarnya. Sementaraitu, kubu
Kolonodaleuntuk
tetap mempertahankan ibukotadefinitif
tetap beradadi
Kolonodale sambil menunggu Peraturan Pemedntah (PP) sebagai petunjuk teknis.Perpecahan pada level masyarakat yang kemudian dimanfaatkan oleh elit
politik
lokal hadir sebagai sosokfigul
memperjuangkan kepentingan masyarakat yang berbasisetris
danagama.
Elit politik
lokal sebagai aktor penting yangmemiliki
peran besar dan menentukandalam
pengarnbilankebijakan
publik
mernbangunkonflik
yang
bernuansa kultural. Perpecahanmasyarakat
secarakultural
merupakan setting
elit politik lokal
dalam membangun kekuatanpolitik
identitas r:ntuk menghadapi pemilihan umum legislatil 2004dan pemilihan Bupati Morowali 2007.
KERANGKA
TEORITIK
Secara
terminologi,
konflik
merupakan gambaransituasi atau
keadaandi
mana terdapatdua
ataulebih
orang (aktor) yangterlibat
dalam pertentangan, perselisihan danDarwis
281lunal Studi Pemerintahan
Volume 2 Nomor 2 Agustus 2411
perbedaan tujuan atau kepentingan (WolJf, 2005). Dan
konflik
menurut Jeong (2008) kerapberkaitan dengan
dimensi
politil
etika dan psikologis. Sejalan dengan pendapat Wolff,Bartos
dan Wehr
(2002), serta Jeong menggambarkan bahwakonflik
merupakan situasi dimana terjadinya suatu pertentangan dan permusuhan diantara para aktor dalam mencapaisuatu tujuan tertentu,
yaitu
kepentingan. Bartos dan lVehr (2002), kemudian menunjukkankriteria
situasikonflik,
jika
kejadianitu
terdapatadany4
pertent angan (inmmpntibility),permusuhan (hostilifu), dan
perilaku konflik
(conflict behaaior). Sejalan dengan Bartos dan Wehr, Rauf (2001) mengemukakan bahwa istilahkonflik
dapat diartikan pula sebagai setiappertentangan atau perbedaan pendapat antara paling
tidak
dua orang atau kelompok dan pertentanganitu
didasarkan pada adanya perbedaan kepentingan.Pruitt
dan Rubin (2004),secara gamblang mendefinisikan
konflik
sebagai sebuah persepsi mengenai perbedaankepentingan
(perceiaed diaugenceof
interest).Untuk
lebih
jelasnya tentang
kon{Iik kepentingan,Pruitt
dan Rubin
(2004) menjelaskanistilah
kepentingan (interest) dalamkonteks
ini
adalah
sebuah pertentanganatau
perbedaankeinginan atau tujuan
yang sesr:ngguhnyadiinginkan.
Kepentingan dapatberwujud
keinginan akan rasa aman dariancaman (threat), ketngSnan mendapatkan kekuasaan (pouer) dan
hidup yang lebih
baik (surcioe).Konflik
kepentingan beragam dimensi dan manifestasiny+ bisaberwujud
dalambentuk pertarungan
nilai-nilai,
kekuasaan dan sumber-sumber langka. Levis Coser (1956)mengatakan bahwa " conflict
is
a struggle ooer palues and claims to scflrce status, pouset andresources
in
which the aimsof
the opponents are neutralized, injureor
eliminate theirioals".
Dengan demikian,
pada
dasamyakonllik
kepentingan dapat melibatkantiga hal,
yaitu status, kekuasaan (politik), dan surnber daya yang langka (Hae,Zan,
Nur, 2000).Perbedaan
kepentingan setidaknya menunjukkan adanya
motif individu
ataukelompok yang mengalami konflik. Selanjutrya,
konflik
didasarkan pada motif kepentingan(Kriesberg 1982; Rubin, 1995). Kriesberg (1982) mengatakan bahwa: " conflict exists when two
or tnore percofls or groups manifest the belief that haae incompatible objectiaes".
KonIlik
kepentingan yang menekankan pada motif pertarungan kekuasaan (struggle ofpower) dan perebutan dominasi sumber-sumber daya
yang
langka (resources and positionscarcity)
lebih
berdimensipada
penghampirankonflik
poknk
@olitical conflict approach).Dalam
pandanganRauf
(2001),konflik politik
mempunyai
keterkaitan dengan negara/pemerintah,
para
peiabat politik/pemerintahan,politisi, dan yang
berhubungan denganDarwig
Elit Politik Lokal Dalam Konflik Ibukota
Jatnol Studi Pemefintahan
Volume 2 Namo( 2 Agustus 2A71 pengambilan kebijakanlkeputusan.
Konflik
politik
menekankan pada pertentangan antarkolornpok
(kubu)
dengan mempergunakan isu-isupublik
yang menyangkut kepentinganbanyak orang
yang lebih
mengarah kepada adanya
relasi
kekuasaanatau
prosespengambilan keputusan. Dalam
konflik politik
yang menjadi aktor utama adalah elitpolitik
karena merekalahy*g
memiliki
relasi pada pusaran kekuasaan.kri
sejalan dengan asumsidasar Gaetano Mosca (1939) yang mengatakan bahwa dalam suatu komunitas masyarakat
terdiri
dari sejumlah kecil elitpolitik
yang memiJiki kekuasaan pohtlk (the ruling class) dansejumlah besar masyarakat
yang
secaraumum
berada dalam posisidiperintah
(the ruledclass).
Untuk
lebih mudah
mengidentifikasikonllik
dalam
masyarakat,Gurr
(1980), ber pendapat bahwa setidaknya ada empat persyaratan agar dapat dikategorikankonIlik
dalammasyarakat
yaltr:
Pertama, terdapat dua atau lebihpihak (individu
ataukelompok)
yangtefli.bal. Kedua, mereka
terlibat
dalam tindakan-tindakanyang
saling memusuhi. Keflga, meleka menggunakan perlakuan-perlakuan kekerasan yang bertujuanuntuk
menghancur kan,melukal
dan menghalang-halangi lawannya. Keempat, reaksi pertentanganini
bersifatterbuka
sehinggadapat
dideteksi denganmudah oleh
oranglain
(obseruer). SelanjutnyaDahrendoef (1986), menunjukkan ciri-ciri penyebab terjadinya kon{Iik, yaitu: Pertama, katena
tidak
tercapainya kepentingandari
individu
maupun kelompok (party). Kedua, keinginan memperbaharui kepentingan. Ketiga, adanya rasacembunl
ketidak kesenangan kesuksesan atau kelompok komunitas tertenfu.Dengan demikian,
konllik politik
dapat dipahami dari berbagai dirnensi dalam melihatfaktor
penyebab,motiJ
dan
kepentingan-kepentinganpolitiknya.
Pertama,dari
segi pengertiannya,kon{lik
diartikan
sebagai pertentanganyang
terbuka antar
kekuatan-kekuatanpolitik
(kubu) yang rnemperebutkan kekuasaan sehingga dapatdilihat
oleh orangluar.
Pengertian
konflik
di
sini
merujuk kepada hubungan
antar
kekuatan politik
(kelompok&ubu dan
individu
yang memiliki jaringan dalam struktur
kekuasaan) yang merasamerniliki
sasaran-sasaranyang
tidak
#1aIan. Kedua, sasaran-sasaranyang
ddak sejalan sesungguhnyamenunjukkan
adanya perbedaan kepentingan.Oleh karena itu,
kepentingan
dapat digunakan
sebagai carauntuk
melihat
perbedaanmotiJ
di
antara kelompokyang
saling bertentangan,baik
dalam sebuahkelompok
skala besar, maupunDarwis
lurnol Studi Pemerintahon
Volume 2 Namar 2 Aqustus 2411
kecil.
Perbedaan kepentingan setidaknyaakan menunjukkan
rnotif
mereka berkonJlik.Motivasi
seseorang atau kelompokuntuk
merebut kekuasaan selaindia ingin
berkuasa, mereka iuga ingin menguasai sumber daya ekonomi.Dalam
masyarakatyang
sedang mengalamikonJlik pada umumnya terdapat
duakelompok
besaryang terlibat
sertamemiliki
perspektifyang
berbeda dalarn meraih kepentingannya. Paul Collier (2003) dalam penelitiannya yang disponsori oleh Bank Dunia
di
negara-negala
yang
sedang dilanda
konflik
yang
terus-menerusberlangsung
tanpa penyelesaian, seperti beberapa negaradi
Afrika dan
Asia Tenggara, termasuk Indonesiamenyimpulkan bahwa
konflik
yang berlangsung terus-menerus,dan
tidak
menemukansolusinya
yang
tepat, melahirkandua
perspektifyaitu
greed dan grieoance. Menurutnya,konflik bisa diartikan
dari
dua
pandanganperspektif
tersebut.Dalam
perspektif greed,konflik
adalah
sesuahi eoentyang
menguntungkan karena adanyapeluang
melakukaneksploitasi masyarakat
melalui
propagandapolitik.
Dalarn situasikonllik
itu
segala carayang
dapat dilakukan
untuk
mendatangkankeuntungan, seperti halnya
melakukanmobilisasi massa
dan
rnanipulasifakta dalam
mediskreditkan lawan-lawan politiknya.Untuk
ih,
jika
ingin
suraioe, makakonflik harus
diciptakandan
berupaya agar situasimasyarakat berlangsung terus-menerus dalam keadaan disharmonisasi.
Sementara dalam perspektif grieuance
konflik
dipandang sebagai ketidakadilan karena dapat merugikan, terdzalimi serta dapat mengancam eksistensinya. Mereka yang mengalamiketidakadilan
dan
rasa kekecewaan yang mendalam, akan melakukan tindakan emergencyuntuk
menyelamatkandiri
dari berbagai ancamnn, yaitu mau tidak mau harus melakukanperlawanan dengan segala strategi
dan
resiko. Bahkan menurut Klandermans
dan Roggerband (2007), grieuance merupakan salah satu sumber potensi terjadinya akumulasikekecewaan dan rasa frustasi yang dapat
berwujud
dalam bentuk tindakan aksikolektif
yang irrasional. Balrkan dapat menjadi sebuah formulasi gerakan sosial
untuk
melakukanperlawanan.
Oleh
karenaihr, konflik,
di
sampingtidak
mengr:ntun g|can (disadoantaged),akan menggiring ke arah marjinalisasi dan diskriminatif dalam lingkungan politiknya (Gurr,
1998).
Hal
ini
bisa terjadikarena
menyangkut ancaman eksistensi masa depan, sehingga merekaberupaya melakukan perlawanan dan mencari tindakan alternatif
lain
untuk
merebut dan memeroleh kepentingan politiknya untuk hidup yang lebih layak.Darwis Flit Politik Lokal Dalam Xonflik lbukota
Di Kabupaten Morowaii
Jurnol Studi Pemerifitohdn
Volume 2 Nomot 2 Ag6trs 20i7
Setiap
kelompok
masyarakat kerapkali mengklairn bahwa mereka berjuanguntuk
rakyat,
sehinggaisu-isu yang mereka tebarkan adalah
isu publik
(kebijakan publik).Menurut Collier
(2003), salah satu penyebab terjadinyakonftik
adalah adanya persaingan dalam memperebutkan resoutces yang langka atau sangat terbatas, seperti jabatanpolitik.
Pendapat yang sama juga di kemukakan oleh Oberg dan Strom (2008), bahwa resources bisa
menjadi sumber
konIlik, jika
terjadi ketimpangan dalam pendistribusiannya. Selanjutnya, Obergdan
Strom (2008) mengatakan bahwa disputes ooer the control ozter resources,or
the distribution of resources, are potensial reasonsfor
cittil
conflict. SekalipunCollier
(2003) danHoeffler (2001),
mempunyai
perbedaan perspektif tentangkonflik,
mereka sepakat bahwakonllik
terjadiuntuk
memperebutkan sumber-sumberpolitik
dan ekonomi dengan tujuanagar kelompok dapat mempertahankan eksistensinya.
Untuk itu,
setiapkelompok
harus dengan sr.rngguh-sungguh berjuang dengan cara apapun. Sejalan dengan pandanganini,
Barry
Buzan (1998) berpendapatjika
aktor-aktor atau kelompokingin
eksis dan suruiue,maka mereka yang
berkonflik
harus melakukan sekuritisasi isu-isu yang berkaitan dengan grimance.Dalam
pandangan Buzan, shategisekuritisasi
adalah sangatpenting
untuk
meraih tujuan atau kepentingan aktor yang bersif at greedy.Alfian
dalam pengantamya padabuku T B.
Bottomore (2006),Elit
dan Masyarakat,mengatakan bahwa
studi elit
senantiasa terkait dengan konsep kepentingan. Kajian-kajian tentang dinarnikaelit politik,
pastilah merupakan kajian-kajian tentang persinggungan danpersaingan kepentingan.
Menurut Keller,
sebagaimanadikutip
oleh Maurice
Duverger(2006), bahwa studi tentang elit memusatkan perhatian pada empathal. Pertama, anatomi elit
berkenaan dengan siapa, berapa banyak dan bagaimana para
elit itu
muncul. Kedua, fungsielit
berkenaan dengan apa tanggungjawab sosialelit.
Ketiga, pembirtaanelit
menyangkut tentang siapa yang mendapatkan kesempatan menjadi elit, imbalan apa yang mereka terima,dan
kewajiban-kewajiban
apa
yang
menunggu mereka.
Keempat, keberlangsungan (bertahannya)elit
berkenaan dengan bagaimana dan kenapa paraelit
itu
dapat bertahan, serta bagaimana dan kenapa diantara mereka hancur atau tidak dapat bertahan.Istilah elil berasal dari kata latin eligere
yangbenrti "memilih"
(Keller, 1995). D alarn An English-lndonesinDictionary
(Echolsdan
Shadily,
2003),kata
elite
rnerrLpunyai makna golongan atas, kaum atasan, dan orang-orang terkemuka. Dalam konteks sosial, kata "elit"Darwis
Junol Studi Penetintohon
Valume 2 Nomor 2 Agustus 2077
digunakan pada abad ke-17
untuk
menggambarkan barang-barang dengan kualitas yangsempurna. Penggunaan
kata
itu
kemudian
diperluasuntuk merujuk
kepadakelompok-kelompok sosial
yang
unggul, misalnya
unit-unit
militer
kelas
satu
atau
tingkatanbangsawan yang
tinggr
(Bottomore, 2006). Sebagairnana disarikan oleh Bottomore, Paretomenggambarkan
"elit"
dengan menjelaskan bahwa setiap cabang kegiatan manusia darisetiap
individu
diberikan
suatuindeks
sebagaiukurarr
seseorang dalam meraih tempattertinggi.
Sebaliknya, seseornng dalam bidangnyatidak
berprestasidiberi nilai
terendah.Selanjutnya
Paretomemerinci
klasiJikasielit
dalam
dua
ketegori:
Pertama,elit
yang memerintah (goaerning elite), yangterdiri
dariindividu-individu
yang secara langsung atautidak
langsung rnemainkan peranan yang besar dalam pemerintaharu danelit
yang tidakmemerintah
(non-gooerning elite),yang
mencakup sebagianlainnya
dari elit
tersebut (Bottomole, 2005). Secara konfiguratif, diakui Dogan (2003), bahwa kategorisasi elit beragamtergantung pada posisi jabatan dan ruang lingkup batas otoritas
kekuasaanyang di
pegangnya.Menurutrya
elit
yang monohirarki
(mono-hierarchical) dapat dikatakan elitisyang
sangatfokus
pada puncak kekuasaan. Sedangkan,pofarki
(polyarchical) kekuasaanmenyebar
di
berbagai
institusi
dengan beragam
perbedaan kewenangan. Perbedaan sesunggunya, menurut Dogan (2003), tergantung sistempolitik
yang dianut oleh negaraitu
sendiri. Namun, Dogan
(2003), menegaskanbahwa pada prinsipnyO
elit
merupakanpopulasi yang
kecil
dan pemegang kekuasaanuntuk
membedakan dengan populasi yang tidak merniliki kekuasaan relatif jumlah besar.Sejalan dengan Pareto
dan
Dogan, Gaetano Mosca" seorangteoritisi
elit
lainny4
mengatakan bahwatiap
masyarakat entah suatu bangsabaru
atau sudah lama merdeka, besar atau kecil selalu membentuk dua kelas utama: yang memimpin (a class that rules) danyang
dipimpin
(a class that is ruleil). Mosca (1939), menjelaskan sebagai berikut:'The first class, always the less numerous, performs all political functions, monopolizes power and enjoys the advantages that power brings, whereas the second, the more numerous class,
is directed and controlled by the first."
Selanjutnya, Mosca menjelaskan hubr:ngan
dinamis
antaraelit
dan
massa. Dalam pandangarurya,para
elit
berusahabukan hanya
mengangkatdirinya
di
atas
anggota masyarakatlain, tetapi juga
mempertahankan statusnya terhadap massadi
bawahnya,Darwig Elit Politik Lokai Dalam Konflik lbrkota
.jumol Studi Pemetintohon
Volume 2 Namof 2 Aqiistus 2071 melalui para "sub-elit" yang
terdiri
dari kelompok besar dari "seluruh kelompok menengahyang baru,
aparatur
pemerintahan,
manager, administrator,
ilmuwan
lainnya (Widjaya,1988).Setiap masyarakat
di
manapun
berada
akan selalu
dipimpin
oleh sekelompok kecilindividu
yang berkuasa atas sejumlah besar anggota masyarakatlaiffty4
yang
disebut massa,untuk tunduk dan
mematuhi perintah-perintahnya. Massa bersediauntuk tunduk
dan mentaati
perintah-perintah tersebutkarena pada
diri elit
terlekatikekuasaan yang jumlalurya lebih besar ketimbang yang dimitikinya. Hal tersebut menunjuk
kan
bahwa
kekuasaan
yang
ada
daiam
masyarakat
tidak
terdistribusikan
secaramerata.Terdapat sekelompok kecil
individu
dengan jumlah kekuasaan yang lebih besardi
bandingkan sejumlah besar
individu
dengan kekuasaanyang sedikit
atau bahkan tidakmemiliki
sama sekali (Haryanto, 2005).Sementara itu, LasweII (dalam Haryanto, 7997), menegaskan bahwa
ada
kaitan antaraelit
dan kekuasaan. Menurukrya, suatu kelasterdiri dari
mereka yang berhasil mencaPai kedudukan dominasi dalam rnasyarakat, dalam arti bahwanilai-nilai
(aalues) yang merekabentuk
(ciptakan,
hasilkan)
mendapat
penilaian
tinggi
dalam
masyaratat
yangbersangkutan".
Nilai-nilai
atat
oalues tersebut,kata
Laswell,
mr:ngkin
dapat berwujud kekuasaan, kekayaan, kehormatan, pengetahuan. Laswell menjelaskan bahwa mereka yangberhasil memeroleh dan menguasai
nilai-nilai
tersebut dalamjumlah
yang banyak, padagilirannya akan menduduki lapisan atas
dari
stratifikasi yang ada dalarn masyarakat yang bersangkutan. Sebaliknya mereka yang kurang atautidak
bethasil sama sekali memerolehdan menguasai
nilai-nilai
tersebut akan berada pada lapisan bawahdari
stratifikasi. Elit, menurut Laswell, adalahindividu-individu
yang berhasilmemiliki
sebagian terbanyak darinilai-nilai,
karena
kecakapan-kecakapanserta sifat-sifat kepribadian mereka.
Laswellkemudian menegaskan pula bahwa dengan ker.nggulan yang melekat pada elit, maka
elit
dengan rnudah terlibat aktif dalam proses pengambilan keputusan-keputusan.
Dengan demikian secara dialektis elit di dalam masyarakat juga beragam jenisnya dan
keinginan
untuk
memiliki nilai-nilai
(oalues)tercebut tergantung
dari
keragamankepentingan
yang
dikehendakinya. Sehubunganhal
ini
Keller
(dalam Haryanto,7997), mengatakanbahwa dalam
masyarakatyang semakin kompleks
(masyarakat dengansolidaritas organik menurut versi Durkheim)
mr,rnculkelompok
yang dikenal
denganDarwis
Elit Politik Lokal Dalam Xonflik !buksta DiKabupaten Morowali
JutnaI Stndi Petfierint,hdl
Valume 2 Nomat 2 Attrustus 2011
sebutan "elit strategis".
Elit
dari berbagai ragam jenisnya tersebut dan dengar.r keunggulanyang melekat pada
dirinya
dapat
ikut
serta terlibat dalam ploses
pengambilan danpelaksanaan kepuhlsan-kepuhlsan yang berlaku di rnasyarakat.
Sejalan dengan pandangan Laswell dan Keller diatas, Putnam menyatakan bahwa
di
kalangan kelompok yang berkuasa (elit) sebenarnya hanya terdapat beberapaindividu di
antara mereka saja yang secara langsung dapat memuhrskan kebijakan. Pulnam secara tidak
langsung mengklasifikasi elit dalam dua kategaru. Pertama, elit yang secara langsung terlibat
dalam proses pengambilan keputusan atau kebijakan dar,
ikut
daiam menentukan kebijakan final. Kedua,elit
yang mempunyai pengaruh tidak langsung dalam proses kebijakan karenaelit
tersebut memanfaatkanelit
lainnya
sebagaiplhak
perantaradalam
merumuskal,memutuskan proses pembuatan kebijaksanaan (Haryanto, 1991). Berkaiian dengan elit yang
memiliki
atau tidakmemiliki
kekuasaan, Putnam menar,varkan setidaknya ada tiga strategiuntuk
mengidentifikasielit politik
(e1itdan
kekuasaan).Tiga
strategiihr
adalah analisa posisi, analisa reputasidan
analisa kepufusan. Pertama, analisa posisi mempr:nyai suatuanggapan
bahwa lembaga
atau struktur
pemerintah
formal
mempunyai suatu
petahubungan kekuasaan yang bisa dipakai
untuk
menganaiisa siapa yang berkuasadi
antarapara elit, dan bahwa pejabat-pejabat yang rnenduduki posisi-posisi puncak dalam
lembaga-lembaga tersebut cenderung secara
politis
berkuasa. Kedua, analisa reputasi mendasarkan pada reputasi kekuasaan secaraifformal
yangdimiliki
para elit. Dalam ha1ini elit
dapatdi
lihat
sejauh mana partisipasinya dalam sistempolitik
untuk
mengetahui keterlibatannyadalam
proses pembuatan kebijakan. Ketiga, analisa keputusanmerupakan
carauntuk
mengetahui siapakah
di
antara
para
elit
yang
berkuasadengan mempelajari
prosespembuatan
keputusan-keputusantertentu.
Dalam
konteks
ini,
sesungguhnya yang mendapat perhatian penting adalah dari pihak siapakah sebetulnya yang berhasil mengajukan inisiatif pembuatan keputusan, dan pihak siapakrh yang menentang keputusan tersebut
(Haryanto, 1991). Penggabungan beberapa teori
elit
dan kaitannva dengan kekuasaan ataunilai-nilai
(aalues) dialas, menufut hemat peneliti adalah sangat relevanuntuk
menjelaskan karakteristikelit politik
lokal
yang beradadi
KabupatenMorowali.
Padaumumnya elit
politik
lokal yang terlibat dalamkonflik
ibukotar,emiliki
pengaruh kekuasaan dan terlibatdalam proses pengambilan keputusan, baik secara langsung, maupun tidak langsung.
16.!vls :!it P.jitik lci3r D;l:n'r ii.oifiik ibukota
li
(ablrparer Morowali)unal Sttdi Penerintahon Volune 2 Nomar 2 Agusius ;017 METODE PENELITIAN
Penelitian
ini
merupakanjenis penelitian kualitatif yang
mencoba mengeksplorasi pelsoalankonflik
elitpolitik
lokal dalam memperebutkan kedudukanIbukota
di KabupatenMorowali. Teknik
pengumpulan datadalam
peneilitianini
menggunakanteknik
telaahpustaka,
yaitu;
rnengakaji sumber-sumber pustaka yang banyak membahas terkait denganmasalah
konlfik elit.
Serta diperkuat jugadari
sumberlain dari
berita media massa yang banyak mernuat dinamika konJlikelit
lokal yang terjadidi
KabupatenMorowali,
terutamadari
media lokal,yaitu;
Radar Sultengdan
Sulawesi Pos. Sumber-sumber data sekundertersebut, kemudian dianalisis dan dikaji untuk menarik sebuah kesimpulan. Sehingga teknik
analisis data dalam penelitian
ini
adalah deskriptif analisis.HASIL DAN ANALISIS
Konflik Ibukota
Kabupaten
Morowali
sejak melepaskandiri
dengan Kabupaten Poso menjadi daerahotonomi baru di krdonesia rnengalami
konflik
ibukota, dalam konteksini
disebutnya sebagai"kasus pemindahan
ibukota".
Kasus pemindahan ibukota terjaditarik
menarik dua kubukekuatan komunitas masyarakat yang berbeda etrris dan agama. Kedua kekuatan kornunitas
etnis tersebut adalah etrris Bungku yang mayoritas Islam berjuang memindahkan ibukota ke
wilayalrrya.
Sedangkan, kekuatan komunitasetris
Mori
pada umumnya Kdsten
tetapmempertahankan
ibukota berada
di
wilayah Kolonodale.
Perebutanibukota definitif
KabupatenMorowali
oleh keduakubu
tersebutdiwamai
dengan mobilisasi massa secaramasif dan anarkis.
Masing-masing
kubu memiliki
elernen kekuatan aktor,yaitu elit
politik
lokal berasaldari birokrat,
anggota DPRD, anggota partaipolitik, elit
sosial (LSlvI, Tokoh Masyarakat,Camat dan Kades), dan massa (komunitas etris Bungku dan eturis Mori). Fragmentasi konJlik
kedua
kubu
kemudian semakin mengalami intensitas yangtinggr
ketika paraelit politik
lokal
melakukan politisasi
isu
pemindahanibukota menjadi konstruksi
konflik
yang bemuansa etrrisdan
agama yang menyebabkan terjadinya mobilisasi massa kedua belahpihak yang didasarkan ikatan solidaritas
kultural
bersifat anarkis (Rad.ar Sulteng, 4 Desember2003). Kondisi intensitas
konflik
yangtinggi
kerap terjadi pada saat menjelangpemilu
danDarwis
Elit Politik Lokal Dalam Konllik lbukota
Jutndl Studi Pemerintohon
Volume 2 Nomot 2 Agustus 2417
pemilukada. Mantan Ketua Komisi Anggaran DPRD Kabupaten
Morowali,
A
Said Husen merasapdhatin melihat
konJlik antarmasyarakat pada saat menjelang Pemilihan UmumLegislatif 2004. Ia rnenyatakan bahwa:
"Kasus (konflik)
di
Kabupaten Morowali hendaknya tidak digeneralisasi menjadi isu SARA (Suku, Agama, dan Ras) dalam arti pertentangan antar etnis, apalagi menjelang pemilu 2004dan Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah). Aksi pembakaran secara beruntun yang dilakukan oleh
warga Bungku, memang terkait masalah politik...," (Radar Sulteng, 11 Desember 2OO3).
Politisasi
isu
etnis dan agama merupakan skenario yangdi
bangun olehelit politik
Iokal dalam merebut simpati dan dukungan masyarakat.
Dikotomi
dan pertentangan etnisdan
agama merupakan
faktor yang
rentan
dan
rapuh
dalam
membangr,rnkonflik
masyarakatdi
Kabupaten yangmemiliki
karakteristik perbedaankultural
dan keyakinan yang mencolok. Bahkan, isu hegemoni kejayaan kerajaan kedua etnis tersebut menjadi salahsatu memori sosial (social memory) yang menempatkan suatu etrds tertentu dapat eksis dalam
lingkungan sosial dan
politik.
Politik
identitas (political identity) tersebwt kemudian dimanJaatkanelit politik
lokaldalam
melakukan lokalisasipendukung yang kemudian dikonversi menjadi
konstituen dalam Pemilu dan Pilkada. Oleh karenaitu, konllik
ibukota hanya merupakan sarana bagielit
politik lokal
dalam
membangunpolitik
massauntuk
dijadikan kekuatan
massa pendukung yang berbasiskultural
yanglebih fanatik
dalam memenangkan pertarunganpolitik
formal (pemilu dan pilkada). Meskipun
elit
politik
lokal kerap
mengkonstruksiftaming pemtndahan
ibukota
sebagai ancaman eksistensi bagi komunitas mereka. Namunyang menjadi penting adalah bagaimana
elit politik
lokal dalam membangunkonflik
padaIevel
masyarakat grassroot. Dengan situasi
konflik
masyarakat,maka
mau
tak
mau masyarakatmembutulkan elit politik lokal
menjadi patronnya berjuang merebut ibukota.Demiikian
pula,
elit
politik
lokal
membuhrhkan massa sebagaiclients dalam
meraihkepentingan politiknya pada event
politik
formal.Konstruksi
opini
politisasi kasus pemindahan ibukota yang dilakukan olehelit politik
lokal
merupakan strategiuntuk
mendapatkan simpati dan dukungan massa yang berbasiskultural. Elit politik lokal
seolah-olahtidak ingin
menjadi "pemaintunggal"
dalam konJlikibukota. Disharmonisasi hubungan
bupati dan
ketua DPRDyang
kemudian berdampakterjadinya
perpecahanintemal
anggotaDPRD
berdasarkan basiskultural
(kosntituen)Dzriwis Eiit Politik Lokal Dalam Konflik tbukota
)urnal Studi Pemetintahan
Volume 2 Nomat 2 Agustus 2017 daerah pemilihan.
Konflik
antarabupati dan
Ketua DPRD KabupatenMorowali
dipicu keluamya Surat Keputusan DPRDMorowali
No. 03/DPRD/2003 tentang PengfirngsianIbu
Kota
Definitif
KabupatenMorowali
beradadi
Br-rngku. Surat Keputusan tersebutdi
tandatangani oleh Ketua DPRD Kabupaten
Morowali yang
ditetapkandi
Kolonodale pada 17 Oktober 2003 sebagai hasil Rapat Paripuma Khusus. Namun,di
kalangan anggota DPRDdari kubu Kolonodale menilai Surat Keputusan tersebut bukan merupakan keputusan hasil
rapat
padpuna
khusus.Ahmad Yani Arisandi
anggota DPRD KabupatenMorowali
daridaerah pemilihan (dapil) Kolonodale, mengatakan bahwa Surat Keputusan DPRD tersebut
adalah surat pribadi dan bukan mengatasnamakan lembaga DPRD
Morowali
(Radar Sulteng,30
Juli
2005).Tentu
saja, Surat Keputusantersebut
dapat merugikan perjuangan kubu Kolonodaleuntuk
mempertahankan ibukota tetap beradadi
wilayah
Kolonodale. Malah, kubu Bungku mendapatkan peluangyuridis
dalam perjuangannya.Konflik
elitpolitik
lokalyang
berlangsungcukup larna
itu,
berimplikasi
pada
pembangunandan
manajemen pemerintahan mengalarni"stagnasi".
Hal
ini
terjadi pada
pembahasanAPBD
TahunAnggaran 2003 mengalami "deadlock", karena setiap pelaksanaan sidang anggota DPRD
kerap tidak men cukupr " quorum" .
Ketua Lembaga Peradilan Rakyat, Ri{ai Labaso menyatakan bahwa
konflik elit politik
lokal
di
KabupatenMorowali
sebetulnya berawaldari lahirnya UU No.
51/1999 dengan tidak adanya kepastian hukum yang jelas, makanya menimbulkan beragam pen#siran yangdapat menebar konIlik. Ia menyatakan bahwa:
"Klausul yang mengatakan bahwa ibukota sementara berada
di
Kolonodale adalah sumber malapetaka. Kalimat tersebut adalah bahasa yang sarat dan jauh dari nuansa hukum yangdibutuhkan adalah ketegasan,
jika
di
Bungku, makatidak
perlu adatetek
bengek yangmengikuti kalimat itu. Jika Pemerintah Pusat menilai Kolonodale lebih memiliki kesiapan untuk
menjadi ibukota sehingga
di
tempatkanlah ibukota sementaradi
sana sambil menunggu kesiapan Bungku, maka kenapa tidak ditetapkan saja ibukota definitif di Kolonodale" (SulawesiPos, Minggu lV, Mei 2006).
Suasana semakin berlarut-larutnya
konflik
ibukota yang melibatkan berbagai elemen kekuatan masyarakat membuatelit politik
lokal
semakin memanJaatkan situasi tersebutuntuk
mengais ker:ntunganekonomi
denganbiaya
"lobi"
ke
pemerintahpusat untuk
membangr:npolitik
transaksional dengan pemangku kepentingan dalam mempersiapkan menghadapipemilu
dan pilkada (pemilihan bupati Morowali). Oleh karenaihr,
kehadiranelit
politik
pusat (DPR dan Mendagri) lebih menambah fragmentasikonflik
masyarakat. HaIDarwis
Elit Politik Lokal Dalam l(onflik lbukota
Jurno! studi Pemetintahan
Volume 2 Namor 2 Agustus 1o:L1
ini
setidaknya disebabkan, adanya konstruksipolitik
transaksional antaraelit politik
lokaldan
elit politik
pusat dalam memenangkan pertarunganpolitik
formal. Kepentinganpolitik
fragmatisme
elit politik
lebih
pada adanya kohesilitas sistemrezim pemilihan
langsungpejabat publik. Keterkaitan antara elit
politik
lokal dan massa merupakan wajahpolitik
yang"vakum"
dengan rasa idealismepolitik
untuk membangun konsolidasi demokrasi pada araslokal.
KonJlik Ibukota Kabupaten
Morowali
merupakan sarana "pertarungan" kepentinganpotitik elit politik lokal
dalam membangun kekuatanpolitik
massa yang berbasis kultural. Kekuatan massamenjadi penting dalam
kerangkapemilihan
langsung pejabatpublik
(pemilihan
umum legislatit
pemilihan kepala daerah dan pemilihan presiden). Konstruksiperebutan ibukota
definitif
KabupatenMorowali
yang berkepanjangan merupakan bagiandari
skenariopolitik etit politik
dalam konstruksipolitik
hansaksional terhadap berbagai pihak pemangku kepentinganpolitik
dan ekonorni.2.
Pergerakan Massa DuaKubu
Elit politik
lokal dan massa telah terbentuk hubungan ernosional secarakultural
yangdemikian kuat. Mereka saling
membangr.rn kekuatanbaik bersifat individual
maupunkelompok
(kubu). Bahkan, mereka saling menopang dalam perjuangan merebut ibukotadefinitif
KabupatenMorowali.
Meskipun merekatidat
mengindahkan perintahUndang-undang
No
51 Tahun
7999, SuratMenteri
DalamNegeri dan
SuratGubemur
ProvinsiSulawesi Tengah
terkait
pemindahanibukota
dari
Kolonodaleke
Bungku. Bagi mereka,kekuatan
kubu
dapat
mencerminkanadanya kekuatan mobilisasi
massayang
kerap melakukan penekananpolitik
terhadap lawannya.Perjuangan kedua
kubu
dalam merebut ibukota kerapdiwarnai
dengan pergerakanmassa besar-besaran, terkadang bersifat anarkis. Benturan kedua
kubu yang
melibatkanmassa secara kolosal dapat dikategorikan sebagai
indikasi konflik
sosial yang bemuansa SARA, karena merekamemiliki
perbedaan etnis dan agama. Sementaradipihak elit politik
lokal,
nampaknya kekuatan
massamerupakan simbol
prestisepolitik
dalam
rangkamemenangkan
setiap pemilihan pejabat
publik
secaralangsung.
Kondisi
demikianmerupakan konsekwensi
dari
rezim pemilihan langsung setiap pejabatpublik
yang kerapD;rwi5
Elit Politik Lokal Daiam Konflik lbukoia
,,,,".1:';;:x:i'r';i;:i::i2"ri
changed
into
"regr-rlation" aspublic
anxiety and concemfor
hazardous foods has grown since the end of 1990. Between theMA
and the MHW, the competition was fierce in terms ofestablishing
or
amending laws, expanding organizationsand mobilizing a
coalition. Thecompetition results in confusion of food s#ety manag€ment system, evasion of responsibility
for
food
safety, eventually threat
to
citizens' health. Coordinatiorg
cooperation andintegradon were introduced to remove the negative impact
of
competition for jurisdiction. Some suggestions can be made in linewith
the implications from this study.Flrsf, jurisdictional competition is not limited to one between the rninistries and can be
in
conjunctionwith
activitiesof
clientgroup
(interest group) and standing Committee.A
remarkable
political
linkageis
formedin
this study.
In
1997,a client group
of
the MA
required
transferof jurisdiction from MHW to
MA
which is
expectedto
make policies favorable to them.Second,
tlle
poliry
paradigm could be changed accordingto which ministry
have a jurisdiction. The contents of law which each ministry established and revised can be seenin
sirnilar way, but policy orientationwhidr
each ministry has pursued appears differently.In
case
of the
MA,
although theMA
enactedor
en{orcedlaws
regulatingthe
farmers andfishermery
the "promotion"
of
food industry could not be given
up
by
the
MA.
This phenomenon has an implication in terms of integration as a resolution of cornpetition.If
the related ministriesand
agencies areunified
focusingon the
MA,
the
MA
shouldnot
becaptured by client group and be responsible for public health.
Thiril, solut:Lons of urnecessary competition stated above involve merits and demerits
and thus
it
is helpful to inttoduce three measures simultaneously. In case of food industryin
Kore4temporary
but
frequently
committee
meeting
for
coordinatiory
multilateral cooperatiory and reorganization into a unified agenry ultimately sought can be suggested.This researdr can be expected to get some comment as follows.
one
is that this study can becomplemented through in-depth studies. Much of the analysis was performed depending on
news articles, websites
by
thelimitations of
data collection. The In-depth interviewswith
representativesof the ministry
will
enableto
deploy
vivid
analysis such as atrnosphere inside the actual ministries andpoliry
officer's emotion. Another is that to understand thiscompetition between coalition can
be
consideredas more
valid
than
to
understandcompetition between a single
unit.
Thisstudy
shows that jurisdictional competition is not Sungeun Park)unol Studi Pemerintahon
Volume 2 I'Jamar 2 Ag,tstus 2A11
limited to one between the ministries and can be in conjunction
with
activities of client group(interest
$oup)
and Standing Committee.REFERENCES
Deutch,
Morton.
1973. Introduction.The Resolution of Conflict.New
Heaven.yale
University Press.Fink, Clinton F. 1968. "some conceptional difficulties in the theory of social confqct'. Journal
of Conflict Resolution, 7 (4).
Jeong, J.H. 2003.
"The Policy Conflict
within
the
Centrai Govemmentand
BureaucraticPolitics:
with
Focus
on the
saemangum Reclamationproject',.
Korean Association of Goaernment aI S tudies, L 5 ( 1. ).Ju,
l.B.
&
Hong,
s.M.
2001.."The policy Conflict and
Coordination Mechanismin
thedevelopment process
of watel
resources". The Korean Association For Public AdministrationConfer ence P r o ceeding,
Kim, D.w. &
Yoory K.&
Jung, K.H.2007."A
study
on rnter-Ministerial Competitionin
theContent lndustry o{ Korea". The lournal of Pubtic Administration, 4S(4).
Kim, Y.H. 2000. "Lrter-ministration Competition
in
Government public Key Infrastructure,,.Korean Republic Administratinn Reoiew, 34(3).
Kim, Y.P
&
shin,w.
7991.. "The Mode of conJlict Resolutionin
a Centralized Bureaucrary :Inter - Agenry Rivalry in the Korean setting". Korean Republic Administration
Rez:iew, 2s(1).
Laura Chaques
&
Anna Palau. 2009. "Comparing the Dynamics of Changingin
Food safety and Pharmaceutical Poliry in Sp ain" . lournal of Public policy, 29.March, G & Simoru H.A. 1958. Organizaion. New york: John Wiley and Sons.
Park,
f.H.
2000."Group
ConJlictand
Government: Issuesand
Altematives;A
study
on Interdepartmental Conflict & Coordination". The Korean pubtic Administration lournal,g(i).
schmidt, stuart
M.
&
ThomasA.
Kochan.\972. "Conflict: Toward
ConceptualClarity-.
Administratioe Science Quarterly, 17.
sheingate,
Adam D.
2006. "Promotion Versus precaution: The Evolutionof
Biotechnology Poliry in the United States". British lournal of Potitical Science, 36.wilsory
James Q. 1989. Bureaucracy:rMat
Gooernment Agencies Do andwhy
They Do If. Basic Books.Yoo,
H.L.
&
Yurl
S.O. 2006."The Conflict
between MICGovemment Policy" . Korean Policy Sciences Reaiew, 10(4).
Internet
http://www.kinds.or.kr/
http:/[ikms.assembly. go.krflaw
http://likms. assembly. go.kr/bill
http://w ww.rnifaff . go.kr
http://www.naqs. go.kr
http://www.mw.go.kr
http://www.khidi.or.kr
41C
and MOGAHA
on
the
E-SLtngeun Park